Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 03 No. 12 Sep 2013
(46 – 54)
ISSN : 2303-3959
Perbandingan Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serrata) Jantan dan Betina Pada Metode Kurungan Dasar Growth Comparison of Male and Female Scylla Serrata through Bottom Confinement Method Laode Syahlan S Sagala *), Muhammad Idris **), dan Mohammad Nuh Ibrahim ***) Program Studi Budidaya Perairan FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232 E-mail :*
[email protected], **
[email protected], ***
[email protected]
Abstrak Penelitian perbandingan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla sp) telah dilakukan selama 30 hari pada tanggal September– Oktober 2012, di Perairan Pantai Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) jantan dan betina pada metode kurungan dasar dengan model single room.Pakan diberikan dua kali sehari.Analis data yang digunakan adalah analisis uji t dengan 2 perlakuan dan 20 ulangan yaitu perlakuan A (Jantan) dan perlakuan B (Betina).Paremeter yang diamati adalah pertumbuhan mutlak, sintasan, konversi pakan, dan kualitas air sebagai data penunjang. Hasil penelitian menujukkan bahwa tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan mutlak, baik pertumbuhan bobot mutlak maupun pertumbuhan panjang dan lebar karapas (sig > 0,05). Pada pertumbuhan bobot tubuh, nilai tertinggi pada perlakuan B dengan berat 13,69 g, dan terendah perlakuan A dengan berat 10,81 g. Pertumbuhan panjang dan lebar karapas tertinggi pada perlakuan B dengan nilai 1,36 mm dan 1,36 mm, sedangkan terendah perlakuan A dengan nilai 1,09 mm dan 1,08 mm. Kualitas air selama penelitian yaitu suhu berkisar antara 30-31 oC, salinitas yaitu 30-31 ppt, dan pH berkisar 7-8. Nilai pengukuran kualitas air selama penelitian masih optimal untuk pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina. Kesimpulan dari penelitian ini adalah metode kurungan dasar dengan model single room memberikan pertumbuhan perlakuan B (Betina) lebih baik dibandingkan perlakuan A (Jantan) baik pertumbuhan bobot tubuh dan ukuran karapas, serta tingkat kelangsungan hidup (SR). Kata Kunci : Kepiting Bakau, Scylla serrata, pertumbuhan, sintasan dan kurungan dasar
Abstract Growth Comparative study of mangrove crab (Scylla sp) had been carried out for 30 days on SeptemberOctober 2012, in Tapulaga, District of Soropia, Konawe, Southeast Sulawesi. This study aimed to compare the growth of mud crab (S. serrata) males and females through single room confinement method. Feed was given twice daily. Analysis data used t test analysis with 2 treatments and 20 replications i.e treatment A (males) and treatment B (females). Parameters observed were absolute growth, survival, feed conversion, and water quality. Results showed that there was no significant effect on absolute growth, both absolute growth rate and weight or width growth of carapace (sig> 0,05). The highest value on growth of the body weight was in treatment B with 13.69 g of weight, and the lowest was in treatment A 10.81 g of weight. The highest growth of carapace length and width was in treatment B i.e 1.36 mm and 1.36 mm, while the lowest was in treatment A i.e 1.09 mm and 1.08 mm. Water quality during the study was still in optimal range i.e temperature ranged from 30-31oC, salinity was 30-31 ppt, and pH ranged of 7-8. It proved that single room treatment confinement method was better for treatment B (female) rather than treatment A (Male) both growth of body weight and carapace size, and survival rate (SR). Keywords: Mangrove crab, Scylla serrata, growth, survival rate and bottom confinement
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
46
Pendahuluan Salah satu sumberdaya hayati perairan bernilai ekonomis tinggi dan potensial untuk dibudidayakan adalah kepiting bakau (Scylla sp). Jenis kepiting ini disenangi masyarakat karena bernilai gizi tinggi yakni mengandung berbagai nutrien penting (Catacutan, 2002). Selama ini kebutuhan konsumen akan kepiting bakau sebagian besar masih dipenuhi dari hasil penangkapan di alam yang sifatnya fluktuatif. Berdasarkan pertimbangan kontinuitas produksi, perlu dikembangkan budidaya kepiting bakau secara terkontrol. Guna menunjang usaha budidaya kepiting yang efektif, efisien dan menguntungkan secara ekonomis perlu dilakukan pengkajian terhadap sifat-sifat bilologis kepiting bakau. Hal tersebut dimaksudkan agar manipulasi terhadap lingkungan budidaya memberikan pertumbuhan yang maksimal. Meningkatnya permintaan konsumen terutama dari pasar luar negeri, menjadikan kepiting menjadi salah satu komoditas andalan untuk ekspor non migas mendampingi udang windu. Permintaan kepiting yang terus meningkatnya tersebut, selain disebabkan rasa dagingnya yang lezat, juga kandungan gizinya yang tinggi, berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui bahwa daging kepiting bakau mengandung protein 47,31% dan lemak 11,20% (Karim, 2005). Pertumbuhan kepiting bakau seperti organisme perairan lainnya, hanya dapat terjadi apabila terdapat kelebihan energi setelah energi yang dikonsumsi dikurangi dengan kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas. Dengan demikian, pertumbuhan kepiting akan semakin meningkat apabila energi bersihnya semakin meningkat atau energi yang di metabolisme tetap atau semakin menurun. Adanya perubahan lingkungan akan berpengaruh terhadap besaran energi yang di konsumsi, dapat lebih besar atau lebih kecil dari pada energi yang di metabolisme, sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan atau penurunan energi tubuh. Metabolisme merupakan segala proses reaksi kimia yang terjadi di dalam tubuh organisme yang meliputi anabolisme dan katabolisme. Konsumsi oksigen merupakan salah satu parameter fisiologis yang dapat digunakan untuk menaksir laju metabolisme secara tidak langsung, yaitu dengan mengukur oksigen yang digunakan dalam proses oksidasi. Proses ini mendapat, mengubah dan memakai senyawa kimia dari sekitarnya untuk Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
mempertahankan kelangsungan hidup (Wirahadikusumah, 1985). Konsumsi oksigen pada krustase dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal.Faktor eksternal yang berpengaruh adalah salinitas, konsentrasi oksigen terlarut, suhu, cahaya, status makanan dan karbondioksida.Faktor internal adalah spesies, stadia, bobot, aktivitas, jenis kelamin, reproduksi dan molting (Villareal et al., 2003). Salinitas merupakan salah satu faktor bagi organisme akuatik yang dapat memodifikasi peubah fisika dan kimia air menjadi satu kesatuan pengaruh yang berdampak terhadap organisme. Verslycke and Janssen (2003) Hal ini sangat berpengaruh terhadap proses metabolisme kepiting yang dapat berpengaruh pada tingkat pembelanjaan energi. Oleh sebab itu, pertumbuhan kepiting yang maksimum hanya dapat dihasilkan apabila penggunaan energi untuk metabolisme dapat diminimalisir. Upaya produksi kepiting bakau (S. serrata) melalui kegiatan budidaya sudah cukup lama dilakukan dan dikembangkan, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta.Namun demikian, hingga saat ini budidaya kepiting bakau belum memberikan hasil yang optimal. Masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan budidaya kepiting bakau tersebut, diantaranya permasalahan pada aspek penerapan dan aplikasi metode budidaya, dimana pembudidaya saat ini umumnya membudidayakan komoditas kepiting bakau dengan metode budidaya yang sifatnya tidak memberikan optimalisasi dan stabilitas dalam aspek pertumbuhan dan sintasan komoditas ini, dengan kata lain modifikasi wadah yang diimplementasikan dalam kegiatan budidaya tidak memperhatikan behavior dari kepiting bakau tersebut, sehingga secara langsung dengan tidak singkronya antara wadah budidaya dan kebiasaan hidup kepiting bakau maka akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap presentase pertumbuhan dan kelangsungan kepiting bakau, sehingga untuk memecahkan permasalahan diatas maka perlu adanya kajian teoritis mengenai riset lapang tentang aspek metode budidaya (Container Modification) yang tepat dalam budidaya kepiting bakau dengan membandingkan kualitas pertumbuhan dan sintasan aspek jenis kelamin (jantan dan betina) kepiting bakau Oleh karena itu penelitian mengenai perbandingan pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina pada metode kurungan dasar perlu untuk dilakukan. 47
Kepiting bakau (S. serrata) merupakan biota pemakan segala jenis makanan, tetapi lebih cenderung sebagai pemakan bangkai atau Omnivorous scavenger. Upaya produksi kepiting bakau (S. serrata) melalui kegiatan budidaya sudah cukup lama dilakukan dan dikembangkan, baik oleh pihak pemerintah maupun swasta.Namun demikian, hingga saat ini budidaya kepiting bakau belum memberikan hasil yang optimal. Masih banyak permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan budidaya kepiting bakau tersebut, diantaranya permasalahan pada aspek penerapan dan aplikasi metode budidaya, dimana pembudidaya saat ini umumnya membudidayakan komoditas kepiting bakau dengan metode budidaya yang sifatnya tidak memberikan optimalisasi dan stabilitas dalam aspek pertumbuhan dan sintasan komoditas ini, dengan kata lain modifikasi wadah yang diimplementasikan dalam kegiatan budidaya tidak memperhatikan behavior dari kepiting bakau tersebut. Tidak sinkronnya wadah budidaya dan kebiasaan hidup kepiting bakau akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap presentase pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Berdasarkan permasalahan di atas maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai perbandingan pertumbuhan dan sintasan kepiting bakau jantan dan betina pada metode kurungan dasar perlu untuk dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan pertumbuhan kepiting bakau (S. serrata) jantan dan betina pada metode kurungan dasar (single room). Kegunaan penelitian ini adalah sebagai pedoman dan bahan informasi bagi pelaku usaha budidaya khususnya, pembudidaya kepiting bakau mengenai perbandingan pertumbuhan kepiting bakau jantan dan betina pada metode kurungan dasar (single room), serta sebagai referensi dan bahan pembanding bagi penelitian-penelitian selanjutnya mengenai metode budidaya yang tepat dalam budidaya kepiting bakau Metode Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada Tanggal 20 September sampai 20 Oktober 2012 bertempat di Perairan Pantai Desa Tapulaga, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : Termometer (oC), Hand refraktometer (ppt), Kertas pH, Timbangan analitik (g), Basket Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Kurungan, Jangka sorong (mm), Balok 5x7 cm dan Tali Nilon.
Parameter yang diamati peneltian ini adalah sebagai berikut :
pada
1. Pertumbuhan Mutlak (PM) Pertumbuhan mutlak kepiting bakau dihitung dengan menggunakan rumus anjuran Effendie (1997) yaitu : 𝑊𝑚 = 𝑊𝑡 − 𝑊0 Dimana : Wm = Pertumbuhan mutlak rata-rata (g); Wt = Bobot rata-rata individu pada akhir penelitian (g); Wo = Bobot rata-rata individu pada awal penelitian (g). 2. Pengukuran Panjang, Lebar Karapas, dan Berat Tubuh Akhir Setiapindividu kepiting diukur panjangnya mulai dari ujung depan (anterior) sampai ujung belakang (posterior) karapas. Lebar karapas mulai diukur mulai dari ujung kiri sampai ujung kanan duri ke -5, sedangkan bobot tubuhnya ditimbang dengan menggunakan Timbangan Analitik (Alimudin, 2000). 3. Sintasan (Survival rate) Sintasan kepiting bakau selama penelitian digunakan rumus yang dianjurkan oleh Effendie (1997) sebagai berikut : 𝑁𝑡 𝑆𝑅 = × 100 % 𝑁0 Dimana : SR = Sintasan Kepiting Bakau (%); Nt = Jumlah Kepiting Bakau (individu) pada Akhir penelitian(ekor). 4. Pengukuran Kualitas Air Parameter kualitas air yang diukur meliputi suhu, salinitas dan pH. Pengukuran suhu dan salinitas dilakukan pada awal, akhir penelitian saat pasang, dengan menggunakan alat termometer dan handrefraktometer. Pengukuran pH dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan menggunakan kertas pH. Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau dan molting, data yang diperoleh dianalisis uji t, dengan menggunakan SPSS 16.0.
48
Untuk melihat perbandingan jenis kelamin pada pertumbuhan dan sintasan kepiting bakau (S. serrata) dianalisis menggunakan uji–t dengan taraf kepercayaan 95% (Gomez, 2007). (S 2 x − 1) Uji t = 2(n − 1) Dimana : S2 = Ragam contoh; x = Rata-rata; 2 n − 1 = Jumlah ulangan; N = Jumlah sampel.
Hasil Hasil penelitian perbandingan pertumbuhan dan sintasan kepiting bakau jantan dan betina pada metode kurungan dasar selama 30 hari pengamatan, meliputi pertumbuhan mutlak berat, pertumbuhan mutlak lebar karapas, pertumbuhan mutlak panjang karapas, tingkat kelangsungan hidup dan konversi pakan masing-masing dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :
Tabel 1.Parameter yang diamati Parameter yang diamati
Perlakuan 15 h I
Jantan 15 h II
30 h
15 h I
Betina 15 h II
30 h
2,28g
8,56g
10,81g
2,21g
11,56g
13,69g
PM Panjang
0,23mm
0,87mm
1,09mm
0,22mm
1,14mm
1,36mm
PM Lebar
0,2 mm
0,86mm
1,08mm
0,22mm
1,16mm
1,36mm
100%
90%
80%
100%
95%
80%
Mutlak
Berdasarkan
PM Berat
Sintasan (%)
Ket : h = Hari PM = Pertumbuhan Mutlak
1. Pertumbuhan Mutlak (PM)
a. Pertumbuhan Bobot Tubuh
Rata-Rata Pertumbuhan Mutlak Bobot Tubuh
Pertumbuhan mutlak yang diamati dalam penelitian ini meliputi pertumbuhan mutlak berdasarkan bobot tubuh, panjang dan lebar karapas.
Hasil pertumbuhan mutlak rata-rata berdasarkan bobot tubuh kepiting bakau (Scylla serrata), pada 15 hari I perlakuan (A) jantan adalah 2,28 g dan perlakuan (B) betina adalah 2,21 g, selanjutnya pada 15 hari II perlakuan (A) jantan adalah 8,56 g dan perlakuan (B) betina adalah 11,56 g, sedangkan pada 30 hari perlakuan (A) jantan adalah 10,81 g dan perlakuan (B) betina adalah 13,69 g. a
16.00 14.00
a
12.00 10.00
a
a
8.00
Jantan Betina
6.00 4.00
a
a
2.00 0.00 Ke-15 Hari I
Ke-15 Hari II
ke-30 Hari
Perlakuan
Gambar 1. Histogram PM Berat Bobot Tubuh Kepiting Bakau (S. serrata).
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
49
Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin jantan dan betina pada 15 hari pertama, 15 hari kedua, dan 30 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan mutlak bobot tubuh (P> 0,05). b. Pertumbuhan Mutlak Panjang Karapas
(Scylla serrata), pada 15 hari I perlakuan (A) jantan adalah 0,23 mm dan perlakuan (B) betina adalah 0,22 mm, selanjutnya pada 15 hari II perlakuan (A) jantan adalah 0,87 mm dan perlakuan (B) betina adalah 1,14 mm, sedangkan pada 30 hari perlakuan (A) jantan adalah 1,09 mm dan perlakuan (B) betina adalah 1,36 mm.
Berdasarkan
Rata-Rata Pertumbuhan Mutlak Panjang Karapas
Hasil pertumbuhan mutlak rata-rata berdasarkan panjang karapas kepiting bakau 1.60
a
1.40
a
1.20
a
a
1.00 0.80
Jantan Betina
0.60 0.40
a
a
0.20 0.00 Ke-15 Hari I
Ke-15 Hari II
Ke-30 Hari
Perlakuan Gambar 2. Histogram PM Panjang Karapas Kepiting Bakau (S. serrata). Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin jantan dan betina pada 15 hari pertama, 15 hari kedua, dan 30 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan mutlak panjang karapas (P> 0,05). c. Pertumbuhan Mutlak Berdasarkan Lebar Karapas Hasil pertumbuhan mutlak rata-rata berdasarkan lebar karapas kepiting bakau
(Scylla serrata), pada 15 hari I perlakuan (A) jantan adalah 0,23 mm dan perlakuan (B) betina adalah 0,22 mm, selanjutnya pada 15 hari II perlakuan (A) jantan adalah 0,86mm dan perlakuan (B) betina adalah 1,16 mm, sedangkan pada 30 hari perlakuan (A) jantan adalah 1,08 mm dan perlakuan (B) betina adalah 1,36 mm.
a
Rata-rata Pertumbuhan Mutlak Lebar Karapas
1.60
a
a
1.40
a
1.20 1.00 0.80 0.60
a
Jantan
a
Betina
0.40 0.20 0.00 Ke-15 Hari I
Ke-15 Hari II
Ke-30 Hari
Perlakuan
Gambar 3. Histogram PM Lebar Karapas Kepiting Bakau (S. serrata). Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
50
Hasil analisis uji t menunjukkan bahwa perbandingan jenis kelamin jantan dan betina pada 15 hari pertama, 15 hari kedua,
dan 30 hari tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan mutlak lebar karapas (P> 0,05).
2. Kelangsungan Hidup 120
Sintasan (%)
100 80 60
Jantan
40
Betina
20 0 Ke-15 Hari I
Ke-15 Hari II
Ke-30 Hari
Perlakuan
Gambar 4. Histogram Tingkat kelangsungan hidup Kepiting Bakau (S. serrata). Persentase tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau pada hari 15 pertama adalah sama pada jantan dan pada betina yaitu 100%, Selanjutnya pada hari 15 kedua jantan yaitu 90% dan betina yaitu 95%, kemudian pada 30 hari jantan dan betina sama yaitu 80%.
3. Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor lingkungan yang sangat penting dan sangat menunjang keberhasilan usaha budidaya perikanan. Hasil pengukuran parameter kualitas air di lokasi penelitian terdiri atas salinitas, suhu dan pH seperti pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2. Hasil pengukuran parameter kualitas air Parameter Kualitas Air
Kisaran
Salinitas (ppt) 30-31ppt
Pembahasan 1. Pertumbuhan Mutlak Hasil pengamatan pertumbuhan mutlak (Gambar 1, 2, 3) menunjukkan bahwa kepiting bakau betina lebih tinggi dibandingkan kepiting jantan diduga karena pemberian pakan berupa ikan rucah sangat mendukung untuk perkembangan telur pada kepiting betina. Pakan ikan rucah mempunyai kelengkapan dan nilai gizi yang tinggi, sehingga mampu mencukupi kebutuhan nutrisi dalam tubuh kepiting bakau betina dalam proses pertumbuhan sehingga petumbuhan kepiting bakau betina lebh baik dibandingkan dengan kepiting bakau jantan. Ikan rucah mempunyai kandungan protein 57,46%, Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Suhu (oC) 30-31oC
pH 7-8
karbohidrat 1,14%, lemak 7,40% abu, 20,80%, air 13,20% (Mudjiman, 2004). Sejalan dengan pendapat Kuntiyo (2004). Menyatakan bahwa dalam pertumbuhannya kepiting membutuhkan protein lebih banyak dari pada hewan darat dan kebutuhan protein bagi kepiting tergantung dari jenis, umur, reproduksi, dan lingkungan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pakan segar merupakan sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Secara fisiologis kepiting betina lebih banyak membutuhkan energi baik persiapan untuk molting (pertumbuhan) maupun untuk pertumbuhan sel telur (gonad) sehingga energi yang dibutuhkan semakin tinggi, terlebih lagi jika dalam wadah single room yang membatasi aktivitas gerak, yang mana kepiting betina 51
mendiam diri (Pasif) sehingga energi dapat meminimalisir, dengan demikian energi untuk pertumbuhan dan molting dapat dimaksimalkan, Ini berbeda dengan kepiting jantan dimana hanya membutuhkan energi dalam proses maintenance dan recovery saja tanpa untuk menitiberatkan pertambahan gonadnya. Effendi (2002) berpendapat bahwa pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar, faktor dalam diantaranya ialah keturunan, seks, umur, dan molting. Selanjutnya sesuai dengan pernyataan Keenan (1999) dalam penelitiannya pemeliharaan kepiting bakau pada kegiatan penggemukan dalam karamba dapat mencapai pertumbuhan antara 99 g sampai 110 g dalam waktu 25 hari dengan pemberian pakan sebesar 10%/BB/hr. Perbedaan pembagian porsi pakan yang tidak sama antara pagi dan sore hari juga berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau. Porsi pakan yang lebih banyak pada sore hari sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan karena kepiting adalah hewan nokturnal (yang beraktivitas dan mencari makan pada malam hari). Menurut Fujaya (2006), pada keadaan cukup pakan, ikan akan mengkonsumsi pakan hingga memenuhi kebutuhan energinya, energi tersebut pertama digunakan untuk metabolisme basal (maintenance) selanjutnya energi digunakan untuk aktivitas, produksi, dan pertumbuhan. Sejalan dengan pendapat Cholik (2005) menyatakan bahwa perbedaan pertumbuhan kepiting bakau dalam budidaya disebabkan oleh pakan, umur, berat awal, ruang gerak, serta faktor lainnya. Hasil penelitian Rusdi (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan kepiting yang dipelihara dalam karamba mengalami pertumbuhan yang berbeda sesuai dengan frekuensi pemberian pakannya. Menurut Affandi dan Tang (2002) pakan yang dikonsumsi oleh ikan secara umum akan mengalami proses pencernaan, penyerapan, pengangkutan dan metabolisme. 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Kelangsungan hidup sangat erat kaitanya dengan mortalitas yakni kematian yang terjadi pada suatu populasi organisme sehingga jumlahnya berkurang.Menurut Boer (2000), kelangsungan hidup merupakan persentase populasi organisme yang hidup tiap periode waktu pemeliharaan tertentu. Berdasarkan data penelitian di atas (Gambar 4) sintasan/kelangsungan hidup kepiting bakau jantan betina pada 15 hari pertama hewan uji tidak ada yang mengalami kematian Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
(mortalitas) sehingga sintasan mencapai 100%. Disebabkan pemilihan metode/wadah pemeliharaan padat penebaran 1 ekor/wadah (single room) hal ini menujukkan bahwa kebutuhan energi yang dihasilkan sangat terpenuhi serta kondisi perairan juga memenuhi syarat untuk kehidupannya (Lawollio, 2009). Pada hari ke-30 jantan dan betina menunjukkan tingkat kelangsungan hidup terendah selama penelitian yaitu 80%. Diduga tumbuhnya lumut dalam wadah bahkan tumbuh di atas karapaks kepiting, kondisi ini membuat stress dan mengurangi daya tahan tubuh kepiting dan kurangnya energi yang dihasilkan . Hal ini seperti dijelaskan oleh Raizika (2008) bahwa lumut yang menutupi bagian badan dari kepiting dapat menghambat proses pergantian kulit serta kelangsungan hidup yang pada akhirnya dapat mengakibatkan kematian kepada kepiting. 3. Kualitas air Parameter kualitas air yang diamati dalam penelitian ini meliputi suhu perairan, salinitas, dan pH. Selama penelitian diperoleh nilai kisaran suhu perairan dilokasi penelitian berkisar 30-31oC.Nilai tersebut termasuk dalam kisaran yang layak untuk kehidupan dan pertumbuhan kepiting bakau, sehingga disamping adanya faktor pakan sebagai pertumbuhan, suhu merupakan salah satu faktor juga dalam pertumbuhan kepiting selama penelitian. Hal ini karena suhu mempunyai peran penting dalam pengaturan aktifitas kepiting diantaranya respirasi, metabolisme, konsumsi pakan, dll. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Fuad (2005), suhu mempunyai peran dalam kehidupan kepiting atau organisme aquatik lain, peran tersebut antara lain adalah respirasi, kestabilan konsumsi pakan, metabolisme, pertumbuhan, tingkah laku, reproduksi dan bioakumulasi serta unuk mempertahankan kehidupan. Salinitas sangat berpengaruh terhadap fase kehidupan kepiting bakau terutama pada saat molting, hal ini sesuai dengan pernyataan Gimenez et al., (2003) menyatakan bahwa fluktuasi salinitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Nilai pH yang rendah dapat menurunkan laju pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chen dan Chen (2003) yang menerangkan bahwa pH yang rendah dapat menyebabkan toksitas akut pH pada krustasea. Pertumbuhan kepiting bakau yang 52
maksimal sebaiknya dibudidayakan pada media dengan pH antara 7,5 dan 8,5 (Christensen et al., 2005). Simpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Pertumbuhan mutlak (bobot tubuh, panjang dan lebar karapas) menunjukkan bahwa kepiting bakau betina lebih tinggi dengan nilai rata-rata pertumbuhan diantaranya bobot tubuh 13,69 g, panjang dan lebar karapas 1,36 mm, sedangkan bobot tubuh kepiting bakau jantan 10,81 g, panjang dan lebar karapas 1,09 dan 1,08 mm. Perbandingan berat bobot tubuh panjang dan lebar karapas antara kepiting bakau jantan dan kepiting bakau betina tidak berpengaruh signifikan (P>0,05). Presentase tingkat kelangsungan hidup (Survival Rate) selama masa pemeliharaan yaitu 80%. 2. Kisaran kualitas air selama penelitian menunjukkan suhu berkisar 30-31oC, salinitas berkisar 30-31 ppt, dan pH berkisar 7-8. Hal ini masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau. Daftar Pustaka Affandi R dan U.M. Tang. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Pekanbaru.32 hal. Alimudin, 2000. Analisis Morfometrik dan Tingkat Kematangan Gonad Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Perairan Teluk Lawele Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara. Skripsi Jurusan Perikanan Universitas Haluoleo. Kendari. 92 Hal. Boer, 2000.Studi PendahuluanPenyakit Kunang-kunangpada Larva KepitingBakau (Scylla serrata), Jurnal PenelitianBudidayaPantai, 9 (3) : 119124. Catacutan, M.R, 2002. Growth and body composition of juvenile mud crab, Scylla serrata, fed different dietary protein and lipid levels and protein to energy ratio. Aquaculture, 208: 113123. Chen, J.M. and J.C. Chen. 2003. Effect of pH on survival. Growth, Molting and feeding of giant freshwater prawn Macrobrachium rosenbergii, Aquaculture, 218: 613-623. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Christensen, S.M., Macintosh, D.J., dan Phuong, N.T. 2005. Pond Production Of The Mud Crab Scylla Paramamosain (Estampador) and S. Olivacea (Herbst) In The Mekong Delta, Vietnam Using Two different supplementary diets. Aqua. Res.,35: 1013-1024 Cholik, F. 2005. Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia, Central Research Institute for Fisheries, PO Box 6650 Slipi, Jakarta, Indonesia, 310 hal. Effendie, M. I. 1997. Metode Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara, Yogyakarta. 163 hal. Effendie, M. I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Dwi Sari. Yogyakarta. 112 hal. Fuad C, 2005. Strategi dan program penelitian agroindustri perikanan.Prosiding Temu Karya Ilmiah dukungan penelitian bagi pengembanganagroindustri perikanan. Puslitbangkan, Jakarta.41 hal. Fujaya, Y. 2006. Studi Pengaruh Kepadatan Terhadap Tingkat Kelangsungan Hidup dan Laju Pertumbuhan Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal). 53 hal. Gimenez, A.V.F., F.L. Garcia-Carreno, M.A. Navarette del Toro and J.L. Fenucci. 2003. Digestive Proteinases of Red Shrimp Pleoticus muelleri (Decapoda, Penaeoidea) : Partial Characterization And Relationship With Molting. Comp Biochem. Physiol,.130A: 331-338. Karim, M. Y. 2005. Kinerja pertumbuhan Kepiting Bakau Betina (Scylla serrata Forsskal) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya pada Salinitas Optimum dengan Kadar Protein Pakan Berbeda.Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 50 hal. Keenan, A 1999. Revision of The Genus Scylla, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bull of Zool., 46: 217-245. Kuntiyo, 2004. Pedoman Budidaya Kepiting Bakau (Scylla serrata). Balai Budidaya Air Payau Jepara. 29 hal. Latt, U.W. 2002. Shrimp Pond Waste Management. Aquaculture Consultant.July-September. 7 (3) : 1116. Lawollio, D.Z., 2009. Perbandingan Berat Tubuh dan Ukuran Karapaks Terhadap Molting Kepiting Bakau (Scylla Spp) Yang Diamputasi Untuk Produksi 53
Kepiting Lunak. Skripsi, Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari. 48 hal. Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadayan. Jakarta. 40 hal. Raizika. 2008. Pengenalan Budidaya Kepiting Bakau dengan Cara Metode Kurungan.http;//www.shoutmix.com Diakses September 2012. Rusdi, I., 2007. Peningkatan Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scyllaolivacea) melalui Optimalisasi Salinitas.Tesis. Program Pascasarjana,Universitas Hasanuddin, Makassar. 4 hal. Verslycke T, Janssen C.R. 2003. Effect of Changing Abiotic Enviroment on the Energy Metabolism in the Mysid Shrimp Neomysis integer (Crustacea Mysidaceae). J Exp Mar Biol Ecol 279:61-72 Villarreal, H. A. H, A. dan Hewitt, R. 2003. “Effect of salinity, survival and oxygen consumption of juvenil brown shrimp, Farfantepenaeus californiensis (Holmes)”.Aqua. Res., 34: 187-193. Wirahadikusumah, Muhammad. 1985, Biokimia. Cetakan pertama, Bandung: Penerbit Erlangga.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
54