PERBANDINGAN BIAYA PENGOBATAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK PESERTA BPJS DAN NON-BPJS DI RSUD DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm) pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
Oleh : WINA LAILI MAULIDA NIM. I21111002
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK 2015
i
ii
PERBANDINGAN BIAYA PENGOBATAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) PADA PASIEN ANAK PESERTA BPJS DAN NON-BPJS DI RSUD DOKTER AGOESDJAM KABUPATEN KETAPANG
Wina Laili Maulida, Eka Kartika Untari, Inarah Fajriaty Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura
ABSTRAK Pola pembayaran pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui asuransi BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dan fee for service. Adanya perbedaan dua pola pembayaran yang dilakukan, diduga akan memberikan perbedaan besaran biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh pasien DBD. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan biaya pengobatan DBD pada pasien peserta BPJS dan Non BPJS di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang. Penelitian yang dilakukan bersifat observasional dengan menggunakan rancangan analisis cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif yaitu mengumpulkan data sekunder dari rekam medis pasien, dan resep obat pasien DBD usia <12 tahun yang dirawat inap di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang periode September-Desember 2014. Jumlah sampel di penelitian ini adalah 84 pasien DBD yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan dipisahkan kedalam 2 kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya rawat inap pasien peserta BPJS dan Non BPJS adalah Rp 1.247.231,5 dan Rp 1.291.683,93, rata-rata lama rawat inap 5,29 hari dan 5,38 hari, sedangkan biaya tertinggi yang dikeluarkan untuk pengobatan DBD adalah biaya perawatan di ruangan sebesar Rp 456.955,36 dan Rp 502.416,67. Kesimpulan, rata-rata biaya rawat inap dan lama rawat inap pada pasien BPJS dan Non BPJS berbeda. Kata Kunci: Anak, Biaya, BPJS, DBD iii
COMPARISON OF DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) TREATMENT COSTS BETWEEN BPJS AND NON BPJS CHILDREN PATIENTS IN DOKTER AGOESDJAMREGIONAL PUBLIC HOSPITAL KETAPANG REGENCY
Wina Laili Maulida, Eka Kartika Untari, Inarah Fajriaty Pharmacy Study Program Faculty of Medicine Tanjungpura University
ABSTRACT Patterns of health care financing could be done by BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) insurance and fee for service. The difference between two patterns of payment was expected to give differences in a number of medical expenses by Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) patients. This study aimed to compare the cost of DHF treatment between BPJS and Non BPJS patients in Dokter Agoesdjam Regional Public Hospital Ketapang Regency. The study design was a cross-sectional analysis with retrospective data collecting method. The collected data were secondary data, from patient’s medical records and drug prescriptions. The sample size in this study was 84 DHF patients and divided into two groups. The result showed that BPJS and Non BPJS patients had average hospitalization costs of Rp 1.247.231,5 and Rp 1.291.683,93, average length of stay of 5,29 and 5,38 days, respectively. The highest costs for DHF treatment was maintenance costs as much as Rp 456.955,36 and Rp 502.416,67, respectively. We could conclude that the average hospitalization costs and length of stay of BPJS and Non BPJS patients were different. Keywords: BPJS, Children, Cost, DHF
iv
Pendahuluan Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang disebarkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus yang membawa virus dengue, manifestasi klinis DBD meliputi sakit kepala, nyeri tulang dan otot, ruam, dan leukopenia.
1
Kasus DBD pada anak perlu mendapat
perhatian karena hasil penelitian menunjukkan bahwa dibandingkan dengan kelompok usia > 45 tahun, usia < 12 tahun lebih berisiko 16,148 kali terkena DBD. 2 Insiden kasus DBD di Kalimantan Barat pada tahun 2014 bahwa kejadiaan DBD mengalami peningkatan sampai enam kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya terjadi 5049 kasus DBD dengan angka kesakitan 95,03 per 100.000 penduduk, penderita meninggal 68 orang (Case Fatality Rate 1,35 %). 3 Kabupaten Ketapang termasuk daerah endemik penyakit DBD. Insiden kasus DBD di Kabupaten Ketapang pada tahun 2014, yaitu 924 kasus dengan angka kematian 7 orang. Hal ini menjadikan Kabupaten Ketapang sebagai daerah dengan kasus DBD tertinggi di Kalimantan Barat pada tahun 2014.
3
Pola pembiayaan pelayanan kesehatan dapat dilakukan melalui asuransi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan fee for service. Kedua metode tersebut memiliki perbedaan dalam pola pembiayaan dan sistem pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien. Pola pembayaran fee for service yang dilakukan oleh pasien Non BPJS, yaitu pola pembayaran berdasarkan per item pelayanan seperti tindakan diagnosa, pelayanan pengobatan, dan tindakan medis. Setiap tindakan dihitung pembiayaannya kemudian dijumlahkan dan ditagih rekeningnya.
4
Pola
pembayaran melalui asuransi BPJS merupakan pembayaran menggunakan sistem INA CBGs. Rumah Sakit maupun peserta asuransi BPJS tidak lagi merinci tagihan berdasarkan rincian pelayanan yang diberikan, melainkan hanya dengan menyampaikan diagnosa keluar pasien dan kode DRG (Disease Related Group). 5 Adanya perbedaan dua pola pembayaran yang dilakukan oleh pasien DBD diduga akan memberikan perbedaan besaran biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh pasien DBD. Berkaitan 5
dengan kondisi tersebut, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian di bangsal anak RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang. Mengingat di rumah sakit tersebut bahwa angka kejadian pasien DBD pada anak-anak masih tinggi.
6
Sementara pola pembayaran pengobatan DBD di RSUD
Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang untuk pasien DBD masih bersifat parsial. Pasien DBD sudah ada yang menjadi peserta BPJS, namun sebagian pasien DBD masih melakukan pembayaran dengan sistem fee for service. Tujuan penelitian ini adalah menentukan rata-rata biaya rawat inap dan lama rawat inap pengobatan DBD, serta menentukan komponen biaya tertinggi yang dikeluarkan untuk pengobatan DBD pada pasien peserta BPJS dan Non-BPJS di RSUD Dokter Agoesdjam periode September-Desember 2014.
Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-April 2015 di RSUD Dokter Agoesdjam yang beralamat di Jalan May. Jend. D.I. Panjaitan Nomor 51 Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian yang dilakakukan bersifat deskriptif observasional dengan rancangan analisis crosssectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, yaitu mengumpulkan data sekunder dari rekam medis pasien dan resep obat pasien DBD usia <12 tahun yang dirawat inap di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang periode September-Desember 2014. Aspek-aspek yang ditinjau dalam penelitian ini adalah data karakteristik pasien dan rata-rata biaya rawat inap pengobatan DBD pada pasien anak peserta BPJS dan Non-BPJS. Keseluruhan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dipilih dengan cara probability sampling dengan simple random sampling. Total sampel akhir pasien BPJS dan Non BPJS yang diambil dan dapat diolah sebanyak 84 sampel. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel 2007. Hasil analisis data akan disajikan dalam bentuk ratarata/mean yaitu usia, berat badan, lama rawat inap, biaya UGD/Poli, biaya perawatan, biaya uji 6
laboratorium, dan biaya obat. Data dalam bentuk persentase yaitu jenis kelamin, diagnosa (Tingkat/derajat Keparahan), ruang perawatan, status pasien pada saat keluar, dan jenis obat yang digunakan pasien.
Hasil Jumlah sampel di penelitian ini adalah 84 pasien DBD peserta BPJS dan Non-BPJS yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Distribusi karakteristik pasien BPJS dan Non BPJS yang didiagnosa DBD di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang periode September-Desember tahun 2014 terlihat pada Tabel 1. Persentase terbesar jenis kelamin pasien DBD adalah pasien berjenis kelamin laki-laki sebesar 25 pasien (60%) sedangkan pasien perempuan 17 pasien (40%) untuk pasien BPJS, dan pada pasien Non BPJS persentase terbesar berjenis kelamin laki-laki sebesar 22 pasien (52%) sedangkan pasien perempuan sebesar 20 pasien (48%). Persentase terbesar distribusi usia pasien DBD berada pada rentang usia anak (6-12 tahun) yaitu sebanyak 28 pasien (66%) untuk pasien BPJS dan 24 pasien (57%) pasien Non BPJS. Persentase terbesar tingkat keparahan pasien DBD adalah DHF I yaitu sebanyak 40 pasien (95%) untuk pasien BPJS dan 42 pasien (100%) pasien Non BPJS. Persentase terbesar jumlah pasien peserta BPJS dan Non BPJS yang dirawat inap di ruang UPF anak adalah berada di kelas III masing-masing 33 pasien (79%) dan 36 pasien (86%). Terapi suportif terbanyak ialah pemberian cairan kristaloid berupa RL sebanyak 84 pasien (100%). Tabel 1. Distribusi karakteristik pasien DBD BPJS N= 42 n
%
Non BPJS N= 42 n %
a. Laki-laki
25
60
22
52
b. Perempuan
17
40
20
48
a. Neonatal (0-30 hari)
0
0
0
0
b. Bayi (1-12 bulan)
2
5
1
3
Karakteristik Pasien DBD
1. Jenis Kelamin
7
2. Usia
3.Tingkat Keparahan
4.Ruang Perawatan 5. Terapi Suportif DBD
c. Balita (1-3 tahun)
2
5
6
14
d. Prasekolah (3-6 tahun)
10
24
11
26
e. Anak (6-12 tahun)
28
66
24
57
a. DHF I
40
95
42
100
b. DHF II
2
5
0
0
a. Kelas I
5
12
2
5
b. Kelas II
4
9
4
9
c. Kelas III
33
79
36
86
a. Ringer Laktat
42
100
42
100
Rata-rata lama rawat inap pasien BPJS yang didiagnosa DBD adalah sebesar 5,29±1,453 hari sedangkan pasien Non BPJS adalah sebesar 5,38±1,481 hari. Rata-rata tertinggi biaya yang dikeluarkan pasien selama di rawat di Rumah Sakit terlihat pada Tabel 2 yaitu, pasien Non BPJS sebesar Rp 1.291.683,93 sedangkan pada pasien BPJS adalah Rp 1.247.231,5 dengan selisih Rp 44.452,43. Ratarata komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pasien adalah untuk pembiayaan perawatan di ruangan baik pada pasien BPJS maupun Non BPJS masing-masing Rp 456.955,36 dan Rp 502.416,67, kemudian rata-rata pembiayaan obat, uji laboratorium, dan UGD/Poli selama di rawat di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang. Terapi simptomatik pasien DBD yang dirawat inap di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang terlihat pada Tabel 3. Tabel 2. Perbandingan rata-rata biaya pengobatan DBD Pembiayaan
BPJS
Persentase
Non BPJS
Persentase
N=42
(%)
N= 42
(%)
UGD/Poli
Rp 56.140,48
4,5
Rp 57.407,74
4,45
Biaya Perawatan
Rp 456.955,36
36,64
Rp 502.416,67
38,89
Biaya Obat
Rp 436.897,62
35,03
Rp 436.747,62
33,81
Biaya Uji
Rp 297.238,1
23,83
Rp 295.111,9
22,85
8
Laboratorium Total Rata-rata
Rp 1.247.231,5
Rp 1.291.683,93
Tabel 3. Terapi simptomatik yang digunakan pasien DBD BPJS N= 42
Terapi Simptomatik
Non BPJS N= 42
n
%
n
%
a. Trolit
35
83,33
34
80,95
b. Paracetamol
21
50
34
80,95
c. Ceftriaxon
27
64,29
27
64,29
d. Cefotaxim
8
19,04
14
33,33
e. Cefixim
13
30,95
13
30,95
f. Asam Tranexamat
22
52,38
24
57,14
g. Ondancentron
4
9,52
18
42,86
h. Domperidon
0
0
2
4,76
i. Ranitidin
40
95,24
40
95,24
j. Ulsafat
6
14,28
9
21,43
k. Acitral
4
9,52
2
4,76
l. Diazepam
0
0
1
2,38
m.Vitamin
1
2,38
2
4,76
Pembahasan Hasil penelitian menunjukkan persentase terbesar distribusi pasien DBD baik kelompok BPJS maupun Non BPJS adalah berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini berbanding terbalik dengan teori yang menyatakan bahwa perempuan lebih sering terjadi DBD/SSD dibandingkan laki-laki. Secara teori diyakini bahwa perempuan lebih beresiko terhadap penyakit yang disebabkan virus dengue ini untuk mendapatkan manifestasi klinik yang lebih berat dibandingkan laki-laki. Hal ini berdasarkan dugaan bahwa dinding kapiler pada perempuan lebih cenderung dapat meningkatkan permeabilitas kapiler dibandingkan dengan laki-laki.
7
Namun pada dasarnya perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap infeksi virus dengue, karena resiko terkena DBD pada laki-laki dan perempuan hampir sama. 8 9
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi karakteristik berdasarkan usia pasien DBD baik kelompok BPJS maupun Non BPJS pada rentang usia Anak (6-12 tahun). Penelitian yang telah dilakukan oleh Kulkarni, et al,
9
tentang profil anak yang dirawat dengan dengue menjelaskan bahwa
kelompok usia 6-12 tahun merupakan usia penderita DBD terbesar di India.
9
Hasil penelitian yang
dilakukan diperkuat dengan penelitian yang ada di Indonesia menyatakan bahwa usia terbanyak terinfeksi DBD adalah anak usia sekolah berjumlah 39 anak (65%). 10 Penyakit DBD yang disebabkan nyamuk aedes aegypti secara umum menggigit pada siang hari (pukul 09.00 sampai 10.00), pada jamjam tersebut biasanya anak usia sekolah berada di lingkungan sekolah yang memungkinkan anak tergigit nyamuk aedes aegypti saat sedang belajar atau bermain di lingkungan sekolah. 11 Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase terbesar tingkat keparahan pasien DBD adalah DHF I untuk pasien BPJS dan Non BPJS. Penelitian Tantracheewathorn dan Tantracheewathorn
12
yang dilakukan di salah satu rumah sakit anak di Bangkok selama 2 tahun menggambarkan perbandingan antara anak Non DSS (DBD I dan II) dan DSS (DBD III dan IV) adalah 110:55 (2:1).
12
Tingkat keparahan DBD di pengaruhi oleh karakteristik individu manusia sebagai penjamu yang terkait dengan terjadinya penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Faktor-faktor yang terlibat seperti: usia, ras, dan status gizi. Kelompok usia <12 tahun memiliki daya tahan tubuh yang masih rendah dibandingkan kelompok umur yang lebih tua, hal ini dikarenakan fungsi sistem imun humoral masih lemah dibandingkan dengan sistem imun selular.2 Orang kulit putih infeksi virus dengue lebih berat dibandingkan orang negro, hal ini dikarenakan virus lebih banyak berkembang biak pada sel mononuklear orang kulit putih. 7 Tingkat keparahan DBD yang semakin tinggi akan berbanding lurus dengan biaya rawat inap yang dikeluarkan pasien, hal ini dikarenakan pasien DBD dengan tingkat keparahan yang tinggi akan dirawat lebih lama dan penggunaan obat akan bertambah. Persentase terbesar jumlah pasien peserta BPJS dan Non BPJS yang dirawat inap di ruang UPF anak adalah berada di kelas III. Terapi suportif 10
pada penderita DBD berupa pergantian cairan intravena. Hasil penelitian di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang menunjukkan bahwa terapi suportif terbanyak ialah pemberian cairan kristaloid berupa RL sebanyak 84 penderita (100%), karena sebagian besar pasien yang dirawat adalah pasien DBD dengan tingkat keparahan I dan II. Hasil penelitian sebelumnya terapi suportif terbanyak ialah pemberian cairan kristaloid sebanyak 62 penderita (83,78%).
13
Pada terapi DBD derajat I dan II jenis
cairan yang diberikan ialah kristaloid berupa RL/Asering/NaCl 0,9% dan untuk DBD derajat III dan IV diberikan koloid tunggal seperti gelofusin/gelofundin, plasma darah atau bila syok tetap terjadi diberikan kombinasi kristaloid dan koloid.
14
Semua pasien yang menjadi subyek penelitian ini keluar
rumah sakit dengan keadaan membaik (100%). Hal ini dikarenakan pemberian terapi yang tepat pada pasien akan memperoleh outcome yang baik. Total rata-rata lama rawat inap pasien BPJS yang didiagnosa DBD adalah sebesar 5,286±1,453 hari sedangkan pasien Non BPJS adalah sebesar 5,381±1,481 hari. Hasil penelitian ini mendekati hasil penelitian rata-rata lama rawat inap di bangsal anak RSUP Dokter Kariadi Semarang yaitu 5,2 hari.
15
Total rata-rata lama rawat inap pasien BPJS dan Non BPJS dapat dikatakan berbeda, serta
kurang dari lama rawat inap yang ditetapkan oleh INA CBGs yaitu selama 6 hari. Lama rawat inap atau Length of stay (LOS) adalah masa rawat seorang pasien di rumah sakit dihitung sejak pasien masuk rumah sakit dan keluar rumah sakit, dipengaruhi oleh faktor derajat keparahan, kepatuhan terhadap terapi DBD, dan asupan nutrisi. Manifestasi klinik yang lebih berat akan memperpanjang lama rawat inap pasien DBD.16 Berbagai penelitian menyatakan bahwa adanya malnutrisi pada saat pasien masuk rumah sakit mengakibatkan pasien tersebut memiliki LOS yang lebih panjang bila dibandingkan dengan pasien dengan status nutrisi baik, serta memiliki risiko lebih tinggi mengalami malnutrisi selama perawatan. 17,18 Lama rawat inap akan mempengaruhi biaya rumah sakit yang akan dikeluarkan pasien, semakin lama rawat inap maka semakin besar biaya yang dikeluarkan pasien. 11
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata komponen biaya terbesar yang dikeluarkan pasien adalah untuk pembiayaan perawatan di ruangan baik pada pasien BPJS maupun Non BPJS masingmasing Rp 456.955,36 dan Rp 502.416,67, kemudian rata-rata pembiayaan obat, uji laboratorium, dan UGD/Poli selama di rawat di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang. Terapi suportif pada penderita DBD berupa pergantian cairan intravena. Terapi simptomatik pada penderita DBD merupakan pemberian terapi untuk mengatasi gejala yang timbul. Ada beberapa jenis terapi simptomatik yang diberikan antara lain: terapi antipiretik, terapi antasida, terapi antiemetika, terapi diuretik, terapi sedatif, dan vitamin. Terapi antipiretik yang diberikan di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang adalah Paracetamol sebanyak 21 penderita (50%) dan 34 penderita (80,95%) untuk pasien BPJS dan Non BPJS. Terapi antipiretik, berdasarkan sebelumnya menunjukkan bahwa terapi terbanyak ialah pemberian parasetamol sebanyak 58 penderita (78,38%) dan pemberian duplikasi ibuprofen dan parasetamol sebanyak 1 penderita (1,35%). 13 Pemberian terapi antasida dapat diberikan pada penderita yang mengalami mual, muntah, dan nyeri ulu hati. Pasien di RSUD Dokter Agoesdjam sebagian besar diberikan terapi injeksi ranitidin sebanyak 80 penderita (95,24%) untuk pasien BPJS dan Non BPJS. Data hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terapi terbanyak ialah pemberian ranitidin sebanyak 12 penderita (16,22%) dan antasida sebanyak 3 penderita (4,05%).
13
Pasien DBD yang memiliki gejala mual muntah di RSUD
Dokter Agoesdjam diberikan terapi antiemetik berupa Ondansentron sebanyak 4 penderita (9,52%) untuk pasien BPJS dan 18 penderita (42,86%) untuk pasien Non BPJS, sedangkan domperidon hanya pada pasien Non BPJS sebanyak 2 penderita (4,76%). Hal ini berbanding terbalik dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan terapi terbanyak ialah pemberian domperidon sebanyak 10 penderita (13,51%) dan ondansentron sebanyak 1 penderita (1,35%). 13 Terapi diuretik, diperoleh jumlah penderita yang menerima pemberian furosemid sebanyak 4 penderita (5,40%) dengan diagnosa DBD derajat III dan DBD derajat IV yang termasuk dalam kategori 12
syok.
19
Pada penelitian ini tidak ada pasien yang menerima terapi diuretik karena pasien yang terpilih
menjadi sampel diagnosa DBD derajat III dan DBD derajat IV. Pada terapi sedatif diperoleh hasil jumlah penderita yang menerima pemberian diazepam sebanyak 2 penderita (2,70%). 13 Pasien DBD di RSUD Dokter Agoesdjam yang diberikan diazepam sebanyak 1 penderita (2,38%). Pemberian terapi sedatif ditujukan untuk menenangkan penderita yang gelisah saat mengalami syok. Pasien DBD di RSUD Dokter Agoesdjam menerima terapi antibiotik golongan sefalosporin seperti seperti cetriaxon sebanyak 27 penderita (64,29%) untuk pasien BPJS maupun Non BPJS, cefotaxim sebanyak 8 penderita (19,04%) untuk pasien BPJS dan 14 penderita (33,33%) pasien Non BPJS, dan cefixim sebanyak 13 penderita (30,95%) untuk untuk pasien BPJS maupun Non BPJS. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa golongan antibiotik yang paling banyak diberikan ialah golongan sefalosporin yaitu sebanyak 41 penderita (55,41%).13 Pemberian antibiotik dalam pengobatan DBD dilakukan jika terdapat infeksi sekunder yang disebabkan oleh adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Pasien yang DBD diberikan terapi Asam Traneksamat sebagai anti fibrinolitik sebanyak 22 penderita (52,38%) untuk pasien BPJS dan 24 penderita (57,14%) pasien Non BPJS. Tambahan vitamin diberikan pada pasien yang asupan makanannya tidak mencukupi akibat tidak nafsu makan selama perawatan di rumah sakit, sehingga diberikan tambahan vitamin untuk mencegah defisiensi vitamin.
20
Pasien DBD yang diberikan tambahan vitamin sebanyak 1 penderita (2,38%) untuk pasien
BPJS dan 2 penderita (4,76%) pasien Non BPJS. Tarif yang diberlakukan untuk pasien peserta BPJS dan Non BPJS sama, yang membedakan tarif pemakain adalah kelas ruangan pasien dan jumlah penggunaan. Khusus pasien BPJS yang biaya perawatan selama di rawat inap di RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang berlebih dari tari INA CBGs tidak dikenakan cost sharing karena diberlakukan sistem subsidi silang, biaya pasien yang kurang dari tarif INA CBGs akan disubsidikan ke pasien yang biaya rawat inapnya berlebih dari tarif 13
INA CBGs. Sistem subsidi silang juga diterapkan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito karena beberapa kelompok diagnosis CBGs mengalami keuntungan dengan biaya riil yang lebih kecil dari tarif INA-CBGs, tetapi beberapa CBGs yang lain mengalami kerugian dengan biaya riil lebih besar dari tarif INA-CBGs.
21
Tarif INA-CBGs dibedakan berdasarkan regional dan tipe rumah sakit, wilayah
Kalimantan berada di regional 3 dan tipe RSUD Dokter Agoesdjam Kabupaten Ketapang adalah tipe C. Kode DRG (Disease Related Group) untuk DBD (infeksi non Bakteri ringan) adalah A-4-13-I dengan rincian total tarif berdasarkan kelas yaitu, Rp 2.752.600 untuk Kelas I, Rp 2.359.400 Kelas II, Rp 1.966.100 Kelas III dengan LOS (length of stay) selama 6 hari. 22 Manfaat sistem pembayaran melalui DRG bagi pasien yaitu, adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan derajat keparahan, dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan, dan mengurangi pemeriksaan serta penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga mengurangi resiko yang dihadapi pasien. Manfaat bagi Rumah Sakit, mendapat pembiayaan berdasarkan beban kerja sebenarnya, dapat meningkatkan mutu dan efisiensi pelayanan Rumah Sakit, dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk kualitas pelayanan lebih baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi atau multidisiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif, perencanaan budget anggaran pembiayaan dan belanja yang lebih akurat, dapat mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi, dan keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran. Manfaat bagi penyandang dana Pemerintah (provider) dapat meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan, dengan anggaran pembiayaan yang efisien, keadilan terhadap masyarakat luas akan pengobatan yang terjangkau, secara kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan kepuasan pasien dan provider/Pemerintah, dan penghitungan 14
tarif pelayanan lebih objektif serta berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya . 6 Pola pembayara pada pasien Non BPJS (fee for service) adalah pembayaran berdasarkan per item pelayanan seperti tindakan diagnosa, pelayanan pengobatan, dan tindakan medis. Setiap tindakan dihitung pembiayaannya kemudian dijumlahkan dan ditagih rekeningnya. 5 Jadi biaya pelayanan medis yang dikeluarkan pasien akan lebih banyak menggunakan biaya dengan uang pribadi. Ketiadaan sistem asuransi menyebabkan sebagian besar warga Indonesia mengalami pengeluaran biaya yang berlebihan ketika menggunakan pelayanan kesehatan.
23
Seid dkk.24 menyimpulkan bahwa program asuransi kesehatan dapat
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, kemudahan akses mendapatkan pelayanan kesehatan, dan dapat menjamin kualitas hidup seseorang. 24
Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata biaya rawat inap pasien peserta BPJS dan Non BPJS adalah Rp 1.247.231,5 dan Rp 1.291.683,93, rata-rata lama rawat inap 5,29 hari dan 5,38 hari, sedangkan biaya tertinggi yang dikeluarkan untuk pengobatan DBD adalah biaya perawatan di ruangan sebesar Rp 456.955,36 dan Rp 502.416,67. Rata-rata biaya rawat inap dan lama rawat inap pada pasien BPJS dan Non BPJS berbeda.
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak atas bantuan yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
Daftar Pustaka 1.
Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKU. 1996. 15
2.
Djati AP, Baning R, Sri Raharto. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue Di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY Tahun 2010. Prosiding Seminar Nasional Kesehatan. Purwokerto: Jurusan Kesehatan Masyarakat FKIK UNSOED. 2012.
3.
Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2014. Pontianak: Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat. 2015.
4.
Hendrartini J. Alternatif Mekanisme Pembayaran Provider dalam Asuransi Kesehatan. http://www.desentralisasi-kesehatan.net/id/doc/Alternative
Mekanisme
Pembayaran
Provider
dalam Asuransi Kesehatan.pdf. Diakses pada 1 Februari 2015. 5.
Sekretaris DirJen Bina Upaya Kesehatan KemenKes RI. Buletin BUK: INA CBGs Untuk Pelayanan Rumah Sakit Lebih Baik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013.
6.
Fauzi M. RS Agoesdjam Ketapang Kewalahan Tangani Pasien DBD. Tribun Pontianak. http://pontianak.tribunnews.com/2014/11/6/rs-agoesdjam-ketapang-kewalahan-tangangi-pasiendbd. Diakses pada 9 Februari 2015.
7.
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,et al. Harrison’s Principle of Internal Medicine 17 th edition Vol. I. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2009. 1239.
8.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi. Jakarta: Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
9.
Kulkarni MJ, Sarathi V, Bhalla V, Shivpuri D, Acharya U. Clinico-epidemiological profile of children hospitalized wiyh dengue. Indian Journal Pediatrics,77. 2010: 1103-1107.
10. Setiawati S. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok Sindrom (DSS) pada Anak dengan Demam Berdarah Dengue (DBD) Di RSUP Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta. Universitas Indonesia. 2011. 11. Permatasari AP. Pengaruh Status Gizi terhadap Demam Berdarah Dengue di Instalasi Rawat Inap Anak RSUD Tangerang Tahun 2011. Universitas Islam Negeri Syarf Hidayatullah. 2012. 16
12. Tantracheewathorn T, Tantracheewathorn S. Risk Factors Of Dengue Shock Syndrome in Children. J Med Assoc Thai 90; 2007, 272-277. 13. Andriani NEW, Tjitrosantoso H, Yamlean PVY. Kajian Penatalaksanaan Terapi Pengobatan Demam Berdarah Dengue (DBD) pada Penderita Anak yang Menjalani Perawatan di RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Tahun 2013. Universitas Sam Ratulangi. 2014. 14. Rampengan, Suryadi, Tatura, Novie HR. Standar Prosedur Operasional (SPO). Pelayanan Keperawatan. Bagian Ilmu kesehatan Anak FK UNSRAT, BLU RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. 2011. 15. Santosa B, RMD Kisdjamiatun, Ermin T, Mahayani NPA. Korelasi Kadar plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) plasma dengan enzim transaminase serum pada demam berdarah dengue. Sari Pediatri. 2010: 6-10. 16. Nopianto H. Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Lama Rawat Inap pada Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Universitas Diponegoro. 2012. 17. Saniathy E. Arhana BNP, Suandi IKG, Sidiartha IGL. Obesitas sebagai faktor risiko sindrom syok dengue di RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2009: 238-43. 18. Citraresmi E, Hadinegoro SR, Akib AAP. Diagnosis dan tata laksana demam berdarah dengue pada kejadian luar biasa tahun 2004 di enam rumah sakit di Jakarta. Sari pediatri. 2007: 8-14. 19. Puteri TD. Analisa Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap IRNA Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang. Artikel: Program Pascasarjana Universitas Andalas; 2012. 20. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 2011.
17
21. Indriani D, Kusnanto H, Mukti AG, Kuntoro. Dampak Biaya Laboratorium Terhadap Kesenjangan Tarif INA-CBGs dan Biaya Riil Diagnosis Leukemia. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya. 2013. 22. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 59 Tahun 2014 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014. 23. Murti B. Asuransi Kesehatan Berpola Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat di Era Desentralisasi Menuju Cakupan Semesta. Seminar Nasional. Surakarta: Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Universitas Sebelas Maret. 2011. 24. Seid M, James WV, Lesley CMS. The Impact Of Realized Acces To Care On Health-Related Quality Of Life: A Two-Year Prospective Cohort Study Of Children In The California State Children’s Health Insurance Program. The Journal of Pediatrics, 2006.
18