Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
PERBANDINGAN AKURASI METODE BAND TUNGGAL DAN BAND RASIO UNTUK PEMETAAN BATIMETRI PADA LAUT DANGKAL OPTIS Pramaditya Wicaksono Kartografi dan Penginderaan Jauh Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 55281 *Corresponding author email:
[email protected] ABSTRAK Isu utama dalam pemetaan batimetri menggunakan data penginderaan jauh pasif adalah kondisi tutupan dasar perairan yang sangat heterogen, antara lain adanya tutupan terumbu karang, padang lamun, maupun pasir. Variasi tutupan dasar perairan ini akan mendistorsi hubungan antara pantulan spektral laut dangkal optis dengan kedalaman perairan. Salah satu cara untuk menormalisasi variasi tutupan dasar perairan tersebut adalah dengan menggunakan band rasio. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan akurasi pemetaan ba timetri hasil pemodelan band tunggal dan band rasio. Citra yang digunakan adalah Worldview-2 dan penelitian dilakukan di Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa. Koreksi atmosferik dan sunglint diterapkan pada citra Worldview-2 sebelum dilakukan pemodelan. Nilai piksel asli dan nilai piksel hasil log-transformed digunakan sebagai input dalam pemodelan batimetri. Total ada 12 band tunggal dan 30 kombinasi band rasio yang digunakan dalam pemodelan batimetri. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Band rasio mampu menormalisasi variasi tutupan dasar perairan dalam pemetaan batimetri, ditunjukkan dengan nilai SE yang lebih rendah dibandingkan nilai SE dari hasil band tunggal, 2) meskipun perbedaan nilai SE relatif kecil, namun perbedaan distribusi spasial kedalaman perairan antara hasil band rasio dengan band tunggal sangat signifikan, terutama pada area <2 m yang cenderung overestimate dan >4 m yang cenderung underestimate, 3) peta batimetri paling akurat dimodelkan dari rasio Biru/Kuning dengan SE 1,01 m, menunjukkan bahwa pemetaan batimetri pada laut dangkal optis tidak hanya bisa dilakukan oleh band biru, namun menyesuaikan dengan variasi kedalaman di wilayah kajian dan kemampuan penetrasi tubuh air maksimum dari panjang gelombang yang digunakan. KATA KUNCI: batimetri, Worldview-2, band rasio, Kemujan, pemetaan 1. PENDAHULUAN Nilai pantulan spektral citra penginderaan jauh pada laut dangkal optis dapat digunakan untuk memprediksi kedalaman perairan pada laut dangkal optis (Jupp, 1988; Stumpf et al. 2003; Gianinetto & Lechi, 2004; Wicaksono, 2010). Ini disebabkan karena pantulan spektral yang terekam oleh sensor (water-leaving radiance, Rw) merupakan fungsi dari pantulan dasar perairan (Ad), besarnya koefisien pelemahan kolom air (k), kedalaman perairan (z), dan pantulan spektral tubuh air (R∞) (Lyzenga, 1978) (Eq.1). Dalam model analitik, apabila nilai Rw, Ad, k, dan R∞ diketahui, maka z dapat diketahui (Wicaksono, 2010). Namun, perolehan informasi k secara aktual sesuai kondisi perairan saat citra direkam cukup sulit dan memerlukan banyak sampel informasi kedalaman perairan dari survei lapangan. Oleh karena itu, model batimetri perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga tanpa perlu menggunakan infor masi k, antara lain dengan menggunakan pemodelan empiris. Rw = (Ad – Rpw)exp(-gz) + Rpw
(1)
Metode pemetaan batimetri menggunakan data penginderaan jauh awalnya dikembangkan oleh Jupp (1988). Metode tersebut menggunakan asumsi hubungan linear antara pantulan spektral dan kedalaman, dan hasilnya adalah nilai rentang kedalaman, dimana rentangnya tergantung pada jumlah band yang digunakan sebagai input. Metode ini cukup rumit karena nilai k harus diketahui, dan diperoleh melalui integrasi nilai piksel citra dan data kedalaman. Meskipun demikian, metode ini mempunyai kelemahan tidak sesuai diterapkan untuk area dengan tutupan dasar perairan yang bervariasi. Selain itu karena hasilnya adalah data kategori (ordinal), akurasi pemetaan batimetri tidak dapat dikuantifikasikan secara akurat karena rentang kedalaman sangat lebar sesuai dengan DOP (Depth of Penetration) dari tiap band yang digunakan. Uji akurasi data kategori menggunakan confusion matrix (Congalton, 1991; Foody, 2004) hasilnya cenderung overestimate. Informasi batimetri pada level ordinal tidak dapat digunakan secara efektif untuk analisis yang membutuhkan informasi batimetri secara kontinyu, antara lain navigasi lokal, lokasi wisata, kesesuaian lokasi budidaya aquaculture, perubahan topografi dasar laut, konservasi, dan estimasi nilai k yang dibutuhkan dalam koreksi kolom air (Wicaksono, 2010).
802 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Permasalahan lain adalah pada laut dangkal optis umumnya tutupan dasar perairannya tidak seragam, sehingga pemodelan batimetri menggunakan band tunggal sistem penginderaan jauh pasif menjadi tidak efektif (Jupp, 1988). Nilai z pada persamaan Lyzenga (1978) tersebut independen terhadap variasi tutupan dasar perairan, sedangkan pantulan spektral yang terekam oleh sensor pada laut dangkal optis utamanya merupakan fungsi Ad baik dari pasir, terumbu karang, maupun padang lamun. Karenanya, pemodelan batimetri menggunakan pantulan spektral laut dangkal optis akan dikacaukan dengan bervariasinya tutupan dasar perairan, karena perubahan nilai piksel tidak hanya disebabkan oleh perubahan kedalaman namun juga karena perubahan Ad. Asumsi umum yang digunakan adalah semakin dalam suatu perairan maka pantulan spektralnya akan semakin rendah (Green et al. 2000), namun hanya jika tutupan dasar perairannya seragam. Untuk mengakomodasi variasi tutupan dasar perairan tersebut, beberapa pendekatan telah dikembangkan, antara lain oleh Stumpf et al. (2003), Hogrefe (2005), dan Mishra et al. (2006). Ketiga metode tersebut mampu mengakomodiasi kelemahan dari metode linear band tunggal yang dikembangkan Jupp (1988). Ketiga metode diatas mampu menghasilkan informasi batimetri yang bersifat kontinyu, dimana tiap piksel mempunyai nilai kedalaman yang unik. Hogrefe (2005) dan Stumpf et al. (2003) menggunakan band rasio untuk mengurangi efek variasi pantulan spektral dasar perairan, dengan asumsi bahwa perubahan pantulan spektral karena perbedaan objek akan mempengaruhi tiap panjang gelombang relatif seragam, namun perubahan akibat kedalaman akan mempengaruhi panjang gelombang yang lebih panjang dengan jauh lebih kuat, sehingga, nilai rasio pada kedalaman yang sama akan relatif sama meskipun tutupannya berbeda-beda. Hasilnya, tiap kedalaman yang berbeda, nilai pikselnya akan lebih berbeda dibanding perbedaan nilai piksel akibat variasi tutupan dasar perairan. Keduanya menggunakan rasio band biru dan hijau. Perbedaan utama dari kedua metode tersebut adalah Hogrefe (2005) menggunakan nilai piksel band asli pada level radiance dan Stumpf et al. (2003) menggunakan band hasil log-transformed (ln) untuk me-linear-kan hubungan antara pantulan spektral dan kedalaman perairan yang bersifat eksponensial. Mishra et al. (2006) memilih untuk melakukan pemodelan linear band tunggal pada objek yang homogen dengan me-masking masing-masing tutupan dasar perairan yang berbeda. Pemodelan batimetri dilakukan untuk tiap-tiap tutupan dasar perairan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan metode band tunggal dan band rasio pada pemodelan empiris batimetri. Perbandingan dengan metode band tunggal perlu dilakukan karena: 1) nilai piksel laut dangkal optis pada suatu band tunggal merupakan fungsi dari kedalaman, dan 2) nilai piksel laut dangkal optis pada suatu band tunggal juga merupakan fungsi dari Ad, akibatnya pemodelan batimetri menjadi terdistorsi dan perlu diketahui sejauh mana band rasio mampu mengurangi pengaruh Ad.
Gambar 1. Lokasi penelitian Pulau Kemujan di Kepulauan Karimunjawa Citra yang digunakan adalah citra Worldview-2 (WV2) perekaman 24 Mei 2012. Citra ini mempunyai 8 band multispektral (6 band visible dan 2 band inframerah dekat) dengan resolusi spasial 2 meter dan resolusi radiometrik 11-bit yang tersimpan dalam data 16-bit. Band tunggal yang digunakan adalah 6 band visible citra WV2 asli dan hasil log-transformed. Input band rasio adalah seluruh band pada WV2, baik nilai asli maupun hasil log-transformed. Tujuannya adalah untuk melihat bagaimana performa masing-masing band dalam pemodelan batimetri dalam hubungannya dengan variasi kedalaman laut dangkal optis, karena selama ini band biru dianggap yang paling baik dalam pemodelan batimetri.
803 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Penelitian dilakukan di Pulau Kemujan Karimunjawa (Gambar 1). Batas kedalaman yang di ambil adalah 7 meter (m), dengan mempertimbangkan batas kedalaman laut dangkal optis efektif yang terekam oleh citra WV2 setelah dicocokkan dengan data kedalaman hasil survei lapangan. Laut dangkal optis di sekitar Pulau ini memiliki variasi geomorfologi habitat bentik yang lengkap, sehingga variasi kedalaman dalam rentang kedalaman 0-7 meter pun tinggi. 2. METODE 2.1 Koreksi Citra Koreksi citra mencakup koreksi atmosferik dan koreksi sunglint. Koreksi kolom air tidak dilakukan karena pada pemodelan batimetri justru pengaruh perbedaan pantulan spektral akibat pelemahan kolom air yang dimanfaatkan. Koreksi atmosferik dilakukan dengan mengkonversi nilai piksel WV2 ke nilai at sensor reflectance (Updike & Comp, 2010) dan kemudian menghilangkan path radiance dengan metode Dark Subtract (Armstrong, 1993). Beberapa metode koreksi sunglint membutuhkan bantuan band inframerah (Kay et al. 2009). Metode koreksi sunglint yang diterapkan pada penelitian ini dikembangkan oleh Hedley et al. (2005). Citra terkoreksi atmosfer dan sunglint ini yang digunakan sebagai input dalam pemodelan empiris batimetri. Koreksi geometrik tidak dilakukan karena tidak ada Ground Control Points (GCPs) lapangan yang dapat dijadikan referensi, yang mempunyai akurasi geometrik lebih baik daripada geolocational error dari citra WV2 yang digunakan. 2.2 Metode Band Tunggal Metode ini dilakukan dengan menggunakan band tunggal dalam pemodelan empiris batimetri. Metode band tunggal ini memanfaatkan pelemahan energi yang merambat pada kolom air, dimana dengan semakin bertambahnya kedalaman maka energinya semakin kecil dan panjang gelombang yang lebih panjang akan dilemahkan jauh lebih kuat dibandingkan panjang gelombang yang lebih pendek (Bukata et al. 1995; Goodman et al. 2013). Dalam penerapan metode band tunggal ini, hal yang penting untuk dipertimbangkan adalah variasi kedalaman dari wilayah kajian, pemilihan band, dan karakteristik pelemahan kolom air. Variasi kedalaman dapat menentukan band yang paling efektif dalam melakukan pemodelan batimetri karena berhubungan dengan cepat lambatnya energi dilemahkan hingga dasar perairan. Apabila ada perbedaan signifikan antar nilai piksel karena perbedaan kedalaman, maka pemodelan batimetri dapat dijalankan. Pemodelan empiris band tunggal yang masih bersifat eksponen akan dibandingkan dengan pemodelan empiris band tunggal hasil log-transformed untuk mengetahui sejauh mana proses linearisasi hubungan pantulan spektral dan kedalaman perairan mempengaruhi akurasi pemodelan batimetri. 2.3 Metode Band Rasio Isu utama dalam persamaan Lyzenga (1978) adalah variabel kedalaman tidak memperhatikan variasi tutupan dasar perairan. Hal ini benar karena k merupakan fungsi dari kualitas air dan panjang gelombang, bukan fungsi dari tutupan dasar perairan (Green et al. 2000; Wicaksono, 2010). Namun, kedalaman perairan akan meng-intensify kekuatan pelemahan kolom air tersebut. Informasi kedalaman dalam persamaan tersebut independen terhadap variabel lainnya, sehingga ketika akan melakukan pemodelan batimetri dengan memanfaatkan pantulan spektral, perbedaan pantulan spektral akibat variasi tutupan dasar perairan menjadi masalah. Karenanya, pemodelan batimetri memerlukan suatu solusi untuk mengakomodasi isu tersebut, antara lain dengan menggunakan band rasio (Hogrefe 2005; Stumpf et al. 2003; Wicaksono, 2010). Pada penelitian ini, metode band rasio dilakukan pada seluruh kombinasi rasio dari band asli maupun band hasil log-transformed. Total ada 30 kombinasi dari 6 band visible WV2. 2.4 Pemodelan Empiris Pemodelan empiris batimetri dilakukan dengan mencari hubungan antara Rw WV2 dan z. Data z diperoleh melalui survei lapangan menggunakan GPS echo sounder GPSmap 178c. Total sampel hingga kedalaman 7 meter adalah 194. Sebanyak 96 sampel digunakan untuk pemodelan dan sisanya untuk uji akurasi. Survei batimetri dilakukan pada tahun 2009 dan 2013. Pemodelan diawali dengan melakukan analisis korelasi Pearson product moment untuk memperoleh nilai koefisien korelasi (r). Hanya band atau band rasio yang mampu melewati batas signifikansi nilai r pada jumlah sampel (n) yang digunakan untuk melakukan pemodelan empiris menggunakan analisis regresi. Taraf signifikansi yang digunakan adalah 95%. Band dan band rasio yang memiliki hubungan signifikan dengan kedalaman perairan dijadikan input dalam pemodelan empiris batimetri melalui analisis regresi. Resultant regression function dari analisis regresi masing-masing band atau band rasio digunakan untuk mengubah nilai piksel citra menjadi nilai kedalaman. 2.5 Uji Akurasi Nilai koefisien determinasi dari analisis regresi (R2) tidak dapat digunakan untuk menilai akurasi dari pemodelan batimetri. Karenanya, nilai Standard Error of Estimate (SE) digunakan untuk menilai akurasi dari
804 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
masing-masing model batimetri. Sampel yang digunakan untuk uji akurasi adalah sampel yang tidak digunakan dalam pemodelan, yaitu sebanyak 98 sampel. Perbandingan akurasi juga akan dilihat dari profil melintang hasil pemodelan batimetri pada beberapa transek yang dipilih untuk mewakili berbagai macam kedalaman perairan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Band tunggal Pemodelan menggunakan band tunggal menunjukkan bahwa semua band WV2 mempunyai hubungan signifikan dengan kedalaman perairan (Tabel 1). Dengan kata lain, semua band WV2 mampu digunakan sebagai input dalam pemodelan batimetri. Semua band menghasilkan korelasi negatif yang bermakna bahwa meningkatnya kedalaman diiringi dengan semakin rendahnya pantulan spektral dari laut dangkal optis. Proses linearisasi hubungan antara nilai pantulan spektral dengan kedalaman melalui log-transforming berhasil meningkatkan nilai r dari semua band WV2. Peningkatan terbesar adalah pada band Red-Edge, dimana awalnya memiliki nilai r sebesar -0,334, setelah mengalami linearisasi menjadi -0,641. Nilai r tertinggi untuk band asli adalah -0,750 dari band Kuning sedangkan untuk band log-transformed adalah (ln) band Kuning dengan nilai r 0,791. Rata-rata nilai r dari band tunggal adalah -0,531±0,177 sedangkan untuk band tunggal log-transformed adalah -0,599±0,165. Tabel 1. Nilai r antara kedalaman (m) dengan nilai surface reflectance pada band tunggal citra WV2 Band Kedalaman (m) Cyan -0,463* Biru -0,386* Hijau -0,507* Kuning -0,750* Merah -0,744* Red-Edge -0,334* *signifikan pada CL95%
Band (ln) Cyan Biru Hijau Kuning Merah Red-Edge
Kedalaman (m) -0,468* -0,390* -0,525* -0,791* -0,779* -0,641*
Meskipun semua band dapat digunakan dalam pemodelan empiris, pada penelitian ini dipilih dua band dengan nilai r tertinggi untuk digunakan sebagai input dalam pemodelan batimetri. Dua band dengan nilai r tertinggi, baik pada data asli maupun log-transformed, adalah band kuning dan band merah. Scatter plot dari model regresi kedua band tersebut ditampilkan pada Gambar 2 dan Gambar 3. 10 y = -31,55x + 5,677 R² = 0,553
Kedalaman (m)
8 6
y = -18,17x + 6,062 R² = 0,562
4
yellow Kuning
2
red Merah
0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
Nilai Surface Reflectance
Gambar 2. Model regresi antara band Kuning dan Merah WV2 dengan kedalaman (m). Band Kuning dan band Merah merupakan band dengan nilai r dan R2 tertinggi.
Kedalaman (m)
10
y = -4,198x - 7,141 R² = 0,607
8 6
y = -4,570x - 4,957 R² = 0,625
(ln) Kuning yellow
4
red(ln) Merah
2 0
-3
-2.5
-2
-1.5
-1
-0.5
0
Nilai Surface Reflectance (ln)
Gambar 3. Model regresi antara (ln) band Kuning dan (ln) band Merah dengan kedalaman perairan (m).
805 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Resultant regression function dari model regresi batimetri tersebut, nilai piksel citra WV2 diubah menjadi nilai kedalaman perairan. Peta batimetri hasil pemodelan band Kuning dan (ln) band Kuning pada dilihat pada Gambar 4. Peta batimetri hasil (ln) band Kuning sedikit lebih akurat dengan nilai SE 1,05 m dibandingkan hasil dari band Kuning dengan nilai SE 1,08 m (Tabel 2). Nilai tersebut menunjukkan bahwa ada perbedaan ± 1,05 m antara nilai kedalaman hasil pemodelan (ln) band Kuning dengan kedalaman aktual dilapangan. Turunnya nilai SE ini merupakan salah satu keuntungan proses lineariasi hubungan. Meskipun demikian, beda akurasi antara band normal dan hasil log-transformed sangat rendah dan secara umum distribusi spasial kedalaman perairan pada kedua hasil relatif seragam. Rendahnya pengaruh linearisasi terhadap akurasi pemodelan disebabkan karena wilayah kajian yang relatif dangkal sehingga fungsi eksponen dari pelemahan kolom air belum begitu bekerja.
(a)
(b)
Gambar 4. Peta batimetri hasil pemodelan (a) band kuning, dan (b) (ln) band kuning Tabel 2. Nilai SE untuk pe modelan batimetri menggunakan band tunggal Band SE (m)
Kuning 1,08
Merah 1,09
(ln) Kuning 1,05
(ln) Merah 1,05
3.2 Band rasio Hasil pemodelan menggunakan band rasio menunjukkan bahwa tidak semua rasio digunakan untuk pemodelan batimetri. Beberapa kombinasi band rasio tidak mempunyai hubungan signifikan dengan kedalaman perairan (Tabel 3). Pada rasio nilai asli, semua kombinasi ya ng melibatkan band Cyan tidak dapat digunakan. Sedangkan pada rasio band log-transformed, kombinasi yang tidak dapat mempunyai hubungan signifikan adalah rasio Cyan/Biru, Cyan/Red-Edge, Biru/Red-Edge dan Hijau/Merah. Proses linearisasi pada band rasio tidak mampu meningkatkan nilai r. Nilai r tertinggi dari band rasio asli adalah sebesar 0,881 dari rasio band biru/kuning, dan masih lebih tinggi dibanding nilai r tertinggi dari band rasio log-transformed yaitu sebesar -0,826 dari rasio (ln) Cyan/ (ln) Kuning. Meskipun demikian, nilai r ratarata dari band rasio asli lebih rendah dibandingkan (ln) band rasio, yaitu 0,347±0,269 berbanding 0,531±0,265. Pada saat rata-rata hanya dihitung dari nilai r yang memenuhi taraf signifikansi, nilai r rata-rata band rasio asli juga tetap lebih rendah (0,507±0,234) dibandingkan (ln) band rasio (0,671±0.125). Dengan demikian, performa band-band multispektral dalam pemodelan batimetri akan jauh lebih stabil apabila telah dilakukan proses linearisasi. Tabel 3. Nilai r antara band rasio dengan kedalaman perairan Band Rasio Cyan/Biru Cyan/Hijau Cyan/Kuning Cyan/Merah Cyan/Red-Edge Biru/Hijau Biru/Kuning Biru/Merah
Band Asli Depth Band Rasio 0.034 Biru/Red-Edge 0.113 Hijau/Kuning 0.130 Hijau/Merah 0.125 Hijau/Red-Edge -0.128 Kuning/Merah 0.123 Kuning/Red-Edge 0.881* Merah/Red-Edge 0.809*
Depth -0.305* 0.665* 0.582* -0.338* 0.242* -0.369* -0.373*
(ln) Band Rasio Cyan/Biru Cyan/Hijau Cyan/Kuning Cyan/Merah Cyan/Red-Edge Biru/Hijau Biru/Kuning Biru/Merah
Band Log-Transformed Depth (ln) Band Rasio -0.102 Biru/Red-Edge -0.507* Hijau/Kuning -0.826* Hijau/Merah -0.775* Hijau/Red-Edge 0.169 Kuning/Merah -0.616* Kuning/Red-Edge -0.822* Merah/Red-Edge -0.694*
Depth 0.189 -0.509* -0.124 0.459* 0.685* 0.757* 0.733*
*signifikan 95%CL
Model regresi batimetri terbaik dari metode band rasio dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Nilai SE untuk pemodelan batimetri menggunakan band rasio ditampilkan pada Tabel 4.
806 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
10
y = 6,976x - 5,703 R² = 0,776
Kedalaman (m)
8 6
blue/yel Biru / Kuning low
y = 2,922x - 4,239 R² = 0,654
4
Biru / Merah blue/re d
2 0 0
1
2
3
4
Band rasio
Gambar 5. Model regresi antara rasio Biru/Kuning dan Biru/Merah WV2 dengan kedalaman perairan (m). Pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa hubungan antara rasio Biru/Kuning dengan kedalaman relatif linear, berbeda dengan band tunggal maupun band rasio lain yang cenderung eksponen meskipun telah mengalami proses linearisasi. Gradien dari hubungan tersebut juga paling curam dibandingkan input lainnya, yang menunjukkan bahwa tiap kecil perubahan kedalaman secara signifikan mengubah nilai rasio. 10 Kedalaman (m)
8
y = -15,54x + 11,74 R² = 0,683
6
y = -10,39x + 11,91 R² = 0,676 cyan/yellow (ln) Cyan / (ln) Kuning
4 (ln) Biru / (ln) Kuning blue/yellow
2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
(ln) Band rasio
Gambar 6. Model regresi antara rasio (ln) Cyan/(ln) Kuning dan (ln) Biru/(ln) Kuning WV2 dengan kedalaman perairan (m). Tabel 4. Nilai SE untuk pemodelan batimetri menggunakan band rasio Band rasio (ln) SE (m)
Biru/Kuning 1,01
Biru/Merah 1,06
(ln) Cyan / (ln) Kuning 1,03
(ln) Biru / (ln) Kuning 1,06
Dari model regresi pada Gambar 5 dan Gambar 6 diperoleh prediksi distribusi spasial kedalaman perairan dari band rasio (Gambar 7 dan Gambar 8). Hasil dari rasio Biru/Kuning menunjukkan distribusi spasial kedalaman yang jauh lebih representatif dibandingkan (ln) band rasio Cyan/Kuning. Hasil dari (ln) Cyan/Kuning relatif sama dengan hasil pemodelan dari band tunggal dimana variasi akibat perubahan tutupan dasar perairan masih cukup nampak, terutama pada area lebih dangkal dari 2 m dan lebih dalam dari 4 m. Akibatnya, pada perairan yang dangkal terdeteksi area yang lebih dalam dan pada perairan yang lebih dalam area yang dangkal menghilang. Berbeda dengan hasil pada rasio Biru/Kuning dimana distribusi spasial wilayah dangkal dan dalam direpresentasikan dengan baik. Bukti yang paling jelas adalah pada daerah lagoon yang berisi patch reefs dan pasir (Anak panah pada Gambar 7a). Hanya hasil pemodelan rasio Biru/Kuning yang mampu menggambarkan dengan jelas bahwa pada lagoon tersebut terdapat patch reefs yang lebih dangkal dibandingkan pasir disekitarnya. Perbandingan variasi kedalaman di wilayah lagoon tersebut dapat dilihat dengan lebih jelas pada profil melintang kedalaman pada Gambar 8. Kenampakan tiga dimensi dari kondisi topografi dasar perairan Pulau Kemujan dapat disajikan pada Gambar 9.
807 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
(a)
(b)
Gambar 7. Peta batimetri hasil pemodelan (a) band rasio Biru/Kuning dan (b) band rasio (ln) Cyan/(ln) Kuning. Anak panah pada Gambar 7a menunjukkan lagoon yang didalamnya terdapat patch reefs yang lebih dangkal dibandingkan pasir disekitarnya. Pada rasio (ln) Cyan/(ln) Kuning, patch reefs yang dangkal tersebut tidak terdeteksi, sama seperti pada hasil pemodelan batimetri band tunggal. Area dangkal di bagian utara Pulau Kemujan yang seharusnya dangkal termodelkan lebih dalam pada hasil (ln) band rasio maupun band tunggal. 0
A
B
Kedalaman (m)
-1
-2 -3 -4 -5
B -6
2 26 50 74 98 122 146 170 194 218 242 266 290 314 338 362 386 410 434 458 482 506 530 554 578 602 626 650 674 698 722 746 770 794 818 842 866 890 914 938 962 986
A
Jarak dari Garis Pantai (m)
Kuning
(ln) Kuning
Rasio Biru/Kuning
(ln) Cyan / (ln) Kuning
Gambar 8. Profil batimetri dari transek A-B untuk hasil pemodelan dari band Kuning, (ln) Kuning, rasio Biru/Kuning, dan (ln) Cyan/(ln) Kuning. Rasio Biru/Kuning mampu merepresentasikan kedalaman paling mendekati kondisi lapangan, dimana area dangkal dan dalam terpetakan dengan baik. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa band biru tidak selalu menjadi band yang paling baik dalam melakukan pemetaan batimetri. Untuk rentang kedalaman ini, pada metode band tunggal, band biru justru mempunyai nilai r yang rendah dibandingkan band lain (Tabel 1). Hal ini dikarenakan pada rentang kedalaman ini pelemahan energi band biru oleh kolom air belum signifikan, sehingga hubungan antara nilai piksel band biru dengan perubahan kedalaman belum terbentuk dengan baik, ditunjukkan dengan nilai r yang tidak berbeda jauh antara band biru asli dan band biru log-transformed. Dengan kata lain, band biru secara individu akan cocok memodelkan batimetri pada perairan dengan rentang kedalaman yang lebih tinggi, misalnya 0-15 m atau 0-25 m. Untuk perairan yang relatif dangkal, band dengan pelemahan energi yang besar mampu menjelaskan variasi kedalaman dengan lebih efektif karena band tersebut sangat sensitif terhadap setiap kecil perubahan kedalaman. Band kuning dan band merah mempunyai DOP maksimal pada kedalaman 5-7 m, sehingga sangat efektif untuk menjelaskan variasi kedalaman di wilayah kajian. Kedua band tersebut selalu terlibat dalam model batimetri terbaik, baik pada band tunggal maupun band rasio. Karenanya, saat melakukan pemodelan batimetri, pemilihan band dapat disesuaikan dengan variasi kedalaman dari laut dangkal optis yang akan dipetakan.
808 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
Absennya band biru pada citra lama seperti Landsat MSS, SPOT 1-4, dan ASTER tidak menutup kemungkinan mereka untuk melakukan pemetaan batimetri, terutama pada laut dangkal optis hingga DOP maksimum dari band hijau. Aplikasi band rasio mampu meningkatkan akurasi dari pemodelan batimetri. Meskipun nilai SE hanya terpaut sekitar 20 cm, namun kualitas secara keseluruhan berbeda secara signifikan. Terutama pada tutupan dasar perairan seperti terumbu karang dan padang lamun, metode band tunggal cenderung untuk memberikan nilai yang overestimate (lebih dalam) dibanding yang seharusnya. Ini karena pantulan spektral terumbu karang atau padang lamun lebih rendah dibanding pasir atau s ubstrat terbuka lainnya, sehingga piksel tersebut dianggap lebih dalam. Pada jarak 0-100 m dari garis pantai, pada area yang didominasi oleh padang lamun, band tunggal memprediksi kedalaman hingga mendekati 3 m (Gambar 8). Kenyataannya, wilayah tersebut sa ngatlah dangkal dan hanya band rasio yang mampu mendekati nilai kedalaman yang sebenarnya. Bahkan (ln) band rasio juga memberikan informasi kedalaman yang overestimate (2-3 m). Band rasio asli memprediksi diwilayah tersebut mempunyai kedalaman antara 1-2 m. Diperkirakan proses log-transformed tidak efektif dalam pemetaan batimetri pada rentang kedalaman ini karena fungsi eksponen pada beberapa band, terutama band dengan panjang gelombang pendek, belum berpengaruh secara signifikan. Perlu kajian khusus untuk melihat pada kondisi seperti apa log-transformed dapat meningkatkan akurasi pemetaan batimetri secara signifikan.
Gambar 9. Kenampakan 3D dari topografi habitat bentik Pulau Kemujan bagian barat. Data kedalaman diambil dari hasil pemodelan batimetri band rasio biru/kuning. Vertical Exaggeration (VE) = 20x. 4. KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Band rasio mampu menormalisasi variasi tutupan dasar perairan dalam pemetaan batimetri, ditunjukkan dengan nilai SE yang lebih rendah (1,01 m) dibandingkan nilai SE dari hasil band tunggal (1,05 m).
2. Meskipun perbedaan nilai SE relatif kecil, namun perbedaan distribusi spasial kedalaman perairan antara hasil band rasio dengan band tunggal sangat signifikan, terutama pada area <2 m yang cenderung overestimate dan >4 m yang cenderung underestimate.
3. Peta batimetri paling akurat dimodelkan dari rasio Biru/Kuning dengan SE 1,01 m, menunjukkan bahwa pemetaan batimetri pada laut dangkal optis tidak hanya bisa dilakukan oleh band biru, namun menyesuaikan dengan variasi kedalaman di wilayah kajian dan kemampuan penetrasi tubuh air maksimum dari panjang gelombang yang digunakan. 4.
Proses linearisasi hubungan antara pantulan spektral laut dangkal optis dengan kedalaman belum efektif karena pada rentang kedalaman ini.
Untuk meningkatkan kualitasi pemodelan batimetri, beberapa langkah berikut akan diterapkan:
809 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015: Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional
1.
Menggunakan integrasi segmented empirical model dan decision tree analysis untuk menekan nilai SE dibawah 1 m (Wicaksono, 2010).
2.
Menggunakan data lapangan batimetri yang lebih baik (seperti LiDAR batimetri dan Side Scan SONAR (SSS)) untuk membangun model batimetri dan uji akurasi yang lebih detil.
3.
Melakukan penelitian pada daerah dengan rentang kedalaman dan variasi tutupan dasar perairan yang berbeda, terutama untuk menilai lebih jauh efektifitas proses log-transformed pada input band.
4.
Menggunakan data pasang surut kontinyu untuk koreksi kedalaman antara tanggal perekaman citra dan tanggal survei lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Armstrong, R. A. (1993). Remote sensing of submerged vegetation canopies for biomass estimation. International Journal of Remote Sensing , 14, 10-16. Bukata, R. P., Jerome, J. H., Kondratyev, K. Y., & Pozdnyakov, D. V. (1995). Optical Properties and Remote Sensing of Inland and Coastal Waters. New York: CRC. Congalton, R. G., & Green, K. (2008). Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data: Principles and Practices. Mapping Science. Boca Rotan FL: CRC Press. Foody, G. M. (2004). Thematic Map Comparison: Evaluating the Statistical Significance of Differences in Classification Accuracy. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing , 70 (5), 627–633. Gianinetto, M., & Lechi, G. (2004). A DNA Algorithm for the Batimetric Mapping in the Lagoon of Venice Using Quick Bird Multispectral Data. XXth ISPRS Congress on Geo-Imagery Bridging Continents, The International Archive of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, XXXV(B) (pp. 94-99). Istanbul, Turkey: ISPRS. Goodman, J. A., Purkis, S. J., & Phinn, S. R. (2013). Corel Reef Remote Sensing A Guide for Mapping, Monitoring and Management. (S. R. Phinn, Ed.) Springer. Green, E. P., Mumby, P. J., Edwards, A. J., & Clark, C. D. (2000). Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal Management. Coastal Management Sourcebooks 3. (A. J. Edwards, Ed.) Paris: UNESCO. Hedley, J. D., Harborne, A. R., & Mumby, P. J. (2005). Simple and Robust Removal of Sunglint for Mapping Shallow-Water Benthos. International Journal of Remote Sensing , 26 (10), 2107-2112. Hogrefe, K. R. (2005). Deriving Shallow Water Bathymetric Data from Ratios of Blue and Green λ Radiance Values. Oregon: Department of Geosciences, Oregon State University. Jupp, D. L. (1988). Background and extensions to depth of penetration (DOP) mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the Symposium on Remote Sensing of the Coastal Zone. Gold Coast, Queensland. Kay, S., Hedley, J. D., & Lavender, S. (2009). Sun Glint Correction of High and Low Spatial Resolution Images of Aquatic Scenes: a Review of Methods for Visible and Near-Infrared Wavelengths. Remote Sensing , 1, 697-730. Lyzenga, D. R. (1978). Passive Remote-Sensing Techniques for Mapping Water Depth and Bottom Features. Applied Optics , 17, 379-383. Mishra, D., Narumalani, S., Rundquist, D., & Lawson, M. (2006). Benthic Habitat Mapping in Tropical Marine Environments Using QuickBird Multispectral Data. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing , 72 (9), 1037-1048. Stumpf, R. P., Holderied, K., & Sinclair, M. (2003). Determination of water depth with high-resolution satellite imagery over variable bottom types. Limnology and Oceanography , 48 (1), 547-556. Wicaksono, P. (2010). Integrated Model of Water Column Correction Technique for Improving Satellite-based Benthic Habitat Mapping, A Case Study on Part of Karimunjawa Islands, Indonesia. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Faculty of Geography, Universitas Gadjah Mada.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Digital Globe dan Prof. Stuart Phinn dari Biophysical Remote Sensing Group University of Queensland Australia atas penggunaan citra Worldview-2 sebagian Kepulauan Karimunjawa. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada DKP Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta atas penggunaan GPS Echo Soundernya selama survei lapangan.
810 |