PERBAIKAN MUTU BERAS UBI DENGAN PENGGUNAAN PATI UBI JALAR (IPOMOEA BATATAS L.) TERMODIFIKASI DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT (HMT)
HENDRA ADI PRASETIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perbaikan Mutu Beras Ubi Dengan Penggunaan Pati Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) Termodifikasi Dengan Heat Moisture Treatment (HMT)” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Bogor, Juni 2009
Hendra Adi Prasetia NRP F251060111
SUMMARY HENDRA ADI PRASETIA. Modification of Sweet Potato (Ipomoea Batatas L) Starch Functional Properties for Quality and Stability of Artificial Rice. Supervised by RIZAL SYARIEF as Head of Supervisor, SRI WIDOWATI and NUGRAHA EDI SUYATMA as Members This research was aimed to obtain technology of starch modification process with HMT (Head Moisture Treatment) which could be applied in artificial rice production (laboratory capacity) and improve quality of the rice by set of formulating between sweet potato flours and native/selected modified starch. The research was divided into three steps, i.e.: 1) HMT starch modification with temperature process (80, 90, 100oC) and heating time (2, 3, 4 hours), 2) production of artificial rice from sweet potato flours (Cangkuang, Sukuh, Naruto) and native/chosen modified starch (80:20 w/w) and 3) stability test of product. The result showed that HMT starch modification could change physicochemical properties of sweet potato starch. It could be proven by decreasing breakdown viscosity value and setback viscosity value was relatively low. Characteristic of selected starch modified was obtained at 80oC for 4 hours. Further test showed that modified starch had higher endoterm gelatinization entalphy (∆H = 125,10 J/gram) than that of native starch (∆H = 85,12 J/gram). However there were no significant differences between native and modified starches about morphology, birefrigence and characteristic of molecular structures. Formulating sweet potato flours and selected modified starch in production of artificial rice could improve texture product which was indicated by lower hardness and stickyness values than that of artificial rice from sweet potato flours and native starch. Functional properties of artificial rice from sweet potato flours and modified starch also showed higher dietary fiber, lower starch digestion and glicemix index than that of artificial rice from sweet potato flours and native starch. Sensory test showed that artificial rice from Cangkuang and native/modified starches were the selected product and these product were used in stability test. Artificial rice from Cangkuang flour and modified starch had longer shelf life, i.e.: 4.5 month (PP) and 5.9 month (PE) than another product that packaged in PP (3.7 month) and PE (4.5 month). Product which was packaged in PE had longer shelf life than that of packaged in PP since PE had lower permeability of moisture and oxygen than that of PP.
ABSTRACT HENDRA ADI PRASETIA. Quality Improving of Artificial Rice by Using Modified Sweet Potato Starch with Heat Moisture Treatment (HMT). Supervised by Rizal Syarief as Head of Supervision and Sri Widowati and Nugraha Edhi Suyatma as Members. Sweet potato starch (SPS) is potential to be used as main ingridients of artificial rice. Unfortunately, the rice made from native SPS has some drawbacks such as sticky, poor in texture and high in cooking loss. To overcome these inconvenients, the SPS has been modified by physical method, e.g. heat moisture treatment (HMT). This method is more advantageous than chemical method because it does not need chemical substances and has no risk for human health. This research aims to find the optimum processing condition for starch modification and to evaluate the effect of the modified starch on the properties of artificial rice based on sweet potato flour. Amilography properties with Brabender Amilograph has been used to select the appropriate heating condition in HMT process. Selected modified starches and the native starch were characterized their physico-chemical properties i.e. Differential Scanning Calorimetry (DSC), Polarimeter Microscopy, Scanning Electronic Microscopy (SEM) and FTIR spectroscopy. Artificial rice that has been prepared by native or modified starch was analyzed in terms of dietary fiber, in vitro starch digestion and glycemix index. The starch modification process, at 80 oC for 8 hours and at constant moisture content (27 %), was selected because it resulted the modified SPS which had good amilography properties. The modified SPS which is obtained by the selected method, showed no peak viscosity and the lowest breakdown viscosity. The artificial rice made by modified SPS showed better in texture properties, less in cooking loss and less sticky than that made by native SPS. Moreover, there was no significant changes in molecular level which was detected by FTIR spectrum.There was also no structural changes, which has been confirmed by birefringence properties, DSC thermogram and SEM micrograph. Modified and native starches then formulated with sweet potato flours to produce artificial rice. Utilization of modified starch improved functional properties of this rice, i.e. higher dietary fiber (IDF = 6.45-6.89 % ; SDF = 3.894.2%), lower starch digestion (SD = 55.03-56.53%) and lower glycemix index (IG = 64.44). Artificial rice which formulated from modified starch has longer shelf life, i.e. 5.67 months in PP package and 2.3 months in PE package, compared to that made with native starch (4.24 months in PP package and 1.72 months in PE package). Keyword : Heat Moisture Treatment, amilography, sweet potato, artificial rice
RINGKASAN HENDRA ADI PRASETIA. Perbaikan Mutu Beras Ubi Dengan Penggunaan Pati Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) Termodifikasi Dengan Heat Moisture Treatment (HMT). Dibawah bimbingan RIZAL SYARIEF sebagai Ketua Komisi serta SRI WIDOWATI dan NUGRAHA EDHI SUYATMA sebagai Anggota Komisi Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki mutu rasbi secara fisik melalui proses modifikasi pati dengan HMT. Modifikasi pati dilakukan untuk memperoleh profil viskositas pasta pati terbaik. Pati HMT terpilih kemudian bersama tepung ubi jalar digunakan sebagai adonan dalam tahap produksi rasbi. Sebagai pembanding dilakukan produksi rasbi dari pati alami dengan tepung ubi jalar. Bahan penelitian adalah satu jenis pati ubi jalar dari varietas Sukuh dan tiga jenis tepung ubi jalar dari varietas Cangkuang, Sukuh dan Naruto. Pati maupun tepung diperoleh dari Bangsal Pengolahan Tepung Balai Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Bogor. Penelitian dibagi menjadi empat tahap, yaitu : 1) persiapan bahan baku melalui pembuatan tepung dan pati, 2) modifikasi pati dengan HMT dengan perlakuan suhu proses (80, 90, 100oC) dan waktu pemanasan (2, 3, 4 jam) serta karakterisasi sifat fisikokimia pati alami maupun modifikasi terpilih, 3) pembuatan rasbi serta evaluasi karakteristik tekstur, waktu tanak dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), sifat fungsional produk (serat pangan, daya cerna pati dan Indeks Glikemik (IG)) serta aspek penerimaan produk dan 4) uji stabilitas produk rasbi terpilih. Pada tahap persiapan bahan baku dibuat tepung ubi jalar dengan rendemen yang tidak berbeda nyata, yaitu: 24,61-24,89%. Tepung yang yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan (L) 74,98-78,05, warna kromatik (a) -0,1--0,21, warna kromatik (b) 2,01-2,26 dan derajat keputihan (W) 74,90-77,93. Tepung Cangkuang merupakan tepung dengan karakteristik warna yang paling cerah (L=78,05) dan paling putih (W=77,93). Sedangkan pati alami yang dihasilkan memiliki tingkat kecerahan 97,90, warna kromatik (a) -0,26, warna kromatik (b) 2,47 dan derajat keputihan 96,61. Pada tahap modifikasi pati, perlakuan pemanasan pada 80oC selama 4 jam merupakan perlakuan terbaik yang didasarkan sifat viskoelastik pati yang stabil selama gelatinisasi berlangsung. Pati modifikasi terpilih menunjukkan nilai viskositas breakdown terendah (0 BU) dan viskositas setback yang relatif kecil nilainya (30 BU). Karakterisasi sifat fisikokimia pati melalui uji termal gelatinisasi dengan DSC (Differential Scanning Calorimeter) menunjukkan pati HMT terpilih memiliki nilai entalpi gelatinisasi yang lebih besar (∆H = 125,10 J/gram) dibandingkan dengan pati alami (∆H = 85,12 J/gram). Hasil yang berbeda ditemukan dari analisis morfologi granula dengan SEM (Scanning Electron Microscope) menunjukkan granula kedua jenis pati masih utuh dan tidak mengalami perubahan yang nyata. Hasil tersebut konsisten dengan hasil analisis sifat birefrigence dimana pola maltose cross masih terlihat jelas pada kedua jenis pati dan struktur molekuler kedua jenis pati juga tidak mengalami perubahan. Tahap berikutnya adalah proses pembuatan rasbi dengan menggunakan adonan berupa campuran tepung ubi jalar dengan pati modifikasi terpilih atau pati alami (4:1). Produksi rasbi diawali dengan pembuatan adonan semi basah
(penambahan air = ± 60%) diikuti pengukusan pada 90-100oC selama 6 menit lalu pengeringan pada 50oC selama 24 jam. Hasil karakteristik uji tekstur menujukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap parameter kekerasan maupun kelengketan antar perlakuan. Namun rasbi yang berasal dari pati modifikasi terpilih membutuhkan waktu yang lebih lama (22,67-25,33 menit) ketika ditanak dan KPAP yang lebih sedikit (14,33-27%) ketika dimasak. Aplikasi pati modifikasi terpilih dalam produksi rasbi juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbaikan sifat fungsional produk, antara lain: peningkatan kadar serat pangan ,yaitu: 1) kadar serat pangan tak larut (SPTL) dari 5,73-6,15% menjadi 6,45-6,67% dan 2) kadar serat pangan larut (SPL) dari 3,18-3,7% menjadi 3,894,2%; penurunan daya cerna pati in vitro dari 56,22-57,69% menjadi 55,0356,53% serta penurunan IG dari 67,47 menjadi 64,44. Hasil uji organoleptik menunjukkan rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi terpilih merupakan produk yang disukai oleh konsumen dan oleh karena itu dipilih untuk digunakan dalam uji stabilitas produk. Hasil uji stabilitas menunjukkan rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi terpilih memiliki umur simpan yang lebih lama, yaitu 5,67 bulan bila dikemas dengan PP dan 2,30 bulan bila dikemas dengan PE, dibandingkan rasbi dari tepung Cangkuang dan pati alami (4,24 bulan bila dikemas dengan PP dan 1,72 bulan bila dikemas dengan PE). Kemasan PP memiliki nilai permeabilitas terhadap uap air yang lebih rendah (0,13 g/m2.mmHg.hari) dibandingkan dengan kemasan PE (0,32 g/m2.mmHg.hari) sehingga berpengaruh terhadap peningkatan umur simpan produk yang dikemas.
@ Hak Cipta milik IPB tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan narasumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Judul Tesis
Nama NRP
:Perbaikan Mutu Beras Ubi Dengan Penggunaan Pati Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) Termodifikasi Dengan Heat Moisture Treatment (HMT) : Hendra Adi Prasetia : F251060111
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Ketua
Dr. Ir. Sri Widowati, MApp.Sc Anggota
Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
Tanggal Ujian : 19 Juni 2009
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis ini. Tesis ini berjudul “Perbaikan Mutu Beras Ubi dengan Penggunaan Pati Ubi Jalar ( Ipomoea Batatas L. ) Termodifikasi dengan Heat Moisture Treatment (HMT)“. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (MSi) pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Rizal Syarief, DESS. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan, masukan dan motivasi yang begitu besar, sehingga hal tersebut sangat bermanfaat selama penelitian dan penyusunan tesis ini. 2. Ibu Dr. Ir. Sri Widowati, MApp.Sc. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memfasilitasi dan memberikan kesempatan untuk belajar banyak hal selama penelitian, sehingga banyak memberikan manfaat baik saat penelitian maupun penyusunan tesis ini. 3. Bapak Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan masukan dan arahan yang sangat bermanfaat dalam penelitian dan penyusunan tesis ini. 4. Bapak Dr. Ir. Sugiyono, MApp.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi Pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktu untuk menguji serta memberikan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini. 5. Keluarga dr. H. Edi Setiabudi Sp.PD dan keluarga Sugino selaku orang tua yang banyak mendukung secara moral maupun materi selama penulis menempuh studi di IPB. 6. Istriku Nurati Firdaus Muharom, Amd. yang setia mendampingi penulis selama studi di IPB. 7. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata semoga karya ilmiah ini bermanfaat Bogor Juni 2009 Hendra Adi Prasetia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 27 Oktober 1980 dari pasangan ayah dr. H. Edi Setiabudi, Sp.PD dan ibu dr. Hj. Sri Sugiarti, Sp.KK sebagai putra sulung dari 3 bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Kimia dan lulus pada tahun 2005. Tahun 2006, penulis melanjutkan studi pada program Magister Sains Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Pangan. Pada tahun 2008, penulis menikah dengan Nurati Firdaus Muharom, Amd. dan sejak bulan Maret 2008 bekerja sebagai staff pengajar pada Sekolah Tinggi Teknologi Industri dan Farmasi (STTIF) Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................
xvi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
xvii
PENDAHULUAN ……………………………………………………..………. Latar Belakang .................................................................................... ....... Perumusan Masalah ..................................................................................... Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... Hipotesis ...................................................................................................... Kerangka Pemikiran ....................................................................................
1 1 4 4 5 5
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... Tanaman Ubi Jalar ....................................................................................... Komposisi Kimia Ubi Jalar ......................................................................... Pati Ubi Jalar ................................................................................................ Gelatinisasi Pati ............................................................................................ Suhu Gelatinisasi .......................................................................................... Morfologi Granula Pati ................................................................................. Karakteristik Termal Gelatinisasi Pati .......................................................... Modifikasi Sifat Fisikokimia Pati ................................................................. Modifikasi Pati dengan HMT (Heat Moisture Treatment) ........................... Sifat Fungsional Pati Termodifikasi .............................................................. Beras Ubi (Rasbi) .......................................................................................... Reologi Adonan Rasbi .................................................................................. Proses Teksturisasi Rasbi .............................................................................. Sifat Fungsional Pangan ................................................................................ Serat Pangan .................................................................................................. Daya Cerna Pati in vitro ................................................................................ Indeks Glikemik Pangan ............................................................................... Karakteristik Hidratasi Bahan Pangan .......................................................... Sorpsi Isotermik Bahan Pangan .................................................................... Peta Stabilitas dan Ambang Hidratasi ........................................................... Umur Simpan dan Metode Analisisnya ........................................................ Pengemasan ..................................................................................................
6 6 7 8 9 11 11 13 14 15 18 18 20 21 21 23 24 25 26 27 28 29 30
BAHAN DAN METODE .................................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... Bahan dan Alat ............................................................................................. Metoda Penelitian ........................................................................................ Analisis Data ................................................................................................ Metode Analisis ............................................................................................
34 34 34 35 40 41
HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................. Persiapan Bahan Baku ................................................................................... Modifikasi Pati Dengan HMT ....................................................................... Proses Pembuatan Rasbi ................................................................................ Uji Stabilitas dan Penentuan Kemasan Rasbi ................................................
50 50 53 62 76
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 81 Kesimpulan .................................................................................................... 81 Saran .............................................................................................................. 81 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 82 LAMPIRAN .......................................................................................................... 88
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Tingkat produktivitas dan karakteristik fisik ubi jalar unggulan................ 7
2
Nutrisi ubi jalar putih dan ubi jalar merah dalam 100 g bahan................... 8
3
Komposisi gizi mineral ubi jalar rebus dibandingkan dengan nasi............
4
Profil pasta pati sagu selama gelatinisasi.................................................... 16
5
Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk beras
6
Pewarnaan tepung ubi jalar ........................................................................ 51
7
Komposisi proksimat tepung ubi jalar berdasarkan varietas……………..
8
Pangaruh suhu dan waktu pemanasan terhadap sifat amilografi pati ubi jalar dengan modifikasi HMT.................................................................... 53
9
Pewarnaan pati ubi jalar ............................................................................. 59
8
42
52
10 Komposisi kimia proksimat pati ubi jalar .................................................. 60 11 Analisis pewarnaan rasbi ………………………………………………...
63
12 Karakteristik tekstur rasbi .......................................................................... 64 13 Komposisi kimia proksimat rasbi ..............................................................
66
14 Waktu tanak dan KPAP rasbi ...................................................................
72
15 Hasil uji organoleptik rasbi matang ...........................................................
73
16 Hasil uji organoleptik rasbi mentah ...........................................................
73
17
Indeks glikemik rasbi terpilih..................................................................... 75
18 Kadar air kesetimbangan rasbi pada berbagai aw penyimpanan.................
77
19 Umur simpan rasbi dalam kemasan PP dan PE pada kelembaban relatif 84% ............................................................................................................ 80
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Ubi jalar lokal unggulan varietas Cangkuang ......................................
6
2
Perubahan morfologi granula pati selama pengolahan..........................
12
3
Beras mutiara berbasis ubi jalar.............................................................
19
4
Pola isotermik sorpsi air bahan pangan………………………………
27
5
Peta stabilitas bahan makanan sebagai fungsi dari faktor hidratasi…...
28
6
Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar...................................
35
7
Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar........................................
36
8
Diagram alir proses modifikasi pati dengan HMT……………………
37
9
Alat pembentuk butiran adonan.............................................................
38
10 Diagram alir proses pembuatan rasbi....................................................
38
11 Pati ubi jalar alami dan tepung ubi jalar.................................................
50
12 Persentase rendemen tepung ubi jalar berdasarkan varietas…………..
51
13 Termogram DSC pati alami dan modifikasi..........................................
55
14 SEM pati ubi jalar alami & modifikasi..................................................
57
15 SEM pati ubi jalar termodifikasi dengan kadar air 50% dan dengan kadar air 90%......................................................................................... 57 16 Sifat birefrigence pati alami dan pati modifikasi..................................
58
17 Pola maltose cross pati kentang alami dan pati kentang modifikasi HMT dengan kadar air 26% pada 130oC...............................................
58
18 Spektrum FTIR pati alami dan pati modifikasi.....................................
61
19 Rendemen rasbi yang dihasilkan berdasarkan perlakuan……………..
62
20 Daya serap air rasbi berdasarkan perlakuan…………………………..
65
21 Kadar serat pangan tak larut (SPTL) berdasarkan perlakuan………...
69
22 Kadar serat pangan larut (SPL) berdasarkan perlakuan........................
70
23 Daya cerna pati rasbi dari perlakuan yang diberikan………………….
70
24 Rasbi mentah dengan perlakuan terpilih dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi…………………………… 74 25 Rasbi matang dengan perlakuan terpilih dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi…………………………… 74 26 Perubahan kadar gula darah selama pengujian indeks glikemik produk 75 rasbi terpilih............................................................................... 27 Kurva sorpsi isotermik rasbi dengan perlakuan terpilih........................
77
28 Slope sorpsi isotermik rasbi dari tepung Cangkuang dan pati alami.....
79
29 Slope sorpsi isotermik rasbi dari tepung Cangkuang dan pati modifikasi……………………………………………………………… 79
xvi
DAFTAR LAMPIRAN 1
Halaman Analisis proksimat tepung dan pati ubi jalar ............................................. 92
2
Uji pewarnaan tepung dan pati ubi jalar ....................................................
95
3
Uji t berpasangan pewarnaan rasbi ...........................................................
97
4
Uji t berpasangan tekstur, daya serap air, waktu tanak dan KPAP rasbi ... 98
5
Uji t berpasangan SPTL, SPL, daya cerna pati dan IG rasbi .....................
99
6
Uji t berpasangan proksimat rasbi .............................................................
100
7
Kuesioner penilaian dan analisis sidik ragam organoleptik rasbi ............. 101
8
Formulir responden indeks glikemik dan tabel gula darah responden ......
108
9
Hasil analisis FTIR pati ubi jalar ...............................................................
110
10 Hasil analisis DSC pati ubi jalar ................................................................
112
11 Analisis finansial rasbi ............................................................................... 113
xvii
PENDAHULUAN
Latar Belakang Seiring meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, maka pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi yang seimbang merupakan momentum yang tepat untuk melakukan diversifikasi pangan pada menu harian. Pangan yang beragam menjadi penting mengingat tidak ada satu jenis pangan yang dapat menyediakan gizi yang lengkap bagi seseorang. Konsumsi pangan yang beragam meningkatkan kelengkapan asupan zat gizi karena kekurangan zat gizi dari satu jenis pangan akan dilengkapi dari pangan lainnya (Khomsan 2006). Aneka umbi seperti ubi jalar memiliki potensi yang baik untuk diolah dan dikembangkan sebagai makanan pokok yang penting dalam program diversifikasi pangan. Tanaman ubi jalar memiliki banyak keunggulan, antara lain 1) umbinya mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi sebagai sumber energi, 2) daun ubi jalar kaya akan vitamin A dan sumber protein, 3) dapat tumbuh di segala jenis tanah, 4) sebagai sumber pendapatan petani karena bisa dijual sewaktu-waktu (cash crops), dan 5) dapat disimpan dalam bentuk tepung dan pati. Data BPS menunjukkan konsumsi ubi jalar menurun dari 12.5 kg/kapita/tahun pada tahun 1983 menjadi 10.93 kg/kapita/tahun (1988) dan 9.74 kg/kapita/tahun (1990), bahkan FAO melaporkan tingkat konsumsi ubi jalar di Indonesia sebesar 7.9 kg/kapita/tahun (FAOSTAT
2005) Sebagian besar
produksi ubi jalar (89%) digunakan sebagai bahan pangan, sisanya untuk bahan baku industri, seperti saos, selai dan pakan ternak. Produksi ubi jalar di Indonesia meningkat dari 1.771.642 ton (tahun 2002) menjadi 1.840.248 ton (2005) dan 1.874.036 ton pada tahun tahun 2007 (BPS 2002-2007). Berdasarkan data ketersediaan tersebut, ubi jalar merupakan salah satu sumber karbohidrat yang berperan dalam mendukung ketahanan pangan (Widowati 2000). Pada tataran nasional, ketahanan pangan merupakan kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan dalam jumlah yang cukup, mutu yang layak, aman, dan juga halal, yang didasarkan pada optimasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya domestik (Anonim 2005).
2
Ubi jalar dipilih dalam penganekaragaman konsumsi pangan karena beberapa keunggulan, antara lain umurnya pendek (4-5 bulan) dibandingkan dengan ubi kayu (8-10 bulan), produksivitas tinggi (25-40 ton/ha) (Puslitbangtan 2004) dan nilai gizinya tinggi. Komoditas ini mengandung air 59-69%, abu 0,681.69%(bk), protein 3,71-6,74%(bk), lemak 0,26-1,42%(bk) dan karbohidrat 91,42-93,45%(bk)
(Astawan
dan
Widowati
2005).
Komposisi
tersebut
menunjukkan bahwa ubi jalar merupakan sumber karbohidrat atau energi yang sangat potensial dikembangkan untuk penganekaragaman konsumsi pangan. Ubi jalar kaya akan vitamin, dalam 100 gram ubi jalar mengandung vitamin A 607700 mg, vitamin B1 0,09 mg, vitamin B2 0,05 mg, vitamin B3 0,9 mg dan vitamin C 22 mg. Produk olahan ubi jalar yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari masih sangat sederhana, misalnya direbus, digoreng, dibuat kolak, keripik dan berbagai makanan tradisional. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebab menurunnya konsumsi ubi jalar per kapita. Untuk menganekaragamkan konsumsi pangan dan meningkatkan minat terhadap produk berbasis komoditas lokal telah dirintis penelitian pembuatan beras artifisial, yang selanjutnya disebut ‘rasbi’ (beras ubi) berasal dari ubi jalar dan ubi kayu (Herawati dan Widowati 2008). Bentuk rasbi seperti granula (butiran) dipilih karena dapat dikonsumsi seperti beras, teknologinya sederhana dan tidak menggunakan bahan baku impor. Produk ini dikembangkan dari proses pembuatan sagu mutiara (Samad 2003). Namun sagu mutiara dibuat dari pati sagu dan teksturnya sangat lengket. Untuk mengurangi tingkat kelengketan dilakukan dengan pemilihan bahan baku dan formulasi antara tepung dan pati. Hasil yang diperoleh diharapkan mempunyai tekstur yang tidak terlalu lengket dan menyerupai nasi. Teknologi produksi rasbi ini merupakan salah satu upaya diversifikasi vertikal berbasis tepung dan pati aneka umbi untuk mendukung program ketahanan pangan. Berdasarkan kandungan gizi rasbi yang dihasilkan serta prospek pengembangannya maka pada tahun 2008 penelitian dilajutkan khusus untuk rasbi dari ubi jalar. Hasil penelitian menunjukkan rasbi ubi jalar terpilih dari formulasi tepung : pati ubi jalar = 80 : 20. Namun demikian, sifat-sifat fisikokimia produk masih memerlukan perbaikan lebih lanjut mengingat karakteristik rasbi yang terbentuk
3
masih terlalu lekat seperti ketan bila dikukus dan bila direbus terlalu encer menyerupai bubur. Permasalahan tersebut diduga erat kaitannya dengan kemampuan rehidrasi pati selama proses gelatinisasi yang masih belum baik sehingga struktur molekul pati tersebut perlu dimodifikasi. Modifikasi pati akan dilakukan secara fisik, yaitu dengan heat moisture treatment (HMT). Metode HMT cenderung lebih dipilih karena dalam memodifikasi pati tidak melibatkan bahan kimia sehingga dari sudut pandang kesehatan lebih aman bagi tubuh. Modifikasi pati dengan HMT juga dapat memperkuat karakteristik fisik granula pati sehingga lebih tahan terhadap perlakuan panas, pengadukan maupun radiasi (Collado dan Corke di dalam Kaletunc dan Breslauer, 2003). Proses modifikasi pati dengan HMT menggunakan batasan kadar air yang rendah (< 35 %) dengan suhu proses yang lebih tinggi nilainya dari suhu gelatinisasi. Upaya meningkatkan preferensi konsumen dilakukan melalui perbaikan bentuk rasbi dari bentuk bulat mutiara dan tekstur agak rapuh menjadi bulat oval seperti butiran beras serta tekstur yang lebih kokoh. Untuk mendapatkan produk sesuai keinginan perlu dilakukan penyesuaian dalam pencetakan rasbi. Dalam aplikasinya, keragaman varietas ubi jalar akan bermanfaat dalam menentukan mutu produk akhir yang diinginkan. Jenis produk yang sama apabila bahan baku yang digunakan berbeda varietasnya, kemungkinan hasil akhirnya mempunyai sifat fungsional yang berbeda (Rimbawan dan Siagian 2004). Sifat tersebut dapat digunakan untuk merekayasa produk sesuai keinginan, baik untuk menghasilkan rasbi yang mempunyai sifat fungsional khusus untuk pengendalian penyakit degeneratif tertentu atau sebagai pangan pokok untuk masyarakat umum. Astawan dan Widowati (2005) telah mengevaluasi respon glikemik dari delapan varietas/klon ubi jalar. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang nyata antar varietas, klon BB00105.10 mempunyai respon glikemik terendah dan varietas Ungu respon glikemiknya tertinggi. Pangan dengan indeks glikemik rendah sangat bermanfaat dalam pengelolaan diet bagi penderita diabetes melitus serta dapat membantu mengatasi obesitas (Jenkins, et. al., 2002).
4
Perumusan Masalah Beras merupakan salah satu jenis pangan yang menempati posisi paling strategis diantara pangan lainnya, namun pada beberapa wilayah tertentu khususnya di Indonesia bagian timur ketersediaan beras masih belum mencukupi. Hal ini dapat memicu terjadinya kerawanan pangan yang berimbas pada menurunnya taraf kesehatan masyarakat. Oleh karenanya perlu dilakukan usaha penganekaragaman pangan lokal, salah satunya melalui pembuatan pangan alternatif berbasis aneka ubi dalam bentuk beras ubi (rasbi). Salah satu bahan pertimbangan adalah kontribusi serealia, terutama beras, dalam menu makan masyarakat Indonesia mencapai 62% (Dahuri 2007). Porsi ini terlampau tinggi. Dalam pola pangan harapan, porsi konsumsi serealia maksimum adalah 51% (Widyakarya Pangan dan Gizi 2004). Rasbi diharapkan dapat menjadi solusi keterbatasan penyediaan beras. Produk ini dibuat dari ubi jalar tanpa penambahan terigu. Bentuk butiran seperti beras dipilih karena teknologinya tidak rumit dan mudah diaplikasikan. Eksplorasi rasbi yang dikaji dari berbagai segi, yaitu : fisik, kimia serta organoleptik diharapkan mampu menghasilkan produk dapat diterima oleh masyarakat dan memiliki umur simpan yang lama. Rekayasa teknologi pengolahan ini diharapkan
menghasilkan produk
pangan yang dapat menunjang upaya diversifikasi konsumsi pangan dan memberikan kontribusi dalam upaya menuju ketahanan pangan nasional, terutama untuk daerah rawan pangan dan lokasi bencana. Sifat karbohidrat ubi jalar yang kaya akan serat pangan dan respon glikemik yang relatif rendah dibandingkan dengan beras secara umum (Astawan dan Widowati 2005, Widowati et al. 2007) maka produk rasbi dan mi, dengan pemilihan varietas yang tepat juga dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional diharapkan membantu mengatasi penyakit diabetes melitus dan obesitas. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memperbaiki karakteristik mutu fisik dan sifat fungsional rasbi melalui proses modifikasi pati, menentukan perlakuan terpilih dalam pembuatan
rasbi
ditinjau
dari
aspek
penerimaan
produk
serta
memperkirakan umur simpan rasbi berdasarkan metode isotermik sorpsi air.
5
Produk yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan merupakan produk yang berkualitas yang dapat diterima oleh masyarakat serta menyempurnakan mutu produk dalam rangka penganekaragaman komoditi pangan lokal. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah proses modifikasi pati dengan HMT dapat memperbaiki karakteristik mutu fisik dan sifat fungsional rasbi sehingga diperoleh rasbi yang berkualitas baik dari segi fisik, kimia, organoleptik serta memiliki umur simpan yang lama. Kerangka Pemikiran Indonesia sebagai negara yang berkembang memerlukan persediaan bahan pangan yang cukup. Namun dalam kenyataannya, masyarakat masih mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, terutama pangan pokok. Bila dikaji lebih mendalam, Indonesia sebenarnya memiliki aneka bahan pangan lokal yang bila dikembangkan lebih lanjut berpotensi menjadi salah satu bahan pangan pokok. Salah satu jenis bahan pangan lokal yang sedang dikembangkan saat ini adalah ubi jalar. Melalui program diversifikasi pangan, ubi jalar dapat dikembangkan menjadi produk pangan yang dapat diterima oleh masyarakat, salah satunya adalah beras ubi (rasbi). Rasbi dipilih karena merupakan jenis produk pangan pokok, sehingga diharapkan produk ini dapat diterima dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Indonesia untuk berbagai usia dan strata sosial masyarakat yang berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Ubi Jalar Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu bahan pangan aneka ubi yang tumbuh dengan baik di wilayah tropis, terlebih pada kondisi di mana kandungan hara dalam tanah rendah dan mampu bertahan hidup terhadap bahaya kekeringan (Burrell, 2003). Indonesia merupakan salah satu center of origin ubi jalar mempunyai plasma nutfah yang tersebar di hampir semua daerah di Indonesia (Sutoro & Minantyorini, 2003). Tanaman ubi jalar ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ubi jalar lokal unggulan varietas Cangkuang (Herawati & Widowati 2007) Dengan menggunakan bibit tanaman yang bebas penyakit, maka tingkat produktivitas ubi jalar dapat mencapai hasil yang optimum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2001) melaporkan adanya 12 varietas ubi jalar dengan tingkat produktivitas yang cukup tinggi, yaitu : Daya, Prambanan, Borobudur, Mendut, Kalasan, Cangkuang, Sewu, Sari, Kidal, Sukuh, Jago dan Boko (Tabel 1). Dua belas varietas ubi jalar tersebut selain memiliki keunggulan dari segi produktivitasnya juga tahan terhadap Elsinoe batatas yang umumnya menyerang kulit ubi jalar.
7
Tabel 1. Tingkat produktivitas dan karakteristik fisik ubi jalar unggulan Varietas Daya Prambanan Borobudur Mendut Kalasan Cangkuang Sewu Sari Kidal Sukuh Jago Boko Naruto
Produktivitas (t/ha) 28 32 27 35 38 30 28-50 30-35 25-30 25-30 25-30 25-30 25-30
Kulit
Warna ubi Daging
Kuning Kuning Merah muda Merah muda Merah Merah tua Kuning kecoklatan Merah Merah Kuning Putih Merah Kuning
Kuning Orange Orange Kuning muda Kuning Kuning muda Orange Kuning tua Kuning tua Putih Kuning muda Krem Krem
Rasa/ Tekstur Manis/berair Manis/berair Manis/berair Manis sedang/berair Manis/berair Manis Manis Manis Manis Manis/kering Manis/kering Manis Manis/kering
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2001) Varietas ubi jalar dengan tekstur kering dan rasa manis sedang lebih disukai konsumen dibandingkan varietas lainnya dengan tekstur berair (Zuraida, 2005). Namun varietas ubi jalar dengan tingkat produktivitas yang tinggi berpotensi untuk dimanfaatkan lebih jauh untuk keperluan industri, salah satunya sebagai ingradient dalam pembuatan saos. Di negara industri maju seperti Jepang, Taiwan, dan RRC, ubi jalar diolah menjadi tepung dan pati. Kadar pati dan gula pereduksi ubi jalar adalah 8-29% dan 0,5-2,5%. Karena kandungan pati dan gula pereduksi cukup tinggi, maka ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup (Kay 1973). Sedangkan menurut Winarno (1982) kira-kira setengah dari produksi ubi jalar di Jepang digunakan untuk pembuatan pati yang dimanfaatkan oleh industri tekstil kosmetik, kertas, dan sirup glukosa. Di Cina, ubi jalar diolah menjadi tepung yang banyak dimanfaatkan untuk industri makanan. Komposisi Kimia Ubi Jalar Ubi jalar merupakan salah satu jenis makanan yang mampu menunjang program perbaikan gizi masyarakat. Nilai kalori yang terkandung dalam ubi jalar cukup tinggi, yaitu 123 kalori/100 gram. Ditinjau dari komposisi kimianya, ubi jalar memiliki potensi yang baik sebagai bahan pangan sumber karbohidrat, mineral, dan vitamin (Setyono et al. 1993). Secara umum komposisi zat gizi yang terkandung pada ubi jalar disajikan dalam Tabel 2.
8
Tabel 2. Nutrisi ubi jalar putih dan ubi jalar merah dalam 100 g bahan Komponen % Air Abu Pati Protein Gula Serat Kasar Sumber : Margono et al. (1993)
Jenis ubi jalar Merah Putih 79,59 64,66 0,92 0,98 17,06 28,19 1,19 2,07 0,43 0,38 5,24 2,38
Selain itu, ubi jalar rebus merupakan sumber pangan dengan kandungan gizi mikro yang cukup baik bila dibandingkan dengan nasi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi gizi mineral ubi jalar rebus dibandingkan dengan nasi. Mineral Ubi jalar rebus (mg/100 g) 0,09 Thiamin 0,06 Riboflavin 0,6 Niacin 243 K 47 P 0,7 Fe 32 Ca Sumber : Horton et al. (1989)
Nasi (mg/100 g) 0,02 0,01 0,04 28 28 0,2 10
Menurut Onwueme (1978), daun muda ubi jalar mempunyai kandungan nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan umbinya. Dalam 100 g daun ubi jalar mengandung β-karoten, riboflavin, ascorbic acid, Ca, Fe, Cu, dan oxalat masingmasing sebesar 3,0, 1-7, 0,35, 55 (20-136), 183, 3,0, 0,5 dan 0,37 mg (Woolfe 1989). Pati Ubi Jalar Pati ubi jalar memiliki nilai yang strategis untuk dikembangkan secara komersial dalam industri pangan. Pada umumnya granula pati ubi jalar berbentuk bulat melingkar dengan salah satu sisi permukaannya tampak rata dengan lubang yang mengerucut kemudian berkembang menjadi hilum yang memiliki pola keseragaman letak yang eccentric. Di bawah cahaya terpolarisasi, penampang granula pati dapat teramati dengan baik dengan ukuran yang bervariasi antara 5 –
9
40 μm. Adanya keragaman bentuk dan ukuran granula pati berkaitan erat dengan keragaman varietas dan masa tanam ubi jalar selama satu tahun masa tanam. Secara umum, pati ubi jalar tersusun oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan material antara seperti protein dan lemak. Kandungan amilosa dalam pati ubi jalar hampir sama dengan jenis pati lainnya, yaitu mencapai 15 – 25 % (Eliasson 2004). Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa. Amilosa dikatakan sebagai bagian linier dari pati, meskipun sebenarnya jika amilosa dihidrolisis dengan enzim α-amilase pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna (Banks 1975). Suatu karakteristik unik dari molekul amilosa dalam suatu larutan adalah kecenderungannya membentuk struktur berbentuk coil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu bergerak melingkar (Muchtadi 1988). Sementara itu amilopektin sebagaimana amilosa juga memiliki ikatan α(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan α-(1,6) pada titik percabangannya. Hodge dan Osman (1976) melaporkan bahwa jumlah ikatan percabangan tersebut dapat mencapai 4 – 5 % dari keseluruhan ikatan yang ada amilopektin. Banks (1975) melaporkan bahwa amilopektin berperan penting dalam pembentukan sifat-sifat kristal dari granula pati. Hal ini dibuktikan melalui pemeriksaan dengan menggunakan polarizing microscope yang memperlihatkan adanya pola birefringence pada pati dengan kandungan amilopektin yang tinggi, sedangkan pati dengan kandungan amilosa yang tinggi sering tidak menampakkan pola tersebut. Struktur molekul amilopektin dapat dipisahkan dari amilosa dengan cara melarutkannya dalam air panas di bawah suhu gelatinisasi, dimana fraksi yang larut dalam air panas adalah amilosa dan fraksi yang tidak larut adalah amilopektin. Gelatinisasi Pati Bila bahan pangan pati-patian diberikan perlakuan termal maka akan mengakibatkan pati mengalami gelatinisasi. Proses gelatinisasi pati didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana granula pati mengalami pembengkakan yang luar biasa akibat adanya perlakuan termal dan bersifat irreversible (tidak dapat balik seperti kondisi semula). Suhu saat granula pati mulai pecah akibat penambahan
10
sejumlah air panas dikenal dengan suhu gelatinisasi (Winarno 1984 di dalam Lopulalan 2008). Pada saat gelatinisasi berlangsung, maka akan timbul beberapa perubahan pada sifat fisikokimia pati tersebut. Saat tercapai suhu gelatinisasi, suspensi pati yang pada mulanya keruh seperti susu mulai berubah menjadi jernih. Selanjutnya translusi larutan pati tersebut diikuti pembengkakan granula akibat masuknya air ke dalam granula pati. Hal ini terjadi karena energi kinetik molekul air lebih kuat dibandingkan daya tarik-menarik antar molekul pati (Winarno 1984). Terjadinya pembengkakan granula, diikuti oleh keluarnya molekul amilosa dan amilopektin dari granula. Amilosa kemudian juga mengalami hidrasi berat. Suspensi pati lalu mengalami peningkatan kejernihan dan viskositasnya terus meningkat hingga mencapai nilai puncak dimana hidrasi granula pati mencapai maksimum. Apabila pemanasan dilanjutkan maka granula menjadi rapuh, mudah pecah dan terpotong-potong menjadi molekul polimer maupun turunannya (dikenal dengan istilah sol) serta viskositasnya menjadi berkurang nilainya. Sol yang terbentuk bersifat lengket dan teksturnya liat. Sol tersebut menjadi berkurang kebeningannya dan bertambah viskositasnya hingga membentuk gel kembali manakala mengalami proses pendinginan. Wuzburg (1989) melaporkan pemanasan campuran granula pati dan air di atas suhu kritis mengakibatkan melemahnya ikatan hidrogen pada struktur granula pati sehingga menurunkan integritas kekuatan struktur granula, hal ini diikuti dengan masuknya molekul air sehingga terjadi hidrasi terhadap molekul amilosa dan amilopektin. Proses gelatinisasi dipengaruhi oleh kuantita air (rasio pati dan air) yang tersedia. Wirakartakusumah (1984) menyatakan bahwa rasio tersebut berpengaruh terhadap kebutuhan panas untuk proses gelatinisasi tersebut. Besarnya suhu gelatinisasi pati bersifat spesifik dan nilainya merupakan suatu kisaran. Hal ini disebabkan populasi granula bervariasi tergantung dari ukuran, bentuk dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Hariyadi (1984) melaporkan kisaran suhu gelatinisasi pati sagu adalah 64,3-82,3 oC dengan suhu puncak pada 74,6 oC. Proses gelatinisasi juga mengakibatkan granula pati menjadi rentan terhadap bahan kimia, tenaga mekanis dan kerja enzim serta mampu menyerap air secara berlebih. Pada pemasakan bahan pangan berbasis pati akan mengakibatkan
11
terjadinya gelatinisasi pati. Vierra (1979) menyatakan pemasakan terbentuknya produk dengan sifat lebih mudah menyerap dan mengembang dalam air dingin. Dengan demikian studi untuk mengetahui dan memahami pola gelatinisasi suatu jenis pati menjadi penting dalam penentuan pemilihan bahan baku yang akan digunakan dalam proses pengolahan pangan selanjutnya. Suhu Gelatinisasi Suhu gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati pecah dan sifat birefringence mulai menghilang. Suhu gelatinisasi nilainya berbeda untuk setiap pati sehingga merupakan karakter yang khas pada masing-masing pati. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan berdasarkan sifat amilografi dengan Brabender Amilograph maupun karakteristik transisi hidrotermal pati dengan Differential Scanning Calorymetry (DSC) (Be Miller et al. 1995 di dalam Lopulalan 2008). Parameter visual juga dapat digunakan untuk menentukan suhu gelatinisasi pati baik melalui pengamatan dengan mikroskop elektron yang didasarkan pada perubahan morfologi granula pati maupun dengan mikroskop terpolarisasi untuk mengetahui hilangnya sifat birefringence. Faktor yang mempengaruhi besarnya suhu gelatinisasi pati adalah konsentrasi gula dalam bahan pangan, baik dalam bentuk sukrosa, glukosa atau fruktosa. Bila konsentrasi gula semakin meningkat maka suhu gelatinisasi akan semakin tinggi nilainya. Kadar amilosa dan ukuran granula pati juga berperan penting dalam penentuan suhu gelatinisasi pati, dengan semakin tinggi kadar amilosa dan ukuran granula pati maka akan meningkatkan suhu gelatinisasi pati tersebut (Zobel 1984).
Morfologi Granula Pati Morfologi granula pati merupakan salah satu sifat fisik pati yang mencerminkan adanya perubahan bentuk granula ketika berlangsung proses gelatinisasi. Perubahan tersebut dapat diketahui berdasarkan pengamatan dengan menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM). Penggunaan teknik ini bermanfaat
untuk
mengetahui
tingkat
integritas
granula
pati
selama
berlangsungnya proses gelatinisasi (Zobel 1984 di dalam Rumpold 2005). Daya integritas tersebut dapat dicerminkan dengan ada tidaknya granula pati yang
12
mengalami kerusakan, baik bentuk maupun ukurannya sehingga mempengaruhi sifat viskoelastik pati tersebut. Eliasson (2004) melaporkan perubahan viskositas yang teramati dari sifat amilografi pasta pati terkait langsung dengan perubahan morfologi granula pati, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gelatinisasi
Retrogradasi
Gambar 2. Perubahan morfologi granula pati selama pengolahan (Eliasson, 2004) Pada tahap pemanasan awal terjadi hidrasi secara molekuler ke dalam granula pati, namun peristiwa ini belum diikuti dengan adanya perubahan viskositas larutan pati. Peristiwa hidrasi molekuler ini menyebabkan adanya perubahan mikrostruktur granula pati dimana integritas ikatan antar molekul amilosa dengan amilopektin mulai mengalami perenggangan. Perengangan tersebut timbul akibat adanya sebagian, baik molekul amilosa maupun amilopektin yang keluar dari granula pati akibat kuatnya desakan molekul air yang masuk ke dalam granula pati. Ketika tahap awal gelatinisasi tercapai, maka granula pati akan kehilangan sifat maltose cross atau birefringence yang teramati di bawah cahaya terpolarisasi. Pada tahap ini, pola hidrasi maupun swelling (pembengkakan pati) masih bersifat reversible yang ditunjukkan dengan adanya interaksi antar molekuler dalam granula pati yang berusaha kembali ke keadaan awal ketika didinginkan maupun dikeringkan pada waktu yang sama. Namun ketika tahap gelatinisasi puncak tercapai, maka viskositas pasta pati akan mengalami peningkatan yang drastis, sehingga granula pati mengalami pembengkakan yang luar biasa dan bila pemanasan dilanjutkan mengakibatkan pecahnya granula sehingga viskositasnya menurun. Pada tahap tersebut perubahan struktur molekul granula pati bersifat irreversible. Selanjutnya Eliasson (2004) juga menyatakan pada persitiwa pendinginan, retrogradasi maupun saat pembentukan gel pati-patian berbasis serealia pada
13
umumnya berlangsung cepat dan stabil akibat adanya penggabungan kembali molekul amilosa ke dalam granula pati. Rendahnya kadar amilosa yang ditemukan pada pati jagung, tapioka maupun kentang adalah alasan penting mengapa tidak terbentuk gel melainkan hanya berupa koloid yang berisi amilopektin yang terdispersi dalam pasta pati pada saat yang sama. Pada umumnya pati kentang mengalami pembengkakan yang luar biasa pada suhu rendah, akibat adanya granula pati yang berukuran besar. Hal tersebut terkait dengan adanya gugus fosfat yang mempengaruhi kekuatan gaya tolak molekuler pati sehingga melemahkan kekuatan internal granula dan pada akhirnya mengakibatkan rusaknya granula pati tersebut. Gugus fosfat juga menyebabkan granula pati menjadi rentan terhadap pengaruh basa kuat ataupun asam kuat. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pati alami mudah sekali mengalami kerusakan ketika diberi perlakuan asam, basa ataupun over cooking. Karakteristik Termal Gelatinisasi Pati Proses gelatinisasi pati yang ditandai dengan terjadinya hidrasi berat maupun pembengkakan granula secara luar biasa, dapat mengakibatkan rusaknya susunan molekuler dalam granula serta terjadinya pelarutan molekul pati. Beberapa peneliti menafsirkan kejadian tersebut sebagai gejala terjadinya pelelehan kristal pati (Atwell et al. 1988 di dalam Rumpold 2005). Proses tersebut dapat dikonfirmasi kebenarannya melalui serangkaian uji terhadap karakteristik transisi termal gelatinisasi menggunakan DSC. Svensson & Eliasson (1995) telah menguji karakteristik termal gelatinisasi pati kentang dan gandum dengan kadar air terbatas dan menemukan bukti adanya dua fase penting yang terjadi selama proses gelatinisasi berlangsung, yakni : 1.) hidrasi fase amorphous granula pati yang diikuti dengan berkurangnya komposisi fase kristalit pati dan 2.) pelelehan kristal pati yang berujung pada hilangnya seluruh fase kristalit dalam granula pati. Karakteristik transisi termal gelatinisasi pati pada dasarnya dapat diamati dari tiga parameter suhu, yaitu : 1.) onset temperature, 2.) peak temperature dan 3.) conclusion atau offset temperature. Analisis termal gelatinisasi dengan DSC dilakukan untuk mengevaluasi karakteristik termal bahan pangan dan sampel standar ketika diberikan sejumlah beban panas yang telah ditentukan nilainya sebagai fungsi suhu dan waktu serta panas (entalpi reaksi) yang dilepas atau
14
diserap oleh sampel berdasarkan luasan kurva DSC yang terbentuk sebelumnya (Rumpold 2005). Pengukuran derajat gelatinisasi pati dengan DSC juga perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh entalpi reaksi terhadap pelelehan kristal pati (Hemminger & Cammenga 1989). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fukuoka et al. (2002) menyebutkan terdapat tiga puncak kurva endotermik yang terbaca dari hasil termogram DSC pada sistem pati dengan air yang berlebih. Puncak pertama mencerminkan adanya ketidakteraturan struktur molekul uap air yang terikat pada kristalit pati. Sementara puncak kedua merefleksikan adanya pelelehan kristalit pati yang tersisa yang teramati pada pati dengan kadar air yang terbatas. Sedangkan puncak ketiga menujukkan kondisi transisi yang terjadi pada kompleks amilosa-lipida dalam granula pati. Lebih lanjut Fukuoka et al. (2002) menyatakan hanya puncak pertama dan kedua yang terkait langsung dengan gelatinisasi pati. Stute (1992) menyebutkan kemiringan kurva DSC bersifat spesifik dan terkait langsung dengan pemberian perlakuan hidrotermal pada pati. Sedangkan faktor penting yang berpengaruh terhadap ketajaman kemiringan kurva adalah tingginya kadar air pati dan adanya fase amorphous dalam granula pati. Selanjutnya Collado & Corke (1999) melaporkan pelebaran kurva DSC berkaitan dengan meningkatnya komposisi granula pati yang berubah dari fase amorphous menjadi fase kristalit. Oleh karenanya profil endotermik pada kurva DSC mencerminkan stabilitas internal granula, keragaman ukuran granula dan tingkat kesempurnaan fase kristalit granula pati (Zobel 1988). Perlakuan hidrotermal terhadap pati alami dapat merubah komposisi granula berfase amorphous menjadi kristalit sehingga dapat memperbaiki karakteristik transisi termal pati yang dicirikan dengan adanya kisaran suhu gelatinisasi yang lebih besar dan terjadinya pelebaran kurva DSC (Hoover & Vasanthan 1994).
Modifikasi Sifat Fisikokimia Pati Setiap jenis pati-patian memiliki karakteristik tertentu yang unik. Keragaman karakter tersebut didasari oleh sifat alami granula pati. Upaya untuk memodifikasi pati umumnya ditujukan untuk memperbaiki kelemahan karakter
15
granula pati tersebut sehingga diharapkan dapat diperoleh granula pati yang lebih tahan terhadap berbagai perlakuan pada tahapan pengolahan selanjutnya. Pada dasarnya ada lima alasan utama mengapa perlu dilakukan tahap modifikasi pati, yaitu : 1.) memodifikasi karakteristik pati selama pemasakan, 2.) menurunkan kecenderungan terjadinya retrogradasi selama tahap pengolahan, 3.) meningkatkan kestabilan pasta pati, 4.) menurunkan kecenderungan terjadinya sineresis pasta atau gel pati, 5.) memperbaiki kejernihan pasta atau gel pati, 6.) memperbaiki tekstur pasta atau gel pati, 7.) memperbaiki kemampuan untuk membentuk lapisan film, 8.) memperbaiki daya adhesi dan 9.) menambah gugus hidrofobik untuk stabilisasi emulsi (Miller 1997). Secara teknis, upaya modifikasi sifat fungsional pati yang selama ini sudah berhasil dilakukan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : 1. Modifikasi secara kimia yang meliputi : derivatisasi (subsitusi monostarch dan teknik
ikatan
silang),
hidrolisis
asam
(depolimerisasi),
dekstrinisasi
(depolimerisasi dan transglikosilasi), oksidasi (bleaching dan depolimerisasi) dan hidrolisis untuk membentuk maltodekstrin, glukosa dan sirup. 2. Modifikasi secara fisik yang dapat dilakukan melalui proses gelatinisasi (untuk menghasilkan pati yang mengalami pra-gelatinisasi) dan proses preparasi dalam air dingin untuk memperbaiki daya kembang pati. 3. Modifikasi secara genetika untuk menghasilkan pati dengan keunggulan tertentu, seperti : waxy maize starch dan high-amylose maize strch . Upaya modifikasi sifat fungsional pati tersebut pada umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan optimalisasi hasil yang diharapkan dengan besarnya biaya yang harus disiapkan untuk melakukan tahapan modifikasi pati tersebut.
Modifikasi Pati dengan HMT (Heat Moisture Treatment) Modifikasi pati pada umumnya ditujukan untuk memperbaiki berbagai macam sifat kelemahan pati alami yang sering dihadapi dalam tahap pengolahan pangan. Pada umumnya pati berbasis umbi-umbian bersifat labil terhadap pengaruh gaya pengadukan, suhu tinggi ataupun dalam kondisi asam. Pada pati umbi jalar, kelemahan utama yang tampak adalah tingginya nilai viskositas breakdown selama gelatinisasi berlangsung yang berarti viskositas pati tersebut
16
cenderung mudah berubah nilainya selama tahap holding pada saat pemanasan. Kecenderungan ini memicu terjadinya ketidakstabilan profil viskositas pasta pati selama proses gelatinisasi. Tingginya nilai viskositas breakdown tidak diharapkan terjadi selama tahap pengolahan karena adanya kekentalan yang tidak merata serta menyebabkan pasta pati menjadi sangat lengket ketika diaduk (Eliasson 2004). Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan perlakuan modifikasi pati secara fisik dengan heat moisture treatment (HMT). Stute (1992) mendefinisikan HMT sebagai proses modifikasi fisik dengan perlakuan hidrotermal pada kondisi proses di atas suhu gelatinisasi pati (80-120 oC) dan kadar air yang terbatas (< 35%). Pemilihan proses modifikasi pati secara fisik didasarkan pada pertimbangan bahwa proses modifikasi pati tersebut berlangsung secara alami dan lebih aman bagi kesehatan tubuh manusia bila dibandingkan dengan proses modifikasi pati secara kimia. Collado (1999) melaporkan perlakuan modifikasi pati dengan HMT mampu memperbaiki karakteristik fisik pati alami yang ditandai dengan peningkatan kisaran suhu gelatinisasi, perubahan karakteristik termal pati (pelebaran atau penyempitan kurva DSC endotermik) serta perbaikan kemampuan pengembangan volume granula pati serta kelarutan pasta pati. Hal ini berimplikasi langsung terhadap perbaikan sifat fungsional pati (daya cerna pati, kadar pati resisten maupun kadar serat pangan). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwani et al. (2006) menunjukkan adanya perubahan profil pasta pati keempat varietas sagu dari tipe A menjadi tipe B akibat adanya perlakuan dengan HMT. Tabel 4. Profil pasta pati sagu selama gelatinisasi Sifat Pati
1
Suhu gelatinisasi (oC) Suhu puncak (oC) Viskositas puncak (BU) Viskositas pada 93 oC (BU) Viskositas pada 93/20 (BU) Viskositas pada 50 oC (BU) Viskositas pada 50/20 (BU) Viskositas breakdown (BU) Viskositas setback (BU) Tipe1
Pancasan 71,25 81 1100 1000 650 1340 1280 450 690 A
Non – HMT Ihur Tuni 72 66 85,5 84,75 990 1230 650 840 350 520 710 1020 710 950 640 710 360 500 A A
Molat 71,25 87 890 720 350 690 680 540 340 A
Pancasan 72,75 80,25 1000 990 860 1450 2230 140 590 B
Menurut Schoch and Maywald (1968) di dalam Chen 2003 (Sumber : Purwani et al. 2006)
HMT Ihur Tuni 71,25 72 78,75 82,5 1370 1470 1170 1470 1090 1390 1880 2390 1680 2040 280 80 790 1000 B B
Molat 72,75 83,25 1240 1160 1160 2000 1680 80 840 B
17
Perubahan ini berkaitan dengan peningkatan kekuatan granula pati seperti yang dilaporkan oleh Stute (1992) yang menyatakan bahwa kekuatan internal granula pati kentang yang dimodifikasi dengan HMT mengalami peningkatan dengan ditunjukkan oleh adanya pola diffraksi sinar X yang berbeda dengan pati kentang alami. Data yang diperoleh dari Tabel 4 menujukkan bahwa perlakuan dengan HMT secara nyata dapat merubah profil pasta pati sagu dari tipe A menjadi tipe B. Adanya perubahan suhu gelatinisasi, suhu puncak dan viskositas puncak pada pati dengan perlakuan HMT mengindikasikan adanya perbaikan kekuatan internal dan kapasitas rehidrasi granula pati sehingga tetap stabil selama berlangsungnya proses pemanasan. Hasil penelitian ini sesuai dengan temuan yang dilaporkan oleh Ahmad et al. (1999) menunjukkan HMT mampu memperbaiki kestabilan pasta pati sagu selama tahap pemanasan pada saat pengolahan mi. Beberapa jenis pati yang diamati dalam percobaan tersebut menunjukkan bahwa pati yang dimodifikasi dengan perlakuan HMT tidak mengalami perubahan terhadap tingkat konsistensi pasta pati artinya bahwa pati tersebut cukup stabil bila diolah pada suhu yang tinggi. Hasil penelitian lainnya yang dilaporkan oleh Shih et al. (2007) menunjukkan adanya puncak kurva DSC yang jumlahnya lebih dari satu dan lebih landai pada pati beras yang dimodifikasi dengan HMT, hal ini menunjukkan adanya proses penyusunan kembali fase kristalit pati dalam matriks amorphouskristalin molekul pati sehingga menyebabkan struktur internal granula menjadi semakin stabil terhadap perlakuan suhu tinggi yang ditandai dengan peningkatan suhu gelatinisasi pati dan bentuk kurva DSC yang lebih lebar dibandingkan pada pati beras alami. Sementara pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Collado et al. (2001) menyebutkan pati ubi jalar yang dimodifikasi dengan HMT, selain mengalami perbaikan karakteristik transisi termal gelatinisasi, ternyata mampu memperbaiki sifat fisik pati yang ditunjukkan dengan berkurangnya daya pembengkakan volume granula pati, berkurangnya kadar amilosa yang mengalami leaching (hilang saat gelatinisasi berlangsung) serta peningkatan daya serap air sehingga memudahkan aplikasi pengolahan pati selanjutnya, khsususnya ketika
18
diberikan perlakuan hidrotermal maka diharapkan volume granula pati akan mengalami pengembangan namun tidak mudah pecah.
Sifat Fungsional Pati Termodifikasi Pati termodifikasi fisik dengan HMT memiliki sifat fisikokimia yang lebih baik dibandingkan pati alami. Perbaikan sifat fisikokimia tersebut memberikan perubahan terhadap sifat fungsional pati, diantaranya adalah menurunnya daya cerna pati, peningkatan kadar serat dan peningkatan daya serap air. Dengan demikian pati termodifikasi berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pangan fungsional karena memiliki manfaat yang baik bagi kesehatan tubuh, khususnya dalam pengendalian kadar gula darah bagi penderita diabetes melitus (DM) maupun penurunan kadar lemak dalam darah (kolesterol) bagi penderita hyperlipidemia (Shin et al. 2005). Salah satu produk yang berhasil dikembangkan dari pemanfaatan pati termodifikasi fisik adalah slowly digestable starch (SDS) atau pati lambat cerna. Produk tersebut belum tersedia secara komersial, namun penelitian terhadap karakter struktur molekul maupun studi kemungkinan pengembangan proses produksinya telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Guraya et al. (2001) berhasil mengembangkan produk SDS dari pati beras yang dihilangkan rantai cabangnya (±10%) melalui mekanisme enzimatis dan pendinginan pada 1 oC. Sementara pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Jacobs et al. (1998) menunjukkan adanya penghambatan aktivitas enzim α-amilase pada pati termodifikasi fisik terkait dengan perubahan pola kristalografik pati yang mengakibatkan berubahnya molekul amilosa berfase amorphous menjadi bentuk kristalin. Sedangkan penelitian lainnya yang dilakukan oleh Piacquadio et al. (2000) menyebutkan pati termodifikasi fisik membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dicerna secara in vitro pada kondisi di bawah suhu gelatinisasi, akibat adanya perubahan struktur internal granula pati menjadi lebih rigid dan kuat. Beras Ubi (Rasbi) Rasbi merupakan jenis produk beras artifisial yang berbasis umbi-umbian. Rasbi berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu produk pangan pokok lokal mengingat kandungan gizinya yang cukup baik bagi kesehatan tubuh. Saat
19
ini rasbi belum tersedia secara komersial, namun penelitian awal mengenai potensi pengembangan proses pengolahan rasbi telah dirintis sebelumnya. Herawati & Widowati (2007) melaporkan beras tiruan berbasis tepung dan pati ubi jalar (80:20) merupakan beras artifisial berbentuk mutiara yang terpilih berdasarkan hasil uji organoleptik, jumlah tepung yang digunakan dalam formula dan rendemen yang dihasilkan (Gambar 3).
Gambar 3. Beras mutiara berbasis ubi jalar (Herawati & Widowati, 2008) Beras artifisial ini dibuat berdasarkan proses granula ubi jalar tanpa penambahan terigu. Teknologi yang digunakan cukup sederhana, murah dan mudah diaplikasikan karena mengadopsi dari teknologi produksi sagu mutiara yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat. Produk yang dihasilkan bersifat kering, awet dan mudah didistribusikan serta dapat dikonsumsi secara cepat, sebagai produk siap santap. Namun masih terdapat kelemahan-kelemahan mendasar yang ditemukan saat pemasakan beras artifisial tersebut tekait dengan sifat fisikokimia pati, yakni teksturnya yang sangat lengket (Samad 2003). Hal lainnya yang masih menjadi kendala dalam aspek penerimaan produk adalah bentuk dan warna produk mentah yang sangat berbeda dengan beras pada umumnya sehingga dapat mempengaruhi psikologis konsumen dalam menentukan pilihannya terhadap beras artifisial tersebut. Oleh karenanya perlu dilakukan modifikasi pati untuk memperbaiki sifat fisikokimia maupun sifat fungsional pati serta perubahan bentuk butiran mutiara menjadi butiran panjang menyerupai beras dengan tekstur yang lebih kokoh (Widowati et al. 2008).
20
Reologi Adonan Rasbi Reologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari fenomena deformasi dan aliran suatu materi. Selama dalam tahap pengolahan, bahan pangan mengalami perubahan struktur dan perilaku sehingga mempengaruhi sifat akhir produk yang dihasilkan (Kaletunc & Breslauer 2003). Perubahan reologi yang pertama kali terjadi dipelajari dalam tahap formulasi adonan rasbi. Mula-mula terjadi pencampuran pati, tepung dan air yang ditandai dengan adanya suspensi dalam adonan. Hal ini menyebabkan pola geometrik aliran bahan berubah menjadi kompleks sehingga gaya geser maupun deformasi elongasi yang terjadi dalam adonan memiliki orientasi yang saling berlawanan (Vergness et al. 2001 di dalam Kaletunc & Breslauer 2003). Dalam pembuatan adonan rasbi terdapat tiga fase penting yang mempengaruhi perubahan reologi bahan, yaitu : 1.) penyerapan molekul air ke dalam campuran partikel tepung dan pati, dimana penyerapan air pada permukaan partikel mengakibatkan intensitas gaya adhesi pada permukaan partikel menjadi semakin kuat, 2.) pembengkakan granula pati akibat masuknya molekul air ke dalam granula yang diikuti oleh semakin terdesaknya sebagian molekul amilosa dan amilopektin dalam granula sehingga akhirnya mengalami leaching serta merubah struktur jaringan bahan, dan 3.) penambahan jumlah molekul yang mengalami pembesaran secara berkelanjutan yang memicu timbulnya breakdown selama gelatinisasi berlangsung. Sementara itu konsistensi perilaku adonan akan semakin meningkat hingga mencapai maksimum dan selanjutnya akan mengalami degradasi secara berkelanjutan. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa energi yang digunakan dalam formulasi adonan tidak hanya berkaitan dengan peningkatan kekuatan struktur molekul adonan, namun juga diperhitungkan pada penentuan breakdown profil suatu pasta pati (Faubion & Hoseney 1990). Dengan demikian perlu diperhatikan faktor kritis yang penting dalam pencampuran adonan rasbi, antara lain : rasio tepung dan pati yang digunakan, jumlah air yang ditambahkan serta besarnya energi yang dibutuhkan dalam tahap gelatinisasi adonan. Parameter kritis tersebut perlu dievaluasi melalui serangkaian uji empirik untuk memperkirakan daya serap air adonan, kelengketan adonan dan ketahanan tepung terhadap overmixing (pengadukan yang berlebihan).
21
Proses Teksturisasi Rasbi Dalam proses pembuatan
rasbi,
tekstur
produk yang terbentuk
dipengaruhi oleh proses gelatinisasi yang terjadi saat berlangsungnya tahap pengukusan. Proses pengembangan granula pati bersifat bolak-balik (reversible) jika kondisi proses di bawah suhu gelatinisasi dan bersifat tidak bolak-balik (irreversible) jika kondisi proses di atas suhu gelatinisasi. Pola pengembangan granula pati merupakan faktor kritis yang perlu dikendalikan karena bila timbul kerusakan granula pati yang ditandai dengan pecahnya granula tersebut maka proses pembentukan butiran rasbi akan mengalami kegagalan. Pembentukan tekstur rasbi juga erat kaitannya dengan pemanasan dan gelatinisasi. Pemanasan dengan kecepatan melebihi kecepatan transfer air keluar bahan akan menyebabkan pengembangan volume atau puffing. Sedangkan pemanasan yang lebih lambat dapat menghasilkan struktur yang sangat padat, kering dan keras. Dengan pengendalian suhu dan waktu proses yang tepat akan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kondisi adonan yang berada tepat sebelum masuk cetakan serta terhadap pengembangan produk tahap akhir. Sebagai ilustrasi, tekanan uap air dan peningkatan suhu adonan akan memasok semua kebutuhan energi yang menyebabkan produk mengembang ketika dikeluarkan pada tekanan atmosfir dan suhu kamar. (Muchtadi et al. 1988). Pada proses pemotongan adonan bahan, bentuk geometris lubang cetakan yang digunakan sangat mempengaruhi tekstur dan bentuk butiran adonan yang terbentuk. Lubang cetakan yang runcing akan mengurangi kebutuhan tekanan balik, menyebabkan permukaan produk menjadi licin dan mengurangi kerusakan mekanik pada saat bahan dicetak. Sementara itu, lubang cetakan (outlet) dengan penampang silang yang tiba-tiba berubah dan mempunyai panjang dasar yang pendek akan cenderung membentuk struktur sel produk yang halus dengan tekstur yang lebih plastis dan lunak (Muchtadi et al. 1988)
Sifat Fungsional Pangan Saat ini kesadaran masyarakat dalam mempertimbangkan pentingnya sifat fungsional suatu produk pangan semakin meningkat seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi pangan. Masyarakat tidak lagi
22
memandang suatu produk pangan tersebut sebagai sarana pemenuhan energi, mengenyangkan, atau memberi kelezatan cita rasa serta penampilan yang menarik, namun juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen bahan pangan (Widowati 2007). Dengan demikian sifat fungsional pangan menjadi penting peranannya karena memiliki pengaruh yang menyehatkan tubuh tanpa mengonsumsi obat serta resiko efek samping yang ditimbulkannya jauh lebih rendah (Muchtadi 2004 di dalam Widowati 2007). Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mensyaratkan adanya satu atau lebih senyawa memiliki fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh berdasarkan kajian-kajian penelitian dan ilimiah sebelumnya. Adapun senyawa yang dikategorikan dalam pangan fungsional meliputi : serat pangan, gula, alkohol, asam lemak tak jenuh, peptida dan protein tertentu, asam amino, prebiotik, probiotik, glikosida dan isoprenoid, polifenol (teh) dan isoflavon (kedelai), kolin, lesitin, inositol, karnitin dan skualen, fitosterol dan fitostanol, serta vitamin dan mineral. Sifat fungsional pangan selalu terkait dengan klaim kesehatan. Serat larut dan β-glukan diklaim mampu menekan kadar kalesterol, frukto dan galakto-oligosakarida guna membantu tumbuhnya mikroflora pada usus besar. Sementara gula alkohol (maltitol, xilitol, sorbitol) dianggap mampu menurunkan resiko kerusakan gigi, sedangkan kalsium dan susu rendah lemak dapat mengurangi resiko osteoporosis (Fardiaz 2004 di dalam Widowati 2007). Dalam kenyataannya, banyak produk pangan dengan klaim kesehatan tertentu yang beredar bebas di pasaran sehingga masyarakat sering menafsirkan pangan fungsional hanya dijumpai pada produk pangan modern. Hal tersebut perlu diluruskan kembali mengingat banyak produk pangan tradisional yang secara ilmiah telah memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional, namun informasinya masih terbatas sehingga banyak kalangan masyarakat yang kurang menyadarinya. Minuman tradisional yang berkhasiat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh, antara lain : bir plethok dari Betawi (bukan produk fermentasi dan tidak mengandung alkohol), teh, wedang (Jawa : minuman) jahe, beras kencur, kunyit asam serta makanan tradisonal dari kedelai dan bekatul (Widowati 2004).
23
Serat Pangan Serat pangan merupakan bagian dinding sel tumbuhan yang bersifat resisten terhadap hidrolisis enzim yang terdapat dalam usus halus manusia. Serat pangan dikelompokkan menjadi dua, yaitu : polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dan lignin (Trowell et al. 1976, diacu dalam Marsono 2004). Definisi serat pangan mengalami perubahan akibat adanya perkembangan mengenai tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis serat pangan. Definisi terbaru yang dikutip dari The American Association of Cereal Chemistry (AACC) tahun 2001 menyebutkan bahwa serat pangan merupakan bagian tumbuhan yang dapat dikonsumsi secara oral atau analog dengan karbohidrat yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar. Serat pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin dan bahan yang terkait dengan dinding sel tumbuhan (Marsono 2004). Lebih lanjut serat pangan dapat diklasifikasikan dalam serat larut dan tak larut atau terfermentasi maupun tak terfermentasi. Pada umumnya serat pangan tak larut diartikan sebagai serat pangan yang tak larut dalam air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Sedangkan keberadaan serat terfermentasi dalam bahan pangan ditandai dengan ada tidaknya serat yang dapat diuraikan oleh bakteri anaerob. Fermentasi yang terjadi dalam usus besar menghasilkan asam lemak berantai pendek, gas metan serta hidrogen yang selanjutnya diserap dan digunakan sebagai sumber energi tubuh. Secara fisiologis, serat pangan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pengaturan energi tubuh. Energi yang terkandung dalam serat pada setiap unit bobot pangan rendah nilainya, sehingga penambahan serat dapat menurunkan kerapatan energi, terutama serat pangan larut karena serat tersebut mampu mengikat air. Pangan berkadar serat tinggi juga dilaporkan mampu meningkatkan distensi (pelebaran) lambung sehingga tubuh tidak cepat merasa lapar (Widowati 2007). Sementara serat terfermentasi berperan dalam memicu produksi hormon usus, seperti glucagon-like peptide-1 yang terkait dengan sinyal lapar. Howarth et al. (2001) melaporkan beberapa serat juga memiliki sifat yang lebih larut
24
(terutama serat terfermentasi dari buah-buahan dan sayur-sayuran) sehingga mampu menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein.
Daya Cerna Pati in vitro Secara umum daya cerna pati in vitro sangat dipengaruhi oleh laju reaksi hidrolisis secara enzimatis. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim penghidrolisis pati tersebut, antara lain : ukuran granula pati, komposisi amilosaamilopektin, kadar fosfat dan sifat amilografi pasta pati (Noda et al. 2008). Pati dengan ukuran granula yang lebih besar pada umumnya memiliki luas kontak yang lebih kecil sehingga mengakibatkan jumlah substrat yang dapat terserap enzim α-amilase menjadi lebih sedikit. Oleh karenanya pati yang memiliki granula yang lebih besar akan lebih lambat tercerna dibandingkan dengan pati yang memilki granula yang lebih kecil (Noda et al. 2005) Kandungan amilosa yang rendah berpengaruh nyata terhadap penurunan daya cerna pati in vitro (Karlsson et al. 2007). Hal disebabkan amilosa bersifat lebih resisten terhadap aktivitas enzim α-amilase sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk dicerna dibandingkan amilopektin (Widowati 2007). Sementara Takeda et al. (1982) telah meneliti pengaruh kandungan fosfat terhadap laju reaksi hidrolisis enzimatis pati. Dilaporkan bahwa gugus fosfat yang teresterifikasi pada residu glukosil pati mampu menurunkan laju reaksi hidrolisis enzimatis. Oleh karenanya reaksi hidrolisis enzimatis pada pati yang mengandung gugus fosfat akan menghasilkan senyawa fosforil-oligosakarida yang justru bersifat menghambat aktivitas enzim α-amilase. Sifat amilografi pati juga telah diteliti pengaruhnya terhadap laju pencernaan pati secara in vitro. Hu et al. (2004) melaporkan pati beras dengan nilai viskositas puncak terendah memiliki daya cerna enzimatis yang paling rendah. Hasil yang sebaliknya diperoleh dari penelitian yang dilakukan Noda et al. (2008) yang menyatakan bahwa pati kentang dengan nilai viskositas puncak dan breakdown tertinggi justru memiliki daya hambat yang paling efektif terhadap laju reaksi hidrolisis secara enzimatis. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh karakteristik pasta pati terhadap daya cerna pati in vitro masih perlu diteliti lebih lanjut mengingat pati yang ditemukan pada proses pengolahan pangan adalah pati
25
yang tergelatinisasi secara parsial sehingga karakteristik yang melekat pada pati tersebut merupakan modifikasi dari pati alami dan pati tergelatinisasi (Noda et al. 2008).
Indeks Glikemik Pangan Konsep indeks glikemik (IG) pertama kali diajukan pada tahun 1981, oleh Prof. Dr. David Jenkins, seorang ahli dan peneliti senior bidang gizi pada Universitas Toronto, Kanada. Konsep tersebut bertujuan untuk membantu menentukan jenis pangan yang baik bagi penderita diabetes melitus (DM). Konsep tersebut didasarkan pada pengaruh kecepatan pencernaan karbohidrat terhadap berubahnya kadar gula darah dan respon insulin dalam tubuh (Rimbawan & Siagian 2004). IG disusun sebagai panduan yang mudah dan praktis dalam mengendalikan fluktuasi kadar glukosa darah. Indeks glikemik pangan berfungsi untuk mengelompokkan pangan menurut pengaruhnya terhadap kadar gula darah. Pangan yang mampu menaikkan kadar gula darah secara cepat, memiliki IG yang tinggi, sedangkan pangan yang menaikkan kadar gula darah dengan lambat, memiliki IG yang rendah. Sebagai pembanding, digunakan glukosa murni yang memiliki IG sebesar 100. Dengan demikian studi mengenai pengaruh pengenalan karbohidrat terhadap kadar gula darah dan respon insulin (yang didasarkan pada IG-nya) menjadi penting dalam penentuan jenis dan jumlah pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan (Widowati 2007). Indeks glikemik disusun untuk semua kalangan masyarakat, baik penderita DM, atlet maupun penderita obesitas. Banyak penderita DM yang telah melakukan diet dengan benar (sesuai konsep porsi karbohidrat) namun kadar gula darahnya masih tetap tinggi. Sementara banyak pula orang yang berusaha keras untuk menurunkan berat badan dengan cara mengurangi porsi makan, rela menahan lapar, tetapi hasilnya tidak sesuai harapan. Pemahaman IG pangan yang baik dapat membantu penderita DM dalam memilih jenis pangan yang tidak menaikkan kadar gula darah secara drastis sehingga kadar gula darahnya terkendali pada level yang aman. Jenis pangan dengan IG yang rendah juga dapat
26
membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, memperbaiki selera makan serta mengontrol kadar gula darah tubuh. Karakteristik Hidratasi Bahan Pangan Karakteristik hidratasi bahan pangan didefiniskan sebagai karakteristik fisik yang meliputi interaksi bahan pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul air di udara sekitarnya. Pada umumnya peranan air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air ialah persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) dan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah memiliki batas maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan berat kering dapat mencapai lebih dari 100 persen (Syarief & Halid 1993). Sementara aktivitas air atau water activity (aw) yang berperan penting dalam penyimpanan bahan pangan didefinisikan sebagai jumlah air bebas yang dapat digunakan mikroba untuk pertumbuhannya (Syarief & Halid 1993 di dalam Worang 2008). Dalam bahan pangan, air berperan sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran aktivitas air (aw), yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan pangan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu, aktivitas air dapat juga dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai aw suatu bahan pangan maka semakin cepat pula laju pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan tersebut (Syarief & Halid 1993). Worang (2008) menyatakan bahwa aktivitas air memiliki keterkaitan dengan sifat bahan pangan, sedangkan kelembaban relatif terkait erat dengan sifat lingkungan atmosfir yang berada dalam keadaan kesetimbangan dengan bahan pangan tersebut. Dengan demikian bertambah atau berkurangnya kadar air pada suatu bahan pangan juga ditentukan oleh kelembaban relatif kesetimbangan. Perubahan tersebut terus berlangsung hingga tercapai kadar air kesetimbangan. Kondisi kesetimbangan kadar air dicapai apabila tekanan uap air dalam bahan pangan sama dengan tekanan uap air udara sekeliling. Oleh karenanya kadar air kesetimbangan didefinisikan sebagai kadar air yang dicapai oleh bahan pangan setelah tekanan uap airnya setimbang dengan udara sekelilingnya (Worang 2008).
27
Sorpsi Isotermik Bahan Pangan Hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu dapat dinyatakan bentuk kurva yang dikenal dengan istilah kurva sorpsi isotermik. Istilah sorpsi air digunakan untuk menjelaskan penggabungan air ke dalam bahan pangan. Apabila proses dimulai dengan penyerapan air dari udara ke dalam bahan pangan kering maka dinamakan absorpsi, sedangkan apabila proses dimulai dengan penguapan air dari bahan pangan basah ke udara sekitarnya maka disebut desorpsi.
Gambar 4. Pola isotermik sorpsi air bahan pangan (Labuza 1968) Pada umumnya bahan pangan baik sebelum maupun setelah diolah bersifat higroskopis, artinya bahan pangan tersebut mampu menyerap air dari udara sekeliling dan juga sebaliknya mampu melepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara sekeliling. Sifat-sifat hidratasi bahan pangan yang digambarkan dengan kurva sorpsi isotermik bersifat spesifik. Kurva tersebut pada dasarnya mencerminkan adanya lapisan air yang terkandung dalam bahan pangan, yakni : 1.) daerah A menyatakan terjadi absorpsi air pada lapisan tunggal (lapisan monolayer), 2.) daerah B menunjukkan terjadinya pertambahan lapisan-lapisan di atas monolayer (lapisan multilayer) dan 3.) daerah C dimana kondensasi air pada pori-pori bahan mulai terjadi (kondensasi kapiler). Pada umumnya kurva sorpsi isotermik bahan pangan berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Pada kenyataannya grafik penyerapan uap air dari udara
28
oleh bahan pangan (kurva adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva desorpsi) tidak berimpit. Keadaan ini dikenal sebagai fenomena histeresis (Gambar 4). Sorpsi isotermik tersebut tidak hanya dapat menunjukkan pada tingkat kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw diinginkan ataupun yang tidak diinginkan, tetapi juga menunjukkan terjadinya perubahan penting terkait dengan kandungan air bahan yang dicapai dalam aw tertentu (Syarief & Halid 1993). Peta Stabilitas dan Ambang Hidratasi Faktor hidratasi bahan pangan dan lingkungan memiliki peranan yang sangat dominan terhadap terjadinya penyimpangan mutu atau kerusakan bahan pangan. Labuza (1979) menyatakan terdapat hubungan antara ambang batas tingkat hidratasi (aw) dengan kecepatan kerusakan bahan pangan. Hubungan ini dinyatakan sebagai peta stabilitas, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.
Keterangan : 1. Oksidasi lipida 2. Pencoklatan non-enzimatik 3. Kurva isoterm sorpsi 4. Aktivitas enzimatik
5. Pertumbuhan jamur 6. Pertumbuhan ragi 7. Pertumbuhan bakteri
Gambar 5. Peta stabilitas bahan makanan sebagai fungsi dari faktor hidratasi Pada kurva di atas, bahan pangan yang memiliki nilai aw yang sama dapat memiliki kadar air yang berbeda (Lopulalan 2008). Pada daerah monolayer (aw = 0-0,2), molekul air air yang ditambahkan ke dalam bahan pangan kering akan diadsorpsi oleh permukaan bahan sampai seluruh permukaan menyerap air
29
yang ditambahkan tersebut. Dengan demikian air yang terkandung pada daerah monolayer adalah air yang terikat pada permukaan (air adsorpsi) yang sangat stabil dan tidak dapat dibekukan pada suhu berapapun. Daerah ini merupakan ambang batas ketengikan, sebab air yang ada jumlahnya sangat terbatas dan hanya cukup untuk melindungi produk dari senyawa O2. Sementara air yang terkandung dalam daerah multilayer bersifat kurang kuat terikat dibandingkan dengan air yang terikat pada daerah monolayer. Air yang terdapat pada daerah multilayer memiliki nilai aw 0,2-0,7, dengan daerah teraman berada pada kisaran aw 0,2-0,55 (Syarief & Halid 1993). Air yang terdapat pada daerah kedua berfungsi sebagai pelarut, oleh karenanya aktivitas enzim dan pencoklatan non-enzimatik dapat terjadi (Lopulalan 2008). Sedangkan pada daerah kondensasi kapiler (aw > 0,7) mengandung air bebas yang cukup banyak jumlahnya sehingga dapat memicu terjadinya kerusakan bahan pangan dengan lebih cepat. Umur Simpan dan Metode Analisisnya Umur simpan produk pangan adalah jangka waktu ketika produk pangan selesai diolah oleh industri atau perusahaan hingga dikonsumsi konsumen, dimana produk tersebut masih memiliki mutu yang baik (Labuza 1982 di dalam Lopulalan 2008). Robertson (1993) menyatakan umur simpan adalah lamanya periode yang menyatakan hubungan antara pengemasan produk dengan penggunaannya selama mutu produk tersebut masih dapat diterima oleh konsumen. Produk pangan umumnya dalam kondisi mutu yang memuaskan baik dari nilai gizi, tekstur dan penampakan selama periode penyimpanan di pabrik maupun pada saat dijual. Penentuan umur simpan sangat tergantung pada tersedianya data-data tentang : 1.) mekanisme penurunan mutu produk yang dikemas, 2.) unsur-unsur dalam produk yang berpengaruh langsung terhadap laju penurunan mutu produk, 3.) mutu produk terkemas, 4.) dimensi kemasan yang digunakan (bentuk dan ukuran), 5.) mutu awal produk saat dikemas, 6.) batas mutu minimum produk yang masih dapat diterima konsumen, 7.) perubahan iklim selama distribusi dan penyimpanan, 8.) pengaruh perlakuan mekanis pada tahap distribusi dan penyimpanan terhadap keutuhan kemasan yang digunakan serta 9.) sifat sekat lintasan (barrier) pada kemasan guna mencegah pengaruh unsur-unsur luar yang memicu penurunan mutu produk pangan (Hine 1987).
30
Faktor yang berpengaruh terhadap umur simpan produk pangan terkemas adalah ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfir kemasan (suhu dan kelembaban) sehingga produk dapat bertahan selama pendistribusian dan sebelum digunakan oleh konsumen, permeabilitas kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk perekatan, penutupan dan bagian-bagian terlipat, sifat produk pangan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia secara internal dan fisik (Syarief et al. 1989). Metode penentuan umur simpan yang dikenal selama ini ada tiga, yakni : metode konvensional, metode akselerasi dan metode nilai waktu paruh (Syarief et al. 1989). Beberapa asumsi yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan umur simpan produk pangan antara lain : 1.) keterkaitan faktor lingkungan (tekanan parsial oksigen, kelembaban relatif dan temperatur) dan komposisi produk pangan (pH, konsentrasi, aw) terhadap mekanisme kerusakan yang terjadi, 2.) laju penurunan mutu berdasarkan hasil pengukuran objektif (penilaian organoleptik dan toksikologi) dan 3.) kemasan dianggap bebas dari kebocoran sehingga karakteristik penyerapan hanya bergantung dari bahan pengemas saja (Gnanasekharan & Jhon 1993 di dalam Lopulalan 2008). Labuza (1982) melaporkan penentuan umur simpan dengan kondisi dipercepat (accelerated shelf testing) dapat digunakan untuk memprediksi umur simpan produk pangan dengan meningkatkan suhu maupun kelembaban udara pada penyimpanan bahan pangan kering sehingga mempersingkat waktu perkiraan umur simpan suatu produk pangan. Penyimpanan bahan pada suhu maupun RH tinggi dapat mempercepat tercapainya kadar air kritis sehingga penurunan mutu produk lebih cepat dideteksi.
Pengemasan Pengemasan dikenal juga dengan istilah pembungkusan, pewadahan atau pengepakan. Pengemas memiliki peranan penting bagi suatu produk pangan karena dapat membantu dalam mencegah atau meminimalkan kerusakan dengan cara melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya terhadap bahaya
31
pencemaran seperti gangguan fisik, baik berupa gesekan, benturan maupun getaran (Lopulalan 2008). Pengemas juga berfungsi menempatkan suatu hasil pengolahan atau produk industri agar memiliki bentuk yang memudahkan dalam pengangkutan dan distribusi. Sementara itu ditinjau dari segi promosi, wadah atau pembungkus dapat memiliki daya tarik tersendiri bagi konsumen untuk membeli suatu produk pangan. Oleh karenanya bentuk, warna dan dekorasi dari kemasan perlu diperhatikan dalam perencanaannya (Syarief et al. 1989). Saat ini industri pangan telah berkembang dengan pesat, hal ini juga berpengaruh nyata terhadap adanya variasi bahan pengemas yang digunakan, diantaranya : kemasan dengan variasi atmosfir, kemasan aseptik, kemasan transportasi dengan suhu rendah, dsb. Bahan dasar yang digunakan dalam pembuatan kemasan beragam, antara lain : gelas, karton maupun kertas, kayu, logam dan plastik. Pada proses pengemasan dan penyimpanan bahan pangan sering dijumpai adanya penyimpangan mutu produk yang berakibat pada kerusakan bahan pangan sehingga tidak layak lagi untuk dikonsumsi manusia. Kerusakan tersebut ditandai dengan perubahan cita rasa, penurunan nilai gizi atau tidak aman lagi dikonsumsi oleh manusia karena dapat mengganggu kesehatan. Bahan pangan dikatakan telah rusak apabila melampaui masa kadaluwarsa atau umur simpannya (shelf-life). Produk pangan yang telah kadaluwarsa mengalami penurunan mutu kualitatif maupun kuantitatif. Proses pengemasan sebagai bagian integral dari proses produksi maupun pengawetan bahan pangan diharapkan mampu meminimalkan terjadi penurunan mutu tersebut dengan cara : a.) menekan laju perubahan fisik maupun kimia bahan akibat migrasi zat-zat kimia dari bahan pengemas (monomer plastik, timah putih serta korosi) dan b.) menekan perubahan aroma (flavor), warna serta tekstur akibat perpindahan uap air dan oksigen. Produk kering yang bersifat hidrofilik harus terlindung dari uap air karena produk tersebut memiliki nilai equilibrium relative humidity atau kelembaban relatif kesetimbangan (ERH) yang rendah. Dengan demikian produk pangan kering perlu dikemas dengan kemasan yang nilai permeabilitas uap airnya rendah guna mencegah produk yang berkadar gula tinggi merekat atau produk-produk
32
tepung menjadi basah sehingga tidak lagi bersifat mawur (free flowing) (Syarief et al. 1989). Salah satu bahan baku yang banyak digunakan sebagai pengemas adalah plastik. Pada umumnya plastik yang digunakan sebagai pengemas dapat berbentuk lembaran, kantong, karung, botol, drum maupun kaleng. Saat ini plastik telah menjadi bagian penting dalam industri kemasan pangan mengingat harganya yang relatif murah, dapat dibentuk aneka rupa serta warnanya yang relatif disukai konsumen. Hanya saja plastik memiliki kelemahan mendasar, yakni tidak tahan terhadap suhu tinggi. Di Indonesia, pada umumnya jenis plastik yang digunakan sebagai pengemas pangan ada dua, yaitu : Polyethylene (PE) dan Polyprophylene (PP) (Rahayu & Arpah 2004). Pengemas berbahan baku PE dibagi menjadi dua kelompok, yakni : 1.) Low Density Polyethylene (LDPE) yang dikenal sebagai PE berberat jenis rendah dan 2.) High Density Polyethylene (HDPE) atau PE berberat jenis tinggi yang tidak transparan serta dikenal sebagai kantong kresek karena mengeluarkan bunyi kresek ketika digesek. Plastik pengemas berbahan baku LDPE pada umumnya lebih elastis dibandingkan plastik pengemas dari PP. Kantong plastik LDPE mempunyai ciri khas yaitu ujungnya dapat ditarik sehingga memanjang sampai 3-4 cm sehingga apabila digunakan untuk mengemas gula dan terigu, dengan mudah ujungnya dapat ditarik dan disimpul. Hal ini tidak dapat dilakukan pada kantong PP yang agak sugar ditarik dan disimpul. Dalam istilah teknis sifat ini disebut persen perpanjangan atau Elongasi. Persen Elongasi dari LDPE dengandemikian lebih besar dari persen elongasi kantong plastik PP. Perbedaan lainnya adalah kejernihan dan trasparansinya. PP lebih jernih dari LDPE. Disamping itu PP lebih kaku daripada LDPE. PP juga terkesan lebih tahan tusukan dari pada LDPE. Plastik LDPE jika ditusuk dengan benda tumpul dapat dengan mudah memanjang (melar) dan berubah bentuk, sedangkan PE umumnya tidak memanjang tetapi akan langsung berlubang apabila diberikan daya tusukan yang lebih besar.Kantong plastik PP lebih tahan pada temperatur tinggi, sehingga kadang-kadang dapat dicelupkan pada air mendidih tanpa mengalami pengerutan. Sebaliknya LDPE lebih tahan suhu pembekuan, sehingga
33
baik digunakan untuk mengemas produk yang didinginkan atau dibekukan (Rahayu & Arpah 2004). Penurunan mutu produk terkemas terjadi karena adanya transfer massa dan panas melalui kemasan akibat perbedaan tekanan parsial sekitar kemasan sehingga meningkatkan laju permeabilitas gas maupun uap air, adanya lubang serta retaknya kemasan yang memicu timbulnya reaksi kerusakan produk (Roberts 1999 di dalam Lopulalan 2008)
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2008 sampai dengan Maret 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Bangsal Pengolahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian serta Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Puspitek Serpong Tangerang, Laboratorium Pengujian Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Slipi Jakarta dan Laboratorium Biologi Hayati LIPI Cibinong Bogor. Bahan dan Alat Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain : pati ubi jalar varietas Sukuh dan tepung ubi jalar dari varietas Cangkuang, Sukuh serta Naruto yang telah diperoleh dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat dan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Departemen Pertanian. Bahan – bahan kimia untuk analisis, antara lain : α-amilase, enzim pankreatin, enzim termamyl, enzim pepsin, maltosa standar, alkohol, aseton, K2SO4, HgO, H2SO4, H3BO4, NaOH, NaOH-Na2S2S3, Na-bisulfit, HCl, NaOH, heksan, Na-fosfat, larutan Al-fosfat, KBr, kertas saring serta etanol. Pada uji pendugaan umur simpan digunakan larutan garam jenuh, antara lain : NaOH, MgCl2, K2CO3, NaCl, KCl serta BaCl2. Alat-alat yang digunakan meliputi: rotary dryer, pencetak butiran adonan, dandang pengukus, kompor, kertas nasi, baskom, penyawut ubi, ayakan 100 mesh serta oven. Peralatan untuk analisis fisikokimia antara lain: brabender amilograph, differential scanning calorimeter (DSC-Metler Toledo AG Instruments, Naenikon-Uster, Switzerland), scanning electron microscope (SEM-JSM 5410LV, JEOL Ltd., Tokyo, Japan), texture analyzer (TA-XT2), labu kjeldahl, pipet tetes, pipet volumetrik, cawan aluminium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur, erlenmeyer, neraca analitik, timbangan kasar, spektrofotometer (Perkin Elmer Spectrum One), mikroskop polarisasi, dan kromameter (Minolta CR-300). Pada uji pendugaan umur simpan digunakan peralatan antara lain: inkubator dan moisture sorpsion container.
35
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi dalam empat tahapan percobaan. Masing-masing percobaan, diuraikan sebagai berikut :
Percobaan 1. Tahap Persiapan Bahan Baku Tiga varietas ubi jalar yang terdiri dari Cangkuang, Sukuh dan Naruto diolah menjadi tepung. Prinsip pembuatan tepung ubi jalar adalah pengupasan dan pencucian umbi, pengirisan/penyawutan serta perendaman dalam larutan natrium bisulfit 0,3% selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan pengepresan dan penirisan terhadap sawut hingga kadar airnya berkurang 40%. Sawut lalu dikeringkan dengan oven atau dijemur lalu digiling menjadi tepung kemudian diayak dan dikemas secara hermetis (Gambar 6). Ubi Jalar : Cangkuang, Sukuh, Naruto
Pengupasan dan Perendaman
Pengirisan dengan alat penyawut Perendaman dlm Na-Bisulfit 0,3%; 1 jam Penirisan Pengeringan (600C, 8 – 12 jam) Penggilingan (discmill)
Tepung ubi jalar Gambar 6. Diagram alir proses pembuatan tepung ubi jalar Untuk pembuatan pati digunakan ubi jalar varietas Sukuh. Tahapan proses pembuatan pati ubi jalar antara lain: pengupasan, perendaman dan pencucian, selanjutnya dilakukan pemarutan. Hasil parutan ubi jalar lalu ditambah air sebanyak 2-3 kali bobot ubi jalar, kemudian diaduk hingga merata. Berikutnya dilakukan pemerasan hingga ampasnya jernih. Selanjutnya
36 dilakukan penyaringan hingga diperoleh filtrat ubi jalar. Filtrat tersebut diendapkan, lalu dikeringkan dengan menggunakan oven sehingga diperoleh pati ubi jalar (Gambar 7). Ubi Jalar Sukuh
Pengupasan, Perendaman, Pencucian
Pemarutan
Pengadukan dan pemerasan (di tambah air 1:3 dari berat ubi) dilakukan sampai pati habis/ampasnya jernih
Panyaringan
Pengendapan
Pencucian
Pengeringan dengan oven (8-12 jam, 600C)
Pati ubi jalar Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan pati ubi jalar Tepung ubi jalar selanjutnya dianalisis sifat fisikokimianya yang meliputi rendemen, komposisi proksimat (air, abu, lemak, protein dan karbohidrat) serta diuji intensitas warna (kecerahan, warna kromatik dan derajat keputihan). Sedangkan pati ubi jalar dianalisis komposisi proksimat dan intensitas warna. Percobaan 2. Modifikasi Pati Ubi Jalar Dengan HMT Masing – masing sampel pati ubi jalar ditimbang seberat 100 g. Selanjutnya setiap sampel disesuaikan kadar airnya terlebih dahulu hingga
37 mencapai 27-29% dengan penambahan air suling sebanyak 33 ml, lalu didinginkan selama 24 jam pada suhu 4oC. Sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 80, 90, dan 100oC dengan waktu pemanasan 2, 3 dan 4 jam. Selanjutnya setiap sampel didiamkan pada suhu ruang (T = 28oC) selama 15 menit. Masing – masing sampel lalu dikeringkan pada 50oC selama 4 jam dengan menggunakan rotary dryer sehingga dihasilkan sampel pati termodifikasi (Gambar 8). Setiap sampel pati termodifikasi dianalisis komposisi proksimatnya dan sifat amilografi pasta. Pati modifikasi dengan sifat amilografi terbaik (viskositas breakdown = 0) selanjutnya diuji profil termal gelatinisasi, karakteristik morfologi granula, sifat birefringence dan struktur molekuler. Digunakan pati alami sebagai pembanding. Selanjutnya kedua pati juga digunakan dalam pembuatan rasbi. Pati ubi jalar Penyesuaian kadar air (27-29%)
Air suling (6:1 b/v)
Pendinginan (4oC, 24 jam)
Pengeringan udara panas : t = 2, 3, 4 jam T = 80, 90, 100oC
Pengkondisian suhu ruang (15 menit) Pengeringan dengan rotary dryer (50 oC, 4 jam)
Pati termodifikasi
Gambar 8. Diagram alir proses modifikasi pati dengan HMT
Percobaan 3. Pembuatan Rasbi
38 Tahap pertama pembuatan beras ubi (rasbi) adalah pencampuran tepung dengan pati alami maupun HMT terpilih. Rasio yang digunakan dalam proses pencampuran tersebut adalah 4:1 (Widowati et al. 2007).
Gambar 9. Alat pembentuk butiran adonan Penambahan air dilakukan dengan perbandingan campuran : air 1,67 : 1 hingga terbentuk adonan semibasah. Berikutnya dilakukan pembutiran dengan memasukkan adonan ke dalam alat pembentuk butiran (Gambar 9) yang berdiameter 3 mm sehingga diperoleh butiran-butiran adonan yang berbentuk menyerupai kapsul. Butiran-butiran adonan selanjutnya dikukus pada suhu 90-100oC selama 6 menit hingga terbentuk butiran-butiran rasbi. Butiran-butiran tersebut kemudian didiamkan pada kondisi suhu ruang selama 20 menit, kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 50oC selama 24 jam (Gambar 10). Tepung
Pati
Pencampuran (4:1) b/b
Pengukusan T = 90-100oC, t = 6 menit Pengeringan T = 50oC, t = 24 jam
Rasbi
Air (5:3) b/v
39
Gambar 10. Diagram alir proses pembuatan rasbi Rasbi yang dihasilkan dihitung rendemennya, lalu dianalisis komposisi proksimat, karakteristik tekstur, daya serap air dan sifat fungsionalnya (KPAP, waktu tanak, kadar serat pangan dan daya cerna pati). Selanjutnya dilakukan uji organoleptik (hedonik) untuk menentukan rasbi dengan perlakuan terpilih yang tingkat penerimaan produk yang terbaik. Rasbi terpilih selanjutnya diuji indeks glikemik (IG) dan digunakan dalam uji pendugaan umur simpan. Percobaan 4. Pendugaan Umur Simpan Rasbi Rasbi merupakan produk kering yang bersifat higroskopis terhadap perubahan kelembaban relatif lingkungan sekitarnya. Dengan demikian selama distribusi dan penyimpanan perlu dipertimbangkan penggunaan kemasan yang mempunyai kemampuan yang baik sebagai barrier terhadap uap air sehingga dapat meminimalkan terjadinya kerusakan secara fisik (kerapuhan tekstur). Pada prinsipnya pengujian pendugaan umur simpan dilakukan berdasarkan kenaikan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan metode kadar air kritis dengan kondisi yang dipercepat / Accelerated Shelf Life Testing (ASLT) yang selanjutnya dapat memprediksi umur simpan pada suhu ruang. Kondisi dipercepat dapat dilakukan dengan menyimpan rasbi pada larutan garam jenuh dengan Relative Humidity (RH) tinggi sehingga kadar air kritis lebih cepat dicapai pada kondisi penyimpanan suhu ruang (Tabel 5). Tabel 5. Larutan garam jenuh untuk penetapan kurva sorpsi isotermis Jenis Garam aw Garam (gram) Air (ml) NaOH 0,06 30 17 MgCl2 0,32 40 5 K2CO3 0,44 40 18 NaCl 0,75 40 12 KCl 0,84 40 16 BaCl2 0,96 50 14 Sumber: Spiess & Wolf yang dimodifikasi (1987) di dalam Rahayu & Arpah (2004). Preparasi larutan garam jenuh dilakukan dengan melarutkan sejumlah gram tertentu garam ke dalam sejumlah ml air seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6. Sementara sampel terlebih dahulu perlu diketahui bobotnya (basis kering) dengan cara memanaskannya pada 105oC selama tiga jam lalu
40 dimasukkan ke dalam wadah berisi larutan garam yang sebelumnya telah dipersiapkan selama 24 jam. Berikutnya dilakukan dilakukan pengkondisian sampel dalam wadah kedap udara selama 3 x 24 jam yang disimpan dalam inkubator dengan suhu ruang, yaitu 28 oC. Kemudian dilakukan penimbangan sampel harian hingga diperoleh bobot yang relatif konstan. Kerusakan rasbi terutama disebabkan oleh penyerapan air dimana kerusakan yang dapat diamati adalah produk menjadi berjamur dan warnanya berubah menjadi coklat kehitaman. Berdasarkan parameter kerusakan mutu tersebut maka kadar air kritis produk dapat diketahui. Selanjutnya dibuat kurva isothermis sorpsi air mengenai perubahan kadar air produk terhadap aw lingkungan penyimpanan. Selanjutnya dilakukan linierisasi terhadap kurva sorpsi isotermis air sehingga diperoleh kemiringan kurva (slope) dan dengan data sekunder kemasan (permeabilitas dan luasan kemasan) dapat dihitung umur simpan produk.
Analisis Data Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial yang masing-masing terdiri dari dua faktor, yaitu :1) Jenis pati ubi jalar (alami dan termodifikasi) dan 2) Varietas ubi jalar (Sukuh, Naruto dan Cangkuang). Kombinasi perlakuan berjumlah enam kombinasi (a1b1, a1b2, a2b1, a2b2, a3b1, dan a3b2) dengan ulangan sebanyak tiga kali untuk setiap parameter pengamatan. Komponen perlakuan (bahan baku) diuji dengan analisis keragaman (ANOVA), dan bila terdapat beda nyata maka dilakukan uji lanjut dengan menggunakan uji Duncan pada selang kepercayaan 95% (α = 0.05), sedangkan komponen perlakuan (produk) diuji dengan analisis uji t berpasangan. Model linier untuk RAL faktorial dengan dua faktor adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, dan ulangan ke-k
µ
= Komponen aditif dari rataan
αi
= Pengaruh utama faktor A pada taraf ke-i
βj
= Pengaruh utama faktor B pada taraf ke-j
(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor A dan faktor B
41 εijk
2
= Pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ )
Metode Analisis Analisis Sifat Fisik Sifat birefrigence granula pati (Metode mikroskop polarisasi) Sejumlah pati dilarutkan dengan aquades kemudian diletakkan di atas gelas objek dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi dengan perbesaran 400 kali, kemudian granula pati yang terlihat difoto. Morfologi struktur granula pati (Manuel 1996) Sampel pati diletakkan dalam circular aluminium stubs yang dilengkapi double sided sticky tape serta dilapisi oleh suatu lapisan tipis (20 nm) yang terbuat dari emas, lalu diperiksa dan difoto dengan SEM JSM 5410LV, JEOL Ltd., Tokyo, Japan pada tegangan 5 kV. Sifat amilografi pati (Purwani et al. 2006) Sampel pati sebanyak 40 g dimasukkan ke dalam botol gelas ukuran 500 ml air. Selanjutnya ditambahkan 450 ml aquades lalu diaduk selama 5 menit. Sampel dipindahkan ke dalam mangkuk amilograf. Botol gelas dan pengaduk dicuci dengan 50 ml aquades, lalu air bilasan dituangkan ke dalam mangkuk amilograf. Mangkuk amilograf diputar pada kecepatan 75 rpm. Selanjutnya suhu dinaikkan dari 30oC sampai 90oC dengan kenaikan 1.5oC per menit, dilanjutkan pemanasan selama 20 menit pada suhu konstan 90oC. Selanjutnya suhu diturunkan sampai 50oC dengan laju penurunan yang sama, diikuti dengan pemanasan pada suhu 50oC selama 20 menit. Parameter yang diperoleh dari kurva amilografi adalah suhu awal gelatinisasi, suhu puncak gelatinisasi dan viskositas maksimum.
Karakteristik termal gelatinisasi pati (Lim et al., 2001) Sampel pati sebanyak 2,5 mg ditimbang dan diletakkan dalam wadah yang terbuat dari aluminium. Selanjutnya ditambahkan air suling secukupnya sehingga terbentuk campuran pati dengan air dengan rasio 1 : 4
42 (b/b), kemudian wadah disegel secara hermetis. Selanjutnya dialirkan nitrogen cair dengan kelajuan 20oC/menit hingga suhunya mencapai -20oC, kemudian dipenaskan hingga suhunya mencapai 150oC dengan kelajuan 10oC/menit. Parameter suhu gelatinisasi (oC) yang meliputi: suhu awal (To), suhu puncak (Tp), suhu akhir (Tc) dan entalpi (∆H, J/g) ditentukan dengan menggunakan software yang telah tersedia pada peralatan DSC dan kisaran suhu gelatinisasi (Tr) juga dihitung. Warna metode Hunter (Flyod et al. 1995) Sampel tepung, pati dan rasbi difoto menggunakan khromameter CR-300 sehingga diperoleh nilai L, a dan b. Pengukuran warna didasarkan pada indeks keputihan dengan menggunakan persamaan : W = 100 -
(100 − L) 2 + a 2 + b 2
dimana : W = Derajat keputihan L = Kecerahan a = Warna merah jika bertanda + dan hijau jika bertanda b = warna kuning jika bertanda + dan biru jika bertanda -
Tekstur (Manual Texture Analyzer TA-XT2i)
Hardness (kekerasan) dan stickiness (kelengketan) rasbi diukur dengan menggunakan texture analyzer (TA-XT2i) yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat tersebut dilengkapi dengan sistem komputerisasi, sehingga perlu disetting sesuai kebutuhan dan jenis produk yang diuji (Tabel 5). Tabel 5. Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk beras Product Type Objective TA-XT2i Mode Option Pre-Test speed Test speed Post-Test speed Distance Trigger type Acquisition Rate
Rice Cooked rice Comparison of Hardness and Stickiness of cooked rice Measure Force in Compression Return to start 2,0 mm/s 0,5 mm/s 10,0 mm/s 90% (stain) Auto-3g 400 pps
43 Accessary Calibrate Probe
35 mm cylinder probe (P/35) 15 mm
Daya serap air pada 80°C (Syamsir et al. 2006)
Sebanyak 20 ml air dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml yang diletakkan di atas penangas air 80°C. Selanjutnya 2 g rasbi mentah dimasukkan ke dalam gelas piala tersebut dan dipanaskan selama 20 menit, ditiriskan dan ditimbang berat bahan setelah dimasak. Daya serap air ditentukan dengan persamaan :
Daya serap air (%) =
b−a x 100% a
dimana : a = berat contoh sebelum dicelupkan b = berat contoh setelah dicelup
Analisis Sifat Kimia Kadar Air metode oven (AOAC 2006)
Sampel sebanyak ± 5 g ditimbang lalu dimasukkan dalam cawan yang telah diketahui beratnya. Cawan beserta isi dikeringkan dalam oven 105oC selama 6 jam, lalu dimasukkan dalam desikator selama 15 menit lalu didinginkan dan ditimbang. Cawan beserta isinya dikeringkan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus berikut ini : Kadar air (% bb) =
( a − b) x 100% c
dimana : a
= berat cawan dan sampel awal (g)
b
= berat cawan dan sampel akhir (g)
c
= berat sampel awal (g)
Kadar Abu (AOAC 2006)
Cawan
disiapkan
untuk
melakukan
pengabuan
kemudian
dikeringkan dalam oven selama 15 menit. Selanjutnya cawan didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak ± 3 g dalam cawan, kemudian dibakar dalam ruang asap sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur listrik pada
44 o
suhu 400-600 C selama 4-6 jam sampai terbentuk abu berwarna putih atau memiliki berat yang tetap. Abu beserta cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar abu (% bb) =
berat abu ( g ) x100% berat sampel ker ing ( g )
Kadar Protein metode mikro Kjeldahl (Fardiaz et al. 1989)
Sampel ditimbang sebanyak ± 100 mg dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO, dan 3,8 ± 0,1 ml H2SO4. Ditambahkan batu didih pada labu lalu sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Labu beserta sampel dididihkan dalam dengan air dingin. Selanjutnya isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu erlenmeyer 125 ml diisi dengan 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan dengan 4 tetes indikator, kemudian diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya sebanyak ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru. Dilakukan perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya diperoleh jumlah volume (ml) blanko. %N =
(mlHCl − mlblanko) x N HCl x14,007 x 100% Mg contoh
Kadar protein (%bb) = % N x faktor konversi (6,25) Kadar lemak (AOAC 2006)
Labu lemak disediakan sesuai dengan ukuran alat ekstraksi sokhlet yang digunakan. Labu dikeringkan dalam oven dengan suhu 105-110oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Sebanyak 5 g sampel ditimbang lalu dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring beserta isinya dimasukkan ke dalam ekstraksi sokhlet dan dipasang pada alat kondensor. Pelarut heksan dituangkan ke dalam labu sokhlet secukupnya. Dilakukan refluks selama 5 jam sampai pelarut yang turun kembali menjadi bening. Pelarut yang tersisa dalam labu lemak didestilasi dan kemudian labu
45 o
dipanaskan dalam oven pada suhu 105 C. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator kemudian labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak ditentukan dengan rumus : Kadar lemak (%bb) =
berat labu akhir − berat labu awal x100% berat sampel
Kadar karbohidrat (by difference) (Apriyantono et al. 1989)
Karbohidrat dihitung berdasarkan metode by difference dengan rumus sebagai berikut : Kadar karbohidrat (%bb) = 100 - %(protein + lemak + abu + air) FTIR Spektrometer (Manual Perkin Elmer Spectrum One)
Mula-mula dilakukan preparasi sampel padat berupa pellet KBr, dimana dilakukan penimbangan 2-3 mg sampel yang bebas air (telah dikeringbekukan). Selanjutnya ditambahkan 100-200 mg KBr, dengan perbandingan sampel : KBr = 1 : 100, kemudian campuran digerus sampai halus. Berikutnya campuran ditekan secara vakuum pada 6-7 ton selama 10-15 menit sehingga diperoleh disk yang transparan. FT-IR (Perkin Elmer Spectrum One) selanjutnya dioperasikan dengan cara menyalakan alat (posisi stand by) dan komputer, kemudian software spectrum diaktifkan. Berikutnya dilakukan scan terhadap background alat dalam keadaan tanpa sampel dengan memilih program scan, lalu ditentukan ID sampel, panjang gelombang dan parameter lainnya. Pellet sampel yang telah dipersiapkan sebelumnya, diletakkan pada slide holder lalu dilakukan scanning. Hasil yang diperoleh selanjutnya disimpan dengan nama file tertentu. Sifat Fungsional Rasbi Serat pangan (Enzimatik) (Asp et al. 1983 dalam Muchtadi 1992)
Mula-mula sebanyak satu gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan pula 25 ml bufer Aluminium Fosfat, dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan bufer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. Selanjutnya ditambah 100 μl termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil sesekali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan ialah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasikan terlebih dahulu. Setelah
46 dingin,
ditambah 20 ml air destilata dan pH-nya diatur 1.5 dengan
menambahkan HCl 4 M. Selajutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH hingga
1.5 dimaksudkan untuk mengondisikan agar
aktivitas enzim pepsin maksimum. Erlenmeyer ditutup, kemudian dilakukan inkubasi dan agitasi pada suhu 40oC selama 60 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan penambahan NaOH. Pengaturan menjadi pH 6.8 ditujukan untuk menciptakan kondisi yang optimum bagi aktivitas enzim pankreatin. Berikutnya ditambahkan 100 ml enzim pankreatin. Erlenmeyer kemudian ditutup dan diinkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4.5, disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. 1. Residu (Serat pangan tidak terlarut = IDF)
Hasil yang telah diperoleh selanjutnya dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105oC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang setelah didinginkan di dalam desikator (D1), diabukan ke dalam tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). 2. Filtrat (Serat pangan larut = SDF)
Volume filtrat diatur dengan penambahan air sampai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC), diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) mengandung 0.5 celite kering, dicuci lagi dengan 2 x 10 ml etanol 78 % dan 2 x 10 ml. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi 1989)
Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90ºC, kemudian didinginkan, diambil sebanyak 2 ml larutan tepung, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan bufer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0. Kemudian diinkubasikan dalam penangas air 37ºC selama 15 menit. Kedalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan enzim αamilase dan diinkubasikan lagi pada suhu 37ºC selama 15 menit.
47 Sebanyak 1 ml campuran reaksi ditempatkan ke dalam tabung reaksi lain. Selanjutnya ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Warna oranye-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti diatas. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut: Daya cerna =
Kadar maltosa sampel x 100 Kadar maltosa pati murni
Waktu Tanak Rasbi (Juliano 1985)
Waktu tanak diperoleh dengan memasak Rasbi dalam air mendidih pada suhu 90° C . Sepuluh butir Rasbi dipencet dengan dua sisi cawan petri. setelah 10 menit. Hal ini diulangi tiap satu menit kemudian. Waktu tanak diperoleh jika 90 persen butir Rasbi tidak lagi menunjukkan bagian yang putih ditengahnya. Waktu tanak optimum adalah waktu tanak ditambah 2 menit. Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) (Purwani et al. 2006)
Rasbi sebanyak 5 gram direbus dalam 200 ml air selama 3 menit. Selajutnya rasbi diangkat, lalu air rebusan diaduk dengan batang magnet. Sebanyak 3 ml air rebusan dimasukkan ke dalam cawan yang telah diketahui beratnya dan dipanaskan pada 100oC
hingga tercapai bobot
konstan. Berikutnya dilakukan penimbangan padatan kering dan losses dinyatakan sebagai jumlah padatan yang hilang. % KPAP =
V0 1 x P x x 100% V1 5
dimana : V0 = Volume air awal (ml) V1 = Volume air rebusan (ml) P
= Bobot padatan kering (g)
48 Indeks Glikemik (Miller et al. 1996 di dalam Widowati 2007)
Mula-mula dilakukan pengambilan gula darah puasa kepada relawan yang telah menjalani puasa (kecuali air putih) semalam penuh (sekitar pk 19.00 sampai pk 07.00 besoknya). Selanjutnya setiap porsi rasbi yang akan ditentukan IG nya (mengandung 50 g karbohidrat) diberikan kepada setiap relawan. Adapun relawan yang mengikuti uji IG rasbi adalah individu normal, bukan penderita diabetes melitus dan berjumlah 9 orang. Dua jam pasca konsumsi pangan uji, sampel darah sebanyak 50 µL (finger-prick cappilary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120). Dalam jangka waktu tiga hari, hal serupa juga dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek keragaman gula darah dari hari ke hari. Kadar gula darah (pada waktu pengambilan sampel) diplot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan sumbu kadar gula darah (Y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100. Uji Organoleptik (Hedonik)
Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang dari sangat tidak suka (skala numerik = 1) sampai dengan skala sangat suka (skala numerik = 5). Setiap panelis diberikan formulir kuesioner uji hedonik untuk melakukan penilaian terhadap produk yang dihasilkan. Atribut mutu yang diuji meliputi warna, rasa, aroma, tekstur dan penerimaan secara umum untuk rasbi matang serta warna, tekstur maupun penampakan secara umum untuk rasbi mentah. Uji Stabilitas dan Penentuan Kemasan Rasbi
Dalam menentukan umur simpan rasbi berdasarkan metode kadar air kritis, maka perlu diketahui terlebih dahulu nilainya beberapa variabel penting, seperti kurva sorpsi isotermis air dari produk rasbi, kadar air awal produk (Mo), kadar air kritis produk (Mc), luas kemasan, serta berat produk
49 per kemasan dan berat solidnya setelah dikoreksi dengan kadar air awal (W). Untuk tekanan jenuh air murni lingkungan (Po) yang dapat dihitung berdasarkan persamaan di bawah ini : Ln Po =
− 5321 , 66 + 21 , 03 T 0K
(a)
Sementara itu, permeabilitas kemasan dapat ditentukan berdasarkan persamaan berikut ini : (b)
k WVTR = x Po
Umur simpan produk rasbi dapat diprediksi dengan menggunakan persamaan yang diajukan oleh Labuza (1985) sebagai berikut : t=
Ln ( M
− M o ) / (M e − M c ) k ⎛ A ⎞ ⎛ Po ⎞ ⎜ ⎟⎜ ⎟ x ⎜⎝ W s ⎟⎠ ⎝ b ⎠
e
(c)
dimana : T
= waktu untuk mencapai kadar air kritis atau umur simpan (hari)
Me
= kadar air kesetimbangan pada suhu dan RH tertentu (%)
Mo
= kadar air awal produk di awal penyimpanan (%)
Mc
= kadar air kritis pada suhu tertentu (%)
k/x
= WVTR
WVTR
= water vapor transmission rate (g/m2/hari) pada suhu dan RH tertentu.
A
= Luas kemasan berdasarkan dimensi kemasan (m2)
Ws
= Berat solid produk awal (g)
Po
= Tekanan uap air murni (mmHg)
Po
= permeabilitas kemasan (g/m2/hari/mmHg).
50 HASIL DAN PEMBAHASAN Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang dipersiapkan berupa pati ubi jalar dan tepung ubi jalar. Tepung ubi jalar dibuat dari tiga varietas, yaitu Sukuh, Naruto dan Cangkuang. Sedangkan pati dibuat dari varietas Sukuh (Gambar 12). Pati yang diperoleh diberikan perlakuan modifikasi dengan metode HMT. a
b
c
d
Gambar 11. Pati ubi jalar alami (a) dan tepung ubi jalar (b,c,d) Sifat Fisikokimia Tepung Rendemen.
Pada pembuatan tepung ubi jalar, data rendemen diperlukan untuk mengetahui produktivitas tepung yang dihasilkan dari bahan baku yang digunakan. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tepung yang berasal dari varietas Naruto adalah tepung ubi jalar dengan rendemen tertinggi, yakni sebesar 24,89%. Sedangkan tepung yang berasal dari varietas Sukuh merupakan tepung ubi jalar dengan rendemen terendah, yakni sebesar 24,61%.
Rendemen (%)
51 25 24,5 24 23,5 23 22,5 22 21,5 21 20,5 20
24,68a
24,61a
Cangkuang
Sukuh
24,89a
Naruto
Varietas
Gambar 12. Rendemen tepung ubi jalar berdasarkan varietas Namun tidak terdapat perbedaan yang nyata dari pengaruh varietas ubi jalar yang digunakan terhadap rendemen tepung yang dihasilkan. Hal ini membuktikan bahwa keragaman varietas tidak berpengaruh terhadap produktivitas tepung yang dihasilkan (Gambar 12). Warna.
Uji warna tepung dilakukan untuk mengetahui keragaman warna dasar tepung yang akan digunakan sebagai salah satu bahan baku dalam pembuatan rasbi (Tabel 6). Warna tepung tersebut berperan penting dalam pembentukan warna rasbi dan juga akan mempengaruhi aspek penerimaan rasbi oleh konsumen. Tabel 6. Pewarnaan tepung ubi jalar Varietas ubi jalar
L
a
b
W
Cangkuang
78,05 c
-0,21 a
2,26 c
77,93 c
Sukuh
77,02 b
-0,18 a
2,13 b
76,92 b
Naruto
74,98 a
-0,1 b
2,01 a
74,90 a
Keterangan : Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, nilai L ketiga jenis tepung belum menunjukkan karakteristik cerah karena nilainya belum mendekati 100 (78,05, 77,02 dan 74,98). Nilai a ketiga jenis tepung cenderung berwarna hijau karena nilainya negatif, sedangkan nilai b ketiga jenis tepung menunjukkan nilai positif artinya kecenderungan ke arah warna kuning.
52 Selanjutnya hasil perhitungan derajat putih ketiga jenis tepung menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara tepung Cangkuang (77,93), tepung Sukuh (76,92) maupun tepung Naruto (74,90). Derajat putih suatu bahan berkaitan erat dengan kemampuan untuk memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS,1989). Desrosier (1988) melaporkan bahwa pengeringan bahan pangan dapat merubah sifat-sifat fisikokimia bahan pangan sehingga mempengaruhi
kemampuannya
dalam
memantulkan,
menyebarkan,
menyerap maupun meneruskan sinar yang berakibat pada berubahnya warna bahan pangan. Komposisi Proksimat Tepung
Tepung ubi jalar sebagai bahan baku rasbi, diproses dari tiga varietas ubi jalar, yaitu : Cangkuang (CNG), Sukuh (SKH) dan Naruto (NAR). Hasil analisis proksimat tepung ubi jalar dari tiga varietas tersebut disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Komposisi proksimat tepung ubi jalar berdasarkan varietas Varietas
Air (bb) b
Abu
Lemak
Protein
Karbohidrat
(bk)
(bk)
(bk)
(bk)
0,98
c
0,72
a
2,67
b
95,63 b
Cangkuang
7,49
Sukuh
6,91 a
0,65 a
0,95 b
3,84 c
94,56 a
Naruto
7,38 b
0,82 b
0,81 a
1,96 a
96,41 b
Keterangan : Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.
Kadar air tepung ubi jalar berkisar antara 6,91-7,49%. Analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar varietas. Demikian juga kadar abu menunjukkan adanya perbedaan nyata antar varietas dimana kadar abu tepung berkisar antara 0,65% (Sukuh) - 0,98% (Cangkuang). Kadar lemak tepung ubi jalar berkisar antara 0,72-0,95%. Kisaran nilai tersebut masih lebih rendah dari nilai kritis kadar lemak aneka tepung sebesar 1% yang berarti tepung ubi jalar tersebut relatif aman dari pengaruh ketengikan akibat reaksi oksidasi lemak. Kadar protein tepung ubi jalar bervariasi antara 1,96 (Naruto) - 3,84% (Sukuh). Kondisi penyimpanan tepung pada suhu rendah sebesar 15oC dalam ruangan tertutup dapat meningkatkan keawetan bahan dari pengaruh reaksi
53 pencoklatan non-enzimatis, yaitu antara asam amino dengan gula pereduksi sehingga mutu tepung sebagai salah satu bahan dasar dalam pembuatan rasbi tetap terjaga dengan baik. Kadar karbohidrat pada tepung ubi jalar menunjukkan adanya pengaruh perbedaan antar varietas yang nyata (p<0,05). Proses Modifikasi Pati Dengan HMT Sifat Amilografi Pati
Sifat amilografi dianalisis menggunakan alat amilograf, merek Brabender. Satuan kekentalan/viskositas yang digunakan adalah Brabender Unit (BU). Tabel 8. menunjukkan karakteristik amilografi pati ubi jalar HMT berdasarkan perlakuan (T = 80, 90, 100oC dan t = 2, 3, 4 jam). Suhu awal gelatinasi merupakan suhu dimana granula pati mulai pecah, suhu pada saat kurva mulai naik. Suhu awal gelatinisasi ditentukan berdasarkan perhitungan hasil konversi waktu yang dibutuhkan pada saat kurva mulai naik dikalikan dengan kenaikan suhu (1.5oC/menit) ditambah suhu awal yang digunakan pada saat pengukuran. Suhu awal yang digunakan saat pengukuran adalah 30oC. Tabel 8. Pangaruh suhu dan waktu pemanasan terhadap sifat amilografi pati ubi jalar dengan modifikasi HMT Perlakuan HMT to To V90/20 V50 V90 T (°C): t (jam) (menit) (oC) (BU) (BU) (BU) Kontrol 28 72 450 540 1120 80:2 27 70,5 600 630 1200 80:3 27 70,5 640 640 1220 80:4 28 70,5 610 610 1180 90:2 28 72 580 620 1060 90:3 28 72 540 590 1000 90:4 28 72 570 620 1060 100:2 28 72 570 620 1050 100:3 28 72 570 630 1080 100:4 28 72 500 540 940 Keterangan : to = waktu awal gelatinisasi To = suhu awal gelatinisasi V90 = viskositas pada 90oC V90/20 = viskositas pada 90oC selama 20 menit V50 = viskositas pada 50oC V50/20 = viskositas pada 50oC selama 20 menit Vbd = viskositas breakdown Vsb = viskositas setback
V50/20 (BU) 1060 1160 1180 1150 1100 1030 1080 1070 1100 950
Vbd (BU) 90 30 0 0 40 50 50 50 60 40
Vsb (BU) 60 40 40 30 -40 -30 -20 -20 -20 -10
Berdasarkan hasil analisis terlihat suhu awal gelatinisasi pada ubi jalar berkisar antara 70,5-72oC. Pada setiap perlakuan tidak diketahui nilai
54 suhu
puncak gelatinisasi maupun nilai viskositas puncaknya. Hal ini
berarti telah terbentup profil pasta pati tipe C yang ditandai dengan tidak adanya nilai viskositas puncak maupun suhu puncak gelatinisasi pati serta telah terjadi peningkatan nilai viskositas yang teramati saat holding selama tahap pemanasan pada T = 90oC dan t = 20 menit (Collado & Corke 1999). Profil pasta pati pada perlakuan no.4. (80:4) memiliki karakteristik yang khas berupa nilai viskositas breakdown yang paling rendah (0 BU), dengan selama holding pada tahap pemanasan. Oleh karena itu granula pati tersebut memiliki kestabilan yang baik terhadap pengadukan dan pemanasan. Selain itu nilai viskositas balik (setback viscosity) yang dihitung sebagai selisih antara nilai viskositas pada T = 50oC dengan viskositas pada T = 50oC selama 20 menit, pati termodifikasi dengan perlakuan no. 4 (80:4) juga memberikan nilai setback viscosity yang relatif rendah (30 BU). Hal ini mengindikasikan bahwa pasta pati tersebut memiliki sifat kekentalan yang stabil selama tahap pendinginan dan tidak akan membentuk fresh thaw-stability yang baik (Adebowale et al. 2005). Dengan demikian maka pati ubi jalar termodifikasi dengan perlakuan no.4 (80:4) dan pati ubi jalar alami dipilih dalam tahap analisa fisik selanjutnya maupun dalam formulasi rasbi. Analisis Termal Gelatinisasi Pati
Profil termal gelatinisasi pati ubi jalar alami maupun termodifikasi ditunjukkan Gambar 13. Kedua kurva tersebut menunjukkan bentuk yang berbeda. Termogram DSC pati alami membentuk peak yang lebih landai dibandingkan dengan pati modifikasi. Hal ini menunjukkan pati alami memiliki nilai entalpi endotermik gelatinisasi yang lebih rendah nilainya (∆H = 85,12 J/g) dibandingkan pati termodifikasi (∆H = 125,10 J/g). Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Watcharatewinkul et al. (2009) yang menyatakan bahwa entalpi endotermik pati termodifikasi dengan HMT nilainya akan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya suhu akhir gelatinisasi pati.
55
Laju Pemanasan (mW)
Pati alami
Pati modifikasi HMT (80 oC, 4 jam)
Suhu (oC) dan Waktu pemanasan (menit)
Gambar 13. Termogram DSC pati alami dan modifikasi Dengan demikian bentuk termogram DSC pati termodifikasi sedikit melebar dengan puncak kurva yang lebih runcing dibandingkan pati alami. Perubahan bentuk kurva tersebut erat kaitannya dengan perubahan beberapa fraksi amorphous bahan menjadi struktur kristalit yang bersifat lebih resisten terhadap perlakuan termal sehingga akan meningkatkan nilai entalpi gelatinisasi pati. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jacobs & Delcour (1999) yang menyatakan bahwa perlakuan hidrotermal dapat meningkatkan kekuatan internal granula pati akibat semakin banyaknya struktur kristalit pati yang bersifat lebih rigid yang terbentuk. Termogram DSC pati ubi jalar alami menunjukkan bahwa beberapa kristalit patinya telah mengalami peleburan secara parsial akibat rendahnya suhu lebur yang dimiliki kristalit pati bersangkutan, berbeda dengan termogram DSC pati ubi jalar termodifikasi yang mengindikasikan adanya kestabilan struktur kristalit pati akibat pengaruh perlakuan HMT sehingga granula patinya tidak mudah pecah selama gelatinisasi berlangsung. Perubahan tipe kristalit dan sifat gelatinisasi pati juga erat kaitannya dengan adanya perubahan struktur heliks ganda molekul amilopektinnya seperti yang telah dilaporkan oleh Bogracheva et al. (1999) serta Gidley & Bulpin (1987). Noda et al. (1998) juga menyebutkan dengan semakin meningkatnya kandungan amilopektin berantai pendek dalam kristalit pati
56 akan mengakibatkan jumlah struktur amilopektin heliks ganda yang mengalami kerusakan bertambah banyak sehingga akan menurunkan suhu dan entalpi gelatinisasi patinya. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh modifikasi pati dengan HMT terhadap perubahan struktur amilopektin heliks ganda telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Eerlingen et al. (1997) melaporkan bahwa perlakuan HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi pati akibat adanya transformasi molekul amilosa amorphous menjadi bentuk heliks sehingga mampu meningkatkan interaksi antara struktur kristalit dan matriks amorphous selama proses modifikasi berlangsung. Hoover et al. (1993) serta Hoover & Manuel (1996) juga menyatakan bahwa HMT dapat menyebabkan amilosa terikat pada fraksi amorphous yang selanjutnya akan berinteraksi dengan amilopektin pada struktur kristalit pati. Secara umum modifikasi pati dengan HMT dapat menjaga ikatan molekul amilosa amilopektin dalam struktur kristalit granula pati. Hal tersebut dapat memperbaiki karakteristik morfologi kristal granula pati menjadi lebih resisten terhadap perlakuan hidrotermal selama proses gelatinisasi berlangsung. Oleh karena itu, modifikasi pati dengan HMT sangat diperlukan untuk mendukung perbaikan sifat viskoelastik gel pati yang tahan dan stabil terhadap perlakuan pemanasan. Morfologi Granula Pati
Hasil uji morfologi struktur granula pati alami dan termodifikasi ditunjukkan pada Gambar 14. Hasil uji Scanning Electron Microscope (SEM) pada pati ubi jalar alami dan termodifikasi menunjukkan adanya bentuk granula pati yang menyerupai bola yang masih utuh dan tidak terdapat perbedaan nyata yang teramati pada permukaan granula kedua pati tersebut. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Pukkahuta et al. (2008) yang menyatakan bahwa morfologi granula pati termodifikasi dengan HMT tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan granula pati alami jika tidak terjadi deformasi struktural pada permukaan kedua granula pati tersebut.
57
32 kV x 1000
32 µm
32 kV x 1000
32 µm
Gambar 14. SEM pati ubi jalar alami (kiri) & modifikasi (kanan) Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Shin et al. (2005) menyebutkan bahwa pati ubi jalar dengan kadar air bahan 50% yang dimodifikasi dengan HMT pada 100oC telah terjadi perubahan bentuk granula yang ditandai adanya pengelompokan granula, timbulnya retakanretakan pada permukaan granula dan akhirnya muncul beberapa lubang pada granula patinya, sedangkan pada pati ubi jalar dengan kadar air bahan 90% yang diberikan perlakuan termal pada suhu yang sama justru telah mengalami kerusakan bentuk alami granula patinya seperti yang ditampilkan pada Gambar 15.
Gambar 15. SEM pati ubi jalar termodifikasi dengan kadar air 50% (kiri) dan dengan kadar air 90% (kanan) pada 100oC (Shin et al. 2005) Secara umum tingkat kebasahan bahan dan suhu perlakuan yang diberikan sangat berpengaruh terhadap hasil SEM granula pati ubi jalar termodifikasi. Perlakuan termal pada 100oC pada pati ubi jalar dengan tingkat kebasahan bahan minimal 50 % akan meningkatkan fraksi amorphous dalam granula pati, hal ini menjadi penyebab semakin rapuhnya morfologi granula pati ketika dimodifikasi secara fisik.
58 Sifat Birefrigence Pati
Sifat birefrigence berkaitan dengan sifat granula pati dalam merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga kontras gelap terang tampak sebagai warna biru kuning, dimana intensitas warna tersebut semakin menurun dan menghilang secara bertahap seiring dengan meningkatnya tingkat gelatinisasi pati (Lopulalan 2008). Hasil analisa sifat birefrigence pati alami maupun pati modifikasi ditunjukkan pada Gambar 16.
Gambar 16. Sifat birefrigence pati alami (kiri) dan pati modifikasi (kanan) Pola maltose cross masih teramati dengan jelas pada pati alami maupun pati modifikasi dengan mikroskop cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 400 kali. Adanya sifat birefrigence pati berkaitan dengan keberadaan granula pati yang tidak tergelatinisasi secara sempurna (Pukkahuta et al. 2008).
Gambar 17. Pola maltose cross pati kentang alami (kiri) dan pati kentang modifikasi HMT dengan kadar air 26% (kanan) pada 130oC (Vermeylen et al. 2006). Eksistensi sifat birefrigence yang ditemukan pada pati alami maupun pati modifikasi berkaitan erat dengan kadar air bahan. Muchtadi & Budiatman (1991) melaporkan pemanasan pati di atas suhu gelatinisasinya dengan kadar air yang terbatas dapat menyebabkan bagian amorphous dan kristal granula mengalami destabilisasi akibat adanya penetrasi air dan panas
ke
dalam
granula
pati,
namun
mengingat
jumlah
air
59 yang tersedia tidak mencukupi maka hanya terjadi gelatinisasi secara parsial. Sedangkan Vermeylen et al. (2006) menyatakan perlakuan HMT dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan atau penyusunan ulang material di pusat granula, bahkan modifkasi pati dengan HMT pada 130oC dapat menghilangkan integritas granula pati (Gambar 19). Warna
Warna pati ubi jalar merupakan salah satu parameter pokok yang berperan penting dalam penentuan penampakan rasbi. Data tentang pewarnaan pati ubi jalar alami maupun pati modifikasi disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9. Pewarnaan pati ubi jalar Perlakuan L b
Pati alami
97,70
Pati modifikasi
96,08 a
Keterangan :
a -0,26
B a
-0,25 a
W a
96,61 b
2,53 a
95,32 a
2,47
Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%.
Analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan terhadap parameter L dan W. Pati ubi jalar alami maupun termodifikasi menunjukkan karakteristik cerah yang ditunjukkan dengan L yang mendekati 100 (97,70 dan 96,08). Nilai a mengindikasikan kedua jenis pati tersebut cenderung berwarna hijau karena nilainya negatif (-0,26 dan -0,25). Hal yang sebaliknya terjadi pada nilai b dimana kedua jenis tepung menunjukkan nilai positif yang artinya cenderung ke arah warna kuning cerah. Hasil perhitungan terhadap derajat putih kedua jenis pati menunjukkan nilai derajat pati alami (96,61) berbeda nyata dengan pati modifikasi (95,32). Purwani et al. (2006) menyatakan modifikasi pati dengan HMT yang berakibat pada berkurangnya kadar air pati akibat adanya evaporasi air mengakibatkan berubahnya warna permukaan pati menjadi kurang cerah bila dibandingkan dengan pati alami. Komposisi Proksimat Pati
Aneka senyawa pokok bahan pangan yang terkandung dalam pati ubi jalar alami dan termodifikasi dianalisis secara kimiawi. Hasil analisis proksimat pati ubi jalar alami ditampilkan dalam Tabel 10. Pati ubi jalar
60 yang mengalami modifikasi fisik dengan HMT memiliki kadar air berkisar antara 7,31-7,745 %. Peningkatan suhu dan waktu perlakuan menunjukkan trend penurunan kadar air pada masing-masing sampel. Sedangkan pati ubi jalar alami (kontrol/ non-HMT) kandungan airnya sebesar 9,38%. Tabel 10. Komposisi kimia proksimat pati ubi jalar Perlakuan HMT T (oC) : t (jam) Kontrol 80 : 2 80 : 3 80 : 4 90 : 2 90 : 3 90 : 4 100 : 2 100 : 3 100 : 4
Air (bb) 9,38 g 7,75 f 7,67 ef 7,64 def 7,57 cde 7,54 cd 7,49 bc 7,42 ab 7,36 a 7,31 a
Abu (bk) 0,13 a 0,18 b 0,19 bc 0,19 bc 0,20 c 0,21 bc 0,22 c 0,20 bc 0,22 c 0,22 c
Lemak (bk) 0,75 a 1,00 b 0,99 b 1,00 b 1,01 b 1,03 b 1,04 b 1,07 b 1,05 b 1,06 b
Protein Karbohidrat (bk) (bk) 0,81 b 98,31 c 0,66 a 98,16 a a 0,64 98,18 b a 0,64 98,17 b a 0,63 98,16 a a 0,60 98,16 a a 0,58 98,16 a a 0,58 98,15 a a 0,57 98,16 a a 0,51 98,21 b
Keterangan : Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.
Hasil analisis proksimat pati ubi jalar menunjukkan bahwa kadar abu memenuhi standard SNI pati tapioka (No : 01-3194-1992) yaitu maksimal sebesar 2 %. Besarnya kadar abu sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral sisa hasil pembakaran bahan organik. Kadar abu yang terdapat dalam pati dapat berasal dari mineral-mineral Ca dan Fe yang terkandung di dalam ubi jalar segar, dan juga berasal dari kontaminasi tanah dan udara selama pengolahan. Sementara itu kandungan protein tidak termasuk dalam penentuan spesifikasi mutu pati sehingga besarnya kadar protein tidak dapat ditentukan secara spesifik batasan nilai minimum ataupun maksimumnya. Kandungan lemak dalam pati tergolong rendah (< 1%) sehingga pati tersebut aman dari kerusakan produk akibat pengaruh oksidasi lemak. Sedangkan kadar karbohidrat merupakan salah satu prasyarat yang menentukan spesifikasi mutu pati. Berdasarkan hasil analisis proksimat, diperoleh kadar karbohidrat yang tinggi (>98%, bk), hal ini disebabkan kandungan karbohidrat dalam pati belum mengalami perubahan secara signifikan akibat tidak terjadinya reaksi-reaksi kimiawi selama tahapan awal proses Analisis sidik ragam menunjukkan pati ubi jalar yang dipanaskan dari suhu 80-90oC menunjukkan adanya penurunan kadar air yang nyata untuk setiap interval waktu. Hal ini disebabkan makin berkurangnya jumlah air bebas pada permukaan yang dapat dikeluarkan dari bahan. Sementara
61 o
itu, pada pemanasan suhu 100 C hanya pada interval waktu dua jam yang menghasilkan nilai yang berbeda nyata dibandingkan dengan interval waktu lainnya. Fenomena ini berkaitan erat dengan semakin menguatnya daya ikat molekul air dalam pati selama pemanasan pada 100oC sehingga molekul air menjadi sulit terlepas dari molekul amilosa pada pati (Adebowale et al. 2005) Oleh karenanya pada perlakuan pemanasan suhu 100oC, tidak terdapat perbedaan yang nyata pada kadar air diantara perlakuan yang diberikan. Analisis Gugus Fungsional Pati
Informasi mengenai keberadaan gugus fungsional dalam molekul pati alami maupun pati modifikasi dianalisis dengan mengenai Fourier Transform Infrared Spectroscopy (FTIR). Teknik analisis ini dilakukan dengan mengukur serapan radiasi sinar inframerah oleh pati, selanjutnya dihasilkan
spektrum
inframerah
yang
kemudian
digunakan
Absorbansi (%)
mengidentifikasi gugus fungsional dan struktur molekuler sampel.
a b
Panjang gelombang (cm-1)
Gambar 18. Spektrum FTIR pati alami (b) dan pati modifikasi (a) Analisis FTIR menujukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada struktur molekuler maupun gugus fungsional dari pati alami maupun termodifikasi, hal ini diperlihatkan oleh profil kurva dan bentuk puncak dari kurva absorbansi yang sama antara spectrum FTIR pati alami dan pati termodifikasi (Gambar 18). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Watcharatewinkul et al. (2009) yang menyebutkan perlakuan modifikasi pati secara fisik dengan HMT tidak merubah struktur molekuler maupun gugus fungsional yang terkandung dalam pati tersebut. Perlakuan
62 modifikasi pati dengan HMT tidak menginduksi adanya gugus fungsional yang baru sehingga perubahan struktur kimia molekul pati tidak terjadi. Secara umum kisaran spektrum serapan pada kedua jenis molekul pati tersebut hampir mirip dan kebanyakan berimpit. Puncak kurva spektrum serapan pada kisaran antara 3433,62-3433,82 cm-1 pada pati alami maupun termodifikasi menunjukkan gugus hidroksil yang terikat kuat pada kedua jenis pati tersebut. Sementara spektrum serapan pada kisaran antara 2931,66-2932,03 cm-1 dengan puncak kurva yang hampir berimpit menujukkan gugus alkil yang terikat lemah pada kedua jenis pati tersebut. Sedangkan spektrum serapan pada kisaran antara 1645,301647,34 cm-1 menunjukkan bahwa adanya ikatan C=C pada kedua jenis pati tersebut dengan kekuatan menengah.
Proses Pembuatan Rasbi Rendemen
Dalam tahap pembuatan rasbi yang berasal dari enam perlakuan, yaitu : tepung Cangkuang dengan pati alami, tepung Cangkuang dengan pati modifikasi, tepung Sukuh dengan pati alami, tepung Sukuh dengan pati modifikasi, tepung Naruto dengan pati alami dan tepung Naruto dengan pati modifikasi. Banyaknya rasbi yang dihasilkan dari sejumlah adonan bahan baku berupa tepung dengan pati alami mupun termodifikasi perlu diketahui datanya (Gambar 19). 96
95,2a 94,91a
a
95,15a 95,18
Rendemen (%)
95
94,83a 94,47a
94 93 Alami
92
Modifikasi
91 90 89 88 Cangkuang
Sukuh
Naruto
Varietas
Gambar 19. Rendemen rasbi yang dihasilkan berdasarkan perlakuan Analisis uji t berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Dengan demikian tingkat produktivitas rasbi yang
63 berasal dari perlakuan kontrol (pati alami) dengan pati modifikasi setara. Dengan demikian perlakuan modifikasi pati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan rendemen rasbi yang dihasilkan mengingat proses pembuatan rasbi juga ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain: kecepatan pemasukan umpan ke dalam alat pembentuk butiran adonan, kecepatan putaran saat proses pembentukan butiran adonan serta tenaga operator yang mengoperasikan alat tersebut. Warna
Warna merupakan salah satu atribut penting yang menentukan sisi penerimaan produk pangan oleh konsumen. Analisis terhadap atribut pewarnaan rasbi disajikan dalam Tabel 11. Hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan adanya perbedaan yang nyata terhadap atribut warna rasbi yang dihasilkan. Tabel 11. Analisis pewarnaan rasbi Varietas Cangkuang Sukuh Naruto
Perlakuan
L
a
Alami
61,73
b
Modifikasi
b
W
-1,13
b
19,17
b
57,15 b
54,56 a
-1,06
a
16,14 a
51,72 a
Alami
58,35 b
-1,06 a
18,47 b
54,92 b
Modifikasi
55,72 a
-1,01 a
15,79 a
53,01 a
Alami
59,99 b
-0,75 b
17,99 b
55,93 b
Modifikasi
52,72 a
-0,06 a
16,73 a
50,16 a
Keterangan : Angka pada varietas yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%.
Secara umum rasbi yang dibuat dari tepung dalam varietas yang sama dengan pati alami maupun pati modifikasi cenderung menampakkan karaktersitik kusam dan tidak cerah. Hal ini dibuktikan dengan nilai L yang belum mendekati 100. Nilai a untuk keseluruhan perlakuan menujukkan nilai negatif. Hal tersebut menujukkan karakter warna hue rasbi cenderung berwarna hijau. Nilai b pada seluruh perlakuan yang diujikan menujukkan nilai positif, hal ini menujukkan karakter warna produk rasbi secara keseluruhan cenderung berwarna kuning. Analisis uji t berpasangan juga menujukkan pengaruh modifikasi pati dengan HMT juga berperan dalam penentuan atribut warna rasbi. Rasbi yang dibuat dari pati modifikasi memberikan tingkat kecerahan, intensitas warna hue, derajat kekuningan dan tingkat keputihan yang lebih
64 rendah bila dibandingkan dengan rasbi yang berasal dari pati alami. Hal yang sedikit berbeda teramati pada rasbi yang berasal dari tepung Sukuh, dimana intesitas warna hue diantara kedua jenis rasbi yang berasal dari pati alami maupun pati modifikasi tidak berbeda nyata. Karakteristik tekstur rasbi
Tekstur rasbi merupakan parameter penting yang menentukan mutu produk pangan. Karakteristik tekstur rasbi yang dianalisis meliputi kekerasan dan kelengketan. Karakteristik rasbi yang diinginkan bersifat tidak keras dan tidak lengket. Data karakteristik tekstur rasbi disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Karakteristik tekstur rasbi Varietas Cangkuang Sukuh Naruto Keterangan :
Perlakuan
Kekerasan (gf)
Kelengketan (gf)
Alami
2163,83
a
-231,33 a
Modifikasi
2070,17 a
-217,77 a
Alami
2036,23 a
-227,87 a
Modifikasi
1852,40 a
-218,13 a
Alami
1958,37 a
-221,80 a
Modifikasi
2052,63 a
-202,93 a
Angka pada varietas yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%.
Analisis uji t berpasangan menujukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan yang diberikan (p < 0,05) terhadap kekerasan maupun kelengketan rasbi. Dengan demikian perlakuan modifikasi pati tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan tingkat kekerasan maupun kelengketan rasbi bila dibandingkan dengan rasbi yang berasal dari pati alami. Hal ini disebabkan rasio pati : tepung sebagai bahan baku terlalu kecil (1:4) sehingga tidak berpengaruh terhadap karakteristik tekstur produk akhir. Namun secara umum terjadi penurunan tingkat kekerasan maupun kelengketan pada setiap varietas dengan perlakuan pati modifikasi,masingmasing dari 1958,37-2163,83 gf menjadi 1852,40-2070,17 gf dan -221,80--231,33 gf menjadi -202,93--218,13 gf. Berkurangnya kelengketan rasbi yang diformulasi dari pati modifikasi disebabkan adanya penguatan penguatan struktur internal granula pati yang berperan penting dalam menurunkan nilai viskositas breakdown pati termodifikasi selama proses
65 gelatinisasi berlangsung. Hal tersebut berpengaruh profil viskositas yang semakin merata dan stabil terhadap proses pemanasan pada suhu tinggi. Daya serap air rasbi
Kemampuan penyerapan air merupakan parameter pokok yang menentukan mutu fisik rasbi. Hasil analisis daya serap air rasbi disajikan dalam Gambar 20.
Daya serap air (%)
275 265
266b
261,67a 255,67 a
255
251,67 a
248,67a
248 a Alami
245
Modifikasi
235 225 215 Cangkuang
Sukuh
Naruto
Varietas
Gambar 20. Daya serap air rasbi berdasarkan perlakuan Hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rasbi yang dibuat dari tepung Cangkuang maupun Sukuh dengan pati alami dan termodifikasi Dengan demikian pada kedua jenis rasbi tersebut, perlakuan modifikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata dalam penyerapan air produk. Namun terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pada rasbi yang dibuat dari tepung Naruto, dimana rasbi yang dibuat dengan dengan pati alami memiliki kemampuan penyerapan air yang lebih besar yakni 266%. Perlakuan modifikasi pati menyebabkan terjadinya perubahan granula pati tipe C yang mudah tergelatinisasi pada suhu rendah menjadi tipe A yang akan tergelatinisasi pada suhu yang lebih tinggi. Granula pati tipe A memiliki karakteristik pengembangan granula yang relatif terbatas, sehingga kemampuan penyerapan airnya juga lebih rendah dibandingkan granula pati C. Selain itu pada granula pati yang mengalami modifikasi, struktur kompleks amilosa-amilopektinnya telah mengalami penguatan akibat adanya transformasi bentuk molekul amilosa amorphous menjadi struktur kristalit dan bersifat rigid. Bentuk struktur kristalit pati tersebut mampu
66 menahan terlepasnya amilosa dari granula pati dan menjaga agar amilopektin tidak larut dan terikat dengan molekul air. Dengan adanya kemampuan penyerapan air pati modifikasi yang nilainya lebih rendah dibandingkan dengan pati alami, maka granula pati modifikasi cenderung tidak mudah pecah saat berlangsungnya tahap gelatinisasi sehingga akan memperbaiki nilai karakteristik viskoelastik pati tersebut ketika diformulasikan dengan tepung ubi jalar dalam proses pembuatan rasbi. Komposisi Proksimat Rasbi
Rasbi yang telah diperoleh dianalisis secara kimiawi komposisi proksimatnya. Selanjutnya dilakukan uji statistik (uji t)
rasbi yang
ditunjukkan pada Tabel 13. Hasil analisis uji t menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan yang diberikan. Tabel 13. Komposisi kimia proksimat rasbi Varietas
Perlakuan
Cangkuang
Alami Modifikasi
Sukuh
Alami Modifikasi
Naruto
Alami Modifikasi
Keterangan :
Air (bb) 9,25 b
Abu (bk) 1,59 a
Lemak (bk) 1,07 b
Protein (bk) 2,66 b
Karbohidrat (bk) 94,68 a
8,54 a
1,74 a
0,95 a
1,87 a
95,44 b
8,91 b
1,17 a
1,24 b
1,74 a
95,84 a
8,20 a
1,38 b
0,62 a
1,74 a
96,26 b
8,30 a
1,43 a
1,20 b
2,26 b
95,11 a
8,09 a
1,61 a
0,87 a
1,67 a
95,85 b
Angka pada varietas yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%
Analisis uji t berpasangan terhadap kadar air menunjukkan rasbi yang mengandung pati modifikasi memiliki kadar air yang lebih rendah, yaitu: 8,09-8,54% akibat adanya evaporasi air yang mengakibatkan berkurangnya kadar air produk bila dibandingkan dengan rasbi yang diformulasi pati alami. Hasil yang berbeda diperoleh pada rasbi yang berasal dari tepung Naruto dimana modifikasi pati dengan HMT tidak berbeda secara nyata dengan perlakuan kontrol (pati alami). Air merupakan memegang peranan penting dalam bahan pangan. Air dapat berperan sebagai medium pendispersi atau pelarut berbagai produk atau dapat pula sebagai fase terdispersi pada produk yang diemulsi, seperti mentega dan margarin (de Man 1995 di dalam Lopulalan 2008). Sedangkan, Buckle et al. (1987) menyatakan air merupakan komponen
67 penting dalam bahan pangan yang menentukan sisi penerimaan, kesegaran dan daya tahan produk. Kadar abu rasbi yang diformulasi dari pati alami pada umumnya lebih rendah dibandingkan pada rasbi yang diformulasi dari pati modifikasi. Namun secara statistik, tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan (kecuali pada rasbi yang berasal dari tepung Sukuh). Kadar abu mencerminkan besarnya kandungan mineral dalam produk pangan. Mineral dalam bahan pangan merupakan zat anorganik yang tidak terbakar selama berlangsungnya proses pembakaran. Dengan demikian abu sisa pembakaran dapat dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Hasil uji t terhadap kadar lemak rasbi menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan yang diberikan dimana rasbi yang diformulasi dari pati modifikasi mengandung lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan rasbi yang diformulasi dari pati alami. Lemak merupakan sekelompok senyawa organik yang terdiri dari unsur C, H dan O yang memiliki sifat dapat larut dalam pelarut tertentu, seperti petroleum benzena, eter. Lemak netral (glycerin) merupakan lemak esensial yang penting peranannya dalam bahan pangan (Sediaoetama 2006). Gaman & Sherington (1992) menyatakan bahwa lemak memiliki kemampuan dalam melapisi pati dan gluten sehingga dapat menimbulkan kerenyahan suatu bahan pangan. Sedangkan Matz (1978) melaporkan lemak berperan penting dalam perbaikan struktur fisik bahan pangan seperti daya kembang, kelembutan, tekstur dan aroma. Rendahnya kadar lemak rasbi disebabkan bahan baku yang digunakan umumnya berkadar lemak rendah. Dengan demikian rasbi juga tergolong produk pangan yang aman dari pengaruh kerusakan produk akibat reaksi oksidasi lemak. Sementara itu, protein berperan sebagai zat pembangun dan pengatur metabolisme dalam tubuh. Selama berlangsungnya proses pencernaan, protein diubah menjadi asam amino (unit penyusun protein) yang selanjutnya diserap oleh tubuh. Oleh karena peranannya yang penting bagi tubuh, maka kandungan protein dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan tersebut (Winarno 2002). Berdasarkan hasil analisis uji t, kadar protein rasbi yang diformulasi dari tepung Cangkuang dan Naruto menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar
68 perlakuan, dimana kadar protein dari rasbi yang diformulasi dari perlakuan pati modifikasi lebih rendah dibandingkan dengan rasbi yang diformulasi dari perlakuan pati alami. Hal yang berbeda ditemukan pada rasbi yang diformulasi dari tepung Sukuh dimana perlakuan modifikasi pati dengan HMT tidak memberikan perbedaan yang nyata pada kadar protein rasbi bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol (pati alami). Namun secara umum kadar protein dalam rasbi masih tergolong rendah akibat rendahnya kandungan protein dari bahan baku penyusunnya. Kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference dengan menghitung selisih komposisi proksimat total (100%) dengan kadar abu, kadar protein dan kadar lemak. Karbohidrat merupakan zat pangan sumber kalori utama bagi manusia. Selain itu, karbohidrat berperan penting mencegah timbulnya ketosis, pemecahan protein tubuh yang berlebihan, kehilangan mineral serta berguna dalam membantu metabolisme protein dan lemak (Winarno 2002). Hasil uji t menunjukkan kadar karbohidrat rasbi yang berasal dari perlakuan pati modifikasi berbeda nyata dengan dengan rasbi yang berasal dari perlakuan kontrol (pati alami), dimana rasbi yang berasal dari perlakuan pati modifikasi mengandung karbohidrat yang lebih tinggi kadarnya dibandingkan rasbi yang berasal dari perlakuan kontrol. Hal ini terkait dengan adanya penurunan kadar air yang mengakibatkan meningkatnya konsentrasi zat lainnya (karbohidrat). Secara umum kekuatan struktur internal granula pati yang lebih tahan terhadap perlakuan termal sangat berpengaruh terhadap kestabilan ikatan kompleks antara amilosa dengan amilopektin sehingga pada molekul pati termodifikasi tidak mudah terjadi dekomposisi molekul karbohidrat. Serat Pangan Rasbi
Serat pangan secara fisiologis merupakan komponen tanaman yang tidak dapat didegradasikan secara enzimatis menjadi sub unit yang dapat diserap oleh lambung dan usus halus (Winarno 1992). Serat pangan total didefinisikan sebagai hasil penjumlahan serat pangan larut (SPL) dan serat pangan tidak larut (SPTL). Serat pangan larut ialah serat pangan yang larut atau mengembang dalam air panas atau hangat, sedangkan serat pangan tidak larut adalah serat pangan yang tidak dapat
69 larut dalam air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Kadar SPTL maupun SPL disajikan pada Gambar 21 dan 22.
Serat pangan tak larut (% )
8 6,45b
7 a
5,73
6
6,89b
6,67b
a
6,15
a
5,88
5 Alami
4
Modifikasi
3 2 1 0 Cangkuang
Sukuh
Naruto
Varietas
Gambar 21. Kadar serat pangan tak larut (SPTL) berdasarkan perlakuan Hasil analisis uji t berpasangan SPTL maupun SPL menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Perlakuan modifikasi pati mengakibatkan peningkatan kadar SPTL dan SPL masing – masing dari 5,73-6,15% menjadi 6,45-6,89% dan 3,18-3,7% menjadi 3,89-4,2%. Perlakuan
modifikasi
pati
menyebabkan
meningkatnya
tingkat
kekeringan produk akibat adanya evaporasi air dalam bahan sehingga SPL maupun SPTL menjadi lebih tinggi nilainya bila dibandingkan dengan rasbi yang diformulasi dari perlakuan kontrol (pati alami). Meningkatnya kadar SPTL maupun SPL pada rasbi yang diformulasi dari pati modifikasi berkorelasi dengan menurunnya daya cerna pati dan peningkatan kadar pati resisten dalam produk rasbi. Hal ini terkait dengan meningkatnya kadar karbohidrat, khususnya kelompok karbohidrat yang tak tercerna dalam sistem pencernaan tubuh. Jenis karbohidrat tersebut umumnya berupa selulosa, hemiselulosa, lignin dan substansi pektat (Muchtadi et al. 1992). Dengan semakin meningkatnya kadar serat yang terkandung dalam suatu produk pangan maka akan strategis nilai utilitasnya bagi kesehatan individu.
70 5 Serat pangan larut (%)
4,5
3,9b
4 3,5
3,29a
3,89 b 3,18
4,2b 3,7
a
a
3
Alami
2,5
Modifikasi
2 1,5 1 0,5 0 Cangkuang
Sukuh
Naruto
Varietas
Gambar 22. Kadar serat pangan larut (SPL) berdasarkan perlakuan Eckel (2003) maupun Astawan & Wresdiyati (2004) melaporkan SPL berfungsi untuk memperlambat kecepatan pencernaan di dalam usus, memberikan rasa kenyang yang lebih lama serta memperlambat kenaikan kadar glukosa darah sehingga insulin yang dibutuhkan untuk memindahkan glukosa ke dalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi semakin sedikit. Sedangkan SPTL berperan penting dalam pencegahan berbagai penyakit yang berkaitan dengan saluran pencernaan tubuh, seperti : wasir, divertikulosis dan kanker usus besar. Daya cerna pati rasbi
Daya cerna pati menunjukkan kemampuan pati untuk dicerna dan diserap oleh tubuh. Dalam penelitian ini daya cerna pati dianalisis secara in vitro. Hasil analisis statistika terhadap daya cerna pati rasbi disajikan dalam Gambar 23.
Daya cerna pati (%)
59 58 57
57,69 b 56,53 a
56
56,52 b
56,22 b
Alami
55,48 a 55,03
a
Modifikasi
55 54 53 Cangkuang
Sukuh
Naruto
Varietas
Gambar 23. Daya cerna pati rasbi dari perlakuan yang diberikan
71 Hasil analisis uji t berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan. Perlakuan modifikasi pati mengakibatkan penurunan daya cerna pati rasbi dari 56,22-57,69% menjadi 55,03-56,53%. Dengan demikian perlakuan modifikasi pati memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan daya cerna pati rasbi. Modifikasi pati dengan HMT mampu menurunkan daya cerna pati rasbi. Berkurangnya daya cerna rasbi yang diformulasi dari pati modifikasi tersebut erat kaitannya dengan semakin rigidnya struktur granula akibat peningkatan nilai entalpi gelatinisasi pati modifikasi sehingga semakin sulit dicerna oleh enzim αamilase. Shin et al. (2005) melaporkan perubahan nilai entalpi gelatinisasi pati berkorelasi dengan hilangnya ikatan heliks ganda granula dan kerusakan struktur kristalit pati. Dengan meningkatnya nilai entalpi tersebut maka ikatan heliks ganda granula pati yang hilang serta struktur kristalitnya yang mengalami kerusakan berkurang jumlahnya. Gunaratne & Hoover (2002) menyatakan tahap awal aktivitas αamilolisis berhubungan dengan penyerapan α-amilase pada granula pati. Semakin berkurangnya kerusakan struktur kristalit pati di dekat permukaan granula dapat memperlambat masuknya α-amilase ke dalam granula sehingga reaksi hidrolisis secara enzimatis menjadi semakin terhambat. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Planchot et al. (1995) menyebutkan perubahan struktur kristalit pati dari tipe C yang lebih rigid menjadi tipe A yang bersifat kurang rigid merupakan substrat yang lebih sesuai bagi aktivitas α-amilase. Kesimpulan serupa diperoleh oleh Gallant et al. (1997) yang menyatakan kristalit pati tipe A merupakan substrat yang lebih sesuai bagi α-amilase sebagai biokatalisator dalam reaksi hidrolisis dibandingkan dengan kristalit pati tipe B dan C. Perlakuan modifikasi pati dengan HMT merubah struktur kristalit pati menjadi lebih rigid sehingga menghambat penetrasi α-amilase ke dalam granula pati dan oleh karenanya mampu menurunkan daya cerna pati tersebut. Waktu tanak dan kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)
Waktu tanak rasbi dan KPAP merupakan parameter mutu yang penting dalam pemasakan rasbi. Waktu tanak rasbi didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk memasak rasbi hingga 90% bagian tengahnya yang berwarna putih berubah menjadi bening. Sementara KPAP
72 menyatakan banyaknya padatan yang hilang selama proses pemasakan rasbi berlangsung (Tabel 14). Tabel 14. Waktu tanak dan KPAP rasbi Varietas Cangkuang Sukuh Naruto
Perlakuan Alami Modifikasi Alami Modifikasi Alami Modifikasi
Waktu Tanak (menit) 20,33 a 22,67 b 21,67 a 24,33 b 23,33 a 25,33 b
KPAP (%) 22,67 b 14,33 a 30 b 18 a 31,33 b 27 a
Keterangan : Angka pada varietas yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%.
Hasil analisis uji t berpasangan terhadap waktu tanak dan KPAP menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan. Waktu tanak rasbi yang dibuat dengan pati modifikasi mengalami peningkatan dari 20,33-23,33 menit menjadi 22,67-25,33 menit. Perlakuan modifikasi pati memberikan pengaruh terhadap peningkatan waktu tanak akibat penguatan struktur internal granula sehingga lebih tahan terhadap perlakuan panas dan oleh karenanya membutuhkan waktu tanak yang lebih lama ketika dimasak. Secara umum rasbi yang dibuat dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi merupakan rasbi dengan waktu tanak paling singkat yakni 22,67 menit dibandingkan rasbi lainnya yang dibuat dengan pati modifikasi. Kadar KPAP dari rasbi yang dibuat dengan pati modifikasi mengalami penurunan dari 22,67-31,33% menjadi 14,33-27%. Rasbi yang dibuat dengan tepung Cangkuang dan pati modifikasi memiliki nilai KPAP terendah yakni 14,33% sehingga dapat dikatakan merupakan rasbi yang terbaik dari segi mutu pemasakan. Organoleptik Rasbi
Uji organoleptik merupakan salah satu cara untuk mengetahui tingkat kesukaan atau penerimaan konsumen (uji hedonik, metode rating). Dalam penelitian ini rasbi diuji dalam bentuk matang (sudah dimasak) maupun bentuk mentah. Jumlah panelis dalam uji organoleptik ini sebanyak 21 orang. Skor penilaian yang digunakan adalah 1 = sangat tidak suka hingga 5 = sangat suka. Hasil uji organoleptik rasbi matang selengkapnya disajikan dalam Tabel 15.
73 Tabel 15. Hasil uji organoleptik rasbi matang Parameter Perlakuan
Warna
Aroma Tekstur
Rasa
Penerimaan
Cangkuang-Alami
3,67c
3,67b
3,67c
3,52b
3,76c
Cangkuang-Modifikasi
3,38bc
3,24a
3,10b
3,14ab
3,38bc
Sukuh-Modifikasi
2,95b
3,10a
2,67b
2,81a
3,05ab
Sukuh-Alami
3,19b
3,10a
2, 95ab
2,76a
2,90a
Naruto-Alami
2,38a
3,00a
2,38a
2,71a
2,67a
Naruto-Modifikasi
3,29a
3,00a
2,67ab
2,76a
2,86a
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.
Analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan yang diberikan. Rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami memiliki skor tertinggi pada keseluruhan parameter dalam uji organoleptik rasbi matang. Namun demikian bila dicermati lebih lanjut pada parameter warna, rasa dan penerimaan secara umum, rasbi yang berasal dari perlakuan tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi memiliki penilaian yang tidak berbeda nyata. Oleh karenanya berdasarkan hasil analisis tersebut maka rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati termodifikasi dianggap sebagai perlakuan terbaik yang dipilih untuk digunakan dalam uji IG maupun stabilitas produk. Namun demikian, perlu dilakukan uji organoleptik terhadap rasbi mentah untuk memperkuat hasil yang telah diperoleh sebelumnya. Tabel 16. Hasil uji organoleptik rasbi mentah Perlakuan
Cangkuang-Alami Cangkuang-Modifikasi Sukuh-Modifikasi Sukuh-Alami Naruto-Alami Naruto-Modifikasi Keterangan:
Warna
3,48b 3,43b 3,14b 3,14b 2,43a 2,67a
Parameter Tekstur Penampakan
2,90a 2,90a 2,90a 3,10a 3,00a 3,00a
3,19a 3,24a 3,10a 3,10a 3,00a 3,05a
Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan ada perbedaan nyata dengan uji beda Duncan pada taraf signifikansi 5%.
Hasil uji organoleptik rasbi mentah disajikan dalam Tabel 16. Analisis sidik ragam menunjukkan hanya terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pada parameter warna. Rasbi yang berasal dari tepung
74 Cangkuang dengan pati alami memiliki nilai tertinggi diikuti dengan rasbi yang dibuat dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi. Hal ini memperkuat bukti rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati termodifikasi merupakan produk terpilih yang digunakan selanjutnya dalam uji stabilitas. Rasbi mentah maupun matang sebagai produk terpilih disajikan dalam Gambar 24 dan 25.
Gambar 24. Rasbi mentah dengan perlakuan terpilih dari tepung Cangkuang dengan pati alami (kiri) maupun pati modifikasi (kanan)
Gambar 25. Rasbi matang dengan perlakuan terpilih dari tepung Cangkuang dengan pati alami (kiri) maupun pati modifikasi (kanan).
Indeks glikemik rasbi
Saat ini pemahaman mengenai pentingnya peranan karbohidrat bagi kesehatan tubuh semakin berkembang. Berdasarkan studi yang telah dilakukan selama ini, ditemukan bukti adanya perbedaan kecepatan pencernaan karbohidrat pada saluran pencernaan. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap peningkatan kadar gula darah dan respon insulin di dalam tubuh. Hal inilah yang mendasari berkembangnya konsep indeks glikemik (IG). IG berperan dalam klasifikasi jenis pangan menurut pengaruhnya terhadap kenaikan kadar gula darah tubuh. Produk pangan yang mampu meningkatkan kadar gula darah secara cepat dikatakan mempunyai IG yang
75 tinggi, sementara bahan pangan digolongkan ke dalam kelompok ber-IG rendah manakala pengaruhnya terhadap kenaikan gula darah berlangsung secara lambat. Miller et al. (1991) maupun Heather et al. (2001) di dalam Widowati (2007) menyatakan studi pemberian pangan ber-IG rendah dalam periode waktu menengah dapat mengendalikan kadar gula darah penderita DM. Tabel 17. Indeks glikemik rasbi terpilih Perlakuan
Indeks Glikemik (IG)
Kategori
67,47a
Sedang
a
Sedang
Cangkuang-Alami
Cangkuang-Modifikasi
64,44
Keterangan : Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf kecil yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata dengan uji t berpasangan pada taraf signifikansi 5%.
Dengan demikian studi tentang pengenalan karbohidrat berdasarkan pengaruhnya terhadap kadar gula darah dan respon insulin bermanfaat sebagai acuan dalam menentukan jenis dan porsi pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan tubuh (Rimbawan & Siagian 2004). Bagi diabetesi, konsep IG diharapkan menjadi semacam panduan dalam memilih jenis pangan hipoglikemik dan tidak mendorong munculnya komplikasi sehingga pola diet tetap bisa
Kadar gula darah (mg/dl)
dilakukan dengan benar dan nyaman. 160 140 120 100 80 60 40 CNG_ALM
20
CNG_MOD
Glukosa
0 0
20
40
60
80
100
120
140
Waktu sampling (menit)
Gambar 26. Perubahan kadar gula darah selama pengujian indeks glikemik produk rasbi terpilih. Pada penelitian ini dilakukan uji IG terhadap rasbi dengan perlakuan terpilih, yaitu : rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami dan rasbi dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi. Kurva
76 perubahan kadar gula dalam penentuan IG ditunjukkan pada Gambar 26. Secara umum kedua jenis rasbi tersebut berada pada kelompok pangan berIG sedang. Namun rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi memiliki IG yang lebih rendah dibandingkan rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami (Tabel 17). Modifikasi pati secara fisik (HMT) dapat meningkatkan resistensi molekul pati yang berakibat pada penurunan daya cerna pati. Hal ini disebabkan meningkatnya kadar pati resisten dalam rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dan pati HMT terpilih. British Nutrition Foundation (2005) melaporkan pangan yang kaya akan pati resisten mampu menurunkan respon glikemik tubuh yang berakibat pada penurunan respon gula darah postprandial. Dengan demikian rasbi yang mengandung pati HMT terpilih memiliki pengaruh yang baik bagi kesehatan mengingat produk pangan tersebut tidak langsung menaikkan kadar gula darah secara cepat sehingga respon insulin tubuh dapat terpelihara dengan baik (Bird et al. 2003) Uji Stabilitas dan Penentuan Kemasan Rasbi Sorpsi Isotermis Air
Setiap komoditas pertanian memiliki sifat higroskopis yang khas sebelum maupun setelah diolah lebih lanjut. Sifat tersebut erat kaitannya dengan kemampuan bahan untuk menyerap air dari udara sekeliling maupun sebaliknya dengan melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara (Syarief & Halid 1993). Secara umum sifat ini digambarkan dengan kurva isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan
dengan
kelembaban
relatif
kesetimbangan
ruang
tempat
penyimpanan bahan atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu. Kadar Air Kesetimbangan dan Kurva Sorpsi Isotermis Air
Kurva sorpsi isotermis rasbi dari tepung Cangkuang dengan pati alami (CNG_ALM) maupun tepung Cangkuang dengan pati modifikasi (CNG_MOD) dibuat berdasarkan pengamatan terhadap sampel rasbi yang disimpan dalam beberapa wadah kedap udara dengan kelembaban relatif yang beragam nilainya dari 6-96% hingga mencapai kadar air kesetimbangan (Tabel 18) pada semua larutan garam jenuh (± 14 hari).
77 Tabel 18. Kadar air kesetimbangan rasbi pada berbagai aw penyimpanan. Larutan Garam NaOH MgCl2 K2CO3 NaCl KCl BaCl2
aw 0,06 0,32 0,44 0,75 0,84* 0,96**
Ka(%bk) RCNG_ALM 1,57 2,14 4,91 9,67 14,07 23,68
Ka(%bk) RCNG_MOD 0,58 1,18 2,4 8,88 12,98 21,59
Keterangan : * pertumbuhan jamur sedang ** pertumbuhan jamur berat
Air adalah salah satu komponen yang menentukan peranannya dalam pengolahan dan stabilitas produk pangan kering. Selama penyimpanan terjadi interaksi antara produk pangan dengan lingkungan pada berbagai kondisi kelembaban relatif (RH). Uap air akan berpindah dari produk pangan ke lingkungannya ataupun sebaliknya hingga tercapai kondisi kesetimbangan. Perpindahan molekul uap air disebabkan adanya perbedaan kelembaban relatif lingkungan dengan produk pangan, dimana uap air berpindah dari kelembaban relatif yang tinggi menuju kelembaban relatif yang rendah sehingga kadar air produk pangan akan senantiasa berubah setiap harinya (Lopulalan 2008). 25
Kadar air (%bk)
20
15 RCNG_ALM RCNG_MOD
10
5
0 0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
aw
Gambar 27. Kurva sorpsi isotermis rasbi dengan perlakuan terpilih Perubahan kadar air tersebut dinyatakan relatif konstan bila tercapai kondisi kesetimbangan antara sampel dan lingkungan ditandai oleh selisih antara tiga penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 5 mg/g untuk sampel yang disimpan pada kelembaban relatif dibawah 90% serta 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada kelembaban relatif diatas 90% (Adawiyah, 2006). Selama proses penyimpanan pada aw ≥ 0,84 ditumbuhi oleh jamur dengan pertumbuhan dari sedang hingga berat yang mulai terlihat pada
78 hari
ke-6 pengamatan. Tumbuhnya jamur menyebabkan berat sampel
naik, hal ini karena terjadi penambahan air dari mikroorganisme yang tumbuh hingga kelembaban relatif sampel nilainya diatas dan akhirnya mengakibatkan desorpsi. Kurva isotermis rasbi dari tepung cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi diperoleh dengan cara memplotkan kadar air kesetimbangan (%) dangan aw atau kelembaban relatif lingkungannya. Kedua kurva isotermis rasbi (Gambar 27) memiliki pola yang hampir sama dimana pada aw dibawah 0,84 terjadi penyerapan air yang rendah, sedangkan pada aw ≥ 0,84 terjadi penyerapan air yang tinggi. Menurut Bell dan Labuza (2000) dalam Adawiyah (2006) menyatakan bentuk kurva tersebut termasuk dalam kurva sorpsi isotermis tipe III. Lebih lanjut Fennema (1985) menyatakan bahwa bentuk kurva sorpsi isotermis beragam macamnya tergantung dari sifat alami bahan pangan, suhu, kecepatan adsorpsi maupun desorpsi dan kuantitas air yang dipindahkan selama proses adsorpsi atau desorpsi berlangsung. Pendugaan Umur Simpan dan Kemasan Rasbi
Umur simpan didefinisikan sebagai jangka waktu yang ditentukan dari produk pangan mulai diproduksi hingga saat dimana produk tersebut ditolak oleh konsumen akibat telah terjadinya penyimpangan mutu. Pada produk pangan kering seperti rasbi, umur simpannya sangat berkaitan dengan kadar air kritis yang didefinisikan sebagai kadar air dimana secara organoleptik produk tersebut ditolak oleh konsumen. Pada produk pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban relatif lingkungan berperan penting perubahan kadar air bahan sehingga mempengaruhi mutu produk pangan tersebut (Syarief et al. 1989). Dalam menentukan umur simpan, perlu dibuat kurva berdasarkan kadar air kesetimbangan (% bk) dengan kelembaban relatif lingkungan. Kurva sorpsi isotermis dibuat untuk mendapatkan nilai slope (Gambar 3031). Kadar air awal rasbi dari tepung cangkuang dengan pati alami adalah 5,23% dan pada rasbi dari tepung cangkuang dengan pati modifikasi adalah 4,28%. Sedangkan kadar air kritis diperoleh melalui pengamatan harian terhadap rasbi yang disimpan pada kelembaban relatif lingkungan 84% hingga teksturnya berubah menjadi lembek lalu diukur kadar airnya. Kadar air kritis pada kelembaban relatif lingkungan 84% adalah 11,68%
79 untuk rasbi dari tepung cangkuang dengan pati alami dan 11,18% untuk rasbi dari tepung cangkuang dengan pati modifikasi. 14
Kadar Air (% bk)
12
y = 0,1757x - 3,2232 R 2 = 0,9942
10 8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
Kelembaban Relatif (%)
Gambar 28. Slope sorpsi isotermis rasbi dari tepung Cangkuang dan pati alami pada aw = 0,32-0,84. 12
y = 0,196x - 5,6056 R2 = 0,9888
Kadar Air (% bk)
10 8 6 4 2 0 0
20
40
60
80
100
Kelembaban Relatif (%)
Gambar 29. Slope sorpsi isotermis rasbi dari tepung Cangkuang dan pati modifikasi pada aw = 0,32-0,84. Singh (1991) dalam de Man & Jones (1995) menyatakan bahwa makanan kering akan mengalami kenaikan kadar air dan menjadi tidak renyah bila disimpan pada kelembaban relatif yang tinggi. Lopulalan (2008) menyatakan sebagai salah satu produk pangan kering, biskuit mengalami
kerusakan
mutu dimana teksturnya berubah
menjadi
melempem bila disimpan pada kelembaban relatif yang tinggi. Slope untuk rasbi yang berasal tepung cangkuang dengan pati alami maupun pati termodifikasi masing-masing sebesar 0,21 dan 0,22 (Gambar 28 dan 29). Sementara itu permeabilitas kemasan merupakan laju
80 transmisi uap air melalui unit luasan dari material dengan permukaan rata dan datar sebagai akibat perbedaan tekanan uap air pada kedua sisi permukaannya. Kemasan polypropylene (PP) dan polyethylene (PE) memiliki nilai permeabilitas masing-masing sebesar 0,13 dan 0,32 g/m2.mmHg.hr (Jenkins & Harrington, 1991). Data sekunder beserta hasil perhitungan untuk penentuan umur simpan dan jenis kemasan rasbi disajikan dalam Tabel 19. Tabel 19. Umur simpan rasbi dalam kemasan PP dan PE pada kelembaban relatif 84%. Parameter Me (% bk) Mi (% bk) Mc (% bk) k/x : (g/m2.mmHg.hari) Ws (gr) A (m2) Po (mmHg) B (g.H2O/g.bk) Umur simpan (bulan)
PP PE
PP PE
Kelembaban Lingkungan 84% RCNG_ALM RCNG_MOD 14,07 12,98 5,23 4,28 11,68 11,18 0,13 0,13 0,32 0,32 1000 1000 0,5 0,5 28,5 28,5 0,18 0,20 4,24 5,67 1,72 2,30
Umur simpan rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi lebih lama dibanding rasbi yang berasal dari tepung Cangkuang dengan pati alami. Hal tersebut berkaitan dengan kadar air rasbi dari tepung Cangkuang dengan pati modifikasi yang lebih rendah sehingga lebih awet dan tahan lama dibandingkan rasbi yang berasal dari tepung cangkuang dengan pati alami. Rasbi yang dikemas dengan PP memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan rasbi yang dikemas dengan PE. Hal ini disebabkan permeabilitas PP lebih rendah sehingga laju transmisi uap air ke dalam kemasan lebih lambat dibandingkan PE. Rendahnya permeabilitas kemasan menjaga sifat higroskopik produk dari kerusakan mutu akibat tumbuhnya jamur di permukaan produk (Lopulalan 2008).
81 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
1.
Sifat amilografi pati ubi jalar alami maupun termodifikasi menunjukkan pati dengan perlakuan pemanasan pada 80 oC selama 4 jam merupakan pati terpilih. Pati tersebut memiliki nilai viskositas breakdown yang paling rendah (Vbr = 0 BU) dan viskositas setback yang relatif kecil (Vsb = 30 BU). Dengan demikian diperoleh pati modifikasi terpilih yang bersama pati alami digunakan pada tahap pembuatan rasbi.
2.
Penggunaan pati termodifikasi dapat memperbaiki sifat fungsional rasbi yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar serat pangan yakni: 1) SPTL dari 5,73-6,15% menjadi 6,45-6,89 % dan 2) SPL dari 3,18-3,7% menjadi 3,89-4,2 %; penurunan daya cerna pati dari 56,22-57,69% menjadi 55,03-56,53 %; penurunan indeks glikemik dari 67,47 menjadi 64,44; penurunan KPAP dari 22,67-31,33% menjadi 14,33-27% serta peningkatan waktu tanak dari 20,33-23,33 menit menjadi 22,67-25,33 menit.
3.
Hasil uji organoleptik rasbi menunjukkan rasbi yang dibuat dari tepung Cangkuang dengan pati alami maupun pati modifikasi merupakan perlakuan yang terbaik dari aspek penerimaan konsumen dan selanjutnya digunakan dalam uji stabilitas produk.
4.
Hasil uji stabilitas menunjukkan rasbi dari tepung Cangkuang dengan pati termodifikasi memiliki umur simpan yang lebih lama dibandingkan rasbi dari tepung Cangkuang dan pati alami. Umur simpan rasbi yang dibuat dari perlakuan pati termodifikasi jika dikemas dengan PP dan PE masing-masing sebesar 5,67 dan 2,30 bulan. Sedangkan umur simpan rasbi yang dibuat dari perlakuan pati alami jika dikemas dengan PP dan PE masing-masing sebesar 4,24 dan 1,71 bulan.
Saran :
1.
Perlu dilakukan studi lanjutan mengenai korelasi antara karakteristik mutu fisik rasbi (tekstur dan KPAP) dengan tingkat preferensi konsumen.
2.
Perlu pula dilakukan uji deskriptif produk untuk mengidentifikasi karakteristik sensori yang penting serta derajat intensitasnya pada produk rasbi.
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah DR. 2006. Efek Hubungan Sorpsi Air, Suhu Transisi Gelas dan Mobilitas Air serta Pengaruhnya Terhadap Stabilitas Produk pada Model Pangan. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Adebowale KO, Olu-owolabi BI, Olayinka OO, Lawal OS. 2005. Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch Afr. J. Biotechnol, 4 : 928-933 Ahmad BF, Williams PA, Doublier J, Durand S, Buleon A. 1999. Physicochemical characterization of sago starch. Carbohydr Polym, 38: 361-370. Anonim, 2003. Dukungan Kebijakan dalam Kemitraan Usaha dan Pengolahan Hasil Umbi-umbian (Ubikayu dan ubi jalar). Makalah disampaikan pada Pertemuan Koordinasi Pengembangan Produksi Umbi-umbian (Ubikayu dan ubi jalar) pada tanggal 20-21 Oktober 2003 di Bandar Lampung. Penyelenggara Direktorat P2HP, Dirjen BP2HP, Departemen Pertanian. AOAC [Association of Official Analytical Chemist]. 2006. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC. Apriyantono A., Fardiaz D., Puspitasari NL., Yasni S., Budijanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Asp NG. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric Food Chem, 31: 476-482. Astawan M, Widowati S. 2005. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubi jalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Lap. Hasil Penelitian RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok, IPB. Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri Atwell W.A., Hood L.F., Lineback D.R., Varriano-Marston E., Zobel H.F. 1988. The terminology and methodology associated with basic starch phenomena. Cereal Foods World, 33: 306-311. Banks W, Greenwood CT. 1975. Starch and Its Components. Halsted Press, John Willey and Sons, N.Y.
83
Be Miller JN, Whisler, Paschall. 1995. Starch : Chemistry and Technology. Eds. Academic Press. Orlando. San Diego. New York. Toronto. London. Bird T., Ray W., Topping D., Morrel M. 2003. Measuring GI and RS in vivo and in vitro. Food Features National Research Flagship, Adelaide-Australia. Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. Bogracheva T.Y., Cairns P., Noel T.R., Hulleman S., Wang T.L., Morris V.J., Ring S.G., Hedley C.L. 1999. The effect of mutant genes at the r, rb, rug3, rug4, rug5 and lam loci on the granular structure and physico-chemical properties of pea seed starch. Carbohydr Polym. 39: 303–314. British Nutrition Foundation. 2005. Health Properties of Resistant Starch. Nutrition Bulletin (30) 1: 27-54. March.2005. Burrell, MM. 2003. Starch: the need for improved quality or quantity -- an overview. J of Exp Botany 54(382) : 451-456. Collado LS, Corke H. 2003. Starch properties and functionalities. Di dalam : Kaletunc G, Breslauer KJ. Editor. Characterization of Cereals and Flours. Marcel Dekker Inc. New York. p. 493-494. Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates, and H. Corke. 2001. Bihon – type of noodles from heat-moisture treated sweet potato starch. J. Food Sci, 66: 604-609. Collado LS, Corke H. 1999. Heat-moisture treatment of sweet potato starch. Food Chem. 65 : 339-346. Dahuri, R. 2007. Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional. Media Indonesia, 30 Oktober 2007. De Man JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi Kedua. Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung : Penerbit ITB. Eckel R.H. 2003. A new look at dietary protein in diabetes. Am J Clin Nutr 78:671-2
84
Eerlingen R.C., Jacobs H., Block K., Delcour J.A. 1997. Effects of hydrothermal treatments on the rheological properties of potato starch. Carbohydr Res. 297: 347–356. Eliasson AC. 2004. Starch in food : structure, function and applications. Ed ke-1. Cambridge: Woodhead Publishing Limited. hlm 341-344. Eskin, N.A.M., H.M. Henderson and R.J. Townsend. 1971. Biochemistry of Foods. Academic Press, New York, San Francisco, London. 240 halaman. FAOSTAT. 2005. Statistical data of food balance sheet. www.fao.org (diakses pada tanggal 23 Maret 2007). Fardiaz D. 2004. Regulasi dan Keamanan Pangan Fungsional. Makalah pada Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Kerjasama antara Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan IPB dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bandung, 6-7 Okt 2004. Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Buku dan Monograf. Bogor: PAU Bogor Faubion J.M., Hoseney R.C. 1990. The viscoelastic properties of wheat flour doughs. In: H Faridi, JM Faubion, eds. Dough Rheology and Baked Product Texture. New York: Van Nostrand, 1990, pp. 29-67. Fukuoka M., Ohta K.I., Watanabe H. 2002. Determination of the terminal extent of starch gelatinization in a limited water system by DSC. J. Food Eng, 53, 39-42. Gallant D.J, Bouchet B., Baldwin P.M. 1997. Microscopy of starch: evidence of a new level of granule organization. Carbohydr. Polym. 32: 177–191. Gidley M.J., Bulpin P.V. 1987. Crystallization of malto-oligosaccharides as models of the crystalline forms of starch: Minimum Chain-Length Requirement for the Formation of Double Helices. Carbohydr Res, 161: 291–300. Gunaratne A., Hoover R. 2002. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of tuber and root starches. Carbohydr. Polym. 49: 425–437.
85
Guraya H. S., James C., Champagne E. T.. 2001. Effect of enzyme concentration and storage temperature on the formation of slowly digestible starch from cooked debranched rice starch. Starch/Stärke, 54: 401–409. Hariyadi P. 1984. Mempelajari Kinetika Gelatinisasi Pati Sagu (Metroxylon sp). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Heather R. Gilbertson GDD., Miller JB., Thorburn AW., Evans S., Chondros P., Werther GA. 2001. The effect of flexible low glicemic index dietary advice versus measured carbohydrate exchange diets on glycemic control in children with type 1 diabetes. Diab Care Vol. 24: 1137-1143 Hemminger W.F., Cammenga H.K. 1989. Methoden der Thermischen Analyse. Springer Verlag, Berlin. Herawati H., Widowati S. 2008. Pengembangan Beras Artifisial Dari Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L.) Untuk Meningkatkan Ketahanan Pangan. Seminar Hasil Penelitian April 2008. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Hodge J.E., Osman E.M. 1976. Carbohydrates. Di dalam: Fennema DR, editor. Food Chemistry. Ed ke-1. New York and Basel. Marcel Dekker, Inc. Hoover R., Manuel H. 1996. The effect of heat-moisture treatment on the Structure and physicochemical properties of normal maize, waxy maize, dull waxy maize and amylomaize v starches. J of Cereal Sci, 23: 153–162. Hoover R., Vasanthan T. 1994. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of cereal, legume, and tuber starches. Carbohydr. Res, 252:33-53. Horton D, Prain G, Gregory P.1989. High level investment returns for global sweet potato research and development. Circular, 17:1-11. Howarth NC., Saltzman E., Robert SB. 2001. Dietary fiber and weight reduction. Nutr Rev, 59: 129-139. Jacobs H., Delcour J.A. 1998. Hydrothermal modifications of granular starch, with retention of the granular structure – a review. J. Agric Food Chem, 46: 2895–2905.
86
Jenkins, D.J.A, C.W.R. Kendall, L.S.A. Augustin. 2002. Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am. J. Clin. Nutr. 76: 266S273S. Jenkins, W.A., Harrington, J.P. 1991. Packaging Foods With Plastics. Technomic Publishing CO., INC. Lancaster USA. Joslyn, M.A. dan J.D. Ponting. 1951. Enzymed Catalyzed Oxidative Browning of Fruit Products. Di dalam E.M. Mark and G.F Stewart (eds.). Advances in Food Research. Academic Press Inc. Publisher. New York. Juliano, B. O. 1985. Criteria and Testing for Rice Grain Quality. Dalam Houston, D. F. (Ed). Rice : Chemistry and Technologi . American Assoc. Cereal Chem. Inc St. Paul, Princeston Kay D.E. 1973. Root crops the tropical product institute. Foreign and Commonwealth Office, London. Katelunc G., Breslauer K.J. 2003. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and Applications. Marcel Dekker, Inc. New YorkBasel. Khomsan A. 2006. Beras dan Diversifikasi Pangan. http://kompas.com/kompas-cetak/0612/21/opini/3190395.htm, 21 Desember 2006 [diakses 09 Feb 2008]
Kompas.
Kuntowijoyo, 1991. Bergesernya Pola Pangan Pokok di Madura. Pangan Vol. II(9):20-25 BULOG. Jakarta. Labuza TP., Schmidl MK. 1985. Accelerated shelf-life testing of foods. Food Technology, 39(9): 57-62, 64. Labuza TP. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutritition Press Inc. Westport. Connecticut. USA. Lim, S.T., Chang E.H., Chung H.J. 2001.Thermal transition characteristics of heat-moisture treated corn and potato starches. Carbohydr Polym, 46: 107115. Lopulalan CGC. 2008. Kajian Formulasi Dan Isothermis Sorpsi Air Biskuit Jagung. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor.
87
Margono T, Suryati D, Hartinah S. 1993. Panduan Teknologi Pangan. PDII-LIPI. hlm 4. Miller JB, Foster-Powel K, Colagiuri S. 1996. The GI Factor : The GI Solution. Hodder and Stougton. Hodder Headline `Australia Pty Limitted Miller JB., Colagiuri S., Crossman S., Allen A., Roberts DC., Truswell AS. 1991. Low Glicemix Index Foods Improve Long-Term Glycemix Control in NIDDM, Diab Care, 14: 95-101. Meilgaard M, Civille GC, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Press. Muchtadi D. 2004. Khasiat Pangan Fungsional Indigenous Indonesia. Makalah pada Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia : Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Kerjasama antara Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan, IPB dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bandung 6-7 Oktober 2004. Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat pangan untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 12 : 61-71. Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Muchtadi T.R., Hariyadi P., Ahza A.B. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Bogor: PAU IPB. hlm 64-69. Noda, T., Takahata Y., Sato T., Suda I., Morishita T., Ishiguro K., Yamakawa O. 1998. Relationships Between Chain-Length Distribution of Amylopectin and Gelatinization Properties With The Same Botanical Origin for Sweet Potato and Buckwheat. Carbohydrate Polymers. (37): 153–158. Oh, N.H., P.A. Seib, D.W. Deyoe and A.B. Ward. 1983. Measuring The Textural Characteristic of Cooked Noodle. J. Ceral Chem, 60: 433-437. Onwueme, I.C. 1978. The tropical tuber crop. John Wiley and Sons Inc., New York. Piacquadio P., Stefano G. D., Sciancalepore V. 2000. The effect of heating at subgelatinization temperature on enzymatic digestibility of corn starch. Starch/Stärke, 52: 345–348.
88
Planchot V., Colonna P., Gallant D.J., Bouchet B. 1995. Extensive degradation of native starch granules by alpha-amylase from Aspergillus fumigatus. J. Cereal Sci, 21: 163–171. Pukkahuta C., B. Suwannawat, S. Shobsngob, S. Varavinit. 2008. Comparative study of pasting and thermal transition characteristics of osmotic pressure and heat–moisture treated corn starch. Carbohydr Polym, 72: 527–536 Purwani EY, Widaningrum, Thahir R, Muslich. 2006. Effect of Heat Moisture Treatment of Sago Starch On Its Noodle Quality . Indonesian J. Agric Sci, 7: 8-14 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2001. Varietas Unggul Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Rahayu WP., Arpah M. 2004. Pengetahuan Kemasan Plastik (Produk Industri Pangan Dan Jasaboga. Buku. Dan Monograf. Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Rimbawan dan A. Siagian. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Rieuwpassa F. 2005. Biskuit Konsentrat Protein Ikan Dan Probiotik Sebagai Makanan Tambahan Untuk Meningkatkan Antibodi IgA Dan Status Gizi Anak Balita. Disertasi. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Roberts GL. 1999. Foods Packaging Principle and Practice. Marcel Dekker. Inc. New York. Rumpold B.A. 2005. Der Einfluss von hohem hydrostatischem Druck auf Weizen-, Tapioka- und Kartoffelstärke. Genehmigte Dissertation. von der Fakultät III – Prozesswissenschaften der Technischen Universität Berlin Samad, M.Y. 2003. Pembuatan Beras Tiruan dengan Bahan Baku Ubikayu dan Sagu. Pros. Sem. Teknologi untuk Negeri 2003. Vol II, hal 36-40. Setyono A, Setiawati Y, Sudaryono. 1993. Penanganan pascapanen ubi jalar. Di dalam: Syam M, Hermanto, Musaddad A., Editor. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta 4:1270-1280. Shih F., King J., Daigle K., An H-J., Ali R. 2007. Physicochemical Properties of Rice Starch Modified by Hydrothermal Treatments. Cereal Chem, 84:527– 531.
89
Shin S.I., Kim H.J., Ha H.H., Lee S.H., Moon T.W. 2005. Effect of hydrothermal treatment on formation and structural characteristics of slowly digestible non-pasted granular sweet potato starch. Starch/Stärke, 57: 421–430. Stute R. 1992. Hydrothermal modification of starches: the difference between annealing and heat/moisture-treatment. Starch/ Stärke 44: 205-214. Suismono, Richana N., Widowati S., Herawati H., Widaningrum, Misgiyarta. 2007. Teknologi Pengolahan Ubikayu dan Ubi jalar untuk Diversifikasi Konsumsi Pangan. Laporan Hasil Penelitian 2007. BB Litbang Pascapanen Pertanian. Sutoro, Minantyorini.2003. Karakterisasi Ukuran dan Bentuk Umbi Plasma Nutfah Ubi Jalar. Buletin Plasma Nutfah, 9 : 1-6 Svensson E., Eliasson A.C. 1995. Crystalline changes in native wheat and potato starches at intermediate water levels during gelatinization. Carbohydr. Polym, 26: 171-176. Spiess W.E.L., Wolf W., 1987. Critical evaluation of methods to determine moisture Sorption isotherm di dalam Water Activity: Theory and Application to Food. Marcell Dekker, Inc. NY. Syarief R, Halid H. 1992. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan. Jakarta. Syarief R, Santausa S, Isyana BS. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Takeda Y., Hizukuri S. 1982. Location of phosphate groups in potato amylopectin. Carbohydr Res, 102: 321–327. Valetudie, J.C., Guadeloupe L., Colonna P., Bouchet B., Gallant D.J. 1995 Gelatinization of sweet potato,tania and yam tuber starches. Starch/Stärke, 47: 298-306. Vergnes B., Valle G-D., Colonna P. 2001. Rheological Properties of Biopolymers and Applications to Cereal Processing. Dalam Gonul Katelunc and Kenneth J. Breslauer eds. Characterization of Cereals and Flours : Properties, Analysis and Applications. Marcel Dekker, Inc. New York-Basel.
90
Vermeylen, R., Goderis, B., and Delcour, J.A. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydr Polym, 64: 364–375. Viera ER. 1997. Elementary Food Science 4th Edition. Department of Food Science, Nutrition and Culinary Arts Essay Agriculture on Technical Institut Hathirne, Massachussets. Watcharatewinkul, Y., C. Puttanlek, V. Rungsardthong, and D. Uttapap. 2009. Pasting Properties of A Heat-Moisture Treated Canna Starch in Relation to Its Structural Characteristics. Carbohydr Polym, 75: 505–511 Widowati S., Richana N., Suismono, Herawati H. 2008. Pengembangan Pangan Pokok Berbasis Pangan Lokal. Laporan Akhir Tahun Rencana Penelitian Tim Peneliti T.A. 2008. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Widowati S., Astawan M., Santosa B.A.S., Budiyanto A. 2007. Karakterisasi Mutu dan Pengaruh Proses Pratanak Terhadap Indeks Glikemik Berbagai Varietas Beras Indonesia Untuk Meningkatkan Kesehatan Masyarakat dan Ketahanan Pangan. Laporan Hasil Penelitian Riset Insentif Terapan 2007. BB Litbang Pascapanen Pertanian. Widowati S. 2007. Perlakuan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) Dalam Produksi Beras Fungsional AntiDiabetes Melitus. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB Bogor. Widowati S. 2004. Potensi dan Status Minuman Tradisional sebagai Pangan Fungsional. Dalam Rusastra IW et al. (eds) Pros. Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Kerjasama antara Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan IPB dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat. Bandung. Widowati S. 2000. Identifikasi Bahan Makanan Alternatif dan Teknologi Pengolahaannya untuk Ketahanan Pangan Nasional. Buletin AGROBIO 3 (2) : 45-50. Winarno, F.G. 1982. Sweet Potato Processing and by Product Utilization in the Tropics. Di dalam Sweet Potato Proceeding of the First International Symposium. AVRDC, Shanbiz, Taiwan Wirakartakusumah A. 1984. Studi tentang Ekstraksi, Sifat-Sifat Fisiko Kimia Pati Sagu dan Pengkajian Enzim. Laporan Penelitian. IPB. Bogor.
91
Woolfe JA. 1989. Nutritional aspects of sweet potato roots and sweet potato (Ipomoea batatas L.) in Asia. CIP. p. 167-182. Worang R.L. 2008. Karakteristik Hidratasi Biji Dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Mutu Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB Bogor. Wuzburg O.B. 1989. Modified Starches: Properties and Uses. Handbook of Food Aditives The Chemical Rubber. Ohio: Cleveland. Zobel H.F. 1988. Starch crystal transformation and their industrial importance. Starch/Stärke, 40: 1-7. Zobel H.F. 1984. Gelatinization of starch and mechanical properties of starch pastes. In: R.L. Whistler, J.N. Bemiller, and E.F. Paschall. Starch: chemistry and technology (pp.285-309). Academic Press, Inc., Orlando, Florida. Zuraida, N. 2003. Sweet Potato as an Alternative Food Supplement During Rice Shortage. Jurnal Litbang Deptan, 22.
.
92
Lampiran 1. Analisis proksimat tepung dan pati ubi jalar ANOVA
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,160 ,006 ,167 5,425 ,129 5,554 ,081 ,004 ,085 5,193 ,190 5,384
df 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
Mean Square ,080 ,001
F 75,916
Sig. ,000
2,712 ,022
125,895
,000
,040 ,001
54,373
,000
2,597 ,032
81,828
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Abu Duncan
a
Perlakuan Sukuh Naruto Cangkuang Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 ,6467 ,8200 1,000
1,000
3
,9733 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Protein Duncan
a
Perlakuan Naruto Cangkuang Sukuh Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 1,9567 2,6700 1,000
1,000
3
3,8400 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Lemak Duncan
a
Perlakuan Cangkuang Naruto Sukuh Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 ,7200 ,8067 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
,9500 1,000
93
Karbohidrat Duncan
a
Perlakuan Sukuh Cangkuang Naruto Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 94,5633 95,6333 1,000
1,000
3
96,4167 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
ANOVA
Abu
Protein
Lemak
Karbohidrat
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,019 ,003 ,022 ,171 ,035 ,206 ,230 ,028 ,259 ,063 ,006 ,069
df 9 20 29 9 20 29 9 20 29 9 20 29
Mean Square ,002 ,000
F 16,197
Sig. ,000
,019 ,002
10,752
,000
,026 ,001
18,206
,000
,007 ,000
23,493
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Abu Duncan
a
Perlakuan Kontrol 80_2 80_3 80_4 100_2 90_2 90_3 90_4 100_3 100_4 Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 ,1300
Subset for alpha = .05 2 3 ,1767 ,1900 ,1900
1,000
,190
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
,1900 ,1900 ,2000 ,2067 ,2067
,122
4
,2000 ,2067 ,2067 ,2167 ,2167 ,2167 ,127
94
Protein Duncan
a
Perlakuan 100_4 100_3 90_4 100_2 90_3 90_2 80_4 80_3 80_2 Kontrol Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
1 ,5100 ,5667 ,5767 ,5800
,074
Subset for alpha = .05 2 3 ,5667 ,5767 ,5800 ,6000 ,6267 ,6367 ,6400
,5767 ,5800 ,6000 ,6267 ,6367 ,6400 ,6567
,074
,053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. Lemak Duncan
a
Perlakuan Kontrol 80_3 80_4 80_2 90_2 90_3 90_4 100_3 100_4 100_2 Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 ,7467 ,9900 ,9967 1,0000 1,0100 1,0267 1,0400 1,0500 1,0567 1,000
,071
3
,9967 1,0000 1,0100 1,0267 1,0400 1,0500 1,0567 1,0667 ,059
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Karbohidrat Duncan
a
Perlakuan 100_2 90_2 80_2 90_3 90_4 100_3 80_4 80_3 100_4 Kontrol Sig.
N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 98,1533 98,1567 98,1667 98,1667 98,1667 98,1667 98,1767 98,1800 98,2233 ,115
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
4
3
98,3133 1,000
,8100 1,000
95
Lampiran 2. Uji pewarnaan tepung dan pati ubi jalar ANOVA
L
a
b
W
Sum of Squares 14,620 ,767 15,387 ,019 ,002 ,021 ,094 ,009 ,103 14,288 ,742 15,030
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
df 2 6 8 2 6 8 2 6 8 2 6 8
Mean Square 7,310 ,128
F 57,194
Sig. ,000
,010 ,000
32,333
,001
,047 ,002
29,754
,001
7,144 ,124
57,774
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets L Duncan
a
Perlakuan Naruto Sukuh Cangkuang Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 74,9800 77,0200 1,000
1,000
3
78,0467 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. a Duncan
a
Perlakuan Cangkuang Sukuh Naruto Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 -,2067 -,1767 -,0967 ,078 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
b Duncan
a
Perlakuan Naruto Sukuh Cangkuang Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 2,0100 2,1267 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
3
2,2600 1,000
96
W Duncan
a
Perlakuan Naruto Sukuh Cangkuang Sig.
N 3 3 3
Subset for alpha = .05 1 2 74,8967 76,9200 1,000
3
77,9267 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Kecerahan Alami - Kecerahan 1,62000 Modifikasi
Std. Deviation ,35511
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
Std. Error Mean ,20502
,73787
2,50213
t
df
Sig. (2-tailed)
7,902
2
,016
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Kromatik (a) Alami - Kromatik (a) Modifikasi
-,01000
Std. Deviation ,05000
Std. Error Mean ,02887
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
t
-,13421
-,346
,11421
df
Sig. (2-tailed) 2
,762
Paired Samples Test Paired Differences
Mean Pair 1
Kromatik (b) Alami - Kromatik (b) Modifikasi
-,06333
Std. Deviation ,33020
Std. Error Mean ,19064
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper
t
-,88360
-,332
,75693
df
Sig. (2-tailed) 2
,771
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean Std. Deviation Mean Lower Upper Pair 1
Derajat putih Alami - Derajat 1,28680 putih Modifikasi
,27554
,15908
,60232
1,97127
t 8,089
df
Sig. (2-tailed) 2
,015
97
Lampiran 3. Uji t berpasangan pewarnaan rasbi Paired Samples Test Paired Differences
Std. Error Kecerahan (L) rasbi Mean Std. Deviation Mean Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO 7,17333 1,63659 ,94489 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO 2,63000 ,19672 ,11358 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO 7,27000 2,18824 1,26338
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 3,10781 11,23885 2,14131 3,11869 1,83411 12,70589
t 7,592 23,156 5,754
df
t -1,606 -,558 -13,298
df
t 16,807 5,806 15,903
df
t 5,870 4,930 3,734
df
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,017 ,002 ,029
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,250 ,633 ,006
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,004 ,028 ,004
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,028 ,039 ,065
Paired Samples Test Paired Differences
Warna kromatik (a) rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation -,07000 ,07550 -,05000 ,15524 -,69667 ,09074
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,25755 ,11755 -,43564 ,33564 -,92207 -,47126
Std. Error Mean ,04359 ,08963 ,05239
Paired Samples Test Paired Differences
Warna kromatik (b) rasbi Mean Std. Deviation Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO 3,03000 ,31225 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO 2,68667 ,80152 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO 1,25333 ,13650
Std. Error Mean ,18028 ,46276 ,07881
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 2,25433 3,80567 ,69558 4,67775 ,91424 1,59243
Paired Samples Test Paired Differences
Derajat putih (W) rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Std. Error Mean Std. Deviation Mean 5,42667 1,60114 ,92442 1,91000 ,67104 ,38743 5,76333 2,67369 1,54366
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 1,44923 9,40411 ,24303 3,57697 -,87849 12,40515
98
Lampiran 4. Uji t berpasangan tekstur, daya serap air, waktu tanak dan KPAP rasbi Paired Samples Test Paired Differences
Kekerasan rasbi Mean Std. Deviation Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO93,66667 223,18527 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO83,83333 99,04692 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO-94,26667 276,38685
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean Lower Upper 28,85607 -460,756 648,08960 57,18477 -62,21287 429,87953 59,57202 -780,850 592,31634
t ,727 3,215 -,591
df
t -,986 -,782 -,684
df
t -,545 1,964 4,454
df
t -7,000 -8,000 -4,000
df
t 9,827 5,196 31,000
df
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,543 ,085 ,615
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,428 ,516 ,565
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,641 ,188 ,047
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,020 ,015 ,057
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,010 ,035 ,001
Paired Samples Test Paired Differences
Kelengketan rasbi Mean Std. Deviation Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO -13,56667 23,84121 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO -9,73333 21,55420 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO-18,86667 47,78727
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Lower Upper Mean 13,76473 -72,79152 45,65818 12,44432 -63,27692 43,81026 27,58999 -137,577 99,84350
Paired Samples Test Paired Differences
Std. Error Daya serap air rasbi Mean Std. Deviation Mean Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO -6,00000 19,07878 11,01514 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO 3,00000 2,64575 1,52753 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO 18,00000 7,00000 4,04145
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -53,39433 41,39433 -3,57241 9,57241 ,61104 35,38896
Paired Samples Test Paired Differences
Waktu tanak rasbi Mean Std. Deviation Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO-2,33333 ,57735 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO -2,66667 ,57735 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO -1,33333 ,57735
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Lower Upper Mean ,33333 -3,76755 -,89912 ,33333 -4,10088 -1,23245 ,33333 -2,76755 ,10088
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1 Pair 2 Pair 3
KPAP rasbi Mean Std. Deviation CNG_NAT - CNG_MOD 8,66667 1,52753 SKH_NAT - SKH_MOD 12,00000 4,00000 NAR_NAT - NAR_MOD 5,16667 ,28868
Std. Error Mean ,88192 2,30940 ,16667
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper 4,87208 12,46125 2,06345 21,93655 4,44956 5,88378
99
Lampiran 5. Uji t berpasangan SPTL, SPL, daya cerna pati dan IG rasbi Paired Samples Test Paired Differences
SPTL rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation -,71667 ,20207 -,74667 ,15822 -,80000 ,26058
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Lower Upper Mean ,11667 -1,21864 -,21469 ,09135 -1,13971 -,35363 ,15044 -1,44731 -,15269
t -6,143 -8,174 -5,318
df
t -4,289 -9,064 -18,898
df
t 4,349 6,353 4,344
df
t ,211
df
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,025 ,015 ,034
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,050 ,012 ,003
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,049 ,024 ,049
5
Sig. (2-tailed) ,841
Paired Samples Test Paired Differences
SPL rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation -,60667 ,24502 -,70667 ,13503 -,50000 ,04583
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Lower Upper Mean ,14146 -1,21532 ,00199 ,07796 -1,04210 -,37123 ,02646 -,61384 -,38616
Paired Samples Test Paired Differences
Daya cerna pati rasb Mean Std. Deviation Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO 1,15333 ,45938 Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO 1,04667 ,28537 Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO 1,19333 ,47585
Std. Error Mean ,26523 ,16476 ,27473
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper ,01216 2,29451 ,33778 1,75555 ,01126 2,37541
Paired Samples Test Paired Differences
Pair 1
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean IG rasbi Mean Std. Deviation Lower Upper CNG_NAT - CNG_MOD 3,02833 35,15456 14,35179 -33,86411 39,92078
100
Lampiran 6. Uji t berpasangan proksimat rasbi Paired Samples Test Paired Differences
Kadar air rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation ,71667 ,36005 ,71333 ,35119 ,20667 ,34152
Std. Error Mean ,20787 ,20276 ,19717
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,17774 1,61107 -,15907 1,58573 -,64171 1,05504
t 3,448 3,518 1,048
df
t -2,887 -23,056 -1,737
df
t 19,547 ,164 15,617
df
t 6,247 16,594 7,692
df
t -17,537 -6,374 -4,079
df
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,075 ,072 ,405
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,102 ,002 ,225
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,003 ,885 ,004
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,025 ,004 ,016
2 2 2
Sig. (2-tailed) ,003 ,024 ,055
Paired Samples Test Paired Differences
Kadar abu rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation -,15000 ,09000 -,20333 ,01528 -,17667 ,17616
Std. Error Mean ,05196 ,00882 ,10171
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -,37357 ,07357 -,24128 -,16539 -,61428 ,26095
Paired Samples Test Paired Differences
Kadar protein rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation ,79000 ,07000 ,00333 ,03512 ,58667 ,06506
Std. Error Mean ,04041 ,02028 ,03756
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper ,61611 ,96389 -,08391 ,09057 ,42504 ,74829
Paired Samples Test Paired Differences
Kadar lemak rasbi Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation ,12667 ,03512 ,62333 ,06506 ,33333 ,07506
Std. Error Mean ,02028 ,03756 ,04333
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper ,03943 ,21391 ,46171 ,78496 ,14689 ,51978
Paired Samples Test Paired Differences
Kadar karbohidrat rasb Pair 1 CNG_NAT - CNG_MO Pair 2 SKH_NAT - SKH_MO Pair 3 NAR_NAT - NAR_MO
Mean Std. Deviation -,76667 ,07572 -,42333 ,11504 -,74333 ,31565
95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Lower Upper Mean ,04372 -,95476 -,57857 ,06642 -,70910 -,13757 ,18224 -1,52745 ,04078
101
Lampiran 7. Kuesioner penilaian dan analisis sidik ragam organoleptik rasbi UJI ORGANOLEPTIK RASBI Tanggal : 2008 Nama : Di hadapan Anda tersedia 6 (enam) sampel rasbi matang. Mohon untuk memberikan penilaian kesukaan dengan memberikan angka pada kolom yang bersesuaian, dengan parameter angka sebagai berikut : 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Sedang 4. Suka 5. Sangat suka Kriteria yang dinilai seperti tercantum pada tabel di bawah ini. Kode
Kriteria 325
469
618
736
521
834
Warna Aroma Tekstur Rasa Penerimaan secara umum
Komentar :
....................................................................................................... .......................................................................................................
UJI ORGANOLEPTIK RASBI Tanggal : 2008 Nama : Di hadapan Anda tersedia 6 (enam) sampel rasbi mentah. Mohon untuk memberikan penilaian kesukaan dengan memberikan angka pada kolom yang bersesuaian, dengan parameter angka sebagai berikut : 1. Sangat tidak suka 2. Tidak suka 3. Sedang 4. Suka 5. Sangat suka Kriteria yang dinilai seperti tercantum pada tabel di bawah ini. Kode
Kriteria 325
469
618
736
521
834
Warna Tekstur Penampakan secara umum
Komentar :
....................................................................................................... .......................................................................................................
102
ANOVA Warna Rasbi Matang
panelis
Sum of Squares ,000 7336,000 7336,000 31,881 59,048 90,929
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
skor
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square ,000 61,133
F ,000
Sig. 1,000
6,376 ,492
12,958
,000
Mean Square 1,341 ,451
F 2,975
Sig. ,014
,000 61,133
,000
1,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan sampel 521 834 618 736 469 325 Sig.
a
N
1 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 2 3 2,29 2,38 2,95 3,19 3,38 3,38 3,67 ,661 ,063 ,189
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
ANOVA Aroma Rasbi Matang
skor
panelis
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 6,706 54,095 60,802 ,000 7336,000 7336,000
df 5 120 125 5 120 125
103
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan
a
sampel 618 521 736 834 469 325 Sig.
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 2 3,00 3,00 3,10 3,10 3,24 3,67 ,315 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
ANOVA Tekstur Rasbi Matang
panelis
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
skor
Sum of Squares ,000 7336,000 7336,000 21,143 77,714 98,857
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square ,000 61,133
F ,000
Sig. 1,000
4,229 ,648
6,529
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan sampel 521 736 834 618 469 325 Sig.
a
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 2 3 2,38 2,67 2,67 2,67 2,67 2,95 3,10 3,67 ,282 ,118 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
104
ANOVA Rasa Rasbi Matang
skor
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
panelis
Sum of Squares 10,762 72,952 83,714 ,000 7336,000 7336,000
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square 2,152 ,608
F 3,540
Sig. ,005
,000 61,133
,000
1,000
Mean Square ,000 61,133
F ,000
Sig. 1,000
3,379 ,573
5,898
,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan sampel 521 736 834 618 469 325 Sig.
a
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 2 2,71 2,76 2,76 2,81 3,14 3,14 3,52 ,116 ,116
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
ANOVA Penerimaan Rasbi Matang
panelis
skor
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares ,000 7336,000 7336,000 16,897 68,762 85,659
df 5 120 125 5 120 125
105
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan
a
sampel 521 834 736 618 469 325 Sig.
N
1 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 2 3 2,67 2,86 2,90 2,90 3,05 3,05 3,38 3,38 3,76 ,141 ,055 ,106
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
ANOVA Warna Rasbi Mentah
panelis
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
skor
Sum of Squares ,000 7336,000 7336,000 18,381 93,333 111,714
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square ,000 61,133
F ,000
Sig. 1,000
3,676 ,778
4,727
,001
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor a
Duncan sampel 521 834 618 736 469 325 Sig.
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 2 3 2,43 2,67 2,67 3,14 3,14 3,14 3,14 3,43 3,48 ,383 ,101 ,271
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
106
ANOVA Tekstur Rasbi Mentah
skor
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
panelis
Sum of Squares ,635 91,238 91,873 ,000 7336,000 7336,000
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square ,127 ,760
F ,167
Sig. ,974
,000 61,133
,000
1,000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel 325 469 618 521 834 736 Sig.
a
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 2,90 2,90 2,90 3,00 3,00 3,10 ,546
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
107
ANOVA Penampakan Rasbi Mentah
panelis
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
skor
Sum of Squares ,000 7336,000 7336,000 ,825 73,619 74,444
df 5 120 125 5 120 125
Mean Square ,000 61,133
F ,000
Sig. 1,000
,165 ,613
,269
,929
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets skor Duncan
sampel 521 834 618 736 469 325 Sig.
a
N 21 21 21 21 21 21
Subset for alpha = .05 1 3,00 3,05 3,10 3,10 3,19 3,24 ,399
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 21,000.
108
Lampiran 8. Formulir responden indek glikemik dan tabel gula darah responden
SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
:
NRP
:
Tempat/Tanggal Lahir : Jenis Kelamin
:
Alamat
:
No. Telp/HP
:
Menyatakan bersedia/tidak besedia *) menjadi responden dalam penelitian nilai indeks glikemik dari RASBI (Beras Ubi), dengan komitmen penuh sesuai dengan perjanjian yang telah disepekati sampai penlitian ini dinyatakan selesai. Demikianlah surat pernyataan ini saya buat, semoga dapat dipergunakan seperlunya. Bogor, 20 Januari 2009 Responden,
Peneliti,
(Hendra Adi Prasetya)
Keterangan *) : Coret yang tidak perlu
(
)
109
Sampel : No.
Hari / Tanggal : Nama
Puasa
30 ‘
60 ‘
90 ‘
120 ‘
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. Waktu
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama
Puasa
30 ‘
60 ‘
90 ‘
120 ‘
110
Lampiran 9. Hasil Analisis FTIR Pati Ubi Jalar
111
112
Lampiran 10. Hasil analisis DSC Pati Ubi Jalar
113
Lampiran 11.
Analisis Finansial Rasbi
Analisa ekonomi rasbi bertujuan untuk memperkirakan keuntungan yang diperoleh dari produksi rasbi. Hasil yang diharapkan dari analisa ini adalah didapatkannya informasi pelengkap untuk memperkenalkan rasbi sebagai salah satu komoditas pangan pokok lokal kepada masyarakat yang memiliki potensi sebagai salah satu tambahan pendapatan masyarakat tersebut (Rieuwpassa, 2005). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji aspek finansial suatu produk pangan antara lain : peralatan yang digunakan, tenaga kerja serta bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan produk (Lopulalan, 2008). Tabel 21, 22 dan 23 menyajikan rincian hal-hal tersebut. Investasi peralatan dilakukan untuk mengetahui peralatan apa saja yang dimiliki oleh pengusaha dalam hal ini UKM. Sementara itu analisa penyusutan peralatan adalah total biaya pengeluaran tetap (Tabel 22). Biaya variabel (Tabel 23) merupakan rincian biaya bahan-bahan yang digunakan dalam produksi rasbi. Total pengeluaran merupakan jumlah dari biaya pengeluaran tetap dan biaya variabel. Nama Produk
:
Rasbi
Jumlah Produksi
:
200 kg per hari
Harga Jual
:
Rp. 8.300,- per kg
Periode Produksi
:
25 hari
4.6.1. Pemasukan Penjualan rasbi setiap bulan 25 hari x 200 kg x Rp. 8.300,- = Rp. 41.500.000,Tabel 21. Investasi peralatan Alat Umur Teknis Pembentuk butiran adonan 10 tahun Dandang (kapasitas = 100 liter) 5 tahun Loyang 4 x 10000,5 tahun Oven 10 tahun Kompor gas 5 tahun Baskom / wadah plastik 3 tahun Total Investasi
Harga Rp. 6.900.000,Rp. 500.000,Rp. 100.000,Rp. 5.500.000,Rp. 1.500.000,Rp. 10.000,Rp.14.510.000,-
114
4.6.2. Biaya Pengeluaran Bulanan Tabel 22. Biaya tetap Jenis Biaya Rincian ** Penyusutan peralatan Pembentuk butiran adonan Rp. 57.500,Oven Rp. 45.833,Kompor gas Rp. 25.000,Penyusutan peralatan lain Rp. 10.278,Akumulasi penyusutan peralatan Sewa tempat Rp.5.000.000,-/tahun Tenaga kerja ( 3 orang) Rp.600.000,-/per orang Listrik dan telepon Total Biaya Pengeluaran Tetap Ket : **
Harga
Rp. 138.611,Rp. 419.670,Rp.1.800.000,Rp. 500.000,Rp.2.858.281,-
Perhitungan penyusutan peralatan adalah harga/umur teknis/12
Tabel 23. Biaya variabel Jumlah Jumlah Harga Harga kebutuhan kebutuhan satuan total harian bulanan (Rp) (Rp) Tepung ubi jalar 160 kg 4000 kg 6000 24000000 Pati ubi jalar 40 kg 1000 kg 7000 7000000 Air 120 kg 3000 kg 1000 3000000 Kertas nasi 10 pak 250 pak 1000 250000 Gas 0,72 kg 18 kg 5000 90000 Kemasan 40 pak 1000 pak 500 500000 Total Biaya Variabel 34840000 Total Pengeluaran = Biaya Tetap + Biaya Variabel 37698281 Nama Bahan
Keuntungan Pemasukan
=
Rp. 41.500.000,-
Pengeluaran
=
Rp. 37.698.281,-
Keuntungan Per Bulan
=
Rp. 3.801.719,-
Harga jual produk didasarkan pada harga pokok produk. Harga pokok produk dihitung dari total pengeluaran dibagi jumlah produk yang dihasilkan, sehingga harga pokok produk rasbi adalah Rp. 7.539,656,-. Dengan demikian harga jual produk rasbi adalah Rp. 8.300,- dengan keuntungan Rp. 760,3438,-. Break Even Point (BEP) atau titik impas merupakan suatu kondisi dimana perusahaan tidak dalam keadaan untung atau rugi (Setyadjit et al. 2006). Apabila suatu perusahaan telah mencapai produksi di atas BEP, maka perusahaan tersebut dikatakan memperoleh laba, karena biaya tetap telah kembali. BEP dapat dihitung
115
sebagai berikut : BEP =
=
biaya tetap biaya var iabel h arg a jual − kapasitas normal produksi 2.858.281 34.840.000 8.300 − 5000
BEP = 2145,857 kg/bulan Dengan demikian titik impas tercapai pada saat harga jual Rp. 8.300,-/kg dan produksi mencapai 2145,857 kg/bulan atau setara dengan 42,92% dari kapasitas normal produksi. Payback period (waktu pengembalian modal) adalah suatu periode yang menunjukkan berapa lama modal yang ditanamkan oleh perusahaan tersebut dapat kembali (Setyadjit et al. 2006). Semakin pendek waktu yang diperlukan dalam pengembalian biaya investasi, maka bidang usaha tersebut memiliki prospek yang semakin baik atau dengan kata lain semakin menguntungkan. Payback period (PBP) dapat dihitung sebagai berikut : PBP = =
Investasi Keuntungan bersih + penyusu tan 14.510.000 3.801.719 + 138.611
PBP = 3,82 bulan. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal yang ditanamkan pada usaha produksi rasbi ini adalah 3,82 bulan.