PERAYAAN QI YUE BAN DI PONTIANAK SEBAGAI WUJUD PERPADUAN BUDAYA QI YUE BAN CHINA DENGAN BUDAYA LOKAL Yenny Febriana, Brigita, Mariana Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730
[email protected];
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT Qi Yue Ban is Chinese traditional festival that comes from three beliefs: Buddhism, Daoism, and local citizens’ beliefs. This celebration is celebrated every 15th day in the 7th month in Lunar calendar. There is also Qi Yue Ban festival in Pontianak. The local calls it “Qit Gue Pua” in Tio Ciu dialect or “Qit Nyet Pan” in Hakka dialect. This festival has been stated as one of Chinese culture that comes from Pontianak. Base on the similarity and diversity between Qi Yue Ban celebration in China and Pontianak, the writers want to analyze the cultural acculturation happened in the festival. In the research, the writers use qualitative research methodology. Interviews were conducted with twelve respondents, with eight came from clan foundations in Pontianak, in order to have deeper insight in Qi Yue Ban festival. The writers did use literature study to observe Qi Yue Ban festival in China further. Through the interviews and literature studies, the writes find out that even though Qi Yue Ban celebration in China and Pontianak is the same celebration, but the meaning that contains and the habit run by the local citizen have changed. These are the foundation for the writers to conclude that Qi Yue Ban in Pontianak has experienced acculturation. Keywords: Qi Yue Ban, Pontianak, Acculturation, Clan Foundation
ABSTRAK Qi Yue Ban adalah hari raya tradisional China yang berasal dari tiga kepercayaan, yaitu kepercayaan agama Buddha, Dao, dan kepercayaan rakyat sekitar. Perayaan ini dirayakan setiap tahunnya pada bulan ketujuh tanggal lima belas penanggalan kalender Lunar. Pontianak adalah salah satu kota dimana perayaan Qi Yue Ban mengalami proses akulturasi dan berkembang hingga dijadikan sebagai salah satu kebudayaan Tionghoa yang berasal dari Pontianak. Berdasarkan persamaan dan perbedaan dari Perayaan Qi Yue Ban di China dan di Pontianak inilah, penulis ingin menganalisa tentang akulturasi budaya yang terjadi didalam perayaan ini. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Wawancara dilakukan dengan dua belas orang responden, delapan orang diantaranya berasal dari yayasan-yayasan marga di Pontianak, demi mengetahui lebih dalam mengenai perayaan Qi Yue Ban. Penulis juga menggunakan metode studi pustaka untuk menilik lebih lanjut mengenai perayaan Qi Yue Ban yang ada di China. Melalui proses wawancara dan studi pustaka, penulis mengetahui walaupun perayaan Qi Yue Ban di China dan Pontianak adalah perayaan yang sama, namun makna yang terkandung didalamnya serta kebiasaan-kebiasaan yang dijalankan oleh masyarakat telah berubah. Hal inilah yang mendasari penulis sehingga berkesimpulan bahwa perayaan Qi Yue Ban yang berada di Pontianak telah mengalami proses akulturasi. Kata Kunci : Qi Yue Ban, Pontianak, Akulturasi, Yayasan Marga
PENDAHULUAN Sebagian masyarakat mengira bahwa sembahyang hanya dilakukan pada saat hari raya Tahun Baru Imlek dan perayaan Ceng Beng saja. Mereka tidak mengetahui bahwa selain Tahun Baru Imlek dan Ceng Beng, sembahyang juga dilakukan pada saat perayaan Zhong Yuan atau yang dikenal sebagai “Qi Yue Ban”. Masyarakat merayakan perayaan ini pada tanggal lima belas di bulan ketujuh penanggalan kalender Lunar. Namun di beberapa daerah, seperti Taiwan, perayaan ini dirayakan selama sebulan penuh. Masyarakat Pontianak dalam dialek Tio Ciu menyebut perayaan ini “Qi Yue Ban” atau dalam dialek Hakka “Qit Nyet Pan”. Mereka merayakan perayaan ini pada tanggal satu sampai lima belas di bulan ketujuh pada penanggalan kalender Lunar. Meskipun masyarakat Pontianak merantau ke berbagai daerah, namun ketika perayaan Imlek, Ceng Beng, dan Qi Yue Ban, para perantau ini biasanya akan pulang ke Pontianak untuk sembahyang dan berkumpul bersama keluarga. Penulis ingin meneliti perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak dikarenakan masih banyaknya ketidaktahuan masyarakat akan adanya perayaan Qi Yue Ban. Tidak hanya itu, penulis juga ingin mendalami proses akulturasi yang terjadi antara perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dengan perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak. Penulis berharap melalui skripsi ini, masyarakat dapat lebih mengenal perayaan Qi Yue Ban di Pontianak. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat, penulis pada tanggal 14 Maret 2012 pergi ke Pontianak untuk mewawancarai Yayasan Bhakti Suci dan tiga yayasan marga yang ada. Disana penulis juga menelaah lebih lanjut mengenai pandangan dan pola pikir masyarakat sekitar terhadap perayaan ini. Penulis memilih kota Pontianak dikarenakan kota Pontianak merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang turut melestarikan budaya Tionghoa didalam kehidupan mereka.
METODE PENELITIAN Untuk melakukan penelitian ini, penulis melakukan studi pustaka mengenai asal-usul serta tata cara perayaan Qi Yue Ban yang ada di China. Penulis juga melakukan wawancara dengan perhimpunan marga Pontianak, yaitu Yayasan Bhakti Suci, dan tiga yayasan marga lainnya demi mendalami lebih jauh mengenai perayaan Qi Yue Ban. Maka penulis melakukan metode kualitatif terhadap informan dengan melakukan wawancara dengan menggunakan telepon genggam sebagai alat perekam. Tidak hanya menggunakan telepon genggam saja, penulis juga mencatat hasil wawancara tersebut secara manual dan mengambil dokumentasi menggunakan kamera digital selama wawancara berlangsung. Penulis juga berinisiatif meminta dokumentasi Yayasan Bhakti Suci dikarenakan penulis tidak dapat berpartisipasi dalam perayaan Qi Yue Ban tahun ini.
HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan hasil wawancara dan studi pustaka, penulis mendapatkan hasil bahwa Perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak adalah hasil akulturasi dari Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China. • Asal Muasal Perayaan Qi Yue Ban di China Perayaan Qi Yue Ban atau yang dikenal dengan “Hari Hantu” atau “Yu Lan Pen Hui”, mulai dirayakan sejak Dinasti Liang pada pemerintahan Kaisar Liang Wudi (502-549) semasa periode Dinasti Utara-Selatan. Perayaan ini dirayakan selama satu bulan penuh pada bulan ketujuh penanggalan kalender lunar, tetapi ada juga beberapa daerah yang merayakan perayaan ini sampai pada tanggal lima belas bulan tujuh penanggalan Lunar. Asal usul perayaan Qi Yue Ban ini dipercaya berasal dari tiga aliran kepercayaan yang berbeda, yaitu Dao, Buddha, dan kepercayaan yang lahir dari masyarakat sendiri. Aliran kepercayaan Dao mempercayai bahwa pada perayaan Qi Yue Ban, salah satu dari “Tiga Penguasa Alam”, yaitu Penguasa Bumi, akan memberikan
pengampunan bagi orang-orang yang meminta penebusan di perayaan ini. Mereka juga mempercayai selain mendapatkan penebusan dosa, mereka juga akan mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia. Agama Buddha mengisahkan asal mula perayaan Qi Yue Ban berasal dari cerita mengenai kegigihan Mu Lian dalam menolong ibunya yang telah menjadi hantu kelaparan di alam baka. Dikisahkan bahwa dosa ibunya terlalu berat sehingga semua makanan yang Mu Lian berikan berubah menjadi abu. Mu Lian tidak tega melihat ibunya menderita, maka ia memohon petunjuk dari Sang Buddha. Sang Buddha yang tersentuh dengan sikap Mu Lian memberitahunya apabila ingin menolong ibunya, Mu Lian tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan diri sendiri saja, ia harus turut mengandalkan kemampuan dari para Biksu yang berasal dari sepuluh penjuru dunia yang memiliki moral yang baik dan seluas lautan. Dengan mengandalkan semangat mereka, barulah Mu Lian bisa menyelamatkan ibunya. Berkat petunjuk dari Sang Buddha serta kegigihan Mu Lian, ibunya berhasil diselamatkan dan tidak lagi menjadi hantu kelaparan. Untuk mengenang kisah ini, maka setiap tanggal lima belas di bulan ketujuh penanggalan Lunar diadakan acara “Yu Lan Pen Hui”. Tidak hanya berdasarkan aliran Dao dan ajaran agama Buddha saja, asal mula perayaan Qi Yue Ban juga berasal dari kepercayaan masyarakat yang mempercayai bahwa setiap tanggal satu di bulan ketujuh penanggalan lunar pintu neraka akan terbuka dan hantu-hantu akan dengan bebas berkeliaran di dunia manusia.
•
Tata Cara Perayaan Qi Yue Ban di China Biasanya ketika “Bulan Hantu” tiba, sebagian besar masyarakat di China akan membakar barang-barang yang terbuat dari kertas seperti uang, baju, sepatu, dan topi. Masyarakat China percaya bahwa barang-barang dari kertas yang mereka bakar tersebut akan sampai kepada keluarga atau sanak saudara mereka yang telah meninggal dunia. Mereka juga akan membuat lentera yang dibuat menyerupai teratai. Lentera ini disebut juga “Lentera Teratai” atau “Lentera Air”, pada malam harinya lentera ini akan dihanyutkan di sungai. Masyarakat di China mempercayai bahwa ketika hantu-hantu keluar dari alam baka, mereka akan kesulitan melihat jalan di dunia manusia. Maka masyarakat China membuatkan lentera-lentera ini untuk dijadikan sebagai penerang jalan. Mereka juga percaya bahwa dengan menaruh lentera sebagai penerang jalan untuk hantu-hantu, mereka telah melakukan perbuatan baik. Selain menghanyutkan lentera air, masyarakat China pada tanggal lima belas bulan tujuh penanggalan Lunar membakar dupa didepan rumah masing-masing. Umumnya dibakar pada malam hari, dan kegiatan ini dinamakan “Bu Tian”. Tidak hanya itu, masyarakat China biasanya juga akan mengadakan pertunjukan opera yang terinspirasi dari kisah “Mu Lian Menolong Ibunya” bernama “Mu Lian Xi”. Pertunjukan ini berisikan pesan moral mengenai bhakti seorang anak terhadap ibunya. Masyarakat Tio Ciu di China mengadakan suatu kegiatan yang bernama “Fang Yan Kou”, dimana seorang pendeta akan membacakan mantra, kemudian membagikan sedekah lalu menebarkan beras keempat arah yang berbeda, kemudian diulang hingga tiga kali.
•
Kedatangan Orang China ke Pontianak Pada tahun 1772, kemiskinan melanda seluruh negeri China, karena adanya masalah ini, maka sekelompok orang yang berasal dari China bagian selatan pergi berlayar hingga ke Laut Cina Selatan, kemudian sampailah mereka ke kota Pontianak. Untuk bertahan hidup, mereka pun berdagang dan melakukan interaksi dengan penduduk sekitar. Penulis menganggap karena adanya budaya asing dan budaya setempat, maka terjadilah perpaduan budaya. Namun seiring perkembangan zaman, keturunan Tionghoa pun mendominasi sebagian wilayah Pontianak.
•
Asal Muasal Perayaan Qi Yue Ban di Pontianak Berdasarkan hasil wawancara penulis, masyarakat Pontianak percaya bahwa asal muasal perayaan Qi Yue Ban berasal dari Dinasti Tang. yaitu ketika kaisar dinasti Tang bernama Li Shimin atau yang dikenal dengan kaisar Tang Taizong pergi ke neraka. Suatu hari kaisar Tang Taizong dipanggil oleh Raja Neraka untuk ke neraka. Karena arwah Kaisar Tang Taizong di neraka, maka tubuhnya yang ada di bumi berada diantara hidup dan mati. Saat itu juga Wei Zheng memberikan suatu informasi untuk sesampainya di neraka nanti, segera memberitahu “Cui Yi Pan Guan” untuk menjadi pemimpin dalam perjalanan Kaisar Tang Taizong ke neraka selama 3 hari nantinya, tidak hanya itu informasi lainnya adalah bahwa Kaisar Tang Taizong tidaklah meninggal, melainkan hanya diambang kematian. Akhirnya mereka pun menemui Raja Neraka Gerbang satu, disini Kaisar Tang Taizong banyak bertemu dengan prajurit-prajurit dinasti Tang yang sudah meninggal serta bertemu dengan ayahnya, Li Yuan atau Tang Gaozu. Selain ayahnya dia masih bertemu dengan kakak serta adiknya yang sudah meninggal. Melihat mereka mengalami penderitaan yang sangat tersiksa, Kaisar Tang Taizong tidak tega sehingga akhirnya memohon kepada Cui Yi Pan Guan agar dapat membantu mereka. Lalu Cui Yi Pan Guan memberitahu bahwa caranya adalah memberikan mereka uang untuk orang-orang yang sudah meninggal. Fungsinya adalah untuk menenangkan para arwah tersebut yang saat ini masih menunggu keputusan dari Raja Neraka untuk masuk ke surga atau neraka. Setelah itu, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka ke Raja Neraka Gerbang dua, Raja Neraka Gerbang tiga, Raja Neraka Gerbang empat dan seterusnya hingga sampailah mereka di Raja Neraka Gerbang sepuluh. Sejak saat itu Kaisar Tang Taizong menyadari bahwa ternyata kehidupan manusia di bumi semasa hidup, baik itu perbuatan jahat maupun perbuatan baik setelah meninggal nanti akan ada bayaran yang setimpal. Perjalanan Kaisar Tang Taizong pun berakhir, untuk mengucapkan terima kasih kepada Raja Neraka yang sudah menyambutnya, Kaisar Tang Taizong harus memberikan “Bei Gua” kepada Raja Neraka, yang merupakan makanan kesukaan Raja Neraka; lalu dengan segera mengembalikan uang kertas kepada pasangan yang meminjamkan uang kertas; dan yang terakhir adalah setiap tanggal 15 bulan 7 penanggalan Lunar harus diadakan sembahyang “Yu Lan Pen Hui” yang bertujuan agar para arwah yang tidak memiliki keluarga di dunia dapat merasakan ketenangan.
•
Tata Cara Perayaan Qi Yue Ban di Pontianak Pada pagi hari, masyarakat Pontianak yang merayakan perayaan Qi Yue Ban, biasanya di depan rumah akan mulai sembahyang dan menaruh beberapa macam buah dan bahan pokok lainnya seperti, ubi, talas, jeruk dan kim cua (sejenis uang untuk orang yang sudah meninggal) kedalam dua sampai empat keranjang kecil. Keranjangkeranjang ini nantinya akan dikumpulkan oleh petugas Yayasan Bhakti Suci untuk diantar ke tempat Sembahyang Rebut berlangsung atau yang biasa dikenal dengan acara “Qiang Shi Gu”. Yayasan Bhakti Suci adalah suatu yayasan yang mewakili seluruh yayasan marga yang ada di Pontianak untuk mengorganisir segala acara yang berhubungan dengan perayaan tradisional China, salah satunya adalah hari raya Qi Yue Ban. Siang harinya Sembahyang Rebut dilakukan di lapangan milik Yayasan Bhakti Suci. Setelah acara sembahyang selesai, masyarakat akan diperbolehkan mengambil barang-barang yang telah disiapkan. Masyarakat Pontianak percaya apabila mendapatkan barang rebutan, mereka akan beruntung, dan bagi yang tidak mendapat apapun akan mendatangkan kesialan. Ketika acara Sembahyang Rebut ini berlangsung, tidak hanya masyarakat Tionghoa saja yang berpartisipasi melainkan warga sekitar juga turut berpartisipasi. Sembahyang rebut ini semula bertujuan untuk membubarkan
•
pesta para hantu, namun sekarang tidak hanya untuk membubarkan pesta melainkan juga sebagai media untuk membantu sesama. Setelah acara sembahyang rebut usai, acara dilanjutkan dengan membakar kapal Wang Kang yang terbuat dari kayu dan kertas. Kapal ini akan bertambah beberapa inci setiap tahunnya. Didalamnya akan diisi berbagai bahan pangan dan juga akan dibuat orang-orangan sebagai awak kapalnya. Kapal ini dibuat dengan tujuan mengantarkan arwah-arwah leluhur yang meninggal di Pontianak tanpa sempat pulang ke tanah kelahiran mereka, yaitu China.
Akulturasi yang Terjadi di Pontianak Syarat terbentuknya proses akulturasi menurut Linton dan Herskovits: 1. Syarat persenyawaan (affinity), yaitu penerimaan budaya tanpa rasa terkejut.
坤甸当地人
Masyarakat asli Pontianak ( ) menerima budaya Tionghoa yang masuk dengan tangan terbuka, tanpa adanya paksaan dari perantau Tionghoa yang ada di Pontianak. Budaya yang dibawa masuk oleh para perantau ini seiring berjalannya waktu dijadikan sebagai salah satu budaya yang berasal dari Pontianak itu sendiri.
坤甸当地人
2. 3.
) yang pada Hal ini dapat dilihat dari masyarakat asli Pontianak ( awalnya tidak mengenal adanya budaya Qi Yue Ban lama kelamaan juga turut serta berpartisipasi dalam perayaan ini. Adanya syarat keseragaman (homogeneity), nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya. Syarat fungsi, seperti nilai baru yang diserap hanya sebagai suatu manfaat yang tidak penting atau hanya sekedar tampilan, sehingga proses akulturasi dapat berlangsung dengan cepat.
坤甸当地人
Secara fungsi, masyarakat asli Pontianak ( ) mendapatkan manfaat dari adanya acara Sembahyang Rebut, yaitu berupa bahan pangan dan kebutuhan sehari-hari. Hal ini juga turut menjadikan budaya Qi Yue Ban masih terus dinantikan setiap tahunnya. 4. Syarat seleksi Seleksi alam turut mempengaruhi terbentuknya proses akulturasi. Adanya acara Sembahyang Rebut yang membagi-bagikan barang-barang pangan bagi masyarakat sekitar pada perayaan Qi Yue Ban menjadikan acara ini melewati proses seleksi dan masih diminati hingga sekarang ini. Dengan demikian, suatu nilai yang tepat fungsi dan bermanfaat bagi pengembangan kebudayaan akan memiliki daya tahan yang lama. Faktor-faktor yang memudahkan adanya pembauran : 1. Toleransi Toleransi antar kebudayaan yang berbeda dapat dilihat dari kerukunan yang terjalin antara warga Tionghoa yang berada di Pontianak dengan warga setempat. Berbagai perayaan yang berunsur Tionghoa marak diadakan di Pontianak. Hal ini juga yang membuktikan bahwa kebudayaan Tionghoa diakui sebagai salah satu ciri khas dari Pontianak. 2. Adanya persamaan dalam bidang ekonomi Adanya persamaan dalam bidang ekonomi memudahkan adanya pembauran, namun hal ini tidak kami temukan di dalam penelitian kami. Kami menemukan bahwa ketidaksamaan dalam bidang ekonomi dimana masyarakat asli Pontianak
坤甸当地人 ) yang mayoritas memiliki tingkat ekonomi yang lebih rendah, semakin memudahkan adanya pembauran. Masyarakat asli Pontianak (坤甸当地 人 ) dengan tingkat ekonomi rendah akan merasa acara Sembahyang Rebut (
memberikan mereka kesempatan dalam mendapatkan bahan kebutuhan sehari-hari
secara cuma-cuma, sehingga mereka sangat antusias untuk berpartisipasi setiap tahunnya dalam perayaan Qi Yue Ban, khususnya dalam acara Sembahyang Rebut. 3.
Adanya perasaan simpati terhadap kebudayaan lain
坤甸当地人
Adanya perasaan simpati diantara masyarakat asli Pontianak ( ) dan orang Tionghoa turut memudahkan terjadinya pembauran. Masyarakat asli
坤甸当地人
4.
Pontianak ( ) yang turut serta dalam acara Sembahyang Rebut dan orang-orang Tionghoa yang mengambil budaya Lancang Kuning sebagai salah satu unsur penting dalam perayaan Qi Yue Ban, yaitu pada acara pembakaran kapal Wang Kang. Adanya perkawinan campuran Perkawinan campuran adalah salah satu hal yang tidak dapat dihindari ketika ada orang asing yang masuk kedalam satu daerah. Orang Tionghoa perantauan berinteraksi dalam jangka waktu panjang menyebabkan mereka membaur dengan masyarakat setempat sehingga akhirnya terjadilah perkawinan campuran.
Akulturasi menurut Koentjaraningrat (2009) adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsurunsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Menurut Redfield, Linton, dan Herskovits (2008), acculturation refers to changes that result when groups came into continuous firsthand contact-changes in cultural patterns of either or both groups. Dari para ahli diatas penulis menyimpulkan bahwa akulturasi adalah suatu proses perubahan yang timbul apabila suatu kelompok manusia bila dihadapkan dalam waktu yang cukup panjang dengan kelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada kebudayaan pada kelompok itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari acara Sembahyang Rebut yang diadakan setiap tahunnya. Penulis menyimpulkan bahwa pada awalnya, acara Fang Yan Kou juga dirayakan oleh pendatang di Pontianak. Namun masyarakat setempat yang merlihat banyaknya barang-barang yang pendatang kumpulkan di lapangan akan mereka tinggalkan begitu saja. Masyarakat yang tidak mengetahui adanya acara inipun bergegas mengambil barang-barang yang para pendatang letakkan di lapangan. Hal ini kemudian terus-menerus berlangsung, hingga pada akhirnya menjadi sebuah budaya yang disebut “Sembahyang Rebut”. Koentjaraningrat (2009) juga menjelaskan bahwa dalam meneliti jalannya suatu proses akulturasi, seorang peneliti sebaiknya memperhatikan masalah khusus, yaitu : 1. Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi mulai berjalan. Sebelum kedatangan orang Tionghoa ke Pontianak, masyarakat setempat tidak mengenal adanya perayaan Qi Yue Ban maupun acara Sembahyang Rebut dan pembakaran kapal Wang Kang. Hal ini dikarenakan perayaan Qi Yue Ban merupakan perayaan yang berasal dari budaya Tionghoa. Masyarakat setempat yang mayoritas adalah suku Bugis, Dayak, dll tidak mengenal adanya budaya Tionghoa didalam lingkungan mereka. Mereka hanya mengetahui budaya asli yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Mereka juga mengenal adanya kapal Lancang Kuning sebagai budaya mereka. Kapal ini tadinya dibuat sebagai penyambutan atas pulangnya Sultan Pontianak VI dari kunjungannya ke Belanda. 2. Individu-individu yang membawa kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing. Budaya Tionghoa dibawa masuk ke Pontianak oleh para perantau China pada awal kedatangan mereka di tahun 1772. Budaya Tionghoa, termasuk budaya Qi Yue Ban, masuk dan berkembang seiring dengan berjalannya waktu.
3.
Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing untuk masuk ke dalam kebudayaan penerima.
坤甸当地人
4.
5.
•
) Budaya Tionghoa yang masuk ke dalam masyarakat asli Pontianak ( diperkirakan melalui para perantau China yang mencari nafkah dan merantau hingga sampai di Pontianak. Asali di dalam bukunya menyebutkan bahwa para perantau China datang ke West Borneo pada tahun 1772. Bagian- bagian dari masyarakat penerima yang terkena pengaruh unsur-unsur kebudayan asing tadi. Kebudayaan Tionghoa yang masuk ke Pontianak turut mempengaruhi masyarakat setempat yang berinteraksi dengan orang Tionghoa yang ada disana. Lamakelamaan merekapun turut serta berpartisipasi didalam kebudayaan orang Tionghoa. Hal ini dapat dilihat dengan keikutsertaan masyarakat setempat dalam perayaan Qi Yue Ban, yang akhirnya menjadi acara sembahyang rebut. Reaksi para individu yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing. Reaksi positif masyarakat setempat terhadap kebudayaan orang Tionghoa di Pontianak dapat dilihat dari keikutsertaan mereka dalam acara sembahyang rebut hingga saat ini.
Persamaan dan Perbedaan Perayaan Qi Yue Ban di China dan Qi Yue Ban di Pontianak Meskipun Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dan Qi Yue Ban di Pontianak adalah perayaan yang sama, namun Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dan Qi Yue Ban di Pontianak juga memiliki beberapa perbedaan. Apabila ditinjau dari sejarah awal mula perayaan ini berasal, Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China ditetapkan sebagai hari raya tahunan pada pemerintahan Dinasti Liang oleh Liang Wudi, sedangkan menurut ahli budaya Pontianak, F.X. Asali dan berdasarkan hasil wawancara, Qi Yue Ban adalah perayaan yang berasal dari Dinasti Tang, yaitu ketika Tang Taizong berkunjung ke neraka. Tidak hanya itu, penulis pun menyadari bahwa perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dengan perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak memiliki persamaan yaitu sama-sama dirayakan pada tanggal lima belas bulan tujuh kalender lunar. Penulis menganggap bahwa terjadinya perbedaan asal mula ini dikarenakan adanya keterbatasan informasi mengenai kebudayaan dan sejarah China. Pada tahun 1965 terjadi peristiwa G30S/PKI, dimana pemerintahan Soekarno yang saat itu berkuasa digulingkan oleh pemerintahan Soeharto dan menimbulkan larangan untuk mengakses segala hal yang berasal dari China. Penulis beranggapan masyarakat Tionghoa yang ada di Pontianak menjadi tertutup terhadap segala hal yang berhubungan dengan China. Hal inilah yang membuat narasumber hanya menceritakan berdasarkan sudut pandang subjektif saja. Dalam hal asal usul perayaan Qi Yue Ban, China percaya bahwa perayaan berasal dari 3 paham yang berbeda, yaitu Buddha dengan cerita Ullam-bananya, Dao dengan Penguasa 3 Alam, dan kepercayaan adanya pintu neraka dari rakyat sekitar. Sedangkan pada Perayaan Qi Yue Ban di Pontianak, percaya bahwa perayaan ini berasal dari kisah Kaisar Tang Taizong. Masyarakat China mengadakan suatu kegiatan yang bernama “Fang Yan Kou”, adalah sebuah acara untuk melepaskan penderitaan arwah-arwah, agar mereka tidak membuat keributan bagi manusia. Penulis menyadari adanya kegiatan sembahyang rebut ini dikarenakan masyarakat setempat tidak mengetahui kegiatan Fang Yan Kou ini. Orang Tionghoa sejak dahulu memiliki tradisi menaruh sesajen untuk sembahyang, namun pada saat itu masyarakat setempat tidak mengetahui adanya tradisi seperti ini, mereka mengira setelah sembahyang selesai maka sesajen tersebut tidak dibutuhkan lagi dan mereka pun mengambilnya. Lambat laun menjadi kegiatan sembahyang rebut.
Kegiatan Fang Yan Kou ini diadakan karena takut para hantu akan membuat kekacauan bagi manusia. Akan tetapi masyarakat Pontianak untuk menghindari kekacauan yang dibuat para hantu bukanlah dengan mengadakan kegiatan Fang Yan Kou, melainkan mengadakan Qi Yue Ban. Setelah acara sembahyang rebut selesai dilaksanakan, acara akan dilanjutkan dengan pembakaran kapal Wang Kang. Prosesi ini tidak ada di China, hal ini jugalah yang menjadikannya sebagai salah satu perbedaan antara Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dan perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak. Berdasarkan hasil wawancara, penulis mengetahui bahwa pembakaran kapal Wang Kang bertujuan untuk mengantarkan arwah-arwah kembali ke tanah leluhur mereka, yaitu China. Alasan kenapa kapal tersebut harus dibakar adalah karena orang Tionghoa percaya apabila membakar suatu barang maka arwah leluhur bisa mendapatkan barang yang dibakar tersebut. Namun penulis menyadari adanya prosesi pembakaran kapal Wang Kang dikarenakan adanya perpaduan dengan budaya setempat, yaitu kapal “Lancang Kuning”. Dinamakan Lancang Kuning karena kapal ini berwarna kuning, dan pada zaman dahulu kapal ini merupakan salah satu alat transportasi bagi warga setempat. Lancang Kuning merupakan maskot bagi kota Pontianak. Tidak hanya itu, masyarakat China biasanya mengadakan sebuah pertunjukkan yang berhubungan dengan kisah “Mu Lian Jiu Mu” bernama “Mu Lian Xi”. Pertunjukkan ini bertujuan untuk memberitahukan kepada semua orang sebuah kisah menyentuh seorang anak yang berbakti kepada ibunya. Penulis menganalisa di Pontianak tidak ada acara Mu Lian Xi dikarenakan mereka tidak mengetahui cerita tentang Mu Lian menyelamatkan ibunya, mereka hanya mengetahui kisah tentang Tang Taizong pergi ke neraka. Pada malam hari, biasanya masyarakat China merayakan perayaan Qi Yue Ban pada malam hari, seperti menghanyutkan lentera dan “Bu Tian”, akan tetapi masyarakat Pontianak tidak merayakan perayaan Qi Yue Ban pada malam hari dikarenakan setelah pembakaran kapal selesai, maka perayaan Qi Yue Ban di Pontianak sudah berakhir. Tujuan diadakannya perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dengan perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak berbeda. Perayaan Qi Yue Ban yang ada di China memiliki tujuan untuk membantu hantu agar dapat sampai ke dunia manusia, meninggalkan neraka dan dapat bereinkarnasi, menunjukkan rasa berbakti kepada orangtua dan mendapatkan kehidupan yang baru. Namun perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak memiliki tujuan agar arwah para leluhur dapat kembali ke China dan untuk menghindari berbagai macam bencana.
SIMPULAN DAN SARAN Penulis ingin meneliti perayaan Qi Yue Ban yang ada di Pontianak dikarenakan masih banyaknya ketidaktahuan masyarakat akan adanya perayaan Qi Yue Ban. Tidak hanya itu, penulis juga ingin mendalami proses akulturasi yang terjadi antara perayaan Qi Yue Ban yang ada di China dengan perayaan Qi Yue Ban di Pontianak. Penulis berharap melalui skripsi ini masyarakat dapat lebih mengenal mengenai Perayaan Qi Yue Ban di Pontianak. Setelah melakukan studi pustaka dan wawancara dengan berbagai pihak, penulis menyadari bahwa perayaan Qi Yue Ban yang ada di China berbeda dengan yang ada di Pontianak. Keduanya merupakan perayaan dengan nama yang serupa dan tanggal perayaan yang hampir sama (kecuali di beberapa daerah China yang merayakannya selama sebulan, seperti Taiwan), namun ciri khas dari perayaan Qi Yue Ban di China tidak dibawa kedalam Qi Yue Ban di Pontianak. Hal ini dapat dilihat dari kebiasaan serta pola pikir masyarakat yang berbeda mengenai makna dari kedua perayaan ini. Penulis menyimpulkan salah satu yang mendasari perbedaan ini adalah adanya keterbatasan informasi masyarakat Tionghoa di Pontianak mengenai budaya China. Dengan keterbatasan infor masi ini, masyarakat tetap
menjalankan tradisi yang telah diturunkan dari leluhur mereka tanpa mengetahui dengan jelas sejarah dan alasan dibalik dirayakannya perayaan ini. Selain itu, adanya pandangan subjektif dari narasumber yang dituakan di Pontianak juga mempengaruhi perbedaan asal-usul yang ada.
REFERENSI Asali, X. F. (2008). Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat. Pontianak: Muare Public Relation. Koentjaraningrat, Prof. Dr. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kottak, Conrad Phillip. (2008:571). Antropology:The Exploration of Human Diversity. New York: McGraw Hill. Sutardi, Tedi.(2007,61).Antropologi:Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: Grafindo. Raharjo, Agung. (2009). Buku Kantong Sosiologi SMA IPS. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Widyatama. Tan, Markus. (2008). Imlek dan Alkitab. Jakarta: Bethlehem Publisher. Taniputera, Ivan. (2008). History of China. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Soekanto, Soerjono. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
中元節
NathalieTjia. (2010, Agustus). Re: Festival Hantu atau Festival Para Roh/Ulambana ( : zhōngyuán jié). Retrieved http://xintan8.blogspot.com/2010/08/festival-hantu-atau-festival-pararoh.html Suku Bangsa. (n.d). Pemerintahan Kota Pontianak. Retrieved Mei 14, 2012, from http://www.pontianakkota.go.id/?q=tentang/suku-bangsa
:Blackmask Online,2005 李心奉·中国传统节日 [M]·北京:中央编译出版社,2010 厉振仪·中国古代风俗一百财 [M]·北京:中国对外翻译出版公司,1999:140 韦黎明·中国节日 [M]·北京:五洲传播出版社,2005 金明法师·盂兰盆真义 [M]·马来西亚:立成印务,2005 任耕耘·传统节日(中华民俗文库)[M]·湖北:湖北峰迪印务有限公司,2007:151 周蕙英·中元节民俗仪式研--以湖北省凤县团风真七月半民俗仪式为例[J]·中华师范大学, 2006 刘志文·广东民俗大观 [M]·广东:广东旅游出版社,2007:616 于海娣·中国文化全知道 [M]·北京:华文出版社,2010:413 周楠本·我注鲁迅 [M]·福建:福建教育出版社,2006:117 Wu Cheng En.(2005). Journey to the West. Beijing