PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 12 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2000 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU Menimbang
:
a. bahwa dengan adanya penambahan dan atau pengurangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, maka perlu dilakukan perubahan Anggaran Daerah; b. bahwa perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dimaksud pada huruf a perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 352) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820); 2. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569); 3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tahun 1997, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685);
http://www.huma.or.id
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 19 Nomor , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839); 6. Undang-undang Nomro 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 5); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 6); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3691); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun1997 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3692); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1997 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 556, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3693); 12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1975 tentang contoh-contoh Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
http://www.huma.or.id
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1978 tentang Penerimaan Sumbangan Pihak Ketiga kepada Daerah; 14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1996; 15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 1997 tentang Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan dan Barang Daerah; 16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Pemerintah Daerah; 17. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 570-360 tanggal 28 Oktober 1981 tentang Program Pembinaan Anggaran Daerah dan Pengendalian Kredit Anggaran; 18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 1984 tentang Langkath Pertama Pensinkronisasian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 19. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 903-1316 Tanggal 16 September 1985 tentang Penyempurnaan Bentuk dan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 903-617 Tanggal 18 September 1988; 20. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 903-379 Tanggal 11 April 1987 tentang Penggunaan Sistem Digit Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta Petunjuk Teknis Tata Usaha Keuangan Daerah; 21. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 1998 tentang Bentuk dna Susunan Anggaran Pendapatan Daerah; 22. Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 1 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2000;
http://www.huma.or.id
23. Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 10 Tahun 2000 tentang Sisa Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sanggau Tahun Anggaran 1999/2000; 24. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 1 Tahun 1999 tanggal 7 Oktober 199 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau. Memperhatikan
:
1. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 3 Tahun 2000 tentang Persetujuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sanggau Tahun Anggaran 2000 menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sanggau Tahun Anggaran 2000; 2. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 13 Tahun 2000 tentang Persetujuan Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sanggau Tahun Anggaran 2000 menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau; 3. Risalah Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Sanggau Tahun Anggaran 2000. Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sanggau MEMUTUSKAN
Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH TAHUN ANGGARAN 2000
PERUBAHAN
ANGGARAN
Pasal 1 1) Anggaran Pendapatan Daerah Tahun Anggaran 2000 semula berjumlah Rp 91.913.900.782,40 bertambah sejumlah Rp 4.053.082.927,44 sehingga menjadi Rp 95.966.983.704,84;
http://www.huma.or.id
2) Anggaran Belanja Daerah Tahun Anggaran 2000 semula berjumlah Rp 91.913.900.782,40 bertambah sejumlah Rp 4.053.082.927,44 sehingga menjadi Rp 95.966983.709,84 dengan rincian sebagai berikut : A. Pengeluaran Belanja sebelum Perubahan Bertambah sebesar Pengeluaran Belanja setelah Perubahan Terdiri dari : 1. Belanja Rutin sebelum Perubahan Bertambah sebesar Belanja Rutin setelah Perubahan 2. Belanja Pembangunan sebelum Perubahan Bertambah besar Belanja Pembangunan setelah Perubahan
Rp. 90.184.604.657,40 Rp. 2.647.068.211,00 Rp. 92.836.672.868,40 Rp. 60.550.585.750,00 Rp. 562.953.111,00 Rp. 61.113.538.861,00 Rp. 29.639.018.907,40 Rp. 2.084.115.100,00 Rp. 31.723.134.007,40
B. Pengeluaran Transfer sebelum Perubahan Bertambah besar Pengeluaran Belanja Transfer setelah Perubahan
Rp. 1.272.976.083,71 Rp. 95.544.575,00 Rp. 1.368.520.658,71
C. Pengeluaran tidak Tersangka sebelum Perubahan Bertambah besar Pengeluaran tidak Tersangka setelah Perubahan
Rp. 451.320.041,29 Rp. 1.310.470.141,44 Rp. 1.761.790.182,73 Pasal 2
1) Ringkasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dimaksud pada pasal 1 diatas, sebagaimana Lampiran I Peraturan Daerah ini; 2) Pergeseran Pasal-pasal anggaran yang diperkenankan sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana Lampiran II Peraturan Daerah ini; 3) Rincian lebih lanjuta ayat (1) pasal ini, sebagaimana lampiran-lampiran Peraturan Daerah ini;
http://www.huma.or.id
a. b. c. d.
Lampiran III : Pendapatan Lampiran IV : Pengeluaran Belanja Lampiran V : Pengeluaran Transfer Lampiran VI : Pengeluaran Tidak tersangka Pasal 3
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Bagian Urusan Kas dan Perhitungan pada perubahan ini tidak mengalami perubahan. Pasal 4 Lampiran-lampiran pada pasal 1, pasal 2 dan pasal 3 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Pasal 5 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau. Ditetapkan di : Sanggau Pada tanggal : 18 Oktober 2000 BUPATI SANGGAU CAP/TTD MICKAEL ANDJIOE, Sip, MBA
http://www.huma.or.id
Diundangkan di Sanggau Pada tanggal 18 Oktober 2000 SEKRETARIS DAERAH CAP/TTD Drs. ASPAN GANI Pembina Tk.I NIP. 010 046 560 Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau Nomor 15 Tahun 2000 Seri D Nomor 6
http://www.huma.or.id
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU Menimbang
:
a. bahwa dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 119 Tahun 1998 tentang Ruang Lingkup dan Jenis-jenis Retribusi Propinsi dan Kabupaten/Kota, maka retribusi pemotongan hewan merupakan jenis retribusi Kabupaten/Kota; b. bahwa retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah untuk memantapkan Otonomi Daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggungjawab dengan titik berat pada Kabupaten/Kota; c. bahwa untuk mengantisipasi pelaksanaan otonomi daerah maka daerah harus mampu membiayai urusan rumah tangganya secara mandiri; d. bahwa untuk maksud seperti tersebut pada huruf a, b dan c dipandang perlu untuk ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820). 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuanketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2824).
http://www.huma.or.id
3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685). 4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820). 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1997 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan; 6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner; 7. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah; 8. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undangundang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Keputusan Presiden. 9. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN. 240/5/1989 tentang Pemotongan Babi dan Penanganan Daging Babi serta Hasil Ikutannya; 10. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 295/Kpts/TN. 310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya; 11. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 306/Kpts/TN. 330/4/1994 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta Hasil Ikutannya; 12. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah; 13. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 1979 dan 05/Ins/UM/3/1979 tentang Pencegahan dan Pelarangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau Betina Bibit.
http://www.huma.or.id
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU MEMUTUSKAN Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1.
Daerah adalah Kabupaten Sanggau;
2.
Kepala Daerah adalah Bupati Sanggau;
3.
Pemerintahan Daerah adalah Kepala Daerah beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah;
4.
Antar daerah adalah antar daerah kabupaten dalam Propinsi Kalimantan Barat;
5.
Rumah Pemotongan Hewan/Tempat Pemotongan Hewan selanjutanya disebut RPH/TPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah dengan desain tertentu dan digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi konsumsi masyarakat luas;
6.
Retribusi Pemotongan Hewan dan Lalu Lintas Hewan selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas jasa layanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan dan atau jasa pemeriksaan kesehatan hewan yang akan dipotong serta jasa layanan pemeriksaan kesehatan hewan atas hewan yang akan diangkut keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah;
7.
Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia;
8.
Hewan potong adalah sapi, kerbau, kuda dan kambing/domba;
9.
Unggas adalah setiap jenis burung yang dimanfaatkan untuk pangan, termasuk ayam, bebek, entok, burung dara, kalkun, angsa, burung puyuh dan belibis;
http://www.huma.or.id
10. Daging adalah bagian-bagian dari hewan yang disembelih dan lazim dimakan manusia, kecuali yang telah diawetkan dengan cara lain daripada didinginkan; 11. Daging babi adalah bagian-bagian dari babi yang disembelih dan lazim dimakan manusia termasuk isi rongga perut dan rongga dada; 12. Daging unggas adalah bagian-bagian unggas yang disembelih dan lazim dimakan manusia, termasuk kulit; 13. Pemotongan hewan adalah kegiatan untuk menghasilkan daging yang tediri dari pemeriksaan ante mortum, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan dan pemeriksaan post mortum; 14. Pemeriksaan ante mortum adalah pemeriksaan kesehatan hewan potong, babi atau unggas sebelum disembelih; 15. Pemeriksaan post mortum adalah pemeriksaan daging, daging babi dan daging unggas sebelum dikeluarkan dari RPH/TPH. 16. Penyembelihan hewan potong adalah kegiatan mematikan hewan potong dengan cara menyembelihnya; 17. Penyembelihan unggas menyembelihnya;
adalah
kegiatan
mematikan
unggas
dengan
cara
18. Penyembelihan babi adalah kegiatan mematikan babi dengan cara menusuk jantung melalui intercostal I atau dengan cara memotong urat nadi leher, dengan terlebih dahulu dipingsankan atau tidak dipingsankan; 19. Karkas adalah bagian dari hewan potong yang disembelih setelah kepala dan kaki sebatas tulang tarsal dan karpal dipisahkan, dikuliti serta isi rongga perut dan dada dikeluarkan; 20. Karkas unggas adalah bagian dari unggas yang disembelih setelah pencabutan bulu dan pengeluaran jerohan, baik disertakan atau tidak kepala, leher, kaki mulai dari tulang tarsal, paru atau ginjal; 21. Karkas babi adalah bagian dari babi yang disembelih setelah dibului dan dikeluarkan isi rongga perut dan dadanya; 22. Lalu lintas hewan adalah kegiatan memindahkan hewan sapi, kerbau, kuda, kambing/domba dan babi keluar daerah dan atau ke dalam daerah dengan menggunakan alat angkutan atau tidak menggunakan alat angkutan;
http://www.huma.or.id
23. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat SKRD adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang; 24. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya dapat disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda; 25. Badan adalah suatu bentuk dan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya. 26. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban retribusi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan retribusi daerah. 27. Penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya dapat disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya. BAB II PENYEMBELIHAN HEWAN POTONG, BABI DAN UNGGAS Pasal 2 1) Terhadap hewan potong, babi dan unggas yang akan disembelih untuk keperluan usaha harus dilakukan pemeriksaan status kesehatannya secara fisik lengkap; 2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini mencakup : a.
Pemeriksaan ante mortum;
b.
Pemeriksaan post mortum. Pasal 3
Hanya hewan potong, babi dan unggas yang sehat dan atau tidak dihinggapi sesuatu penyakit hewan dan atau diijinkan dipotong/disembelih untuk keperluan usaha dan lainnya.
http://www.huma.or.id
BAB III LALU LINTAS HEWAN Pasal 4 1) Kegiatan lalu lintas pengeluaran dan atau pemasukan hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (23) Peraturan Daerah ini, terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan kesehatan hewan; 2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan terhadap hewan sebelum hewan tersebut di angkut keluar daerah dan atau disebarkan di dalam daerah; BAB IV KETENTUAN PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN Pasal 5 Pemeriksaan ante mortum, pemeriksaan post mortum dan pemeriksaan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 2 dan pasal 4 Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Dokter Hewan yang berwenang atau Petugas Pemeriksa lainnya yang ditunjuk dan mempunyai wewenang serta berada di bawah pengawasan dan tanggungjawab Dokter Hewan yang berwenang berdasarkan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 6 1) Pemotongan hewan potong dan pemotongan babi untuk keperluan usaha wajib dilakukan di RPH/TPH yang dibangun dan disediakan oleh Pemerintah Daerah dan atau perorangan dan atau badan usaha lainnya yang telah disahkan/diijinkan serta telah memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan; 2) Pemotongan unggas untuk keperluan usaha dilakukan di tempat yang ditunjuk dan memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah atau Instansi Teknis yang berwenang; 3) RPH/TPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini wajib menjaga sanitasi, kesehatan dan kebersihan lingkungan serta tidak menimbulkan pencemaran. Pasal 7 Penyembelihan hewan potong dan unggas untuk keperluan usaha wajib dilakukan dengan cara menurut Agama Islam.
http://www.huma.or.id
Pasal 8 1) Pemeriksaan ante mortum sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf a Peraturan Daerah ini, dilakukan terhadap hewan potong, babi dan atau unggas sebelum disembelih; 2) Pemeriksaan post mortum sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (2) huruf b Peraturan Daerah ini, dilakukan terhadap daging dan karkas hewan potong, babi dan atau unggas sebelum dibawa keluar dari tempat penyembelihan; 3) Daging dan karkas hewan potong dan babi untuk keperluan usaha, sebelum dibawa keluar dari RPH/TPH harus dilakukan dahulu di Ruang Pelayuan Daging/Karkas yang tersedia di RPH/TPH setidak-tidaknya untuk selama 6 (enam)jam. 4) Hanya daging dan karkas hewan potong, babi dan unggas yang sehat dan layak dikonsumsi yang diijinkan dibawa keluar dari tempat penyembelihan untuk keperluan usaha dan atau keperluan lainnya. Pasal 9 1) Daging dan karkas hewan potong, babi dan atau unggas yang terdapat sehat dan diijinkan untuk dikonsumsi dibubuhi stempel/cap yang bentuk, model, ukuran, tulisan dan warna tintanya masing-masing berbeda, seperti tercantum pada penjelasan sebagai bagian tak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini; 2) Stempel/cap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diterakan pada bagianbagian daging dan karkas sedemikian, agar mudah dilihat oleh para konsumen. Pasal 10 1) Sebelum hewan potong dan babi disembelih, wajib diistirahatkan dan dipuasakan dahulu sekurang-kurangnya selama 12 (dua belas) jam di kandang istirahat/kandang karantina yang tersedia di lingkungan RPH/TPH; 2) Hewan potong dan babi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini harus dilakukan pemeriksaan ante mortum secara fisik lengkap selama-lamanya 24 jam sebelum disembelih; 3) Apabila terdapat sehat dan diijinkan untuk dipotong, wajib diberi tanda stempel/cap “S” pada kulitnya oleh petugas yang memeriksa dengan tinta/cat yang tidak mudah hilang. Pasal 11 1) Hewan potong betina bibit dan atau bunting dan atau berumur kurang dari 8 (delapan) tahun dilarang dipotong;
http://www.huma.or.id
2) Termasuk perkecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah betina yang majir dan atau pemotongan darurat. Pasal 12 Kriteria hewan potong betina majir ditetapkan oleh Dokter Hewan yang berwenang atau Petugas Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada pasal 5 Peraturan Daerah ini, berdasarkan hasil pemeriksaan fisik reproduksi lengkap. Pasal 13 Pemeriksaan Kesehatan Hewan bagi kegiatan lalu lintas hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1) dan (2) Peraturan Daerah ini, meliputi pemeriksaan fisik lengkap. Pasal 14 1) Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada pasal 13 Peraturan Daerah ini, dilakukan di Kandang Karantina yang telah disediakan untuk itu; 2) Terhadap hewan yang diperiksa dan ternyata terdapat dalam keadaan sehat dan atau tidak dihinggapi sesuatu penyakit hewan, diberi tanda cap bakar dan atau tanda lainnya yang tidak mudah hilang pada kulit atau bagian tubuh lainnya. Pasal 15 1) Hanya hewan yang terdapat sehat dan bebas dari sesuatu penyakit hewan yang boleh dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah. 2) Kepada pemilik dan atau pembawa hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini diberikan Surat Pemeriksaan Kesehatan Hewan sebagai bukti otentik hasil pemeriksaan. BAB V NAMA, OBYEK DAN SUBYEK RETRIBUSI Pasal 16 Dengan nama Retribusi Pemotongan Hewan dan Lalu Lintas Hewan, dipungut Retribusi atas penyediaan jasa dan fasilitas pelayanan pemotongan hewan dan Pos Pemeriksaan Hewan.
http://www.huma.or.id
Pasal 17 Obyek Retribusi adalah jasa dan atau pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan fasilitas dan jasa-jasa yang meliputi : a. Penyewaan Kandang Istirahat/Kandang Karantina Sementara; b. Jasa Pemeriksaan Kesehatan Ante Mortum; c. Pemakaian Tempat Pemotongan dan Penyelesaian Pemotongan di RPH/TPH; d. Jasa Pemeriksaan Post Mortum; e. Pemakaian Ruang Pelayuan Daging/Karkas; f. Pemeriksaan Kesehatan Hewan untuk keperluan Lalu Lintas Hewan. Pasal 18 Pungutan retribusi pemotongan unggas hanya dikenakan terhadap pemotongan unggas untuk keperluan usaha. Pasal 19 Obyek retribusi pemotongan unggas sebagaimana dimaksud pada pasal 19 Peraturan Daerah ini meliputi : a. b.
Jasa Pemeriksaan Ante Mortum; Jasa Pemeriksaan Post Mortum. Pasal 20
Subyek retribusi adalah orang pribadi atau badan usaha yang mendapatkan jasa dan fasilitas pelayanan sebagaimana dimaksud pasal 17 Peraturan Daerah ini. Pasal 21 1) Setiap pelunasan pembayaran untuk setiap jenis obyek retribusi, diberikan tanda bukti pembayaran. 2) Jenis dan bukti pelunasan pembayaran retribusi terperinci dan terpisah sesuai obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada pasal 17 dan pasal 19 Peraturan Daerah ini. BAB VI PRINSIP PENETAPAN TARIF RETRIBUSI Pasal 22 1) Tingkap penggunaan fasilitas dan jasa pelayanan diukur berdasarkan jenis fasilitas, bentuk dan jasa pelayanan dan jenis serta jumlah hewan yang akan disembelih dan atau akan dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah.
http://www.huma.or.id
2) Prinsip penetapan struktur dan tarif retribusi didasarkan pada tujuan memperoleh keuntungan yang layak sebagai imbalah atas penyediaan fasilitas dan jasa-jasa sebagaimana keuntungan yang pantas diterima oleh para pengusaha sejenis yang beroperasi secara efisie dan berorientasi pada harga pasar. Pasal 23 Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada pasal 22 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dihitung berdasarkan tarif pasar yang berlaku dan merupakan jumlah unsur-unsur tarif yang meliputi : a. Unsur biaya per satuan penyedia jasa. b. Unsur keuntungan yang dikehendaki per satuan jasa. c. Unsur biaya administrasi per satuan jasa. BAB VII STRUKTUR DAN BESARNYA TARIF RETRIBUSI Pasal 24 1) Struktur tarif dikelompokkan berdasarkan jenis fasilitas, jenis jasa pelayanan serta jenis dan jumlah hewan; 2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dihitung berdasarkan konstanta harga pasar yang berlaku meliputi harga daging dan karkas hewan potong, babi dan unggas; 3) Besarnya tarif retribusi jasa pemeriksaan kesehatan hewan atas lalu lintas hewan dihitung berdasarkan konstanta harga pasar yang berlaku meliputi harga berat hidup hewan yang akan dibawa keluar daerah dan atau dibawa masuk ke dalam daerah. Pasal 25 1) Besarnya tarif untuk setiap jenis retribusi dan atau obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Daerah ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Instansi Teknis yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2) Besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, steiap tahun dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku pada saat itu. Pasal 26 Besarnya tarif retribusi pemotongan hewan potong dan babi perekor untuk keperluan usaha yang harus dibayar oleh subyek retribusi sebagai berikut :
http://www.huma.or.id
a.
Sewa Kandang Istirahat sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.
b.
Jasa Pemeriksaan Ante Mortum sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.
c.
Pemakaian Tempat Pemotongan/Penyelesaian Pemotongan sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.
d.
Jasa Pemeriksaan Post Mortum sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku.
e.
Pemakaian Ruang Pelayuan Daging/Karkas sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram daging yang berlaku. Pasal 27
Besarnya tarif retribusi pemotongan unggas perekor untuk keperluan usaha yang harus dibayar oleh subyek retribusi adalah sebesar 1% (satu persen) dari harga per kilogram daging unggas yang berlaku sebagai jasa pemeriksaan Ante Mortum dan Post Mortum. Pasal 28 Besarnya tarif retribusi pemeriksaan kesehatan hewan untuk keperluan lalu lintas hewan adalah sebagai berikut : a.
Sewa Kandang Karantina Sementara sama dengan 5% (lima persen) kali harga per kilogram berat hidup yang berlaku dari setiap jenis hewan yang diperiksa.
b.
Jasa Pemeriksaan Kesehatan Hewan sama dengan 10% (sepuluh persen) kali harga per kilogram berat hidup yang berlaku dari setiap jenis hewan yang diperiksa. BAB VIII WILAYAH PEMUNGUTAN Pasal 29
Retribusi yang terutang dipungut di Wilayah daerah tempat penyediaan pelayanan fasilitas pemeriksaan dan pemotongan hewan. BAB IX MASA RETRIBUSI DAN TATA CARA PEMUNGUTANNYA
http://www.huma.or.id
Pasal 30 1) Masa retribusi untuk pemotongan hewan, pemotongan babi dan pemotongan unggas untuk keperluan usaha adalah jangka waktu selama 24 jam atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah; 2) Masa retribusi untuk lalu lintas hewan adalah jangka waktu selama 3 x 24 jam atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah. Pasal 31 1) Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan; 2) Retribusi dipungut dengan menggunakan Bukti Pembayaran Retribusi Pemotongan Hewan dan atau Lalu Lintas Hewan yang sah; 3) Bukti pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, ditetapkan oleh Kepala Daerah atas usul Instansi Teknik yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran retribusi diatur dengan keputusan Kepala Daerah. BAB X SANKSI ADMINISTRASI Pasal 32 Dalam hal wajib Retribusi tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi terutang atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan STRD. BAB XI TATA CARA PENAGIHAN Pasal 33 1) Pengeluaran surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan retribusi dikeluarkan 7 (tujuh) hari sejak jatuh tempo. 2) Dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal surat teguran/peringatan/surat lain yang sejenis, wajib retribusi harus melunasi retribusi yang terutang.
http://www.huma.or.id
3) Surat teguran/peringatan atau surat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk. BAB XII PENGURANGAN, KERINGANAN DAN PEMBEBASAN RETRIBUSI Pasal 34 1) Kepala Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi. 2) Pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memperhatikan kemampuan wajib retribusi. 3) Tata Cara pengurangan, keringanan dan pembebasan retribusi ditetapkan oleh Kepala Daerah. BAB XIII KADALUWARSA PENAGIHAN Pasal 35 1) Hak untuk melakukan penagihan retribusi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila wajib retribusi melakukan tindak pidana dibidang retribusi. 2) Kadaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: a. b.
Diterbitkan surat teguran atau Ada pengakuan utang retribusi dari wajib retribusi baik langsung maupun tidak langsung. BAB XIV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 36
1) Kepala Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan retribusi daerah; 2) Untuk melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dibentuk tim dengan keputusan Kepala Daerah.
http://www.huma.or.id
BAB XV KETENTUAN PIDANA Pasal 37 1) Subyek dan atau wajib retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali dari jumlah retribusi yang terutang; 2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran. BAB XVI PENYIDIKAN Pasal 38 1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah. 2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a.
Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas.
b.
Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang retribusi daerah.
c.
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah.
d.
Menerima buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang retribusi daerah.
e.
Melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut.
f.
Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah.
http://www.huma.or.id
g.
Menyuruh berhenti seseorang dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada hurur e.
h.
Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah.
i.
Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
j.
Menghentikan penyidikan.
k.
Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang retribusi daerah menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini maka ketentuan yang telah ada yang mengatur materi yang sama dan atau yang bertentangan dengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 40 Hal-hal yang belum diatur dan atau belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya. Pasal 41 Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan untuk mengundangkan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau.
http://www.huma.or.id
Ditetapkan di : S A N G G A U Pada tanggal : 3 November 2000 BUPATI SANGGAU TTD
DR. MICKAEL ANDJIOE, MBA DIUNDANGKAN: DALAM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 16 TAHUN 2000 TANGGAL 17 NOVEMBER 2000 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 2 SEKRETARIS DAERAH, TTD Drs.ASPAN GANI Pembina TK. I NIP. 010046560
http://www.huma.or.id
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 13 TAHUN TENTANG RETRIBUSI PEMOTONGAN HEWAN DAN LALU LINTAS HEWAN DI KABUPATEN SANGGAU PENJELASAN UMUM Seperti diketahui bahwa retribusi pemotongan hewan dan retribusi lalu lintas hewan, sebelumnya termasuk jenis pajak daerah. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah maka hal itu menjadi Retribusi Jenis Usaha. Penetapan Retribusi Usaha dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya sehingga dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, yang dikaitkan dan disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu juga bertujuan untuk menyesuaikan materi dan sistem pemungutan sejalan dengan berbagai perkembangan dewasa ini serta untuk menyesuaikan besarnya tarif retribusi yang selalu mengikuti kondisi harga pasar yang berlaku saat itu, serta sebagai upaya untuk meningkatkan dan mengintensifkan pemasukan Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi dan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, khususnya bagi konsumen hasil produk asal hewan yang sehat, higienis, bermutu sehingga pada akhirnya dapat mencerminkan hubungan timbal balik yang serasi dan jelas antara tarif retribusi yang dikenakan dan ditetapkan dengan kemampuan penyediaan fasilitas dan jasa pelayanan masyarakat yang dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau. Penetapan Peraturan Daerah ini bertitik berat pada aspek pelayanan dan perlindungan masyarakat produsen maupun konsumen hasil peternakan, terhadap berbagai hal yang mungkin dapat menimbulkan kerugian baik materi maupun kesehatan manusia dari penularan sesuatu penyakit hewan yang mungkin saja dapat mengancam kesehatannya. Yang tidak kalah pentingnya adalah tercipta kesejahteraan batin masyarakat yang mengkonsumsi produk peternakan yang telah memenuhi persyaratan teknis, aman dan halal setelah produk asal hewan tersebut lolos dari persyaratan Kesehatan Masyarakat
http://www.huma.or.id
Veteriner yang dinyatakan oleh Dokter Hewan yang berwenang sebagaimana ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1. Ayat 13 : Yang dimaksud dengan penyelesaian penyembelihan adalah kegiatan setelah hewan disembelih, selanjutnya kepala sampai batas tulang leher I dan kaki mulai dari tulang tarsal dan karpal dipisahkan dari badan, hewan digantung, dikuliti, isi perut dan dada dikeluarkan, dan karkas dibelah memanjang dengan ujung leher masih terpaut. Pasal 2 : cukup jelas. Pasal 3 : Yang dimaksud dengan pemotongan darurat adalah Penyembelihan hewan potong secara “terpaksa” misalnya karena kecelakaan sehingga tak memungkinkan hewan potong itu dibawa ke RPH/TPH dan dalam hal hewan potong itu membahayakan untuk umum apabila tidak dipotong/disembelih ditempat. Pasal 4 : cukup jelas. Pasal 5 : Yang dimaksud dengan Dokter Hewan yang berwenang adalah Dokter Hewan yang bertugas pada Direktorat Jenderal Peternakan, Dokter Hewan Kepala Dinas Propinsi/Kabupaten/Kota atau Dokter Hewan yang mempunyai tugas kesehatan hewan pada Dinas Peternakan. Yang dimaksud dengan Petugas Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Peternakan Propinsi/Kabupaten/Kota yang karena pendidikannya dan atau karena keterampilannya ditugaskan untuk menangani kegiatan kesehatan hewan pada Dinas Peternakan. Pasal 6 : cukup jelas. Pasal 7 : Yang dimaksud dengan menurut cara Agama Islam adalah menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang penyembelihan hewan, sebagai berikut : a. b. c. d.
Membaca “Bismillah” sebelum menyembelih; Memutus jalan nafas (huiqum); Memutus jalan makanan (mari); Memutus dua urat nadi leher (wada jain).
Pasal 8 : cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) : a.
Bentuk, model dan ukuran stempel/cap daging dan karkas setiap jenis hewan potong babi dan unggas untuk keperluan usaha adalah sebagai berikut :
http://www.huma.or.id
JENIS HEWAN
b.
BENTUK STEMPEL/CAP
1. S a p i
Bulat
UKURAN STEMPEL/CAP (Cm) Jari-jari = 5;
2. Kambing/Domba
Bulat
Jari-jari = 3;
3. Kerbau
Segi empat sama sisi Setiap sisi = 8;
4. K u d a
Segi tiga sama sisi
Setiap sisi = 8;
5. Unggas
Persegi panjang
Sisi panjang = 4, sisi pendek = 3
6. B a b i
Segi lima sama sisi
Setiap sisi =3
Bahan dan warna tinta stempel/cap adalah sebagai berikut : 1.
Untuk hewan potong dan unggas : Warna tinta : B I R U Bahan tinta : R/Methylene Blue ............................. 40 Gr. Aquadest ........................................... 100 Ml. Alcohol 70% ..................................... 400 Ml. Glycerine ........................................... 500 Ml.
2. Untuk babi : Warna tinta : M E R A H Bahan tinta : R/Methylene Red ................................ 40 Gr. Aquadest .............................................. 100Ml. Alcohol 70% ........................................ 400 Ml. Glycerine .............................................. 500 Ml. c.
Tulisan pada stempel/cap adalah sebagai berikut : 1. Bagian atas : Nama RPH/TPH/Kota RPH/TPH; 2. Bagian tengah : Untuk daging keperluan lokal/kabupaten : 1) BAIK; atau 2) BAIK BERSYARAT; atau 3) BAIK DIAWASI 3. Bagian bawah : Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
http://www.huma.or.id
Pasal 11 Ayat (2) : Yang dimaksud dengan betina majir adalah hewan betina dewasa yang walaupun pada saat berahi sudah berulangkali dikawinkan secara alami ataupun kawin suntik, tidak bisa atau tidak menunjukkan tanda-tanda bunting. Pasal 12 : cukup jelas. Pasal 13 : cukup jelas. Pasal 14 : cukup jelas Pasal 15 : cukup jelas Pasal 16 : cukup jelas Pasal 17 : cukup jelas Pasal 18 : cukup jelas Pasal 19 : cukup jelas Pasal 20 : cukup jelas Pasal 21 : cukup jelas Pasal 22 : cukup jelas Pasal 23 : cukup jelas Pasal 24 : cukup jelas Pasal 25 : cukup jelas Pasal 26 : Yang dimaksud dengan harga daging adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram daging hewan potong dan babi yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah; Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas. Pasal 27 : Yang dimaksud dengan harga daging unggas adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram daging unggas yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah; Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas.
http://www.huma.or.id
Pasal 28 : Yang dimaksud dengan harga berat hidup adalah harga pasar rata-rata setiap kilogram berat hewan yang ditimbang dalam keadaan hidup yang berlaku selama 6 (enam) bulan terakhir di daerah; Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan harga rata-rata, maka dibulatkan ke atas. Apabila terdapat pecahan dalam penghitungan tarif retribusi, maka dibulatkan ke atas. Pasal 29 : cukup jelas. Pasal 30 : cukup jelas. Pasal 31 Ayat (2) : Yang dimaksud adalah tim kerja yang beranggotakan unsur dari Instansi Teknis yang terkait dengan operasional pelaksanaan pemungutan retribusi pemotongan hewan dan retribusi lalu lintas hewan. Pasal 32 : cukup jelas. Pasal 33 : cukup jelas. Pasal 34 : cukup jelas. Pasal 35 : cukup jelas.
http://www.huma.or.id
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 14 TAHUN 2000 TENTANG PUNGUTAN DAERAH DAN PENYETORAN IURAN KEHUTANAN DARI IZIN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU Menimbang
:
a. bahwa hutan sebagain sumber daya alam perlu dimanfaatkan secara lestari untuk memenuhi kesejahteraan rakyat; b. bahwa dalam rangka meningkatkan manfaat hutan, maka areal hutan alam produksi harus dipelihara sesuai dengan sistem silvikultur secara baik dan benar; c. bahwa pemegang Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) yang telah melakukan pemanfaatan dan atau penebangan pada hutan alam produksi diharapkan juga memberikan kontribusinya bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD); d. bahwa berhubungan dengan huruf a, b dan c di atas perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820). 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 3699). 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839).
http://www.huma.or.id
4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3840). 5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 167 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888). 6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hutan pada Hutan Produksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3302). 7. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 310/KPTSII/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan. 8. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 315/KPTSII/1999 tentang Tata Cara Pengenaan, Penetapan dan Pelaksanaan Sanksi atas Pelanggaran di Bidang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan. Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU MEMUTUSKAN Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG PUNGUTAN DAERAH DAN PENYETORAN IURAN KEHUTANAN DARI IZIN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. b. c. d.
Dalam adalah Daerah Kabupaten Sanggau. Pemerintah Daerah adalah pemerintah Kabupaten Sanggau. Kepala Daerah adalah Bupati Sanggau. Dinas Kehutanan adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau.
http://www.huma.or.id
e. f.
Hasil Hutan adalah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan. Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah hak untuk memungut hasil hutan berupa kayu dan hutan produksi dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan dalam surat izin. g. Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah izin yang diberikan oleh Bupati untuk melaksanakan Pemungutan Hasil Hutan. h. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan. i. Pungutan Daerah adalah pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. j. Areal adalah suatu kawasan hutan dimana dilakukannya kegiatan hak pemungutan hasil hutan berupa kayu yang diberikan atas dasar Surat Keputusan Bupati. k. Iuran Kehutanan adalah pungutan yang dikenakan kepada pemegang Hak Pengusahaan Hutan atas suatu kompleks hutan tertentu. l. Penyetoran iuran adalah penyetoran seluruh penerimaan kehutanan yang berasal dari iuran kehutanan. m. Kas adalah Kas Daerah Kabupaten Sanggau. BAB II BESARNYA PUNGUTAN Pasal 2 1) Besarnya Pungutan Daerah dari Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan berupa Kayu (HPHH) ditetapkan sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun seluas 100 (seratus) hektar. 2) Pungutan sebagaimana ayat 1 pasal ini akan dikenakan kembali pada saat permohonan perpanjangan izin Hak Pemungutan Hasil Hutan Berupa Kayu. Pasal 3 Penyetoran Pungutan Daerah yang dikenakan izin Hak Pemungutan Hasil Hutan dimaksud pada pasal 2 ayat (1) dan (2) dilakukan oleh Pemohon langsung ke Kas Daerah. Pasal 4 1) Pembayaran Pungutan Daerah dari Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan yang dilakukan pada saat pengajuan berkas permohonan yang telah memenuhi syarat dan permohonan perpanjangan kepada Bupati untuk diterbitkan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan. 2) Bukti pembayaran wajib dilampirkan pada berkas permohonan yang dimaksud ayat (1) pasal ini dan copy bukti setor disampaikan kepada Dinas Pendapatan daerah Kabupaten Sanggau dan Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau untuk bahan monitoring.
http://www.huma.or.id
3) Pelaksanaan kewajiban ayat (1) dan ayat (2) pasal ini menjadi pertimbangan diterbitkannya izin. Pasal 5 Pembayaran pungutan Daerah dan semua jenis iuran kehutanan dan kewajiban-kewajiban lain sebagai akibat diterbitkannya izin hak pemungutan hasil hutan disetorkan ke Bank yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BAB III KETENTUAN UMUM Pasal 6 Terhadap Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan yang diterbitkan setelah ditetapkannya Peraturan Daerah ini akan dikenakan Pungutan Daerah sebagaimana diatur pada pasal 2 ayat (1) Peraturan Daerah ini. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Keputusan Bupati Nomor 02 Tahun 2000 tanggal 31 Maret 2000 tentang Pemberian Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan Berupa Kayu dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 8 Segala sesuatu yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya. Pasal 9 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya. Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya pada Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau.
http://www.huma.or.id
Ditetapkan di Sanggau Pada tanggal 3 November 2000 BUPATI SANGGAU TTD DR. MICKAEL ANDJIOE, SIP, MBA D I U N D AN G K A N DALAM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 17 TAHUN 2000 TANGGAL 17 NOVEMBER 2000 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 3 SEKRETARIS DAERAH TTD Drs. ASPAN GANI PEMBINA TK. I NIP. 010046560
http://www.huma.or.id
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 14 TAHUN 2000 TENTANG PUNGUTAN DAERAH DAN PENYETORAN IURAN KEHUTANAN DARI IZIN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU PENJELASAN UMUM Hutan sebagai suatu pertumbuhan pohon-pohon yang secara nyata merupakan persekutuan hidup hayati termasuk alam lingkungannya wajib dikelola secara aktif dan bijaksana sehingga sumber daya alam ini dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam rangka mensejahterakan kehidupan masyarakat. Disamping itu dengan dikeluarkannya Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan diharapkan dari pemegang izin dapat melaksanakan kewajibannya untuk menyetor kepada Pemerintah Daerah agar kegiatan produksi hasil hutan dapat diawasi dan terkontrol serta dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Sanggau. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Penjelasan pasal demi pasal dianggap tidak perlu karena sudah cukup jelas.
http://www.huma.or.id
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 15 TAHUN 2000 T EN T A N G TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SANGGAU Menimbang
:
a. bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan pasal 22 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi serta BAB IV Pasal 7 Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 310/KPTS-II/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan, Daerah Kabupaten diserahi wewenang untuk mengatur sebagian urusan di bidang Kehutanan termasuk memberikan izin Hak Pemungutan Hasil Hutan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan. b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut di atas, perlu ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Sanggau.
Mengingat
:
1. Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 9) sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820). 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699). 3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839). 4. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3840).
http://www.huma.or.id
5. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2945). 6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3373). 7. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumber Daya Hutan. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3802). 9. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1998 tentang Dana Reboisasi. 10. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 858/KPTSII/1999 tentang Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) per Satuan Hasil Hutan Kayu. 11. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 310/KPTSII/1999 tentang Pedoman Pemberian Hak Pemungutan Hasil Hutan. 12. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 315/KPTSII/1999 tentang Sanksi Atas Pelanggaran Dibidang Eksploitasi Hutan. Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SANGGAU MEMUTUSKAN Menetapkan
:
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1
http://www.huma.or.id
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : a. Daerah adalah Kabupaten Sanggau. b. Gubernur adalah Gubernur Propinsi Kalimantan Barat c. Kepala Daerah adalah Bupati Sanggau d. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. e. Dinas Kehutanan Propinsi adalah Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. f. Dinas Kehutanan atau Kesatuan pemangku Hutan adalah Dinas Kehutanan atau Kesatuan Pemangkuan Hutan Kabupaten Sanggau. g. Camat setempat adalah Camat dalam Kabupaten Sanggau di wilayahnya berada lokasi Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan. h. Aparat Kehutanan Setempat adalah Aparat Kehutanan yang berada di Kecamatan di Daerah Kabupaten Sanggau. i. Kepala Desa setempat adalah Kepala Desa yang berada dalam Kecamatan Kabupaten Sanggau di wilayah beradanya lokasi ijin hak pemungutan hutan. j. Hasil Hutan adalah benda-benda hayati yang dihasilkan dari hutan. k. Kawasan Hutan adalah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. l. Masyarakat setempat adalah masyarakat yang tinggal/berdomisili tetap dan mempunyai KTP Kabupaten Sanggau. m. Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) adalah Hak untuk memungut Hasil Hutan berupa kayu pada hutan produksi dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan dalam surat ijin. n. Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK) adalah ijin untuk melaksanakan penebangan dan penggunaan dari areal hutan yang telah ditetapkan atau pada areal penggunaan lain untuk keperluan pembangunan hutan tanaman dan keperluan non kehutanan. o. Ijin sah lainnya (ISL) adalah ijin untuk melaksanakan penebangan dan penggunaan kayu dari areal hutan selain Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) dan Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK). p. Ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan adalah ijin yang diberikan oleh Bupati untuk melaksanakan Pemungutan Hasil Hutan. q. Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dari hutan alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi. r. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. s. Hak Pengusaha Hutan (HPH) adalah hak untuk mengusahakan hutan dalam suatu kawasan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku seta azas kelestarian. t. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya dan khususnya pembangunan, industri dan ekspor. u. Tata Batas Areal adalah batas yang mengelilingi areal kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan yang berupa rintisan yang dibersihkan dari semak-semak atau tumbuhan selebar kurang lebih 5 meter.
http://www.huma.or.id
v. w. x.
y. z. aa. bb. cc. dd. ee. ff. gg.
hh. ii. jj. kk. ll.
Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah pejabat kehutanan yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi untuk menerbitkan SKSHH, atas usulan dari Kepala Dinas Kabupaten Sanggau. Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) adalah dokumen milik Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang berfungsi sebagai bukti legalitas pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan. Daftar Hasil Hutan (DPH) adalah dokumen yang berisi nomor dan tanggal LPH, nomor batang, jenis, panjang, diameter dan volume setiap batang kayu bulat atau jenis, ukuran sortinen, jumlah keping/bundel dan volume kayu olahan atau jenis, jumlah bundel dan berat hasil hutan bukan kayu, yang menjadi lampiran dokumen SKSHH. Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP) adalah Pejabat Kehutanan yang ditunjuk dan diberi wewenang oleh Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau untuk melakukan pemeriksaan dan pengesahan produksi. Basa Camp adalah terdiri dari bangunan kantor, perumahan karyawan, saranasarana sosial dan lain-lain serta merupakan pusat kegiatan. Rencana Kerja adalah rencana yang memuat kegiatan-kegiatan pemungutan hasil hutan dengan berpegang kepada azas manfaat dan azas kelestarian. Cruising adalah kegiatan pencatatan, pengukuran pohon dna penandaan pohon dalam areal Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk mengetahui jenis, jumlah dan volume serta pencatatan data lapangan lainnya. Koperasi adalah badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992. Badan Hukum Indonesia adalah Perusahaan yang seluruh modalnya dimiliki Warga Negara Indonesia. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pepohonan yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungan yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan. Hutan Negara adalah kawasan hutan dan hutan yang tumbuh diatas tanah yang tidak dibebani hak milik. Pohon inti adalah pohon muda jenis komersial/perdagangan yang berdiameter 20 cm sampai 49 cm yang ditetapkan 25 pohon untuk rimba campuran dan 15 pohon untuk hutan ramin (rawa) yang dijadikan tegakan utama dalam rotasi tebang berikutnya. Pembuat Laporan Hasil Produksi (LHP) adalah Pejabat Kehutanan yang ditunjuk oleh KKPH Sanggau untuk membuat laporan Hasil Produksi yang berkualifikasi Penguji (Sealer, PPKBRI). Tempat Pengumpulan Kayu di Hutan (TPN) adalah tempat untuk mengumpulkan kayu hasil penebangan di sekitar tempat tebangan yang bersangkutan. Tempat Pengumpulan Kayu (TPK) adalah tempat yang mempunyai fungsi untuk menerima, menimbun dan mengeluarkan kayu bulat. Palu Tok adalah alat untuk memberi tanda pada kayu bulat yang menunjukkan identitas ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan sebagai pemilik kayu bulat. Pengawas Eksploitasi (PE) adalah aparat Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan penebangan di lapangan.
http://www.huma.or.id
mm. Penghentian Pelayanan adalah Sanksi yang dikenakan kepada Pemegang Ijin berupa penanggalan pelayanan akibat tidak dipenuhinya kewajiban dan pembayaran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). BAB II KAWASAN HAK PEMUNGUTAN HASIL HUTAN Pasal 2 1) Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk menebang kayu dapat diberikan pada areal hutan produksi terbatas (HPT); Hutan Produksi Biasa (HPB); Kawasan hutan konversi atau hutan produksi yang akan dikonversi/dialihfungsikan (dalam kawasan budidaya menurut padu serasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan pada areal Pertanian Lahan Kering serta pada tanah hak milik). 2) Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk mengambil hasil hutan non kayu (hasil hutan ikatan) dapat diberikan pada kawasan hutan konversi, hutan produksi, hutan lindung dan tanah milik. BAB III TATA CARA PERMOHONAN Pasal 3 1) Permohonan Hak Pemungutan Hasil Hutan diajukan secara tertulis kepada Kepala Daerah dengan dibubuhi materai Rp 6.000,- selanjutnya akan dikeluarkan ijin. 2) Permohonan Hak Pemungutan Hasil Hutan tersebut pada ayat (1) pasal ini, dibuat dengan tembusan kepada : a. Gubernur Kalimantan Barat b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. c. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. d. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Satuan Pemangkuan Hutan Sanggau e. Camat setempat f. Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan Setempat g. Kepala Desa setempat 3) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) diatas untuk koperasi yang berbadan hukum diutamakan yang berada disekitar dan atau wilayah kawasan hutan yang bersangkutan, dilengkapi dengan persyaratan berupa :
http://www.huma.or.id
a. b. c. d. e. f. g.
Peta areal yang dimohon dengan skala 1 : 250.000, yang diketahui Camat dan KBKPH setempat. Akte Badan Hukum Koperasi yang disahkan oleh Kandep Koperasi Kabupaten Sanggau. Neraca Keuangan selama 1 (satu) tahun terakhir, kecuali yang baru dibentuk Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Surat Ijin Tempat Usaha (SITU) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau. Rekomendasi Camat setempat tentang permohonan dimaksud. Rekomendasi Kepala Desa setempat.
4) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini untuk yayasan atau kelompok tani Warga Negara Indonesia dilengkapi dengan persyaratan berupa : a. Peta areal yang dimohon dengan skala 1 : 250.000 yang diketahui Camat dan HKBR setempat. b. Surat Keterangan Camat atau Rekomendasi bahwa permohonan adalah masyarakat setempat. 5) Surat Permohonan yang diajukan baik oleh yayasan, Koperasi atau kelompok hanya diperkenankan maksimal 1 (satu) buah permohonan. 6) Terhadap areal hutan yang akan dialihfungsikan ke komoditi lain dalam kawasan budidaya menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dilengkapi dengan rekomendasi dari instansi terkait. BAB IV TATA CARA PENILAIAN PERMOHONAN Pasal 4 1) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau wajib menyampaikan pertimbangan teknis kepada Kepala Daerah atas kelengkapan administrasi antara lain sebagai berikut : a. Kelengkapan persyaratan permohonan b. Kebenaran Kelembagaan dan status pemohon c. Kesesuaian kawasan, luas areal, jenis Hak Pemungutan Hasil Hutan yang dimohon d. Pertimbangan Tata Ruang dan Pengembangan Strategis Daerah e. Jumlah Desa/Dusun yang berada didalam/disekitar areal yang dimohon 2) Pertimbangan Teknis yang dimaksud pada ayat (1) tersebut diatas yaitu butir c, d, e terlebih dahulu agar melakukan koordinasi dengan Bappeda Kabupaten Sanggau dan instansi terkait lainnya (Kantor Pertanahan Nasional). Pasal 5
http://www.huma.or.id
1) Atas Dasar Permohonan Hak Pemungutan Hasil Hutan sebagaimana yang dimaksud pasal 3 ayat (1) Kepala Daerah melakukan penilaian permohonan dengan memperhatikan sarana dan pertimbangan teknis yang diajukan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau. 2) Pertimbangan Teknis yang disampaikan sebagaimana tersebut pasal 4 tersebut di atas diperlukan sebagai bahan pertimbangan Kepala Daerah untuk menyetujui atau menolak permohonan dimaksud di atas. Pasal 6 1) Dalam hal seluruh persyaratan teknis dan administrasi telah memenuhi syarat, maka Kepala Daerah berdasarkan pasal 3 tersebut di atas, akan mengeluarkan Surat Pencadangan Areal Hak Pemungutan Hasil Hutan. 2) Surat Pencadangan Areal sebagaimana ayat (1) pasal ini memuat : a. Masa berlakunya Surat Pencadangan Areal Hak pemungutan Hasil Hutan (HPHH) selama 1 (satu) tahun. b. Persetujuan areal yang dicadangkan dan Peta Lokasi Pencadangan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). c. Kewajiban pemohon dalam melaksanakan Penataan Batas Areal, Survai Potensi dan Identifikasi Hak-hak Pihak Ketiga yang ada dalam lokasi pencadangan areal Hak Pemungutan Hasil Hutan serta pelunasan iuran Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). d. Pemohon wajib menyelesaikan pembebasan hak-hak lain yang terdapat di dalam hutan yang dicadangkan. Pasal 7 Dalam hal permohonan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) ditolak Kepala Daerah maka kepada pemohon diberitahukan penolakan permohonan yang disertai dengan alasan penolakan dengan tembusan kepada : a. Gubernur Kalimantan Barat. b. Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. c. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Barat. d. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Satuan Pemangkuan Hutan Sanggau. e. Camat setempat f. Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan setempat g. Kepala Desa setempat Pasal 8 1) Pelaksanaan Tata Batas dan Survai Potensi dan Identifikasi Hak-hak Pihak Ketiga yang ada dalam lokasi pencadangan areal Hak Pemungutan Hasil Hutan dilakukan
http://www.huma.or.id
oleh instansi Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kesatuan Pemangkuan Hutan setempat dan apabila perlu Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau bisa meminta bantuan Instansi terkait. 2) Hasil pemeriksaan lapangan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Lapangang (BAPL). 3) Segala biaya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan pada ayat (1) pasal ini menjadi tanggung jawab pemohon. 4) Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau menerbitkan Surat Penolakan Permohonan Hak Pemungutan Hasil Hutan apabila hasil laporan Tim Pemeriksa Lapangan pada areal yang dimohon dijumpai : Status sengketa dengan pihak lain Tidak terdapat kayu 5) Hasil dari kegiatan pada ayat (1) pasal ini merupakan dasar untuk menyusun rencana kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) Pasal 9 1) Pemegang Pencadangan Areal hak Pemungutan Hasil Hutan diwajibkan menyusun Rencana Kegiatan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan disampaikan kepada Kepala Daerah selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak diterimanya Surat Pencadangan Areal Hak Pemungutan Hutan (HPHH). 2) Apabila Pemegang pencadangan areal Hak Pemungutan Hasil Hutan dalam batas waktu yang ditetapkan dalam Surat Pencadangan Areal, maka secara sepihak Suratsurat Pencadangan Areal Hak Pemungutan Hasil Hutan dimaksud dibatalkan Kepala Daerah tanpa surat peringatan terlebih dahulu. Pasal 10 Penilaian rencana Kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 9 dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya Rencana Kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pasal 11 1) Apabila dalam Penilaian rencana Kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan sebagaimana dimaksud pada pasal 10 di atas dapat diterima/layak, maka Kepala Daerah akan mengeluarkan ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan. 2) Apabila penilaian Rencana Kerja Hak Pemungutan Hasil Hutan ditolak, maka Kepala Daerah mengeluarkan Surat Penolakan Pemberian Izin Hak Pemungutan
http://www.huma.or.id
Hasil Hutan kepada pemohon disertai dengan alasan-alasan penolakan atau ditolak namun kepada pemohon masih diberikan kesempatan untuk segera diperbaiki atau diusulkan kembali dengan batas waktu pengajuan selama masa ijin pencadangan areal masih berlaku. BAB V PEMBERIAN IZIN Pasal 12 1) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan dengan luas maksimal 100 hektar ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan keputusan. 2) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) diberikan untuk jangka waktu selama 1 (satu) tahun dan tidak dapat diperpanjang kembali. Pasal 13 1) Pemohon wajib melunasi Iuran Hak pemungutan Hasil Hutan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak dikeluarkan Keputusan Pencadangan. 2) Keputusan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dikeluarkan oleh Kepala Daerah setelah pemohon melunasi Iuran Hak Pemungutan Hasil Hutan. 3) Pembayaran Iuran Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) disetor ke Kas Daerah atau Bank yang ditunjuk oleh Kepala Daerah khusus untuk pembayaran Hak Pemungutan Hasil Hutan. 4) Bukti Setor pembayaran Iuran Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) merupakan dasar bukti untuk memenuhi ayat (2) tersebut diatas. 5) Apabila pemohon tidak melunasi kewajibannya pembayaran Iuran Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), maka Kepala Daerah mengeluarkan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggak waktu 10 (sepuluh) hari kerja. 6) Apabila sampai dengan peringatan ketiga berakhir dan pemohon tidak melunasi kewajibanna, maka Kepala Daerah mencabut Surat Pencadangan Areal Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). Pasal 14 1) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk menebang kayu, mengambil hasil hutan kayu/non kayu hanya diberikan kepada koperasi, kelompok tani atau yayasan.
http://www.huma.or.id
2) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk menebang/mengambil kayu, tidak dapat diberikan pada areal yang telah dibebani Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang dikeluarkan oleh Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Barat. 3) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk menebang kayu memuat jenis dan jumlah/volume kayu yang diizinkan untuk ditebang, luas dan letak areal yang dituangkan dalam Peta Areal Kerja. 4) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan untuk non kayu, memuat jenis dan jumlah/volume hasil hutan non kayu yang diizinkan untuk dipungut, luas dan letak areal yang dituangkan dalam Peta Areal Kerja. BAB VI PELAKSANAAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN Pasal 15 1) Pelaksanaan Pemungutan Hasil Hutan untuk kayu dan Non kayu hanya dilakukan secara manual dan semi mekanis yaitu berupa jalan kuda-kuda dan atau menggunakan lokomotif. 2) Atas izin Kepala Daerah pelaksanaan eksploitasi Pemungutan Hasil Hutan dilakukan secara mekanis apabila topografi lapangan tidak memungkinkan dilaksanakan secara manual atau semi mekanis, namun harus tetap memperhatikan azas konservasi. 3) Berdasarkan pertimbangan azas manfaat untuk kepentingan masyarakat Desa dan membuka transportasi antar desa dalam rangka pengembangan wilayah, Kepala Daerah dapat memberikan izin pembuatan dan penggunaan jalan angkutan yang dibuat oleh pemegang izin Hak Pemungutan Hasil Hutan. BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 16 Pembinaan dan pengawasan Pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan dilakukan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau/ Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau dan oleh Kepala Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan serta Kepala Resort Pemangkuan Hutan.
http://www.huma.or.id
BAB VIII KEWAJIBAN Pasal 17 1) Setiap Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) berupa kayu yang arealnya berada pada Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Biasa (HPB) dan pada Hutan Produksi atau pada areal Pertanian Lahan Kering (PLK) yang tidak/atau dikonversikan/dialihfungsikan, maka wajib melakukan penanaman kembali paling sedikit dua kali pohon yang ditebang. 2) Setiap pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan berupa kayu yang arealnya berada pada Hutan Produksi atau pada areal Pertanian Lahan Kering yang akan dikonversikan/dialihfungsikan komoditi lainnya tidak diwajibkan untuk menanam pohon kembali. Pasal 18 1) Setiap Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) untuk kayu wajib membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) yang harus disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2) Setiap Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan Non Kayu (Hasil Hutan Ikutan) wajib membayar Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang harus disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 3) Setiap Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan wajib membayar Iuran Hak pemungutan Hasil Hutan (IHPHH) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4) Besarnya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) sesuai (sama dengan) yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. 5) Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan wajib membuat Laporan Bulanan kepada Kepala Dinas Kehutanan/Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau. Pasal 19 1) Tata Usaha Hasil Hutan dan Tata Usaha Penerimaan Negara bukan pajak bidang Pengusahaan Hutan berpedoman sesuai dengan perundangan yang berlaku. 2) Tata Usaha hasil Hutan dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau.
http://www.huma.or.id
BAB IX S A N K SI Pasal 20 1) Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan akan dicabut oleh Kepala Daerah, karena : a. Pemegang Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan menelantarkan areal kerjanya selama 6 (enam) bulan. b. Pemegang Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan melanggar salah satu kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Bab VIII. c. Pemegang Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan mengalihkan Hak Pemungutan Hasil Hutan kepada pihak lain tanpa seijin Kepala Daerah. d. Mengambil hasil-hasil hutan yang tidak sesuai dengan izin yang diberikan (diluar target). 2) Tata cara pengenaan, penetapan dan pelaksanaan sanksi atas pelanggaran dibidang Pemungutan Hasil Hutan dikenakan sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 21 1) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau wajib melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Izin Hak Pemungutan Hasil Hutan dan instansi terkait melakukan bimbingan dan pengendalian terhadap pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan. 2) Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sanggau atau Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan Sanggau dan instansi terkait melakukan bimbingan dan pengendalian terhadap pelaksanaan Hak Pemungutan Hasil Hutan. BAB XI PENUTUP Pasal 22 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala peraturan yang mengatur hal yang sama bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
http://www.huma.or.id
Pasal 23 Segala sesuatu yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati sepanjang mengenai pelaksanaannya. Pasal 24 Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini pada Lembaran Daerah Kabupaten Sanggau. Ditetapkan di : Sanggau Pada tanggal : 3 November 2000 BUPATI SANGGAU TTD DR. MICKAEL ANDJIOE, MBA
http://www.huma.or.id
PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 15 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BERUPA KAYU I.
PENJELASAN UMUM Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan Otonomi yang nyata, dinamis, serasi serta bertanggungjawab, maka sebagai Konsekwensi ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang 25 Tahun 1999, Daerah mempunyai kewenangan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya termasuk sektor kehutanan yang sebagian urusannya ada di Kabupaten, sehingga sangatlah layak Daerah Kabupaten merealisasikan dan memberdayakan potensi kehutanan demi kelancaran pembangunan Daerahnya khususnya di bidang perizinan Hak Pemungutan Hasil Hutan dengan prioritas masyarakat setempat di wilayah Kabupaten Sanggau. Disamping itu dalam rangka mencapai efektifitas dalam pelayanan administrasi termasuk pengawasan terhadap pemberian izin tersebut perlu mengatur tentang persyaratan dan tata cara permohonan izin sebagai dasar hukum dan langkah-langkah pengamanan areal hutan produksi.
II.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Penjelasan pasal demi pasal dianggap tidak perlu karena cukup jelas. DIUNDANGKAN DALAM LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SANGGAU NOMOR 18 TAHUN 2000 TANGGAL 17 NOVEMBER 2000 TAHUN 2000 SERI C NOMOR 4 SEKRETARIS DAERAH, TTD Drs. ASPAN GANI PEMBINA TK. I NIP.010046560
http://www.huma.or.id
http://www.huma.or.id