n a a ks
i r e K m n I e a T P a E n s E a k D a i n r KO N a e s m k e a P l SPK s e i P n P k k M u e P j T u k Pet unju Pet
PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154
NO 114/ September - Oktober 2008/Tahun XXVIII
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
edisi
114
DAFTAR ISI MAJALAH PEMERIKSA
EDITORIAL
Auditor Bukan Pemusik Jazz
4
TERKINI
CATATAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIA oleh Anwar Nasution Subprime crisis yang terjadi di Amerika Serikat sejak Agustus tahun yang 1alu telah mulai menyebabkan krisis industri keuangan dunia yang pada gilirannya menimbulkan stagflasi atau gabungan antara stagnasi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat laju inflasi internasional.
Monster Krisis Finansial Itu Bernama “Pasar” Tahun 2008 akan dicatat sebagai salah satu episode kelam dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak, hanya dalam sehari lebih dari 1 triliun US$ dana di pasar modal lenyap......
Majalah Pemeriksa 114
5 7
n
PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN
saa rik eme aan TIK nP s EE naa rik KOD N ksa eme SPK ela nis P P P k k e PM uju kT Pet unju Pet
PERANGKAT LUNAK PEMERIKSAAN NO 110/Desember 2007 - Januari 2008/Tahun XXVII MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154
NO 114/ September - Oktober 2008/Tahun XXVIII
LAPORAN UTAMA
Penetapan Materialitas dalam Pemeriksaan Keuangan Frase kata “dalam semua hal yang material” merupakan hal penting bagi pemeriksa di dalam memberikan opini. Dengan kata lain, hal yang material saja yang akan mempengaruhi opini pemeriksa.
11
Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin ....Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipandang wajar. Kelemahan dan kekurangan itu tidaklah harus dipandang sebagai kesalahan semata.
STANDAR UMUM AUDITING
14
PENERAPAN STANDAR UMUM AUDITING PADA BPK RI Salah satu pengembangan infrastruktur tersebut adalah ditetapkannya Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang menerapkan materi dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP)...
18
JANGAN BIARKAN PETUNJUK DILIHAT SEBELAH MATA Pada suatu masa, laporan BPK akan menjadi referensi bagi penentuan arah dan pilihan kebijakan publik di Indonesia. Birokrat, tokoh masyarakat, politisi, pengusaha, aktivitis dan masyarakat akan berterima kasih kepada BPK.......
20
AUDITOR SELALU INGIN MENJADI PEMAIN JAZZ Apa yang salah dengan keinginan itu? Apakah tidak boleh seorang auditor ber-”improvisasi” dalam memainkan komposisi prosedur auditnya? Apakah auditor harus selalu patuh pada “conductor” untuk menghasilkan alunan laporan audit yang harmonis?
23
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
RUBRIK
25 26
AGENDA Ketua BPK: “Siapa mau beli obligasi kalau laporan keuangan disclaimer?” POTRET BPK
28
INTERNAL KONTROL PEMERINTAH NAN SEMRAWUT ! Sudah jelas bahwa BPKP sebagai pengawas internal atau dengan kata lain kita mengenalnya dengan internal control, yang tentunya bertugas untuk mengawasi.
31
SPIP: SOLUSI UNTUK PERBAIKAN KONTROL INTERNAL PEMERINTAH Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) telah ditetapkan di Jakarta, 28 Agustus 2008 lalu oleh Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
34
“PENYUSUTAN AKTIVA TETAP MILIK PEMERINTAH” Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 7, tentang Akuntansi Aktiva Tetap menyebutkan bahwa salah satu hal yang harus diungkapkan dalam penyajiannya adalah informasi mengenai penyusutan.
36 39 41 44 47 51 54
Dana Pendidikan: Naikkan Anggarannya, Awasi Penggunaannya Pemerintah berharap dengan dilaksanakannya agenda reformasi pendidikan tersebut, mutu SDM dapat meningkat sehingga berimbas pada peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. AMDAL, SENJATA PEMUSNAH MASALAH LINGKUNGAN Berawal dari kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, di Indonesia muncul ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah lingkungan hidup. Bedah Masalah : “Rendahnya Kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Membiayai Pengeluaran Daerah” Pengadaan Tanah pada Pemerintah Daerah Metode pelaksanaan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan kepentingan umum oleh Pemerintah dilakukan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berdasarkan prinsip penghormatan hak atas tanah KREDIT EKSPOR Artikel ini mencoba menguraikan salah satu sumber pembiayaan luar negeri yaitu Kredit Ekspor yang jarang kita jumpai di media massa, dengan harapan semoga bermanfaat bagi pembaca ... Optimalisasi Fungsi DPRD dalam Pengawasan Pemerintah Daerah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dibentuk di setiap propinsi dan kabupaten/ kota pada umumnya dipahami sebagai lembaga yang menjalankan kekuasaan legislatif, dan karena itu biasa disebut dengan lembaga legislatif di daerah. DIREKTORAT UTAMA PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA MENJADI LAW CENTER BPK
56
Pemeriksaan Atas Indikasi Tindak Pidana Korupsi pada Sektor Perbankan Kredit macet merupakan hal yang dianggap lumrah (biasa) dalam bisnis perbankan. Apabila ada suatu bank yang tidak mempunyai kredit macet, dapat dipastikan bukan karena pengelolaan yang ’super bagus,’ akan tetapi kemungkinan terbesar karena ...
60
Persiapan Pemeriksa Sebagai Ahli di Sidang Pengadilan Dalam mewujudkan pemerintahan yang bebas dari KKN maka pelaksana pemeriksa BPK, terutama yang terkait dengan hasil pemeriksaan Investigatif, cepat atau lambat akan menghadapi persidangan dan memberi keterangan ahli di pengadilan sebagai ahli atas nama BPK.
63 66 70 71 72 74 76
Adakah Pengaruh Sistem Pengendalian Intern pada Pemberian Opini atas LK Antara Migas dan Batubara Polemik berkepanjangan antara pemerintah dengan kontraktor pertambangan batubara mencapai puncaknya dengan tindakan represif Pemerintah.... Dialog Publik Pengelolaan Keuangan Negara di Pontianak
Diterbitkan oleh Biro Humas & LN, Badan Pemeriksa Keuangan, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa Pelindung Dharma Bhakti Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi Anggota Redaksi Yudhi Ramdan M. Yusuf Jhon Ekowati Tyas Rahayu Dian Desilia Bestantia Indraswati R. Edi Susila Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari Barlis Baharuddin Desain Grafis Sutriono Rianto Prawoto Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285
GENDIT: JADI DOKTER PUSDIKLAT AGAMA: JALAN MENUJU TAQWA Taqwa sebenarnya lahir dari sebuah keimanan yang kokoh yang selalu dipupuk dengan perasaan diawasi Allah,... Sucikan Harta, Bantu Sesama KELUARGA: CINTA J A R A K
Email:
[email protected]
J A U H
Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah isi naskah. Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
EDITOR AL
Auditor Bukan Pemusik Jazz Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara mengalami perkembangan dan perubahan yang cukup signifikan setelah berlakunya paket tiga Undang-undang Keuangan Negara. Perubahan tersebut antara lain meliputi jenis pemeriksaan, standar pemeriksaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil pemeriksaan, serta pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan. Perubahan tersebut tentunya harus disikapi dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yang semakin baik dan ‘semakin’ sesuai standar. Apalah artinya kewenangan dan kekuasaan yang luas dan besar ketika tidak diimbangi perbaikan ke dalam khususnya terkait perangkat lunak pemeriksaan. Tercatat sudah banyak perangkat lunak diciptakan mulai SPKN, PMP, kode etik, petunjuk pelaksanaan sampai petunjuk teknis dan SOP. Akan tetapi, kualitas hasil pemeriksaan dapat terjamin dengan banyaknya perangkat lunak pemeriksaan? Banyak laporan yang menyatakan bahwa auditor sering mengandalkan intuisinya sebagai pemeriksa dibandingkan harus mengandalkan atau mematuhi perangkat lunak pemeriksaan. Auditor cenderung terlalu percaya diri dan kadang lupa dengan pakem yang harus dipegang dalam memainkan perannya sebagai auditor. Akibatnya, ini mendorong munculnya auditor yang doyan bermusik jazz. Yaitu mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya. Padahal, ada kekhawatiran bahwa dengan improvisasi ini, bisa menyulitkan penjaminan keandalan prosedur audit yang dijalankan.
Ada kisah suatu kantor akuntan publik yang memeriksa BUMN tidak dapat menunjukkan KKP ketika direviu oleh auditor lain. Padahal, opini BUMN tersebut katanya WTP. Entah Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Tanpa “Pemeriksaan.” Konon, KAP tersebut akan diajukan kepada otoritas profesi untuk dibubarkan demi hukum. Mungkinkah BPK juga akan diajukan untuk dilikuidasi apabila ternyata pemeriksanya tidak dapat menunjukkan KKP hasil pemeriksaan ketika direviu oleh BPK Negara lain? (CK) Wallahu a’lam bish showab.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
TERKINI
CATATAN ATAS KRISIS EKONOMI DUNIA Oleh: Dr. Anwar Nasution
1.Permasalahan Subprime crisis yang terjadi di Amerika Serikat sejak Agustus tahun yang 1alu telah mulai menyebabkan krisis industri keuangan dunia yang pada gilirannya menimbulkan stagflasi atau gabungan antara stagnasi pertumbuhan ekonomi dan kenaikan tingkat laju inflasi internasional. Stagflasi perekonomian dunia tersebut akan menimbulkan dampak negatif pada perekonomian Indonesia melalui tiga jalur. Jalur pertama adalah melalui barang dan jasa karena stagflasi ekonomi dunia akan menurunkan tingkat harga maupun volume ekspor kita. Nilai ekspor bukan saja turun ke Amerika Serikat dan ke Eropa Barat tapi juga ke China dan India yang merupakan pengolah bahan baru serta energi yang kita ekspor. Sementara itu, gabungan antara pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap valuta asing dengan tingkat inflasi di mitra dagang kita akan meningkatkan kenaikan tingkat harga impor serta tingkat laju inflasi di dalam negeri. Jalur kedua bagaimana stagflasi perekonomian dunia mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah melalui pasar tenaga kerja. Peningkatan pengangguran tenaga kerja di negara-negara pengimpor tenaga kerja Indonesia akibat dari penurunan tingkat laju pertumbuhan ekonomi akan mengurangi permintaan mereka akan tenaga kerja Indonesia (TKI). Sebagian dari TKI yang kini bekerja di luar negeri akan dikembalikan ke Indonesia sehingga menambah tekanan pada pengangguran di dalam negeri. Pada umumnya TKI itu adalah berusia muda dan memiliki tingkat pendidikan rendah. Jalur ketiga bagaimana stagflasi dunia mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah melalui lalulintas modal asing. Ada beberapa penyebab peningkatan ketergantungan Indomesia pada modal asing jangka pendek sejak era reformasi. Penyebab pertama adalah karena adanya perubahan strategi pinjaman luar negeri pemerintah. Mulai tahun 2004, pemerintah menjual Surat Utang Negara (SUN) di pasar komersil untuk menutup defisit APBN dan membeli alutsista TNI dengan kredit ekspor dengan persyaratan yang mahal. Se-belumnya, selama 32 Tahun usia Orde Baru, pemerintah hanya meminjam dari sumber.resmi (ODA - official development assistances) yang tergabung dalam IGGI/CGI. Pinjaman ODA adalah berjangka panjang dan dengan bunga murah serta persyaratn lain yang sangat ringan. Jika tidak mampu melunasinya, keringanan pembayaran hutang dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan Paris Club. Disebut sebagai ‘penerimaan pembangunan ‘ bantuan dan pinjaman luar negeri pada masa itu dari sumber IGGI/CGI adalah NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
digunakan untuk menutup defisit APBN. Penyebab kedua peningkatan ketergantungan atas pemasukan modal jangka pendek adalah karena adanya peningkatan peran pemodal asing di bursa efek Jakarta (BEJ) maupun di pasar uang yang memperjual belikan SBI (Surat Berharga Bank Indonesia). Sebagian besar dari obligasi yang dijual di BEJ adalah SUN serta oblikasi rekap. Sementara itu, saham yang dijual di BEJ dalam milik perusahaan keluarga ataupun BUMN yang mutu governance sangat rendah. Ketergantungan pasar uang dan pasar modal Indonesia pada modal asing adalah sangat tinggi karena selain belum berkembang, institutional investors dalam negeri terus menerus dilanda korupsi. Institutional investors dalam negeri itu adalah perusahaan asuransi dan dana pensiun seperti Taspen, Asbri dan Jamsostek. Dewasa ini sudah mulai terasa dampak dari subprime crisis pada perekonomian nasional. SUN sudah mulai sulit untuk dijual dan tingkat suku bunganya sudah menjadi semakin mahal. Kedua hal ini akan menggangu pembelanjaan defisit APBN dan sekaligus menambah beban pembayaran hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri Pemerintah serta hutang dunia usaha nasional. Sementara itu, pelarian modal asing ke luar negeri telah membuat pasar uang nasional kesulitan likuiditas dan BEJ kolaps pada tanggal 9 Oktober 2008. Pelarian modal ke luar negeri sekaligus menurunkan cadangan devisa karena BI melakukan intervensi di bursa valuta asing agar tidak terjadi erosi kurs yang drastis. Dilihat dari jumlah aset maupun kantor cabangnya, industri keuangan di Indonesia dewasa ini masih bertumpu pada industri perbankan. Industri perbankan Indonesia itu pun masih bersifat tradisional dan belum berperan dalam penciptaan asset backed securities di dalam negeri. Bank-bank serta lembaga keuangan nasional pun belum banyak yang beroperasi di luar negeri ataupun yang memiliki portepel pada asset backet securities asing, terutama di Amerika Serikat sehingga tidak kena dampak langsung dari subprime mortgage crisis. 2.Apa yang harus dilakukan? a. Tingkatkan mutu pengawasan bank dengan memperketat imlpementasi aturan prudensial yang berlaku. Hanya dengan demikian, dapat dipulihkan kembali rasa kepercayaan masyarakat pada bank-bank nasional. Orang yang sudah masuk daftar hitam karena krisis perbankan tahun 1997-98 seyogyanya tidak boleh lagi untuk memiliki dan mengelola bank atau
pun menjadi anggota Dewan Supervisi BI; b. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar dan reputasi yang buruk, perlu ditutup cabang bank-bank negara di luar negeri yang berpotensi rugi, seperti cabang Bank BNI diu London. Likudasi NV Indover, bank komersil BI yang berkantor pusat di Amsterdam Negeri Belanda , merupakan contoh kerugian materi bagi negara dan sekaligus menurunkan reputasi Indonesia di luar negeri. Karena hanya merupakan proyek KKN yang merongrong cadangan luar negeri BI yang ditempatkan di bank itu , sejak krisis tahun 1997 IMF telah menyaranklan untuk menjual ataupun menutup NV Indover, c. M eningkatkan kerjasama dan koordinasi antara Depkeu, BI, Bapepam serta Lembaga penjamin Simpanan (LPS) salam membangun financial safety net (FSN) Program FSN itu meliputi kesediaan pemerintah untuk (i) menyediakan likuiditas guna menjaga terpeliharanya infrastruktur industri keuangan dan (ii) untuk sementara menambah modal atau menasionalisir bank/lembaga keuangan jika di perlukan ataupun mengambil alih aset lembaga keuangan yang bermasalah. Infastruktur industri keuangan perlu dijaga agar transaksi antar bank maupun antar lembaga keuangan tetap berlangsung sehingga kredit pembelanjaan usaha tidak terganggu; d. Meningkatkan jumlah deposito yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan pemindahan deposito dan tabungan masyarakat antara negara ; e. Gunakan kurs devisa sebagai instrumen untuk merangsang ekspor non-komoditi primer. Praktek masa lalu yang membuat nilai tukar efektif Rupiah terlalui kuat perlu di hentikan. Praktek seperti itu dengan sengaja dibuat dimasa lalu untuk membuat barang-barang impor menjadi murah guna menekan tingat laju inflasi di dalam negeri. Kebijakan seperti itu dapat di lakukan pada waktu itu karena adanya (a) kenaikan ekspor akibat dari peningkatan harga komoditi primer dan (b) pemasukan modal jangka pendek untuk membeli SBI dan SUN. Dilain pihak, kebijakan seperti itu telah menimbulkan penyakit ekonomi yang disebut sebagai “the Dutch disease”. Penyakit tersebut menimbulkan ketimpangan regional karena kurs efektif rupiah yang terlalu kuat telah mematikan kegiatan ekonomi pertanian pangan, buah serta industri manukfaktur di pulau jawa yang perpenduduk padat karena tidak kuat bersaing dengan komoditi impor; f. Berbeda dengan Korea Selatan atau RRC yang memiliki cadangan luar negeri serta surplus anggaran yang sangat besar, Indonesia tidak mungkin menggerakkan perekonomian nasionalnya melalui ekspansi fiskal. Namun demikian, dalam batas-batas tertentu, penajaman pengeluaran negara dapat dilakukan untuk menorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja; g. Tingkatkan peringkat SUN dengan mempercepat im
plementasi Paket Tiga UU Tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004 yang pada gilirannya memperbaiki opini pemeriksaan APBN dan meningkatkan peringkat SUN. Secara khusus, transparansi dan akuntabilitas administrasi penerimaan pajak perlu diperbaiki dengan memperbolehkan audit Ditjen Pajak oleh BPK. Kasus Asian Agri dan rendahnya penerimaan pajak dari sektor pertambangan ditengah boom harga dunia mencerminkan adanya transfer pricing yang tidak mungkin terjadi tanpa kerjasama dengan pejabat pajak. Kasus Frist Media di Bandung maupun rangkaian kasus penyimpangan restitusi PPN ekspor juga memberikan indikasi yang sama; h. Hindarkan cara mobilisasi penerimaan negara dari pembagian laba BUMN yang ternyata merugi karena cara seperti ini hanya merupakan politik burung onta yang memastikan BUMN tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang; i. Untuk menekan pengeluaran negara , restrukturalisasi peneluaran negara dengan memberikan prioritas kepada yang perlu mendesak ataupun yang sudah berjalan serta kegiatan yang punya dampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja; j. Berikan eskalasi harga kepada yang memerlukan seperti kenaikan bahan bangunan kepada kontraktor maupun kenaikan harga batu bara kepada pembangkit listrik karena tingkat harga pasarnya memang meningkat. Penekan harga dibawah tingkat pasar akan membuat perusahaan mati dan/ataupun proyek menjadi terbengkalai dan bermutu rendah; k. Program jaring pengaman sosial (social safety net) perlu di tingkatkan, seperti program kesehatan rakyat melalui puskesmas, Keluarga Berencana maupun sekolah 9 tahun dengan bantuan BOS serta subsidi; l. Untuk meredam tingkat laju inflasi, gunakan kombinasi defisit APBN yang rendah (maksimum 1,5 persen dari PDB) dan kebijakan moneter yang ketat ; m. Ajak Pemda Provinsi, Kabupaten /Kota meningkatkan iklim berusaha, meningkatkan efisiensi dan meniadakan hambatan perdagangan antar daerah dan memudahkan ijin berusaha; n. Untuk memupuk tabungan nasional, bangunan kembali Bank Tabungan Pos, asuransi maupun dana pensiun ; o. Untuk menambah kepercayaan Rakyat, Presiden perlu mengganti para pembantunya dibidang ekonomi dengan yang memiliki ilmu yang cukup dan reputasi yang baik . p.Presiden perlu menjelaskan kepada Rakyat akan sulitnya keadaan ekonomi dunia dan rangkaian kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah guna mengatasinya. Jakarta,9 Oktober 2008.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
TERKINI
Monster Krisis Finansial Itu Bernama “Pasar” Oleh: Gunawan Wisaksono, S.E. (Staf di Kantor Pusat BPK RI Jakarta)
bilitas pasar keuangan. Hal ini seperti pernyataan Menteri Keuangan Amerika Serikat, Henry M. Paulson, Jr. “Actions to Protect the U.S. Economy” (http://www.treas.gov/press/ releases/hp1205.htm). Seperti diketahui, resesi ekonomi AS berawal dari adanya kasus macetnya kredit di sektor perumahan (subprime mortgage). Kondisi tersebut menghantam dunia perbankan AS yang berdampak pada ambruknya pasar modal AS dengan anjloknya indeks saham di New York Stock Exchange (NYSE). Krisis ini memicu tergerusnya kepercayaan antara investor dan pialang, serta krisis kepercayaan sesama perbankan. Kelesuan ekonomi AS tersebut diperparah melambungnya harga minyak dunia hingga melebihi US$100 per barel yang memberi tekanan terhadap perekonomian negeri Paman Sam tersebut.
T
ahun 2008 akan dicatat sebagai salah satu episode kelam dalam sejarah perekonomian Amerika Serikat (AS). Bagaimana tidak, hanya dalam sehari lebih dari 1 triliun US$ dana di pasar modal lenyap. Saham-saham yang diperjualbelikan di Wall Street bergelimpangan naik turun bagaikan rollercoaster. Tsunami sedang melanda perekonomian AS. Bangunan ekonomi AS dibuat terhempas tak beraturan oleh institusi bernama “pasar” yang selama ini keberadaannya selalu dijadikan brand yang diagung-agungkan oleh AS sendiri. Indonesia boleh tertawa karena Sang Negara Adikuasa pun ternyata tak punya kuasa untuk tidak mengikuti langkah Indonesia. Program bailout, yang di Indonesia disebut BLBI (senilai Rp650 triliun), ternyata terjadi juga di AS. Pada tanggal 3 Oktober 2008, Presiden Amerika Serikat, George W Bush, atas persetujuan Kongres AS di Ruang Oval, Gedung Putih, Washington DC, menandatangani paket bailout senilai US$ 700 miliar. Semua itu dilakukan demi satu tujuan yakni memulihkan kepercayaan dan staNO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
The Fall of Reagenomics Saat ini pasar sudah menjadi institusi yang begitu mengerikan bagi perekonomian negara-negara diseluruh dunia. Jutaan pasang mata tengah memelototi output yang dihasilkan baik dari pasar uang maupun pasar modal. Output yang dihasilkan dari institusi pasar tersebut susah diprediksi dan sulit diajak kompromi. Ada yang dibuat tertawa karena untung dan ada pula yang dibuat gigit jari karena rugi. Pergerakan pasar yang semakin liar membuat AS sebagai ikon liberalisme pun tak sanggup membendung gejolak krisis di pasar uang dan pasar modal. Krisis tersebut sekaligus menandai kegagalan kebijakan Reagenomics yang diusung pemerintahan Presiden Bush. Reagenomics merupakan kebijakan ekonomi di masa Presiden AS Ronald Reagen yang ditandai dengan low taxes, low social-ser-vices spending, and high military spending – yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat suku bunga, rendahnya inflasi, serta tingginya defisit anggaran (budget deficits). Secara makroekonomi, sumber permasalahan krisis ekonomi yang melanda AS berasal dari kebijakan defisit anggaran yang dibiayai dengan utang. Sementara itu, pajak sebagai sumber pendapatan justru dikurangi (low taxes). Harapannya, dengan pajak yang rendah, korporasi akan meningkatkan konsumsi. Padahal pajak korporasi adalah sumber penting bagi pendapatan pemerintah AS namun justru dihilangkan. Hal tersebut sama halnya dengan meredusir peran pemerintah bagi perekonomian dan membiarkan pasar berjalan dengan kontrol yang rendah.
Tabel 1. Indikator Ekonomi Amerika Serikat Indikator Ekonomi
2004
2005
2006
2007
2008
3.64 2.94 2.78 2.03 1.57 Ekonomi (%) Pilihan kebijakan tersebut mengakibatkan utang Pertumbuhan AS ngalami peningkatan39,811.63 dibanding tahun-tahun sebelumnya. 41,929.08 44,063.34 45,725.35 47,025.30 GDP Per Kapita (US $) menumpuk (mencapai US$10,3 triliun). Jumlah utang yang semakin terbuka 3.19 dunia3.74 2.19 4.09 3.13 Inflasi (%) Kondisi perekonomian -625.00 -731.21 (Miliar US $) publik kotor AS sampai dengan Oktober 2008 tersebutNeraca se- Perdagangan dan interdependen satu dengan-728.99 lainnya,-788.12 menjadikan krisis -664.13 -5.35 -5.87 -5.98 -5.30 -4.63 Neraca Perdagangan (% GDP) tara dengan 72,2% dari GDP (lihat tabel 1). Tumpukan keuangan yang awalnya13.80 terjadi di AS menular ke 14.20 wilayah 14.80 15.50 12.60 Tabungan (% GDP) utang tersebut merupakan konsekuensi untuk menutup Investasi de- lain (contagion effect) termasuk Kawasan Eropa dan 19.35 20.00 20.09 18.78pada 17.48 (% GDP) Defisit Anggaran Pemerintah -4.35 -3.26 -2.24 Apalagi -2.65 do- -4.12 fisit anggaran AS yang terus membengkak hingga US$455 akhirnya juga akan bertransmisi ke Indonesia. (% GDP) miliar. Selain karena excessive military spending di Irak, minasi AS terhadap perekonomian dunia sangat kuat. Ber- 72.20 63.14 64.60 64.55 65.50 Utang Kotor Pemerintah 1) penyebab penumpukan utang AS adalah adanya program data World Economic Outlook April 2008, pangsa (% GDP)dasarkan Sumber : IMF, World Economic Outlook, October 2008 pengurangan pajak korporasi sebesar US$1,35 triliun yang perekonomian AS terhadap perekonomian dunia mencapai www.treasurydirect.gov, diolah Keterangan: Data IMF, World 2). Economic Outlook, October 2008 untuk periode 2008 dicanangkan pada 2001. Ini adalah program pengurangan 20,6% (tabel merupakan data estimasi. utang terbesar dalam sejarah perekonomian AS. Dan memang benar adanya, game is over, dunia akhirnya melihat Tabel 2. Pangsa Perekonomian Dunia bahwa daya dukung ekonomi AS sudah tak mampu lagi Pangsa Ekonomi Dunia Negara/Kawasan mengatasi tumpukan utang. Aliran dana yang masuk ke AS (%) Amerika 30,9 akhirnya berhamburan keluar untuk mencari tempat baru - AS 20,6 yang menawarkan keamanan (low risk) ataupun keuntungan - Canada 1,9 Eropa 27,3 (rate of return) lebih baik. Gelombang kebangkrutan pun - Jerman 4,2 dimulai dengan ambruknya investor funds Lehman Brothers - Inggris 3.2 dan kolapsnya Washington Mutual. - Perancis 3.1 1)
Tabel 1. Indikator Ekonomi Amerika Serikat Indikator Ekonomi Pertumbuhan Ekonomi (%) GDP Per Kapita (US $) Inflasi (%) Neraca Perdagangan (Miliar US $) Neraca Perdagangan (% GDP) Tabungan (% GDP) Investasi (% GDP) Defisit Anggaran Pemerintah (% GDP) Utang Kotor Pemerintah (% GDP) 1) Sumber
2004
2005
2006
2007
2008
3.64 39,811.63 3.19 -625.00 -5.35 13.80 19.35 -4.35
2.94 41,929.08 3.74 -728.99 -5.87 14.80 20.00 -3.26
2.78 44,063.34 2.19 -788.12 -5.98 15.50 20.09 -2.24
2.03 45,725.35 4.09 -731.21 -5.30 14.20 18.78 -2.65
1.57 47,025.30 3.13 -664.13 -4.63 12.60 17.48 -4.12
63.14
64.60
64.55
65.50
72.20
: IMF, World Economic Outlook, October 2008 1) www.treasurydirect.gov, diolah
Keterangan: Data IMF, World Economic Outlook, October 2008 untuk periode 2008 merupakan data estimasi.
Tabel 2. Pangsa Perekonomian Dunia
Dampak Krisis Keuangan diPangsa ASEkonomi BagiDunia PerekonomiNegara/Kawasan (%) an Indonesia Amerika 30,9 Sebagai sukses menye- AS godfather liberalisasi, AS cukup 20,6 - Canada 1,9 barkan Eropa paham liberalisme dalam tata hubungan ekonomi 27,3 - Jerman 4,2 dunia. Dengan bantuan institusi dunia yang menjadi kom- Inggris 3.2 - AS Perancis 3.1 paradorAsia seperti IMF, WTO, dan World Bank, transaksi Pasifik 37.9 - Jepang keuangan dan perdagangan antar negara6.5 menjadi semakin - China 11.3 terbuka.- India Berdasarkan data World Economic Outlook 2006, 4.8 - Australia 1.2 keterbukaan di sektor keuangan (financial openness) dan - ASEAN 4.0 Singapura 0.4 perdagangan (trade openness) menunjukkan kecenderungan Thailand 0.8 Malaysia 0.6di Negara Sedang meningkat baik di negara maju maupun Indonesia 1.3 Berkembang diukur deLainnya (NSB). Keterbukaan perdagangan 8.3 Dunia 100 ngan penjumlahan dari aset eksternal, kewajiban terhadap Sumber: WEO April 2008, dikutip dari Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Indonesia, Triwulan II 2008, hal.8. penanamanInternasional, modalBankasing, dan portofolio modal sedangkan keterbukaan perdagangan diukur dengan rasio penjumlahan nilai ekspor dan impor terhadap PDB. Keterbukaan keuangan di NSB meningkat dari 11,09% terhadap PDB pada tahun 1970 menjadi 42,3% terhadap PDB pada tahun 2004. Keterbukaan dari sisi perdagangan di NSB juga mengalami peningkatan dari 13,9% terhadap PDB di tahun 1970 menjadi 56,9% terhadap PDB pada tahun 2004. Tren yang sama juga terjadi di negara-negara 1 maju dimana keterbukaan perdagangan dan keuangan me
Asia Pasifik - Jepang - China - India - Australia - ASEAN Singapura Thailand Malaysia Indonesia Lainnya Dunia
37.9 6.5 11.3 4.8 1.2 4.0 0.4 0.8 0.6 1.3 8.3 100
Sumber: WEO April 2008, dikutip dari Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, Bank Indonesia, Triwulan II 2008, hal.8.
Krisis global akan mempengaruhi stabilitas sektor keuangan dan sektor riil perekonomian Indonesia. Sektor keuangan termasuk lalu lintas di pasar modal adalah sektor yang terkena dampak langsung (direct effect) krisis global dibanding sektor riil. Hal tersebut terbukti bahwa adanya gejolak krisis global langsung diikuti turunnya indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga ke level 1.451,669. Artinya, indeks mengalami penurunan sebesar 168,052 poin alias 10.38%. Untuk menghindari keterpurukan pasar dan sentimen negatif, pada tanggal 8 Oktober 2008 BEI memutuskan menghentikan sementara perdagangan efek yang bersifat ekuitas dan derivatif dan baru dibuka kembali pada 13 Oktober 2008. Transaksi di pasar valas pun tak kalah riuh. Nilai rupiah terhadap US$ mengalami depresiasi hingga mencapai Rp1.050 per 10 Oktober 2008. Untuk meredam gejolak keuangan tersebut Bank Indonesia selaku otoritas moneter melakukan kebijakan tight money policy dengan menaikkan tingkat BI rate sebesar 25 basis poin menjadi 9,5% dan melakukan moral suasion kepada bank-bank umum untuk mengurangi atau bahkan menghentikan pengucuran kredit konsumsi. Kenaikan BI rate ini disatu sisi diharapkan mampu meredam inflasi dan menarik modal kedalam negeri (capital inflows) namun disi lain akan memicu kenaikan suku bunga pinjaman domestik. Hal ini berarti sektor riil akan menanggung biaya bunga yang lebih tinggi dalam melakukan usaha. NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
1
Pengaruh krisis global terhadap sektor riil membutuhkan jangka waktu yang lebih lama (time lag). Stagnasi perekonomian dunia khususnya di AS akan menurunkan aggregate demand. Penurunan permintaan tersebut berimbas pada ekspor barang dan jasa Indonesia ke AS. Seperti diketahui bahwa AS merupakan tujuan ekspor utama Indonesia setelah Jepang. Berdasarkan data BPS, dari Januari sampai dengan Agustus 2008 ekspor nonmigas Indonesia ke AS tercatat sebesar 7.479 juta US$ atau 11,58% dari total ekspor nonmigas Indonesia. Sementara itu, pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap dollar akan menaikkan tingkat harga impor serta tingkat laju inflasi di dalam negeri (imported inflation). Secara umum dampak krisis di AS tersebut bagi perekonomian Indonesia berbeda dengan krisis ekonomi 19971998. Krisis keuangan kiriman dari AS ini tidak disertai krisis nilai tukar, kegagalan pemerintah membayar utang, dan tidak ada credit default seperti yang pernah terjadi pada tahun 1997-1998. Krisis yang terjadi saat ini akibat adanya sensitivitas isu atau sentimen dalam short term trading di pasar modal bukan akibat rapuhnya pengelolan ekonomi Indonesia. Dengan demikian dampak krisis lebih banyak dirasakan bagi para pelaku ekonomi yang menanamkan uangnya di pasar modal. Berdasarkan data Asia Development Bank (ADB) 2008 di tabel 3, kapitalisasi pasar modal di Indonesia terhadap gross domestic product (GDP) hanya sekitar 38,1%. Kondisi tersebut berbeda dengan AS yang nilai kapitalisasi pasar modalnya mencapai 139,7% GDP, Hongkong 903.6% GDP, ataupun Jepang 108.2% terhadap GDP. Tabel 3. Kapitalisasi Pasar Modal di Sejumlah Negara, Tahun 2008 Negara
China Hongkong a) Jepang a) India Korea Jordan Saudi Arabia Thailand Indonesia a) Vietnam Australia a) Argentina Brazil Chile Mexico Amerika Serikat b) Russia
Persentase Kapitalisasi Pasar Modal Terhadap GDP (%)
81.8 903.6 108.2 196.9 91.5 354 119.4 65 38.1 14.8 121.0 21.9 104.2 125.1 45.0 139.7 63.4
Sumber: IMF, Global Financial Stability Report, Oktober 2008, hal. 137 a) ADB, Key Indicator for Asia and the Pacific 2008, hal. 179 b) World Federation of Exchange 2007, hal. 74. Keterangan: Data untuk Hongkong, Jepang, dan Indonesia, Australia tahun 2006 dan AS adalah data tahun 2007
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
Pembalikan Aliran Modal Jangka Pendek Hal yang perlu diwaspadai adalah adanya aliran dana jangka pendek asing (hot money) yang masuk ke perekonomian Asia termasuk Indonesia. Dampak masuknya aliran uang asing bisa jadi bukan berkah melainkan justru musibah yang tertunda. Aliran modal asing mendorong kemungkinan terjadinya gagal bayar, inflasi, krisis perbankan, dan kehancuran mata uang khususnya bagi perekonomian di NSB. Saat ini tengah terjadi pembalikan aliran modal di AS mengingat rentannya fundamental perekonomian AS. Aliran dana tengah bergerak bebas untuk mencari tempat yang menawarkan profit tinggi. Dan sepertinya Asia adalah tempat yang akan dituju para pemodal. China merupakan negara tujuan utama hot money dengan pertimbangan perekonomiannya yang tumbuh mengesankan (11%). Indonesia juga tidak menutup kemungkinan sebagai tempat tujuan aliran hot money. Kenaikan BI rate sebagai suku bunga acuan berpotensi menarik dana asing masuk. Pasca peristiwa Black Friday, JP Morgan Securities telah memborong Surat Utang Negara Pemerintah Indonesia senilai Rp1,1 triliun. Oleh karena itu agar dalam jangka pendek stabilitas keuangan Indonesia tetap terjaga maka pemerintah harus memiliki instrumen pengamanan untuk mengamankan hot money. Selain itu yang lebih penting adalah meningkatkan cadangan devisa untuk mengantisipasi capital outflow akibat adanya aksi spekulasi dan short selling. Hingga minggu pertama Oktober 2008, cadangan devisa Indonesia senilai US$57,1miliar. Cadangan devisa tersebut relatif kecil dibanding negara Asia lainnya seperti China (US$1.244 miliar), Jepang (US$740 miliar), India (US$152 miliar), dan Singapura (US$67 miliar). Dalam menyikapi krisis keuangan global ini, pemerintah dan otoritas moneter Indonesia harus waspada terhadap perilaku pasar khususnya pasar uang dan pasar modal yang didalamnya terdapat sifat-sifat cari untung (maximizing profit), spekulatif tamak, dan tanpa mengenal belas kasih. Lihat saja AS, sebagai negara yang menyatakan diri sebagai pengusung ideologi pasar justru dibuat tak berdaya oleh ideologi yang diusungnya. Hal ini menandakan bahwa pasar bagaikan monster yang tidak memiliki hati nurani dan akan melindas siapa saja yang tidak bisa mengikutinya. Krisis keuangan global yang dipicu oleh AS ini membuktikan bahwa ekonomi pasar bisa juga gagal dalam menilai real price dari suatu aset. Saham-saham yang diperjualbelikan dalam sistem yang bersifat market clearing ternyata justru dipenuhi unsur tipuan sehingga tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya (asimetry information). Semua itu dilakukan demi untuk mencapai apa yang disebut dengan profit. Oleh karena itu agar tidak terhempas oleh sistem pasar yang demikian terbuka, maka sebagai negara small open economy, Pemerintah Indonesia harus memperketat transaksi-transaksi derivatif melalui berbagai regulasinya. Jangan sampai “ekonomi kasino” yang berbau spekulasi menguasai perekonomian Indonesia yang pada akhirnya dapat menimbulkan perekonomian balon (bubble economy). Ekonom
peraih Nobel 2008, Paul Krugman, mengingatkan bahwa perekonomian balon tercipta jika pemain-pemain pasar memiliki sifat dan perilaku antara lain hanya berorientasi jangka pendek (think short term), tamak (be greedy), terlalu menyederhanakan masalah (overgeneralize), dan bermain menggunakan uang orang lain (play with other people’s money). Transaksi ekonomi harus memberi manfaat jangka panjang tidak hanya keuntungan jangka pendek semata. Adalah sunatullah jika seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan keuntungan harus melalui proses kerja riil bukan didasarkan permainan sentimen ataupun asimetri informasi. Fondasi ekonomi Indonesia harus dibangun dari ekonomi sektor riil yang lebih banyak mendatangkan kemakmuran nyata bagi rakyat Indonesia bukan didasarkan pada transaksi “lembaran kertas” yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Business Week, Krisis Finansial Terbaru, edisi 22 Oktober 2008. China Daily, US budget deficit swells to record $455 billion, edisi 15 Okto ber 2008, www.chinadaily.com.cn IMF, World Economic Outlook, 2006-2008, www.imf.orgNewsweek, “The Fu ture of Capitalism: The End of The Age of Reagan and Thatcher, and What Will Follow”, Edisi 13 Oktober 2008. Reinhart, Carmen M dan Reinhart, Vincent R., “Capital Flow Bonanzas: An Encompassing View of The Past and Present”, NBER Working Paper 14321, September 2008. World Federation of Exchange, Annual Report and Statistic 2007, www. world-exchanges.org Website: www.treas.org www.treasurydirect.gov
Daftar Bacaan Asia Development Bank, Key Indicator for Asia and the Pacific 2008, edisi 39, Agustus 2008. Badan Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor Dan Impor Indonesia Agustus 2008, edisi No. 50/10/Th. XI, 6 Oktober 2008. Bank Indonesia, Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Interna sional, Bank Indonesia, Triwulan II 2008, www.bi.go.id
UPACARA PENGAMBILAN SUMPAH JANJI PNS DI BPK RI KANTOR PERWAKILAN PROVINSI DIY Rabu, 15 Oktober 2008, BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DIY dilaksanakan Upacara Pengambilan Sumpah/Janji PNS. Upacara yang mengambil tempat di Auditorium Kantor Perwakilan ini dipimpin langsung oleh Kepala Perwakilan Dra. Evita Eriati, MM dan diikuti oleh 17 Pegawai Negeri Sipil yang terdiri dari 13 pegawai Perwakilan Yogyakarta dan 4 pegawai dari luar Perwakilan Yogyakarta. Acara tersebut juga dihadiri oleh para pejabat struktural di lingkungan Perwakilan Yogyakarta dan para tamu undangan. Dalam pidatonya, Kepala Perwakilan Dra. Evita Eriati, MM membacakan Pidato Arahan Sekjen BPK RI yang menegaskan kembali bahwa Sumpah PNS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 21 tahun 1975 merupakan tonggak utama pemantapan seseorang untuk berkarier di lingkungan Pegawai Negeri Sipil Republik Indonesia. Lebih jauh disampaikan, bahwa Sumpah PNS merupakan sebuah kontrak antara seorang PNS dengan diri sendiri, instansi, Negara dan Tuhan Yang Maha Esa untuk menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara secara Independen dan Profesional. Acara yang berlangsung khitmad tersebut diakhiri dengan doa dan pemberian ucapan selamat oleh seluruh tamu undangan. KSB Humas Jogja 10
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
LAPORAN UTAMA
Penetapan Materialitas Dalam Pemeriksaan Keuangan
S
Oleh: Dian Rosdiani dan Bahtiar Arif
etiap laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan memuat pernyataan opini pemeriksa atas laporan keuangan sebagai berikut, “Menurut pendapat kami, laporan keuangan yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material ...... sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia.”. Frase kata “dalam semua hal yang material” merupakan hal penting bagi pemeriksa di dalam memberikan opini. Dengan kata lain, hal yang material saja yang akan mempengaruhi opini pemeriksa. Permasalahan dari ungkapan “dalam semua hal yang material” adalah bagaimana atau yang mana atau seberapa besar yang material itu? Apakah yang material itu berupa ukuran kuantitatif atau kualitatif? Apakah semua berdasarkan pertimbangan pemeriksa (judgement auditors) yang dapat berbeda-beda? Seberapa jauh pertimbangan pemeriksa tersebut dapat dijamin keseragamannya atas suatu kondisi yang sama? Kapan penentuan materialitas itu – saat perencanaan, pekerjaan lapangan, atau pelaporan? Pengertian materialitas Berbagai referensi terkait materialitas dikemukakan dalam auditing standards baik international maupun national auditing standards. Di Indonesia, Standar Profe- s i o n a l Akuntan Publik (SPAP) yang diakomodasi oleh Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) mengatur mengenai materialitas. Pengertian materialitas adalah sebagai berikut:
yang mempengaruhi nilai materialitas. Penentuan hal yang material atau tidak dari definisi di atas dan pengaturan dalam SPAP belum dapat memberikan pedoman yang jelas dalam penentuan materialitas. Planning Materilaity & Tolerable Error Pemeriksa harus menetapkan materialitas pada dua tingkat:
1. Materialitas awal pada tingkat laporan keuangan (Planning Materiality/PM). 2. Materialitas pada Tingkat Akun, yang dikenal dengan istilah tolerable error (TE) atau tolerable mistatement yaitu alokasi PM kepada akun-akun secara individual.
Dari beberapa buku teks auditing (Arens, 2006; Messier, 2006), artikel (Wheler,1989; Zuber, 1983) serta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis pemeriksaan laporan keuangan yang ada pada Litbang BPK, penentuan materialitas dapat dilakukan dengan prosedur: Penentuan dasar penetapan materialitas; Penentuan tingkat materialitas; Penetapan nilai materialitas awal atau planning materiality (PM); Penetapan kesalahan yang dapat ditoleransi atau tolerable error (TE); Pertimbangan atas PM, TE, dan opini. Gambar di bawah menunjukkan tahapan penetapan dan penggunaan materialitas di dalam pemeriksaan keuangan.
“Materialitas merupakan besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi penghilangan atau salah saji, dilihat dari keadaan yang melingkupinya, mungkin dapat mengubah atau mempengaruhi pertimbangan orang yang meletakkan kepercayaan atas informasi tersebut” (SPAP, Seksi 312 paragraf 10).
Definisi tersebut menyiratkan ada dua hal harus dipertimbangkan dalam menetapkan batas materialitas, yaitu keadaan dan orang yang menggunakan informasi. Jumlah rupiah tertentu yang material untuk suatu entitas mungkin tidak material untuk entitas yang lain. Demikian juga jumlah rupiah yang dianggap material untuk laporan keuangan tahun 2006 dapat menjadi tidak material dalam laporan keuangan tahun 2007 jika terdapat perubahan kondisi yang mendasar. Batasan materialitas juga harus dilihat dari sudut pandang orang yang menggunakan informasi dalam laporan keuangan, antara lain DPR/DPRD, kreditor, dan Pemerintah sebagai pemegang saham BUMN/D. Pengertian di atas tidak mengatur besarnya atau kondisi NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
Penentuan Dasar Penetapan Materialitas Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemeriksa adalah menentukan dasar penetapan materialitas. Di 11
antaranya adalah nilai laba bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas, total penerimaan atau total belanja/biaya. Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, pemeriksa sebaiknya mempertimbangkan: karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitas yang diperiksa; area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan oleh pengguna laporan keuangan; dan kestabilan nilai yang akan dijadikan dasar. Dalam menentukan dasar penetapan materialitas, pemeriksa dapat merujuk pada pedoman materialitas yang disusun oleh Australian National Audit Office (ANAO), yaitu: (a) untuk entitas nirlaba menggunakan total penerimaan atau total belanja, (b) untuk entitas yang bertujuan mencari laba menggunakan laba sebelum pajak atau pendapatan, dan (3) untuk entitas yang berbasis aset menggunakan nilai aset bersih. Misalnya, Departemen Kesehatan bertugas meningkatkan kesehatan di seluruh Indonesia, sering melakukan proyek penelitian dan pengembangan mengenai masalahmasalah kesehatan dan mendirikan fasilitas-fasilitas layanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas dan sebagainya yang dibiayai oleh pemerintah. Nilai total belanja pada LRA kementerian negara/lembaga tersebut cukup tinggi, dan pengguna laporan keuangan diperkirakan akan tertarik untuk mengetahui penggunaan dana dari pemerintah tersebut. Oleh karena itu, dasar penetapan materialitas yang paling sesuai untuk pemeriksaan laporan keuangan kementerian negara/lembaga ini adalah total belanja. Penentuan Tingkat (Rate) Materialitas Setelah menentukan dasar penetapan, pemeriksa harus mempertimbangkan persentase yang akan digunakan dalam menghitung materialitas awal. Karena BPK belum mempunyai pedoman yang spesifik mengenai hal ini, pemeriksa kembali dapat mengambil pedoman ANAO sebagai benchmark. ANAO menetapkan rate materialitas sebagai berikut: a. untuk entitas nirlaba: 1% dari total penerimaan atau to-
tal belanja, b. untuk entitas yang bertujuan mencari laba: 5% dari laba sebelum pajak atau 0,5% dari total pendapatan, dan c. untuk entitas yang berbasis aset: 0,5% dari nilai aset bersih.
Selain itu, pemeriksa juga dapat menggunakan salah satu dari cara-cara berikut ini yang diungkapkan dalam berbagai buku-buku auditing ((Arens, 2006; Messier, 2006), artikel (Wheler,1989; Zuber, 1983)):
a. 5% - 10% dari laba sebelum pajak, dimana 10% digunakan dalam perusahaan yang labanya kecil dan 5% digunakan dalam perusahaan yang labanya besar b. 0,5% - 5% dari laba bruto, dimana 0,5% digunakan perusahaan yang labanya besar dan 5% digunakan dalam perusahaan yang labanya kecil c. 0,5% dari total aktiva d. 1% dari ekuitas e. 0,5% dari pendapatan f. Suatu variabel persentase dari total pendapatan atau total aset yang mana yang lebih besar seperti yang selama ini diterapkan sebagai pedoman penetapan batas materialitas pada the big four berdasarkan suatu survei yang dilakukan oleh American Institute of Certified Public Accountants (AICPA). (lihat box)
Penetapan Nilai Materialitas Awal (PM) Melanjutkan ilustrasi penghitungan materialitas dengan pendekatan ANAO di box, misalnya pemeriksa menentukan dasar penetapan materialitas di Departemen Kesehatan adalah total belanja, dan karena departemen ini merupakan entitas nirlaba, maka tingkat materialitas yang digunakan adalah 1%. Total belanja pada LRA Departemen tersebut adalah sebesar Rp 12.260 juta. Maka PM untuk Departemen Kesehatan adalah sebesar Rp122,6 juta. Namun jika pemeriksa mencoba menerapkan variable persentase yang dipakai oleh the big four seperti pada tabel di atas, namun dengan total belanja sebagai dasar penetapan
Tingkat materialitas berdasarkan variabel persentase dari total pendapatan atau total aset dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Jika Total Aset atau Total Pendapatan (yang mana yang lebih besar) Lebih dari
Tapi tidak lebih dari
$0 30 ribu 100 ribu 300 ribu 1 juta 3 juta 10 juta 30 juta 100 juta 300 juta 1 milyar 3 milyar 10 milyar 30 milyar 100 milyar 300 milyar
$ 30 ribu 100 ribu 300 ribu 1 juta 3 juta 10 juta 30 juta 100 juta 300 juta 1 milyar 3 milyar 10 milyar 30 milyar 100 milyar 300 milyar
Materialitas adalah Matarialitas dasar $0 1,780 3,970 8,300 18,400 38,300 85,500 178,000 398,000 856,000 1,840,000 3,830,000 8,550,000 17,800,000 39,700,000 82,600,000
+ + + + + + + + + + + + + + + + +
Faktor 0.059 0.031 0.0214 0.0145 0.0100 0.067 0.0046 0.00313 0.00214 0.00145 0.0100 0.00067 0.00046 0.00031 0.00021 0.00015
x
Kelebihan dari
x x x x x x x x x x x x x x x x
$0 30 ribu 100 ribu 300 ribu 1 juta 3 juta 10 juta 30 juta 100 juta 300 juta 1 milyar 3 milyar 10 milyar 30 milyar 100 milyar 300 milyar
Tabel Tingkat Materialitas
12
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
materialitas, maka materialitas awal yang ditetapkan adalah Rp8.550.000 + (0,00046 x Rp2.260 juta) , yaitu sama dengan Rp9.589.600 Penetapan Tingkat Kesalahan yang Dapat Ditoleransi (TE) Tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi (TE) merupakan alokasi materialitas awal (PM) pada setiap akun atau kelompok akun. Alokasi materialitas pada setiap akun dilakukan dengan tujuan untuk menentukan line item dalam laboran keuangan yang memerlukan tambahan prosedur pemeriksaan, memastikan adanya kemungkinan salah saji yang material yang berasal dari penggabungan salah saji yang jumlahnya lebih kecil dari materialitas awal, dan mengantisipasi adanya risiko deteksi. ANAO mempunyai pedoman dalam mengalokasikan PM menjadi TE sebagai berikut: bila risiko audit rendah maka TE ditetapkan 70-75 % dari PM; bila risiko audit sedang , maka TE ditetapkan 60- 70 % dari PM; bila risiko audit tinggi, maka TE ditetapkan 50 – 60 % dari PM. Sedangkan juknis pemeriksaan LKPP/LKKL dan juknis pemeriksaan LKPD yang telah disusun oleh Direktorat Litbang BPK RI menetapkan TE sebesar 50% dari PM. Alternatif lainnya, TE dapat dialokasikan sesuai dengan proporsi besaran nilai setiap akun, atau pemeriksa dapat menggunakan pertimbangan profesionalnya untuk menilai apakah ia perlu mengalokasikan TE yang lebih ketat atau cukup longgar untuk akun tertentu berdasarkan pengalamannya terutama mengenai kecenderungan terjadinya salah saji pada akun-akun tertentu tersebut. Aturan umum yang sering digunakan adalah bahwa alokasi pada satu akun tertentu tidak lebih dari 60% dari PM, dan jumlah dari seluruh TE tidak lebih dari dua kali nilai PM. Materialitas Awal, TE, Bukti dan Opini Penetapan materialitas awal (PM) dan TE pada tahap perencanaan pemeriksaan sangat berpengaruh terhadap banyaknya bukti pemeriksaan yang harus diperoleh atau ukuran sampel yang akan diuji. Tingkat materialitas berhubungan terbalik dengan banyak bukti/ukuran sampel. Semakin tinggi tingkat materialitas, semakin sedikit bahan bukti yang harus diperoleh sehingga semakin sedikit sampel yang harus diambil jika pemeriksa memutuskan untuk melakukan uji petik. Sepanjang tahap pelaksanaan, pemeriksa perlu terus menilai kesesuaian tingkat materialitas yang telah ditetapkan pada tahap perencanaan tersebut dan mengubah/memperbaharuinya jika memang diperlukan. Pada tahap pelaporan, materialitas baik pada tingkat laporan keuangan maupun pada tingkat akun individual sangat berpengaruh pada opini yang akan diberikan oleh pemeriksa. -Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan lebih kecil dari PM, dan salah saji pada tingkat akun masing-masing tidak lebih besar dari TE akun tersebut, maka pemeriksa dapat memberikan opini wajar tanpa pengecualian,
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
kecuali ada pertimbangan kualitatif yang mengharuskan pemeriksa memberi opini lain. -Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan lebih besar daripada PM, maka pemeriksa harus memberikan pendapat tidak wajar. -Jika total salah saji yang ditemukan pada tingkat akun lebih besar daripada TE akun tersebut, pemeriksa perlu mempertimbangkan untuk memberi opini wajar dengan pengecualian atas akun tersebut meskipun salah saji pada tingkat laporan keuangan secara keseluruhan masih dibawah PM.
Faktor kualitatif yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan tingkat materialitas pada tingkat laporan keuangan, diantaranya adalah pengendalian intern dan ketidakwajaran. Adanya salah saji baik disengaja atau tidak merupakan dampak dari kelemahan pengendalian intern. Pemeriksa juga perlu menerapkan sikap skeptis yang profesional dalam menentukan apakah suatu salah saji yang tidak material sebenarnya merupakan praktik-praktik kecurangan dalam pelaporan keuangan. Sedangkan faktor kualitatif yang harus dipertimbangkan oleh pemeriksa dalam menentukan tingkat materialitas pada tingkat akun adalah signifikansi kesalahan tersebut terhadap sebuah entitas yang diperiksa, hubungannya terhadap laporan keuangan (misalkan kesalahan tersebut dapat mempengaruhi penyajian banyak hal dalam laporan keuangan) serta dampak dari kesalahan tersebut terhadap laporan keuangan. Penetapan batas materialitas merupakan suatu proses yang selalu melibatkan pertimbangan pemeriksa. Pertimbangan profesional diperlukan mulai dari penentuan dasar penetapan, penggunaan tingkat prosentase, pengalokasian materialitas pada setiap akun sampai dengan akhirnya dalam mengevaluasi salah saji yang ditemukan. Mungkin karena itulah sangat sulit untuk menyusun suatu pedoman yang spesifik dan sangat operasional dalam menetapkan batas materialitas. Segala sesuatunya akan selalu berpulang lagi pada pertimbangan profesional pemeriksa. Dalam rangka memenuhi suatu pemeriksaan yang berkualitas sesuai SPKN, penetapan materialitas yang penuh dengan pertimbangan profesional pemeriksa dapat lebih dipertanggungjawabkan melalui peningkatan kualitas pemeriksaan dengan mengasah kemampuan pemeriksa dalam melakukan pertimbangan profesinya dan melalui dokumentasi penetapan materialitas tersebut dalam kertas kerja. Meskipun segala sesuatu dalam pemeriksaan merupakan a matter of professional jugdment, namun perlu didokumentasikan dalam kertas kerja pemeriksaan. Referensi: Arens, A.A., Elder, R.J., dan M.S. Beasley (2006), Auditing and Assurance Services: An Integrated Approach 11th Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall Boynton, W.C., dan R. N. Johnson (2006), Modern Auditing: Assurance Services and the Integrity of Financial Reporting 8th Edition, Hoboken: John Wiley & Sons Inc Messier, W.F., Glover, S.M., Prawitt, D.F. (2006), Auditing & Assurance Services: A Systematic Approach 4th Edition, New York: McGraw-Hill Companies Subdirektorat Litbang Pemeriksaan Keuangan Kinerja, Konsep Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan, Belum dipublikasikan Wheeler, Stephen (1989), Auditing: of Various Materiality Rules of Thumb, The CPA Journal, Edisi Juni, 62-63 Zuber, G.R., Elliott, R.K., Kinney, W.R., dan J.J. Leisenring (1983), Using Materiality in Audit Planing, Journal of Accountancy, Edisi Maret, 42-54
13
LAPORAN UTAMA
Merenovasi Senjata Pemeriksaan dari Bayangan di Balik Cermin Oleh: M. Yusuf John, Kasubbag Set Anggota VI
T
ulisan ini hanyalah penilaian personal dari pengalaman dan pengamatan penulis atas kondisi yang terjadi. Penilaian ini sangat kental dengan pendapat penulis dan memang tidak diperuntukkan untuk menilai secara khusus. Tetapi mudah-mudahan membuat kita sedikit menyadari bahwa ada yang mengamati dan berpendapat seperti penulis. Semoga bermanfaat dan dapat melahirkan inovasi maupun renovasi. Melihat Perubahan secara Jernih Sejak awal keberadaannya, BPK diberi amanat UUD untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara. Pengalaman telah memberi banyak pembelajaran pemeriksaan. Namun masih saja kita menemukan adanya kelemahan dan kekurangan yang dipandang wajar. Kelemahan dan kekurangan itu tidaklah harus dipandang sebagai kesalahan semata. Oleh karenanya, kita harusnya bijak dalam memandang kelemahan dan kekurangan tersebut yang dapat terjadi karena faktor berikut. 1. Perubahan situasi dan kondisi lapangan termasuk dinamika ketentuan peraturan perundang-undangan. Harus diakui, peraturan perundang-undangan belum mencapai titik keseimbangan pascapenerapan konsepsi reformasi keuangan. Situasi ini memang sangat mendukung terjadinya perbedaan perlakuan setiap tahunnya. Namun di sisi lain, dinamika ini sangat riskan terjadinya multi interpretasi sekaligus ketidaksiapan atas cepatnya perubahan. 2. Perubahan atas harapan publik. Publik terus memberikan adanya harapan atas transparansi dan akuntabilitas. Banyaknya pengaduan yang beragam dan terungkapnya berbagai kasus merupakan faktor yang menjadi makin lebarnya “gap” antara apa yang disediakan pemeriksa dengan kebutuhan publik. Harus disadari bahwa mungkin pemeriksa telah bekerja keras dalam meningkatkan kualitas pemeriksaanya. Namun kecepatan perubahannya masih belum lebih cepat dari kecepatan tuntutan kepadanya. 3. Perubahan pengetahuan dan pembelajaran dari 14
pengalaman. Hal ini adalah sangat wajar selama manusia sebagai pembelajar masih hidup. Perubahan ini terjadi bagi pemeriksa, pihak yang terperiksa, maupun publik. Sekarang mungkin, para pihak tersebut telah menimba banyak pengetahuan dan pengalaman, sehingga nilai-nilai yang dianut menjadi lebih maju atau dengan kata sederhana, sekarang makin banyak yang jadi pintar. Oleh karenanya, ukuran keberhasilan suatu masa perlu dilihat dari historinya. Kita tidak bisa melihat hasil karya masa lalu dari kaca mata masa kini. Oleh karenanya tidak ada salahnya kita kembali bercermin atas apa yang telah dilakukan. Jika memang yang telah dilakukan ada salahnya, lemahnya, dan kurangnya tidaklah salah kita menyadarinya. Sadar bukan hanya sekedar tahu tetapi ada upaya merenovasinya untuk mengungkap misteri masa depan dengan bercermin pada histori masa lalu. Tiga senjata pemeriksa dalam pemeriksaan Dalam suatu pemeriksaan, pemeriksa memerlukan tiga hal yang harus dipahami, yaitu Standar Pemeriksaan, Sistem Pemeriksaan, dan Kriteria Pemeriksaan. Dari ketiga hal tersebut, pemeriksa masih kritis dari sisi pemahaman atas kriteria pemeriksaan. Ini bukan berarti bahwa kita tidak memiliki masalah Standar dan sistem pemeriksaan. Standar dan sistem pemeriksaan bersifat unik, dan BPK memiliki kemandirian untuk mengaturnya. Namun kriteria pemeriksaan sangat beragam dan pihak terperiksa adalah pihak yang melaksanakannya sehari-hari. Jika demikian, wajarlah pemeriksa memiliki kemampuan yang tidak lebih dari pihak terperiksa untuk kriteria pemeriksaan. Inilah sebabnya di dalam prosedur pemeriksaan harus dilakukan pemahaman atas entitas yang terperiksa. Apapun namanya ini adalah pemeriksaan yang dilakukan lebih dahulu sebelum pemeriksaan utamanya. Saya sebenarnya “malas” membicarakan perdebatan penggunaan istilah interim atau pendahuluan, atau dukungan. Bagi saya, apapun namanya, tujuannya adalah memahami kriteria pemeriksaan yang dilakukan sebelum pemeriksaan utamanya. Standar Pemeriksaan NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
Banyak yang mengira bahwa setelah kita berhasil melahirkan SPKN dengan peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2007, maka masalah standar telah selesai. Lahirnya SPKN dapat dipandang sebagai awal dari semua permasalahan maupun satu solusi jitu. Tergantung kita memandang. Namun bagi saya, lebih bermasalah, jika SPKN tidak juga diterbitkan. Permalasahan timbul dari pemahaman pemeriksa yang belum utuh, atau justru SPKN memang menimbulkan multi interpretasi, atau bahkan kita alergi menggunakan SPKN. Memang ada sebagian dari pemeriksa kita yang mengharapkan untuk kembali mengikuti SPAP agar tidak menjadi polemik perdebatan yang belum berakhir. Namun, saya tetap berpendapat untuk selalu optimis. SPKN harusnya mengatur sendiri selama sector public dan sector privat masih berbeda. Sector public kita (dhi pemerintahan) akan sangat berbeda pula dengan Negara lain. Oleh karenaya jangan takut untuk berbeda. Sistem Pemeriksaan Sistem pemeriksaan di BPK diatur dalam (1) Panduan Manajemen Pemeriksaaan (PMP) serta (2) Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis). PMP seharusnya telah dapat menyelesaikan semua keraguan atas prosedur manajerial pemeriksaan. Sedangkan prosedur pemeriksaannya sendiri harusnya lengkap dan detail (tidak global) setalah diatur dalam Juklak dan Juknis. Ada dilematis memang dalam penyusunan system pemeriksaan ini. Apakah mau digunakan konsepsi pengaturan yang umum saja, atau justru detail. Bagi saya, pengaturan detail memang lebih baik untuk kondisi saat ini. Dengan kompleksitas yang ada saat ini, system ini tidak dapat lagi dibiarkan berjalan secara manual. Mulai dipikirkan suatu aplikasi yang bisa menjalankan sistem pemeriksaan ini. Oleh karenanya, pengaturan global tidak dapat lagi. Penyusunan aplikasi membutuhkan prosedur detail bukan global. Kita lihat saja, apakah produk yang telah ada saat ini dapat langsung dibuatkan aplikasinya, tanpa harus ada sentuhan detail lagi. Kriteria Pemeriksaan SPKN mendefinisikan kriteria pemeriksaan sebagai standar ukuran harapan mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan merupakan hasil pemahaman pemeriksa atas entitas yang diperiksa. Hal yang perlu dipahami atas entitas yang diperiksa adalah meliputi semua aspek. Aspek tersebut antara lain meliputi (1) Aspek yuridis. Inilah bedanya dengan privat. Aspek yuridis atas keberadaan organisasinya, atas pengelolaannya, dan pertanggungjawabannya. (2) Struktur organisasinya; dan (3) Sistemnya termasuk SPI. Dengan pemahaman atas kriteria pemeriksaan, BPK seharusnya telah dapat membedakan antara entitas pemeNO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
riksaan dan objek pemeriksaan. Dengan pemahaman atas entitas pemeriksaan seharusnya dapat secara jelas mana entitas pelaporan dan entitas akuntansi. BPK memiliki pengaruh untuk menilai kriteria pemeriksa. UU memberikan kewenangan kepada BPK untuk memberikan pertimbangan atas SAP dan ketentuan SPI. Terlebih besar lagi kewenangan pemeriksaan BPK adalah senjata ampuh memperbaiki tata kelola ini. Jangan malu dan takut menggunakannya. Alasan Pemeriksa Perlu Memahami Tiga Senjata Pemeriksa 1. Agar dapat memenuhi harapan pengguna dan meningkatkan kepercayaan. Siapa pengguna? Yaitu orang yang beragam, dan belum tentu tahu tentang akuntansi dan pemeriksaan. Artinya (1) hasil pemeriksaan harus dapat disampaikan secara sederhana dengan bahasa umum, (2) saran/rekomendasi harus jelas dan jika bisa detail secara teknis. Di sisi lain, usaha membangun Kepercayaan tersebut diminta UU dengan berbagai pengaturan. a. SPKN dibuat dengan peraturan BPK dan dimuat dalam LN sehingga dapat diakses dan dipelajari semua pihak b. LHP dipublikasikan setelah ke lembaga perwakilan. Dengan demikian pengguna dapat membandingkan antara standar dengan hasil pemeriksaannya c. Ketentuan kode etik dan pembentukan majelis kode etik d. Aktivitas pemeriksaan BPK dilakukan peer review secara berkala. e. Aktivitas pengelolaan keuangan BPK harus diperiksa KAP. 2. Agar pemeriksaan kita harmonis, sinkron dan tidak berbeda-beda. Saya berpendapat bahwa sangat mungkin terjadi masih ada kasus yang sama diperlakukan berbeda dan atau kondisi pada beberapa entitas ada yang berhasil terungkap dan ada yang tidak terungkap. Kita tidak dapat berlindung terus dibalik konsepsi sampling dan materialitas. Oleh karenanya BPK harus punya prosedur manajerial yang simple dan prosedur pemeriksaan yang jitu sekaligus system pengendalian mutu yang andal. Untuk sementara, memang hal ini dapat diatasi dengan Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) atau apapun namanya. Tetapi rakornis tidak dapat menjamin konsistensi penerapan prosedur manajerial dan prosedur pemeriksaan. Oleh karenanya, saya berpendapat perlu dibangun suatu Sistem Aplikasi Pemeriksaan (SiAP) yang andal dan terintegrasi dengan sistem aplikasi terkait. 3. Agar hasil pemeriksaan tepat dan jelas sesuai dengan kondisi yang seharusnya. Pemahaman ini untuk menghindari bahwa apapun pemeriksaannya, temuan adalah utamanya, pemeriksa hanya cari-cari masalah. Agar hasil ini tepat. BPK tidak lagi punya alasan, UU telah memberikan fasilitas konstitusi antara lain: 15
a. BPK susun Standar Pemeriksaan sendiri b. BPK berwenang menentukan secara mandiri pemeriksaannya mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporannya c. Jika BPK kurang sumber daya pemeriksa, bisa gunakan pemeriksa dari luar BPK. Hal ini dimaksudkan menggunakan secara outsourcing bukan membuat orang luar semua jadi pelaksana BPK. d. Jika BPK tidak punya ahli, BPK dapat gunakan ahli dari luar BPK. Membangun Pemahaman atas Tiga Senjata Pemeriksa Untuk memenuhi semua tujuan dari penggunaan senjata itu, perlu dilakukan: 1. Membangun pemahaman pemeriksaan yang diawali dengan standar pemeriksaan yang dibungkus dalam 3 dimensi; yuridis, empiris, dan teoritis. 2. Membangun sistem yang terintegrasi dan tidak multi interpretasi. Sistem itu mulai dirancang dari rancangan organisasi dan tugas fungsi, mekanisme majaerial dan mekanisme pemeriksaan sampai dengan pembangunan aplikasi. Inilah contohnya keberadaan Camis, dan SiAP. Saya melihat bahwa struktur organisasi dirancang BPK saat ini, telah cukup membagi-bagi fungsi ke dalam pemenuhan pencapaian pemeriksa yang baik. Masalah dilengkapi dengan infrastruktur yang andal dan aplikatif serta mau dilaksanakan atau tidak, hal itu masalah lain. Lihatlah: a. Fungsi Biro SDM menyediakan pemeriksa yang memiliki kualifikasi ok. Namun sampai saat ini setiap kali surat tugas pemeriksaan mau diterbitkan biro SDM seolah hanya menjalankan fungsi rekruitmen, penempatan dan mutasi promosi. Tapi tidak dapat menyediakan informasi kualifikasi pemeriksa yang termukthair. Atau memang tusinya demikian saya belum mempelajarinya. b. Setelah pemeriksa tersedia, litbang menyediakan senjata dan amunisi untuk melaksanakan pemeriksaan. Masalah senjata dan amunisinya tidak tepat dan tidak muktahir itu lain persoalan. c. Setelah ada pemeriksa dan senjata/amunisinya, pemeriksa ini perlu diberikan pembelajaran bagaimana menggunakan senjata dan amunisi yang ada. Disinilah peran Diklat. Oleh karenanya diklat harus focus mendidik pemeriksa dengan amunisi yang tepat. Jangan yang didiklat lain dengan yang dikonsepkan untuk dilaksnakan saat pemeriksaan. d. Setelah pemeriksa dididik menggunakan amunisi dan senjata, dia akan praktik pemeriksaan di lapangan dibawah kendali AKN. Jika AKN tidak menegndalikan (salah satunya supervise) itu adalah penjalanan tusi yang tidak optimal. e. Setelah pemeriksaan diakhiri dapat dilakukan 1) review tentang apa yang telah dilakukan sesuai dengan konsep senjatanya atau tidak. Inilah peran irtama. 2) Evaluasi tentang apakah tujuan dan SS BPK telah tercapai. Apakah senjatanya telah tepat atau tidak. Termasuk menyimpulkan kondisi entitas yang diperiksa untuk mengambil simpulan total atas hasil pemeriksaan BPK. Eva16
luasi bukan lagi untuk menilai kualitas hasil pemeriksaan seperti yang dilakukan irtama. f. Berdasarkan hasil review dan evaluasi, semua pihak sebelumnya instropeksi, apakah pemeriksa masih kompeten, dan ditempatkan secara tepat, senjatanya sudah tepat untuk kondisi yang ada, dan apakah semua dilaksanakan dengan baik g. Tanpa menguragi unsur unit lain yang mendukung, pembahasan unit kerja di sini hanyalah yang terkait dengan tulisan ini. 3. Meningkatkan pemahaman pemeriksa atas pemeriksaan dan kriteria pemeriksaan. Hal ini akan mendorong penyusunan hasil pemeriksaan yang tepat; dan memberikan rekomendasi yang tepat. Peran pengawasan oleh irtama, peran pengendalian oleh AKN, peran evaluasi oleh EPP. 4. Mendorong entitas dan lembaga perwakilan menindaklanjuti hasil pemeriksaan secara tepat. BPK hanyalah menjalankan peran sebagai pemantau tindak lanjut. Sebagai pemantau, BPK lebih banyak pasif. Namun sebagai pihak yang memiliki tanggung jawab terhadap tata kelola Negara ini, BPK dapat secara proaktif mendorong pihak pemerintah dan lembaga perwakilan menindaklanjti hasil pemeriksaan BPK. Caranya, saya rasa sederhana: a. Buatlah hasil pemeriksaan yang jelas dengan rekomendasi yang jelas juga. Rekomendasi ini seharusnya dipandang tidak hanya sebagai penghilang sebab (artinya harus teridentifikasi sebab) tetapi juga harus dipandang sebagai pengurang dampak dari akibat (artinya harus teridentifikasi akibat) dan peningkatan kualitas pengelolaan dan tanggung jawab. BPK seharusnya cukup yakin bahwa hasil pemeriksaannya dapat mengubah pengelolaan yang amburadul ke pengelolaan yang baik. Jangan karena ketentuan pengelolaan keuangan telah ada, maka BPK ikut saja tanpa mengoreksinya. Media koreksinya jelas dari pemeriksaan BPK. Saya berpendapat kita jangan membangun media baru selama media yang ada dapat digunakan secara baik. BPK harusnya dapat menunjukkan kelemahan pengelolaan yang ada (termasuk akibat menjalankan ketentuan perundang-undangan) sehingga dapat merekomendasikan untuk revisinya. b. Efektifkanlah media konsultasi dan pemberian pendapat kepada pihak terperiksa. Konsultasi antara BPK dengan lembaga perwakilan telah dilengkapi dengan Mou antara BPK dan lembaga perwakilan. Namun pemberian pendapat dengan pihak yang terperiksa masih dilindunsgi dengan pasal 11 UU BPK. Mengefektifkan ini adalah bagaimana BPK memberikan informasi jitu kepada lembaga perwakilan maupun pihak terperiksa bagaimana seharusnya menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Memberikan pendapat atas suatu hal dalam berbagai media termasuk media konsultasi ini adalah diperbolehkan oleh UU. Bahkan UU meminta BPK memberikan pertimbangan atas Standar akuntansi dan ketentuan tentang pengendalian internal. Saya berpendapat, menjadi NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
picik BPK, jika masih berpikir bahwa memberi pendapat atas pengelolaan keuangan akan mengganggu independensi BPK. Janganlah karena kita tak mampu, lantas kita berlindung di balik kata independen. Saya kira, satu langkah bagus yang dilakukan BPK saat ini dengan mendengungkan penyusunan rencana Aksi. Rencana Aksi Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK Rencana aksi haruslah dipandang sebagai langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK. Jadi janganlah diartikan rencana aksi sebagai pendetailan atas rekomendasi BPK. Jika mau jujur, saya berpendapat, pendetailan rekomendasi dengan rencana aksi sama saja menunjukkan bahwa BPK tidak mampu menyusun rekomendasi secara tepat. Oleh karenanya, saya berpendapat bahwa rencana aksi tersebut adalah langkah yang harus dilakukan pihak terperiksa dan lembaga perwakilan. Mengacu pada berbagai fakta yang mungkin terjadi, terdapat tiga bentuk alternatif untuk merealisasikan rencana aksi ini, yaitu: 1. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Dan rencana aksi tersebut menjadi komitmen pemerintah yang dituangkan dalam komitmen pemerintah itu sendiri. 2. Menyusun rencana aksi pihak terperiksa yang dilakukan bersama antara pihak terperiksa dengan BPK. Rencana aksi ini dituangkan dalam bentuk komitmen pihak terperiksa kepada BPK sehingga seolah-olah dibentuk suatu perjanjian.
3. Meminta pihak terperiksa menyusun rencana aksi (dengan atau tanpa diskusi bersama BPK). Rencana aksi tersebut dibahas bersama antara pihak terperiksa dengan lembaga perwakilan. Selanjutnya kesepakatan antara rencana aksi pihak terperiksa dengan lembaga pewakilan tersebut diformalkan dalam UU dan Perda tentang pertenggungjaeaban pelaksanaan Anggaran. Dengan kata lain, saya berpendapat seharusnya di dalam UU tentang pertanggungjawaban Pelaksanaan APBN dan Perda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD harus memuat klausul pasal sebagai berikut; a. Ketentuan bahwa LKPP dan LKPD telah diperiksa BPK b. Ketentuan yang menyebutkan jenis opini yang diberikan BPK c. Langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mempertahankan dan atau memperbaiki opini atas LK. Inilah yang sebenarnya penuangan dari rencana aksi tersebut. Dari ketiga bentuk pendekatan yang meminta adanya rencana aksi, bagi saya format yang ketigalah yang lebih tepat. Di samping pentingnya formalitas dari bentuk rencana aksi, perlu ditekankan bahwa perubahan tersebut selalu berasal dari tiga aspek atau saya lebih suka dengan menyebutnya sebagai tiga prasyarat perbaikan pengelolaan keuangan yaitu (1) SDM yang Kompeten; (2) Organisasi yang mapan; dan (3) Infrastruktur yang andal. Akhirnya, apapun rencana yang telah disusun, hanyalah fakta bahwa rencana itu dilaksanakan yang akan menentukan keberhasilan. Oleh karenanya, saya berharap MULAILAH!!!.
LEGAL TRAINING DAN IN HOUSE TRAINING DI BPK RI KANTOR PERWAKILAN PROVINSI DIY Sub Bagian SDM bekerja sama dengan Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DIY telah menyelenggarakan Legal Training dengan tema “Permasalahan Hukum yang Timbul dalam Audit Keuangan”. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama tiga hari pada 26-28 Agustus 2008 yang dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman teknis yuridis untuk menganalisis permasalahan hukum yang timbul dalam pelaksanaan audit keuangan. Legal Training yang dibuka secara resmi oleh Plh. Kepala Perwakilan, Sri Muryani, SH diikuti oleh 95 auditor dan menghadirkan narasumber dari para praktisi dan dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang juga eksis dalam dunia advokat. Selain itu, dalam rangka memberi bekal teknis bagi para auditor untuk melaksanakan Pemeriksaan Tematik “Dana Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Tahun 2008” Sub Bagian SDM juga melaksanakan In House Training “Dana Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)” pada 03-05 September 2008. In House Training yang diikuti oleh 68 peserta yang merupakan auditor di lingkungan perwakilan Yogyakarta ini dibuka secara resmi oleh Kepala Perwakilan BPK Yogyakarta Dra. Evita Eriati, MM. Dalam kegiatan ini Perwakilan mengundang pemateri dari Dinas Pendidikan Nasional Provinsi DIY dan Auditor Senior BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DIY.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
17
LAPORAN UTAMA
PENERAPAN STANDAR UMUM AUDITING PADA BPK RI Oleh: Agung Swastika, Kasubbag Set Kalan BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi Papua Barat
L
ebih dari 10 tahun terakhir BPK RI mengadakan reformasi intern lembaga, termasuk pengembangan infrastruktur pemeriksaannya. Salah satu pengembangan infrastruktur tersebut adalah ditetapkannya Peraturan BPK RI No. 1 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara yang menerapkan materi dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), termasuk di dalamnya Standar Auditing. Standar tersebut terbagi dalam tiga bagian, yaitu Standar Umum, Standar Pekerjaan Lapangan, dan Standar Pelaporan. Dalam Standar Umum, termuat tiga pernyataan yang berkaitan dengan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya. Dengan demikian, BPK RI telah mengakui perlunya pemenuhan persyaratan auditor dan mutu pekerjaannya. Dengan diterapkannya standar tersebut, tulisan ini bermaksud menguraikan materi Standar Umum Auditing sebagai bahan kajian dalam melaksanakan tugas pemeriksaan LKPD di lingkungan Perwakilan BPK RI. STANDAR UMUM PERTAMA Standar Umum Pertama berbunyi, ”Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor”. Sesuai SPAP, dapat dianggap tidak dapat memenuhi persyaratan ini apabila auditor tidak memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing. Agar dapat dikatakan memadai, auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup, mendapatkan supervisi yang memadai dan review atas pekerjaannya dari atasannya yang lebih berpengalaman. Sehubungan dengan keterbatasan auditor senior di Perwakilan BPK RI, pemahaman di lapangan atas penerapan standar tersebut dalam pemeriksaan LKPD adalah: a. Yang penting Ketua Tim-nya adalah Akuntan atau senior yang berpengalaman dalam penugasan yang sama. b. Yang penting ada satu orang dalam tim pemeriksaan yang berjumlah 4 (empat) orang yang sudah berpengalaman dalam penugasan yang sama. c. Yang penting supervisi diperkuat dan sifatnya pendampingan untuk tim yang dianggap masih lemah. d. Yang penting Tim Review benar-benar mengadakan evaluasi atas hasil yang diperoleh tim selama bertugas atau hasil field work, untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat.
Hasilnya bagaimana? Ternyata banyak hal-hal mendasar tentang kondisi auditi untuk sampai pada suatu pernyataan pendapat yang ditanyakan oleh Kepala Perwakilan tidak dapat dijawab oleh Tim Pemeriksa, Supervisor, maupun Tim Review. Sebabnya antara lain:
a. Sebagian besar auditor (Akuntan dan Sarjana Ekonomi Akuntansi) memiliki masa kerja dua tahun atau kurang dan minimnya pengalaman sebagai auditor sebelum menjadi pegawai.
18
b. Banyak auditor senior level staf yang tidak mau ditunjuk sebagai ketua tim dengan alasan beratnya tanggung jawab. c. Banyaknya frekuensi pemeriksaan dan pengalaman auditor tidak menjamin penguasaan materi pemeriksaan oleh auditor tersebut, yang terbukti dalam Kertas Kerja Pemeriksaannya. d.Supervisor belum dapat mewakili penanggung jawab pemeriksaan dalam menguji dan menjaga mutu hasil audit di lapangan (field work). e. Minimnya frekuensi pelatihan atau inhouse training yang dilaksanakan. f. Minimnya komunikasi, diskusi dan koordinasi antar auditor, antar Ketua Tim dan antara Tim Pemeriksa dengan Tim Review.
Untuk menyikapi hal-hal tersebut antara lain:
a. Meratakan dan meningkatkan jumlah auditor senior level staf yang berperan sebagai Ketua Tim pada masing-masing Perwakilan dengan cara mengadakan mutasi auditor antar Perwakilan atau dari Pusat ke Perwakilan. b. Meningkatkan frekuensi inhouse training dan mendatangkan pengajar dari luar lembaga agar tercipta wawasan dan pemahaman yang lebih luas. c. Pengawasan kepada auditor bukan hanya pada saat penugasan, namun juga bersangkutan dengan banyaknya materi dan ketentuan yang telah dikuasai auditor pada suatu periode tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberi penugasan berupa telaah peraturan, diskusi, ekspose, kliping dan studi lapangan.
STANDAR UMUM KEDUA Standar umum kedua berbunyi: “Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor” Independensi menurut standar umum ini memuat tiga hal, yaitu sikap tidak memihak, tidak mudah dipengaruhi, dan jujur. Tidak memihak dapat diartikan tidak membawa kepentingan atau memberikan keuntungan kepada pihak manapun, dalam hal ini pihak Pemerintah Daerah (Eksekutif ), DPRD (Legislatif ), Lembaga lain (instansi vertikal dan organisasi kemasyarakatan), atau masyarakat. Sikap tidak memihak sudah harus diterapkan sebelum surat tugas diterbitkan. Artinya, surat tugas diterbitkan dalam rangka mencari jawaban yang paling objektif terhadap suatu isu atau permasalahan, bukan suatu jawaban tertentu yang diinginkan oleh pihak pemberi tugas atau pihak lain yang meminta pemeriksaan diadakan. Keberpihakan auditor adalah pada penegakan undang-undang. Tidak mudah dipengaruhi sama artinya dengan tidak memihak, namun diterapkan pada saat melaksanakan tugas. Independensi jenis ini adalah termasuk penentuan apa yang perlu dan tidak perlu dilaksanakan oleh Tim Pemeriksa. Penanggung Jawab, Supervisor dan Tim Pemeriksa harus konsisten dalam menerapkan program pemeriksaan. Suatu saat, mungkin Penanggung Jawab memperoleh informasi tentang suatu hal yang pantas untuk diadakan pendalaman NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
masalah, namun di luar lingkup penugasan tim. Ada baiknya hal tersebut tidak ditambahkan dalam penugasan kepada Tim, dan menunjuk auditor lain untuk penugasan terkait informasi tersebut. Pada saat yang lain, mungkin auditi berharap auditor memeriksa pengelolaan keuangan suatu unit kerja secara lebih mendalam dibandingkan unit kerja lainnya karena auditi memiliki beberapa informasi atau anggapan tertentu tentang unit kerja tersebut yang dapat ditindaklanjuti oleh auditor. Apabila terjadi demikian, maka tim pemeriksa harus tegas dalam mengambil keputusan untuk memilah mana yang perlu dan yang tidak perlu diperiksa. Pada akhirnya, keputusan tersebut bergantung dari pengalaman dan wawasan tim pemeriksa, isu-isu aktual yang berkaitan dengan kegiatan auditi, dan tujuan pemeriksaan. Muatan yang ketiga adalah kejujuran, yaitu dalam menyatakan suatu kondisi atau pendapat harus sesuai fakta dan bukti hasil analisa atau konfirmasi, bukan rekaan atau pendapat yang diungkapkan tidak dalam bahasa laporan formal dan mengandung banyak arti. Contoh kata yang mengandung banyak arti antara lain: a).’Belum disetor sampai tahun anggaran berakhir’, seharusnya dengan kata ‘tidak disetor’; b).‘Berlarut-larut’, yang seharusnya dengan kata ‘terlambat’ atau ‘tidak sesuai jadwal’; c).‘Tender arisan’, yang seharusnya dengan kata ‘semua pekerjaan dibagi merata kepada seluruh rekanan yang mendaftar, tanpa proses lelang’. Selain itu, SPAP juga menganalogikan auditor lebih mirip tugas seorang hakim daripada seorang penuntut, yaitu tidak hanya dapat menyalahkan, namun juga dapat memberikan solusi/pemecahan masalah. Istilahnya, ibarat bengkel mobil, ‘terima bongkar, terima pasang’ atau ‘berani bongkar, berani pasang’. Dengan demikian, bukan berarti aditor harus lebih mengetahui segalanya dibandingkan auditi, melainkan lebih objektif dalam memahami peraturan dan lingkup pekerjaan atau kegiatan yang diperiksanya. Auditor juga dituntut untuk memberikan contoh bagaimana seharusnya melaksanakan perikatan/kontrak secara tegas, menunjukkan fungsi dan kegunaan tertibnya administrasi dan pelaporan, serta memberikan masukan alternatif penanganan masalah dengan tidak melanggar peraturan. STANDAR UMUM KETIGA Standar umum ketiga berbunyi: “Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama”. SPAP menyebutkan, ‘auditor harus memiliki keterampilan yang umum dimiliki oleh auditor pada umumnya’ dan ‘menggunakan keterampilan tersebut dengan kecermatan dan keseksamaan yang wajar’. Artinya: a. Penanggung Jawab Pemeriksaan selaku Pengendali Mutu harus memiliki keterampilan yang cukup dalam menjaga mutu laporan agar sesuai dengan tujuan pemeriksaan; b. Supervisor selaku Pengendali Teknis harus memiliki keterampilan yang cukup dalam menjaga kemampuan teknis Tim Pemeriksa dalam memenuhi standar mutu laporan; c. Tim Pemeriksa harus memiliki keterampilan yang cukup dalam
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
melaksanakan teknis pemeriksaan.
Mutu laporan mencakup deskripsi tentang gambaran umum entitas, uraian khusus tentang entitas yang berhubungan dengan tujuan dan lingkup pemeriksaan, hasil penelaahan SPI, dan temuan pemeriksaan. Dengan demikian, mutu laporan menuntut Pengendali Mutu memiliki pengetahuan tentang entitas yang diperiksa dan bentuk strategi pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Strategi pemeriksaan tersebut menjadi dasar Pengendali Teknis untuk membuat program pemeriksaan. Untuk membuat Program Pemeriksaan, Pengendali Teknis harus mengetahui Core Business, kapasitas sumber daya, wilayah kerja, wewenang, dan tanggung jawab auditi terhadap bidang pekerjaannya. Program Pemeriksaan akan menjadi panduan untuk tim pemeriksa dalam menentukan point of view, jumlah dan spesifikasi sampling, serta menjawab alasan pemeriksaan yang berupa indikasi permasalahan. Strategi pemeriksaan juga menjadi panduan Pengendali Teknis dalam pelaksanaan supervisi tim, yaitu menguji teknik pemeriksaan yang digunakan, kertas kerja dibandingkan lingkup dan sasaran pemeriksaan, serta kecukupan bukti yang mendukung laporan. PENUTUP Standar umum auditing telah menunjukkan, bahwa standar minimal seorang auditor yang berhubungan dengan pribadinya adalah mengenai kompetensi, independensi, dan profesionalisme. Agar kompeten, seorang auditor tidak hanya memahami hal-hal yang hanya bersangkutan dengan latar belakang keilmuannya, namun juga dengan pengetahuan lainnya. Hal tersebut dapat dipelajari melalui serangkaian jenjang pendidikan lanjutan, pelatihan, dan pengalaman. Auditor senior wajib memberikan masukan, berbagi pengalaman, supervisi, dan review yang cukup kepada junior auditornya agar tidak terjadi kesenjangan kompetensi antar auditor. Agar independen, seorang auditor perlu memiliki sikap mental yang prima, malampaui batas-batas posisi dan jabatan. Auditor perlu memahami bahwa selama bertugas dia harus dapat mewujudkan jiwa atau roh ‘Keuangan Negara’ dalam dirinya, yaitu mengerti mana yang merugikan dan tidak merugikan keuangan Negara. Hal tersebut dapat dilakukan apabila auditor mengetahui bagaimana caranya menempatkan diri agar selalu tidak memihak, tidak dipengaruhi apapun, dan jujur. Agar profesional, selain dapat mewujudkan jiwa atau roh ‘Keuangan Negara’, juga perlu menguasai dan memahami hal-hal yang perlu dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam laporan, menganalisa, memilah, dan penempatkan suatu permasalahan secara objektif dan proporsional. Auditor juga harus dapat menunjukkan ‘yang benar’ dari sesuatu yang menurut auditor ‘tidak benar’. Akhirnya, apabila hal-hal di atas selalu dilaksanakan secara konsisten, pemenuhan persyaratan auditor dan mutu pekejaannya akan dapat dipenuhi oleh para auditor di BPK RI. 19
LAPORAN UTAMA
JANGAN BIARKAN PETUNJUK DILIHAT SEBELAH MATA Oleh: Yudi Ramdan, Kasubagset Anggota KN V
Pada suatu masa, laporan BPK akan menjadi referensi bagi penentuan arah dan pilihan kebijakan publik di Indonesia. Birokrat, tokoh masyarakat, politisi, pengusaha, aktivitis dan masyarakat akan berterima kasih kepada BPK yang berhasil memotret secara objektif dan profesional mengenai bentuk dan pola pelayanan publik. Rekomendasi BPK menyumbang perbaikan kualitas pelayanan publik seperti aksesbilitas pendidikan, mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan dan kenyamanan serta ketersediaan infrastruktur. Ini semua diharapkan terjadi dari sebuah pemeriksaan kinerja BPK yang profesional.
Harapan tersebut sudah digagas oleh Ketua BPK melalui segitiga peranan BPK masa kini dan masa depan yang menempatkan hasil audit BPK menjadi pilihan alternatif kebijakan publik sebagai puncak piramida keberhasilan peranan BPK. Artinya sudah ada sebuah komitmen yang cukup kuat tentang arah dan bentuk peningkatan kualitas audit BPK di masa mendatang. Tinggal bagaimana BPK sebagai lembaga audit dan auditornya mempersiapkan, merencanakan, melatih diri dan melaksanakan komitmen tersebut ke dalam sebuah penguatan kapasitas kelembagaan untuk menopang harapan tersebut. Salah satu bentuk upaya penguatan tersebut adalah pengembangan petunjuk pelaksanaan (Juklak) pemeriksaan kinerja dan implementasinya secara bertahap ke dalam sebuah pendekatan yang sistematis dan terarah. Juklak sebagai pedoman pemeriksaan merupakan perangkat lunak yang dibutuhkan BPK dan auditornya untuk dapat bekerja secara benar, konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional 20
dalam pemeriksaan. Oleh karena itu urgensi dan relevansi penerapan Juklak menjadi prioritas BPK untuk membantu mewujudkan upaya perbaikan kinerja sektor publik melalui pemeriksaan kinerja yang dapat dipertanggungjawabkan. Apa yang melatarbelakangi urgensi dan relevansi pengembangan dan penerapan Juklak ini? Beberapa alasan yang mendasari hal tersebut antara lain: Pertama, berbeda dengan pemeriksaan keuangan, area dan objek pemeriksaan kinerja relatif lebih komplek dan variatif yang sangat tergantung sifat dan bentuk bisnis prosesnya. Sementara itu pada pemeriksaan keuangan area dan objek jelas lebih homogen yang tersaji dalam ekposur angka pada akun-akun laporan keuangan. Dalam pemeriksaan kinerja yang dianalisis bukan hanya data keuangan tetapi juga non keuangan. Implikasinya diperlukan suatu pedoman pemeriksaan yang jelas yang dapat menjawab kompleksitas dalam melakukan pemeriksaan kinerja. Kedua, secara mandat pemeriksaan kinerja sudah dinyatakan secara tegas dalam paket per-UU-an keuangan negara dan UU BPK yang kemudian diatur dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Artinya pemeriksaan kinerja merupakan sebuah keniscayaan bagi BPK untuk mulai diperbincangkan, didiskusikan, dibahas dalam workshop, bahkan sudah harus menjadi target BPK untuk diterapkan secara benar sesuai dengan praktek yang berlaku di BPK negara lain. Ketiga, kebutuhan pelurusan konsep pemeriksaan di BPK selama ini yang telah dikenal sejak management audit masuk ke Indonesia akhir dekade 70-an yang perjalanannya menjadi pemeriksaan kinerja. Tumbuh perbedaan konsep dan implementasi pemeriksaan kinerja yang ada, bahkan prakteknya lebih mengarah pada kepatuhan yang diberi label pemeriksaan kinerja. NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
Keempat, hasil pemeriksaan BPK tiga tahun terakhir menunjukkan proporsi pemeriksaan kinerja hanya berkisar 2-3% dari total pemeriksaan yang ada. Ini sebuah fakta bahwa kita belum berani melakukan pemeriksaan kinerja karena alasan yang tidak jelas. Apakah memang ketidakmampuan BPK atau memang kondisinya belum saatnya melakukan pemeriksaan kinerja. Kelima, adanya persepsi yang kurang beralasan yang dianut kebanyakan auditor di BPK dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja seperti tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI) sebagai kriteria audit, audit tidak bisa jalan kalau belum ada kesepakatan kriteria, harus menghasilkan simpulan berupa penilaian atas peringkat keberhasilan dan tujuan audit selalu mengarahkan pada efektivitas program secara menyeluruh. Lalu, apakah kita harus berdiam diri dalam menghadapi tantangan tersebut? Tentu tidak. By process, BPK melalui Litbang sejak lama telah merintis pengembangan draft pemeriksaan kinerja yang bersumber dari pedoman pemeriksaan kinerja ASOSAI dan INTOSAI. Ditambah lagi beberapa auditor muda dilatih dalam program CDITW serta ikuti program magang pada BPK negara lain seperti GAO. Artinya kesadaran BPK untuk memulai sesuatu dengan benar sudah ada. Ini diperkuat dengan kerja sama BPK dan ANAO untuk memperkuat kemampuan BPK dalam pemeriksaan kinerja Akhirnya tahun 2007 Litbang BPK berhasil mengeluarkan petunjuk pelaksanaan pemeriksaan kinerja melalui serangkaian kerja tim yang mencoba memasukkan beberapa pendekatan audit yang dipraktikkan di negara lain. Memang tak ada gading yang tak retak. Namun Juklak ini adalah langkah awal penyempurnaan kemampuan BPK dalam pemeriksaan kinerja. Meskipun belum dilakukan sosialisasi secara simultan oleh Litbang, kehadirannya dinantinanti oleh para auditor di lapangan. Apa yang menarik dari Juklak Pemeriksaan Kinerja? Setidaknya ada tiga hal yang kritis dalam juklak ini yang akan merubah paradigma auditor BPK memandang pemeriksaan kinerja selama ini, antara lain: • Memahami klien Keberhasilan sebuah pemeriksaan kinerja sangat ditentukan efektivitas rekomendasi pemeriksaan yang dapat memperbaiki kinerja program, kegiatan atau entitas yang bersangkutan. Tentunya, itu dapat diraih apabila rekomendasinya tepat dan relevan. Ketepatan dan relevansi rekomendasi didukung kemampuan auditor dalam mengenal dan memahami proses bisnis auditee “dari ujung kaki sampai ujung kepala”. Diantaranya identifikasi input, proses dan output sampai outcome sebuah aktivitas. Pemahaman yang baik akan menjadi modal awal dalam menyiapkan sebuah perencanaan pemeriksaan kinerja, sehingga akan memperkokoh proses dan kualitas pemeriksaan kinerja. • Penentuan Area Kunci Gaya pemeriksaan kita dirasakan terlalu ambisius. Semua NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
ingin diraih dalam waktu pemeriksaan yang relatif terbatas yang rata-rata berkisar 25 hari s.d 30 hari. Tentunya terjadi gap antara ekspektasi audit dengan sumber daya audit. Seyogyanya ekspekstasi tersebut harus lebih realistis dengan melihat constraints yang ada. Kalau tidak mempertimbangkan keseimbangan antara ekspektasi audit dan sumber daya audit, akan timbul risiko audit yang secara potensial akan terjadi. Risiko audit selalu ada dalam dalam setiap pemeriksaan, sehingga risiko tersebut harus di-manage dengan baik. Untuk menjaga keseimbangan audit tersebut diperlukan sebuah perencanaan audit yang matang yang salah satunya melalui penentuan area kunci. Penentuan area kunci mendorong pemeriksaan lebih fokus pada area yang benar-benar dapat dikendalikan dalam pelaksanaan auditnya. Mahkota pemeriksaan kinerja bukan hanya berapa dan seberapa dalam temuan pemeriksaan tetapi sejauh mana rekomendasi tersebut dapat menjamin perbaikan kinerja di masa mendatang. Untuk itu diperlukan suatu audit yang fokus yang mendorong auditor dapat bekerja lebih dalam dan menghasilkan rekomendasi yang konstruktif. Faktor-faktor yang penting dalam memilih area kunci seperti dijelaskan dalam Juklak tersebut mencakup signifikansi, risiko bagi manajemen, dampak audit dan auditibilitas. Signifkansi merefleksikan penting tidaknya area yang kita audit bagi stakeholders maupun besarnya anggaran. Risiko bagi manajemen berkenaan ada tidaknya risiko yang terjadi pada area tertentu bagi manajemen. Dampak audit mempertimbangkan besar kecilnya pengaruh hasil audit dari area tersebut pada simpulan audit. Audibilitas mencerminkan kemampuan tim audit menjalankan pemeriksaan tersebut dari sisi waktu, anggaran, dan metodologi. • Pengembangan Kriteria Kriteria pemeriksaan dalam pemeriksaan kinerja mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan dengan jenis pemeriksaan lain. Pemilihan kriteria pemeriksaan tidak hanya meng”copy” peraturan atau norma serta kaidah yang telah ditetapkan dalam bentuk produk hukum, melainkan lebih jauh lagi kriteria pemeriksaan dapat dikembangkan standar atau praktik-praktik yang dianggap baik dan relevan bagi sebuah kondisi kinerja yang ideal. Oleh karena itu, pengembangan kriteria menjadi proses penting dalam suatu perencanaan pemeriksaan untuk menjamin penilaian auditor lebih objektif, proposional dan relevan dengan tujuan pemeriksaan, sehingga dapat menghasilkan suatu rekomendasi perbaikan yang konstruktif bagi kinerja auditee. Faktanya, justeru bottle neck yang terjadi dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja adalah ketidakmampuan mengidentifikasikan kriteria pemeriksaan. Ketidakmampuan lebih disebabkan hal-hal antara lain tidak tersedianya Key Performance Indicator (KPI), belum ada kesepakatan dengan auditee, dan tidak tersedia data standar berupa benchmarking. Ini semua terjadi karena kita sudah terbiasa dengan pola pemeriksan kepatuhan yang mengharuskan sumber kriteria adalah berupa peraturan perundang-undangan yang mem21
punyai kekuatan memaksa pelaksana untuk mematuhinya. Tanpa itu maka temuan pemeriksaan dan rekomendasinya tidak ada kekuatan mengubah auditee untuk memperbaiki. Apalagi kondisi tersebut dikaitkan dengan ada tidaknya indikasi TPK. Tanpa memahami jangan-jangan sumber kriteria tersebut sudah tidak relevan lagi dengan kondisi auditee dan harapan publik atas business process yang ada. Untuk itu pengembangan kriteria dalam Juklak Pemeriksaan kinerja menjadi poin yang yang penting untuk dicermati oleh auditor. Mulai dari identifikasi sumber kriteria, pemilihan kriteria yang relevan dan penetepan kriteria serta diskusi kriteria dengan auditee. Dengan memahami poin-poin penting di atas, sedikitnya memberikan sebuah petunjuk bahwa masih banyak PR yang harus dikerjakan dalam menjalankan pemeriksaan kinerja. Disadari dengan Juklak ini tidak akan langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah memadati benak para pemerhati dan auditor BPK tentang pemeriksaan kinerja. Kembali, ini adalah langkah awal penyempurnaan pemeriksaan kinerja di BPK. Jangan sampai petunjuk nantinya dipandang sebelah mata. Ini akan menjadi tanggung jawab kolektif untuk memperkokoh profesionalisme audit BPK. Untuk itu, setidaknya ada lima langkah untuk mengefektifkan Juklak Pemeriksaan Kinerja yaitu: • Leaders comitment Seiring dengan diberlakukannya Juklak Pemeriksaan Kinerja, semua lapisan pimpinan di lingkungan BPK harus mulai melakukan inisiasi perencanaan pemeriksaan kinerja yang mengacu pada juklak tersebut. Komitmen ini harus diarahkan dengan mendorong para penanggung jawab audit, pengendali teknis dan ketua tim menyusun program audit beserta langkah-langkah auditnya berdasarkan Juklak tersebut. Pengalaman workshop eksekutif dan piloting pemeriksaan kinerja yang diselenggarakan dalam program kerja sama BPK dan ANAO dua tahun terakhir menunjukkan bahwa komitmen belum optimal dengan rendahnya “keingintahuan” dan “inisiatif ” dalam mencoba menerapkan konsep pemeriksaan kinerja dengan baik dan konsisten. • Training module and TOT Segera setelah diberlakukan Juklak ini, penyusunan modul pelatihan menjadi prioritas utama untuk membumikan juklak ke dalam tataran praktek “know-how” pemeriksaan kinerja. Modul training bukan menyalin ulang Juklak, namun lebih menggambarkan sebuah proses yang nyata mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan dengan ilustrasi kasus-kasus. Kasus-kasus tersebut dapat diambil dari hasil pilot project Program Kerjasama BPK-ANAO yang telah menghasilkan program dan hasil pemeriksaan kinerja yang dikerjakan tim-tim piloting. Tingginya kebutuhan pemahaman dan penerapan pemeriksaan kinerja berimplikasi pada kebutuhan pelatihan yang memerlukan instruktur di bidang pemeriksaan kinerja yang paham, andal dan dapat menularkan kemam22
puan audit. Terbatasnya instruktur pemeriksaan kinerja yang mempunyai pemahaman yang memadai dengan jam terbang praktik yang cukup diperlukan suatu pelatihan bagi instruktur yang dikenal Training on Trainer (TOT). TOT harus dirancang dengan matang supaya menghasilkan trainer-trainer yang andal . BPK sudah memiliki banyak auditor yang telah mengikuti program secondment dan workshop pemeriksaan kinerja baik dalam negeri maupun luar negeri yang mampu menjadi trainer tersebut. • Start small by piloting Implementasi juklak ini tentunya tidak langsung dapat menghasilkan proses dan mutu pemeriksaan yang diharapkan ideal dalam pemeriksaan kinerja. Untuk itu setiap tortama harus merencanakan mana-mana objek pemeriksaan yang akan dilakukan pemeriksaan kinerja. Lebih baik dimulai dengan objek yang tidak terlalu luas dan kompleks. Yang terpenting melakukan “pengkondisian” konsep pemeriksaan kinerja yang benar. • Focus group Dinamika pemeriksaan kinerja selalu berkembang seiring kompleksitas lingkungan auditee yang ada. Untuk menjaga pemahaman dan implementasi Juklak harus dibentuk suatu kelompok yang dibangun untuk mendiskusikan isuisu penting mengenai penyempurnaan Juklak pemeriksaan kinerja yang mencoba mengakomodasi pemikiran, pengalaman ataupun kasus-kasus yang timbul dalam pemeriksaan kinerja. Semua proses tersebut harus terdokumentasi dengan baik ke dalam penyempurnaan Juklak sehingga akan menjadi ”knowledge management” BPK di bidang pemeriksaan kinerja. Focus Group merupakan gabungan staf litbang, pusdiklat dan auditor yang concern terhadap pergembangan pemeriksaan kinerja. • Develop technical guidance Untuk menghindari persepsi yang berbeda dan praktek audit yang lebih aplikatif, Juklak pemeriksaan kinerja harus segera diikuti pengembangan Petunjuk Teknis (Juknis) Pemeriksaan Kinerja. Juknis ini lebih menitikberatkan pada petunjuk lebih rinci mengenai langkah-langkah pemeriksaan kinerja sehingga dapat langsung memberikan ilustrasi nyata tentang apa dan bagaimana auditor kinerja menyiapkan, melaksanakan dan melaporkan pemeriksaan kinerja. Setidaknya ada dua Juknis yang harus disiapkan antara lain Juknis Penentuan Area Kunci dan Juknis Pengembangan Kriteria Pemeriksaan. Uraian di atas menggambarkan bahwa upaya pemberlakuan Juklak Pemeriksaan Kinerja adalah langkah awal memulai pembenahan cara pandang dan praktek kita dalam melaksanakan pemeriksaan kinerja. Ini adalah sebuah pondasi yang harus dirintis oleh BPK sekarang agar dapat menggapai harapan kita untuk menjadikan produk BPK menjadi referensi pembenahan kebijakan dan pelayanan publik di masa mendatang. Semua terpulang pada kita semua. NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
LAPORAN UTAMA
AUDITOR SELALU INGIN MENJADI PEMAIN JAZZ Oleh: Yudi Ramdan Kasub Bag Set AKN V
Apa yang salah dengan keinginan itu ? Apakah tidak boleh seorang auditor ber-”improvisasi” dalam memainkan komposisi prosedur auditnya ? Apakah auditor harus selalu patuh pada “conductor” untuk menghasilkan alunan laporan audit yang harmonis? Apakah auditor dapat langsung memainkan peranannya sebagai pemaiz jazz yang mahir? Retorika pertanyaan tersebut secara faktual telah menghantui dunia ”persilatan audit” di BPK dalam praktik pemeriksaan. Ada kecenderungan auditor terlalu confidence yang kadang lupa bahwa ada pakem yang musti dan kudu dipegang dalam memainkan peranannya sebagai auditor. Ini mendorong tumbuhnya auditor yang senang berperan sebagai pemain jazz. Ilustrasi tersebut akan coba dikupas untuk memahami pentingnya sebuah pedoman pemeriksaan dalam kancah pemeriksaan. Improvisasi prosedur audit Seorang pemain jazz diukur talentanya ketika dia dapat melakukan suatu permainan yang di luar pakem. Misalnya, pemain bass dengan mudah berpindah dari nada dasar C mayor ke G tanpa kesulitan dan akan kembali ke nada dasar semula. Pola permainan ini ditonjolkan sebagai suatu warna khas dari musik jazz yang dihasilkan oleh pemain bas terse-
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
but sehingga memperindah komposisi jazz yang dihasilkan. Praktik dalam pemeriksaan selama ini, masih ada auditor di BPK berlagak seperti pemain jazz. Mereka mengaudit dengan improvisasi sekenanya mengikuti intuisi yang dipercaya, selama ampuh menemukan temuan tanpa mengindahkan prosedur audit yang disusun dalam program audit. Celakanya, improvisasi tersebut tidak didokumentasi ke dalam kertas kerja pemeriksaan (KKP) dengan baik, sehingga tidak mempunyai nilai tambah bagi perbaikan program pemeriksaan yang ada. Yang paling mengkhawatirkan dengan gaya improvisasi tersebut adalah menyulitkan proses quality assurance yang menjamin keandalan prosedur audit yang dijalankan. Dalam SPKN jelas pada standar umum dan standar pelaksanaan, auditor dan proses auditnya harus didasarkan pada suatu perencanaan audit yang disupervisi secara memadai melalui proses audit yang andal. Artinya, dalam melakukan audit, auditor tidak boleh seenaknya melakukan improvisasi dalam prosedur audit. Lebih gawat lagi, sejak awal seorang auditor telah melakukan improvisasi tanpa mengindahkan prosedur audit yang dituangkan dalam program audit. Bukan sebuah
23
warna musik yang indah yang dihasilkan, tetapi suara sumbang kaleng kosong yang memekakkan telinga pendengar. Oleh karena itu, jenis audit apapun baik itu audit keuangan, audit kinerja, ataupun PDTT, program audit sebagai suatu pedoman untuk melakukan prosedur audit harus dijalankan terlebih dahulu secara maksimal. Tetapi bukan berarti meredam inovasi untuk berimprovisasi dalam menjalankan prosedur audit. Ada kalanya prosedur audit harus dikembangkan dengan baik dan taktis oleh seorang auditor dengan mengembangkan prosedur audit yang ada. Tentunya semua harus dikomunikasikan dengan supervisor dan didokumentasikan dengan baik supaya dapat menjadi patokan program audit pada audit yang sama di masa mendatang. Harmonisasi irama audit
pernah lihat pertunjukan jazz, akan terlihat setiap pemain mempunyai kelihaian mempertontonkan permainan yang unik atas instrumen yang dimainkan dengan tetap dalam koridor permainan jazz yang harmonis. Untuk menjadi auditor yang andal seperti pemain jazz yang piawai harus menempuh sederetan prasyarat yang mutlak harus ada bagi auditor seperti diatur dalam standar umum dalam SPKN yang meliputi kompetensi. Indepedensi, due profesional care dan quality assurance. Jadi tidak mungkin seseorang langsung memainkan permainan melodi atau saxophone dengan penuh improvisasi kalau tidak dibekali keahlian yang sudah melekat dan diasah secara terus menerus, sehingga kepekaan dalam main musik dapat tumbuh dengan baik. Disana seorang pemain bukan hanya ahli tetapi punya tanggung jawab profesi untuk dapat memberikan sumbangan yang optimal atas keindahan komposisi musik jazz yang dihasilkan.
Permainan jazz berbeda dengan permainan sebuah orkestra simponi yang memainkan musik klasik yang diAuditor memainkan instrumen musik berupa teknik aupimpin oleh seorang conductor melalui tuntutan partitur dit yang menghasilkan alunan analisis bukti audit yang menguntuk setiap pemainnya. Sebuah keindahan irama yang di- hasilkan irama temuan audit yang memberikan komposisi hasilkan permainan dapat diresapi apabila ada harmonisasi musik yang indah dan memenuhi harapan dan kebutuhan yang spontan dan bersahutan antara lantunan instrumen para pemilik kepentingan. Untuk itu tidak ada kata lain, musik satu dengan yang persyaratan profelain meskipun tidak sionalisme auditor dilengkapi sebuah partitur Semua berjalan dengan ”bonek (bondho nekat)”, menjadi prasyarat ataupun dibimbing oleh tanpa patokan yang jelas dan konsisten. Hasil- yang mutlak untuk seorang conductor. nya adalah opini audit laporan keuangan isinya memberikan kualitas laporan yang Ilustrasi demikian ter- kumpulan temuan kepatuhan tanpa ada hubu- baik dan dapat dijadi dalam praktik audit di ngan dengan pengujian kewajaran asersi mana- pertanggungjawabBPK dewasa ini. Ada ka- jemen. kan. lanya anggota tim dengan anggota tim lainnya seakanDengan deakan berjalan sendiri lupa akan ”partitur” untuk instrumen mikian tidak hanya sebatas pada kemampuan auditor tetapi yang harus dimainkan. Yang lebih parah, mereka lupa harus harus ada proses pemahaman ”aturan main” berupa pedomemperhatikan arahan dari ketua tim, pengendali teknis man pemeriksaan yang secara konsisten diikuti dalam mebahkan penanggung jawab. Mungkin kondisi bisa lebih pa- mainkan peranan dan tugas sebagai auditor. Interaksi audirah lagi ketika semua pemain bingung akan pola permainan tor sebagai pemain dengan pakem ini selalu dinamis saling yang harus dimainkan sesuai dengan partitur dalam bentuk mengisi dan menjadikan pemain yang profesional yang daprogram audit. pat ditularkan kepada pemain lain. Ini semua disebabkan adanya perencanaan audit yang tidak terarah, jelas dan relevan dengan ekspektasi hasil audit yang telah ditetapkan. Semua berjalan dengan ”bonek (bondho nekat)”, tanpa patokan yang jelas dan konsisten. Hasilnya adalah opini audit laporan keuangan isinya kumpulan temuan kepatuhan tanpa ada hubungan dengan pengujian kewajaran asersi manajemen. Covernya laporan pemeriksaan kinerja di dalamnya daftar temuan kepatuhan tanpa ada suatu rekomendasi yang konstruktif. Bahkan ada hasil PDTT tanpa jelas simpulannya. Jadi apa boleh auditor jadi pemain jazz? Syarat menjadi pemain jazz ternyata tidak semudah yang dikira. Kalau 24
Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi pemain jazz bagi seorang auditor. Namun sebuah organisasi yang baik bukan hanya menciptakan ”smart people” melainkan ”smart system”. BPK masa depan adalah BPK yang mempunyai kemampuan menciptakan sebuah aransemen manajemen audit yang pintar yang menjadi referensi yang aktual dan valid bagi setiap langkah para auditor yang kompeten, inovatif dan bertaanggung jawab untuk menghasilkan sebuah alunan musik yang memberikan komposisi transparansi dan akuntabilitas keuangan negara sesesuai harapan dan kebutuhan para pemilik kepentingan.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
AGENDA
Ketua BPK: “Siapa mau beli obligasi kalau laporan keuangan disclaimer?”
P
ertanyaan itu ditegaskan Ketua BPK Anwar Nasution sebagai dorongan kepada pemerintah daerah untuk memperbaiki laporan keuangannya sehingga memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Anwar mengatakan hal itu ketika menjadi pembicara dalam Dialog Publik BPK RI dan Pemprov DKI Jakarta di Balai Agung Pemprov DKI Jakarta, 15 Oktober 2008, bertema “Mendorong Terciptanya Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara/Daerah”. Kepada pers, Anwar menjelaskan bahwa Laporan Keuangan DKI Jakarta tahun 2007 memang mendapat opini Disclaimer. Bukan hanya di Jakarta, daerah lain di Indonesia pun banyak yang mendapat opini Disclaimer. Bahkan, Anwar mengatakan, transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah selama empat tahun terakhir mulai 2004 sampai 2007 semakin memburuk. Alasan inilah yang membuat diperlukannya percepatan perbaikan sistem keuangan daerag melalui langkah-langkah konkret,terjadwal, dan melibatkan seluruh komunitas akuntabilitas di daerah.
Management Representative Letter Sepanjang 2008, Anwar melakukan road show dialog publik pengelolaan keuangan Negara di beberapa daerah se-Indonesia. Seperti halnya di daerah lain, dialog publik di Jakarta ini ditujukan untuk membantu pemerintah daerah dalam melakukan perbaikan-perbaikan agar laporan keuangan yang mereka buat bisa mendapat opini WTP. Perlu sebuah action plan atas enam bidang perbaikan, yang mencakup sistem pembukuan, sistem aplikasi teknologi computer, inventarisasi aset dan utang, jadwal waktu penyusunan laporan keuang-an, quality assurance atas LKPD oleh pengawas intern, serta sumber daya manusia. Dipaparkan oleh Anwar, BPK te-lah mengambil enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan Negara. Pertama, pemerintah daerah menandatangani management representative letter dalam setiap pemeriksaan BPK. Kedua, pemerintah daerah menentukan kapan mencapai opini WTP dengan menyusun action plan. Ketiga, pemerintah daerah menggunakan universitas setempat dan BPKP unKetua BPK dalam Dialoog Publik Obligasi daerah tuk memperbaiki sistem keuangan di Balai Agung Pemprov DKI Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, Fauzi daerah dan aplikasi komputernya, ser15 Oktober 2008 Bowo, yang hadir juga dalam diata meningkatkan SDM melalui pelatilog publik dan konferensi pers setehan akuntansi keuangan daerah dan lahnya, telah menyebutkan bahwa penyediaan tenaga pembukuan yang pemda DKI Jakarta memiliki cita-cita untuk memobilisir dana trampil. Keempat, mendorong perombakan struktural Badan dengan menjual obligasi pemerintah DKI. “Ini adalah satu hal Layanan Umum (BLU), BUMN, dan BUMD agar lebih mandiri yang perlu disambut,” ujar Anwar, “tapi DKI jika dibanding den- dan korporatis. Kelima, DPRD , membentuk Panitia Akuntabiligan kota besar lain di dunia, banyak yang perlu dibenahi. Tiap tas Publik untuk menindaklanjuti temuan BPK. Keenam, di tingtahun ada banjir, jalanan macet. Ini harus dibenahi. Kondisi kat departemen, Depdagri, Depkeu, dan Departemen teknis sekarang memang belum baik, tapi sudah ada upaya untuk berkoordinasi untuk menyusun desain dalam melaksanakan menuju perbaikan.” paket tiga UU bidang keuangan negara tahun 2003-2004. Ambisi Fauzi untuk menjual obligasi DKI bukan hal yang Khusus mengenai management representative letter, memain-main. “Siapa yang mau membeli obligasi kalau laporan nurut Anwar dilakukan otomatis, karena menjadi bagian dakeuangannya disclaimer?” ujar Anwar. Upaya-upaya perbaikan lam proses audit. ”Hal penting lainnya, masing-masing entitas yang disampaikan Anwar, ditegaskan oleh Fauzi. Pemerintah membuat action plan. Semua dilakukan secara terjadwal,” jelas DKI Jakarta telah menindaklanjuti temuan BPK secara konsisten Anwar. dalam berbagai bentuk, baik yang berindikasi kerugian Negara Fauzi Bowo menjelaskan bahwa action plan untuk DKI Jajuga konsekuensi administratif. “Sejak temuan itu diumumkan, karta sudah ada dan sedang diusahakan untuk dilakukan permungkin sudah lebih dari 100 instruksi, 100 teguran, dan lebih baikan. Di DKI Jakarta, management representative letter ditandari 100 tindak administratif sudah dilaksanakan,” tegas Fauzi. datangani oleh pimpinan lembaga. Di dalamnya, terkandung Ditambahkan olehnya, DKI Jakarta memang mempunyai beberapa pernyataan dan komitmen lebih lanjut dari pimpinan rencana untuk menjual obligasi daerah pada saat yang tepat, unit dan SKPD. “Di DKI dilakukan dengan management contract yaitu setelah Laporan Keuangan DKI Jakarta mendapat opini atau performance contract, berupa pakta integritas yang ditanbaik. Obligasi tidak akan dijual jika pasar dalam keadaan ter- datangani unit-unit kerja dengan gubernurnya,” jelas Fauzi. puruk. “Akan disiapkan segala sesuatunya agar obligasi dapat Saran-saran BPK yang telah dilakukan oleh pemerintah daeterserap dengan baik, terjual dengan bagus, dan mampu men- rah, diharapkan dapat menjadi awal upaya menuju perbaikan unjang kepentingan pemerintah daerah dalam membangun pengelolaan keuangan daerah. Karena, buruknya transparansi infrastruktur ibukota RI,” Fauzi menegaskan hal ini di hadapan dan akuntabilitas keuangan daerah dapat meningkatkan pepers. luang kebocoran dan menghambat kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan dan kesejahteraan pada rakyat. - Bestantia
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
25
0
POTRET BPK
Konferensi pers oleh Ketua BPK RI setelah Dialog Publik di Pemprov DKI Jakarta pada 15 Oktober 2008.
Dialog Publik di Pemprov DKI dihadiri oleh Anggota DPR, Gubernur DKI, Ketua DPRD serta Muspida. pada 15 Oktober 2008.
Rapat pengarahan Kaditamarevbang, Public Hearing draft peraturan dan juknis jabatan fungsional pemeriksa (JFP) 22 Oktober 2008.
Pengarahan dari Kepala Biro SDM dalam acara “Sosialisasi Jabatan Fungsional Pranata Komputer” pada 17 Oktober 2008 di ruang Pola.
Pelantikan Prof. Dr. Ilya Avianti oleh Ketua BPK RI menjadi Staf Ahli bidang BUMN dan Kekayaan Negara yang dipisahkan pada 17 Oktober 2008
Ucapan selamat kepada Drs. Sudin Siahaan oleh Ketua BPK setelah dilantik menjadi staf ahli bidang BUMD pada 17 Oktober 2008
26
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
Penyerahan IHPS I Tahun 2008 dari Ketua BPK RI ke Ketua DPR RI pada 21 Oktober 2008 di Gedung Nusantara II DPR RI.
Pembukaan kantor BPK RI perwakilan provinsi Banten pada 20 Oktober 2008 oleh Ketua BPK RI
Pidato Ketua BPK RI di depan rapat paripurna pada acara penyerahan IHPS I Tahun 2008 tanggal 21 Oktober 2008 di Gedung Nusantara II DPR RI.
Kunjungan Irjen TNI AL Laksamana M. Sunanto ke BPK RI pada 21 Oktober 2008, diterima oleh Anggota I BPK Imran dan Kepala Auditorat IA, Mahendro Sumardjo.
Sambutan pidato Ketua BPK RI pada rapat laporan pertanggungjawaban keuangan negara yang akuntabel di Balai Samudera, Jakarta.
Workshop on Risk Based Financial Audit, kerjasama BPK RI dan ANAO di hotel Borobudur 15 Oktober 2008.
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII
27
78
NO 114/ September - Oktober 2008 /Tahun XXVIII