Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO Ridho Naufal Fadhila Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesa No. 10, Bandung, Indonesia *Corresponding Author:
[email protected]
Abstrak Kebutuhan manusia akan air terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk dan industri. Namun, jumlah sumber air yang ada saat ini sudah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang terus bertambah dengan sangat pesat. Sehingga, air laut yang jumlahnya sangat berlimpah dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan yang ada. Namun, air laut memiliki kandungan garam terlarut yang sangat tinggi. Sehingga, air laut perlu diolah terlebih dahulu sebelum dapat digunakan. Sala satu metode desalinasi air laut yang telah komersial digunakan yaitu sea water reverse osmosis (SWRO). Metode ini terbukti efektif dan menguntungkan di beberapa tempat untuk memproses air laut menjadi air murni. Metode ini menggunakan membran RO untuk merejeksi kandungan garam terlarut agar didapatkan air murni. Proses rejeksi garam terlarut pada air laut dilakukan pada tekanan tinggi, sehingga memerlukan energi yang besar untuk melangsungkan proses ini. Oleh karena itu, perlu diperhatikan setiap sistem pemrosesan dalam SWRO plant agar proses desalinasi dapat berjalan secara maksimal dan ekonomis. Pada paper ini akan dibahas mengenai perancangan sistem pengolahan air laut menggunakan SWRO dan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan perancangan. Kata kunci : Air, Air laut, SWRO, Desalinasi
1. Pendahuluan Pada saat ini, air telah menjadi suatu hal yang sangat potensial dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Kebutuhan akan air tidak dapat dihindari lagi sebab pada dasarnya air merupakan sumber kehidupan. Kekurangan sumber air telah banyak dirasakan di berbagai daerah di belahan dunia. Sehingga, masa ini disebutsebut sebagai era krisis air. Kekurangan yang terjadi secara tidak langsung disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang terus meningkat secara tajam, sementara jumlah sumber air bersifat tetap atau bahkan berkurang karena pembangunan gedung-gedung di lahan serapan. Sehingga, terpikirlah untuk memanfaatkan air laut yang jumlahnya sangat berlimpah untuk dijadikan sebagai solusi mengatasi kekurangan air yang saat ini sedang terjadi [1]. Air laut dapat diproses menjadi air standar pemenuhan
kebutuhan manusia dengan metode multiflash stage (MSF), multi-effect distillation (MED), electrodialysys (ED), dan reverse osmosis (RO) [2]. Proses-proses tersebut telah sangat terbukti dapat menghasilkan air murni dari air laut secara maksimal. Banyak penelitian dilakukan untuk meningkatkan efektifitas proses agar desalinasi air laut dapat lebih ekonomis. Sehingga, penggunaan pressure driven membrane pretreatment, pencegahan fouling, dan penggunaan energi alternatif sedang banyak dipelajari oleh berbagai peneliti. Dari berbagai penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh banyak pihak, dapat ditarik kesimpulan bahwa desalinasi air laut dengan proses reverse osmosis (RO) merupakan metode yang paling ekonomis [3]. Proses desalinasi pada dasar nya terdiri dari beberapa tahapan utama seperti seawater intake, pre-treatment, reverse osmosis
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
process, dan post-treatment. Pokok bahasan yang akan dibahas dalam paper ini adalah mengenai sistem desalinasi berbasi RO.
2. Sistem SWRO Pada dasarnya, semakin besar plant SWRO akan meningkatkan profit yang didapat karena berkurangnya capital cost dan operational/ maintenance cost dari tiap unit proses. Sehingga, SWRO plant berskala besar menjadi daya tarik sebagai proses utama desalinasi air laut. Terdapat beberapa proyek SWRO plant berskala besar yang telah dibangun yaitu seperti yang tercantum pada tabel 1 [4]. Pada sub bagian sistem SWRO ini akan dibahas sistem proses utama dan pendukung dalam merancang suatu SWRO plant 2.1 Struktur Area Pengambilan Air Laut Dalam merancang sistem SWRO berskala besar, perlu diperhatikan lokasi pengambilai air laut yang akan digunakan sebagai umpan produksi air bersih. Kondisi/struktur lokasi pengambilan memengaruhi biaya sistem perpipaan. Sebaiknya, lokasi pengambilan tidak jauh dari tepi pantai agar biaya dapat ditekan [2]. Namun dilain hal, pengambilan air laut pada bagian dalam akan memberikan kualitas air yang lebih baik dibandingakan dengan air laut di permukaan dan juga air laut bagian dalam lebih terlindungi dari polusi hidrokarbon [5]. Sehingga, pertimbangan lokasi SWRO plant yang terdiri dari lokasi pengambilan air laut, penyimpanan air umpan, sistem RO, dan post-treatment harus dipertimbangkan dengan serius. Lokasi SWRO plant juga harus terdiri dari housing intake pump system, laboratory, warehouse, station for electric transformation, dan gedung administrasi sebagai komponen
2
pendukung utama agar SWRO plant dapat berjalan dengan baik [2]. 2.2 Kondisi Air Laut Umpan Setelah didapatkan lokasi yang tepat untuk pengambilan air laut, maka dilakukan pengecekan kandungan air laut pada lokasi yang ditentukan. Setelah mengetahui komposisi air laut yang akan digunakan, maka data tersebut dapat dijadikan panduan dalam merancang proses pre-treatment, desain sistem RO, dan metode pembersihan membran. 2.3 Proses Pre-treatment 2.3.1 Metode Konvensional Desain proses SWRO sangat bergantung pada kualitas air laut yang digunakan sebagai umpan. Proses pretreatment memegang peran kunci dalam meningkatkan kualitas umpan air laut yang juga akan meningkatkan kualitas air produk [6]. Tahap pertama yang dilakukan dalam pre-treatment adalah melakukan penyaringan sampah yang terbawa, selanjutnya dilakukan koagulasi, flokulasi, filtrasi, dan catridge filter [2]. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mencegah pertumbuhan bakteri (bio-fouling), pencegahan pembentukan kerak< pengaturan pH, dan menghilangkan padata-padatan yang terbawa [5,7]. Langkah-langkah tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas air umpan yang akan masuk ke proses RO. 2.3.2 Metode Filtrasi Membran UF Metode proses pre-treatment konvensional memiliki beberapa kekurangan. Perbedaan utama antara metode konvensional dan metode filtrasi membran UF dapat dilihat pada tabel 2 [5,8]. Perbedaan ini memengaruhi jangka waktu fouling pada sistem RO. Berdasarkan perbandingan yang telah
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
Tabel 1. Empat belas SWRO plant terbesar di dunia [9,10,11] Kapasitas Operasi No Negara Lokasi (m3/d-1) (tahun) 1 Israel Sorek 624000 2013 2 Israel Hadera 456000 2010 3 Israel Ashkelon 330000 2005 4 Saudi Arabia Shuqaiq 216000 2008 5 Saudi Arabia Rabigh 205000 2008 6 Algeria Hamma 200000 2008 7 Algeria Mostaganem 200000 2010 8 Algeria Souk Tieta 200000 2010 9 Algeria Beni Saf 200000 2008 10 UAE Fujairah 170000 2003 11 Saudi Arabia Shuaiba 150000 2009 12 Spain Valdelentisco 140000 2007 13 Triidad & Tobago Point Lisas 136000 2002 14 Singapura Tuas 136000 2005
3
Membran manufacturer Dow/Hydranauties Dow Dow Toyobo Toyobo Toray Dow Nitto/Hydranauties Nitto/Hydranauties Nitto/Hydranauties Toray Dow Toray Toray
Tabel 2. Perbandingan antara metode konvensional dan UF membrane pre-treatment [5] Pre-treatment konvensional Pre-treatment membran UF Kualitas air fluktuatif berganting kualitas air Kualitas stabil dan konstan Kualitas air produksi umpan (Silt Density Index, (SDI<2.0) SDI <4.0) Flux RO 100% 20% lebih tinggi Potensi fouling lebih Fouling pada membran RO Potensi fouling tinggi rendah Frekuensi pembersihan 4-12 pembersihan per 1-2 pembersihan per tahun membran RO tahun Filters: 20-30 tahun
UF/NF membran: 5-10 tahun
100%
33% lebih rendah
100%
0-25% lebih besar
Luas area yang dibutuhkan
100%
Konsumsi Energi
Lebih rendah dari UF
30-60% lebih kecil Lebih tinggi dari konvensional
Jangka waktu penggunaan Frekuensi penggantian membran RO Biaya kapital
Dosis penggunaan bahan kimia Sistem perpipaan masuk
Tinggi
Lebih rendah
Panjang
Lebih pendek
Biaya operasi
Tinggi
Lebih rendah
dll
-
Kontrol boron lebih baik
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
diketahui dapat dikatakan bahwa metode filtrasi membran UF memiliki efisiensi lebih baik [12]. 2.4 Proses Membran RO Performa dan biaya yang diperlukan dalam proses membran RO sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebaigai berikut [13-19]. 2.4.1 Polarisasi Konsentrasi Polarisasi konsentrasi dipengaruhi oleh adanya lapisan gel pada permukaan membran yang menyebabkan meningkatnya tekanan osmotik pada membran, sehingga menurunnya nilai flux permeat membran [20]. Lapisan gel dibentuk oleh makromolekul yang bersifat hidrofobik yang menyebabkan penurunan nilai flux yang sangat signifikan. Lapisan polarisasi konsentrasi terbentuk karena adalanya makromolekul hidrofilik yang meyebabkan penurunan nilai flux yang tidak signifikan. 2.4.2 Fouling dan Scaling Kinerja membran RO sangat dipengaruhi oleh fenomena fouling dan scaling. Fenomena ini akan menyebabkan terjadinya penurunan nilai flux secara signifikan yang akan meningkatkan biaya operasi [21]. Ketika terjadi fouling dan scaling, maka hal tersebut dapat diatasi dengan backwashing, chemical cleaning atau penggantian membran [22]. Fouling pada membran disebabkan oleh natural organic matter (NOM), koloid, dan biofilm. Scaling pada membran disebabkan oleh pengendapan garamgaram pada permukaan membran yang biasanya kalsium karbonat (CaCO3), kalsium sulfat (CaSO4), dan silica (SiO2). 2.4.3 Chemical Cleaning Bahan-bahan kimia biasa digunakan untuk mengatasi masalah
4
scaling pada membran RO. Bahan kimia yang biasa digunakan adalah NaOH, Cl2, H2PO4, dan surfaktan. Jenis bahan kimia yang digunakan dan konsentrasinya sangat memengaruhi biaya yang dibutuhkan. Penggunaan kosentrasi bahan kimia perlu diperhatikan agar dapat memberikan efisiensi pembersihan yang tinggi. Terdapat dua cara yang biasa digunakan untuk membersihkah sistem membran yaitu clean in place (CIP) atau clean offline. Untuk dapat mengetahui kosentrasi CIP yang akan digunakan maka perlu diketahui interaksi antara bahan kimia dengan foulan. 2.4.4 Quality dan Salinity Umpan Air Laut Kualitas air umpan yang akan diproses dalam membran RO harus memiliki kualitas yang tinggi. Hal ini perlu dilakukan agar memberikan jumlah permeat yang maksimal. Indikator yang biasa digunakan untuk menentukan kualitas air umpan yaitu concentration, suspended solid (SS), turbidity, dan SDI. Semakin rendah nilai indikator tersebut maka jumlah permeat yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Sehingga, biaya operasi dari membran RO dapa berkurang. 2.5 Proses Post-treatment Proses post-treatmen dalam sistem desalinasi SWRO pada umumnya melibatkan remineralisasi, pengaturan pH, disinfaksi dan penghilangan boron. Kualitas air keluran hasil proses posttreatment setidaknya harus memenuhi kualitas air minum. Proses post-treatment secara umum dijelaskan sebagai berikut [23,24]: Pengaturan pH dan Remine-ralisasi: penggunaan CO2 dilakukan untuk remineralisasi air sebelum di distribusikan. Selain itu, dilakukan pengaturan nilai pH dalam rentang
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
6,8 sampai 8,1 agar memenuhi persyaratan kualitas air minum. Disinfeksi: Proses ini menggunakan sinar UV untuk membunuh bakteri dan organisme yang muncul dalam air hasi post-treatment. Penghilangan boron: proses ini bertujuan untuk mengurangi kandungan boron hingga seminimal mungkin mencapai 0 ppm. Proses ini menggunakan teknologi boron selective resin (BSR). Selain itu, dikembangkan membran dengan kemampuan yang lebih baik dalam merejeksi membran. 2.6 Pembuangan Brine dan Dampak Lingkungan SWRO desalination plant akan menghasilkan produk samping berupa brine. Aliran brine merupakan aliran terejeksi dari umpan yang memiliki kandungan total dissolved solid (TDS) sangan tinggi mencapai 70.000 mg/L [2]. Selain itu, aliran brine juga membawa beberapa kandungan kimia yang diberikan pada proses pre-treatment. Brine memiliki nilai TDS tinggi, sehingga densitas brine jauh lebih besar dari densitas air laut pada normalnya. Sehingga, ketika brine dibuang ke laut akan dapat memengaruhi kondisi kesetimbangan Lingkungan [2]. Beberapa metode dapat diterapkan untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembuangan brine seperti [4,25]: menghubungkan ke pengolahan air limbah, menggunakan kolam penguapan untuk menghasilkan zero liquid discharge, dan pembuangan pada lokasi yang dalam. 3. Desain Sistem Dalam SWRO plant berskala besar sangat perlu diperhatikan efektifitas dan kualitas yang dihasilkan dari setiap proses. Hal ini sangat terkait dengan masalah ekonomi. Biaya operasi SWRO plant akan
5
sangat besar, sehingga diharapkan seluruh sistem dapat berjalan dengan efisien. 3.1 Pretreatment Process Sistem pre-treatment perlu di rancang sebaik mungkin untuk menyediakan air umpan dari air laut yang berkualitas agar proses desalinasi dapat berjalan secara maksimal. Penggabungan antara metode pretreatment secara konvensional, kimiawi, dan pressure driven membrane dirasa akan mampu untuk menghasilkan air umpan proses yang baik. Metode konvensional yaitu dengan menggunakan sand filter atau multi media filter untuk menyaring partikel berukuran besar [2]. Secara kimiawi dengan menggunakan bahan-bahan kimia untuk proses sedimentasi dan flokulasi serta membunuh bakteri atau mikroorganisme yang ada dalam air umpan [26]. Selanjutnya, digunakan membran mikrofiltrasi dan ultrafiltrasi untuk memastikan tidak adanya zat/organisme tak diinginkan yang masih terbawa. Untuk mendapatkan perkiraan kandungan hasil pre-treatment dapat didekati dengan melakukan perhitungan secara numerik [2]. 3.2 Reverse Osmosis Process and Configuration Setelah melewati proses pre-treatment, air umpan akan di lewatkan pada modulmodul membran RO dengan bantuan dari high pressure pump yang memberikan tekanan tinggi agar proses pemisahan dapat terjadi. Membran RO biasanya berbahan spiral wound [27]. Membran RO dapat dirancang secara multi stage agar kualitas air yang dihasilkan menjadi lebih baik [2]. Saat ini banyak dikembangkan sistem RO network (RON) yang terbukti lebih ekonomis dan tangguh dalam melakukan penyaringan [28]. Penentuan jumlah dan konfigurasi membran yang akan digunakan dapat dihitung dengan memerhatikan laju alir
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
produk yang diinginkan. Setelah air laut melewati proses reverse osmosis, maka akan dihasilkan fresh water (air murni) dan juga brine. Brine akan dibuang dengan memerhatikan aspek lingkungan yang telah dibahas sebelumnya agar tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan. Sedangkan air murni akan masuk ke tahap selanjutnya yaitu posttreatment. Terdapat beberapa konfigurasi perancangan sistem SWRO yaitu diantaranya single stage SWRO system, two pass SWRO system, two stage SWRO system dan three center RO system configuration. Konfigurasi single stage SWRO system biasa digunakan untuk produksi air minum dan terbatas pada permeat. Konfigurasi two pass SWRO system digunakan ketika salinitas air laut tinggi (>35.000 mg/L) atau kebutuhan kualitas produk air sangat ketat. Konfigurasi two stage SWRO system digunakan untuk memaksimalkan recovery pabrik desalinasi keseluruhan dan mengurangi volume konsentrat yang dibuang. Konfigurasi three center RO system merupakan pusat pemompaan, pusat membran, dan pusat pengambilan energi [29]. 3.3 Post-treatment Process Sebelum didistribusikan, air murni hasil RO perlu di treatment dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas air agar setidaknya memenuhi kriteria air minum. Pada proses post-treatment air murni akan diatur nilai pH agar pada rentang 6,8 – 8,1 (netral) [2]. Selanjutnya, dilakukan remineralisasi agar air mengandung mineral-mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, dan disinfeksi untuk memastikan tidak ada lagi bakteri yang hidup setelah proses RO [2]. Setelah melewati proses post-treatment, air disimpan dalam water storage dan selanjutnya akan di distribusikan untuk memenuhi kebutuhan
6
warga dan industri. Gambar 1 mengilustrasikan rancangan sistem desalinasi air laut dengan menggunakan metode RO. 3.4 Proses Energy Recovery Penggunaan energy recovery system akan menurunkan penggunaan energi yang diperlukan untuk melakukan proses desalinasi. Pada akhirnya akan menurunkan biaya instalasi sistem SWRO. Air konsentrat umpan yang menuju sistem RO dengan tekanan yang tinggi memiliki energi potensial yang dapat ditransfer dari waste pressure ke aliran umpan. Dengan menggunakan teknologi ini, maka akan dapat menghemat biaya kebutuhan energi sampai dengan 40%. Secara umum terdapat 3 tipe energy recovery system [30,31]: Proses recovery energy dari brine dengan menggunakan sistem hydraulic turbocharger (HTC). Sistem HTC menggunakan energi yang dimiliki oleh brine yang dimanfaatkan menggunakan turbin yang terhubung langsung dengan impeler pompa umpan. Proses recovery energy dengan menggunakan sistem pelton wheel turbine (PWT). Prinsip dari sistem ini dengan mentransfer aliran brine dari satu modul ke modul selanjutnya ketika membran berotasi. Proses recovery energy dari brine dengan menggunakan sistem pressure exchanger (PX). PX mentransfer energi dari aliran brine bertekanan tinggi ke aliran masuk dengan meggunakan prinsip pe-mindahan positif. Dari beberapa sitem energy recovery yang ada, sistem pressure exchanger (PX) lebih banyak diminati karena memiliki efisiensi yang lebih tinggi dalam melakukan recovery energy [30].
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
3.5 Biaya Proses Desalinasi Desalinasi air laut membutuhkan biaya yang tidaklah murah. Proses ini berlangsung pada tekanan yang sangat tinggi. Proses desalinasi air laut memerlukan biaya sekitar 4.67-5.56 kWh/m3 [23], namun harga tersebut dapat berbeda-beda pada setiap tempat karena dipengaruhi oleh banyak faktor seperti harga listrik setempat, harga air, harga membran dll. Gambar 2 menerangkan faktor-faktor yang mengaruhi biaya total sistem desalinasi. 3.6 Pengelolaan Brine Pada sistem desalinasi berbasis SWRO, dihasilkan sejumlah brine yang harus diproses terlebih dahulu sebelum dibuang untuk menghindari adanya dampak lingkungan. Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengelola brine yaitu: mengonversi brine menjadi zat kimia yang bermanfaat, diffuse discharge, deactivation, immobilisation, dan direct discharge. Pengelolaan brine dengan metode tersebut telah banyak digunakan dalam plan SWRO yang ada saat ini. Pengelolaan brine menjadi keharusan dalam sistem desalinasi. Sehingga, banyak study yang
7
mempelajari dan mengembangkan teknologi pengelolaan brine saat ini. 4 Kesimpulan Desalinasi air laut berbasis SWRO merupakan teknologi yang tepat untuk mengatasi kekurangan air saat ini. Banyak negara telah menerapkan teknologi ini untuk memenuhi kebutuhan air penduduk dan industri. Teknologi ini telah terbukti mampu memproses air laut menjadi pure water dengan kapasitas hingga ratusan juta liter per hari. Namun, teknologi desalinasi air laut berbasis SWRO memerlukan energi yang sangat besar. Sehingga, perancangan sistem desalinasi berbasis SWRO harus dirancang secara efektif dan efisien untuk dapat memproduksi pure water secara ekonomis. Area pengambilan air laut, pretreatment, RO configuration, posttreatment, dan brine disposal merupakan inti dari perancangan SWRO plant yang harus diperhatikan secara mendalam untuk dapat merancang sistem yang efektif.
Gambar 1. Diagram Proses Perancangan Sistem Desalinasi Air Laut Dengan Metode SWRO [2]
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
8
Gambar 2. Faktor yang Mempengaruhi Total Biaya Dalam SWRO Plant Skala Besar [2]
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
9
Referensi [1] H. Mehdizadeh, Membrane desalination plants from an energy-exergy viewpoint. Desalination, 191 (2006) 200– 209. [2] Y M KIM et al, Overview of system engineering approaches for a large scale sea water desalination plant with reverse osmosis network, 238 (2009) 312–332. [3] S. Ebrahim and M. Abdel-Jawad, Economics of seawater desalination by reverse osmosis. Desalination, 99 (1994) 39–55. [4] G. Amy, Membrane-based water desalination state of the art and future prospects. In International seminar by center for seawater desalination plant.Seoul, 2007. [5] M. Wilf, ed. The Guidebook to Membrane Desalination Technology, Elsevier, The Netherlands, 2007. [6] J. Leparc, S. Rapenne, C. Courties, P. Lebaron, J.P. Croue, V. Jacquemet and G. Turner, Water quality and performance evaluation at seawater reverse osmosis plants through the use of advanced analytical tools. Desalination, 203 (2007) 243–255. [7] A. Munoz Elguera and S.O. Perez Baez, Development of the most adequate pre-treatment for high capacity seawater desalination plants with open intake. Desalination, 184 (2005) 173–183. [8] P.H. Wolf, S. Siverns and S. Monti, UF membranes for RO desalination pretreatment. Desalination, 182 (2005) 293–300. [9] Drioli Enrico. Comprehensive Membrane Science and Engineering, Volume 1, Italy, 2010. Page 30. [10] Dow, World’s Largest SWRO Plant in Hadera, Israel. Available: http://msdssearch.dow.com/PublishedLite ratureDOWCOM/dh_089c/0901b8038089 c360.pdf?filepath=liquidseps/pdfs/noreg/6 09-02219.pdf&fromPage=GetDoc diakses 19 -11-2015.
[11] esalination Academy, SWRO problem. Available: http://idadesal.org/wpcontent/uploads/2014/03/IDAA_SIWW20 14_rev.pdf diakses 19 -11-2015. [12] I.G Wenten, P.T.P. Aryanti, 2014, Ultrafiltrasi dan Aplikasinya, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [13] S. Lee, J. Cho and M. Elimelech, Influence of colloidal fouling and feed water recovery on salt rejection of RO and NF membranes. Desalination, 160 (2004) 1–12. [14] S. Sablani, M.F.A. Goosen, R. AlBelushi and M. Wilf, Concentration polarization in ultrafiltration and reverse osmosis: A critical review. Desalination, 141 (2001) 269–289. [15] G. Al-Enezi and N. Fawzi, Design consideration of RO units: Case studies. Desalination, 153 (2003) 281–286. [16] W. Zhou, L. Song and T.K. Guan, A numerical study on concentration polarization and system performance of spiral wound RO membrane modules. J. Membr. Sci., 271 (2006) 38–46. [17] K.G. Tay and L. Song, A more effective method for fouling characterization in a full-scale reverse osmosis process. Desalination, 177 (2005) 95–107. [18] S.G. Yiantsios, D. Sioutopoulos and A.J. Karabelas, Colloidal fouling of RO Membranes: An overview of key issues and efforts to develop improved prediction techniques. Desalination, 183 (2005) 257– 272. [19] R. Sheikholeslami and S. Tan, Effects of water quality on silica fouling of desalination plants. Desalination, 126 (1999) 267–280. [20] I.G Wenten, A.N. Hakim, Khoiruddin, P.T.P. Aryanti, 2013, Polarisasi Konsentrasi dan Fouling Pada Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung.
Ridho Naufal Fadhila, Perancangan Sistem Pengolahan Air Laut Menggunakan SWRO, 2015, 1-10
[21] I.G Wenten, P.T.P. Aryanti, A.N. Hakim, Khoiruddin, 2012, Teknik Regenerasi Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [22] I.G Wenten, A.N. Hakim, Khoiruddin, P.T.P. Aryanti, 2013, Troubleshooting dalam Operasi Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [23] A. Bick and G. Oron, Post-treatment design of seawater reverse osmosis plants: boron removal technology selection for potable water production and environmental control. Desalination, 178 (2005) 233–246. [24] T. Reynolds and J. Debroux, Seawater desalination pilot program: First and second pass RO permeate and finished water quality, Marin Municipal Water District, Corte Madera, CA, 2007. [25] A.J. Morton, I.K. Callister and N.M. Wade, Environmental impacts of seawater distillation and reverse osmosis processes. Desalination, 108 (1997) 1–10. [26] S Jeong et al. Pre-treatment of SWRO pilot plant for desalination using submerged MF membrane process
10
Trouble shooting and optimizationDesalination 279 (2011) 8895. [27] I.G Wenten, 2014, Intensifikasi Proses Berbasis Membran, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [28] M.M. El-Halwagi, Synthesis of reverse-osmosis networks for waste reduction. AIChE J., 38(8) (1992) 1185– 1198. [29] I.G Wenten, Khoiruddin, A.N. Hakim, 2014, Osmosis Balik, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. [30] R.L. Stover, Development of a fourth generation energy recovery device. Desalination, 165 (2004) 313–321. [31] M. Wilf and M.K. Schierach, Improved performance and cost reduction of RO seawater systems using UF pretreatment. Desalination, 135 (2001) 61–68. [32] A.M. Farooque et al. Parametric analyses of energy consumption and losses in SWCC SWRO plants utilizing, 219 (2008) 137–159.