1
Perancangan Kendali Adaptif MIMO Berbasis Laguerre Series Modelling pada Sistem Pengendalian Suhu Kiln Louis Gandhi Prabowo1), Katherin Indriawati, ST, MT2), Dr. Dhany Arifianto, ST, M.Eng3) 1) 2) 3) Jurusan Teknik Fisika, Fakultas Teknologi Industri ITS Surabaya Indonesia 60111, email:
[email protected]
Abstrak—Reduction kiln merupakan salah satu bagian penting dalam proses pengolahan nikel dan masih banyak yang menggunakan kendali manual. Hal ini sangat tidak efektif dan untuk mengotimalkan kinerja sistem pengendalian maka diperlukan rancang ulang pengendalian yang ada yaitu sistem kendali adaptif MIMO berbasis Laguerre series modelling sebagai informasi untuk penerapan Brainwave®. Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah memodelkan proses yang terjadi pada reduction kiln menggunakan hukum kesetimbangan energi, tahap kedua adalah melakukan identifikasi sistem MIMO menggunakan deret Laguerre untuk mendapatkan parameter plant yaitu koefisien Laguerre, tahap ketiga adalah merancang sistem kendalinya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa hasil desain kendalinya layak uji dan mampu mengendalikan plant MIMO. Hal ini didasarkan pada hasil uji tracking set point, uji beban, uji noise dan uji gabungan. Untuk uji tracking set point diperoleh nilai steady state error untuk TC4 2,29%, TC6 0,91% dan TC8 0,55%, nilai settling time untuk TC4 105menit, TC6 115menit dan TC8 100 menit dan nilai maksimum overshoot untuk TC4 2,09%, TC6 035% dan TC8 1,4%. Kata Kunci—kendali manual, kendali adaptif, pemodelan, deret Laguerre, suhu onboard.
adaptif dengan deret Laguerre pada TC2 (termokopel 2) secara SISO. Padahal di kiln sendiri ada 6 loop pengendalian yang mana 3 loop beroperasi secara SISO dan 3 loop beroperasi secara MIMO. Oleh karena itu pada penelitian kali ini akan dilakukan perancangan sistem kendali untuk 3 loop yang beroperasi secara MIMO. II. DASAR T EORI A. Proses pada Reduction Kiln Di dalam kiln terdapat proses reduksi yang berfungsi untuk menguapkan air yang terkandung dalam bijih, menghilangkan LOI (xH2O), mereduksi sebagian besi oksida, menghasilkan kalsin pada suhu 700°C, mencampur (blending) bijih (EBO-WBO-Coal-Dust) dan sulfidasi. Material dimasukan berlawanan arah dengan aliran gas panas (counter current). Selain bijih yang berasal dari Dried Ore Storage (DOS) juga dimasukan material lain berupa coal. Penambahan coal pada proses kiln dilakukan untuk membantu proses reduksi di furnace karena selama berada dalam proses di kiln hanya tereduksi sekitar 50%. Perlengkapan tambahan yang ada dalam proses kiln adalah main burner dan oil lance.
I. PENDAHULUAN Kiln merupakan salah satu bagian penting dari proses pengolahan nikel. Fungsi utama dari kiln adalah mengeringkan dan mereduksi kandungan nikel dan besi oksida yang terkandung pada bijih agar bisa diproses di furnace. Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pengeringan dan reduksi adalah suhu. Oleh karena itu diperlukan suatu proses pengendalian suhu untuk menjaga kualitas dari calcine pada kiln. Selama ini masih banyak mode kendali manual digunakan untuk mengendalikan suhu pada kiln karena pengendalian otomatis berupa PID tidak mampu untuk mengatasi gangguan yang ada. PID paling umum digunakan di industri tetapi tidak cocok untuk proses yang memiliki time delay, nonliniearity, multivariable dan time varying gain (Huaijing Du, 1998). Sedangkan proses pada kiln terdapat kriteria itu smua. Suhu yang berasal dari termokopel diamati oleh operator. Aksi kendali yang dilakukan operator adalah dengan mengatur aktuator dari air pipe apabila suhu yang ada pada kiln tidak sesuai dengan set point. Hal ini sangat tidak efektif dan untuk mengoptimalkan kinerja sistem pengendalian maka diperlukan rancang ulang pengendalian yang ada sebagai alternatif software BrainWave®. Penelitian sebelumnya (Yulianto, 2010) telah berhasil merancang sistem pengendalian pada kiln dengan menggunakan sistem kendali adaptif berbasis pemodelan
Gbr.1 Diagram alir proses di reduction kiln Team,2005)
(
Proctec
Secara umum proses reduction kiln terbagi menjadi empat sub proses yang terjadi secara berurutan. Proses pertama adalah pra pemanasan (preheating). Proses kedua adalah kalsinasi yang terjadi pada zona pemanasan padatan atau solid dengan terbentang kurang lebih 8 meter. Proses yang ketiga adalah sintering yang terjadi pada zona reduksi dan sulfidasi. Proses yang terakhir adalah pendinginan yang terjadi setalah material keluar dari furnace. Material yang masuk berupa ore, coal, sulphur, HSFO dan udara dari air pipe, main burner blower serta leakage. Sedangkan material yang dihasilkan adalah calcine, offgas dan debu (dust).
2 Aerasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :
% Aerasi =
Gbr.2 Zona di reduction kiln (Proctec Team,2005) Di dalam kiln terdapat reaksi pembakaran yang digunakan untuk proses didalamnya karena variabel suhu secara langsung mempengaruhi dinamika proses yang ada. Reaksi pemabakaran ini berlangsung begitu cepat antara bahan bakar (HSFO) dengan oksigen (udara) dan menghasilkan panas (pembakaran sempurna) serta reduktor (pembakaran tidak sempurna). Untuk mendapatkan pembakaran yang baik maka setiap partikel bahan bakar kontak dengan udara dengan cara atomisasi dan cracking. Cara atomisasi adalah tetesan bahan bakar diubah menjadi partikel yang sangat halus dengan bantuan tumbukan steam bertekanan tinggi. Dengan demikian nyala api yang dihasilkan akan terang dan tidak ada karbon B/U. Cara cracking adalah dengan pemutusan rantai karbon bahan bakar. Berikut perbandingan udara dengan HSFO dalam pembakaran adalah a. apabila kandungan O2 (udara) sama dengan kandungan C (bahan bakar) maka akan terjadi aerasi 100%. b. apabila kandungan O2 (udara) lebih besar dari kandungan C (bahan bakar) maka akan terjadi aerasi lebih dari 100%. c. apabila kandungan O2 (udara) lebih kecil dari kandungan C (bahan bakar) maka akan terjadi aerasi kurang dari 100%.
air flow rate ( 0m3 / min) * 60 min* 100% oil flow rate( kg / hr ) * 10,3( 0m 3 / kg ) HSFO
Pembakaran sempurna 1 kg HSFO menghasilkan 10.134 kkal. Fungsi panas di reduction kiln selain untuk menguapkan dan menghilangkan air dalam Ore juga untuk membantu terjadinya cracking HSFO serta menstabilkan nyala api main burner. B. Sistem Pengendalian pada Reduction Kiln Sistem pengendalian suhu di reduction kiln masih menggunakan mode kendali manual yang dikerjakan oleh operator. Dalam mengendalikan suhu, operator menggunakan referensi suhu sebagai set point yang berasal dari Human Machine Interface. Referensi suhu itu berasal dari TC2, TC4, TC6, TC8 dan TC10 (TC singkatan dari Termocouple). Apabila suhu onboard menunjukkan kondisi diluar nilai referensi maka operator akan melakukan aksi kendali berupa mengatur kecepatan conveyor yang membawa material, mengatur kecepatan anguler menggunakan VSD main drive, mengatur laju aliran bahan bakar pada burner, mengatur laju aliran udara di air pipe (AP) dan mengatur kecepatan putar Induction Draft Fan (ID Fan). Dalam laporan Tugas Akhir ini penulis hanya menggunakan aliran udara di air pipe (AP) sebagai manipulasi variabel pada pengendalian suhu. Untuk variabel yang lain dianggap konstan atau bisa juga dianggap sebagai gangguan dalam sistem pengendalian yang akan didesain. Untuk profil suhu onboard dapat dilihat pada gambar 5.
Gambar hubungan antara aerasi dengan api yang dihasilkan ditunjukkan pada gambar 3.
Gbr.3 Aerasi pembakaran (Proctec Team,2005) Sedangkan hubungan panas yang dihasilkan dengan aerasi pembakaran ditunjukkan pada gambar 4.
Gbr.5 Referensi suhu reduction kiln (Proctec Team, 2006) Termokopel diletakkan di dalam dan akan ikut berputar sejalan dengan perputaran kiln. Selama kiln berputar, termokopel akan mengukur suhu ore (solid) sepanjang 1/3 putaran dan akan mengukur suhu gas sepanjang sisa putarannya yaitu 2/3 putaran. Suhu memiliki time constant yang besar sehingga pada saat termokopel mengukur belum sampai kondisi steady pengukuran yang sebenarnya dari ore maupun dari gas sudah berubah dengan adanya waktu putar pada kiln yang lebih cepat dari pada time constant.
Gbr.4 Hubungan aerasi dengan panas hasil pembakaran (Proctec Team,2005)
(1)
3
KA
Gbr.6 Profil suhu pembacaan termokopel onboard Team, 2005)
(Proctec
Di reduction kiln terdapat lima loop pengendalian suhu dan satu loop pengendalian tekanan drift. Berdasarkan pengujian di HMI menunjukan bahwa TC2 hanya dipengaruhi AP1 sedangkan TC4, TC6 dan TC8 dipengaruhi oleh AP2, AP4 dan AP6. Tiga loop pengendalian ini dijadikan satu loop pengendalian karena bersifat MIMO (multivariable input multvariable output). Untuk TC10 hanya dipengaruhi laju aliran bahan bakar.
∂2T ∂T ∂T +K ∫ γ = c p ρA + AQ 2 ∂z ∂n ∂t
(5)
dimana suku kedua sebelah kiri (ditandai dengan kotak putusputus) tersebut adalah turunan suhu terhadap batas luar penampang kiln, merepresentasikan perpindahan panas karena konveksi dan radiasi yang efeknya diasumsikan sebagai tambahan pemodelan kiln. Diasumsikan bahwa perpindahan panas konveksi akan mengacu hukum Newton tentang pendinginan yang mengkondisikan bahwa perpindahan panas proporsional dengan beda suhu linear (Spang,1972). Selanjutnya kita asumsikan bahwa radiasi di representasikan oleh hukum radiasi benda hitam orde empat. Panas yang hilang (heat loss) antara dinding kiln dan udara luar kiln juga diperhitungkan. Suhu luar ditentukan dengan konduksi dinding dan heat loss radiasi dan konveksi. Panas total per unit area adalah: k (6) q= (Tw − Ta ) 2 − r1
C. Perpindahan Panas pada Reduction Kiln Kiln adalah sebuah distribusi parameter sistem yang mana memiliki sebuah sifat dinamik yang kompleks. Interaksi antara nyala api dan padatan menyebabkan ketidakstabilan distribusi yang sama pada tiap bagian dari kiln. Panjang kiln biasanya tergantung dari berapa lama waktu yang digunakan untuk memanaskan bahan baku.
Gbr.7 Bentuk geometri reduction kiln (Spang, 1972) Dalam memodelkan kiln memperhatikan asumsi-asumsi yang telah ditulis sebelumnya. Persamaan perpindahan kalor untuk suhu material padatan, gas dan dinding kiln didasarkan pada variasi arah yaitu aksial dan radial. Suhu hanya bergantung pada posisi dan waktu (Spang,1972). Persamaan perpindahan panas konduksi untuk silinder berongga adalah: 1 ∂ ∂T 1 ∂ 2T ∂ 2T k∇ 2T = k + 2 r + 2 2 ∂z r ∂r ∂r r ∂θ ∂T =c p ρ +Q ∂t
(2)
dimana k adalah konduktivitas termal kiln, Cp adalah panas spesifik, ρ adalah densitas, dan Q adalah panas yang ditimbulkan di dalam kiln. Definisi rata-rata suhu per unit area adalah 1 (3) T = ∫∫ rdθdθ A dimana A adalah luas penampang reduction kiln 3, A = ∫∫ r.dθ .dr
(4)
Dengan mengalikan persamaan (2) dengan r, kemudian diintegralkan, lalu menggunakan teorema divergensi didapatkan.
Perpindahan panas antara material padatan dan gas proporsional dengan beda suhu di dalam material padatan dan gas tersebut yang kemudian dapat dimodelkan menggunakan konveksi. Gas dan material padatan tercampur sempurna dengan perpindahan panas yang disebabkan oleh laju material padatan dan gas dan hanya sebagian kecil oleh konduksi.persamaannya (Spang,1972)adalah: ∂ 2T ∂T (7) k 2 = 0, dan Q = c p ρv −q ∂z ∂z Dimana q adalah panas yang ditimbulkan oleh reaksi kimia di dalam material padatan dan oleh flame. Karena gas lebih cepat berada pada keadaan mantap dari pada material padatan dan dinding reduction kiln, kita asumsikan bahwa: ∂T g (8) =0 ∂t Berkat konstanta termal dinding reduction kiln, sangat sedikit konduksi yang terjadi pada arah z yang berarti bahwa: ∂ 2Tw (9) k =0 ∂z 2 Laju reaksi oleh api ditentukan dengan berdasarkan laju difusi oksigen dan partikel (Spang,1972). Laju reaksi ini merupakan laju reaksi orde satu yang dirumuskan: Rr = −
1 ρg
ψ MC (M P )2 1 a k dC 2 F 0 F ρ M ( RT g ) F O 2
(10)
dimana d0 adalah koefisien difusi. Model ini memperhitungkan bahwa laju reaksi akan lebih lambat pada suhu tinggi karena densitas oksigen berbanding terbalik dengan suhu. Diasumsikan bahwa api selalu steady (Spang,1972). Panas yang digenerasikan oleh lidah api (flame) adalah: qf =
G f (− ΔH f ) ψ MC 1 (M a P )2 k F d 0C F ρ gv g ρF M O 2 (RTg )2
(11)
D. Identifikasi Sistem MIMO Menggunakan Deret Laguerre Sistem yang akan diidentifikasi adalah MIMO yang mana secara prinsip metode yang digunakan untuk identifikasi sama dengan sistem SISO hanya saja untuk masukan dan keluaran diperbanyak sesuai dengan sistem MIMO (Oliver, 1997).
4 Dalam memodelkan fungsi transfer sistem SISO ditentukan dari data masukan-keluaran berbasis ekspansi deret Laguerre pada data masukan-keluaran yang disaring atau difilter. Fungsi Laguerre memiliki kelebihan dalam memodelkan kondisi transien dibandingkan fungsi yang lainnya karena dapat dikonstruksi dalam sebuah bentuk filter sederhana linier dengan orde pendekatan. Dalam waktu kontinyu, fungsi Laguerre dapat digambarkan dengan persamaan berikut :
l k (t ) = 2 p
e pt d k −1 k −1 −2 pt [t e ] ( k − 1)! dt k −1
(12)
Dimana k adalah orde dari fungsi (i=1,2,,,N) dan p adalah time scale. Fungsi ini adalah sebuah bagian orthogonal dalam domain waktu [0,∞]. Dalam transformasi laplace, filter Laguerre ditulis dalam bentuk : domain frekuensi fungsi Laguerre ke-k ditulis: (s − p )k −1 , Lk (s) = 2p (13) (s − p )k domain waktu fungsi Laguerre ke-k ditulis:
Lk (t) = 2p exp −
pt k +1 k! (− pt )n −1 ∑ 2 n =1 ((n − 1 )! )2 (k − n + 1 )!
(14)
persamaan ekspansi fungsi Laguerre ditulis sebagai berikut: ∞
f(t) = ∑ a k Lk (t)
(15)
k =1 ∞
F(s) =
∑a k Lk (s)
(16)
k =1
dimana koefisien ak dapat ditentukan dalam domain waktu atau frekuensi melalui perhitungan standar. (17) a k =< f(t), L k (t) > t =< F(s), L k (s) > s dimana inner product domain waktu adalah L2 dan inner product domain frekuensi adalah L2 diinduksikan pada domain s dengan teori Parseval yaitu: ∞
(18)
< f(t), g(t) >t = ∫ f(t)g(t)dt 0
1 f∞ (19) F(s)G( −s)ds 2π −∫f∞ Dalam kondisi otronormal, fungsi Laguerre ditulis sebagai berikut: < F(s), G(s) >s =
< Lk (t), Ln(t) >t =< Lk (s), Ln(s) >s = δ k s n dimana
Jika diubah ke dalam bentuk persamaan waktu diskrit maka persamaan polinomial Laguerre manjadi: (1 − a2 ) (1 − az )i −1 , (21) Li (z) = z−a (z − a ) Laguerre ladder network untuk domain waktu diskrit ditunjukkan pada gambar 9.
(20)
δ k n adalah delta dirac standar. s
Filter laguerre dapat diimplementasikan dalam bentuk ladder network. Filter Laguerre berdasarkan model ditunjukkan pada gambar 8.
Gbr.9 Laguerre ladder netwok waktu diskrit (Chen,1998) Gambar 9 dapat diekspresikan sebagai bentuk stabil (stable), teramati (observable), dan terkendali (controllable) untuk sistem SISO yaitu: l(k + 1) = Al(k) + Bu(k) (22.a) y(k) = c T l(k) dimana l(k) T = [l1(k),..., l N (k)] T disebut state of ladder atau output setiap blok pada gambar 9. C kT (k) = [c 1 (k),..., c N (k)] disebut koefisien Laguerre pada waktu k [Chen,1998]. A adalah matrik segi empat (0 x 0) yang dirumuskan sebagai berikut: τ1 0 ... 0 − τ 1τ 2 − τ 3 τ1 ... 0 Ts (22.b) A= ... ... τ1 ... N 1 N 2 − − (− 1 ) τ (τ 1τ 2 + τ 3 ) ... − τ 1τ 2 − τ 3 τ 2 1 N −1 Ts Ts N −1 −τ −τ 2 (22.c) B = τ 4 τ 4 ... 2 τ4 Ts T s Konstanta τ 1, τ2, τ3, dan τ 4 dirumuskan sebagai berikut:
τ 1 = e − pT s
τ 3 = −Ts e − pT s −
2 − pT s (e − 1 ) p (1 − τ 1 ) τ 4 = 2p p τ 2 = Ts +
2 − pT s (e − 1 ) p
Dalam perumusan sistem MIMO setiap sinyal masukan memiliki sebuah lokasi pole Laguerre yang independen sehingga lokasi pole bisa digunakan untuk mempengaruhi tingkat peluruhan dari sinyal kendali tambahan. Deskripsi pengembangan untuk sistem multi-input dengan fleksibilitas penuh dalam pemilihan parameter a dan 0 adalah sebagai berikut :
∆u (k ) = [∆u1 (k ) ∆u 2 (k ) ... ∆u m (k )] Dan matrik input (B) dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan banyaknya masukan.
B = [ B1 B2 ... Bm ] Gbr.8 Laguerre ladder network waktu (Chen,1998)
kontinyu
Dimana menunjukkan jumlah masukan dan Bi menunjukkan matrik kolom ke i dari matrik B untuk setiap masukannya sehingga dapat ditulis sebagai berikut:
5
L1 ( k + 1) = A1 L1 (k ) + B1u1 ( k ) L2 ( k + 1) = A2 L2 (k ) + B2u2 ( k ) L3 (k + 1) = A3 L3 ( k ) + B3u3 (k )
(23)
y1 ( k ) = C11T L1 ( k ) + C12T L2 (k ) + C13T L3 (k ) T T T y2 (k ) = C21 L1 (k ) + C22 L2 (k ) + C23 L3 ( k )
(24)
y3 (k ) = C L (k ) + C L2 (k ) + C L3 ( k ) T 31 1
T 32
T 33
T T T C12T L2 (k ) , C13T L3 (k ) , C 21 L1 (k ) , C23 L3 ( k ) , C31 L1 (k ) dan T 32
C L2 (k ) menunjukkan pengaruh masukan loop lain yang mempengaruhi setiap keluaran. C merupakan sebuah matrix vector yang mana jumlah barisnya disesuaikan dengan jumlah orde dari Laguerre. Keluaran model Laguerre dari persamaan (2.24) dapat diubah dalam bentuk yang linier. y1 (k ) = C1T φ1 y2 (k ) = C2T φ2
(25)
y3 ( k ) = C3T φ3
dimana : C1T = C11T C12T
C
T 2
C 3T dan
[ = [C = [C
T 21
T 22
C
T 31
T C32
T 13
C
C
] ] ]
φ1 = [L1 L2 L3 ] φ 2 = [L1 L2 L3 ] φ 3 = [L1 L2 L3 ]
Apabila koefisien Laguerre (c) sudah diketahui maka dapat dikembangkan ke algoritma kendalinya. Salah satu alternatif yang bisa digunakan adalah dengan menggunakan Generalized Predictive Control (GPC) yang mana algoritma kendalinya didasarkan dari bentuk state space Laguerre MIMO (Zervos dan Dumont,1998). Dengan mengasumsikan sinyal kendali sebagai berikut : u1 ( k ) = u1 (k + 1) = ... = u1 ( k + d1 − 1) u 2 ( k ) = u2 ( k + 1) = ... = u2 ( k + d2 − 1) u3 ( k ) = u3 ( k + 1) = ... = u3 (k + d3 − 1) maka dapat dituliskan sebagai berikut : L1 ( k + d1 ) = A1d1 L1 ( k ) + ( A1d1−1 + ... + I ) B1u1 ( k )
T 23
T C33
Gbr.10 Grafik strategi kendali adaptif (Huzmezan,2004)
(26)
(27)
Parameter diatas dapat dicari dengan menggunakan metode recursive least squares (RLS). Metode ini digunakan ketika parameter suatu persamaan aljabar diidentifikasi secara berulang (Chen, 1998). Solusi recursive least squares dapat ditunjukkan pada persamaan (28) dan persamaan (29) berikut : P(k −1)φ (k ) C( k) = C(k −1) + [ y( k) − CT ( k −1)φ (k )] λ (k) + φ T (k )P(k −1)φ (k ) (28)
P (k − 1)φ (k )φ T ( k ) P( k − 1) (29) λ ( k ) + φ T ( k ) P( k − 1)φ ( k ) dimana λ (k ) merupakan forgetting factor ( 0 < λ ( k ) ≤ 1 ) dan digunakan untuk kompensasi pengabaian data yang lalu. P(k ) P (k ) = P( k − 1) −
merupakan matrik kovarian error. E. Kendali Adaptif MIMO Berbasis Laguerre Series Modelling Konsep kendali adaptif MIMO dikembangkan melalui sistem identifikasi MIMO. Secara umum kendali menggunakan model yang jelas dari sistem identifikas untuk menghitung manipulasi variabel rentang waktu kedepan secara optimal sehingga mampu untuk menggiring proses variabel dari waktu saat ini sampai prediksi (d) mencapai set point. Ilustrasi sederhana dari kendali adaptif ditunjukkan pada gambar 10.
d 2 −1 2 d 3 −1 3
(30)
(31)
L2 ( k + d 2 ) = A L2 ( k ) + ( A
+ ... + I ) B2u2 ( k )
(32)
L3 (k + d3 ) = A L3 (k ) + ( A
+ ... + I ) B3u3 ( k )
(33)
d2 2 d3 3
dimana d1 , d2 dan d3 adalah prediksi horizon setiap loop. Kemudian prediksi keluaran dituliskan sebagai berikut : y1 (k + d1 ) = C11T ( A1d1 − I ) L1 ( k ) + C12T ( A2d1 − I ) L2 ( k ) + C13T ( A3d1 − I ) L3 (k ) + C11T ( A1d1 −1 + ... + I ) B1u1 (k ) + C12T ( A2d1−1 + ... + I ) B2u 2 ( k ) + C13T ( A3d1−1 + ... + I ) B3u 3 ( k ) + y1 ( k )
(34)
T T y 2 ( k + d 2 ) = C21 ( A1d2 − I ) L1 (k ) + C T22 ( A2d 2 − I ) L2 (k ) + C23 ( A3d 2 − I ) L3 (k ) T T + C21 ( A1d 2 −1 + ... + I ) B1u1 ( k ) + C 22 ( A2d2 −1 + ... + I ) B2u 2 (k ) T + C23 ( A3d 2 −1 + ... + I ) B3u3 ( k ) + y2 ( k )
(35)
T T T y 3 (k + d 3 ) = C31 ( A1d 3 − I ) L1 (k ) + C32 ( A2d 3 − I ) L2 (k ) + C33 ( A3d3 − I ) L3 (k ) T + C31 ( A1d3 −1 + ... + I ) B1u1 (k ) + C32T ( A2d 3 −1 + ... + I ) B2u 2 ( k ) T + C33 ( A3d 3 −1 + ... + I ) B3 u3 (k ) + y3 (k )
(36)
Jika didefinisikan, d d d P11T = C11T ( A1 1 − I ) ; P12T = C12T ( A2 1 − I ) ; P13T = C13T ( A3 1 − I ) T T P21T = C T21( A1d2 − I ) ; P22T = C22 ( A2d 2 − I ) ; P23T = C23 ( A3d2 − I ) T T T P31T = C31 ( A1d3 − I ) ; P32T = C 32 ( A2d3 − I ) ; P33T = C33 ( A3d3 − I )
Be11T = C11T ( A1d1 −1 + ... + I ) B1 Be12T = C12T ( A2d1 −1 + ... + I ) B2 Be13T = C13T ( A3d 3 −1 + ... + I ) B3
6
BeT21 = C21T ( A1d 2 −1 + ... + I ) B1 d 2 −1 2
+ ... + I ) B2
d 2 −1 3
+ ... + I ) B3
Be = C ( A T 22
T 22
Be = C ( A T 23
T 23
(Richalet et al, 1978). Berikut ini adalah penurunan model matematis dari nilai referensi orde satu.
y r1 ( k + 1) = α1 y1 (k ) + (1 − α1 ) ysp1
T Be31 = C31T ( A1d 3 −1 + ... + I ) B1 T Be32 = C32T ( A2d 3 −1 + ... + I ) B2
y r 2 ( k + 1) = α 2 y 2 ( k ) + (1 − α 2 ) y sp 2
(47)
y r 3 (k + 1) = α 3 y3 ( k ) + (1 − α 3 ) y sp 3
(48)
dimana 0 < α1 < 1 , 0 < α 2 < 1 dan 0 < α3 < 1 . Lalu ysp1 , ysp 2
T T Be33 = C33 ( A3d 3 −1 + ... + I ) B3
Persamaan (34), persamaan (35) dan persamaan (36) menjadi sebagai berikut : y1 (k + d1) = P11T L1 (k ) + P12T L2 (k ) + P13T L3 (k ) + Be11u1 (k ) + Be12u2 (k ) + Be13u3 (k ) + y1(k )
(37)
dan ysp 3 merupakan set point yang diinginkan. Kemudian prediksi (d) kedepan untuk nilai referensi adalah (49) y r1 ( k + d1 ) = α1d 1 y1 ( k ) + (1 − α1d 1 ) y sp1
y r 2 ( k + d 2 ) = α 2d 2 y 2 ( k ) + (1 − α 2d 2 ) y sp 2
(50)
y r 3 (k + d 3 ) = α 3d 3 y3 ( k ) + (1 − α 3d 3 ) y sp 3
(51)
y2 ( k + d 2 ) = P L ( k ) + P L2 (k ) + P L ( k ) + Be21u1 ( k ) + Be22 u2 ( k ) T 21 1
T 22
T 23 3
+ Be23u3 (k ) + y 2 ( k )
(38)
III. METODO LOGI P ENELITIAN
A. Pemodelan Plant Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa di + Be33 u3 ( k ) + y3 ( k ) (39) dalam proses reduction kiln terdapat beberapa material masukan dan keluaran. Material itu adalah Ore, Coal, Sulphur dengan mengasumsikan bahwa nilai keluaran yang akan (S), Main Burner Oil (MBO) yaitu HSFO, dan udara dari Main datang sama dengan nilai referensi atau set point maka : Burner Air (MBA) dan air pipe (AP1-AP4). Sedangkan Be11u1 (k ) + Be12 u 2 ( k ) + Be13 u 3 (k ) = y r 1 − y1 (k ) − P11T L1 ( k ) − P12T L2 ( k ) material output adalah Calcine, Offgas dan Dust. − P13T L3 (k ) (40) y3 ( k + d3 ) = P L ( k ) + P L2 ( k ) + P L3 ( k ) + Be31u1 ( k ) + Be32 u2 ( k ) T 31 1
T 32
T 33
Be21u1 (k ) + Be22u 2 ( k ) + Be23u 3 (k ) = y r 2 − y2 (k ) − P21T L1 ( k ) − P22T L2 ( k ) − P23T L3 ( k )
(41)
Be31u1( k ) + Be32 u 2 ( k ) + Be33u 3 (k ) = y r 3 − y 3 (k ) − P31T L1 (k ) − P32T L2 (k ) − P33T L3 (k )
(42)
Didefinisikan lagi dengan D1 = yr1 − y1(k ) − P11T L1 (k ) − P12T L2 (k ) − P13T L3 (k )
Gbr.11 Skematik reduction kiln
D2 = yr 2 − y2 (k ) − P21T L1(k ) − P22T L2 (k ) − P23T L3 (k )
Gambar 11 adalah skematik reduction kiln. Dalam memodelkan plant menggunakan hukum kesetimbangan panas. Secara matematis dapat di tuliskan sebagai berikut: (52) q = q −q + q
D3 = yr 3 − y3 (k ) − P31T L1 (k ) − P32T L2 (k ) − P33T L3 (k ) maka dengan menggunakan solusi berupa determinan dapat ditentukan nilai sinyal control sebagai berikut : D1 D2 u1 ( k ) =
u3 ( k ) =
Be12 Be22
Be11
Be13 Be23
Be22 Be32
Be23 Be33
Be11 Be 21
Be12 Be 22
D1 D2
Be 31 Be33 D3 Be11 Be12 Be13 Be21 Be22 Be 23 Be31
Be32
Be 33
Be13 Be23
Be31 D3 Be33 u 2 (k ) = Be11 Be12 Be13
D3 Be32 Be33 Be11 Be12 Be13 Be21 Be31
D1
Be21 D2
(43)
(45)
Be21
Be22
Be23
Be31
Be32
Be33
acc
in
out
gen
dimana qacc adalah panas akumulasi, qin adalah perpindahan panas yang masuk ke sistem, qout adalah perpindahan panas yang keluar dari sistem, dan qgen adalah perpindahan panas dari dalam sistem yang ditimbulkan karen`a reaksi. Sistem yang akan dimodelkan berupa MIMO sehingga dalam memodelkan harus mencari pula hubungan antar loop. (44) Hubungan yang bisa terjadi antar loop adalah perpindahan panas gas dan perpindahan panas pada solid. Secara langsung panas yang dihasilkan gas loop yang paling dekat dengan burner akan mempengaruhi loop setelahnya. Sedangkan solid kondisi yang paling jauh dari burner akan menjadi produk awal yang akan diproses di loop yang mendekati burner. Gambar 3.3 merupakan ilustrasi model plant secara MIMO yang akan dimodelkan beserta hubungan antar loop.
Selain itu nilai referensi trayektori berupa orde satu sehingga diharapkan mampu menggiring proses variabel
(46)
7 Berdasarkan data-data Plant di lapangan maka : •
q f = m f .45
J sm
Pemodelan solid : Dengan memasukkan data-data lapangan didapatkan persamaan untuk reduction kiln Solid sebagi berikut:
Gbr.12 Perpindahan panas antar loop di reduction kiln (Konrad S Stadler, Jan Poland, Eduardo Gallestey.2010) Dalam setiap loop sendiri terjadi perpindahan panas juga yaitu antara gas dengan solid, gas dengan wall dan solid dengan wall . Dari asumsi-asumsi sebelumnya dapat diturunkan beberapa persamaan kesetimbangan panas termodinamik berdasarkan skematik perpindahan panas yang ditunjukkan pada gambar 13.
870,69Q s
∂Ts ∂T +4.100,94 s = 0,41 ( Tg - Ts ) +0,73 ( Tw - Ts ) ∂z ∂t
(58)
Transformasi laplace dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan diferensial parsial yang ditulis sebagai berikut: 4100 , 94 sT s ( z , s ) + 1,14 T s ( z , s ) = 0 , 41 T g ( z ) + 0 , 73 T w ( s ) − 870 , 69 Q s
∂ [ T s ( z , s )] ∂z
(59)
Sehingga; Ts ( z , s ) =
1 ∂ [ 0 , 41 T g ( z ) + 0 , 73 T w ( s ) − 870 , 69 Q s [T s ( z , s )]] ( 4100 , 94 s + 1,14 ) ∂z
(60)
untuk TC4 maka: ∂ ∆T ( z, s) Ts 2 ( z, s) − Ts1 ( z, s) [Ts 2 ( z, s)] = s 2 = ∂z ∆z 57 − 47 untuk TC6 maka: ∂ ∆T ( z, s) Ts3 ( z, s ) − Ts 2 ( z, s) [T3 ( z, s)] = s 3 = ∂z ∆z 65 − 57
Gbr.13 Perpindahan panas pada reduction kiln Pemodelan gas : 1,58
∂T g = 0,03 (Tw −T g ) + 0,01 (T s −T g ) + 0,02q AP + 0,02q f + 5,372 (Tgl − Tg ) ∂z
(53)
Dengan mengelompokan variabel yang sama didapat: ∂T g + (3,426 − 0,01Q ∂z
AP1
ΔH )T g = 0,02T w + 0,006T − 0,01Q
s
AP1 ΔHT a + 0,01Q f ΔH f + 3, 4T gl
(54)
Dengan metode 0ewtonian dan Euler didapatkan solusi : Untuk TC8 : (55) Tg4 (∆17 ) = Tg 5 + 17(a 2 − Tg 5 a1 ) Untuk TC6 : (56) Tg3 (∆8 ) = Tg 4 + 8(a2 − Tg 4 a1 ) Untuk TC4: (57) Tg2 (∆8 ) = Tg 3 + 8(a2 − Tg 3a1 ) dimana : a1 = (3,426 − 0,01Q AP ΔH ) dan
a2 = 0,02Tw + 0,006T s − 0 .01Q AP ΔHT a + 0,01Q f ΔH f + 3,4Tgl Panas yang berasal dari nyala api (flame) dirumuskan: •
q f = m f .ΔH f
untuk TC8 maka: ∂ ∆T ( z, s) Ts4 ( z, s) − Ts3 (z, s) [Ts4 ( z, s)] = s 4 = ∂z ∆z 73 − 65
(61)
(62)
(63)
Pemodelan wall : Solusi persamaan perpindahan panas pada wall adalah sebagai berikut : ∂T (64) 7,48 w =1,46( Tg -Tw ) +0,73( Ts -Tw ) -0,41( Tw -Ta ) ∂t kemudian variabel yang sama dijadikan satu maka: 7, 48
∂Tw +2,6Tw = 1, 46Tg (z ) +0,73Ts ( z, t ) -0, 41Ta ( t ) ∂t
(65)
dengan menggunakan transformai laplace sebagai solusi persamaan diferensial, maka menjadi: Tw ( s) =
1 1,46Tg ( z ) +0,73Ts ( z,s) - 0,41Ta ( s) (7, 48s+2,6)
(66)
Pembacaan suhu onboard reduction kiln ditunjukkan oleh persamaan (67).
Tonboard =
2 (T g − Ts ) + T s 3
(67)
suhu onboard adalah gabungan antara suhu gas dan suhu solid.
8 Pemodelan VSD Air Pipe
%VSD
1,17 2s + 1
Flow udara
Gbr.14 Diagram blok untuk AP2, AP3, AP4 B. Perancangan Identifikasi Sistem Langkah-langkah yang digunakan dalam perancangan identifikasi sistem MIMO menggunakan deret Laguerre adalah sebagai berikut : 1. Menentukan orde Laguerre (01 , 02 dan 03 ). Dalam hal ini semua orde didesain memiliki nilai yang sama untuk memudahkan proses identifikasi. 2. Menentukan time scale (a1 , a2 dan a3 ) dan time sampling (Ts1 , Ts2 dan Ts3 ). 3. Menghitung matrik Laguerre (A1 , A2 dan A3 ) dan vektor Laguerre (B1 , B2 dan B3 ) dengan menggunakan persamaan (22.a) dan persamaan (22.b). 4. Langkah selanjutnya adalah melakukan pembaruan keadaan (state update)menggunakan persamaan 23, bahwa state yang akan datang bergantung pada state saat ini dan masukan saat ini. Nilai awal matrik inisial state sama dengan matrik zeros untuk 0x1 pada setiap masukan. 5. Perhitungan koefisien deret Laguerre dari persamaan (2.24) dengan menggunakan metode recursive least squares (RLS). Solusi RLS ditunjukkan dengan persamaan (28) dan persamaan (29) dengan menetapkan koefisien awal sama dengan nol, matrik kovarian error sama dengan matrik identitas dikali 1000 dengan banyak elemen (01 +02 +03 )x(01 +02 +03 ) untuk setiap keluaran.
C. Perancangan Kendali Adaptif Langkah-langkah dalam merancang kendali adaptif MIMO berbasis Laguerre series modelling ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menetapkan nilai control horizon (d1 , d2 dan d3 ). 2. Menentukan kepekaan nilai referensi atau set point ( α1 ,α 2 dan α 3 ) 3. Asumsikan ketika sampel sudah sampai di d1 , d2 dan d3 maka keluaran sistem kendali sama dengan nilai referensinya yaitu:
y 1 (k + d 1 ) = y r1 = y sp1 y 2 (k + d 2 ) = y r2 = y sp2 y 3 (k + d 3 ) = y r3 = y sp3
4. Menentukan nilai referensi dengan menggunakan persamaan (49), persamaan (50) dan persamaan (51). 5. Menghitung keluaran pengendali (u1 (k), u2 (k) dan u3 (k)) berdasarkan persamaan (43), persamaan (44) dan persamaan (45).
Gbr.16 Flowchart sistem kendali adaptif berbasis Laguerre series modeling IV. HASIL P ENELITIAN
Gbr.15 Flowchart program identifikasi
A. Validasi Model Open Loop Berdasarkan simulasi diperoleh bahwa untuk laju aliran udara dari AP2 sebesar 358 Nm3/min maka suhu di TC4 pada keadaan steady sebesar 891,22o C, untuk laju aliran udara dari AP3 sebesar 259 Nm3/min maka suhu di TC6 pada keadaan steady sebesar 881,4o C dan untuk laju aliran udara dari AP4 sebesar 44 Nm3/min maka suhu di TC8 pada keadaan steady sebesar 718,32o C. Sedangkan pada data lapangan nilai suhu
9 punch reading di TC4 sekitar 894o C dengan error sebesar 2,78 o C atau 0,31% error, punch reading di TC6 sekitar 892o C dengan error sebesar 10,06 o C atau 1,18% error dan punch reading di TC8 sekitar 743o C dengan error sebesar 24,68o C atau 2,76% error. Grafik respon open loop dapat dilihat pada gambar 17, gambar 18 dan gambar 19.
Gbr.21 Respon sistem identifikasi suhu pada TC6
Gbr.17 Respon open loop suhu onboard TC4
Gbr.22 Respon sistem identifikasi suhu pada TC8
Gbr.18 Respon open loop suhu onboard TC6
TABEL I RMSE RESPON LAGUERRE DENGAN RESPON LAPLACE Suhu Onboard RMSE 8o 1 TC4 3,77% 2 TC6 3,62% 3 TC8 3,49% C. Pengujian Tracking Set Point 0aik dan Turun Hasil respon sistemnya dapat dilihat pada gambar 23, gambar 24 dan gambar 25 berikut ini :
kendali otomatis
Gbr.19 Respon open loop suhu onboard TC8 kendali manual
B. Hasil Identifikasi Sistem MIMO dengan Laguerre Gambar 20, gambar 21 dan gambar 22 menunjukkan grafik hasil sistem idenifikasi MIMO menggunakan deret Laguerre pada setiap suhu onboard.
Gbr.23 Respon uji tracking set point pada suhu onboard TC4
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.20 Respon sistem identifikasi suhu pada TC4 Gbr.24 Respon uji tracking set point pada suhu onboard TC6
10
kendali manual
kendali otomatis kendali otomatis kendali manual
Gbr.25 Respon uji tracking set point pada suhu onboard TC8 TABEL III KRITERIA KUALITATIF PERFORMANSI UJI TRACKI0G SET POI0T TURUN 8o Kriteria TC4 TC6 TC8 Performansi 1 Rise time (Tr) 4menit 2menit 64menit 2 Overshoot maksimum (Mp) 11,46% 0% 0% 3 Peak time (Tp) 5menit 2menit 64menit 4 Settling time (Ts) 112menit 142menit 64menit 5 Steady state error (ESS) 2,98% 1,67% 1,61% 6 Standar deviasi error 17,5 6,28 5,14 TABEL III KRITERIA KUALITATIF PERFORMANSI UJI TRACKI0G SET POI0T TURUN 8o Kriteria TC4 TC6 TC8 Performansi 1 Rise time (Tr) 43menit 44menit 20menit 2 Overshoot maksimum (Mp) 2,09% 0,35% 1,4% 3 Peak time (Tp) 71menit 70menit 70menit 4 Settling time (Ts) 105menit 115menit 100menit 5 Steady state error (ESS) 2,29% 0,91% 0,55% 6 Standar deviasi error 20,4 8,92 4,84 D. Uji Beban (Load) Pada pengujian beban ini diharapkan pengendali mampu menyesuaikan aksi kendalinya apabila terjadi perubahan kecepatan solid. Pengujian yang dilakukan berupa melakukan perubahan nilai awal 0,54 0m3 /min menjadi 0,34 0m3 /min dan selanjutnya dari 0,54 0m3 /min menjadi 0,94 0m3 /min. Setelah diberikan pengurangan dan penambahan beban maka suhu akan berubah dan secara otomatis keluaran pengendalinya juga ikut berubah agar respon tetap steady pada nilai set point. Gambar 26, Gambar 27 dan Gambar 28 menunjukkan respon sistem apabila mendapatkan pengujian penurunan beban sedangkan gambar 29 menunjukkan aksi kendali yang diberikan pengendali saat terjadi penurunan beban. Indikasi penurunan beban berupa bertambahnya kecepatan solid yang ada pada reduction kiln.
Gbr.26 Respon uji penurunan beban pada TC4
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.27 Respon uji penurunan beban pada TC6
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.28 Respon uji penurunan beban pada TC8
Gbr.29 Aksi kendali uji penurunan beban Gambar 30, gambar 31 dan gambar 32 menunjukkan respon sistem apabila mendapatkan pengujian kenaikan beban sedangkan gambar 33 menunjukkan aksi kendali yang diberikan saat terjadi kenaikan beban. Kenaikan beban diindikasikan dengan bertambahnya kecepatan solid yang ada dalam reduction kiln.
11
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.30 Respon uji kenaikan beban pada TC4
kendali otomatis kendali manual
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.34 Respon uji noise TC4
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.35 Respon uji noise TC6 Gbr.31 Respon uji kenaikan beban pada TC6
kendali manual
kendali manual
kendali otomatis
kendali otomatis
Gbr.36 Respon uji noise TC8 Gbr.32 Respon uji kenaikan beban pada TC8 TABEL IV KRITERIA KUALITATIF PERFORMANSI UJI 0OISE 8o Suhu Kriteria Kualitatif Onboard Steady State Standar Deviasi Error (ESS) Error 1 TC4 1,62% 3,68 2 TC6 0,34% 2,26 3 TC8 0,47% 1,11
Gbr.33 Aksi kendali uji kenaikan beban E. Uji 0oise Pengujian noise dilakukan dengan menambahkan sinyal noise gaussian pada keluaran plant sehingga proses (PV) akan mengandung noise. Parameter yang diberi nilai pada pengujian noise adalah variansi yang diambil dari data lapangan yaitu sebesar 38,5%. 0oise diberikan setelah respon sistem sudah dalam kondisi steady terkendali dengan mengubahnya dengan menggunakan timer. Gambar 34, gambar 35 dan gambar 36 menunjukkan respon suhu onboard saat diberi noise.
F. Uji Gangguan Untuk hasil respon dari uji gabungan ini dapat dilihat pada gambar 37, gambar 38 dan gambar 39
kendali otomatis kendali manual
Gbr.37 Respon uji gabungan pada TC4
12
5.
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.38 Respon uji gabungan pada TC6
maksimum 1,4%, steady state error 0,55% dan settling time 100 menit. Sistem kurang baik dalam memberikan respon saat terjadi kenaikan beban dan penurunan beban terutama pada TC4.
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk mengembangkan kendali adaptif MIMO berbasis Laguerre series modeling didasarkan pada pemodelan pengaruh antar keluaran. Pada penelitian diharapkan dapat mengembangkan metode optimasi untuk mendapatkan nilai time scale dan orde Laguerre yang paling baik. VI. DAFTAR P USTAKA
kendali manual
kendali otomatis
Gbr.39 Respon uji gabungan pada TC8 V. KESIMPULAN Dari hasil pengujian dan analisis data yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Telah dilakukan pemodelan menggunakan persamaan matematis hukum kesetimbangan energi dengan steady state error sebesar 0,31 % dari data suhu lapangan untuk TC4, steady state error sebesar 1,18 % dari data suhu lapangan untuk TC6 dan steady state error sebesar 2,76 % dari data suhu lapangan untuk TC8. Validasi ini dilakukan secara open loop. 2. Pemodelan plant reduction kiln menggunakan MIMO deret Laguerre dengan menetapkan orde sebanyak 12, time sampling sebesar 1 detik untuk masing-masing masukan, time scale atau pole 0,05 untuk masukan AP2, 0,01 untuk masukan AP3 dan 0,208 untuk masukan AP4. Hasil identifikasi menghasilkan RMSE sebesar 3,8% untuk TC4, 3,7% untuk TC6 dan 3,5% untuk TC8. Hasil identifikasi untuk model tersebut mampu mengikuti respon plant pada kondisi tunak (steady). Untuk kondisi dinamik atau transien masih belum baik ditandai dengan overshoot dan osilasi. 3. Pengujian set point turun sebesar 820o C pada TC4 menghasilkan overshoot maksimum 11,46%, steady state error 2,98% dan settling time 112 menit. Pengujian set point turun sebesar 780o C pada TC6 menghasilkan overshoot maksimum 0%, steady state error 1,67% dan settling time 142 menit. Pengujian set point turun sebesar 795o C pada TC8 menghasilkan overshoot maksimum 0%, steady state error 1,61% dan settling time 64 menit. 4. Pengujian set point naik sebesar 940o C pada TC4 menghasilkan overshoot maksimum 2,09%, steady state error 2,29% dan settling time 105 menit. Pengujian set point turun sebesar 980o C pada TC6 menghasilkan overshoot maksimum 0,35%, steady state error 0,91% dan settling time 115 menit. Pengujian set point turun sebesar 995o C pada TC8 menghasilkan overshoot
Abdel, Latif Elshafei. 1991. “Adaptive Predictive Control : Analysis and Expert Implementation”. Department of Electrical and Computer Engineering, University of British Columbia, Canada. Chen, Huiping. 1998. “Identification and Control of White Water Recycle Systems”.Department of Electrical and Computer Engineering, University of British Columbia, Canada. Constantine, Chirstos Zervos. 1988. “Adaptive Control Based on Orthonormal Series Representation”. Department of Electrical and Computer Engineering, University of British Columbia, Canada. Dumont, G. A. 1986. “Application of Advance Control Methods in the Pulp and Paper Industry”.Automatica. Dumont, G. A. 1981. “Self Tuning Regulator: Principles, Present Status and Significance”.Pulp and Paper, Canada. Huaijing Du. 1998. “Multivariable Predictive Control of A TMP Plant”. Department of Electrical and Computer Engineering, University of British Columbia, Canada. Huzmezan, Mihai. 2004. ”A New Generation of Adaptive Model Based Predictive Controllers Applied in Batch Reactor Temperature Control”. Canada, Universal Dynamics Technologies Inc. Oliver, D, Philip. 1997. “System Identification Using Laguerre Functions”. Department of Electrical and Computer Engineering, Marcer University, Macon. Proctec Team. 2005. “Basic Overview: Pembakaran untuk Reduction Kiln PT INCO Tbk Sorowako”. slide presentasi CRO. PT INCO Tbk Sorowako. Proctec Team. 2006. “Nickel Reduction Kiln#1: BrainWave Application Report”. Canada, Universal Dynamics Limited. R.B. Michaelson. 1978. “A Summary of Thermomechanical Pulping Plant Advanced Control Applications”. In ISA PUPID/PCMD Symp pages 65-75, Portland, Oregon. Spang, H.A. 1972. “A Dynamic Model of a Cement Kiln”. Pergamon Press, Great Britain. Stadler, Konrad S. Jan Poland, Eduardo Gallestey.2010. “Model Predictive Control of A Rotary Cement Kiln”. Switzerland Limited. Tsang, Brian. Paul, Manan. 2005. “Metsim Reduction Kiln Model for PT Inco Sorowako”, ITSL Process Engineering & Strategic Study. Wang, Liuping. 2003. “Discrete Model Predictive Controller Design Using Laguerre Function”.School of Electrical
13
and Computer Engineering, Royal Melbourne Institute of Technology, Australia. Yulianto. 2010. “Perancangan Kontrol Prediktif Berbasis Adaptive Laguerre State Space Model pada Sistem Kontrol Temperatur Onboard TC2 Reduction Kiln 3 dI PT INCO SOROWAKO”. Teknik Fisika, Institut Teknologi Sepuluh 8ope mber, Surabaya. VII. BIODATA P ENULIS Penulis berasal dari kabupaten Magetan , propinsi Jawa Timur. Lahir pada tanggal 1 Juni 1988, merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di SDN Sukowinangu 3 dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2002, SMP Negeri 1 Magetan dari tahun 2002 sampai tahun 2004, SMA Negeri 1 Magetan dari tahun 2004 sampai tahun 2007, kemudian melanjutkan pendidikan S1 di Jurusan Teknik Fisika ITS Surabaya pada tahun 2007 dengan pilihan bidang minat Rekayasa Instrumentasi dan Kendali. Kecintaan penulis terhadap Instrumentasi dan Kendali terutama dalam bidang industri, Sistem Cerdas dan Process Control Design. Selama kuliah di jurusan Teknik Fisika, penulis aktif di Laboratorium Pengukuran Fisis sebagai asisten. Selain itu penulis juga belajar tentang dunia organisasi lewat HMTF dan PMK ITS Surabaya. Penulis juga belajar tentang dunia pengajaran dalam Pendidikan Sosial Masyarakat sebagai tutor untuk anak-anak setingkat SMP , SMA dan anak jalanan. Penulis juga gemar bermain musik, jogging dan sepak bola. Penulis dapat dihubungi di:
[email protected].