SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176
PERANCANGAN ALAT PENGENDAP AIR LIMBAH KOTA BERDASARKAN OPTIMASI PROSES PENGENDAPAN DENGAN RADIOISOTOP I-131 Ayunita Iriyanti, Sugili Putra, Suryo Rantjono, Teknokimia Nuklir STTN-BATAN Yogyakarta Jalan Babarsari Kotak Pos 6101 YKBB Yogyakarta 55281
Abstrak PERANCANGAN ALAT PENGENDAP AIR LIMBAH KOTA BERDASARKAN OPTIMASI PROSES PENGENDAPAN DENGAN RADIOISOTOP I-131. Proses pengolahan limbah kota yang selama ini dilakukan memerlukan waktu proses yang lama dan lahan yang sangat luas. Dilakukan penelitian ini sebagai alternatif pengolahan air limbah kota yang lebih efisien. Berdasarkan penelitian ini didapatkan hasil bahwa dosis penambahan tawas dan kapur dinyatakan dalam persamaan y = - 0,000226428 + (4,22512x10-5) (b) – (0,03479874) (c) , dengan y = konsentrasi SS (gram), b = kebutuhan tawas (ppm) dan c = kebutuhan kapur (gram). Hubungan antara konsentrasi Suspended Solid (SS) dan kecepatan pengendapan dinyatakan dalam persamaan y = -0.026 ln(x) - 0.1517 dengan y = kecepatan pengendapan (gram/ml) dan x = konsentrasi SS (gram). Desain alat proses pengendapan untuk debit aliran 0.1794 m3/detik disarankan adalah tangki pengadukan berukuran diameter 4 m dengan tinggi 7.2 m dan tangki pengendapan berukuran panjang 9 m, lebar 6 m, kedalaman 9 m, tinggi 3 m. Kata kunci
: Air limbah kota, isotop I-131, proses pengendapan, desain alat
Abstract CITY WASTE WATER SETTLER DESIGN BASED ON SETTLEMENT PROCESS OPTIMIZATION BY USING I-131 RADIOISOTOPE. City wastewater treatment process has been done with a long process that requires time and a vast land. This research was conducted as an alternative to urban waste water treatment more efficient. Based on this study showed that the addition of alum and lime dose is expressed in the equation y = - 0.000226428 + (4.22512 x10-5) (b) - (0.03479874) (c), with y = concentration of SS (grams), b = alum requirement (ppm) and c = lime requirement (grams). The relationship between Suspended Solid (SS) concentration and rate of sedimentation is expressed in the equation y = -0026 ln (x) - 0.1517 with y = rate of sedimentation (grams / ml) and x = concentration of SS (grams). Design tools for the deposition process flow rate is 0.1794 m3 / recommended mixing tank 4 m diameter with a height of 2.7 m and a length of sedimentation tank 9 m, width 6 m, depth 9 m, hight 3 m. Keywords : Waste water of the city, I-131 isotope, precipitation process, design tools
PENDAHULUAN Makhluk hidup yang ada di bumi ini tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan air. Air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi ini. Tidak ada kehidupan seandainya di bumi tidak ada air. Air yang relatif bersih didambakan oleh Ayunita Iriyanti, dkk
685
manusia, baik untuk keperluan sehari-hari, untuk keperluan industri, untuk kebersihan sanitasi kota, maupun untuk keperluan pertanian dan lain sebagainya.[1] Pertumbuhan penduduk di kota Yogyakarta ini dapat menyebabkan berbagai masalah, salah satunya adalah masalah limbah air kota yang dihasilkan. Apabila air limbah tersebut tidak STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 diorganisir dan diolah dengan baik, dapat memicu masalah-masalah lain. Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem yang efektif dan efisien untuk menanganinya. Hal ini disebabkan oleh Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di Sewon Bantul masih belum cukup karena di sana hanya mampu menampung 50 persen KK di Kota Yogyakarta. [2] Metode pengolahan limbah yang dewasa ini digunakan dapat dibagi menjadi pengolahan primer atau pengolahan fisika, pengolahan sekunder atau pengolahan biologis, dan pengolahan tersier[3]. Teknologi pengolahan limbah yang digunakan di IPAL adalah pengolahan sekunder. Proses pengolahan air limbah secara biologis aerobik adalah dengan memanfaatkan aktifitas mikroba aerob, untuk menguraikan zat organik yang terdapat dalam air limbah, menjadi zat inorganik yang stabil dan tidak memberikan dampak pencemaran terhadap lingkungan. [4] Proses yang sekarang dilakukan adalah terlalu lama dan membutuhkan biaya besar terutama dalam opererasi aerator yang berdaya 30kW sebanyak 4 buah. Selain itu, pembangunan IPAL juga memerlukan wilayah yang luas terkait dengan luas kolam-kolam yang harus dibangun. Maka perlu dilakukan penelitian untuk mempercepat proses.[5] Seperti yang telah diketahui umum, bahwa tawas dan kapur merupakan bahan pengendap yang baik digunakan dalam pengolahan air. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penelitian optimasi terhadap jumlah tawas dan kapur agar diperoleh dosis penambahan yang tepat. Metode untuk mencari titik optimum menggunakan teknik penanda yaitu dengan penambahan radioisotop I131. Selain itu, pada penelitian ini juga akan dilakukan untuk perancangan alat pengendapan dengan berdasarkan perhitungan kapasitas air masuk serta konsentrasi Suspended Solid (SS) air limbah. Perancangan alat proses pengendapan menggunakan asumsi gerak jatuh bebas parabola. Partikel pengotor yang akan mengendap dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan partikel itu sendiri dan kecepatan aliran air yang membawa partikel. TEORI Kaolin merupakan salah satu mineral yang terdapat pada tanah liat atau lempung dengan kualitas tinggi, memiliki kandungan besi rendah, dan bewarna putih. Kaolin juga banyak digunakan pada industri kertas, farmasi, industri makanan sebagai zat aditif pada makanan, industri pasta gigi, cat dan kosmetik. Selain itu kaolin juga digunakan sebagai zat penyerap pada teknik perunut. [6] Alum atau tawas merupakan bahan koagulan, STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
686
yang paling banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis dan murah, mudah didapatkan di pasaran serta mudah penyimpanannya.[7] Pada pengolahan air kotor, kapur dapat mengurangi kandungan bahan-bahan organik. Cara kerjanya adalah kapur ditambahkan untuk mereaksikan alkalibikarbonat serta mengatur pH air sampai sehingga menyebabkan pengendapan. [7] Teknik penandaan (labelling) adalah suatu metode yang paling efektif untuk memberi “tanda” pada suatu senyawa tertentu menggunakan radioisotop sehingga perlakuan senyawa tersebut dapat diamati dengan mengamati perlakuan radioisotop dalam senyawa yang telah diberi “tanda” . Keunggulan pemakaian radioisotop adalah sebagai berikut : [8] 1. Radioisotop tidak mempengaruhi analisis selama proses berlangsung. 2. Radioisotop walaupun dalam jumlah sedikit, dapat dideteksi dengan detektor nuklir yang sangat peka. Radioisotop I-131 digunakan sebagai penanda pada proses pengendapan limbah cair. Radoisotop Iodium 131 adalah radioisotop dengan lambang I-131 yang terbentuk dalam reaktor nuklir, memiliki umur paro pendek yaitu 8,05 hari dan memancarkan radiasi gamma (γ). [6] Tanah liat memiliki daya ikat yang besar baik dalam kondisi basah maupun kering. Tanah liat dapat mengikat radioisotop I-131 sehingga tanah liat digunakan sebagai senyawa bertanda dalam proses pengendapan limbah. Perlakuan sampel dapat diamati dengan cara mengamati perlakuan radioisotop I-131 dalam tanah liat yang telah ditambahkan dalam sampel. Kesempurnaan proses dapat diamati dengan mengukur cacah I-131 dalam filtrat hasil pengendapan. [6] Dalam proses pengendapan, kapur berperan sebagai koagulan. Semakin banyak kapur yang ditambahkan maka akan semakin banyak pula partikel yang terendapkan. Untuk mengetahui jumlah tanah liat, kapur dan tawas yang harus ditambahkan agar sesuai dengan baku mutu air yang disyaratkan, dilakukan optimalisasi. Metode penandaan menggunakan radioisotop I-131 dapat digunakan untuk proses optimasi. Kebutuhan bahan pengendap yaitu tawas dan kapur dapat dibuat persamaannya dengan menggunakan metode leastsquare atau kuadrat-terkecil. Karena kebutuhan tawas dan kapur bergantung pada konsentrasi Suspended Solid (SS), maka persamaan ini memuat variable konsentrasi sebagai variabel tetap dan nilai tawas dan kapur sebagai variable bebas. Untuk dapat menentukan ukuran alat proses pengendapan, perlu diketahui kecepatan pengendapannya. Konsentrasi SS akan mempengaruhi kecepatan pengendapan. Hal ini Ayunita Iriyanti, dkk
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 berkaitan dengan adanya interaksi antara partikel di dalam air ketika akan mengendap. Interaksi antar partikel ini dapat membuat kecepatan pengendapan menjadi lebih cepat ataupun lebih lambat. Pada konsentrasi SS kecil, maka partikel akan lebih mudah mengendap dikarenakan ruang/daerah yang dilewati lebih luas sehingga lebih mudah turun mengikuti gaya beratnya. Gaya yang melawan gaya berat partikel tersebut hanya berasal dari gaya apungnya. Pada konsentrasi SS tinggi, berarti makin banyak partikel yang akan mengendap. Kecepatan pengendapannya justru berkurang karena pada konsentrasi tinggi partikel akan saling bergesekan yang menjadikan makin sukar mengendap. Dalam perhitungan alat proses pengendapan, secara sederhana diilustrasikan pada Gambar 1. Titik A digunakan sebagai acuan yaitu sebagai titik awal partikel yang akan mengendap. Partikel (SS dalam air limbah kota) yang akan terlempar dan mengendap dianalogikan dengan sebuah benda yang dilempar dengan sudut tertentu secara parabola dengan posisi horizontal (benda jatuh di depan titik awal lemparan). Hanya saja partikel yang akan diendapkan ini horizontal tetapi terlempar ke arah yang cenderung ke bawah dengan sudut kemiringan tertentu. Untuk menentukan panjang tangki pengendapan digunakan rumus pada saat benda mencapai jarak terjauh. Kecepatan air limbah yang masuk ke dalam tangki pengendapan dipengaruhi oleh debit aliran awal. Nilai kecepatan endapan jauh lebih kecil daripada kecepatan aliran air. Oleh karena itu,
ditentukan terlebih dahulu ukuran tangki yang menghasilkan kecepatan yang sama dengan kecepatan endapannya.
valiran
Q A
(1)
dengan Q = debit aliran air A = luas bidang aliran Luas bidang aliran dicari dengan perbandingan antara tinggi (h) dikalikan lebar tangki (l), seperti pada Gambar 1 atau dapat dirumuskan :
A tan
n l n atau n tan . p p
(2)
Gambar 1. Rancangan Tangki Pengendapan
Gambar 2. Mekanisme Pengolahan dan Analisis
Ayunita Iriyanti, dkk
687
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 BAHAN Air limbah sebelum pengolahan di IPAL, tawas teknis dan kapur yang dibeli di pasaran, Radiosotop I-131 aktivitas 29.6mCi pada 1 April 2010, aquadest.
3.
METODE 1.
4.
Penandaan Tanah Liat
Peralatan yang digunakan: gelas beker, timbangan analitis, ayakan ukuran 120 mesh, batang pengaduk, pompa vakum. tanah liat ditimbang, dihaluskan dan diayak dengan ukuran 120 mesh, kemudian dimasukkan dalam gelas beker dan ditambahkan aquadest 1000 mL. Larutan tanah liat diaduk hingga rata dan didiamkan hingga terbentuk endapan, kemudian disaring menggunakan kertas saring dengan bantuan pompa vakum. Filtrat hasil penyaringan kemudian ditambah Radioisotop I-131. 2.
Pengukuran Suspended Solid (SS)
Peralatan yang digunakan : gelas beker, timbangan analitik, gelas ukur, oven. Gelas beker yang telah dicuci bersih, dikeringkan dan ditimbang. Sampel air limbah diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam gelas beker kemudian dikeringkan dalam oven suhu 1000C. Setelah kering, dilakukan penimbangan beker gelas sampai mencapai berat konstan. Berat endapan (SS) dihitung dari selisih massa gelas beker sebelum dan sesudah pengeringan sebagai berikut : konsentras i
berat endapan
(4)
5.
4.
rpd (rotasi per detik), kemudian dipipet 3ml dan disaring. Filtrat hasil penyaringan sebanyak 1000µl dimasukkan dalam plancet dan dikeringkan menggunakan lampu Infra merah, kemudian dicacah menggunakan pencacah detektor Geiger Muller. Kapur 0,005 gram dimasukkan pada air limbah, dan diulangi dengan pemberian tawas dan kapur secara bergantian sampai ditemukan jumlah optimum tawas dan kapur yang ditambahkan. Dibuat grafik cacah I-131 dalam filtrat sebagai fungsi penambahan tawas dan kapur dibuat. Penentuan Kecepatan Pengendapan
Peralatan yang digunakan : gelas beker, kolom pengendap, timer (stopwatch), timbangan analitik, oven, kemudian ditentukan kecepatan pengendapan dengan cara sebagai berikut: 1. Disiapkan 25 ml umpan air limbah kota, kemudian dimasukkan dalam kolom dan didiamkan dalam waktu tertentu sampai terbentuk fasa endapan dan fasa beningan. 2. Endapan 10ml diambil, dimasukkan dalam gelas beker (diketahui berat kosongnya) kemudian dikeringkan dalam oven suhu 1000C. 3. Geker gelas ditimbang sampai mencapai berat konstan dan berat endapan dihitung dari selisih massa gelas beker sebelum dan sesudah pengeringan. 4. Kecepatan pengendapan dihitung dengan cara sebagai berikut:
umpan yang dimasukkan
3.
Optimasi Jumlah Tanah Liat, Tawas, dan Kapur
Peralatan yang digunakan : gelas beker, pipet ukur, pengaduk magnet (stirrer), timbangan analitik, alat cacah detektor Geiger Muller. Disiapkan bahan pengendap yaitu tawas (ditimbang sebanyak 10 mg dan dilarutkan dalam 1 L aquadest sehingga diperoleh larutan tawas 10 mg/L atau 10 ppm) dan kapur (berupa serbuk diayak dengan ukuran 120 mesh) kemudian dilakukan optimasi jumlah tanah liat, tawas, dan kapur dengan cara sebagai berikut: 1. Sebanyak 250ml sampel air limbah dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambah sebanyak 7,5ml tanah liat yang sudah dilabel ditambahkan dalam sampel yang telah disiapkan. 2. Tawas 1ml ditambahkan ke dalam air limbah dan diaduk dengan kecepatan pengadukan 1
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
688
kecepatan pengendapa n
berat endapan
(5)
waktu pengendapa n
5. konsentrasi pengotor dihitung dengan cara sebagai berikut: konsentras i
berat endapan
(6)
umpan yang dimasukkan
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Optimasi Jumlah Tanah liat, Tawas, dan Kapur
Penelitian menggunakan penanda I-131 dilakukan untuk mengetahui kesempurnaan proses pada koagulasi limbah air kota. Untuk menentukan jumlah optimum tawas dan kapur dibuat grafik hubungan antara cacah I-131 pada filtrat dengan variasi penambahan jumlah tawas dan kapur.
Ayunita Iriyanti, dkk
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 Tabel 1. Data Optimasi Jumlah Tawas Dan Kapur Pada Pengendapan Air Limbah Kota
Cacah
No.
Jumlah tawas (ppm)
Jumlah kapur (gram)
1
2
3
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
0 10.12145749 10.12145749 20.452036 20.452036 31.00055921 31.00055921 41.77642128 41.77642128 52.78963714 52.78963714 69.68152903 69.68152903 86.92290834
0 0 0.005204082 0.005204082 0.010412415 0.010412415 0.015731564 0.015731564 0.021275042 0.021275042 0.027608375 0.027608375 0.032710416 0.032710416
2844 2841 2835 2571 2673 2385 2172 1929 1905 1995 2157 2613 2397 2730
2819 2619 2619 2389 2772 2514 2105 1951 1812 2136 2274 2757 2316 2832
2735 2832 2682 2529 2511 2385 2145 1995 1647 2130 2229 2851 2175 2577
Rata-rata
% I dalam filtrat
2799.33 2764 2712 2496.33 2652 2428 2140.67 1958.33 1788 2087 2220 2740.33 2296 2713
100 98.7378 96.8802 89.176 94.7368 86.7349 76.4706 69.9571 63.8724 74.5535 79.3046 97.8924 82.0195 96.9159
Gambar 3 menyatakan hubungan antara antara %I dalam filtrat, penambahan kapur, dan penambahan tawas. %I dalam filtrat adalah perbandingan antara cacah awal sebelum penambahan tawas ataupun kapur dan cacah setelah adanya penambahan tawas ataupun kapur.
Gambar 3.Grafik Optimasi Tawas dan Kapur
Penambahan tawas dan kapur menyebabkan % I dalam filtrat semakin menurun. Penurunan % I dalam filtrat dikarenakan zat pengotor telah bereakasi dengan bahan pengendap sehingga membentuk gumpalan-gumpalan atau flok yang
Ayunita Iriyanti, dkk
689
tidak lolos kertas saring. Makin banyak zat SS yang membentuk flok berarti makin sedikit I-131 dalam filtrat. Akan tetapi setelah terjadi kondisi optimum, persen % I dalam filtrat kembali naik. Hal ini dikarenakan penambahan tawas yang berlebih
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 menyebabkan penurunan pH ini sehingga pembentukan flok menjadi tidak stabil dan dikarenakan penambahan kapur yang berlebih yang menyebabkan larutan bersifat basa sehingga kinerja tawas menjadi tidak optimal. Jumlah optimum tawas dan kapur yang ditambahkan secara bergantian untuk mengendapkan air limbah kota diketahui dengan mengamati % I dalam filtrat terendah. Grafik Optimasi Tawas dan Kapur menunjukkan penurunan nilai % I dalam filtrat terendah untuk konsentrasi SS 0,008 gram/ml volume air 250 ml adalah tawas sebanyak 41,77 ppm dan kapur 0,0212 gram. Hasil proses pengendapan air limbah kota adalah filtrat yang bening.
Gambar 4. Limbah sebelum dan setelah pengolahan
2.
Pengaruh Variasi Konsentrasi
Penelitian variasi konsentrasi dilakukan dengan pengambilan sampel pada hari yang berbeda.
Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Konsentrasi SS Dengan Jumlah Optimum Tawas Dan Kapur
Data tersebut didasarkan pada satu titik/data (tawas dan kapur dalam 1 konsentrasi) yang merupakan hasil penelitian optimasi, sedangkan data yang disajikan tersebut sudah merupakan jumlah optimum yang diperoleh. Dari gambar dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi SS, maka kebutuhan tawas atau kapur optimum juga semakin banyak. Semakin besar konsentrasi SS maka dalam volume yang sama jumlah zat pengotor yang terdapat di dalamnya juga semakin banyak, sehingga membutuhkan koagulan yang lebih banyak pula. Untuk menghitung kebutuhan tawas dan kapur pada konsentrasi SS tertentu dapat dilakukan dengan metode least-square. Berdasarkan perhitungan diperoleh persamaan y = -
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
690
0,000226428 + (4,22512x10-5) (b) – (0,03479874) (c), dengan y = konsentrasi SS (gram), b = kebutuhan tawas (ppm) dan c = kebutuhan kapur (gram). 3.
Pengaruh Konsentrasi Kecepatan Pengendapan
SS
Terhadap
Zat-zat SS dalam air limbah kota, lama-kelamaan akan mengendap dikarenakan gaya beratnya. Partikel pengotor akan bergerak jatuh ke bawah dengan kecepatan tertentu sampai dicapai suatu kecepatan yang maksimum. Kecepatan pengendapan tersebut tergantung pada konsentrasi SS.
Ayunita Iriyanti, dkk
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176
Gambar 6. Grafik hubungan Konsentrasi SS vs Kecepatan Pengendapan
Dari grafik diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi SS maka kecepatan pengendapannya akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh gesekan antar partikel yang membuat partikel makin sulit untuk mengendap sehingga membuat kecepatan pengendapannya berkurang. Hubungan antara konsentrasi SS dan kecepatan pengendapan dinyatakan sebagai persamaan logaritma yaitu y = -0.026 ln(x) - 0.1517 dengan y = kecepatan pengendapan dan x = konsentrasi SS. 4.
Perancangan Alat Proses Pengendapan
Gambar 7. Desain Alat Proses Pengendapan
Ukuran alat proses pengendapan ditentukan dengan mengambil asumsi sebagai berikut : 1. Debit air masuk = 15500 m3/hari atau 0.1794 m3/detik 2.
Tangki koagulasi-flokulasi berbentuk silinder
3.
Tangki pengendapan berbentuk balok
4.
Pengendapan partikel dianggap sama dengan proses gerak jatuh bebas parabola.
Secara sederhana alat proses, digambarkan sebagai Gambar 7 dan 8:
Ayunita Iriyanti, dkk
691
Gambar 8. Sketsa Alat Proses Pengendapan (Tampak Atas)
Ukuran yang disarankan adalah tangki dengan sudut 31.490, lebar 6 m dan panjang total 8.98 m atau dapat dibulatkan 9 m. Daerah pengendapannya dirancang dengan kedalaman 5.5 m. Dasar perhitungan sebenarnya hanya sampai pada bidang miring yaitu daerah II bagian kiri, namun untuk mempermudah proses pengurasan maka perlu ditambahkan daerah pengurasan yang merupakan perpanjangan tangki. Dasar perhitungan sebenarnya hanya sampai pada bidang miring, namun untuk mempermudah proses pengurasan maka perlu ditambahkan daerah
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 pengurasan yang merupakan perpanjangan tangki.
waktu tinggal
volume tan gki pengendapan debit aliran
3 417.75 m 3 0.1794 m / det ik
2328.6 det ik 39 menit Tangki pengadukan berbentuk silinder. Berdasarkan penelitian Arifiansyah[9] , diketahui bahwa waktu reaksi koagulasi-flokulasi adalah 5 menit. Sedangkan volume tangki pengadukan dirancang dengan waktu tinggal selama 7 menit.
volume tangki
Gambar 9. Gambar Tampak Samping Tangki Pengendapan
volume I
waktu tinggal x debit aliran
volume balok
7 menit x 75.384 m
3 198 m volume trapesium
(11 2)m 5.5m
3 x 0.1794 m / detik
menit
11m 3m 6m
volume II
60 detik 3
Dalam perancangan ukuran alat, volume tangki diberi toleransi 20%, sehingga :
6m
2 3 214.5 m Daerah III adalah seperti Gambar 9.
volume tangki pengadukan 3 75. 384 m / mgg 1 20% 3 90.41 m / mgg
Jika diameter tangki dirancang 4 m, maka tinggi tangki sebagai berikut: 1 2 volume tangki pengadukan π d t 4 90.41 m
3
1
2 π (4m) t
4 t
Gambar 10. Ukuran Daerah Pengurasan
6 3 1 0.5 1 1 3 3 1 0.5 2 2 3
total waktu tin ggal
5.25 m
3
Dengan demikian lama pengolahan air limbah dalam alat proses pengendapan sebagai berikut :
volume III
(4 0.75 0.5) m
7.19 m
waktu tangki pengadukan waktu tangki pengendapa n
3
7 menit 39 menit
3
46 menit
volume total
volume ( I II III ) (198 214.5 5.25 ) m 417.75 m
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
692
3
3
Ayunita Iriyanti, dkk
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176 KESIMPULAN 1. Dosis penambahan tawas dan kapur dinyatakan dalam persamaan y = 0,000226428 + (4,22512x10-5) (b) – (0,03479874) (c) , dengan y = konsentrasi SS (gram), b = kebutuhan tawas (ppm) dan c = kebutuhan kapur (gram). 2. Hubungan antara konsentrasi SS dan kecepatan pengendapan dinyatakan dalam persamaan y = -0.026 ln(x) - 0.1517 dengan y = kecepatan pengendapan (gram/ml) dan x = konsentrasi SS (gram). 3. Ukuran Alat proses pengendapan untuk debit aliran 0.1794 m3/detik adalah Tangki pengadukan tinggi 7.2 m.
: diameter 4 m,
Tangki pengendapan : panjang 11 m, lebar 6 m, kedalaman 9 m, tinggi 3 m DAFTAR PUSTAKA 1. Wisnu Arya Wardhana. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi, Yogyakarta, (2001). 2. Austin, George T. Industri Proses Kimia. Erlangga, Jakarta, (1996). 3. Nn. Brosur Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). IPAL, Yogyakarta, (2009). 4. Sumarno, 2010, ”Pengolahan Air limbah Organik Dengan proses Biologis Aerobik“ Available: http://www.pdamsby.go.id/bacaartikel.asp?idart=8&iddart=2, diakses 30 – 06 - 2010. 5. Ayunita I., Laporan Kerja Praktek, Jurusan Teknokimia Nuklir, Program Studi Teknokimia, STTN-BATAN, Indonesia, (2009). 6. Mutia A., Tugas Akhir, Jurusan Teknokimia Nuklir, Program Studi Teknokimia, STTNBATAN, Indonesia, (2009). 7. Sudi Setyo Budi. Tesis, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Indonesia, (2006). 8. Wisnu Arya Wardhana. Teknologi Nuklir, Proteksi Radiasi dan Aplikasinya. Penerbit Andi, Yogyakarta, (2001). 9. Trisnadi Arifiansyah. Tugas Akhir, Jurusan Teknokimia Nuklir, Program Studi Teknokimia, STTN-BATAN, Indonesia, (2009).
Ayunita Iriyanti, dkk
693
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010 ISSN 1978-0176
STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA
694
Ayunita Iriyanti, dkk