PERANAN VARIASI KADAR AIR TERHADAP KESTABILAN STRUKTUR PONDASI DAN GEOTEKNIK Prof. Dr. Ir. Indarto Dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
ABSTRAK Variasi kadar air dalam tanah dapat terjadi karena adanya perubahan musim kemarau, ataupun musim penghujan. Pada tanah lunak atau pada tanah dimana muka air tanah tidak terlalu dalam, kondisi tersebut dapat menyebabkan variasi muka air tanah akibat adanya pasang surut yang sering juga disebut zone aktif. Pada tanah ekspansif, dimana muka air tanah terletak pada kedalaman yang jauh dari permukaan kondisi variasi kadar air akibat adanya musim kemarau dan hujan dapat mengakibatkan kembang susut atau variasi volume pada tanah, yang juga dibatasi oleh apa yang dinamakan zone aktif. Dalam perspektif mekanika tanah akibat adanya variasi kadar air tersebut telah mengakibatkan adanya variasi parametertanah serta variasi kelakuan tegangan dari tanah. Variasi parameter dan tegangan tanah ini akan memberikan pengaruh pada struktur pondasi atau struktur lain yang memiliki interaksi dengan tanah atau hal-hal yang berkaitan dengan struktur geoteknik. Makalah ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kestabilan suatu struktur pondasi dan geoteknik akibat adanya variasi parameter tanah akibat adanya variasi kadar airselama siklus pengeringan –pembasahan. Untuk itu akan dibahas bagaimana kelakuan tanah lunak dan ekspansif saat mengalami pengeringan- pembasahan, kemudian dikorelasikan dengan beberapa kasus yang terjadi dilapangan. Hasil studi ini menunjukkan bahwa variasi kadar air memeiliki peran yang sangat besar terhadap kestabilan maupun kegagalan struktur pondasi dan geoteknik. Kata kunci : variasi kadar air, pondasi, struktur geotenik, kestabilan
PENDAHULUAN Musim kemarau yang silih berganti setiap tahun telah menyebabkan adanya siklus pengeringan-pembasahan yang berarti terjadi variasi kadar air pada tanah. Siklus drying-wetting dari setiap tanah memiliki karakteristik yang berbeda-beda (Indarto 1991). Cogel dan De Backer (1978) melakukan studi tentang hubungan antara distribusi pori dari suatu miliu poreus dengan kelakuan rembesannya, mereka menyimpulkan bahwa geometri dari miliu poreus sangat menentukan kelakuan rembesan material poreus tersebut. Delage (1988) mencatat bahwa untuk tanah lempung, tegangan air pori negatif dapat mencapai nilai yang tinggi. Menurut Biarez et al (1988), pembebanan suatu tegangan air pori negatif pada suatu benda uji tanah , akan diterjemahkan secara simultan oleh variasi angka porinya, derajat kejenuhannya serta kadar airnya. Tanpa adanya tegangan luar, Biarez et al.(1988), kemudian Fleureau et al. (1990) telah membandingkan percobaan drying-wetting dengan percobaan mekanik kompresi-dekompresi. Mereka menunjukkan bahwa dalam kondisi jenuh terdapat persamaan antara tegangan mekanik yang dikenakan dengan tegangan kapiler.Mereka juga menyimpulkan bahwa untuk tanah jenuh variasi volume hanya tergantung pada tegangan effektif.
Siklus drying-wetting juga sangat mempengaruhi variasi besarnya tegangan geser suatu tanah. Beberapa peneliti memberikan hubungan variasi tegangan geser dengan siklus drying-wetting, Suhartono R dan Suhartono A (2000) untuk tanah ekspansif inisial undisturbed, Yudayana (2001) untuk kaolinit inisial batas cair, sedang Gunawan (2004) kemudian Gani (2008) untuk tanah residual (lanau kelempungan), inisial disturbed dan undisturbed. Secara umum peneliti-peneliti ini menunjukkan penurunan kohesi dan tegangan geser saat tanah mengalami kenaikan kadar air dan derajat kejenuhan. Beberapa evaluasi pengaruh siklus drying-wetting di terhadap kerusakan pondasi diberikan oleh Indarto (2008). Dalam kaitan variasi kadar air dengan kerusakanan pondasi di Amerika, Jones dan Holtz ( 1973) menyatakan bahwa akibat kelakuan kembang susut tanah ekspansif telah menyebabkan kerusakan pondasi dan bangunan senilai $ 2,3 milyar per tahun, dimana nilai ini lebih dari dua kali dari beaya tahunan yang dikeluarkan akibat kerusakan karena banjir, tornado,dan gempa bumi. Indarto (2008) mengungkapkan beberapa kasus kerusakan struktur pondasi dan geoteknik, akibat variasi keberadaan air pada tanah dasar.
A-1 ISBN 978-979-18342-1-6
A
D
B
Siklus drying –wetting
Kaolinite P 300 wL = 40 % IP = 20 %
Gambar 1. Karakteristik global tanah Kaolinite P300 saat pengeringan - pembasahan
A-2 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
C
Gambar 2. Karakteristik global tanah ekspanasif undisturbed Graha Family saat pengeringan pembasahan
A-3 ISBN 978-979-18342-1-6
Tulisan ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pengaruh tanah saat mengalami siklus drying-wetting dari tanah lunak dan ekspansif serta mencoba menghubungkannya terhadap beberapa kasus riil kerusakan pondasi dan struktur geoteknik. KARAKTERISTIK SIKLUS PENGERINGANPEMBASAHAN PADA TANAH. Sebelum melihat kelakuan tanah saat mengalami pengeringan-pembasahan mungkin perlu menyeragamkan pengertian tentang istilah pengeringan dan pembasahan dalam konteks mekanika tanah sbb: - Pengeringan adalah pengurangan tegangan air pori uw yang semakin kecil (atau – uw meningkat) - Pembasahan adalah penambahan tegangan air pori uw yang makin lama makin besar (atau – uw mengecil) Gambar 1 merupakan hasil percobaan dari kolinite P300 remolded (Indarto 1991) yang dilakukan pada benda uji dengan kondisi inisial dengan kadar air 1,5 batas cair. Sedang Gambar 2 adalah hasil percobaan dari tanah ekspansif Graha Family Surabaya, dari benda uji undisturbed dengan kondisi inisial kadar air w adalah 58,7 % (Suhartono et al 2000). Untuk memperoleh gambaran karakteristik yang jelas saat pengeringan-pembasahan, hasil percobaan pengeringan-pembasahan kaolinite P300 dan tanah ekspansif Graha Family ini,dipresentasikan dalam 5 grafik yang mencerminkan hubungan antara parameter-parameter kadar air (w), angka pori (e), dan derajat kejenuhan (Sr) saat mengalami kenaikan atau penurunan tegangan air pori negatif. Kelima grafik tersebut adalah ; 1. Kurva hubungan antara angka pori e dan w 2. Kurva hubungan antar angka pori (e) dan tegangan air pori negatif (-uw) -uw juga sering tampilkan sebagai pF dimana pF = log10 uw (dalam cm) 3. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan kadar air w 4. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan pF 5. Kurva hubungan antara derajat kejenuhan Sr dan kadar air w Model penampilan karakteristik global pengeringanpembasahan ini dalam 5 grafik diusulkan pertama kali oleh Biarez et al. (1988), kemudian berturut-turut digunakan oleh Fleureau et al (1990), Zerhouni (1991), dan Indarto (1991). a. Kelakuan Kaolinite pembasahan.
P300 saat
pengeringan-
Kaolinite P300 diambil untuk menjelaskan sebagai contoh kelakuan umum tanah kelempungan saat mengalami siklus pengeringanpembasahan. Meskipun tidak seluruhnya kelakuan global akan dibahas disini mengingat terbatasnya waktu Pada alur pengeringan (alur ABC) kaolinite P300 pada Gambar 1, terlihat bahwa tanah tetap jenuh sampai tegangan air pori negative yang sangat tinggi (uw>1500), dalam kondisi pengeringan ini terlihat adanya penurunan angka pori yang tampak linier dengan
logarithma dari tegangan air pori. Dalam koordinat ew hubungan e = Gs.w/100 membenarkan bahwa pada interval ini keadaan tanah masih tetap jenuh. Hal lain yang dapat dilihat dari representasi global pada saat pengeringan ini adalah : - Batas susut sebesar 23 %, pada tegangan air pori negatif sekitar 2000 kPa - Adanya garis yang paralel antara antara alur oedometrik dan pengeringan seperti terlihat pada Gambar 3.
Gambar
3.
Perbandingan alur oedometrik dan pengeringan untuk tanah kaolinite P300
Dalam hal ini berarti saat tanah mengalami pengeringan maka meski tidak ada beban maka tanah mengalami pemampatan seperti mendapatkan beban pada percobaan oedometrik Disisi lain Yudayana (2001), yang melakukan percobaan siklus pengeringan-pembasahan untuk white kaolinite menunjukkan bahwa saat mengalami pengeringan kohesi tanah mengalami peningkatan. Pada alur pembasahan ( alur CBD), terdapat beberapa hal yang bisa kita amati : - Antara harga pF 7 dan pF 5 terlihat adanya kenaikan kadar air yang sangat lemah, praktis hampir tidak terlihat kenaikan angka pori (grafik dalam hubungan e-w dan Sr-w), dimana variasi derajat kejenuhan sekitar 0 – 8 %. - Antara harga pF 4 dan pF 5 meski derajat kejenuhan naik secara tajam dari 8% sampai mendekati 95 % - Untuk tegangan air pori yang lebih tinggi dalam nilai absolut (pF<4), tampak adanya kenaikan lebih nyata dari angka pori, diikuti dengan variasi kadar air yang sama, yang berarti variasi kenaikan derajat kejenuhan yang sangat kecil. Kebalikan dari kondisi pengeringan Yudayana (2001) mencatat bahwa saat pembasahan pada white kaolinite menunjukkan penurunan yang sangat tajam khusunya setelah melewati derajat kejenuhan 80 %. Namun setelah derajat kejenuhan mencapai >95 % , variasi tidak terlihat tajam. Hasil lengkap percobaan tegangan unconfined white kaolinite saat pengeringan pembasahan ini dapat dilihat pada Gambar 4.a. dan 4.b
A-4 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
-
Saat pembasahan terjadi sebaliknya terjadi penurunan su namun variasi penurunan ini tidak setajam saat pengeringan khususnya setelah kadar air lebih dari 75 %, su masih mengalami penurunan namun variasinya hampir tak terlihat. Variasi lengkap tegangan geser tanah ekspansif Graha Family saat pengeringan dan pembasahan ,dapat dilihat pada grafik dalam Gambar 5.a dan 5.b
(a)
(a)
(b) Gambar 4. Percobaan tegangan unconfined pada white kaolinite saat pengeringan pembasahan ; (a) hubungan w- Sr; (b) su =w
b. Kelakuan tanah ekspansif Graha Family undisturbed saat pengeringan-pembasahan. Kelakuan tanah ekspansif undisturbed Graha Family Surabaya pada Gambar 2 adalah hasil percobaan Suhartono et al. (2000) . hal-hal yang perlu dicatat disini adalah pada kondisi awal tanah undisturbed dimana kadar airnya adalah 58.7 %, tanah talah dalam quasi jenuh atau Sr telah mendekati 100 % dan angka porinya adalah 1,5, dengan tegangan air pori sekitar 100 kPa. Dalam posisi ini : - Ketika dilakukan pengeringan ( dari pF 3 sampai pF 7), perubahan variasi angka pori relatif kecil dibanding saat pembasahan (dari 1,5- 0,5). Variasi derajat kejenuhan hampir tidak terlihat - Sebaliknya saat pembasahan (dari pF 3 sampai pF 1), perubahan angka pori terlihat tajam (dari 1,5 – sampai lebih dari 3). Dimana kondisi ini mencerminkan ciri dari tanah ekspansif. Perubahan derajat kejenuhan Sr terlihat sangat brutal. - Dari grafik pF- Sr, terlihat bahwa posisi kondisi inisial adalah dalam kondisi tegangan desaturasi - Hal yang sama dengan tanah white kaolinite tanah ini mengalami kenaikan tengangan geser saat pengeringan, namun kenaikan tegangan geser disini terlihat sangat tajam (dari kondisi inisial, atau sekitar pF=3, su berada sekitar lebih dari 550 kPa sampai pF=7, dimana su mencapai lebih dari 1900 kPa).
(b) Gambar 5. Variasi tegangan geser tanah ekspansif Graha Family saat pengeringan – pembasahan ; a. Variasi su-Sr b. Variasi su-w Selain tanah ekspansif dan tanah lunak, tanah residual juga memilik sifat kemiripan karakteristik, lerenglereng alam, dimana sering mengalami mengalami kelongsoran umumnya merupakan tanah residual. Sedang percobaan variasi su pengeringan-pembasahan untuk tanah ekspansif telah dilakukan oleh Gunawan dan Indarto (2004). PENGARUH VARIASI KADAR AIR TERHADAP STRUKTUR GEOTEKNIK Secara umum karena variasi kadar air memberikan perubahan sifat fisik dan mekanik, maka kondisi ini secara langsung akan memberikan pengaruh terhadap kestabilan suatu struktur geoteknik ataupun pondasi. Beberapa kasus dibawah ini adalah contoh – contoh kasus –kasus riil akibat pengaruh variasi pengeringan – pembasahan.
A-5 ISBN 978-979-18342-1-6
1. Pengaruh terhadap penggalian Kondisi pengeringan yang memberikan kondisi tidak jenuh pada tanah ekspansif seringkali memberikan beberapa keuntungan saat penggalian karena tingginya tegangan geser. Misalnya saat suatu perusahaan di Pasuruan yang ingin mem bangun basement didalam suatu gedung yang telah jadi. Dalam kondisi ini pihak pemilik, mencari metode bagaimana dapat menggali pada kedalaman 4m tanpa menggunakan alat berat yang tidak dapat masuk kedalam gedung. Namun dengan kondisi tanah ekspansif unsaturated, ternyata bahwa penggalian 4 m tanah tersebut tetap stabil dan tidak mengalami kelongsoran, dan angka keamanan terhadap sliding lebih dari 10 (indarto 2006). Sisi lain pengaruh pengeringan ini adalah saat dilakukan dewatering atau pengeringan di tanah lunak. Akibat dewatering ini biasanya dapat menimbulkan penurunan pada bangunan disekitarnya. Mekanisme penurunan ini dapat dilihat pada Gb. 6
ditunjukkan dengan angka pori yang cukup tinggi untuk jenis tanah ini.(1,1 -1,4) Karena pada lahan pada daerah tersebut pasang surutnya tinggi, maka pada saat surut (drying) tanah tersebut mengalami “pemadatan” atau penurunan angka pori. Akibatnya area bangunan termasuk beberapa tangga dan kolom yang tidak didukung dengan tiang bor sampai ke tanah keras mengalami penurunan. Demikian juga beberapa selasar, serambi, koridor serta saluran. Perbaikan untuk kerusakan bagian gedung tersebut menelan beaya diatas 3 milyar rupiah. Foto Gambar 7. menunjukkan salah satu kondisi kerusakan pada bangunan tersebut
dewatering m.a.t . natural m.a.t. setelah dewatering Gambar 6. Skema penurunan suatu pondasi dewatering
akibat
Sebagaimana konsep pengeringan dimana setiap penambahan tegangan air pori negatip menimbulkan suatu beban, maka akibat adanya dewatering tanah dibawah pondasi mengalami penambahan beban sebesar hw yang dapat memberikan penurunan pondasi yang telah lama berdiri, kasus-kasus seperti ini sering terjadi pada beberapa kasus pelaksanaan dewatering di Jakarta maupun di Surabaya 2. Kerusakan bangunan akibat pengeringan pembasahan Pasang surut merupakan fenomena riil dilapangan dari siklus pengeringan-pembasahan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya fenomena surut adalah fenomena pengeringan atau pengurangan tegangan air pori , fenomena ini seperti fenomena loading pada tanah. Sebaliknya fenomena pasang adalah fenomena penambahan tegangan air pori ,fenomena ini seperti fenomena unloading. Fenomena pengeringan dapat memberikan pengurangan angka pori atau penyusutan ketebalan lapisan pada tanah, khususnya apabila kondisi tanah tersebut kurang padat. Suatu contoh yang baik untuk kasus ini asalah adalah pembangunan gedung pemerintah yang terletak di lahan rawa di Malinau Kalimantan (Indarto 2007). Karena saat pembangunan pemadatan urugan untuk tanah dasar pondasi tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik, maka tanah dasar pondasi yang merupakan tanah kelempungan (wL sekitar 50 %) memiliki kepadatan yang tidak baik, hal ini
Gambar 7. Kerusakan kolom tangga gedung pemerintah di Malinau akibat perbedaan penurunan (Indarto 2007) Contoh kegagalan struktur lain akibat siklus dryingwetting adalah kasus pembangunan sheetpile sepanjang sungai Mahakam di Kotabangun Kalimantan (Indarto 2007), dimana sheet pile mengalami kerusakan berat setelah terjadi banjir yang menenggelamkan sheet pile. Saat banjir pasang sheetpile masih stabil, tetapi saat banjir surut, sheetpile mengalami displacement yang besar akibat adanya perbedaan permukaan air, dimana pada sisi sungai permukaan air lebih rendah dibanding sisi darat. Akibat dari kondisi tersebut sisi darat yang merupakan badan jalan mengalami sliding yang menghantam sheetpile . Analisa mekanisme sliding dan displacement dari sheet pile dapat digambarkan pada Gambar Kejadian di Kotabangun ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh wetting terhadap badan jalan - yang dibangun sepanjang tepi sungai. saat banjir. Meski sudah jenuh, untuk tanah kelempungan selama proses wetting masih berlangsung, penurunan tegangan geser terus terjadi akibat kenaikan kadar air. 3. Pengaruh pembasahan terhadap kestabilan struktur geoteknik dan lereng Kasus-kasus pada tanah ekspansif maupun reidual biasanya merupakan kasus kelongsoran akibat penurunan tegangan geser akibat pembasahan. Di Surabaya kasus tanah ekspansif terjadi pada area Ciputra world dikawasan Majen Sungkono Surabaya.
A-6 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009
Kondisi banjir sebelum surut gerakan lateral dimbangi tekanan hidrostatis air
Sheetpile yang miring akibat gerakan lateral tanah
Kondisi banjir setelah surut gerakan lateral tidak ada yang menahan dan menghantam sheetpile Gambar
8
Analisa mekanisme sliding dan displacement sheetpile sepanjang sungai Mahakam di Kota Bangun Ilir Kaltim (Sumber Indarto 2007)
Pada area dimana akan dibangun suatu bangunan tinggi akan dibuat diperlukan suatu basement. Sebelum dibuat basement dibuat suatu struktur sheetpile sekeliling basement tersebut. Pada sustu bagian struktur sheetpile yang sejajar dengan jalan diatasnya terdapat saluran KMS yang lebarnya tidak kurang dari 2 m. Namun ada bagian dari saluran tersebut yang bocor tanpa diketahui sebelumnya. Pada saat hujan, struktur sheetpile yang terletak pada area yang bocor tadi mengalami kelongsoran. Sehingga terjadi keruntuhan struktur sheetpile sepanjang 30 m. Dari perhitungan kembali struktur sheetpile tersebut menunjukkan bahwa angka keamanan mengalami penurunan akibat penurunan tegangan geser tanah saat pembasahan, diisi lain moment lenur maksimum mengalami kenaikan brutal akibat softening dari tanah
(a) Contoh kasus lain struktur pada tanah ekspansif, adalah rusaknya diding penahan badan jalan setinggi sekitar 3 m, sepanjang saluran di kawasan perumahan di Bukitmas Surabaya (Indarto 2007)
(b) Gambar 9. (a) Penurunan angka keamanan akibat pembasahan (b) Kenaikan moment lentur masimum akibat pembasahan dari struktur sheet pile dikawasan Ciputra World Ketika dibangun, berdasarkan penyelidikan tanah yang ada, dengan derajat kejenuhan antara 92 % -95 %, kohesi tanahnya berkisar antara 10 kPa sampai 24 kPa, dengan sudut geser tanah berkisar 60-80. Dengan kondisi ini kestabilan dining penahan masih relative besar (>1,5). Namun kondisi ini menurun drastis saat tanah mengalami wetting yang diperkirakan kohesi menurun menjadi 5 kPa. Penetrasi air pada bahu jalan yang terbuka, diduga menjadi penyebab terjadinya penurunan dan ketidakstabilan struktur dinding penahan tersebut. Akibat sliding ini terjadi penurunan bahu jalan sekitar lebih dari 60 cm, lendutan global dinding penahan sepanjang badan jalan serta kerusakan ikatan antar element dinding arf wall yang digunakan. Untuk contoh kasus tanah lanau atau residual dapat dilihat kaus villa di kawasan Pandaan (Indarto 2008). yang berdiri diatas tanah timbunan setinggi sekitar 8 m. Kemiringan tebing sekitar 400 tanpa penahan, sedangkan lahan rumah dan bangunan memiliki kemiringan sekitar 50. Tanah timbunan merupakan tanah lanau residual, dengan kohesi sekitar 20 kPa dan sudut geser tanah sekitar 150. Data tanah undisturbed yang diambil saat musim kemarau ini bila diterapkan dalam perhitungan sliding akan memberi angka keamanan yang cukup (>1,5). Namun nilai ini menurun menjadi kurang dari 1 saat kohesi diturunkan sampai kurang dari 8 kPa. Dan kondisi penurunan kohesi ini hanya bisa terjadi saat air menetrasi kedalam timbunan tanah, atau saat musim hujan. Prediksi ini sesuai dengan informasi pembangun bahwa kejadian kerusakan terjadi saat musim hujan. Gambar 10 menunjukkan penurunan angka keamanan akibat penurunan kohesi saat wetting. Akibat sliding timbunan ini beberapa rumah dan lahan sepanjang sekitar lebih dari 5 m kearah tebing, mengalami penurunan dan tanah batas sliding terbuka yang menyebabkan keretakan yang besar. Sampai makalah ini ditulis proses penurunan dan kerusakan terus bertambah (lihat foto pada Gambar 11).
A-7 ISBN 978-979-18342-1-6
2.
3.
4. Gambar 10. Penurunan angka keamanan dari kestabilan tanah dibawah rumah di kawasan Pandaan akibat pembasahan (Indarto 2008)
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
Gambar 11. Tampak atas keretakan, penampang slope dan salah satu foto kerusakan dinding rumah akibat longsor di Pandaan
KESIMPULAN 1. Variasi kadar air saat pengeringan pembasahan merupakan fenomena yang identik dengan loadingunloading, khususnya dalam alur oedometrik 2. Variasi kadar air saat pengeringan-dan pembasahan sangat berpengaruh terhadap kestabilan pondasi dan geoteknik 3. Akibat variasi kadar air saat pengeringanpembasahan angka keamanan suatu struktur geoteknik tidak pernah konstan, DAFTAR PUSTAKA 1. Biarez J., Fleureau J.M.,Zerhouni M.I.,Soepandji B.S.,Variations de volume des sols argileux lors de cycles de drainage-humidification., Revue Francaise de Geotechnique, No.41, pp.63-71, 1988.
13.
14.
15.
16.
Indarto, Comportement des sols soumis a une pression interstitielle negative, these de docteur presente a Ecole Centrale Paris, Septembre 1991 Cogel O.et De Backer, Etude des relations entre la distributions des diameter des pores d’un milieu poreoux et ses proprietes de tranfert et de retention, Int.Symp.Fluid mechanics an scale effect on the the phenomena in porous media transient,stationery, or permanent flow an time scale, Thessaloniki,Greece 1978. Delage P, Aspects du comportement des sols non satures, Revue Francaise de Geotechnique Vol.40, pp.33-43,1988. Fleureau J.M.,S.Taibi,R.Soemitro,Indarto, Prise en compte de la pression interstitielle negativedans l’estimation du gonflement, colloque de tlemcen Mars 1990 Indarto , Evaluasi konstruksi proyek turap di Kota Bangun Kaltim, Geotechnical Report LPPM ITS, 2007 Indarto, Evaluasi penurunan rumah tinggal Blok U 114 Darmahusada Indah, Geotechnical Report , C.V. Data Persada Surabaya, 2006 Indarto, Evaluasi Kelongsoran Jalan di Area Prambanan Residence , Geotechnical Report , Lisa Concrete, Surabaya 2007 Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan perkantoran Pemda Kantor Bupati Malinau Kalimantan Timur, Geotechnical Report, P.T. Pagarsiring Malinau Kaltim, 2007. Indarto, Evaluasi kerusakan bangunan villa RH=2/10 di Taman Dayu Pandaan, Geotechnical Report ,2008 Indarto, Evaluasi kestabilan lereng tanah dasar proyek gudang dan perumahan, Karanglo Malang,Jawa Timur, Geotechnical Report , Depo Bangunan Surabaya,2007 Indarto Perhitungan galian untuk basement di tanah ekspansive untuk pembuatan basement pada perluasan P.T. Nestle Pasuruan, Geotechnical report, P.T.Harjaguna Kurniamitra 2006 Suhartono R, Suhartono A dan Indarto, Variasi tegangan geser dalam siklus drying dan wetting contoh tanah undisturbed, Tugas Akhir No.1018.S, Jurusan Teknik Sipil FTSP, UK Petra, 2000 Yudayana D.P, dan IndartoPengaruh variasi tegangan air pori negatif terhadap perubahan tegangan geser pada lempung kaolinite, Tesis Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSPITS ,2001 Gani, Indarto dan Moedaryono Pengaruh keberadaan rumput gajah terhadap kestabilan lereng, Tesis Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS ,dalam persiapan 2008 Gunawan Hendra dan Indarto Pengaruh perlindungan rumput gajah terhadap penetrasi air serta peningkatan kuat geser tanah lanau remolded akibat keberadaan akarnya Tesis Magister Bidang Keahlian Geoteknik Program Studi Pascasarjana Jurusan Teknik Sipil FTSPITS, 2004
A-8 Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah 2009