SKRIPSI
MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR
Oleh : MARLYNA SUNARYO F24102052
2006 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Marlyna Sunaryo. F24102052. Mempelajari pengaruh kadar air terhadap karakteristik mutu dan minimalisasi waste selama proses produksi snack Taro net di PT. Rasa Mutu Utama, Bogor. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ir. Maulana W. Jumantara. 2006. RINGKASAN Perkembangan bisnis snack di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini semakin menggelembung. Pada tahun 2004, pangsa pasar snack modern mencapai 59.500 ton dan nilai bisnisnya mencapai 1,9 triliun (Hidayat, 2006). Snack merupakan makanan ringan yang dimakan dalam waktu antara ketiga makanan utama dalam sehari (Muchtadi, et al., 1988). PT. Rasa Mutu Utama memproduksi snack dengan merk dagang “Taro”, yang diproduksi untuk PT. Unilever Indonesia. Snack Taro net merupakan single layer pellet berbentuk net yang diproduksi secara semi-kontinyu menggunakan teknologi ebisen yang berasal dari Jepang. Snack ebisen ini bukan merupakan produk ekstrusi tetapi lebih menyerupai kerupuk. Proses produksi ebisen meliputi tahap pemasakan, sheeting, pendinginan dengan cooling conveyor, rolling, aging, pemotongan, pengeringan pertama (first dryer), pengeringan kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan. Untuk mendapatkan mutu produk akhir yang baik, maka mutu bahan harus dikendalikan mulai dari bahan baku, selama proses hingga penyimpanan produk akhir. Salah satu parameter yang sangat menentukan mutu produk snack adalah kadar air, yang akan menentukan mutu fisiko-kimia, biologis dan organoleptik produk. Pemasakan bahan dilakukan dengan mencampurkan terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder dengan sejumlah air pada steam cooker, lalu adonan akan masuk ke mesin sheeting dan dihasilkan adonan berbentuk lembaran (sheet). Jumlah air yang ditambahkan pada proses pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air adonan, ketebalan dan elastisitas lembaran adonan. Setelah itu, lembaran adonan didinginkan pada cooling conveyor, lalu digulung menjadi bentuk rol dan diaging pada suhu kamar. Selama proses pendinginan sampai rol adonan diletakkan di rak aging memungkinkan adanya cemaran mikrobiologi yang bersumber dari udara, pekerja, alat dan sagu tabur. Selama proses aging, pati mengalami retrogradasi yaitu kristalisasi kembali yang dapat dikarakteristik oleh fenomena fisik dan kimia, seperti perubahan tekstur, migrasi air, kristalisasi pati dan interaksi komponen. Perbedaan kelembaban udara ruang aging tidak berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati. Lembaran yang berada pada posisi paling luar memiliki laju penurunan kadar air paling cepat, kemudian posisi paling dalam dan posisi paling tengah yang memiliki laju penurunan kadar air paling lambat. Semakin cepat laju penurunan kadar air, maka tekstur lembaran adonan akan cepat mengeras. Endospora bakteri dan mikotoksin kapang terbentuk pada fase pertumbuhan lambat sebelum memasuki fase pertumbuhan tetap, yang berlangsung pada waktu aging 20 jam, sehingga waktu aging harus dibatasi. Setelah diaging, sheet dipotong menjadi potongan kecil berbentuk persegi panjang yang biasa disebut “pelet”. Pelet-pelet ini kemudian dikeringkan pada
mesin pengering pertama (first dryer) dan disimpan sebagai stok di gudang pelet. Kadar air pelet berpengaruh terhadap tekstur pelet selama proses pengeringan. Semakin rendah kadar air pelet, maka tekstur pelet akan mudah rapuh. Selain itu, kadar air juga mempengaruhi mutu mikrobiologis pelet selama penyimpanan. Semakin tinggi kadar air pelet, maka potensi pertumbuhan mikroorganisme semakin besar. Berdasarkan kurva sorpsi isoterm pelet first dryer aman disimpan pada tingkat kadar air 12.41-14.17% untuk gudang penyimpanan Taro dengan RH ruangan 70-80%. Sebelum digoreng, pelet yang berasal dari gudang dikeringkan kembali pada mesin pengering kedua (second dryer) sampai kadar air 8-9.5% (Serena, 1996). Kemudian pelet digoreng, ditambahkan flavour dan dikemas. Kadar air pelet second dryer berpengaruh nyata terhadap densitas kamba hasil goreng. Semakin tinggi kadar air pelet, maka densitas kamba hasil goreng semakin rendah. Selain itu, aw hasil goreng mempengaruhi tingkat kerenyahan produk. Semakin tinggi aw produk maka tingkat kerenyahan produk semakin rendah. Produk snack memiliki aw yang rendah yaitu 0.27-0.33, sehingga produk aman dari cemaran mikrobiologis asalkan produk bisa dijaga dari kelembaban yang memungkinkan kenaikan kadar air. Mutu mikrobiologis snack Taro net sangat baik, karena memenuhi semua persyaratan mikrobiologis SNI makanan ringan ekstrudat. Selama rangkaian proses produksi snack Taro net banyak dihasilkan waste, yang merupakan bahan baku yang tidak dapat diproses lebih lanjut. Waste paling banyak ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan pertama dan pengeringan kedua. Jumlah waste pada tahap pemotongan diperkirakan antara 0.39–0.73%, sedangkan jumlah waste pada tahap pengeringan pertama 0.26-0.43%. Jumlah waste pada tahap pengeringan kedua 1.89–2.97% per shift, yang diperoleh dari 5 mesin pengering kedua yang berbeda. Berdasarkan uji Post Hoc ANOVA pada mesin pengering kedua dapat disimpulkan bahwa mesin 1 dan mesin 6 memiliki perbedaan jumlah waste yang signifikan dibandingkan mesin pengering kedua yang lain. Identifikasi penyebab tingginya jumlah waste disebabkan oleh 5 faktor yaitu manusia, metode, bahan, alat/wadah dan lingkungan. Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah yang meliputi training karyawan, modifikasi metode dan mesin, perbaikan lingkungan dan kontrol proses.
MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : MARLYNA SUNARYO F24102052
2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR MEMPELAJARI PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU DAN MINIMALISASI WASTE SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK TARO NET DI PT. RASA MUTU UTAMA, BOGOR SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : MARLYNA SUNARYO F24102052 Dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 di Bogor Tanggal lulus : 7 Oktober 2006 Menyetujui, Bogor, 28 Desember 2006
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Pembimbing Akademik
Ir. Maulana W. Jumantara Pembimbing Lapang
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Maret 1984 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari keluarga Amie Sunaryo dan Willianny. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kesatuan Bogor sampai tahun 1996. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan pada tahun 1999 di SLTP Kesatuan Bogor, dan pada tahun 2002 menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Regina Pacis Bogor. Tahun 2002, penulis diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama kuliah, penulis aktif dalam kegiatan kemahasiswaan kerohanian PMK (Persekutuan Mahasiswa Kristen), baik sebagai aktivis maupun pengurus. Selain itu, penulis juga aktif dalam beberapa kepanitian, dan aktif mengikuti seminar-seminar pangan, seperti Seminar dan Pelatihan HACCP 2004 (Hazard Analytical Critical Control Point), Training Auditor HACCP 2006, Seminar Nasional Teknologi Perisa dan Aplikasinya, Pangan Organik dan lain-lain. Pada tahun 2005, penulis terpilih sebagai 10 mahasiswa berprestasi Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Pada bulan Februari – Juni 2006, penulis melakukan kegiatan magang sebagai tugas akhir (skripsi) di PT. Unilever Indonesia dengan judul Mempelajari Pengaruh Kadar Air terhadap Karakteristik Mutu dan Minimalisasi Waste Selama Proses Produksi Snack Taro net di PT. Rasa Mutu Utama, Bogor di bawah bimbingan Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ir. Maulana W. Jumantara.
KATA PENGANTAR Segala Puji, Hormat serta Syukur, penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat, kasih karunia dan pemeliharaan-Nya yang tidak putusputusnya dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kegiatan magang dan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis, yaitu : 1. Kedua orang tua penulis, yang tidak habis-habisnya memberikan kasih, perhatian, dukungan dan doa kepada penulis. Adikku, Juhadi yang selalu siap sedia membantu penulis, Suk-suk, Pak-pak yang senantiasa mendukung studiku. 2. Ibu Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi. yang telah membimbing penulis selama studi hingga penulisan skripsi. Terima kasih atas segala nasehat, bimbingan dan masukannya kepada penulis. 3. Bpk. Ir. Maulana W. Jumantara selaku pembimbing lapang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba banyak ilmu di PT. Unilever Indonesia. Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan, ilmu, nasehat, bimbingan dan masukan yang sangat berarti bagi penulis. 4. Ibu Ir. Elvira Syamsir, MSi. yang telah berkenan menjadi dosen penguji. 5. Bpk. Yogi Sapta dan Pak Budi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan kegiatan magang di PT. Rasa Mutu Utama dan menerima penulis dengan baik. 6. Pak Lukman, Pak Slamet Supriyadi, Mas Wiwit yang telah memberikan waktunya untuk membantu penulis selama melaksanakan kegiatan magang dan masukannya. 7. Pak Wakiyo, QC RMU : Pak Fajar, Pak Nanang, Pak Siswoyo; Supervisor RMU : Pak Atik, Pak Susilo, Pak Idrus, Pak Udin; leader produksi, karyawan produksi, RMS dan FPS yang telah sangat membantu kelancaran penulis dalam mengerjakan project dan trial. Staf RMU: Pak Asbi, Pak Makpur, Pak
Mudji, Pak Kamto, Mba Yuli, Mba Yani, Mba Unil, Pak Richard, Mba Indri, Ibu Jumini, Om Firzon; Satpam RMU, dll yang telah menerima penulis dengan ramah dan segala bantuannya. 8. Ibu Serena, Ibu Penny, Pak Sukardiman, Pak Eben, Pak Kusmanto, Ibu Ummy, Mba Peni, Pak Yono, Pak Yusuf, Pak Yusman, Pak Sule, dll yang telah menerima penulis dengan ramah dan segala bantuannya. 9. Pak Ali Manshur, Pak Nunung, Pak Heri, Pak Bambang terima kasih atas segala bantuannya, serta semua pihak di PT. Unilever Indonesia dan PT. Rasa Mutu Utama yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala keterbukaan dan keramahannya selama penulis magang. 10.Teman-teman seperjuanganku Qco dan Astri, terima kasih atas dukungan dan waktu-waktu yang kita habiskan bersama; Steisi dan Izal, terima kasih atas dukungan, kerja sama dan kekompakan yang ada; Gol B-4, teman seperjuangan ngerjain laporan, terima kasih buat dukungan dan kerja samanya, dan semua temen-teman TPG 39, terima kasih atas kebersamaannya selama di TPG. 11.My sisters: Dika, Vivi; Christ, Ko Hardi, teman-teman PMK IPB, Perkantas Bogor, GBIB, KNM 2006 terima kasih atas persahabatan, dukungan dan doa yang terus menguatkan penulis. HE giveth more grace when the burden grows greater and HE sendeth more strength when the labors increase...
Bogor, Oktober 2006
Penulis
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..............................................................................
iv
DAFTAR ISI.............................................................................................
vi
DAFTAR TABEL.....................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR.................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................
xii
I. PENDAHULUAN.................................................................................
1
A. LATAR BELAKANG....................................................................
1
B. TUJUAN.........................................................................................
2
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN................................................
3
A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN...............
3
B. LOKASI PERUSAHAAN..............................................................
6
C. BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN...................
6
D. STRUKTUR ORGANISASI..........................................................
8
E. MANAJEMEN PERUSAHAAN...................................................
8
F. PERATURAN KERJA...................................................................
9
G. KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA.................
10
III. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
12
A. SNACK FOOD ...............................................................................
12
1. Karakteristik Mutu Snack ......................................................
14
2. Aspek Mikrobiologi Produk Snack ........................................
17
B. AIR DALAM BAHAN PANGAN ................................................
18
C. PERANAN AIR SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK .........
21
D. PATI................................................................................................
24
1.
Pati untuk Snack.......................................................................
24
2.
Gelatinisasi Pati........................................................................
27
3.
Retrogradasi Pati......................................................................
29
E. PROSES PEMBUATAN SNACK TARO NET..............................
32
1. Bahan-bahan.............................................................................
32
2. Proses Pembuatan...................................................................
37
IV. METODOLOGI PENELITIAN.......................................................
43
A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................
43
B. TAHAPAN PENELITIAN.............................................................
46
C. METODE ANALISIS.....................................................................
50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................
57
A. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU BAHAN BAKU.................................................................
57
1. Mutu Biologis Bahan Baku.......................................................
57
2. Mutu Fisiko-kimia Bahan Baku................................................
62
3. Mutu Organoleptik Bahan Baku...............................................
63
B. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ADONAN DAN LEMBARAN ADONAN (SHEET).......
64
1. Pengaruh Kadar Air Pemasakkan terhadap Mutu Organoleptik Adonan..............................................................
64
2. Pengaruh Kadar Air Pemasakkan terhadap Mutu Fisik Lembaran Adonan (Sheet).......................................................
66
3. Pengaruh Kadar Air Lembaran Adonan terhadap Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi Selama Proses Pendinginan (Cooling)..................................................................................
69
4. Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama Proses Aging........................................................................................
72
5. Pengaruh Kelembaban Udara Ruang Aging terhadap Proses Retrogradasi Pati Lembaran Adonan pada Proses Aging.......................................................................................
77
6. Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air Selama Aging terhadap Tekstur Lembaran Adonan.......................................................
78
C. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU PELET................................................................................
79
1. Tekstur Pelet............................................................................
79
2. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan Pelet..........................................................................................
80
3. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet......................................................
81
D. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU HASIL GORENG..............................................................
82
1. Proses Penggorengan...............................................................
82
2. Ekspansi Hasil Goreng.............................................................
85
3. Mutu Organoleptik Hasil Goreng............................................
87
4. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan
Produk Akhir (Finish Product) ...............................................
88
E. MINIMALISASI WASTE...............................................................
90
1. Perhitungan Waste...................................................................
91
2. Diagram Sebab Akibat.............................................................
94
3. Upaya Minimalisasi Waste......................................................
98
VI. KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................
102
A. KESIMPULAN...............................................................................
102
B. SARAN...........................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA................................................................................
105
LAMPIRAN...............................................................................................
109
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.
Klasifikasi snack di Indonesia berdasarkan teknologi ...............
13
Tabel 2.
Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000).....
15
Tabel 3.
Pengukuran sifat fisik secara objektif selama proses produksi snack Taro net............................................................................
16
Pengukuran sifat sensori selama proses produksi snack Taro net................................................................................................
16
Tabel 5.
Nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba ......................
17
Tabel 6.
Karakteristik sifat beberapa jenis pati........................................
26
Tabel 7.
Mekanisme gelatinisasi pati........................................................
28
Tabel 8.
Komposisi perisa snack Taro net................................................
37
Tabel 9.
Ambang batas maksimum kadar air bahan baku........................
57
Tabel 10. Analisis mikrobiologi bahan baku snack Taro net......................
58
Tabel 11. Profil mikrobiologi tepung-tepungan..........................................
59
Tabel 12. Serangga-serangga yang menyerang serealia.............................
61
Tabel 13. Parameter uji organoleptik bahan baku snack Taro net..............
64
Tabel 14. Karakteristik organoleptik penampakan adonan.........................
65
Tabel 15. Analisa mikrobiologi udara ruang aging.....................................
71
Tabel 16. Waktu generasi beberapa mikroorganisme cemaran..................
72
Tabel 17. Hasil analisa mikrobiologi lembaran adonan selama aging.......
73
Tabel 18. Kecepatan pertumbuhan konstan mikroorganisme setiap fase...
74
Tabel 19. Kelembaban udara rak aging.......................................................
77
Tabel 20. Kadar air lembaran adonan setelah aging 8.5 jam......................
77
Tabel 21. Kemiringan rata-rata kurva regresi linear dan tingkat kekerasan lembaran adonan setelah aging 12 jam......................
78
Tabel 22. Kondisi pelet setelah pengeringan..............................................
80
Tabel 23. Densitas kamba hasil goreng.......................................................
86
Tabel 24. Deskripsi tekstur hasil goreng.....................................................
87
Tabel 25. Tingkat kerenyahan hasil goreng................................................
87
Tabel 26. Profil mikrobiologi breakfast cereal dan snack..........................
89
Tabel 27. Analisa kadar air dan mikrobiologi finish product.....................
89
Tabel 28. Upaya minimalisasi waste pada tahap pemotongan....................
100
Tabel 4.
Tabel 29. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua.........
100
Tabel 30. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua.........
101
Tabel 31. Kadar air lembaran adonan (%)..................................................
115
Tabel 32. Ketebalan lembaran adonan (mm)..............................................
116
Tabel 33. Elastisitas lembaran adonan .......................................................
117
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Snack ebisen berbentuk net.......................................................
13
Gambar 2. Kurva moisture sorption isoterm..............................................
19
Gambar 3. Kurva stabilitas bahan pangan..................................................
21
Gambar 4. Keterlibatan air selama proses produksi snack Taro net...........
22
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin.............................................
25
Gambar 6. Proses retrogradasi pati.............................................................
30
Gambar 7. Steam Cooker............................................................................
38
Gambar 8. Proses aging..............................................................................
39
Gambar 9. Mesin pengering pertama........................................................
40
Gambar 10. Mesin pengering kedua...........................................................
41
Gambar 11. Mesin penggorengan dan flavouring.......................................
42
Gambar 12. Diagram alir metodologi penelitian.........................................
44
Gambar 13. Susunan desikator...................................................................
49
Gambar 14. Kadar air lembaran adonan (%)..............................................
67
Gambar 15. Ketebalan rata-rata lembaran adonan (mm)............................
67
Gambar 16. Elastisitas rata-rata lembaran adonan......................................
68
Gambar 17. Waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging...............................................
70
Gambar 18. Kurva hubungan antara jumlah koloni dengan waktu aging...
73
Gambar 19. Kurva logaritmik pertumbuhan mikroorganisme....................
76
Gambar 20. Frekuensi waktu generasi beberapa mikroorganisme.............
76
o
Gambar 21. Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada suhu 31 C........
81
Gambar 22. Perubahan selama penggorengan deep frying.........................
83
Gambar 23. Kurva regresi hubungan antara kadar air pelet dengan densitas kamba........................................................................
86
Gambar 24. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan...................
91
Gambar 25. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan pertama.....
92
Gambar 26. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan kedua........
93
Gambar 27. Diagram sebab akibat waste tahap pemotongan.....................
95
Gambar 28. Diagram sebab akibat waste tahap pengeringan pertama........
96
Gambar 29. Diagram sebab akibat waste tahap pengeringan kedua...........
97
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Struktur organisasi PT Unilever Indonesia...........................
109
Lampiran 2. Beberapa mikotoksin utama dalam penyimpanan bahan pangan...................................................................................
110
Lampiran 3. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 01-3751-1995)...........
112
Lampiran 4. Persyaratan mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)....................
113
Lampiran 5. Persyaratan mutu gula kristal putih (SNI 01-3140-2000).....
114
Lampiran 6. Persyaratan mutu minyak goreng (SNI 01-3741-1995)........
114
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap kadar air adonan (%)............................................................................
115
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap ketebalan lembaran adonan (mm)......................................................... 116 Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakkan terhadap elastisitas lembaran adonan...................................................................
117
Lampiran 10. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kelembaban udara (%) dengan kadar air (%)......................................................
118
Lampiran 11. Kemiringan kurva regresi linear antara kadar air sheet (%) dengan waktu aging (jam).....................................................
119
Lampiran 12. Hasil penyetimbangan kadar air pelet first dryer pada 4 tingkat RH.............................................................................
119
Lampiran 13. Kadar air kesetimbangan pelet first dryer pada 4 tingkat RH.........................................................................................
120
Lampiran 14. Kadar air rata-rata pelet second dryer...................................
120
Lampiran 15. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kadar air pelet (%) dengan densitas kamba (g/cm3)...........................................
120
Lampiran 16. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pemotongan.
121
Lampiran 17. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan pertama..................................................................................
122
Lampiran 18. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan kedua.....................................................................................
123
Lampiran 19. Transformasi data jumlah waste tahap pengeringan kedua..
124
Lampiran 20. Analisis ragam (ANOVA one-way) jumlah waste tahap pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua..........
125
Lampiran 21. Analisis
Post
Hoc
ANOVA
jumlah
waste
tahap
pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua..........
126
Lampiran 22. Homogenous subsets jumlah waste pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua.........................................
128
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konsumsi snack telah menjadi sebuah hiburan di Amerika dan memiliki kontribusi terhadap peningkatan asupan energi. Sebagian besar masyarakat Amerika memperoleh 20% asupan kalori berasal dari konsumsi snack (Ranhotra dan Vetter, 1991). Konsumsi snack bukan sebuah fenomena baru, tetapi telah menjadi ciri khas dari gaya hidup Amerika (McCarthy, 2002). Penjualan snack di seluruh dunia terus-menerus mengalami peningkatan dan konsumsi snack telah menjadi makanan keempat pada pola makan orang Amerika. Di Eropa, trend dari snack sehat menghasilkan beberapa variasi produk. Jerman telah menjadi pasar keripik kentang, di mana kacang merupakan kategori snack yang memiliki tingkat penjualan paling tinggi. Di Inggris, snack menjadi salah satu segmen terbesar dari industri pangan. Pasar snack di Swedia telah mencapai 4 pon per kapita dengan keripik kentang, produk ekstrusi dan kacang dengan peningkatan yang luar biasa (Ranhotra dan Vetter, 1991). Perkembangan bisnis snack di Indonesia dalam lima tahun terakhir ini semakin menggelembung. Survey CIC (Corinthian Infopharma Corpora) tahun 2005 menyebutkan pada tahun 2004 pangsa pasar snack modern mencapai 59.500 ton atau naik dari tahun 2003 yang hanya sebesar 53.600 ton. Sementara, nilai bisnisnya pada tahun 2004 sebesar Rp. 1,9 triliun, sedangkan tahun 2003 Rp. 1,7 triliun. Pada tahun 2002 nilai bisnis snack sudah mencapai Rp. 1,5 triliun. Sampai pertengahan tahun 2005 terdapat 124 perusahaan yang berkiprah di industri snack modern di Indonesia dengan total kapasitas produksi 144.400 ton (Hidayat, 2006). Snack merupakan makanan ringan yang dimakan di antara ketiga waktu makanan utama dalam sehari. Snack beragam berdasarkan bentuk, cara pengolahan dan penyajiannya (Muchtadi, et al., 1988). Snack juga merupakan komponen penting dalam makanan yang disajikan pada pesta, dan biasanya berfungsi sebagai pelengkap pada waktu makan (Ranhotra dan Vetter, 1991). Dewasa ini, teknologi snack semakin maju sehingga dihasilkan produk snack yang beraneka ragam. Teknologi yang banyak berkembang di Indonesia
saat ini antara lain ebisen, extruder schaff, twist extruder, pelet extruder, fabricated chips dan slice chip. Snack Taro merupakan single layer pellet berbentuk net yang diproduksi secara semi-kontinyu menggunakan teknologi ebisen yang berasal dari Jepang. Snack ebisen ini bukan merupakan produk ekstrusi tetapi lebih menyerupai kerupuk. Pada industri snack, kadar air merupakan parameter penting yang menentukan kualitas produk dan menjadi titik kritis produk snack (Anonim2, 2006). Selama proses produksi dan penyimpanan snack, kadar air memegang peranan penting dalam menentukan mutu fisiko-kimia, mikrobiologi dan organoleptik produk. Oleh karena itu, pengontrolan kadar air produk selama proses produksi diperlukan untuk menjaga konsistensi kualitas produk. Hal lain yang menjadi masalah pada produksi Taro net adalah jumlah waste yang cukup tinggi. Waste produk Taro net mencapai dua ton per bulannya. Persentase waste terbesar ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan
pertama
dan
pengeringan
kedua.
Adanya
waste
ini
mengindikasikan adanya biaya (cost) yang hilang dan berpengaruh pada harga pokok produksi (HPP). B. TUJUAN Tujuan dari pelaksanaan magang ini adalah : 1. Mempelajari proses pembuatan produk snack Taro net. 2. Mempelajari pengaruh kadar air terhadap karakteristik mutu snack Taro net. 3. Mempelajari upaya minimalisasi waste selama proses produksi snack Taro net.
II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PERUSAHAAN PT Rasa Mutu Utama berdiri pada tahun 1985 yang berlokasi di Gunung Putri, Bogor. Pada September 2003, PT. Rasa Mutu Utama diakuisisi oleh PT. Unilever Indonesia lengkap dengan pabrik dan segala fasilitasnya. PT Unilever Tbk merupakan suatu perusahaan yang berstatus PMA (Penanaman Modal Asing) yang bergerak dalam bidang pengolahan makanan, deterjen, sabun dan kosmetik. PT Unilever Tbk memiliki banyak anak cabang yang
tersebar di
berbagai
negara, termasuk di Indonesia. PT Unilever
Indonesia berdiri pertama kali pada tahun 1933 saat Indonesia masih berada di bawah
jajahan
koloni
Belanda. Pada saat
Indonesia berada dalam
pemerintahan Jepang, kegiatan produksi Unilever dihentikan dan akhirnya dimulai kembali setelah Perang Dunia II. Sejarah berdirinya Unilever dapat dijelaskan sebagai berikut: 1885
Di Inggris, William Hasketh Lever dan saudaranya, James Darcy Lever, mendirikan perusahaan sabun yang bernama Lever Brothers. Produk pertama yang dihasilkan adalah Sunlight, diikuti dengan Lux dan Lifebuoy.
1927
Di Belanda, terdapat perusahaan milik keluarga Anton Jurgens yang telah berdiri sejak tahun 1868, dan memproduksi margarin. Perusahaan ini kemudian bergabung dengan perusahaan margarin milik keluarga Van den Bergh dan menamakannnya 'Margarine Unie'. Cabang perusahaan di Inggris dinamakan 'Margarine Union'.
1930
Perusahaan margarin ’Margarin Unie’ tersebut bergabung dengan perusahaan Lever Brothers. Setelah bergabung, perusahaan tersebut berganti nama menjadi Unilever. Perusahaan ini memiliki 2 induk pimpinan, yaitu: Unilever Ltd (pusat di London) dan NV Unilever (pusat di Rotterdam).
1930
Pabrik sabun Lever's Zeepfabrieken NV didirikan di Angke, Jakarta, oleh Charles Tatlow, direktur Unilever Ltd.
1934
Pabrik margarin Van der Bergh's Fabrieken NV mulai beroperasi di Angke, Jakarta.
1936
Pabrik makanan Van der Bergh’s Fabrieken didirikan di Angke, Jakarta.
1941
Pabrik sabun Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV didirikan di Surabaya.
1944
Pabrik NSD (Non Soap Detergent) didirikan di Angke, Jakarta.
1948
Pabrik pengolahan minyak Oliefabriek Archa NV mulai beroperasi.
1952
Pabrik minyak Archa yang terletak di daerah perbankan Jakarta dibeli oleh Unilever.
1957
Perkembangan Unilever terganggu karena adanya konfrontasi antara Indonesia dengan Belanda dan Malaysia.
1964
Unilever berproduksi kembali di bawah pemerintahan Indonesia.
1966
Situasi Indonesia membaik (pemerintahan Orde Baru).
1967
Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU PMA nomor l tahun 1967 sehingga orang asing boleh memiliki perusahaannya kembali. Dengan
demikian,
Unilever
menjadi
lebih
leluasa
dalam
menjalankan produksinya. 1970
Pabrik deterjen "Rinso" didirikan dan dioperasikan pertama kali di Angke, Jakarta.
1980
Pabrik Lever's Zeepfabrieken NV, Van der Bergh's Fabrieken, Oliefabriek Archa NV, dan Maatschappij ter Exploitatie der Colibri Fabrieken NV melakukan merger dan menyatakan diri untuk bernaung dalam perusahaan yang disebut PT Unilever Indonesia.
1981
PT Unilever Indonesia memulai kegiatan go public dengan cara membuka penjualan saham sebesar 15% kepada para investor Indonesia.
1982
Unilever melakukan relokasi pada karyawan produksi yang berasal Colibri-Ngagel menuju Rungkut, Surabaya.
1983
Unilever melakukan pemindahan pabrik sabun dari Colibri-Ngagel ke Rungkut. Kemudian, pabrik kosmetik Elida Gibbs didirikan di Rungkut, Surabaya.
1989
Bisnis teh dimulai dengan teh merk lokal, Sariwangi. Proses produksinya dilakukan oleh pihak ketiga di Citeureup, Bogor.
1990
Produk teh Sariwangi mulai dipasarkan.
1992
Pabrik Ice Cream Wall's mulai beroperasi di Cikarang, Bekasi. TPM (Total Productive Maintenance) mulai diterapkan di pabrik yang berlokasi di Angke.
1994
Pabrik sabun di Angke, Jakarta dipindahkan ke Rungkut, Surabaya. Produksi Lipton Tea menggunakan ruang ganda di Citeureup, Bogor. Selain itu, juga dilakukan perluasan area pabrik Wall's IC.
1995
Pabrik yang beroperasi di Angke, Jakarta mulai dipindahkan ke Cikarang, Bekasi
1996
Pabrik NSD dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. Selain itu, juga dilakukan perluasan area cold storage pabrik Wall's IC. PT Unilever Indonesia memperoleh penghargaan TPM Excellence Award, untuk kategori I dari Japan Institute of Plant Maintenance (JIPM)
1997
Pabrik makanan dipindahkan dari Angke, Jakarta ke Cikarang, Bekasi. PT Unilever Indonesia memperoleh akreditasi ISO 9001 untuk pabrik kosmetik di Rungkut, Surabaya dan diikuti pabrik lainnya. Proses produksi teh instan dipindahkan ke Citeureup, Bogor.
1998
TPM mulai dijalankan di Citeureup dan berhasil memperoleh akreditasi ISO 9001.
1999
PT Unilever Indonesia meraih Unilever Safety Award, Bronze Excellence Trophy ISO 14001, dan akreditasi Occupational Health Service and Management System (OHSMS) BS 8800. Sistem HACCP mulai diimplementasikan. Lisensi produksi teh berhasil diperoleh.
2000
PT Unilever Indonesia berhasil meraih penghargaan TPM Continuity Award, Unilever Safety Award, dan Silver Excellence Trophy. Pabrik teh dan teh instan dipindahkan ke Cikarang, Bekasi
2001
Unilever berhasil mengambil alih produksi Best Foods, Knorr, dan kecap Bango.
2003
Unilever berhasil mengambil alih produksi snack Taro net dan Taro
stick serta mengakuisisi PT. Rasa Mutu Utama. 2004
Pabrik shampo dipindahkan ke Cikarang, Bekasi.
B. LOKASI PERUSAHAAN PT Unilever Indonesia Tbk berpusat di Gedung Graha Unilever Jl. Gatot Subroto Kav. 15 Jakarta. Lokasi pabrik Unilever berada di dua daerah. Cikarang-Bekasi dan Rungkut-Surabaya. Ada dua bagian pabrik yang berlokasi di kawasan industri Cikarang, yaitu pabrik SCC&C (Spread Cooking Category & Culinary), TBB (Tea Based Beverage), dan Ice Cream Wall's (ketiganya digolongkan pabrik Foods) dan pabrik NSD (Non Soap Detergent), dengan alamat Jl. Jababeka IX Blok D No. 1-29 (Foods) dan 11 Jababeka VI Blok O (NSD), Desa Wangun Harja, Kecamatan Cikarang. Kabupaten Bekasi. Jawa Barat 17520. Pabrik di kawasan industri Cikarang terdiri dari 2 lokasi, 1 lokasi memproduksi deterjen dan 1 lokasi lagi untuk memproduksi makanan dan es krim. Kedua pabrik tersebut dilengkapi dengan kantor, mushola/masjid, pos penjagaan, kantin, unit pengolahan limbah, gudang bahan mentah, tempat parkir, dan taman. Pabrik Unilever Indonesia yang berlokasi di Rungkut, Surabaya memproduksi sabun dan bahan kosmetik seperti: Lux, Sunsilk, Pepsodent, Citra, dan sebagainya. Pemilihan lokasi pabrik didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tempat yang strategis untuk kelancaran pemasaran produk, tersedianya sarana infrastruktur, area yang cukup untuk dilaksanakannya perluasan pabrik dan kemudahan suplai bahan baku. C. BIDANG USAHA DAN PRODUK PERUSAHAAN PT Unilever Indonesia, Tbk adalah perusahaan multinasional yang memproduksi bahan kebutuhan sehari-hari (consumer goods). Bidang produksi PT. Unilever Indonesia, Tbk dibagi menjadi empat divisi, yaitu: 1. Divisi Home Care Divisi ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: a. Non Soap Detergent
• Memproduksi deterjen pencuci (bubuk dan krim) dengan merk dagang Rinso. Surf, Omo dan Super Busa. • Memproduksi cairan pewangi dan pelembut pakaian dengan merk dagang Comfort dan Molto b. Household Care Memproduksi barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti cairan pembersih lantai, bahan pengkilap dan penghilang kuman dengan merk dagang Super Pell, Sunlight,Vixal dan Domestos. 2. Divisi Personal Care Divisi ini memproduksi barang-barang kebutuhan perawatan pribadi yang terdiri dari: • Hair dengan merk dagang Clear, Sunsilk, Brisk dan lain-lain. • Skin dengan merk dagang Pond's, Dove, Hazeline, Lux, Lifebuoy, Cuddle, dan lain-lain. • Deodorant dengan merk dagang Axe dan Rexona. • Dental dengan merk dagang Pepsodent dan Close Up. 3. Divisi Foods Divisi ini dibagi menjadi kategori. yaitu: a. Spread Cooking Category and Culinary •
Memproduksi Margarine dan Bakery Fat dengan merk dagang Blue Band, VO, Top Bake, Croma Cromix, Croma Cake,Croma Korst, MCM, Snow White, dan Frytol.
•
Memproduksi bermacam-macam bumbu masak, seperti Royco, dan Knorr.
•
Memproduksi minuman ringan siap saji Lipton.
b. Tea Based Beverage Memproduksi teh untuk dikonsumsi dalam negeri maupun untuk diekspor yaitu: Sariwangi, Bushells. Choya, dan lain-lain. c. Snacks Memproduksi snack, yaitu Taro net dan Taro stick.
4. Divisi Ice Cream Divisi ini memproduksi es krim Wall's dengan berbagai jenis, rasa dan kemasan. D. STRUKTUR OGANISASI Pabrik pengolahan makanan di Cikarang dipimpin oleh seorang direktur supply chain (Supply Chain Director Foods) yang membawahi beberapa orang manajer, yaitu : 1. Manajer Teknik Foods (Technical Manager Food) bertugas dan bertanggung jawab atas pengelolaan, lay out dan kinerja pabrik foods. 2. Manajer Produksi (Production Manager) yang bertugas dan bertanggung jawab dalam perencanaan produksi dan output produksi sehari-hari. 3. Plant Engineer yang bertanggung jawab atas engineering perusahaan. 4. Manajer Personalia (Works Personel Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam bagian administrasi kepegawaian, urusan rumah tangga, keuangan, dan pengadaan Sumber Daya Manusia. 5. Manajer Pengembangan Senior (Senior Development Manager) bertugas dan bertanggung jawab atas pengembangan perusahaan. 6. Manajer Pengepakan (Packaging Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam kelancaran dan efisiensi proses pengepakan. 7. Manajer kualitas (Quality Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam pengawasan dan pengendalian mutu berdasar analisa dan penelitian laboratorium, keadaan bahan baku, pengendalian proses dan keadaan produk jadi. 8. Manajer Perencanaan (IED / Planning Manager) bertugas dan bertanggung jawab dalam perencanaan program-program dalam usaha pengembangan perusahaan. Struktur organisasi PT. Unilever, Tbk. Pabrik SCC & C Cikarang dapat dilihat pada Lampiran 1. E. MANAJEMEN PERUSAHAAN Program pengembangan manajemen yang diberlakukan di PT Unilever Indonesia, Tbk adalah program Total Productive Maintenance (TPM).
Program TPM adalah metoda untuk mewujudkan Zero failure (tanpa kesalahan), Zero accident (tanpa kecelakaan) dan Zero defect (tanpa cacat). Dasar pelaksanaan TPM adalah lima "S", yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seikatsu dan Shitsuke. Seiri (Clearing Up) yaitu menyingkirkan benda-benda yang tidak diperlukan, Seiton (Organizing), menempatkan
barang-barang
yang dibutuhkan dengan rapi, Seiso (Cleaning), membersihkan peralatan dan daerah kerja, Seikatsu (Standardizing), membuat standar kebersihan, pelumasan, dan inspeksi sedangkan Shitsuke (Training and Discipline), yaitu meningkatkan keterampilan dan moral. Kelima dasar di atas kemudian ditunjang oleh sembilan pilar TPM untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan program, yaitu pemeliharaan mandiri (Autonomous Maintenance), peningkatan bagian, pemeliharaan terencana (Planned Maintenance), pelatihan (Training), kontrol awal dan pencegahan perawatan, pemeliharaan mutu (Quality Maintenance), TPM di perkantoran (TPM in Office), keselamatan, kesehatan, dan lingkungan
kerja (Safely.
Healthy, and Environment) dan manajemen rantai suplai (Supply Chain Management). F. PERATURAN KERJA Administrasi kantor dilaksanakan setiap hari kerja dengan jadwal: Senin - Jumat : 07.30 - 15.00 WIB Sabtu
: 07.30-13.00 WIB
Istirahat
: 11.30 - 12.00 WIB, atau 12.00-12.30 WIB
Sedangkan jadwal produksi harian dibagi menjadi 3 shift dengan pembagian sebagai berikut: Shift Pagi
: 06.00 - 14.00 WIB
Shift Siang
: 14.00 - 22.00 WIB
Shift Sore
: 22.00 - 06.00 WIB
Waktu operasi pabrik adalah 295 hari/tahun, 6 hari/minggu, 3 shift/hari dan hari libur sebanyak 52 hari minggu, 12 hari libur umum dan 6 hari Lebaran.
G. KESEJAHTERAAN DAN KESELAMATAN KERJA PT. Unilever Indonesia sangat memperhatikan kesejahteraan karyawan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk fasilitas-fasilitas jaminan sosial dan tunjangan-tunjangan yang diberikan kepada karyawannya, di mana perincianperincian mengenai hal tersebut tertuang dalam Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibuat oleh serikat pekerja dan pihak perusahaan. Serikat pekerja PT. Unilever Indonesia sudah berdiri sejak tahun 1970an dan pada tahun 1982 resmi menjadi anggota serikat pekerja seluruh Indonesia. Berdasarkan KKB tersebut fasilitas dan tunjangan yang diperoleh karyawan PT. Unilever Indonesia adalah: 1. Makan, disediakan untuk seluruh karyawan tetap pada jam-jam istirahat di kantin perusahaan. 2. Fasilitas pengobatan diberikan gratis kepada karyawan dan keluarganya sampai dengan tiga anak meliputi biaya perawatan di rumah sakit pada rumah sakit yang telah ditentukan, pembayaran gaji selama sakit, pengobatan dan perawatan gigi, pcnggantian biaya kaca mata dan frame, penggantian biaya bersalin untuk pekerja wanita dan bantuan bersalin istri pekerja. 3. Koperasi karyawan. 4. Program kepemilikan rumah. 5. Tunjangan perumahan diberi setahun sekali berupa uang. 6. Program kepemilikan kendaraan bermotor. 7. Klub olah raga. kesenian, rekreasi dan pernbinaan rohani. 8. Program ASTEK. 9. Tunjangan pensiun, berupa uang pesangon pada saat karyawan memasuki usia pensiun yaitu 55 tahun. 10. Pernbinaan keluarga berencana lestari dan balita. 11. Tunjangan belajar anak karyawan, diberikan kepada anak karyawan yang menjadi juara kelas. 12. Beasiswa diberikan kepada anak karyawan yang diterima di perguruan tinggi negeri. 13. Program tabungan pendidikan.
14. Penghargaan kerja diberikan kepada karyawan yang telah bekerja selama 15 tahun dan kepada karyawan yang telah bekerja selama 25 tahun. 15. Tunjangan cuti diberikan kepada karyawan 1 tahun sekali dalam bentuk gaji ke-13. 16. Cuti besar diberikan setiap 6 tahun masa kerja berupa 74 hari cuti diluar cuti tahunan dengan biaya pulang kampung ditanggung perusahaan atau dalam bentuk 2 bulan gaji ditambah 14 hari cuti diluar cuti tahunan. 17. Santunan kematian. 18. Kesempatan naik haji dengan pembayaran upah penuh. 19. Tunjangan Hari Raya. 20. Paket distribusi diberikan setiap akhir bulan berupa produk kebutuhan rumah tangga yang diproduksi oleh PT. Unilever.
III. TINJAUAN PUSTAKA A. SNACK FOOD Snack food seringkali disebut savory snack, karena pada umumnya snack diberi flavor savory termasuk rasa asin atau berbumbu. Menurut Lusas (2000), di samping rasa yang lezat, ciri-ciri snack modern dengan flavor savory adalah: •
aman dan bebas dari bahaya kimia, substansi toksik dan mikroorganisme patogen sesuai peraturan yang berlaku,
•
biasanya dipersiapkan secara komersial dalam jumlah besar dengan proses yang kontinyu,
•
dibumbui, biasanya garam dan kadang-kadang ditambahkan flavor lainnya,
•
stabil selama penyimpanan, tidak membutuhkan pendinginan untuk pengawetan,
•
dikemas dengan kemasan siap konsumsi (ready-to-eat), biasanya dibagi menjadi potongan-potongan ukuran makan (bite-size), mudah ditangani dengan jari, dan memiliki penampakan berminyak atau kering tergantung dugaan konsumen untuk produk tertentu,
•
dijual kepada konsumen dalam kondisi segar, yang dicapai dengan : ∗ pemakaian bahan pengemas untuk menghindari air, oksigen dan cahaya, menjaga kerenyahan produk, memperlambat oksidasi alami minyak dan menghilangkan katalis oksidasi, ∗ menggunakan pengemasan atmosfer dengan gas inert (nitrogen) dan sistem antioksidan untuk proteksi minyak tambahan, ∗ pengkodean tanggal pada pengemas dan membuangnya dari rak penyimpanan jika tidak terjual selama umur simpan produk. Dewasa ini, teknologi snack modern semakin maju sehingga dihasilkan
produk snack yang beraneka ragam. Berdasarkan teknologi yang digunakan, snack di Indonesia dapat diklasifikasikan seperti tampak pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi snack di Indonesia berdasarkan teknologi Jenis Snack Ebisen (sheeted snack)
Basis bahan Terigu
Jagung, beras Second-generation snack (directexpanded) Third-generation snack Pati (pellet) Serealia Co-extruder snack Fabricated chips
Tepung
Slice chip
Kentang, buah
Teknologi Ebisen-line Twist extruder
Pellet extruder snack7 Single dan twin screw extruder Sheeting, stamping, frying, flavouring Frying, flavouring
Produk Taro net Cheetos net Taro stick, Cheetos Jetz Momogi stick paste Piattos, Pringles Chitato, Lays
Snack Taro net menggunakan teknologi ebisen yang berasal dari Jepang. Produk snack pertama yang menggunakan teknologi ini adalah shrimp cracknel (Ebi-Senbei) yang merupakan makanan tradisional Jepang. Snack Taro net merupakan hasil pengembangan dari teknologi ebisen (Gambar 1).
Gambar 1. Snack ebisen berbentuk net Menurut Nagao (2000), pati dan tepung terigu adalah komposisi terpenting dari formula snack ini. Tepung terigu berprotein rendah dengan kadar abu 0.35-0.55% dan protein 7-10% dapat diproses dengan mudah untuk membuat senbei berbasis terigu. Tetapi, senbei berbasis terigu yang berkualitas tinggi membutuhkan terigu dengan kadar protein menengah dan kualitas gluten yang halus. Persyaratan kualitas utama yang terpenting adalah kerenyahan. Pada waktu bersamaan, senbei berbasis terigu harus melunak secara cepat di dalam mulut tanpa menjadi bergetah (gummy).
Pelet snack ebisen dapat berlapis satu (single layer) dan dua (double layer) tergantung bentuk yang diinginkan. Proses produksi snack ebisen meliputi tahap pemasakan, sheeting, pendinginan dengan cooling conveyor, rolling, aging, pemotongan, pengeringan pertama (first dryer), pengeringan kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan. 1. Karakteristik Mutu Snack Menurut ISO-9000, mutu didefinisikan sebagai derajat dari serangkaian karakteristik produk atau jasa yang memenuhi kebutuhan atau harapan yang dinyatakan. Dalam industri pangan, mutu ditentukan oleh berbagai karakteristik yang terus berkembang mengikuti kebutuhan konsumen yang semakin meluas spektrumnya. Beberapa abad yang lalu telah dikembangkan karakteristik fungsional yang sampai saat ini terus berlanjut dalam penyempurnaan cara-cara pengukurannya termasuk peningkatan kemampuan instrumen alat pengukur (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Karakteristik fungsional pada produk pangan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar yaitu : sifat fisik (morfologi, sifat termal, sifat reologi dan sifat spektral), sifat kimia (komposisi kimia, senyawa kimia aktif, bahan kimia tambahan, bahan kimia pengolahan) dan sifat mikrobiologi (mikroba alami, mikroba kontaminan, mikroba patogen dan mikroba pembusuk (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Karakteristik fungsional lebih bersifat objektif dalam menentukan sifat mutu pangan, sedangkan penilaian sifat mutu yang bersifat subjektif dilakukan menggunakan evaluasi organoleptik. Menurut Soekarto (1985), penilaian dengan indera banyak digunakan untuk menilai mutu makanan. Penilaian dengan cara ini disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung dan dalam beberapa hal penilaian dengan indera melebihi ketelitian alat yang paling sensitif sekalipun. Karakteristik mutu snack dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu karakteristik mutu fisik, kimia, mikrobiologis dan organoleptik. Persyaratan mutu makanan ringan yang telah ditetapkan oleh SNI 01-2886-2000 dapat
dilihat pada Tabel 2. Menurut SNI 01-2886-2000 (2000), makanan ringan ekstrudat adalah makanan ringan yang dibuat melalui proses ekstrusi dari bahan baku tepung dan atau pati untuk pangan dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Tabel 2. Syarat mutu makanan ringan ekstrudat (SNI 01-2886-2000) No 1 1.1 1.2 1.3 2 3 3.1 3.2 4 5 5.1
Jenis uji Keadaan Bau Rasa Warna Kadar air Kadar lemak Tanpa proses penggorengan Dengan proses penggorengan Kadar silikat Bahan tambahan makanan Pemanis buatan
5.2 6 6.1 6.2 6.3 6.4 7 8 8.1 8.2 8.3
Pewarna Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba Angka Lempeng Total Kapang E. coli
Satuan
Persyaratan
% b/b
normal normal normal maks. 4
% b/b % b/b % b/b
maks. 30 maks. 38 maks. 0,1
-
Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Permenkes no.722/Menkes/Per/ IX/1988 s.d.a.
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/g
maks. 1,0 maks. 10 maks. 40 maks. 0,05 maks. 0,5
koloni/g koloni/g APM/g
maks. 1,0 x 104 maks. 50 negatif
Secara umum, sifat fisik meliputi warna, bentuk dan ukuran. Pengukuran sifat fisik banyak dilakukan karena pengukurannya mudah dan cepat. Beberapa sifat fisik dapat diukur secara organoleptik maupun secara objektif. Pengukuran sifat fisik secara objektif yang dilakukan selama proses produksi snack Taro net dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengukuran sifat fisik secara objektif selama proses produksi snack Taro net Sifat Fisik Kadar air Dimensi
Alat Moisture analyzer Jangka sorong
Ukuran Indeks ekspansi
Neraca analitik Kotak Bulk Density
Atribut yang diukur Kadar air bahan Tebal sheet, dimensi pelet dan hasil penggorengan Berat bahan Densitas bahan
Sifat fisik berhubungan erat dengan sifat organoleptik produk, misalnya rasa manis dengan kadar gula. Sifat mutu organoleptik diklasifikasikan menjadi empat golongan yaitu visual, aroma, rasa dan tekstur. Sifat sensori ini diukur secara langsung dengan indera manusia. Pengukuran sifat sensori yang dilakukan selama proses produksi snack Taro net dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pengukuran sifat sensori selama proses produksi snack Taro net Sifat Sensori Visual Aroma Tekstur Rasa
Atribut
Sampel Bahan baku, snack Pelet, snack Snack Pelet Snack Snack
Warna Ukuran, bentuk Bau minyak Kekerasan Kerenyahan Intensitas bumbu
Karakteristik mutu kimia dapat menentukan kualitas bahan, salah satunya pada minyak goreng. Sifat kimia yang diukur adalah jumlah asam lemak bebas (FFA). Nilai FFA (free fatty acid) menentukan parameter kerusakan lemak. Semakin tinggi nilai FFA, berarti semakin tinggi hidrolisis yang terjadi. Salah satu masalah yang sangat vital bagi industri dan bisnis pangan adalah keamanan pangan (Winarno, 2004). Oleh karena itu, mutu mikrobiologis bahan pangan sangat penting dalam penilaian mutu produk pangan. Mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan pangan dapat menyebabkan penurunan mutu atau kerusakan produk serta membahayakan kesehatan
konsumen.
Toksin
yang
dihasilkan
oleh
beberapa
mikroorganisme seperti Clostridium botulinum dan Aspergillus flavus dapat membahayakan kesehatan konsumen. 2. Aspek Mikrobiologi Produk Snack Pangan termasuk kebutuhan dasar terpenting dan sangat esensial dalam kehidupan manusia. Walaupun makanan itu menarik, nikmat, tinggi gizinya, jika tidak aman dikonsumsi, praktis tidak ada nilainya sama sekali. Lebih dari 90% terjadinya penyakit pada manusia oleh makanan (foodborne disease) disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi (Winarno, 2004). Snack adalah produk pangan dengan nilai kadar air yang rendah yaitu maksimum 4% (SNI. 01-2886-2000). Kadar air snack yang rendah berkorelasi dengan nilai aw yang rendah yaitu 0.25 - 0.33. Dengan nilai aw ini, produk snack relatif aman dari kontaminasi mikroba, karena nilai aw ini tidak memenuhi nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan mikroba (Jay, 2000) Organisme Grup Bakteri pembusuk Khamir pembusuk Kapang pembusuk Organisme spesifik Clostridium botulinum, tipe E Pseudomonas spp. Acinetobacter spp. Eschericia coli Enterobacter aerogenes Bacillus subtilis Clostridium botulinum, tipe A, B Candida utilis Vibrio parahaemolyticus Botrytis cinerea Rhizopus stolonifer Mucor spinosus
aw 0.90 0.88 0.80 0.97 0.97 0.96 0.96 0.95 0.95 0.94 0.94 0.94 0.93 0.93 0.93
Organisme Grup Bakteri halofilik Kapang xerofilik Khamir osmofilik Organisme spesifik Candida scotti Trichosporon pullulans Candida zeylanoides Geotrichum candidum Trichothecium spp. Byssochlamys nivea Staphylococcus aureus Alternaria citri Penicillium patulum Eurotium repens Aspegillus glaucus Aspegillus conicus Aspegillus echinulatus Zygosaccharomyces rouxii Xeromyces bisporus
aw 0.75 0.61 0.61 0.92 0.91 0.90 0.90 0.90 0.87 0.86 0.84 0.81 0.72 0.70 0.70 0.64 0.62 0.61
Produk snack Taro net mengalami proses penggorengan sehingga kadar air dan nilai aw bahan menjadi rendah. Hal ini menyebabkan rendahnya resiko kontaminasi pada produk snack, namun selama proses produksi Taro net dari bahan baku sampai produk setengah jadi memiliki resiko yang tinggi. Tepung terigu, yang merupakan bahan baku utama snack Taro net memiliki resiko kontaminasi Bacillus cereus dan kapang. Resiko ini dapat diminimalkan dengan mengontrol aw yang rendah untuk menghambat pertumbuhan mikroba (Jay, 2000). Pada proses selanjutnya bahan ini akan mengalami proses pemasakan yang dapat membunuh mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan pembentukan mikotoksin oleh kapang. Titik kritis dari kontaminasi mikrobiologi adalah pada proses aging, ketika lembaran adonan diaging pada suhu ruang (30-33oC) selama 8-16 jam. Karakteristik lembaran adonan dengan kadar air 30-33% dan aw 0.90.95 dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme. Penggulungan lembaran adonan yang dilakukan secara manual oleh pekerja, memiliki resiko kontaminasi
mikroorganisme
seperti
Staphylococcus
aureus
dan
Salmonella dari tangan pekerja. Setelah proses aging, dilakukan pemotongan yang dilanjutkan dengan pengeringan. Pada tahapan pengeringan, kemungkinan besar mikroorganisme akan mati, namun pengeringan tidak dapat menginaktivasi toksin yang mungkin dihasilkan mikroorganisme selama proses aging. Toksin yang dihasilkan oleh kapang atau mikotoksin adalah alfatoksin, okhratoksin, patulin, islanditoksin, luteoskirin, rugulosin, zearalenon, trikhotesen, sterigmatositin, asam penisilat, dan sitrinin. Karakteristik masing-masing mikotoksin dapat dilihat pada Lampiran 2. B. AIR DALAM BAHAN PANGAN Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan kita. Bahkan dalam bahan makanan yang kering sekalipun, seperti buah kering, tepung serta
biji-bijian, terkandung air dalam jumlah tertentu. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam media air yang ditambahkan atau yang berasal dari bahan itu sendiri (Winarno, 1997). Peranan air dalam bahan pangan dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air, sedangkan di udara dinyatakan sebagai kelembaban relatif (RH) dan kelembaban mutlak (H). Dalam bahan pangan, air terutama berperan sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran aktivitas air (aw) (Syarief dan Halid, 1993). Aktivitas air adalah rasio antara tekanan parsial air (P) di atas sampel dengan tekanan uap murni pada suhu yang sama (P0). Hubungan antara kadar air dalam bahan pangan dengan aktivitas air pada suhu konstan diketahui sebagai moisture sorption isoterm (MSI). Informasi mengenai kurva MSI bermanfaat untuk proses pemekatan dan pengeringan, karena kesulitan penghilangan air berhubungan erat dengan tekanan uap relatif (relatif vapor pressure); formulasi campuran bahan untuk mencegah transfer air antara bahan pangan; menentukan sifat ketahanan terhadap air yang dibutuhkan pada bahan pengemas; menentukan apakah kadar air dapat menghambat pertumbuhan mikroba; memprediksi stabilitas kimia dan fisika dari bahan pangan sebagai fungsi air. Kurva MSI secara umum untuk bahan pangan berkadar air rendah pada suhu 20oC dapat dilihat pada Gambar 2 (Fennema, 1996).
Gambar 2. Kurva moisture sorption isoterm
Ketika air ditambahkan, komposisi sampel bergerak dari zona 1 (kering) menuju zona 3 (kelembaban tinggi) dan sifat air berhubungan dengan perbedaan zona secara signifikan. Air yang berada pada zona 1 terikat secara kuat dan tidak dapat dimobilisasi. Air ini terikat pada bagian polar bahan pangan dengan ikatan air-ion atau interaksi air-dipol, tidak dapat membeku pada suhu -40oC, tidak dapat digunakan sebagai pelarut, dan jumlahnya tidak dapat membuat bahan padat menjadi plastis. Air zona 1 merupakan bagian dari padatan, jumlahnya sedikit sekali dan memiliki nilai entalpi lebih besar dari nilai entalpi air (Fennema, 1996). Menurut Winarno (1997), sebagian air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa. Air pada zona 2 berhubungan dengan molekul air lain dan molekul terlarut yang berikatan hidrogen, sedikit dapat dimobilisasi, tidak dapat membeku pada suhu -40oC, dapat membuat padatan menjadi plastis, menurunkan suhu transisi gelas dan menyebabkan pengembangan mula-mula dari matriks padatan. Air pada zona 1 dan 2 biasanya mengandung air kurang dari 5% pada bahan pangan dengan kelembaban tinggi (Fennema, 1996). Penghilangan air tipe II (zona 2 pada moisture sorption isoterm) ini akan mengakibatkan penurunan aw (water activity) sehingga pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan seperti reaksi browning, hidrolisis, atau oksidasi lemak akan dikurangi. Jika air tipe II ini dikurangi seluruhnya, kadar air bahan akan berkisar antara 3-7% dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak tidak jenuh (Winarno, 1997). Air pada zona 3 tidak terikat kuat, dapat dimobilisasi dan terperangkap dalam bahan pangan. Air ini dapat membeku, dapat digunakan sebagai pelarut, dan mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Air pada zona 3 baik terperangkap maupun bebas, biasanya mengandung lebih dari 95% total air pada bahan pangan dengan kelembaban tinggi (Fennema, 1996). Menurut Winarno (1997), apabila air tipe III (zona III) ini diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12-25% dengan aw (water activity) kirakira 0.8 tergantung dari jenis bahan dan suhu.
Menurut Syarief dan Halid (1993), interaksi antara bahan pangan dengan molekul air yang terkandung di dalamnya dan molekul air di udara sekitarnya sangat dominan dalam terjadinya penyimpangan mutu atau kerusakan bahan pangan. Labuza (1972) menyajikan ambang batas tingkat hidratasi (aw) dalam hubungannya dengan kecepatan reaksi kerusakan. Hubungan ini digambarkan dengan peta stabilitas yaitu hubungan antara kecepatan reaksi dengan aw bahan (Gambar 3).
Gambar 3. Kurva stabilitas bahan pangan (Winarno, 1997) C. PERANAN AIR SELAMA PROSES PRODUKSI SNACK Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan produk snack. Air yang digunakan dalam produksi harus memenuhi persyaratan mutu air minum yaitu memiliki penampakan yang baik dan tidak tercemar baik secara fisik, kimia maupun mikrobiologi. Air ditambahkan dalam proses pemasakan, baik air secara langsung maupun air yang berasal dari uap (steam). Namun, ada air yang sengaja dihilangkan melalui proses pengeringan dan penggorengan. Kenaikan kadar air pelet selama penyimpanan merupakan proses kesetimbangan dengan RH lingkungan, sedangkan migrasi air selama proses aging merupakan dampak dari proses retrogradasi pati. Keterlibatan air selama proses produksi snack Taro net dapat dilihat pada Gambar 4.
Air
Air dari steam
Air (evaporasi)
Mixing + sheeting
Aging
Cutting
Air
Air (kesetimbangan)
Air
Air
First Drying
Stock
Second Drying
Frying
Packaging
Gambar 4. Keterlibatan air selama proses produksi snack Taro net Air merupakan komponen penting dalam pembentukan gluten serta berfungsi sebagai pelarut garam dan pengikat karbohidrat sehingga dihasilkan adonan yang baik (Mulyani, 2000). Air bersenyawa dengan protein membentuk gluten, sehingga menentukan konsistensi dan karakteristik reologi adonan. Daya serap air akan meningkat dengan semakin tingginya kandungan protein. Air berperan sebagai plasticizer untuk kristal pati. Adanya air akan menurunkan suhu dari transisi gelas (Tg) dan titik leleh kristal. Selain itu, kandungan air juga mempengaruhi sifat reologi dari gel pati (Eliasson dan Gudmunsson, 1996). Retrogradasi pati terjadi ketika pati yang telah mengalami gelatinisasi disimpan pada suhu rendah sehingga terjadi rekristalisasi pati. Selama proses ini terjadi ikatan hidrogen antara gugus OH amilosa pada pati yang tergelatinisasi sehingga air dipaksa keluar dari struktur gel dan pati menjadi tidak dapat dilarutkan. Oleh karena itu, selama proses aging kadar air lembaran adonan cenderung menurun disertai dengan meningkatnya kekerasan dan kekakuan lembaran adonan. Lembaran adonan yang telah dipotong menjadi pelet basah dikeringkan menggunakan alat pengering pertama (first dryer) dengan hembusan udara panas yang berasal dari boiler. Fellows (2000) mendefinisikan pengeringan sebagai aplikasi panas di bawah kondisi terkontrol untuk menghilangkan sebagian besar air yang secara normal ada di makanan dengan evaporasi (atau sublimasi pada freeze drying). Tujuan utama dari proses pengeringan adalah memperpanjang umur simpan dengan mereduksi aktivitas air (aw) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim.
Pada proses pembuatan snack Taro net dilakukan pengeringan sebanyak dua kali. Pengeringan pertama bertujuan untuk mendapatkan kadar air pelet yang aman untuk disimpan atau aman dari cemaran biologis yang mungkin tumbuh baik mikroba maupun serangga. Proses pengeringan kedua bertujuan untuk mendapatkan kadar air siap goreng, sehingga tekstur yang dihasilkan sesuai standar, tidak berpori dan tidak bantat. Penyimpanan
dan
pengeringan
bahan
pangan
hasil
pertanian
berhubungan dengan kadar air kesetimbangan. Kadar air kesetimbangan adalah kadar air bahan dalam keadaan setimbang dengan udara di sekitarnya. Bahan dalam keadaan setimbang dengan lingkungannya bila laju air yang hilang dari bahan ke lingkungan sama dengan laju air yang bertambah ke dalam bahan dari lingkungan (Hall, 1980 di dalam oleh Prastyanty, 1998). Masing-masing bahan pangan memiliki nilai kadar air kesetimbangan yang berbeda-beda. Menurut Prastyanty (1998), secara alami bahan pangan baik yang belum diolah maupun yang sudah diolah bersifat higroskopis yaitu dapat menyerap air dari udara sekeliling dan sebaliknya dapat melepaskan sebagian air yang terkandung ke udara. Secara umum, sifat-sifat hidratasi ini digambarkan dengan kurva sorpsi isoterm. Pelet yang telah dikeringkan dengan mesin pengering kedua digoreng untuk
meningkatkan
kualitas
makan
(eating
quality).
Pada
proses
penggorengan terjadi pengembangan kerupuk yang ditentukan oleh kandungan air bahan. Pengembangan ini merupakan hasil sejumlah besar letusan dari air ikatan yang menguap dengan cepat selama proses penggorengan dan sekaligus terbentuk rongga-rongga udara yang tersebar secara merata pada seluruh struktur kerupuk goreng (Muliawan, 1991). Kandungan air bahan akan menentukan tekstur hasil goreng. Jika kadar air bahan terlalu tinggi, permukaan bahan akan mengalami bulbing atau membentuk gelembunggelembung. Sebaliknya, jika kadar air bahan terlalu rendah bahan tidak akan mengembang atau bantat. Kandungan air bahan juga mempengaruhi mutu minyak goreng. Pada suhu tinggi air akan menghidrolisa gliserida-gliserida minyak menjadi gliserol
dan asam lemak bebas. Gliserol selanjutnya akan terpecah menjadi acrolein yang mempunyai bau pedas dan merangsang keluarnya air mata (Djatmiko, et al., 1985). Walaupun telah mengalami proses penggorengan, produk akhir snack masih mengandung air sekitar 2-3%. Kandungan air ini akan menentukan kerenyahan produk dan peningkatan kadar air akan menurunkan kerenyahan produk snack. Kadar air produk snack yang rendah yaitu maksimal 4%, membuat umur simpan produk relatif lama sampai 8 bulan. Dengan mengontrol kandungan air produk, maka struktur, tekstur, stabilitas dan densitas bahan dapat dipertahankan. D. PATI 1. Pati Untuk Snack Pati memainkan peranan penting pada pengembangan produk pangan, baik sebagai bahan baku atau bahan tambahan seperti pengental, penstabil, atau penguat tekstur. Penambahan pati ditujukan untuk meningkatkan retensi air, mengontrol mobilitas air, dan juga menjaga kualitas produk pangan selama penyimpanan (Pongsawatmanit, et al., 2001). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 1997). Struktur amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Struktur amilosa dan amilopektin (Muchtadi, et al. 1988) Secara komersial pati diperoleh dari biji-bijian serealia, umumnya jagung, gandum dan beberapa varietas beras dan dari umbi dan akar, seperti kentang, ubi jalar dan tapioka (BeMiller dan Whistler, 1996). Pati dari sumber yang berbeda memiliki karakteristik tersendiri yang dipengaruhi bentuk, ukuran, distribusi ukuran, komposisi dan kristal granula (Belitz dan Grosch, 1999). Karakteristik pati menentukan jenis pati yang sesuai untuk produk tertentu. Selain itu, harga menjadi pertimbangan supaya produk lebih ekonomis. Karakteristik dan harga jual beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6. Jenis pati yang berbeda membuat tekstur yang dihasilkan juga berbeda. Pati jagung cenderung lebih kaku dan rapuh, sedangkan tapioka cenderung lebih ringan dan kurang garing. Beras dan beras ketan cenderung membuat produk lebih lembut terutama pada snack. Penambahan pati kentang membuat produk memiliki tekstur lebih ringan. Sebaliknya, tepung terigu dengan kadar protein 7-18% meningkatkan densitas produk (Frank, 2000).
Tabel 6. Karakteristik sifat beberapa jenis pati Pati
Tapioka
Kandungan Amilosa Amilopektin (%) (%) 17 83
Ukuran granula (μm) 5-35
Bentuk granula
Suhu gelatinisasi (oC)
Harga relatif/100 g (Rp.)
52-64
479
52-64
519.50; 559.50; 604.50
60-72
-
62-74
1581.25
56-69
-
61-78
719.00
Oval Gandum
25
75
2-35
Ellips Sagu
27
73
20-60
Jagung
27
73
5-25
Kentang
22
78
15-100
Beras
17
83
3-8
Ellips
Poligonal
Bundar
Poligonal Sumber : Knight (1989), Muchtadi, et.al. (1988), * Harga ADA Supermarket per Mei 2006
Menurut Muchtadi et al. (1988), amilopektin dapat merangsang terjadinya proses mekar (puff) sehingga produk dengan kadar amilopektin tinggi bersifat ringan, porus, garing dan gampang patah (renyah). Pati yang mengandung amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras, karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas. Pati juga dapat mempertahankan daya awet dengan mempertahankan tekstur garing selama penyimpanan. Granula pati memiliki sifat semikristal yang mengindikasikan orientasi tingkat tinggi dari molekul glukan. Sekitar 70% massa granula pati dipandang sebagai bentuk amorf dan kira-kira 30% sebagai bentuk kristal. Daerah amorf mengandung amilosa sebagai jumlah terbanyak, sedangkan daerah kristal mengandung paling banyak amilopektin. Derajat kristalisasi ini sangat tergantung pada kadar air (Belitz dan Grosch, 1999).
Pati alami dapat dibagi menjadi beberapa tipe menggunakan diagram difraksi X-ray yaitu tipe A, B dan C serta tipe V yang terdapat pada granula yang mengalami pengembangan (swelling). Tipe A dan B merupakan modifikasi kristal alami, sedangkan tipe C merupakan bentuk campuran. Tipe A banyak terdapat pada pati serealia dan tipe B pada kentang, amylomaize dan pati yang mengalami retrogradasi. Tipe C tidak hanya terdapat pada campuran pati jagung dan kentang juga terdapat pada pati kacang-kacangan (Belitz dan Grosch, 1999). 2. Gelatinisasi Pati Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Muchtadi et al, 1988). Menurut Pongsawatmanit, et al, (2001), jika granula pati alami yang kering tersuspensi dalam air dan kemudian dipanaskan, granula pati akan menyerap air dan mengembang menjadi lebih luas, disertai dengan kehilangan bentuk kristal dari granula. Sebagian amilosa berpisah dari amilopektin dan terlepas keluar dari granula. Fenomena ini disebut gelatinisasi. Sebagai suatu polimer, pati mengalami perubahan sebagai berikut : Polisakarida <====> gel <====> sol Perubahan sol-gel sangat tergantung pada suhu dan konsentrasi. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi (Muchtadi et a., 1988). Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekul-molekul air berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin. Dengan semakin naiknya suhu suspensi pati dalam air maka pengembangan granula semakin besar, karena ikatan hidrogen semakin melemah. Menurut Meyer (1982) di dalam Muchtadi et al. (1988), pengembangan maksimum dicapai pada penyerapan air sebanyak 2500%. Namun, selama pengeringan granula pati akan kembali pada ukuran semula (BeMiller dan Whistler, 1996). Selama proses gelatinisasi pati terjadi pengrusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk mempertahankan struktur dan integritas granula pati.
Kerusakan integritas granula pati menyebabkan granula menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan masuk dalam medium. Sesudah pengrusakan granula selesai, viskositas pati menurun. (Mulyandari, 1992). McCready (1970) di dalam Muchtadi, et al. (1988) membedakan mekanisme gelatinisasi menjadi tiga fase. Pertama, air akan secara perlahanlahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula. Kemudian pada suhu antara 60-85oC granula akan mengembang dengan cepat dan akhirnya kehilangan sifat birefringence-nya. Ketiga, jika suhu terus naik maka molekulmolekul pati terdifusi keluar granula. Adanya amilosa yang keluar menyebabkan naiknya kekentalan yang juga merupakan fungsi dari suhu. Mekanisme gelatinisasi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981) Tahapan proses
Deskripsi Granula pati mentah yang terdiri atas amilosa (heliks) dan amilopektin (bercabang-cabang) Penambahan air akan memecahkan kristalinitas dan merusak keteraturan bentuk amilosa. Granula mengembang. Penambahan panas dan air yang berlebihan akan menyebabkan granula mengembang lebih lanjut. Amilosa mulai berdifusi keluar granula Granula hampir hanya mengandung amilopektin yang terperangkap serta struktur matriks amilosa membentuk suatu gel.
Pada tahap gelatinisasi, volume pati akan mengembang membentuk struktur elastis yang pada tahap penggorengan ataupun proses ekstrusi akan terjadi pengembangan adonan. Menurut Eliasson dan Gudmundsson (1996), pengembangan granula pati biasanya diukur sebagai peningkatan volume gel. Proses gelatinisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu pemanasan, rasio amilosa dan amilopektin, rasio air dan pati dan komponen
atau bahan–bahan lain yang dapat mengikat air seperti gula dan garam (Serena, 1996). Proses gelatinisasi menyebabkan perubahan yang luar biasa pada sifat reologi dari suspensi pati. Sifat dari gel pati sangat sensitif terhadap beberapa faktor seperti shear, suhu, tingkat pemanasan (pendinginan), sumber pati dan keberadaan komponen lain. Gel pati bukan sistem yang berada dalam kesetimbangan. Struktur kristal hancur selama proses gelatinisasi, tetapi bentuk kristal akan kembali terbentuk selama penyimpanan. Kemampuan molekul pati untuk mengkristal setelah gelatinisasi didefinisikan sebagai retrogradasi (Eliasson dan Gudmundsson, 1996). Dalam proses pembuatan snack, dikehendaki proses gelatinisasi tidak sempurna, karena proses gelatinisasi yang sempurna akan menghasilkan adonan yang kenyal, rapuh, sulit dibentuk, tidak kompak dan menghasilkan produk akhir yang permukaannya tidak rata (Serena, 1996). Proses gelatinisasi pati mempengaruhi tekstur dan konsistensi bahan pangan dan interaksi antara pati dan air akan mempengaruhi sifat fungsional pati. Menurut Muchtadi, et al. (1988), kesempurnaan gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar air dan suhu proses. Penentuan derajat kesempurnaan gelatinisasi pati dapat dilakukan berdasarkan (1) hilangnya gejala birefrigence granula pati jika diamati di bawah mikroskop cahaya terpolarisasi, (2) daya kelarutan dan pengukuran absorpsi zat warna (dyes), (3) perubahan kekentalan, (4) perubahan pola difraksi sinar X, (5) metode enzimatis, (6) metode magnetik resonansi nuklir, (7) metode differential scanning calorimetry (DSC), pengukuran intensitas warna akibat adanya iodium dan sebagainya. 3. Retrogradasi Pati Gel pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi pada saat pati terus dalam keadaan panas. Bila pasta kemudian mendingin, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan amilosa untuk bersatu kembali. Molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dnegan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi
semacam jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap (Winarno, 1997). Proses terjadinya retrogradasi dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Proses retrogradasi pati (Huang dan Rooney, 2000) Proses retrogradasi terjadi karena pati yang tergelatinisasi tidak berada pada kesetimbangan termodinamik. Sifat reologi akan berubah secara jelas dengan peningkatan kekerasan (firmness) dan kekakuan (rigidity). Hilangnya kapasitas penyerapan air (water holding capacity) dan pemulihan bentuk kristal akan terjadi dan meningkat selama proses aging. Proses retrogradasi tidak akan terjadi tanpa jumlah air minimum yang terdapat dalam gel. Kadar air dan suhu penyimpanan merupakan faktor penting yang mengontrol tingkat retrogradasi. Selain itu, sumber pati yang berbeda akan mempengaruhi tingkat retrogradasi yang terjadi dan kemungkinan besar hal ini tidak hanya disebabkan oleh rasio amilosa dan amilopektin saja (Eliasson dan Gudmunsson, 1996). Menurut Lundqvist (2001), tingkat retrogradasi juga dipengaruhi panjang rantai amilopektin dan konsentrasi pati, adanya bahanbahan seperti gula, garam, lemak dan surfaktan. Retrogradasi didefinisikan sebagai kemampuan molekul pati untuk mengkristal setelah gelatinisasi. Retrogradasi amilosa dipercaya sebagai prasyarat untuk pembentukan crumb normal dari roti, retrogradasi biasanya menyebabkan penurunan kualitas. Hal ini terlihat sebagai sineresis (hilangnya air) atau sebagai peningkatan kekerasan. Interaksi pati dengan komponen lain
seperti lipid polar dan protein akan meningkatkan sifat fungsionalnya (Eliasson dan Gudmundsson, 1996). Retrogradasi yang merupakan pemulihan sebagian dan penyusunan struktur awal dari polisakarida terjadi ketika pendinginan dan penyimpanan pada suhu rendah. Kristalisasi dari amilosa tercapai setelah 2 hari, di mana kristalisasi gel pati terus berlanjut. Gel amilopektin meningkat secara perlahan dan tercapai setelah 30-40 hari. Sekitar 70% kristal akan hilang dari pati yang teretrogradasi sempurna pada pemanasan 90oC, di mana gel amilosa akan berkurang sekitar 25%. Kristalisasi dari amilopektin dapat balik secara sempurna selama pemanasan. Residu kristal dari gel pati setelah pemanasan merupakan fraksi amilosa (Eliasson dan Gudmunsson, 1996). Retrogradasi atau asosiasi amilosa sangat cepat, sehingga rantai linear berdifusi keluar dari granula pati. Hal ini memberikan struktur keras dengan cepat. Amilopektin yang bercabang dengan struktur lebih kompleks, dan molekul yang lebih besar (bulky) menyebabkan amilopektin mengalami retrogradasi lebih lambat. Tekstur yang keras tidak hanya berasosiasi dengan tingginya amilosa tetapi juga mengurangi kehilangan kelembaban dan membantu menjaga kelembaban dari migrasi air (Frank, 2000) Proses retrogradasi dapat dikarakteristik oleh fenomena fisik dan kimia, seperti perubahan tekstur, migrasi air, kristalisasi pati dan interaksi komponen (Vodovotz, et al., 2001). Proses retrogradasi harus secara ketat dikontrol terutama produk pangan yang berbasis pati, karena retrogradasi dapat membentuk struktur produk tetapi jika berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas (pengerasan atau sineresis) (Pongsawatmanit, et al., 2001). Interaksi antara polisakarida pati dan air mungkin dapat menghambat pengaruh dominan dari sifat sistem yang ada, di mana komponan lain dapat mempengaruhi bagaimana pati berinteraksi dengan air. Salah satunya adalah gula, yang dapat mempengaruhi sifat gelatinisasi dan retrogradasi pati. Kebanyakan gula menghambat pengaruh anti-plasticizing dan penurunan jumlah amilosa yang terlepas. Tingkat retrogradasi dapat ditingkatkan selama periode penyimpanan jangka pendek tetapi secara substansi menurun selama penyimpanan jangka panjang (Pongsawatmanit, et al., 2001).
D. PROSES PEMBUATAN SNACK TARO NET 1. Bahan-Bahan a. Tepung terigu Tepung terigu merupakan bahan utama pembuatan snack Taro net. Menurut SNI 01-3751-1995, tepung terigu yang digunakan untuk bahan makanan adalah bahan makanan hasil pengolahan endosperm dari biji gandum (Triticum vulgare). Berdasarkan jenis gandum yang dipakai, maka tepung terigu dibedakan menjadi tiga jenis yaitu tepung terigu Cakra Kembar (kandungan protein tinggi), Segitiga Biru (kandungan protein menengah) dan Kunci Biru (kandungan protein rendah) yang memiliki sifat-sifat berbeda tergantung tujuan penggunaannya. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 013751-1995) dapat dilihat pada Lampiran 3. Komponen terpenting dari tepung terigu adalah protein. Tepung terigu memiliki empat jenis protein yaitu glutenin, globulin, gliadin dan albumin. Dari keempat jenis protein tersebut, yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan adonan adalah protein glutenin dan gliadin. Kedua protein tersebut ditemukan pada jumlah yang cukup tinggi pada gandum terutama pada endosperm gandum, yaitu sekitar 80-85% (Serena, 1996). Gluten gandum menunjukkan sifat-sifat fisik adonan yang berbeda dari adonan dari adonan-adonan yang dibuat dari serealia lainnya. Ketika air ditambahkan pada tepung gandum dan diaduk, protein-protein yang tidak larut dalam air akan mengikat air dan membentuk gluten. Gluten berfungsi sebagai penyusun adonan (Pomeranz dan Shellenberger, 1971). Air dalam adonan menyebabkan pembentukan massa yang ekstensibel dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari glutenin dan gliadin. Sifat fisik gluten menyebabkan adonan mempunyai kemampuan untuk menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan
adonan.
Kandungan
gluten
yang
tinggi
cenderung
mneyebabkan penyerapan air lebih banyak dibandingkan dengan terigu berkadar gluten rendah, sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya pengembangan yang lebih baik dan elastis tetapi lengket.
Pada proses pembuatan snack Taro net digunakan tepung terigu yang berkadar protein rendah. Hal ini dikarenakan tepung terigu yang mengandung gluten tinggi cenderung menyerap air lebih banyak sehingga adonan mengembang, elastis dan lengket, sehingga sulit dibuat lembaran maupun untuk proses selanjutnya. Selain itu, kandungan gluten yang rendah cenderung membuat produk lebih renyah dan lebih murah sehingga lebih ekonomis. Pemilihan tepung terigu yang tepat akan menentukan karakteristik snack yang diinginkan. Tepung terigu yang memiliki perbedaan total protein akan mengakibatkan perbedaan tingkat pengembangan. Semakin tinggi total protein, tingkat pengembangan semakin rendah. Hal ini dikarenakan gluten menghambat ekspansi dari pelet dan membuat tekstur menjadi keras. Penghambatan ini terjadi karena sifat hidrasi protein, sehingga menghambat ekspansi tiba-tiba dari uap air. b. Tapioka Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstrak umbi ketela pohon atau ubi kayu (Manihot utilisima) yang telah mengalami pencucian secara sempurna, pengeringan dan penggilingan. Selain karbohidrat sebagai komponen utamanya, tapioka masih mengandung sedikit protein dan lemak. Tapioka digunakan dalam pembuatan snack, karena dapat memberikan daya pengembangan yang baik pada tingkat kadar air adonan sedang dan suhu proses yang tinggi. Selain itu, pati diketahui sebagai puff material dalam pembuatan snack atau bahan yang berkontribusi dalam pemekaran produk. Pati juga memiliki kapabilitas yang kuat untuk berasosiasi dengan air sehingga dapat berlaku sebagai agen yang efektif untuk mengontrol perilaku air pada sistem pangan kompleks (Pongsawatmanit, et al., 2001). Pati yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah tapioka. Hal ini dikarenakan harga tapioka yang relatif murah dibandingkan jenis pati yang lain. Kandungan amilopektin yang tinggi pada tapioka membuat kantung-kantung udara semakin banyak pada saat penggorengan. Untuk menghasilkan produk snack yang bermutu, tapioka yang digunakan harus memenuhi persyaratan mutu SNI tapioka (Lampiran 4). Pati berkualitas baik
dapat dilihat dari derajat keputihan tepung dan bersuara nyaring ketika digesek pada tangan. c. Baking powder Baking powder merupakan leavening agent, yaitu bahan yang dapat melepaskan gas karbondioksida (CO2) pada kondisi tertentu. Bahan ini menciptakan gelembung gas pada adonan dan membuat adonan mengembang. Ketika produk tersebut dipanaskan akan terbentuk kantung-kantung udara yang mengakibatkan produk terasa ringan dan renyah (Gale, 2006). Penambahan pengembangan
baking
adonan
powder
yang
baik
dimaksudkan karena
untuk
baking
menghasilkan
powder
mampu
menghasilkan gas berupa gas CO2, di mana dengan adanya pengembangan tersebut penetrasi bumbu ke dalam adonan akan lebih merata. Baking powder juga akan membentuk pori-pori adonan yang dapat menyebabkan uap panas dapat dengan mudah masuk ke dalam adonan sehingga proses pemasakan berlangsung lebih cepat (Serena, 1996). Baking powder adalah padatan berwarna putih yang biasanya memiliki tiga komponen yaitu asam, alkali dan pengisi. Ketika air ditambahkan pada baking powder, asam dan basa kering larut menjadi larutan. Pada bentuk ini, komponen-komponen bereaksi memproduksi gas karbondioksida. Baking powder akan menentukan tekstur akhir produk dan dapat mempengaruhi flavor, kadar air, dan penerimaan secara keseluruhan (Gale, 2006). Alkali yang digunakan pada baking powder adalah soda kue atau natrium bikarbonat yang berupa kristal putih larut air dan memproduksi gas karbondioksida ketika dipanaskan sekitar 50oC. Saat ini, ada empat macam asam yang banyak digunakan pada baking powder komersil yaitu monokalsium fosfat (CaHPO4), asam natrium pirofosfat, natrium alumunium fosfat dan natrium alumunium sulfat. Monokalsium fosfat merupakan asam bereaksi cepat dan memproduksi sejumlah besar gas dalam tiga menit setelah penambahannya. Asam natrium pirofosfat merupakan asam bereaksi lambat. Natrium alumunium fosfat dan natrium alumunium sulfat juga asam bereaksi lambat dan menghasilkan gas ketika dipanaskan. Namun, kedua komponen ini kurang disukai karena mengandung alumunium yang dapat menyebabkan
flavor yang tidak disukai (unpleasant flavour). Komponen terakhir adalah pengisi dan bahan yang biasa digunakan adalah pati jagung. Fungsi dari pengisi ini adalah menjaga produk tetap kering dan mudah menyebar (flowing), menjaga asam dan alkali terpisah, mencegah reaksi selama penyimpanan, menambah bobot pada bubuk serta membuatnya mudah diukur dan distandardisasi (Gale, 2006). Perbedaan utama dari beberapa jenis baking powder adalah waktu reaksi. Ada dua kategori yaitu baking powder aktivitas tunggal dan aktivitas ganda. Baking powder aktivitas tunggal memproduksi gas secara cepat ketika bercampur dengan cairan. Adonan ini harus dimasak dengan cepat supaya tidak mengempis (Gale, 2006). Menurut Suratno (1995), baking powder aktivitas tunggal biasanya hanya terdiri dari satu jenis bahan, misalnya natrium bikarbonat. Baking powder ini mempunyai aktivitas cepat, karena reaksinya berjalan cepat namun efek pengembangan yang dihasilkannya tidak berlangsung lama. Mekanisme baking powder mengikuti persamaan berikut : NaHCO3 Æ Na2CO3 + H2O + CO2 Baking powder aktivitas ganda pada mulanya hanya menghasilkan gas dalam jumlah kecil ketika bercampur dengan cairan. Pelepasan utama gas terjadi ketika adonan dipanaskan selama pemasakan. Biasanya baking powder aktivitas ganda memiliki dua macam asam, salah satu bereaksi langsung dan satu lagi bereaksi ketika dipanaskan (Gale, 2006). Baking powder aktivitas ganda biasanya terdiri dari natrium bikarbonat (NaHCO3) dan natrium pirofosfat (NaHPO4). Mekanisme reaksi baking powder jenis ini terjadi dalam dua tahapan reaksi. Tahap pertama adalah pebentukkan asam dan tahap kedua adalah reaksi asam dengan natrium bikarbonat menghasilkan gas karbondioksida. Mekanisme baking powder aktivitas ganda mengikuti reaksi berikut (Serena, 1996): NaHPO4 + H2O Æ NaOH + H3PO4 NaHCO3 + H3PO4 Æ Na3PO4 + H2O + CO2
d. Gula Gula ditambahkan pada proses pembuatan snack untuk memberikan rasa manis. Selain itu, gula dapat memberikan warna melalui reaksi maillard sekaligus mengontrol waktu penggorengan. Adanya gula juga menurunkan aw produk, sehingga stabilitas bahan pangan lebih baik karena gula membuat air tidak dapat digunakan oleh mikroorganisme. Namun, keberadaan komponen gula menyebabkan proses pengeringan berlangsung lebih lama. Gula bersifat higroskopis (kemampuan menahan air), sehingga dapat memperbaiki daya tahan produk dalam penyimpanan. Adanya gula juga mempengaruhi gelatinisasi pati. Komponen gula akan meningkatkan suhu gelatinisasi pati. Gula yang digunakan harus memiliki mutu yang baik dan dipilih yang berwarna seputih mungkin untuk menghindari produk gosong. Persyaratan mutu gula dapat dilihat pada Lampiran 5. e. Garam Garam ditambahkan untuk memberikan rasa asin. Garam yang digunakan adalah garam tidak beryodium. Hal ini dikarenakan yodium dapat memicu oksidasi minyak sehingga produk snack menjadi berbau tengik. Garam larut dalam gluten dan meningkatkan keliatan gluten serta mengurangi kelengketan. Selain itu, garam dapat meningkatkan daya absorbsi air dari tepung serta memberikan distribusi panas pada snack selama proses pengeringan. Garam dalam konsentrasi tinggi memiliki efek pengawet karena dapat
menyebabkan
plasmolisis
sel
mikroba
sehingga
menghambat
pertumbuhan dan menyebabkan kematian mikroba. f. Minyak Nabati Minyak nabati digunakan sebagai media untuk menggoreng bahan. Menurut Ketaren (1986), dalam penggorengan minyak goreng berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, menambah nilai gizi dan kalori dalam bahan pangan. Minyak yang telah rusak tidak hanya mengakibatkan kerusakan nilai gizi, tetapi juga merusak tekstur dan flavor dari bahan pangan digoreng. Oleh karena itu, minyak yang digunakan harus memenuhi persyaratan mutu sehingga produk yang dihasilkan juga memiliki
mutu yang baik. Persyaratan mutu minyak goreng dapat dilihat pada Lampiran 6. g. Perisa (seasoning) Seasoning didefinisikan sebagai bahan-bahan campuran yang terdiri dari satu atau beberapa rempah-rempah atau ekstrak rempah-rempah yang ditambahkan ke dalam produk selama proses pengolahan produk atau sebelum produk disajikan dengan tujuan untuk meningkatkan flavor alami bahan pangan serta dapat meningkatkan penerimaan konsumen (Farrel, 1985). Snack Taro net memiliki tiga jenis pencita rasa yaitu rumput laut, kentang barbekyu dan pizza. Pencita rasa ini ditambahkan dalam bentuk powder setelah proses penggorengan. Komposisi dari masing-masing perisa dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Komposisi Perisa Snack Taro net Perisa Kentang barbekyu Rumput laut Pizza
Komposisi Laktosa, penguat rasa MSG, hidrolisat protein nabati dan rempah-rempah. Tepung kecap, penguat rasa MSG, rumput laut kering dan hidrolisat protein nabati. Mengandung bubuk susu, penguat rasa MSG, dinatrium inosinat dan guanilat, rempah-rempah, bubuk keju dan ekstrak ragi.
2. Proses Pembuatan Proses produksi Taro net dimulai dengan proses pemasakan bahan pada steam cooker. Bahan-bahan yang dimasukkan adalah tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder. Kemudian, bahan-bahan tersebut dicampur, ditambahkan air dan di-steam. Proses steam dilakukan dua tahap, yaitu half steam selama 2 menit dan full steam selama 7.5 menit yang dilakukan pada tekanan boiler 10 bar dan suhu steam 180-200oC. Proses half steam bertujuan untuk mencegah tepung beterbangan pada saat pencampuran. Pada proses ini terjadi gelatinisasi pati tidak sempurna, karena gelatinisasi sempurna akan menyebabkan adonan menjadi kenyal sehingga sulit dibuat lembaran. Mesin steam cooker dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Steam Cooker (www.nposk.com) Tahap pencampuran bertujuan agar hidrasi tepung dan air berlangsung secara merata dan menarik serat-serat gluten. Pisau pada mesin pengaduk akan memecah air dan tepung, sehingga air dapat menembus pori-pori tepung. Air yang meresap tersebut akan menyebabkan serat gluten mengembang dan dengan pengadukan yang cukup maka serat gluten akan tertarik, tersusun tersilang dan terbungkus dalam pati sehingga akan membentuk adonan yang lunak, halus dan kompak (Jamilah, 2002). Setelah pemasakan, adonan dibentuk menjadi lembaran bermotif net dengan ketebalan 1.4 – 1.7 mm. Pembentukan lembaran dilakukan pada keadaan panas, jangan menunggu adonan dingin karena dapat membentuk warna yang tidak rata. Ketebalan yang dihasilkan harus seragam, baik bagian tengah maupun samping. Ketidakseragaman lembaran biasanya dikarenakan elastisitas adonan, hal ini dapat dikurangi dengan membuang bagian pinggir dan di-rework atau memodifikasi rol penggiling. Kemudian lembaran ditaburi tapioka dan didinginkan pada cooling conveyor atau dilapisi dengan plastik untuk menghindari kelengketan. Pendinginan bertujuan untuk memudahkan penggulungan sheet agar tidak terlalu lunak. Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk roll diaging selama 8-16 jam pada suhu ruang. Tujuan utama dari proses aging adalah transformasi pati dari tipe alfa menjadi beta. Proses aging dilakukan untuk mengkondisikan lembaran adonan siap untuk dipotong menjadi ukuran pelet yang diinginkan. Lembaran adonan yang diperoleh setelah pendinginan pada cooling conveyor masih lunak dan sangat lengket sehingga sulit untuk
dipotong. Retrogradasi pati dan evaporasi air yang terjadi selama aging akan membuat adonan mudah dipotong. Namun, evaporasi air yang berlebihan akan membuat adonan keras, sehingga harus dihindari. Evaporasi air yang berlebihan dapat dicegah dengan tidak meletakkan adonan pada udara mengalir. Untuk menjaga kondisi kesesakan udara (air tightness), rak aging ditutup dengan papan stainless atau plastik. Jika rak aging dibiarkan tertutup dan kesesakan udara terjaga maka RH ruangan sekitar 90% atau lebih. Dalam kondisi ini, rol adonan akan memiliki kadar air tinggi, karena air yang berevaporasi dari rol adonan. Ini berarti udara di sekeliling rol adonan memiliki kelembaban tinggi bahkan hampir jenuh. Evaporasi air yang terjadi selama aging ditunjukan oleh tanda panah dari rol adonan (Gambar 8).
wound dough Aging Rack
Gambar 8. Proses aging Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dilakukan pada rak terbuka dan tidak ditutup oleh plastik atau papan stainless, sehingga terekspos oleh udara mengalir. Hal ini menyebabkan evaporasi air berlebihan dan permukaan rol adonan menjadi keras. Penutupan rak aging dengan plastik tidak dilakukan, karena sisa adonan dapat menempel pada plastik, sehingga dapat ditumbuhi oleh mikroorganisme, mengingat kadar air adonan yang tinggi dan suhu ruang aging sekitar 27-32oC memicu pertumbuhan mikroorganisme dengan mudah. Jika penutupan rak aging tetap dilakukan, plastik yang digunakan harus dibersihkan secara rutin. Setelah tahapan aging, lembaran adonan dipotong menjadi ukuran pelet yang diinginkan, yaitu lebar 1.5-1.7 cm dan panjang 1.5-1.9 cm. Kemudian
pelet dikeringkan pada pengeringan pertama (first dryer) dengan hembusan udara panas yang berasal dari boiler. Mesin pengering pertama dapat dilihat pada
Gambar
9.
Tujuan
utama
dari
proses
pengeringan
adalah
memperpanjang umur simpan dengan mereduksi aktivitas air (aw) yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim.
Gambar 9. Mesin pengering pertama (www.nposk.com) Proses pengeringan pertama menggunakan pengering tipe konveyor pada suhu 55-60oC selama 4-6 jam dengan kecepatan konveyor 30 menit/siklus. Menurut Fellows (2000), pengering tipe konveyor memiliki tingkat pengeringan moderat dengan kapasitas evaporasi maksimum 1820 kg/jam. Pengeringan yang cepat dan bersuhu tinggi akan menyebabkan perubahan besar pada tekstur bahan pangan dibandingkan pengeringan dengan tingkat moderat dan suhu yang lebih rendah. Pengeringan cepat memiliki kapasitas evaporasi maksimum di atas 15000 kg/jam, seperti pengering tipe spray dan vacuum band. Pengeringan yang berlebihan akan menyebabkan masalah cracking pada pelet selama penyimpanan. Pelet yang telah dikeringkan pada mesin pengeringan pertama dengan kadar air 13-15% (Anonim6, 2005) disimpan sebagai stok di gudang pelet dalam kontainer plastik berkapasitas 25 kg. Gudang pelet ini tidak dilengkapi pengatur suhu dan RH ruangan, sehingga pelet-pelet disimpan pada suhu ruang dan RH lingkungan. Penyimpanan pelet selama beberapa hari menyebabkan perbedaan
kadar
air antar pelet semakin berkurang.
Pengkondisian ini berguna untuk menyeragamkan kadar air antar pelet dan distribusi air dalam pelet itu sendiri.
Sebelum digoreng, pelet dari gudang dikeringkan kembali pada pengering kedua sampai dicapai kadar air optimum untuk digoreng yaitu 710%. Pengeringan dilakukan menggunakan mesin pengering bertipe silinder berputar dengan waktu standar pengeringan 6-12 jam pada suhu 60-70oC. Sumber panas berasal dari gas elpiji atau pemanas elektrik (Anonim6, 2005). Kadar air akhir proses pengeringan kedua akan menentukan tingkat ekspansi produk. Proses pengeringan pada mesin pengering kedua merupakan pengeringan dengan rasio menurun. Jadi, proses pengeringan berlangsung lambat, sehingga perbedaan kadar air di permukaan dan dalam pelet semakin rendah. Pengeringan yang lambat akan memberikan kadar air relatif seragam, sehingga tingkat ekspansi akan seragam. Selain itu, kecepatan evaporasi uap air dari permukaan serta difusi internal air harus sama. Jika tidak demikian, maka permukaan pelet akan mengalami case hardening. Mesin pengering kedua yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Mesin pengering kedua (www.nposk.com) Setelah pelet dikeringkan pada pengeringan kedua, pelet disimpan selama 2 sampai 3 jam sebelum digoreng untuk mendistribusikan kadar air secara seragam pada pelet. Proses penggorengan dilakukan dengan deep frying menggunakan medium minyak goreng nabati pada suhu 180-200oC. Pada proses penggorengan, pelet mengalami pemanasan sehingga air yang terikat pada jaringan menguap dan menghasilkan tekanan uap untuk mengembangkan struktur elastis jaringan (Setiawan di dalam Zulviani, 1992). Pelet hasil penggorengan ditambahkan flavour dan dikemas. Mesin penggorengan dan flavouring dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Mesin penggorengan dan flavouring (www.nposk.com) Proses penggorengan terjadi dalam 5 tahapan, yaitu pengisian pelet, penggorengan, penirisan, penuangan dan pengembalian bucket pada posisi awal. Waktu yang dibutuhkan per batch penggorengan adalah 45-60 menit.
IV. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan adonan snack Taro net adalah tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder. Selain itu digunakan minyak nabati untuk menggoreng, flavour seperti potato barbeque, pizza, sosis dan rumput laut serta film plastik untuk kemasan Taro net. Bahan-bahan kimia yang diperlukan adalah garam jenuh yaitu KI, NaCl, KBr dan Na2SO4. Bahan-bahan untuk analisis mikrobiologi adalah larutan garam pepton, larutan buffer pepton (buffer pepton water), media Oxytetracycline
Malt
Extract
Agar
(OMEA),
Rappaport-Vassiliadis
Enrichment Broth (RVEB), Selenite Cystine Broth Base (SCBB), Brilliant Green Agar modifikasi (BGAm), Mannitol Lysine Crystal Violet Brilliant Green Agar (MLCBA), Xylose Lysine Desoxycholate Agar (XLDA), Polymyxin Pyruvate Egg Yolk Mannitol Bromothymol Blue Agar (PEMBA), Nutrient Agar (NA), Brain Parker’s Medium (BPA), Brain Heart Infusion Broth (BHIB), Heart Infusion Broth (HIB), Violet Red Bile Glucose Agar (VRBGA), Plate Count Agar (PCA), stomacher bag dan plasma kelinci. Bahan-bahan lain yang diperlukan adalah kapas dan plastik. Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah steam cooker, dough sheeter, cooling conveyor, mesin penggulungan sheet, mesin pemotong, mesin pengeringan pertama (first dryer), pengeringan kedua (second dryer), penggorengan, flavouring dan pengemasan. Alat-alat yang digunakan untuk analisis fisikokimia adalah moisture analyzer halogen drying, oven, aw meter, termometer air raksa, RH meter, desikator, inkubator, dan kotak bulk density. Alat-alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi adalah stomacher, pipet steril, tabung reaksi steril, cawan petri steril, erlenmeyer, inkubator, glass spreader, bunsen, dan waterbath. Selain itu digunakan timbangan analitik, gunting, besi rol, kontainer pelet, sudip, cawan alumunium, cawan porselen, gelas piala, dan palet. Diagram alir metodologi penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Tahapan Pembuatan dan Analisis Snack Taro net Terigu, tapioka, gula, garam, baking powder
Pemasakkan dengan steam cooker
•
Pengamatan karakteristik mutu bahan baku
•
Pembuatan adonan dan lembaran adonan Pengujian mutu organoleptik adonan
• Pencetakkan (sheeting)
Sheet
Pendinginan dengan cooling conveyor
•
Pengujian mutu lembaran adonan
•
Pengukuran waktu proses sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging
•
Pengujian mutu mikrobiologis lembaran adonan selama proses aging Pengujian pengaruh kelembaban udara (RH) rak aging terhadap proses retrogradasi pati lembaran adonan pada proses aging Pengujian pengaruh laju perubahan kadar air terhadap tekstur lembaran adonan selama aging
Penambahan tapioka
fisik
Penggulungan
Roll sheet
Aging • Pelet basah
@
•
•
Perhitungan waste dan pembuatan diagram sebab akibat
•
Perhitungan waste dan pembuatan diagram sebab akibat
•
Kurva sorpsi isoterm pelet hasil pengeringan pertama
Pengeringan kedua
•
Perhitungan waste dan pembuatan diagram sebab akibat
Pelet second dryer
•
Pengujian pengaruh kadar air pelet terhadap indeks ekspansi hasil goreng
•
Pengujian pengaruh kadar air hasil goreng terhadap mutu organoleptik
@
Pengeringan pertama
Pelet first dryer
Penyimpanan di gudang selama 30 hari
Penggorengan dan Flavouring
kue (hasil goreng)
Pengemasan
Snack Taro net
Gambar 12. Diagram alir metodologi penelitian
B. TAHAPAN PENELITIAN 1. Pengamatan Mutu Bahan Baku Bahan baku pembuatan snack Taro net adalah tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder. Mutu yang diamati adalah mutu fisik (kadar air), mutu organoleptik (penampakan, warna, bau dan rasa) dan mutu mikrobiologi (TPC, koliform, kapang dan khamir). Sampel uji diambil per lot setiap penerimaan bahan baku. 2. Pembuatan Adonan dan Lembaran Adonan Snack Taro Net Tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder dimasukan ke dalam mesin steam cooker. Kemudian diatur persentase air yang akan ditambahkan dan dijalankan mesin steam cooker selama beberapa menit. Pada penelitian ini dibuat tiga perlakuan pembuatan adonan dengan persentase air pemasakan yang berbeda, yaitu 34, 37 dan 40% terhadap berat bahan baku. Percobaan ini didasarkan pada rancangan acak lengkap dengan percobaan satu faktor yaitu jumlah air pemasakan. Adonan yang dihasilkan dialirkan ke sheeter, dipipihkan dan dicetak motif net. 3. Pengujian Mutu Organoleptik Adonan Adonan yang dihasilkan dari ketiga perlakuan di atas diamati secara organoleptik, yaitu tekstur, warna dan sifat plastisasi dari air. Warna dan plastisasi air diamati secara visual sedangkan tekstur diamati dengan menekan adonan menggunakan tangan. 4. Pengujian Mutu Fisik Lembaran Adonan Pada lembaran adonan bermotif net dilakukan pengukuran mutu fisik yang meliputi ketebalan dan elastisitas lembaran. Ketebalan lembaran diukur menggunakan jangka sorong, sedangkan elastisitas lembaran diukur dengan uji tarik. Percobaan dilakukan dengan tiga buah lembaran adonan dari 3 adonan yang memiliki variasi persentase air pemasakan dan setiap perlakuan diulang sebanyak 5 kali untuk pengujian ketebalan lembaran adonan sedangkan untuk pengujian elastisitas adonan diulang sebanyak 2 kali. Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan
satu faktor. Model linier aditif secara umum dari rancangan satu faktor dengan rancangan acak lengkap yang digunakan adalah model tetap. Model tetap merupakan model di mana perlakuan-perlakuan yang digunakan dalam percobaan berasal dari populasi yang terbatas dan pemilihan perlakuannya ditentukan secara langsung oleh peneliti. Bentuk umum dari model linier aditif adalah (Matjik dan Sumertajaya, 2002) : Yij = µ + τi + εij atau Yij = µi + εij di mana i = 1,2, ...., t dan j = 1,2,.... r Yij = variabel respon pada penambahan jumlah air pemasakan ke-i dan ulangan ke-j µi = rataan umum τi = pengaruh penambahan jumlah air pemasakan ke-i εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j 5. Pengukuran Waktu Proses Transportasi ke Ruang Aging
Sheeting,
Cooling,
Rolling,
dan
Pengukuran waktu dimulai dari adonan turun dari steam cooker sebagai detik ke-0 sampai rol adonan terakhir dalam batch tersebut diletakkan pada rak aging. Pengukuran dilakukan menggunakan stopwatch pada 2 mesin cooker yang memiliki kapasitas berbeda, yaitu mesin cooker dengan kapasitas 50 dan 100 kg. 6. Pengujian Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama Proses Aging Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk rol diletakkan dalam ruang aging untuk melalui proses aging. Sampel lembaran adonan diambil pada waktu aging 0, 12, 20, 24 dan 26 jam dari 4 mesin cooker yang berbeda. Kemudian, dilakukan analisis mikrobiologi pada sampel tersebut yang meliputi TPC (Total Plate Count), total kapang dan khamir, total Enterobacter dan uji kualitatif bakteri patogen yaitu B. cereus, S. aureus dan Salmonella. Identifikasi pembagian fase pertumbuhan mikrobiologi berdasarkan analisis TPC mikrobiologi selama aging. Pada setiap fase dilakukan perhitungan kecepatan pertumbuhan konstan (k) mikrobiologi untuk
menentukan titik kritis waktu aging yang aman. Menurut Fardiaz (2002), kecepatan pertumbuhan konstan (k) dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut : k = log Nt – log No 0.301t keterangan : k = kecepatan pertumbuhan konstan (generasi/waktu) Nt = jumlah sel setelah waktu t No = jumlah sel awal t = waktu dari No ke Nt (jam atau menit) 7. Pengujian Pengaruh Kelembaban Udara (RH) Rak Aging terhadap Proses Retrogradasi Pati Lembaran Adonan pada Proses Aging Lembaran adonan yang telah digulung menjadi bentuk rol diaging pada 4 rak aging yang dipilih secara acak, yaitu rak aging no. 14, 52, 65 dan 78. Kemudian, dilakukan pengukuran suhu bola basah dan suhu bola kering pada setiap rak aging. Suhu bola basah dan bola kering diplotkan pada kurva psikometrik untuk mendapatkan nilai kelembaban udara (RH). Kemudian dilakukan pengukuran kadar air lembaran adonan pada waktu aging 0 dan 8 jam. 8. Pengujian Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air terhadap Tekstur Lembaran Adonan Selama Aging Sebanyak 3 rol lembaran adonan diaging dan tiap rol dibagi menjadi empat bagian. Pada setiap rol dilakukan pengukuran kadar air pada lembaran yang terletak pada posisi paling luar, tengah dan dalam dari rol. Pengukuran dilakukan pada 4 titik jam aging yang berbeda. Kemudian dilakukan uji kekerasan terhadap tekstur lembaran adonan pada posisi luar, tengah dan dalam setelah diaging selama 12 jam. 9. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet First Dryer Desikator berisi contoh disimpan dalam ruang penyimpanan yang telah diatur suhunya 31oC dan dijaga tetap. Untuk mendapatkan kondisi RH yang diinginkan, diletakkan larutan garam jenuh sebagai pengatur
kelembaban desikator. Larutan garam jenuh diperoleh dengan melarutkan garam dalam jumlah berlebih ke dalam air destilata. RH gudang Taro adalah 65-90%, sehingga dibuat kurva sorpsi isoterm pada kisaran RH tersebut. Garam jenuh yang digunakan adalah KI (RH 69%), NaCl (RH 74%), KBr (RH 83%) dan Na2SO4 (RH 87%). Pelet first dryer sebanyak ± 5 gram dimasukkan dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya. Kemudian cawan tersebut dimasukkan dalam desikator yang telah berisi larutan garam jenuh seperti Gambar 13. Setiap tiga hari sekali cawan sampel ditimbang sampai mencapai berat konstan. Keterangan : 1. Inkubator 2. Desikator 3. Cawan alumunium 4. Penyangga berlubang 5. Larutan garam jenuh Gambar 13. Susunan Desikator 10. Pengujian Pengaruh Kadar Air Pelet terhadap Indeks Ekspansi Hasil Goreng Pelet first dryer dikeringkan pada mesin pengering kedua selama 150 menit dan setiap 30 menit sampel diturunkan sebagian dari mesin pengering kedua. Sampel yang diturunkan diukur kadar airnya menggunakan moisture analyzer pada 5 titik yang berbeda. Pelet tersebut kemudian digoreng pada mesin penggorengan dan diukur densitas kamba hasil gorengnya. Pengukuran densitas kamba menggunakan kotak bulk density dengan volume 18 liter dan timbangan. 11. Pengujian Pengaruh Kadar Air Hasil Goreng terhadap Mutu Organoleptik Berdasarkan tekstur, hasil goreng dikelompokkan menjadi empat yaitu porian, keriting, standar dan bantat. Pada setiap kelompok ini dilakukan pengukuran kadar air dan aw serta uji kerenyahan. Pengukuran kadar air menggunakan moisture analyzer, sedangkan aw menggunakan aw
meter dengan ketelitian ±0.02. Uji kerenyahan dilakukan secara organoleptik. 12. Perhitungan Waste Waste
pada
tahap
pemotongan
dikumpulkan
setiap
batcg
pemotongan. Waste tersebut dipisahkan menjadi waste rol adonan dan waste pelet, kemudian ditimbang. Waste pada tahap pengeringan pertama dikumpulkan untuk setiap mesin pengering pertama. Waste dipisahkan menjadi waste yang tercecer di sekeliling mesin dan waste yang terdapat pada bagian dalam mesin, kemudian dilakukan penimbangan. Waste pada tahap pengeringan kedua dikumpulkan untuk setiap mesin pengering kedua setelah penurunan pelet dari mesin dan dilakukan penimbangan. 13. Diagram Sebab Akibat Pembuatan diagram Ishikawa dilakukan dengan brainstorming bersama Supervisor, Quality Control dan Kepala seksi.
C. METODE ANALISIS 1. Analisis Fisikokimia a. Kadar Air (Moisture Analyzer Halogen Drying) Sampel lembaran adonan dipersiapkan dengan memotong adonan menjadi ukuran 0.5 cm x 0.5 cm, sampel pelet dipatahkan menjadi empat persegi kecil sedangkan sampel hasil goreng dihancurkan menjadi berbentuk bubuk. Sampel sebanyak ±3 gram diletakkan pada piring alumunium foil yang terdapat pada moisture analyzer, kemudian sampel diratakan. Sampel lembaran adonan dan pelet menggunakan suhu pengeringan 200oC, sedangkan hasil goreng suhu 105oC. Tekan tombol START, moisture analyzer akan mengeringkan sampel dan menampilkan nilai kadar air secara digital sampai dua angka di belakang koma. b. Kadar Air (Metode Oven) (UMA 0754) Cawan kosong dan tutupnya ditimbang, kemudian ditimbang sampel yang telah dihancurkan atau diblender sebanyak ± 5 gram. Angkat tutup cawan dan tempatkan cawan beserta isi dan tutupnya dalam oven suhu
105oC selama 4 jam. Tutup dengan penutup cawan, pindahkan cawan ke desikator, lalu didinginkan. Setelah dingin ditimbang kembali. Kadar air dihitung berdasarkan berat kering bahan. Kadar air (%) = berat air yang menguap (gram) x 100% berat kering contoh (gram) c.
aw Sebanyak ± 3 gram sampel dihancurkan atau diblender, kemudian diletakkan pada piringan kecil aw meter. Tempat sampel ditutup, ditekan tombol START, nilai aw muncul di layar secara digital.
d.
Suhu Bola Basah dan Bola Kering Pengukuran suhu bola kering dilakukan menggunakan termometer air raksa. Suhu bola basah diukur dengan termometer air raksa yang bagian bawahnya diletakkan kapas basah, kemudian dianginkan menggunakan kipas angin sampai suhu stabil.
e.
Uji Elastisitas Uji elastisitas dilakukan menggunakan uji tarik secara manual. Sheet dipotong persegi panjang dengan ukuran 8 cm x 3 cm, ditarik dari satu sisi sampai putus di atas penggaris. Catat panjang maksimal sheet yang bisa dicapai sampai putus. Elastisitas dinyatakan dengan : Elastisitas = panjang maksimal sheet sampai putus (cm) 8 cm
f.
Densitas Kamba Snack dari penggorengan dimasukkan ke dalam kotak densitas kamba yang bervolume 18 liter sampai penuh tanpa menekan hasil goreng, hanya diratakan saja. Kemudian hasil goreng yang telah dimasukkan dalam kotak ditimbang. Satuan densitas kamba adalah berat bahan (gram) per 18 liter.
2. Analisis Mikrobiologi a.
Total Plate Count (TPC) Analisis TPC dilakukan menggunakan metode tuang. Sebanyak kurang lebih 15 ml PCA (Plate Count Agar) dituangkan ke dalam cawan petri steril, ditutup dan dibiarkan hingga membeku. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh yang telah diencerkan ke dalam cawan petri, diratakan menggunakan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 30oC selama 2 hari.
b.
Total Kapang-Khamir (UMA 0322) Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media Oxytetracycline Malt Extract Agar (OMEA), diratakan dengan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 25oC selama 3-5 hari dan dihitung jumlah koloni per gram. Total kapang diperoleh dari hasil perhitungan koloni yang bermiselium, sedangkan sisanya adalah koloni khamir.
c.
Total Enterobacter (UMA 0333) Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 1 ml contoh dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam cawan petri steril. Kemudian dituang 12-13 ml VRBGA cair ke dalam cawan petri yang telah diinokulasi, diratakan dan diinkubasi terbalik pada suhu 37oC selama 24 jam. Koloni berwarna merah gelap atau ungu, kemudian dihitung jumlah koloni per gram.
d.
Uji Kualitatif B. Cereus (UMA 0339) Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media PEMBA,
diratakan dengan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 37oC selama 24-28 jam. Koloni berwarna biru hijau sampai biru dan lebih besar dari 2 mm dan jelas dengan reaksi kuning telur (egg yolk). e.
Uji Kualitatif Salmonella (UMA 0340) Sampel sebanyak 25 gram dilarutkan dalam 225 ml larutan buffer pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik, diinkubasi dalam stomacher bag selama 20 jam pada suhu 37oC. Sebanyak 0.1 ml contoh dimasukkan dalam 10 ml RVEB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 42oC dan sebanyak 10 ml contoh dimasukkan dalam 100 ml SCBB dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah inkubasi, kultur dari RVEB digores pada media BGA dan MLCBA atau XLDA, kemudian diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Koloni Salmonella pada media BGA berwarna pink, halus dengan pinggiran merah, pada media MLCBA koloni besar berwarna ungu kehitaman sedangkan pada media XLDA koloni berwarna hitam dan memiliki lingkaran merah terang.
f.
Uji Kualitatif S. aureus (UMA 0337) Sampel sebanyak 20 gram dilarutkan dalam 180 ml larutan garam pepton, dihomogenkan selama 30-120 detik dan diencerkan dengan larutan garam pepton sampai pengenceran 10-5. Kemudian dipipet 0.1 ml contoh dari masing-masing tingkat pengenceran ke dalam media BPA, diratakan dengan glass spreader, diinkubasi terbalik pada suhu 37oC selama 24 dan 28 jam. Koloni berwarna hitam mengkilat dengan atau tanpa zona bening.
3. Uji Organoleptik a. Uji Kekerasan Metode percobaan uji kekerasan dilakukan uji patah. Uji patah dilakukan dengan mematahkan lembaran adonan dengan kedua tangan. Penilaian dilakukan oleh seorang quality control dan memberi penilaian tentang keras atau lunaknya lembaran adonan dalam 4 kategori yaitu sangat keras, keras, agak keras dan lunak. Lembaran adonan dengan kekerasan tinggi akan mudah dipatahkan dan bunyinya nyaring, sedangkan semakin lunak adonan semakin sulit untuk dipatahkan. Skala yang
diberikan mulai dari (+++) untuk kategori sangat keras dan (-) untuk kategori lunak. b. Uji Kerenyahan (Prastyanty, 1998) Metode percobaan uji kerenyahan dilakukan dengan dua cara yaitu uji patah dan uji cicip. Uji patah dilakukan dengan mematahkan kerupuk dengan kedua tangan sedangkan uji cicip dilakukan dengan menggigit kerupuk. Penilaian dilakukan oleh seorang quality control dan memberi penilaian tentang renyah atau tidaknya produk dalam 4 kategori yaitu sangat renyah, renyah, agak renyah dan tidak renyah. Skala yang diberikan mulai dari (+++) untuk kategori sangat renyah dan (-) untuk kategori tidak renyah. 4. Analisis Data Statistik a. Pengujian Hipotesis Analisis Sidik Ragam (Matjik dan Sumertajaya, 2002) Bentuk hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut : Ho : τi = ...= τ6 = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1 : paling sedikit ada satu i di mana τi ≠ 0 Pengujian hipotesis menggunakan statistik uji F-hitung mengikuti sebaran F dengan derajat bebas pembilang sebesar t-1 dan derajat bebas penyebut sebesar t(r-1). Dengan demikian jika nilai F-hitung lebih besar dari Fα,db1,db2 maka hipotesis nol ditolak dan berlaku sebaliknya. Penolakan hipotesis nol berimplikasi bahwa perlakuan yang diberikan terhadap unitunit percobaan memberikan pengaruh yang nyata terhadap respon percobaan yang diamati. b. Analisis Hasil Pengujian Korelasi Bivariate Pearson (Santoso, 2002). 1.
Hipotesis : Ho : tidak ada hubungan (korelasi) antara dua variabel H1 : ada hubungan (korelasi) antara dua variabel
2.
Penentuan kesimpulan Jika probabilitas (signifikansi) > 0.05, maka Ho diterima
Jika probabilitas (signifikansi) < 0.05, maka Ho ditolak c. Statistika Deskriptif (SPSS) Analisis dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Menu yang digunakan adalah descriptive statistics dan submenu frequencies dan descriptives. Untuk memperkirakan besar rata-rata populasi yang diperkirakan dari sampel, digunakan standard error of mean pada tingkat kepercayaan 95%, sehingga rata-rata jumlah waste menjadi = rata-rata ± (t hitung x Standard error of mean). Karena jumlah sampel di bawah 30, maka yang digunakan adalah angka t tabel, jika sampel lebih dari 30 maka yang digunakan z sampel. Selain itu, digunakan rasio skewness untuk menentukan apakah data berdistribusi normal. Rasio skewness diperoleh dari nilai skewness dibagi standard error skewness. Jika rasio skewness berada di antara -2 sampai +2 maka distribusi data normal (Santoso, 2006). d. Analisis Ragam Analisis ragam dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Menu yang digunakan adalah ANOVA one-way. Analisis hasil pengujian adalah sebagai berikut (Santoso, 2006) : a. Hipotesis : Ho : kelima rata-rata populasi adalah identik H1 : kelima rata-rata populasi adalah tidak identik b. Penentuan kesimpulan Jika probabilitas (signifikansi) > 0.05, maka Ho diterima Jika probabilitas (signifikansi) < 0.05, maka Ho ditolak Untuk mengetahui apakah ada perbedaan jumlah waste yang nyata pada setiap mesin pengering kedua dilakukan analisis ragam ANOVA oneway. Jika sampel tidak mempunyai varians yang sama, maka dilakukan transformasi data dan diperoleh nilai signifikansi dari test of homogeneity of variances. Jika nilai probabilitas > 0.05, maka berarti kelima varians
populasi adalah identik (Santoso, 2006). Dengan demikian, kesamaan varians yang merupakan salah satu syarat uji ANOVA telah terpenuhi. Setelah kelima varians terbukti sama, baru dilakukan uji ANOVA untuk menguji apakah kelima mesin mempunyai rata-rata yang sama berdasarkan nilai probabilitas. Untuk mengetahui mesin mana saja yang berbeda dan yang tidak berbeda dilakukan post hoc menggunakan analisis Bonferroni dan Tukey. Hasil uji signifikansi dengan mudah bisa dilihat pada hasil analisis dengan ada atau tidaknya tanda * pada kolom mean difference. Jika terdapat tanda *, maka perbedaan tersebut nyata atau signifikan. Selain itu bisa dipergunakan homogenous subset untuk menyatakan subset mana saja yang mempunyai perbedaan rata-rata tidak signifikan (Santoso, 2006).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MUTU BAHAN BAKU Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net adalah terigu, tapioka, gula, garam, baking powder, minyak nabati dan flavor. Untuk mendapatkan produk yang baik, bahan baku yang dipergunakan harus berkualitas baik. Parameter utama untuk menentukan kualitas bahan baku adalah kadar air yang mempengaruhi karakteristik produk, baik mutu fisikokimia, organoleptik dan biologis. Berikut ini adalah ambang batas maksimum kadar air dari masing-masing bahan baku yang dipergunakan di PT. Rasa Mutu Utama (Tabel 9). Tabel 9. Ambang batas maksimum kadar air bahan baku Bahan Baku Tepung terigu Tapioka Gula Garam Baking powder Perisa Minyak nabati
Kadar air maksimum (%) 14.001 15.002 0.04 0.08 7.00 6.00 – 7.00 0.303
Sumber : 1SNI 01-3751-1995, 2SNI 01-3451-1994, 3SNI 01-3741-1995
1.
Mutu Biologis Bahan Baku Kadar air dapat digunakan untuk memperkirakan kualitas keamanan bahan dari kontaminasi mikroorganisme. Bahan pangan yang memiliki kadar air tinggi cenderung lebih mudah ditumbuhi mikroorganisme dan serangga. Karakteristik hidratasi yang sering digunakan dalam penentuan mikrobiologis adalah aw. Flora mikroorganisme pada terigu, dan produk sejenis biasanya bersumber dari tanah, lingkungan penyimpanan, dan selama proses. Produk-produk ini kaya akan protein dan karbohidrat, namun aw yang rendah dapat menekan pertumbuhan semua mikroorganisme jika disimpan dengan benar. Jumlah mikroorganisme dalam tepung relatif sedikit dan penambahan pemutih dapat mengurangi jumlah mikroorganisme. Ketika terjadi kenaikan aw, bakteri dari genus Bacillus dan kapang dari beberapa
genus dapat tumbuh (Jay, 2000). Menurut Frazier dan Wetshoff (1988) mikroorganisme pada tepung terigu meliputi spora Bacillus, bakteri koliform, dan beberapa dari genus Achromobacter, Flavobacterium, Sarcina, Micrococcus, Alcaligenes dan Serratia. Spora kapang umumnya berasal dari Aspergilus dan Penicillium, dengan beberapa dari Alternaria, Cladosporium dan genus lainnya. Pembentuk
spora
aerobik,
seperti
Bacillus
cereus
dapat
memproduksi amilase, sehingga mikroorganisme dapat menggunakan tepung dan produk sejenis sebagai sumber energi jika kandungan air bahan mencukupi. Kandungan air yang lebih rendah akan menyebabkan pertumbuhan kapang yang ditandai dengan pertumbuhan miselium dan pembentukkan spora, seperti genus Rhizopus dengan spora hitam (Jay, 2000). Pada tepung berkadar air rendah kapang tidak akan tumbuh tetapi pada kadar air di atas 14%, kapang dapat tumbuh (Hoseney di dalam Butt, et al., 2003). Mikroorganisme E. coli seringkali mengkontaminasi tepungtepungan. Menurut Fardiaz (1989), bakteri ini merupakan indikator adanya polusi kotoran dan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu. Adanya bakteri ini di dalam makanan atau minuman menunjukkan kemungkinan adanya mikroorganisme yang bersifat enteropatogenik dan/atau toksigenik yang berbahaya bagi kesehatan. Bahan baku snack ternyata memiliki potensi terhadap cemaran mikrobiologis yaitu bakteri, kapang dan khamir. Analisis mikrobiologi bahan baku snack Taro net, yaitu tepung terigu, tapioka, gula, garam dan baking powder dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Analisis mikrobiologi bahan baku snack Taro net Mikrobiologi (kol/gram) Bahan Baku Kadar air (%) TPC Koliform Kapang Khamir 2 Terigu 12.24 1.9 x 10 0 1.6 x 102 0 2 1 Tapioka 12.73 2.3 x 10 0 1.0 x 10 0 5.03 0 0 0 0 B. powder Gula 0.23 Garam 0.17 -
Dari kelima bahan baku snack di atas, tepung terigu dan tapioka merupakan bahan yang paling banyak memiliki cemaran biologis. Hal ini dikarenakan karakteristik tepung terigu yang kaya akan karbohidrat dan protein serta tapioka yang merupakan pati singkong. Tepung terigu yang dianalisis memiliki jumlah koloni 1.9 x 102 koloni/gram (metode hitungan cawan/TPC) dan kapang 1.6 x 102 koloni/gram, sedangkan koliform dan khamir 0 koloni/gram. Fardiaz (1992) menyatakan ada beberapa keunggulan perhitungan koloni dengan metode hitungan cawan (Total Plate Count), yaitu hanya sel yang masih hidup yang dihitung. Profil mikrobiologi normal pada tepung-tepungan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Profil mikrobiologi tepung-tepungan Mikroflora normal Kapang Khamir Bakteri : • Aerobic Plate Count • Koliform • Spora pembusuk
Kisaran Jumlah (koloni/gram) 102 – 104 10 – 102 102- 106 0 – 10 0 - 102
Sumber : Frazier dan Westhoff (1988)
Berdasarkan Tabel 11, tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net memiliki mutu mikrobiologis yang baik, karena jumlah kapang, khamir dan koliform pada tepung terigu masing-masing 1.6 x 102, 0 dan 0 koloni/gram masih dalam kisaran normal yaitu 102- 104, 10-102, dan 0-10. Hasil analisis tepung terigu ini juga memenuhi standar SNI 01-3751-1995 tentang tepung terigu, yaitu angka lempeng total (TPC) maksimum 106 koloni/gram, kapang 104 koloni/gram dan E. coli 10 APM/g. Hal ini didukung oleh kadar air tepung terigu yang rendah yaitu 12.24%, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Tapioka yang merupakan pati singkong memiliki TPC 2.3 x 102 koloni/gram, kapang 1.0 x 101 koloni/gram, koliform 0 koloni/gram dan khamir 0 koloni/gram. Menurut SNI 01-3451-1994, standar cemaran mikrobiologi untuk tapioka adalah angka lempeng total (TPC) maksimum 1.0 x 106, kapang 1.0 x 104 dan E. coli 10. Berdasarkan standar SNI 01-
3451-1994, tapioka yang digunakan dalam pembuatan snack Taro net memiliki mutu mikrobiologis yang baik, karena hasil analisis mikrobiologi tapioka masih dalam kisaran standar. Hal ini didukung oleh kadar air tapioka yang rendah yaitu 12.73%, sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), tapioka akan rusak jika terjadi kenaikan kadar air. Kerusakan disebabkan oleh bakteri dengan pigmen oranye yang dapat menghidrolisa pati. Menurut Frazier dan Westhoff (1988), jika dilihat dari aspek kesehatan publik, kontaminasi serealia dan produknya oleh kapang telah menjadi perhatian utama karena kemungkinan adanya mikotoksin. Mikotoksin utama yang terdapat pada bahan pertanian dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis mikrobiologi pada baking powder, tidak ditemukan cemaran mikrobiologi. Hal ini dikarenakan komposisi baking powder yang berupa soda kue, asam dan bahan pengisi tidak mendukung pertumbuhan yang dibutuhkan oleh mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992), salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan jasad renik adalah tersedianya nutrien yaitu sumber karbon, nitrogen, energi dan faktor pertumbuhan seperti mineral dan vitamin. Gula dan garam tidak dilakukan analisis mikrobiologi, karena kedua komponen tersebut mempunyai aksi sebagai pengawet makanan dan tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Selain mikroorganisme, ada beberapa serangga yang dapat mengkontaminasi produk serealia yang belum diolah. Kadar air dari komoditas pangan yang diserang oleh serangga hama gudang mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan serangga seperti halnya pengaruh suhu. Pada kadar air rendah, serangga mungkin masih hidup tetapi tingkat pertumbuhannya rendah. Sebaliknya pada komoditas pangan dengan kadar air tinggi pertumbuhan kapang dan mikroorganisme lain akan mengurangi kemampuan serangga hama gudang untuk tetap hidup dan berkembang biak. Pengaruh kadar air komoditas pangan terhadap kehidupan serangga sangat erat hubungannya dengan kelembaban relatif di mana komoditas pangan disimpan (Syarief dan Halid, 1989).
Serangga yang hidup pada penyimpanan serealia dan produknya tergantung pada suplai air (kadar air). Secara umum, kadar air 9% atau lebih rendah dapat menghambat infestasi serangga (Butt, et al., 2003). Serangga-serangga yang menyerang produk serealia dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Serangga-serangga yang menyerang serealia No
Nama Serangga
1
Rhyzoptera dominica Fabricus
2
Oryzaephilus surinamensis Linnaeus Tribolium castaneum Tenebroides mauritanicus Linnaeus Ephestia spp.
3 4 5 6
Corcyra Cephalonica
Keterangan
Kondisi Pertumbuhan Optimum hama penting pada RH 70%, suhu 34oC sereal yang belum diolah hama penting pada Suhu 30-35oC, RH sereal yang belum 70%. diolah Hama sekunder pada Suhu 35oC, RH 75% sereal Hama sekunder pada sereal dan tepung Hama gudang Suhu 28oC, RH 75% penting pada tepung sereal Hama yang suka Suhu 30oC, RH 70% menyerang tepung sereal
Sumber : Syarief dan Halid (1989)
Melihat potensi pertumbuhan mikroorganisme dan serangga, perlu dilakukan penyimpanan bahan baku yang benar, yaitu disimpan dalam ruangan yang bersih, bebas serangga, binatang pengerat, cukup penerangan, terjamin peredaran udara dan suhu yang sesuai. Bahan yang terdahulu diterima sebaiknya digunakan terlebih dahulu (first in first out). Kondisi ruang penyimpanan harus dikontrol, baik suhu maupun RH ruangan, sehingga kadar air bahan baku dapat dijaga konstan untuk meminimalisasi potensi pertumbuhan serangga maupun mikroorganisme. Selain itu, sanitasi pekerja perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi silang yang bersumber dari pakaian atau tangan karyawan .
2. Mutu Fisiko-kimia Bahan Baku Tepung terigu merupakan bahan baku dengan komposisi terbesar dalam pembuatan snack Taro net. Tepung terigu yang baik memiliki kadar air maksimal 14%. Kadar air tepung yang terlalu tinggi akan menyebabkan adonan menjadi lebih elastis dan kenyal. Menurut Barbosa-Canovas dan Yan (2003), kadar air tepung mempengaruhi kelengketan dan konsistensi adonan. Adonan yang dibuat dari tepung berkadar air rendah lebih sensitif terhadap perubahan absorpsi air adonan daripada adonan yang dibuat dari tepung berkadar air tinggi. Kadar air tepung berhubungan dengan umur simpannya, semakin rendah kadar air tepung, maka stabilitas penyimpanan tepung akan semakin baik. Selain itu, kerusakan kualitas baking akan berkurang seiring dengan rendahnya kadar air yang dapat memperlambat respirasi dan aktivitas mikroorganisme (Staudt dan Zeigler di dalam Butt, et al., 2003). Kadar air tepung yang tinggi akan menyebabkan aktivitas lipolitik dan proteolitik meningkat, sehingga mengakibatkan hilangnya nutrisi (protein dan lemak) dan meningkatnya produksi asam lemak bebas yang menyebabkan mutu organoleptik produk menjadi rendah (Butt, et al., 2003). Tapioka yang digunakan harus memiliki kadar air maksimal 13%. Masalah yang sering timbul pada bahan tepung-tepungan seperti tepung, tapioka dan pati adalah penggumpalan atau caking. Caking dikarakterisasi oleh pembentukkan gumpalan lembut atau total soldifikasi yang disebabkan gaya interpartikel yang berkembang di bawah penyerapan air, suhu yang menaik, atau tekanan statis. Ada banyak faktor yang menyebabkan pembentukan gumpalan, tetapi faktor utamanya adalah kadar air, komposisi, tekanan, ukuran kristal dan bentuk, suhu dan variasi kelembaban (Barbosa-Canovas dan Yan, 2003). Kadar air merupakan musuh utama bagi baking powder, karena dapat memperpendek umur simpannya. Selain itu, kelembaban udara dapat bereaksi dengan komponen aktif pada baking powder dan menurunkan efektivitasnya. Selama penyimpanan, jika menyerap air maka baking
powder akan menggumpal. Penentuan kualitas baking powder dapat dilakukan dengan mengambil satu sendok teh baking powder dan memasukannya dalam air panas. Jika terbentuk desis air, maka baking powder masih layak untuk digunakan (Eborn, 2005). Gula bersifat higroskopis dan akan menggumpal jika menyerap air. Begitu pula dengan garam yang menyerap air dari udara jika tidak tertutup rapat. Jika garam menyerap air dan menggumpal, dapat dikeringkan dengan oven (Anonim5, 2006) Kadar air juga berpengaruh terhadap mutu minyak nabati yang digunakan untuk menggoreng. Menurut SNI 01-3741-1995, kadar air minyak goreng maksimal 0.3%. Hal ini dikarenakan adanya air dapat memicu reaksi hidrolisis yang akan memecah trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Menurut Ketaren (1986), asam lemak bebas dapat menghasilkan bau tengik dan rasa tidak enak dalam bahan pangan berlemak. Asam lemak bebas yang bereaksi dengan amonia yang dihasilkan dari degradasi protein akan menimbulkan bau sabun yang tidak enak (soapy flavour). Oleh karena itu, reaksi hidrolisis minyak ini harus diawasi dengan pengecekkan kadar FFA (free fatty acid) minyak. Menurut SNI 01-0741-1995, nilai FFA minyak yang baik adalah maksimal 0.3%. 3. Mutu Organoleptik Bahan Baku Bahan baku pembuatan snack Taro net harus melalui pemeriksaan mutu terlebih dahulu sebelum digunakan. Pemeriksaan mutu melalui evaluasi organoleptik dianggap paling mudah dan praktis. Menurut Soekarto (1985), penilaian mutu dengan cara ini disenangi karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan langsung. Uji organoleptik yang dilakukan meliputi penampakan, aroma, rasa, dan tekstur. Parameter-parameter yang digunakan dalam pengujian organoleptik dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Parameter uji organoleptik bahan baku snack Taro net Bahan baku Tepung terigu1
Parameter uji organoleptik Berwarna putih krem, kering, tidak menggumpal, tidak berbau (bau normal), tidak berkutu dan bebas bahan cemaran. 2 Tapioka Berwarna putih, tidak berbau (bau normal), tidak berkutu, dan bebas bahan cemaran. Gula Berupa kristal putih jernih, berasa manis dan tidak berbau Garam Berupa kristal putih transparan, bersih, bebas cemaran dan berasa asin Baking powder Berwarna putih dan bebas cemaran. Perisa rumput Berupa bubuk dengan flake kehijauan, kering dan tidak laut menggumpal. Perisa kentang Berupa bubuk berwarna coklat, kering, tidak menggumpal barbekyu dan beraroma kentang. Perisa pizza Berupa bubuk berwarna oranye kecoklatan, kering, tidak menggumpal dan berasa pizza pepperoni. Minyak Tidak berasa, tidak berbau dan berwarna jernih goreng3 kekuningan. Sumber : 1SNI 01-3751-1995, 2SNI 01-3451-1994, 3SNI 01-3741-1995
B. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU ADONAN DAN LEMBARAN ADONAN (SHEET) Air digunakan untuk mencampurkan semua bahan dan pemasakan adonan. Air yang digunakan memiliki pH sekitar 7.5. Persentase jumlah air yang ditambahkan akan menentukan karakteristik mutu adonan dan lembaran adonan yang dihasilkan. Pada percobaan ini dilakukan pemasakan adonan dengan tiga perlakuan, yaitu perbedaan persentase jumlah air untuk jumlah bahan kering yang sama. Persentase jumlah air yang ditambahkan yaitu 34, 37 dan 40%. Adonan yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan berbeda-beda, dilihat dari mutu fisik dan organoleptik adonan. 1. Pengaruh Kadar Air Pemasakan terhadap Mutu Organoleptik Adonan Jumlah
air
pada pemasakan adonan
mempengaruhi proses
gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati terjadi ketika terdapat air dalam jumlah berlebih dan suhu yang mencukupi suhu gelatinisasi masing-masing pati. Semakin berlebih jumlah air, gelatinisasi pati terjadi semakin sempurna.
Menurut Muchtadi, et al. (1989), jika tidak terdapat air dalam jumlah yang cukup maka yang terjadi adalah proses peleburan dari granula pati sebagai akibat adanya pemanasan. Peleburan granula pati terjadi pada suhu yang lebih tinggi dari suhu gelatinisasinya. Jika jumlah air tidak mencukupi maka akan terjadi destabilisasi bagian amorf dan kristal dari granula pati sebagai akibat penetrasi air dan panas dalam granula. Akan tetapi karena jumlah air yang tersedia tidak mencukupi maka gelatinisasi hanya berlangsung sebagian. Perbedaan dari masing-masing perlakuan dapat diamati dari penampakan adonan yang meliputi warna, tekstur dan plastisasi dari air yang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Karakteristik organoleptik penampakan adonan Persentase air pemasakan (%) 34
Warna adonan Kuning cerah
Tekstur Agak keras
Plastisasi air Kurang
37
Kuning agak Lunak gelap
Cukup
40
Kuning gelap
Sempurna
Lunak
Gambar
Warna adonan dengan penambahan air 34% adalah kuning cerah dan tekstur agak keras. Plastisasi air pada adonan ini kurang, karena masih ada sedikit gumpalan tepung. Pada adonan dengan penambahan air 37%, warna adonan berwarna kuning tetapi agak gelap dibandingkan adonan dengan penambahan air 34% dan teksturnya lebih lunak. Plastisasi air pada adonan ini terbilang cukup karena tidak terdapat gumpalan tepung dan tidak lengket. Adonan dengan penambahan air 40% berwarna kuning gelap dibandingkan dua adonan lainnya dan teksturnya lunak. Plastisasi air
pada adonan ini sempurna, karena adonan tercampur merata di semua bagian dan lengket. Semakin tinggi persentase air pemasakan membuat adonan berwarna kuning semakin gelap dan mengkilap. Penambahan air juga membuat tekstur adonan semakin lunak. Hal ini disebabkan plastisasi air semakin sempurna dengan semakin banyaknya jumlah air yang ditambahkan sehingga mempengaruhi viskositas adonan. Adonan dengan viskositas rendah memiliki tekstur yang lebih lunak. Dari ketiga perlakuan dengan variasi jumlah air pemasakan diperoleh karakteristik adonan yang berbeda-beda. Adonan dengan penambahan air 34% memiliki tekstur yang keras sehingga memerlukan tenaga yang besar untuk memasukkan adonan ke sheeter dan adonan kurang merata karena terdapat sedikit gumpalan tepung. Adonan dengan penambahan air 37% memiliki tekstur lunak, sehingga tidak memerlukan tenaga yang besar untuk memasukkan adonan ke sheeter dan adonan tidak lengket sehingga tidak menempel pada mesin. Adonan dengan penambahan air 40% memiliki plastisasi air yang sempurna, sehingga elastisitas adonan meningkat. Adonan yang diinginkan memiliki warna kuning cerah dan mengkilap. Jika dilihat dari karakteristik organoleptik masing-masing adonan yaitu warna, tekstur dan plastisasi air, maka adonan dengan persentase air 37% memiliki karakteristik paling baik. 2. Pengaruh Kadar Air Pemasakan terhadap Mutu Fisik Lembaran Adonan (sheet) Penambahan jumlah air yang semakin banyak menyebabkan kadar air adonan semakin tinggi (Gambar 14). Semakin tinggi persentase air pemasakan yaitu 34, 37 dan 40% maka kadar air rata-rata lembaran adonan semakin meningkat yaitu 34.9%, 36.2%, dan 39.4%.
Kadar air lembaran adonan (%)
40
39.4
39 38 37
36.2
36 35
34.9
34 33 32 34
37
40
Persentase air pemasakan (% )
Gambar 14. Kadar air (%) lembaran adonan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap pengaruh persentase air pemasakan terhadap kadar air lembaran adonan (Lampiran 7), dapat disimpulkan bahwa persentase air pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada taraf nyata 0.05. Pada perlakuan variasi persentase air pemasakan yaitu 34, 37 dan 40% diperoleh ketebalan lembaran adonan yang semakin menurun yaitu 1.9, 1.8 dan 1.6 mm (Gambar 15). Hal ini berarti semakin tinggi kadar air
Ketebalan lembaran adonan (mm)
lembaran adonan maka semakin tipis lembaran adonan. 1.9
1.9
1.8 1.8
1.7 1.6 1.6
1.5 34
37
40
Persentase air pem asakan (%)
Gambar 15. Ketebalan rata-rata lembaran adonan (mm)
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap pada Lampiran 8, dapat disimpulkan bahwa persentase jumlah air pemasakan berpengaruh nyata terhadap ketebalan adonan pada taraf nyata 0.05. Ketika adonan dibuat menjadi lembaran, adonan dengan kadar air tinggi menghasilkan lembaran adonan yang lebih tipis pada jarak rol sheeter yang sama dibandingkan dengan adonan dengan kadar air lebih tinggi. Hal ini dikarenakan adonan dengan kadar air tinggi memiliki tekstur lebih lunak dan viskositas yang lebih rendah. Ketebalan lembaran adonan yang diinginkan adalah 1.4 – 1.7 mm, sehingga adonan dengan air 40% memiliki ketebalan dalam kisaran standar yaitu 1.6 mm. Adonan dengan air 34 dan 37% memiliki ketebalan lembaran yaitu 1.9 dan 1.8 mm, di mana ketebalan ini tidak memenuhi standar PT. Rasa Mutu Utama. Persentase air pemasakan juga berpengaruh terhadap elastisitas lembaran adonan (Gambar 16). Dari rata-rata elastisitas lembaran adonan pada setiap persentase air pemasakan terlihat semakin tinggi kadar air adonan akan meningkatkan elastisitas lembaran adonan.
Elastisitas adonan
2.4
2.34
2.3 2.2 2.1
2.16 2.06
2.0 1.9 34
37
40
Persentase air pemasakan (%)
Gambar 16. Elastisitas rata-rata lembaran adonan Berdasarkan hasil analisis sidik ragam rancangan acak lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap elastisitas lembaran adonan (Lampiran 9), dapat disimpulkan bahwa persentase air pemasakan
berpengaruh nyata terhadap elastisitas lembaran adonan pada taraf nyata 0.05. Elastisitas lembaran adonan akan mempengaruhi tingkat ekspansi snack ketika digoreng. Berdasarkan studi di Jepang, elastisitas lembaran adonan yang dapat menghasilkan tingkat ekspansi yang baik adalah 3. Adonan dengan air 40% paling mendekati standar tersebut dengan elastisitas 2.34 dibandingkan adonan dengan air 34 dan 37% yang memiliki elastisitas 2.06 dan 2.16. Berdasarkan Gambar 16 semakin tinggi persentase air pemasakan, elastisitas lembaran adonan semakin tinggi. Hal ini disebabkan pengaruh gluten
dan
gelatinisasi
pati,
yang
bertanggung
jawab
terhadap
pembentukan jaringan pada adonan. Gluten terbentuk dengan penambahan air pada saat pencampuran adonan dan semakin tinggi penyerapan air oleh gluten, maka adonan semakin elastis dan lengket. Ketika terdapat air dalam jumlah berlebih dan dipanaskan, terjadi gelatinisasi pati yang menyebabkan adonan elastis dan lengket. Semakin tinggi jumlah air yang ditambahkan, maka dihasilkan lembaran adonan semakin elastis karena sifat gluten dan pati yang tergelatinisasi sempurna. Adonan dengan penambahan air 40% memberikan ketebalan dan elastisitas paling baik dibandingkan adonan dengan penambahan air 34 dan 37%. Namun adonan dengan penambahan air 40% memiliki warna kuning gelap yang tidak diinginkan. Untuk menghindari warna kuning yang gelap dapat dilakukan pengurangan suhu dan waktu pemasakan. 3. Pengaruh Kadar Air Lembaran Adonan terhadap Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi Selama Proses Pendinginan (cooling) Pemasakan adonan berlangsung selama kurang lebih 9 menit menggunakan steam bersuhu 180-200oC. Pemasakan suhu tinggi ini dapat mereduksi jumlah mikroorganisme, sehingga adonan dapat dikatakan aman dari mikroorganisme. Namun, mikroorganisme pembentuk spora seperti B. cereus dapat membentuk spora yang resisten terhadap panas. Kejutan seperti panas yang tinggi dapat membuat spora bergerminasi (Abedon, 2003).
Adonan yang telah masak kemudian dibuat menjadi lembaran dan dialirkan menggunakan cooling conveyor. Pada saat inilah, potensi terbesar terjadinya kontaminasi silang dari udara, bahan lain dan pekerja. Hal ini dikarenakan tidak semua bagian cooling conveyor tertutup rapat, ada beberapa tempat yang mengekspos lembaran adonan ke udara terbuka. Selain itu, ada kontak bahan dengan pekerja pada saat sheeting dan penggulungan. Waktu yang dibutuhkan pada saat adonan turun dari cooker sampai adonan digulung dan diletakkan pada ruang aging cukup lama dan berbeda setiap mesin (Gambar 17). 35 28.97
Waktu (menit)
30 25 20
16.78
15 10 5 0 50
100
Kapasitas Mesin Cooker (kg)
Gambar 17. Waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging Mesin cooker terdiri dari mesin steam cooker, sheeter dan cooling conveyor yang dirangkai secara kontinyu. Kapasitas mesin cooker yang berbeda mempengaruhi waktu yang dibutuhkan selama sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging. Jika diidentifikasi waktu tersebut terdiri dari sheeting, cooling pada konveyor berjalan, tempering, rolling dan pengangkutan ke ruang aging. Selama proses ini berlangsung, lembaran adonan yang memiliki kadar air sekitar 33%, mengalami kontak dengan udara, tapioka tabur, permukaan peralatan dan pekerja. Karakteristik lembaran adonan yang memiliki kadar air dan aw yang tinggi serta kaya protein dan karbohidrat akan memicu potensi pertumbuhan mikroorganisme. Kondisi udara pada ruang produksi penuh dengan tepung-tepungan yang berterbangan, serta RH relatif tinggi sangat disenangi oleh
mikroorganisme. Hasil analisa mikrobiologi udara pada ruang aging yang terletak dalam satu ruangan besar dengan cooker dan sheeter dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Analisa mikrobiologi udara ruang aging Area R. aging 1 R. aging 2
TPC (koloni/g) 7.8 x 102 1.3 x 103
Enterobacter (koloni/gram) 2 2
Kapang (koloni/gram) 4.1 x 101 3.8 x 101
Khamir (koloni/gram) 1.1 x 101 4
Berdasarkan Tabel 15, udara memiliki peluang yang cukup besar untuk mengkontaminasi produk, dengan TPC 7.8 x 102 pada ruang aging 1 dan 1.3 x 103 pada ruang aging 2. Selain itu, tapioka tabur yang digunakan tidak disimpan pada tempat tertutup dan prosedur sanitasi kurang baik dijalankan. Hal ini dapat menjadi sumber cemaran mikrobiologis. Potensi terjadinya kontaminasi mikroorganisme juga dapat berasal dari pekerja. Hal ini dikarenakan pekerja tidak dilengkapi alat pengaman diri yang memadai, seperti sarung tangan, masker, topi dan celemek. Perlengkapan tersebut disediakan namun jumlahnya tidak cukup sehingga seringkali
perlengkapan
tersebut
tidak
dicuci
atau
dibersihkan
sebagaimana prosedur sanitasi yang baik. Selain itu, pekerja seringkali menjatuhkan lembaran adonan ke lantai saat penggulungan. Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi dari lantai, apalagi lantai ruang produksi hanya dibersihkan tetapi tidak didesinfektasi. Begitu pula halnya dengan permukaan meja yang kontak dengan makanan tidak mendapatkan prosedur sanitasi rutin. Sumber cemaran mirobiologis utama selama sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging adalah udara, tapioka tabur, pekerja dan permukaan meja yang kontak dengan bahan. Kontaminasi pada adonan selama proses sheeting sampai transportasi ke ruang aging dapat menyebabkan pertumbuhan dan pembelahan mikroorganisme. Menurut Abedon (2003), waktu yang dibutuhkan oleh bakteri untuk melakukan satu pembelahan biner disebut waktu generasi. Waktu generasi untuk masingmasing mikroorganisme berbeda-beda dan dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Waktu generasi beberapa mikroorganisme cemaran Bakteri
Medium
E. coli Staphylococcus aureus B. cereus
Glucose-salt Heart Infusion Broth -
Waktu generasi (menit) 17 27-30 11*
Sumber : Todar (2002), *Doyle (2001)
Berdasarkan Tabel 16, selama proses sheeting, cooling, rolling dan transportasi ke ruang aging pada mesin C1 selama 16.78 menit memungkinkan terjadinya pembelahan biner B. cereus. Pada mesin C5 dengan waktu 28.97 menit memungkinkan terjadi pembelahan biner B. cereus, E. coli dan S.aureus. Tapi, harus diperhitungkan juga waktu adaptasi (fase lag) mikroorganisme sebelum memasuki fase pertumbuhan (fase log). Menurut Fardiaz (1992), lamanya fase adaptasi dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya adalah (1) medium dan lingkungan pertumbuhan dan (2) jumlah inokulum. Untuk meminimalkan potensi cemaran mikrobiologi pada adonan selama proses sheeting sampai transportasi ke ruang aging dapat dilakukan pelatihan sanitasi pada pekerja dan pembuatan SSOP (Standard Sanitation Operation Procedure) untuk sanitasi udara, lantai dan permukaan yang kontak dengan bahan. 4. Mutu Mikrobiologis Lembaran Adonan Selama Proses Aging Adonan berbentuk rol diletakkan pada rak-rak aging dan diaging selama 8-16 jam. Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dibatasi maksimal 16 jam untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme, khususnya kapang pembentuk toksin yang mungkin mengkontaminasi produk. Lembaran adonan merupakan produk setengah jadi yang paling berpotensi terkontaminasi oleh mikroorganisme, karena karakteristiknya yang menunjang pertumbuhan mikroorganisme yaitu kaya karbohidrat, protein relatif tinggi, kadar air tinggi (30-33%), aw tinggi (> 0.90), suhu optimum (27-32oC) dan RH yang relatif tinggi (70-80%). Oleh karena itu, line proses adonan harus dikontrol untuk meminimalisasi kontaminasi. Proses pengeringan yang dilakukan dapat membunuh mikroorganisme, namun pada saat sheeting dan aging sudah terjadi perkembangbiakan
mikroorganisme yang dapat menurunkan kualitas produk. Semakin lama waktu aging, jumlah mikroorganisme yang dianalisis semakin meningkat seperti yang dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Hasil analisa mikrobiologi lembaran adonan selama aging Umur aging (jam) 0 12 20 24 26
TPC (kol/g) 2.5x104 7.8x104 3.5x106 3.5x106 1.7x106
Hasil Analisa Mikrobiologi Lembaran Adonan Kapang Khamir S. aureus B. cereus Enterobacter (kol/g) (kol/g) (kol/g) 0 0 negatif negatif 0 0 0 negatif negatif 0 0 0 negatif negatif 0 0 0 negatif negatif 0 0 0 negatif negatif 0
Berdasarkan Tabel 17, semakin lama waktu aging jumlah mikroorganisme yang dianalisis dengan TPC semakin meningkat, tetapi pada waktu aging 26 jam mengalami penurunan. Peningkatan jumlah koloni disebabkan mikroorganisme mengalami pertumbuhan yaitu pertambahan sel, sedangkan penurunan jumlah koloni disebabkan kematian sel mikroorganisme. Jika jumlah koloni dihubungkan dengan waktu aging, maka diperoleh kurva seperti dapat dilihat pada Gambar 18. 4.0E+06 3.5E+06 Jumlah mikroba (koloni/gram)
3.0E+06 2.5E+06 2.0E+06 1.5E+06 1.0E+06 5.0E+05 0.0E+00 0
5
10
15
20
25
30
waktu aging (jam)
Gambar 18. Kurva hubungan antara jumlah koloni dengan waktu aging Jika diperhatikan, kurva hubungan antara jumlah koloni dengan waktu aging hampir serupa dengan kurva pertumbuhan mikroorganisme. Pada waktu aging 0-12 jam merupakan fase pertumbuhan awal, karena terjadi peningkatan jumlah koloni tetapi sedikit. Menurut Fardiaz (1992),
selama fase pertumbuhan awal sel mulai membelah dengan kecepatan yang masih rendah. Kemudian pada waktu aging 12-20 jam merupakan fase pertumbuhan logaritmik, di mana mikroorganisme membelah dengan sangat cepat sedangkan waktu aging 20-24 jam merupakan fase pertumbuhan tetap (statis). Pada fase pertumbuhan tetap, sel-sel menjadi lebih tahan terhadap keadaan ekstrim seperti panas, dingin, radiasi dan bahan kimia. Fase menuju kematian (death phase) terjadi pada waktu aging 24-26 jam, dan kecepatan kematian dipengaruhi oleh kondisi nutrien, lingkungan dan jenis mikroorganisme. Menurut Fardiaz (1992), pembagian fase tersebut juga dapat dilihat dengan perubahan kecepatan pertumbuhan konstan (k). Berdasarkan persamaan kecepatan pertumbuhan, diperoleh kecepatan pertumbuhan konstan dari setiap fase (Tabel 18). Tabel 18. Kecepatan pertumbuhan konstan mikroorganisme setiap fase Waktu aging Fase (jam ke-) 0-12 Pertumbuhan awal 12-20 Pertumbuhan logaritmik 20-24 Pertumbuhan statis 24-26 Menuju kematian
Kecepatan pertumbuhan konstan (generasi/jam) 0.21 0.69 0.00 -0.30
Berdasarkan Tabel 18, kecepatan pertumbuhan konstan fase pertumbuhan awal mikroorganisme hanya 0.21 generasi/jam, namun pada fase pertumbuhan logaritmik meningkat menjadi 0.69 generasi/jam. Pada fase
pertumbuhan
statis,
kecepatan
pertumbuhan
konstan
0.00
generasi/jam. Pada fase ini jumlah sel tetap, karena jumlah sel yang tumbuh sama dengan jumlah sel yang mati. Pada fase menuju kematian terjadi penurunan jumlah koloni yang ditandai dengan nilai kecepatan pertumbuhan konstan yang negatif. Penurunan koloni ini terjadi karena sebagian populasi mikroorganisme mengalami kematian, akibat nutrien pada medium dan energi cadangan dalam sel habis (Fardiaz, 1992). Sebelum
memasuki
fase
pertumbuhan
statis,
terdapat
fase
pertumbuhan lambat yang merupakan fase akhir pertumbuhan logaritmik Pada fase pertumbuhan lambat, mulai terbentuk endospora bakteri
(Fardiaz, 1992) dan mikotoksin oleh kapang (Jay, 2002). Endospora bakteri yang biasa dibentuk oleh sel basillus seperti B. cereus sangat tahan terhadap pemanasan, pengeringan serta disinfektan dan jika bergerminasi menjadi sel vegetatif dapat menghasilkan toksin (toksin Bacillus). Mikotoksin yang dibentuk oleh kapang merupakan senyawa beracun yang tahan terhadap panas. Namun, miktoksin ini bersifat akumulatif sehingga gejala biasanya timbul karena konsumsi mikotoksin yang berulang-ulang (Fardiaz, 1992). Proses aging di PT. Rasa Mutu Utama dibatasi secara ketat maksimum 16 jam. Namun, sebaiknya diperketat menjadi 12 jam sebelum mikroorganisme mencapai jumlah 106 koloni/gram. Selain itu, pada waktu aging 20 jam mikroorganisme sudah memasuki fase pertumbuhan tetap (statis) dan jika waktu ini terlewati, maka kemungkinan telah terbentuk endospora bakteri dan mikotoksin kapang yang membahayakan. Jika waktu aging tetap diinginkan 16 jam, maka harus dilakukan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme, seperti sanitasi rak aging, sanitasi pekerja, dan penggunaan suhu rendah di ruang aging. Pada
fase
mikroorganisme
pertumbuhan mengikuti
logaritmik,
kurva
logaritmik.
pertambahan
jumlah
Berdasarkan
kurva
logaritmik (Gambar 19) diperoleh persamaan eksponensial yaitu y = 15457e0.2351x di mana y adalah jumlah mikroorganisme (koloni/gram) dan x adalah waktu aging. Dengan persamaan ini dapat diprediksi jumlah mikroorganisme berdasarkan waktu aging. 4.0E+06 3.5E+06 Jumlah mikroba (koloni/gram)
3.0E+06
y = 15457e0.2351x R2 = 0.836
2.5E+06 2.0E+06 1.5E+06 1.0E+06 5.0E+05 0.0E+00 0
5
10
15
20
25
waktu aging (jam)
Gambar 19. Kurva logaritmik pertumbuhan mikroorganisme
Kecepatan pertumbuhan konstan (k) selama fase logaritmik adalah 0.69 generasi/jam. Dari nilai k ini, dapat dihitung waktu generasi mikroorganisme yaitu 1/k atau 1/(0.69) jam. Dengan perhitungan tersebut diperoleh waktu generasi mikroorganisme yang terdapat pada roll sheet adalah 1.45 jam atau 87.00 menit. Perbedaan pertumbuhannya
sifat-sifat akan
sel
suatu
menyebabkan
organisme perbedaan
dan
mekanisme
dalam
kecepatan
pertumbuhan. Pada umumnya semakin kompleks suatu organisme, semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk membelah. Jadi pertumbuhan bakteri akan lebih cepat daripada khamir dan khamir lebih cepat daripada kapang. Pola frekuensi waktu generasi pada bakteri, kapang dan khamir dapat dilihat pada Gambar 20 (Fardiaz, 1992).
Gambar 20. Frekuensi waktu generasi beberapa mikroorganisme Berdasarkan Gambar 20, dengan waktu generasi 87.00 menit, frekuensi pertumbuhan mikroorganisme yang paling memungkinkan pada rol sheet selama aging adalah bakteri dan khamir serta sebagian kecil kapang. Untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme, seharusnya aging dilakukan pada ruang tertutup, namun pada proses produksi Taro net ruang aging tidak ditutup. Hal ini dikarenakan penutupan kotak aging yang biasanya menggunakan plastik akan tertempel produk, sehingga bisa menjadi sumber kontaminasi untuk produk berikutnya.
5. Pengaruh Kelembaban Udara (RH) Rak Aging terhadap Proses Retrogradasi Pati Lembaran Adonan pada Proses Aging Selama proses aging, terjadi proses retrogradasi pati yang merupakan rekristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Proses retrogradasi pati ini dapat dikarakterisasi dengan mengamati migrasi air, yang dapat diukur dengan parameter kadar air bahan. Ruang aging terdiri dari rak-rak aging yang tersebar di sekitar ruang produksi memiliki kondisi rak yang berbeda, seperti kelembaban dan suhu. Kelembaban udara dan suhu dari empat rak aging yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Kelembaban udara rak aging No. Rak Aging 14 52 65 78
Suhu bola basah (oC) 27.0 27.0 26.0 26.5
Suhu bola kering (oC) 33.0 33.5 33.0 33.0
Kelembaban udara (%) 70 63 55 58
Berdasarkan Tabel 19, diketahui bahwa setiap rak aging memiliki tingkat kelembaban udara yang berbeda. Kadar air awal lembaran adonan dan kadar air setelah aging selama 8.5 jam dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Kadar air lembaran adonan setelah aging 8.5 jam Ulangan
Kadar air awal (%) 14* 1 33.63 21.21 2 33.94 22.55 3 21.43 33.79 21.73 Rata-rata Keterangan : * = nomor kotak aging
Kadar air (%) 52* 65* 19.40 22.30 19.20 22.96 18.52 22.58 19.04 22.61
78* 21.80 22.27 21.13 21.73
Berdasarkan hasil analisis korelasi pada Lampiran 10, hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban udara (RH) rak aging dengan kadar air lembaran pada tingkat signifikansi 5%. Hal ini berarti perbedaan kondisi rak aging tidak berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati selama proses aging.
6. Pengaruh Laju Perubahan Kadar Air terhadap Tekstur Lembaran Adonan Selama Proses Aging Pada proses aging terjadi migrasi air yang menyebabkan perubahan kadar air lembaran adonan. Posisi lembaran pada rol menyebabkan perbedaan laju perubahan kadar air lembaran adonan. Laju perubahan kadar air lembaran adonan ditunjukkan oleh kemiringan kurva regresi linear yang diperoleh dengan menghubungkan waktu aging (jam) dengan kadar air lembaran (Lampiran 11). Laju perubahan kadar air lembaran adonan pada berbagai posisi pada rol dapat dilihat pada Tabel 21. Posisi lembaran yang berada paling luar memiliki laju perubahan paling cepat dengan rata-rata kemiringan = 1.79 sedangkan posisi paling tengah memiliki laju perubahan paling lambat dengan rata-rata kemiringan = -0.02. Nilai negatif pada kemiringan menunjukkan bahwa semakin tinggi waktu aging maka kadar air adonan semakin rendah. Nilai kemiringan = 0, menunjukkan laju perubahan tetap atau tidak ada perubahan sama sekali. Posisi tengah dan paling dalam memiliki nilai kemiringan yang mendekati 0, yaitu -0.02 dan -0.08. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan kadar air yang terjadi pada kedua posisi ini sangat kecil. Tabel 21. Kemiringan rata-rata kurva regresi linear dan tingkat kekerasan lembaran adonan setelah aging 12 jam Posisi Luar Tengah Dalam
Kemiringan rata-rata kurva regresi linear -1.79 -0.02 -0.08
Tingkat Kekerasan +++ -
Perubahan kadar air yang terjadi pada proses aging mempengaruhi tekstur lembaran adonan. Tekstur lembaran adonan pada posisi luar memiliki tingkat kekerasan paling tinggi (+++), sedangkan posisi tengah dan dalam tekstur lembaran adonan lunak (-). Lembaran pada posisi paling luar memiliki kadar air yang cenderung lebih rendah dibandingkan posisi tengah dan dalam pada waktu aging yang sama, karena laju
perubahan kadar air pada posisi paling luar paling cepat. Semakin rendah kadar air lembaran adonan maka tekstur menjadi keras dan mudah patah. Tekstur lembaran adonan yang keras akan menyulitkan pemotongan karena mudah patah, sehingga biasanya dibuang. Pembuangan lembaran adonan ini akan menambah jumlah waste pada bagian pemotongan. Untuk mengurangi laju perubahan kadar air yang terlalu besar pada rol adonan bagian luar dapat dilakukan dengan menutup rak aging dengan plastik. Namun, untuk mencegah kontaminasi dari sisa adonan yang menempel pada plastik diperlukan prosedur sanitasi plastik secara rutin atau membatasi jarak antara rol adonan dengan plastik supaya tidak menempel. C. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU PELET 1. Tekstur Pelet Lembaran adonan yang sudah diaging dan dipotong sesuai ukuran yang diinginkan disebut pelet basah. Pelet basah ini kemudian dikeringkan selama 4-6 jam pada mesin pengering pertama sampai mencapai kadar air aman untuk disimpan, yaitu 12-14%. Pelet yang telah dikeringkan ini disebut pelet first dryer, yang merupakan produk setengah jadi snack Taro net. Pelet ini dapat disimpan di gudang sebagai stok sampai batas waktu 30 hari. Sebelum digoreng pelet ini akan dikeringkan kembali pada mesin pengering kedua sampai kadai air mencapai 8-9.5% atau siap digoreng. Selama pengeringan terjadi penurunan kadar air bahan, yang menyebabkan perubahan tekstur pelet. Waktu pengeringan sangat menentukan kualitas pelet dan berpengaruh terhadap tekstur hasil goreng. Studi di Jepang mengemukakan tiga kondisi pelet setelah pengeringan, yaitu pelet dengan kadar air tinggi, optimum dan rendah yang dapat dilihat pada Tabel 22.
Tabel 22. Kondisi pelet setelah pengeringan Kondisi Pelet air
Keterangan Kadar air tinggi (di atas 16%), Kapang dapat tumbuh (kondisi 1)
Optimum, kadar air sekitar 15% (kondisi 2)
air
air
Pengeringan pertama berlebihan, Rapuh, sangat mudah dipatahkan, terjadi perubahan bentuk (kondisi 3).
Penentuan titik akhir pengeringan pertama dilakukan dengan mengamati tekstur pelet secara organoleptik yang kemudian dikonfirmasi dengan pengukuran kadar air pelet. Pelet pada kondisi 1 (Tabel 22), permukaan luar pelet sudah kering, namun ketika dipatahkan bagian dalam pelet masih basah dan lengket karena kadar air pelet masih tinggi. Pelet pada kondisi 2, permukaan luar pelet sudah kering, tetapi ketika dipatahkan dapat terbelah dengan mudah dan bagian dalam pelet tidak lengket. Pelet kondisi 3, permukaan luar pelet sudah kering dan ketika diremas dengan tangan langsung hancur karena kadar air pelet yang terlalu rendah. Pelet kondisi 3 ini ditemukan ketika waktu pengeringan terlalu lama dan pelet tipis sehingga proses pengeringan berlangsung lebih cepat. 2. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan Pelet Pelet basah jika disimpan pada plastik tertutup, dalam satu hari sudah dapat diamati miselium dan koloni kapang yang tumbuh dengan berbagai noda warna. Hal ini dikarenakan kadar air pelet basah masih tinggi sekitar 30%. Oleh karena itu, pelet basah dikeringkan menggunakan mesin pengering pertama sampai kadar air aman dari pertumbuhan kapang sehingga dapat disimpan sebagai stok. Parameter yang digunakan untuk menentukan kadar air minimum adalah pertumbuhan kapang. Hal ini dikarenakan kapang adalah mikroorganisme yang dapat tumbuh pada kadar air paling rendah dibandingkan khamir dan bakteri. Berdasarkan
kurva stabilitas bahan pangan (Gambar 3), kapang dapat tumbuh pada aw minimum sekitar 0.62, sedangkan khamir pada aw 0.88 dan bakteri 0.90. Pengertian tingkat kadar air aman untuk penyimpanan tidak selalu berada pada kadar air yang setara dengan aw 0.62 (ambang batas minimum pertumbuhan kapang). Penyimpanan dinyatakan aman pada kondisi kadar air setimbang dengan keadaan lingkungan (kadar air kesetimbangan). Secara umum, sifat-sifat hidaratasi dapat digambarkan dengan kurva sorpsi isotermik, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). 3. Kurva Sorpsi Isoterm Pelet Kurva sorpsi isoterm merupakan alat yang penting dalam mempelajari umur simpan. Kurva ini menyajikan informasi di mana proses termodinamika dari sorpsi air oleh produk dapat dipelajari (Xiong, 2002). Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada 4 tingkat RH dapat dilihat pada Gambar 21 (Lampiran 12). 20.00
18.99
18.00 Kadar air pelet (%)
16.00
15.00
14.00 12.00
12.28
12.92
10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 69.00
74.00
84.00
87.00
Kelembaban Udara (%)
Gambar 21. Kurva sorpsi isotermik pelet first dryer pada suhu 31oC Menurut Syarief dan Halid (1993), bentuk kurva sorpsi isotermik khas bagi setiap bahan pangan dan umumnya berbentuk sigmoid (menyerupai huruf S). Sorpsi isotermik tidak hanya dapat menunjukkan pada tingkat kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan
ataupun yang tidak diinginkan, tetapi juga menunjukkan perubahanperubahan penting kadar air yang dinyatakan dalam aw. Dari kurva sorpsi isotermik dapat diperoleh kadar air kesetimbangan pelet pada tingkat RH yang berbeda (Lampiran 13). Pada RH 69%, kadar air kesetimbangan pelet 12.28%, sedangkan RH 74, 84 dan 87% masingmasing memiliki kadar air kesetimbangan 12.92, 15.00 dan 18.99%. Kadar air yang aman untuk disimpan setara dengan aw minimum pertumbuhan kapang yaitu 0.62 atau pada RH 62% yaitu 11.38% (dengan interpolasi). Pelet hasil pengeringan pertama memiliki aw 0.66 – 0.74, nilai aw ini memungkinkan adanya pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini berarti proses pengeringan pertama belum menghasilkan pelet dengan kadar air yang aman untuk disimpan atau setara dengan aw minimum pertumbuhan kapang (0.62). Untuk itu waktu pengeringan perlu diperpanjang dengan suhu tidak terlalu tinggi yaitu 55-60oC sampai diperoleh pelet dengan nilai aw aman atau kadar air 11.38%. Suhu yang tinggi akan mempercepat proses pengeringan, namun dapat menyebabkan case hardening pada pelet. D. PENGARUH KADAR AIR TERHADAP KARAKTERISTIK MUTU HASIL GORENG 1. Proses Penggorengan Snack Taro net yang merupakan fried snack, penggorengan merupakan peralatan yang paling utama dan jantung dari seluruh proses. Menurut Fellows (2000), penggorengan merupakan unit operasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas makan (eating quality). Proses ini memiliki efek mengawetkan karena dapat menyebabkan kematian mikroorganisme, kerusakan enzim, dan penurunan aw pada permukaan maupun seluruh bahan pangan (jika digoreng dalam bentuk potongan tipis). Ketaren (1986) membagi sistem menggoreng bahan pangan menjadi dua macam yaitu sistem gangsa (pan frying) dan menggoreng biasa (deep frying). Pada penggorengan sistem gangsa bahan pangan yang digoreng
tidak sampai terendam minyak atau lemak, sedangkan pada proses penggorengan deep frying bahan pangan terendam dalam minyak. Menurut Banks dan Lusas (2002), penggorengan bahan pangan selalu membawa : (1) oksigen, yang berkontribusi terhadap oksidasi lemak yang menyebabkan pengembangan komponen volatil dan polimerik, (2) air, yang berkontribusi terhadap hidrolisis lemak dan peningkatan asam lemak bebas, mono dan digliserida dan gliserin, (3) leachable metal dan komponen warna pada minyak, (4) sistem enzim yang melengkapi beberapa reaksi degradasi walaupun cepat diinaktivasi. Perubahan yang terjadi selama penggorengan deep frying dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Perubahan selama penggorengan deep frying Ketika bahan pangan diletakkan pada minyak panas, suhu permukaan meningkat secara cepat dan air menguap. Proses evaporasi bergerak di dalam bahan pangan dan terbentuk kerak. Suhu di permukaan meningkat menyamai suhu minyak panas dan suhu internal bahan meningkat secara perlahan sampai 100oC. Tingkat transfer panas dikontrol oleh perbedaan suhu antara minyak dan bahan pangan dan koefisien
transfer panas di permukaan, yang dipengaruhi kondukstivitas termal bahan pangan (Fellows, 2000) Permukaan kerak memiliki struktur berpori yang terdiri dari kapilerkepiler yang berbeda ukuran. Selama penggorengan, baik air dan uap air dihilangkan dari kapiler besar yang digantikan oleh minyak panas. Pembentukan tekstur bahan pangan yang digoreng disebabkan oleh perubahan protein, lemak dan karbohidrat polimerik yang menyebabkan peningkatan karakteristik warna, flavor dan aroma (Fellows, 2000). Menurut Banks dan Lusas (2002), penggorengan bahan terdiri dari beberapa tahap yaitu : (1) pemasukkan bahan, (2) case hardening, (3) pengerasan permukaan, (4) penurunan air, (5) akhir penggorengan dan (6) absorpsi minyak. Pada tahap pemasukkan bahan, bahan mentah direndam dalam minyak panas dan pati pada permukaan tergelatinisasi secara cepat, kemudian permukaan produk tertutup merata oleh gelembung uap kecil karena air pada permukaan mulai menguap. Pada tahap case hardening, lapisan sel paling luar pada permukaan produk mengalami dehidrasi. Ketika air permukaan semakin berkurang, air pada internal bahan berubah fase menjadi uap. Kemudian, pada tahap pengerasan struktur, lapisan tambahan
dari
permukaan
sel
mulai
mengalami
dehidrasi
dan
mengembangkan struktur kerak. Selama tahap penggorengan akhir, suhu permukaan secara cepat mendekati suhu minyak. Kadar air rendah dan suhu tinggi mendukung reaksi asam amino, protein dan karbohidrat. Suhu yang semakin meningkat mendukung penurunan kadar air akhir, pengembangan kerak dengan tekstur renyah dan kaya warna. Kadar lemak bahan semakin meningkat dan sebagian minyak berada pada permukaan. Pada tahap absorpsi minyak, kadar lemak bahan yang digoreng diperoleh dari pembasahan permukaan, aksi kapiler dan absorpsi vakum. Pada tahap akhir, minyak diabsorpsi oleh kapiler untuk mengisi kekosongan yang terbentuk pada bahan pangan. Pada proses pendinginan, uap air dalam produk terkondensasi membentuk vakum parsial yang mempercepat penyerapan minyak pada permukaan (Banks dan Lusas, 2002).
Selama proses penggorengan bahan pangan sejenis kerupuk terjadi pengembangan atau ekspansi kerupuk. Pada dasarnya fenomena pengembangan kerupuk disebabkan oleh tekanan uap yang terbentuk dari pemanasan kandungan air bahan sehingga mendesak struktur bahan membentuk produk yang mengembang (Wiriano, 1984). Mekanisme terjadinya pengembangan kerupuk akibat terlepasnya air yang terikat pada gel pati sewaktu penggorengan adalah sebagai berikut : air mula-mula menjadi uap karena peningkatan suhu dan mendesak gel pati untuk keluar sekaligus terjadi pengosongan yang membentuk kantungkantung udara pada kerupuk. Kantung-kantung udara ini akan semakin banyak pada kerupuk yang memiliki amilopektin tinggi (Rumbay, et al. di dalam Zulviani, 1992). Pengembangan atau ekspansi snack Taro net diukur dengan parameter densitas kamba. Menurut Fellows (2002), densitas kamba adalah mengukur densitas dari sejumlah besar bahan termasuk ruang udara yang terdapat di antara potongan-potongan bahan. Densitas kamba merupakan massa padatan dibagi dengan volume, yang dipengaruhi oleh densitas padatan, dan geometri, ukuran dan sifat permukaan dari partikel individunya. Pengembangan atau ekspansi snack selama penggorengan akan meningkatkan volume snack, tetapi menurunkan massa. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat ekspansi snack maka densitas kamba bahan semakin rendah. 2. Ekspansi Hasil Goreng Pelet yang telah dikeringkan pada mesin pengering kedua akan digoreng pada batch penggorengan. Selama proses penggorengan terjadi pengembangan atau ekspansi bahan yang disebabkan ekspansi tiba-tiba dari uap air sehingga kadar air pelet akan menentukan tingkat pengembangan yang terjadi. Tingkat pengembangan hasil goreng ini dapat diukur dengan parameter densitas kamba. Pengukuran densitas kamba pada berbagai tingkat kadar air pelet (Lampiran 14) dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Densitas kamba hasil goreng Densitas kamba (g/cm3) 57.80 60.60 64.40 65.80
Kadar air pelet (%) 12.38 11.96 11.82 11.56
Berdasarkan Tabel 23, semakin rendah kadar air maka densitas kamba bahan semakin tinggi. Densitas kamba yang semakin tinggi menunjukkan tingkat pengembangan yang rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa kadar air yang terlalu rendah akan membuat produk akhir dengan tingkat ekspansi yang rendah, sedangkan kadar air terlalu tinggi akan menyebabkan tingkat ekspansi yang berlebihan. Nilai korelasi yang diperoleh adalah -0.914 antara kadar air pelet dengan densitas kamba (Lampiran 15). Nilai negatif menyatakan bahwa kenaikan kadar air pelet akan menyebabkan penurunan densitas kamba. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar air pelet dengan densitas kamba. Kurva regresi hubungan antara kadar air pelet dengan densitas kamba dapat dilihat pada Gambar
Densitas Kamba (g/cm 3)
23. 67.00 66.00 65.00 64.00 63.00 62.00 61.00 60.00 59.00 58.00 57.00 11.40
y = -10.294x + 184.96 R2 = 0.9241
11.60
11.80
12.00
12.20
12.40
12.60
kadar air pelet (%)
Gambar 23. Kurva regresi hubungan antara kadar air pelet dengan densitas kamba Berdasarkan Gambar 23, diperoleh persamaan antara kadar air pelet dan densitas kamba bahan yaitu y = -10.294x + 184.96. Untuk mendapatkan produk akhir dengan densitas kamba tertentu, dapat
diperoleh melalui persamaan regresi hubungan kadar air pelet dengan densitas kamba. Densitas kamba yang diinginkan pada produk snack Taro net adalah 58.33-63.89 g/cm3, sehingga kadar air pelet yang diperlukan adalah 11.81-12.36%. 3. Mutu Organoleptik Hasil Goreng Kadar
air
pelet
sebelum
digoreng
menentukan
tingkat
pengembangan produk sehingga mempengaruhi tekstur hasil goreng. Tekstur hasil goreng snack Taro net dapat dibagi menjadi empat kategori yaitu standar, porian, keriting dan bantat. Deskripsi masing-masing tekstur dan penyebab terjadinya dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Deskripsi tekstur hasil goreng Kategori Deskripsi Standar Permukaan merata dengan rongga udara kecil yang seragam. Porian Struktur tidak seragam dan memiliki gelembung-gelembung besar di permukaan Keriting Pengembangan tidak merata, ada bagian yang tidak mengembang Bantat Tesktur keras, rapuh, tidak ada rongga udara atau gelembung.
Penyebab Kadar air sesuai Kadar air terlalu tinggi, indeks ekspansi tinggi Kadar air tidak merata Kadar air terlalu rendah, indeks ekspansi rendah
Sumber : Miles (1960)
Berdasarkan Tabel 24, dapat disimpulkan bahwa tekstur hasil goreng dipengaruhi oleh kadar air pelet yang juga menentukan indeks ekspansi produk. Tekstur hasil goreng ini akan menentukan tingkat kerenyahan produk, yang merupakan atribut utama setiap produk snack. Tingkat kerenyahan hasil goreng pada beberapa kategori tekstur hasil goreng dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Tingkat kerenyahan hasil goreng Kategori Porian Standar Keriting Bantat
1 0.28 0.25 0.31 0.31
aw 2 0.26 0.29 0.30 0.34
Rata-rata 0.27 0.27 0.31 0.33
Kadar air (%) 3.14 3.70 3.80 4.31
Tingkat kerenyahan +++ ++ -
Keterangan : - (tidak renyah), + (agak renyah), ++ (renyah), +++ (sangat renyah)
Menurut Prastyanty (1998), kerenyahan merupakan fungsi dari aw. Semakin meningkat aw, maka kerenyahan semakin menurun. Berdasarkan tabel di atas hasil goreng porian dan standar memiliki aw paling kecil yaitu 0.27 tetapi tingkat kerenyahannya masing-masing sangat renyah dan renyah. Hasil goreng keriting dan bantat memiliki aw tinggi yaitu 0.31 dan 0.33 tetapi tidak renyah sama sekali. Hasil perhitungan aw ini kurang sensitif karena aw meter yang digunakan hanya memiliki ketelitian sampai ±0.02. Selain aw, kadar air hasil goreng juga berpengaruh terhadap tingkat kerenyahan hasil goreng. Hasil goreng porian memiliki kadar air paling rendah yaitu 3.14% tetapi memiliki tingkat kerenyahan paling tinggi, sedangkan hasil goreng standar dengan kadar air 3.70% hanya memiliki tingkat kerenyahan ++ atau renyah. Hasil goreng keriting dan bantat yang memiliki kadar air 3.80 dan 4.31%, tidak renyah. Hasil goreng porian memiliki tingkat kerenyahan paling tinggi namun tidak dikehendaki, karena tekstur porian memiliki rongga udara besar yang membuat snack tidak berisi. Hasil goreng keriting dan bantat juga tidak dikehendaki karena teksturnya cenderung keras dan tidak renyah. Snack Taro net yang mengalami proses penggorengan berpotensi terjadi oksidasi lemak. Berdasarkan kurva stabilitas bahan pangan (Gambar 3), oksidasi lemak terjadi pada aw sekitar 0.05-0.8. Jadi, snack Taro net dengan aw rata-rata 0.27-0.33 memungkinkan terjadinya oksidasi lemak yang dapat menyebabkan bau tengik dan rasa tidak enak pada produk. 4. Potensi Pertumbuhan Mikrobiologi pada Penyimpanan Produk Akhir (Finish Product) Pada tahap awal produksi snack, bahan memiliki kadar air yang tinggi sehingga memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme. Tetapi, pada tahap akhir, mikroorganisme hanya terdapat pada produk dalam jumlah sedikit. Hal ini dikarenakan produk akhir memiliki aw yang rendah, sehingga tidak sulit mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Selain itu,
produk disimpan dalam kemasan untuk mencegah serangga dan menghindari
perubahan
suhu
dan
kenaikan
kadar
air.
Profil
mikroorganisme pada produk snack dapat dilihat pada Tabel 26 (Frazier dan Westhof, 1988). Tabel 26. Profil mikrobiologi breakfast cereal dan snack Mikroflora normal Kapang Khamir Bakteri • Aerobic Plate Count • Koliform
Kisaran jumlah (koloni/gram) 0 – 103 0 - 102 0 - 102 0 - 102
Produk akhir snack Taro net memiliki aw 0.27-0.33. Berdasarkan kurva stabilitas bahan pangan (Gambar 3), nilai aw ini tidak mendukung sama sekali pertumbuhan mikroorganisme. Menurut Almond, et al. (1991), mikroorganisme yang dapat tumbuh pada nilai aw paling minimum adalah khamir osmofilik yaitu pada aw 0.60. Namun, pada analisa mikrobiologi produk akhir snack Taro net (Tabel 27) ditemukan ada koloni mikrobiologi dalam jumlah relatif sedikit. Hal ini dikarenakan adanya kontaminasi silang, baik dari udara atau pekerja. Walaupun terdapat koloni mikroorganisme pada produk akhir, mikroorganisme ini tidak mengalami pertumbuhan karena aw bahan tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Tabel 27. Analisa kadar air dan mikrobiologi finish product Item Taro X Taro Y Taro Z
Kadar air (%) 1.76 1.28 0.93
Mikrobiologi (koloni/gram) TPC Koliform Kapang Khamir 2.0 x 101 0 0 0 1 2.0 x 10 0 0 0 1 1.0 x 10 0 0 0
Berdasarkan Tabel 27, Taro X dan Taro Y memiliki jumlah koloni 2.0 x 101 koloni/gram, sedangkan Taro Z yang memiliki kadar air paling rendah hanya terdapat 1.0 x 101 koloni/gram. Hasil analisis mikrobiologi di atas menunjukkan mutu mikrobiologi produk akhir snack Taro net sangat baik, karena jumlah koloni mikrobiologi relatif rendah.
Menurut SNI 01-2886-2000 tentang makanan ringan ekstrudat, jumlah angka lempeng total maksimum (TPC) adalah 1.0 x 104 koloni/gram, kapang maksimum 50 dan E. coli negatif. Produk snack Taro net X, Y, dan Z masing-masing memiliki jumlah angka lempeng total 2.0 x 101, 2.0 x 101 dan 1.0 x 101 koloni/gram yang jauh di bawah persyaratan SNI. Jumlah kapang dari Taro X, Y dan Z adalah 0 koloni/gram yang juga memenuhi persyaratan mutu SNI yaitu maksimum 50 koloni/gram. Selain itu, pada Taro X, Y dan Z tidak ditemukan koliform, sehingga memenuhi persyaratan SNI bahwa E. coli harus negatif. Hal ini berarti, pabrik tidak perlu melakukan analisis mikrobiologi produk akhir secara rutin, karena aw produk
yang
rendah
sudah
efektif
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme. E. MINIMALISASI WASTE Semua usaha menghasilkan waste, baik berupa bahan padatan, emisi udara atau buangan air (Anonim3, 2004). Begitu pula dalam proses produksi snack Taro net dihasilkan waste. Waste adalah bahan yang tidak lagi diinginkan dan merupakan sesuatu yang sudah kehilangan nilainya bagi pemiliknya (Anonim4, 2006). Waste dalam proses produksi snack Taro net adalah bahan setengah jadi yang tidak dapat diproses lebih lanjut. Pada produksi snack Taro net, waste paling banyak ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan pertama dan pengeringan kedua. Ada biaya tersembunyi pada produksi waste. Hal ini meliputi biaya dari hilangnya bahan baku, waktu dan energi yang diinvestasikan pada proses produksi. Bisnis di Inggris diperkirakan kehilangan sampai 4.5% dari perputaran tahunan setiap tahun dikarenakan waste yang tidak dapat dihindarkan
(Anonim3,
2004).
Menurut
Larantukan
(2005),
waste
mempengaruhi efisiensi proses (rendemen produk) dan mengindikasikan biaya (cost) yang hilang serta mempengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP). Minimalisasi waste adalah meningkatkan efisiensi. Secara sederhana, minimalisasi waste berarti mempergunakan bahan baku lebih sedikit dan mendapatkan produk akhir lebih banyak. Peningkatan efisiensi dapat
memaksimalkan output dan meningkatkan profit. Selain itu, menyimpan sumber daya yang bernilai dan menjaga lingkungan (Anonim3, 2004). 1. Perhitungan Waste Selama rangkaian proses produksi Taro net banyak dihasilkan waste, yang paling banyak ditemukan pada tahap pemotongan, pengeringan pertama dan pengeringan kedua. a. Tahap Pemotongan Pada tahap pemotongan terdapat tiga macam waste yaitu waste lembaran adonan bagian pinggir yang tidak terpotong, potongan substandar dan pelet yang terjatuh selama proses pemotongan. Waste dikumpulkan setelah satu batch pemotongan selesai dan kemudian ditimbang. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Gambar 24. 8
Frequency
6
4
2
Mean = 0.5596 Std. Dev. = 0.40836 N = 24
0 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
Jumlah waste (%)
Gambar 24. Histogram jumlah waste pada tahap pemotongan Berdasarkan Gambar 24, jumlah waste rata-rata per batch pemotongan adalah 0.56% dengan standar error 0.08% (Lampiran 16) dan angka t tabel (df = 23) 2.069, maka diperkirakan jumlah waste populasi pada tingkat kepercayaan 95% adalah 0.39-0.73%. Nilai median data adalah 0.44 % yang menunjukkan bahwa 50% sampel mempunyai jumlah waste 0.44% ke atas dan 50%-nya mempunyai jumlah waste 0.44% ke bawah.
Standar deviasi data adalah 0.41%, semakin besar standar deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness waste pada tahap pemotongan adalah 2.7, karena nilai ini tidak berada pada kisaran -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa data waste pada tahap pemotongan tidak berdistribusi normal. Tahap Pengeringan Pertama Pada tahap pengeringan pertama terdapat dua macam waste, yaitu potongan halus pelet yang terdapat di bagian bawah mesin pengering pertama dan pelet yang terjatuh. Potongan halus pelet disebabkan oleh gesekan yang terjadi antar pelet kering selama proses pengeringan, sedangkan pelet yang terjatuh disebabkan cara kerja pekerja yang terburu-buru memasukkan dan menurunkan pelet dari mesin pengering pertama. Selain itu, ada bagian mesin pengering pertama yang tidak rapat, sehingga menyebabkan pelet terjatuh ketika proses
pengeringan
berlangsung.
Jumlah
waste
pada
tahap
pengeringan pertama dapat dilihat pada Gambar 25. 5
4
Frequency
b.
3
2
1
Mean = 0.345 Std. Dev. = 0.12739 N = 12
0 0.10
0.20
0.30
0.40
0.50
0.60
Jumlah waste (%)
Gambar 25. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan pertama Berdasarkan Gambar 25, jumlah waste rata-rata per batch pengeringan pertama adalah 0.35% dengan standar error 0.04% (Lampiran 17) dan angka t tabel (df = 11) 2.201, maka diperkirakan jumlah waste populasi tahap pengeringan pertama pada tingkat kepercayaan 95% adalah 0.26-43%. Nilai median data adalah 0.31%
yang menunjukkan bahwa 50% sampel mempunyai jumlah waste 0.31% ke atas dan 50%-nya mempunyai jumlah waste 0.31% ke bawah. Standar deviasi data adalah 0.13%, semakin besar standar deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness data adalah 1.38, yang berada di antara -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi data normal. c. Tahap Pengeringan Kedua Setelah pengeringan pertama, pelet dikeringkan kembali pada mesin pengering kedua (second dryer) untuk mendapatkan ekspansi hasil goreng yang maksimal. Pada tahap pengeringan kedua terdapat waste pelet yang dikumpulkan dari lantai dan bagian dalam mesin. Jumlah waste rata-rata per shift dari 5 mesin pengering kedua pada tahap pengeringan kedua dapat dilihat pada Gambar 26. 3.0
2.5
Frequency
2.0
1.5
1.0
0.5 Mean = 2.4314 Std. Dev. = 0.63717 N=7
0.0 1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Persentase waste rata-rata per shift (%)
Gambar 26. Histogram jumlah waste pada tahap pengeringan kedua Berdasarkan Gambar 26, jumlah waste rata-rata per shift pengeringan kedua adalah 2.43% dengan standar error 0.24% (Lampiran 18) dan angka t tabel (df = 6) 2.447, maka rata-rata jumlah waste populasi tahap pengeringan kedua per shift pada tingkat kepercayaan 95% adalah 1.89-2.97%. Nilai median data adalah 2.46%, yang menunjukkan bahwa 50% sampel mempunyai jumlah
waste 2.46% ke atas dan 50%-nya mempunyai jumlah waste 2.46% ke bawah. Standar deviasi data adalah 0.64%, semakin besar standar deviasi menunjukkan data semakin bervariasi. Rasio skewness data adalah 0.29 yang berada di antara -2 sampai +2, maka dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. Kelima sampel tidak mempunyai varians yang sama, maka dilakukan transformasi data (Lampiran 19). Dari data waste yang telah ditransformasi, diperoleh nilai signifikansi dari test of homogeneity of variances yaitu 0.39. Karena nilai probabilitas > 0.05, maka berarti kelima varians populasi adalah identik. Berdasarkan uji ANOVA pada Lampiran 20, hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata jumlah waste pada kelima mesin pengering kedua tersebut memang berbeda. Dengan melihat tanda * pada hasil analisis post hoc dengan test Bonferroni dan Tukey (Lampiran 21) terlihat bahwa jumlah waste rata-rata dari mesin 1 berbeda nyata dengan mesin 6 begitu juga sebaliknya. Pada homogenous subsets (Lampiran 22), mesin 2, 3 dan 5 berada pada subset 1 dan 2, sedangkan mesin 1 pada subset 1 dan mesin 6 pada subset 2. Hal ini menunjukkan bahwa mesin 1 dan mesin 6 memiliki perbedaan dengan yang lain. 2. Diagram Sebab Akibat Diagram sebab akibat sering disebut sebagai diagram Ishikawa dan diagram Tulang Ikan. Diagram sebab akibat berguna untuk mengetahui faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya masalah (berpengaruh terhadap hasil). Penyusunannya dilakukan dengan teknik brainstorming (sumbang saran). Secara umum terdapat 5 faktor yang berpengaruh yaitu (1) lingkungan, (2) manusia, (3) metode, (4) bahan, dan (5) mesin peralatan (Muhandri dan Kadarisman, 2005). Upaya minimalisasi waste yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah. Oleh karena itu diperlukan identifikasi penyebab masalah pada tiap tahapan.
Proses pemotongan berlangsung mulai dari pemotongan bahan, kemudian ditampung pada ember, dinaikkan ke lori dan didorong menuju ruang mesin pengering pertama. Pada tahap pemotongan, jumlah waste yang tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, bahan, manusia, metode dan mesin. Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Gambar 27.
Metode
Manusia
Cara Pengangkutan Ke Mesin FD
kelelahan pengalaman
Jumlah waste (%) Pemotongan tinggi Kapasitas ember
Ruangan panas Lantai rusak
Lingkungan
Tapioka tabur kurang
Gulungan tidak rapih
Alat / wadah
Bahan
Gambar 27. Diagram sebab akibat waste pada tahap pemotongan Berdasarkan Gambar 27, faktor kelelahan dan pengalaman manusia mempengaruhi
jumlah
waste.
Pengalaman
yang
kurang
dalam
menggunakan mesin pemotong menyebabkan banyaknya hasil potongan substandar, karena tidak memotong pada posisi yang benar, sedangkan kelelahan menyebabkan pekerja tidak berkonsentrasi dan terburu-buru sehingga banyak pelet yang jatuh dan terbuang. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi lembaran adonan. Lembaran adonan yang tidak digulung rapih menyebabkan potongan miring (pelet substandar) dan banyak menyisakan pinggiran gulungan yang tidak terpotong. Sagu tabur lembaran adonan yang kurang menyebabkan lembaran lengket dan robek ketika ditarik untuk dipotong. Pelet substandar, pelet yang terjatuh, pinggiran gulungan lembaran, lembaran adonan yang robek akan dibuang dan menjadi waste.
Metode yang digunakan dalam pengangkutan pelet kurang efektif karena ditampung menggunakan ember. Penampungan ini kurang efektif karena, kapasitas ember yang kecil menyebabkan seringnya pergantian pengisian ember. Pergantian ember ini menyebabkan banyak pelet terjatuh, karena kecepatan pergantian tidak sama dengan kecepatan aliran pelet yang keluar dari mesin pemotongan. Kemudian pelet dalam ember diangkut menggunakan lori, sehingga mudah terjatuh apalagi kondisi lantai banyak yang rusak. Selain itu, ruangan yang panas menyebabkan pekerja mengangkut pelet dengan cepat sehingga mudah terjatuh karena tersandung lantai yang rusak. Tahap pengeringan pertama berlangsung mulai dari pemasukkan pelet basah (loading), proses pengeringan pada mesin pengering pertama dan penurunan pelet (unloading). Pada tahap pengeringan pertama, jumlah waste yang tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, manusia, metode dan mesin. Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Gambar 28.
Metode
Manusia
Cara unloading kelelahan pengalam an Jumlah waste (%) Pengeringan pert ama tinggi Ruangan panas
Lingkungan
kontruksi mesin
Alat / wadah
Gambar 28. Diagram sebab akibat waste pada tahap pengeringan pertama Faktor kelelahan dan pengalaman manusia mempengaruhi jumlah waste. Kelelahan pekerja menyebabkan pemasukkan bahan (loading) terburu-buru apalagi ruangan panas. Selain itu, pengalaman pekerja bagaimana cara pemasukkan bahan yang benar ke mesin mempengaruhi
jumlah waste. Proses loading dilakukan pada konveyor mesin yang berjalan, sehingga jika kurang pengalaman banyak pelet yang jatuh ketika loading bahan. Selain itu, metode loading bahan dengan cara mengangkat ember setinggi hampir 0.75 meter dan menuangkan isinya pada mesin kurang efektif karena membuat pekerja cepat lelah dan tidak semua bahan tertuang dengan baik ke dalam mesin. Hal lain adalah konstruksi mesin, ada beberapa bagian mesin yang tidak tertutup rapat. Pelet memiliki ukuran yang relatif kecil, sehingga ketika proses pengeringan berlangsung banyak pelet terjatuh melalui celah-celah yang terdapat pada mesin. Tahap pengeringan kedua berlangsung mulai dari pemasukkan pelet (loading), proses pengeringan pada mesin pengering kedua dan penurunan pelet (unloading). Pada tahap pengeringan kedua, jumlah waste yang tinggi disebabkan oleh faktor lingkungan, manusia, metode dan mesin. Diagram sebab akibat pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Gambar 29.
Metode
Manusia
Cara loading dan unloading bahan kelelahan pengalaman Jumlah waste (%) Pengeringan kedua tinggi kontruksi mesin
Ruangan panas
Lingkungan
Alat / wadah
Gambar 29. Diagram sebab akibat waste pada tahap pengeringan kedua Seperti tahap yang lain, faktor kelelahan dan pengalaman manusia berperan dalam tingginya jumlah waste. Pengalaman menentukan keterampilan dalam loading dan unloading bahan secara cepat, jika pengalaman kurang proses loading dan unloading menjadi berantakan dan
banyak pelet yang terjatuh. Selain itu, faktor kelelahan pekerja juga berpengaruh, jika dikalkulasikan setiap pekerja pada tahap pengeringan kedua harus mengangkut 371 kg pelet/jam (loading dan unloading). Kelelahan ini akan menyebabkan kecerobohan yang berakibat banyak pelet yang jatuh ketika pengangkutan. Selain itu, ruangan yang panas mempercepat kelelahan pekerja. Metode loading dan unloading pelet pada mesin pengering kedua juga kurang efektif. Pekerja harus mengangkat kontainer pelet setinggi hampir 1.5 meter untuk memasukkannya ke dalam mesin, satu kontainer pelet untuk dua lubang mesin pengering kedua. Sehingga ketika pelet dimasukkan banyak yang terjatuh. Begitu pula, pada saat unloading, pelet diturunkan pada tempat penampungan pelet. Kemudian pelet diserok dan dimasukkan dalam kontainer pelet. Pelet yang terjatuh tidak dipergunakan kembali tetapi dibuang menjadi waste. Konstruksi mesin yang mempengaruhi jumlah waste adalah engsel pintu mesin yang longgar, sehingga ketika pengeringan berlangsung dengan cara berputar, pintu mesin menjadi longgar (ada celah) dan banyak pelet terjatuh. 3. Upaya Minimalisasi Waste Waste mengindikasikan adanya biaya (cost) yang hilang. Tingginya jumlah waste menunjukkan proses yang tidak efisien dan menimbulkan masalah perekonomian perusahaan. Menurut Anonim1 (2004), pada manajemen waste, minimalisasi adalah upaya yang paling banyak dipilih untuk mereduksi jumlah waste. Beberapa hal yang harus dilakukan sebelum melakukan minimalisasi waste adalah mengidentifikasi penyebab timbulnya waste, memonitor jumlah waste dan menghitung biaya (cost) yang hilang dari waste. Identifikasi penyebab waste dan perhitungan jumlah waste sudah dilakukan menggunakan diagram sebab akibat dan perhitungan statistik. Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah. Pada tahap pemotongan, masalah yang dihadapi adalah kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang; metode pengangkutan pelet ke mesin pengering pertama; gulungan rol lembaran yang tidak rapih dan
kurang sagu; kapasitas ember kecil; lantai rusak dan ruangan panas. Untuk mengatasi kelelahan pekerja dapat dilakukan dengan menambah waktu istirahat secara bergiliran. Selain itu, modifikasi alat dan penambahan ventilasi akan membantu mengurangi kelelahan pekerja. Pengalaman kerja yang kurang diatasi dengan mengadakan training yang terprogram dan berkesinambungan. Metode pengangkutan pelet ke mesin pengering pertama yang dilakukan dengan lori dapat dimodifikasi dengan pemasangan konveyor dari mesin pemotong ke mesin pengering pertama sehingga proses pengangkutan dilakukan dengan sistem kontinyu. Hal ini juga dapat mengatasi kapasitas ember yang kecil yang biasa digunakan sebagai wadah untuk mengangkut pelet ke mesin pengering pertama. Gulungan rol lembaran yang tidak rapih dapat diatasi dengan memberikan pengarahan kepada pekerja oleh supervisor serta program monitoring kondisi sikat pada mesin cooker untuk memastikan tapioka tabur merata. Selain itu, diperlukan perbaikan lantai, penambahan ventilasi untuk mengatasi kondisi lantai yang rusak serta ruangan yang panas. Upaya minimalisasi yang dapat dilakukan pada tahap pemotongan dapat dilihat pada Tabel 28. Pada tahap pengeringan pertama, penyebab jumlah waste bersumber dari kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang; metode loading pelet; konstruksi mesin; lantai rusak dan ruangan panas. Kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang diatasi dengan menambah waktu istirahat secara bergiliran serta training karyawan seperti pada tahap pemotongan. Metode loading pelet yang merupakan proses lanjutan dari tahap pemotongan dapat diatasi dengan pemasangan konveyor dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama. Selain itu, dapat dilakukan modifikasi mesin untuk mengatasi kontruksi mesin pengeringan pertama yang memiliki celah-celah yang dapat melewatkan pelet ke lantai. Selain itu, perbaikan lantai, penambahan ventilasi dan kipas angin untuk mengatasi masalah lingkungan. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan pertama dapat dilihat pada Tabel 29.
Tabel 28. Upaya minimalisasi waste pada tahap pemotongan No 1
2
3
4
5
Penyebab Masalah Pekerja • Kelelahan
• pengalaman Metode Cara pengangkutan ke mesin pengeringan pertama Bahan • Gulungan tidak rapih • Tapioka tabur kurang Alat/wadah Kapasitas ember Lingkungan • Lantai rusak • Ruangan panas
Upaya minimalisasi • Menambah waktu istirahat secara bergiliran • Penggunaan alat bantu • Training karyawan baru Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu) • Training karyawan • Monitor sikat pada mesin cooker, jika rusak bisa diganti yang baru Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu) • Perbaikan lantai • Penambahan ventilasi dan kipas angin
Tabel 29. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua No 1
2
4
5
Penyebab Masalah Pekerja • kelelahan • pengalaman Metode Cara loading pelet Alat/wadah Konstruksi mesin Lingkungan • Lantai rusak • Ruangan panas
Upaya minimalisasi • Menambah waktu istirahat secara bergiliran. • Training karyawan baru Pemasangan konveyor, dari mesin pemotongan ke mesin pengeringan pertama (sistem kontinyu). Modifikasi mesin, menutup celahcelah yang ada. • Perbaikan lantai • Penambahan ventilasi, kipas angin
Pada tahap pengeringan kedua, penyebab jumlah waste bersumber dari kelelahan dan pengalaman pekerja yang kurang; metode loading dan
unloading pelet; kontruksi mesin dan lingkungan. Masalah pekerja diatasi dengan istirahat secara bergiliran dan training seperti pada tahap sebelumnya. Untuk mengatasi metode loading dan unloading yang menyebabkan
pelet
terjatuh,
dapat
dilakukan
modifikasi
tempat
penampungan pelet. Modifikasi dilakukan agar pemindahan pelet dari tempat penampungan pelet ke kontainer tidak menggunakan serokan melainkan secara kontinyu. Misalnya desain penampungan pelet dibuat miring dan diberi katup yang dapat dibuka dan ditutup pada bagian bawah, sehingga pelet dapat diturunkan secara langsung. Hal lainnya yang dapat dilakukan adalah perawatan pintu mesin untuk mengatasi engsel pintu yang tidak kuat atau longgar. Pada ruangan pengeringan kedua juga perlu ditambahkan ventilasi dan kipas angin untuk mengatasi ruangan yang panas. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Upaya minimalisasi waste pada tahap pengeringan kedua No 1
2
4 5
Penyebab Masalah Pekerja • kelelahan • pengalaman Metode Cara loading dan unloading Alat/wadah Konstruksi mesin Lingkungan Ruangan panas
Upaya minimalisasi • Menambah waktu istirahat secara bergiliran. • Training karyawan baru Modifikasi tempat penampungan pelet
Perawatan pintu mesin Penambahan ventilasi dan kipas angin
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Proses produksi snack Taro net terbagi menjadi dua bagian yaitu produksi pelet dan snack Taro net. Proses pembuatan pelet meliputi tahap pemasakan pada mesin steam cooker, sheeting, pendinginan dengan cooling conveyor, rolling, aging, pemotongan dan pengeringan pertama (first dryer). Proses pembuatan snack dimulai dari pelet yang mengalami tahapan pengeringan
kedua
(second
dryer),
penggorengan,
flavouring
dan
pengemasan. Kadar air bahan baku snack Taro net mempengaruhi mutu biologis, fisiko-kimia dan organoleptik. Persentase air yang ditambahkan pada pemasakan adonan berpengaruh nyata terhadap kadar air adonan, ketebalan dan elastisitas lembaran adonan pada tingkat signifikansi 5%. Persentase air 34% memberikan karakteristik organoleptik paling baik, sedangkan adonan dengan air 40% memberikan ketebalan dan elastisitas lembaran adonan yang memenuhi standar. Kadar air lembaran adonan (sheet) yang tinggi sekitar 33% berpotensi mendukung pertumbuhan mikroorganisme, yang berasal dari kontaminasi udara, pekerja, permukaan yang kontak dengan bahan dan tapioka tabur selama proses pendinginan pada cooling conveyor. Selain itu, kadar air lembaran adonan juga mempengaruhi mutu mikrobiologisnya selama proses aging. Pada tahapan ini dapat terbentuk mikotoksin dan endospora bakteri sehingga sebaiknya waktu aging dibatasi maksimal 12 jam sebelum jumlah TPC mencapai 106 koloni/gram. Perbedaan kelembaban udara rak aging tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada tingkat signifikansi 5%. Semakin cepat laju penurunan kadar air selama aging, maka tekstur lembaran adonan akan semakin mengeras. Kadar air juga berpengaruh terhadap tekstur pelet selama proses pengeringan. Kadar air pelet yang terlalu rendah menyebabkan tekstur pelet rapuh. Kadar air pelet yang semakin tinggi menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme. Berdasarkan kurva sorpsi isoterm, pelet first dryer aman disimpan pada tingkat kadar air 11.38% yang setara dengan aw minimum pertumbuhan kapang yaitu 0.62. Kadar air pelet second dryer berpengaruh
nyata terhadap densitas kamba hasil goreng pada tingkat signifikansi 5% dan kadar air pelet standar adalah 11.81-12.36%. Semakin tinggi aw produk maka tingkat kerenyahan produk semakin rendah. Produk snack dengan aw 0.270.33, aman dari cemaran mikrobiologis asalkan produk bisa dijaga dari kelembaban yang memungkinkan kenaikan kadar air. Mutu mikrobiologis snack Taro net memenuhi semua persyaratan mikrobiologi SNI makanan ringan ekstrudat. Jumlah waste pada tahap pemotongan diperkirakan antara 0.39–0.73%, sedangkan jumlah waste pada tahap pengeringan pertama diperkirakan antara 0.26-0.43%. Jumlah waste pada tahap pengeringan kedua diperkirakan 1.89– 2.97% per shift, yang diperoleh dari 5 mesin pengering kedua yang berbeda. Berdasarkan uji Post Hoc ANOVA pada mesin pengering kedua dapat disimpulkan bahwa mesin 1 dan mesin 6 memiliki perbedaan jumlah waste yang signifikan dibandingkan mesin yang lain. Identifikasi penyebab tingginya jumlah waste disebabkan oleh 5 faktor yaitu manusia, metode, bahan, alat/wadah dan lingkungan. Upaya minimalisasi yang dilakukan adalah mengatasi penyebab masalah yang meliputi training karyawan, modifikasi metode dan mesin, perbaikan lingkungan dan kontrol proses. B. SARAN Melihat potensi pasar snack yang semakin meningkat, persaingan di bisnis snack akan semakin ketat pada tahun-tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk memenangkan persaingan pasar, mutu snack harus terus ditingkatkan. Ada beberapa hal yang dirasakan perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu produk selama proses produksi snack Taro net, yaitu : 1. Standardisasi proses, sehingga keseragaman mutu dapat dipertahankan, 2. Peningkatan implementasi SSOP, GMP dan HACCP, sehingga keamanan produk dapat dipastikan mulai dari bahan baku sampai produk akhir, 3. Pelatihan sanitasi dan higiene karyawan, sehingga karyawan mengerti bagaimana cara produksi pangan yang baik, 4. Minimalisasi waste, sehingga biaya (cost) produksi dapat ditekan.
Selain itu, perlu dilakukan studi lanjutan untuk meningkatkan mutu produk baik mutu fisiko-kimia, mikrobiologi dan organoleptik. Beberapa hal yang perlu dilakukan studi lanjut adalah : 1. Profil pertumbuhan mikrobiologi selama tahapan aging, 2. Profil pertumbuhan mikrobiologi selama penyimpanan pelet di gudang, 3. Profil perubahan mutu selama umur simpan produk Demikian saran-saran yang dapat diberikan oleh Penulis. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, tetapi semoga studi yang dilakukan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk snack di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA Abedon, S. T. Microbial growth. www.mansfield.ohio-state.edu Anonim1. 2004. Waste at work information sheet. www.wasteonline.org Anonim2. 2006. Measuring moisture contents in the snack food and baking industries. www.cscscientific.com Anonim3. 2004. Waste in the workplace. www.wasteonline.org.uk Anonim4. 2006. Waste. www.wikipedia.org Anonim5. 2006. Food Storage FAQ. www.survival-center.com Anonim6. 2005. N.P Company, Inc. www.nposk.com Banks, D. E. dan E. W. Lusas. 2002. Oils and Industrial frying. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C. Barbosa-Canovas, G.V. dan H. Yan. 2003. Powder characteristics of preprocessed flours. Di dalam Characterization of Cereals and Flours. Kaletunc, G. Dan Breslauer (Eds.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Belitz, D. dan W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Springer. Jerman BeMiller, J. N. dan R. L. Whistler. 1996. Carbohydrates. Di dalam Food Chemistry. Fennema, O. R. (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel Butt, M. S., M. Nasir, S. Akhtar dan K. Sharif. 2003. Effect of moisture and packaging on the shelf life of wheat flour. Internet Journal of Food Safety. V 4 : 1-6. Djatmiko, B. dan A. B. Enie. 1985. Proses Penggorengan dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisiko-Kimia Minyak dan Lemak. Agro Industri Press. Bogor. Doyle, M. E. 2001. Bacillus cereus fact sheet. www.foodprotect.org Eborn, D. 2005. Rumford Baking Powder. www.waltonfeed.com Eliasson, A. dan M. Gudmundsson. 1996. Starch : physicochemical and functional aspects. Di dalam Carbohydrates in Food. Eliasson, A. (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Hongkong.
Fardiaz, S. 1989. Analisis Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Farrel, K. T. 1985. Spices,Condiments, and Seasonings. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology. Second edition. CRC Press. Boca Raton. Boston New York. Washington, DC. Fennema, O. R. 1996. Water and ice. Di dalam Food Chemistry. Fennema, O. R. (Ed.). Marcel Dekker, Inc. New York. Basel. Frank, P. 2000. Snack Mixes. www.foodproductdesign.com Gale, T. 2006. Baking powder. www.madehow.com Harper, J. M. 1981. Extrusion of Food. Vol I. CRC Press, Inc. Florida Hidayat, T. 2006. Garudafood perkuat posisi di bisnis snack. www.swa.co.id. Huang, D. P. dan L. W. Rooney. 2002. Starches for snack foods. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C. Jamilah. 2002. Proses produksi dan pengendalian mutu mie instan di PT Sentra Food Indonusa, Karawang. Laporan Magang. SJMP Fateta IPB. Bogor Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology. Aspen Publishers, Inc. Maryland. Ketaren, S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press. Jakarta. Knight, J. W. 1989. The Starch Industry. Pergamon Press. Oxford. Larantukan, T.L. 2005. Minimalisasi waste pada proses produksi dry mix product di PT. Nutrifood Indonesia-SBU Tropicana Slim Ciawi, Bogor-Jawa Barat. Laporan Magang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor. Lundqvist, H. 2001. www.lub.lu.se
Amylopectin-interactions
with
lipid
and
protein.
Lusas, E. W. 2002. Overview. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C.
Matjik, A. A. dan I. A. Sumertajaya. 2002. Perancangan dan Percobaan. IPB Press. Bogor. McCarthy, J. A. 2002. The snack industry : history, domestic, and global status. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C. Miles, W. J. 1960. Method for preparing sheeted fried snack products. www.freepatentsonline.com Moss, M. O. 2000. Toxigenic fungi and mycotoxin. Di dalam The Microbiological Safety and Quality of Food. Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., Gould, G. W. (Eds.). Aspen Publishers, Inc. Maryland. Muchtadi, T.R., Purwiyatno, dan A.B. Ahza. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Muhandri, T. dan D. Kadarisman. 2005. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan FATETA IPB. Bogor Muliawan, D. 1991. Pengaruh berbagai tingkat kadar air terhadap pengembangan kerupuk sagu goreng. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Mulyandari, S. H. 1992. Kajian perbandingan sifat-sifat pati umbi-umbian dan pati biji-bijian. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Mulyani, S. 2000. Pengawasan mutu terigu simpan dan pengaruhnya terhadap tekstur mie instan di PT Indofood Sukses Makmur, Jakarta. Laporan Magang. SJMP Fatete IPB. Bogor Nagao, S. 2002. Japanese snack foods. Di dalam Snack Food Processing. Lusas, E. W. Dan Rooney, L. W. (Eds.). CRC Press. Boca Raton. London. New York. Washington, D. C. Pomeranz, Y. dan J. A. Shellenberger. 1971. Bread Science and Technology. The AVI Publishing Co. Inc. Westport, Connecticut. Pongsawatmanit, R., P. Thanasukarn dan S. Ikeda. 2002. Effect of sucrose on RVA viscosity parameters, water activity and freezable water fraction of cassave starch suspensions. Science Asia 28 : 129-134 Prastyanty, R. 1998. isotermi sorpsi air dan kerenyahan kerupuk goreng dengan “penggorengan” oven gelombang mikro. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor. Ranhotra, G.S., dan J. L. Vetter. 1991. Foods considered for nutrient addition : snacks and confectioneries. Di dalam Nutrient Additions to Food.
Bauernfeind, J. C. dan Lachance, P. A. (Eds.). Food & Nutrition Press, Inc. Connecticut, USA. Santoso, S. 2006. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS 14. PT Elex Media Komputindo. Jakarta Serena. 1996. Aspek teknologi pangan dalam produksi makanan ringan, di PT. Radiance Food Industry Division. Laporan Praktek Lapang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor. Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhratara Karya Aksara. Jakarta Suratno, Y. D. 1995. Mempelajari aspek teknologi pangan di perusahaan makanan ringan PT. Intranesia Bina Citra, Tanggerang. Laporan Praktek Lapang. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. FATETA-IPB. Bogor. Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Arcan. Jakarta. Syarief, R., L. Ega, dan C.C. Nurwitri. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. IPB Press. Bogor Todar, K. 2002. Growth of bacterial population. www.textbookofbacterilogy.net Vodovotz, Y., M. Baik, E. Vittadini, dan P. Chinachoti. 2001. Instrumental techniques used in bread staling analysis. Di dalam Bread Staling. Chinachoti, P. dan Y. Vodovotz (Eds.). CRC Press. Boca Rato. London, New York. Washington, D.C. Winarno, F. G. 2004. Keamanan Pangan. Mbrio Press. Bogor. Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Xiong, L. 2002. Determination and prediction of shelf life of moisture-sensitive shredded wheat cereals. www.msu.edu Zulviani, R. 1992. Pengaruh berbagai tingkat suhu penggorengan terhadap pola pengembangan kerupuk sagu goreng. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Bogor.
Lampiran 1. Struktur organisasi PT. Unilever Indonesia SCC&C Cikarang
Supply Chain Director Foods
Quality Manager
Technical Manager
Production Manager
Plant Engineer
Production Assistant Manager
Assistant Plant Engineer
Quality Assistant Manager
Lampiran 2. Beberapa mikotoksin utama dalam penyimpanan bahan pangan Mikotoksin Alfatoksin
Kapang utama Aspergillus flavus A. parasiticus
Substrat
Kondisi Produksi Toksin aw minimum 0.80, Serealia, kacang Suhu optimum : 25oCtanah 35oC, kondisi suhu (komoditi yang berfluktuasi lebih pangan merangsang aktivitas tropik dan metabolisme sekunder subtropik) mikotoksin, diproduksi lebih aktif pada bahan yang mengandung karbohidrat tinggi, kaya lipida dan protein. aw minimum 0.85 (A. Jewawut, gabah, ochraceus ), suhu 24jagung, 31oC (optimum 24oC) gandum, untuk P. verrucosum, lada hitam, sedangkan A. biji kopi ochraceus pada suhu 12-37oC (optimum 25oC), produksi toksin maksimal pada aw 0.95 dan suhu 30oC, produksi toksin meningkat dengan meningkatnya kandungan protein. pH 3.2 -3.8, produksi Bebijian, maksimum pada suhu buah30-37oC, buahan (apel), jus buah, silase
Okhratoksin
A. ochraceus A. viridicatum P. verrucosum
Patulin
A. clavatus P. expansum P. patulum P. urticae P. cyclopium
Islanditoksin, luteoskirin, rugulosin
P. islandicum P. rugulosum
Beras, sorgum, jewawut
-
Zearalenon
F. graminearum F. tricineatum
Jagung, gandum
aw di atas 0.95, suhu optimum 27oC, lebih aktif pada kondisi penyimpanan yang suhunya berubah drastis
Trikhotesen
Fusarium sp.
Serealia
Pertumbuhan
Karakteristik toksin Termostabil, termotolerans sampai suhu 250oC, peka terhadap basa (NaOH, NH3)
Berupa kristal, tidak berwarna, larut pada solven organik yang polar dan lautan encer, tidak dapat didekstruksi sempurna pada suhu 250oC,
Merupakan lakton tidak jenuh C7H6O4, peka terhadap SO2, stabil dalam suasana asam, tidak stabil dalam suasana basa, dapat diproduksi pada suhu rendah. titik lebur 110.5oC, larut dalam eter, kloroform, etil asetat dan etanol; dapat direduksi dengan asam askorbat, direduksi selama pasteurisasi Luteoskirin berwarna kuning dan lipofilik, islanditoksin bersifat hidrofilik dan berwarna kuning. Kristal putih, titik ;ebur 165oC, tidak larut dalam air, CS2 dan CCl, larut dalam benzen, CH2Cl2, etil asetat, air pada pH 12, etanol, metanol, aseton dan butanol, mempunyai efek anabolik Mudah larut air, butanol,
Sterigmatosistin
A. versicolor
Asam penisilat
P. cyclopium A. ochraceus P. viridicatum
Sitrinin
P. citrinum A. clavatus
Sumber : Syarief dan Halid
maksimum pada suhu toluen, piridin, tidak mudah 25oC larut dalam etil eter, aseton dan kloroform. Gandum, Pertumbuhan Dapat dikonversi menjadi oat maksimum pada suhu aflatoksin B1 oleh Aspergillus 27-29oC parasiticus, larut dalam alkohol, asetonitril, etilasetat dan tidak larut dalam petrol eter, tidak stabil dalam lingkungan basa. Serealia, aw minimum 0.81 (A. Stabil pada suihu 100oC tembakau ochraceus ) dengan berbagai nilai pH, titik lebur 84-87oC, tidak larut dalam air dingin, petrol eter dan heksen, larut dalam air panas, etanol, kloroform, etil asetat dan benzen eter. o Suhu 20-30 C Beras Peka terhadap panas, pada kuning, roti suhu 60-70oC toksin tidak akan berkapang, rusak, stabil pada kondisi gandum, asam, tidak stabil dalam rye, oat kondisi basa, rusak selama penyimpanan pada aktivitas air yang tinggi, dapat dihambat oleh kafein (1993), Syarief, et al. (2003), Jay (2000) dan Moss (2000)
Lampiran 3. Persyaratan mutu tepung terigu (SNI 01-3751-1995) No
Kriteria Uji
1 1.1 1.2 1.3 1.4
Keadaan Bentuk Bau Rasa Warna
-
2
Benda Asing
-
3
Serangga (dalam semua stadia dan potonganpotongannya) Jenis pati lain
-
4 5
12 12.1 12.2 12.3 12.4
Kehalusan (lolos ayakan 145 μ (100 mesh) Air Abu Protein (N x 0.57) Serat kasar Keasaman (dihitung sebagai asam laktat) Bahan tambahan makanan (bahan pemutih) Cemaran Logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg)
13 14 14.1 14.2 14.3
Cemaran arsen Cemaran Mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
6 7 8 9 10 11
Jenis A
Persyaratan Jenis B
Jenis C
Serbuk halus Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada
Serbuk halus Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada
Serbuk halus Normal Normal Normal Tidak boleh ada Tidak boleh ada
Tidak boleh ada Min. 95
Tidak boleh ada Min. 95
Tidak boleh ada Min. 95
Maks. 14 Maks. 0.6 Maks. 12 Maks. 0.4 Maks. 0.4
Maks. 14 Maks. 0.6 Maks. 10-11 Maks. 0.4 Maks. 0.4
Maks. 14 Maks. 0.6 Maks. 8-9 Maks. 0.4 Maks. 0.4
Satuan
-
%b/b %b/b %b/b %b/b %b/b %b/b
Sesuai SNI 01-0222-1995
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05
mg/kg
Maks. 0.5
Maks. 0.5
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Koloni/g APM/g Koloni/g
106 10 104
106 10 104
106 10 104
Lampiran 4. Persyaratan mutu tapioka (SNI 01-3451-1994) No
Jenis uji
Satuan Mutu I
1 2 3 4
5 6 7
8 9
Kadar air (b/b) Kadar abu (b/b) Serat dan benda asing (b/b) Derajat putih (BaSO4= 100%) Kekentalan Derajat asam Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Arsen (As) Cemaran mikroba Angka lempeng total E. coli Kapang
Persyaratan Mutu II
Mutu III
% % %
Maks. 15 Maks. 0.60 Maks. 0.60
Maks. 15 Maks. 0.60 Maks. 0.60
Maks. 15 Maks. 0.60 Maks. 0.60
%
Min. 94.5
Min. 92
<92
3–4 Maks. 3
2.5 - 3 Maks. 3
< 2.5 Maks. 3
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Maks. 1.0 Maks. 10 Maks. 40 Maks. 0.05 Maks. 0.5
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
Maks. 1.0x106 Maks. 10 Maks. 1.0x104
o
Engler ml IN NaOH/100 g mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
koloni/g koloni/g koloni/g
Lampiran 5. Persyaratan mutu gula kristal putih (SNI 01-3140-2000) No 1 1.1 1.2 2 3 4 5 6 7 8
9 9.1 9.2 10
Kriteria uji Warna Warna kristal Warna larutan (ICUMSA) Besar jenis butir Susut pengeringan Polarisasi (oZ, 20oC) Gula pereduksi Abu Bahan asing tidak larut Bahan tambahan makanan : Belerang dioksida (SO2) Cemaran logam : Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Arsen (As)
Satuan GKP I
Persyaratan GKP II
GKP III
% Lu
Min. 90 Maks. 250
Min. 65 Maks. 350
Min. 60 Maks. 450
Mm % b/b “Z” % b/b % b/b Derajat
0.8 -1.2 Maks. 0.1 Min. 99.6 Maks. 0.10 Maks. 0.10 Maks. 5
0.8 -1.2 Maks. 0.15 Min. 99.5 Maks. 0.15 Maks. 0.15 Maks. 5
0.8 -1.2 Maks. 0.2 Min. 99.4 Maks. 0.20 Maks. 0.20 Maks. 5
Mg/kg
Maks. 30
Maks. 30
Maks. 30
Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Maks. 2 Maks. 2 Maks. 1
Maks. 2 Maks. 2 Maks. 1
Maks. 2 Maks. 2 Maks. 1
Lampiran 6. Persyaratan mutu minyak goreng (SNI 01-3741-1995) No 1 1.1 1.2 2 3
Kriteria uji
4 5
Keadaan Bau Rasa Air Asam lemak bebas (dihitung berdasakan asam laurat) Minyak pelican Bahan tambahan makanan
6 6.1 6.2 6.3 6.4 6.5 6.6 7
Cemaran logam Besi (Fe) Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Timah (Sn) Arsen (As)
* dalam kemasan kaleng
Satuan % b/b % b/b -
Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg
Persyaratan Normal Normal Maksimum 0.30 Maksimum 0.30 Tidak ternyata Sesuai SNI 01-0222-1995 dan Permenkes No. 722/Menkes/Per/IX/88 Maksimum 1.5 Maksimum 0.1 Maksimum 0.1 Maksimum 40.0 Maksimum 0.05 Maksimum 40.0 / 250.0 * Maksimum 0.1
Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap kadar air adonan (%) Tabel 31. Kadar air lembaran adonan (%) Persentase air pemasakan (%) 34 37 40
Ulangan
1 2 35.88 34.30 35.73 36.65 39.71 39.18 Rataan Umum
3 34.35 36.06 39.19
Ratarata 34.84 36.15 39.36 36.78
Hasil analisis sidik ragam Db Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Koefisien keragaman (%)
2 6 8
Jumlah kuadrat 32.42 2.23 34.66
Kuadrat tengah 16.21 0.37
F hitung 43.59
1.66
Pengujian hipotesis : Nilai F hitung = 43.59 dan F tabel (2,6), = 5.143 pada taraf nyata 0.05. Oleh karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air pemasakan berpengaruh nyata terhadap kadar air lembaran adonan pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap ketebalan lembaran adonan (mm) Tabel 32. Ketebalan lembaran adonan (mm) Persentase air pemasakan (%) 34 37 40
1 1.94 1.90 1.78
2 1.90 1.76 1.72
Ulangan 3 4 1.84 1.88 1.70 1.71 1.50 1.54
5 1.94 1.92 1.62
Ratarata 1.90 1.80 1.63
Hasil analisis sidik ragam Db Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Koefisien keragaman (%)
Jumlah
Kuadrat
kuadrat
tengah
0.18 0.11 0.29
0.0915 0.0089
2 12 14 5.31
F hitung 10.2640
Pengujian hipotesis: Nilai F hitung = 10.2640 dan F tabel
(2,12)
= 3.885 pada taraf nyata 0.05.
Oleh karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air pemasakan berpengaruh nyata terhadap ketebalan adonan pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 9. Hasil analisis sidik ragam Rancangan Acak Lengkap pengaruh jumlah air pemasakan terhadap elastisitas lembaran adonan Tabel 33. Elastisitas lembaran adonan Persentase air Ulangan pemasakan 1 2 (%) Panjang Elastisitas Panjang Elastisitas (cm) (cm) 10 16.50 2.0625 16.50 2.0625 11 17.50 2.1875 17.00 2.1250 12 18.50 2.3125 19.00 2.3750
Elastisitas rata-rata
2.0625 2.1563 2.3438
Hasil analisis sidik ragam Db Sumber keragaman Perlakuan Galat Total Koefisien keragaman (%)
2 3 5 1.65
Jumlah Kuadrat kuadrat tengah 0.08 0.04 0.00 0.00 0.09
F hitung 31.50
Pengujian hipotesis : Nilai F hitung = 31.50 dan F tabel
(2,3),
= 9.552 pada taraf nyata 0.05. Oleh
karena F hitung > F tabel, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah air pemasakkan berpengaruh nyata terhadap elastisitas lembaran adonan pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 10. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kelembaban udara (%) dengan kadar air (%) Correlations
Kelembaban udara (RH) Kadar air sheet (%)
Kelembaban udara (RH) Pearson Correlation 1 Sig. (2-tailed) . N 4 Pearson Correlation -.320 Sig. (2-tailed) .680 N 4
Kadar air sheet (%) -.320 .680 4 1 . 4
Pengujian hipotesis : Tingkat signifikansi yang diperoleh adalah 0.680. Tingkat signifikansi (probabilitas) 0.680 > 0.05, dengan demikian Ho diterima. Hasil pengujian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kelembaban udara (RH) ruang aging dengan kadar air lembaran. Hal ini berarti perbedaan kondisi ruang aging tidak berpengaruh nyata terhadap proses retrogradasi pati selama proses aging pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 11. Kemiringan kurva regresi linear antara kadar air sheet (%) dengan waktu aging (jam) Ulangan Waktu aging (jam)
Kadar air sheet (%) B 33.61 33.41 32.62 33.82 0.04
A C 1 32.46 33.07 2 30.10 31.87 3 27.86 32.52 5 23.87 32.17 Kemiringan kurva -2.14 -0.14 regresi linear 2 6 21.97 33.47 32.86 7 17.79 32.29 31.79 8 16.09 32.74 32.35 9 16.51 33.34 32.93 Kemiringan kurva -1.81 0.01 0.08 regresi linear 3 7 23.54 32.53 31.81 8 21.26 31.70 32.10 9 19.37 32.42 32.07 11 17.75 31.88 31.17 Kemiringan kurva -1.41 -0.10 -0.18 regresi linear Keterangan : A = posisi sheet paling luar, B = posisi tengah rol, C = posisi paling dalam rol 1
Lampiran 12. Hasil penyetimbangan kadar air pelet first dryer pada 4 tingkat RH RH (%)
Ulangan
69
1 2 1 2
74
RH (%)
Ulangan
84
1 2 1 2
87
Berat cawan dan pelet first dryer hari ke- (gram) 0 2 4 6 7 15.4629 15.5455 15.5662 15.5717 15.5663 13.4034 13.4874 13.5073 13.5125 13.5065 15.2228 15.3386 15.3454 15.3449 15.3405 15.4348 15.5574 15.5579 15.5585 15.5592 Berat cawan dan pelet first dryer hari ke- (gram) 0 3 6 8 15.4407 15.8078 15.8423 15.8318 15.1957 15.5324 15.5704 15.5624 15.2134 15.6559 15.8064 15.8738 13.1535 13.6132 13.7368 13.8007
Lampiran 13. Kadar air kesetimbangan pelet first dryer pada 4 tingkar RH RH (%) 67 74 84 87
Ulangan 1 2 1 2 1 2 1 2
Kadar air (%) 12.27 12.28 12.94 12.89 15.05 14.96 19.33 18.64
Kadar air rata-rata (%) 12.28 12.92 15.00 18.99
Lampiran 14. Kadar air rata-rata pelet second dryer Kode L1 L2 L3 L4
1 12.09 12.11 11.04 11.45
2 12.51 11.75 11.84 11.26
Ulangan 3 11.98 12.21 12.00 11.63
4 12.62 11.61 12.14 11.62
5 12.72 12.14 12.09 11.85
Kadar air rata-rata 12.38 11.96 11.82 11.56
Lampiran 15. Hasil analisa korelasi bivariate Pearson kadar air pelet (%) dengan densitas kamba (kg/cm3) Correlations Kadar air pellet (%)
Densitas kamba (kg/cm3)
Kadar air pellet (%)
Pearson 1 -.914(*) Correlation Sig. (2-tailed) . .030 N 5 5 Bulk Density Pearson -.914(*) 1 (kg/cm3) Correlation Sig. (2-tailed) .030 . N 5 5 * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Pengujian hipotesis : Tingkat signifikansi yang diperoleh adalah 0.030. Tingkat signifikansi (probabilitas) 0.030 < 0.05, dengan demikian Ho ditolak. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kadar air pelet dengan densitas kamba pada tingkat signifikansi 5%.
Lampiran 16. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pemotongan Statistics Valid
N
24
Missing Mean Std. Error of Mean Median Std. Deviation Variance Skewness Std. Error of Skewness Kurtosis Std. Error of Kurtosis Range Minimum Maximum Percentiles
0 .5596 .08336 .4400 .40836 .167 1.275 .472 1.195 .918 1.58 .12 1.70 .1500 .2550 .4400 .8325 1.1850
10 25 50 75 90
Jumlah waste (%) Valid
.12 .15 .19 .21 .24 .30 .33 .34 .35 .37 .41 .47 .51 .58 .59 .63 .90 .93 1.12 1.17 1.20 1.70 Total
Frequency 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 24
Percent 4.2 8.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 8.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 100.0
Valid Percent 4.2 8.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 8.3 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 4.2 100.0
Cumulative Percent 4.2 12.5 16.7 20.8 25.0 29.2 33.3 37.5 41.7 45.8 50.0 58.3 62.5 66.7 70.8 75.0 79.2 83.3 87.5 91.7 95.8 100.0
Descriptive Statistics N
Minimum
Jumlah waste (%)
24
Valid N (listwise)
24
.12
Maximum 1.70
Mean .5596
Std. Deviation .40836
Lampiran 17. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan pertama Statistics Jumlah waste (%) N
Valid
12
Missing
0
Mean
.3450
Std. Error of Mean
.03677
Median
.3100
Std. Deviation
.12739
Variance
.016
Skewness
.879
Std. Error of Skewness
.637
Kurtosis
.429
Std. Error of Kurtosis
1.232
Range
.44
Minimum
.16
Maximum
.60
Percentiles
10
.1810
25
.2650
50
.3100
75
.4100
90
.5850
Jumlah waste (%)
Valid
Cumulative Percent
.16
Frequency 1
Percent 8.3
Valid Percent 8.3
.23
1
8.3
8.3
16.7
.26
1
8.3
8.3
25.0
.28
1
8.3
8.3
33.3
.29
1
8.3
8.3
41.7
.30
1
8.3
8.3
50.0
.32
1
8.3
8.3
58.3
.35
1
8.3
8.3
66.7
.38
1
8.3
8.3
75.0
.42
1
8.3
8.3
83.3
.55
1
8.3
8.3
91.7 100.0
.60 Total
1
8.3
8.3
12
100.0
100.0
8.3
Descriptive Statistics N
Minimum
Jumlah waste (%)
12
Valid N (listwise)
12
.16
Maximum .60
Mean .3450
Std. Deviation .12739
Lampiran 18. Statisitika deskriptif jumlah waste pada tahap pengeringan kedua Statistics Persentase waste rata-rata per shift (%) N Valid
7
Missing
61
Mean
2.4314
Std. Error of Mean
.24083
Median
2.4600
Std. Deviation
.63717
Variance
.406
Skewness
.228
Std. Error of Skewness
.794
Kurtosis
-.511
Std. Error of Kurtosis
1.587
Range
1.82
Minimum
1.60
Maximum
3.42
Percentiles
10
1.6000
25
1.7600
50
2.4600
75
2.9800
90
3.4200
Persentase waste rata-rata per shift (%)
Valid
1.60
Percent 1.5
Valid Percent 14.3
1.76
1
1.5
14.3
28.6
2.32
1
1.5
14.3
42.9
2.46
1
1.5
14.3
57.1
2.48
1
1.5
14.3
71.4
2.98
1
1.5
14.3
85.7
3.42
1
1.5
14.3
100.0
100.0
Total Missing
Cumulative Percent
Frequency 1
System
Total
7
10.3
61
89.7
68
100.0
14.3
Descriptive Statistics N
Minimum
Persentase waste ratarata per shift (%)
7
Valid N (listwise)
7
1.60
Maximum 3.42
Mean 2.4314
Std. Deviation .63717
Lampiran 19. Transformasi data jumlah waste tahap pengeringan kedua Mesin 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6 1 2 3 5 6
Jumlah waste SD (%) 2.70 3.10 2.70 2.74 5.88 1.20 4.17 2.36 2.10 2.47 1.00 1.62 1.52 1.41 3.25 1.14 3.30 2.48 3.05 2.43 2.53 2.58 2.74 1.14 2.61 1.54 3.60 2.61 1.80 5.34 1.12 1.23 1.30 2.40 2.12
Transformasi data 1.64 1.76 1.64 1.66 2.42 1.10 2.04 1.54 1.45 1.57 1.00 1.27 1.23 1.19 1.80 1.07 1.82 1.57 1.75 1.56 1.59 1.61 1.66 1.07 1.62 1.24 1.90 1.62 1.34 2.31 1.06 1.11 1.14 1.50 1.46
Lampiran 20. Analisis ragam (ANOVA one-way) jumlah waste pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua
tahap
Descriptives tans_waste
Mesin 1
7
1.2423
.26665
.10079
95% Confidence Interval for Mean Lower Upper Bound Bound .9957 1.4889
1.00
1.64
Mesin 2
7
1.6435
.33947
.12831
1.3296
1.9575
1.11
2.04
Mesin 3
7
1.4854
.20985
.07931
1.2914
1.6795
1.14
1.66
Mesin 5
7
1.4206
.24255
.09167
1.1963
1.6449
1.07
1.75
Mesin 6
7
1.8201
.38971
.14730
1.4596
2.1805
1.46
2.42
35
1.5224
.34303
.05798
1.4046
1.6402
1.00
2.42
N
Total
Std. Deviation
Mean
Std. Error
Minimum
Maximum
Test of Homogeneity of Variances tans_waste Levene Statistic 1.071
df1 4
df2 30
Sig. .388
ANOVA tans_waste
Between Groups
Sum of Squares 1.354
df 4
Mean Square .339 .088
Within Groups
2.647
30
Total
4.001
34
F 3.838
Sig. .012
Lampiran 21. Analisis Post Hoc ANOVA jumlah waste tahap pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua Multiple Comparisons Dependent Variable: tans_waste
Tukey HSD
(I) No. Mesin
(J) No. Mesin
Mesin 1
Mesin 2 Mesin 3
Mesin 2
Mesin 5
Mesin 6
Bonfer
Mesin 1
roni
Mesin 2
Mesin 3
Mesin 5
Mesin 6
Std. Error
95% Confidence Interval Sig.
Lower Bound -.8617 -.7036
Upper Bound .0593 .2174
-.40123 -.24313
.15876 .15876
.111 .551
Mesin 5
-.17830
.15876
.793
-.6388
.2822
Mesin 6
-.57776(*)
.15876
.008
-1.0383
-.1173
Mesin 1
.40123
.15876
.111
-.0593
.8617
Mesin 3
.15810 .22293 -.17654
.15876 .15876 .15876
.855 .630 .799
-.3024 -.2376 -.6370
.6186 .6834 .2840
Mesin 1
.24313
.15876
.551
-.2174
.7036
Mesin 2
-.15810
.15876
.855
-.6186
.3024
Mesin 5
.06483
.15876
.994
-.3957
.5253
Mesin 6 Mesin 1 Mesin 2
-.33463 .17830 -.22293
.15876 .15876 .15876
.243 .793 .630
-.7951 -.2822 -.6834
.1259 .6388 .2376
Mesin 3
-.06483
.15876
.994
-.5253
.3957
Mesin 6
-.39946
.15876
.114
-.8600
.0610
Mesin 1
.57776(*)
.15876
.008
.1173
1.0383
Mesin 2 Mesin 3 Mesin 5
.17654 .33463 .39946
.15876 .15876 .15876
.799 .243 .114
-.2840 -.1259 -.0610
.6370 .7951 .8600
Mesin 2
-.40123
.15876
.170
-.8822
.0798
Mesin 3
-.24313
.15876
1.000
-.7241
.2379
Mesin 5
-.17830
.15876
1.000
-.6593
.3027
Mesin 6 Mesin 1 Mesin 3 Mesin 5
-.57776(*) .40123 .15810 .22293
.15876 .15876 .15876 .15876
.010 .170 1.000 1.000
-1.0588 -.0798 -.3229 -.2581
-.0968 .8822 .6391 .7039
Mesin 6
-.17654
.15876
1.000
-.6575
.3045
Mesin 1
.24313
.15876
1.000
-.2379
.7241
Mesin 2
-.15810
.15876
1.000
-.6391
.3229
Mesin 5 Mesin 6 Mesin 1
.06483 -.33463 .17830
.15876 .15876 .15876
1.000 .435 1.000
-.4162 -.8156 -.3027
.5458 .1464 .6593
Mesin 2
-.22293
.15876
1.000
-.7039
.2581
Mesin 3
-.06483
.15876
1.000
-.5458
.4162
Mesin 6
-.39946
.15876
.174
-.8805
.0816
Mesin 1 Mesin 2 Mesin 3
.57776(*) .17654 .33463
.15876 .15876 .15876
.010 1.000 .435
.0968 -.3045 -.1464
1.0588 .6575 .8156
Mesin 5
.39946
.15876
.174
-.0816
.8805
Mesin 5 Mesin 6 Mesin 3
Mean Difference (I-J)
* The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 22. Homogenous subsets jumlah waste pengeringan kedua pada lima mesin pengering kedua
Homogeneous Subsets tans_waste Subset for alpha = .05 Tukey HSD(a)
No. Mesin Mesin 1
N
1 1.2423
2
7
Mesin 5
7
1.4206
1.4206
Mesin 3
7
1.4854
1.4854
Mesin 2
7
1.6435
1.6435
Mesin 6
7
Sig.
.111 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 7.000.
1.8201 .114