PERANAN TNF, IL-1, DAN IL-6 PADA RESPON IMUN TERHADAP PROTOZOA Kartika Ishartadiati Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya Abstrak: Salah satu reaksi awal dari hospes terhadap infeksi parasit protozoa adalah mensekresi serangkaian sitokin yang poten termasuk tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), dan interleukin 6 (IL-6). Aktivitas bersama dari sitokin-sitokin ini menyebabkan demam, leukositosis, dan produksi dari protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP). Respon-respon awal ini berperan secara nyata terhadap hasil akhir infeksi dengan cara mempengaruhi perjalanan infeksi secara langsung dan mengatur respon imun spesifik terhadap parasit. Kata kunci: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
ROLE OF TNF, IL-1, AND IL-6 IN PROTOZOA IMMUNE RESPONSE AGAINST Kartika Ishartadiati Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya Abstract: One of the initial reaction of the host of the protozoan parasite infection is to secrete a series of potent cytokines including tumor necrosis factor (TNF), interleukin 1 (IL-1), and interleukin 6 (IL-6). Joint activity of these cytokines cause fever, leukocytosis, and production of acute phase proteins like C-reactive protein (CRP). These early responses contribute significantly towards the end result of infection by affecting travel directly infection and regulate specific immune response against the parasite. Key words: protozoa, IL-1, IL-6, TNF
Pendahuluan Sitokin adalah mediator (berupa protein atau glikoprotein dengan berat molekul 8-80kDa) yang dihasilkan oleh sel dalam reaksi radang atau imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara selsel untuk membentuk jaringan komunikasi dalam respon imun. Sitokin tersebut mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan pertumbuhan, mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel-sel jenis lain. Sitokin dapat bersifat autokrin atau berefek pada sel yang menghasilkannya maupun parakrin atau bekerja pada sel yang berdekatan. Sitokin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor spesifik pada membran sel , memulai kaskade yang menyebabkan induksi, dan peningkatan atau penghambatan berbagai respon imun. Sitokin hampir tidak pernah diproduksi atau bekerja sendirian, tetapi selalu dalam suatu jaringan kerja yang kompleks. Yang termasuk dalam sitokin adalah berbagai interleukin (IL-1, IL-2, dan seterusnya),
interferon (IFN α, β, dan γ), faktor nekrosis tumor (tumour necrosis factor, TNF), faktor perangsang koloni (colony stimulating factor, CSF), faktor pertumbuhan (growth factor), dan khemokin (sitokin khemotaktik), dll. Berbagai macam interaksi antar-sitokin, adalah (1) sinergistik atau antagonistik, beberapa sitokin bekerja secara sinergistik atau secara antagonistik terhadap suatu aktivitas tertentu; (2) induksi atau inhibisi, beberapa sitokin dapat menginduksi atau menghambat produksi sitokin yang lain, dalam suatu bentuk sinergi atau antagonisme berurutan (efek kaskade); (3) regulasi ekspresi reseptor, beberapa sitokin meregulasi ekspresi reseptornya sendiri maupun reseptor sitokin yang lain (Samik & Madarina, 2002). Hampir semua proses peradangan mengakibatkan aktivasi makrofag jaringan dan infiltrasi monosit darah. Aktivasi menyebabkan banyak perubahan-perubahan dalam sel, di antaranya adalah produksi TNF, IL-1, dan
IL-6, sitokin-sitokin yang meyebabkan efek multipel pada hospes. Efek-efek ini meliputi (1) induksi demam, (2) respon fase akut hepatik, yang disertai lekositosis dan produksi protein fase akut seperti CRP, dan (3) diferensiasi dan/atau aktivasi dari sel T, sel B dan makrofagmakrofag (Tabel 1). TNF, IL-1, dan IL-6 adalah hasil dari gen-gen berbeda yang menyandikan protein-protein non homolog dan mengikat reseptor-reseptor berbeda, walaupun ada tumpang tindih pada sumber seluler dan aktifitas biologi dari ketiga sitokin tersebut. TNF dan IL- 1 dapat menginduksi biosintesis mereka sendiri, dan satu dengan yang lain serta IL-6, dan ketiganya sering bekerja secara sinergistik. Misalnya IL-1 dan IL-6 bersinergi dalam induksi dari aktivasi sel T. Banyak efek dari TNF, IL-1, dan IL-6 (Tabel 1) yang memungkinkan hospes kebal terhadap suatu patogen. Demam dapat meningkatkan respon imun terhadap suatu patogen, sebab responrespon tertentu meningkat pada temperatur sekitar 2ºC di atas normal; pengaktifan IL-1 dari limfosit dan respon antibodi adalah contohnya. Sebagai tambahan, respon demam menggambarkan sebuah mekanisme pertahanan hospes, sebab-contohnyatahap perkembangan tertentu dari parasit malaria akan rusak pada peningkatan temperatur (Titus et al., 1991). TNF, IL-1, dan IL-6 merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah protein plasma yang disebut protein fase akut seperti CRP yang dapat meningkat 1000 kali. CRP dikenal bertindak sebagai opsonin yang membantu melenyapkan patogen. Pengukuran CRP berguna untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. Secara keseluruhan, respon fase akut memberikan efek yang menguntungkan melalui peningkatan resistensi hospes, mengurangi cidera jaringan dan meningkatkan resolusi dan perbaikan cidera inflamasi (Baratawidjaja, 2006).
Aktivasi dari sel T, sel B, dan makrofag oleh TNF, IL-1 atau IL-6 dapat meningkatkan sel T spesifik dan respon antibodi terhadap patogen dan mempercepat pelenyapan patogen yang dicerna oleh makrofag. Bagaimanapun, meskipun setiap sitokin ini dapat melindungi hospes yang terinfeksi, produksi yang berlebihan dapat meningkatkan patologi dan dapat menyebabkan kematian hospes. Ini terutama ditandai dengan produksi berlebih dari TNF. Beberapa contoh yang paling jelas dari efek ’pedang bermata dua’ dapat dilihat dari analisis respon imun terhadap patogen protozoa (Titus et al., 1991). Tabel 1. Sebagian daftar dari sumber seluler dan aktivitas biologi dari TNF, IL-1 dan IL-6 TNF IL-1 IL-6 Sumber Makrof Makrofa Makrofag ag g Sel T Sel T Keratinos Sel B Sel NK it Sel endotel Sel Sel epitel endotel Fibroblas Sel dendritik Sel NK Fibroblas Induksi Ya Ya (+++) Ya (+) demam (++) Induksi Ya Ya Ya protein fase akut Induksi TNF Ya Ya Tidak Induksi IL-1 Ya Ya Tidak Induksi IL-6 Ya Ya Tidak Diferensiasi/a Ya Ya Ya ktivasi sel T/B atau makrofag (Baratawidjaja, 2006; Detrick et al., 2008; Titus, 1991) Tumor Necrosis Factor TNF merupakan sitokin utama pada respons inflamasi akut. Infeksi yang berat dapat memicu produksi TNF dalam
jumlah besar yang menimbulkan reaksi sistemik. TNF disebut TNF-α atas dasar historis dan untuk membedakannya dari TNF-β atau limfotoksin (Baratawidjaja, 2006). TNF-α dan –β secara struktur berhubungan, mengikat reseptor seluler yang sama, dan menghasilkan perubahan biologi yang mirip pada berbagai sel. TNF-α diproduksi oleh neutrofil, limfosit yang diaktifkan, makrofag sel NK, dan beberapa sel non limfoid seperti astrosit, sel endotel dan sel otot polos, sementara TNF-β nampaknya hanya diproduksi oleh sel T (Detrick et al., 2008). LPS merupakan rangsangan poten untuk mensekresi TNF. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang makrofag antara lain meningkatkan sintesis TNF. Pada kadar rendah, TNF bekerja terhadap leukosit dan endotel, menginduksi inflamasi akut. Pada kadar sedang, TNF berperan dalam inflamasi sistemik. Pada kadar tinggi, TNF menimbulkan kelainan patologik syok septik. TNF antara lain :
memiliki
efek
biologik
Pengerahan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi serta mengaktifkan sel-sel tersebut untuk menyingkirkan mikroba.
Memacu ekspresi molekul adhesi sel endotel vaskular terhadap leukosit.
Merangsang makrofag mensekresi kemokin dan menginduksi kemotaksis dan pengerahan leukosit.
Merangsang fagosit mononuklear untuk mensekresi IL-1 dengan efek seperti TNF.
Merangsang hipotalamus yang menginduksi panas dan oleh karena itu disebut pirogen endogen. Panas ditimbulkan atas pengaruh prostaglandin yang diproduksi sel hipotalamus yang
dirangsang TNF dan IL-1. Inhibitor sintesis prostaglandin seperti aspirin, menurunkan panas. TNF seperti halnya dengan IL-1 dan IL-6 meningkatkan sintesis protein serum tertentu oleh hepatosit (Baratawidjaja, 2006). TNF memegang peran penting pada malaria dan Ian Clark mencatat bahwa ”efek samping yang diamati pada penderita kanker yang mendapat infus TNF rekombinan sangat mirip dengan klinis malaria”. Di antara efek samping ini adalah demam, kekakuan, sakit kepala, myalgia, mual-muntah dan trombositopenia. Sebagai tambahan, level serum TNF sering berkaitan dengan keparahan penyakit (Titus et al., 1991). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF-α yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNF-α, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral (Chen et al., 2006). Jadi, apakah TNF menguntungkan atau merugikan pada hospes yang terinfeksi malaria? Jawabannya tidak sederhana. Walaupun pada kondisi tertentu TNF dapat melindungi, tetapi produksi yang berlebih dari TNF merusak hospes dan berperan pada patologi penyakit. Sebagai contoh, TNF telah diketahui menghambat ketahanan parasit malaria rodent, dan meningkatkan pembunuhan neutrofil manusia dari Plasmodium falciparum. Sebaliknya, injeksi TNF pada tikus dengan parasitemia rendah dari P. vinckei, dengan cepat (4-8 jam sesudah injeksi) menyebabkan banyak ciri patologis dari stadium akhir infeksi (ketika parasitemia 70-80%). Pada malaria serebral juga, TNF sebagian besar bertanggung-jawab terhadap patologi penyakit. Ketika tikus yang rentan CBA/Ca diinfeksi dengan P. berghei ANKA, terjadi akumulasi sel-sel mononuklear darah dalam kapiler otak yang dikelilingi oleh daerah perdarahan.
Keadaan ini menyerupai malaria serebral pada manusia, yang dapat dicegah dengan injeksi antibodi neutralizing anti-mouse TNF, sebuah regimen kombinasi dari anti IL-3 dan antibodi anti-granulocytemonocyte colony-stimulating factor (GMCSF) atau antibodi anti-gamma-interferon (IFN-γ). Hasil ini diinterpretasikan sebagai, pertama, antibodi anti-TNF bertindak secara langsung mencegah efek merusak dari TNF; kedua, antibodi anti IL-3 ditambah anti-GM-CSF mencegah multiplikasi dan akumulasi fagosit mononuklear pada kapiler otak, dan ketiga, antibodi anti IFN-γ mencegah aktivasi fagosit mononuklear dan selanjutnya mencegah pelepasan TNF. Pada pasien dengan malaria falciparum, ada korelasi langsung antara level serum TNF dan kematian. Selain itu, penelitian pada anak-anak Gambian yang terinfeksi P. falciparum, level serum TNF diperiksa pada pasien malaria tanpa komplikasi dan pasien dengan malaria serebral. Level serum TNF meningkat pada semua anak, tetapi tertinggi pada pasien malaria serebral yang kemudian meninggal, intermediet pada pasien malaria serebral yang tidak meninggal, dan terendah pada pasien malaria tanpa komplikasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa level serum TNF dapat digunakan untuk memprediksi keparahan malaria falciparum, meskipun fakta menunjukkan bahwa TNF yang diproduksi oleh monosit pada lesi otak lebih berperan dalam patologi serebral daripada TNF dalam serum. Stimulasi makrofag murine in vitro, dengan antigen larut dan stabil terhadap panas dari P. yoelii atau P. berghei menyebabkan sekresi TNF dan demikian pula injeksi antigen yang sama pada tikus menyebabkan sekresi TNF in vivo. Antigen analog dari parasit P. falciparum manusia juga menginduksi sekresi TNF oleh monosit darah manusia dan kultur eritrosit P. falciparum menginduksi sekresi TNF oleh sel mononuklear manusia, dengan angka peningkatan yang paling tajam dari
sekresi terjadi segera setelah skizon ruptur (Titus et al., 1991). Banyak bukti mengarah pada glycosylphosphatidylinositol dari Plasmodium sebagai faktor patogenik penting dalam kemampuannya menginduksi TNF-α dan IL-1 (Angulo et al., 2002). Gejala khas malaria terjadi pada saat skizon ruptur, di mana toksin parasit menyebabkan sel hospes melepaskan sitokin, seperti TNF. TNF mungkin sebagian yang paling bertanggung-jawab terhadap demam yang terjadi setelah skizon ruptur pada pasien malaria, sebab demam pada malaria akut dapat berkurang dengan antibodi anti-TNF (Biggs et al., 2001). Demam mungkin adalah mekanisme pertahanan, sebab ketika kulur eritrosit P. falciparum dikenai suhu 40ºC (suhu yang sering dijumpai pada pasien malaria), parasit pada separuh pertama lingkaran pertumbuhan (cincintropozoit) bertumbuh hampir sebaik parasit pada suhu 37ºC, tetapi parasit pada separuh kedua dari siklus (tropozoitskizoncincin) menghasilkan skizon piknotik dan cincin yang lebih sedikit. Jadi, ketika demam meningkat pada pasien malaria, parasitparasit yang tidak dalam tahap cincintropozoit terbunuh, dan sisa parasit melanjutkan siklus pertumbuhan. Fenomena ini dapat ditiru in vitro; pada kultur eritrosit asinkron dari P. falciparum di mana suhu diatur antara 37ºC dan 40ºC pada hari berikutnya, parasit menjadi sinkron (pada suhu 37ºC didominasi cincin, pada suhu 40ºC didominasi tropozoit). Seperti perannya pada malaria, TNF dapat menguntungkan dan merugikan pada tripanosomiasis, tergantung pada level TNF yang diproduksi selama infeksi. Level TNF yang tinggi dideteksi dalam serum tikus yang terinfeksi Trypanosoma cruzi yang dihadapkan dengan lipopolisakarida dan TNF diketahui menghambat replikasi T. Cruzi dalam makrofag in vitro, tetapi, ketika tikus yang terinfeksi T. Cruzi diberi
TNF, hewan mati lebih cepat daripada hewan kontrol yang tidak diberi TNF. Kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei brucei mengalami sindrom cachexia berat yang ditandai oleh hipertrigliseridemia (akumulasi dari very low density lipoprotein dalam plasma) (Titus et al., 1991) . Cachexia hampir pasti karena TNF, sebab cachectin dan TNF diidentifikasi sebagai molekul yang sama, yang sekarang dikenal sebagai TNF-α (Detrick et al., 2008). Hipertrigliseridemia yang diamati pada kelinci-kelinci yang diinfeksi T. brucei brucei dapat pula diperantarai TNF, sebab TNF dapat menghambat enzim lipoprotein lipase (Detrick et al., 2008; Titus et al.,1991), tetapi pemikiran yang lain adalah bahwa hipertrigliseridemia karena peningkatan produksi lipoprotein hepatik. Menariknya, lipogenesis hepatik distimulasi oleh IL-6 dan TNF diketahui menginduksi IL-6 (Kishimoto, 2003; Titus et al., 1991). TNF telah diketahui memainkan peran perlindungan pada percobaan leshmaniasis cutaneous murine. Injeksi TNF pada tikus terbukti menguntungkan, sementara pemberian antibodi anti-TNF pada tikus memperburuk penyakit. Selain itu, secara genetik tikus yang resisten memproduksi TNF saat terinfeksi Leishmania major, sedangkan tikus yang rentan tidak memproduksi TNF saat terinfeksi Leishmania major. TNF mengaktifkan makrofag, in vitro, menghancurkan L. major intraseluler dan mungkin ini adalah mekanisme TNF untuk melindungi tikus dari infeksi L. major. Makrofag murine yang terinfeksi baik L. major maupun L. donovani melepaskan TNF, kemudian makrofag yang tidak terinfeksi juga, saat diaktifkan dengan lipopolisakarida. Level TNF meningkat pada serum pasien leishmaniasis visceral, dan dengan keberhasilan pengobatan akan turun dengan cepat. Tidak jelas apakah TNF melindungi pasien-pasien ini, karena – sebagai contoh aktivasi makrofag- tercatat bahwa leishmaniasis visceral dikaitkan
dengan penurunan BB, demam, dan anemia yang semuanya adalah tanda dari cachexia yang diinduksi TNF.
Tabel 2. Peran TNF pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis Penyakit
Hal yang mungkin penting pada penyakit
Malaria
Diproduksi untuk merespon infeksi malaria, berkaitan dengan keparahan penyakit dan hipoglikemia Dapat melindungi tikus dari infeksi dan meningkatkan pembunuhan parasit Berperan penting pada malaria serebral dan patologi yang berkaitan Diinduksi oleh antigen parasit yang larut dan tahan panas dan eritrosit yang terinfeksi parasit Menyebabkan demam yang merupakan perlindungan hospes Menghambat erythropoiesis Menyebabkan aborsi
Tripanosomiasis
Leishmaniasis
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat melindungi bila produksinya tidak berlebihan
Diproduksi sebagai respon terhadap infeksi, dapat memberi perlindungan pada leishmaniasis cutaneous kemungkinan melalui kemampuannya mengaktifkan makrofag untuk membunuh Leishmania hilangnya respon-respon sel T. Tetapi, Interleukin 1 makrofag dari tikus yang terinfeksi T. cruzi tidak dapat dibedakan dari makrofag normal IL-1 juga berperan penting pada dalam kemampuannya mengekspresikan malaria, meskipun laporan-laporan dalam bentuk membran IL-1 dan mensekresi IL-1 in literatur bertentangan. Walaupun level serum vitro. Sebagai tambahan, saat IL-1 secara langsung berkaitan dengan monosit/makrofag manusia terinfeksi T. keparahan penyakit pada pasien yang cruzi, in vitro, parasit menyebabkan sel terinfeksi P. falciparum, namun level serum memproduksi level IL-1 yang signifikan. IL-1 tidak meningkat pada tikus yang Jadi, imunoregulasi pada T. cruzi tidak terinfeksi P. berghei. Meskipun penemuan ini sesederhana yang nampak. IL-1 diketahui mencegah malaria serebral dan mengurangi menginduksi produksi sitokin yang lain, parasitemia pada tikus yang terinfeksi P. seperti TNF dan IL-6, yang penting pada berghei yang ditangani dengan IL-1. infeksi protozoa. Oleh karena itu, level IL-1 yang diproduksi oleh hewan-hewan yang Selama infeksi T. cruzi, penekanan terinfeksi T. cruzi, tidak menjadi sekritis efek respon sel T dapat terjadi. Kurang secara keseluruhan yang dipunyai IL-1 pada beresponnya sel T pada tikus yang terinfeksi respon imun dan sitokin lain yang T. cruzi dapat dipulihkan dengan penanganan diinduksinya. sel hewan dengan IL-1 in vitro, atau pemberian IL-1 pada hewannya sendiri. Meskipun T. brucei tidak berelasi Hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan dekat dengan T. cruzi, tetapi kemiripan pada produksi IL-1 pada hewan-hewan yang respon IL-1 didapatkan pada infeksi terinfeksi T. cruzi bertanggung-jawab atas keduanya. Supresi respon sel T terjadi pada
infeksi dengan T. brucei, meskipun fakta menunjukkan bahwa makrofag dari tikus yang terinfeksi T. brucei brucei mampu melepaskan lebih banyak IL-1 pada respon stimulasi dengan lipopolisakarida in vitro, daripada makrofag tikus normal. Sebagai tambahan, makrofag splenik dari tikus yang terinfeksi T. brucei rhodesiense menghasilkan level IL-1 yang sama dengan makrofag dari tikus normal atau tikus terinfeksi T. brucei rhodesiense yang telah disembuhkan obat. Oleh karena itu, mungkin bahwa bentuk imunoregulasi yang diterapkan pada trypanosomiasis Amerika juga diterapkan pada infeksi dengan tripanosoma Afrika. Pada kasus leshmaniasis, efek yang dipunyai parasit pada produksi IL-1 oleh makrofag tergantung pada spesies dari mana makrofag berasal. Sementara monosit manusia yang terinfeksi L. major atau L. donovani menunjukkan penurunan produksi IL-1, makrofag tikus yang terinfeksi L. major memproduksi lebih banyak IL-1. Pengamatan selanjutnya, terutama sekali berhubungan pada perkembangan respon sel T spesifik L. major pada tikus yang terinfeksi parasit. IL1 adalah co-factor untuk aktivasi subset TH2 dari sel T CD4+ murine dan aktivasi selektif dari sel TH1 atau TH2 spesifik L. major yang memainkan peranan penting dalam penentuan hasil akhir infeksi. Interleukin 6 dan CRP Berbeda dengan TNF dan IL-1, peran IL-6 pada malaria, tripanosomiasis dan leishmaniasis sedikit diketahui. Hal ini niscaya akan berubah, sebab TNF dan IL-1 terbukti sangat penting pada penyakitpenyakit ini dan ketiga sitokin ini mempunyai hubungan dalam bioaktivitas. Level serum IL-6, dilaporkan meningkat baik pada tikus yang terinfeksi P. berghei maupun pada pasien malaria P. falciparum. Hasil ini telah dipastikan pada penelitan yang dilakukan oleh Grau yang juga meneliti peranan IL-6 pada malaria serebral. Mereka mendapati bahwa pada tikus yang terinfeksi P. berghei dan diterapi dengan antibodi anti IL-6, insiden dari malaria serebral tidak berubah, menunjukkan
bahwa IL-6 tidak terlibat dalam patogenesa malaria serebral (Titus et al., 1991). Pada infeksi dengan Leishmania major, lesi yang lebih besar dikaitkan dengan kehadiran parasit dan level yang tinggi dari sitokin proinflamatori IL-6 dan TNF-α (Louzir et al., 1998). Karena IL-1 menghambat perkembangan P. falciparum pada kultur hepatosit dan menyebabkan sekresi CRP oleh hepatosit, maka peran CRP pada malaria juga telah diselidiki. Tikus dengan peningkatan level serum CRP terlindung dari infeksi P. yoelii dan perlindungan ini dapat dihilangkan dengan antiserum anti-CRP. Level CRP juga meningkat pada serum pasien malaria, tetapi level ini tidak lebih tinggi dari pasien dengan penyakit demam lainnya (Titus et al., 1991). Kesimpulan Jelaslah bahwa respon imun terhadap parasit prokariotik adalah komplek. Pemotongan respon menjadi lebih sulit karena banyak sitokin yang diinduksi oleh parasit protozoa mempunyai efek pleiotropik dan berinteraksi satu dengan lainnya pada multipel level.
Daftar Pustaka Angulo I, Fresno M. Cytokines in the Pathogenesis and Protection against Malaria. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology Vol. 9 2002; 6: 1145-1152. Balakrishnan I, Zumla A. African Trypanosomiasis. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001. Baratawidjaja K. Imunologi Dasar. Ed. 7. Jakarta: Penerbit FKUI, 2006. Biggs BA, Brown GV. Malaria. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001.
Chen K, Suhendro, Nainggolan L. Malaria. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed. 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Detrick B, Nagineni CN, Hooks J. Cytokines: Regulators of Immune Responses and Key Therapeutic Targets. IN: Gorman MRG ,Donnenberg AD. (Eds). Handbook of Human nd Imunology. 2 ed. CRC Press, 2008. Kishimoto T. Interleukin-6. IN: Thomson WA, Lotse MT. (Eds). The Cytokine Handbook. 4th ed. San Diego: Academic Press, 2003. Louzir H, Melby PC, Salah AB, Marrakci H, Aoun K, Ismail RB, Dellagi Koussay. Immunologic Determinants of Disease Evolution in Localized Cutaneous Leishmaniasis due to Leishmania major. The Journal of Infectious Disease 1998; 177: 16871695. Pearson RD, Jeronimo SMB, Sousa A. Leishmaniasis. IN: Gillespie SH, Pearson RD. (Eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Wiley & Sons Ltd, 2001. Titus RG, Sherry B, Cerami A. The involvement of TNF, IL-1 and IL-6 in the immune response to protozoan parasites. Parasitology Today 1991; A13-A16. Wahab,
A.S, Julia M. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika, 2002.