PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA Oleh : Muzaijadah Retno Arimbi Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRAK Penanganan tuberkulosa yang penting adalah diagnose dini dan pemberian kemoterapi yang sesuai.Gambaran perjalanan penyakit dan gejala klinis tuberkulosa cenderung tergantung pada respon imun tubuh, bila dibanding virulensi kuman penyebabnya. Imunitas pada tingkat seluler merupakan suatu keadaan dari tingkat dimana makrofag teraktifasi dan pengerahan makrofag pada lesi serta kemanpuan makrofag untuk menghancurkan kuman M.TB. Kortikosteroid mempunyai kemanpuan mencegah atau menekan berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada pengobatan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan reaksi imun , baik kondisi yang berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler. Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya pada keadaan: Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik ,TB Millier, efusi Pleura dan Pericarditis tuberculosa. Kata Kunci : TB , Imunitas seluler / Humoral, Kortikosteroid, TB yang memerlukan Kortikosteroid.
USE CORTICOSTEROIDS IN TUBERCULOSIS By: Retno Muzaijadah Arimbi Lecturer Faculty of Medicine, University of Wijaya Kusuma Surabaya ABSTRACT The important Therapy of Tuberculosis, is early diagnosis and adeqwat chemotheraphy. History of disease and clinical simptom of tuberculousa, not only depend on the bacterial virullency, but also depend on bodys immune respons. In Cellular imunity, condition where actives of macrofag and work of macrofag in infected area, so power of macrofag to destroyed of MTB. Corticosteroid can prevent or inhibit manifestation of inflamation,so have power to teraphy imunitys disease in cellular or humoral immunity. From history and experiments study, Corticosteroid not for all M TB infection cases.Several condition use of Corticosteroid likes: Toxic or Severe Pulmonary TB, Milliary TB, Pleural effusion and TB Pericarditis. Key words: TB , Cellular / Humoral Immunity, Corticosteroid, TB with corticosteroid
PEDAHULUAN Penyakit tuberkulosa sampai saat ini masih merupakan suatu masalah dalam kesehatan terutama di negara berkembang, karena masih menunjukkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pada tahun 1993 WHO menyatakan bahwa di dunia terdapat 8 juta kasus baru per tahun, hal ini didukung oleh adanya epidemi infeksi terhadap AIDS (HIV). Penanganan tuberkulosa yang penting adalah diagnose dini dan pemberian kemoterapi yang sesuai. Lesi di paru sering dijumpai, meskipun lesi di tempat lain dapat terjadi misalnya di kelenjar
getah bening, selaput otak dan menyebar ke seluruh tubuh. Gambaran perjalanan penyakit dan gejala klinis tuberkulosa cenderung tergantung pada respon imun tubuh, bila dibanding virulensi kuman penyebabnya. Penggunaan kortikosteroid pada penyakit tuberkulosa hingga saat ini masih kontroversial. Pada penelitian terdahulu disebutkan bahwa penggunaan kortikosteroid pada tuberkulosa menyebabkan progresifitas penyakit, sehingga penggunaannya merupakan kontraindikasi. Sesuai dengan data-data terbaru menunjukkan bahwa dengan pemberian kortikosteroid yang
digabung dengan kemoterapi yang sesuai mempunyai manfaat pada keadaan tertentu pada tuberkulosa. Dalam tinjauan kepustakaan ini akan dibahas tentang imunologi tuberkulosa, daya kerja kortikosteroid dan penggunaannya pada tuberkulosa. IMUNOLOGI TUBERKULOSA Kuman tuberkulosa yang terkumpul dalam alveoli atau bronchioli terminalis jaringan paru membentuk proses keradangan yang dinamakan fokus primer (Ghon fokus), selanjutnya proses meluas ke kelenjar getah bening regional, sehingga terbentuklah komplek primer. Pada kebanyakan kasus keradangan primer ini dapat diatasi oleh sistim imun “host”, namun bila sistim imun tidak baik maka akan terjadi perluasan proses ke tempat lain seperti ke rongga pleura, maka terjadi pleuritis atau bila proses meluas ke kelenjar getah bening dihilus sehingga menekan bronchus maka terjadi kolaps paru (ateletasis) atau apabila meluas ke pericardium akan terjadi pericarditis dan dapat pula terjadi penyebaran secara sistemik sehingga terjadi meningitis tuberkulosa. Lesi yang telah sembuh pada suatu saat dapat terjadi ”reaktifasi” dan menampilkan bentuk klinis tuberkulosa post primer, dimana proses nekrosis lebih menonjol bila dibandingkan dengan tuiberkulosa primer. Pada awal kejadian infeksi tuberkulosa adalah setelah kuman terutama di alveoli akan segera diikuti oleh reaksi keradangan yang tersusun dari sel-sel darah putih terutama sel PMN, tapi peristiwa ini hanya berjalan singkat karena kemanpuan “fagositosis” PMN tidak memadai untuk kuman M.TB, meskipun makrofag mengambil alih tugas sel PMN, aqkibatnya terjadi peristiwa infiltrasi sel-sel makrofag ke dalam sel, sehingga bayak sel-sel makrofag yang didapatkan pada lesi keradangan, dimana secara patologi anatomi akan menunjukkan gambaran radang akut dan kronis. Pada tahap selanjutnya kuman M.TB. difagosit oleh makrofag jaringan dan pada saat inilah dimulai perjuangan mempertahankan hidup bagi kuman M. TB. Kuman ynag berada pada sel jaringan pelan-pelan dihancurkan secara proses biokimia (oksidasi dan Enzimatik).
Dalam peristiwa ini lesi dapat sembuh sempurn atau sebaliknya bahwa kuman bertahan dan memperbanyak diri dalam makrofak. Daya tahan “host” terhadap kuman M.TB. terutama terletak pada makrofak, sehingga bila daya tahan “host” tidak baik, maka akan menimbulkan mekanisme atau respon hipersentivity (imunitas) seluler yang terbentuk dalam kurun waktu 4 – 6 minggu setelah terinfeksi kuman M. TB. Pada penyakit tuberkulosa, hipersetivitas seluler merupaka bentuk statu imunologi yang meunjukkan bahwa sel-sel tubuh telah sensitif terhadap tuberkulin, dimana secara klinis dapat ditunjukkan dengan pemberian suntikan tuberkulin secara Mantoux, diman reaksi terhadap tuberkulin tersebut menunjukkan reaksi positif. Imunitas pada tingkat seluler merupakan suatu keadaan dari tingkat dimana makrofagteraktifasi dan pengerahan makrofag pada lesi serta kemanpuan makrofag untuk menghancurkan kumanM.TB. Makrofag dapat menghancurkan kuman dengan mengurng kuman tersebut dalam fagosom, selanjutnya fagosom bergabung dengan kantongan-kantongan lisosom yang mengandung enzim-enzim pencernaan didalam sitoplasma makrofag yang disebut fagolisosom, yang mampu menghancurkan kuman secara oksidatif dan enzimatik. Berkaitan dengan imunitas seluler tersebut, maka makrofag berdiferensiasi menjadi selsel epiteloid yang selanjutnya disebut granuloma. Sel-sel makrofag yang teraktifasi menbutuhkan banyak oksigen, dengan demikian bag terbebani oleh bebean antigen ian sentral granuloma akan mengalami anoksia, sehingga mengakibatkan sel-sel jaringan mengalami nekrosisyang bersifat asam yang disebut nekrosis kaseosa. Banyak oksigen dari fraksi molekul kuman ikut ikut menentukan bentuk imun seluler kearah bentuk yang menguntungkan atau merugikan untuk “host”. Bila produk dari kuman yang menyerupai tuberkulin terlalu banyak, maka akan menyebabkan terbentuknya nekrosis kaseosa, karena makrofag terbebani oleh beban antigen antigen yang berlebihan akan mengeluarkan mediator-mediator seperti TNF dan INF gama berlebihan seta sekresi enzim proteolitik meningkat, akibatnya jaringan sekitatnya akan mengalami
“apoptosis” (Program Cell Death) dipercepat. Disamping itu terjadinya nekrosis jaringan dapat di sebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan akibat reaksi imflamasi yaitu reaksi lokal yang lambat karena terjadinya infiltrasi selul antigen er pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Pada umum perkenalan imun (imun recognition) pada tuberkulosa serupa dengan penyakit infeksi lainnya, yaitu APC (Anti Presenting Cell) akan memproses antigen untuk disajikan pada T limfosit. Makrofag yang teraktifasi akan mengeluarkan IL1 (Interleukin 1) dan TNF (Tumor Necrotizing Factor). Dibawah pengaruh IL1, resting T menjadi T yang teraktifasi selanjutnya akan mensekresi sitoksin, antra lain IFN (Interferon) gama dan IL2 melalui IL6 dan bersama MIF (Migration Inhibitory Factor) dapat memperkuat sel mediator respon INF gamma dapat mengaktifkan makrofag dengan menginduksi enzim pada mikrofag yang dapat merubah vitamin D3 menjadi calcitriol yang aktif, sehingga makrofag menjadi peka terhadap rangsang lipoarabinomanan untuk membebaskan TNF . TNF ini dalam keadaan normal bersifat protektif, karena dapat mengaktifkan sel fagosit dan membantu pembentukan granuloma.,namun apabila bila kadar TNF berlebihan mengakibatkan meluasnya proses tuberkulosa dan terjadilah kaheksia. DAYA KERJA KORTIKOSTEROID Kortikosteroid mempunyai kemanpuan mencegah atau menekan berkembangnya manifestasi inflamasi dan juga mempunyai nilai yang tinggi pada pengobatan penyakitpenyakit yang berhubungan dengan reaksi imun , baik kondisi yang berhubungan dengan imnunitas humoral maupun seluler. Penggunaan kortikosteroid memberi semacam-macam efek, tetapi yang penting dalam kaitannya dengan infeksi khususnya tuberkulosa adalah sifat anti inflamasi dan anti alerginya. Pengertian yang berkaitan dengan anti inflamasi dan imunosupresi dari kortikosteroid masih merupakan permasalahan, namun akhir-akhir ini dapat dibedakan. Mekanis kerja korikosteroid adalah dengan menembus membran sel, kemudian didalam sitoplasma berikatan dengan suatu reseptor protein interseluler spesifik. Komplek reseptor steroid selanjutnya meninggalkan
sitoplasma dan menuju inti sel, didalam inti sel mensintesa suatu protein baru yang mempengaruhi transkripsi dan translasi asam inti, sehingga terjadi perubahan inti sel. Kortikosteroid tidak hanya menghambat fenomena awal dari inflamasi, tetapi juga mampu menghalau manifestasi lanjutannya. Dalam proses inflamasi bahan ini selain mampu mempertahankan tonus pembuluh darah. Agar peristiwa diapedesis leukosit, ekstravasasi cairan yang menyebabkan terjadinya odema setempat, serta migrasi selsel leukosit ke lokasi radang dapat dihambat. Proliverasi sel-sel vibroblas yang merupakan bagian dari proses reparasi juga dihambat oleh kortikosteroid. Hambatan ini pada satu sisi dapat mencegah pembentukan jaringan vibotik yang berlebihan, namun di sisi lain mempermudah terjadinya penyebaran kuman, hal ini tergantung pada dosis yang diberikan. Penggunaan kostikosteroid akan merubah kinetika dan jumlah leukosit dalam peredaran darah, dimana efek maksimum dicapai dalam 4-6 jam setelah pemberian dan kembali normal dalam 24 jam. Kortikosteroid akan meningkatkan jumlah sel netrofil dalam aliran darah oleh banyak netrofil baru yang dilepas dari sumsum tulang, disamping itu karena bertambah panjangnya umur netrofil dalam peredaran darah serta sedikitnya akumulasi netrofil di lokasi radang karena berkurannya perlekatan sel endotel pada vaskuler. Penggunaan kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya limvopenia oleh karena banyaknya sel-sel limfosit dari peredaran darah menuju ke jaringan limfoid. Dua per tiga dari jumlah sel-sel limfosit dalam sirkulasi termasuk dalam kelompok limfosit re-sirkulasi yakni limfosit yang mudah untuk keluar dan masuk ke dalam sirkulasi. Di luar sirkulasi sel-sel ini berada dalam duktus thoraksikus, limfa, kelenjar limfe, dan sumsum tulang. Kortikosteroid lebih banyak mempengaruhi limfosit T untuk bermigrasi ke jaringan limfoid daripada limfosit B. Mekanisme tepat mengenai pengaruh kortikosteroid pada redistribusi limfosit ini masih belum jelas. Penggunaan kortikosteroid juga menginduksi terjadinya monositopenia, hal ini disebabkan oleh mekanisme redistribusi dan berkurangnya akumulasi sel monosit di tempat radang. Jumlah eosinofil dan basofil juga menurun dengan alasan yang sama
dengan monosit. Efek kerja kortikosteroid pada sel-sel monosit dan manofag adalah dengan menurunkan efek endositosis dan kliren RES serta menghambat aktivitas bakterisidalnya. Kortikosteroid mempengaruhi makrofag dengan cara menghambat kerja MIF (Migrasi Inhibitory Factor), sehingga makrofag mudah keluar dari jaringan yang dipengaruhinya, disamping itu kortikosteroid bekerja dengan cara meredam sintesa dan sekresi INF gamma dan IL1, dimana IL1 lebih dikenal sebagai pirogen endogen yang bertanggungjawab terhadap kenaikan suhu tubuh, sehingga kortikosteroid mampu menurunkan suhu tubuh. Kortikosteroid memberi efek stabilisasi terhadap membran lisosom yang dapat mencegah pelepasan enzim-enzim hidralase, sehingga daat mengurangi kerusakan jaringan. Kortikosteroid juga menekan perluasan CMI (Cell Mediated Imune) dengan cara menghambat respirasi gen IL2 dalam sel-sel T dan menghalangi interaksi IL2 dengan reseptornya didalam sel T. PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA TUBERKULOSA Dari pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan, tidak semua infeksi tuberkulosa perlu mendapat tambahan kortikosteroid. Beberapa keadaan dimana kortikosteroid perlu dipertimbangkan pemakaiannya sebagai berikut: 1. Penderita tuberkulosa paru dengan keadaan penyakit berat dan tanda toksik. Dikatakan bahwa pemberian kortikosteroid mempercepat perbaikan klinis dan radiologis, tetapi kesembuhan tetap terantung obat anti tuberkulosa dan penggunaan kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin, kecuali dalam keadaan berat yang memerlukan pengobatan suportif sampai obat anti tuberkulosa bekerja secara efektif. 2. Tuberkulosa Milier Dikatakan bahwa angka kematian bisa mencapai 100% bila tidak diberikan pengobatan adekwat dan hal ini terjadi dalam 4-12 minggu dimulai timbulnya gejala klinis, kebanyakan disebabkan oleh karena penyebaran kuman ke susunan saraf
pusat dan yang sering terjadi adalah meningitis tuberkulosa. Ada pendapat lain yang tidak menyetujui pemberian kortikosteroid oleh karena sebagian besar penderita tuberkulosa milier bila telah sembuh maka tidak meninggalkan gejala sisa, sehingga penggunaan kortikosteroid tidak dilakukan secara rutin. 3. Efusi pleura Dikatakan bahwa terapi pada pleuritis tuberkulosa bermanfaat mencegah terjadinya efusi pleura, memperpendek gejala klinis yang timbul dan mencegah kerusakan pleura, dimana penebalan pleura dan penurunan fungsi paru merupakan gejala sisa dari efusi pleura. Dikatakan bahwa terutama pada anak, bila terjadi komplikasi, maka fungsi parunya akan turun dan kortikosteroid tidak akan memperbaruhi fungsi parunya. Sejak pertengahan abad dilaporkan tentang manfaat pemberian kortikosteroid per oral dan intra pleura, khususnya dalam mempercepat penyerapan cairan pleura. Berger dan Meiji tahun 1993 melaprkan bahwa tidak ditemukan adanya penyerapan cairan pleura total, tanpa silakukan torakosintesis dan terapi obat anti tuberkulosa, disamping itu pemberian kortikosteroid tidak memberikan manfaat jangaka panjang serta tidak pernah dilaporkan adanya manfaat kortikosteroid dalam mencegah penebalan pleura dan penurunan faal paru. Dalam penyelidikan terbaru tahun 1996 dilaporkan bahwa kortikosteroid mempercepat penurunan panas badan pada penderita dengan kortikosteroid, dengan perbandingan 2,4 hari dan 9,2 hari dan mempercepat penyerapan cairan pleura dengan perbandingan pemakai kortikosteroid dan plasebo adalah 54,4 hari 132,2 hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan kortikosteroid dengan kombinasi OAT mempercepat perbaikan klinis dan penyerapan
cairan pleura, tetapi tidak dapat memperbaiki faal parunya bila terjadi komplikasi. 4. Perikarditis tuberkulosa Perikarditis tuberkulosa merupakan hal yang jarang terjadi, dilaporkan terdapat 44 kasus 3002 penderita tuberkulosa di inggris dalam penelitian selama 6 bulan. Strang dan kawan-kawan pada tahun 1972 melaporkan bahwa dari 143 penderita OAT dengan kombinasi kortikosteroid atau placebo 30 mg yang diberikan secara randomm selama 4 minggu, diteruskan 15 mg per hari selama 2 minggu dan diturunkan secara bertahap sampai 5 mg per hari sampai hari ke sebelas. Dikatakan selama follow up ditemukan 2 dari 53 penderita dengan kortikosteroid dan 7 dari 61 penderita dengan placebo, meninggal dengan pericarditis tuberkulosa, serta 11 penderita dengan kortikosteroid dan 18 penderita dengan placebo menjalani kardiotomi. Alzer dkk pada tahun 1993 melaporkan pula bahwa 170 penderita dengan pericarditis tuberkulosa yang di terapi dengan OAT yang dikombinasi dengan kortikosteroid dan placebo, didapatkan 2 dari 76 penderita dengan kortikosteroid serta 10 dari 24 penderita dengan placebo, meninggal dunia serta 7 dari 17 penderita dengan atau tanpa kortikosteroid menjalani kardiosentesis terbuka, sehingga dikatakan bahwa “drainage” perikard terbuka tetap diperlukan untuk mempercepat kardiosentesis. 5. Meningitis tuberkulosa meskipun ada beberapa tuberkulosa SSP, namun meningitis tuberkulosa insidenya menduduki tempat tertinggi dengan angka kematian (2050%). Pada penelitian awal sekitar tahun 1976 dikatakan bahwa kortikosteroid secara “parenteral “dan “intrakekal” memberi manfaat, dimana efeknya mengurangi peradangan, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi odema otak,
menghambat terbentuknya jaringan fibrous, mempercepat perbaikan konsentrasi protein serta jumlah sel darah putih pada cairan cerebro spinal. Toole dan kawan-kawan pada tahun 1961 mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna dalam hal menurunkan odem cerebri pada pemakaian kortikosteroid ataupun placebo. Dalam penyelidikan ini kortikosteroid 2,5 mg diberikan secara intravena setiap 6 jam selama 1 minggu dan diturunkan secara bertahap selama 3 minggu. Escobar dan kawan-kawan pada tahun 1991 melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara pemakai kortikosteroid 10 mg/Kg bb/ hari dalam terapi meningitis tuberkulosa. Humpries dan kawan-kawan pada atahun 1995 melaporkan bahwa angka kematian penderita miningitis tuberkulosa yang menggunakan kortikosteroid pada stadium II 4,9% dan stadium III 30%, dibanding penderita dengan placebo yakni dengan angka kematian pada stadium II sebesar 11% sedangkan stadium III sebesar 60,9%. Dikatakan bahwa pemberian kortikosteroid pada meningitis tuberkulosa stadium I kurang bermanfaat, sebab kerja kortikosteroid baru nampak bila sudah terjadi “blok” pada saraf spinal. Kortikosteroid yang cukup banyak dipakai adalah golongan trednison, namun dapat pula dipakai preparat lain dengan dosis ekuivalen 1 mg/Kg bb/hari. Pada umumnya pretnison yang diberikan sebesar 40-60 mg/hari selama 4-7 hari, dilanjutkan dengan dosis 30-50mg/hari selama 47 hari, kemudian diberikan dosis 1030mg/hari selama 5-8 minggu yang diturunkan terus sampai habis. Dosis ekuivalen beberapa preparat kortikosteroid adalah sebagai berikut: - kortisol (hidrokortisol) : 20mg - metilprednisolon : 4mg - kotison : 20mg - triamisolon : 4mg
- prednison - betametason - dexametason
: 5mg : 0,60mg : 0,75m
KESIMPULAN Hingga saat ini pengunaan kortikosteroid pada tuberkulosa masih kontroversial. Dahulu pengobatan dan kortikosteroid menyebabkan progesifitas penyakit dasarnya. Tetapi ada beberapa peneliti yang melaporkan adanya manfaat penggunaan kortikosteroid disertai terapi anti tuberkulosa yang adekwat. Pengguanan kortikosteroid pada tuberkulosa banyak dapat dipertimbangkan pada keadaan tertentu dari penyakit-penyakit seperti tuberkulosa yang berat disertai tanda-tanda tiksik, tuberkulosa millier, efusi pleura, perikarditis tuberkulosa dan meningitis tuberkulosa. Penghentian pemakaian kortikosteroid hendaknya dilakukan secara bertahap, sedangka yang perlu diperhatikan selama penurunan bertahap tersebut adalah eksaserbasi penyakit dasarnya. DAFTAR PUSTAKA Algostini C, Chilosi M,Zambello R,et al. 1993.Pulmonary Immune Cell in health and disease limfosit. Eur.Resp.J Millier therapy. Tubercle and Lung Disease. Barnes PJ, adcock IM. 1997. Glucocorticoid Receptor, in Lung Scientific Foundation.Lippincott Raven Publisher.Philadelphia. Baxter JD, Forsham MA. 1972. Tissue effect of glucocorticoids. Am.Jour.Med. Christopher, Gerhard W. 1996. Corticosteroid andf treatment of Tuberculosis Pleurisy. Chest. Colton SJ, Douglas A. 1981. Respiratory disease. Singapore,Hongnkong,New dwlhi. Danberg AM. 1985. Celluler Hypersensitivity and celluler Immunity in the pathogenesis of Tuberculose, Spesificity, systemic, and local nature also assosiated macrofag enzymes. Bacteriology Cal. Rev Fauci AS, dale DC, Ballow JM. 1976. Glucocorticoi Theraphy. Mechanism of action and clinical consideration. Ann. Intern med. Galarza I, Canete C, Granados A. 1995. Randomized Trial of Corticosteroid in the treatment of Tubercolous Pleurisy.
Thorax. Gilmans and Goodman. 1991. ACTH, Adrenocorticosteroid,inhibitor of syntesis.In: The Farmacological Basis of therapeutics.New York,Oxford. Grabner W. 1072. Corticosteroid Long Term therapy. The medical clinic with polyclinic of the University Erlangenneurenberg. Humpries MJ, Teoh R, Lau J, et al. 1991. Factors of Prognostic Significancy in Chinese Children with tuberculosis Meningitis. Kendig EL, Selman LS. 1990. Tuberculosis .In: Disorders of the Respiratorytract infection in Children. WB Saunders Company.Philadelphia.London. Sahn S, Neff TA. 1990.Millier Tuberculosis.Am,Jour.Med. Steeteen DHP, Phill MBD.1975. Corticosteroid therapy in: Pharmacological Properties and Principles of Corticosteroid use. Jama Thomas Kardjito. 1991. Host defence Against tuberculosis, departement of pulmonogy of Medical School Airlangga University.Surabaya Thomas Kardjito.1992. Imunologi Tuberkulosa. Dalam: pendidikan Kedokteran berkelanjutan Ilmu Penyakit paru. Universitas Airlangga, Surabaya Thomas kardjito. 1982. Pengertian dasar Imunologi Tuberkulosa. Dalam: Simposium tuberkulosa. Surabaya