LAPORAN PENELITIAN
Peranan Serangga Herbivora dalam Proses Suksesi di Hutan Pendidikan Wanagama
Tim Peneliti: Musyafa Sumardi Ananto Triyogo
Lab. Perlindungan dan Kesehatan Hutan Fakultas kehutanan UNIVERSITAS GADJAH MADA
Dilaksanakan Atas Biaya Dana Penunjang Pendidikan Universitas Gadjah Mada Dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Nomor: Tanggal:
UNIVERSITAS GADJAH MADA DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 2008 0
Ringkasan
Serangga herbivora merupakan elemen hutan yang cukup penting dan memiliki peran dalam ekosistem hutan dengan cara mempengaruhi produksi primer produksi hijauan melalui fotosintesis, 2) mengatur siklus nutrien yang penting, 3) menyiapkan jalan bagi hutan yang sudah tua untuk suksesi ekologi,4) mengatur bentuk distribusi dan kelimpahan pohon. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peran serangga dalam proses suksesi di hutan pendidikan Wanagama. Penelitian dilakukan di petak 16, petak 5 dan petak 7. Setiap petak dibuat 4 plot tetap berbentuk lingkaran dengan diameter 7,2 m. Kerusakan tanaman dan serangga yang terlibat diidentifikasi. Selain itu serangga juga dikoleksi dengan pitfaltrap.Hasil penelitian menunjukkan kerusakan terjadi pada daun dan batang tanaman. Tingkat kerusakan cukup rendah sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai disturbance. Serangga yang tertangkap dengan pitfall trap didominasi oleh ordo Hymenoptera (Formicidae). Pada petak 16 dan petak 7 ditemukan 6 jenis semut sedangkan pada petak 5 ditemukan 3 jenis semut.
1
I.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Suksesi adalah proses dimana satu komunitas tumbuhan diganti dengan komunitas tumbuhan lain yang mempunyai kondisi-kondisi lingkungan fisik dan karakteristik pertumbuhan berbeda. Perubahan itu juga mempengaruhi faktor herbivori dan faktor biologi lain, ketersediaan sumber regenerasi yang menentukan jenis yang akan berkembang dan selanjutnya mendominasi tapak (Spurr dan Barnes, 1980). Suksesi akan terjadi secara lambat jika tempat tumbuh kurang subur sehingga sedikit tumbuhan dapat tumbuh diatasnya, atau suksesi tersebut dapat terjadi sangat cepat ketika suatu komunitas dirusak oleh suatu faktor seperti api, banjir, atau epidemi serangga dan diganti oleh yang lain (Daniel et al., 1992). Sejalan dengan bertambahnya pengetahuan tentang suksesi, terdapat peralihan dari teoriteori yang luas tentang lintasan-lintasan suksesi ke teori-teori tentang konsiderasi proses-proses pergantian jenis. Teori yang baru tersebut lebih memberikan penekanan pentingnya atributatribut ekologi dari individu jenis, atribut-atribut dan strategi-strategi siklus hidupnya, maupun proses-proses populasi dan komunitas. Ini ternyata tidak cukup, sehingga banyak atribut-atribut siklus hidup berkitan dengan perolehan/pencapaian sumber, dan ketersediaan sumber ditentukan oleh proses-proses alogenik ekosistem maupun proses-proses autogenik komunitas. Ini membawa pada kecenderungan semakin populernya pendekatan lebih pada model level ekosistem daripada model level populasi atau komunitas.
Permasalahan Penelitian Kerusakan, sebagai pemicu proses suksesi, biasanya terjadi pada waktu-waktu yang tidak dapat diperkirakan secara pasti. Oleh karena itu silvikulturis biasanya tidak tergantung atau memanfaatkan kerusakan untuk meninisiasi regenerasi. Pada umumnya silvikulturis lebih memilih membuat kerusakan ekologis buatan atau terkendali. Pilihan cara ini mempunyai banyak keuntungan mulai dari ketepatan lokasi waktu sesuai dengan yang diinginkan, intensitas kerusakan dan jenis yang diinginkan. 2
Dalam silvikultur aktivitas manusia tersebut, secara terus menerus berperanan (bekerja) dalam memanipulasi suksesi-suksesi untuk mengoptimalkan keberadaan kondisi-kondisi seral tertentu. Namun demikian tanpa teori atau pengetahuan impirik tentang suksesi, keberhasilan praktek silvikultur seperti itu umumnya hanya dicapai karena faktor keberuntungan (luck). Banyak contoh ketidak berhasilan silvikutur
yang seharusnya dapat dihindari dengan
pelaksanaan pengetahuan suksesi. Bahkan banyak kegagalan yang satu dan lain hal disebabkan oleh kegagalan mengenali dan memahami suksesi. Sebagian besar teori dan diskusi suksesi menekankan keterlibatan suksesi tumbuhan. Namun demikian suksesi sebenarnya menunjukkan kejadian-kejadian dalam ekosistem, yang didalamnya termasuk suksesi komunitas serangga. Oleh karena serangga tergantung pada produksi autotropik dan lingkungan yang dikendalikan oleh tumbuhan, suksesinya mengikuti (di belakang) suksesi tumbuhan. Tetapi banyak contoh yang menunjukkan serangga berperanan sebagai faktor utama dalam menentukan proses, kecepatan dan hasil dari suksesi tumbuhan. Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk menentukan peran herbivori dalam proses suksesi yang terjadi di kawasan hutan penelitian Wanagama I melalui : 1) Keberadaan kerusakan 2) Jenis-jenis serangga yang terlibat
II.TINJAUAN PUSTAKA
Suksesi alami mengikuti dua lintasan yaitu biogenic (yang berasosiasi dengan komunitas hidup) atau alogenik (yang berasosiasi dengan lingkungan fisik) (Kimmins, 1997).
Dalam
kondisi tidak terjadi perubahan lingkungan fisik yang mendadak (kerusakan lingkungan fisik), vegetasi dalam perkembangannya terus-menerus mengubah kondisi-kondisi tapak. Setelah mencapai tingkat tua, tumbuhan penyusun vegetasi mulai lemah dan mati, meninggalkan pembukaan tajuk dan menimbulkan kondisi mendukung regenerasi. Dengan proses pemulihan yang lambat ini komunitas tumbuhan selanjutnya berkembang manjadi tidak seumur dan 3
bertahan (Nyland, 2002). Banyak suksesi yang diawali dari proses alogenik misalnya angin, api dan tanah longsor, tetapi selanjutnya ditentukan oleh proses autogenic dan dalam beberapa kasus proses alogenik dapat terus berperan penting sepanjang suksesi. Proses ini dapat digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu : (1) kolonisasi, (2) perubahan sifat fisik yang khas dari tempat tumbuh, (3) pergantian jenis melalui proses kompetisi dan antibiosis. Serangga fitofagus merupakan elemen hutan yang cukup penting dan memiliki peran yang menguntungkan dalam ekosistem hutan. Penelitian dalam level ekosistem membuktikan adanya peran penting serangga dalam hutan yang dapat memepengaruhi struktur dan fungsi hutan dengan cara: 1) mempengaruhi produksi primer produksi hijauan melalui fotosintesis, 2) mengatur siklus nutrien yang penting, 3) menyiapkan jalan bagi hutan yang sudah tua untuk suksesi ekologi,4) mengatur bentuk distribusi dan kelimpahan pohon (Coulson, 1984) Satu spesies tanaman atau genus umumnya memiliki karakteristik serangga fitofagus. Sebagai contoh serangga yang ada pada tanaman pinus akan berbeda dengan yang ada pada tanaman oak. Dalam berbagai tingkat pertumbuhan serangga berubah jumlah dan komposisinya. Sebagai contoh serangga pada sapling pinus akan berbeda dengan yang ada pada pinus dewasa. Perubahan komposisi tumbuhan juga akan berpengaruh terhadap komposisi serangga. Di Venezuela komposisi tiger beetle (Coleoptera) berubah secara signifikan dengan adanya forest disturbance (Rodriguez, 1998). Sebagian besar serangga memiliki habit makan yang khas khususnya pada floem, xylem, biji dan sebagainya.Umumnya serangga berasosiasi dengan:1) spesies tanaman tertentu, 2) kelas umur tertentu , 3) bagian anatomis tanaman tertentu. Serangga fitofagus dapat mempengaruhi tanaman dalam beberapa cara: langsung membunuh, menghambat pertumbuhan, merusak bagian tertentu dari tanaman, memperlemah secara fisiologis dan menginokulasi dengan penyakit (Coulson, 1984). Outbreak populasi serangga hutan telah di bahas secara meluas dalam literature ekologi tetapi jarang dari perspektif disturbance ecology. Alasannya terletak pada kecenderungan animal ecologist untuk mendalami spesies dan ini berbeda dengan plant ecologist yang membahas komunitas secara menyeluruh. Selanjutnya secara historis perkembangan ilmu serangga hutan dimotivasi oleh problem praktis dalam manejeman serangga hama. Banyak informasi pada biologi dan ekologi beberapa serangga tertentu melihat disturbance sebagai gangguan ekonomis untuk diprediksi dan dicegah daripada sebagi proses ekosistem (Berryman, 1986).
4
Hutan klimaks biasanya dianggap sebagai asosiasi dari spesies pohon pada site tertentu yang paling stabil. Komunitas yang klimaks ditandai dengan adanya spesies yang berumur panjang , toleran terhadap sinar, dan resisten.Tetapi apabila terjadi gangguan pada hutan klimaks seperi kebakaran hutan atau tebang habis , maka site itu biasanya akan didominasi oleh spesies pionir yang akan tumbuh baik pada tanah mineral dan terbuka. Spesies pionir cenderung tidak menyukai naungan. Spesies tahan naungan akan berkembang dibawah kanopi dan apabila pohon pionir mati akan mendominasi kembali.. Perubahan secara gradual menuju komunitas klimaks yang stabil dikenal dengan sukesesi ekologi (ecologial succession) (Berryman, 1986). Serangga memiliki peran penting dalam proses suksesi baik yang mempercepat maupun memperlambat suksesi. Sebagai contoh, intolerant species yang berperan sebagai pionir rentan terhadap serangan bark beetle . Dengan meyingkirkan pionir ini sebelum mencapai dewasa maka serangga dapat dikatakan mempercepat proses suksesi menuju hutan klimaks. Sebaliknya tanaman yang diserang oleh bark beetle ini akan menyisakan bahan bakar yang banyak dan apabila terjadi forest fire akan mematikan spesies klimaks dan akan membentuk generasi pionir yang baru (Berryman, 1986). Tetapi ada perkecualian,
beberapa spesies pionir (seperti western larch) ternyata
kelihatan lebih tahan terhadap serangan serangga, sebaliknya pohon berumur panjang seperti duoglas fir banyak serangga yang menyerang. Enerji untuk tujuan pertahanan dapat disimpan dengan meningkatkan efisiensi fotosintesis (tolerant species), mengurangi pertumbuhan dan tingkat reproduksi dan biaya pemliharaan (Berryman, 1986) Stres yang disebabkan oleh umur, kompetisi air, nutrien kerusakan akar dan daun karena serangga atau patogen akan melemahkan sistem pertahanan tanaman. Oleh karena itu serangga akan lebih sukses menyerang tanaman yang lemah daripada tanaman yang sehat.. Pohon yang mati karena serangga akan dikembalikan ke alam melaui proses siklus hara (nutrient cycling). Serangga mempengaruhi pertumbuhan dengan penjarangan (thinning)
dan mengurangi
intensitas kompetisi. Selain itu serangga juga mempengaruhi pertumbuhan melalui siklus nutrisi dengan mengeluarkan ekskresi(Berryman, 1986).
5
III.METODE PENELITIAN
1. Lokasi penelitian -
a.Hutan Wanagama, Gunung Kidul, Fakultas Kehutanan UGM. Penelitain dilakukan pada petak yang menunjukkan tiga tingkat suksesi yaitu tingkat awal (petak 16), sedang (petak 5) dan tingkat lanjut (petak 7).
-
Pada petak 16 tumbuhan yang dominan adalah alang-alang dan secang (Gambar 1a). Disamping itu juga ditemukan tanaman jati, akasia dan kelampis. Pada petak 5 ditumbuhi berbagai macam tanaman antara lain akasia, kayu putih, dan cendana (Gambar 1b ), dan pada petak 7 didominasi kayu putih (gambar 1c).
-
b.Lab. Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan UGM
2. Alat dan bahan penelitian Kotak plastik Botol gelas kecil Alat untuk sampling serangga Botol plastik Kantong plastik Pinset Alkohol 3. Prosedur pelaksanaan -Kerusakan tumbuhan Pada masing-masing tingkat suksesi dibuat petak ukur. Pada setiap petak dibuat plot permanen berupa lingkaran dengan diameter 7,8 m. Bentuk kerusakan pada masing-masing bagian tanaman diamati dan untuk beberapa tanaman dominan dilakukan skoring. Nilai skor berkisar 0-5. Nilai 0 artinya tidak ada kerusakan, 1 kerusakan 1-25%, skor 2 kerusakan 26-50%, skor 3kerusakan 51-75% dan skor 4 kerusakan 75-100%.
-Jenis serangga perusak 6
Jenis serangga herbivore diamati langsung pada tanaman yang terserang. Dicatat aktivitasnya dan gejala serangannya. Untuk serangga yang immature (misalnya larva Lepidoptera) akan diambil dan dipelihara di laboratorium sampai dewasa untuk keperluan identifikasi. Selain itu serangga juga dikoleksi dengan pitfall trap dan disimpan dalam alkohol 70% untuk dilakukan identifikasi. HASIL PENELITIAN Kerusakan tanaman oleh serangga Serangan hama serangga pada tanaman di petak 16, petak 5, dan petak 7 dapat dilihat pada Gambar 2a-g.
Gambar 2a. Kerusakan daun klampis oleh larva Lepidoptera
Gambar 2b. Kerusakan daun jati oleh defoliator
7
Gambar 2c. Serangan defoliator pada tanaman akasia Gambar 2d. Kerusakan daun cendana oleh larva Lepidoptera Gambar 2e. Kerusakan daun akasia Gambar 2f .Serangan hama pada kulit batang jati dan 2g.Serangan hama pada kulit batang jati Serangan hama serangga pada berbagai tanaman terjadi pada bagian daun dan batang. Pada bagian daun serangan hama serangga dapat mengurangi pertumbuhan tanaman. Daun yang mengandung kloroifil menjadi pusat terjadinya proses fotosintesis yang dapat berperan dalam growth increment (riap) (Coulson, 1984). Serangan hama pada daun jarang yang mematikan kecuali serangan yang berat terutama pada tanaman muda. Serangan serangga pada batang ditemukan pada tanaman jati dan kayu putih. Rayap tanah memakan kulit bagian luar tanaman jati. Pada tanaman umur muda serangan ini dapat mematikan tanaman tetapi pada tanamn yang sudah dewasa serangan ini tidak mengganggu. Kumbang menyerang bagian kulit luar tanman kayu putih sehingga tidak mematikan. Tingkat kerusakan beberapa tanaman oleh defoliator di petak 16, petak 5 dan petak 7 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat kerusakan tanaman oleh serangga di petak 16, petak 5 dan petak 7 No.Petak
Jenis tanaman
Tingkat kerusakan (skor)
16
Secang
1
5
Akasia
1
7
Kayu putih
1
8
Tingkat kerusakan tanaman oleh serangga di petak 16,petak 5 dan petak 7 cukup rendah. Kerusakan tanaman oleh serangga sangat ditentukan oleh populasi serangga yang selalu berfluktuasi jumlahnya dari waktu ke waktu. Populasi serangga ditentukan oleh biological potential dan environmental resistance. Di Wanagama pada pengamatan kerusakan rendah karena popusai serangganya juga rendah mungkin disebabkan environmental resistance lebih berpengaruh daripada biological potential (Graham dan Knight, 1969). Untuk melihat peranan serangga dalam proses suksesi perlu dilakukan pengamatan serangga secara intensif dalam waktu yang panjang. -Serangga dan arthropoda lain yang ditangkap dengan pitfall trap Serangga dan arthropoda lain yang tertangkap dengan pitfall trap dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah individu serangga dan arthropoda lain yang tertangkap dengan pitfall trap (individu/trap) Taksa
Petak 16 kemarau
Hexapoda Hymenoptera Coleoptera Diptera Isoptera Orthoptera Arachnida Isopoda
Petak 5 kemarau
hujan
Petak 7 kemarau
hujan
hujan
2.0 0 0.1 0 0 0.2 0
2.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 0.1
2.0 0.1 0.1 0.1 0.1 0.4 0.1
2.4 0.1 0 0.0 0.3 0 0
0.1 0 0 0 0 0.1 0
8.2 0.2 0 0.1 0.3 0.2 0
2.3
2.8
0.4
2.9
0.3
9.0
Jumlah individu serangga dan arthropoda lain (Arachnida dan Isopoda) pada permukaan seresah yang tertangkap dengan pitfall trap dapat dilihat pada Tabel 2. Jumlah individu seranggadan arthropoda lain (high motile) pada permukaan seresah yang tertangkap pada musim kemarau lebih rendah dari yang tertangkap pada musim hujan. Taksa Isoptera (rayap) merupakan dekomposer yang penting didaerah tropik. Kelompok ini mempunyai protozoa pada pencernaannya yang dapat mendegradasi lignin yang biasanya sulit terdekomposisi. Isopoda juga 9
dapat memakan seresah dan mempercepat dekomposisi dengan jalan memakan seresah dan fesesnya
akan lebih mudah terdekomposisi. Arachnida banyak berperan sebagai predator
serangga yang lain. Jenis semut yang ditemukan di Wanagama dapat dilihat pada Tabel 3 Tabel 3. Jenis-jenis semut di petak 16, petak 5 dan petak 7 di Wanagama Taksa Philidris sp Pachycondyla sp Anoplolepis gracileps Monomorium sp Odontoponera sp unidentified
Jumlah individu Petak 16 9 21 1 7 2 45
Petak 5 0 114 2 0 0 3
Petak 7 9 192 1 7 2 45
Pada petak 16 dan petak 7 ditemukan 6 jenis semut, sedangkan pada petak 5 ditemukan 3 jenis semut. Pada petak 5 dan petak 7 Pachycondyla sp merupakan jenis yeng paling dominan, sedangkan pada petak 16 jenis paling dominan belum diidentifikasi diikuti oleh Pachycondyla sp. DAFTAR PUSTAKA Berryman, A.A. 1986.Forest Insect (Principles and Practice of Population Mangement). Washington State University.Washington. Coulson,R.N. dan Witter, J.A. 1984. Forest Entomology (Ecology and management). John Wiley and Sons. New York. Daniel, T.W., Helms, J.A., Baker, F.S. 1992, Prinsip-Prinsip Silvikultur (Edisi Bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh :Djoko Marsono), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Kimmins, J.P. 1997. Forest Ecology: A foundation for sustainable forest management. The Prentice hall. New Jersey Nyland,R.D.2002. Silviculture: concept and application. The Mc Grow Hill Companies,Inc. New York. Rodriguez, J.P., Pearson D.L., Barrera,R.R. 1998. A test for adequacy of bioindicator taxa.: Are tiger beetles (Coleoptera Cicindelidae) appropriate indicators for monitoring the degradation of tropical forest in Vanezuela? Biological conservation.83: 69-76. 10