PERANAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN RAWA MENDUKUNG PEMBANGUNAN AGRIBISNIS WILAYAH 1) Pantjar Simatupang dan Abdurachman Adimihardja 2) Pendahuluan Lahan rawa di Indonesia, termasuk yang ada di Propinsi Sumatera Selatan ini, memiliki peranan makin penting dan strategis bagi pengembangan pertanian, terutama bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk dan berkurangnya lahan subur karena berbagai penggunaan non pertanian. Peranan lahan rawa dalam mendukung pembangunan wilayah, dan peningkatan ketahanan pangan nasional perlu ditingkatkan, mengingat potensi arealnya luas dan beberapa teknologi pengelolaannya sudah tersedia, namun harus tetap dengan kehati-hatian mengingat agrekosistem ini sifatnya labil. Selain memiliki potensi yang luas dan prospek pengembangan yang baik, sejarah
reklamasi dan pengembangan lahan
pasang
surut untuk pertanian
juga memperlihatkan berbagai keberhasilan dan kegagalan. Hal ini disebabkan oleh masalah biofisik lahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kurangnya dukungan eksternal yang memadai, seperti pembangunan infrastruktur, jaringan tata air dan perhubungan, kelembagaan, penyediaan sarana produksi, penanganan pasca panen, pemasaran dan permodalan. Mengingat lahan rawa tergolong labil/rapuh terutama dengan adanya zat beracun dan tanah gambut,
maka pengembangan secara besar-besaran
memerlukan kecermatan dan kehati-hatian, serta
dukungan data yang akurat.
Kekeliruan dalam mereklamasi dan mengelola lahan rawa dapat mengakibatkan rusaknya lahan dan lingkungan, yang memerlukan biaya besar untuk merehabilitasi bio-fisik dan kondisi kemasyarakatannya. Kegagalan Proyek Lahan Gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah telah membuktikan hal tersebut, dan sampai saat ini masalahnya belum sepenuhnya terselesaikan.
1) Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional “ Hasil Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi “, Palembang tanggal 28-29 Juni 2004, Balai Pengkajian teknologi Pertanian Sumatera selatan 2) Masing-masing adalah Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
347
Dalam rangka mendukung pengembangan pertanian di lahan rawa, pemerintah melalui lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan berbagai kegiatan penelitian di beberapa lokasi terutama di lahan rawa pasang surut Kalimantan dan Sumatera sejak awal tahun 1970-an. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Tanaman Pangan Lahan Rawa (sekarang Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) dan berbagai proyek penelitian lintas sektoral telah melakukan kegiatan penelitian secara intensif sejak pertengahan tahun 1980-an. Berbagai komponen teknologi usahatani sudah dihasilkan dan beberapa paket teknologi usahatani juga sudah direkayasa guna mendukung pengembangan pertanian atau agribisnis di lahan rawa. Keberhasilan agribisnis di lahan rawa melalui penerapan teknologi pengelolaan lahan dan komoditas yang tepat, tentunya
perlu didukung oleh
kemampuan sumberdaya manusia yang berkualitas, sarana dan prasarana yang memadai serta kelembagaan yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan dan pemberdayaan SDM, serta partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara sinambung melalui berbagai sosialisasi dan pelatihan baik dalam aspek teknis maupun non teknis.
POTENSI DAN PROSPEK PENGEMBANGAN Menurut data yang ada, lahan rawa di Indonesia meliputi areal seluas 33,4 juta ha, yang tersebar di empat pulau besar Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya, terdiri atas lahan rawa pasang surut sekitar 20,1 juta ha dan lahan rawa lebak (non pasang surut) 13,3 juta ha (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998).
Selanjutnya Widjaja-Adhi
dan
Alihamsyah
(1998)
menginformasikan
bahwa lahan pasang surut tersebut terdiri atas 2,07 juta ha lahan potensial, 6,7 juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut, dan 0,44 juta ha lahan salin. Menurut Abdurachman dan Ananto (2000), luas lahan yang
berpotensi untuk
pertanian 9,53 juta ha dan yang telah direklamasi seluas 4,19 juta ha. Dengan demikian masih tersedia lahan cukup luas yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Luas dan penyebaran lahan rawa disajikan pada 1.
348
Tabel 1. Luas Dan Penyebaran Lahan Rawa Di Indonesia. Luas lahan rawa
Wilayah Pasang surut
Lebak
Total
---------------------------- ribu ha ---------------------------Sumatera
6.600
2.770
9.370
Kalimantan
8.109
3.580
11.689
Sulawesi
1.180
606
1.786
Irian Jaya
4.220
6.300
10.520
20.109
13.256
33.365
Jumlah
Sumber : Nugroho et al. (1992) dalam Widjaja-Adhi (1994); Subagjo dan Widjaja-Adhi (1998)
Berbagai hasil litbang memperlihatkan bahwa lahan rawa memiliki potensi dan prospek yang besar serta layak dikembangkan menjadi lahan pertanian, terutama untuk peningkatan ketahanan pangan nasional dan diversifikasi produksi, pengembangan agribisnis dan agroindustri, peningkatan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat Peningkatan Ketahanan Pangan dan Diversifikasi Produksi. Peningkatan ketahanan pangan dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan intensitas pertanaman pada areal yang sudah diusahakan maupun perluasan areal tanaman dengan pengusahaan lahan tidur dan pembukaan lahan baru. Hal ini sangat dimungkinkan, karena ketersediaan airnya cukup, baik dari hujan maupun dari air pasang dan arealnya yang berpotensi untuk tanaman pangan sangat luas. Di lahan rawa, padi dapat ditanam sebagai padi sawah maupun padi gogo atau gogo rancah tergantung kepada penataan lahan dan ketersediaan airnya. Namun, saat ini intensitas tanam pada lahan rawa umumnya baru satu kali tanam per tahun dengan produktivitas yang juga rendah. Oleh karena itu, masih terbuka peluang penelitian dan pengembangan teknologi inovasi untuk meningkatkan hasil panen sesuai potensinya. Pengembangan pertanian di lahan rawa selain dapat meningkatkan produksi juga untuk diversifikasi produksi, baik bersifat horisontal berupa hasil primer beragam komoditas pertanian maupun bersifat vertikal berupa aneka hasil olahan. Hal ini sangat mungkin karena pengembangan sistem usahatani terpadu dengan perspektif pemaduan berbagai komoditas pertanian yang serasi dapat menghasilkan beragam hasil pertanian dan produk olahan. Berbagai tanaman hortikultura dan tanaman industri seperti kelapa, kopi, lada dan jahe serta berbagai jenis ternak dan ikan juga
349
dapat tumbuh baik dan memberikan hasil tinggi. Pemilihan komoditas pertanian yang diusahakan
disesuaikan
dengan
pola
pemanfaatan
lahan
dan
prospek
pemasarannya. Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri. Adanya potensi peningkatan dan diversifikasi produksi memberi peluang besar terhadap pengembangan agribisnis dan agroindustri. Berbagai usaha sebagai bagian dari subsistem agribisnis dapat dikembangkan, mulai dari usaha penyediaan benih dan sarana produksi sampai kepada usaha jasa tenaga kerja dan keuangan serta pengolahan dan pemasaran hasil. Sedangkan pengembangan agroindustri ditujukan terutama untuk meningkatkan nilai tambah, seperti kelapa menjadi kopra dan minyak kelapa atau cabai dan tomat menjadi sambal saus serta buah-buahan menjadi selai dan sirup atau buah-buahan dalam kaleng untuk ekspor. Peningkatan Pengembangan
Lapangan
agribisnis
dan
Kerja
dan
agroindustri
Kesejahteraan ini
tentunya
Masyarakat.
secara
otomatis
meningkatkan kegiatan ekonomi sebagai akibat dari pengembangan pertanian baik oleh petani dalam skala kecil maupun oleh pengusaha dalam skala luas. Hal ini pada akhirnya akan membuka peluang kesempatan kerja, peningkatan aktivitas ekonomi dan pendapatan masyarakat serta pengembangan wilayah setempat. Beberapa contoh disini adalah berkembangnya wilayah pasang surut diberbagai lokasi transmigrasi di Sumatera Selatan, Jambi, Riau serta Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan sebagai daerah pemasok hasil pertanian terutama tanaman pangan dan ternak.
KENDALA PENGEMBANGAN Lahan rawa tergolong lahan marjinal, yakni lahan yang kurang baik untuk pertanian sehingga pemanfaatannya merupakan pilihan terakhir. Sifat intrinsik basis usahatani
(content)
maupun
lingkungan
strategisnya
(context)
kurang
menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha dan sistem agribisnis secara berkelanjutan yang selanjutnya berdampak pada tertinggalnya pembangunan di wilayah tersebut. Perpaduan content dan context yang serba marjinal selanjutnya menyebabkan marjinalitas dukungan kebijakan pemerintah (consent). Faktor-faktor marjinalitas tersebut dirinci pada Tabel 2. Pertama, agroekosistem rawa kurang baik sebagai basis usaha pertanian. Tanah rawa miskin hara dan masam sehingga variasi tanaman yang dapat tumbuh
350
baik relatif terbatas dan produktivitasnya pun rendah. Pengendalian tingkat kemasaman dan tinggi genangan air membutuhkan pembangunan sistem jaringan irigasi dengan konstruksi yang tepat dan membutuhkan biaya investasi, operasi dan pemeliharaan yang cukup tinggi. Peningkatan dan pemeliharaan keseimbangan hara tanah membutuhkan pemupukan berimbang yang cukup intensif. Dengan demikian, usahatani di lahan rawa secara umum tergolong kategori ongkos tinggi-hasil rendah (high cost-low output) sehingga daya saingnya relatif rendah. Terbatasnya ragam komoditas layak agronomis merupakan kendala teknis yang membatasi kebiasaan petani dalam memilih dan mengelola pola pertanaman sesuai dengan kondisi dan dinamika pasar. Komoditas yang paling prospektif dari segi pasar belum tentu layak secara agronomis. Terbatasnya fleksibilitas dalam memilih komoditas yang diusahakan menyebabkan usahatani di lahan rawa rawan terhadap resiko produksi maupun perubahan harga relatif antar komoditas. Sifat tanah lahan rawa sangat heterogen secara spasial. Sifat tanah antar petakan lahan milik petani yang berbeda atau bahkan antar persil dalam petakan lahan yang sama dapat sangat berbeda. Akibatnya, domain rekomendasi, yakni cakupan lahan dimana suatu teknologi rekomendasi yang sesuai untuk diterapkan, sangat sempit. Teknologi harus dirancang secara tailored made , khusus untuk hamparan lahan tertentu, bukan customized yang dapat digunakan untuk hamparan luas. Perancangan teknologi secara tailored made jelas menyulitkan, tidak saja dalam proses pengkajian guna memperoleh teknologi rekomendasi tetapi juga dalam mengolah usaha tani. Keharusan untuk menggunakan aneka teknologi dan pola tanam menyebabkan ekonomi skala hamparan kecil atau bahkan negatif (disekonomi). Agroekosistem sangat fluktuatif karena sensitif terhadap dinamika agroklimat maupun oseanografi (untuk pasang surut). Semakin ekstrim pola musim curah hujan semakin ekstrim pula pola fluktuasi agroekosistem lahan rawa. Selain oleh curah hujan, agroekosistem lahan pasang surut sangat dipengaruhi oleh tinggi permukaan air laut yang berubah cukup besar tiap hari sesuai dengan siklus pasang. Hanya tanaman yang toleran terhadap fluktuasi egroekosistem tersebut dapat layak diusahakan secara teknis pada lahan rawa. Tidak saja membatasi pilhan jenis tanaman yang dapat diusahakan, fluktuasi agroekosistem juga merupakan salah satu faktor resiko usahatani pada lahan rawa. Agroekosistem lahan rawa, sensitif dan rapuh dalam arti mudah berubah nyata oleh pengaruh eksternal. Sifat ini menyebabkan usahatani pada lahan rawa
351
kurang tangguh menghadapi resiko. Jika tidak dengan pupuk intensif dan berimbang, pengolahan lahan serta tata air yang baik kesuburan lahan dapat menurun cepat. Agroekosistem lahan pasang surut juga cepat berubah oleh perubahan iklim maupun penurunan air laut. Hal inilah yang membuat agroekosistem rawa secara intrinsik bersifat fluktuatif dan rawan. Dengan perkataan lain, usahatani pada lahan rawa biasanya kurang toleran terhadap resiko produksi maupun resiko harga. Usahatani pada lahan rawa pada umumnya rawan (vulnerable) dalam arti berada dalam cekaman faktor resiko internal maupun eksternal yang dapat mengancam produksi usahatani. Faktor resiko internal antara lain kedalaman gambut, kandungan pirit dan hama penyakit yang semuanya merupakan resiko langsung bagi usahatani. Faktor resiko ekternal antara lain ialah perubahan agroklimat dan peningkatan air laut. Upaya untuk mengurangi faktor resiko ini memerlukan ongkos mitigasi yang tinggi. Lahan rawa umumnya memiliki lapisan gambut atau lumpur yang dalam yang tidak saja kurang baik bagi pertumbuhan tanaman tetapi juga menghambat mobilitas tenaga kerja manusia maupun alat mekanis. Bekerja pada lahan rawa sungguh melelahkan. Efisiensi teknis tenaga kerja manusia maupun peralatan mekanis relatif rendah. Bahkan bila tidak dirancang khusus, berbagai alat mekanis tidak layak guna untuk lahan rawa. Dengan demikian, usahatani pada lahan rawa membutuhkan tenaga kerja yang relatif besar. Dengan sendirinya, ongkos tenaga kerja usahatani pada lahan rawa relatif besar pula. Kedua, lahan rawa biasanya terpencil, berada jauh dari pemukiman padat penduduk dan akses transportasi maupun komunikasi amat rendah. Akar penyebabnya ialah sifat marjinalitas kawasan lahan rawa itu sendiri. Pemukiman penduduk selalu berawal pada kawasan yang baik untuk pertanian, nyaman untuk pemukiman (baik untuk perumahan dan jalan pedesaan, sumber air bersih tersedia, lingkungan hidup sehat), dekat dengan pusat-pusat perekonomian, dan sarana transportasi tersedia atau mudah dibangun. Persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh kawasan lahan rawa (akan diuraikan di bawah ini) Lahan yang terpencil menyebabkan ongkos pemasaran produk pertanian yang dihasilkan di daerah kawasan lahan rawa menjadi tinggi, yang berarti harga yang diterima petani rendah. Kurangnya fasilitas komunikasi dan rendahnya mobilitas komutasi warga membuat informasi pasar asimetri, lebih dikuasai pedagang, sehingga pasar imput dan output pertanian tidak sempurna dan tidak
352
efisien. Masalah pemasaran menjadi salah satu kendala utama usaha pertanian di kawasan lahan rawa. Tabel 2. Karakteristik Marjinalitas Lahan Rawa Dan Implikasinya Terhadap Content Dan Context Usahatani. Karakteristik 1.Agroekosistem kurang menguntungkan (unfavorable agroecosystem) a. Tidak subur (infertile)
Implikasi terhadap ”content” dan ”context” usahatani • Jumlah komoditas yang sesuai (diversifikasi dan fleksibilitas usahatani) terbatas • Produktivitas tinggi • Kebutuhan input eksternal tinggi • Teknologi dan pola pertanian sempit • Ekonomi skala hamparan kecil • Jumlah komoditas yang sesuai (diversifikasi dan fleksibilitas usahatanai) terbatas • Resiko produksi usahatani tinggi • Resiko penggunaan teknologi tinggi • Resiko tidak keberlanjutan usahatani tinggi • Ongkos mitigasi resiko tinggi • Resiko produksi akibat anomali alam tinggi • Ongkos mitigasi tinggi • Mobilitas pekerjaan lambat • Mekanisasi tidak layak (dicangkul khusus)
b. Heterogen secara spasial c. Fluktuatif secara temporer
d. Rapuh (fragile)
e. Rawan (vulnerable) f. Bergambut atau berlumpur dalam 2. Lokasi terpencil (remote)
•
a. Akses transportasi rendah harg
b. Akses komunikasi rendah
• •
Ongkos pemasaran tinggi (harga output rendah, input tinggi) Resiko harga output tinggi Resiko langka pasok dan lonjak harga input
• •
Informasi pasar asimetris Inefisiensi pasar
• • • • • •
Kelangkaan tenaga kerja Potensi pasar lokal rendah Resiko keberlanjutan sosial Masalah adverse selection kependudukan Daya adopsi teknologi rendah Kapasitas manajemen usahatani rendah
• • • • • • •
Kapasitas sumberdaya tidak dapat ditingkatkan Pemanfaatan sumberdaya tidak optimal Sistem distribusi dan pemasaran kurang lancar Kendala modal eksternal Dampak pengganda usahatani rendah Permintaan lokal rendah Kendala modal internal petani
• • • •
Investasi swasta rendah Infrastruktur kurang Profitabilitas usahatani rendah Usahatani stagnan
3. Kurang baik untuk pemukiman a. Penduduk jarang b. Dorongan migrasi ke luar tinggi c. Pendidikan petani rendah 4. Pembangunan tertinggal (underdeveloped) a. Infrastruktur pendukung kurang b. Usaha dan sistem agribisnis kurang maju
c. Pendapatan penduduk sekitar rendah 5. Kurang dukungan kebijakan pemerintah a. Investasi sarana publik b. Insentif dan fasilitasi usahatani kurang
353
Ketiga, kawasan pasang surut kurang baik untuk pemukiman penduduk. Ini merupakan implikasi langsung dari agroekosistem yang kurang baik untuk usaha pertanian yang merupakan basis produksi pangan dan sistem perekonomian desa penopang kehidupan penduduk. Selain itu, lahan yang labil kurang baik untuk tapapakan perumahan maupun jalan pedesaan. Sumber air bersih sulit diperoleh. Ekosistem lahan rawa baik untuk sarang nyamuk. Dengan kesempatan ekonomi yang terbatas dan lingkungan pemukiman yang kurang nyaman, orang tidak suka atau bahkan cenderung meninggalkan kawasan lahan rawa (migrasi keluar) khususnya mereka yang berpendidikan cukup tinggi. Akibatnya, penduduk di daerah lahan rawa umumnya sedikit (kepadatan agraris rendah). Tingkat pendapatan penduduk yang umumnya rendah dan sarana pendidikan yang umumnya kurang menyebabkan tingkat pendidikan penduduk di kawasan rawa relatif rendah. Hal ini diperburuk pula oleh kecendrungan emigrasi permanen warga yang berpendidikan relatif cukup baik.
Dengan karakteristik
demografi demikian, usahatani di kawasan pasang surut umumnya dikelola oleh petani dengan kapasitas manajemen yang rendah, menghadapi kendala pasokan tenaga kerja, dan basis perekonomian yang rendah. Tak haya berdampak negatif terhadap kuantitas penduduk, kecenderungan emigrasi penduduk merupakan proses penyaringan sosial (secara kualitatif). Warga terbaik (dari segi pendidikan, kewirausahaan) cenderung pindah keluar dan yang tinggal adalah warga yang kurang progresif . Proses penyaringan sosial yang buruk (adverse selection) ini juga merupakan ancaman keberlanjutan pembangunan di kawasan rawa, termasuk keberlanjutan usaha pertanian. Keempat, pembangunan di daerah rawa umumnya tertinggal (under developed). Infrastruktur perekonomian umum seperti parasarana dan sarana transportasi, kelistrikan, telekomunikasi dan air bersih pada umumnya belum ada atau tersedia kurang memadai. Hal sama berlaku untuk infrastruktur penunjang agribisnis seperti jaringan irigasi, pasar dan sistem distribusi input-outputpermodalan, dan sistem inovasi teknologi (sistem distribusi benih, penyuluhan). Secara singkat, baik usaha dan sistem agribisnis maupun usaha dan sistem perekonomian kawasan secara umum masih belum tumbuh-berkembang secara luas, mendalam dan koheren. Akibatnya, pendapatan penduduk pada umumnya masih rendah. Pembangunan yang masih tertinggal merupakan kendala bagi usaha pertanian di kawasan rawa. Betapapun besar potensinya, lahan yang tersedia tidak
354
dapat dimanfaatkan secara optimal. Usahatani menghadapi kendala teknologi, modal dan
pemasaran.
Secara
umum,
marjinalitas
(ketertinggalan)
pembangunan
merupakan tatanan lingkungan strategis yang tidak kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan usaha pertanian di daerah rawa. Kelima, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah. Marjinalitas dukungan kebijakan pemerintah terrefleksikan pada kurangnya fasilitas prasarana publik, termasuk parasarana pertanian dan prasarana ekonomi umum, di daerah rawa. Seperti yang telah diuraikan, kurangnya prasarana pendukung inilah salah satu kendala utama usaha pertanian di kawasan rawa. Kiranya patut dicatat, investasi publik pada umumnya komplementer dengan investasi swasta. Jika investasi publik tidak memadai maka investasi swasta pun akan rendah pula. Investasi publik merupakan motor penggerak investasi swasta yang mutlak memadai untuk dapat memicu dan memacu perkembangan agribisnis di kawasan rawa. Kurangnya
investasi
pemerintah
di
kawasan
rawa
dapat
dipahami
berdasarkan rasionalitas komersial. Dukungan kebijakan pemerintah diprioritaskan untuk wilayah yang memiliki potensi pembangunan tinggi, biaya investasi kecil, namun dampak investasi tersebut cukup besar dan segera. Selain rasionalitas dampak ekonomi, prioritas wilayah investasi pemerintah juga sangat ditentukan oleh pertimbangan sosio-politik. Investasi pemerintah di prioritaskan pada wilayah-wilayah padat penduduk. Dengan begitu, secara sosial, manfaat investasi publik dapat dinikmati oleh rakyat banyak, dan secara politis hal itu akan memberikan dukungan rakyat banyak kepada pemerintah pembuat kebijakan. Masalahnya ialah, dari segi potensi ekonomi maupun potensi politik (jumlah dan kualitas penduduk) wilayah pasang surut kalah bersaing dengan wilayah lainnya sehingga tidak menjadi prioritas pembangunan bagi pemerintah. Dari paparan diatas, marjinalitas content, context dan consent, potensi kawasan rawa merupakan kendala maha berat pengembangan usaha pertanian di kawasan rawa. Marjinalitas yang demikian luas dan dalam cenderung memasung kawasan rawa dalam jerat lingkaran keterbelakangan (under development trap) seperti yang ditampilkan pada Gambar 1. Dengan demikian, issu sentral pembangunan agribisnis kawasan rawa ialah bagaimana memutus jerat lingkaran keterbelakangan tersebut.
355
USAHA DAN SISTEM AGRIBISNIS MARJINAL
AGROEKOSISTEM DAN LOKASI MERJINAL
MARJINALISASI PEREKONOMIAN WILAYAH
KEBIJAKAN MARJINAL
MARJINALISASI KEPENDUDUKAN
Gambar 1. Siklus Marjinalisasi Usaha dan Sistem Agribisnis di Kawasan Rawa.
PERAN STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Pemerintah Indonesia sudah lama menyadari betapa besar potensi lahan rawa di Indonesia. Oleh karena itulah, sejak awal tahun 1970-an pemerintah telah melaksanakan penelitian eksploratif untuk inventarisasi dan evaluasi potensi pengembangan, penelitian teknologi dan kelembagaan agribisnis, serta penelitian kaji-terap sistem usaha pertanian. Pada saat ini, sudah tersedia pengetahuan dan teknologi yang cukup untuk menunjang pengembangan agribisnis di kawasan rawa. Bahkan beberapa tahun yang lalu, pemerintah Indonesia telah mencoba mengembangkan lahan pasang surut di Kalimantan yang dikenal dengan proyek besar ” Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar ”. Sayang, proyek ini gagal total, walaupun lahan telah dibuka amat luas dengan biaya investasi amat besar. Terlepas dari kerugian yang ditimbulkan oleh kegagalan masa lalu, dengan potensi pengembangan yang demikian besar dan tuntutan kebutuhan yang amat mendesak, tidak ada pilihan lain, pemerintah Indonesia harus kembali sungguh-
356
sungguh mengembangkan agribisnis di kawasan lahan rawa secara besar-besaran. Mnegutip Widjaja-Adi, et.al (2000) : ”Hanya saja perencanaan, pemanfaatan, dan pengembangan harus disusun berdasarkan pada kaidah-kaidah hasil penelitian dan pengalaman masa silam, mengukir masa depan diatas batu sandungan masa silam ”. Pengembangan lahan rawa ke depan secara umum harus memenuhi tiga syarat, yaitu secara teknis bisa dilaksanakan dan diterima masyarakat, secara ekonomi layak dan menguntungkan, serta tidak merusak lingkungan. Artinya pengembangan lahan rawa memerlukan teknologi yang bukan hanya secara teknis dapat dilaksanakan tetapi juga dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan preferensi dan kemampuannya. Selain itu diperlukan juga model usahatani dan model pengembangan kelembagaan pertanian, serta cara-cara yang efektif untuk membantu penerapannya di masyarakat. Dengan demikian penelitian pertanian lahan rawa harus diarahkan kepada penemuan teknologi maju yang mencakup aneka komoditas pertanian unggulan, teknologi reklamasi dan pengelolaan lahan, penemuan kebijakan dan model pengembangan agribisnis serta kelembagaan penunjangnya. Salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) dibawah lingkup Badan Litbang adalah Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra), yang berada di Banjar Baru, Kalsel. UPT, yang diberi mandat khusus untuk melaksanakan penelitian pertanian lahan rawa tersebut perlu didorong untuk terus menghasilkan berbagai teknologi yang dibutuhkan untuk mengembangkan pertanian lahan rawa. Sementara BPTPBPTP di provinsi-provinsi yang memiliki areal rawa cukup luas, seperti BPTP Sumatra Selatan ini,
harus menjalin kerja sama yang sinergistis dan saling
menguntungkan dengan UPT tersebut. Balittra harus memberikan teknologi yang efektif, sedangkan
BPTP harus menindak-lanjuti dengan pengkajian-pengkajian
untuk mendapatkan teknologi spesifik lokasi, dan selanjutnya memberikan umpan balik. Dari penelitian intensif yang telah dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, telah diperoleh berbagai teknologi dan kelembagaan tepat guna untuk pengembangan agribisnis di lahan rawa. Panelitian-penelitian terdahulu telah menghasilkan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa lahan rawa memiliki prospek yang besar untuk pengembangan agribisnis dalam rangka pencapaian swasembada pangan, diversifikasi produksi, peningkatan pendapatan
357
dan lapangan kerja, serta pengembangan perekonomian wilayah ( Proyek P2LPSRSwamp II, 1993 dan 1993 dalam Widjaja-Adi.et.al 2000 ). Lahan rawa dapat ditanami dengan berbagai jenis tanaman pangan seperti padi, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubikayu, dan ubi jalar. Tidak saja varietas tradisional, verietas unggul tanaman padi dan palawija terbukti dapat beradaptasi dengan baik di lahan rawa. Tanaman perkebunan yang dapat tumbuh dan memberikan hasil yang cukup tinggi antara lain, kelapa, kopi, lada, dan bahkan jeruk. Berbagai jenis tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan) juga terbukti dapat tumbuh dan memberikan hasil yang baik. Sebagai gambaran, hasil penelitian tentang produktivitas beberapa tanaman pada empat tipe lahan pasang surut ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3.
Kisaran Produktivitas Beberapa Tanaman Pada Empat Tipologi Lahan Pasang Surut (Ton/Ha).
Komoditas Padi sawah Padi gogo
Potensial 3,2-6,3
Tipologi lahan Sulfat masam Gambut 2,6-4,5 2,7-4,0
Salin 2,6-3,9
-
1,5-2,8
1,8-2,5
-
Jagung
1,7-2,8
2,4-3,6
2,1-4,1
1,0-1,7
Kedelai
0,8-1,2
0,8-1,0
0,8-1,0
0,9-1,2
Kacang hijau
0,7-0,9
0,6-1,0
1,5-2,4
0,7-0,8
Kelapa
12-20
4-10
7-13
18-28
a
b
Sumber : Proyek P2LPSR-Swamps II (1991,1993 , 1993 ) dikutip dari Widjaja-Adi (2000).
Hasil analisis usahatani eks-ante (Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003) menunjukkan bahwa pengembangan berbagai komoditas pertanian adaptif baik secara tunggal maupun dalam suatu sistem usahatani terpadu di lahan pasang surut cukup layak secara ekonomi (Tabel 4 dan 5). Tanaman sayuran memberikan nilai keuntungan dan R/C lebih tinggi daripada tanaman pangan, namun memerlukan pemeliharaan lebih intensif dan biaya lebih tinggi sehingga pengusahaannya oleh petani tidak bisa secara ekstensif. Sedangkan usahatani terpadu antara tanaman padi – jeruk - cabai memberikan keuntungan dan nilai R/C yang tinggi sehingga layak dikembangkan. Beberapa hasil penelitian
sistem usahatani di Sumatera Selatan, Jambi,
Riau, Kalimantan Barat dan Selatan menunjukkan bahwa walaupun keragaan pengembangan pertanian beragam antar lokasi tapi masih layak, dimana tanaman
358
padi memberikan kontribusi paling besar terhadap penerimaan usahatani di semua tipologi lahan. Nilai Incremental Benefit Cost Ratio (IBCR) sistem usahatani masingmasing sebesar 3,55; 2,65; 1,54; dan 2,14 pada lahan potensial, sulfat masam, gambut dan salin. Sedangkan kombinasi usahatani sistem longyam di lahan pekarangan dan sistem surjan di lahan usaha seluas 1,75 ha yang ditanami tanaman pangan dan sayuran memberikan nilai IBCR sebesar 1,74. Tabel 4. Keragaan Ekonomi Berbagai Tanaman di Lahan Sulfat Masam Pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003.
Biaya
Penerimaan
Keuntungan
(Rp/ha)
(Rp/ha)
(Rp/ha)
Padi lokal
1.103.300
3.750.000
2.647.000
3,40
Padi Margasari
2.499.000
4.500.000
2.001.000
1,80
Padi unggul
3.086.000
4.200.000
1.114.000
1,36
Kedelai
4.368.000
6.300.000
1.932.000
1,44
Kacang tanah
3.080.000
8.000.000
4.920.000
2,60
Kacang hijau
3.561.000
6.750.000
3.190.000
1,90
Jagung
2.400.000
4.000.000
1.600.000
1,67
Cabai
1.380.000
4.800.000
3.420.000
3,48
Tomat
1.231.000
7.680.000
6.449.000
6,24
Kubis
1.926.000
7.168.000
5.242.000
3,72
Timun
1.713.000
4.608.000
2.895.000
2,69
Buncis
1.820.000
3.072.000
1.252.000
1,69
Jenis tanaman
R/C
Tanaman Pangan
Tanaman Sayuran *)
*)
Tanaman sayuran ditanam pada bagian guludan surjan seluas 0,224 t/ha lahan
Dengan kendala marjinalitas yang demikian berat, berbagai teknologi inovatif yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian nampaknya masih harus terus di perbaiki dan disempurnakan agar dapat di adopsi lebih cepat dan lebih luas. Penelitian terdahulu tersebut praktis di fokuskan pada dua jenis teknologi yaitu peningkatan produktivitas dan penekanan biaya produksi. Kedepan, cakrawala inovasi baru yang perlu dieksplorasi ialah teknologi untuk menciptakan atau meningkatkan mutu khas komoditas spesifik lahan rawa. Hal ini mungkin dilakukan antara lain dengan mengeksploitasi kandungan mineral-mineral logam berat yang cukup tinggi di lahan rawa, khususnya besi, dan esensial untuk kesehatan manusia.
359
Dengan perkataan lain, usahatani di lahan rawa diarahkan untuk menghaislkan bahan pangan “fungsional”, yakni bahan pangan yang kaya kandungan zat gizi tertentu. Salah satu contoh konkritnya ialah “gandum rice” yang kaya akan zat besi dan kini sedang dikembangkan oleh IRRI.
Tabel 5. Hasil Analisis Usahatani Sistem Surjan di Lahan Sulfat Masam Pada Ekspose Teknologi Pertanian Lahan Pasang Surut di Barito Kuala, 2003.
Jenis tanaman
Biaya
Penerimaan
Keuntungan
(Rp/ha)
(Rp/ha)
(Rp/ha)
R/C
Pola padi lokal pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan Padi lokal Jeruk Cabai Jumlah
856.000 1.162.000 810.000 2.828.000
2.910.000 10.070.000 1.500.000 14.480.000
2.054.000 8.908.000 690.000 11.652.000
3,40 8,67 1,85 4,93
Pola padi – padi unggul pada tabukan dan jeruk + cabai pada guludan Padi unggul Jeruk Cabai Jumlah
3.794.000 1.162.000 810.000 5.766.000
6.984.000 10.070.000 1.500.000 18.554.000
3.190.000 8.908.000 690.000 12.788.000
1,84 8,67 1,85 3,21
Arahan penelitian demikian cukup prospektif. Di satu sisi, hal itu konsisten dengan keunggulan komparatif lahan rawa yang kaya akan mineral tertentu. Di sisi lain, permintaan pasar terhadap bahan pangan “fungsional” semakin meningkat seiring dengan peningkatan pengetahuan dan kesadaran gizi masyarakat. Harga bahan pangan fungsional jelas lebih tinggi dari bahan pangan tradisonal. Dengan menghasilkan komoditas khas bernilai tinggi maka masalah marjinalitas lahan mungkin dapat diuvah menjadi kekuatan dalam pengembangan agribisnis di kawasan lahan rawa. PENUTUP Optimalisasi pemanfaatan lahan rawa meerupakan salah satu peluang yang paling mungkin dilakukan guna menkompensasi fenomena penurunan luas baku lahan subur yang telah menyebabkan perlambatan laju peningkatan produksi pertanian dan percepatan marjinalisasi kepemilikan lahan di Indonesia. Lahan rawa
360
amat potensial sebagai sumber pertumbuhan baryu sektor pertanian di masa mendatang. Lahan rawa memang bukanlah lahan terbaik untuk pengembangan agribisnis. Tidak saja sifat intrinsik agroekosistemnya, lingkungan strategis kawasan lahan rawa serba marjinal sehingga amat sukar dan mahal untuk di kembangkan menjadi pusat pengembangan agribisnis. Tersedianya teknologi unggul spesifik lahan rawa merupakan kunci utama pengembangan agribisnis di kawasan lahan rawa. Penelitian intensif yang sudah sejak lama di lakukan Badan Litbang Petanian telah menghasilkan banyak teknologi usaha pertanian di lahan rawa. Inovasi teknologi tersebut terbukti mampu meningkatkan kapasitas lahan rawa sehingga layak menjadi basis bagi berbagai jenis usahatani. Inovasi teknologi konvensional yang bersifat meningkatkan produktivitas dan atau menurunkan biaya produksi usahatani kurang efektif untuk mengatasi kendala marjinalitas lahan rawa sehingga agribisnis di kawasan lahan rawa tumbuh kembang secara lambat saja. Oleh karena itu, ke depan, penelitian untuk pengembangan lahan rawa perlu di perluas dengan mengeksplorasi kemungkinan terobosan produksi komoditas bahan pangan “ fungsional “, yakni bahan pangan yang kaya kandungan zat gizi esensial seperti besi dan mineral lainnya, yang juga terkandung amat tinggi di tanah rawa. Komoditas pangan fungsional tidak saja bermutu gizi lebih tinggi, harga pasarnya pun lebih tinggi pula daripada bahan pangan tradisonal.
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman dan Ananto (2000). Konsep Pengembangan Pertanian Berkelanjutan di Lahan Rawa untuk mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Makalah Utama Disajikan Pada Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian Lahan Rawa. Bogor, 25-27 Juli 2000. 23 hlm. (tidak di publikasikan). Nugroho et.al. (1992) dalam Widjaja-Adhi (1994). Peta Areal Potensial untuk Pengembangan Pertanian Lahan pasang Surut, Rawa, dan Pantai. Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Proyek P2LPSR-Swamps II. 1991. Hasil Utama Sistim Usahatani Lahan Pasang Surut dan Rawa, tahun 1987-1990. Badan Litbang Pertanian. 63 hlm.
361
Proyek P2LPSR-Swamps II. 1993a. Petunjuk Teknis Pengelolaan Sistim Usahatani di Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian. 97 hlm (Tidak dipublikasikan). Proyek P2LPSR-Swamps II. 1993b. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa. Tahun 1985-1993. Badan Litbang Pertanian. 128 hlm (Tidak dipublikasikan). Subagjo dan Widaja-Adhi (1998). Peluang dan Kendala Penggunaan Lahan Rawa untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Kasus: Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. hlm. 13-50 dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Makalah Utama. Bogor, 10-12 Februari 1998. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor Widaja-Adhi dan Alihamsyah (1998). Pengembangan Lahan Pasang Surut: Potensi, Prospek dan Kendala Serta Teknologi Pengelolaanya Untuk Pertanian. hlm. 51-27 dalam Prosiding Seminar Nasional dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu Tanah Indonesia.
362