PERANAN KESENIAN JATHILAN TERHADAP PENGEMBANGAN PARIWISATA DI KABUPATEN KENDAL Oleh: Sri Mulyani dan Edipeni Pramusinto
ABSTRAK Kabupaten Kendal tempat berkembangnya berbagai kesenian yang merupakan budaya Jawa. Salah satu dari kesenian tersebut adalah Jathilan (kuda Kepang). Seni pertujukan ini semula lebih bersifat sakral dan digunakan untuk menunjang upacara ritual. Sejalan dengan perkembangan masyarakat yang rasional dan globalisasi, maka seni telah berubah sesuai dengan kebutuhan, seni untuk seni, seni untuk hiburan, seni untuk pariwisata. Pemerintah, pemerintah Daerah menggalakkan industri pariwisata dengan mengenalkan budaya daerah, salah satunya menampilkan kesenian Jathilan (kuda kepang). Kesenian Jathilan adalah seni tari yang berupa gerakan maju mundur dan berlari sebagaimana gerakan kuda yang sedang “njathil” yaitu menari-nari dan berlari. Hal ini sangat relevan karena penari menggunakan salah satu peralatan kuda yang dibuat dari bambu yang dianyam (kepang). Pengembangan pariwisata dengan jalan mengembangkan kesenian tradisional Jathilan dikemas dengan baik agar dapat menarik wisatawan untuk datang ke Kendal dan masyarakat tetap melestarikan dan menyayangi kesenian Jathilan. Kata kunci : Jathilan, kesenian daerah, pariwisata.
Staf Pengajar Program Studi Pariwisata Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Indonesia (STIEPARI) Semarang ABSTRACT Kendal Regency is a place where various kinds of Javanese cultural art develop. One of those arts is called “Jathilan” (Kuda Kepang). This art show was eventually sacred and used for supporting ritual ceremony. In compliance with the rational and global development of the local community, the art had changed in accordance with its necessity, art for art, art for entertainment and art for tourism. The Goverment and local government encourage tourism industry by introducing local culture, one of which, performing the art of “Jathilan” (Kuda Kepang). The art of “Jathilan” is a dance which performs, the moving of stepping forward and backward as well as running, imitating the movement of a horse when it is “njathil” or dancing and running. This is relevant as the dancers use one of horse’s equipment made of plaited bamboos. To develop tourism by developing a traditional art of “Jathilan” is well kept in order to attract tourists to visit Kendal
26 Jurnal Gemawisata
as well as to make local community constantly perpetuate and be attached to the art of “Jathilan”. Keywords: Jathilan, traditional art, tourism
PENDAHULUAN Sejalan dengan perjalanan sejarah pembangunan bangsa Indonesia, Jawa Tengah memiliki berbagai kesenian sebagai hasil karya anggota masyarakat. Kesenian daerah merupakan hasil karya manusia yang dapat memberikan rasa keindahan dan kepuasan pada diri si pencipta nikmat dan pencipta karya seni. Bahkan kesenian dapat disebut sebagai suatu hasil karya manusia yang dapat membangkitkan perasaan menyenangkan. Kesenian daerah merupakan kesenian yang berakar dari tradisi, oleh karena itu orang menyamakan keseniaan tradisional sebagai budaya tradisional.Istilah tradisional memacu pada sesuatu yang telah berulang ulang dan dihayati bersama anggota masyarakat, sifat seni tradisional ini bersifat pakem, ajeg, dan kurang dinamis. Pada masyarakat tradisional kesenian ini berkaitan dengan relegiusitas, oleh sebab itu penampilanya berkaitan erat dengan berbagai kegiatan upacara sakral. Dalam kasanah budaya Jawa, terutama di Jawa Tengah telah tumbuh berbagai jenis dan bentuk kesenian tradisional. Kesenian ini berupa seni pertunjukan, seni lukis, seni pahat, seni batik seni suara. Kesenian ini pernah memberi warna kehidupan masyarakat Jawa Tengah di masa lampau yang sisasisanya masih nampak hingga masa kini. Karena luasnya kesenian daerah yang pernah ada di Jawa tengah, maka penelitian dibatasi dengan seni pertunjukan Jathilan yang ada di Kendal saja. Esansial antara kesenian Jathilan / kesenian daerah dengan perkembangan pariwisata tidak bertentangan. Artinya bahwa kehadiran wisatawan juga perlu melihat kesenian daerah, hal ini yang menyebabkan kesenian Jathilan tetap bertahan ada hingga kini. Kesenian Jathilan dapat diolah menjadi paket wisata sehingga menambah semaraknya destinasi wisata yang dikunjungi. Permasalah yang muncul adalah ; Bagaimana masyarakat Kendal memelihara dan mengemas kesenian Jathilan lebih menarik untuk wisatawan sehingga wisatawan akan datang berkunjung dengan membawa teman-temannya ke Kendal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana masyarakat di Kendal mengenalkan kesenian Jathilan kepada wisatawan Nusantara dan Mancanegara. Di wilayah Kendal terdapat bermacam–macam kesenian tradisional, salah satunya kesenian Jathilan masuk dalam kelompak wisata budaya STUDI KEPUSTAKAAN Dalam peradaban umat manusia, membagi lingkungan budaya menjadi dua yaitu tradisi besar (big tradition) berkembang di sekolah-sekolah dan kuil, sedang tradisi kecil (little tradition) merupakan peradapan yang hidup di kalangan
27 Jurnal Gemawisata
rakyat jelata, tradisi orang kecil sebagian diterima sebagaimana adanya dan tidak tidak terlalu diteliti secara cermat atau dipertimbangkan pembaruan dan perbaikannya. Tipologi peradaban manusia dibagi menjadi dua bagian menurut Redfield, dapat digunakan untuk mengupas seni budaya di Jawa Tengah. Seni ini dikelompokkan besar menjadi seni budaya istana dan seni budaya rakyat kebanyakan. Dalam kasus Jawa tengah dikotomi itu tidak berlaku secara mutlak, hal ini disebabkan bahwa seni istana itu satu rangkaian, istana merupakan pencipta seni dan masyarakat pedesaan sebagai penikmat seni. Dengan demikian muara seni budaya itu adalah kota praja yang berpencar ke luar istana. Menurut Soedarsono (1986:91), kesenian daerah pada dasarnya memiliki tiga manfaat di dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, yaitu: (1) Untuk memenuhi kebutuhan dalam upacara ritual. (2) Untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan. (3) Untuk memenuhi kebutuhan dalam berekspresi. Seni pertunjukan yang ada di Jawa Tengah berdasarkan yang menonjol yaitu: drama tari topeng (wayang topeng), pertunjukan topeng makluk menakutkan, kuda kepang (jathilan), tari dan nyanyi yang bertema agama Islam, wayang kulit, resetasi wiracerita. Tanpa melihat apa yang menonjol seni pertunjukan rakyat Jawa Tengah dapat dibagi menjadi enam kelompok, yaitu: 1) Jathilan dan reog 2) Tayub 3) Slawatan 4) Drama dan tari rakyat 5) Musik rakyat 6) Wayang kulit (1985) Seni pertunjukan Jathilan (Jaran Kepang) merupakan kesenian yang berkembang di Kendal. Dengan digalakkan kepariwisataan kesenian Jathilan menjadi daya tarik tersendiri untuk mengembangkan kepariwisatan di Kendal. Dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pariwisata” I Gde Pita & I Ketut Diarta (2009) menggolongkan destinasi berdasarkan ciri-ciri destinasi tersebut, yaitu sebagai berikut: 1. Destinasi sumber daya alam, seperti iklim, pantai, hutan. 2. Destinasi sumber daya budaya, seperti tempat bersejarah, museum, teater, dan masyarakat lokal. 3. Fasilitas rekreasi seperti taman hiburan . 4. Event seperti Pentas Kesenian Bali, Pesta Danau Toba, pasar malam 5. Aktivitas spesifik, seperti kasino di Genting Highland Malaysia, Wisata Belanja di Hong Kong. 6. Daya tarik psikologis, seperti petualangan, perjalanan romantis, keterpencilan. Berdasarkan pembagian destinasi wisata tersebut, Kendal dapat dikembangkan menjadi destinasi budaya dengan daya tarik budaya salah satunya kesenian Jathilan.
28 Jurnal Gemawisata
I Gede Pitaka yang lain “Sosiologi Pariwisata”(2005) terdapat pernyataan dari Sharpley (1994):”………..pariwisata merangsang munculnya kominikasi yang lebih intensif di dalam masyarakat lokal. Masyarakat dapat memanfaatkan peluang yang diberikan oleh pariwisata dari manfaat ekonomi, sampai pelestarian budaya dapat digunakan dalam kegiatan pelestarian bangunan–bangunan bersejarah atau keagamaan, maupun keseniaan”. Wisata budaya adalah salah satu jenis wisata yang didasarkan motivasi budaya, untuk melestarikan adat –istiadat termasuk didalamnya kesenian Jathilan. Sehubungan hal tersebut pengembangan pariwisata diarahkan untuk dapat meningkatkan pendapatan daerah di satu pihak tetapi tidak merusak kebudayaan daerah sehingga terjadi keseimbangan antara kepentingan pariwisata dengan kepentingan pengembangan seni budaya daerah. METODE PENELITIAN Sasaran penelitian adalah dokumen tentang destinasi–destinasi yang ada daya tarik kesenian tradisional Jathilan berupa brosur-brosur daerah wisata, fotofoto dan situs-situs internet, selain itu juga para pratisi pariwisata di Jawa Tengah, seperti pegawai Dinas Pariwisata, budayawan setempat dan masyarakat pelaku kesenian Jathilan. Data dikumpulkan melalui survey, pengamatan dan wawancara mendalam (indepth interview) (Sairin, 1995). Bentuk dan strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kasus tunggal terpancang. Bentuk ini diharapkan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskrepsi yang penuh nuansa, yang jauh lebih berharga dari pada sekedar pertanyaan jumlah atau frekuensi dalam bentuk angka (Sutopo, 1989:13). Hal ini sesuai dengan masalah yang dikaji berkaitan dengan proses dan makna dari persepsi dan kepedulian atas sikap manusia. Ruang lingkup penelitian Kabupaten Kendal kecamatan Petehan, karena jenis kesenian Jathilan/Jaran Kepang sering diadakannya pertunjukan di wisata Curug Sewu PEMBAHASAN Pemerintah daerah propinsi Jawa Tengah merasa perlu meningkatkan pembangunan Pariwisata sebagai salah satu sumber devisa dan pembukaan lapangan kerja. Akan tetapi pembangunan pariwisata jangan sampai menimbulkan kehancuran budaya bangsa dan kerusakan lingkungan, bahkan diharapkan akan menjadi salah satu ajang bagi pemupukan kepribadian bangsa dengan mencintai budaya dalam wujud pemeliharaan kesenian daerah. Seni budaya merupakan salah satu ciri khas wujud dari kepribadian bangsa. Dengan demikian kegiatan kepariwisataan dapat menumbuhkan seni budaya bangsa. Persoalannya adalah seberapa jauh peranan seni budaya itu berperan dalam pengembangan Pariwisata. Banyak jenis kesenian daerah di Jawa Tengah khususnya di Kendal yang berperan dan yang dapat dikembangkan dalam pengembangan Pariwisata, akan tetapi pada penelitian ini hanya akan dibatasi pada kesenian pertunjukan Jathilan atau Jaran Kepang.
29 Jurnal Gemawisata
Identifikasi Kesenian Jathilan Kata jathilan berasal dari kata njathil yaitu gerakan maju mundur dan berlari sebagaimana lazim gerakan kuda yang sedang “njathil” yaitu menari-nari dan berlari. Hal ini sangat relevan karena para penari menggunakan salah satu peralatan kuda yang terbuat dari bambu yang dianyam (kepang). Oleh karena itu kesenian ini sering juga disebut jaran kepang atau kuda lumping. Memang kesenian ini cukup banyak namanya, seperti Onglek (daerah Bantul), Jathilan Pitik Walik (Magelang), ebeg (di daerah-daerah Jawa Tengah bagian Barat), jelantur (Boyolali). Dengan demikian penyebaran kesenian jathilan ini sangat luas yang tersebar di hampir seluruh wilayah Jawa Tengah. Seni Jathilan merupakan jenis kesenian tradisional dalam arti kesenian ini berhubungan erat dengan tradisi yang memiliki kerangka pola-pola maupun penerapan yang berulang-ulang dan sama dalam rentangan waktu dan sejarah yang lama (Edy Sedyawati, 1980:32). Memang merupakan kenyataan kesenian ini tidak banyak perubahannya ditinjau dari seni gerak, tari, instrumen, pakaian, bentuk penyajiannya dalam waktu yang panjang. Kesenian ini dikategorikan sebagai kesenian rakyat, yaitu kesenian yang ada dan berkembang di kalangan rakyat atau masyarakat biasa bukan di istana atau bangsawan. Asal-usul kesenian Jathilan ini masih sulit untuk dilacak. Hal ini berhubungan dengan suatu kenyataan bahwa kesenian Jathilan sebagai seni yang pertunjukannya merupakan seni “sesaat”, yaitu kesenian yang apabila selesai dipertunjukan selesai pula wujudnya. Kesenian ini muncul pada saat belum mengenal teknologi canggih untuk mendokumentasikannya. Teori mengatakan kelahiran seni Jathilan berhubungan dengan kepercayaan, maka dapat diduga bahwa kesenian Jathilan merupakan bentuk upacara totem atau penjembahan binatang mitologi yang berupa kuda memiliki kekuatan untuk melindungi masyarakat, bahwa karya seni pada masa dulu selalu berkaitan dengan penghayatan nilai-nilai kepercayaan atau ritual tertentu (Soekmono,1985:41-48). Pertumbuhan kesenian Jathilan berdasarkan gambaran di muka, dapat dikatakan bahwa kesenian Jathilan merupakan salah satu atraksi untuk upacara yang berkaitan dengan pemanggilan binatang mitologi untuk melindungi masyarakat. Kemungkinan kesenian ini sudah ada sejak zaman prasejarah. Dalam perkembangan selanjutnya setelah kepercayaan animisme, totanisme, dinamisme, tergeser oleh kepercayaan lain dalam bentuk agama Hindu, Budha, Islam, maka anasir–anasir ritual dari kesenian Jathilan semakin menipis yang berkembag unsur–unsur profane yang bersifat hiburan. Tetapi ini bukan berarti unsur-unsur magisnya telah hilang. Akibatnya perkembangan kesenian ini bukan sebagai medium ritual, tetapi untuk kepentingan estetika dan tontonan atau seni pertunjukan. Pemanggilan roh yang bertingkah–laku seperti kuda bukan lagi untuk melindungi masyarakat, tetapi diarahkan demi kepentingan atraksi dan tontonan yang disenangi masyarakat. Pertunjukan Jathilan yang banyak diwarnai dengan unsur magis seperti penari Jathilan sering kemasukan roh makhluk halus yang dianggap dari binatang totem berbantuk kuda yang memiliki kekuatan melindungi, proses ini dinamakan “ndadi “(trance atau possessed). Tetapi Jathilan berkembang ke arah lain. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku penari yang setelah mengalami ndadi
30 Jurnal Gemawisata
bukan hanya gabah, rumput, dan air saja (makanan kuda) tetapi beling atau pecahan kaca dan bahkan mengupas buah kelapa dengan giginya. Jathilan telah berubah menjadi tontonan sekuler yang menonjolkan perbuatan–perbuatan supranatural (magis) yang dilakukan dalam keadakan ndadi. Perkembangan selanjutnya, Jathilan menjadi semacam tari perang, menggambarkan kesatria yang menunggang kuda. Klimaks dari pertunjukan ini bukan adegan ndadi tetapi pada adegan perang-perangan. Sudah barang tentu tari yang semacam ini di samping memiliki nilai estitika yang sudah digarap oleh koreografer juga memiliki nilai ekonomis yang dapat digelar di acara-acara tertentu dan bisa mendatangkan uang, juga bisa menjadi daya tarik dan identitas destinasi wisata yang menampilkan seni Jathilan. Untuk kepentingan praktisi dan memenuhi selera penonton, Jathilan dapat dimeriahkan dengan kesenian Barongan, yang dilaksanakan di Jepara dan Blora. Dalam hal pakaian Jathilan menggunakan pakaian populer, misalnya menggunakan kacamata hitam sehingga kelihatan gagah dan “mriyayeni”. Merupakan salah satu bukti adanya penyesuaian dengan perkembangan zaman. Akan tetapi ada beberapa daerah yang masih menggunakan pertunjukan Jathilan untuk mengiringi temanten seperti cerita Panji. Pembinaan kesenian Jathilan di Destinasi wisata Curug Sewu. Curug Sewu merupakan wisata alam yang cukup indah berupa air terjun, terletak di kecamatan Patean, kabupaten Kendal, wilayah Kendal bagian selatan berada di sela-sela pegunungan Sukorejo. Untuk menunjang kegiatan pariwisata wisata alam itu juga ditunjang paket wisata. Paket wisata selain berupa tempat penginapan / hotel, restoran / tempat makan dan minum, juga hiburan. Salah satu paket wisata hiburan yang sering dipertunjukan adalah Jathilan /Jaran Kepang. Kesenian Jathilan / Jaran Kepang itu memang dirasakan perlu mendapat perhatian dari instansi–instansi pemerintah maupun swasta. Pembinaan kesenian tradisional termasuk Jathilan secara umum meliputi : 1. Pembinaan bimbingan dalam bidang organisasi 2. Pemberian bimbingan bidang tekhnis 3. Menyediakan kesempatan dalam bentuk media-media pentas baik pentas apresiasi seni, festival, maupun lomba. 4. Pemberian bantuan anggaran. Tujuan dari pembinaan bidang organisai adalah agar keberadaan seni itu terdaftar sebagai aturan yang berlaku.Selain itu, organisasi merupakan wadah yang penting untuk pembinaan dan pengembangan seni selanjutnya. Bimbingan bidang tekhnis diarahkan pada peningkatan mutu seni. Sudah banyak diketahui bahwa seni Jathilan ini telah banyak mengalami perubahan dari pada pertunjukan aslinya. Unsur seni, baik tari maupun iringannya telah dikembangkan mendekati segi tradisi. Jumlah personil bisa diperbanyak atau dikurangi sesuai dengan yang dikehendaki penonton atau wisatawan. Dengan adanya perkembangan dalam hal kostum, tarian, instrumen pengiringnya dan assesories yang dikenakan Jathilan diharapkan akan lebih menarik untuk menjadi atraksi wisata. Hingga saat ini jumlah grup-grup Jathilan atau Jaran Kepang di wilayah Kendal terus berkembang. Anggotanya sebagian
31 Jurnal Gemawisata
besar para remaja. Jadi ada regenerasi. Grup-grup ini tumbuh hampir di seluruh kabupaten Kendal. Jathilan ini telah menjadi duta seni sampai tingkat Jawa Tengah, Nasional, bahkan ke luar negeri. Pernah dibawakan mahasiswamahasiswa STIEPARI Semarang di Korat Thailand pada tanggal 20 Januari 2016 sebagai duta budaya dalam acara festival kesenian. Penyediaan media untuk pentas merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan grup kesenian. Tanpa adanya kesempatan pentas, maka semangat berlatih dari grup-grup menjadi menurun yang pada gilirannya akan bubar. Dalam hal ini dengan adanya kesenian Jathilan yang dipentaskan di Curug Sewu akan mendukung kedua duanya, kesenian Jathilan tetap ada dan dilestarikan, bersamaan dengan itu kepawisataanpun tetap berkembang dengan baik. SIMPULAN Simpulan Pembahasan kesenian tradisional Jathilan akan membuka wawasan bahwa keberadaan seni yang berkembang dalam masyarakat menjadi tanggung jawab bersama berbagai pihak. Kesenian tradisional Jathilan tetap bertahan dengan berbagai upaya adaptasi dengan perkembangan zaman. Kelangsungan kesenian tradisional dipengaruhi oleh pendukungnya dan pencinta seni maupun penikmat seni baik dari kalangan masyarakat, seniman, pemuka adat, tokoh agama serta Dinas pemerintah terkait, maupun swasta dan akan memperkuat tetap adanya kesenian Jathilan yang berperan sebagai daya tarik dalam mengembangkan pariwisata di Kendal. Saran Kesenian tradisional Jahtilan seyogyanya tetap dipelihara dan dilestarikan oleh masyarakat dengan harapan kesenian Jathilan ini dapat dikenal dan dipelajari masyarakat secara luas serta mampu bertahan di tengah derasnya era globalisasi dan masuknya kesenian asing. Dan yang paling penting kesenian ini dapat dikemas sedemikian rupa sehingga menarik minat wisatawan untuk menyaksikan dan menikmatinya, tanpa mengubah makna dan arti bagi masyarakat setempat, bahkan dapat mendorong masyarakat melestarikan seni tradisi Jathilan dengan kemasan yang menarik, baik wisatawan maupun anak cucu masyarakat setempat, yang akhirnya dapat mendatangkan makin banyak wisatawan ke Kendal dan mengenalkan kesenian Jathilan atau Jaran Kepang kemasyarakat maupun dunia internasional. DAFTAR PUSTAKA Koentjaraningrat. 2010. Kebudayaan Jawa. Seri etnografi Indonesia no 2. Jakarta : PN Balai Pustaka. Pitana, I Gde dan Dianta, LK. Surya. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Semarang : Yayasan Sekar Jagat. Pitana, I Gde dan Gayatri, putu G. 2005. Sosologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi.
32 Jurnal Gemawisata
Redfield, Robert. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: Rajawali Press. Sairin. 1995. Metode penelitan Kualitatif. Jogjakarta : Pusat Penelitan Kependudukan UGM. Setyowati, Edy. 1979. Tari. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya. Soedarsono. 1986. Kesenian bahasa dan Folklor Jawa .Yogyakarta : Dirjen Kebudayaan. Sutopo. HB. 1990. Kritik Seni sebagai Pendekatan Kualitatif. Surakarta : Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Penelitian Kualitatif Humaniora dan Sosial di Universitas Sebelas Maret Surakarta, 28-29= Desember 1990.
33 Jurnal Gemawisata