PERANAN KEANEKARAGAMAN HAYATI ARTROPODA SEBAGAI MUSUH ALAMI PA DA EKOSISTEM PADI SAWAH Yusniar Lubis Dosen Kopertis Wilayah I Medan dpk Fakultas Pertanian Universitas Medan Area – Medan ABSTRAK Dalam ekosistem padi sawah terdapat berbagai jenis artropoda. Pada umumnya artropoda terdiri dari phytophagous, parasitoid, predator dan patogen. Musuh alami berperan dalam keseimbangan hayati sehingga dapat mencegah atau mengurangi meningkatnya populasi hama. Hama utama tanaman padi antara lain wereng dan penggerek batang. Keanekaragaman hayati artropoda khususnya agensia hayati sebelum pengendalian hama terpadu (PHT), khususnya di daerah pelaksanaan PHT lebih sederhana (sedikit) dibandingkan dengan sesudah PHT. Sebelum pelaksanaan PHT, musuh alami tidak mampu menurunkan populasi hama utama padi, karena populasinya rendah akibat perlakuan insektisida yang tidak bijaksana. Sebaliknya setelah pelaksanaan PHT mampu menurunkan populasi musuh alami. Musuh alami utama wereng antara lain, Lycosa pseudoannulata Boesenberg, Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis Reuter., sebagai predatornya sedangkan Oligosita sp., Anagrus sp., dan Gonatocerus sp. sebagai parasitoid. Patogen yang efektif terhadap wereng antara lain Hirsutella citriformis dan Metarrhizium anisopliae. Musuh alami penggerek batang padi antara lain: Trichogramma japonicum Ashm., Telenomus rowani Gah., dan Tetrastichus schoenobii Ferr. Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan populasi hama ditinjau dari laju pertumbuhan musuh alami dan kemampuan memangsa atau memarasit. Untuk meningkatkan dan mempertahankan musuh alami dapat dilakukan pelestarian musuh alami melalui inang alternatif, pengelolaan gulma dan sisa tanaman, penggunaan pestisida secara bijaksana dan penyediaan makanan buatan. Kata kunci: Keanekaragaman hayati, Musuh alami, Hama, Padi sawah
PENDAHULUAN Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Hasil penelitian mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC). Predator WBC umumnya polifag, akan memangsa berbagai jenis serangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan merupakan komunitas yang beranekaragam (Untung, 1992). Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai keadaan yang stabil, yaitu apabila interaksi antar komponen dapat dikelola secara tepat. Untuk mempertahankan ekosistem 18persawahan yang stabil maka konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dapat
diterapkan. PHT mendapatkan efisiensi pengendalian yaitu mengurangi insektisida dan memanfaatkan metode non kimia. Di persawahan, musuh alami jelas berfungsi, sehingga akan terjadi keseimbangan biologis (Baehaki, 1991). Keseimbangan biologis ini kadang-kadang tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan insektisida. Salah satu komponen PHT adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Taktik pengelolaan hama melibatkan musuh alami untuk mendapatkan penurunan status hama disebut pengendalian hayati (Pedigo, 1999). Pemanfaatan musuh alami tidak menimbulkan pencemaran, dari segi
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)
ekologi tetap lestari dan untuk jangka panjang relatif murah. Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami atau secara biologis adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja. Pengendalian biologi merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu: 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang digunakan sudah tersedia di alam, 3) organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, 4) dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya (Van Emden, 1976 dalam Laba, 2001). Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu: 1) pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia, 2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian hayati dengan campur tangan manusia (Sosromarsono, 1993). Terdapat 79 jenis musuh alami WBC di antaranya 34 parasitoid, 37 predator dan 8 patogen (Chiu, 1979 dalam Laba, 2001). Musuh alami yang potensial untuk penggerek batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP yaitu: Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm. Sampai saat ini telah diketahui 36 spesies jamur patogen serangga (JPS) pada tanaman padi (Carruthers and Hural, 1990 dalam Laba, 2001). Di antara patogen tersebut Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Keberadaan musuh alami hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan populasi hama tersebut. Parasitoid dan predator mampu menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta menurunkan ketahanan hama terhadap
predator, parasitoid, dan patogen lainnya (Wardojo, 1986).
POTENSI MUSUH ALAMI Musuh alami hama-hama tanaman padi adalah salah satu komponen dalam PHT. Hama padi yang sering menimbulkan kerusakan adalah WBC, PBP, Tikus, dan Ganjur. Pada kesempatan ini akan diuraikan potensi musuh alami WBC dan PBP. Musuh Alami WBC Parasitoid WBC yang sering dijumpai di lapang adalah Anagrus sp. (Hymenoptera; Mymaridae), Gonatocerus sp. (Hymenoptera; Mymaridae), dan Oligosita sp. (Hymenoptera; Trichogrammatidae). Anagrus sp. adalah parasitoid telur WBC dan wereng hijau. Beberapa jenis Anagrus sp. di Asia adalah A. incarnatus Holiday, A. japanicus Sahad, A. nigriventris Giraulti, A. flaveolus Waterhouse, A. frequens Perkins, A. hirashinae Sahad, A. subfuscus Forster, A. optabilis Perkins, A. paniciculae Sahad dan A. preforator Perkins (Sahad and Hirashima, 1984). Anagrus sp. yang dominan di Indonesia adalah A. optabilis dan A. flaveolus. Perilaku parasitoid di lapangan sangat menentukan keefektifannya dalam menurunkan populasi WBC. Kemampuan Anagrus sp., memparasit telur WBC mencapai 38% pada tanaman padi dan 36-64% terhadap WBC yang berada pada rumput-rumputan lainnya. Siklus hidup Anagrus sp. 11-13 hari. Oligosita sp. adalah parasitoid telur wereng batang dan wereng daun. Ada dua jenis Oligosita sp. yaitu Oligosita aesopi Girault dan Oligosita neas Girault. Siklus hidup Oligosita sp. 11-12 hari. Kemampuan Oligosita sp. memparasit telur WBC berkisar antara 10,5-37,2% (Diani, Atmaja, Kusdiaman, Supriyadi, 1992). Gonatocerus sp. juga parasitoid telur wereng batang dan wereng daun. Beberapa spesies dari Gonatocerus sp. di Asia adalah: G. decvivitatakus, G. lotoralis, G. narayani, G. fukuokensis, G. sulfuripes, G. ulterdecomes, G. mumarus, G. 19 cicadellae, G. miurae dan G.
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005: 16-24
cincticipitis (Sahad and Hirashima, 1984). Gonatocerus sp. mampu memparasit telur WBC berkisar antara 1,16-6,04%, wereng hijau 34,08% dan wereng punggung putih 7,05% (Baehaki, 1991). Jika dibandingkan dengan wereng, kemampuan parasitoid berkembang biak lebih sedikit, tetapi umur (siklus hidup lebih pendek), sehingga populasi parasitoid dapat mengimbangi wereng dan sekaligus kemampuan parasitoid memparasit wereng (Tabel 1).
20
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)
Tabel 1. Aspek Biologi dan Potensi Parasitoid Telur Wereng No.
Jenis Wereng
Wereng batang coklat
1 2
Wereng hijau
3
Siklus hidup (hari)
Parasitoid
Siklus hidup (hari)
Kemampuan memparasit (%) WBC
30
Anagrus sp.
11-13
36-64
30
Oligosita sp.
11-12
10.5-37.2
30
Gonatocerus sp.
11-17
1.16-6.04
Wereng punggung putih Sumber: Diani et al., (1992).
WH 37.14
WPP 32.15
34.08
7.05
Tabel 2. Aspek Biologi dan Potensi L. pseudoannulata dan Ophionea sp. terhadap WBC No 1
Jenis predator L. pseudoannulata
2 Ophionea sp. Sumber: Kartohardjono et al., (1989).
Siklus hidup predator (hari)
Siklus hidup WBC (hari)
Kemampuan memangsa/hari
90-120
30
4
30
30
2.72
Banyak jenis predator yang memangsa wereng, tetapi hanya beberapa yang mempunyai potensi menurunkan populasi wereng yaitu Lycosa pseudoannulata (Araneida; Lycosidae), Paederus sp. (Coleoptera; Coccinellidae), Ophionea sp. (Coleoptera; Carabidae), Coccinella sp. (Coleoptera; Coccinellidae), dan Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera; Miridae). L. pseudoannulata mempunyai sifat kanibal bila tidak ada mangsa. Mencari mangsa pada malam hari serta berpindah sangat cepat. Siklus hidup L. pseudoannulata 3-4 bulan. L. pseudoannulata memangsa penggerek batang, wereng. Kemampuan memangsa 4 WBC/hari (Kartohardjono et al., 1989). Ophionea sp. memangsa 2,73 WBC/ hari, sedangkan kombinasi dari 2 Paederus sp. + 1 Ophionea sp. mampu memangsa 7 WBC/ hari. Kedua predator tersebut mampu menurunkan populasi wereng sehingga dapat berperan sebagai musuh alami yang potensial (Tabel 2). Paederus fuscifes Curt mencari mangsa malam hari dan lebih banyak memangsa pada stadia awal, karena wereng pada stadia awal ukurannya lebih kecil dan belum aktif bergerak sehingga lebih mudah dimangsa. Kemampuan memangsa rata-rata 4,9 WBC/hari (Laba dan Kilin, 1994). Siklus hidup P. fuscifes dari telur sampai menjadi serangga dewasa memerlukan waktu 20,98 hari. Lama hidup serangga dewasa rata-rata 80,53 hari.
Kemampuan bertelur 101-109 butir, sedangkan persentase menjadi serangga dewasa adalah 48,10%. Laju pertumbuhan intrinsik (r) adalah 0,06. Berdasarkan nilai r dapat ditentukan populasi pada waktu t dengan rumus: Nt = Noert menjadi Nt = Noe0.06t dengan keterangan No= populasi awal; e = bilangan alami (2,72) dan r = 0,06. Persamaan di atas menunjukkan bahwa seekor serangga betina menghasilkan keturunan 6 pasang selama satu bulan dan 41 pasang selama 2 bulan. Laju pertumbuhan WBC; WPP dan WH masingmasing 0,1; 0,04 dan 0,17 (Baehaki, 1984). Lama hidup serangga dewasa WBC; WPP dan WH berkisar antara 20-30 hari. Kemampuan bertelur berkisar antara 270902 butir untuk WBC, 200-300 butir untuk WH dan 600 butir untuk WPP. Persentase penetasan dan menjadi serangga dewasa 50%. Cyrtorhinus lividipennis Reuter adalah salah satu predator wereng yang sangat efektif dan tersebar di Asia Tenggara, Australia, dan pulau-pulau di daerah Pasifik. Kepik C. lividipennis bersifat polyphag, karena dapat memangsa beberapa jenis wereng. Stadium nimfa dan dewasa dapat memangsa wereng, khususnya stadia telur wereng. Seekor kepik dapat memangsa 4,1 telur/hari. Siklus hidup C. lividipennis berkisar antara 21,1-24 hari. Lama hidup serangga dewasa berkisar antara 21-25 hari. Satu ekor kepik mampu bertelur 146 butir (Manti et al., 1982). Peluang hidup menjadi 21 serangga dewasa adalah 17%. Laju
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005: 16-24
pertumbuhan intrinsik 0,11 sehingga seekor sreangga betina dapat menghasilkan persamaan pertumbuhan populasi keturunan 25 pasang selama satu bulan eksponensial menjadi Nt = Noe0,11t artinya dan 652 pasang selama dua bulan. Tabel 3. Aspek Biologi dan Potensi Predator P. fuscifes, C. lividipennis dan V. Lineata No
Jenis predator
1
P. fuscifes
2
C. lividipennis
Siklus hidup predator (hari)
Lama hidup serangga dewasa (hari)
Siklus hidup WBC (hari)
Kemampuan memangsa WBC/hari
20.98
80.53
30
4.9
21.1-24
21-25
30
4.1 telur
29
101.4-106.2
30
2.83
V. lineata 3 Sumber: Laba dan Kilin, (1994).
Verenia lineata Thumb. adalah serangga yang banyak dijumpai pada tanaman padi. Serangga ini bersifat polyphagous dan banyak terdapat di sekitar bunga, padi dan, jagung, namun banyak memakan serangga. Mangsa utama V. lineata adalah wereng batang dan wereng daun. Siklus hidup V. lineata dari telur sampai menjadi dewasa ialah 29 hari. Lama hidup serangga dewasa berkisar antara 101,4-106,2 hari. Persentase penetasan telur 91,99%, sedangkan persentase menjadi serangga dewasa 48,75%. Kemampuan V. lineata memangsa adalah 2,83 WBC/hari. Laju pertumbuhan intrinsik (r) V. lineata adalah 0,06, sehingga persamaan pertumbuhan populasi eksponensial menjadi Nt = Noe0,06t, artinya seekor serangga betina dapat menghasilkan keturunan 5,35 pasang selama satu bulan dan 41 pasang dalam waktu 2 bulan (Laba, 1998). Berdasarkan kemampuan memangsa, siklus hidup, laju pertumbuhan, populasi, dan umur serangga dewasa, maka ketiga predator tersebut di atas dapat menurunkan populasi wereng (Tabel 3 ). Nilai r P. fuscifes dan V. lineata lebih rendah dibandingkan dengan N. virescens dan N. lugens, tetapi lebih tinggi dibandingkan S. furcifera. Di samping itu lama hidup serangga dewasa kedua predator lebih lama dibandingkan wereng sehingga diharapkan mampu mengatasi tingkat serangan wereng. Patogen serangga adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. Mikroorganisme yang berperan sebagai patogen pada serangga adalah cendawan virus, bakteri, 22 protozoa, dan riketsiae (Santoso, 1993). Patogen yang menyerang hama utama
padi khususnya WBC antara lain dari golongan cendawan yaitu: Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae dan Hirsutella citriformis. Keberadaan jamur patogen serangga di dalam populasi hama berperan sangat penting dalam menentukan tingkat populasi hama tersebut. Kematian WBC sebesar 90% akibat aplikasi suspensi miselia Hirsutella citriformis dengan konsentrasi 0.02 g miselia/ml (dosis aplikasi 30 ml/aplikasi (Priyatno et al., 1992). Metarrhizium anisopliae dapat menurunkan populasi wereng coklat sampai 66% dengan konsentrasi 1010 1015 spora/ha (Baehaki dan Noviyanti, 1993). Musuh Alami PBP Musuh alami PBP yang paling potensial adalah parasitoid telur. Ada tiga jenis paraistoid telur PBP yaitu Tetrastichus schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm. Kemampuan ketiga parasitoid tersebut untuk menurunkan populasi PBP bervariasi, tergantung dari tempat dan lingkungannya. T. schoenobii mempunyai peranan paling besar dalam menurunkan populasi PBP, sedang T. rowani dan T. japonicum peranannya bergantian. Daur hidup T. japonicum berkisar antara 7-9 hari. Kemampuan bertelur ratarata 38,60 butir. Kemampuan T. japonicum memparasit telur PBP adalah 31,40 telur dengan kepadatan inang 187,6 telur (59,6%) (Laba et al., 1997). Daur hidup T. rowani berkisar antara 10-12 hari. Kemampuan bertelur-rata-rata 64,47 butir. Keperidian T. rowani adalah 49 ekor. Kemampuan memparasit telur PBP adalah 30,4 telur dengan kepadatan inang 181,2 et al., 1997; Laba, telur (59,5%) (Laba 1998). Daur hidup T. schoenobii berkisar
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)
hari, tertarik cahaya dan mempunyai daya antara 11-14 hari. Keperidian T. schoenobii terbang yang kuat. Seekor ngengat PBP adalah 65 ekor. Kemampuan memparasit mampu bertelur 100-600 butir (Soejitno, telur PBP adalah 60-98% (Nurbaeti et al., 1991). Stadium telur 4-5 hari. 1992). PBP adalah inang parasitoid tersebut di atas. Ngengat PBP aktif pada malam Tabel 4. Aspek Biologi dan Potensi T. schoenobii, T. rowani dan T. japonicum sebagai musuh alami PBP No
Jenis parasitoid
Siklus hidup (hari)
Lama hidup serangga dewasa (hari)
Tingkat Parasitisasi (%)
1
T. schoenobii
11-14
6
60-98
2
T. rowani
10-12
4
59.5
4
59.6
3 T. japonicum 7-9 Sumber: Nurbaeti et al. (1992); Laba (1998).
Tabel 5. Komposisi Spesies dalam Keanekaragaman Hayati Ekosistem Sawah di Indonesia Detrivora dan pemakan plankton
Herbivora
145
127 (17%)
(19%) Sumber: Settle et al. (1996).
Jumlah spesies Parasitoid
Predator
Total
187
306
765
(24%)
(40%)
(100%)
Tabel 6. Penggunaan Pestisida (kg atau l/ha) di Lima Provinsi No
Provinsi
Insektisida butiran SLPHT Non SLPHT
Insektisida cairan SLPHT Non SLPHT
1
Sumatera Utara
1.7
2.1
1.2
2.6
2
Jawa Barat
4.2
7.3
0.9
1.2
3
Jawa Tengah
9.1
14.0
1.8
1.5
4
Jawa Timur
6.5
9.0
4.3
2.6
4.7
0.6
3.3
1.6
5 Sulawesi Selatan Sumber: Darmawan dan Yusdji (1992)
Jumlah telur yang berhasil menetas menjadi larva 75%. Keberhasilan hidup dari larva menjadi serangga dewasa berkisar antara 10-58%, dan sangat tergantung keadaan lingkungan sekitarnya (Kalshoven, 1981). Ketiga parasitoid tersebut mampu menurunkan populasi PBP, sehingga peluang pemanfaatannya sebagai agen pengendali PBP cukup besar (Tabel 4).
KEANEKARAGAMAN ARTROPODA PADA EKOSISTEM PADI SAWAH
HAYATI
Ekosistem padi sawah, subur bahan organik, dan tidak tercemar oleh pestisida, kaya keanekaragaman hayati. Ekosistem padi sawah mengandung 765 spesies serangga dan artropoda kerabatnya. Keanekaragaman hayati tersebut terdiri
dari kelompok detrivora dan pemakan plankton (larva Culicidae dan Chironomidae), herbivora (termasuk serangga hama), parasitoid dan predator (Tabel 5). Tanaman padi yang dibudidayakan tanpa pestisida dapat memberikan hasil relatif tinggi (Untung, 1992). Dikemukakan pula bahwa tanpa pestisida, biodiversitas ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama. Pada umumnya petani mengatasi serangan hama dilakukan dengan tujuan pengendalian hama saja, tanpa memperhatikan keanekaragaman hayati pada ekosistem pertaniannya. Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai program 23 pengendalian hama berwawasan
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005: 16-24
lingkungan dan berkelanjutan dapat dilakukan melalui konsep PHT. Teknologi PHT dapat diharapkan stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat terwujud. Dampak implementasi PHT dapat dilihat secara jelas melalui penggunaan pestisida. Petani yang sudah SLPHT menggunakan pestisida lebih sedikit dibandingkan petani non SLPHT (Tabel 6). Untuk daerah tertentu khususnya Sulawesi Selatan, penggunaan insektisida lebih tinggi pada petani SLPHT, hal ini disebabkan karena serangan hama penggerek batang di Sulawesi Selatan lebih dominan dibandingkan WBC, oleh sebab itu penggunaan insektisida butiran lebih tinggi. Insektisida butiran bersifat sistemik dan efektif terhadap hama sasaran seperti PBP. Untuk insektisida cairan daerah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan lebih tinggi, hal ini kemungkinan terjadi outbreak hama selain PBP. Pengurangan atau tanpa penggunaan pestisida dapat meningkatkan keanekaragaman hayati serangga dan peranan musuh alami. Jenis dan populasi artropoda dipengaruhi oleh pestisida. Pada pertanian yang tidak diaplikasi dengan pestisida, jenis dan populasi artropoda lebih banyak daripada aplikasi pestisida. Kasus tersebut berlaku pada tanam serempak atau tanam tidak serempak (Tabel 7). Tabel 7. Populasi Artropoda pada Tanam Serempak, Tidak Serempak, Tanpa Pestisida dan dengan Pestisida No
1
Perlakuan
Tidak serempak
1522
1200
Tanpa 1949 pestisida Sumber : Arifin et al., 1997
1373
2
Pestisida
Sistem tanam Serempak
Hasil pengamatan Arifin et al. (1997) pada ekosistem lahan sawah irigasi berpola tanam padi-padi-padi, tanpa perlakuan insektisida menunjukkan bahwa jenis musuh alami lebih banyak dibandingkan hama. Jenis musuh alami berjumlah 29, hama 16 jenis dan 11 jenis non status pada luas areal 24 1 ha (Tabel 8).
Budidaya padi tanpa pestisida dapat menstabilkan populasi artropoda dan memberikan hasil yang relatif sama dengan pendapatan yang lebih tinggi daripada budidaya dengan pestisida. Stabilitas populasi artropoda berkaitan erat dengan indeks diversitas jenis artropoda dalam ekosistem. Indeks diversitas jenis artropoda dalam ekosistem padi tanpa pestisida relatif tinggi dengan jenis yang relatif lebih banyak, ukuran populasinya relatif rendah. Ekosistem yang memiliki indeks diversitas yang tinggi mendorong terjadinya populasi yang stabil. Keanekaragaman hayati serangga khususnya WBC dan PBP sebelum pelaksanaan PHT relatif lebih tinggi dibandingkan setelah pelaksanaan PHT. Hal ini karena penggunaan pestisida setelah PHT menurun, sehingga memberi kesempatan lebih baik bagi parasitoid dan predator untuk berkembang biak. Tingkat serangan WBC sejak tahun 1968 s/d 1989 berkisar antara 17.238-713.185 ha, sedangkan tingkat serangan sejak 1990 s/d 1999 berkisar antara 2.112-84.491 ha. Tingkat serangan PBP sejak tahun 1980 s/d 1989 berkisar antara 54.441-276.460 ha, sedangkan tingkat serangan sejak 1990 s/d 1999 berkisar antara 21,746-94,744 ha. Persentase penurunan serangan WBC adalah 94,4% dan PBP adalah 31,9% (BPS, 1970 – 1999). Penurunan tingkat serangan WBC dan PBP disebabkan karena kesadaran petani dalam menerapkan konsep PHT, sehingga penggunaan pestisida berkurang. Hal ini menyebabkan keanekaragaman hayati serangga pada ekosistem padi sawah meningkat dan ekosistem padi sawah lebih stabil.
MASALAH DAN PROSPEK PEMANFAATAN MUSUH ALAMI Belajar dari pengalaman, dalam menanggulangi masalah serangga hama selama ini perlu mengembangkan pendekatan, strategi, dan teknologi pengelolaan yang berdampak negatif minimal bagi kesehatan dan lingkungan. Strategi pengelolaan hama khususnya pada ekosistem padi sawah dapat menerapkan konsepsi PHT dengan memperhatikan pemahaman agroekosistem, memaksimumkan
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)
keefektifan pengendalian alami dan pengendalian cara bercocok tanam serta meminimumkan masukan eksternal agroekosistem dalam pengendalian hama. Salah satu prinsip PHT adalah pemantauan dan evaluasi ekosistem agar keberadaan dan peranan musuh alami sebagai faktor pengendali alamiah populasi hama dapat diberdayakan. Untuk itu diperlukan suatu sistem operasi pemantauan dan evaluasi
ekosistem agar diperoleh informasi untuk mengambil keputusan perlu atau tidaknya tindakan pengendalian. idealnya sistem operasi tersebut dilaksanakan oleh petani. Jumlah petani yang sudah mendapat SLPHT adalah 1.000.000 orang atau 5,25% dari jumlah kepala keluarga petani yang diperkirakan 19 juta KK.
Tabel 8. Jenis-jenis Artropoda dan Statusnya pada Ekosistem Lahan Sawah Irigasi Berpola Tanam Padi-padi tanpa Pestisida. Pemalang MT. Padi I. 1995/1996 No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46.
Jenis Artropoda Agriocnemis femina Aagriocnemis pygmaea Amauromorpha metathoracica Apanteles sp. Araneus inustus Argiope catenulata Argyrophylax nigrotibialis Atherigona exigua Atypena formosana Audinetia spinideris Ceratia similis Charops brachypterum Cnaphalocrosis medinalis Cletus bipunctatus Conocephalus longipennis Culex sp. Cyrtorhinus lividipennis Dacus umbrosus Empoasca sp. Gonesta bicolor Harmonia octomaculata Hispa armigera Holtica brevicosta Hydrellia philippina Leptocorisa acuta Leptocorisa oratorius Lycosa pseudoannulata Macrocentrus philippinensis Metioche vittaticollis Nephotettix nigropictus Nephotettix virescens Nezara viridula Nilaparvata lugens Nycius sp. Ophionea nigrofasciata Oxya chinensis Oxya javanica Oxyopes javanus Oxyopes lineatipes Paederus cruenticollis Paederus fuscipes Paederus rufens Phidippus sp. Piezodorus hybneri Pipunculus mutillatus Sogotella fucifera
Familia
Ordo
Status
Coenagrionidae Coenagrionidae Ichneumonidae
Odonata Odonata Hymenoptera
Predator Predator Parasitoid
Braconidae Araneidae Araneidae Tachinidae Agromyzidae Linypiidae Pentatomidae Galerucidae Ichneumonidae Pyralidae Pentatomidae Tettigonidae Culicidae Miridae Tephritidae Jassidae Acrididae Coccinelidae ? Halticidae Ephyridae Coreidae Coreidae Lycosidae Braconidae Gryllidae Cicadelidae Cicadellidae Pentatomidae Delphacidae Jassidae Carabidae Acrididae Acrididae Oxyopidae Oxyopidae Staphylinidae Staphylinidae Staphylinidae Saltidae Pentatomidae Pipunculidae Delphacidae
Hymenoptera Araneae Araneae Diptera Diptera Araneae Hemiptera Coleoptera Hymenoptera Lepidoptera Hemiptera Orthoptera Diptera Hemiptera Diptera Homoptera Orthoptera Coleoptera Coleoptera Coleoptera Diptera Hemiptera Hemiptera Araneae Hymenoptera Orthoptera Homoptera Homoptera Hemiptera Homoptera Homoptera Coleoptera Orthoptera Orthoptera Araneae Araneae Coleoptera Coleoptera Coleoptera Araneae Hemiptera Diptera Homoptera
Parasitoid Predator Predator Parasitoid Hama Predator Parasitoid Hama Predator Predator Predator Hama Hama Hama Hama Predator Parasitoid Predator Hama Hama Hama Hama Predator Hama Hama Predator Predator Predator Predator Predator Predator Hama Parasitoid Hama
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005: 16-24
25
47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Scipina horida Scirphophaga incertulas Scotinophaga vermiculata Stephanitis typicus Telenomus rowani Tetragnatha maxillosa Tetrastichus schoenobii Tomosvaryella subvirescens Verenia lineata Xanthopimpla flavolineata
Reduviidae Pyralidae Pentatomindae Tingitidae Scelionidae Tetragnathidae Eulophidae Pipuncullidae Coccinellidae Ichneumonidae
Heteroptera Lepidoptera Hemiptera Homoptera Hymenoptera Araneae Hymenoptera Diptera Coleoptera Hymenoptera
Hama Hama Parasitoid Predator Parasitoid Parasitoid Predator Parasitoid
Sumber: Arifin et al, (1997)
Angka tersebut diharapkan dapat meneruskan ke petani lainnya, sehingga pemantauan dan evaluasi ekosistem dapat dilakukan oleh petani (Kusmayadi, 1999; Oka, 1995). Musuh alami adalah salah satu komponen PHT. Tantangan yang dihadapi adalah usaha untuk melindungi, mengembangkan serta meningkatkan efisiensi dan aktivitas musuh alami sehingga peranannya semakin nyata. Untuk meningkatkan populasi musuh alami di lapang, bisa diusahakan melalui perbanyakan masal, tetapi baru bisa diperbanyak beberapa jenis musuh alami. Masalahnya ialah biaya dan teknik pelepasan agar musuh alami berperan maksimal. Dalam menerapkan konsep PHT, musuh alami memegang peranan penting. Peranan musuh alami akan dapat ditingkatkan jika komponen lain turut mendukung, terutama varietas tahan. Selain perbanyakan masal peningkatan populasi musuh alami dapat dilakukan melalui pelestarian musuh alami, dengan memanfaatkan tanaman alternatif atau inang alternatif, gulma, atau pemanfaatan makanan buatan dan mengurangi penggunaan pestisida. Prospek pemanfaatan beberapa jenis musuh alami sudah jelas, dapat ditingkatkan peranannya melalui pelestarian, khususnya parasitoid dan predator. Masalahnya sekarang adalah bagaimana penerapan oleh petani di lapang. Hal ini memerlukan penyuluhan atau pelatihan petugas pertanian melalui instansi terkait yang akhirnya dapat dilakukan oleh petani. Untuk mendukung program PHT secara menyeluruh tetap diperlukan penelitian dan pengembangan musuh alami sampai tingkat petani. Penelitian akan memperkaya pengetahuan 26 dan memberikan efek umpan balik positif, karena akan memberikan peluang cara
mempertinggi efisiensi pemanfaatan musuh alami. Ekosistem pertanian adalah interaksi antara tanah, tanaman, dan binatang pada waktu dan ruang yang sama. Komunitas sawah merupakan komunitas beranekaragam. Apabila interaksi antar komponen dapat dikelola secara tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan. Di samping itu peluang yang dapat mendukung untuk mencapai kestabilan ekosistem adalah keberhasilan PHT dengan ribuan PPL, PHP, dan petani yang sudah terlatih merupakan modal utama untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan.
KESIMPULAN Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah dan turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai pengendalian hama yang ramah lingkungan dan menuju pertanian berkelanjutan. Potensi berbagai jenis musuh alami khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan penggerek batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan agen hayati untuk pengendalian hama utama tanaman padi. Konsep PHT adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari keanekaragaman hayati serangga sesudah PHT lebih komplek dibandingkan sebelum PHT.
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)
Entomologi Indonesia Bogor, 16 Februari 1999.
DAFTAR PUSTAKA Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai Teknik Budidaya Padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2). Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh Alami Mengendalikan Wereng Coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. Baehaki, S.E. dan Noviyanti. 1993. Pengaruh Umur Biakan Metarrhizium Anisopliae Strain Lokal Sukamandi terhadap Perkembangan Wereng Coklat. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Kerjasama PEI Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian UGM dan Program Nasional PHT/BAPPENAS. Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Darmawan, D. dan Y. Yusdja. 1992. Efisiensi Biaya Pestisida pada Tanaman Padi dengan Program Pengendalian Hama Terpadu, hlm. 1007-1022 dalam M. Syam et al. (red). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Diani, D., W.R. Atmadja, D. Kusdiaman dan Supriyadi. 1992. Komposisi Parasitoid pada Telur Wereng (Nilaparvata lugens Stal.). Makalah disampaikan pada Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia (Revised and translated by P.A. Van der Laan). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1981. Kartohardjono, A., T. Teryana, W.R. Atmadja dan Nursasongko. 1989. Peranan Predator Cyrtorhinus sp. dalam Memangsa Wereng Coklat pada Tanaman Padi. Edisi Khusus No. 2. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Kusmayadi, A. 1999. Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perhimpunan
Cabang
Laba, I.W. 1998. Intrinsic Rate of Natural Increase of Verenia lineata Thumb, (Coleoptera; Coccinallidae) as a Predator of Green Leafhopper, Nephotettix virescens Distant (Homoptera; Ciccadellidae). Makalah disampaikan pada Kongres Biologi XII dan Seminar XVI pada tanggal 27 Juli 2000. ______ , 2001. Keanekaragaman Hayati Artropoda dan Peranan Musuh Alami Hama Utama Padi pada Ekosistem Sawah. Makalah Falsafah Sains, Program Pascasarjana/S3, IPB, Bogor. Laba,
I.W. dan D. Kilin. 1994. Biologi Paederus fuscifes Curt. dan Kemampuannya Memangsa Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.) (4): 240-245. Dalam Machmud et al. (eds). Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Manti, I., S. Sosromarsono, M. Iman dan R.T.M. Sutamihardja. 1982. Biologi Predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter dan Predatismenya terhadap Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Penelitian Pertanian. 2(2). Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan Waluyo. 1992. Studi Peranan Musuh Alami Penggerek Batang Padi Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera; Pyralidae). Seminar Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. Pedigo, L.P. 1999. Entomology and Pest management. Lowa University. Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. Sahad,
K.A. and Y. Hirashima. 1984. Toxonomic Studies on the Genera Gonatocerus Nees and Anagrus Holiday of Japan and Adjacent Regions, with Notes on Their Biology (Hymenoptera; Mymaridae) Bull. Inst. Trop. Agr. Kyushu Univ.
Santoso, T. 1993. Dasar-dasar Patologi Serangga. Prosiding Makalah 27 Simposium Patologi Serangga I.
JURNAL PENELITIAN BIDANG ILMU PERTANIAN Volume 3, Nomor 3, Desember 2005: 16-24
Kerjasama PEI Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian UGM dan Program Nasional PHT/BAPPENAS Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Settle, W.H., H. Ariawan, E. Tri Astuti, W. Cahyono, A.L. Hakim, D. Hidayana, A. Sri Lestari and Pajarningsih. 1996. Managing Tropical Rice Pest Through Concervation of Generalist Natural Enemies and Alternative Prey. Ecology, 77(7). Sosromarsono, S. 1993. Membunuh Serangga dengan Serangga. Cerita tentang pengendalian hayati, hlm. 33-39. dalam Adisoemarto dan Soehardjan (penyunting). Berita Entomologi Vol. III (1) 1 Oktober 1993. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Untung, K. 1992. Konsep dan Strategi Pengendalian Hama Terpadu. Makalah Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992. Untung, K. dan M. Sudomo. 1997. Pengelolaan Serangga Secara Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Simposium Entomologi Indonesia, Bandung 2426 Juni 1997. Wardojo, S. 1986. Penggunaan Serangga Mandul, Patogen, Hormon dan Feromon dalam Pengelolaan Hama Tanaman. Aspek-aspek Pestisida di Indonesia. Bogor.
28
Peranan Keanekaragaman Hayati Artropoda sebagai Musuh Alami pada Ekosistem Padi Sawah (Yusniar Lubis)