PERANAN INSTITUSI DALAM MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN YANG BERKUALITAS : SEBUAH PENDEKATAN KAPABILITAS (CAPABILITY APPROACH)1 Dzulfian Syafrian2 dan Imaduddin Abdullah3
I.
LATAR BELAKANG
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi Indonesia menunjukkan tren yang cukup positif. Sejak dihantam badai krisis Asia Timur tahun 1997 yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat berada pada level -13,16 persen pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan hingga mencapai puncaknya pada tahun 2011 ketika pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5 persen. Bahkan disaat negara-negara lain di dunia sedang mengalami krisis ekonomi global yang terjadi pada periode 2008-2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada nilai positif sebesar 4,5 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun tersebut berbanding terbalik dengan negaranegara lain yang pertumbuhan ekonominya berada pada posisi negatif. Tetap positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia di saat ekonomi dunia sedang mengalami resesi membuat Indonesia menjadi salah satu negara yang dianggap sebagai penyelamat ekonomi dunia. Otaviano Canuto, Wakil Presiden Bank Dunia untuk Pengentasan Kemiskinan dan Manajemen Ekonomi menyebutkan bahwa negara-negara emerging economies menjadi penyelamat bagi ekonomi global karena mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi positif (Otaviano Canuto, 2010). Lebih dari itu, ekonomi Indonesia juga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. Dengan PDB yang mencapai 845 Miliar USD, Indonesia berada pada posisi ke-16 sebagai negara dengan PDB terbesar (IMF, 2011). Hal tersebut pulalah yang membuat Indonesia dilibatkan dalam forum negara-negara dengan ekonomi terbesar dunia (G-20). Akan tetapi kegemilangan perekonomian Indonesia tidak selamanya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Walaupun ekonomi Indonesia berada pada urutan ke-16 di dunia, namun dalam peringkat Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan oleh United Nations Development 1
Dipresentasikan dalam Human Development and Capability Approach (HDCA) Conference 2012, Jakarta: 5 September 2012 2 Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),
[email protected] 3 Institute for Development of Economics and Finance (INDEF),
[email protected]
Programme (UNDP), Indonesia selalu berada pada peringkat di atas 100 dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Walaupun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun peningkatannya tidak secepat dan semasif peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Walaupun HDI Indonesia terus mengalami pertumbuhan yang positif, namun pertumbuhan HDI Indonesia tidak sebaik pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rata-rata pertumbuhannya sejak tahun 2004 mencapai 5,7 persen. Pada laporan HDI terakhir yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat ke 124 dari total 184 negara yang dibandingkan datanya oleh UNDP. Peringkat tersebut di bawah beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Bila mengutip Perkins et al. (2007) yang membedakan pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan ekonomi pembangunan (economic development) maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang tidak disertai pembangunan ekonomi secara menyeluruh. Perkins menekankan perbedaan dari kedua istilah tersebut dimana pertumbuhan ekonomi merupakan nilai pertumbuhan dari barang dan jasa yang diproduksi sedangkan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan variabel pembangunan manusia (human development) seperti life expectancy, pendidikan, infant mortality, dan variabel lainnya. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi, Indonesia mencapai prestasi yang baik namun dalam konteks pembangunan ekonomi, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah. Tidak terlalu baiknya peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia membuat banyak kalangan yang melihat bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia kurang berkualitas. Berangkat dari hal tersebut maka analisis penyebab kurang berkualitasnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia menjadi isu yang penting untuk dibahas. Dalam makalah ini akan dianalisis permasalahan institusi yang menyebabkan munculnya permasalahan tersebut. Pentingnya mengaitkan pemasalahan institusi dengan human development disebabkan karena dalam upaya untuk meningkatkan human development diperlukan institusi yang berkualitas. Buruknya kualitas institusi akan menghambat pembangunan manusia yang pada akhirnya akan membuat human development menjadi lebih rendah. Institusi juga berfungsi sebagai mediator antara economic growth dan human development. Institusi yang tepat akan mampu mengonversi
secara efektif dan efisien sumber daya yang dihasilkan oleh economic growth menjadi pembangunan manusia yang berkelanjutan (Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico, 2008). Sejak tahun 90an, banyak kalangan menilai bahwa buruknya kualitas institusi merupakan akar dari permasalahan ekonomi di negara-negara berkembang (Ha-Joon Chang, 2010). Daron Acemoglu dan James Robinson (2004) juga menekankan pentingnya peranan dari institusi dimana level dari kesejahteraan suatu negara di dunia ditentukan oleh institusi ekonomi di negara tersebut. Berangkat dari hal tersebut, maka peran institusi dalam mempromosikan pertumbuhan yang berkualitas menjadi isu krusial yang perlu untuk dibahas. Sehingga penelitian ini mencoba untuk menjawab permasalahan institusi dalam mempromosikan pertumbuhan berkualitas. Ruang lingkup pembahasan pada makalah ini menggunakan kerangka teori/analisis yang dikembangkan
Sen (1999). Selain itu, penelitian ini
menggunakan studi kasus di Indonesia selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
II.
PEMBAHASAN
Peran Institusi Sejumlah studi mencoba menganalisis hubungan antara kualitas institusi dan sektor sosial (Baum et al. 2003). Beberapa penelitian lain juga menyimpulkan bahwa institusi memiliki kontribusi positif terhadap ekonomi suatu negara (Jones dan Hall 1999; Acemouglu et. al., 2001). Bardhan (2005) menjelaskan bahwa awal tahun 1990an sejumlah studi menunjukkan hubungan yang kuat antara institusi dan pertumbuhan. Beberapa diantaranya antara lain adalah Hall dan Jones (1999), Acemoglu et al. (2004), serta Kaufmann dan Kraay (2003) yang studinya menemukan bahwa institusi yang baik akan menstimulus pertumbuhan dan pembangunan. Acemoglu dalam sejumlah studinya selama tahun 2001 hingga 2005 juga menemukan bahwa kualitas institusi memiliki efek yang lebih penting terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Olson (1996) juga menyatakan bahwa perbedaan yang besar dari kesejahteraan suatu bangsa sebagian besar disebabkan perbedaan dalam kualitas institusinya. Dalam konteks hubungan institusi dan human development sejumlah studi menunjukkan bahwa institusi yang baik memiliki pengaruh positif terhadap pembangunan manusia. Marco Grasso dan Enzo Di Giulio menekankan bahwa institusi memainkan peranan yang penting terhadap kebebasan individu dalam mengejar target hidupnya dan akan menentukan pembangunan manusia. Secara prinsis, tingkat kebebasan akan semakin besar jika efisiensi dan efektivitas dari institusi meningkat. Tidak dapat dipungkiri bahwa institusi merupakan definisi yang sangat luas dan belum ada kesepakatan mengenai makna dari definisi institusi (Ha-Joong Chan). Sylvain Zeghni dan Nathalie Fabry (2008) dalam penelitian mengenai peranan institusi bagi ekonomi negara transisi mencoba menggunakan pisau analisis dari dua jenis institusi yaitu institusi formal dan institusi nonformal. Sedangkan Gerring dan Thacker (2001) memandang institusi dalam bentuk demokrasi sebagai elemen yang penting. Mengingat luasnya definisi institusi, maka makalah ini mencoba difokuskan pada aspek yang langsung berkaitan dengan kebijakan. Oleh sebab itu hanya peran institusi formal yang akan dianalisis. Institusi formal sendiri definisikan sebagai segala bentuk aturan main yang mengatur kehidupan bernegara yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Human Capability dan Instrumental Freedom Dalam menjelaskan permasalahan pembangunan manusia, maka akan digunakan analisis peran institusi dalam versi pendekatan Human Development Capability Approach (HDCA). Peran institusi dalam versi HDCA berbeda dengan versi The Old and New Institutionalist Economics (ONIE), walaupun kedua pendekatan memandang bahwa institusi merupakan mediator antara pertumbuhan ekonomi dengan pembangunan manusia. Bagi ONIE, institusi hanya merupakan instrumen dalam menjamin ekonomi pembangunan yang stabil dan berkelanjutan sehingga mampu diterjemahkan dalam perbaikan kualitas hidup. Di sisi lain, pendekatan HDCA menyatakan bahwa institusi bukan hanya menjadi instrumen semata tetapi juga menjadi constitutive role yang mempercepat peningkatan kapabilitas manusia. Lebih dari itu, HDCA juga lebih menekankan bahwa manusia bukan sebagai pasien tetapi sebagai agen pembangunan (Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico, 2008). Oleh sebab itu, instrumental freedom yang ditekankan oleh Amartya Sen (1999) dalam bukunya bukunya yang berjudul Development as Freedom sebagai instrumen peningkatan kapabilitas manusia akan menjadi bantalan dalam analisis peranan institusi terhadap pembangunan kualitas manusia di Indonesia. Sen dalam bukunya tersebut menekankan pentingnya freedom sebagai resep utama bagi pembangunan ekonomi. Dalam konteks tersebut, Sen menjabarkan bahwa setidaknya terdapat lima instrumen kebebasan yang memeliki peranan yang penting dalam pembangunan suatu negara. Kelima instrumen tersebut adalah political freedom, economic facilities, social opportunities, transparency guarantees, dan protective security. Berangkat dari hal tersebut, makalah ini menggunakan kelima instrumental freedoms yang telah dijabarkan oleh Sen ini sebagai kerangka teori dalam menganalisis masalah pembangunan di Indonesia dari sudut pandang institusi mengingat pentingnya peranan institusi dalam proses pembangunan. Sen lebih lanjut menjelaskan bahwa secara definitif dari masing-masing instrumental freedoms tersebut sebagai berikut. Pertama, political freedoms didefinisikan sebagai adanya kesempatan dari masyarakat untuk menentukan siapa yang memimpin, kebebasan berpolitik, jaminan akan pers yang bebas. Kedua, economic facilities yang digambarkan dengan adanya kesempatan untuk memaksimalkan sumber daya ekonomi untuk tujuan konsumsi atau produksi, modal, atau pertukaran. Akses kepada permodalan menjadi faktor krusial dalam variabel ini. Ketiga, adanya social opportunities dalam bentuk kesempatan
untuk mendapat kehidupan yang lebih baik melalui tersedianya pendidikan dan/atau pelayanan kesehatan. Keempat, transparency guarantees yang dinilai dari adanya jaminan transparansi sebagai instrumen penting dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility, dan kesepakatan tersembunyi. Kelima, adalah protective security dalam bentuk adanya kesepakatan tetap yang terinstitusi seperti unemployment benefits dan statutory income supplements juga kesepatakan ad hoc seperti bantuan paceklik dan emergency public employment untuk menciptakan pendapatan bagi masyarakat miskin. Dalam konteks instrumental freedoms, institusi memiliki peranan penting dalam meningkatkan dan mempromosikan kapabilitas dari manusia secara langsung maupun tidak langsung. Pasquale De Muro dan Pasquale Tridico menyebutkan bahwa peranan institusi secara langsung adalah yang berkaitan dengan kapabilitas manusia yang fundamental seperti kebebasan memilih siapa yang akan memerintah (political freedoms), institusi seperti social safety yang secara langsung berkaitan dengan kelompok masyarakat yang paling riskan dan institusi yang memiliki peranan secara langsung dalam memberikan kapabilitas bagi manusia dalam memiliki kesehatan yang baik. Lebih dari itu, institusi juga memiliki peranan secara tidak langsung dalam peningkatan kapabilitas manusia. Salah satu instrumental freedoms yang institusinya memiliki peranan secara tidak langsung adalah economic facilities. Dalam capability approach, institusi ekonomi memiliki peranan dalam mempromosikan dan meningkatkan kapabilitas hanya melalu peningkatan akses dan komoditas.
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel Variabel Dependen
Indikator
Pembangunan
Adanya peningkatan kualitas hidup manusia yang
Ekonomi yang
tercermin dari Human Development Index (HDI).
Berkualitas Independen Political Freedoms
Adanya kesempatan dari masyarakat untuk menentukan siapa yang memimpin, kebebasan berpolitik, dan pers yang bebas.
Economic Facilities
Adanya kesempatan untuk memaksimalkan sumber daya ekonomi untuk tujuan konsumsi atau produksi, modal, atau pertukaran. Akses kepada permodalan menjadi faktor krusial dalam variabel ini.
Social
Adanya kesempatan untuk mendapat kehidupan yang
Opportunities
lebih baik melalui tersedianya pendidikan dan/atau pelayanan kesehatan.
Transparancy
Adanya jaminan transparansi sebagai instrumen penting
Guarantee
dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility, dan kesepakatan tersembunyi.
Protective Security
Adanya kesepakatan tetap yang terinstitusi seperti unemployment benefits dan statutory income supplements juga kesepatakan ad hoc seperti bantuan paceklik dan emergency
public
employment
pendapatan bagi masyarakat miskin Sumber: Sen (1999)
untuk
menciptakan
Political Freedoms
Economic Facilities
Institusi Formal
Social Opportunity
Pertumbuhan Ekonomi yang berkualitas dilihat dari Human Development Index
Transparancy Guarantee
Protective Security
Gambar 1. Model Analisis Sederhana
Human Development dan Tren HDI di Indonesia Dalam kurun beberapa dekade terakhir, pandangan bahwa PDB merupakan alat ukur pembangunan ekonomi suatu negara mendapat kritik dari para ekonom pembangunan terutama yang memfokuskan dirinya pada pembangunan manusia. Noorbakhsh (1996) atau Costantini and Monni (2005) memandang bahwa performa suatu negara dalam PDB sangat berbeda dari indikator pembangunan yang paling dasar. Salah satu ekonom pertama yang memasukkan unsur sosial dalam pembangunan ekonomi adalah Morris D.M yang membuat indikator pembangunan berdasarkan tiga indikator sosial: angka harapan hidup, angka melek huruf, dan tingkat kematian bayi. Pada tahun 1970an, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mulai mengkaji pendekatan ekonomi pembangunan yang berbeda (Streeten, 1979). Kontribusi Amartya Sen mengenai capability approach menjadi salah satu teori yang krusial dalam pengembangan indikator pembangunan. Pada tahun 1990, United Nations Development Programme (UNDP) mempublikasikan laporan Human Development yang pertama dimana dalam laporan tersebut tercakup juga Human Development Index (HDI) (Pasquale Tridico, 2006).
Sejak tahun 1990, UNDP selalu melaporkan nilai HDI dari seluruh bangsa-bangsa di dunia. Dari peringkat yang dipublikasikan oleh UNDP selama 10 tahun terakhir, Indonesia tidak pernah berada pada 100 negara dengan HDI terbaik di dunia. Lebih dari itu, jika dibandingkan beberapa negara ASEAN, posisi Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Dalam Human Development Report yang dipublikasikan oleh UNDP dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia tergolong relatif rendah jika dibandingkan dengan rata-rata negara Asia Timur dan Pasifik. Lebih dari itu, sejak tahun 2000, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia berada di bawah rata-rata kategori "Medium Human Development", padahal pada tahun 1995, IPM Indonesia masih di atas rata-rata kategori tersebut (Gambar 2). Sehingga walaupun IPM Indonesia terus meningkat, namun peningkatannya tidak secepat negara-negara lain di dunia sehingga secara peringkat Indonesia sulit untuk menembus peringkat 100 besar dunia.
0.7 0.65 0.6
Indonesia
0.55
Medium Human Development
0.5
Asia Timur dan Pasifik
0.45 0.4 1995
2000
2005
2011
Gambar 2. Perkembangan Human Development Index (1995-2011) Sumber: United Nation Development Programme, diolah
Analisis Peran Institusi Terhadap Instrumental Freedoms Seperti yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, Sen (1999) menjabarkan bahwa terdapat lima instrumental freedom yang dianggap oleh Sen sebagai instrumen yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kapabilitas manusia untuk hidup secara bebas. Kelima instrumen tersebut adalah political freedom, economic facilities, social opportunities, transparancy guarantees, dan protective security. Pada saat yang bersamaan, institusi memiliki pernan yang penting dalam meningkatkan kapabilitas manusia. Human
capability diperluas oleh institusi (Sen, 1985). Sehingga dalam bagian selanjutnya, akan dibahas mengenai bagaimana peranan institusi pada kelima instrumen tersebut di Indonesia selama Pemerintahan SBY (2004-sekarang).
1. Political Freedom Political Freedom merupakan salah satu instrumental freedom yang ditekankan oleh Amartya Sen. Tipe kebebasan ini sangat penting untuk meningkatkan kapabilitas dari masyarakat miskin karena empat alasan. Pertama, kebebasan politik sangat bernilai karena kesempatan untuk berpartisipasi dalam sebuah komunitas adalah hal fundamental bagi eksistensi manusia (human existence). Kedua, adanya nilai konstruktif karena melalui dialog, diskusi, atau debat akan muncul jawaban atas kebutuhan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Ketiga, kebebasan berpolitik memiliki nilai instrumental terutama masyarakat miskin karena membuat pemerintahan akuntabel dan responsif terhadap masyarakat miskin, mencegah penguasa dari penguasaan sumber daya secara dominan, mencegah dari pemerintahaan yang buruk, membantu pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tepat, dan dengan menyediakan ruang bagi orang untuk datang bersama-sama dan bertindak secara terbuka, serta membantu menjamin penyediaan layanan penting dan memantau fungsi kerja pemerintah. Keempat, kebebasan berpolitik membantu mengubah hidup manusia melalui penyediaan berbagai ruang untuk memberikan saran dan kritik. (Rajeev Bhargava, 2003) Pasca reformasi, Pemerintah Indonesia mulai menjamin kebebasan berpolitik dari masyarakat Indonesia baik dalam bentuk pemilu langsung, baik hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif atau kepala pemerintahan. Indonesia sebagai negara yang selama 32 tahun hidup dalam pemerintahan yang otoriter telah mampu menyelenggarakan pemilu langsung yang bebas dan adil sejak tahun 1999. Tidak hanya pada level nasional, pemilihan umum juga dilaksanakan pada level daerah untuk memilih kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Sejak pertama kali dilaksanakan pada pemilihan kepala daerah Kutai Kartanegara pada 1 Juni 2005, saat ini pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan sebanyak 244 kali, dengan rata-rata 1 pilkada setiap 1,5 hari. Dalam aspek hak berpolitik, sejak tahun 1998 pula masyarakat dapat secara bebas mengajukan dirinya untuk dipilih maupun membentuk partai politik. Hal tersebut
berimplikasi terhadap semakin banyaknya partai politik di Indonesia. Jika sebelum tahun 1998 hanya terdapat tiga partai yang dapat mengikuti pemilu, kemudian meningkat pesat menjadi 48 partai (pemilu 1999), 24 partai pada pemilu tahun 2004, dan 44 partai pada pemilu 2009 (termasuk partai lokal). Secara prosedural, pelaksanaan pemilihan pada tingkat nasional dan daerah maupun kebebasan berpolitik selama periode pemerintah SBY adalah capaian tersendiri. Atas capaiannya, Freedom House-lembaga yang mengeluarkan nilai indeks kebebasan suatu negara di seluruh dunia, mengklasifikasikan Indonesia sebagai negara yang bebas (tabel 2). Status tersebut lebih baik dibandingkan tahun 2005 dimana status Indonesia masih sebagai negara setengah bebas (partly free) sehingga dapat disimpulkan bahwa selama pemerintahaan SBY, terjadi peningkatan kualitas kebebasan berpolitik di Indonesia. Adanya kebebasan berpolitik di Indonesia tidak terlepas dari perbaikan institusional pada sistem demokrasi Indonesia. Perbaikan institusional demokrasi Indonesia tidak terlepas dari adanya beberapa peraturan yang mengatur masalah politik di Indonesia seperti Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Politik.
Tabel 2. Perkembangan Indeks Freedom Indonesia Indikator
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Freedom
3,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
Civil
4
3
3
3
3
3
3
Political Rights
3
2
2
2
2
2
2
PF
F
F
F
F
F
F
Status
Sumber: Freedom House, Freedom in the World (2005-2011)
Akan tetapi, di atas keberhasilan pelaksanaan pemilu dan kebebasan berpolitik, masih banyak permasalahan terkait bidang politik di masa Pemerintahan SBY. Salah satu permasalahan yang utama adalah maraknya politik uang (money politics). Money politics atau politik uang seolah-oleh telah menjadi hal yang lumrah dalam kehidupan berpolitik di Indonesia. Politik uang yang marak di Indonesia memiliki efek negatif terhadap demokrasi di Indonesia karena politik uang merusak proses pemilu, melemahkan partai politik, serta mendorong munculnya elit-elit politik yang korup. Menurut teori transisi, politik uang merupakan ancaman bagi konsolidasi demokrasi. Salah satu dampak dari politik uang adalah
membengkaknya biaya kampanye calon kepala pemerintahan maupun calon anggota legislatif (Buehler, 2008; Mietzner, 2008). Hal tersebut akan menjadi pintu masuk korupsi yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan untuk membalikkan modal besar yang sudah dikeluarkan selama proses pemilihan. Selain itu, dampak dari politik uang adalah rusaknya sistem meritokrasi dalam pemilihan umum. Esensi dasar dari pemilihan umum secara langsung adalah rakyat memilih calon yang terbaik untuk menjalankan pemerintahan. Namun, politik uang akan membuat calon yang terpilih bukan yang terbaik dalam visi, misi, dan track record-nya tetapi lebih berdasarkan modal yang dimiliki untuk membeli suara rakyat. Aspek lain yang ditekankan dalam political freedom adalah uncensored press. Kebebasan Pers merupakan salah satu indikator lain yang dijadikan oleh Amartya Sen sebagai indikator dalam melihat kebebasan berpolitik di suatu negara. Kebebasan pers menjadi aspek yang sangat penting dalam variabel kebebasan berpolitik. Sejak reformasi bergulir di tahun 1998, media di Indonesia mengalami musim semi kebebasan pers dimana berbagai media tumbuh subur. Hal ini merupakan berkah dari berakhirnya rezim Suharto yang selama 32 tahun memberikan batasan yang sangat ketat terhadap media di Indonesia. Berakhirnya rezim Suharto memberikan kesempatan kepada media di Indonesia untuk tumbuh dan berkembang sehingga tidak mengherankan jika sejak tahun 1998, pers di Indonesia tumbuh sangat pesat, dari 300 pers sebelum reformasi menjadi 800 pers pada saat ini. Tumbuh suburnya media di Indonesia tidak dapat dilepaskan juga dari adanya jaminan hukum terhadap kebebasan pers melalui UU No 40 Tahun 1999. Jika dibandingkan dengan beberapa negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara, pers di Indonesia tergolong relatif lebih bebas. Dari publikasi yang dikeluarkan oleh Freedom House yang menilai tingkat kebabasan pers (Freedom of the Press) menilai bahwa Indonesia masih lebih baik dibandingkan
Malaysia, Vietnam, maupun Singapura yang masih
dikategorikan sebagai negara yang tidak bebas dalam hal kebebasan persnya. Walaupun lebih baik dari beberapa negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara, namun Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan pers yang setengah bebas (partly free). Lebih dari itu, dalam 8 tahun terakhir, tidak terjadi peningkatan yang signifikan dari penilaian yang dikeluarkan oleh Freedom House (Lihat Tabel 3).
Tabel. 3. Perkembangan Indeks Kebebasan Pers Indonesia 2005-2011 Indicator Press Freedom
2005 -
2006 -
2007
2008
2009
2010
2011
54
54
54
52
53
Legal Environment
20
21
17
17
18
18
18
Political Environment
23
23
22
22
21
19
20
Economic Environment
14
14
15
15
15
15
15
Status
PF
PF
PF
PF
PF
PF
PF
Sumber: Freedom House
Minimnya peningkatan tingkat kebebasan pers dapat dipahami bila melihat berbagai kasus yang terjadi sejak tahun 2005 terutama yang berkaitan dengan intimidasi terhadap jurnalis. Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) mencatat bahwa dalam kurun waktu 2006 hingga 2010 terjadi 274 kasus kekerasan terhadap pers dalam berbagai bentuk. Beberapa contoh kasus tersebut antara lain seperti kasus penyerangan yang dilakukan oknum tidak dikenal terhadap aktivis anti korupsi, Tama S. Langkun, setelah melaporkan kasus rekening gendut oknum di kepolisian Selain penyerangan terhadap terhadap pers yang masih sering terjadi di Indonesia, permasalahan lain adalah beberapa undang-undang yang dikeluarkan oleh DPR sangat berpotensi menjadi jebakan terhadap media di Indonesia. Salah satu undang-undang tersebut adalah Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Walaupun pada awalnya undang-undang tersebut bertujuan untuk mencegah transaksi elektronik, namun beberapa pasal dalam UU ITE sangat rentan menjadi landasan hukum dalam menjerat masyarakat yang mengekspresikan opininya melalui media elektronik dan sosial media. Pasal 27 berisi aturan pemidanaan bagi penyebar dokumen elektronik yang bermuatan pelanggaran kesusilaan, perjudian, penghinaan, pencemaran nama baik, pemerasan, dan ancaman. Salah satu korban dari adanya Undang-Undang ini adalah Prita Mulyasari yang mengadukan pelayanan di salah satu rumah sakit di media online. Akibat dari perbuatannya tersebut, Prita mendapatkan tuntutan hukum yang pada akhirnya membawa Prita ke penjara. Permasalahan lain dalam hal kebebasan pers adalah penguasaan media di Indonesia oleh segelintir pihak (praktek oligopoli media). Dari total 800 media yang ada di Indonesia, setidaknya hanya dikuasai oleh 12 perusahaan besar (Yanuar Nugroho et al, 2012). Lebih
dari itu, beberapa perusahaan media besar yang mendominasi media di Indonesia, sangat rawan terlibat dalam konflik kepentingan politik akibat terafiliasinya pemilik perusahaanperusahaan tersebut pada kepentingan politik tertentu (tabel 4). Penguasaan beberapa media besar oleh kepentingan politik tertentu tentu akan memberikan implikasi terhadap independensi media itu sendiri yang akhirnya akan menggangu kredibilitas pemberitaan. Fenomena penguasaan media oleh segelintir kelompok yang memiliki kepentingan politik akan merusak makna kebebasan pers secara subtantif. Substansi dari pers yang bebas adalah masyarakat mendapatkan pemberitaan yang objektif tentang berbagai permasalahan yang ada sehingga dapat memberikan feed back terhadap jalannya pemerintahan. Namun jika media tidak lagi objektif dalam pemberitaan, maka masyarakat tidak akan mendapatkan informasi secara akurat dan akan opini masyarakat akan mudah digiring oleh kelompok tertentu untuk kepentingann kelompok tersebut. Tidak adanya peraturan yang mengatur masalah oligarki media dan indenpendensi media dari afiliasi politik menjadi ruang dari dikuasainya media oleh segelintir orang yang memiliki modal besar dan mempunyai afiliasi politik.
Tabel 4. Afiliasi Media Massa dengan Partai Politik No
Holding Group
Pemilik
Afiliasi Politik
1
Viva Group
Aburizal Bakrie
Partai Golongan Karya
2
MNC Group
Harry Tanoesudibyo
Partai Nasional Demokrat
3
Media Group
Surya Paloh
Partai Nasional Demokrat
Sumber: Yanuar Nugroho et al (2012)
2. Economic Facilities Salah satu masalah utama dalam ekonomi adalah akses terhadap sumber daya, khususnya modal. Akses terhadap modal berperan penting karena siapa yang memiliki akses terhadap permodalan akan lebih mudah melakukan aktivitas ekonomi, sebaliknya jika orang terhambat atau bahkan tidak memiliki akses sama sekali terhadap permodalan maka akan sulit untuk melakukan kegiatan ekonomi seperti produksi atau konsumsi. Indikator yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah negara memberikan kemudahan terhadap rakyatnya untuk mendapatkan akses permodalan dapat dilihat dari jumlah dana yang dikucurkan dan juga berapa banyak debitur yang diberikan akses
permodalan (kredit). Total dana yang telah dikucurkan oleh perbankan terhadap sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini. Tabel 5. Perkembangan Kredit MKM dan UMKM 4 Baki Debet Kredit UMKM (miliar IDR) Pertumbuhan (%) Baki Debet Kredit MKM (miliar IDR) Pertumbuhan (%) Total Kredit Bank Umum (miliar IDR) Pertumbuhan (%)
2003 113.889
2004 140.096
2005 175.683
2006 208.265
2007 249.343
2008 301.651
2009 343.026
2010 437.808
25.1% 207.088
23.0% 271.093
25.4% 354.908
18.5% 410.442
19.7% 502.796
21.0% 633.945
13.7% 737.385
27.6% 926.782
28.6%
30.9%
30.9%
15.6%
22.5%
26.1%
16.3%
25.7%
440.505 18.7%
559.470 27.0%
695.648 24.3%
792.297 13.9%
1.002.012 26.5%
1.307.688 30.5%
1.437.930 10.0%
1.765.845 1128.0%
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia
Tabel di atas menunjukkan besarnya kredit yang diberikan perbankan terhadap sektor UMKM. Secara total nominal uang, pemberian kredit kepada UMKM terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, kredit perbankan kepada UMKM baru sebesar 113,8 triliun rupiah kemudian terus meningkat sehingga pada tahun 2010 telah menjadi hampir empat kali lipat menjadi 437,8 triliun rupiah. Pertumbuhan kredit UMKM selama periode 2003 hingga 2010 tumbuh rata-rata di atas 20 persen, angka terendah terjadi pada tahun 2009 hanya sebesar 13,7 persen. Hal ini dikarenakan imbas krisis finansial global pada tahun 2008. Kredit terhadap sektor UMKM rata-rata hanya seperempat dari total kredit bank umum. Hal ini dikarenakan sebagian besar kredit perbankan disalurkan untuk usaha skala besar. Hal ini biasanya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, masih ada anggapan bagi UMKM bahwa meminjam uang ke bank adalah hal yang rumit dan membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga UMKM lebih memilih meminjam kepada tengkulak karena prosesnya yang lebih mudah dan cepat, walaupun bunganya biasanya jauh lebih besar. Ketiga, perbankan lebih memilih menyalurkan ke usaha berskala besar karena resiko kredit macetnya lebih kecil, sedangkan UMKM sebaliknya. Ketiga, bila dibandingkan dengan usaha skala besar, UMKM membutuhkan dana yang jauh lebih kecil sehingga kebutuhan akan modal/kredit biasanya juga tidak terlalu besar.
4
Definisi MKM masih menggunakan definisi lama dengan mengacu pada UU No.5 tahun 1995, sedangkan definisi UMKM adalah definisi baru dengan menggunakan UU No. 20 tahun 2008 dimana definisi baru tidak memasukkan kredit konsumsi (hanya kredit investasi dan kredit modal kerja).
Yang menarik adalah walaupun UMKM tidak terlalu membutuhkan dana yang besar tetapi secara jumlah pelaku usaha, struktur perekonomian Indonesia didominasi oleh sektor UMKM. Pelaku usaha di Indonesia 99,99 persen bergerak di sektor UMKM, sedangkan usaha besar (UB) hanya 0,01 persen. Selain itu, UMKM juga sangat berperan dalam penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, UMKM mampu menyerap tenaga kerja sebesar 99,4 juta orang (97,22 persen). Namun, dalam hal efektivitas dan efisiensi yang tercermin dari kontribusinya terhadap PDB, UMKM masih kalah jauh dibandingkan UB. Walaupun UB hanya 0,01 persen dari total unit usaha, tetapi UB pada tahun 2010 mampu menyumbang 42,88 persen terhadap PDB nominal Indonesia (tabel 6).
Tabel 6. Perkembangan Data UMKM dan Usaha Besar (UB) tahun 2006-2010 Indikator Jumlah Unit Usaha (unit) Penyerapan Tenaga Kerja (juta orang)
UMKM UB UMKM UB
2006 Jumlah Pangsa (%) 49.021.803 99,99 4.577 0,01 87,91 97,30 2,44 2,70
2010 Jumlah Pangsa (%) 53.823.732 99,99 4.838 0,01 99,40 97,22 2,89 2,78
Kontribusi terhadap PDB nominal UMKM 1.783 56,23 (triliun IDR) UB 1.387 43,77 Sumber: Statistik UMKM, Kementerian UMKM dan Koperasi RI
3.466 2.602
57,12 42,88
Akses terhadap modal, selain permodalan dari perbankan, untuk UMKM adalah akses terhadap program pemerintah yang bernama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pada tahun 2008-2009 dan 2010 total nominal uang yang dikucurkan melalui KUR lebih dari 17 triliun rupiah. Angka ini kemudian meningkat pada tahun 2011 menjadi 29 triliun. Penerima debitur dari program KUR juga cukup besar. Pada tahun 2008 dan 2009 penerima KUR sebanyak 2,37 juta orang. Tahun 2010 sebesar 1,43 juta orang dan tahun 2011 sebanyak 1,91 juta orang (tabel 7).
Tabel 7. Perkembangan Realisasi KUR 2008-2011 Indikator Total KUR Debitur (triliun IDR) (juta orang) 2008-2009 17,19 2,37 2010 17,23 1,43 2011 29,00 1,91 Sumber: Kementerian UMKM dan Koperasi RI Tahun
3. Social Opportunity Faktor ketiga yang ditekankan oleh Amartya Sen adalah kesempatan sosial (social opportunity) yang tersedia di masyarakat. Ada dua indikator utama untuk menunjukkan kesempatan atau aksesibilitas yang sama antar masyarakat. Kedua indikator yang dapat digunakan adalah indikator terkait sektor pendidikan dan kesehatan. Indikator di sektor pendidikan yang dapat digunakan adalah angka partisipasi sekolah (APS) masyarakat, sedangkan untuk indikator di sektor kesehatan dapat menggunakan akses masyarakat (balita) dalam mendapatkan imunisasi.
100 90
96
97
97
98
98
98
98 86
85
85
85
84
84
83
81
97
80 70 60
51
53
54
54
55
56
55
56
umur 7-12
50
umur 13-15
40
umur 16-18
30
umur 19-24
20
12
12
12
11
13
13
13
14
10 0 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
Gambar 3. Angka Partisipasi Sekolah Indonesia berdasarkan Kelompuk Umur tahun 20032010 (dalam persen) Sumber: Badan Pusat Statistik
Gambar 3 di atas ini menunjukkan angka partisipasi sekolah (APS) dari tahun 2003 hingga tahun 2010. APS ini dikelompokkan berdasarkan umur peserta didik. Peserta didik dibagi menjadi empat kelompok yaitu:
i.
Kelompok umur 7-12 tahun (grafik warna biru).
ii.
Kelompok umur 13-15 tahun (grafik warna merah).
iii.
Kelompok umur 16-18 tahun (grafik warna hijau).
iv.
Kelompok umur 19-24 tahun (grafik warna ungu). Pengelompokkan ini didasarkan pada umur normal peserta didik dalam menempuh
jenjang pendidikan di Indonesia. Kelompok umur 7-12 tahun (grafik warna biru) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat sekolah dasar. Kelompok umur 13-15 tahun (grafik warna merah) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat sekolah menegah pertama. Kelompok umur 16-18 tahun (grafik warna merah) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat sekolah menegah atas dan Kelompok umur 19-24 tahun (grafik warna merah) adalah umur normal untuk peserta didik untuk tingkat universitas. Selama periode 2004-2010, secara keseluruhan APS Indonesia mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu signifikan. Peningkatan APS ini terjadi hampir di seluruh kelompok umur, mulai dari umur normal untuk tingkat pendidikan dasar (umur 7-12 tahun) hingga universitas (19-24 tahun). Pada tahun 2004, APS Indonesia untuk kelompok umur 712 tahun berada di level 97 persen. Angka ini stabil selama 3 tahun hingga tahun 2006, kemudian meningkat menjadi 98 persen pada tahun 2007. APS Indonesia sebesar 98 persen bertahan dari tahun 2007 hingga tahun 2010. APS di level umur yang lain pun mengalami hal yang serupa. APS untuk level umur 13-15 tahun pada tahun 2004 sebesar 84 persen kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 86 persen. APS untuk level umur 16-18 tahun pada tahun 2004 berada pada level 53 persen kemudian meningkat menjadi 56 persen pada tahun 2010. Begitu pula dengan APS untuk level universitas (19-24 tahun) yang meningkat sebesar 2 persen dari tahun 2004 (12 persen) hingga tahun 2010 (14 persen). Dari gambar 6 di atas setidaknya dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, secara garis besar selama kepemimpinan SBY APS Indonesia mengalami perbaikan (kenaikan). Hal ini prestasi yang cukup baik bagi pemerintahan SBY, walaupun pertumbuhan APS juga tidak terlalu signifikan hanya tumbuh berkisar 2-3 persen selama kurang lebih 7 tahun kepemimpinan SBY. Kedua, APS Indonesia masih terkonsentrasi pada tingkat pendidikan rendah. Hal ini dapat dilihat dari data bahwa masih banyak masyarakat Indonesia belum merasakan pendidikan menengah ke atas, apalagi pendidikan tinggi (universitas). APS Indonesia pada tahun 2010 untuk pendidikan menengah ke atas baru mencapai 56 persen
atau hampir setengah penduduk Indonesia tidak mengenyam bangku pendidikan menengah atas. Apalagi jika kita tengok APS Indonesia untuk kelompok umur pendidikan tinggi, terlihat bahwa baru sekitar 14 persen masyarakat Indonesia yang belajar di pendidikan tinggi (universitas). Rendahnya kualitas pendidikan Indonesia yang tercermin dari aksesibilitas masyarakatnya terhadap dunia pendidikan melalui data APS pasti akan berpengaruh terhadap kualitas SDM Indonesia sendiri. Indikator kedua yang dapat digunakan untuk menunjukkan social opportunity adalah akses terhadap kesehatan. Salah satu jenis data yang dapat digunakan adalah akses balita Indonesia dalam mengakses imunisasi. Hal ini penting karena selain imunisasi disediakan oleh Pemerintah, imunisasi juga dilakukan secara massif dan massal bagi seluruh balita di Indonesia. Tabel 8. Perkembangan Balita yang Pernah Mendapat Imunisasi tahun 2004-2010 (dalam persen) Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
BCG
DPT
Polio
Campak
88.35
86.51
88.08
77.17
87.34
84.63
89.16
72.53
89.30
87.11
92.22
78.23
89.40
86.44
89.67
75.9
90
86.09
87.25
75.47
91.89
89.05
89.88
77.23
92.73
89.79
90.56
77.67
Sumber : Badan Pusat Statistik
Tabel 8 di atas menunjukkan tentang perkembangan balita yang pernah mendapat imunisasi selama 2004-2010. Pada tabel di atas terdapat empat jenis imunisasi, yaitu BCG, DPT, Polio, dan Campak. Keempat imunisasi ini memang imunisasi yang umum diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk para balita dengan tujuan untuk mencegah penyakitpenyakit yang tidak dinginkan. Secara garis besar, persentase balita yang mendapatkan akses imunisasi selama periode 2004-2010 memiliki trend yang terus meningkat. Pada tahun 2004 persentase balita yang mendapatkan imunisasi BCG baru sebesar 88,35 persen, kemudian meningkat menjadi 92,73 persen di tahun 2010. Peningkatan ini juga terjadi di imunisasi DPT, Polio, dan juga Campak. Persentase balita yang mendapatkan imunisasi DPT pada tahun 2004 baru
mencapai 86,51 persen lalu meningkat menjadi 89,79 persen pada tahun 2010. Begitu juga dengan imunisasi polio yang meningkat dari 88,08 persen pada tahun 2004 menjadi 90,56 persen pada tahun 2010. Kenaikan yang tidak terlalu signifikan terjadi untuk kasus imunisasi campak. Pada tahun 2004, persentase balita yang mendapatkan imunisasi campak sebesar 77,17 persen kemudian pada tahun 2010 hanya meningkat sedikit saja menjadi 77,67 persen. Angka relatif rendah jika kita bandingkan dengan persentase imunisasi lainnya (BCG, DPT, dan Polio). Setidaknya ada dua kesimpulan utama yang bisa kita tarik dari tabel 8. Pertama, trend persentase akses balita Indonesia terhadap kesehatan, khususnya imunisasi terus mengalami kenaikan selama periode 2004-2010. Prestasi ini patut diapresiasi, walaupun masih sangat diharapkan dapat lebih ditingkatkan lagi prestasinya sehingga lebih banyak lagi balita Indonesia yang mendapatkan imunisasi sehingga anak-anak Indonesia sudah dilindungi sejak dini dari penyakit-penyakit yang dapat mengganggu aktifitas atau produktifitas mereka nanti. Kedua, Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap pemberian imunisasi campak untuk balita Indonesia. hal ini dikarenakan terlihat dari data pada tabel 8 di atas bahwa imunisasi campak untuk balita di Indonesia memiliki persentase terendah dibandingkan tiga jenis imunisasi lainnya. Selain itu, diharapkan pemerintah terus meningkatkan kinerjanya sehingga semakin banyak lagi putra-putri Indonesia yang mendapatkan imunisasi agar terhindar dari penyakit-penyakit yang tidak diinginkan. 4. Transparancy Guarantee Variabel keempat yang ditekankan oleh Amartya Sen adalah jaminan transparansi (Transparancy Guarantee). Jaminan transparansi dinilai dari adanya jaminan transparansi sebagai instrumen penting dalam mencegah korupsi, financial irresponsibility, dan kesepakatan tersembunyi dalam suatu negara. Sen menggunakan contoh kasus krisis finansial di Asia pada akhir 1990an sebagai landasan dalam menekankan pentingnya jaminan transparansi dalam suatu negara. Bagi Sen, krisis finansial yang terjadi disebabkan oleh kurangnya transparansi dalam bisnis terutama kuranganya partisipasi publik dalam mengkaji kesepakatan bisnis dan keuangan. Kesempatan yang disediakan oleh demokrasi terhadap transparansi ini belum membuahkan hasil. Investasi portofolio dan transaksi
komersial dan kebijakan pemerintah masih belum transparan. Hal tersebut disebabkan oleh kecilnya insentif terhadap agen ekonomi dan politik untuk lebih transparan. Sen menyebutnya dengan istilah "the unchallenged power of governance" yang membuka jalan terhadap perilaku yang tidak akuntabel dan tidak transparan. Dalam konteks Indonesia, masalah transparansi merupakan salah satu masalah ada di Indonesia sejak lama. Sejak rezim Suharto yang menjalankan pemerintahannya dengan tidak transparan, Indonesia masih belum bisa keluar dari masalah ini walaupun reformasi yang bergulir sejak 1998 sudah melahirkan demokrasi sebagai salah instrumen pengawasan dari masyarakat terhadap pemerintah. Minimnya transparansi dalam pengelolaan negara ini juga dapat dilihat dari maraknya kasus korupsi di Indonesia. Salah satu contohnya adalah korupsi dalam penggunaan anggaran negara (APBN/APBD). Dalam konteks perencanaan ekonomi negara, transparansi fiskal merupakan salah satu agenda utama di Indonesia. Transparansi fiskal menekankan pada keterbukaan informasi mengenai struktur dan fungsi pemerintah, sasaran kebijakan fiskal, posisi keuangan sektor negara maupun proyeksi fiskal. Selama ini pembahasan APBN menjadi monopoli antara Pemerintah dan DPR. Walaupun ada ruang bagi masyarakat umum untuk turut aktif terhadap pembahasan APBN, namun keterlibatannya masih sangat minim. Proses pembahasan anggaran masih sering dilakukan di bawah meja. Hal ini yang membuat laporan yang menyebutkan kebocoran anggaran mencapi 40 persen menjadi tidak mengherankan. Akan tetapi, usaha untuk terus meningkatkan transparansi di Indonesia semakin dilakukan. Salah satu untuk bentuk institusionalisasi bagi jaminan transparansi adalah dengan dikeluarkannya UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang prosesnya sudah dilakukan sejak tahun 2000 ketika 42 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) membentuk koalisi untuk Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP). RUU KMIP sangat penting karena dapat menjadi upaya preventif atas terjadinya tindak pidana korupsi. Pada awal kemunculannya RUU KMIP kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun pers, padahal RUU KMIP ini sagat berpengaruh terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan, apalagi dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi. Kebebasan memperoleh informasi, berarti akan memberi ruang bagi publik untuk dapat mengakses informasi yang terkait dalam program percepatan pemberantasan korupsi. Karena keberadaan undang-undang ini memberi implikasi bagi para penyelenggra negara untuk bertindak transparan dan memiliki sistem akuntabilitas yang kuat. (Fauziah Rasad, 2007).
Gambar 4. Progress Perkembangan Keterbukaan Informasi di Indonesia
Undang-Undang KIP mengatur mengenai kewajiban badan publik negara dan badan publik non negara untuk memberikan pelayanan informasi yang terbuka, transparan dan bertanggung jawab kepada masyarakat. Dengan diberlakukannya UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) maka setiap lembaga pemerintah atau badan publik wajib memberikan informasi kepada seluruh masyarakat atau pemohon informasi. Adanya UU ini akan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia dalam bentuk jaminan untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik. Lebih dari itu, UU ini dapat meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas sehingga mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik. Lebih dari itu, UU tersebut menjadi landasan hukum terbentuknya Komisi Informasi di Indonesia. Wewenang dan tugas utama Komisi Informasi adalah menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik berdasarkan alasan seperti yang dimaksud dalam UU KIP. Sesuai dengan amanat UU KIP, Komisi Informasi terdiri dari Komisi Informasi Pusat, Komisi Informasi Provinsi, dan jika dibutuhkan Komisi Informasi
kabupaten/kota. Sejak dibentuk pada tahun 2010 hingga akhir Maret 2011 jumlah permohonan yang terdaftar lebih dari 224 perkara. Akan tetapi, selama 2 tahun sejak dibentuknya Komisi Informasi di Indonesia, beberapa masalah masih tetap ada. Salah satu contohnya adalah Komisi Informasi justru mendapatkan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan dari putusan Komisi Informasi. Putusan Komisi Informasi atas sengketa informasi rekening gendut dipersoalkan oleh Mabes Polri ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, padahal Komisi Informasi sudah memiliki mekanisme sendiri jika ada pihak yang tak puas terhadap putusan Komisi Informasi. Permasalahan lain adalah masih minimnya pengetahuan berbagai badan publik mengenai UU KIP dan Komisi Informasi. Hal ini membuat dalam pelaksanaannya selama ini masih sering adanya kendala seperti resistensi dari Badan Publik (Hukum Online, 2011). Jika Komisi Informasi sudah terinstitusi secara baik maka seharusnya tidak perlu ada lagi penolakan pemberian informasi yang disebabkan oleh ketidaktahuan badan publik tentang adanya UU KIP dan Komisi Informasi. Permasalahan ini juga menggambarkan bahwa Komisi Informasi dengan UU KIP yang diharapakan untuk menjadi salah satu solusi peningkatan transparansi di Indonesia belum terinstitusionalisasi dengan baik sehingga masih muncul berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya.
5. Protective Security Lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, Indonesia belum memiliki sistem pengaman nasional (social safety net). Kebutuhan akan sistem pengaman sosial ini semakin dirasakan ketika terjadi krisis ekonomi yang cukup parah pada tahun 1998. Pada saat itu, ekonomi Indonesia mengalami krisis yang cukup parah sehingga menimbulkan efek domino ke sektor-sektor lainnya. Alhasil, banyak rakyat Indonesia ketika itu yang menjadi korban. Kondisi ini diperparah karena Indonesia tidak memiliki sebuah sistem untuk menjamin atau mengamankan seluruh rakyatnya ketika terjadi krisis yang cukup parah seperti yang terjadi pada tahun 1998. Berdasarkan pengalaman tahun 1998 tersebut, munculah ide untuk membuat atau membentuk sebuah sistem yang dapat melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Kebijakan konkrit yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada tahun 2002 ketika itu Indonesia dibawah
kepemimpinan Presiden Megawati. Kemudian political will Pemerintah Indonesia semakin terlihat ketika membuat UU nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN. Salah satu amanat yang tertuang dari UU SJSN ini adalah membentuk sebuah badan pelaksana SJSN. Badan ini harus dibuat berdasarkan UU yang berbeda. Badan ini kemudian dikenal dengan istilah Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS). Badan ini kemudian baru disahkan sekitar tujuh tahuh kemudian melalui UU nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS. BPJS didesain bukan seperti BUMN, yaitu bertujuan untuk mencari keuntungan (profit oriented). Konsep BPJS didesain berbeda bukan seperti badan-badan terdahulu yang sebenarnya telah menjalankan fungsi jaminan sosial tetapi hanya untuk beberapa golongan, yaitu PT. Askes, PT. Asabri, PT. Taspen, atau PT. Jamsostek. Keempat perusahaan tersebut beroperasi dengan tujuan mencari untuk laba tetapi BPJS didesain sebagai badan nirlaba (non-profit oriented). Pelaksana SJSN haruslah berupa badan dan masuk ke dalam struktur pemerintahan tetapi bukan berupa BUMN atau persero. Badan ini adalah public entity yang ditugaskan untuk program kesejahteraan rakyat. Sayangnya, implementasi UU SJSN dan UU BPJS masih terhambat. Diperkirakan sistem pengaman sosial ini baru bisa berjalan sekitar tahun 2014 (Republika, 19/04/2012) 5. Jika pada tahun 2014 BPJS jadi diimplementasikan, berarti Indonesia baru memiliki sebuah sistem pengaman sosial setelah hampir 69 tahun merdeka. Belum terealisasinya SJSN atau BPJS di Indonesia menunjukkan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Di Amerika Serikat (AS) pengangguran akan menerima asuransi pengangguran dari Pemerintah AS sebesar 50 persen dari upah mereka terdahulu selama 26 minggu. Bahkan, banyak negara Eropa yang memberikan jumlah asuransi yang lebih besar dibandingkan di Pemerintah AS (Mankiw, 2007).
5
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/kabar/12/04/19/m2pxwk-uu-bpjs-manfaat-dantantangannya-terhadap-rumah-sakit
III.
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Walaupun pada masa pemerintahan SBY sudah dilakukan beberapa langkah untuk menguatkan fungsi institusi dalam mendorong instrumental freedom di Indonesia, namun beberapa langkah masih perlu untuk dilakukan mengingat masih banyaknya permasalahan yang ada di masyarakat. Berikut ini beberapa rekomendasi kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah.
Political Freedom: Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun terakhir, kebebasan politik dari masyarakat dijamin oleh pemerintah. Namun beberapa kasus seperti money politic dan praktek oligarki penguasaan media menunjukkan belum adanya institusi yang mampu mencegah munculnya permasalahan-permasalah tersebut. Dalam konteks money politic, maka perlu institusi yang lebih efektif dalam memberikan hukuman terhadap aktor yang menjalankan politik uang. Walaupun selama ini sudah ada Badan Pengawas Pemilu, namun dalam pelaksanaannya belum mampu untuk mengawasi kecurangan yang terjadi terutama yang berkaitan dengan politik uang. Selain itu, dibutuhkan juga aturan yang mengatur independensi media dari berbagai kepentingan politik tidak hanya independensi dari pemerintah tetapi juga dari segala bentuk kepentingan politik pemilik modal. Pembentukan institusi yang kuat dan efektif akan mampu mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan tidak sebatas prosedural saja.
Transparancy Guarantee. Jaminan transparansi masih menjadi perkerjaan rumah besar bagi pemerintah. Selama bertahun-tahun, tidak ada institusi yang mengatur dan menangani masalah transparansi. Oleh sebab itu transparansi masih sulit untuk ditegakkan di Indonesia. Pembentukan Komisi Informasi yang merupakan amanah dari Undang-Undang KIP, pada kenyataannya pun masih belum efektif karena belum terinstitusi dengan baik. Sehingga kedepannya, perlu ada peraturan yang memperkuat posisi Komisi Informasi termasuk penguatan di internal Komisi Informasi sendiri.
Economic Facilities. Jika dilihat dari akses permodalan, Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dalam memberikan akses permodalan bagi pelaku usaha. Namun masih ada beberapa kendala yang perlu dibenahi seperti, pengurusan
peminjaman kredit ke bank yang berbelit harus lebih diperhatikan lagi. Selain itu, perhatian khusus dari pemerintah atau perbankan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sektor UMKM juga penting sehingga perekonomian nasional dapat lebih ditingkatkan lagi.
Social Opportunities. Jika berdasarkan indikator pendidikan dan kesehatan, secara trend social opportunities di Indonesia terus membaik atau meningkat. Prestasi ini harus dipertahankan, bahkan ditingkatkan karena walaupun terus mengalami peningkatan tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara maju Indonesia masih tertinggal jauh.
Protective Security. Aspek ini memang menjadi kendala utama bagi Indonesia karena sampai detik ini praktek protective securtiy yang berupa jaring pengaman sosial (social safety net) bagi segenap bangsa Indonesia belum ada, kalaupun ada hanya untuk segelintir kelompok masyarakat saja. Oleh karena itu, percepatan implementasi UU SJSN dan UU BPJS adalah harga mati bagi Indonesia jika ingin mencapai pertumbuhan yang berkualitas.
Referensi: Acemoglu, D., Johnson S., and Robinson J., (2001), ‘The Colonial Origins of Comparative development: An Empirical Investigation’, American Economic Review, Vol.91, No.5. Acemoglu D., Johnson S., Robinson J., (2004), ‘The Colonial Origins of Comparative Development’, American Economic Review, 91. Acemoglu A., (2006), "Modeling Inefficient Institutions," NBER Working Papers 11940, National Bureau of Economic Research, Inc Baum, J.K., R.A. Myers, D.G. Kehler, B. Worm, S.J. Harley, and P.A. Doherty. (2003).“Collapse and conservation of shark populations in the Northwest Atlantic”. Science 299, Bardhan P. (2005), ‘Institutions Matter, But Which Ones?’, Economics of Transition, 13, Bhargava,
Rajeev.,
(2003),
"Poverty
and
Political
Freedon",
diakses
dari
www.opendemocracy.net Buehler, M. (2008). The rise of shari'a by-laws in Indonesian districts: An indication for changing patterns of power accumulation and political corruption. South East Asia Research, 16(2). Canuto, Otaviano and Marcelo M Giugale,. (2010). "The Day After Tomorrow: A Handbook on The Future of Economic Policy in the Developing World, World Bank Report Chang, Ha-Joon., (2010). Institution and Economic Development Theory, Policy, and History. Journal of Institutional Economics Costantini V. and Monni S., (2005). Sustainable Human Development for European Countries. Journal of Human Development, n. 6 (3) Streeten P., (1994). Human Development: Means and End, AER, 84 De Muro, P. and Tridico, P. (2008) “The Role of Institutions for Human Development”, Paper presented at the HDCA Conference on Equality, Inclusion and Human Development, New Delhi, September 10-13 Gerring J., Thacker S.C. (2001), ‘Political Institutions and Human Development’, Mimeo, Northeast Universities Development Consortium Conference, Boston University, September. Freedom House (2012), “Freedom in the World” dan Freedom of the Press, diakses dari www.freedomhouse.org Kaufmann D., Kraay A. (2003), ‘Governance and Growth. Causality which way? Evidence from the World, in brief’, mimeo, The World Bank
Mankiw, N. G. (2007). Macroeconomics, 6th Edition. New York: Worth Publishers. Marco Grasso and Enzo Di Giuliom, "Mapping sustainable development in a capability perspective" Mietzner, M. (2008). Soldiers, parties and bureaucrats: Illicit fund-raising in contemporary Indonesia. South East Asia Research, 16(2). Nugroho, Yanuar., Andriani Putri, Dinita., Laksmi, Shita., (2012) “Mapping the Landscape of Media Industry in Contemporary Indonesia”,
Centre for Innovation Policy and
Governance. Noorbakhsh F., (1996). Some reflections on UNDP’s Human Development Index, Cds occasional paper, n.17, University of Glasgow Olson M. (1996). "Big bills left on the sidewalk: why some nations are rich and others poor". Journal of Economic Perspective 10(2) th
Perkins D., Dwight H., Radelet S., Lindauer D., (2007), Economics of Development, 6 Edition, ISI Republika
Online,
edisi
19
April
2012:
http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-
warga/kabar/12/04/19/m2pxwk-uu-bpjs-manfaat-dan-tantangannya-terhadap-rumah-sakit (diakses pada: 14 Agustus 2012)
Sen A. (1999), Development as freedom. New York: Oxford University Press Sylvain Zeghni dan Nathalie Fabry (2008)Building institutions for growth and human developement : an economic perspective applied to transitional countries of Europe and CIS