PERANAN IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI) TERHADAP PENGAWASAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS (Studi Kasus di Wonogiri) TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Magister Program Magister Kenotariatan
OLEH : WAHYUNINGSIH NIM : S.351208047
POGRAM MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2016
ii
iii
iv
MOTTO “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri, Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum , maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
(QS. Ar Rad : 11).
v
PERSEMBAHAN Dengan mengucap syukur Alhamdulillahir Robbil ‘Alamin, segala Puji bagi Allah penguasa alam semesta, karya tesis ini penulis persembahkan dengan ikhlas hati kepada : -
Suamiku WIGNYO RATNOMO yang senantiasa mendukung, memberikan cinta, doa, dan semangat untuk terus maju.
-
Anak-anakku DAFFA WAHYU BRAMANTYA dan DAVIN WAHYU RADITYA, kalian menjadi sumber inspirasi dan semangat yang luar biasa untuk mama.
-
Almarhum Ayahanda SUKIRNO tercinta,
yang telah berjuang untukku
sampai akhir hayatnya. -
Ibunda TURSINI tersayang, kasihmu sepanjang jalan, tidak pernah kering akan doa dan harapan.
-
Adikku ISWAHYUDI, yang selalu memberikan dukungan dan semangat.
vi
KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhananahu wa ta’ala atas segala limpahan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh kekuatan untuk menyelesaikan tesis yang berjudul PERANAN IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI) TERHADAP PENGAWASAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS
(Studi Kasus di
Wonogiri). Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh derajad Magister (S2) dalam progam studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai puhak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar besarnya kepada : 1. Bapak Prof.Dr, Ravik Karsidi,M.S. selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Prof.Dr.M. Furqon Hidayatullah.M.Pd, selaku Direktur Program Pasca sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Prof.Dr. Supanto,S.H.M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Bapak Burhanudin Harahap,S.H.,M.H.,M.SI.,Ph.D., selaku Kepala Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Program
Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan banyak bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik dan lancer.. 5. Segenap Dosen Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang memberikan ilmu kepada Penulis . 6. Bapak Prof.Dr.Adi Sulistiyono,S.H.,M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah memberikan waktu untuk memberikan ilmu, bimbingan dan pengarahan serta memberikan koreksi-koreksi yang sangat bermanfaat sampai terlesainya penyusunan tesis ini.
vii
7. Bapak
Toto Susmono Hadi,S.H.,M.H., selaku Pembimbing II yang telah
meluangkan
waktu untuk mendampingi dan memberikan bimbingan dengan
penuh kesabaran sampai terselesainya penyusunan tesis ini. 8. Bapak Dr. HARI PURWADI,SH,MHum, selaku dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang berguna untuk sempurnanya tesis ini. 9. Bapak Dr. Djoko Wahyu Winarno,SH.MS , selaku Dosen Penguji yang telah dengan sabar memberikan ilmu yang sangat berguna untuk sempurnanya tesis ini. 10. Karyawan dan Staf Pengelola Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan segala membantu selama penulis menyusun tesis dan mengikuti perkuliahan. 11. Karyawan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bantuan guna selesainya tesis ini. 12. Ibu Noor Saptanti,S.H.M.H., Notaris Wonogiri, Selaku Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, yang telah memberikan ilmu dan kesempatan untuk penulis menyelesaikan tesis ini. 13. Bapak Budi Hartoyo, SH, Notaris Wonogiri selaku Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, yang telah memberikan ilmu yang banyak dan bermanfaat untuk bisa memperoleh data-data yang diperlukan oleh penulis untuk menyelesaikan tesis ini. 14. Bapak Firdaus, SH. MKN,Notaris Wonogiri selaku
Ketua Ikatan Notaris
Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, yang telah telah memberikan ilmu, pengalaman, ijin dan kesempatan untuk bisa memperoleh data-data yang diperlukan oleh penulis untuk terlesainya tesis ini. 15. Ibu Ruth Sri Hadi Astuti,SH, Notaris Wonogiri, selaku Anggota Dewan Kehormatan Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan kesempatan untuk memperoleh data-data yang diperlukan guna terselesainya tesis ini. 16. Rekan-rekan Kelas A dan B Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Angkatan Tahun 2012, yang telah memberikan semangat, perhatian dan persahabatan selama penulis menjalani kuliah di kampus.. viii
17. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih atas dukungan dan doa selama penulis menempuh kuliah dan dakam menyelesaikan tesis ini. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Barokah Nya atas kebaikan serta bantuan yang diberikan kepada penulis. Mengingat keterbatasan kemampuan, Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat Penulis harapkan.Semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak baik untuk penulisan hukum, maupun akademisi dan pembaca umum .
Surakarta, 20 Juni 2016
Penulis
WAHYUNINGSIH
ix
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN TESIS .............................................................. iii HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iv MOTTO …………………………………………………………………..
v
PERSEMBAHAN …………………………………………………………
vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii DAFTAR ISI.................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….. xiii ASBTRAK ....................................................................................................... xiv ASBTRACT..................................................................................................... xv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang.......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah.................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian...................................................................... 7 D. Manfaat Penelitian.................................................................... 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ........................................................................ 9 1. Tinjauan Umum Tentang Notaris....................................... 9 2. Tinjauan Umum Tentang Organisasi Profesi Notaris ........ 25 3. Tinjauan Umum Tentang Kode Etik Notaris ..................... 28 4. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan Notaris .................. 31 5. Teori Implementasi Hukum ............................................... 36 6. Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat .…….
41
B. Kerangka Pemikiran ................................................................ 45 C. Penelitian yang Relevan .......................................................... 47 BAB III
METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ..................................................................... 51 x
B. Jenis Penelitian ........................................................................ 53 C. Sifat Penelitian.......................................................................... 53 D. Pendekatan Penelitian............................................................... 54 E. Jenis Data.................................................................................. 54 F. Sumber Data ............................................................................. 55 G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 56 H. Validitas Data ........................................................................... 57 I. Teknik Analisis Data ................................................................ 58 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ........................................................................ 61 B. Pembahasan ............................................................................. 74 1. Bentuk Pelanggaran Kode Etik Notaris yang Selama Ini Dilakukan Oleh Notaris Wonogiri ..................................... 74 2. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran
Kode Etik
Notaris, Oleh Notaris Wonogiri ......................................... 101 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................... 114 B. Saran ....................................................................................... 115
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN- LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 1 : Teori Bekerjanya hukum dalam masyarakat ……………….. 42 2. Gambar 2 : Kerangka Pemikiran ………………………………………… 46 3. Gambar 3 : Teknik Analisis Data ………………………………………… 60
xii
DAFTAR LAMPIRAN 1. Surat Ijin Penelitian di Kantor Notaris Firdaus SH,MKN, Ketua INI Wonogiri. 2. Kode Etik Notaris .
xiii
ABSTRAK
Wahyuningsih. NIM : S.351208047. PERANAN IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI)TERHADAP PENGAWASAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS (Stusi Kasus di Wonogiri), 2016. Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan penelitian dan penulisan tesis ini adalah untuk mengetahui bentuk pelanggaran Kode Etik Notaris dilakukan Notaris dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris, oleh Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris di Kabupaten Wonogiri. Metode penelitian yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan empiris, bersifat deskriptif. Teknik pengumpulan data yang di gunakan adalah data primer dengan wawancara langsung terhadap narasumber dan data sekunder adalah dokumen yang terkait dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis. Hasil penelitian menyatakan pelanggaran kode etik notaris wilayah Kabupaten Wonogiri yaitu adanya notaris adalah adanya pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, seperti tidak membacakan akta, tidak tanda tangan di hadapan Notaris, membuka kantor lebih dari satu, plang nama Notaris terpampang akan tetapi kosong, dan membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta. Selain beberapa pelanggaran kode etik yang lainnya yaitu akta yang telah terlebih dahulu dipersiapkan oleh notaris lain sehingga notaris yang bersangkutan tinggal menandatangani. Pelanggaran kode etik notaris lainnya adalah penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris, pembuatan akta di luar wilayah jabatan, ditemukannya notaris yang membuat papan nama melebihi ukuran yang telah ditentukan, adanya persaingan tarif yang tidak sehat, dimana terdapat notaris yang memasang tarif yang sangat rendah untuk mendapatkan klien. Terkait sanksi yang diberikan adalah memberikan teguran, peringatan atau schorzing dari keanggotaan Perkumpulan. Kata kunci : Ikatan Notaris Indonesia, Pengawasan Notaris, Kode Etik Notaris
xiv
ABSTRACT
Wahyuningsih. NIM: S.351208047. ROLE OF THE BUNCH NOTARY INDONESIA (INI) ON SUPERVISION IN THE IMPLEMENTATION OF DUTY TITLE NOTARY (Case Study in Wobogiri) 2016. Program Notary Law Faculty, University of March Surakarta. The aim of research and writing of this thesis is to find forms of abuse carried Notary Notary Code and imposition of sanctions for violations of the Code of Notary, the Notary in the discharge of office . The method used to achieve the objectives of this legal research using empirical approach, descriptive. Data collection techniques used are primary data directly to the informant interviews and secondary data are documents related to the problems studied by the author. The results stated violations of the code of conduct notary district of Wonogiri namely the notary is the deed that is not in accordance with the Law on Notary, such as not read the deed, not the signature before the Notary, opened an office more of a signboard Notary name emblazoned but empty, and make copies of the deed does not correspond to the minutes. In addition to some other code violations that deed that has previously been prepared by another notary so stay signing of the notary. Violations of the code of conduct notary another is signing a deed that is not done in the presence of a notary, deed outside the office, finding notaries who make the sign exceeds the specified size, the tariff competition is not healthy, where there is a notary who put up a very low rate to get clients. Related to the sanction is to give a reprimand, warning or schorzing from the membership of the Association. Keywords: Indonesian Notary Association, Monitoring Notary, Notary Code
xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi lembaga Notaris di Indonesia saat ini turut berkembang dengan cepat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan akan jasa Notaris adalah untuk membantu masyarakat dalam memberikan pelayanan hukum di dalam pembuatan akta tertulis yang terjamin kepastian serta jaminan hukumnya. Sebagai pejabat umum Notaris dituntut untuk menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Menjadi Notaris harus mempunyai etika yang baik dalam arti tidak menjatuhkan teman seprofesinya namun juga dituntut menguasai hukumnya dan tidak hanya mencari keuntungan semata. Notaris harus selalu mengacu pada ketentuan dalam peraturan perundangan yaitu UU Nomor : 30 tahun 2004 jo UU Nomor : 4 tahun 2014 dan Kode Etik Notaris. Hal ini karena selain jabatan sebagai pejabat umum, notaris adalah merupakan salah satu profesi hukum sehingga sangat perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi. Notaris diharapkan memiliki integritas moral yang mantap, bersikap jujur terhadap klien maupun diri sendiri, sadar akan batas-batas kewenangan nya dan tidak bertindak sematamata berdasarkan pertimbangan uang.1 Kewajiban Notaris selain menjaga sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan, juga berkewajiban memelihara citra serta wibawa lembaga notariat dan menjunjung tinggi harkat dan martabat notaris, tidak melakukan yang sebaliknya sehingga dapat menurunkan citra, wibawa maupun harkat dan martabat notaris. Seorang notaris yang melakukan profesinya harus 1
Liliana Tedjosaputro, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, hal. 93. 1
2
berperilaku profesional, berkepribadian baik dan menjunjung tinggi martabat kehormatan notaris dan berkewajiban menghormati rekan dan saling menjaga dan membela kehormatan nama baik korps atau organisasi. Sebagai notaris, ia bertanggung jawab terhadap profesi yang dilakukannya, dalam hal ini kode etik profesi.2 Notaris dalam memberikan pelayanan profesional selain bertanggung jawab kepada diri sendiri juga kepada masyarakat. Notaris yang bertanggung jawab kepada diri sendiri, diartikan bahwa dia bekerja karena integritas moral, intelektual dan profesional sebagai bagian dari kehidupannya. Pemberian layanan profesional notaris selalu mempertahankan cita-cita luhur profesi sesuai dengan tuntutan kewajiban hati nuraninya, bukan karena sekedar hobi belaka. Bertanggungjawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata- mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggungjawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.3 Terus
bertambahnya
jumlah
Notaris
dalam
suatu
wilayah
menimbulkan permasalahan baru karena jumlahnya sudah tidak sesuai dengan permintaan pasar dan berakibat pasar menjadi jenuh dan berbuntut pada dampak yang kurang sehat. Terjadi perebutan klien yang ujung-ujungnya seorang Notaris bisa mengesampingkan ketentuan peraturan perundangundangan dan etika profesi. Kenyataan tersebut merupakan tantangan yang cukup kuat di bidang pengawasan. Jumlah Notaris yang banyak menurut sebagian kalangan dapat 2
Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Ananta, Semarang, hal. 133-134. 3 Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hal. 60
3
dianggap sebagai suatu keberhasilan, karena memudahkan masyarakat mendapat pelayanan hukum dari Kantor Notaris, namun demikian pada sisi lain peningkatan jumlah Notaris semakin besar kemungkinan terjadinya berbagai pelanggaran. Dalam hal ini, peran organisasi diperlukan agar persoalan tidak berlarut-larut. Ikatan Notaris Indonesia (INI) adalah organisasi yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum sebagai organisasi profesi jabatan Notaris bagi segenap Notaris di seluruh Indonesia, bercita-cita untuk menjaga dan membina keseluruhan martabat dan jabatan Notaris. Pada Pra Kongres Ikatan Notaris Indonesia, pada tanggal 13 Juli 2005 di Makasar, Sulawesi Selatan. Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dalam sambutannya menyatakan bahwa Ikatan Notaris Indonesia (INI) dapat menjadi organisasi yang semakin solid, dengan melakukan konsolidasi dan menegakkan Kode Etik Notaris dalam upaya pembinaan terhadap anggotaanggotanya sehingga senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.4 Pengawasan terhadap Notaris selain dilakukan oleh Majelis Pengawas yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yakni unsur Akademisi, Pemerintah, dan Organisasi Notaris yakni Ikatan Notaris Indonesia yang disingkat dengan I.N.I., juga dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris yang juga berada di bawah INI. Pengawasan dari Majelis Pengawas bertujuan agar para Notaris harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh UndangUndang Jabatan Notaris untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Sedangkan pengawasan oleh organisasi Notaris dalam hal ini Dewan Kehormatan Notaris terfokus pada pelaksanaan Kode Etik Notaris. Produk profesi Notaris adalah akta otentik yang digunakan pada hukum pembuktian. Pengangkatan Notaris bukan untuk kepentingan Notaris
4
www.http:///majalah.depkumham.go.id
4
itu sendiri tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya, sehingga bersifat altruistik.5 Sebagai pembuat akta otentik tentu saja profesi ini dibutuhkan NotarisNotaris professional dan lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dalam memperoleh kepastian hukum. Lulus magister Kenotariatan dan lulus ujian Kode etik adalah syarat utama untuk menjadi seorang Notaris. Meski ujian kode etik ini menjadi syarat untuk menjadi seorang Notaris, namun hal ini tidak dapat dijadikan jaminan bahwa Notaris melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan kode etik profesinya. Selain dari akta otentik yang dibuat oleh Notaris, menurut Cita Astungkoro Sukmawirawan dalam Viktor M. Situmorang, terdapat akta lain yang disebut sebagai akta di bawah tangan, yaitu akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta. Dengan kata lain, akta di di bawah tangan adalah akta yang dimaksudkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum.6 Pengaturan mengenai kode etik notaris diperlukan sebagai pegangan notaris dalam melaksanakan jabatannya. Sebab seorang notaris dalam menjalankan jabatannya akan mendapat banyak tantangan seperti ingin cepat memperoleh uang atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, hal tersebut akan berpengaruh terhadap setiap akta yang dibuatnya dan juga berpengaruh terhadap masyarakat yang menggunakan jasa notaris.7 Akibat dari tidak dipatuhinya Kode etik Notaris tersebut menyebabkan timbul penyimpangan-penyimpangan dilakukan oleh Notaris dan berakibat akan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap profesi Notaris. Penyimpangan tersebut antara lain menarik biaya akta yang lebih rendah dari 5
Liliana Tedjosaputra, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang, 2003,
hlm 38. 6
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993. Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 36 7 Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 37.
5
kesepakatan yang dibuat antara Notaris sendiri, melakukan promosi dengan pengiriman karangan bunga atau cindera mata mencantumkan jabatan Notaris kepada pihak-pihak tertentu, memasang papan nama yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, mempunyai bukti kependudukan lebih dari satu. Guna mencegah terjadinya penyimpangan tersebut tentu saja dibutuhkan pengawasan oleh organisasi Notaris itu sendiri. Sulhan, Syamsul Bachri, Wiwie Heryani dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pertama, Bentuk pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh notaris terdiri dari publikasi/promosi diri, pemasangan papan nama, kantor Perwakilan, penetapan Honorarium disebabkan karena implikasi pemberian sanksi terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik tidak memberikan efek jera dan juga karena implikasi dari sanksi yang diberikan kepada notaris hanya berdampak pada keanggotaannya dalam Ikatan Notaris Indonesia dan tidak berdampak sama sekali terhadap pelaksanaan jabatannya sebagai notaris. Kedua, Urgensi penerapan sanksi perdata, sanksi administrasi dan sanksi etika terhadap notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik Notaris sangat penting sebagai upaya untuk terwujudnya profesionalisme notaris, karena hanya dengan penerapan sanksi yang tegas akan memberikan efek secara langsung kepada notaris sehingga tidak lagi melakukan pelanggaran terhadap kode etik.8 Selain beberapa pelanggaran oleh notaris di atas, juga terdapat beberapa pelanggaran lainnya yang mungkinkan dilakukan oleh notaris. Notaris dimungkinkan melakukan kesalahan dalam melaksanakan tugas jabatannya. Bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan Notaris di Banten: (1) tidak membacakan akta, (2) tidak tanda tangan di hadapan Notaris, (3) tidak berada di wilayah kerja yang ditentukan, (4) membuka kantor lebih dari satu, (5) plang nama Notaris terpampang tetapi kosong, (6) pindah alamat kantor tetapi tidak melapor, (7) membuat salinan akta tidak sesuai dengan 8
Sulhan, Syamsul Bachri, Wiwie Heryani. 2013. Pelaksanaan Kode Etik Dalam Menjalankan Jabatan Notaris, Jurnal. Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
6
minuta. Pencegahan dalam rangka penegakan hukum: (1) pembinaan (2) koordinasi dan kerjasama, (3) pengawasan yang kontinu, (4) seleksi yang lebih baik; (5) pengawasan dengan tujuan preventif, dan (6) lembaga independen.9 Penulis mengamati ternyata di Wonogiri dari 21 (duapuluh satu) Notaris yang ada, 10 (sepuluh) Notaris telah melakukan pelanggaran dengan memasang papan nama dengan ukuran yang terlalu besar dari ketentuan yang telah ada dan tercantum dalam Kode Etik Notaris. Dengan demikian perlu diteliti keberadaan organisasi Notaris dalam hal ini adalah Dewan Kohormatan Daerah Notaris Ikatan Notaris Indonesia dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik oleh Notaris. Berdasarkan kondisi sebagaimana yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang Pengawasan yang dilakukan Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris, dalam penulisan judul “ PERANAN IKATAN NOTARIS INDONESIA (INI) TERHADAP PENGAWASAN NOTARIS DALAM PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS (Studi Kasus di Wonogiri)“.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk membuat makalah tentang bentuk pengawasan oleh Organisasi Notaris dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) terhadap Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai dengan Kode Etik Notaris. 1. Apa sajakah pelanggaran Kode Etik Notaris yang selama ini dilakukan oleh Notaris ? 2. Apa sajakah penerapan sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik Notaris, oleh Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris ? 9
Endang Purwaningsih, 2014. Bentuk Pelanggaran Hukum Notaris Di Wilayah Provinsi Banten Dan Penegakan Hukumnya, Jurnal. Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan bagian pokok dari ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik dari segi teoritis maupun praktis. Setiap penelitian harus mempunyai tujuan yang jelas. Demikian juga penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif. Tujuan Obyektif Penelitian ini adalah : a. Untuk menganalisis pelanggaran Kode etik Notaris yang dilakukan oleh Notaris . b. Untuk menganalisis penerapan sanksinya terhadap pelanggaran Kode Etik oleh Notaris . 2. Tujuan Subyektif. Tujuan Subyektif Penelitian ini adalah : a. Untuk memperoleh data sebagai bahan penyusunan penulisan hukum sebagai sarana untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk memberikan gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya kenotariatan. c. Untuk menambah, memperluas dan pengembangkan pengetahuan peneliti dalam masalah kenotariatan khususnya mengenai peranan Ikatan Notaris Indonesia (INI) terhadap pengawasan notaris dalam pelaksanaan tugas jabatan notaris sesuai Kode Etik Notaris.
8
D. Manfaat Penelitian Dalam penelitian ini ada dua manfaat yang dapat diperoleh yaitu : 1. Manfaat Teoritis Manfaat Teoritis dari penelitian ini adalah : a. Hasil penelitian ini akan bermanfaat pada pengembangan Teori Sosiologi Hukum khususnya berkenaan dengan Kode Etik Notaris. b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi mahasiswa, dosen serta pembaca yang lainnya yang tertarik dalam dunia kenotariatan. 2. Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah : a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang sedang diteliti. b. Mengembangkan penalaran serta membentuk pola piker yang dinamis sekaligus menerapkan ilmu yang diperoleh. c. Diharapkan penulisan ini dapat menjadi dasar bahan kajian lebih lanjut oleh para akedemisi lainnya.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Notaris a. Pengertian Notaris Notaries berasal dari perkataan “notaries” yakni nama yang diberikan pada orang-orang Romawi dimana tugasnya menjalankan pekerjaan menulis pada masa itu. Ada pendapat dari Notodisoerjo yang mengatakan bahwa notaries itu berasal dari perkataan “nota literaria” berarti tanda (letter mark atau karakter) yang mengatakan sesuatu perkataan10. Djuhad Mahja mengemukakan berdasarkan sejarah, notaris adalah seorang pejabat Negara (pejabat umum) yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas-tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta otentik dalam hal keperdataan. 11 Pengertian notaris dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UUJN, yang menyatakan bahwa "Notaris adalah pejabat umum yang bcrwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam Undangundang ini atau berdasarkan Undang-undang lainnya. Sjaifurrachman dan Habib Adjie, menyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
10
hal 13
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia,. PT. Raja Grafindo, Jakarta
11
Djuhad Mahja, 2005. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jakarta, Durat Bahagia hal 60.
9
10
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.12 Colenbrunder menyatakan bahwa notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.13 Matome M. Ratiba menyatakan bahwa yang dimaksud dengan notaris yaitu : “Notary is a qualified attorneys which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys special privileges.”14 Dalam terjemahan
bebasnya
yaitu
Notaris
adalah
pengacara
yang
berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai notaris dan pengacara dan sebagai notaris ia menikmati hak-hak istimewa. Sebagai pejabat umum Notaris diangkat oleh Negara berdasarkan Undang-undang dan sebelum menjalankan tugasnya Notaris terlebih dahulu diambil sumpahnya untuk selalu menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Walaupun diangkat oleh Negara Notaris tidak memperoleh gaji dari pemerintah.Istilah pejabat umum (openbare ambtenaar) diberikan oleh Soebekti dan Tjitrosudibio yang ditempatkan dalam Buku IV Kitab
12
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Perbuatan Akta, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 100 13 Van Voeve, 1998, Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru, Jakarta, hal. 882. 14 Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law For Paralegals And Law Students, bookboon, USA, hal. 28
11
undang-undang Hukum Perdata tentang Pembuktian dan Daluwarsa..15 Pejabat umum dan konteks Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan pejabat yang diotoritasi oleh undang-undang untuk membuat akta autentik sebagai salah satu instrument pembuktian yang sah di pengadilan. Pejabat umum di sini menunjukkan pada jabatan yang menjadi sub sistem hukum pembuktian dan sub sistem peradilan. Penegasan Notaris sebagai pejabat umum terdapat dalam
Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor : 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Disebutkan bahwa “ Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan undang-undang lainnya.” Selain itu Notaris juga sebagai profesi, karena didalamnya mengandung arti suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas dan tanggung jawab, diabdikan dan mendapat pengakuan masyarakat serta mempunyai kode etik.16 b. Sejarah Notaris Keberadaan Notaris di Indonesia sudah dikenal sejak zaman Belanda ketika menjajah Indonesia. Dalam perkembangannya hukum Notariat yang diberlakukan di Belanda selanjutnya menjadi dasar peraturan perundang-undangan Notariat yang diberlakukan di Indonesia.17 Tanggal 27 Agustus 1620, dibawah Pemerintah Belanda seseorang yang pertama kali diangkat sebagai notaris adalah Meichior Kerchem. Sesudah pengangkatan yang dilakukan oleh Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen tersebut kemudian jumlah notaris dalam Kota Jakarta ditambah, dan berhubung kebutuhan akan jasa notaris itu sangat dibutuhkan yaitu tidak hanya dalam Kota Jakarta saja 15
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Burgerlijk Wetboek, Diterjemahkan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 475. 16
LilianaTedjosaputra, 1995 Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal 53. 17 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat & Serba-serbi Praktek Notaris, Buku I, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal. 15.
12
melainkan juga di luar Kota Jakarta maka selanjutnya diangkat notaris-notaris oleh penguasa-penguasa setempat. Dengan demikian mulailah notaris berkembang di wilayah Indonesia.18 Kelompok pelajar pada zaman Romawi kuno yang berprofesi sebagai “Scribae” mempunyai tugas untuk mencatat berupa nota dan minuta dari berbagai catatan kegiatan atau keputusan yang disimpan dan dikeluarkan salinannya, baik menyangkut hubungan privat maupun publik.19 Tugas penulisan pada saat itu tidak hanya dikerjakan oleh tabelliones
melainkan ada pejabat yang dikenal sebagai tabularii.
Tabularii merupakan pejabat yang memiliki tugas administrasi yakni memegang dan mengerjakan buku-buku keuangan serta mengadakan pengawasan atas administrasi dan magistrat kota. Tabularii juga bertugas menyimpan surat-surat dan diberi wewenang untuk membuat akta. Berbeda dengan tabelliones dan notarius, tabularii telah memiliki sifat ambtelijk karenanya memiliki hak untuk menyatakan secara tertulis bahwa perbuatan-perbuatan hukum yang ada dari para pihak membutuhkan jasanya.20 Mengenai kekuatan eksekusi akta notaris tidak dijumpai dalam perundang-undangan hukum Belanda Kuno (Oud Nederlands) hingga berlakunya undang-undang Perancis yang dinamakan Ventose Wet (Undang-Undang Nomor 25 Ventose Tahun XI) yaitu sekitar 1803 yang mengatur tentang Loi organique du Notariat. Ventose Wet kemudian diberlakukan di negara-negara yang menjadi jajahan Perancis termasuk Belanda. Dengan amanat (decreet) Raja tertanggal 8 November 1810, Ventose Wet yang memuat peraturan tentang Notariat
18
Ibid.,hal. 16 A. A. Andi Prajitno, 2010. Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 9. 20 Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,. Yogyakarta, hal. 7 19
13
diberlakukan di Belanda. Ketentuan ini menjadi landasan hukum pemberlakuan hukum Perancis tentang notariat di Belanda.21 Belanda mengadopsi sistem kenotariatan bergaya Latin yang dianut Perancis. Melalui Dekrit Kaisar tertanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 berlakulah undang-undang kenotariatan Perancis di Belanda.22 Peraturan buatan Perancis ini (25 Ventose an XI (16 Maret 1803)) sekaligus menjadi peraturan umum pertama yang mengatur kenotariatan di Belanda.23 Setelah Belanda lepas dari kekuasaan Perancis pada tahun 1813, Peraturan buatan Perancis tersebut tetap digunakan sampai tahun 1842, yakni pada saat Belanda mengeluarkan Undang-Undang tanggal 19 Juli 1842 (Nederland Staatblad Nomor 20) tentang Jabatan Notaris.24 Peraturan Undang-Undang Jabatan Notaris atau Wet op het Notarisambt (Notariswet) pada dasarnya tetap mengacu pada undangundang buatan Perancis sebelumnya (Ventosewet) dengan penyempurnaan pada beberapa pasal, misalnya tentang penggolongan notaris, dewan pengawas, masa magang, dan proses teknis pembuatan akta.25 c. Profesi Notaris Jabatan Notaris hakikatnya adalah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti otentik tetap diperlukan oleh sistem hukum Negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya ditengah masyarakat.26 21
Ibid., hal. 9 B. Duinkerken, 1988. Notariaat in Overgangstijd 1796-1642, Kluwer-Deventer, hal. 43. 23 Ibid., 24 Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, 2009. 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan di Masa Mendatang, Cetakan kedua, Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, hal. 47. 25 Ibid., 26 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta, hlm. 4 22
14
Notaris merupakan salah satu profesi yang mempunyai karateristik tersendiri dibandingkan profesi lain seperti : Advokat, Jaksa, Arbirter dan Hakim. Dimana tugas notaris adalah membantu orang-orang yang mempunyai masalah hukum. Untuk itu, agar dapat menjalankan profesi tersebut, maka seseorang harus memiliki keahlian khusus sebagai salah satu prasyarat untuk menjadi professional dalam profesi tersebut.29 Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum merupakan suatu jabatan terhormat yang diberikan oleh negara secara atributif melalui undangundang kepada seseorang yang dipercayainya. Sebagai pejabat umum, Notaris diangkat oleh Menteri Hukm dan HAM, hal tersebut berdasarkan pasal 2 UUJN. Dengan diangkatnya seorang Notaris maka Notaris dapat menjalankan tugasnya dengan bebas, tanpa dipengaruhi badan eksekutif dan badan lainnya dan dapat bertindak netral dan independen.27 Tugas Notaris adalah untuk melaksanakan sebagian fungsi publik dari negara dan bekerja untuk pelayanan kepentingan umum khususnya dalam bidang hukum perdata, serta untuk mencegah terjadinya suatu persoalan antara pihak-pihak tertentu, walaupun Notaris bukan merupakan pegawai negeri yang menerima gaji dari Negara.28 Pelayanan kepentingan umum tersebut adalah dalam arti bidang pelayanan pembuatan akta dan tugas-tugas lain yang dibebankan kepada Notaris, yang melekat pada predikat sebagai pejabat umum dalam ruang lingkup tugas dan kewenangan Notaris. Akta notaris yang diterbitkan oleh notaris memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.29 Notaris
perlu
memperhatikan
“perilaku
jabatan”
yang
menunjukkan tingkat profesionalitas seseorang pada pekerjaannya. 27
Ibid., hal. 6 Grace Giovani, Notaris: kedudukan, fungsi dan peranannya, http://notarisgracegiovani. com, diakses tanggal 21 Maret 2016, pukul 14.24 WIB. 29 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, Op.Cit., hlm. 6 28
15
Perilaku idealnya yang harus dimiliki oleh seorang Notaris, adalah sebagai berikut : 1) Dalam menjalankan tugas profesinya. Seorang Notaris harus mempunyai integritas moral yang mantap. Dalam hal ini, segala pertimbangan moral harus menjadi landasan dalam pelaksanaan tugas profesinya. Walaupun akan memperoleh imbalan jasa yang tinggi, namun sesuatu yang bertentangan dengan moral harus dihindarkan. 2) Seorang Notaris harus jujur, tidak hanya pada kliennya, tetapi juga pada diri sendiri. Ia juga harus mengetahui akan batas-batas kemampuannya, tidak memberi janji-janji, sekedar untuk menyenangkan kliennya, atau agar si klien tetap mau memakai jasanya. Kesemuanya itu merupakan suatu ukuran tersendiri tentang kadar kejujuran intelektual seorang Notaris. 3) Seorang Notaris harus menyadari akan batas-batas kewenangannya. Ia harus mentaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, Tentang seberapa jauh ia dapat bertindak dan apa yang boleh serta apa yang tidak boleh dilakukan. Adalah bertentangan dengan perilaku profesional, apabila seorang Notaris ternyata berdomisili dan bertempat tinggal tidak ditempat kedudukannya sebagai Notaris. Atau memasang papan dan mempunyai kantor di tempat kedudukannya, tetapi tempat tinggalnya dilain tempat. Seorang Notaris juga dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Apabila ketentuan tersebut dilanggar, maka akta yang bersangkutan akan kehilangan daya otentiknya. 4) Sekalipun keahliannya dapat dimanfaatkan sebagai upaya yang lugas untuk mendapatkan uang, Namun dalam menjalankan tugas profesinya seorang Notaris harus dapat menciptakan alat bukti formal yang menjamin kepastian hukum tanpa mengesampingkan rasa keadilan yang didukung oleh pengetahuan dan pengalaman.30 Seseorang yang diangkat sebagai Notaris, bekerja untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya. Agar dapat menjalankan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan kewenangannya dengan baik dan benar. Seorang Notaris haruslah berupaya sedapat mungkin meningkatkan kualitas dirinya. Baik itu melalui pendidikan untuk memantapkan pengetahuan dan pemahamannya. Maupun dengan meningkatkan pendalamannya 30
Nico Winanto, 2003. TanggungJawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centre for Documentation and Studies of Busines Law (CDSBL), Yogyakarta, hal. 37-39.
16
terhadap ilmu pengetahuannya Akta Otentik hasil pencatatan yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Catatan ini dapat menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula menghindari terjadinya sengketa. Pada hakikatnya, Akta otentik memuat kebenaran formal, sesuai
dengan
apa
yang
diberitahukan
para
pihak.
Notaris
berkewajiban untuk memasukkan, bahwa apa yang termuat dalam akta itu sungguhsungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan memperjelas isi dan membacakannya. Notaris juga berkewajiban memberikan akses terhadap informasi mengenai peraturan
perundang-undangan
yang
terkait
bagi
para
pihak
penandatangan akta. Agar para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta yang akan ditandatanganinya. d. Tugas dan Wewenang Notaris. Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris pasal 1 ayat 1 yang dinyatakan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dan undang undang lainnya. Pada Pasal 1868 KUHPerdata dinyatakan “ Suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang dibuat oleh atau dihadapkan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Semua produk akta Notaris adalah sebagai alat bukti sempurna sesuai di dalam Pasal 1870 KUHPerdata bahwa “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Menurut Pasal 15 Ayat 2 Undang-undang Nomor : 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, bahwa selain untuk membuat akta-akta
17
autentik, Notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mengesahkan surat-surat atau akta yang dibuat dibawah tangan Seorang notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap notaris tersebut, dan keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang notaris.31 Menurut Lubis Suhrawadi karena tugas yang diemban Notaris adalah tugas yang seharusnya merupakan tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan Notaris mempunyai akibat hukum yakni Notaris dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada aktanya kekuatan autentik dan eksekutorial.32 Tan Thong Kie, menyatakan bahwa “figur seorang Notaris harus merupakan figure yang keterangannya dapat diandalkan dan dipercaya, serta tanda tangannya dan segelnya (capnya) memberi jaminan bukti kuat”.33 Kewenangan Notaris di atur dalam Bab III bagian pertama Pasal 15 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, kemudian dirubah dalam Pasal I angka 6 Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang jabatan Notaris berbunyi sebagai berikut : Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 15 (1) Notaris berwenang membuat akta uatentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh 31
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta, hal. 41. 32 Lubis Suhrawadi, 1993 Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika Jakarta, hal 35 33 Tan Thong Kie, 2000, Studi notariat dan serba-serbi praktek notariat buku I, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta
18
yang berkepentingan
untuk dinyatakan dalam Akta uatentik
menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang. (2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b. Membukukan surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana di tulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya. e. Memberikan
penyuluhan
hukum
sehubungan
dengan
pembuatan akta. f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau. g. Membuat Akta Risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Notaris mempunyai kewenangan lain yang di atur dalam peraturan perundang-undangan. Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan wilayah kewenangan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dalam mendirikan kantor Notaris tidak diperkenankan mendirikan lebih dari satu kantor. Pengertian terhadap kata tanggung jawab menurut kamus Departemen Pendidikan Nasional diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, kalau ada sesuatu hal boleh dituntut,
19
dipermasalahkan, diperkarakan, dan sebagainya.34 Menurut O.P. Simorangkir, tanggung jawab adalah kewajiban menanggung atau memikul segala-galanya yang menjadi tugas, dengan segala dilihat dari pada tindakan yang baik maupun yang buruk.35 Dalam hal tindakan atau perbuatan yang baik, maka tanggung jawab berarti menjalankan kewajiban atau perbuatan-perbuatan itu dengan baik, adapun dalam hal tindakan atau perbuatan yang buruk, maka tanggung jawab berarti memikul akibat tindakan atau perbuatan yang buruk.36 Purwahid Patrik menjelaskan, tanggung jawab berarti orang harus menanggung untuk menjawab terhadap segala perbuatan nya atau segala yang menjadi kewajiban dan dibawah pengawasannya beserta segala akibatnya.37 Mengenai bentuk tanggung jawab Notaris, Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa bentuk-bentuk tanggung jawab Notaris dapat diberi pengertian sebagai berikut : 1) Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar artinya
akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan
permintaan pihak yang berkepentingan karena jabatannya. 2) Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu.
34
Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama, hal.1398 35 O.P. Simorangkir, 1998. Etika Jabatan, Aksara Persada Indonesia, hal. 102. 36 Ibid 37 Purwahid Patrik, Perkembangan Tanggung Gugat Resiko dalam Melawan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 8
20
3) Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta Notaris mempunyai kekuatan bukti sempurna.38 Menurut Simon, pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya.39 Menurut Moeljatno, pertanggungjawaban pidana dinamakan criminal liability atau responsibility untuk dapat dipidananya seseorang selain dari pada melakukan perbuatan pidana orang itu juga harus mempunyai kesalahan, atau pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela.40 e. Dasar Hukum Notaris Pelayanan hukum yang diberikan oleh notaris kepada masyarakat diatur dalam Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia/ Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia (Stb, 1860 Nomor 3), diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan disempurnakan lagi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014. Keberadaan notaris, secara etis yuridis, diatur dalam ramburambu Undang-Undang Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860-3) berdasarkan Staatsblad 1855-1879 tentang Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama Buku Keempat dalam Pasal-Pasal sebelumnya, yang secara sistematis merangkum suatu pola ketentuan alat bukti berupa tulisan sebagai berikut:
38
Abdulkadir Muhammad, 2001. Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.
93-94 39
Simon dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 61. 40 Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 43
21
1) Bahwa
barang
siapa
mendalilkan
peristiwa
di
mana
ia
mendasarkan suatu hak, wajib baginya membuktikan peristiwa itu; dan sebaliknya terhadap bantahan atas hak orang lain (1865 KUH Perdata); 2) Bahwa salah satu alat bukti ialah tulisan dalam bentuk otentik dan di bawah tangan. Tulisan otentik ialah suatu akta yang dibuat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang; di tempat mana akta itu dibuat (1866-1868 KUH Perdata); 3) Bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta otentik... (Pasal 1 Stb. 1860-3). Ketentuan tersebut menunjukkan alat bukti tertulis yang dibuat otentik oleh atau di hadapan notaris berada dalam wilayah hukum perdata (pribadi/privat). Ini berbeda dengan istilah ”barang bukti” dalam hukum pidana atau ”dokumen surat” dalam hukum administrasi negara ataupun hukum tata usaha negara yang biasa disebut dengan surat keputusan (beschikking), yang termasuk dalam wilayah hukum publik. Alat bukti tertulis otentik yang dibuat notaris berbeda maksud tujuan dan dasar hukumnya dengan surat keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014, sebagai produk hukum nasional, dan secara substantif Undang-Undang tentang Jabatan Notaris yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Jabatan Notaris (Staatblaad 1860:3), dan karena itu kajian dalam penulisan ini tetap mengaju kepada Undang-Undang No. 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dan dengan membandingkanan pada Peraturan Jabatan Notaris (Staatblad 1860:3).
22
Aturan hukum Jabatan Notaris di Indonesia, dari pertama kali banyak mengalami perubahan dan bermacam-macam. Dari beberapa aturan hukum yang ada, kemudian dimasukkan ke dalam satu aturan hukum yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Misalnya tentang pengawasan, pengangkatan dan pemberhentian Notaris. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris maka telah terjadi unifikasi hukum dalam pengaturan Notaris di Indonesia dan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris merupakan hukum tertulis sebagai alat ukur bagi keabsahan Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.41 f. Hak dan Kewajiban Notaris Kewajiban Notaris di atur dalam Bab III Bagian Pertama Pasal 16 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris, kemudian dirubah dalam Pasal I angka 7 Undang Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang jabatan Notaris, sebagai berikut : Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 16 (1) Dalam menjalankan jabatannya Notaris wajib : a. Bertindak amanah,jujur,saksama,mandiri,tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. c. Melekatkan Surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta. d. Mengeluarkan grosse akta, salina akta, atau kutipan akta berdasarkan Minuta akta.
41
Habib Adjie, 2011, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, hal. 38
23
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini keculai ada alasan untuk menolaknya. f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yng dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji
jabatan,
kecuali
undang-undang
menentukan lain. g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (limapulu) akta dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi labih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku. h. Membuat daftar dari akta Protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga. i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan. j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya. k. Mencatat dalam Repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat setiap akhir bulan. l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambing Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan. m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawah tangan dan
24
ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap,saksi dan Notaris, dan n. Menerima magang calon Notaris. Sedangkan larangan Notaris di atur dalam Bab III bagian Pertama pasal 17 Undang-undang Nomor : 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris, kemudian dirubah dalam Pasal I angka 9 Undangundang Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang undang Jabatan Notaris sebagai berikut: Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : Pasal 17 (1) Notaris dilarang : a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah. c. Merangkap sebagai pegawai negeri. d. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Negara. e. Merangkap jabatan sebagai advokad. f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta. g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat akta Tanah dan/atau Pejabat lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris. h. Menjadi Notaris Pengganti. i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Agar senantiasa dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat Notaris setiap saat maka seorang Notaris tidak dapat diperkenankan meninggalkan tugasnya dalam keadaan apapun terkecuali terlebih dulu Notaris yang bersangkutan mengajukan hak
25
cuti dan menunjuk notaris pengganti, diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2004. Menurut Kohar, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi aktanya bahkan wajib merahasiakan semua pembicaraan-pembicaraan para langganannya pada waktu diadakan persiapan-persiapan untuk membuat akta.42 2. Tinjauan Umum Tentang Organisasi Profesi Notaris Perhimpunan para Notaris di Indonesia yang dinamakan “Ikatan Notaris Indonesia” disingkat “I.N.I” merupakan kelanjutan dari “de Nederlandsch-Indishe Notarieele Vereeninging” didirikan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 1 Juli 1908 (menurut anggaran dasar ex Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 4 Desember 1958 no. J.A5/117/6). Vereeniging ini berhubungan erat dengan “broaederrschap van Candidaat Notarissen dan “Broaderschap der Notarissen” di Negara Belanda, dan diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) dengan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor. 9.43 Dari dahulu hingga sekarang Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) merupakan satu-satunya wadah bagi para Notaris di seluruh wilayah kesatuan Republik Indonesia yang diakui. Munculnya organisasiorganisasi serupa seperti A.N.I (Asosiasi Notaris Indonesia), PERNORI (Perhimpunan Notaris Reformasi Indonesia), H.N.I (Himpunan Notaris Indonesia). Akibat adanya ketidakpuasan kinerja Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I). melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-01.HT.03.02 tahun 2003 dinyatakan bahwa Ikatan Notaris Indonesi (I.N.I) adalah satu-satunya wadah perhimpunan Notaris yang dikukuhkan. Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya Organisasi Notaris yang diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 82 dan 83, kemudian dirubah
42
dalam Undang-
Kohar A. 1983.”Notaris, Dalam Praktek Hukum”. Alumni. Bandung, hlm 29 ibid, hlm 269
43
26
undang Nomor : 2 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Jabatan Notaris Pasal I angka 41 berbunyi sebagai berikut : (1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi notaris. (2) Wadah Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Ikatan Notaris Indonesia. (3) Organisasi Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu-satunya wadah profesi notaris yang bebas dan mandiri yang dibentuk
dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas
profesi Notaris. (4) Ketentuan mengenai tujuan,tugas,wewenang,tata kerja dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Notaris. (5) Ketentuan
mengenai
penetapan,
pembinaan
dan
pengawasan
Organisasi Notaris di atur dengan Peraturan Menteri. Tujuan dari Ikatan Notaris Indonesia terdapat dalam Pasal 7 Anggaran Dasar INI adalah : 1. Menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan serta mengupayakan terwujudnya kepastian hukum. 2. Memajukan dan mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu serta Pengetahuan dalam bidang Notariat pada khususnya. 3. Menjaga keluhuran martabat serta meningkatkan mutu Notaris selaku Pejabat Umum dalam rangka pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara. 4. Memupuk
dan
mempererat
hubungan
selaturahmi
dan
rasa
persaudaraan serta rasa kekeluargaan antara sesama anggota untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan serta kesejahteraan segenap anggotanya. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas maka INI melakukan usahausaha yang terdapat dalam Pasal 8 Anggaran Dasar INI yaitu : 1. Melakukan kegiatan untuk menumbuhkan kesadaran rasa turut memiliki Perkumpulan yang bertanggung jawab, guna terciptanya rasa
27
kebersamaan di antara sesama anggota dalam rangka meningkatkan peranan, manfaat, fungsi dan mutu perkumpulan. 2. Melakukan kegiatan untuk meningkatkan mutu dan kemampuan anggota di dalam menjalankan jabatan dan profesinya secara Profesional, guna menjaga dan mempertahankan keluhuran martabat jabatan Notaris. 3. Menjunjung tinggi serta menjaga kehormatan profesi jabatan Notaris, meningkatkan fungsi dan peranya serta meningkatan mutu ilmu kenotariatan dengan jalan menyelenggarakan pertemuan ilmiah, ceramah, seminar dan sejenisnya serta penerbitan tulisan karya ilmiah. 4. Memperjuangkan dan memelihara kepentingan, keberadaan, peranan, fungsi dan kedudukan lembaga Notaris di Indonesia sesuai dengan harkat dan martabat profesi jabatan Notaris. 5. Mengadakan, memupuk serta membina dan meningkatkan kerjasama dengan badan, lembaga, dan norganisasi lain, baik di dalam maupun dari luar negeri yang mempunyai tujuan yang sama atau hampir sama dengan Perkumpulan termasuk dengan lembaga pendidikan atau instansi yang terkait dan yang mempunyai hubungan dengan lembaga kenotariatan. 6. Mengadakan dan menyelenggarakan pendidikan Notaris, serta berperan aktif dalam mempersiapkan lahirnya calon Notaris yang Profesional, berdedikasi tinggi, berbudi luhur, berwawasan dan berilmu pengetahuan luas dan memiliki integrasi moral serta memiliki akhlak yang baik. 7. Melakukan usaha lain sepanjang tidak bertentangan dengan asas, pedoman dan tujuan. Susunan dan alat perlengkapan Organisasi Notaris Indonesia tercantum pada Bab V Pasal 10 dalam Anggaran Dasar INI diantaranya: a. Rapat Anggota terdiri dari: Konggres/konggres Luar Biasa Konferensi Wilayah/Konferensi Wilayah Luar Biasa
28
Konferensi Daerah/Konferensi Daerah Luar Biasa b. Kepengurusan Pengurus Pusat Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah c. Dewan Kehormatan Dewan Kehormatan Pusat Dewan Kehormatan Wilayah Dewan Kehormatan Daerah 3. Tinjauan Umum Tentang Kode Etik Notaris Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno Ethos yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Menurut Bertens Etika dapat dirumuskan sebagai berikut : a. Etika dipakai dalam arti Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini disebut juga sebagai “system nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau hidup manusia perseorangan atau hidup bermasyarakat. Misalnya Etika orang Jawa, Etika agama Budha. b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral. Yang dimaksud di sini adalah kode etik misalnya Kode Etik Advokad, Kode Etik Notaris Indonesia. c. Etika dipakai dalam arti ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika disini sama dengan Filsafat moral.44 Menurut pendapat Liliana Tedjosaputra Etika profesi adalah keseluruhan tuntutan moral yang terkena pada pelaksanaan suatu profesi, sehingga etika profesi memperhatikan masalah ideal dan praktek-praktek yang berkembang karena adanya tanggung jawab dan hak-hak istimewa yang melekat pada profesi tersebut, yang merupakan ekspresi dari usaha 44
Hlm 14
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006,
29
untuk menjelaskan keadaan yang belum jelas dan masih samar-samar dan merupakan penerapan nilai-nilai moral yang umum dalam bidang khusus yang lebih dikonkretkan lagi dalam Kode Etik.45 Ada dua konsep etika profesi hukum yang saat ini cukup mendominasi dalam menghadapi modernisasi atau proses pergeseran dari hukum ‘klasik’ menuju hukum ‘modern’ seperti telah penulis ungkapkan di atas tadi. Kebetulan, dua konsep tersebut lahir dari ahli-ahli teori hukum di Amerika. Meski begitu, bukan berarti dua konsep ini memiliki pandangan yang sejalan. Justru sebaliknya, masing-masing konsep dimaksud justru telah memilih dua kutub berseberangan dalam menghadapi modernisasi.46 Konsep yang pertama adalah konsep yang diutarakan oleh Anthony Kronman
dalam
bukunya
The
Lost
Lawyer
(1993).
Kronman
menggambarkan seorang profesional hukum yang ideal sebagai seorang lawyer statesman. Profesional hukum tersebut harus memiliki tiga elemen pokok berikut ini: kecakapan teknis yuridis, sifat yang terpuji, serta kebijaksanaan yang membumi (phronesis). Dilihat dari karakter-karakter tersebut, profesional hukum yang ideal di mata Kronman, tak lain dari profesional hukum yang lahir di tengah budaya hukum ‘klasik’. Memang itu yang dimaksudkan Kronman, yaitu nostalgia pada figur phronimos atau ‘sang bijak’ ala Aristoteles.47 Konsep kedua menurut Posner, profesi hukum tak lain dari sebuah kartel atau sindikat yang berusaha melindungi anggotanya dari pengaruh eksternal, yaitu pengaruh pasar dan regulasi pemerintah, serta pengaruh internal, yaitu persaingan antar sesama mereka. Seorang profesional 45
Liliana Tedjosaputro, 1995.Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta : Bayu Grafika, Hal. 9. 46 www.hukumonline.com. Etika Profesi Hukum di Era Perubahan, Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht. 47 A.M. Hol dan M.A. Loth dalam “Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie”, Nederlands Tijdschrijft voor Rechtsfilosofie & Rechtstheorie 2001/1, hal. 957. Alih bahasa Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht.
30
hukum yang ideal adalah seorang sociaal engineer.48 Dia harus lebih terorientasi pada penelitian empiris, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pada umumnya, serta harus lepas dari kemampuan yuridis ‘klasik’ yang menitikberatkan pada interpretasi teks dan argumentasi praktis. Setelah melihat dua konsep ideal tersebut, tentu kita berpikir bahwa modernisasi telah membawa kita pada satu kondisi yang dilematis. Ibarat makan buah simalakama, apabila kita ikuti konsep nostalgia Kronman, telah terbukti bahwa ‘sang bijak’ belum tentu bijak, sedang apabila kita ikuti konsep teknokrasi Posner kita akan jatuh ke dalam pragmatisme yang bukan tidak mungkin membuat hukum rimba kembali berlaku (mungkin bukan lagi berupa kekuatan okol atau kekuasaan, namun berupa kekuatan kapital). Etika profesi merupakan etika dari semua pekerjaan/profesi seperti pengacara, hakim, akuntan, Notaris, dan lain-lain. Istilah "kode" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai "tanda"," sandi", dan sebagainya. Jadi "Kode Etik Notaris" merupakan etika yang berkaitan erat dengan
peraturan
Jabatan
Notaris,
dan
tentunya
yang
bersangkutan dengan Profesi Notaris dan fungsi Notariat itu sendiri. Para ahli sering mengatakan bahwa suatu kelompok manusia yang bermartabat tinggi tentu diharap sukarela tunduk pada Etika Profesi yang tidak dapat dipaksakan. Kode Etik Notaris meliputi : a. b. c. d. e. 48
Etika kepribadian notaris, Etika melakukan tugas jabatan, Etika pelayanan terhadap klien, Etika hubungan sesama rekan notaris Etika pengawasan terhadap Notaris.49
www.hukumonline.com. Etika Profesi Hukum di Era Perubahan, Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht. 49 Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hlm 89
31
Etika Notaris di atur dalam Kode Etik Notaris yang di tetapkan di Bandung pada tanggal 27 Januari 2005. Dalam Bab I Pasal 1 angka 2 Kode etik Notaris disebutkan definisi Kode Etik Notaris adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut Perkumpulan berdasarkan keputusan Konggres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan semua orang yang menjalankan jabatan sebagi Notaris, termasuk didalamnya para Pejabat Sementara,Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus. Kode etik yang terbaru adalah Kode Etik yang ditetapkan dalam Konggres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (INI) di Banten pada tanggal 30 Mei 2015 . Dalam melakukan tugasnya Notaris harus bertanggung jawab artinya : a. Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak berkepentingan karena jabatannya. b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak yang berkepentingan dalam arti sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak berkepentingan kebenaran isi dan prosedur akta yang dibuatnya itu. c. Berdampak positif artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu mempunyai kekuatan bukti sempurna. 50 4. Tinjauan Umum Tentang Pengawasan Notaris Dalam melakukan pekerjaannya seorang Notaris harus mengikuti rambu-rambu agar tidak melenceng dan berakibat melakukan pelanggaranpelanggaran terhadap Undang-undang Jabatan Notaris. Kontrol dari pemerintah terhadap profesi Notaris diemban oleh Majelis Pengawas Notaris yang terdapat ditingkat kebupaten propinsi dan pusat. Adanya 50
Ibid, hlm 94
32
suatu mekanisme pengawasan sangat diperlukan agar pelaksanaan norma hukum dan kode etik profesi notaris tersebut berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan Pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris yang terdapat di bawah Ikatan Notaris Indonesia. Pengawasan merupakan tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan untuk kemudian dilakukan perbaikan dan mencegah terulangnya kembali kesalahankesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanaannya tidak berbeda dengan rencana yang ditetapkan.51 Pengawasan merupakan salah satu prinsip dari 4 (empat) prinsip fungsi manajemen.52 Prinsip-prinsip
tersebut
meliputi
perencanaan
(planning),
pengorganisasian (organizing), memimpin (leading) dan pengawasan (controlling). George dan Jones menyatakan bahwa “controlling is evaluating how well an organization is achieving its goals and taking actions to maintain or improve performance.”53 Dari pengertian tersebut pengawasan dapat dimaknai sebagai kegiatan menilai seberapa baik sebuah organisasi berhasil mencapai tujuan-tujuannya dan mengambil tindakan untuk mempertahankan atau mengembangkan kemampuan bekerja. Mengutip kembali pandangan Moekijat : “Pengawasan berarti kemampuan untuk menjuruskan dan memberikan motivasi serta mengetahui apa yang sesungguhnya telah dilakukan dibandingkan dengan apa yang harus dilakukan. Pengawasan mengandung perbuatan standar untuk mengadakan perbandingan dan standar mengandung pengukuran pekerjaan.”54 51
Djati Juliarsa dan John Suprianto, 1988. Manajemen Umum, BPPT, Yogyakarta, hlm
101. 52
Jenifer M. George, Gareth R. Jones, 2006. Contemporary Management , hlm 8. Ibid., hlm 12. 54 Moekijat, 1989. Tanya Jawab Asas-asas Manajemen, CV Mandar Maju, Bandung, hlm 53
57.
33
Sebagian berpendapat : “pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar segala sesuatunya berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.”55 Pengawasan merupakan salah satu aspek penegakan hukum. Dengan pengawasan diharapkan tidak terjadi pelanggaran, sebagaimana pandangan Abdulkadir Muhammad yang menyatakan : “Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai uasaha melaksanakan hukum sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya agar tidak terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali.”56 Penegakan hukum menurut Satjipto Rahardjo : “Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum akan turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.”57 Menurut Suryono Soekanto : “Penegakan hukum merupakan kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandanganpandangan denagan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”58 Penegakan hukum dapat disimpulkan dari pandangan-pandangan tersebut bahwa merupakan suatu proses untuk mewujudkan cita-cita
55 56
Sondang P. Siagian, 1995. Filsafat Administrasi, PT. Gramedia, Jakarta, hlm 135. Abdulkadir Muhammad, 2007. Etika Profesi Hukum,PT Citra Aditya Bakti,Bandung,
hlm 115. 57
Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, CV. Sinar Baru, Bandung, hlm 24. 58 Soerjono Soekanto, 1983. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta, hlm 2.
34
hukum menjadi kenyataan, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian pergaulan hidup. Melalui penegakan hukum, hukum menjadi kenyataan.59 Pengawasan terhadap Notaris mengarah pada penegakan aturanaturan hukum yang membatasi ruang lingkup jabatan Notaris. Tujuan pengawasan terhadap para Notaris ialah agar para Notaris sedapat mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan kode etik Notaris demi kepentingan masyarakat umum yang dilayaninya.60 Mekanisme pengawasan terhadap profesi Notaris diatur secara ideal dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial masyarakat hukum yang berhubungan langsung dengan profesi ini. Pengawasan merupakan salah satu aspek penegakan hukum yang harus selalu diperhatikan dan dilaksanakan dalam lingkungan penegak hukum termasuk pengawasan terhadap Notaris. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia-manusia didalamnya, dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Oleh karena itu hukum baru dapat dilaksanakan secara efektif apabila diikuti dengan pengawasan atau mekanisme kontrol yang kuat dari pihak yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian profesi hukum yang dijalankan tetap pada koridor etika profesi dan sesuai dengan pelaksanaan jabatannya, sehingga kepercayaan masyarakat sebagai pengguna jasa Notaris akan tetap terjaga. Pengawasan dimaksud merupakan kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif. Bersifat Preventif mengandung makna suatu proses pembinaan, sedangkan bersifat kuratif mengandung makna melakukan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dalam pelaksanaan jabatannya apabila terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang undang Nomor
30
tahun 2004 tentang Jabatan Notaris beserta Perubahannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 dan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris. 59
Liliana Tedjosaputra, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, op. cit.,
60
GHS Lumban Tobing, op. cit., hlm 124.
hlm 61.
35
Ruang lingkup pengawasan ini lebih luas daripada ruang lingkup pengawasan kepada Notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah sebagaimana telah diatur dengan jelas dan tegas dalam UndangUndang Jabatan Notaris. Pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik Notaris dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris yang berada di bawah Ikatan Notaris Indonesia (INI) . Dewan Kehormatan Notaris tersebut bertugas untuk : a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung; c. Memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan jabatan Notaris. Fungsi Pembinaan ditujukan agar yang diawasi yaitu Notaris selalu diingatkan untuk selalu memahami dan oleh karena itu karena mematuhi aturan baik yang hanya tercantum dan di atur dalam Kode Etik Notaris maupun ketentuan dalam Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Semua itu dilandasi oleh Undang-undang atau Makna Sumpah Jabatan yang diucapkan dan disaksikan oleh saksi dunia yaitu Pejabat Pelaksana Sumpah dan para saksi yang khusus didatangkan untuk itu. Tidak lupa bahwa sumpah jabatan Notaris tersebut juga disaksikan oleh Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi. Dalam suasana empati ini diharapkan Notaris sudah mempunyai sistim pertahanan diri untuk menangkal segala godaan dan iming-iming yang menggiurkan untuk menangkal segala sesuatu hal yang dapat membuat jatuhnya kehormatan dan martabat Notaris. Fungsi Pengawasan kepada Notaris ditujukan agar dalam menjalankan jabatannya Notaris senantiasa mematuhi ketentuan-ketentuan Perundang-undangan yang berlaku, dan Kode Etik Notaris karena bila seorang Notaris terbukti melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi.
36
Maksud dan tujuan diadakannya Pengawasan terhadap tugas jabatan Notaris adalah untuk memberikan arah dan tuntunan bagi Para Notaris dalam menjalankan tugasnya san
jabatan profesinya sebagai
pejabat umum guna meningkatkan profesionalisme dan kualitas kerja sehingga dapat memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa Notaris. Dengan adanya Undang-Undang Nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris serta Undang Undang Nomor : 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang jabatan Notaris, merupakan perlindungan hukum bagi Notaris sebagai pejabat umum yakni perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris harus sesuai dengan Undang undang Jabatan Notaris tersebut dan Kode Etik Notaris. Perwakilan dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) melakukan pengawasan terhadap Notaris melalui Majelis Pengawas Notaris dan Dewan Kehormatan Notaris. Seorang Notaris adalah manusia yang dianggap lebih mengetahui hukum sehingga dalam menjalankan tugas jabatannya hendaknya Notaris selalu menambah wawasan keilmuan di bidang hukum, mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam mengambil suatu keputusan, selain yang paling pokok adalah melaksanakan Undang Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. 5. Teori Implementasi Hukum Dalam bukunya Solichin Abdul Wahab, Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier yang mengembangkan Frame Work for Implementation Analysis” memberikan pengertian tentang implementasi sebagai berikut : “Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintahperintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan / sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasi. Proses ini berlangsung setelah melalui sejumlah tertentu, biasanya diawali dengan tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijaksanaan dalam bentuk pelaksanaan keputusan oleh badan
37
atau instansi pelaksana, kesediaan dilaksanakannya keputusankeputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran, dampak nyata baik yang dikehendaki atau tidak dari output tersebut, dampak keputusan sebagai dipersiapkan oleh badan-badan yang mengambil keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.61 Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikemukakan bahwa implementasi merupakan proses pelaksanaan keputusan biasanya dalam bentuk Undang-undang untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dalam
bukunya
Achmad
Ali,
Lawrence
Meir
Friedman
menerangkan ada 3 (tiga) unsur system hukum (three elements of legal system) yang mempengaruhi bekerjanya hukum yaitu : a.
Struktur hukum (legal structure) Bahwa struktur adalah kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Jelasnya struktur bagiakan foto diam yang menghentikan gerak (a kind of still photograph, which freezes the action). 62 Komponen struktur adalah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya sistem tersebut. Komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan badan hukum secara teratur.63
b. Substansi hukum (legal substance) Komponen kedua adalah substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku-perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi juga diartikan produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam system itu, meliputi keputusan yang mereka keluarkan,
61
Solichin Abdul Wahab, 1991. Teori Implementasi, Jakarta, Raja Grafindo, hal 54-55. Ahmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta, hal 82 63 Esmi Warrasih, 2005.Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama Semarang, hal 30. 62
38
aturan baru yang mereka susun. Substansi mencakup living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan-aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law books. Menurut Esmi Warassih : komponen substantive yaitu sebagai output dari system hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur ataupun pihak yang diatur.64 c.
Kultur hukum (legal culture). Lawrence Meir Friedman menjelaskan kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan system hukum, berupa kepercayaan, nilai-nilai, pemikiran serta harapannya. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menjadi penentu jalannya proses hukum. Jadi dengan kata lain kultur hukum adalah suasana pikiran social dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahguna kan. Tanpa kultur hukum maka system hukum itu sendiri menjadi tidak berdaya menjalankan fungsinya dalam masyarakat. Komponen kultur yaitu yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum atau yang menurutnya disebut sebagai kultur hukum. Kultur hukum inilah yang berfungsi sebagai jabatan yang menghubungkan antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat. 65 Lawrence Meir Friedman menggambarkan
bahwa sebuah
penelitian dapat menjawab atau menemukan ketiga unsur system hukum berupa : 1) Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin 2) Substansi hukum diibaratkan produk yang dihasilkan atau apa yang dikerjakan mesin tersebut.
64 65
Ibid, hal 30 Ibid, hal 30
39
3) Kultur hukum adalah apa atau siapa sajalah yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan Dalam bukunya Esmi Warrasih, Fuller berpendapat, sebagai suatu system, hukum harus memenuhi 8 (delapan) asas atau Principles of Legality atau delapan prinsip legalitas sebagai berikut : 1) Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya ia tidak boleh mengandung sekedar keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc 2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan 3) Peraturan tidak boleh berlaku surut 4) Peraturan-peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti 5) Suatu system tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain 6) Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan. 7) Peraturan tidak boleh sering diubah-ubah 8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari 66 Dalam bukunya Esmi Warrasih pula, Paul dan Dias mengajukan 5 (lima) syarat yang harus dipenuhi untuk mengefektif kan system hukum, yaitu sebagai berikut : 1) Mudah tidaknya makna aturan-aturan hukum itu untuk ditangkap dan dipahami 2) Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-aturan hukum yang bersangkutan 3) Efisiensi dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum 4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya mudah dijangkau dan dimasuki setiap warga masyarakat, melainkan juga harus cukup efektif dalam menyelesaikan sengketa-sengketa 5) Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga masyarakat bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang sesungguhnya berdaya kemampuan yang efektif 67
66 67
Ibid,hal 3 Ibid, hal 3
40
Selanjutnya sebelum memahami bagaimana fungsi hukum, ada baiknya dipahami terlebih dahulu bidang pekerjaan hukum. Dalam bukunya Satjipto Raharjo, Hoebel menunjukkan sekurang-kurangnya ada 4 (empat) bidang pekerjaan yang dilakukan oleh hukum, sebagai berikut : 1) Untuk merumuskan hubungan-hubungan anggota masyarakat, untuk menentukan perbuatan-perbuatan apa yang dibolehkan dan yang tidak, dengan tujuan mempertahankan paling tidak integrasi minimal dari kegiatan-kegiatan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam masyarakat 2) Fungsi kedua mengalir dari keharusan untuk menjinakkan kekuatan mentah dan mengarahkan kekuatan yang demikian itu kepada pemeliharaan tatanan. Fungsi kedua ini meliputi pengalokasian kekuasaan dan penegasan tentang siapa boleh menggunakan paksaan untuk sebagai suatu hak priveles yang diakui secara social, bersama-sama dengan pemilihan bentukbentuk sanksi fisik yang paling efektif digunakan mencapai tujuan-tujuan sosial dari hukum. 3) Ketiga adalah penyelesaian sengketa yang timbul dalam masyarakat 4) Akhirnya, melakukan perumusan kembali hubungan-hubungan antara orang-orang dan kelompok-kelompok manakala kondisi kehidupan berubah. Fungsi beradaptasi.
68
ini
dijalankan
untuk
mempertahankan
kemampuan
Selain dari empat pekerjaan hukum tersebut di atas, secara
sosiologis dapat dilihat adanya 2 (dua) fungsi utama hukum yaitu : a. Kontrol Sosial (Social Control) Adakala fungsi hukum untuk mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Termasuk dalam kontrol sosial ini : 1) Perbuatan
norma-norma
hukum,
baik
yang
memberikan
peruntukan maupun yang menentukan hubungan antara orang dengan orang. Penyelesaian sengketa di dalam masyarakat 2) Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi perubahan-perubahan sosial 68
Satjipto Rahardjo, Op cit, hal 37
41
b. Rekayasa Sosial (Social Engineering) 1) Adalah penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan sosial sebagaimana yang dikehendaki oleh pembuat hukum 2) Berbeda dengan fungsi control sosial yang lebih praktis yaitu untuk kepentingan waktu sekarang, maka fungsi rekayasa sosial dari hukum lebih mengarah pada pembahasan sikap dan perilaku masyarakat di masa yang akan datang sesuai keinginan dengan keinginan pembuat peraturan,69 Kiranya dapat dikatakan bahwa kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan penting terutama dalam perubahan-perubahan
yang dikehendaki
(intended change)
atau
perubahan-perubahan yang direncanakan (planed change). Dengan perubahan-perubahan yang dikehendaki dan direncanakan dimaksudkan sebagai suatu perubahan yang dikehendaki dan direncanakan oleh warga – warga masyarakat yang berperan sebagai pelopor masyarakat.
6. Teori Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat Dalam teorinya, Chambiis dan Seidman mengatakan bahwa “peran dari kekuatan sosial selain berpengaruh pada rakyat sebagian sasaran yang diatur untuk hukum tetapi juga berpengaruh pada lembaga-lembaga hukum. Seidman melukiskan model bekerjanya hukum di masyarakat dalam bagan sebagai berikut :
69
Ibid, hal 38
42
Gambar 1 Bagan Teori Robert Seidman dan Chamblis dalam Law, Order and Power Faktor-faktor sosial dan personal lainnya
Lembaga Pembuat Peraturan
Umpan Balik
Norma Norma
Umpan Balik
Lembaga Penerapan Aktivitas penerapan Peraturan Umpan Balik
Pemegang Peran
Faktor-faktor sosial dan personal lainnya
Berdasarkan gambar bagan tersebut maka dapat diberikan keterangan sebagai berikut : a. Semua peraturan hukum memberi pengertian tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu harus bertindak b. Bagaimana pemegang peranan tersebut akan melakukan tindakan sebagai suatu respon atas peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepadanya, sanksisanksinya. Aktivitas dari lembaga pelaksana dan keseluruhan kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain mengenai dirinya c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana tersebut akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum yang merupakan fungsi peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya dan
43
keseluruhan kompleks peraturan sosial, politik serta lainnya mengenai diri mereka sendiri juga termasuk umpan balik (feedback) yang datang dari pemegang peranan d. Bagaimana pembuat peraturan atau akan bertindak, hal ini merupakan fungsi peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksisanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang menyangkut mereka juga termasuk umpan balik yang datang dari pemegang serta birokrasi.70 Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa setiap anggota masyarakat memegang peranan yang diharapkan dari mereka baik untuk norma-norma hukum maupun oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Dalam menentukan mengenai bagaimana seorang pemegang peranan akan bertindak digunakan faktor kritis, yaitu norma-norma yang diharapkan akan ditaati oleh pemegang peranan, kekuatan-kekuatan sosial dan personal yang bekerja pada pemegang peranan dan kegiatan lembaga penerapan sanksi. Bagi studi hukum dalam masyarakat, maka yang penting adalah tentang hal berlakunya hukum secara sosiologis, yang intinya adalah efektivitas hukum. Studi efektivitas hukum merupakan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan ideal hukum. Secara khusus terlihat jenjang antara hukum dalam tindakan (law in action) dengan hukum dalam teori (law in theory), atau dengan perkataan lain, kegiatan ini akan memperlihatkan kaitan antara law in books dan law in action. Alat yang digunakan untuk mengukur hukum mungkin suatu Undang-undang yang tujuannya agak lebih jelas dilihat, atau suatu keputusan pengadilan yang jelas menyatakan suatu kebijaksanaan khusus. 70
Chamblis William J Seidman, 1971. Law Order and Power Reading, Mass,AffisonWesley, hal 12
44
Dalam studi implementasi hukum, tema pokoknya adalah menelaah apakah hukum itu berlaku, dan untuk mengetahui berlakunya hukum dilakukan dengan membandingkan antara ideal hukum (kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim) dengan realitas hukum. Realitas hukum yang dimaksud adalah hukum dalam tindakan, yaitu bagaimana mewujudkannya hukum itu sebagai perilaku. Sedang yang dimaksud hukum dalam pernyataan tersebut adalah hukum sebagai kaidah, dan dalam studi implementasi hukum pernyataan kaidah hukum dapat mengacu pada hukum substansi (hukum material) dan hukum tata cara (hukum formal). Dalam studi implementasi hukum apabila hukum itu berlaku, maka dalam masyarakat dikenali adanya perilaku hukum, yaitu perilaku sesuai dengan hukum atau setiap perilaku yang dipengaruhi oleh kaidah, peraturan atau keputusan. Hukum sebagaimana dimaksud dalam masyarakat ialah berupa kaidah yang dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang atau keputusan hakim. Undang-undang sebagai produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerinyah dalam proses pembuatannya, yaitu tata cara mulai dari perencanaan (rancangan), pembahasan, pengesahan atau penetapan sampai dengan pengundangan produk hukum tersebut, harus sesuai aturan dan pejabat manakah yang berwenang merancang, membahas, mengesahkan, menetapkan dan mengundangkan peraturan tersebut. Sebagai contoh dalam proses pembuatan undang-undang. Undang-undang dirancang oleh Presiden dan DPR, kemudian dibahas dalam siding DPR, lalu disahkan oleh Presiden dan pada akhirnya diundangkan dalam lembaran Negara oleh sekretaris Negara, Dalam pembuatan suatu peratutan perlu diperhatikan adanya landasan-landasan sebagai berikut : a. Landasan Filosofis, yaitu dasar filsafat, pandangan atau ide yang menjadi dasar cita-cita untuk menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke dalam suatu rencana atau draft peraturan Negara.
45
Misalnya di Indonesia, Pancasila menjadi dasar filsafat perundangundangan b. Landasan Yuridis. Landasan yuridisnya yaitu ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum (rechtgrond) bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan undang-undang organik, selanjutnya undang-undang menjadi landasan yuridis bagi PP, SK, Presiden, Perda dan lain-lain. Landasan yuridis ini sendiri dibagi lagi menjadi dua macam yaitu : (1) landasan yuridis dari segi formal, yaitu landasan yuridis yang memberi kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu. Misalnya Pasal 5 ayat 1 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi formal bagi presiden untuk membuat RUU, (2) landasan yuridis dari segi material, yaitu landasan yuridis untuk segi isi (materi), yakni dasar hukum untuk mengatur hal-hal tertentu. Misalnya Pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan yuridis dari segi material untuk membuat undang-undang organic mengenai pemerintah daerah. c. Landasan Politis. Landasan politisnya ialah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan pemerintahan Negara
B. Kerangka Pemikiran Untuk lebih jelasnya dalam kerangka pemikiran dapat penulis gambarkan dalam bentuk bagan sebagai berikut :
46
Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris : 1. Undang-undang Nomor 30 tahun 2004.tentang Jabatan Notaris 2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang jabatan Notaris 3. Kode Etik Notaris
Norma Implementasi Hukum
Lembaga Penerap Sanksi Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia Kabupaten Wonogiri
Norma
Aktivitas Notaris
Kekuatan Sosial Budaya Hukum u Keterangan :
Gambar 2 : Kerangka Pemikiran
m
Masyarakat memerlukan adanya ukuran, patokan, norma yang mencerminkan adanya kepastian hukum. Salah satu produk hukum yang diangan-angan dapat memberikan suatu kepastian hukum di era reformasi ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang undang Jabatan Notaris dilahirkan dengan tujuan agar supaya Notaris, sebagai suatu jabatan yang memberikan pelayanan hukum bagi masyarakat sudah sepantasnya diberi perlindungan dan jaminan hukum. Mengingat peranan dari kewenangan notaris sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat. Norma yang digunakan oleh Notaris di dalam melaksanakan tugas jabatannya adalah Kode Etik notaris. Pelaksanaan Pengawasan terhadap pelaksanaan Kode Etik tersebut oleh Dewan Kehormatan Notaris Pusat didelegasikan ke
47
daerah yaitu kepada antara lain Dewan Kehormatan Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, yang bisa juga disebut sebagai Lembaga Penerap Sanksi karena selain melakukan pengawasan preventif juga represif. yang kelembagaannya berada di bawah Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri, Menurut Chamblis dan Seidman, efektivitas pelaksanaan fungsi pembinaan dan pengawasan oleh Dewan Kehormatan Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, ditentukan oleh peraturan mengenai perundangundangan mengenai notaris dan kekuatan sosial serta personal. Kekuatan sosial ini pararel dengan budaya hukum.
C. Penelitian yang Relevan Beberapa peneliti terdahulu yang melakukan penelitian dengan topik hak tanggungan, yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Judul
: Implementasi Sanksi Kode Etik dalam Jabatan Notaris di Kota Tanjung Pinang
Penulis
:
Mondry Pahera, SH.
Tahun
:
2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Implementasi Sanksi Kode Etik Notaris yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran Kode Etik dalam melaksanakan jabatan Notaris dan peran Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), sebagai Organisasi Profesi dalam menerapkan Kode Etik Notaris di kota Tanjungpinang. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian menyatakan bahwa Implementasi sanksi Kode Etik
Notaris yang dikeluarkan oleh Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), di Kota Tanjungpinang hanya sebatas teguran lisan saja. Hal ini lebih diartikan bahwa Dewan Kehormatan sebagai bentuk pembinaan terhadap Notaris dalam menjalankan jabatannya, Tidak ada tindakan lebih lanjut dari Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris
48
Indonesia (I.N.I) Kota Tanjungpinang atas penerapan sanksi tersebut. Pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya di Kota Tanjungpinang antara lain adalah memasang papan nama melebihi ukuran yang telah ditentukan; melakukan publikasi atau promosi diri dengan mencantumkan nama dan jabatannya serta mempengaruhi klien Notaris lain juga adanya persaingan honorarium. Peran Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I), sebagai Organisasi Profesi Notaris dalam menerapkan Kode Etik Notaris, adalah melalui upaya pembinaan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan sebagai pengawas atas pelaksanaan Kode Etik Notaris. Untuk pembinaan lainnya yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan, dilakukan pada tiap pertemuan (rutin) yang diadakan tiap 6 bulan dalam acara up-grading & refreshing nasional. Salah satu materi pada acara tersebut, adalah menambah wawasan para Notaris berdasarkan ketentuan yang berlaku, juga mengenai perilaku Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Perbedaan dengan penelitian yang penulis laksanakan lakukan adalah mengenai waktu dan tempat penelitian, dimana penelitian penulis laksanakan di wilayah Kabupaten Wonogiri. 2.
Judul
: Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam Menjalankan Pengawasan setelah berlakunya UU Nomor 30 tahun 2004.
Penulis
:
T. Muzakkar.
Tahun
:
2008
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengawas melakukan Pengawasan
bagi
Notaris
dalam
pelaksanaan
tugasnya sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan manfaat pengawasan bagi Notaris dalam pelaksanaan tugasnya serta perbandingan peranan Dewan kehormatan dengan Majelis Pengawas Notaris dalam melakukan pengawasan setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum yuridis empiris yang bersifat deskriptif analitis. Hasil
49
penelitian menyebutkan bahwa pengawasan yang dilakukan terhadap notaris
sebelum keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 yaitu dilakukan oleh Pengadilan Negeri namun dengan keluarnya undangundang tersebut maka fungsi pengawasan dilakukan oleh sebuah badan yang bernama Majelis Pengawas Notaris Yang terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu pemerintah, ahli/ akademisi dan notaris. Manfaat yang diperoleh terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas yaitu : Notaris mampu untuk meningkatkan kemampuan profesioanlismenya dalam menjalankan tugas dan jabatannya, Notaris sedapat mungkin, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan baginya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, Notaris mampu berperan untuk terciptanya suatu kepastian hukum melalui akta otentik yang dibuatnya demi kepentingan masyarakat, Notaris menyadari bahwa tugas yang di bebankan kepadanya adalah untuk kepentingan para pihak. Perbedaan peranan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Dan Majelis Pengawas Notaris yaitu dimana pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan hanya mengenai pelanggaran kode etik dan tidak menyangkut orang lain hanya notaris itu sendiri sedangkan Majelis Pengawas
Notaris
memiliki
ruang
lingkup
pengawasan
dalam
pelanggaran yang menyangkut Undang-Undang dan pelanggaran jabatan notaris. Perbedaan dengan penelitian yang penulis laksanakan bahwa penulis tidak melakukan pembandingan antara dewan kehormatan dan majelis, penulis hanya fokus terhadap peran organisasi kenotarisan di wilayah kerja kabupaten Wonogiri. 3.
Judul
: Pelaksanaan Sanksi Pelanggaran Kode Etik Profesi Notaris oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia di Kabupaten Tangerang.
Penulis
:
Sulistiyono.
Tahun
:
2009
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelanggaran kode etik apa saja yang dilakukan oleh notaris di Kabupaten Tangerang dan bagaimana
50
pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia sebagai organisasi profesi dapat mengikat terhadap Notaris yang melanggar kode etik. Penelitian ini merupakan pendekatan yuridisempiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan pelaksanaan sanksi kode etik terhadap pelanggaran jabatan oleh notaris. Pelanggaran kode etik yang terjadi antara lain adalah : pembuatan akta yang telah terlebih dahulu dipersiapkan oleh notaris lain sehingga notaris yang bersangkutan tinggal menandatangani, penandatangan akta yang tidak dilakukan dihadapan notaris, membuat akta di luar wilayah jabatannya, ketentuan mengenai pemasangan papan nama di depan atau di lingkungan kantor notaris serta notaris yang membuat papan nama melebihi ukuran yang telah ditentukan, persaingan tarif yang tidak sehat, melakukan publikasi atau promosi diri dengan mencantumkan nama dan jabatannya. Pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris lndonesia Kabupaten Tangerang sebagai organisasi protesi terhadap Notaris yang melanggar kode etik di Kabapaten Tangerang, adalah: teguran, peringatan dan pemberhentian dari keanggotaan perkumpulan. Namun sanksi tersebut di atas termasuk sanksi pemecatan yang diberikan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran kade etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari kaanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun Notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, Notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai Notaris, sehingga sanksi tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik. Perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan adalah lokasi dan waktu penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Metode merupakan cara yang utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan tetapi, dengan mengadakan klarifikasi yang berdasarkan pada pengalaman, dapat ditentukan teratur dan terpikirnya alur yang runtut dan baik untuk mencapai maksud.71 Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konsisten.72 Penelitian dapat diartikan pula suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan metode ilmiah.73 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala dan hipotesa. Untuk dapat memperoleh hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan maka diperlukan metode penelitian yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan penelitian. Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji menyatakan bahwa “penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi”. Hal demikian disebabkan penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran sistematis,
metodologi dan konsisten. Dengan melalui proses
penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.74
71
Winarno Surakhmad, 1990. Pengamtar Penelitian Ilmiah, Transito Yogyakarta, hal
131, 72
Soerjono Sukanto,Op Cit, hal 42 Sutrisno Hadi, 1989. Metodologi Penelitian Hukum,Uns Press Surakarta, hal 4 74 Sorjono Sukanto dan Sri Mamudji, 1985. Penelitian Hukum Normatif,CV Rajawali Jakarta, hal 1 73
51
52
Dilihat dari sifatnya penelitian ini termasuk penelitian diagnostik yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan keterangan mengenai sebab – sebab terjadinya suatu gejala atau beberapa gejala.75 Dalam mempelajari hukum, tentunya tidak boleh lepas dari 5 (lima) konsep hukum yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto seperti dikembangkan oleh Setiono adalah sebagai berikut : 1. Hukum adalah asas kebenaran dalam keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku universal 2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam system perundangundangan hukum nasional 3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto dan tersistematisasi sebagai judge made law 4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variable sosial yang empiris 5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka 76 Konsep Hukum dalam penelitian ini adalah konsep yang kelima. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial sebagaimana tampak dalam interaksi antara mereka. Berdasarkan konsep hukum tersebut diatas penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri. Landasan pemilihan lokasi adalah : 1. Layak untuk diteliti dikarenakan banyaknya pelanggaran Kode Etik Notaris yang terjadi di wilayah Wonogiri yang dilakukan oleh Notaris tetapi tidak ada pelaporan dan tindak lanjut baik oleh Dewan Kehormatan Daerah notaris maupun kepada Majelis Pengawas Daerah Notaris Wonogiri. 2. Dapat dilakukan pembandingan literatur yang satu dengan literatur lainnya
75
Johny Ibrahim, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum,Banyu Media Publishing Jawa Timur, hal 57 76 Setiono, 2002. Pemahaman Terhadap MetodePenelitian Hukum,(Diktat) Surakarta, Program Studi Ilmu Hukum pasca Sarjana UNS, hal 20
53
Selain di tempat tersebut di atas, lokasi penelitian juga dilakukan di tempat-tempat dimana dapat ditemukan (diperoleh) data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini. B. Jenis Penelitian Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti data sekunder pada awalnya untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat.77 Penelitian hukum empiris dilakukan dengan cara meneliti dilapangan yang merupakan data primer, dalam hal ini pendekatan tersebut digunakan untuk menganalisis secara kualitatif tentang tanggung jawab notaris dalam hal terjadi pelangaran etika profesi dan akibat hukum jika terjadi pelanggaran kode etik oleh Notaris. Dalam melakukan pendekatan yuridis empiris ini, metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan karena beberapa pertimbangkan yaitu : pertama, menyesuaikan metode ini lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti dengan responden; ketiga metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.78
C. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian dipandang dari tujuannya, menurut Soerjono Soekanto dibedakan menjadi : 1. Penelitian fact-finding yaitu penelitian dengan menemukan faktafakta di lapangan 2. Penelitian problem-identification yaitu penelitian dengan mencari permasalahan yang ada
77
Soerjono Sukanto , Metode Penelitian Hukum,UI Press Jakarta, hal 76 Lexy J. Moleong, 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, hal. 5. 78
54
3. Penelitian problem-solution yaitu penelitian untuk mencari solusi atas suatu permasalahan.79 Berdasarkan pada pengelompokan jenis penelitian menurut Soerjono Soekanto, maka penelitian ini bersifat penelitian fact-finding yang hanya menjelaskan secara lengkap dan sistematis keadaan obyek yang diteliti berdasarkan data-data, analisis dan interpretasi atau dengan kata lain penelitian ini hanya berusaha menemukan fakta-fakta di lapangan.
D. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalkan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa. Pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.80 E. Jenis Data Data yang dikumpulkan terutama merupakan data pokok yaitu data yang paling relevan dengan pokok permasalahan yang diteliti. Namun untuk kelengkapan dan keutuhan dari masalah yang diteliti, maka akan disempurnakan dengan penggunaan data pelengkap yang berguna untuk melengkapi data pokok. Penelitian ini menggunakan jenis data Primer dan data Sekunder : 1. Data primer, yaitu pihak yang terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat memberikan sejumlah data atau keterangan. Penulis memperoleh data primer dari Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri, Ketua dan Anggota Dewan Kehormatan daerah Notaris Wonogiri serta Ketua dan Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Wonogiri.. 79
Ibid, hal 50 Lexy Maleong, 2006. Metode Penelitian Kwalitatif,Edisi Revisi,PT.Remaja Rosdakarya Bandung, hal 6 80
55
2. Data sekunder, adalah data yang berasal dari data-data yang sudah tersedia misalnya, dokumen resmi, surat perjanjian atau buku-buku. Data sekunder dapat berupa bahan hukum Primer, Sekunder maupun Tertier81 Adapun yang termasuk data sekunder dalam penelitian ini adalah meliputi buku-buku kepustakaan, laporan, buku harian, arsip-arsip, dan lainnya terkait dengan Pengawasan oleh INI dalam hal ini adalah Dewan Kehormatan Daerah Notaris kabupaten Wonogiri.
F. Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian hukum ini terdiri dari : 1. Data Primer Sumber Data Primer adalah sumber yang diperoleh secara langsung dari lapangan yang meliputi keterangan atau data hasil wawancara
dengan
pihak-pihak
yang
terlibat
langsung
dengan
Pengawasan Notaris Daerah. Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan, berupa sejumlah informasi, keterangan serta hal yang berhubungan dengan obyek penelitian. Adapun data tentang penelitian diperoleh dari Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Wonogiri, Ketua dan Anggota Dewan Kehormatan Daerah Wonogiri, Ketua dan Anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris Wonogiri, serta beberapa Notaris di Wonogiri. 2. Data Sekunder Sumber Data Sekunder merupakan sumber data yang didapatkan secara tidak langsung berupa keterangan yang mendukung data primer. Sumber data sekunder merupakan pendapat para ahli, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literature-literatur serta peraturanperaturan perundang-undangan yang terkait Data sekunder dalam penelitian ini meliputi : a. Bahan-bahan Hukum Primer 1) UUD 1945 81
Setiono, Loc Cit, hal 6
56
2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Jabatan Notaris 4) Kode Etik Notaris. 5) Laporan berkala Ikatan Notaris Indonesia Wonogiri 6) Laporan berkala Dewan Kehormatan daerah Wonogiri b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer adalah : 1) Hasil penelitian yang berkaitan dengan pelaksanaan Kode Etik Notaris 2) Buku-buku Kenotariatan c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan sekunder, misalnya : Kamus Hukum
G. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan Data yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode interview (wawancara) dan studi pustaka. Lebih jelasnya sebagai berikut : 1. Wawancara Dalam studi lapangan ini penulis melaksanakan kegiatan wawancara, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mendapatkan keterangan secara lisan dari seorang responden dengan bercakap-cakap secara langsung. Diantaranya dengan Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri, Dewan Kehormatan Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri,serta beberapa Notaris di Wonogiri. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat-pendapat mereka.82
82
Burhan Ashofa, 2004. Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta,Jakarta, hal 95
57
Secara umum ada dua jenis teknik wawancara, yaitu wawancara terpimpin (terstruktur) dan wawancara dengan teknik bebas (tidak terstruktur) yang disebut wawancara mendalam (in-depth interviewing).83 Dalam wawancana ini dilakukan dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan pihak-pihak yang dapat mendukung diperolehnya data yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti guna memperoleh data baik lisan maupun tulisan atas sejumlah data yang diperlukan. Metode wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode campuran, dengan menggabungkan metode terpimpin (terstruktur) dengan metode bebas (tidak terstruktur) dengan cara, penulis membuat pedoman wawancara dengan pengembangan secara
bebas sebanyak
mungkin sesuai kebutuhan data yang ingin diperoleh. Metode wawancara ini dilakukan dalam rangka memperoleh data primer serta pendapatpendapat dari para pihak yang berkaitan dengan Pelaksanaan Kode Etik Notaris di Wonogiri. Wawancara dilakukan dengan pihak terkait yang meliputi : ketua Ikatan Notaris Kabupaten Wonogiri, Dewan Kehormatan Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, serta beberapa Notaris di Wonogiri. 2. Studi Pustaka Dalam studi ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca, memahami dan mengumpulkan bahan-bahan Hukum yang akan diteliti, yaitu dengan membuat lembar dokumen yang berfungsi untuk mencatat informasi atau data dari bahan-bahan Hukum yang diteliti yang berkaitan dengan masalah penelitian yang sudah dirumuskan terhadap : a. Buku – buku literatur b. Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan penelitian ini c. Dokumen pendukung lainnya.
83
HB Sutopo, 2002. Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta, hal 58.
58
H. Validitas Data Untuk memperoleh derajat validitas tinggi, dilakukan dengan teknik triangulasi, recheck dan peerdebriefing. Triangulasi dilakukan dengan cara cross chek data yang dikumpulkan dari berbagai sumber data (informan, tempat/ peristiwa, dokumen / arsip) mengenai masalah yang sama. Sedangkan teknik recheck dilakukan dengan menguji hasil data wawancara dari informan yang telah dimintai keterangan, untuk memperkaya, dan memantapkan bahwa data hasil penelitian terbukti kesahihannya. Selanjutnya teknik validitas dengan
menggunakan
model
peerdebriefing
ditempuh
dengan
cara
mendiskusikan hasil penelitian dengan berbagai personel, yang didasarkan atas kemampuan pengetahuan yang serupa. Dengan demikian akan memantapkan hasil yang telah diuji dengan argumentasi yang logis, sehingga diperoleh data yang benar-benar diinginkan atau valid.
I. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul dengan lengkap dari lapangan harus dianalisis. Dalam tahap analisis data, data yang telah terkumpul diolah dan dimanfaatkan sehingga dapat dipergunakan untuk menjawab persoalan penelitian. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena data yang diperoleh bukan angka atau yang akan diangkakan secara statistik. Menurut Soerjono Soekanto, analisis data kualitatif adalah suatu cara analisis yang menghasilkan data diskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.84 Dalam operasionalisasinya, peneliti membatasi permasalahan yang diteliti dan juga membatasi pada pertanyaan-pertanyaan pokok yang perlu dijawab dalam penelitian.
Dari hasil penelitian tersebut data yang sudah
diperoleh disusun sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian data tersebut diolah dalam bentuk sajian data. Setelah pengolahan data selesai, 84
Soerjono Sukanto, Loc Cit, hal 154
59
peneliti melakukan penarikan kesimpulan atau verifikasi berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data maupun sajian datanya. Model analisis kualitatif yang digunakan adalah model analisis interaktif yaitu model analisis data yang dilaksanakan dengan menggunakan tiga tahap / komponen berupa reduksi data, sajian data serta penarikan kesimpulan / verifikasi dalam suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data terkumpul akan berhubungan satu dengan lainnya secara otomatis.85 Dalam penelitian ini proses analisis sudah dilakukan sejak proses pengumpulan data masih berlangsung. Peneliti terus bergerak diantara tiga komponen analisis dengan proses pengumpulan data selama proses data terus berlangsung. Setelah proses pengumpulan data selesai,
peneliti bergerak
diantara tiga komponen analisis dengan menggunakan waktu penelitian yang masih tersisa. Mengingat data yang ada dalam penelitian ini bersifat kualitatif maka akan dianalisis dengan teknik interaktif. Analisis interaktif (interaktif model of analisis) yaitu data yang dikumpulkan akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu mereduksi data, menyajikan data dan menarik kesimpulan. Selain ini dilakukan suatu proses siklus antara tahap-tahap tersebut sehingga data yang terkumpul dan berhubungan satu dengan yang lain secara sistematis.86 Tiga tahap tersebut adalah : a) Reduksi Data Reduksi data merupakan bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan penelitian dapat dilakukan. b) Penyajian Data Penyajian Data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam bentuk narasi yang memungkinkan kesimpulan penelitian yang 85 86
HB Sutopo, Op Cit, hal 86. Ibid,hal 230
60
dapat dilakukan. Sajian data harus mengacu pada rumusan masalah sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang diteliti. Selain berbentuk narasi, sajian data juga bisa meliputi berbagai jenis matrik, gambar / skema, jaringan kerja kegiatan dan juga tabel sebagai pendukung narasinya. c) Penarikan Kesimpulan / Verifikasi Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses pengumpulan data berakhir. Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. 87 Agar lebih jelas proses/siklus kegiatan dari analisis tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 88
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
Gambar 1 Teknik Analisis Data
87 88
Ibid, hal 114 - 116 Ibid, hal 87
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Sejarah Ikatan Notaris Indonesia Awal Berdirinya Ikatan Notaris Indonesia dimulai sejak masa pemerintahan Hindia Belanda. Semakin berkembangnya peran notaris dan bertambahnya jumlah notaris mendorong para notaris di Indonesia mendirikan suatu organisasi perkumpulan bagi para notaris Indonesia. Perkumpulan yang didirikan pada awalnya hanya ditujukan bagi ajang pertemuan dan bersilaturahmi antara para notaris yang menjadi anggotanya. Pada waktu itu perkumpulan satu-satunya bagi notaris Indonesia adalah 'de-Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging', yang didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) pada tanggal 1 Juli 1908 (menurut anggaran dasar ex Menteri Kehakiman pada tanggal 4 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6). Verëeniging ini berhubungan erat dengan 'Broederschap van Candidaat-Notarissen in Nederland en zijne Koloniën' dan 'Broederschap der Notarissen' di Negeri Belanda, dan diakui sebagai badan hukum (rechtspersoon) dengan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908 Nomor 9. Mula-mula sebagai para pengurus perkumpulan ini adalah beberapa orang notaris berkebangsaan Belanda yaitu L.M. Van Sluijters, E.H. Carpentir Alting, H.G. Denis, H.W. Roebey dan W. an Der Meer. Anggota perkumpulan tersebut pada waktu itu adalah para notaris dan calon notaris Indonesia (pada waktu itu Nederlandsch Indië). Setelah Indonesia mencapai kemerdekaannya, maka para notaris Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan lama tersebut, dengan diwakili oleh seorang pengurus selaku ketuanya, yaitu Notaris Eliza Pondaag, lalu mengajukan permohonan kepada Pemerintah c.q. Menteri 61
62
Kehakiman Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 17 November 1958 untuk mengubah anggaran dasar (statuten) perkumpulan itu. Maka dengan penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 4 Desember 1958 No. J.A. 5/117/6 perubahan anggaran dasar perkumpulan dinyatakan telah sah dan sejak hari diumumkannya anggaran dasar tersebut dalam Tambahan Berita Negara Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor 19, nama perkumpulan 'Nederlandsch-Indische Notarieële Verëeniging' berubah menjadi Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang mempunyai tempat kedudukan di Jakarta dan hingga saat ini masih merupakan satu-satunya perkumpulan bagi notaris di Indonesia. Hal
ini
juga
dikuatkan
oleh
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Nomor 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 atas perkara: "Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945", yang menyatakan bahwa IKATAN NOTARIS INDONESIA adalah organisasi Notaris yang berbentuk perkumpulan berbadan hukum dan merupakan wadah tunggal bagi Notaris di seluruh Indonesia. Ikatan Notaris Indonesia (INI) menjadi anggota ke–66 dari Organisasi Notaris Latin International (International Union of Latin Notaries - UINL) pada tanggal 30 Mei 1997 di Santo Dominggo, Dominica. 2. Visi dan Misi Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya Ikatan Notaris Indonesia mempunyai visi dan misi sebagai berikut : a. Melakukan
kegiatan untuk menumbuhkan kesadaran rasa turut
memiliki Perkumpulan yang bertanggung jawab, guna terciptanya rasa kebersamaan di antara sesama anggota dalam rangka meningkatkan peranan, manfaat, fungsi dan mutu Perkumpulan. b. Melakukan kegiatan untuk meningkatkan mutu dan kemampuan anggota di dalam menjalankan jabatan dan profesinya secara
63
profesional, guna menjaga dan mempertahankan keluhuran martabat jabatan Notaris. c. Menjunjung tinggi serta menjaga kehormatan profesi jabatan Notaris, meningkatkan fungsi dan perannya serta meningkatkan mutu ilmu kenotariatan dengan jalan menyelenggarakan pertemuan ilmiah, ceramah, seminar dan sejenisnya serta penerbitan tulisan karya ilmiah. d. Memperjuangkan dan memelihara kepentingan, keberadaan, peranan, fungsi dan kedudukan lembaga Notaris di Indonesia sesuai dengan harkat dan martabat profesi jabatan Notaris. e. Mengadakan, memupuk serta membina dan meningkatkan kerja-sama dengan badan, lembaga dan organisasi lain, baik di dalam maupun dari luar negeri yang mempunyai tujuan yang sama atau hampir sama dengan Perkumpulan termasuk dengan lembaga pendidikan atau instansi yang terkait dan yang mempunyai hubungan dengan lembaga kenotariatan. f. Mengadakan dan menyelenggarakan pendidikan Notaris, serta berperan aktif dalam mempersiapkan lahirnya calon Notaris yang profesional, berdedikasi tinggi, berbudi luhur, berwawasan dan berilmu pengetahuan luas dan memiliki integritas moral serta memiliki akhlak yang baik. g. Melakukan usaha lain sepanjang tidak bertentangan dengan asas, pedoman dan tujuan Perkumpulan. 3. Ketentuan dan Ketetapan Ikatan Notaris Wonogiri Terkait Kode Etik Notaris Penerapan Kode Etik Notaris di wilayah Kabupaten Wonogiri didasarkan pada ketentuan terbaru, seperti yang telah ditetapkan oleh Ikatan Notaris Indonesia yaitu Ikatan Notaris Indonesia disingkat INI adalah Perkumpulan/organisasi bagi para Notaris, berdiri semenjak tanggal 1 Juli 1908, diakui sebagai Badan Hukum (rechtspersoon) berdasarkan Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) tanggal 5 September 1908
64
Nomor 9, merupakan satu-satunya wadah pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan tugas jabatan sebagai pejabat umum di Indonesia, sebagaimana hal itu telah diakui dan mendapat pengesahan dari Pemerintah berdasarkan Anggaran Dasar Perkumpulan Notaris yang telah mendapatkan Penetapan Menteri Kehakiman tertanggal 4 Desember 1958 Nomor J.A.5/117/6 dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia tanggal 6 Maret 1959 Nomor 19, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 6, dan perubahan anggaran dasar yang terakhir telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan tanggal 12 Januari 2009 Nomor AHU-03.AH.01.07.Tahun 2009, oleh karena itu sebagai dan merupakan organisasi Notaris sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang diundangkan berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432 serta mulai berlaku pada tanggal 6 Oktober 2004, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5491 (selanjutnya disebut "Undang-Undang Jabatan Notaris"). Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti pada saat menjalankan jabatan.
65
Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan Perkumpulan yang dibentuk dan berfungsi menegakkan Kode Etik, harkat dan martabat notaris, yang bersifat mandiri dan bebas dari keberpihakan, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dalam Perkumpulan. Kode Etik berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan Notaris), baik dalam pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Ketentuan yang ditetapkan Ikatan Notaris Indonesia (INI) bahwa : -seorang notaris haruslah memiliki moral,akhlak serta kepribadian yang baik; menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris; menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan; berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan Notaris; Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan; Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; Memberikan jasa pembuatan akta dan kewenangan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium; Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satusatunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari; Memasang 1 (satu) papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat: a. Nama lengkap dan gelaryang sah; b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai Notaris; c. Tempat kedudukan; d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di
66
lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud; Selain beberapa persyaratan di atas, notaris yang menjadi anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) diwajibkan untuk : hadir, mengikuti dan berpartisipasi
aktif
dalam
kegiatan
yang
diselenggarakan
oleh
Perkumpulan; menghormati, mematuhi, melaksanakan Peraturan-peraturan dan
Keputusan-keputusan
Perkumpulan;-
Membayar
uang
iuran
Perkumpulan secara tertib; Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia; - Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan Perkumpulan; Menjalankan jabatan Notaris di kantornya, kecuali karena alasan-alasan tertentu; - Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim; Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya; Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan peraturan perundang- undangan, khususnya Undang-Undang tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik. Ikatan Notaris Indonesia (INI) juga menerapkan adanya larangan terhadap notaris yang menjadi anggotanya. Adapun beberapa larangan tersebut, diantaranya adalah ; Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan; Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor; Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: iklan; ucapan selamat; ucapan belasungkawa; ucapan terima kasih; kegiatan pemasaran; egiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.
67
Notaris
juga
dilarang
untuk
bekerja
sama
dengan
biro
jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien; menandatangani akta yang proses pembuatannya telah dipersiapkan oleh pihak lain; mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani. Selain itu anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) juga dilarang berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain; melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya; melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris; menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan; mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan, termasuk menerima pekerjaan dari karyawan kantor Notaris lain; menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya
terdapat
kesalahan-kesalahan
yang
serius
dan/atau
membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. Selain itu notaris juga dilarang melakukan Kewajiban dan melakukan Pelanggaran terhadap Larangan sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik dengan menggunakan media elektronik, termasuk namun tidak
68
terbatas dengan menggunakan internet dan media sosial; membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi; menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan; Mengikuti pelelangan untuk mendapatkan pekerjaan/pembuatan akta. Adanya notaris anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri yang melanggar ketentuan di atas, akan mendapatkan sanksi berupa teguran; peringatan; pemberhentian sementara dari keanggotaan perkumpulan;
pemberhentian
dengan
hormat
dari
keanggotaan
perkumpulan; pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota biasa (dari Notaris aktif) Perkumpulan, terhadap pelanggaran norma susila atau perilaku yang merendahkan harkat dan martabat notaris, atau perbuatan yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap notaris. Sebagai upaya untuk mencegah adanya notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik yang telah ditetapkan, maka Ikatan Notaris Indonesia (INI) Wonogiri melakukan pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik, dengan berdasarkan pada beberapa ketentuan sebagai berikut : a. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi 1) Fakta Dugaan Pelanggaran Pasal 8 Kode Etik
69
a) Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Wonogiri dapat mencari fakta atas dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari anggota Perkumpulan atau orang lain disertai bukti-bukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan. b) Pelanggaran ataupun penerimaan pengaduan yang terlebih dahulu diperiksa oleh satu Dewan Kehormatan, tidak boleh lagi diperiksa oleh Dewan Kehormatan lainnya. b. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Pertama 1) Dewan Kehormatan Daerah setelah menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode Etik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 di atas, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan untuk memastikan terjadinya Pelanggaran
Kode
Etik
oleh
memberikan kesempatan kepada
anggota
perkumpulan
dan
yang bersangkutan untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan. Pemanggilan tersebut dikirimkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan. 2) Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal yang telah ditentukan, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang kedua kali selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan pertama. 3) Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan kedua, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang ketiga kali selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan kedua. 4) Apabila setelah pemanggilan ketiga ternyata masih juga tidak hadir, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang
70
dan
menentukan
keputusan
dan/atau
penjatuhan
sanksi
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kode Etik. 5) Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan Dewan Kehormatan yang memeriksa. Dalam hal anggota yang bersangkutan
tidak
bersedia
menandatangani
berita
acara
pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan cukup ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa. 6) Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan atas hasil pemeriksaan tersebut sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya apabila terbukti ada pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik yang dituangkan dalam Surat Keputusan. 7) Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan Pelanggaran, maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat Keputusan Dewan Kehormatan yang memeriksa. 8) Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam Kongres, wajib diberitahukan oleh Kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat,DewanKehormatan Pusat,Pengurus Wilayah,Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sidang, Dewan Kehormatan yang memeriksa harus: tetap menghormati dan
71
menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan; selalu menjaga suasana kekeluargaan; merahasiakan segala hal yang ditemukannya,
sidang
pemeriksaan
dilakukan
secara
tertutup,
sedangkan pembacaan keputusan dilakukan secara terbuka, sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang jumlah korum tidak tercapai, maka sidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka sidang dianggap sah dan dapat mengambil keputusan yang sah, setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa mempunyai hak untuk mengeluarkan satu suara dan apabila pada
tingkat
kepengurusan
Daerah
belum
dibentuk
Dewan
Kehormatan Daerah, maka tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan Wilayah. c. Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Banding Beberapa ketentuan yang diberlakukan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam pemerintahan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding, yaitu : 1) Permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, setelah tanggal penerimaan Surat Keputusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah/Dewan Kehormatan Wilayah. 2) Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. 3) Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.
72
4) Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota yang mengajukan banding, selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan tersebut untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat. 5) Dewan Kehormatan Pusat wajib memutuskan permohonan banding selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah anggota yang bersangkutan diperiksa pada sidang terakhir. 6) Apabila anggota yang dipanggil tidak hadir, maka Dewan Kehormatan Pusat tetap akan memutuskan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas. 7) Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal Surat Keputusan. 8) Dalam hal permohonan banding diajukan kepada Kongres, maka permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum Kongres diselenggarakan. 9) Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Presidium Kongres melalui Sekretariat Pengurus Pusat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. 10) Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto
73
copy berkas pemeriksaan kepada Presidium Kongres melalui Sekretariat Pengurus Pusat. 11) Kongres wajib mengagendakan pemeriksaan terhadap anggota yang mengajukan banding untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam Kongres. 12) Kongres wajib memutuskan permohonan banding dalam Kongres tersebut. 13) Apabila anggota yang mengajukan banding tidak hadir dalam Kongres, maka Kongres tetap akan memutuskan permohonan banding tersebut. 14) Kongres melalui Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. 15) Keputusan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal : a) Anggota dikenakan sanksi berupa teguran dan peringatan; b) Anggota dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan, menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan banding dalam waktu yang telah ditentukan; c) Dewan
Kehormatan
Pusat/Kongres
telah
mengeluarkan
keputusan sanksi tingkat banding. Ketentuan dan tata cara pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota dan orang lain (yang sedang dalam menjalankan jabatan Notaris), akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat. Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Kode Etik pada Pasal 3 dan Pasal 4 akan diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat.
74
Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi, maka terhadap anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang- Undang Jabatan Notaris dan
dikenakan
sanksi
pemberhentian
dengan
hormat
atau
pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Notaris oleh instansi yang berwenang, maka anggota yang bersangkutan berakhir keanggotaannya dalam Perkumpulan. Pengenaan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan
terhadap
Pelanggaran
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 di atas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
B. Pembahasan 1. Bentuk Pelanggaran Kode Etik Notaris yang Selama Ini Dilakukan Oleh Notaris-notaris Wonogiri Di Wonogiri sampai dengan saat ini sudah terdapat 21 (duapuluh satu) notaris yang membuka kantornya di wilayah tersebut. Dengan agenda pertemuan rutin anggota INI Wonogiri setiap bulan minggu kedua. Untuk menghindari berbagai pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Notaris, maka seorang notaris haruslah benar-benar memahami apa yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sebagai satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, maka pemahaman notaris terhadap akta itu sendiri haruslah benar-benar dipahami, sehingga akta yang telah dikeluarkan notaris tersebut tidak menimbulkan pertentangan hukum di kemudian hari. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh semua anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Wonogiri. Menyatakan bahwa akta notaris adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh notaris yang tujuannya adalah
75
sebagai alat pembuktian yang sah, mengikat dan mutlak, atas suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak di dalam akta tersebut.89 Akta yang dikeluarkan oleh notaris merupakan akta otentik yang digunakan pada hukum pembuktian. Dakam proses dan prosedurnya harus sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Terkait permasalahan tersebut dinyatakan bahwa suatu akta notaris harus memenuhi persyaratan yang disyaratkan oleh ketentuan pasal 1868, dimana sifat dari aturan tersebut adalah kumulatif, jadi secara keseluruhan harus terpenuhi, aktaakta yang dibuat jika tidak memenuhi aturan yang terdapat dalam pasal tersebut adalah bukan akta otentik.90 Tetapi dalam pelaksanaan lapangan, masih sering dijumpai adanya akta yang tidak otentik atau dibawah tangan. Akta di bawah tangan bisa dibuat sedemikian rupa atas dasar kesepakatan para pihak, tanggalnya bisa dibuat kapan saja.91 Untuk menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum, notaris harus senantiasa berpedoman pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris. Dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, dapat diketahui tugas dan kewenangan seorang notaris yaitu membuat akta otentik. Disamping itu, notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan kepada pihak-pihak yang menghadapi kepadanya berkaitan dengan pembuatan suatu akta. Menurut GHS Lumban Tobing pada hakekatnya notaris hanya “mengkonstatir” atau “merekam” secara tertulis dari perbuatan hukum pihak-pihak yang berkepentingan.92
89
Hasil Wawancara dengan RUTH SRI HADI ASTUTI, SH., Notaris Wonogiri, Dewan Kehormatan Daerah Notaris , Kabupaten Wonogiri, tanggal 22 April 2016 90 Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016 91 Hasil Wawancara dengan Budi Hartoyo, SH, Notaris/PPAT Wonogiri Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, tanggal 24 Maret 2016 92 GHS. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal. 38
76
Tujuan
pembuatan
berkepentingan agar
akta
notaris
perbuatan hukum
oleh
para
pihak
yang
yang dilakukannya dapat
dituangkan dalam suatu akta otentik yang merupakan alat bukti yang kuat dan sempurna.93 Untuk itu proses pembuatan akta harus melalui prosedur yang telah ditetapkan, akta yang dibuat harus memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata dan sesuai dengan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang mengatur tentang bentuk akta notaris, terdiri atas awal akta, badan akta dan akhir/penutup akta. Pelaksanaan tugas jabatan notaris sebagai pejabat umum yang telah disahkan untuk mengabdi dan taat pada hukum diwujudkan lewat kepatuhan pada norma dan etika. Seorang Notaris harus memiliki kemampuan profesional tinggi dengan memperhatikan norma hukum yang dilandasi dengan integritas moral, keluhuran martabat dan etika profesi sehingga kepercayaan terhadap jabatan notaris tetap terjaga. Sudah sewajarnya bila dari masyarakat muncul harapan dan tuntutan bahwa pengembanan dan pelaksanaan profesi notaris selalu dijalankan dan taat pada norma hukum dan etika profesi. Tuntutan ini menjadi faktor penentu untuk mempertahankan citranya sebagai pejabat umum. Perilaku yang profesional dari notaris lebih dititikberatkan pada kemampuan dari seorang notaris itu secara kemampuan/skill, profesional notaris terletak pada produk-produk akta yang dibuatnya, dapat mengakomodir keinginan para pihak yang membuatnya, memenuhi syaratsyarat dalam pembautan akta, memiliki kekuatan pembuatan yang kuat, pendek kata akta yang dibuat oleh notaris itu mampu menjadi alat butkti yang sempurna saat diperlukan sebagai alat bukti. Sedangkan moral akhlak, atitude notaris adalah sikap mental yang harus dimiliki notaris dalam rangka menunjang sisi profesionalnya tadi. Sebuah profesional tanpa akhlak akan menjadi notaris yang terlalu “money oriented” dalam menjalankan tugasnya. Perlu diingat bahwa notaris adalah pejabat umum 93
Hasil Wawancara dengan Budi Hartoyo, SH, Notaris/PPAT Wonogiri Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, tanggal 24 Maret 2016
77
yang diangkat dan diberhentikan oleh negara, sehingga harus memberikan pelayanan yang baik kepada semua lapisan masyarakat tanpa membedabedakan strata atau golongan tertentu (bukan mengatas dasarkan karena pertimbangan uang semata).94 Notaris dalam pelaksanaan jabatannya harus dikontrol dengan kode etik notaris. Dalam hal ini ada beberapa pertimbangan yuridis yang harus perhatikan, antara lain : a. Notaris adalah pejabat publik yang bertugas untuk melaksanakan jabatan publik b. Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak boleh mencemarkan nama baik dari korps pengemban profesi hukum. c. Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak mencemarkan nama baik dari lembaga Notariat. d. Karena Notaris bekerja dengan menerapkan hukum di dalam produk yang dihasilkannya, kode etik ini diharapkan senantiasa mengingat untuk menjunjung tinggi keluhuran dari tugas dan martabat jabatannya, serta menjalankan tugas dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh perundang-undangan.95 Perilaku profesionalisme dalam diri seorang notaris sangatlah perlu, dimana perilaku profesional disini tidak hanya terhadap sisi pekerjaan sebagai seorang notaris secara tersendiri tetapi juga mengkaji hal-hal yang berkenaan tentang kepribadian notaris tersebut. Disini sangat dihindari adanya sisi-sisi persaingan yang tidak sehat antar rekan, menjelek-jelekan sesama rekan, menjaga kesatuan antara sesama anggota ikatan atau rekan profesi.96 Pendapat senada disampaikan oleh Budi Hartoyo, SH yang menyatakan bahwa selain etika profesi, seorang notaris diharuskan pula 94
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016 95 Hasil Wawancara dengan Budi Hartoyo, SH, Notaris/PPAT Wonogiri Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, tanggal 24 Maret 2016 96 Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
78
memiliki prilaku profesional (professional behavior).97 Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab notaris pada prinsipnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu ketentuan kode etik notaris terbaru yang disahkan pada Kongres Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia di Banten pada tahun 2015. Penerapan Kode Etik Notaris di wilayah Kabupaten Wonogiri didasarkan pada ketentuan terbaru, bahwa seorang notaris haruslah memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik; menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris; menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan; berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa tanggung jawab, berdasarkan peraturan
perundang-undangan
dan
isi
sumpah
jabatan
Notaris;
Meningkatkan ilmu pengetahuan dan keahlian profesi yang telah dimiliki tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan; Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara; Memberikan jasa pembuatan akta dan kewenangan lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium; Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut merupakan satusatunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari; Memasang 1 (satu) papan nama di depan/di lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat: nama lengkap dan gelaryang sah; tanggal dan nomor surat keputusan pengangkatan yang terakhir sebagai notaris; tempat kedudukan; alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud;
97
Hasil Wawancara dengan Budi Hartoyo, SH, Notaris/PPAT Wonogiri Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, tanggal 24 Maret 2016
79
Notaris yang menjadi anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri diwajibkan untuk hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif
dalam
kegiatan
yang
diselenggarakan
oleh
Perkumpulan;
menghormati, mematuhi, melaksana kan peraturan dan keputusan perkumpulan;
Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib;
Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang meninggal dunia; Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium yang ditetapkan Perkumpulan; Menjalankan jabatan Notaris di kantornya, kecuali karena alasan-alasan tertentu; Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahim; Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya; Membuat akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan peraturan perundang- undangan, khususnya UndangUndang tentang Jabatan Notaris dan Kode Etik. Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri juga menerapkan adanya larangan terhadap notaris yang menjadi anggotanya. Adapun beberapa larangan tersebut, diantaranya adalah Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan; Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi "Notaris/Kantor Notaris" di luar lingkungan kantor; Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: iklan; ucapan selamat; ucapan belasungkawa; ucapan terima kasih; kegiatan pemasaran; egiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga. Notaris
juga
dilarang
untuk
bekerja
sama
dengan
biro
jasa/orang/Badan Hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau mendapatkan klien; menandatangani akta
80
yang proses pembuatannya telah dipersiapkan oleh pihak lain; mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani. Selain itu anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri juga dilarang berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantaraan orang lain; melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumendokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya; melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan Notaris; menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan; mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan, termasuk menerima pekerjaan dari karyawan kantor Notaris lain; menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, maka Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut. Selain itu notaris juga dilarang melakukan Kewajiban dan melakukan Pelanggaran terhadap Larangan sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik dengan menggunakan media elektronik, termasuk namun tidak terbatas dengan menggunakan internet dan media sosial; membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup
81
kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi; menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan; Mengikuti pelelangan untuk mendapatkan pekerjaan/pembuatan akta. Adanya notaris anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri yang melanggar ketentuan di atas, akan mendapatkan sanksi berupa teguran; peringatan; pemberhentian sementara dari keanggotaan perkumpulan;
pemberhentian
dengan
hormat
dari
keanggotaan
perkumpulan; pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Penjatuhan sanksi sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Dewan Kehormatan Pusat berwenang untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh anggota biasa (dari Notaris aktif) Perkumpulan, terhadap pelanggaran norma susila atau perilaku yang merendahkan harkat dan martabat notaris, atau perbuatan yang dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap notaris. Upaya mencegah adanya notaris yang melakukan pelanggaran terhadap kode etik yang telah ditetapkan, maka INI Kabupaten Wonogiri melakukan pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik, dengan berdasarkan pada beberapa ketentuan sebagai berikut : a. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Dewan Kehormatan Daerah Kabupaten Wonogiri dapat mencari fakta atas dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan atas prakarsa sendiri atau setelah menerima pengaduan secara tertulis dari anggota Perkumpulan atau orang lain disertai buktibukti yang meyakinkan bahwa telah terjadi dugaan Pelanggaran Kode Etik oleh anggota Perkumpulan.
82
Pelanggaran ataupun penerimaan pengaduan yang terlebih dahulu diperiksa oleh satu Dewan Kehormatan, tidak boleh lagi diperiksa oleh Dewan Kehormatan lainnya. b. Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Pertama Dewan Kehormatan Daerah Kabuaten Wonogiri setelah menemukan fakta dugaan Pelanggaran Kode Etik, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib memanggil secara tertulis anggota yang bersangkutan untuk memastikan terjadinya Pelanggaran Kode Etik oleh anggota perkumpulan dan memberikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk memberikan penjelasan dan pembelaan. Pemanggilan tersebut dikirimkan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada tanggal yang telah ditentukan, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang kedua kali selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan pertama. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak hadir pada pemanggilan kedua, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa akan memanggil kembali untuk yang ketiga kali selambat- lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah pemanggilan kedua. Apabila setelah pemanggilan ketiga ternyata masih juga tidak hadir, maka Dewan Kehormatan yang memeriksa tetap bersidang dan menentukan keputusan dan/atau penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Kode Etik. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh anggota yang bersangkutan dan Dewan Kehormatan yang memeriksa. Dalam hal anggota yang bersangkutan tidak bersedia menandatangani berita acara pemeriksaan, maka berita acara pemeriksaan cukup ditandatangani oleh Dewan Kehormatan yang memeriksa.
83
Dewan Kehormatan yang memeriksa, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal sidang terakhir, diwajibkan untuk mengambil keputusan atas hasil pemeriksaan tersebut sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya apabila terbukti ada pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 6 Kode Etik yang dituangkan dalam Surat Keputusan. Apabila anggota yang bersangkutan tidak terbukti melakukan Pelanggaran, maka anggota tersebut dipulihkan namanya dengan Surat Keputusan Dewan Kehormatan yang memeriksa. Dewan Kehormatan yang memeriksa wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dalam hal keputusan Sanksi diputuskan oleh dan dalam Kongres, wajib diberitahukan oleh Kongres kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Pemeriksaan dan pengambilan keputusan sidang, Dewan Kehormatan
yang
memeriksa
harus:
tetap
menghormati
dan
menjunjung tinggi martabat anggota yang bersangkutan; selalu menjaga suasana kekeluargaan; merahasiakan segala hal yang ditemukannya,
sidang
pemeriksaan
dilakukan
secara
tertutup,
sedangkan pembacaan keputusan dilakukan secara terbuka, sidang Dewan Kehormatan yang memeriksa sah jika dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota. Apabila pada pembukaan sidang jumlah korum tidak tercapai, maka sidang diundur selama 30 (tiga puluh) menit. Apabila setelah pengunduran waktu tersebut korum belum juga tercapai, maka sidang dianggap sah dan dapat mengambil
84
keputusan yang sah, setiap anggota Dewan Kehormatan yang memeriksa mempunyai hak untuk mengeluarkan satu suara dan apabila pada
tingkat
kepengurusan
Daerah
belum
dibentuk
Dewan
Kehormatan Daerah, maka tugas dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dilimpahkan kepada Dewan Kehormatan Wilayah. c. Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi Pada Tingkat Banding Beberapa ketentuan yang diberlakukan oleh INI Kabupaten Wonogiri dalam pemerintahan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding, bahwa permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, setelah tanggal penerimaan
Surat
Keputusan
Kehormatan
Daerah/Dewan
penjatuhan
sanksi
Kehormatan Wilayah.
dari
Dewan
Permohonan
banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat. Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota yang mengajukan banding, selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima permohonan tersebut untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Pusat. Dewan Kehormatan Pusat wajib memutuskan permohonan banding selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah anggota yang bersangkutan diperiksa pada sidang terakhir. Apabila anggota yang dipanggil tidak hadir, maka Dewan Kehormatan
85
Pusat tetap akan memutuskan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas. Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah tanggal Surat Keputusan. Dalam hal permohonan banding diajukan kepada Kongres, maka permohonan banding dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum Kongres diselenggarakan. Permohonan banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Presidium Kongres melalui Sekretariat Pengurus Pusat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Daerah dan Dewan Kehormatan Daerah. Dewan Kehormatan yang memutus sanksi selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Presidium Kongres melalui Sekretariat Pengurus Pusat. Kongres wajib mengagendakan pemeriksaan terhadap anggota yang mengajukan banding untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam Kongres. Kongres wajib memutuskan permohonan banding dalam Kongres tersebut. Apabila anggota yang mengajukan banding tidak hadir dalam Kongres, maka Kongres tetap akan memutuskan permohonan banding tersebut. Kongres melalui Dewan Kehormatan Pusat wajib mengirimkan Surat Keputusan tersebut kepada anggota yang diperiksa dengan surat tercatat dan tembusannya kepada Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah,
86
Dewan
Kehormatan
Wilayah,
Pengurus
Daerah
dan
Dewan
Kehormatan Daerah. Keputusan sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal : 1) Anggota dikenakan sanksi berupa teguran dan peringatan; 2) Anggota dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Perkumpulan, menerima putusan tersebut dan tidak mengajukan banding dalam waktu yang telah ditentukan; 3) Dewan Kehormatan Pusat/Kongres telah mengeluarkan keputusan sanksi tingkat banding. Ketentuan dan tata cara pemeriksaan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota dan orang lain (yang sedang dalam menjalankan jabatan Notaris), akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat. Pengenaan Sanksi terhadap Pelanggaran Kode Etik pada Pasal 3 dan Pasal 4 akan diatur dalam Peraturan Dewan Kehormatan Pusat. Tanpa mengurangi ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara maupun penjatuhan sanksi, maka terhadap anggota Perkumpulan yang telah melanggar UndangUndang Jabatan Notaris dan dikenakan sanksi pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Notaris oleh instansi yang berwenang, maka anggota yang bersangkutan berakhir keanggotaannya dalam Perkumpulan. Pengenaan sanksi pemberhentian sementara atau pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan
terhadap
Pelanggaran
sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 di atas wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat kepada Majelis Pengawas Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Berdasarkan hasil pengamatan penulis bentuk pelanggaran kode etik oleh notaris di wilayah Kabupaten Wonogiri, yaitu :
87
a. Notaris Tidak Membacakan Akta (1 Notaris). Adanya kasus pelanggaran kode etik notaris di wilayah Kabupaten Wonogiri yaitu tidak membacakan akta di hadapan para penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap. Mencermati permasalahan ini, perlu diperhatikan syarat formil pembuatan akta antara lain: 1) Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yaitu di hadapan Notaris; 2) Dihadiri oleh para pihak; 3) Kedua belah pihak dikenal atau dikenalkan kepada notaris; 4) Dihadiri oleh dua orang saksi; 5) Menyebut identitas Notaris, penghadap dan para saksi; 6) Menyebut tempat, hari, tanggal, bulan, tahun dibuatnya akta; 7) Notaris membacakan akta di hadapan penghadap dan saksi-saksi; 8) Ditandatangani oleh semua pihak, saksi, dan Notaris; 9) Penegasan pembacaan, penerjemahan, dan penandatangan pada penutup akta; dan 10) Mengenai kedudukan Notaris di daerah kabupaten atau kota. Apabila salah satu saja syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan akta Notaris yang bersangkutan cacat formil, akibatnya akta tersebut kehilangan kekuatan pembuktian sempurnanya, dan hanya menjadi akta di bawah tangan. Merujuk dan sependapat dengan Tan Thong Kie.98 yang menyatakan bahwa terdapat kebiasaan di kalangan Notaris yang tidak lagi membaca aktanya sehingga akta itu menjadi akta di bawah tangan. Di dalam akta ia menulis bahwa akta itu “telah dibacakan oleh saya, Notaris”, padahal ia tidak membacanya. Ia berbohong dan dengan itu 98
Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta,
hlm. 634.
88
membuat pemalsuan akta. Apalagi banyak Notaris membiarkan para penghadap menandatangani akta di hadapan asistennya, sehingga keterangan Notaris itu ”telah berhadapan dengan para penghadap” perlu diragukan pula. Bahwa dengan tidak membaca akta dan tidak melihat siapa yang menandatangani akta, Notaris yang berbuat demikian menurunkan martabat pekerjaan dan jabatannya yang mulia itu. Seharusnya Notaris yang tidak membacakan akta diberikan sanksi yang bisa mengakibatkan efek jera, karena apabila hanya diberikan teguran lisan ataupun tertulis, kemungkinan akan mengulangi lagi. b. Para Pihak Tidak Tandatangan di Hadapan Notaris (1 Notaris) Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa dampak jumlah Notaris yang tiap tahun meningkat, demikian juga di wilayah Kabupaten Wonogiri, dapat mengakibatkan persaingan yang tidak sehat. Notaris yang berperilaku baik dan melaksanakan tugas jabatannya secara profesional menjadi tersisih seiring bermunculannya Notaris baru yang sering melakukan pelanggaran. Kasus Notaris yang para pihaknya tidak bertanda tangan di hadapannya sekaligus Notaris tidak membacakan akta di hadapannya juga sering terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri ini, hanya saja kemungkinan hanya sedikit yang diketahui/dilaporkan dan ditindaklanjuti. Praktek Notaris yang demikian sebenarnya tidak hanya melanggar sumpahnya tetapi bahkan bisa dikategorikan dengan Notaris tidak beriktikad baik dan sengaja ingin membuat akta palsu, yang mengarah pada perbuatan tindak pidana dan dapat diajukan ke pengadilan, namun dalam kenyataannya sulit dilakukan karena pada umumnya orang yang membutuhkan jasa Notaris tidak mengetahui dan bersikap tidak peduli atas praktekpraktek tersebut. Pelanggaran kode etik Notaris di Kabupaten Wonogiri, telah dilakukan pemeriksaan terhadap Notaris tersebut dan berkas laporan dari kuasa hukumnya, ditemukan fakta-fakta bahwa Notaris tersebut
89
telah membuat akta kuasa menjual di mana para pihak baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa tidak menandatangani akta tersebut di hadapan Notaris. Mengacu pada Pasal 16 dan 17 UUJN, seharusnya Notaris bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum. Oleh karena itu perbuatan Notaris tersebut telah mengakibatkan kerugian orang berupa peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. R. Subekti menyatakan secara umum adanya tanda tangan dari para penghadap diperlukan dalam suatu akta Notaris. 99 Hal ini menandakan para penghadap tersebut telah menyetujui apa yang terdapat atau yang diperjanjikan oleh kedua belah pihak, yaitu para penghadap itu sendiri. Membubuhi tanda tangan harus mempunyai arti sebagai melihat (membaca) dan menyetujui apa yang ditulis. Dimana seharusnya menurut penulis, dalam melaksanakan tugas jabatan, Notaris harus mematuhi UUJN dan Kode Etik Notaris. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang merupakan pengganti Notaris Reglement Stb. 1860 nomor 3 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) mengandung muatan hukum materiil dan hukum formil. Hukum materiil menyangkut ketentuan tentang kedudukan dan fungsi Notaris, seperti pada Pasal 1, demikian pula dengan pengawasan terhadap Notaris dan apa yang dibuatnya. Hukum formil tidak kurang pentingnya, misalnya sebagai alat pembuktian yang otentik harus dipenuhi semua ketentuan yang diperlukan agar suatu akta notaris mempunyai bentuk yang sah. Jika tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan itu akan menyebabkan sifat otentiknya. Terkait akta yang dibuat Notaris, penandatanganan suatu akta harus dilakukan sesuai dengan tempat atau kedudukan dan wilayah kerja Notaris, sesuai dengan Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Jabatan Notaris, yang berbunyi: Notaris mempunyai tempat kedudukan 99
R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 35
90
di daerah kabupaten atau kota, dan Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Secara formil dalam pelaksanaan tugas jabatannya, Notaris seharusnya: 1) Melakukan
pengenalan
terhadap
penghadap
berdasarkan
identitasnya diperlihatkan kepada Notaris. 2) Menanyakan dan mencermati kehen- dak para pihak, 3) Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan para pihak. 4) Memberikan saran dan membuatkan minuta untuk memenuhi keinginan para pihak tersebut. 5) Memenuhi segala teknik adiministratif pembuatan akta seperti pembacaan,
penandatanganan,
memberikan
salin-
an,
dan
pemberkasan untuk Minuta; 6) Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris; dan 7) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan UUJN, kecuali ada alasan untuk menolaknya. Notaris juga harus melihat identitas penghadap, apakah ia mewakili diri sendiri pribadi, atau mewakili badan atau institusi tertentu. c. Notaris Tidak Berada di Wilayah Kerja (1 Notaris) Pasal 18 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa Notaris harus berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Setiap Notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat dan kedudukan, dan berkantor di kabupaten atau kota sebagaimana dalam Pasal 19 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Pasal tersebut menjelaskan bahwa Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak hanya berada di tempat kedudukannya, karena Notaris mempunyai wilayah jabatan seluruh provinsi. Hal ini dijalankan dengan ketentuan bahwa Notaris ketika menjalankan tugas jabatannya yakni membuat akta di luar tempat kedudukannya, maka
91
Notaris tersebut harus berada di tempat akta harus dibuat, dan pada akhir akta harus disebutkan tempat (kota atau kabupaten) pembuatan atau penyelesaian akta. Menjalankan tugas jabatan di luar tempat kedudukan Notaris dalam wilayah jabatan satu provinsi tidak merupakan suatu pelangaran. Notaris membuat akta di luar wilayah jabatannya akan tetapi yang bersangkutan mencantumkan dalam akta tersebut seolah-olah dilakukan dalam wilayah hukum kewenangannya, atau seolah-olah dilakukan di tempat kedudukan dari Notaris tersebut melanggar Pasal 17 huruf (a) UUJN, Notaris dilarang untuk menjalankan jabatannya di luar daerah jabatannya. Akan tetapi dimungkinkan seorang Notaris membuat akta di luar wilayah jabatannya, antara lain: Pasal 942 jo. 397 KUH Perdata yaitu penyerahan surat rahasia untuk dibuka oleh harta peninggalan di dalam daerah tempat wasiat itu dibuka, dan Pasal 157, 159, 161 KUH Perdata, yaitu ada kemungkinan notaris menjalankan jabatannya di luar wilayahnya apabila Notaris tersebut baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana harus menyerahkan minuta aktanya dan membuat salinan dari akta itu untuk protokolnya. d. Notaris Membuka Kantor Lebih dari Ketentuan (1 Notaris) Makin ketatnya persaingan antar Notaris di suatu wilayah yang sama memungkinkan oknum Notaris berbuat membuka kantor cabang dengan
cara,
setiap
cabang
dalam
waktu
yang
bersamaan,
melangsungkan dan memproduksi akta Notaris yang seolah-olah ke semua akta tersebut dibuat di hadapan Notaris melanggar pasal 19 UUJN. Persaingan sesama Notaris disebabkan karena makin banyaknya jumlah Notaris dalam suatu wilayah bisa saja makin ketat dan menjurus pada persaingan yang tidak sehat. Hal ini bisa ditandai dari upaya ‘jemput bola’ sehingga klien didatangi langsung oleh pegawai Notaris, dengan menawarkan tarif yang mungkin di bawah standar dan promosi via media elektronik/cetak. Sependapat dengan
92
Arie Siswanto100 menegaskan bahwa untuk dapat dikualifikasi sebagai tindak persaingan, harus memenuhi 3 (tiga)unsur yakni: perjuangan, diperebutkan 2 (dua) orang atau lebih, dan terhadap obyek yang sama, maka penulis menyimpulkan bahwa saat ini memang sudah pada taraf persaingan antar rekan Notaris. Seharusnya perilaku tersebut tidak perlu terjadi jika Notaris saling menjaga diri, harkat dan martabatnya dijunjung tinggi. Penulis juga sependapat dengan Liliana Tedjasaputra101 bahwa sekalipun keahlian
seorang
Notaris
bisa
dimanfaatkan
sebagai
upaya
mendapatkan klien, namun dalam menjalankan tugas profesinya Notaris tidak semata-mata didorong oleh keinginan atau pertimbangan uang. Seorang Notaris profesional harus tetap berpegang teguh pada rasa keadilan yang hakiki, tidak terpengaruh oleh jumlah uang, dan tidak semata-mata membuat alat bukti formal untuk mengejar adanya kepastian hukum dengan mengabaikan rasa keadilan. Kode etik Notaris menyebutkan bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya dilarang mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor baik kantor cabang atau perwakilan. Bahkan memasang papan nama di luar lingkungan kantor sebagai upaya promosi pun dilarang. Notaris dituntut keahlian dan keterampilannya dalam pelaksanaan tugas jabatannya, namun kepribadian yang baik berdasarkan sikap mandiri dan tidak memihak harus diutamakan. Sikap bebas atau mandiri serta jujur, berani berbuat sesuai hati nurani sangatlah penting supaya Notaris tidak memihak pada salah satu pihak yang menguntungkannya secara finansial atau yang membayar Notaris tersebut. Persaingan antar Notaris ataupun wilayah kerja yang mungkin saja sepi bisa saja memicu terjadinya pelanggaran Notaris, sehingga Notaris ingin memperluas jaringan dengan membuka 2 (dua) kantor, bahkan masih 100 101
hlm. 86
Arie Siswanto, 2002. Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.13. Liliana Tedjasaputra, 2003, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang,
93
ditambah dengan pelanggaran lain yakni tidak membacakan akta. Kasus (seorang Notaris memiliki dua kantor) yang telah diberikan teguran tertulis hingga teguran kedua. Memang benar pembinaan dan pengawasan Notaris perlu dilakukan pemeriksaan protokol Notaris oleh Majelis Pengawas Daerah Notaris setempat; ternyata adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf d jo. Pasal 19 ayat (1), Undang- Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, sehingga bersangkutan diberikan pembinaan dalam bentuk sanksi. e. Permasalahan PlangNama dan PindahAlamat Tidak Melapor(1Notaris) Pelanggaran kode etik notaris yang terjadi adalah adanya plang nama dan pindah alamat tanpa melapor. Seharusnya Notaris yang beriktikad baik, akan melaporkan kepindahannya, dan tidak memasang plang nama yang mengelabui masyarakat, bahkan jelas dapat dinilai membuka kantor lebih dari ketentuan yang berlaku. Tindakan Notaris ini sangat tidak terpuji dan melanggar kode etik, perlu diberikan sanksi yang tegas agar tidak menjadi preseden bagi Notaris lain. Jika dilakukan pembiaran, maka dimungkinkan akan banyak plang nama Notaris diberbagai tempat sebagai ‘calo sertifikat’ karena sebenarnya kantor yang terpampang plang nama tersebut hanya kosong, hanya sedikit berkas untuk mengelabui seakan-akan benar merupakan kantor, dan hanya ditunggui oleh satu karyawan saja. Persaingan antar rekan Notaris yang tidak sehat semakin menjurus pada persaingan usaha tidak sehat antar rekan Notaris. Mereka pro aktif turun ke pasar mendatangi klien, menawarkan jasa, melakukan negosiasi honor dan melakukan peri- katan layaknya pebisnis pada umumnya. Penulis sangat sependapat dengan P. Nicolai102
pengawasan
merupakan
langkah
preventif
untuk
memaksakan kepatuhan. Penegakan hukum tidak boleh hanya dilakukan setengah-setengah, akan tetapi harus ber- kesinambungan, 102
Ridwan H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 311
94
baik preventif dan represif. f. Notaris Membuat Salinan Akta Tidak Sesuai dengan Minuta (1Notaris) Pelanggaran kode etik notaris selanjutnya adalah adanya Notaris membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. Pasal 16 dan 17 UUJN menentukan kewajiban dan larangan Notaris yaitu di antaranya bekerja secara seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang melakukan perbuatan hukum. Ketika seorang Notaris membuat salinan akta, Notaris harus mencocokkan dengan minuta aslinya, sesuai dengan kompetensinya, agar akta tidak kehilangan otentitasnya. Apabila dalam prakteknya, Notaris tidak membuat salinan akta tersebut sesuai dengan aslinya, maka Notaris tersebut telah melanggar kewenangan dan telah menyebabkan Minuta yang dibuatnya mengandung keterangan palsu. Selain dalam pembuatan salinan, dalam hal pembuatan Minuta pun Notaris harus berhati-hati jangan sampai mengandung keterangan palsu, jika tidak maka Notaris harus bertanggung jawab secara hukum. Bentuk tanggungjawab hukum Notaris adalah tanggung jawab terhadap hukum perdata, hukum pidana, UUJN, dan Kode Etik Notaris. Selain itu, seorang Notaris selaku pejabat umum, juga harus bertanggungjawab atas kebenaran materiil atas Minuta yang dibuatnya, seorang Notaris harus menjamin bahwa minuta yang dibuatnya merupakan suatu Minuta yang otentik. Sependapat dengan Wahyudi Sulistia Nugroho103
yang
menjelaskan bahwa dalam pembuatan akta yang dilakukan Notaris, setiap kata yang dibuat dalam akta harus terjamin otentisitasnya. Oleh karena itu, dalam proses pembuatan dan pemenuhan persyaratan pembuatan akta diperlukan tingkat kecermatan yang memadai. Pada kasus ini telah dilakukan pemeriksaan dan berkas laporan 103
Wahyudi Sulistia Nugroho, ”Pembatalan Akta Notaris oleh Hakim”, ADIL Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 3, Desember 2010, hlm. 288
95
dari kuasa hukum menemukan fakta-fakta bahwa notaris telah membuat akta kuasa menjual dimana para pihak baik pemberi maupun penerima kuasa tidak menandatangani akta di hadapan notaris tersebut. Notaris dinilai tidak bertindak jujur, saksama, mandiri, berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum. Pelanggaran lainnya adalah Terlapor membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta, Notaris juga tidak membacakan akta di hadapan para penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap. Jadi menurut penulis, Notaris tersebut telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu tidak bertindak jujur, saksama, mandiri, berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum. Selain itu telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yaitu membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta. Selain itu, Notaris tersebut telah melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf i UndangUndang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yaitu Terlapor tidak membacakan akta di hadapan para penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap. Notaris tersebut melanggar Pasal 39 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pelanggaran sebagaimana tersebut pada butir 3, 4, dan 5 dapat dikenai saksi dengan ketentuan sesuai dengan Pasal 85 Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pasal 84 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sudah sepatutnya MPW berdasarkan Pasal 73 ayat (1) huruf e Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris memberikan sanksi berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Selain itu berdasarkan Pasal 73 ayat
96
(1) huruf f Majelis Pengawas Wilayah berdasar hasil pemeriksaan, berwenang mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris terhadap Majelis Pengawas Pusat berupa pemberhentian sementara 3(tiga) bulan sampai dengan 6(enam) bulan sampai pemberhentian tidak hormat. Dengan banyaknya jumlah Notaris di Kabupaten Wonogiri, telah memunculkan beberapa kasus terkait pelanggaran kode etik notaris. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kebanyakan terhadap pelanggaran tersebut telah diberikan teguran lesan, dan namun demikian ada juga notaris yang diusulkan pemberhentian sementara, dikarenakan bentuk pelanggarannya tergolong cukup berat. Permasalahan Notaris tersebut dinilai cukup berat, karena selain telah membuat akta kuasa menjual yang para pihak baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa tidak menandatangani akta tersebut di hadapan Notaris terlapor, tidak bertindak jujur, saksama, mandiri, berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam pembuatan hukum, yang bersangkutan juga membuat salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta, serta tidak membacakan akta di hadapan para penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh para penghadap. Mengingat tanggungjawab dan kepercayaan yang besar dan berat di pundak Notaris tersebut,maka Notaris perlu dibina dan di awasi,yang semuanya bertujuan untuk mengangkat keluhuran martabat jabatan Notaris. Notaris dituntut untuk patuh terhadap peraturan perundangan dan tidak melakukan kesalahan atau pun perbuatan tercela di masyarakat. Kode Etik dijadikan panduan ataupun tolok ukur bagi perilaku tersebut. Dengan mengikuti pendapat Habieb Adjie104 bahwa Notaris sebagai jabatan kepercayaan wajib untuk menyimpan rahasia mengenai akta yang dibuatnya dan keterangan/pernyataan para 104
Habieb Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Bandung, hlm. 78.
97
pihak yang diperoleh dalam pembuatan akta, kecuali undang-undang memerintahkannya
untuk
membuka
rahasia
dan
memberikan
keterangan/pernyataan tersebut kepada pihak yang memintanya. Notaris dalam hal ini berperan penting dalam pengarsipan dokumen penting, misalnya transaksi para pihak. Jadi seharusnya Notaris selalu menjaga kewibawaannya, baik dalam nejalankan jabatannya maupun ketika berperilaku dalam masyarakat. Notaris sebagai profesional yang sekaligus pejabat umum yang melayani kepentingan masyarakat, seharusnya memegang teguh amanah yang telah dipercayakan oleh para pihak kepadanya. Merujuk dan sependapat dengan Habieb Adjie105 pelaksanaan tugas Notaris sebagai jabatan kepercayaan dimulai ketika calon Notaris disumpah atau mengucapkan janji berdasarkan agama masing-masing sebagai Notaris. Sumpah atau janji sebagai Notaris mengandung makna yang sangat dalam yang harus dijalankan dan mengikat selama menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris. Sumpah atau janji tersebut mengandung dua hal yang harus dipahami yaitu: Notaris wajib bertanggungjawab kepada Tuhan, karena sumpah atau janji yang diucapkan berdasarkan agama masing-masing artinya segala sesuatu yang dilakukan Notaris dalam
menjalankan
tugas
jabatannya
akan
diminta
pertanggungjawabannya dalam bentuk yang dikehendaki Tuhan dan Notaris wajib bertanggungjawab kepada Negara dan masyarakat, artinya Negara telah memberi kepercayaan untuk menjalankan sebagai tugas negara dalam bidang hukum perdata, yaitu dalam pembuatan alat bukti berupa akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan kepada masyarakat yang telah percaya bahwa Notaris mampu memformulasikan kehendaknya ke dalam bentuk akta Notaris, dan percaya bahwa Notaris mampu menyimpan (merahasiakan) segala keterangan atau ucapan yang diberikan di hadapan Notaris. 105
Ibid., hlm. 184-185.
98
Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri telah berusaha untuk menginventarisasi penyimpangan tugas profesi Notaris, dari bentuk pelanggaran dengan membuka cabang yang mungkin untuk produksi akta, maupun kasus yang melanggar lainnya yang lebih kompleks. Menurut penulis, jika memang Kode Etik dilaksanakan untuk menegakkan UUJN dan menjaga keluhuran martabat jabatan Notaris, maka seharusnya penerapan sanksi Kode Etik ini lebih dipertegas, jangan hanya dikeluarkan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri. Karena bisa saja secara rasional, Notaris akan tetap berpraktek sebagaimana biasa tanpa harus menjadi anggota Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri. Pembinaan dan pengawasan Notaris akan dapat berhasil baik jika pihak yang melakukan pembinaan dan pengawasan itu pun menguasai dan memahami bidang kerja Notaris dan ketentuan hukumnya. Ikatan Notaris Indonesia (INI) pun harus terdiri atas anggota yang menjunjung tinggi profesionalisme dan keahlian berdasarkan kepakaran/senioritas atau rekam jejak yang baik dalam bidang kenotariatan. UUJN sebenarnya telah mewadahi hal ini dalam Pasal 67 bahwa pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri. Pembinaan notaris memang telah dilakukan oleh Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri melalui kegiatan ilmiah seminar, pelatihan dan pertemuan lainnya untuk sosialisasi dan peningkatan keilmuan. Pengawasan terhadap Notaris dilakukan terhadap pekerjaan Notaris, meliputi pengawasan atas diri perilaku Notaris serta pengawasan administratif. Pekerjaan Notaris diawasi dengan cara memeriksa akta-akta Notaris serta Repertorium dan Klapper untuk diteliti apakah melanggar UUJN atau tidak. Selain itu tuntutan moral dan kecerdasan serta kehati-hatian (cermat) harus selalu diperhatikan oleh Notaris, sehingga akta otentik yang dibuatnya benar- benar dapat menjamin kepastian hukum.
99
Mengikuti pendapat Suhrawadi bahwa dibutuhkan kepastian hukum terhadap produk Notaris oleh karena itu pelayanan yang diberikan oleh Notaris harus benar-benar memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan.106 Dengan demikian Notaris dituntut keahliannya dan kecermatannya serta dibekali moral yang kuat agar berperilaku menjaga harkat jabatannya. Untuk itu perlu diimbangi dengan pengawasan oleh instansi yang telah ditunjuk oleh UUJN. Regulasi yang lebih menjamin kepastian hukum perlu pembinaan dan pengawasan dalam rangka penegakan hukum terhadap pelanggaran kode etik oleh notaris, dengan melakukan pemeriksaan atas laporan masyarakat sehingga dapat dilanjutkan pemeriksaan oleh INI Kabupaten Wonogiri. Secara pribadi notaris bertanggung jawab atas mutu pelayanan jasa yang diberikannya. Antara notaris sebagai pengemban profesi dengan kliennya terjadi hubungan personal antar subyek, yang secara formalyuridis kedudukannya sama. Walaupun demikian, substansi hubungan antara notaris dengan klien secara sosio-psikologis terdapat ketidak seimbangan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya klien tidak mempunyai pilihan lain kecuali memberikan kepercayaan kepada Notaris tersebut dengan harapan pengemban profesi tersebut akan memberikan pelayanan profesionalnya secara bermutu dan bermartabat.107 Karena pelayanan yang dilakukan notaris termasuk pada fungsi kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat kemasyarakatan yang langsung berkaitan dengan nilai dasar yang menentukan derajat perwujudan martabat manusia, maka sesungguhnya notaris itu memerlukan pengawasan masyarakat. Tetapi, masyarakat pada umumnya, tidak memiliki kompetensi teknikal untuk dapat menilai dan melakukan pengawasan yang efektif terhadap notaris. 106
Suhrawadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 33. Hasil wawancara dengan Budi Hartoyo, SH. Notaris/PPAT, MPND Wonogiri, 24 Maret 2016 107
100
Sehubungan dengan nilai dan kepentingan yang terlibat didalamnya, maka notaris dalam melaksanakan jabatannya dijiwai sikap etis tertentu yaitu yang dijiwai etika profesi notaris. Menurut penulis dikarenakan notaris merupakan profesi yang menjalankan sebagian kekuasaan negara di bidang hukum privat dan mempunyai peran penting dalam membuat akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dan oleh karena jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan, maka seorang notaris harus mempunyai perilaku yang baik. Perilaku notaris yang baik dapat diperoleh dengan berlandaskan pada kode etik notaris. Dengan demikian, maka kode etik notaris mengatur mengenai hal-hal yang harus ditaati oleh seorang notaris dalam menjalankan jabatannya dan juga di luar menjalankan jabatannya. Sebagai etika profesi, kode etik notaris yang merupakan sikap etis sebagai bagian integral dan sikap hidup dalam menjalani profesi notaris, hanya notaris sendiri yang dapat atau yang paling mengetahui tentang apakah perilakunya dalam mengemban profesi notaris memenuhi tuntutan etika profesinya atau tidak. Kepatuhan pada etika profesi notaris sangat bergantung pada akhlak notaris yang bersangkutan. Kalangan notaris itu sendiri membutuhkan adanya pedoman obyektif yang lebih kongkrit pada perilaku profesionalnya. Karena itu, dari dalam lingkungan para notaris itu sendiri dimunculkan seperangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam mengemban profesi notaris. Untuk dapat meminilisir pelanggaran terhadap kode etik menurut penulis diperlukan sosialisasi dan pengawasan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan oleh Ikatan Notaris Indonesia. Selain hal tersebut diperlukan pengaturan yang tegas dalam pelaksanaannya tentang tata cara pengangkatan notaris, khususnya tentang penerapan formasi notaris, sehingga tidak menimbulkan peningkatan jumlah notaris dalam suatu wilayah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, hal ini menurut penulis sangat berpengaruh dalam menekan terjadinya pelanggaran kode etik khususnya persaingan yang tidak sehat antara sesama notaris.
101
2. Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Kode Etik Notaris, oleh Notaris Wonogiri Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I) Kabupaten Wonogiri dalam upayanya menjaga kehormatan dan keluhuran martabat jabatan notaris, mempunyai kode etik notaris yang ditetapkan oleh kongres dan merupakan kaidah moral yang wajib ditaati oleh setiap anggota yang berdedikasi tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana, sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh kongres untuk masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan. Adanya pelanggaran kode notaris, upaya yang dilakukan INI Kabupaten Wonogiri adalah dengan menjaga kesatuan dan persatuan notaris dan menjalankan pekerjaan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada dan mempunyai sikap moral yang baik.108 Terkait penerapan sanksi terhadap Notaris yang melanggar Kode Etik, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Kabupaten Wonogiri menyerahkan kepada
Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas
pelanggaran terhadap kode etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangannya dan bertugas untuk : a. Melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam menjunjung tinggi kode etik; b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat secara Iangsung; c. Memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan notaris.109
108
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016 109 Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
102
Dewan Kehormatan Daerah merupakan badan yang bersifat otonom di dalam mengambil keputusan yang mempunyai tugas dan kewajiban untuk memberikan bimbingan dari melakukan pengawasan dalam pelaksanaan serta pentaatan kode etik oleh para anggota perkumpulan di daerah masing-masing. Dalam rangka menjalankan tugas dan kewajibannya Dewan Kehormatan Daerah berwenang untuk : a. Memberikan
dan
menyampaikan
usul
dan
saran
yang
ada
hubungannya dengan kode etik dan pembinaan rasa kebersamaan profesi (corpsgeest) kepada Pengurus Daerah; b. Memberikan peringatan, baik secara tertulis maupun dengan lisan secara langsung kepada para anggota di daerah masing-masing yang melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kode etik atau bertentangan dengan rasa kebersamaan profesi; c. Memberitahukan tentang pelanggaran tersebut kepada Pengurus Daerah, Pengurus Wilayah, Dewan Kehormatan Wilayah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat; d. Mengusulkan kepada Pengurus Pusat melalui Dewan Kehormatan Wilayah dan Dewan Kehormatan Pusat untuk pemberhentian sementara
(schorsing)
anggota
perkumpulan
yang
melakukan
pelanggaran terhadap kode etik.110 Bagi Notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, Dewan Kehormatan
berkoordinasi
dengan
Majelis
Pengawas
berwenang
melakukan pemeriksaan atas pelanggaran tersebut dan dapat menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya, sanksi yang dikenakan terhadap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa : a. Teguran; b. Peringatan; c. Schorzing (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan; 110
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
103
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan; e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keangotaan Perkumpulan.111 Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran terhadap kode etik, baik dugaan tersebut berasal dari pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan Kehormatan Daerah, maka selambatlambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran tersebut. Hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah ternyata ada dugaan kuat terhadap pelanggaran kode etik, maka dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut, Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi, untuk keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan putusannya mengenai terbukti ada tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila terbukti), setelah mendengar keterangannya dan pembelaan diri dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan Kehormatan Daerah. Penentuan dapat dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang itu maupun dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut, dilakukan selambatlambatnya dalam waktu limabelas hari kerja, setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah di mana Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau pembelaannya. Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap kode etik, maka sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi kabar apapun dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggii, maka Dewan 111
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
104
Kehormatan Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak dua kali dengan jarak waktu tujuh hari kerja, untuk setiap panggilan. Dalam waktu tujuh hari kerja, setelah panggilan ke tiga ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi kabar dengan alasan apapun, maka Dewan Kehormatan
Daerah
akan
tetap
bersidang
untuk
membicarakan
pelanggaran yang diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan menentukan putusannya. Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya. Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan Kehormatan Daerah. Apabila pada tingkat kepengurusan daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk menjalankan kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan Daerah dalam rangka penegakan kode etik atau melimpahkan tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar kode etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapinya. Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat
diajukan/dimohonkan
banding kepada
Dewan
Kehormatam
Wilayah. Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah tanggal
105
penerimaan surat putusan penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah. Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan Pusat, Pengurus Wilayah, dan Pengurus Daerah.112 Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh hari setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib mengirim semua salinan/foto copy berkas pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat. Setelah menerima permohonan banding, Dewan Kehormatan Wilayah wajib memanggil anggota yang naik banding, selambatlambatnya dalam waktu tujuh hari kerja, setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan Kehormatan Wilayah. Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga puluh hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk membela diri. Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat, maka sidang Dewan Kehormatan Wilayah, tetap akan memberi putusan dalam waktu yang ditentukan. Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirimkan putusannya kepada anggota yang minta banding dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi an tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut. Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah, berhubung pada tingkat 112
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
106
kepengurusan daerah yang bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan keputusan tingkat banding. Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sernentara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan sernentara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Wilayah dapat diajukan/ dimohonkan
pemeriksaan
pada
tingkat
terakhir
kepada
Dewan
Kehormatan Pusat. Putusan yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah. Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota perkumpulan yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap keputusan yang telah ditetapkan oleh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat mengenai kasus kode etik berikut nama anggota yang bersangkutan. Selanjutnya nama Notaris tersebut, kasus dan keputusan Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wiayah dari/atau Dewan Kehormatan Pusat diumumkan dalam media notariat yang terbit setelah pencatatan dalam buku anggota perkumpulan tersebut. Penjatuhan sanksi-sanki sebagaimana terurai di atas terhadap anggota yang melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Dewan Kehormatan merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang berwenang melakukan pemeriksaan atas segala pelanggaran terhadap kode etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangannya.
107
Seorang anggota Ikatan Notaris Indonesia dapat diberhentikan sementara keanggotaannya oleh Pengurus Pusat atau usul Dewan Kehormatan Pusat, Dewan Kehormatan Wilayah atau Dewan Kehormatan Daerah melalui Dewan Kehormatan Pusat, karena melakukan salah satu atau lebih perbuatan di bawah ini : a. Melakukan perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, kode etik dan keputusan yang sah dari perkumpulan; b. Melakukan
perbuatan
yang
mencemarkan,
merugikan
atau
merendahkan nama baik perkumpulan; c. Menyalahgunakan nama perkurnpulan untuk kepentingan pribadi. Apabila anggota yang diberhentikan sementara berdasarkan keputusan kongres dinyatakan bersalah, maka anggota yang bersangkutan dapat
dipecat
untuk
seterusnya
dari
keanggotaan
perkumpulan.
Berdasarkan keputusan kongres, Pengurus Pusat membuat keputusan pemecatan bagi anggota yang bersangkutan dan keputusan tersebut dilaporkan oleh Pengurus Pusat kepada menteri yang membidangi jabatan notaris, Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah serta instansi lainnya yang menurut pertimbangan Pengurus Pusat perlu mendapat laporan. Namun sanksi pemecatan yang diberikan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan Notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai notaris, dengan demikian sanksi berupa pemecatan dari keanggotaan perkumpulan tentunya tidak berdampak pada jabatan seorang notaris yang telah melakukan pelanggaran kode etik, misalnya seorang notaris diduga melakukan pelanggaran kode etik berupa perbuatan yang merupakan pelanggaran berat terhadap ketentuan anggaran dasar, kode etik dan keputusan yang
108
sah dari perkumpulan, yaitu menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah dipersiapkan oleh pihak lain, kemudian notaris tersebut dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan Ikatan Notaris Indonesia, notaris tersebut masih tetap dapat membuat akta dan menjalankan jabatannya sebagai notaris, karena sanksi tersebut bukanlah berarti secara serta merta notaris tersebut diberhentikan dari jabatannya, karena hanya menteri yang berwenang untuk memecat notaris dari jabatannya dengan mendengarkan laporan dari Majelis Pengawas. Contoh lainnya adalah seorang Notaris yang dijatuhi sanksi pemecatan dari perkumpulan notaris karena melakukan pelanggaran kode etik dengan mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan notaris lain, ia masih saja dapat menjalankan jabatannya, sehingga sanksi tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik serta kurang memberikan Efek Jera (Deterrence Effect) kepada setiap pelaku pelanggaran. Selain pemberian sanksi kepada notaris yang melakukan pelanggaran kode etik, INI Kabupaten Wonogiri juga melakukan berberapa upaya sebagai bentuk pencegahan agar notaris yang menjadi anggotanya bekerja sesuai dengan kode etik yang berlaku. Penegakan hukum bisa dilakukan secara preventif maupun secara represif. Secara preventif dapat dilakukan dengan regulasi guna menjamin kepastian hukum dan pengawasan, sedangkan secara represif yakni dengan memberikan hukuman/sanksi. Berdasarkan
hasil
penelitian,
bahwa
upaya
pencegahan
pelanggaran kode etik notaris di Kabupaten Wonogiri dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu Pembinaan oleh Institusi Terkait a. Pembinaan oleh Institusi Terkait Sistem hukum terdapat tiga komponen penting yang saling mempengaruhi, yaitu: struktur hukum (legal structure), substansi
109
hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture).113 Struktur menyangkut aparat penegak hukum, kemudian substansi meliputi
perangkat
perundang-undangan,
dan
budaya
hukum
merupakan hukum yang hidup yang dianut dalam suatu masyarakat. Struktur dari sistem hukum terdiri dari lembaga hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat sedangkan
hukum
yang ada,
substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem itu, menyangkut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum sehingga menghasilkan suatu produk, mencakup keputusan keluarkan, aturan baru yang
mereka
susun.
yang
mereka
Budaya
hukum
sering tercermin dalam kesadaran hukum itu sebagai suatu keseluruhan yang mencakup pengetahuan tentang hukum, berlakunya fungsi hukum, dan kepatuhan kepada hukum. Untuk mendukung teori Friedmann tersebut, perlu dilakukan penegakan hukum yang konsisten. Merujuk pada pendapat Soerjono Soekanto114 bahwa faktor-faktor penegakan hukum terdiri atas: faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukumnya, faktor sarana dan fasilitas penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan; kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan erat, oleh karenanya merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur efektivitas penegakan hukum. Ikatan
Notaris
Indonesia
(INI)
Kabupaten
Wonogiri
menjelaskan penegakan hukum yang bersifat preventif melalui upaya pencegahan pelanggaran hukum oleh Notaris yang telah dilakukan dan akan terus dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris, yaitu dengan cara: pemeriksaan protokol 113
Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Soge Foundation, New York, hlm.16 114 Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 8-9.
110
Notaris tahunan/berkala; dan sosialisasi UU Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 dan aturan pelaksanaannya.115 Selama ini telah dilakukan pembinaan oleh instansi terkait Kementrian Hukum dan HAM, Pengurus INI, Dewan Kehormatan dan Majelis Pengawas melalui kegiatan rutin, kegiatan ilmiah, pengayaan materi keilmuan yang relevan dengan bidang kerja Notaris dan sosialisasi peraturan perundangan. b. Koordinasi dan Kerjasama antara Notaris dan Ikatan Notaris Indonesaia (INI) Perlu dibenahi kerjasama yang telah dilakukan selama ini agar koordinasi dan kerjasama yang baik makin ditingkatkan berdasarkan silahturahim yang saling membutuhkan antara Notaris dan INI sebagai pemersatu. Antara Notaris, Pengurus INI, Kementrian Hukum dan HAM, Dewan Kehormatan dan Majelis Pengawas melalui kegiatan ilmiah dan silahturahmi harus bisa memupuk rasa solidaritas profesi yang lebih baik, menjunjung perilaku yang sesuai dengan Kode Etik dan bekerja sama secara mutualisme
dalam
pengayaan
materi
keilmuan yang relevan dengan bidang kerja Notaris.116 Koordinasi dan kerjasama tidak hanya sebatas
urusan
menyelesaikan pembuatan akta, lebih dari itu berkaitan dengan pengawasan terhadap Notaris mengingat permasalahannya berintikan SDM dan pengawasan,
maka
perlu
dipersiapkan
alur
sejak
rekruitmen Notaris (dari pendidikan dan ujian kompetensi, maupun izin praktek) hingga menjadi Notaris dan berpraktek sehari-hari dengan regulasi (bisa dengan peraturan organik di bawah UUJN) yang tepat dan tegas. Maksudnya UUJN, Kode Etik dan pengawasannya harus berjalan sinergi dan saling mendukung dengan INI. Dalam rangka peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, Notaris seharusnya 115
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016 116 Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
111
lebih berusaha untuk terus belajar, agar senantiasa dapat mengikuti perkembangan
global,
dimulai
pada
rekruitmen dan saat berpraktek menjadi
saat
seleksi
Notaris.
Ini
pendidikan, dilakukan
dengan pelbagai cara ilmiah yang relevan dalam pembentukan profesi yang menjunjung tinggi profesionalitasnya sesuai Kode Etik Notaris, misalnya peningkatan mutu dan kinerja, pendidikan dan seleksi yang lebih baik dengan syarat izin praktek dan magang yang lebih rigid. c. Pengawasan yang Kontinu Upaya menjaga agar Notaris menegakkan tugas jabatan mulia tersebut, maka dilakukan pengawasan. Pengawasan seharusnya lebih difokuskan dengan tujuan upaya preventif pelanggaran dan sebagai rambu efektivitas penegakan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum. Pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang merugikan masyarakat. Seharusnya menurut penulis tujuan pengawasan bukan
hanya
untuk pencegahan akan
timbulnya
pelanggaran, akan tetapi juga untuk mendukung penerapan UUJN menuju kepastian hukum, secara moral juga mendukung efektifitas Kode Etik, dan secara represif juga untuk memberi rambu-rambu akan adanya hukuman/sanksi, bahwa perilaku, etik, dan pelaksanaan jabatan Notaris selalu dinilai dan diawasi oleh masyarakat melalui Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan.117 Merujuk
Pasal
67-76
UUJN,
Pengawasan atas Notaris
dilakukan oleh Menteri melalui Majelis Pengawas, baik tingkat MPD, MPW maupun MPP. Pengawasan tersebut meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris. Demikian jika merujuk Kode Etik Notaris utamanya tentang Tata Cara Penegakan Kode Etik, maka dalam Pasal 7 tentang Pengawasan, pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik dilakukan oleh Pengurus INI dan Dewan Kehormatan. Dewan Kehormatan (Pasal 8 Kode Etik) merupakan alat perlengkapan 117
Hasil Wawancara dengan Budi Hartoyo, SH, Notaris/PPAT Wonogiri Majelis Pengawas Daerah Notaris Kabupaten Wonogiri, tanggal 24 Maret 2016
112
perkumpulan
yang
berwenang
melakukan
pemeriksaan
atas
pelanggaran Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.118 d. Perlunya Lembaga Pengawas yang Lebih Independen dan Profesional Guna mendukung kinerja Notaris agar lebih profesional dalam menjaga harkat martabatnya melaksanakan tugas jabatannya, tentu diperlukan peran lembaga yang lebih mandiri dan tidak berpihak, yang untuk menilai dan memeriksa serta mengawasi pelaksanaan tugas jabatan
Notaris, mengingat pengawasan yang dilakukan terhadap
Notaris, terkait UUJN dan Kode Etik, dilakukan oleh Majelis Pengawas (yang di dalamnya terdapat tiga Notaris sewilayah kerja/sejawat) dan Dewan Kehormatan serta Pengurus INI Kabupaten Wonogiri. Lembaga independen ini haruslah profesional yang menguasai kenotariatan dengan baik, atau pun profesi yang telah menyelesaikan studi notariat, senior dalam bidang ilmu notariat, akan tetapi tidak berpraktek sebagai Notaris. Adanya berbagai upaya preventif tersebut diharapkan dapat meminimalisir adanya notaris yang melakukan pelanggaran kode etik dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Maraknya pelanggaran Kode Etik Notaris yang selama ini dilakukan oleh Notaris di wilayah Wonogiri, menunjukkan lemahnya penegakan hukum
yang diberlakukan.
Menurut
analisis penulis,
berdasarkan hasil penelitian, mengenai berbagai bentuk pelanggaran Kode Etik Notaris dan penerapan sanksi yang diberlakukan INI Kabupaten Wonogiri apabila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman, menunjukkan bahwa secara institusi, keberadaan INI kurang dapat memberikan
taringnya
dalam
penegakan
hukum
terkait
adanya
pelanggaran kode etik yang dilakukan anggotanya. Secara preventif INI Kabupaten Wonogiri berupaya mencegah terjadinya pelanggaran kode etik 118
Hasil Wawancara dengan Firdaus, SH. MKN, Ketua Ikatan Notaris Indonesia (INI), Kabupaten Wonogiri, tanggal 28 Maret 2016
113
Notaris yang telah dilakukan dan akan terus dilakukan adalah dengan melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris, yaitu dengan melakukan
pemeriksaan
protokol
Notaris
secara
berkala
dan
melaksanakan sosialisasi UU Jabatan Notaris No. 2 Tahun 2014 dan aturan pelaksanaannya. Perlu dibenahi kerjasama yang telah dilakukan selama ini agar koordinasi dan kerjasama yang baik makin ditingkatkan berdasarkan silahturahim yang saling membutuhkan antara Notaris dan INI sebagai pemersatu. Antara Notaris, Pengurus INI, Kementrian Hukum dan HAM, Dewan Kehormatan dan Majelis Pengawas melalui kegiatan ilmiah dan silahturahmi harus bisa memupuk rasa solidaritas profesi yang lebih baik, menjunjung perilaku yang sesuai dengan Kode Etik dan bekerja sama secara mutualisme dalam pengayaan materi keilmuan yang relevan dengan bidang kerja Notaris. INI melakukan pengawasan sebagai upaya menjaga agar Notaris tidak melakukan pelanggaran kode etik. Pengawasan oleh INI telah dilaksanakan
dengan
lebih
difokuskan
dengan
tujuan
mencegah
pelanggaran dan sebagai rambu efektivitas penegakan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum. Namun demikian tujuan pengawasan ini sebenarnya bukan hanya untuk pencegahan akan timbulnya pelanggaran, akan tetapi juga untuk mendukung penerapan UUJN menuju kepastian hukum, secara moral juga mendukung efektifitas Kode Etik, dan secara represif juga untuk memberi rambu-rambu akan adanya hukuman/sanksi, bahwa perilaku, etik, dan pelaksanaan jabatan Notaris selalu dinilai dan diawasi oleh masyarakat melalui Majelis Pengawas dan Dewan Kehormatan.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat penulis tarik dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dari Notaris-notaris di Wonogiri adalah sebagai berikut: 1. Bentuk pelanggaran kode etik notaris yaitu adanya notaris yang dalam pembuatan akta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris, seperti tidak membacakan akta , tidak tanda tangan di hadapan Notaris, berada di luar wilayah kerja yang telah ditentukan, papan nama Notaris tidak sesuai dengan ketentuan.
Pelanggaran kode etik yang
lainnya yaitu akta yang telah terlebih dahulu dipersiapkan oleh notaris lain sehingga notaris yang bersangkutan tinggal menandatangani. Pelanggaran kode etik notaris lainnya adalah penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris, pembuatan akta di luar wilayah jabatan, ditemukannya notaris yang membuat papan nama melebihi ukuran yang telah ditentukan, adanya persaingan tarif yang tidak sehat, dimana terdapat notaris yang memasang tarif yang sangat rendah untuk mendapatkan klien. 2. Pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh Dewan Kehormatan Daerah Ikatan Notaris Indonesia (INI)
Wonogiri sebagai organisasi profesi
terhadap Notaris yang melanggar kode etik di Wonogiri sampai saat ini adalah memberikan teguran lisan. Adanya sanksi mulai dari sanksi teguran lisan sampai pada sanksi pemecatan tidak hormat dari perkumpulan tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera (Deterrence effect) kepada Notaris yang melakukan pelanggaran. Namun pada prinsipnya Ikatan Notaris Indonesia (INI) menyerahkan sepenuhnya adanya notaris yang melanggar kode etik pada hasil putusan Dewan Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Daerah Notaris. Sanksi pemecatan yang diberikan terhadap notaris yang melakukan pelanggaran kode etik bukanlah berupa pemecatan dari jabatan notaris melainkan pemecatan dari keanggotaan 114
115
Ikatan Notaris Indonesia sehingga walaupun notaris yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran kode etik, notaris tersebut masih dapat membuat akta dan menjalankan kewenangan lainnya sebagai notaris, sehingga sanksi tersebut terkesan kurang mempunyai daya mengikat bagi notaris yang melakukan pelanggaran kode etik. Upaya
Ikatan
Notaris
Indonesia
(INI)
Wonogiri
dalam
meminimalisir adanya notaris yang melakukan pelanggaran kode etik adalah dengan melakukan pembinaan oleh instansi terkait Kementrian Hukum dan Hak Azasi Manusia, Pengurus Ikatan Notaris Indonesia (INI), Dewan Kehormatan Notaris dan Majelis Pengawas Notaris; dan sosialisasi peraturan perundangan; koordinasi dan kerjasama yang baik dalam peningkatan mutu dan kinerja antara Notaris dan Ikatan Notaris Indonesia (INI) sebagai pemersatu; dan pengawasan yang kontinu baik dari rekruitmen hingga Notaris berpraktik (secara periodik terhadap protokol maupun produk Notaris); sekaligus pengawasan dengan tujuan upaya preventif dan sebagai rambu efektivitas penegakan hukum yang lebih menjamin kepastian hukum; dan diperlukan lembaga independen yang lebih mandiri untuk menilai dan memeriksa serta mengawasi pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Walalupun dalam prakteknya banyak kendala akan tetapi INI (Ikatan Notaris Indonesia) Wonogiri didalam pertemuan anggotanya
setiap
bulan
selalu
menyisipkan
upaya-upaya
untuk
mengingatkan kembali akan arti pentingnya Kode Etik Notaris.
B. Saran Saran penulis agar notaris- notaris bekerja sesuai dengan kode etik Notaris yaitu : 1. Notaris dalam pelaksanaan profesinya harus berpegang teguh kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang –undang Jabatan Notaris dan mentaati Kode Etik Notaris yang telah disepakati
116
bersama, hal ini sangat penting untuk menghindari pelanggaran kode etik. 2. Perlunya ketegasan dan pengawasan dari Dewan Kehormatan Daerah Notaris dalam pemberian sanksi yang dijatuhkan, agar benar-benar mengikat dan dipatuhi oleh Notaris yang melanggar dan menimbulkan efek jera (deterrence effect) bagi pelaku pelanggaran. 3. Menindaklanjuti setiap kasus yang muncul dengan meneruskan kasuskasus pelanggaran kode etik kepada Majelis Pengawas Notaris untuk dapat ditindak lanjuti apabila hal tersebut melanggar Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Kode etik Notaris, mengingat sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas Notaris adalah bersifat memaksa, mengikat dan dapat mempengaruhi jabatan notaris. 4. Perlu adanya upaya pemberdayaan maksimal mengenai fungsi Dewan Kehormatan
Daerah Notaris Wonogiri karena selama ini belum
bekerja secara maksimal sesuai fungsinya. 5. Menghilangkan budaya ewuh pekewuh untuk mengingatkan teman sejawat, apabila ada teman notaris yang terindikasi melakukan pelanggaran.
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Andi Prajitno, 2010. Pengetahuan Praktis Tentang Apa dan Siapa Notaris di Indonesia, Putra Media Nusantara, Surabaya A.M. Hol dan M.A. Loth dalam “Iudex mediator; naar een herwardering van de juridische professie”, Nederlands Tijdschrijft voor Rechtsfilosofie & Rechtstheorie 2001/1, hal. 9-57. Alih bahasa Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht. Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press,. Yogyakarta Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung Abdulkadir Muhammad, 2007. Etika Profesi Hukum,PT Citra Aditya Bakti, Bandung Ahmad Ali, 1996. Menguak Tabir Hukum, Candra Pratama, Jakarta Arie Siswanto, 2002. Hukum Persaingan Usaha, Ghalia Indonesia, Jakarta B. Duinkerken, 1988. Notariaat in Overgangstijd 1796-1642, Kluwer-Deventer Burhan Ashofa, 2004. Metode Penelitian Hukum, PT Rineka Cipta, Jakarta Chamblis William J Seidman, 1971. Law Order and Power Reading, Mass, Affison-Wesley Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ke-4, Gramedia Pustaka Utama Didi Santoso, 2009, Tanggung Jawab Notaris Dalam Pembuatan Akta Yang Memuat Dua Perbuatan Hukum (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1440.K/PDT/1996), Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang Djati Juliarsa dan John Suprianto, 1988. Manajemen Umum, BPPT, Yogyakarta Djuhad Mahja, 2005. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Jakarta, Durat Bahagia Endang Purwaningsih, 2014. Bentuk Pelanggaran Hukum Notaris Di Wilayah Provinsi Banten Dan Penegakan Hukumnya, Jurnal. Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas YARSI, Jakarta Esmi Warrasih, 2005.Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT.Suryandaru Utama Semarang GHS. Lumban Tobing, 1983. Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta
1
Grace
Giovani, Notaris: kedudukan, fungsi dan peranannya, http://notarisgracegiovani. com, diakses tanggal 21 Maret 2016, pukul 14.24 WIB.
Habib Adjie, 2011, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2013. Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia Cerdas, Jakarta HB Sutopo, 2002. Metode Penelitian Kualitatif, UNS Press, Surakarta Ignatius Ridwan Widyadharma, 1994, Hukum Profesi tentang Profesi Hukum, Ananta, Semarang Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta Jenifer M. George, Gareth R. Jones, 2006. Contemporary Management Johny Ibrahim, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum,Banyu Media Publishing Jawa Timur Kohar A. 1983.”Notaris, Dalam Praktek Hukum”. Alumni. Bandung Lexy Maleong, 2006. Metode Penelitian Kwalitatif,Edisi Revisi,PT.Remaja Rosdakarya Bandung LilianaTedjosaputra, 1995 Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, Bigraf Publishing, Yogyakarta, hal 53. Liliana Tedjosaputra, 2003. Etika Profesi dan Profesi Hukum, Aneka Ilmu, Semarang Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Soge Foundation, New York Lubis Suhrawadi, 1993 Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika Jakarta Matome M. Ratiba, 2013, Convecaying Law For Paralegals And Law Students, bookboon, USA Moekijat, 1989. Tanya Jawab Asas-asas Manajemen, CV Mandar Maju, Bandung Moeljatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta Nico Winanto, 2003. TanggungJawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Centre for Documentation and Studies of Busines Law (CDSBL), Yogyakarta O.P. Simorangkir, 1998. Etika Jabatan, Aksara Persada Indonesia Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, 2009. 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan di Masa Mendatang, Cetakan kedua, Ikrar Mandiriabadi, Jakarta
2
Purwahid Patrik, Perkembangan Tanggung Gugat Resiko dalam Melawan Hukum, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang Ridwan H.R., 2002, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta R. Subekti dan R. Tjitrosudibio,1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Edisi Revisi, Burgerlijk Wetboek, Diterjemahkan. PT. Pradnya Paramita, Jakarta R. Subekti, 2008, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia,. PT. Raja Grafindo, Jakarta Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, CV. Sinar Baru, Bandung Setiono, 2002. Pemahaman Terhadap MetodePenelitian Hukum, (Diktat) Surakarta, Program Studi Ilmu Hukum pasca Sarjana UNS Simon dalam Muladi dan Dwidja Priyatno, 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Sjaifurrachman dan Habib Adjie, 2011. Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Perbuatan Akta, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung Soerjono Soekanto, 1983. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, CV. Rajawali, Jakarta Soerjono Sukanto dan Sri Mamudji, 1985. Penelitian Hukum Normatif,CV Rajawali Jakarta Solichin Abdul Wahab, 1991. Teori Implementasi, Jakarta, Raja Grafindo Sondang P. Siagian, 1995. Filsafat Administrasi, PT. Gramedia, Jakarta Sulhan, Syamsul Bachri, Wiwie Heryani. 2013. Pelaksanaan Kode Etik Dalam Menjalankan Jabatan Notaris, Jurnal. Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar Sutrisno Hadi, 1989. Metodologi Penelitian Hukum,Uns Press Surakarta Suhrawadi K. Lubis, 1994, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta Tan Thong Kie, 2007, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta Van Voeve, 1998, Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, Ichtiar Baru, Jakarta Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 1993. Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Jakarta: Rineka Cipta
3
Wahyudi Sulistia Nugroho, ”Pembatalan Akta Notaris oleh Hakim”, ADIL Jurnal Hukum, Vol. 1, No. 3, Desember 2010 Winarno Surakhmad, 1990. Pengamtar Penelitian Ilmiah, Transito Yogyakarta, hal 131, www.http:///majalah.depkumham.go.id www.hukumonline.com. Etika Profesi Hukum di Era Perubahan, Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht. www.hukumonline.com. Etika Profesi Hukum di Era Perubahan, Imam Nasima, Mahasiswa pascasarjana hukum perusahaan Universitas Utrecht, aktif di dalam Indonesian Law Society Utrecht.