PERANAN HAKIM DALAM PENEMUAN HUKUM Titin Samsudin ABSTRAK Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan, karena hukum berfungsi sebagai pelindung kepentingan pencari keadilan. Penegakan hukum harus memperhatikan unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Oleh karena itu ketiga unsur ini harus mendapat perhatian secara proporsional, sehingga penegakan hukum oleh hakim sangatlah diperlukan, hakim dituntut untuk dapat menjatuhkan putusan secara obyektif dan Putusan obyektif hanya tercapai melalui penemuan hukum (rechtvinding) oleh hakim. Oleh sebab itu Peranan hakim dalam setiap tahap kegiatan penemuan hukum (rechtvinding) untuk menetapkan peristiwa konkrit yang benar-benar terjadi amatlah penting dalam pencapain putusan yang berkualitas. Kata Kunci: Hakim, Penemuan Hukum. A. PENDAHULUAN Putusan hakim adalah merupakan cerminan kemampuan seorang hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan yang baik harus disusun dari fakta peristiwa dan fakta hukum yang lengkap, rinci, jelas dan akurat yang diperoleh dalam persidangan yang termuat dalam Berita Acara Persidangan. Putusan yang disusun secara runtut (sistematis) dengan bahasa yang baik dan benar berisi argumentasi hukum yang jelas, tepat dan benar mencerminkan keprofesionalan seorang hakim, putusan demikian setidaknya dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat dan mudah-mudahan pula memberikan kepuasan kepada para pihak, sehingga para pihak merasa puas dan menerima putusan tanpa melakukan upaya hukum lainnya yang menimbulkan penyelesaian perkara menjadi berlarut-larut. Pertanyaan yang muncul dalam pembahasan ini adalah bagaiamana metode penemuan hukum yang dilakukan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang diperhadapkan padanya? Bagaimana Peranan Hakim dalam proses Penemuan Hukum untuk menerapkan peraturan perundang-undangan keperistiwa hukum yang congcreto? Pertanyaan-pertanyaan tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam pembahasan di bawah ini
98
Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum
B.
PEMBAHASAN a. Metode Penemuan Hukum
Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses mencari norma hukum baik dalam peraturan perundang-undangan maupun norma hukum yang hidup dalammasyarakat. Apalagi undang-undang sebagai norma hukum positif yang harus dilaksanakan tidak jelas, bahkan tidak lengkap, sehingga hakim sebagai pelaksanan undang-undang, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum dan rasakeadilan yang hidup dalam masyarakat. Hal ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Pasal 5 ayat 1 : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Pada kenyataannya hakim dalam memeriksa dan memutus perkara sering menghadapi suatu keadaan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Bahkan seringkali hakim harus menemukan sendiri hukum itu dan/atau menciptakan untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus suatu perkara hakim harus mempunyai inisiatif sendiri dalam menemukan hukum, karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak lengkap atau hukum samarsamar. Untuk itu, hakim harus menerapkan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undang yang mencakup dua aspek hukum : pertama hakim harus menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka keduanya barulah hakim mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber hukum lainnya.Sumber-sumber hukum tersebut adalah yurispundensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau hukum tidak tertulis. Dalam hal menemukan hukum untuk memutuskan suatu perkara dimana seorang hakim wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Selanjutnya dapat dipahami bahwa “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat.” Dari ketentuan diatas tersirat secara yuridis maupun filosofis, hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Secara tekstual sebagaimana telah disebutkan undang-undang memang menuntut hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang secara filosofis bearti menuntut hakim untuk melakukan penemuan hukum danpenciptaan hukum. Penemuan dan penciptaan hukum oleh hakim dalam proses peradilan haruslah dilakukan atas prisnsi-prinsip dan asas-asas tertentu.yang menjadi
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
99
Titin Samsudin
dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan, menemukan dan menciptakan hukum. Uraian diatas adalah merupakan langkah-langkah hakim dalam menemukan hukum yaitu melalui sumber-sumber tertulis, jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut maka hakim harus mencarinya dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi. 1.
Penemuan hukum dengan metode interpretasi
Yang dimaksud dengan Metode interpretasi adalah penafsiranterhadap teks undang-undang, akan tetapi masih berpegang pada bunyi teksitu.1 Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-undang, agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri. Manan2membedakanmetode interpretasi serta jenis-jenisnya sebagai berikut: a. Metode interpretasi Sahih (autentik,resmi) atau substantive.Yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembuat Undang-undang. Metode dimana hakim harus menerapkan suatu teks undang-undangterhadap kasus in konkreto. b. Metode interpretasi gramatikal atau taalkundig. Adalah penafsiran menurut bahasa atau kata-kata. Kata-kata ataubahasa merupakan alat bagi pembuat undang-undang untuk menyatakan maksud dan kehendaknya. Kata-kata itu harus singkat,jelas dan tepat. Oleh karena itu hakim apabila ingin mengetahui apa maksud undang-undang, hakim harus menfsirkan kata-kata dalam undang-undang tersebut. c. Metode penafsiran sistematis atau logis.Adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu denganpasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, sehingga mengerti maksudnya. Menafsirkan peraturan perundang-undangan dengan menghubungkan 1
Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, Cet.1, 1996. Hlm.167. 2 Abdul Manan, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama, Makalah di sampaikan Pada Acara Rakernas Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.`hlm.4
100
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum
d.
e.
f.
g.
h.
i.
dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan system hukum. Dalam metode penafsiran ini, hukum dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak merupakan bagianyang berdiri sendiri tetapi merupakan bagian dari satu system. Metode interpretasi historis penafsiran yang didasarkan kepada sejarah terjadinya, peraturan tersebut. Setiap ketentuan perundang-undangan tentu mempunyai sejarah perundang-undangan, dengan demikian hakim mengetahui maksud dari pembuatannya. Dalam praktek Peradilan, penafsiran historis dapat dibedakan antara penafsiran menurut sejarah lahirnya undang-undang (wetshistorisch) dengan penafsiran menurut sejarah hukum (rechtstorisch). Metode interpretasi sosiologis atau teleologis.Adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat.Pentingnya penafsiran ini adalah sewaktu undang-undang itu dibuat keadaan sosial masyarakat sudah lain dari pada sewaktu Undang-undang diterapkan, karena hukum itu gejala social yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan masyarakat.Di sini hakim menafsirkan undang-undang sesuai dengan tujuan pembentuk undang-undang, titik beratnya adalah pada tujuan undang-undang itu dibuat, bukan pada bunyi kata-katanya saja.Peraturan perundang-undangan yang telah usang, disesuaikan penggunaannya dengan menghubungkan dengan kondisi dan situasi saat ini atau situasi social yang baru. Metode interpretasi komperatif. Penafsiran komperatif atau perbandingan ialah penafsiran dengan mebandingkan anatar hukum lama dengan hukum positif, antara hukum nasional dengan internasional. Metode penafsiran undang-undang dengan memperbandingkan antara berbagai system hukum. Penafsiran model ini paling banyak dipergunakan dalam bidang hukum perjanjian internasional. Di luar hukum internasioonal, penafsiran komperatif sangat jarang dipakai. Metode interpretasi restriktif Penafsiran untuk menjelaskan undang-undang dengan cara ruang lingkup ketentuan undang-undang itu dibatasi dengan mempersempit arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Metode interpretasi ekstensif Metode interpretasi yang membuat penafsiran melampaui batas yang diberikan oleh penafsiran gramatikal. Contoh: perkataan menjual dalam Pasal 1576 KUH Perdata; ditafsirkan bukan hanyajual beli semata, melaikan juga “peralihan hak”. Metode interpretasi futuristis Penafsiran undang-undang yang bersifat antisipasi dengan berpedoman kepada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum). Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam proses perundangan, tetapi pastiakan diundangkan.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
101
Titin Samsudin
Dari uraian di atas dapatlah difahami bahwa Interpretasi adalah metode penemuan hukum yang peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk diterapkan pada peristiwanya. Sebaliknya dapat terjadi juga, hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang tidak ada peraturannya yang khusus. Disini hakim menghadapi kekososngan atau ketidaklengkapan Undang-undang yang harus diisi atau dilengkapi, sebab hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Untuk mengisi kekosongan itu digunakan metode argumentasi. 2.
Penemuan hukum dengan metode konstruksi
Manan3 lebih lanjut mengatakan bahwa interpretasi dan kontruksi mempunyai arti yang berbeda, interpretasi hanya menentukan arti kata-kata dalam suatu undang-undang. Sedangkan kontruksi mengandung arti pemecahan atau menguaraikan makna ganda, kekaburan dan ketidakpastian dari perundangundangan, sehingga tidakbisa dipakai dalam peristiwa konkrit yang diadili. Dalam melakukan konstruksi penemuan dan pemecahan masalah hukum, hakim harus mengetahui tiga syarat utama: a. Kunstruksi harus mampu meliput semua bidang hukum positif yang bersangkutan, b. Dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis didalamnya, c. Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang suatu hal, karena tujuan konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit, sehingga dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.4 Dalam prakteknya, rechtsvinding dengan metode konstruksi dapat berbentuk sebagai berikut: a. Konstruksi dengan metode Argument peranalogian Model ini dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu mirip dengan yang diatur dalam undang-undang. b. Kuntruksi dengan metode argumentum a’contrrioMetode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwadiluarnya berlaku sebaliknya. b. Kuntruksi dengan metode pengkongkretan hokum (rechtsvervijnings) Kontruksi model ini ada yang menyebutnya dengan penghalusan hukum, penyempitan hukum, pengkongkretan hukum. Karena peraturan 3
Ibid.,hlm.8 Ahmad Ali, Mengenal Tabir Hukum, suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, Cet.1, 1996. Hlm.192 4
102
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum
c.
perundang-undangan terlalu umum dan sangat luas ruang lingkupnya, maka masalah hukum itu dipersempit sehingga dapat diterapkan dalam suatu perkara yang konkrit. Fiksi HukumFiksi adalah metode penemuan hukum yang mengemukakan fakta-fakta baru, sehingga tampil suatu personafikasi baru. Fungsi fiksihukum ini disamping untuk memenuhi hasrat menciptakan stabilitashukum, juga untuk mengisi kekosongan hukum utamanya.
3.
Penemuan Hukum dengan Metode Hermeneutika Hukum Metode ini hanya merekontruksikan kembali dari seluruh problem hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi hukumbertemu dengan para ahli hermaniora.Fungsi dan tujuan hermeneutika adalah untuk memperjelas sesuatuyang tidak jelas supaya lebih jelas (bringing the unclear ini toclarity). Peranan Hakim dalam Proses Penemuan Hukum Putusan hakim adalah merupakan cerminan kemampuan seoranghakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan yangbaik harus disusun dari fakta peristiwa dan fakta hukum yang lengkap,rinci, jelas dan akurat yang diperoleh dalam persidangan yang termuatdalam Berita Acara Persidangan. Putusan yang disusun secara runtut(sistematis) dengan bahasa yang baik dan benar berisi argumentasi hukumyang jelas, tepat dan benar mencerminkan keprofesionalan seorang hakim,putusan demikian setidaknya dapat memberikan informasi yang jelas danakurat dan mudah-mudahan pula memberikan kepuasan kepada para pihak,sehingga para pihak merasa puas dan menerima putusan tanpa melakukanupaya hukum lainnya yang menimbulkan penyelesaian perkara menjadiberlarut-larut. Menurut Edi Riadi5 bahwa untuk memperoleh fakta peristiwa danfakta hukum demikian, hakim sejak sidang pertama sampai sidangpembacaan putusan tidak boleh keluar dari koredor hukum acara. Dalamproses sidang jawab menjawab dan proses pembuktian, hakim harusmemberikan kesempatan yang seadil-adilnya kepada para pihak untukmengungkapkan dalil-dalil dan buktibukti yang menurut para pihakpenting disampaikan. Sehingga tidak satupun fakta peristiwa dan faktahukum yang tidak terungkap atau tidak jelas dalam persidangan. Namun demikian fakta peristiwa dan fakta hukum yang lengkap,rinci, jelas dan akurat yang diperoleh dalam persidangan belum tentumelahirkan putusan 5
Edi Riadi, Penalaran Hukum dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama,(fakta peristiwa, fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum), Majalah Varia Peradilan No.325 , edisi Desember 2012, hlm. 25-26 http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
103
Titin Samsudin
yang baik. Hal ini kembali kepada sejauh mana hakimmemiliki kemampuan penalaran hukum. Disinilah hakim dituntut untuk membuat putusan yang baik agar dapatmenjadi referensi terhadap pembaruan hukum yang upto date di era saatini, Agar hakim tidak ketinggalan informasi dan kemajuan zaman, makapesan Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung RI, DR.H. Andi Syamsu Alam,SH.,MH,6Dalam pembinaannya kepada hakim Peradilan Agamaagar meningkatkan SDM yakni dalam menjalankan tugasnya hakim tidakcukup hanya membaca hukum itu secara normative saja. Hakim dituntutuntuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas dan lebih jauhkedepan. Hakim harus mampu melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatuketentuan tertulis, pemikiran apa yang ada disana dan bagaimana rasaDalam pembinaannya kepada hakim Peradilan Agamaagar meningkatkan SDM yakni dalam menjalankan tugasnya hakim tidakcukup hanya membaca hukum itu secara normative saja. Hakim dituntutuntuk dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas dan lebih jauhkedepan. Hakim harus mampu melihat hal-hal yang melatarbelakangi suatuketentuan tertulis, pemikiran apa yang ada disana dan bagaimana rasakeadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu, oleh karena itu “ hakimharus mampu menggali dan memahami maksud dan tujuan Hukum itusendiri yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan sehingga kemaslahatan manusia dapat terwujud, dan penegakan hukum oleh hakimdapat menjatuhkan putusan secara obyektif, dan putusan yang obyektifdapat tercapai hanya melalui rechtsvinding oleh hakim.” Mengapa rechtsvinding (penemuan hukum) sangat diperlukan?Karena hakim dalam memeriksa dan memutus perkara ternyata seringkalimenghadapi suatu kenyataan bahwa hukum yang sudah ada tidak dapat pasuntuk menjawab dan menyelesaikan sengketa yang dihadapi, oleh karenaitu hakim harus mencari kelengkapannya dengan menemukan sendiri hukum itu.7 Karena pada dasarnya kegiatan kehidupan manusia itu sangat luas dantidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mungkin tercakupdalam suatu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Makawajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapatmencakup akan keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak adaperaturan perundangundangan yang selengkap-lengkapnya dan yangsejelas-jelasnya, dan oleh karena hukumnya tidak jelas maka harus dicaridan ditemukan.8 6
Andi Syamsu Alam, Pembinaan Peserta Diskusi seputar Penemuan hukum, Direktorat Peradilan Agama MARI, tanggal 26 Agunstus 2013. 7 Sudino Mertokusumo dan A.Pitlo; Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Jakarta, PT.Citra Aditya Bhakti, 1991.hlm.10. 8 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cet.II, Yogyakarta, 2001, hlm.37.
104
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Peranan Hakim dalam Penemuan Hukum
Dari apa yang telah dijelaskan diatas dapat difahami bahwa hakim dalam mengadilisuatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelastentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Majelis hakimsebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan faktadan peristiwa yang terungkap dari penggugat dan tergugat, serta alatalatbukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Majelis hakimharus mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut, sehingga ditemukan fakta yang konkrit. Setelah majelis hakim menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang ditemukan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis hakim karena jabatannya dapat melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berpekara (lihat Pasal 178 ayat (1) HIR dan pasal 189 ayat (1)R.Bg). Setelah hukumnya ditemukan dengan metode-metode penemuan hukum yang sesuai dan cocok untuk diterapkan pada peristiwa hukumnya,maka hakim harus menjatuhkan putusannya. C. KESIMPULAN Hakim dalam melakukan setiap tahap kegiatan penemuan hukum, dituntut untuk mewujudkan dan menetapkan peristiwa konkrit sebagi peristiwa yang benar-benar terjadi. Dengan proses tahapan mengkualifikasi peristiwa konkrit menjadi peristiwa hukum, hakim bebas menggunakan sumber penemuan hukum yang menjadi dasar menetapkan peristiwa hukum dan menerapkan hukumnya. Dalam tahap mengkonstitusi hakim bebas memutuskan hukuman atau memberi hak kepada pihak bersengketa berdasarkan penilaian dan keyakinannya. Peranan hakim dalam penemuan hukum ini sangat dibutuhkan dalam kerangka menjawab atau menawarkan langkah solutif terhadap kasus – kasus hukum yang dihadapi oleh mereka yang berperkara.
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/am
105
Titin Samsudin
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Prof.DR.,SH.,S.IP.,M.Hum., Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Tinjauan dari aspek Methodologis, Legalisasi danYurisprodensi, PT.Raja grafindo Persada, Jakarta, 2005. Abdul Manan, Prof.DR.H.,SH.,S.IP.,M.Hum., Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara di Peradilan Agama, Makalah disampaikan Pada Acara Rakernas Mahkamah Agung RI tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur. Ahmad Ali, Prof.DR.,SH.,MH, Mengenal Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Chandra Pratama, Jakarta, Cet.I, 1996. Andi Syamsu Alam, DR., SH.,MH.,Pembinaan Peserta Diskusi Seputar Penemuan Hukum, Direktorat Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Jakarta, tanggal 26 Agustus 2013. Edi Riadi, DR.,SH.,MH., Penalaran Hukum Dalam Penyelesaian Kasus Perdata Agama (Faktor Peristiwa, Fakta Hukum dan Perumusan Fakta Hukum), Majalah Varia Peradilan Nomor 325, Jakarta, Edisi Desember 2002. Mahamah Agung RI, Bina Yustisia, Jakarta, 1994. Sudikno Mertokusumo,Prof.DR.,SH., Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Edisi Kelima, Cet. Kedua, Liberty, Yogyakarta, 2007. Sudikno Mertokusumo, Prof.DR.,SH.,Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT.Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 1991. Sudikno Mertokusumo,Prof.DR.,SH., Penemuan Hukum SebuahPengantar, Edisi Kelima, Cet. Kedua, Liberty, Yogyakarta, 2007. Undang-Undang RI Nomor 48 Kehakiman,Jakarta, 2009.
106
Tahun
2009
tentang
Jurnal Al‐Mizan, Volume. 10 Nomor 1, Juni 2014
Kekuasaan