BAB II DASAR HUKUM PUTUSAN HAKIM TERHADAP PERBUATAN YANG TIDAK DIDAKWAKAN DI DALAM SURAT DAKWAAN A. Independensi Hakim Dalam Melakukan Penemuan Hukum Setiap kebebasan selalu melekat pada individu manusia sebagai salah satu hak dasar yang dimilikinya. Setiap realisasi dari kebebasan akan berimplikasi luas baik kepada diri pengambil kebebasan itu maupun kepada lingkungan sosialnya. Pemilik kebebasan itu senantiasa dituntut untuk mampu mempergunakan kebebasannya dalam batas-batas yang diperkenankan dan tetap dalam bingkai tanggung jawab yang menyertainya.Tindakan dari pemilik kebebasan tersebut juga harus mampu memenuhi kebebasan sosial. Jika kita terjun ke dalam kehidupan sehari-hari, maka kita dapat melihat hal-hal yang membicarakan hukum sebagai institusi sosial. Bekerjanya hukum itu tidak dapat dilepaskan dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat (di sekelilingnya). Hukum bekerja dengan memikirkan dan mempertimbangkan apa yang baik untuk dilakukannya bagi masyarakat. Pertimbangan seperti ini dapat dilihat melalui keputusan yang memberikan efisiensi pada produksi masyarakat. Hukum membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu menunggangi hukum. Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi sekarang, yaitu, hubungan antara hukum dan kekuasaan.37
37
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cetakan keenam, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006,
hal. 146.
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang diketahui, Montesquieu memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan Negara (trias Politica) yang membagi kekuasaan negara ke dalam tiga bagian, yaitu: 1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat undang-undang; 2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undangundang; dan 3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengawasi undang-undang atau kekuasaan untuk mengadili bilamana terjadi pelanggaran terhadap undang-undang. Pelaksanaan masing-masing kekuasaan tersebut, diserahkan kepada badan atau lembaga yang berdiri sendiri. Hal ini berarti masing-masing badan itu, di dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat saling mempengaruhi, terpisah secara tegas, yaitu: kekuasaan legislatif pelaksanaannya diserahkan kepada badan legislatif yaitu Badan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan eksekutif pelaksanaannya diserahkan kepada pemerintah (Presiden atau Raja dengan dibantu oleh menterimenteri atau kabinet).Kekuasaan yudikatif pelaksanaannya diserahkan kepada hakim atau peradilan.38 Menurut Montesquieu, salah satu kekuasaan negara yang perlu ditekankan adalah kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman. Kebebasan badan
38
H. Pontang Moerad B.M., Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Bandung: Alumni, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena disitulah letak kemerdekaan individu dan hak asasi manusia dijamin dan dipertaruhkan.39 Di dalam suatu Negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya hukum pidana yang diciptakan dalam suatu Negara, tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada normanorma hukum pidana tersebut. Independensi
kekuasaan
kehakiman
atau
badan-badan
kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai Negara hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.40 Dalam pertemuan konferensi tersebut ditekankan pemahaman tentang apa yang disebut sebagai “the dynamic aspects of the Rule of Law in the modern age” (aspek-aspek dinamika Rule of Law dalam abad modern). Dikatakan bahwa ada 6
39
Ibid., hal 49. Paulus E Lotulung, “Kebebasan Hakim Dalam Sistim Penegakan Hukum”, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 40
Universitas Sumatera Utara
(enam) syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah Rule of Law, yaitu:41 1. Perlindungan Konstitusional 2. Peradilan atau badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak 3. Pemilihan umum yang bebas 4. Kebebasan menyatakan pendapat 5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi 6. Pendidikan kewarganegaraan Dari syarat-syarat tersebut jelaslah bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar yang pokok, yang apabila komponen tersebut tidak ada maka tidak bisa dibicarakan lagi tentang Negara hukum.42 Hakim adalah salah satu elemen dasar dalam sistem peradilan selain jaksa dan penyidik (Kejaksaan dan Kepolisian), sebagai subjek yang melakukan tindakan putusan untuk menyelesaikan perkara di dalam pengadilan. Hakim yang merupakan personifikasi atas hukum harus menjamin rasa keadilan bagi setiap orang yang mencari keadilan melalui proses hukum legal. Dalam menjalankan tugasnya, maka seorang hakim memiliki kebebasan dari pengaruh-pengaruh maupun tekanan-tekanan luar dirinya. Undang-Undang
Dasar
Negara
Republik
Indonesia
Tahun
1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara hukum.Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan 41
Ibid. Ibid.
42
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.43 Kebebasan hakim di Indonesia dijamin dalam Konstitusi Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang selanjutnya diimplementasikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999, sebagaimana telah disempurnakan dengan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Independensi diartikan sebagai bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, dalam arti bahwa bebas dari pengaruh eksekutif maupun segala kekuasaan Negara lainnya, kecuali dalam hal yang diizinkan oleh undang-undang.Demikian juga meliputi kebebasan dari pengaruh-pengaruh internal yudisial di dalam menjatuhkan putusan.
43
Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Universitas Sumatera Utara
Seorang hakim di dalam mengemban tugasnya harus mendapatkan perlindungan sebagai penegak hukum untuk bebas dari pengaruh-pengaruh dan direktiva yang berasal dari:44 a. Lembaga-lembaga di luar badan-badan peradilan, baik eksekutif maupun legislatif, dan lain-lain; b. Lembaga-lembaga internal di dalam jajaran Kekuasaan Kehakiman sendiri; c. Pengaruh-pengaruh pihak yang beperkara; d. Pengaruh
tekanan-tekanan
masyarakat,
baik
nasional
maupun
internasional; e. Pengaruh-pengaruh yang bersifat “trial by the press45.” Profesi hakim menuntut pada pemahaman akan konsep kebebasan yang bertanggung jawab karena kebebasan yang dimilikinya tidak boleh melanggar dan merugikan kebebasan orang lain.46 Hal yang dimaksudkan dengan kemandirian hakim adalah mandiri, tidak tergantung kepada apa atau siapa pun, dan oleh karena itu bebas dari pengaruh apa atau siapa pun. Hakim atau peradilan yang merupakan tempat orang mencari keadilan, harus mandiri, independen dalam arti tidak tergantung atau terikat pada siapa pun, sehingga tidak harus memihak kepada siapa pun agar putusannya itu 44
H. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, Jakarta: Kencana, 2012, hal. 167. Trial by Press atau peradilan dengan menggunakan media yang bersifat publikasi massa adalah sebuah istilah bentuk peradilan yang dilakukan dengan melalui penulisan atau pembicaraan dari satu sisi pihak secara bias, biasanya dilakukan dengan bantuan publikasi secara luas dan sadar dengan tidak membeberkan keseluruhan fakta yang ada, dengan demikian berakibat menjadikan penulisan atau pembicaraan tersebut adalah bagaikan sebuah putusan pengadilan bagi para pihak yang terkait tanpa adanya hak melakukan pembelaan. 46 Ibid. 45
Universitas Sumatera Utara
objektif.Kemandirian itu menuntut pula bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus bebas.Dengan demikian kemandirian hakim tidak dapat dipisahkan dari kebebasan hakim, tetapi merupakan satu kesatuan.Adapun yang dimaksudkan dengan kebebasan hakim adalah bebas dalam memeriksa dan memutus perkara menurut keyakinannya serta bebas pula dari pengaruh pihak ekstrayudisial.Ia bebas menggunakan alat-alat bukti dan bebas menilainya, ia bebas pula untuk menilai terbukti tidaknya suatu peristiwa konkret berdasarkan alat bukti yang ada. Ia bebas untuk berkeyakinan mengenai jenis hukuman apa yang akan dijatuhkan dan bebas pula dari campur tangan dari pihak ekstrayudisial.47 Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim sebagaimana tesis Gustav Radbruch adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein).Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam.48
47
Ibid. Suhartono, “Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Suatu Kajian Dalam Perspektif Filsafat Hukum)”, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, diakses dari http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANA%20HUKUM%20ISLAM/Perspektif%20filsaf at%20hukum.pdf, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 16.20 WIB. 48
Universitas Sumatera Utara
Kesadaran akan krusialnya keberadaan kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam setiap negara hukum yang modern melahirkan beberapa instrumen hukum internasional yang dibuat untuk mendesak terwujudnya independensi kekuasaan kehakiman secara universal. Ada beberapa
instrumen hukum
internasional yang menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaan kehakiman. Instrumen-instrumen tersebut antara lain:49 1. Universal Declaration of Human Right, article 10, yang menyatakan: Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya, serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya. 2. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), article 14, menyatakan: bahwa setiap orang berhak atas pengadilan yang formal yang kompeten, independen, dan tidak memihak. 3. Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragraph 27, menyatkaan bahwa salah satu hal yang penting dalam mewujudkan hakhak asasi manusia dan sangat diperlukan dalam proses demokratisasi serta pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum yang independen dan sesuai dengan standar yang ada dalam instrument internasional hak-hak asasi manusia. 4. International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence, New Delhi, 1982. 49
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 62-63.
Universitas Sumatera Utara
5. Universal Declaration of the Independent of Justice, Montreal, 1983. 6. Beijing Statement of Principle of the Independency Yudiciary in the Law Asia Regions, 1995. Secara etimologis, makna bebas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah: a. Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa); b. Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya); c. Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya); d. Tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya; e. Merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau dipengaruhi oleh Negara lain atau kekuasaan asing); f. Tidak terdapat (didapati) lagi. Dalam konteks kebebasan hakim, yang perlu diperhatikan dari makna bebas tersebut yaitu arti pada huruf e yang merupakan arti khusus. Sifat merdeka berarti menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapkan padanya tanpa campur tangan pihak lain, baik dari pihak eksekutif maupun legislatif atau lainnya. Namun, kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum yang berlaku. Di samping dipengaruhi oleh integritas dirinya dalam menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim harus memutus suatu perkara sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum.Kebebasan seorang hakim
Universitas Sumatera Utara
dalam menjamin rasa keadilan para pencari keadilan dibatasi oleh rambu-rambu, seperti: akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi
kebebasan
itu
sendiri.Ketentuan-ketentuan
adalah hukum,
terutama baik
aturan-aturan segi
hukum
prosedural
itu
maupun
substansial/materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dapat melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated50” pada Hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem51.”52 Dari hakim diharapkan sikap tidak memihak dalam menentukan siapa yang benar dan siapa yang tidak dalam suatu perkara dan mengakhiri sengeketa atau perkaranya.53Bagi hakim, dalam mengadili suatu perkara terutama yang dipentingkan adalah fakta atau peristiwanya dan bukan hukumnya.Peraturan hukumnya hanyalah alat, sedangkan yang bersifat menentukan adalah peristiwanya.Ada kemungkinannya terjadi suatu peristiwa, yang meskipun sudah ada peraturan hukumnya, justru lain penyelesaiannya.54
50 Subordinated adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan istilah yang menempatkan lebih rendah. Hakim adalah subordinated pada hukum berarti hakim berada di bawah hukum dan sebagai pelaksana hukum sesuai dengan konstitusi. 51 Contra legem atau against the law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan yang bertentangan dengan hukum yang mengaturnya. Hakim bertingak contra legem berarti tindakan hakim dalam putusannya melanggar larangan yang ditentukan dalam pasal undang-undang tertentu dengan cara menyingkirkan penerapan pasal tersebut. 52 Paulus E Lotulung, op.cit. 53 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, op.cit, hal. 32. 54 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Faktor-faktor politis ada di samping dan di atas hakim.Sedangkan masih ada faktor sosial-ekonomi yang mempengaruhi kebebasan dan kemerdekaan hakim.Faktor sosial misalnya menjamurnya praktek main hakim sendiri di kalangan masyarakat, karena kurang percayanya pada putusan hakim.Munculnya demonstrasi yang mendesak hakim agar memutus sesuai dengan kehendak demonstran atau pihak yang menggerakkannya.Menyangkut faktor ekonomi, gaji hakim sangat menentukan pula atas merdeka tidaknya hakim dalam mengambil keputusan.55 Dalam praktiknya, banyak pencari keadilan yang dikorbankan oleh penyalahgunaan kebebasan hakim ini, karena hakim keliru memahami makna kebebasan peradilan (judicial independency), sehingga peradilan melalui hakimhakimnya melakukan pelanggaran batas dan penyalahgunaan kewenangannya, yang mengakibatkan hakim identik dengan peradilan dan hukum.56 Hakim semacam ini tidak kekurangan alasan untuk membenarkan yang salah dan/atau menyalahkan yang benar. Sikap dan perilaku hakim semacam ini tentu telah menempatkan peradilan dan hakim di atas hukum, dimana penyelesaian dan putusan yang dijatuhkan bukan lagi berdasarkan hukum, akan teteapi menurut selera dan kemauan hakim yang bersangkutan. Dan biasanya dalam konteks ini, hakim bersangkutan dalam memutus suatu perkara berdasarkan “pesan sponsor” yang telah menyuapnya.Sedangkan bagi pihak yang telah 55
A. Hamzah, “Kemandirian Dan Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman”, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 56 M. Sofyan Lubis, “Kebebasan Hakim VS Pencari Keadilan”, LHS & Partners, diakses dari http://www.kantorhukum-lhs.com/1?id=Kebebasan-Hakim-VS-Pencari-Keadilan, pada tanggal 7 Mei 2014 pukul 17.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
dikalahkan, hakim tersebut cukup menggunakan alasan klasik dan mengatakan, “kalau anda tidak puas dengan putusan kami, silahkan anda melakukan upaya hukum” baik banding atau kasasi.57 Implementasi kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah tercermin dalam kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara. Pembentukan hukum melalui putusan pengadilan, merupakan salah satu dari hasil proses pemeriksaan perkara di muka pengadilan yang berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan satu landasan teori untuk dapat menjawab permasalahan yang timbul dari pembentukan hukum melalui putusan pengadilan.58 Sebagai suatu proses, penegakan hukum tidak pernah selesai karena salah satu yang ditegakkan adalah keadilan yang merupakan nilai yang tidak dapat dimaknai secara subyektif. Oleh karena itu, menurut Soepomo, hakim dalam melaksanakan tugasnya menurut adat terikat dan bebas untuk meninjau secara mendalam apakah putusan-putusan yang diambil pada waktu yang lampau masih dapat
dipertahankan
berhubung
adanya
perubahan-perubahan
di
dalam
masyarakat disebabkan adanya pertumbuhan rasa keadilan yang baru dalam masyarakat.59 Adanya ketentuan bahwa hakim merdeka dan bebas tidak berarti hakim boleh bertindak serampangan, kewajibannya adalah menafsirkan hukum serta prinsip-prinsip fundamental dan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan hal itu
57
Ibid. H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 46. 59 Suhartono, op.cit. 58
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan perasaan keadilannya serta hati nuraninya.60 Apabila kebebasan yang dimiliki hakim kemudian diartikan menjadi kebebasan mutlak, dapat terjadi kekuasaan yang sewenang-wenang, yang pada akhirnya akan kembali kepada suasana yang menyebabkan lahirnya prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman.61 B. Putusan Hakim Dan Mekanisme Hakim Menjatuhkan Putusan Menurut Hukum Acara Pidana Di Indonesia Terbitnya UU Nomor 8 Tahun 1981 sebagai KUHAP, ketika itu disambut sebagai prestasi luar biasa bangsa Indonesia. Itu dianggap prestasi karena telah berhasil membentuk hukum sendiri, lepas dari sistem hukum kolonial yang menindas selama berates tahun. Di antara prestasi itu, yang dicatat masuk ke dalam KUHAP adalah 11 prinsip (asas) hukum yang sebelumnya tidak ada di dalam HIR, yakni asas-asas legalitas, keseimbangan, praduga tak bersalah, pembatasan penahanan, ganti rugi dan rehabilitasi, penggabungan pidana dengan ganti rugi, unifikasi, diferensiasi tunggal, saling koordinasi, peradilan yang cepat dan biaya ringan, serta peradilan yang terbuka untuk umum. Kesebelas prinsip inilah yang dijabarkan ke dalam seluruh pasal dan ayat-ayat KUHAP.62 Kalau ditelaah secara teliti ketentuan dalam KUHAP, maka sistem peradilan pidana Indonesia yang terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakat sebagai aparat penegak hukum, setiap komponen dari sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem 60
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan ketigabelas, Jakarta: Gramedia, 1991, hal. 228. 61 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 55. 62 Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia Dalam Sirkus Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2009, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
tetap berjalan secara terpadu. Keempat aparat tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat satu sama lain. Bahkan, dapat saling menentukan.Masing-masing komponen tersebut merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana, cara kerja sub-sistem harus terintegrasi (terpadu) dengan sub-sistem lainnya. Harus ada persamaan persepsi dalam mencapai tujuan pokok adanya sistem peradilan pidana.63 Penyidikan yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Penyidikan yang baik ini dikaji melalui pra-penuntutan yang dilakukan oleh jaksa.64 Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan oleh pengadilan.Putusan yang dijatuhkan pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari keadilan.Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan atau legal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa
63
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 186. Ibid.
64
Universitas Sumatera Utara
tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.65 Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut berperan dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.66 Putusan yang dijatuhkan hakim dimaksudkan untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.Untuk memutus suatu perkara pidana, maka terlebih dahulu hakim harus memeriksa perkaranya. Sebelum putusan hakim diucapkan/dijatuhkan maka prosedural yang harus dilakukan hakim dalam praktek lazim melalui tahapan sebagai berikut:67 a. Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. b. Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya di persidangan.
65
H. Elfi Marzuni, “Peran Pengadilan Dalam Penegakan Hukum Pidana Di Indonesia”, Makalah Seminar Peran Dan Fungsi Penegakan Hukum Dalam Menciptakan Keadilan Dan Kepastian Hukum, 10 April 2012. 66 Pasal 195 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. 67 Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 123–124.
Universitas Sumatera Utara
c. Pembacaan surat dakwaan untuk Acara Biasa (Pid.B) atau catatan dakwaan untuk Acara Singkat (Pid.S) oleh Jaksa Penuntut Umum. d. Selanjutnya terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan tersebut, apabila terdakwa ternyata tidak mengerti lalu Penuntut Umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. e. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum. f. Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara maka sidang dilanjutkan. g. Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; dan e. Keterangan terdakwa. h. Kemudian pernyataan Hakim Ketua Sidang bahwa pemeriksaan dinyatakan “selesai” dan lalu Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana (requisitoir). i. Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya. j. Replik dan Duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik.
Universitas Sumatera Utara
k. Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Hukum Acara Pidana mempunyai spirit untuk menjamin adanya pelaksanaan proses hukum yang adil dan layak (due process of law) dan menghindarkan diri dari praktek penegakan hukum yang sewenang-wenang atau arbitrary process di seluruh elemen dalam sistem peradilan pidana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai kepada lembaga pemasyarakatan.68 Satu-satunya kekuasaan dan kewenangan penegak hukum hanyalah kewenangan
yang
bersumber
dan
berdasar
undang-undang.
Pembagian
kewenangan atau kekuasaan aparat penegak hukum dalam KUHAP berjalan menurut alur (procedural design), melalui tiga tahap, yaitu: (1) tahap praajudikasi (pre-adjudication), atau tahap sebelum sidang pengadilan, dengan sentral kekuasaan ada pada polisi/jaksa, (2) tahap ajudikasi (adjudication), sebagai tahap di persidangan, dengan sentral kekuasaan ada pada hakim, dan (3) purnaajudikasi (post-adjudication), tahap setelah sidang pengadilan, dengan Lembaga Pemasyarakatan sebagai sentral figurnya.69 Pemeriksaan
secara
inquisitoir
dalam
sistem
kontinental
Eropa
membuktikan adanya kepercayaan yang besar dalam menemukan fakta-fakta oleh para
pejabat
Negara.Hakim
memutus
berdasarkan
urutan
penerimaan
pembuktian.Ia menginterogasi tersangka dan para saksi.Seperti halnya seorang 68
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993, hal. 6. dalam Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 101. 69 Pujiyono, Kumpulan Tulisan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2007, hal. 101.
Universitas Sumatera Utara
ahli sejarah, hakim pun berusaha untuk memperoleh gambaran yang obyektif dan luas atau lengkap mengenai delik yang dituduhkan jaksa (penuntut umum) dan pembela hanya memainkan peran pelengkap. Dengan demikian pemeriksaan dalam persidangan secara inquisitoir merupakan pencaharian berdasarkan wewenang bagi kebenaran dan bukan semata-mata merupakan debat tentang pelbagai kemungkinan untuk meninjau fakta-fakta serta untuk menilai alat-alat bukti. Pada pemeriksaan di hadapan sidang pengadilan dalam sistem kontinental, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan untuk menguji dapat dipercaya tidaknya seorang saksi dan keakuratan (ketelitian) keterangan yang diberikan digunakan oleh hakim dalam interogasinya yang mendalam.70 Hakim pada umumnya mulai mengajukan pertanyaan dan setelah ia selesai bertanya, kesempatan diberikan pada jaksa dan pembela untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Gaya dan tata caranya pemeriksaan dapat berbeda dari pengadilan yang satu dengan yang lain demikian pula dari hakim yang satu dengan yang lainnya. Gayanya pun tergantung kepada apakah terdakwa didampingi oleh pembela.71 Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia mempersilakan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau
70
Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana Dan Perbandingan Hukum, Cetakan kedua, 1984, Bandung: Armico, hal. 32. 71 Ibid., hal. 116.
Universitas Sumatera Utara
penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir.Tuntutan, pembelaan serta jawabannya dilakukan secara tertulis.72 Jika acara tersebut selesai, maka berdasarkan Pasal 182 ayat (2) KUHAP, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya.Penjelasan Pasal tersebut menyatakan pemeriksaan dapat dibuka sekali lagi dengan alasan untuk menampung data tambahan untuk bahan musyawarah hakim. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum.73Satu hal yang sangat penting tetapi tidak disebut ialah berapa lama penundaan itu dapat berlangsung. Dalam Ned. Sv. Jelas ditentukan bahwa penundaan penjatuhan putusan hakim itu paling lama dapat berlangsung empat belas hari.74 Dengan berakhirnya dan ditutupnya pemeriksaan sidang, hakim akan mengadakan pertimbangan. Pengadilan mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas keputusannya diumumkan sebagai keputusan bersama.Pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim bersifat rahasia.Pada uraian berikutnya mengenai
struktur
membuat
keputusan
yang
menjadi
dasar
72
Bandingkan dengan Pasal 182 ayat (1) KUHAP Pasal 182 ayat (8) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 74 Andi Hamzah, op.cit, hal. 283. 73
Universitas Sumatera Utara
pertimbangan.Keputusan akan disajikan sebagai pertimbangan “pengadilan.” Pengadilan mewakili baik majelis hakim maupun hakim tunggal.75 Akan tetapi sebelum ketua sidang menjatuhkan putusan, harus dilalui beberapa tahap proses “formal.” Dikatakan formal, karena pada dasarnya tahap proses itu harus dilalui, tetapi sifatnya tidak begitu “formalistis.” Seandainya tahap tersebut tidak secara terang dan tegas dilalui, “tidak mengakibatkan batalnya putusan.”Dan prosesnya pun lebih “bersifat intern” di antara majelis hakim yang memeriksa perkara.Di samping bersifat intern, “sifatnya pun rahasia,” tidak dilakukan di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum.76 Putusan
hakim
ditentukan
melalui
musyawarah
majelis
hakim77
Musyawarah majelis ini sedapat mungkin merupakan permufakatan yang bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dua cara, yaitu: 78 a. Putusan diambil dengan suara terbanyak; dan b. Jika yang tersebut a tidak diperoleh, maka yang dipakai adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Menurut
pendapat
Andi
Hamzah,
ketentuan
tersebut
sangat
menguntungkan terdakwa, karena jika seorang hakim memandang apa yang 75
Soedjono Dirdjosiworo, op.cit, hal. 118. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 263. 77 Pasal 182 ayat (3) KUHAP: “… hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum dan hadirin meninggalkan ruang sidang.” 78 H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 111. 76
Universitas Sumatera Utara
didakwakan telah terbukti dan oleh karena itu terdakwa harus dipidana, sedangkan seorang hakim lagi menyatakan bahwa hal itu tidak terbukti dan hakim yang ketiga abstain, maka terjadilah pembebasan (vrijspraak) terdakwa.79 Pasal 182 ayat (4) KUHAP menegaskan bahwa musyawarah majelis hakim yang dilakukan tersebut harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Sama dengan putusan hakim dalam perkara perdata dibatasi oleh apa yang digugat, hakim dalam perkara pidana tidak boleh memutus di luar yang didakwakan jaksa. Idealnya ialah perbuatan yang sungguh-sungguh terjadi yang didakwakan dan itu pula yang dibuktikan.Memang benar dominus litis adalah jaksa (yang mewakili negara).Jaksa boleh menuntut satu feiten (perbuatan), tetapi yang satu itu sungguh-sungguh terjadi dan sungguh-sungguh dibuktikan dengan alat bukti yang cukup ditambah dengan keyakinan hakim.80 Pasal 182 ayat (7) KUHAP juga menyatakan bahwa pelaksanaan pengambilan putusan dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu da nisi buku tersebut sifatnya rahasia. Sementara itu, Pasal 200 KUHAP menentukan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Hal lain yang harus diperhatikan yaitu bahwa Pasal 196 ayat (1) KUHAP menentukan hakim memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali ditentukan lain oleh KUHAP dan undang-undang lain. Pengecualian dalam
79 80
Andi Hamzah, op.cit, hal. 283. A. Hamzah, op.cit.
Universitas Sumatera Utara
KUHAP yaitu dalam hal acara pemeriksaan cepat, putusan hakim dapat dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam undang-undang pidana khusus dikenal pula peradilan in absentia yaitu pada delik ekonomi (Pasal 16 UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dikenal peradilan in absentia terhadap orang yang tidak dikenal, tetapi terbatas pada penjatuhan pidana perampasan barang-barang yang telah disita.Begitu pula dalam delik korupsi (Pasal 23 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dapat dijatuhkan pidana tanpa hadirnya terdakwa.81 Dalam putusan pemidanaan, Pasal 196 ayat (3) KUHAP juga menentukan bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala yang menjadi haknya setelah putusan diucapkan, yaitu: a. Hak segera menerima atau menolak putusan; b. Hak
mempelajari
putusan
sebelum
menyatakan
menerima
atau
menolaknya, dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP; c. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan; d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP, dalam hal ia menolak putusan; e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan KUHAP. 81
Ibid., hal 284.
Universitas Sumatera Utara
Harus diingat, bahwa pertimbangan hakim dalam suatu putusan yang mengandung penghukuman terdakwa, harus ditujukan kepada hal terbuktinya peristiwa pidana yang dituduhkan kepada terdakwa.82 Untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum, maka KUHAP melalui Pasal 183 telah mewajibkan hakim untuk menjatuhkan pidana setelah ditemukan apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah83 ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Harus juga dipertimbangan keterangan terdakwa dalam sidang, pertamatama keterangan dimana ia berada pada waktu tindak pidana terjadi (jika tidak tertangkap tangan). Apakah keterangan terdakwa tentang alibi84 adalah masuk akal dan barangkali dapat dikuatkan oleh seorang saksi, atau sebaliknya bertentangan dengan keterangan lain orang saksi.85 Menurut Moelyatno, proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim dalam perkara pidana adalah sebagai berikut:86
82
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Atjara Pidana Di Indonesia, Cetakan kelima, Bandung: Sumur Bandung, 1962, hal. 95. 83 Pasal 184 ayat (1) KUHAP: “Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.” 84 Alibi merupakan keterangan yang menyatakan bahwa terdakwa berada di lain tempat pada saat tindak pidana terjadi. 85 Ibid. 86 Achmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 96-100.
Universitas Sumatera Utara
a. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan sebagai tersebut dalam rumusan suatu aturan pidana.Ditinjau dari segi tersebut, tampak sebagai perbuatan yang merugikan atau yang tidak patut dilakukan atau tidak.Jika perbuatan terdakwa memenuhi unsurunsur dalam suatu pasal hukum pidana, maka terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya. b. Tahap Menganalisis Tanggung Jawab Pidana Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan
bertanggung
jawab
atas
perbuatan
pidana
yang
dilakukannya.Dapat dipidananya seseorang harus memenuhi dua syarat, yaitu pertama, perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan yang kedua, perbuatan yang dilakukan itu dapat dipertanggungjawabkan sebagai suatu kesalahan (asas geen straf zonder schuld). c. Tahap Penentuan Pemidanaan Dalam hal ini, jikalau hakim berkeyakinan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang melawan hukum, sehingga ia dinyatakan bersalah atas perbuatannya,
dan
kemudian
perbuatannya
itu
dapat
dipertanggungjawabkan oleh si pelaku, maka hakim akan menjatuhkan pidana terhadap pelaku tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Soerjono Soekanto, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu putusan. Faktor-faktor itu adalah:87 a. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama, pendidikan informal dan sebagainya; b. Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan pendidikan formal; c. Environtment in-put, yakni faktor lingkungan, sosial budaya yang mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya lingkungan organisasi dan seterusnya. Yahya Harahap lebih merinci faktor-faktor tersebut sebagai faktor subjektif dan faktor objekif.88 Faktori subjektif: a. Sikap perilaku yang apriori Adanya sikap seorang hakim yang sejak semuila sudah menganggap bahwa terdakwa adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana. b. Sikap perilaku emosional Putusan pengadilan akan dipengaruhi perangai seorang hakim. Hakim yang mempunyai perangai mudah tersinggung akan berbeda dengan perangai seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Demikian pula
87
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal 116. Ibid., hal 117-118.
88
Universitas Sumatera Utara
dengan putusan dari seorang hakim yang sudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar. c. Sikap Arrogance Power Sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah “kecongkakan kekuasaan.” Di sini hakim merasa dirinya berkuasa dan pintar, melebihi orang lain (jaksa, pembela, apalagi terdakwa). d. Moral Amat berpengaruh adalah moral seorang hakim karena bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta memutuskan suatu perkara. Faktor objektif: a. Latar belakang budaya Kebudayaan,
agama,
pendidikanm
seorang
hakim
tentu
ikut
mempengaruhi suatu putusan hakim.Meskipun latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor ini setidak-tidaknya ikut mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan. b. Profesionalisme Kecerdasarn serta profesionalisme seorang hakim ikut mempengaruhi keputusannya.Perbedaan suatu putusan pengadilan sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut. Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman yang membawahi 4 (empat) badan peradilan di bawahnya, yaitu
Universitas Sumatera Utara
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara, telah menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologi, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan masyarakat (social justice).89 Aspek yuridis merupakan aspek yang pertama dan utama dengan berpatokan kepada undang-undang yang berlaku.Hakim sebagai aplikator undangundang, harus memahami undang-undang dengan mencari undang-undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi.Hakim harus menilai apakah undang-undang tersebut adil, ada kemanfaatannya, atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan hukum itu unsurnya adalah menciptakan hukum.90 Mengenai aspek filosofis, merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis, mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dalam masyarakat.Aspek filosofis dan sosilogis, penerapannya sangat memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu mengikuti nilai-nilai dalam masyarakat yang terabaikan.Jelas penerapannya sangat sulit sebab tidak mengikuti asas legalitas dan tidak terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.91
89
Achmad Rifai, op.cit, hal. 126. Ibid. 91 Ibid., hal. 126-127. 90
Universitas Sumatera Utara
Perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan ini adalah mengenai dissenting opinion.Yang dimaksud dengan dissentiong opinion adalah opini atau pendapat yang dibuat oleh satu atau lebih anggota majelis hakim yang tidak setuju (disagree) dengan keputusan yang diambil oleh mayoritas anggota majelis hakim.Jadi, pada dasarnya dissenting opinion adalah pendapat tertulis yang dikeluarkan oleh seorang hakim yang tidak setuju dengan keputusan mayoritas hakim dalam suatu majelis.Dissenting opinion ini biasanya dimuat dalam bagian akhir putusan setelah putusan mayoritas.92 Secara kasuistis, putusan hakim selalu dihadapkan pada 3 (tiga) asas, yaitu asas kepastian hukum, asas keadilan, dan asas kemanfaatan.Namun, dalam praktik peradilan, sangat sulit bagi seorang hakim untuk mengakomodir ketiga asas tersebut di dalam satu putusan.Dalam menghadapi keadaan ini, hakim harus memilih salah satu dari ketiga asas tersebut untuk memutuskan suatu perkara dan tidak mungkin ketiga asas tersebut dapat tercakup sekaligus dalam satu putusan.Oleh
karena
itu,
hanya
hakim
sendirilah
yang
dapat
mempertanggungjawabkan putusannya secara moral, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa. C. Yurisprudensi Sebagai Dasar Hakim Memutus Di Luar Dakwaan Istilah yurisprudensi, berasal dari kata Juridprudentia (Bahasa Latin) yang berarti pengetahuan hukum (rechtsgeleerdheid). Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia, sama artinya dengan kata “Jurisprudentie” dalam Bahasa
92
H. Pontang Moerad B.M., op.cit, hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
Belanda dan “Jurisprudence” dalam Bahasa Perancis, yaitu Peradilan-Tetap atau Hukum-Peradilan.93 Yurisprudensi atau putusan pengadilan merupakan produk yudikatif, yang berisi kaedah atau peraturan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersangkutan atau terhukum.Jadi putusan pengadilan hanya mengikat orang-orang tertentu saja dan tidak mengikat setiap orang secara umum seperti undangundang.Putusan
pengadilan
adalah
hukum
sejak
dijatuhkan
sampai
dilaksanakan.Sejak dijatuhkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang berperkara, mengikat para pihak untuk mengakui eksistensi putusan tersebut.Putusan pengadilan mempunyai kekuatan berlaku untuk dilaksanakan sejak putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.Setelah dilaksanakan, putusan pengadilan itu hanyalah merupakan sumber hukum.94 Yurisprudensi merupakan putusan hakim yang kemudian dijadikan dasar untuk menyelesaikan kasus-kasus yang serupa di kemudian hari. Hal ini akan terjadi jika telah beberapa kali kasus-kasus yang serupa diputus dengan cara yang kurang lebih sama. Perulangan itu kemudian menimbulkan rasa keharusan untuk memutuskan dengan cara yang sama setiap kali kasus serupa terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan telah terbentuk hukum melalui keputusan hakim (judge made law). Dalam sistem hukum Kontinental, termasuk sistem peradilan di Indonesia, hakim tidak perlu mengikuti putusan-putusan terdahulu mengenai perkara 93
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Sekanto, Perundang-undangan Dan Yurisprudensi, Cetakan keempat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 47. 94 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan kedua, Yogyakarta: Liberty, 2005, hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
sejenis.Oleh karena itu di Indonesia pada asasnya hakim tidak terikat pada precedent atau putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Jadi, hakim yang hendak memutuskan perkara tidak wajib mengikuti atau terikat pada putusan pengadilan yang pernah dijatuhkan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit hakim berkiblat pada putusan-putusan pengadilan yang lebih tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputuskannya. Hal ini tidak mengherankan, karena dengan adanya kemungkinan diajukannya kasasi ke Mahkamah Agung maka hakim dari tingkat pengadilan yang lebih rendah cenderung untuk menghormati putusan Mahkamah Agung.Sudah menjadi sifat pembawaan peradilan bahwa dua perkara yang serupa diputus serupa pula.95 Dalam mengikuti perkembangan zaman dan masyarakat, undang-undang tidak seluwes putusan pengadilan.Undang-undang itu mengatur peristiwa, tetapi seringkali peristiwanya telah berkembang jauh sedangkan undang-undangnya belum juga berubah. Tidak mengherankan kalau ada ungkapan yang berbunyi “het recht hinkt achter de feiten aan,” yang berarti bahwa hukum itu ketinggalan dari peristiwanya. Yang dimaksudkan dengan hukum di sini dengan sendirinya adalah hukum yang tertulis atau undang-undang.Perubahan undang-undang harus melalui prosedur, sehingga tidak dapat setiap saat dilakukan untuk dapat menyesuaikan dengan keadaan. Lain halnya dengan putusan hakim, yang pada hakekatnya merupakan pelaksanaan undang-undang, setiap saat apabila diajukan 95
Ibid., hal. 113-114.
Universitas Sumatera Utara
peristiwa dapat dijatuhkan untuk menyesuaikan undang-undang dengan keadaan.96 Undang-undang pada dasarnya tidak lengkap karena memang sengaja dibuat dan diperuntukkan pada zamannya, sehingga disesuaikan dengan keadaan pada waktu undang-undang itu diundangkan. Makin tua usia suatu undangundang, maka akan makin banyak timbul yurisprudensi yang berkaitan dengan undang-undang tersebut guna penafsiran lebih lanjut atas undang-undang itu dengan keadaan baru. Penting tidaknya yurisprudensi sebagai sumber hukum, harus dihubungkan dengan anggapan-anggapan mengenai tugas hakim. Mengenai apa tugas hakim itu, terdapat bermacam-macam anggapan, antara lain:97 a. Anggapan dari Aliran Legisme Menurut aliran ini, maka yurisprudensi tidak atau kurang penting, oleh karena dianggap bahwa semua hukum terdapat dalam undangundang.Hakim di dalam melakukan tugasnya terikat pada undang-undang, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan undang-undang belaka (wetstoepassing) dengan jalan jurisdische-sylogisme, yaitu suatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas (preposisi mayor) kepada suatu keadaan khusus (preposisi minor), sehingga sampai pada suatu kesimpulan (conclusion). Contohnya adalah sebagai berikut: 1. Siapa membeli harus membayar (preposisi mayor); 2. Si A membeli (preposisi minor); 96
Ibid., hal. 113. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, op.cit, hal. 49-52.
97
Universitas Sumatera Utara
3. Si A harus membayar (conclusion). b. Anggapan dari Freie Rechtsbewegung Aliran ini beranggapan, bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukannya menurut undang-undang atau tidak.Hal ini disebabkan oleh karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum
(rechtschepping).Akibatnya
adalah,
bahwa
memahami
yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder. c. Aliran Rechtsvinding Aliran ini boleh dianggap sebagai alirang tengah antara aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Menurut aliran ini, memang benar hakim terikat pada
undang-undang,
akan
tetapi
tidaklah
seketat
sebagaimana
dimaksudkan oleh aliran legisme, oleh karena hakim juga mempunya kebebasan. Akan tetapi, kebebasan hakim bukanlah seperti anggapan aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim mempunyai apa yang disebut sebagai kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid) atau keterikatan yang bebas (vrije gebondheid). Oleh sebab itu, maka tugas hakim disebutkan sebagai melakukan “Rechtsvinding” yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman (aanpassen van de wet de eisen van de tijd). Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas tersebut terbukti dari adanya beberapa wewenang hakim, seperti: 1. Penafsiran undang-undang (wetsinterpretatie)
Universitas Sumatera Utara
2. Komposisi yang mencakup: a. Analogi (abstraksi), yaitu mempergunakan undang-undang untuk suatu peristiwa yang tidak disebutkan dalam undangundang
tersebut,
(memperluas)
isi
dengan atau
jalan
makna
mengabstraksikan
undang-undang
yang
merumuskan suatu peristiwa khusus tertentu menjadi perumusan yang bersifat khusus tertentu menjadi peristiwa yang bersifat luas, supaya dapat dipergunakan untuk mencakup peristiwa-peristiwa lainnya (dari khusus ke luas). b. Rechtsverfijning
(Determinatie),
yaitu
membuat
pengkhususan dari suatu asas dalam undang-undang yang mempunyai arti luas (dari luas ke khusus). Dari anggapan aliran Rechtsvinding tersebut dapatlah diketahui betapa pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, di samping perundang-undangan, oleh karena di dalam yurisprudensi terdapat banyak garis-garis yang berlaku dalam masyarakat, akan tetapi yang tidak dapat terbaca di dalam undang-undang. Jadi, memahami
hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari
yurisprudensi, tidaklah lengkap.98 Di dalam perkara pidana, dasar pemeriksaan sidang pengadilan adalah surat dakwaan. Pengadilan menjatuhkan putusan berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang yang didasarkan pada surat dakwaan
98
Ibid., hal. 53.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Oleh karena itu, pengadilan tidak dibenarkan untuk memutus hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan. Djoko Prakoso menyatakan: “Dapat dikatakan bahwa salah satu asas yang paling fundamental dalam proses pidana adalah keharusan pembuatan surat dakwaan. Ia memuat fakta-fakta yang didakwakan terhadap seorang terdakwa dan hakim hanya boleh memutuskan atas dasar fakta-fakta tersebut, tidak boleh kurang atau lebih. Oleh sebab itu, surat dakwaan dipandang sebagai suatu litis contestatio99.” Namun demikian, perlu pula diingat bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum.Bahkan dalam perkembangan praktek peradilan dewasa ini yurisprudensi telah menempatkan diri pada posisi yang sangat dominan dalam mengisi ruang-ruang kosong yang tidak terjangkau oleh pengaturan hukum melalui undang-undang. Yurisprudensi sebagai putusan pengadilan pada tingkat peradilan tertinggi, akan mewarnai praktek peradilan. Karena yurisprudensi memecahkan
permasalahan-permasalahan
hukum
yang
ditemukan
dalam
praktek.100 Hakim di depan persidangan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa berdasarkan surat dakwaan dari Penuntut Umum. Pada hakikatnya, hakim tidak boleh merubah surat dakwaan sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 589 K/Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 dan hakim juga dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa tidak diperkenankan menjatuhkan pidana terhadap perbuatan yang tidak didakwakan oleh Penuntut 99
Litis contestaio adalah istilah yang digunakan merujuk kepada dasar hakim untuk menjatuhkan putusan terhadap suatu perkara. 100 H.Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, op.cit, hal. 242.
Universitas Sumatera Utara
Umum dalam surat dakwaannya sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 321 K/Pid/1983 taggal 26 Mei 1984.101 Selain itu, dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 47 K/Kr/1956 tanggal 23 Maret 1957 dan Nomor 68 K/Kr/1973 tanggal 16 Desember 1976 ditegaskan bahwa putusan pengadilan harus didasarkan pada tuduhan (dakwaan).102 Akan tetapi, terhadap hal ini ada perkembangan menarik dan merupakan terobosan baru dari Mahkamah Agung RI. Terdapat beberapa putusan pengadilan yang memutus suatu tindak pidana yang secara tegas tidak dirumuskan dalam surat dakwaan dapat dibenarkan, apabila tindak pidana yang dinyatakan terbukti tersebut sejenis dengan tindak pidana yang didakwakan (yang dirumuskan secara tegas dalam surat dakwaan). Misalnya, terdakwa didakwa secara tunggal melanggar Pasal 360 ayat (1) KUHP, tetapi yang terbukti adalah Pasal 360 ayat (2) KUHP, terdakwa dapat dijatuhi pidana sesuai Pasal 360 ayat (2) KUHP walaupun pasal ini tidak didakwakan.103 Yurisprudensi demikian dapat dilihat pada putusan-putusan Mahkamah Agung berikut ini. a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 818 K/Pid/1984 yang menyatakan bahwa walaupun yang dituduhkan pasal 310 KUHP, terdakwa dapat dipersalahkan dan dihukum karena melanggar pasal 315 KUHP; b. Putusan Mahkamah Agung Nomor 42 K/Kr/1956 tanggal 3 Oktober 1956 yang menyatakan bahwa dalam tuduhan atas “pembunuhan berencana” 101
Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoretis Dan Praktik, Bandung: Alumni, 2008, hal. 41. 102 HMA Kuffal, Penerapan KUHAP Dalam PraktikHukum, Edisi Revisi Cetakan kesepuluh, 2004, Malang: UMM Press, hal. 223. 103 Ibid., hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
termasuk pula tuduhan atas “pembunuhan,” karena pembunuhan berencana tidak lain daripada pembunuhan yang telah direncanakan lebih dahulu dengan ketenangan hati. Maka orang yang dituduh melanggar pasal 340 KUHP tetapi di sidang hanya terbukti bersalah melanggar pasal 338 KUHP, ia dapat dipersalahkan atas kejahatan pembunuhan; c.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 693 K/Pid/1986 tanggal 12 Juli 1986 dan putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987 tanggal 21 Maret 1989 menyatakan bahwa terdakwa dapat dijatuhi pidana dengan delik sejenis yang sifatnya lebih ringan, karena dianggap delik tersebut termasuk di dalamnya. Akhirnya, surat dakwaan yang merupakan dasar pemeriksaan hakim di
depan sidang pengadilan tersebut, dalam putusan haruslah dicantumkan. Hal ini limitatif sifatnya, sebagaimana ditentukan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf c KUHAP. Apabila hal ini dibaikan, atas pelanggaran demikian berdasarkan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 694 K/Pid/1984 tanggal 15 Mei 1994 mengakibatkan putusan hakim batal demi hukum. Mengingat bahwa yurisprudensi yang sudah menjadi tetap (yurisprudensi konstan) selalu digunakan dan dipedomani oleh hakim, maka dapat dikatakan bahwa yurisprudensi merupakan sumber hukum formil. Formil karena terjadi dengan cara tertentu, yaitu oleh hakim dalam sidang pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sistem hukum Common Law, hakim terikat pada precedent atau putusan mengenai perkara yang serupa dengan yang akan diputus. Hakim harus berpedoman pada putusan-putusan pengadilan terdahulu apabila ia dihadapkan pada suatu persitiwa, sehingga dianut asas “binding precedent.” Sedangkan, di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law, putusan pengadilan bersifat “persuasive precedent.”Jadi, putusan itu tidak mempunyai kekuatan mengikat, tetapi hanya sebagai kekuatan yang meyakinkan.
Universitas Sumatera Utara