sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXII, Nomor 3, 1997 : 17 - 24
ISSN 0216- 1877
PERANAN DISTURBANSI PADA KEANEKARAGAMAN JENIS TERUMBU KARANG PADA PERAIRAN DANGKAL Oleh Deddy Setiapermana 1)
ABSTRACT CONNEL (1978), who examined several hypothesis concerning species richness or diversity, reduced them to only 6 hypothesis which fall into 2 general categories : i. non-equilibrium, and ii. equilibrium systems. Shallow water coral reefs have been described as being non-equilibrium systems, where competitive exclusion is prevented by frequent disturbances as predicted by the intermediate disturbance hypothese. The hypotheses suggests that the highest diversity is maintained at intermediate scales of disturbance. Literatures on two types of disturbances, i.e. abiotic (tidal exposure, wave action, sedimentation) and biotic (grazing), which can affect near surface coral diversity, are reviewed in the light of the intermediate disturbance hypotheses. PENDAHULUAN
JONES, 1945). Pendapat ini ada benarnya karena perubahan iklim dengan skala besar yang terjadi di muka bumi sering terulang dengan selang waktu yang jauh lebih pendek daripada waktu yang diperlukan oleh suatu komunitas untuk mencapai 'equilibrium' atau untuk merubah sebaran geografis dari jenis (AMUNDSON & WRIGHT, 1979; BOTKIN & SOBEL, 1975; HOLBROOK, 1977). Variasi iklim dengan skala besar semacam ini mempengaruhi pola ekologi pada wilayah yang luas bahkan kadang-kadang mencakup seluruh benua. dibandingkan dengan variasi iklim, faktor-faktor lain yang mengakibatkan perubahan pada komunitas alami umumnya bekerja pada skala ruang yang lebih kecil.
Salah satu sifat yang menjadi ciri dari semua komunitas biologi adalah dinamika dari komponen-komponennya. Kerapatan dan struktur dari populasi berubah dari waktu ke waktu sebagaimana perubahan pada kelimpahan relatif dan keragaman jenis. Pada kebanyakan komunitas, tahap klimaks dari perubahan tersebut yang merupakan keadaan 'equilibrium' hanya merupakan suatu keadaan rata-rata yang ditemui pada skala ruang yang relatif luas (CONNEL & SLATYER, 1977). Pendapat bahwa 'equilibrium' sangat jarang dicapai pada skala ruang yang kecil (lokal) telah dikemukakan puluhan tahun yang lalu oleh sejumlah ahli ekologi kehutanan (mis.
17
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Keanekaragaman jenis yang tinggi dari terumbu karang pada skala lokal merupakan hal yang telah diketahui sejak lama. Penjelasan yang biasa diberikan dimulai dengan anggapan bahwa komposisi jenis dari terumbu karang berada pada tingkat mendekati 'equilibrium' yang biasanya didefinisikan sbb. : 1) apabila komposisi jenis mengalami gangguan sehingga bergeser dari titik 'equilibrium', ia akan kembali ke titik 'equilibrium' tersebut, dan 2) tanpa gangguan, komposisi jenis tetap berada pada tingkat 'equilibrium'. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, frekuensi terjadinya disturbansi alami dan laju perubahan lingkungan seringkali lebih cepat daripada laju 'recovery' komunitas yang berubah akibat disturbansi. Khususnya, hilangnya jenis yang kurang efisien atau kurang mampu beradaptasi sebagai akibat dari terjadinya disturbansi bukan merupakan hal yang dapat diramalkan sebagaimana kita perkirakan. Sebalikya, kekuatan lain, yang seringkali datang dengan tiba-tiba dan tidak dapat diramalkan sebelumnya dapat memundurkan, menyimpangkan atau memperlambat proses kembalinya komposisi jenis ke titik 'equilibrium'. Apabila hal ini benar, maka kita dapat mempertanyakan kegunaan dari penerapan teori 'equilibrium' pada ekologi komunitas. Berbagai hipotesis telah dikemukakan untuk menjelaskan bagaimana keanekaragaman lokal dapat tercapai atau terpelihara. CONNELL (1978) yang mendalami berbagai hipotesis tentang kekayaan jenis atau keanekaragaman mengelompokkan mereka kedalam 6 kelompok hipotesis yang dapat dimasukkan kedalam 2 kategori umum, yakni:
librium'. Keanekaragaman yang tinggi dijumpai hanya pada komposisi jenis yang secara terus menerus berubah. Hipotesishipotesis yang masuk dalam kategori ini adalah: i) Keanekaragaman akan lebih tinggi apabila frekuensi dan intensitas disturbansi berada pada tingkat sedang (hipotesis 'disturbansi sedang'). ii) Jenis-jenis kurang lebih setara dalam kemampuannya untuk berkoloni, mempertahankan diri terhadap serangan, dan menahan perubahan lingkungan. Keanekaragaman lokal tergantung hanya pada jumlah jenis yang tersedia dalam suatu area geografis dan pada kerapatan populasi (hipotesis 'kesempatan setara'). iii) Perubahan lingkungan gradual yang dapat merubah urutan kemampuan berkompetisi terjadi pada laju yang cukup tinggi sehingga proses eliminasi kompetitif jarang terjadi dengan sempurna (hipotesis 'perubahan gradual'). 2. Sistem yang bersifat 'equilibrium'. Komposisi jenis dari suatu komunitas pada umumnya berada pada keadaan' equilibrium'; sesudah terjadi disturbansi ia akan kembali ke keadaan 'equilibrium'. Keanekaragaman yang tinggi, dengan demikian, dapat terpelihara tanpa perubahan terus menerus dari komposisi jenis. Hipotesis-hipotesis yang termasuk dalam kategori ini adalah: iv) Pada keadaan 'equilibrium', tiap jenis memiliki kelebihan dalam memanfaatkan bagian tertentu dari habitat. Keanekaragaman merupakan fungsi dari keseluruhan habitat dan tingkat spesialisasi jenis terhadap bagian-bagian dari habitat (hipotesis 'diversifikasi niche'), v) Pada keadaan 'equilibrium', tiap jenis menggunakan suatu mekanisme pengganggu yang menyebabkan ia mampu memenangkan persaingan dengan beberapa pesaingnya, akan tetapi di fihak lain ia mengalami kekalahan dari pesaing lainnya (hipotesis 'jaringan melingkar' - 'circular network'), vi) Mortalitas,
1. Sistem yang bersifat 'nonequilibrium'. Komposisi jenis dari suatu komunitas jarang berada pada keadaan 'equi-
18
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
yang diakibatkan oleh sebab-sebab yang tidak berkaitan dengan interaksi kompetitif, tertinggi pada jenis-jenis yang menduduki ranking tertinggi dalam kemampuannya berkompetisi (hipotesis 'mortalitas kompensasi' - compensatory mortality'). Menurut CONNEL (1978) terumbu karang merupakan sistem yang bersifat 'nonequilibrium', dimana hilangnya suatu jenis sebagai akibat kompetisi (competitive exclusion) dicegah oleh terjadinya disturbansi dengan frekuensi yang tinggi, sebagaimana diprediksi oleh hipotesis 'disturbansi sedang/ menengah' (intermediate distrubance). Komponen-komponen terumbu mati ataupun rusak berat oleh disturbansi yang terjadi pada berbagai skala frekuensi dan intensitas.
Hipotesis ini berpendapat bahwa keanekaragaman tertinggi terjadi pada skala menengah dari disturbansi (Gambar 1). Pada terumbu karang perairan dangkal, keanekaragaman di dekat permukaan sangat bervariasi dan menunjukkan pola yang berkaitan dengan terjadinya disturbansi, suatu keadaan yang konsisten dengan hipotesis 'disturbansi sedang/menengah' (CONNEL, 1978). Pengamatan yang dilakukan oleh DITLEV (1978), FISHELSON (1973), dan GLYNN (1976) menunjukkan bahwa keanekaragaman yang tinggi dapat ditemui pada bagian atas terumbu dan rataan terumbu perairan dangkal yang mengalami disturbansi yang mematikan.
19
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Disturbansi secara tradisional dipandang sebagai kejadian yang tidak normal dan tidak teratur terjadinya yang menyebabkan perubahan struktur yang dramatis pada komunitas alami dan menjauhkan komunitas tersebut dari keadaan statis, dekat 'equilibrium' (KARR & FREEMARK, 1984); WHITE, 1979). Pada terumbu karang, banyak tipe disturbansi yang mempengaruhi keanekaragaman. Secara umum, disturbansi dapat dibagi kedalam 2 tipe : abiotik (pasang surut, gelombang, sedimentasi) dan biotik (grazing). Disturbansi yang mengakibatkan kematian seringkali terjadi di dekat permukaan terumbu, dan frekuensi serta intensitas kematian menurun dengan kedalaman air. Frekuensi disturbansi yang bervariasi di dekat permukaan mengakibatkan tingginya keanekaragaman jenis pada bagian atas terumbu.
kronis maupun efek ekstrim dari badai yang bersifat destruktif. CONNELL (1978) dan GRIGG & MARAGOS (1974) mengamati bahwa seberapa jauh suatu terumbu terkena badai ataupun gelombang sangat mempengaruhi tingkat keanekaragaman karang pada terumbu tersebut. Tingkat keanekaragaman pada umumnya tinggi pada tempat-tempat yang sering terkena badai. Meskipun demikian, sebaliknya tingkat keanekaragaman dapat menurun drastis sebagai akibat dari frekuensi dan intensitas disturbansi yang ekstrim, yang tidak memungkinkan jenis-jenis karang untuk bertahan hidup. Bagian Atas Terumbu yang sering terkena gelombang yang ekstrim cenderung tidak ditumbuhi oleh karang, akan tetapi tempatnya digantikan oleh gundukan yang ditumbuhi algae (algal ridges), suatu struktur masif yang ditutupi oleh algae berkapur yang membentuk lapisan keras (encrusting calcareous algae). Terumbu seperti ini dapat dengan mudah dijumpai di kawasan Indo-Pasifik pada perairan yang bergelombang, di bagian pulau yang menyongsong arah datangnya angin (windwarad crest) (WELLS, 1957) dan juga di kawasan Karibia (GLYNN, 1973). Pada keadaan intensitas gelombang yang lebih rendah, komunitas terumbu dengan tingkat keanekaragaman dan struktur yang kompleks dapat berkembang dengan baik. WELLS (1957) melaporkan pertumbuhan karang yang lebih subur pada perairan yang relatif tenang (leeward crest), dimana gundukan yang ditumbuhi algae (algal ridges) sulit berkembang atau absen sama sekali. GEISTER (1977) yang mengamati zone-zone terumbu dengan kekuatan gelombang yang berbeda, menemukan tingkat keanekaragaman tertinggi pada zone dengan tingkat kekuatan gelombang yang sedang/menengah dan tingkat
DISTURBANSI ABIOTIK Dalam kaitan dengan pasang surut sebagai suatu disturbansi abiotik, kematian karang yang disebabkan oleh surut yang ekstrim telah dilaporkan oleh para pakar (FISHELSON, 1973; GLYNN, 1976; CONNELL, 1978; DITLEV, 1978). Jenisjenis karang bercabang (Acropora, Stylopora, Pocillopora) yang memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi (10-15 cm/tahun) sangat peka terhadap pasang surut. Kematian massal yang sering terjadi pada jenis-jenis ini diduga merupakan faktor yang dapat memelihara tingkat keanekaragaman yang tinggi dari paparan terumbu, karena kematian tersebut mencegah terjadinya monopoli ruang tumbuh oleh jenis-jenis tersebut. Kerusakan akibat gelombang dapat pula mempengaruhi tingkat keanekaragaman terumbu, baik melalui gelombang yang bersifat
20
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
keanekaragaman terendah pada tingkat kekuatan gelombang yang ekstrim, sebagaimana diprakirakan oleh hipotesis 'disturbansi sedang/menengah. Baik pasang surut maupun gelombang memberikan efek pada lapisan permukaan laut. Sedangkan sedimentasi dapat memberikan efek pada semua kedalaman laut, seperti misalnya sedimentasi kalsium karbonat. Kalsium karbonat yang diproduksi oleh karang dan algae berkapur (calcareous algae) secara terus menerus dipecahkan oleh proses biologis dan fisika dan dibawa keluar dari terumbu oleh gaya tank burni dan gerakan air (GOREAU & GOREAU, 1973). Sedimentasi pada karang berpengaruh buruk dan mengganggu proses fotosintesis dan 'feeding'; mengurangi jumlah substrat yang cocok bagi pertumbuhan karang dengan menutupi substrat yang keras dengan pasir kalsium karbonat yang mudah bergerak. Sedimen yang dialirkan oleh sungai dapat pula berpengaruh buruk bagi terumbu. Baik sedimen yang dibentuk oleh terumbu maupun sedimen alluvial dapat mengakibatkan kekeruhan yang amat berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Sedimentasi bisa bekerja sebagai disturbansi maupun sebagai pengatur laju pertumbuhan karang (DODGE dkk., 1974). Jenis-jenis karang memiliki kemampuan memindahkan sedimen yang berbeda-beda. Kemampuan tersebut berkorelasi dengan ukuran dan morfologi polip (HUBBARD & POCOCK, 1972). Hal ini berakibat pada pola sebaran jenis-jenis karang dan komposisi jenis dari komunitas terumbu. Di Puerto Rico, LOYA (1976) mengamati penurunan tutupan dan keanekaragaman karang pada suatu wilayah yang menerima 150 g/m2/hari sedimen alluvial, dibandingkan dengan wilayah yang hanya menerima 30 g/ nvVhari. Montastrea cavernosa, sejenis karang
yang sangat efisien dalam memindahkan sedimen, ditemui dalam jumlah yang amat melimpah pada tempat dengan laju sedimentasi yang tinggi. Sedangkan Agaricia, sejenis karang dengan kemampuan memindahkan sedimen yang rendah, lebih sering ditemui pada tempat dengan laju sedimentasi yang rendah. Walaupun keanekaragaman karang yang tinggi dapat ditemui pada keadaan tutupan karang yang rendah, berkurangnya substrat bagi pertumbuhan karang biasanya berkaitan dengan sedikitnya jenis karang yang dapat ditemui. Pada paparan terumbu di sepanjang pantai India, jumlah jenis karang meningkat dari 4 menjadi 22 per 30 m2 seiring dengan berkurangnya tutupan pasir dan 'debris' karang dari 90% menjadi 15% (MERGNER & SCHEER, 1974). LOYA (1972) mengamati bahwa keanekaragaman jenis karang tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan tutupan karang di Eilat, Israel. DISTURBANSI BIOTIK Efek disturbansi biotik melalui grazing' oleh hewan herbivor dan koralivor tidak begitu terlihat apabila dibandingkan dengan perubahan dramatis yang disebabkan oleh disturbansi abiotik pada bagian atas terumbu. Efek hewan herbivor pada terumbu sukar dideteksi karena sedikitnya kontrol alamiah pembanding untuk menunjukkan efek tersebut, Efek ini baru terlihat apabila hewan herbivor dicegah untuk melakukan 'grazing', baik oleh sebab-sebab alamiah seperti misalnya turbulensi maupun dicegah secara sengaja dalam suatu percobaan, maka terlihat jelas bahwa tanpa hewan herbivor, karang akan ditumbuhi oleh algae dengan sangat cepat yang pada akhirnya menyebabkan kematian karang tersebut. Jenis hewan 'grazer' yang dominan adalah bulu babi dan ikan khususnya
21
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ikan kakaktua (parrotfish, Scaridae). Dean dan bulu babi herbivor memiliki efek langsung pada algae dan efek tidak langsung pada karang. Semua bulu babi dan ikan herbivor terutama memakan algae; hanya beberapa jenis ikan yang memakan karang (RANDALL, 1974). Efek yang terlihat biasanya adalah pengurangan biomasa algae, meskipun algae umumnya memiliki kemampuan untuk memproduksi kembali biomasa yang berkurang tersebut. 'Grazing' oleh bulu babi dapat menghasilkan efek diversiflkasi pada komunitas algae seperti yang dilaporkan oleh PAINE & VADAS (1969). Di Virgin Islands, keanekaragaman algae yang lebih tinggi ditemui pada terumbu yang mengalami 'grazing', sedangkan terumbu yang tidak mengalami 'grazing' didominasi oleh satu jenis algae (SAMMARCO dkk., 1974). Hewan herbivor dapat pula mematikan anakan karang muda yang baru saja menempel pada substrat. BIRKELAND (1977) dan BROCK (1979) mengamati bahwa ikan-ikan herbivor menghindari memakan koloni-koloni karang yang kecil akan tetapi bulu babi tidak membedabedakan ukuran koloni karang, dan mereka menghancurkan anakan karang pada saat melakukan 'grazing' (SAMMARCO, 1980, 1982). Pada permukaan substrat dengan sedikit tempat berlindung bagi anakan karang, kelulus-hidupan karang tertinggi ditemui pada kerapatan bulu babi yang sedang/menengah. Pada keadaan ini, sejumlah algae yang dimakan oleh hewan herbivor mengurangi kemampuan kompetisi algae sehingga dengan demikian dapat mencegah musnahnya karang, dan kerusakan yang ditimbulkan oleh hewan herbivor dan koralivor pada karang tidak cukup parah untuk dapat memusnahkan seluruh karang. Ikan betok laut (Pomacentride) yang memiliki kemampuan untuk membuat dan mempertahankan 'kebun' algae yang tumbuh
di atas karang yang mati merupakan kasus yang menarik untuk diamati. Jenis-jenis ikan ini dapat membunuh karang dengan cara merusak jaringan (tissue) karang yang hidup (VINE, 1974), dan bahkan memiliki kemampuan untuk 'menyiangi' kebun algaenya untuk mengontrol komposisi jenis algae yang tumbuh di kebun tersebut (OGDEN & LOBEL, 1978). Jenis ikan ini dapat menguasai bagian yang cukup luas dari permukaan terumbu, sampai dengan 60% dari paparan terumbu (WELLINGTON, 1982), dan dapat memberikan efek yang nyata terhadap komposisi jenis karang. Mereka sangat aktif pada bagian atas terumbu, mulai dari daerah dekat lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 12 meter dimana produktivitas algae sangat tinggi (VINE, 1974). Mereka cenderung mematikan jenis karang masif dari bagian terumbu ini yang kemudian diikuti dengan dominasi oleh jenis karang bercabang yang mampu tumbuh dengan cepat (KAUFMAN, 1977,; WELLINGTON, 1982). Dengan demikian jenis ikan ini dapat mengurangi keanekaragaman pada daerah terumbu ini dengan cara meningkatkan dominasi jenis karang bercabang. Beberapa jenis ikan pemakan karang antara lain adalah ikan buntal (Tetraodontidae), ikan pakol (Balistidae), ikan kepe-kepe (Chaetodontidae), ikan kupas-kupas (Monacanthidae) dan beberapa ikan kakaktua berukuran besar (Scaridae) (RANDALL, 1974). Beberapa jenis dari ikan-ikan ini hanya merusak polip sehingga memungkinkan karang untuk beregenerasi. Ikan-ikan koralivor yang meremukkan dan memakan skeleton karang terutama memangsa jenis karang bercabang. Pada bagian atas terumbu di dekat permukaan, ikan koralivor dapat meningkatkan keanekaragaman dengan merusak jenis-jenis karang bercabang secara selektif. Sedangkan pada bagian terumbu di tempat yang lebih
22
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
dalam dimana jenis karang bercabang lebih sedikit, ikan koralivor dapat menurunkan keanekaragaman. Hal ini berlawanan dengan efek dari ikan betok laut (Pomacentridae) pada karang seperti telah diuraikan di atas. Hewan koralivor yang sangat berpotensi menghancurkan terumbu adalah 'crown-of thorns' (Acanthaster planci) yang dapat mengakibatkan penurunan keanekaragaman secara drastis. GLYNN (1976) yang mengamati terumbu di pantai Samudera Pasifik, Panama melaporkan bahwa Acanthaster memangsa jenis-jenis karang yang tidak bercabang yang terdapat dalam jumlah tidak begitu banyak, dan menghindari jenis Pocillopora yang terdapat dalam jumlah melimpah. Jenis Pocillopora hidup bersimbiose dengan sejenis krustasea yang tidak disukai oleh Acanthaster. Pemangsaan secara selektif dari jenis yang lebih jarang ditemui menghasilkan penurunan secara nyata keanekaragaman jenis, suatu efek yang berlawanan dengan kematian yang tidak tergantung pada kerapatan (density-independent mortality) atau dengan pemangsaan selektif dari jenis yang paling melimpah jumlahnya.
sedangkan gerakan sedimen memberi efek paling besar di dekat permukaan meskipun dapat pula mempengaruhi karang yang terdapat pada kedalaman. Dapat disimpulkan bahwa hubungan antara disturbansi abiotik dengan keanekaragaman jenis menunjukkan konsistensi dengan hipotesis disturbansi sedang/menengah. Efek disturbansi biotik pada keanekaragaman algae juga konsisten dengan hipotesis disturbansi sedang/menengah. Sedangkan efeknya terhadap keanekaragaman karang lebih kompleks, karena efek yang berlawanan dari hewan koralivor dan ikan betok laut dari famili Pomacentridae yang herbivor. Karena efek yang diperkirakan dan hewan koralivor ternyata berlawanan dengan efek yang diamati pada terumbu, diduga mereka tidak mempunyai pengaruh yang dapat mengontrol keanekaragaman jenis karang. Diperlukan pengamatan dan penelitian lanjutan mengenai efek interaksi dari hewan koralivor dan jenis-jenis ikan betok laut dari famili Pomacentridae. KEPUSTAKAAN AMUNDSON, D.C. and H.E. WRIGHT Jr. 1979. Ecol Monogr. 49: 1-16. BIRKELAND, C. 1977. Proc. Third Int. Coral Reef Symp. 1: 15-21. BOTKIN, D.B. and M.J. SOBEL. 1975. Am. Nat. 109: 625-646. BROCK, R.E. 1979. Mar. Biol 51: 181-388. CONNELL, J.H. 1978. Science 199: 13021309. CONNELL, J.H. and R.O. SLAYTIER. 1977. Am. Nat. 121: 789-824. DITLEV, H. 1978. Mar. Biol 47: 29-39. DODGE, R.E.; R.C. ALLEN and J.THOMPSON. 1974 Nature 247: 574577.
PENUTUP Dari uraian mengenai efek disturbansi pada keanekaragaman jenis karang, dapat diturunkan beberapa catatan penutup sebagai berikut: Efek disturbansi fisik terkonsentrasi pada perairan dangkal dan menurun dengan kedalaman. Meskipun energi gelombang dapat memberikan efek pada terumbu yang terdapat di kedalaman pada waktu terjadi badai, efek terbesar terjadi pada terumbu di dekat permukaan. Padang surut memberi efek hanya pada bagian karang yang paling dangkal,
23
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
FISHELSON, L. 1973. Mar. Biol. 19: 183196. GLYN, P.W. 1973. Mar. Biol. 22: 1-21. GLYNN, P.W. 1976. Ecol. Monogr. 46: 431456. GOREAU, T.F. and N.I. GOREAU. 1973. Bull Mar. Sci. 23: 399-464. GRIGG, R.W. and J.E. MARAGOS. 1974. Ecology 55: 387-395. HOLBROOK, S.J. 1977. Am. Nat. I l l : 11951208. HUBBARD, J.A.E.B. and Y.R. POCOCK. 1972. Geol. Rundschau 61: 598-626. JONES, E.W. 1945. New Phytol. 44:130-148. KARR, J.R. and K.E. FREEMARK. 1984. In: PICKET, S.T.A. and P.S. WHITE (eds) Natural disturbance: the patch dynamic perspective, Academic Press. KAUFMAN, L. 1977. Proc. Third Int. Coral Reef Symp. 1: 559-564. LOYA, Y. 1972. Mar. Biol 13: 100-123. LOYA, Y. 1976. Bull Mar. Sci. 26: 450-466.
MERGNER, H. and G. SCHEER. 1974. Proc. Second Int. Coral Reef Symp. 2: 3-31. OGDEN, J.C. and P.S. LOBEL. 1978. Environ. Bull Fish. 3: 49-63. PAINE, R.T. and R.L. VADAS. 1969. Limnol Oceanogr. 14: 710-719. RANDALL, J.E. 1974. Proc. Second Int. Coral Reef Symp. 1: 159-166. SAMMARCO, P.W. 1980. J. Exp. Mar. Biol. Ecol 45: 245-272. SAMMARCO, P.W. 1982. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 61: 31-55. SAMMARCO, P.W.; J.S. LEVINTON and J.C. OGDEN. 1974. J. Mar. Res, 32: 47-53. VINE, P.F. 1974. Mar. Biol. 24: 131-136. WELLINGTON, G.M. 1982. Ecol Monogr. 52: 223-241. WELLS, J.W. 1957. Mem. Geol. Soc. Am. 67: 609-631. WHITE, P.S. 1979. Bot. Rev. 45: 229-299.
24
Oseana, Volume XXII no. 3, 1997