TINJAUAN PUSTAKA
Peran Ventilasi Mekanik pada Traumatic Brain Injury
Retnaningsih
PENDAHULUAN
Saat ini trauma kepala masih menjadi masalah kesehatan yang serius dan sering terjadi, meskipun sudah ada upaya pencegahan yang luas. Di Amerika Serikat setiap tahun ada sekitar 2 juta orang menderita cedera kepala dengan sekitar 100.000 orang meninggal dan hampir sebanyak itu yang hidup dengan disabilitas jangka panjang serta biaya perawatan mencapai 25 milyar dolar setiap tahun.1,2,3 Selama tiga dekade terakhir, beberapa kemajuan di bidang perawatan gawat darurat telah membantu menurunkan mortalitas pada pasien dengan cedera otak traumatik (traumatic brain injury/ TBI). Beberapa penemuan baru secara spesifik telah terfokus pada terapi cedera intrakranial yang menyamai pertumbuhan di bidang perawatan “neuroemergency”. Pedoman - pedoman berdasar pada evidence base (berbasis bukti) dibuat untuk mendefinisikan dan menstandarisasi terapi pasien dengan TBI berat. Alat - alat baru telah tersedia untuk mengawasi pasien cedera kepala. Saat ini, pemahaman tentang patofisiologi cedera kepala semakin berkembang, seperti konsep bahwa iskemia adalah penyebab utama jejas yang terus berlangsung pada TBI telah dipertanyakan dan disfungsi mitokondria telah diusulkan sebagai penyebab supresi metabolik fungsi neuron pascacedera.1-3 Tulisan ini terfokus pada terapi unit perawatan intensif (intensive care unit/ICU) untuk pasien Bagian SMF Neurologi/ICU Rumah Sakit dr. Kariadi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi, Semarang Jl. Dr. Sutomo No. 16, Semarang Korespondensi :
[email protected] 144
dengan cedera kepala berat, umumnya didefinisikan sebagai pasien dengan GCS kurang dari 9 setelah resusitasi awal serta kaitannya mengenai manfaat dan penggunaan ventilasi mekanik pada TBI. CEDERA OTAK PRIMER DAN SEKUNDER
Cedera otak primer yang terjadi pada saat trauma hanya dapat dihilangkan dengan pencegahan. Cedera ini meliputi laserasi otak dan hematom yang luas. Cedera sekunder mengacu pada faktor intrakranial dan sistemik yang menyebabkan cedera yang terus berlangsung dan potensial reversibel. Pada beberapa kasus perbedaannya tak begitu jelas, contohnya kontusio otak dan cedera vaskular memiliki komponen mekanik atau nekrotik yang ireversibel dan komponen subseluler yang sebagian reversibel atau apoptosis. Untuk memberikan perawatan yang rasional dan efektif sangat penting untuk memahami mekanikme yang bertanggung jawab pada cedera sekunder. Hingga saat ini sebagian besar terapi ICU telah difokuskan pada kontrol pengendalian intrakranial (TIK) yang meningkat dan mempertahankan tekanan perfusi otak (cranial perfusion pressure/CPP) yang adekuat dan beberapa percobaan obat neuroprotektif belum menunjukkan hasil. Obat neuroprotektif ini mengarah pada konsep yang cukup kontroversial bahwa iskemia adalah penyebab penting kerusakan sekunder setelah cedera kepala. Dari pendekatan ini terlihat bahwa nilai ekstrim TIK yang tinggi dan CPP yang rendah jelas berbahaya, namun pentingnya faktor lain pada batas tekanan yang lain masih belum jelas. Pemahaman mengenai penyebab terjadinya depresi metabolik dalam patofisiologi cedera kepala dapat meningkatkan kemampuan dalam menangani kasus yang berat.1,2,3 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Retnaningsih
TEKANAN INTRAKRANIAL DAN TEKANAN PERFUSI OTAK
Hipertensi intrakranial terjadi pada sekitar 40% pasien yang menderita kehilangan kesadaran traumatik yang persisten dan mortalitasnya meningkat dengan meningkatnya TIK. Pengamatan ini telah membawa ke asumsi logis (namun belum tentu valid) bahwa penurunan TIK menyebabkan perbaikan hasil akhir.1-3 Bagaimana cara peningkatan TIK menyebabkan cedera neurologik belum sepenuhnya dimengerti. Peningkatan TIK pada kondisi hipotensi atau normotensi dapat menghasilkan penurunan CPP dan suplai O2 serta glukosa yang tidak adekuat untuk mempertahankan viabilitas neuronal. Namun, jika ini adalah satu-satunya cara bagaimana peningkatan TIK menyebabkan cedera, maka masalah akan dapat diatasi hanya dengan meningkatkan tekanan darah hingga tingkat yang mencukupi. Analisis terhadap Bank Data Koma Traumatik mendukung konsep bahwa hipertensi intrakranial berbahaya bahkan pada kondisi CCP yang adekuat. Pada analisis regresi multipel peningkatan CPP tetap merupakan prediktor independen untuk hasil akhir yang buruk.1-3 Mekanikme tidak langsung terjadinya kerusakan akibat peningkatan TIK adalah dengan terjadinya perbedaan tekanan. Ketika monitor TIK bilateral dipasang pada pasien dengan lesi massa unilateral, perbedaan TIK antar hemisfer mencapai 15 mmHg. Gradien ini terbentuk sebagai hasil dari lipatanlipatan dural yang membagi ruang intrakranial menjadi sejumlah kompartemen dan kadang-kadang akibat pembesaran ventrikel yang asimetrik. Gradien tekanan ini dapat menghasilkan pergeseran jaringan yang menyebabkan herniasi dan koma.1-3 Tampaknya lebih tepat bila TIK dan CPP diatasi secara bersamaan. Tekanan perfusi otak harus dipertahankan di atas nilai minimal tanpa memandang TIK. Bila diperhitungkan bersama, penelitian terbaru mengindikasikan bahwa ambang ini sekitar 50–60mmHg dan dianjurkan menghindari CPP yang sangat tinggi karena dapat mengeksaserbasi edema dan perdarahan. Batas atas ini sulit untuk ditentukan berdasarkan pengetahuan kita saat ini, namun 90–100mmHg tampaknya masuk akal. Pada saat yang sama, TIK harus diterapi bila ia melebihi 20–25mmHg.1-3 PENGELOLAAN TEKANAN INTRAKRANIAL YANG MENINGGI
Ambang untuk memulai terapi harus ditegakkan dalam pengawasan TIK yang masuk akal. Untuk Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
menentukan ambang ini, dampak dari peninggian TIK terhadap hasil akhir diperiksa dalam setiap 5mmHg (0–80mmHg) sambil mengontrol faktor perancu multipel yang potensial. Analisis data prospektif pada 426 pasien mendapatkan proporsi nilai TIK tiap jam yang lebih besar dari 20mmHg adalah prediktor yang kuat untuk hasil akhir yang buruk. Hal ini, tentu saja, tak menjelaskan dampak dari terapi. Faktanya, pusat-pusat kedokteran yang berbeda-beda dalam penelitian ini menggunakan ambang yang berbeda-beda untuk terapi. Penelitian lain menyatakan bahwa mortalitas turun setelah perubahan ambang terapi dari 20–25mmHg menjadi 1mmHg. Pedoman TBI terkini menyatakan bahwa:1 • terapi TIK harus dimulai pada ambang atas 20– 25mmHg (guideline) dan • interpretasi dan terapi TIK berdasarkan ambang berapapun harus dilakukan melalui pemeriksaan klinis yang sering dan data CPP (option). HIPERVENTILASI
Hiperventilasi telah lama menjadi sarana utama untuk menurunkan TIK. Telah jelas bawa di banyak situasi hiperventilasi akut dapat menurunkan TIK dan memulihkan tanda-tanda herniasi untuk waktu singkat. Yang masih tidak jelas adalah apakah ada dampak terhadap hasil akhir. Hiperventilasi memperbaiki CPP dengan cara menurunkan TIK sehingga dianggap meningkatkan aliran darah otak (cerebral blood floo/CBF). Di lain pihak hiperventilasi menurunkan TIK melalui vasokonstriksi otak yang menurunkan CBF. Pengawasan saturasi bulbus jugular diusulkan sebagai cara untuk mengawasi apakah hiperventilasi berpotensi menimbulkan cedera akibat hipotensi karena desaturasi berulang di bawah 50% telah dikaitkan dengan hasil akhir yang buruk pada pasien TBI.1,2 Hiperventilasi juga mungkin beraksi melalui cara lain untuk mengurangi cedera. Hiperventilasi dilakukan sebagai responss terhadap indikasi klinis herniasi (koma, dilatasi pupil, posturing motorik), hiperventilasi dapat memulihkan tanda-tanda ini. Mekanikme yang bertanggungjawab untuk respons ini masih belum jelas namun mungkin melibatkan perbaikan CBF lokal pada jaringan yang terkompresi atau penurunan regional pada volume otak yang mengalami herniasi dengan pemulihan pergeseran jaringan. Meskipun sudah ada banyak penelitian hiperventilasi pada cedera kepala, hanya ada satu penelitian hasil akhir terkontrol prospektif. Penelitian tersebut membandingkan hiperventilasi 145
Peran Ventilasi Mekanik pada Traumatic Brain Injury
profilaktik kronik hingga PaCO2 sebesar 25mmHg selama 5 hari setelah cedera kepala berat dengan normokapnia. Setelah 6 bulan didapati bahwa skor motorik GCS 4–5 memiliki hasil akhir yang buruk; namun, perbedaan ini tidak bertahan setelah 1 tahun. Secara keseluruhan, kesimpulannya adalah bahwa hiperventilasi profilaktik hanya sedikit bermanfaat bila digunakan dalam jangka waktu panjang dan berpotensi merugikan. Sebuah penelitian prospektif yang lebih baru mendapati bahwa hiperventilasi akut hingga PaCO2 30 dalam 24 jam setelah cedera kepala menurunkan CBF tanpa mengubah metabolisme otak. Hal ini mengindikasikan bahwa hantaran O2 dipertahankan dengan adekuat dengan derajat hiperventilasi ini. Pedoman TBI merekomendasikan bahwa :1 1. Bila tidak ada peninggian TIK, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2< 35mmHg) harus dihindari setelah cedera kepala berat (Standar); 2. Penggunaan hiperventilasi profilaktik (PaCO2< 35mmHg) selama 24 jam pertama setelah cedera kepala berat harus dihindari karena ia dapat mengganggu perfusi otak ketika CBF turun (guideline); 3. Hiperventilasi mungkin dibutuhkan untuk waktu singkat ketika ada perburukan neurologik akut, atau untuk waktu yang lebih lama bila ada hipertensi intrakranial yang refrakter terhadap sedasi, paralisis, drainase LCS, dan diuretik osmotik (option); 4. Saturasi vena juguler, perbedaan konsentrasi oksigen arteri-jugular, dan pengawasan CBF dapat membantu untuk mengidentifikasi iskemia otak bila hiperventilasi, menghasilkan nilai PaCO2< 30mmHg. Dalam sebuah penelitian lanjutan terhadap pasien-pasien dengan TBI berat, perubahan regional pada metabolisme ditentukan sebelum dan sesudah hiperventilasi hingga PaCO2 25mmHg. CMRO2 tidak turun meskipun di daerah di mana CBF turun di bawah 10mL/100 g/menit (jauh di bawah ambang jejas pada strok iskemik). Maka, hiperventilasi akut tampaknya aman dari sudut pandang menyebabkan iskemia. Namun, penelitian ini tidak menjelaskan hasil akhir secara keseluruhan. Pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda herniasi atau perburukan neurologik mendadak, hiperventilasi tampaknya merupakan sarana yang aman untuk menurunkan TIK sementara waktu sambil melakukan evaluasi lebih lanjut dan tindakan lain dilakukan untuk mengontrol TIK. Selain itu, hiperventilasi transien dapat digunakan pada saat gelombang plateau untuk membantu menurunkan TIK.1,2,3
146
PERAN VENTILASI MEKANIK PADA TBI
Penemuan ventilasi mekanik telah menunjukkan dimulainya era perawatan intensif. Ventilasi mekanik diindikasikan pada pasien yang tak mampu memenuhi kebutuhan pernapasannya sendiri atau sebagai alternatif dimana ia dapat digunakan untuk menginduksi hipokapnia pada pasien dengan lesi intrakranial. Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pernapasan dan mempertahankan PaCO2 dalam kisaran normal melalui pernapasan spontan membutuhkan sistem kontrol meduler yang intak, fungsi neuromuskular yang adekuat untuk menggerakkan diafragma dan otot bantu napas, dan VD/VT, VCO2, dan komplians paru dalam batas normal. Seorang pasien dengan fungsi meduler dan neuromuskular yang normal dapat membutuhkan bantuan mekanik ketika patologi paru meningkatkan dead space (VD/VT), menghasilkan retensi karbondioksida atau menurunkan komplians paru, sehingga meningkatkan usaha napas. Usaha napas kemudian dapat meningkat hingga titik yang bahkan pasien normal sekalipun tak dapat memenuhi kebutuhan untuk ekskresi gas. Kecuali pada kasus jarang berupa hipertermia maligna, tampaknya tak mungkin bahwa peningkatan produksi CO2 saja akan menciptakan indikasi untuk ventilasi mekanik; namun demam dapat meningkatkan produksi CO2, tentu saja hal itu akan mengeksaserbasi kondisi apapun yang mendasari. Keputusan untuk memberikan ventilasi mekanik didasarkan pada tampilan klinis pasien, termasuk dispneu, keparahan penyakit paru atau neuromuskular yang mendasari, juga usia, dan PaCO2. Parameter fisiologik lainnya yang dengan sendirinya tidak termasuk indikasi untuk ventilasi namun dalam berbagai penelitian klinis telah terbukti berhubungan dengan kebutuhan akan ventilasi meliputi: kapasitas vital kurang dari 15 hingga 20mL/kg, gaya inspirasi kurang dari -30cmH2O, VD/VT lebih dari 0,6; ventilasi semenit spontan lebih dari 10L/menit, dan ketidakmampuan untuk mencapai ventilasi semenit spontan 20L/menit saat diperintah. Sebaliknya, kemampuan pasien untuk melebihi parameter ini biasanya berkorelasi dengan kemampuan untuk menyapih ventilasi mekanik. Sasaran dari ventilasi mekanik pada pasien ini adalah untuk mempertahankan PaCO2 mendekati normal bagi pasien sambil meminimalkan dampak dari tekanan intratoraks positif pada curah jantung. Hal ini membutuhkan pemeliharaan volume intravaskular yang adekuat, kadang-kadang Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Retnaningsih
Otak CES pH
BASA
kondisi dasar (normokopnia kronik)
BA
SA
Otak CES pH
perubahan tiba - tiba menjadi normokopnia setelah hipokapnia kronik
Otak CES pH
Otak CES pH BASA
A AS
B
hipokapnia akut
Hipokapnia kronik
Gambar 1. pH cairan ekstrasel otak meningkat seiring perubahan PaCO2. Basa mewakili konsentrasi bikarbonat. Konsentrasi asam karbonat, H2CO3, ditentukan melalui PaCO2, yang dengan cepat menyetarakan diri melewati sawar darah otak. Hipokapnia akut menghasilkan alkalosis lokal dan vasokonstriksi. Seiring waktu, pH kembali ke normal, meskipun PaCO2 tetap rendah. Pemulihan mendadak ke PaCO2 normal disertai konsentrasi bikarbonat yang rendah akan menurunkan pH, menghasilkan vasodilatasi.
penggunaan obat vasopresor atau inotropik, dan upaya untuk menjaga tekanan jalan napas positif seminimal mungkin. Hal ini paling baik dilakukan dengan mentitrasi pengaturan ventilator, mirip dengan obat apapun, untuk memenuhi kebutuhan pasien. Frekuensi pernapasan mandas intermiten (IMV/ intermitten mandatory ventilation) dijaga serendah mungkin yang masih dapat menghasilkan PaCO2 dan pH yang adekuat tanpa membebani dengan memaksa pasien untuk membawa proporsi ventilasi semenit yang terlalu tinggi. Ketika ventilator diatur dengan cara ini, penyapihan pada dasarnya dimulai segera setelah bantuan ventilator dimulai. Setelah IMV diturunkan hingga frekuensi satu kali per menit atau satu tiap beberapa menit, upaya pernapasan spontan dengan CPAP dapat dilakukan. Pada pasien yang memulihkan diri dari gagal napas yang serius setelah beberapa minggu, periode percobaan dapat dimulai setelah 24 hingga 48 jam. Pasien yang memulihkan diri dari overdosis obat mungkin membutuhkan percobaan setelah 1 atau 2 jam saja. Pipa endotrakeal dilepas ketika pasien telah berhasil disapih dari ventilator dan tak ada indikasi lainnya untuk intubasi. Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
Ventilator juga merupakan alat yang berguna dalam terapi pasien dengan lesi massa intrakranial baik karena trauma maupun bukan karena trauma, karena dapat menurunkan PaCO2 secara akut sehingga menghasilkan peningkatan mendadak pH cairan ekstrasel otak (CES). Hal ini terjadi karena CO2 menyetarakan diri dengan cepat melewati sawar darah otak, menurunkan konsentrasi asam karbonat (H2CO3) dalam CES otak. Konsentrasi bikarbonat, yang tak melewati sawar darah otak, tidak segera berubah; karenanya, pH CES otak meningkat dengan hipokapnia akut tanpa memandang apa yang terjadi pada konsentrasi bikarbonat arterial (Gambar 1). Dalam beberapa jam konsentrasi bikarbonat mulai turun dan setelah 30 jam pH kembali ke normal. Kemampuan hiperventilasi akut untuk menurunkan TIK kemungkinan karena vasokonstriksi dan penurunan volume darah otak akibat meningkatnya pH. Karenanya, efek menguntungkan dari hiperventilasi semestinya hanya bertahan sebentar. Konfirmasi eksperimental dari hal ini telah dibuktikan oleh Muizelaar dkk, yang membuktikan bahwa arteriol-arteriol pial kelinci mengalami konstriksi 13% ketika PaCO2 diturunkan secara akut 147
Peran Ventilasi Mekanik pada Traumatic Brain Injury
dari 38 menjadi 25mmHg. Vasokonstriksi berkurang sekitar 3% setiap 4 jam selama hiperventilasi. Setelah 20 jam hiperventilasi hingga 25mmHg, diameter pembuluh darah sedikit lebih besar dari diameter awal pada 38mmHg. Setelah 52 jam hipokapnia, diameter pembuluh darah telah kembali menjadi 105% dari diameter awal. Ketika PaCO2 secara akut dipulihkan menjadi 38mmHg, diameter pembuluh darah meningkat menjadi 122% dari diameter awal. Bikarbonat darah dan cairan serebrospinal diturunkan selama periode hiperventilasi, kemungkinan berkontribusi pada vasodilatasi yang dijumpai ketika PaCO2 kembali ke nilai awal. Pada percobaan dengan kucing yang dilukai otaknya perkusi cairan eksperimental, hiperventilasi yang berkepanjangan telah dihubungkan dengan indikasi iskemia otak ringan dan meningkatkan produksi laktat otak. Trometamin intravena (THAM), sebuah obat pem-buffer, bersama dengan hiperventilasi, akan menurunkan laktat otak dan edema. Namun, dalam sebuah penelitian prospektif terhadap pasien cedera kepala, ternyata tidak ada perbedaan hasil akhir setelah 1 tahun trauma di antara pasien yang diterapi dengan hiperventilasi berkepanjangan (PaCO2 = 25mmHg); hiperventilasi ditambah THAM iv; dan kontrol (PaCO2 = 35mmHg). Pada 3 hingga 6 bulan pasca trauma, di antara pasien dengan skor motorik 4 hingga 5, kelompok yang hanya mendapat hiperventilasi memiliki hasil akhir yang lebih buruk dibanding kontrol dan kelompok hiperventilasi ditambah THAM. (Data biokimiawi mengindikasikan bahwa hiperventilasi tak dapat mempertahankan alkalinisasi pada LCS, meskipun THAM dapat). Sehingga “hiperventilasi profilaktik akan buruk bagi pasien cedera kepala dengan skor motorik 4–5. Ketika hiperventilasi berkepanjangan menjadi diperlukan untuk kontrol tekanan intrakranial, efek buruknya dapat diatasi dengan penambahan THAM.” Gambaran kontrol TIK ini masih kontroversial dan belum diterapkan dalam praktek standar; ia harus dipandang dalam konteks pasien per pasien. Ketika menggunakan hiperventilasi dalam terapi peningkatan TIK, beberapa hal harus diingat. Pertama, tidak semua pasien mendapat manfaat dari hiperventilasi dengan derajat yang sama, khususnya dari hiperventilasi bermakna hingga PaCO2 25mmHg atau lebih rendah. Vasokonstriksi cenderung akan menurunkan TIK namun pada titik tertentu dapat mengacaukan perfusi yang adekuat. Juga makin tingginya tingkat hiperventilasi pada umumnya berhubungan dengan lebih tingginya tingkat tekanan jalan napas rata-rata, yang dapat cenderung 148
meningkatkan TIK. Telah dijumpai beberapa pasien yang TIK-nya meningkat ketika PaCO2 diturunkan dari 30 menjadi 25mmHg. Kedua, makin lama pasien mengalami hiperventilasi, apalagi bila lebih dari 24 jam maka makin besar pula penurunan bikarbonatnya. Pada titik ini, peningkatan PaCO2 berapapun, tanpa sebab atau akibat demam atau sebab lainnya, bahkan hingga kadar di bawah kadar normal pasien sebelumnya, dapat menghasilkan penurunan pH otak dan peningkatan TIK. Karena hal ini maka pasien yang mendapat hiperventilasi dengan lesi massa intrakranial harus dengan sangat perlahan-lahan dipulihkan ke PaCO2 normalnya selama 24 hingga 48 jam dengan cara peningkatan frekuensi ventilator secara bertahap. Ketiga, pertimbangan harus diberikan untuk menggunakan hiperventilasi akut sebagai terapi jangka pendek saja, sedangkan tindakantindakan lainnya dilakukan untuk mengontrol TIK. Jika PaCO2 dapat dipertahankan pada kadar normal dan TIK dapat terkontrol, hiperventilasi akut hingga 30mmHg dapat digunakan bila tiba-tiba terjadi peningkatan TIK. Hiperventilasi mendadak dari 40 menjadi 30mmHg berhubungan dengan peningkatan tekanan jalan napas rata-rata yang lebih sedikit dari yang diperlukan untuk membawa pasien dari 30 ke 20mmHg. Idealnya, hiperventilasi dititrasi hingga titik akhir kontrol TIK yang diinginkan yang diukur secara langsung melalui monitor intrakranial. Pengaturan ventilator awal pada situasi akut dan perubahan-perubahan ventilator berikutnya dapat dipandu oleh monitor CO2 end-tidal. Bila tidak ada kerusakan paru yang bermakna secara klinis, PaCO2 pada pasien cedera kepala secara akurat direfleksikan oleh pengukuran CO2 end-tidal, suatu teknik yang kami pilih bila hiperventilasi akan digunakan selama lebih dari 1 atau 2 hari. Meskipun autoregulasi adalah suatu mekanikme sensitif yang tampaknya berubah dengan cedera kepala yang ringan sekalipun, responss aliran darah otak terhadap PaCO2 cenderung dipertahankan kecuali pada cedera kepala berat. Hilangnya reaktivitas karbondioksida dianggap sebagai tanda prognostik yang buruk. Lebih lanjut, reaktivitas karbondioksida dapat berkurang atau menghilang pada hipotensi yang diinduksi secara farmakologik. Komplikasi POSITIF
TEKANAN
JALAN
NAPAS
Penggunaan tekanan positif ke jalan napas, baik melalui tekanan jalan napas positif kontinyu (CPAP) atau melalui ventilasi mekanik cycled volume standar akan mempengaruhi banyak sistem organ dalam Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Retnaningsih
tubuh. Di antaranya adalah adanya efek, produksi hormon antidiuretik terstimulasi, aliran darah renal berkurang dan diredistribusikan sehingga perfusi meduler meningkat, dan produksi urin turun. Di paru, didapati peningkatan total kandungan air. Namun, masalah yang paling bermakna secara klinis yang berhubungan dengan tekanan positif biasanya masuk ke dalam tiga kategori: barotrauma paru (misalnya pneumotoraks), gangguan hemodinamik, dan peningkatan TIK. EFEK VENTILASI TEKANAN POSITIF PADA Tekanan Intrakranial
Tekanan intrakranial dapat meningkat ketika tekanan jalan napas positif kita berikan; namun, efek yang lebih penting kemungkinan besar adalah perubahan tekanan perfusi otak yang disebabkan oleh perubahan-perubahan pada tekanan darah sistemik. Tanpa memandang efek pada tekanan transmural atrial kanan, tekanan vena sentral meningkat saat ventilasi tekanan positif. Seperti telah dibicarakan, bergantung pada komplians paru dan dinding dada pasien, sebagian dari peningkatan tekanan jalan napas ratarata ditransmisikan ke ruang pleura, meningkatkan tekanan vena sentral. Melalui tekanan aliran balik vena dari toraks ke vena jugularis (mengabaikan katup yang membatasi transmisi tekanan) dan dari tekanan yang ditransmisikan lebih langsung ke foramen spinalis dan cairan serebrospinalis di dekatnya, hal ini menghasilkan peningkatan tekanan vena otak yang dapat meningkatkan TIK. Makin besar komplians intrakranial, makin baik pula tantangan volume intrakranial ini ditoleransi. Pasien dengan penurunan komplians intrakranial tampaknya cenderung menunjukkan peningkatan TIK yang bermakna ketika tekanan vena otak meningkat pada saat ventilasi tekanan positif. Apuzzo dkk, meneliti efek PEEP pada 25 pasien dengan cedera kepala berat. Tekanan intrakranial meningkat bermakna pada 12 pasien, semuanya memiliki penurunan komplians yang diukur melalui respons tekananvolume. Tak terjadi peningkatan TIK yang bermakna pada pasien-pasien dengan respons tekanan-volume yang normal. Tekanan perfusi otak turun di bawah 60 mmHg pada 6 dari 12 pasien dengan peningkatan TIK. Aidinis dkk meneliti respons intrakranial terhadap PEEP pada kucing percobaan. Mereka mendapati bahwa PEEP cenderung menurunkan tekanan perfusi otak dan menghasilkan kelainan elektroensefalografik pada kucing dengan paru normal. Pada kelompok kucing yang lain, embolisasi asam oleat ke paru menghasilkan sindrom gawat napas yang ditandai oleh edema paru dan penurunan Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
komplians paru. Kucing ini mengalami penurunan yang lebih ringan pada tekanan perfusi otak dan kelainan elektroensefalografik. Hal ini sesuai dengan pengamatan kami bahwa penurunan komplians paru menghasilkan lebih sedikit transmisi tekanan jalan napas rata-rata ke rongga pleura dan lebih sedikit meningkatkan TIK. Satu kemampuan yang sama dari penurunan komplians paru untuk menumpulkan efek tekanan jalan napas positif pada TIK telah dikemukakan oleh Huseby dkk. Dalam penelitian yang lebih baru, mereka membuktikan bahwa PEEP akan meningkatkan TIK hingga tingkat yang lebih ringan pada binatang dengan hipertensi intrakranial yang telah ada sebelumnya. Mereka mempostulatkan “efek air terjun”. Ketika TIK meninggi, tekanan dalam vena-vena kortikal harus meningkat hingga kadar yang sedikit lebih tinggi untuk mencegah kolaps dan berhentinya aliran darah. Namun, Huseby dkk mempostulatkan bahwa vena-vena penghubung yang menghubungkan vena-vena kortikal ke sinus sagital superior pada kenyataannya memang kolaps, mencegah perubahan tekanan pada sinus sagital agar tidak mempengaruhi vena-vena kortikal. Karenanya, peningkatan tekanan vena yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan jalan napas positif dijumpai pada sinus sagital yang rigid namun tidak pada venavena kortikal. Terkait dengan efek air terjun ini, peninggian kepala pasien semestinya mengurangi sebagian besar dampak dari peningkatan tekanan intratoraks pada TIK karena penambahan tekanan tadi selanjutnya harus melampaui tekanan kolumna LCS pada tulang belakang dan kolumna darah vena agar dapat berdampak pada tekanan intraserebralDalam beberapa jam, konsentrasi bikarbonat mulai turun, dan setelah 30 jam pH kembali ke normal. Kemampuan hiperventilasi akut untuk menurunkan TIK kemungkinan karena vasokonstriksi dan penurunan volume darah otak akibat meningkatnya pH. Karenanya, efek menguntungkan dari hiperventilasi semestinya hanya bertahan sebentar.2,3 Kadang-kadang, pemberian tekanan jalan napas positif akan menghasilkan peningkatan TIK yang melebihi peningkatan tekanan vena sentral. Pada kasus ini, peningkatan tekanan vena serebral saja semestinya tak dapat meningkatkan TIK. Situasi ini kemungkinan disebabkan peningkatan edema otak yang dihasilkan oleh iskemia yang berasal dari penurunan tekanan perfusi otak. Hasil pada penelitian manusia bervariasi. Pada penelitian terhadap 12 pasien cedera kepala, Shapiro dan Marshall mendapati bahwa 6 pasien mengalami peningkatan TIK sebesar 10mmHg atau lebih dengan pemberian PEEP 4 hingga 8cmH2O. Burchiel dkk 149
Peran Ventilasi Mekanik pada Traumatic Brain Injury
meneliti 18 pasien, 16 dengan cedera kepala berat. Sebelas pasien dengan komplians intrakranial yang normal seperti diukur menggunakan respons volume-tekanan tak mengalami perubahan TIK ketika tekanan jalan napas ditingkatkan dengan PEEP. Penurunan komplians intrakranial dan komplians paru yang normal berhubungan dengan peningkatan TIK ketika PEEP diberikan. Dua pasien dengan penurunan komplians otak dan paru tidak menunjukkan perubahan TIK. Para peneliti lainnya telah mendapati penggunaan PEEP sebagai teknik yang aman pada pasien dengan cedera kepala berat dan disertai perlukaan paru. Pada praktek klinis, pemeliharaan oksigenasi yang adekuat sangatlah penting; karenanya, penggunaan PEEP seringkali dibutuhkan pada pasien-pasien cedera kepala berat. Pada setiap pasien, respons intrakranial terhadap pemberian tekanan jalan napas positif dalam besar tertentu tidak dapat diramalkan. Pasien dengan peningkatan komplians paru dan penurunan komplians dinding dada mengalami peningkatan yang terbesar pada tekanan intrapleura dan karenanya juga tekanan vena serebral. Bila pasien ini meninggalkan penurunan komplians intrakranial, maka TIK kemungkinan besar akan meningkat sebagai hasil dari tekanan jalan napas positif. Pada praktek klinis, sangat penting untuk mengamati tidak hanya respons TIK namun, yang lebih penting adalah perubahan pada tekanan perfusi otak. Sama seperti pemberian tekanan positif yang menekan tekanan arterial sistemik, penarikannya secara mendadak dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah secara mendadak dan kadang-kadang juga peningkatan TIK secara mendadak. Ini adalah salah satu alasan supaya dihindari melepas pasien dari ventilator berulangulang untuk melakukan pengukuran tekanan hemodinamik dan juga harus selalu diingat ketika melakukan tindakan seperti penghisapan endotrakeal dan membersihkan peralatan pernapasan.2,3 Pernapasan konvensional akan meningkatkan tekanan jalan napas secara ritmik, menghasilkan tekanan puncak pada inspirasi yang secara bermakna lebih besar daripada tekanan jalan napas rata-rata. Ventilasi frekuensi tinggi (High Frequency Ventilator/ HFV), yang juga disebut ventilasi jet, memungkinkan pernapasan untuk dicapai pada tekanan jalan napas yang hampir konstan, setara dengan tekanan jalan napas rata-rata yang dibutuhkan dengan pernapasan konvensional. Secara teoritis, menghindari puncak ini pada tekanan jalan napas dan puncak TIK yang berkaitan akan menguntungkan. Dalam sebuah percobaan prospektif terandomisasi tentang ventilasi mekanik konvensional dan HFV di 150
antara populasi umum pasien unit perawatan intensif bedah cedera kepala yang berisiko mengalami gagal napas akut, Hurst dkk, mendapati bahwa pasien dengan HFV dipertahankan pada kadar tekanan jalan napas rata-rata dan tekanan jalan napas positif kontinyu yang lebih rendah, namun tak ada perbedaan yang bermakna pada hasil akhirnya. Pada penelitian lainnya oleh kelompok yang sama, pasien dengan cedera kepala dan gagal napas akut pada awalnya dikelola dengan ventilasi mekanik konvensional. Mereka kemudian diubah ke ventilasi perkusif frekuensi tinggi (High Frequency Percussion Ventilator/HFPV), 240–480 siklus/menit. Oksigenasi yang memuaskan didapatkan pada sekitar separuh dari tingkat tekanan jalan napas positif kontinyu dan tekanan inspirasi puncak dibanding ventilasi konvensional. HPFV menghasilkan penurunan TIK yang bermakna secara statistik pada pasien-pasien ketika TIK tetap lebih tinggi dari 15mmHg meskipun telah diberi penatalaksanaan medis yang optimal. Namun, beberapa penelitian telah membandingkan HFV dengan ventilasi konvensional dan mendapati tidak ada perbedaan yang bermakna pada aliran darah serebral, tekanan perfusi otak, atau TIK. Hanya satu laporan kasus yang menunjukkan penurunan TIK pada seorang anak laki-laki usia 12 tahun dengan cedera kepala berat ketika HFV digantikan dengan ventilasi mekanik. Saat ini, belum ada bukti yang meyakinkan dan konsisten bahwa HFV memperbaiki hasil akhir setelah cedera kepala berat bila dibandingkan dengan ventilasi mekanik, namun tampaknya penggunaannya setidak-tidaknya aman pada kondisi dengan TIK yang meninggi.2,3 Daftar Pustaka 1. Allan HR, Daryl RG, Michael ND, Deborah MG, Stephan AM, Thomas PB. Head injury, neurological and neurosurgical intensive care, 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins. 2004. p. 189–205. 2. John AP. Paul JF. Harold KK, Pathophysiology of Traumatic Brain Injury, Neurosurgery, second edition, volume II. Mc Graw-Hill Companies. 1996; 2623–37. 3. Anthony M, Ph D, Kamran T, MD. Intracranial pressure: physiology and pathophysiology, head injury, 2nd ed, Williams & Wilkins. 1987. p. 159–76. 4. D Hanley, Intrakranial hypertension: intensive care manual, fourth edition, Butterworth Heinemann. 1997.p. 395–402. 5. Haddad and Arabi Critical care management ofsevere traumatic brain injury in adults. Scandinavian Journal of Trauma,Resuscitation and Emergency Medicine. 2012; 20:12 Majalah Kedokteran Terapi Intensif
Retnaningsih
6. Apezteguia C, Desmery P, Hurtado J, Abroug F, Elizalde J, Tomicic V, Cakar N,Gonzalez M, Arabi Y, Moreno R, Esteban A; for the Ventila Study Group: management and outcome of mechanically ventilated neurologicalpatients. Crit Care Med. 2011; 39: 1482-1492.
Volume 2 Nomor 3 Juli 2012
7. Gonzalvo R, Martí-Sistac O, Blanch L, LópezAguilar J: Bench-to-bedsidereview: brain-lung interaction in the critically ill: a pending issue revisited.Crit Care. 2007; 11: 216. 8. Pelosi P, Severgnini P, Chiaranda M: An integrated approach to prevent andtreat respiratory failure in brain-injured patients. Curr Opin Crit Care. 2005; 11: 37-42
151