Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
PERAN SWAT KEINDUKAN TERHADAP PENURUNAN ANGKA KEMATIAN ANAK DOMBA SEGERA SETELAH KELAHIRAN 1 GEDE PUZU
Balai Peneftian Ternak, P.D. Box 221, Bogor 16002
RINGKASAN Produksi anak sampai umur sapih merupakan tujuan utama dari program pemuliabiakan ternak domba. Sedangkan efisiensi produksi anak dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya breed, umur induk, kondisi pakan serta jumlah anak perkelahiran. Salah satu faktor yang belum banyak diteliti di Indonesia adalah peranan sifat keindukan terhadap kemampuan hidup anak sampai disapih . Periode kritis untuk terbentukuya suatu jalinan yang permanen antara induk clan anak adalah 48 jam pertama segera setelah kelahiran . Pada saat ini diperlukan suatu kemampuan induk untuk menjalin ikatan clan mempertahankannya sampai anak bisa berdiri sendiri terutama pada induk dengan kelahiran kembar atau lebili . Kondisi pakan pada akhir masa kebuntingan clan sampai masa laktasi mempunyai penganih terhadap sifat keindukan yang pads akhimya mempengaruhi angka kematian anak. Dengan demikian sifat keindukan yang baik bisa dipergunakan sebagai salah satu kriteria dalam program seleksi talon induk untuk meningkatkan efisiensi produksi anak clan menurunkan angka kematian anak 48 jam segera setelah kelahiran . Tujuan tinjauan pustaka yang disajikan pada makalah ini adalah untuk memberikan konfrrmasi bahwa sifat keindukan atau kemampuan induk memelihara anak kembar atau lebih sangat diperlukan karena sampai saat ini angka kematian anak kembar lebih tinggi dibandingkan anak kelahiran tunggal . Kata kunci : Sifat keindukan, kematian anak. domba, tipe kelahiran PENDAHULUAN Pada beberapa tamn terakhir terjadi peningkatan konsumsi daging bagi masyarakat Indonesia secara drastis . Pasokan daging berasal dari daging sapi, kerbau, kambing, domba clan unggas serta aneka ternak . Untuk mengoptimalkan peranan ternak domba dalam memberikan kontribusi terhadap peningkatau kebutuhan daging nasional terutama dalam mengantisipasi era globalisasi maka diperlukan suatu usaha untuk memanfaatkan potensi ternak domba di Indonesia . Tingkat produksi anak domba oleh suatu kelompok ternak ditentukan oleh jumlah anak yang lahir clan disapilr clan lial ini bervariasi pada setiap kelompok karena ditentukan oleh adanya perbedaan jumlah anak per kelahiran (litter size) clan angka kematian anak dari saat lahir sampai disapih . Tingginya angka kematian anak tidak saia clapat inenurunkan produksi daging clan bulu (wool) tetapi juga potensi untuk seleksi bibit unggul sebagai pengganti induk maupun pejantan . Oleh karena itu maka tinjauan pustaka ini bertujuan untuk mempelajari peranan beberapa faktor yang mempengaruhi angka kematian anak terutama peranan sifat keindukan terhadap jalinan antara induk clan anak yang pada akhimya secara nyata mempengaruhi angka kematian anak. Tinjauan pustaka ini dibagi menjadi beberapa bagian yang dimulai dari faktor yang mempengaruhi angka kematian, pembentukan sifat keindukan, peranan hormon pada scat kelahiran clan pembentukan sifat keindukan, pengenalan oleli induk maupun anak clan strategi 437
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
untuk menurunkan angka kematian anak yang pada akhirnya bertujuan untuk ineningkatkan jumlah anak yang disapih serta pendapatan peternak . FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANGKA KEMATIAN ANAK SEGERA SETELAH KELAHIRAN 1. Bobot lahir Bobot lahir dari anak yang; dilahirkan merupakan suatu refleksi dari faktor genetik, induk clan faktor lingkungan serta jumlah anak perkelahiran . Anak dengan bobot lahir tinggi terutama untuk kelahiran tunggal biasanya diikuti dengan dystocia (McFARLANE, 1961 ; MULLANEY, 1969 ; RIGHT dan JURY, 1970; CURLL et al ., 1975; DENNIS 1974; DALTON et al., 1980; MCMILLAN, 1983) dan kesulitan kelahiran atau memperpanjang waktu kelahiran (McFARLANE, 1961; PURSER dan YouNci, 1964) yang pada akhirnya dapat meningkatkan proporsi jumlah induk yang mengabaikan anaknya segera setelah kelahiran (ALEXANDER, 1964). Akan tetapi sebaliknya, anak yang lahir dengan bobot lahir yang rendah pada umumnya mempunyai kondisi badan yang lemah (ALEXANDER, 1964) dan mendapatkan kesulitan untuk mencari puting susu dari induk untuk mendapatkan susu kolostnun beberapa jam setelah kelahiran (BAREHAM, 1976) . Pada saat anak dengan bobot badan rendah lalur pada kondisi iklinl yang tidak baik seperti suhu rendah clan hujan lebat maka anak tersebut cendenmg untuk menderita kelaharan (ALEXANDER, 1962b; SMITH, 1964 ; DALTON et al ., 1980) yang pada akhirnya menyebabkan kematian (ALEXANDER, 1964 dan DAVIES, 1964) . Tabel 1. Bobot lahir clan lama tingkah laku melahirkan pada domba Jawa dengan prolifikasi berbeda Deskripsi Junilahinduk Litter size Bobot lahir anak (kg) Induk merejan sampai lahir Anak divulva sampai lahir Lahir sampai induk berdiri Lahir sampai membersilikan anak (menit) Lahir sampai induk berdiri Lahir sampai anak menyusu
Rendah 10 I' l ± 0,1 2,7 ± 0,2 26,1 ± 0,4 16,7 ± 4,9 0,9 ± 0,5
Prolifikasi Medium 11 1,9 ± 0,2 2,2 ± 0,1 31,5 ± 5,7 9,4 t 5,7 0,5 ± 0,1
Tinggi 14 2,3 ± 0,2 1,9 ± 0,2 25,4 ± 7,2 0,8 t 3,4 1,0 ± 0,3
1,3 ± 0,4 21,1 ± 3,1 39,1 ± 4,3
0,8 t 0,1 20,7 f 2,7 43,7 ± 3,4
0,9 ± 0,2 22,6 f 2,6 43,3 ± 4,7
Sumber : SUTAMA dan INOUNU (1993)
SI4atu hasil penelitian dilaporkan oleh BEETSON clan LEWER (1985) yang mempelajari hubungan antara bobot lahir dan kemampuan hidup sampai disapih pada anak domba Booroola Merino . Dilaporkan bahwa perbedaan bobot lahir antara anak yang hidup sampai disapih 300 gram lebih berat diandingkan dengan anak yang mati . Sedangkan variasi bobot lahir untuk anak domba yang mempunvai kemampuan hidup tergantung pada breed domba tersebut. Untuk anak domba Merino, bobot lalur yang optimum berkisar antara 3,0 sampai 4,5 kg (ALEXANDER clan PETERSON, 1961 ; LAX dan 438
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997 BROWN, 1968 ; MULLANEY, 1969 ; BEETSON dan LEWER, 1985) . Akan tetapi pada breed domba lainnya seperti Corriedale, Polwarth, Blackface, Finnish Landrace, Border Leicester dan Romney menunjukkan kisaan yang lebil) besar yaitu antara 2,7 sampai 5,0 kg (PURSER dan YOUNG, 19(A ; SMITH, 1964 ; MULLANEY, 1969 ; MAUND dan DUFFELL, 1977 dan MCMILLAN, 1983) . Penelitian tingkah laku induk pada scat mclahirkan anak dilaporkan oleh SUTAMA dan INOUNU (1993) dengan mempergunakan domba Jawa dengan galur prolifikasi yang berbeda . Dilaporkan bahwa induk dengan prolifikasi rendah mempunyai bobot lahir anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan prolifikasi tinggi . Hal ini diikuti oleh kesulitan mclahirkan sehingga induk memeriukan waktu yang lebih lama untuk berdiri dan membersihkan anaknya setelah lahir (label 1) . PRIYANTO et al. (1992) rnelaporkan bahwa bobot lahir anak dengan dua manajemen pemeliharaan yaitu induk dikandangkan dan digembalakan di daerah Cirebon selama tiga tahun dimana bobot lahir anak yang dikandangkan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan yang digembalakan (label 2) . Tabel 2. Bobot lahir domba pada dua macam n)anaiemen yang berbeda Peubah
n
Dikandangkan
Digembalakan
Rataan ± SD (kg)
n
Rataan t SD (kg)
2,2 t 0,9
30
2,3 t 1,2 2,6 t 1,2 1,8 t 0,7
31
1,9 t 0,9 2,0 f 0,9 2,1 t 0,9
Bobot lahir Jantan Betina
34 40
Tunggal Kembar
38 33
Sumber :
PRIYANTo et al.
41 40
1,7 t 0,7
(1992)
2. Jumlah anak perkelahiran Adalah suatu kesepakatan umum balnv-a efisiensi produksi anak ditentukan oleh jumlah anak perkelahiran (litter size) . Akan tetapi hangs diingat bahwa jun)lah anak perkelahiran yang lebih dari satu diilniti dengan bobot lahir yang lebih rendah (DAVIES, 1964 ; SMITH, 1977 ; MAUND dan DUFFELL, 1977) dan dengan kemampuan untuk hidup yang juga lebih kecil dibandingkan dengan kelahiran tunggal (HIGHT dan JURY, 1970 ; MAUND dan DUFFELL, 1977 ; HrNCH et al., 1983 dan BRADFORD, 1985 ; SUBANDRIYO et al., 1981 ; TIESNAMURTI el al., 1983 ; SUBANDRIYO, 1990; PUTU, 1995) sehingga pads akhirnya diperlukan adanya analisa ekonomi diantara kedua jenis kelahiran tersebut .
Suatu penelitian dilaporkan BEETSON dan LEWER (1985) bahwa anak dengan bobot lahir diatas 3,0 kg dengan tipe kelahiran lebill dari satu mempunyai kemampuan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan anak kelahiran thu)ggal pada bobot lahir yang sama . Akan tetapi, PURSER dan YOUNG (1964) dengan mempergunakan Scottish Blackface dan DALTON et al. (1980) dengan breed New Zealand melaporkan bahwa kemampuan hidup antara anak yang lahir Tnggal dan multiple adalah tidak berbeda secara nyata pada kisaran bobot lahir yang sama .
SeminarNasional Peternakan dan Veteriner 1997
3 . Umur induk dan paritas Proporsi kematian anak yang lahir dari induk yang lebih tua dilaporkan lebih -rendah dibandingkan dengan induk yang much . Hasil penelitian dilaporkan oleh PURSER clan YOUNG (1959) dengan domba Welsh Mountain bahwa angka kematian anak menurun dari 17 persen menjadi 9 persen dengan peningkatan umur induk dari dua tahun menjadi empat tahun. Begitu juga halnya pada domba Romney yang dilaporkan oleh RIGHT dan JURY (1970) clan domba Merino oleh (TURNER dan DOLLING, 1965) . Terdapat beberapa alasan tingginya angka kematian anak yang iahir clan induk muda diban ingkan dengan induk yang lebih tua diantaranya disebabkan oleh bobot lahir yang rendah (PURSER dan YOUNG, 1964) dan kesulitan kelahiran (Mc FARLANE, 1961) . Angka kematian anak menurun seiring dengan meningkatnya umur induk sampai mencapai umur maksimum tujuh tahun (MCDONALD, 1966 ; BICHARD clan COOPER, 1966) dan selanjutnya angka kematian anak meningkat kembali dari 15 persen pada induk dengan umur tujuh tahun menjadi 21 persen pada induk dengan umur lebih dari delapan tahun (LAX dan TURNER, 1965) . Pada perkawinan yang intensif yaitu dua kali setahun ternyata bahwa angka kematian anak antara induk yang melahirkan anak pada periode sebelumnya tidak berbeda nyata dengan induk yang tidak melahirkan anak yaitu 7% vs 11% (Ptrru, 1995b) . 4 . Pengaruh cuaca Kondisi cuaca yang ekstrim pada saat kelahiran anak seperti curah hujan yang meningkat dari 5 - 26 nun dapat mempenganrhi angka kematian anak seperti telah dilaporkan oleh OBST clan DAY (1968) . Selain itu kecepatan angin yang meningkat dari 15 sampai 26 km/jam (OBsT clan DAY, 1968 ; ALEXANDER et al.. 1980) dan rendahnya suhu udara di bawah 5 °C (ALEXANDER et al ., 1980) merangsang terjadinya peningkatan angka kematian anak segera setelah kelahiran . Pada kondisi seperti ini biasanya anak domba masih mampu memanfaatkan 20% dari cadangan energi dalam tubuhnya setarna empat jam pertaina setelah kelahiran . Akan tetapi, setelah lebih dari empat jam maka kemampuan anak untuk berdiri sendiri dan mendapatkan puting susu induknya berkurang secara drastis (ALEXANDER clan PETERSON, 1961 ; ALEXANDER dan WILLIAM$, 1966) . Angka kematian anak kelahiran kembar dapat diturunkan sampai 25 - 34 persen pada kondisi ini dengan menempatkan di bawah naungan pada seat melahirkan anak seperti dilaporkan oleh WATSON et al. (1968) dan ALEXANDER et al. (1980) . Suhu udara yang sangat rendah secara berkepanjangan pada saat kelahiran dapat menyebabkan 30 persen anak mati karena menderita hypothermia. Hypothermia dapat dibedakan menjadi 1 . kematian anak karena kehilangan panas tubuh yang berlebihan selama 5 jam pertama setelah kelahiran (ALEXANDER. 1962b ; EALES dan SMALL, 1980) clan 2 . hypothermia yang diikuti oleh kelaparan clan rendahnya panas badan setelah 6 sampai 36 jam setelah kelahiran (EALEs et al ., 1980 ; EALES et al ., 1982a) . Akan tetapi angka kematian anak yang disebabkan oleh hypothermia bisa ditekan dengan penyuntikan 10 ml cairan glukose 20 persen ke dalam peritonium (EALES et al ., 1982b) . 5 . Sifaf keindukan Pengaruh sifat keindukan terhadap angka kematian anak segera setelah kelahiran terutama disebabkan oleh abnormalitas sifat keindukan pads saat kelahiran dan lamanya waktu induk berada 440
Seminar Narional Peiernakan dam Veterimer 1997
di tempat melahirkan anak (birth site). Pada saat -induk melahirkan anak di lapangan, beberapa penelitian telah dilaporkan bahwa angka kematian ,anak-sebagian besar terjadi selama dua atau tiga hari pertama setelah kelahiran (WATSON, 1957 ; MAUND :dan. DUFFELL, 1977 ; DALTON et al., 1980 ; PUTU, 1981) . Selama beberapa jam pertama kelahiran, anak tergantung sepenuhnya kepada kemampuan induk untuk memeliharanya . Pada saat ini terjadinya suatu ikatan yang kuat antara induk dan anak dimana induk menjilati anak dan hanya mau menyusui anaknya sendiri . Beberapa induk memperlihatkan sifat keindukan yang abnormal dimana induk tidak mau menjilati atau membersihkan dan menyusui anaknya . Akan tetapi malah menendang dan akhirnya meninggalkan anaknya sendiri . Sifat keindukan seperti ini sangat berpengaruh terhadap tingginya angka kematian anak terutama kelahiran kembar atau lebih (WALLACE, 1948 ; MOULE, 1954 ; McHUCH dan EDWARDS . 1958 : dan ALEXANDER, 1964) . Induk yang bane pertama melahirkan anak, cenderung untuk memperlihatkan sifat keindukan yang abnormal dibandingkan dengan induk yang sudah melahirkan anak lebih dari satu kali yang pada akhimva mengadakan anaknya sendiri (ALEXANDER dan PETERSON, 1961 ; ALEXANDER, 1964) . Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu kelahiran yang lama sehingga induk tidak mampu untuk berdiri dan membersihkan anaknya (SHARAFELDIN et al., 1971 ; SHELLY (1970) . Selain itu abnormalitas sifat keindukan terjadi pada saat beberapa induk melahirkan anak kembar pada tempat yang sarna sehingga induk mendapat kesulitan untuk mengenali dan menjaga hubungan dengan salah satu anaknya sendiri sehingga hal ini dapat meningkatkan angka kematian terutama anak yang tidak sempat mendapat perbakan serius dari induknya. SUTAMA dan BUDIARSANA (1995) mengadakan observasi terhadap sifat keindukan pada domba ekor gemuk yang melahirkan anak dua kali dimana terlihat bahwa sifat keindukan mengalami. perbaikan pada kelahiran yang kedua dibandingkan dengan kelahiran pertama baik untuk kelahiran tunggal maupun kembar seperti waktu induk membersihkan anak dan waktu induk untuk berdiri setelah melahirkan (label 3). Tabel 3. Lama waktu melahirkan induk domba pada saat beranak pertarna dan kedua Deskripsi Merejan sampai lahir Anak divulva sampai lahir Lahir sampai membersihkan Lahir sampai induk berdiri Lahir sampai anak berdiri Lahir sampai anak menyusu
Rata-rata interval (menit) Beranak_pertama Beranak kedua Tunggal (14) Kembar (5) Tunggal (12) Kembar (13) 42,2 t 6,8 39,0 t 12,7 21,3 t 4,9 25,3 t 4,4 ' 19,5 t 3,6 7,9 t 1,8 11,2 t 2,8 6,7 t 1,4 0,8 t 0,5 1,9 t 0,9 0,3 t 0,1 1,4 t 0,6 1,2 t 0,6 4,4 f 1,4 0,9 t 0,3 1,3 t 1,5 30,3 t 8,2 46,0 t 9,1 14,9 t 1,6 30,4 t 2,9 52,9 t 9,7 79,3 t 5,7 34,3 t 3,4 66,2 t 6,6
Sumber : SUTAMA dan BUDIARSANA (1995)
ALEXANDER et al. (1983) melahorkan bahwa kejadian terpisahnya anak dengan induk pada saat beberapa jam setelah kelahiran dipengaruhi oleh waktu tinggal di tempat melahirkan anak (birth site). Dilaporkan juga bahwa kejadian perpisahan anak dengan induknya bertambah dengan berkurangnya waktu tinggal di tempat melahirkan. Terlihat bahwa waktu tinggal di tempat melahirkan anak bervariasi di antara breed dimana domba Merino tinggal di tempat melahirkan lebih singkat dibandingkan dengan crossbreed Border Leicester (STEVENS et al., 1984) atau domba
Senunar Nasional Peternakan dan Vetertner 1997
Romney (ALEXANDER et al ., 1983) . Begitu juga hanya umur induk dan paritas yang mempunyai pengaruh terhadap waktu tinggal di tempat melahirkan seperti dilaporkan oleh ALEXANDER et al ., 1984 dimana induk yang melahirkan untilk pertama kali tinggal di tempat melahirkan 4 jam lebih lama dibandingkan dengan induk yang melahirkan anak lebih dari satu kali, begitu jugs induk yang melahirkan anak kembar tinggal di tempat melahirkan 1,5 jam lebih lama dibandingkan dengan induk dengan anak tunggal . ALEXANDER et al. (1983) menyimpulkanbahwa induk dengan anak lebih dari satu ekor seharusnya tinggal di tempat melahirkan sekitar 4 - 6 jam untuk dapat mengurangi kejadian perpisahan antara induk dengan salah satu anak kembarnya. Akan tetapi berbeda dengan kambing yang tinggal di tempat melahirkan sekitar 9 - 32 jam dan selama periode tersebut induk meninggalkan tempat melahirkan selama 2-3 menit untuk meminum air (LICKLITER, 1985) . Kondisi persediaan pakan hijauan di sekitar lapangan (pasture) juga mempunyai pengaruh terhadap waktu tinggal di tempat melahirkan . Pada saat pakan hijauan di sekitar tempat melahirkan tersedia banyak maka induk yang baru melahirkan anak akan tinggal lebih lama di sekitar tempat melahirkan dibandingkan dengan persediaan pakan hijauan yang terbatas, karena induk akan mencari pakan ke tempat yang agak jauh sehingga meninggalkan tempat melahirkan dalam waktu yang singkat (HOLST, 1980) . Induk dewasa tinggal di tempat melahirkan lebih lama dibandingkan dengan induk muda (O'BRIEN, 1984) yang disebabkan oleh kondisi badan induk dewasa biasanya lebili baik sehingga mampu menyusui anaknya dalam kondisi pakan yang terbatas . Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa waktu tinggal di tempat melahirkan (birth site) mempunyai pengaruh nyata terhadap kuatnya ikatan batin antara induk dan anak terutama anak kelahiran kembar atau lebih. Pada kondisi peternakan di Indonesia dimana induk dibandangkan pada saat melahirkan anak maka secara teori kejadian perpisahaan antara induk dewasa dengan anak akan berkurang . PEMBENTUKAN SIFAT KEINDUKAN 1. Sifat keindukan sebelum kelahiran anak Terbentuknya jalinan batin antara induk dan anak telah dimtdai dari saat terjadinya pembuahan sel telur oleh sel spermatozoa, pertautan janin di dalam uterus, saat kelahiran sampai menyusui dan berakhir pada saat anak disapili dari induknya . Pada saat kebuntingan induk sudah memberikan makanan kepada janin melalui pembuluh darah yang menuju ke placenta (WALLACE, 1949 ; ALEXANDER, 1960; ARNOLD dan MORGAN, 1975). Pada akhir masa kebuntingan induk memperlihatkan tingkah laku seperti istirahat lebih banyak, berjalan, mengembik, menjilati tanali dan memisallkan diri dari kelompoknya . Sedangkan tanda-tanda fisiologi ditunjukkan dengan keluarnya kantong cairan amnion. FRASER (1968) melaporkan bahwa domba Suffolk dan Cheviot di Inggris menunjukkan tingkah laku clan gejala fisiologi masing-masing 32 dan 48 persen . Sedangkan ARNOLD dan MORGAN (1975) melaporkan pada domba Merino di Australia bahwa 63 persen induk menunjukkan tingkah laku menjelang kelahiran dan 70 persen menunjukkan gejala fsiologi antara 14 jam sampai 10 menit sebelum kelahiran . Induk memisahkan dirinya sendiri dari kelompoknya antara 15 hari dan 4 jam sebelum kelahiran (SMrrH, 1965; SHILLI'ro clan HoYLAND, 1971; ARNOLD dan MORGAN, 1975; HoLmEs, 1976; ALEXANDER el al., 1979 ; GoNYOU clan STOCKEY, 1985). Induk memilill tempat untuk melahirkan 442
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
(birth site) di tempat yang sepi tanpa gangguan induk lainnya dengan tujuan untuk dapat menjalin hubungan yang erat dengan anaknya . Pemilihan tempat melahirkan oleh induk kambing liar didasarkan pada beberapa hal yaitu tempat yang biasa dipergunakan untuk tidur dimalam hari dengan kecepatan angin serta intensitas sinar yang rendah (O'BRIEN, 1983). Sifat keindukan beberapa jam sebelum kelahiran merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ikatan batin antara induk dan anak terutama pada kelompok induk dalam jumlah besar sebagai hasil synchronisasi (WELCH dan KILGOUR, 1970 ; KiLGOUR et al., 1976) . Hasil observasi ARNOLD dan MORGAN (1975) menunjukkan bahwa 21 persen induk dalam satu kelompok memperlihatkan sifat keindukan sebelum melahirkan anak seperti menjilati anak yang dilahirkan o1eh induk lainnya dalam kelompok yang sama dan berusaha untuk mengadopsi anak tersebut. Kejadian sifat keindukan sebelum melahirkan muncal antara 8 jam dan 2 jam sebeltun melahirkan anaknya sendiri . (SHELLY, 1970; ARNOLD dan MORGAN, 1975). ALEXANDER (1960) melaporkan bahwa 2 persen induk berumur 5-6 tahun menunjukkan sifat keindukan 2 minggu sebelum melahirkan dan proposri ini meningkat menjadi 10 persen selama 12 jam sebelum melahirkan anaknya sendiri . Sifat keindukan sebelum melahirkan anak dilaporkan ada hubungan era( dengan rangsangan dari cairan amnion . LEvY el al. (1983) menyatakan bahwa terangsangnya seekor induk dengan cairan amnion dari induk lain yang sedang melahirkan anak adalah sebagai tahap awal dari terbentuknya ikatan batin antara induk dengan anak (POINDRON et al., 1984) terutama pada induk yang baru melahirkan anak pertama kali (LEvy dan POINDRON, 1987). 2. Sifat keindukan saat kelahiran anak Lamanya proses kelahiran yang dimulai dari adanya gejala gelisah sampai anak lahir dan berada dilantai adalah bervariasi antara 1 menit sampai 3 jam (WALLACE, 1949; SHARAFELDIN et al., 1971) . Pada induk dengan kelahiran kembar, maka kelahiran anak kedua lebih singkat dibandingkan dengan anak pertama (ARNOLD dan MORGAN, 1975) . Hal ini disebabkan karena kelahiran anak pertama sudah merintis jalan kelahiran dengan memecahkan placenta dan keluarnya cairan amnion . Waktu yang dibutuhkan oleh induk untuk segera berdiri setelah kelahiran bervariasi tergantung lmnya proses kelahiran . SHELLY (1970) melaporkan bahwa waktu kelahiran untuk induk muda adalah 33 menit, sedangkan induk dewasa memerhtkan waktu 37 menit. Induk mulai menjilati anaknya segera setelah lahir dan berada ditanah (HERSHER et al., 1963). Menjilati anak oleh indttknya dimmlai dari arch kepala pindah ke bagian belakang sampai terakhir ekor. Induk menjilati anaknya secara intensif segera setelah kelahiran clan mentirun dari 75 persen pada 15 menit pertanta menjadi 10-15 persen pada saat 4 jam setelah kelahiran (BAREHAM, 1976) . Kegiatan menjilati anak segera setelah kelahiran dilaporkan dapat merangsang pernafasan yang dimulai dari kepala dan menghilangkan cairan amnion yang melekat pads anaknya . GUBERNICK (1980) melaporkan bahwa kegiatan menjilati anak oleh induk dilaporkan sebagai kegiatan "labelling" anaknya untuk proses pengenalan selanjuinya. Akan tetapi proses menjilati anak oleh indttknya akan tertunda apabila si induk mengalami proses kelahiran yang panjang atau kesulitan melahirkan sehingga perlu waktu yang lama untuk berdiri setelah melahirkan (ALEXANDER, 1960; ARNOLD dan MORGAN, 1975). Untuk induk dengan kelahiran kembar, kegiatan menjilati anak pertaina lebih intensif dibandingkan anak kelahiran berikutnya (HoLMEs, 1976). POINDRON et al. (1980a) melaporkan dari hasil penelitiannya bahwa induk yang mendekati saat-saat kelahiran sangat tertarik pada anak yang baru lahir dari induk lainnya dibandingkan, dengan anak yang sudah lahir 12 - 24 jam . POINDRON dan LENEINDRE (1980) melaporkan bahwa induk dapat menerima anak yang baru lahir dari induk lainnya dan menolak anaknya sendiri setelah dipisahkan 12 jam setelah kelahiran . SMITH et al. (1966) member kan 44 3
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
kesempatan kepada induk yang baru melahirkan anak untuk menjilati anaknya selama 20-30-menit dan selanjutnya dipisahkan . Disimpulkan bahwa waktu 20-30 menit sudah cukup untuk menjalin ikatan batin antara induk dan anak dan merupakan waktu yang paling sensitif yang diperlukan induk untuk memelihara anaknya sampai saat disapih . 3. Sifat keindukan setelah kelahiran anak Tingkah laku baik induk mapun anak pada beberapa jam pertama setelah kelahiran adalah sangat penting dalam pembentukan jalinan ikatan batin keduanya (LENT, 1972). Apabila jalinan hubungan kedua belah pihak telah terjadi selanjutnya induk membentuk suatu tingkah laku untuk membedakan antara anaknya sendiri dengan anak dari induk lainnya. Abnormalitas tingkah laku pada saat ini mengakibatkan terjadinya perpisahan antara anak dan induk secara permanen dan selanjutnya diabaikan oleh induknya . Pada induk dengan anak lebih dari satu, diperlukan sifat keindukan yang sempurna karena beberapa induk sering meninggalkan salah satu anak kembarnya dan merasa sudah cukup bila diikuti oleh salah satu anak kembarnya yang mengakibatkan anak yang ditinggalkan induknya mengalami kematian (ALEXANDER et al., 1980 ; STEVENs et al., 1982). Kejadian perpisahan antara induk dan anak setelah kelahiran disebabkan oleh abnormalitas tingkah laku baik induk maupun anaknya . Selama beberapa jam pertama setelah kelahiran induk memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menyusu secara bebas (EWBANK, 1967). Frekuensi menyusu pada jam pertama kelahiran dilaporkan sebanyak 14 kali per jam yang selanjutnya menurun menjadi 3 kali per-jam setelah 24 jam kelahiran (BAREHAM, 1976) dan setelah berumur 2 hari frekuensi menyusu menjadi 1 atau 2 kali per jam (GRAVES et al ., 1977), sedangkan lama menyusu antara anak kelahiran tunggal dan kembar tidak berbeda nyata (STAPLETON et al., 1980). Kuatnya ikatan antara anak dan induk setelah kelahiran bisa diukur dari dekatnya jarak antara anak dan induk pada setiap kesempatan . Selama lima hari pertama setelah kelahiran anak biasanya berada dalam jarak tidak lebih dari 5 meter dan jarak ini bertambah dengan bertambahnya umur anak tersebut (MCBRIDE et al., 1967). MORGAN dan ARNOLD (1974) melaporkan ballwa selalna empat minggu pertama setelah kelahiran, 56 persen anak berada dalam jarak 10 meter dari induknya din hanya 6 persen berada dalam jarak 50 meter. Pada umur anak 10 minggu 53 persen anak menghabiskan waktunya dekat dengan induknya, dan proporsi ini menurun menjadi 43 persen pada anak berumur 11 minggu (SHILLtTO WALSER et al., 1981) clan selanjutnya anak menunjiilckan tingkah laku tidak ketergantungan terhadap induk dan menghabiskan lebih banyak waktunya lari dan bermain dengan sesama anak dari induk lainnya. Induk akan tetap mempertahankan jalinan dengan anaknya melalui proses menyusui dan jalinan ini bare berakhir setelah anak disapih dari indttknya. Pada saat penyapihan kedua belah pihak anak dan induk menuniukkan tingkah laku yang berbeda yaitu stress yang ditunjukkan dengan mengembik, bergerak secara intensif dan berusaha untuk bergabung kembali antar induk dan anak. Penyapihan tidak berarti putustlya hubungan kedua belah pihak secara permanen, karena jalinan ini masili letup ada beberapa hari setelah disapih yang ditunjukkan dengan 35 persen! tingkah laku induk yang tetap mendekaf berusalra mencari anaknya sendiri (WHATELY et al., 1974). Suatu hal yang menarik pada saat penyapihan terutama pada anak kelahiran kembar dimana pada saat disapih dari induknya maka kedua anak kembar tersebut menjalin hubungan yang lebih erat dengan saudara kembarnya sendiri seperti yang ditunjukkan oleh SHit .t .Tro WALSER et al. (1983) .
44 4
SeminarNasional Peternakan dan Yeteriner 1997
PERAN FAKTOR FISIOLOGI TERHADAP SIFAT KEINDUKAN Pada ternak domba, proses kelahiran adalah suatu proses yang komplek yang diikuti oleh sifat keindukan dari induk terhadap anaknya sendiri yang kedua kejadian ini dipengaruhi oleh peran hormon di "am tubuh ternak. 1. Peran hormon saat kelahiran anak Proses kelahiran adalah merupakan proses akhir dari masa kebuntingan 150 hari dari induk domba dan bagi anak merupakan suatu proses peralihan dari status di dalam rongga uterus induk ke suatu keadaan luar dalam lingkungan terbuka. Di dalam proses kebuntingan sampai kelahiran beberapa hormon- fisiologi berperan secara nyata terutama hormon progesterone, oestrogen, oxytocin, protaglandin dan cortisol. Dalam kondisi normal, konsentrasi hormon progesterone pada saat 7 hari sebelum kelahiran berkisar antaara 12 nghnl dan menurun menjadi 1 ng/ml pada scat proses kelahiran (BASSET et al., 1969). Penurunan konsentrasi hormon progesteron beberapa hari menjelang proses kelahiran diikuti oleh meningkatnya konsentrasi hormon oestrogen . Tingginya konsentrasi hormon oestrogen selama akhir masa kebuntingan jugs diproduksi oleh ovarium dan placenta. Pada penelitian CHALLIS (1971) dan CHALLIS et al. (1971) dilaporkan bahwa konsentrasi hormon oestrogen pada induk bunting meningkat dari 5 pg/ml menjadi 40 pg/nnl pads hari 31 ke hari 5 sebelum kelahiran dan meningkat secara tajam menjadi 411 pg/ml sehari sebelum kelahiran . Pada beberapa jam setelah kelahiran konsentrasi hormon oestrogen dilaporkan mencapai 880 pg/ml (THORBURN et al., 1972) dan pads 5 jam setelah kelahiran menurun dan tidak dapat dideteksi setelah 24 jam kelahiran . Peran nyata hormon oestrogen dalam proses kelahiran dilaporkan oleh CAHILL et al. (1976) dengan memberikan injeksi 20 mg oestradiol benzoate secara intramuscular pada induk bunting 142 sampai 148 hari. Diperoleh data bahwa pemberian hormon oestrogen intramuscular dapat merangsang kelahiran pada 84 persen induk dalam %vaktu 96 jam. Hal ini menunjukkan bah" kedua hormon progesteron dan oestrogen mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap proses fisiologi ternak . Meningkatnya perbandingan proporsi antara oestrogen dan progesteron dalam tubuh induk selama beberapa jam akhir masa kebuntingan merangsang produksi prostaglandin dalam cotyledon (MITCHELL dan FLINT, 1977) dan dalam membran janin (JoHNsoN dan EVERITT, 1980) . Pelebaran vagina pada akhir masa kebuntingan diketahui juga merangsang neurohypophysis untuk memproduksi oxytocin (RoBKERT dan SHKARE, 1'968 ; Ftarr et al., 1975) dan juga meningkatkan produksi prostaglandin kedalam sistem vena utero-ovarian (FLINT et al., 1974) yang menyebabkan kontraksi uterus (MITCHELL dan FLINT, 1977) dan pada akhirnya dilanjutkan dengan proses kelahiran . 2. Peran hormon terhadap sifat keindukan Soekor induk menunjukkan sifat keindukan selama melahirkan anak dan proses kelahiran itu sendiri dikontrol oleh sistem kerja hormon dan dengan demikian sifat keindukan juga dipengaruhi oleh mekanisme hormon di dalam tubule induk. Pengaruh nyata dari mekanisme hormon terhadap sifat keindukan pada saat proses kelahiran dilaporkan oleh LENENM et al. (1979) dengan mempergunakan beberapa induk yang sudah beranak dan tidal bunting . Seluruh induk yang tidal bunting ini diinjeksi dengan dengan hormon progesterone dan estradiol benzoate baik dalam jangka pendek selama 7 hari maupun jangka panjang selama 30 hari memperlihatkan sifat keindukan pada scat dices dengan mempergunakan anak yang baru lahir. Akan tetapi pada induk yang belum pernah 445
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner /997
melahirkan anak, respon tersebut sangat rendah dan hal ini membuktikan bahwa sifat keindukan pada kelahiran sebelumnya memegang peranan yang sangat penting dalam permulaan rangsangan sifat keindukan tersebut.
Dilaporkan juga bahwa konsentrasi hormon oestrogen yang tinggi mempunyai peran nyata terhadap rangsangan permulaan sifat keindukan (POINDRON dan LENEINDRE, 1979) . Begitu juga dalam hasil penelitian POINDRON et al. (1979) melaporkan bahwa domba betina yang mempunyai konsentrasi hormon oestrogen dalam darahnya selarna masa follikular menunjukkan sifat keindukan pada saat dites dengan anak domba yang baru lahir. Sedangkan lama periode sensitif untuk jalinan ikatan antara anak dan induk setelah kelahiran dapat diperpanjang dengan pemberian 15 mg oestradiol benzoate, sedangkan pemberian 20 mg dexamethasone tidak memperlihatkan pengaruh nyata . Pengaruh hormon prolactin untuk pembentukan sifat keindukan pada saat kelahiran dilaporkan oleh POINDRON et al. (1980b) . Induk yang menerima 20 mg oestradiol benzoate (dengan konsentrasi prolactin yang tinggi) dan induk yang diberikan tambahan 1 mg/12 jam bromocriptin sc disamping 20 mg oestradiol benzoate (dengan konsentasi prolactin rendah) menunjukkan derajad sifat keindukan yang hampir sama. Dengan demikian terlihat bahwa hormon prolactin tidak mempengaruhi secara nyata sifat keindukan pada saat kelahiran . Dilaporkan juga bahwa rangsangan pads vagina mempunyai pengaruh nyata terhadap fmbulnya sifat keindukan (KEVERNE et al., 1983) . Pada penelitian ini memperlihatkan bahwa tingginya persentase induk yang tidak bunting yang diberikan suntikan hormon progesterone dan oestradiol benzoate serta diberikan rangsangan pada vagina selama 5 menit memperlihatkan sifat keindukan pada saat dites dengan anak domba yang baru lahir dibandingkan dengan induk yang tidak mendapatkan rangsangan pads vaginanya . Hal ini menunjkkan bahwa rangsangan terhadap vagina mungkin mempengaruhi neurohypophyse induk untuk merangsang permualan dari sifat keindukan dan selanjutnya memperbaiki kemampuan induk untuk mengenali anaknya sendiri . PROSES PENGENALAN ANTARA INDUK DAN ANAK SEGERA SETELAH KELAHIRAN Tidak bisa disangkal lagi bahwa jalinan ikatan batin antara anak dan induk pada saat kelahiran merupakan hal' sangat penting bagi keduanya . Kejadian abnormalitas jalinan antara kedua belah piliak mengakibatkan meningkatnya angka kematian anak terutama bagi anak kelahiran kembar atau lebih. Proses pengenalan antara induk dapat diberakan menjadi dua tahap yaitu pengenalan oleh induk terhadap anaknya sendiri dan pengenalan oleh anak terhadap induknya sendiri. 1. Pengenalan oleh induk terhadap anaknya Terjadinyajalinan ikatan antara induk dan anak tendama pada saat induk menjilati anaknya untuk membersihkan cairan amnion . Pada saat ini induk dapat membedakan antara anaknya sendiri dan anak dari induk lainnya dengan mempergunakan indra penciumannya (LINDSAY dan FLETCHER, 1968; PoiNDRoN, 1976; ALEXANDER, 1978; ALEXANDER dan STEVENS, 1981a) . Penelitian ALEXANDER dan STEVENS (1983) bahwa pengenalan oleh induk terhadap anaknya melalui bau yang terdapat pada pinggul, ekor dan di sekitar anus tetapi tidak melalui muka atau air seni anaknya . Pengenalan oleh induk terhadap anaknya masih terjadi walaupun anak dipisahkan selama 3 hari setelah proses kelahiran yang normal (MORciAN dan ARNoLD, 1974) dan fungsi penciuman untuk proses pengenalan 446
SeminarNasional Peternakan don Veteriner 1997
oleh induk terhadap anaknya menurun dengan bertambahnya umur anak STEVENS, 1981x).
(ALEXANDER
clan
Pada scat seekor induk dipisahkan sendiri dari kelompoknya, maka suara mempunyai peran yang sangat nyata baik pada tingkah laku sosial maupun tingkah laku keindukan. SHILLITO WALSER et al. (1982) mempergunakan alai rekaman suara anaknya sendiri clan anak dari induk lainnya untuk mengetahui respon atau pengenalan oleh induk kepada anaknya . Ternyata bahwa induk membalas suara anaknya sendiri lebih sering dibandingkan dengan anak lainnya . Dengan demikian terlihat bahwa suara dapat dipergunakan sebagai alai pengenalan oleh induk terhadap anaknya apabila fasilitas visual tidak tersedia . Dengan sistem rekaman suara ternyata 60 person anak masih mengenali induknva, dibandingkan dengan 49 persen induk bisa mengenali anaknya sendiri . Rendahnya persentase induk dapat mengenali anaknya sendiri menunjukkan bahwa suara anaknya berubah seiring dengan unuir anak. Dilaporkan juga bahwa fasilitas visual merupakan alai yang paling bagus yang dipergunakan oleh induk mengenali anaknya sendiri (LINDSAY clan FLETCHER, 1968; ALEXANDER clan SHILUTO, 1977) terutama di bagian kepala . Selain itu SHILUTo (1978) mengadakan tes pengenalan induk terhadap anak dalam jarak pandang 16 meter. Lima puluh persen induk mengenali anaknya yang disembunyikan di balik dinding . Disamping itu induk mempunyai kemampuan untuk mengenali anaknya walaupun bulunya diberi warna seperti merah, kuning, orange clan putili. Serta mempunyai kesulitan untuk mengenali anak yang diberi warna bulu biru, hijau clan hitam (ALEXANDER clan STEVENS . 1981b) . 2. Pengenalan olch anak terhadap induknya Pengenalan oleli anak terhadap induknya sendiri telah dilaporkan oleh SHiLUTo WALSER (1978) clan mendapatkan bahwa fasilitas pendengaran menipakan kunci utama suksenya proses pengenalan tersebut. Selain itu pads saat induk dipisahkan dengan anaknya maka proses pengenalan oleh anak terhadap induknva lebih cepat terjadi apabila frelaiensi suara induk lebili sering clan tinggi (SHIU .ITO WALSER et al., 1983) clan sebagian besar anak mempergunakan fasilitas suara untuk pengenalan terhadap induknya apabila fasilitas visual tidak tersedia . VINCE et al. (1982) melaporkan bahwa rangsangan suara terhadap anak sebelum kelahiran mempunyai penganih terhadap anaknya setelah kelahiran . Hal ini dibuktikan dengan pemberian suara yang sama terhadap anak dalam kandungan clan setelah kelahiran tidak mempenganilu detak jantung anak tersebut . Hal ini ~'menunjukkan bahwa pengenalan oleh anak terhadap induknva melalui suara sudah terjadi pads saat dalam kandungan. Dengan demikian pengenalan oleh anak terhadap induknva sendiri dapat melalui fasilitas pendengaran clan visual .
3. Proses anak asuh olch induk terhadap anak lainnya Dalam kondisi induk domba di Indonesia dimana jtunlah anak perkelahiran cukup tinggi yaitu melaliorkan anak lebih dari dua maka akan terjadi kesulitan bagi induk untuk dapat memelihara dengan baik anaknya tersebut . Dengan demikian metode anak angkat (fostering) menipakan jalan peinecahan yang terbaik . Sebaiknya metode fostering dilakukan beberapa jam setelah kelahiran clan sebelum induk mampu membedakan anaknya sendiri dari anak lainnya . PRICE et al. (1984) melaporkan bahwa keberhasilan metode fostering setelah anak berumur 4 hari adalah dengan mempergunakan metode kandang jepit dimana induk diikat clan anak foster dilepas di sekitar
Seminar NasionalPeternakamdan"Veteriner 1997
induk sehingga anak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan susu bukan "dari induknya sendiri (ALEXANDER dan BRADLEY, 1985). Dalam rangka meningkatkan sukses fostering tersebut bisa dilakukan dengan memandikan anak yang barn lahir beberapa jam dan dilepas bersama talon induknya selama dua hari (ALEXANDER et al., 1983). Dan sukses fostering menurun dengan bertambahnya umur dari anak angkat tersebut yang disebabkan oleh perbedaan suara dan penampilan anak tersebut . Penelitian ALEXANDER dan STEvENs (1985x) berusaha untuk meningkatkan sukses fostering dengan mempergunakan deodorant. Dilaporkan bahwa anak yang diberikan deodorant yang berasal dari kulit ternak ruminansia dan wool memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan minyak goreng, asam butirat dan propionat, ethanol, methanol maupun minyak eucalyptus. Hal ini disebabkan karena kulit dan wool mengandung substansi yang dapat merangsang terjadinyajalinan antara anak dan induk.
Dalam proses pengenalan antara induk dan anak terdapat tiga fasilitas yang berperan yaitu penciuman, suara dan penglihatan . Induk mempunyai kemampuan untuk mempergunakan setiap fasilitas tersebut . Akan tetapi anak hanya mempunyai kemampuan untuk mempergunakan fasilitas suara dan penglihatan sehingga hal ini dapat dipergunakan dalam proses fostering anak untuk menunuikan angka kematian segera setelah kelahiran . STRATEGI UNTUK MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN ANAK SEGERA SETELAH KELAHIRAN Salah satu tujuan utama tinjauan pustaka ini adalah untuk mencari jalan keluar dalam ranngka menurunkan angka kematian anak segera setelah kelahiran terutama sekali anak yang lahir lebih dari satu. Pada tinjauan pustaka ini disajikan beberapa strategi yang dapat dipergunakan seperti strategi pemberian pakan pada induk scat akhir masa kebuntingan, manajemen pemeliharaan induk bunting dan dalam proses kelahiran serta seleksi induk yang baik berdasarkan sifat keindukan . 1. Peran pakan pada saat akhir masa kebuntingan Tingginya angka kematian anak segera setelah kelahiran bisa disebabkan oieh induk pada saat akhir masa kebuntingan mendapat pakan yang kurang atau berlebihan. Kualitas pakan yang rendah akan menyebabkan pregnancy toxaemia terutama pada induk dengan anak lebih dari satu. Dalam rangka untuk menurunkan angka kematian anak segera setelah kelahiran, THOMSON dan THOMSON (1949) memberikan pakan dengan kandungan protein tinggi dan rendah pads induk umur 18 bulan selama akhir masa kebuntingan . Dilaporkan bahwa protein yang rendah menckan pertumbuhan ambing dan produksi susu. Selain itu angka kematian anak menjadi 36% pada anak kelahiran tunggal dan 68% pada kelahiran kembar. Beberapa tahun kemudian PEART (1967) mengadakan observasi pengaruh pakan selama akhir masa kebuntingan terhadap produksi susu dan pertumbuhan anak. Selama minggu pertama menyusui induk dengan pakan berkualitas rendah memproduksi susu lebih rendah dan pertumbuhan anak lebih lambat dibandingkan dengan induk dengan pakan lebih bagus. Selain itu TREAcHER (1970) memberikan pakan yang berbeda selama 6 minggu terakhir masa kebuntingan untuk menaikkan bobot badan induk sebesar 20, 10 dan 0%. Dilaporkan bahwa produksi susu induk menurun pada tiga hari pertama setelah kelahiran pada kelompok induk dengan kualitas makanan rendah .
448
Seminar Nasional Peternakan dam Yeteriner 1997
Rendahnya kualitas pakan selama 6 minggu akhir masa kebuntingan menyebabkan rendahnya berat lahir baik untuk anak kelahiran tunggal maupun kembar (LOUCA et al., 1974; KHALAF et al., 1979) . Tingginya angka kematian anak pada induk dengan kualitas pakan rendah scat akhir masa kebuntingan disebabkan oleh rendahnya konsumsi kolostrum pads beberapa jam pertama setelah kelahiran . Rendahnya konsumsi kolostrum selama 9 jam pertama setelah kelahiran menurunkan konsentrasi serum immunoglobin dan pada akhimya meningkatkan angka kematian anak. MELLOR dan MURRAY (1985) melaporkan bahwa pemberian pakan dengan kualitas rendah setarna 6 minggu akhir masa kebuntingan dapat menekan perkembangan ambing dan akumulasi produksi kolostrum dan produksinya pada 18 jam pertama setelah kelahiran . Selain itu pemberian pakan kualitas rendah menurunkan konsentrasi laktosa, lemak clan protein di dalam kolostrum sebanyak 50 % pada 18jam pertama kelahiran . Pt.rru (1988) melaporkan tingkat pemberian pakan pads akhir masa kebuntingan dan saat kelahiran dapat mempengaruhi sifat keindukan yang dinyatakan dengan tingginya persentase induk yang berpisah secara permanen dengan anaknya terutama anak kelahiran kembar (23%) yang diberikan pakan tambahan dalam jumlah kecil dibandingkan dengan 4% pada induk dengan pakan yang memadai (Tabel 4). Kualitas pakan pada akhir masa kebuntingan jugs mempengaruhi waktu induk tinggal di tempat melahirkan anak (birth site) dan kematian anaknya sendiri terutama pada kelahiran kembar (PuTu et al., 1988a) (Tabel 5). Tabel 4. Persentase induk domba meninggalkan anak karena perbedaan tingkat pemberian pakan Tipe kelahiran Tunggal Kembar
Tingkat pakan Rendah (n=65) Tinggi (n=61) Rendah (n=26) Tinggi (n=23)
Persentase induk meninggalkan anak 48 jam kelahiran Normal Sementara Permanen 59 (90,8 %) 4 ( 6,20/6) 2 ( 3,1 %) 59 (96,7 %) 1 ( 1,6%) 1 ( 1,60/,) 13 (50,0 %) 7(26,9 0/o) 6 (23,1 %) 17 (73,9 %) 5(21,7-/.) 1 ( 4,30/6)
Sumber : PUTU (1988)
Tabel S. Lama waktu di tempat kelahiran clan angka kematian anak kurang dari 48 jam setelah kelahiran akibat pengaruh kualitas pemberian pakan pada domba Tipe
Tingkat pakan
Tunggal
Rendah Tinggi Rendah Tinggi
Kembar
Sumber : PLml, POAiDRON dan LQrDsAY (1988a)
Waktu di tempat kelahiran (jam) 2,70 f 0,25 (n=65) 3,45 t 0,37 (n=58) 4,65 f 0,48 (n=26) 6,12 t 0,68 (n=23)
Angka kematian anak (<48 jam) 6% (n=65) 2 % (nil) 33% (n=52) 15% (n=46)
Seminar Nasional Peternakon dan Veteriner 1997
Dari paparan di alas dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian pakan selama'enam minggu
terakhir masa kebuntingan adalah sangat kritis bagi perkembangan janin dan pada akhirnya kemampuan hidup anak setelah kelahiran. Dengan demikian untuk menurunkan angka kematian
anak segera setelah kelahiran diperlukan kualitas pakan yang memadai baik kualitas maupun kuantitasnya . Tingginya tingkat pertumbuhan janin dan dibarengi dengan rendahnya kualitas pakan pada akhir masa kebuntingan menyebabkan penurunan kondisi tubuh induk yang pada akhirnya dapat menmpengaruhi sifat keindukan clan meningkatkan angka kematian anak segera setelah kelahiran.
2. Seleksi induk berdasarkan sifat keindukan Brdasarkan uraian di atas ntiaka dapat disimpulkan bahwa seleksi induk berdasarkan kemampuan
untuk menjaga serta mentelihara anaknya atau sifat keindukan adalah merupakan hal yang penting di dalam rangka menurunkan angka kematian anak terutama pada scat segera setelah kelahiran.
HAUGHEY (1983) mencoba untuk mengadakan pencatatan terhadap induk dengan kesempatan melahirkan anak sebanyak empat kali . Efisiensi produksi tertinggi adalah incluk yang melahirkan anak sebanyak tiga kali atau empat kali clan terendah induk yang gagal melahirkan anak sebanyak
dua atau tiga kah . Selama tiga tahun pertama, rata-rata kematian anak untuk kelahiran tunggal pada
kelompok efisiensi tinggi
clan
rendah
masing-masing 20
clan
32%.
Rendalinya
angka
kematian pada kelompok efisiensi tinggi disebabkan oleh kondisi pelvis yang lebih lebar. Faktor lainnya yang bisa dipergunakan sebagai kriteria wituk seleksi induk terutama incluk dengan anak kelahiran kembar adalah berdasarkan sifat keindukan terutama temperamen atau kemampuan induk untuk tetap menjaga kedua anaknya walaupun diberikan perlakuan tes dengan memisahkan salah satu anaknya pada umur < 48 jam yang ditempatkan ± 20 meter dari tempat kelahiran seperti yang dilaporkan oleh PUTU
et al.
(1988b) . Sebanyak 45 ekor induk dengan kelahiran kembar dibagi
meniadi 4 kelompok yaitu incluk yang melahirkan anak secara bebas (kontrol), induk yang melahirkan anak kemudian dikandangkan bersama kedua anaknya, induk setelah 30 menit kelahiran anak kedua kemudian
dipindahkan ke
tempat
lain
clan
induk setelah 30
menit kelahiran anak
kedua
dipindahkan ke tempat lain kemudian dikembalikan lagi ke tempat awal kelahiran. Setelah 48 jam kelahiran semua induk diberikan tes yang disebut
"twin separation test"
atau pemisahan incluk
dengan salah sate anak kembarnya sejauli 29 meter dan dicatat waktu yang diperlukan untuk bersatunya incluk dengan kedua anaknya seperti pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Persentase incluk berkumpul dengan anaknya pada berbagai perlakuan Kelompok
Junilalt
1 . Kontrol
10
2. Dikandangkan
18
3 . Dipindahkan
11
4 . Dikembalikan
7
Sumber : PUIU, PCVWDRiUN dan LiNDSAY (1988b)
Persentase incluk berkumpul dengan kedua anaknya 0 s/d 0,5 min
0,5 s/d 5,0 min
60%
30%
> 5,0 min
83%
17%
0
27%
46%
27
29%
29%
42
10
SeminarNasional Peternakan dam Veteriner 1997
Dari uraian
di
atas terlihat bahwa induk dengan anak kembar memerlukan waktu yang lebih
lama untuk . berkumptil dengan kedua anaknya terutama kelahiran. Dengan
tes pemisahan salah
satu anak
pada beberapa jam pertama setelah
kembarnya
dapat diketahui
induk yang
mempunyai potensi yang baik untuk memelihara kedua anaknya sampai saatnya nanti disapih .
DAFTAR PUSTAKA ALEXANDER, G. 1960. Maternal behaviour in Merino ewes . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod .
3: 105 - 114.
ALEXANDER, G . 1962 . Temperature regulation in the new born lamb . V. Summit metabolism . Aust . J. Agric. Res. 13 : 100 - 121 . ALEXANDER, G. 1964 . Lamb survival . Fisiological considerations . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod . 5 : 113 - 114. ALEXANDER, G. 1978 . Odour and the recognition of lambs by Merino ewes . Appl . Anim . Ethol. 4: 153 - 158. ALEXANDER, G. and L.R . BRADLEY. 1985 . Fosterin g in sheep. IV. Use restraint. Appl . Anim . Behav . Sci. 14 : 355-364 . ALEXANDER, G., J.J . LYNCH, and B.E . MOTTERSHEAD. 1979 . Use of shelter and selection of lambing sites by shorn and unshorn ewes in paddock with closely or widely spaced shelter . Appl . Anim . Ethol. 5 : 51 69 .
ALEXANDER, G ., .1 . .1 . LYNCH, 131. MOT'rERSHEAD . and J .B . DONNELLY . 1980 . Reduction in lamb mortality by means of wind breaks : Result of a five year study . Proc . Aust . Soc. Anim .Prod . 1 2 : 329 - 332. ALEXANDER, G. and J.E . PETERSON . 1961 . Neonatal mortality in lambs : Intensive observation during lambing in a flock of maiden ewes. Aust . vet . J. 37 : 371 - 381 . ALEXANDER, G. and E.E . SHILLITO . 1978 . Visual descrimination between ewes by lambs. Appl . Anim . Ethol . 4: 81 - 85 . ALEXANDER,
G.
and D. STEVENS. 1981x . Recognition of washed lambs by Merino ewes. Appl . Anim . Ethol .
7: 77 - 86 .
ALEXANDER, G . and D. STEVENS . 1981b. Discrimation of colours and grey shades by Merino ewes. Appl . Anim . Ethol. 7: 215 - 231 . ALEXANDER, G. and D. STEVENS. 1983 . Odour cues to maternal recognition of lambs : an investigation of some possible sources. Appl . Atuni. Ethol. 9: 165 - 175 . ALEXANDER, G. and D. STEVENS . M85 . Fostering in sheep. II . Use of tiessian coats to foster an additional lamb on to ewes with single lambs. Appl . Anim . Behav. Sci. 14 : 335 - 344 . ALEXANDER, G. and D. STEVENS, R. KILGOUR, H. DE LANGEN, BE MOTrERSHEAD and J.J . LYNCH. 1983 . Separation of ewes from twin lambs : Incidence in several sheep breods . Appl . Anim. Ethol. 10 : 301 - 317. ALEXANDER, G. and D. WILLIAMS . 1966 . Teat seeking activity in newborn lambs : the et7ect of cold . J. Agric. Sci. Camb . 67 : 181 - 189. ARNOLD, G.W . and P.D . MORGAN. 1975 . Behaviou r of the ewes and lambs at lambing and its relationship to lamb mortality. Appl . Anim . Ethol. 2 : 25 - 46. BAREI-Am, J .R . 1976 .
The
behaviour of lambs on the first day after birth. Brit . vet. J. 13 2 : 152 - 161.
BASSETT, J.M . and G.D . THORBURN . 1969 . Foetal plasma corticosteroids and the initiation of parturition in the sheep. J: Endocrinl. 44 :285 - 286 .
Seminar Nasional Peternakan don Veteriner 1997
BEETSON, B.R . and R.P . LEWER. 1985 . Productivity of Booroola cross in Western Australia., In "Genetics of Reproduction in Sheep" pp . 391 - 398. Eds. R.B . Land and D.W . Robinson, London, Butterworth. BtcHARD, M. and M.Mc G. COOPER . 1966. Analysis of production records from a Lowland° sheep flock. 1 . Lamb mortality and growth to 16 weeks. Anim . Prod . 8 : 401 - 410.
BRADFORD, G.E. 1985 . Selection for litter size . In "Genetics of Reproduction in sheep", edited by R.B . Land and D.W . Robinson, pp . 3 - 18 . London, Butterworth.
CAHILL, L.P ., B.W . KNEE and R.A .S . LAWSON. 1976 . Induction of parturition in ewes with a single injection of oestradiol benzoate . Theriogenology . 5 : 289 - 294. CHALLIS, J.R .G . 1971 . Sharp increase in free circulating oestrogens inunediately before parturition in sheep. Nature, London 229 : 228.
CHALLIS, J.R .G ., F .A . HARRISON, and R.B . HEAP . 1971 . Uterine production of oestrogen and progesterone at parturition in the sheep. J. Reprod . Fert . 25 : 306 - 307. CURLL, M.L ., J .L . DAVIDSON and M. FREER. 1975 . Efficiency of lamb production in relation to the weight of the ewe at mating and during pregnancy. Aust . J. Agric. Res . 26 : 553 - 565. DALTON, D.C ., T.W . KNIGHT and D.L . JOHNSON . 1980 . Lamb survival in sheep breeds on New Zealand hill country. N. Z J. Agric. Res. 23 : 167 - 173. DAVIES, H.L . 1964 . Lamb losses in South Western Australia. Proc . Aust . Soc. Anim . Prod. 5 : 107 - 112 .
DENNIS, S.M . 1974 . Prenatal lamb mortality in Western Australia. 2. Non infectious conditions . Aust.vet . J. 50 : 450 - 453. EALEs, F.A . and J . SMALL. 1980 . Summit metabolism in newborn lambs. Res. in vet. Sci. . 29 : 211 - 218.
EALES, F.A ., J. SMALL and R.H . ARMSTRONG . 1980 . Plasma composition in hypothermic lambs . Vet. Record. 106 : 310.
EALES, F.A ., J .S . GILMOUR, A.M . BARLOW and J. SMALL. 1982a Causes of hypotermia in 89 lambs. Vet. Record . 110 : 118 - 120. EALEs, F.A ., J. SMALL and J.S . GILMOUR. 1982b. Resuscitation of hypotennic lambs. Vet. Record. 110 : 121 - 123.
EwBANK, R. 1967 . Nursing and suckling behaviour among Clun Forest ewes and lambs. Anim . Behav. 15 251-258. FLINT, A.P.F ., A.B .M. ANDERSON, P.T . PATTEN and A.C . TURNBULL. 1974 . Contro l of utero-ovarian venous PGF during labour in the sheep; acute effects of vaginal and cervical stimulation. J. Endocrinol . 63 67-87. FRASER, A.F . 1968 . Parturition . In "Reproductive Behaviour in Ungulates" pp . 113 -157 . Academic Press London, New York . GoNYou, H.W . and J.M . STOCKEY .1985 . Behaviour of parturition ewes in group lambing with and without' cubicles . Appl . Anim . Ethol . 14 : 163 - 171 . GRAVES, H.B ., L.L . WILSON and C.E . HESS . 1977 . Some observation on activities of a small group of confined ewes with single, twin, or triplet lambs. Appl. Anim . Ethol. 3 : 83 - 88 . GuBERNicK, D.J. 1980. Maternal 'Imprinting ' or 'maternal 'Labelling' in goats ?. Anim. Behav. 28 : 124 129. HAUGHEY, K.G . 1983 Selective breeding for rearing ability as an aid to improving lamb survival . Aust . vet. J. 60 : 361 - 363.
45 2
Seminar Nasional Perernakan
don Peteriner 1997
HERSHER, L., J.B . RtcwoND and A.U . MOORE. 1963 . Maternal behaviour in sheep and goats. 1n "Maternal Behaviour in Mammals . Ed . H.L . Rheingold, New York, Wiley. HIGHT, G.K . and K .E . JURY . 1970 . Hill country sheep production II . Lamb mortality and birth weights in Romney and Border Leicester x Romney flocks . N.Z.J. Agric. Res. 13 : 735 - 752. HINcH, G.N ., R.W . KELLY, J.L . OWENS and S.F . CROSBm. 1983 . Patterns of lamb survival in high fecundity Booroola flocks . Proc. N.Z . Soc. of Anim . Prod . 43 :29 - 32 . HOLMES, R .J . 1976 . Relationship of parturient behaviour to reproductive efficiency of Finnsheep. Proc . N.Z .Soc . Anim . Prod . 36 : 253 - 257. HOLST, P.J . 1980 . Hangora goat management . Proc . Refresher course for veterinarians. 52 : 191 -196 . KEVERNE, E.B ., F. LEVY, P. POINDRON and D.R . LINDSAY . 1983 . Vagina l stimulation : An important determinant of maternal bonding in sheep. Science. 219 : 81 - 83 . KHALAF, A.M ., D.L . DoxEY, J.T . BAXTER, W.J .M . BLACK, J. FITZIMONS and J.A . FERGUSON . 1979 . Late pregnancy ewe feeding and lamb performance in early life . 1 . Pregnancy feeding levels and prenatal lamb mortality. Anim . Prod . 29 : 393 - 399 . Ka,GouR, R. H.DE LANGEN and K. BREMNER. 1976 . Behaviour at lambing of Ronuiey ewe with exotic breed lambs: An interim report. Proc . N.Z . Soc .Anim .Prod. 36 : 258 - 260. LAX, J. and G.H . BROWN. 1968 . The influence of maternal handicap, inbreeding and ewe's body weight at 1516 months of age on reproduction rate on Australia Merinos. Aust . J. Agric. Res. 1 9 : 433 - 442. LAX, J. and H. W. TURNER . 1965 . Th e influence of various factors on survival rate to weaning of Merino lambs 1 . Sex, strain, location and age of ewe for single-born lambs . Aust . J. Agric . Res. 1 6 : 981 - 985 . LENEINDRE, P.POINDRON and C . DELOUIS. 1979 . Hormonal induction of maternal behaviour in non pregnant ewes . Physiol . Behav. 22 : 731 - 734 . LENT, P.C . 1972 . Mother-infant relationship in ungulates . In Behaviour of Ungulates and its relationship to management . Eds. V. Giest and F. Walter. International Union for Conservation of Nature, Morges, Switzerland . LEVY, F. and P. POINDRON . 1987 . The important of amniotic fluids for the establishment of maternal behaviour in experienced and inexperienced ewes . Anim . Behav . 35 :1188 - 1192 . Levy, F., POINDRON and P. LENEtNDRE. 1983 . Attraction and repulsion by amniotic fluids and their olfactory control in the ewe around parturition. Physiol. and Behav . 31 : 687 - 692 . LICKLITER, R.E . 1985 . Behaviour associated with parturition in the domestic goats. Appl . Anim . Behav. Sci. 1 3 : 335 - 345 . LINDSAY, D.R . and I.C . FLETCHER . 1968 . Sensor y involment in the recognition of lambs by their dams . Anim . Behav. 16 : 415 - 417. LOUCA, A. A. MAVRoGENTs and M.J . LAWLOR . 1974 . Effects of plane nutrition in late pregnancy on lamb birth weight and milk yield in early lactation of Chios and Awassi sheep. Anim . Prod . 19 : 341 - 349. MAuND, B.A . and S .J .
DUFTELL.
1977. Lamb mortality in relation to prolificacy . Anim . Prod . 24 : 158 - 159.
MCBiuDE, G., G.W. ARNOLD, G. ALEXANDER and J.J . LYNCH. 1967. Ecological aspects of behaviour of domestic animals. Proc . Ecol . Soc. Aust . 2 :133 - 165. McDoNALD, J.W . 1966 . Variation in prenatal mortality of lambs with age and parity of ewes . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod. 6 : 60 - 62. McFARLANE, D. 1961 . Perinatal lamb losses . Aust. vet J. 37 : 105 - 109.
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 1997
McHUGH, J.F . and M.S .H . EDWARDS. 1958 . Lamb losses investigations . Rutherglen Research Station. J. Agric . Vic. 56 : 425. MCMILLAN, W.H . 1983 . Hogget lamb mortality, Proc . N.Z. Soc. Aiiiri . Prod . 43 : 33 - 36 . MELLOR, D.J . and MURRAY, L 1985 . Effects of maternal nutrition on udder development during late pregnancy and on colostruni production in Scottish Blackface ewes with twin lambs. Res. in vet. Sci. 39 : 230 - 234. MITCHELL, M.D . and A.P .F . FLINT. 1977 . Prostaglandin concentrations in intrauterine tissues from late pregnant sheep before and after labour . Prostaglandins 14 : 563 - 569. MORGAN, P.D. and G.W . ARNOLD. 1974 . Behavioura l relationships between Merino ewes and lambs during the four weeks after birth. Anuu . Prod . 19 : 169 - 176. MoULE, G .R . 1954 . Observations on mortality amongst lambs in Queensland . Aust . vet. J. 9 : 153 - 171 . MULLANEY, P.D . 1969 . Birth weight and survival of Merino, Corriedale and Polwarth lambs. Aust . J . Exp. Agric . Alum . Husb . 9 : 157 - 163. O'BRIEN, P.H . 1983 . Feral goat parturition and lying out sites : spatial, physical and meteorological characteristic . Apll . Anim . Ethol . 1 0 : 325 - 339. O'BRIEN, P.H . 1984 . Leavers and stavers : Maternal postpartum strategies in feral goats. Appl . Anim . Behav. Sci. 1 2 : 233 - 243 . OBST, J.M . and H.R . DAY. 1968 . Th e effect of inclement weather on mortality of Merino and Corriedale lambs on Kangaroo Island . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod . 7 : 239 - 242. PEART, J.N . 1967 . The effect of different levels of nutrition during late pregnancy on the subsequent milk production of Blackface ewes and on the growth of their lambs. J. Agric. Sci . Camb . 68 : 365 - 371 . POINDRON, P. 1976 . Mother-young relationship in intact or anosmic ewes at the time of sucking. Biol . Behav. 2 : 161 - 177. POINDRON, P. and P. LENEINDRE. 1979 . Hormonal and behavioural basis for establishing maternal behaviour in sheep . hi . Psyclioneuro endocrinology in Reproduction pp . 121 - 127. Eds. L. Zichelda and P. Pancheri . Elsevier/Noril i Holland. Biochemical Press . POINDRON, Rand P. LENEINDRE. 1980 . Endocrine and sensory regulation of maternal behaviour in the ewe. In . Advances in the study of behaviour. Eds. J.S . Rosenblatt, R.A . Hinde, C. Beer and M.C . Busnel 2 : 75 - 119 . POINDRON, P., P. LENEINDRE and F. LEVY . 1984 . Maternal behaviour in sheep and its frsiological control. In . Reproduction in sheep.pp. 191 - 198. Eds. D.R . Lindsa y and Pearce, D.T . Aust . Acad . of Sci. and Aust. Wool Corporation, Canberra . POINDRON, P., G.B . MARTIN and R.D . HOOLEY . 1979 . Effects of lambing induction on the sensitive period for the establislutient of maternal behaviour in sheep. Physiol. Beliav . 23 . : 1081 - 1087. POINDRON, P., P. LENEINDRE, I. RAKSANYI, G. TRILLAT and P ORGEUR . 1980a. Importance of the characteristics of young in the manifestation and establislunent of maternal behaviour in sheep. Reprod . Nutr . Develop. 20 : 817 - 826. POINDRON, P., P. ORGEUR, P. LENEINDRE, G. KANIN and I. RAKsANYI 1980b. Influence of the blood concentration of prolactin on the length of the sensitive period for establishing maternal behaviour in sheep at parturition. Hormones and Behaviour 14 : 173 - 177. PRICE, E.O ., M. DUNBAR and M.R . DALLY . 1984 . Behaviour of ewes and lambs subjected to restraint fostering. J. Ariini . Sci. 58 : 1084 - 1089 .
45 4
Seminar,NasionalPeternakan dan Veteriner 1997
B. SETIADI, 1, INouxu dan SuBANDIUVo . 1992 . Produktivitas domba pedesaan pads kondisi pemeliharaan tradisional di Cirebon. Ilmu dan Peternakan 5 : 15 - 19 .
PvuYANTO, D.,
PURSER, A.F . and G.B . YOUNG . 1964 . Mortality among twin and single lambs. Anim . Prod . 6 : 321 - 329. PuTu,1.G. 1988 . Tingkat makanan yang rendah pada akhir masa kebuntingan mempengaruhi sifat keindukan dan menaikkan angka kematian anak domba kelahiran kembar .Proc. Pertemuan Ilmiah Ruminansia, Cisarua Bogor, : 78 - 84 . Peru, I.G. 1995a. Performans produksi ternak domba dengan program intensifikasi beranak dua kali setahun. J .11mu Ternak dan Veteriner, I : I 1 - 15 . PuTU,
I.G . 1995b. Analisis kegagalan reproduksi domba Daldale dalam program beranak dua kali setahun. J. Ilmu Ternak dan Veteriner, 1 : 94 - 95 .
PuTu, I.G., P.PotrmRoN dan D.R . LINDSAY . 1988a. A high level of nutritionduring late pregnancy improves subsequent maternal behaviour of Merino ewes . Proc .Aust. Soc. Anim . Prod . 17 : 294 - 297. PuTu, I.G .,P .PoiNDRoN dan D.R . LINDSAY. 1988b. Early disturbance of Merino ewes from birth site increases lamb separations and mortality. Proc .Aust. Soc . Anim . Prod . 17 : 298 - 301 . ROBERTS J.S . and L. SHARE. 1968 . Oxytocin in plasma of pregnant, lactating and cycling ewes during vaginal stimulation . Endocrinology. 83 : 272 - 278. SHARAFELDIN, M.A ., M.T . RAGAs and A.A . KENDAL . 1971 . Behaviour of ewes during parturition. J. Agric. Sci . Camb. 76 : 419 - 422. SHELLY, L . 1970 . Interrelationships between the duration of parturition, post natal behaviour of ewes and lambs and the incidence of neonatal mortality . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod. 8 : 348 - 352 . SHn,Lrro, E.E . 1978 . A comparison of the role of vision and hearing in ewes finding their own lambs. Appl . Anim . Ethol. 4 : 71 - 79 . SHiLLrro WALSER E., P. HAGUE and WALTERS, E. 1971 . Vocal recognition of recorded lambs voices by ewes of three breeds of sheep. Behav .78 : 260 - 272. SHmLiTo WALSER, E., P. HAGUE and M. YEOMANS. 1983 . Preferences for sibling or mother in Dalesbred and Jacob twin lambs . Appl . Anim . Ethol.9 4 : 289 - 297 . SHILLITO WALSER, E., E. WALTERS and P. HAGUE . 1982 . Vocal communication between ewes and their own and alien lambs. Behav. 81 : 140 - 151 . SMITH, G.M. 1977 . Factors affecting birth weight, dystocia and preweaning survival in sheep. J. Anim . Sci. 44 745 - 753. SMITH, I.D . 1964 . Ovine neonatal mortality in Western Queensland . Proc . Aust. Soc. Anim . Prod. 5 : 100 106. STAPLETON, D.L ., G.N. Hrxcmts, C.J . THwAITES and T.N . EDEY . 1980 . Effect of sex and litter size on the suckling behaviour of the lamb. Proc . Aust . Soc. Anirn. Prod . 12 :333 - 336. STEVENS, D., G. ALEXANDER and J.J . LYNCH. 1982 . Lamb mortality due to inadequate care of twins by Merino
ewes . Appl . Anim . Ethol . 8 : 243 - 252 .
SuBANDRiyo . 1990 . Ewe productivity in villages in tire district of Ganit, West Java . Ilmu dan Peternakan, 4 307-310. P. SrroRus, J.M. LEVINE, G.E. BRADFORD . 1981 . Penelitian pendahuluaii perfonnans domba ekor tipis pad& kondisi stasiun percobaan. Proc . Seminar Penelitian Peternakan Bogor, 235 - 243.
SuBAN=Yo,
SeminarNaslonalPerernakan dan Vereriner 1997
I.K . dan I.G .M. BUDIARSANA. 1995 . Tingkah laku induk domba gemuk sekitar waktu beranak . Emu dan Peternakan, 8 : 15 - 18 .
SUTAmA,
dan 1. INOuNu. 1993 . Tingkah laku beranak pada domba jawa dengan galur prolifikasi yang berbeda. Ilmu dan Peternakan, 6 : 11 - 14 .
SuTAMA, 1.K .
dan I.G .M . BUDIARSANA . 1995 . Tingkah laku induk domba ekor gemuk sekitar waktu beranak. Ilmu dan Peternakan, 8 : 15 - 18 .
SUTAMA, I.K .
and W. 290 - 305.
THOMSON, A.M.
THomsON.
1949 . Lambing in relation to the diet of the pregnant ewes . Brit.
J.
Nutr. 2
SHtrrr and R.I . Cox. 1972 . Parturition in the goat and sheep : changes in corticosteroids, progesterone, oestrogens . J. Reprod . Fert . Suppl. 16 : 61 - 84 .
THORBuRN, G.D ., D.H. NICOL, J.M . BASSETT, D.A .
P. SiTORUS dan 1. INOuNu . 1983 . Kemampuan sapih domba ekor tipis di pedesaan Jawa Barat . Proc. Pertemuan Ilmialt Ruminansia Kecil , Bogor : 167 - 171 .
TIESNAMURTI, B.,
T.T . 1970 . Effects of nutrition in late pregnancy on subsequent milk production in ewes . Anim . Prod . 12 : 23 - 36 .
TREACHER,
H.N . and C.H .S . DOLLING. 1983 . Vita l statistics for an experimental flock of Merino sheep. Il . The influence of age on reproductive performance . Aust . J. Agric . Res. 16 : 699 - 712.
TURNER,
S.E . ARMITAGE, E., SHILLITO WALSER and M. READER . 1982 . Postnatal consequences of prenatal sound stimulation in the sheep. Behav. 81 : 128 - 139.
VINCE, M.A .,
1948. Growth of lambs before and after birth in relation to the level of nutrition. Part l . Agric. Sci. Camb . 38 : 93 - 153.
WALLACE, L.R. WALLACE, L.R .
J.
1949 . Observations of lambing behaviour in ewes. Proc . N.Z . Soc. Anim . Prod . 9 : 85 - 96 .
ALEXANDER, I.A . CUIvMNG, J.W . MCDONALD, J.W . MCLAUGHLIN, D.J . RIZZOw and D. 1968 . Reduction of prennatal losses of lambs in winter in Western Victoria by lambing in sheltered individual pens . Proc . Aust . Soc. Anim . Prod . 7 : 243 - 249 .
WATSON, R .H .,
G.
WILLIAMS .
WELCH,
R.A .S . and R.
KILGOUR.
1970 . Mis-mothering among Romneys. N.Z. J. Agric. 12 1 : 26 - 27 .
R. KILGOuR and D.C . DALTON . 1974 . Behaviour of hill country sheep breeds during fanning routines. Proc . N.Z. Soc. Anim . Prod. 8 : 291 - 296.
WHATELEY, J.,