PERAN SERTIFIKASI CAFE PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS: KABUPATEN TORAJA UTARA, TANA TORAJA & ENREKANG) Penulis Fathia Hashilah, Hafid Setiadi, Widyawati Hadi Departemen Geografi, FMIPA UI
[email protected]
Abstrak Sertifikasi CAFE Practices merupakan standarisasi yang diterapkan oleh starbucks Coffee agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutn dan mampu memenuhi standar konsumen. Sertifikasi itu sendiri hanya akan efektif dan efisien pada karakter wilayah dan petani tertentu. Di Sulawesi Selatan Terdapat beberapa wilayah penghasil kopi yang memiliki karakter berbeda-beda yang akibatnya setelah diterapkan sertifikasi CAFE Practices menghasilkan perubahan pola. Adanya ikatan yang kuat dengan tanah adat, penerapan sertifikasi menghasilkan perpanjangan pola mata rantai nilai kopi. Perpanjangn pola ditandai dengan munculnya simpul baru yang menandakan penerapan sertifikasi tidak efisien di wilayah yang ikatan dengan tanah adatnya masih kuat. Kata Kunci :Aktor, pola mata rantai nilai, aktivitas, CAFE Practices, efisien
Abstract CAFE Practices certification is a standardization applied by starbucks Coffee to create a sustainable coffee trade and to fulfill the consumers standards. Certification will be effective and efficient in a particular character of region and farmers. South Sulawesi has various characters of farmers and regions. Those characters influential to the changing of coffee value chain pattern after the assembling of CAFE Practices Certification. The tied of land custom is the strongest cause of the changing pattern. It makes the value chain become longer, it indentified by the appearance of a new node, which is mean a new actor of the chain. The appearance of a new node after applying CAFE Practices indicates inefficiency of that certification applied in a region which is has a strong tide of custom land. Key Words :Actors, value chain pattern, activity, CAFE Practices, efficient Pendahuluan Saat ini, kopi asal Sulawesi Selatan khususnya yang berasal dari Kabupaten Toraja
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
Utara, Tana Toraja dan Enrekang bertanggung jawab memproduksi kopi unggulan untuk dijual ke pasar internasional. Peningkatan minat pasar internasional terhadap kopi unggulan membuat persaingan perdagangan kopi menjadi sangat ketat. Volume ekspor kopi Arabika asal Sulawesi Selatan semakin tinggi setiap tahunya yang menandakan permintaan terhadap kopi juga tinggi (Gambar 1.1). Selain itu, harga kopi Toraja juga lebih tinggi dibanding harga kopi rata-rata dunia. Terdapat beberapa aktor / perusahaan internasional yang berperan dalam pembelian kopi asal Sulawesi ini. Salah satunya adalah starbucks Coffee yang berperan sebagai pembeli dalam jumlah terbesar, yaitu lebih dari 50% jumlah produksi kopi arabika di Sulawesi (Neilson, et al. 2007) . starbucks Coffee merupakan perusahaan kopi asal AS yang memiliki peran sangat penting dalam sistem perdagangan kopi internasional. Dalam upaya mencapai suatu sistem perdaganagan kopi yang berkelanjutan, starbucks Coffee harus terus meningkatkan kualitas dan mengejar standar pasar yang terus meningkat. Akibat persaingan ketat yang disebabkan adanya pasar bebas, produsen berinovasi dengan cara meningkatkan kualitas dan standar keamanan produk yang dijadikan objek dalam siklus pemasaranaya (Dolan & Humprey, 2004). Cara yang digunakan starbucks Coffee agar memiliki sifat kegiatan ekonomi yang berkelanjutan adalah terus mengikuti permintaan pasar yang diaplikasikan dalam bentuk pemberian sertifikasi pada satu sistem mata rantai nilai kopi starbucks dan salah satunya adalah penerapan skema sertifikasi Café Parctice di sistem mata rantai nilai spesialti kopi Sulawesi Selatan. CAFE Practices bertujuan untuk menilai, mendorong dan memberi penghargaan pada petani, prosesor dan suplayer untuk mengadopsi aktifitas pengusahaan kopi yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan agar aktor lokal dalam sistem mata rantai nilai kopi dapat terus berpartisipasi dalam perdagangan kopi global (C.A.F.E. Practices Overview, 2004). Sertifikasi sendiri dapat diaartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk yang homogen (Blackmore & Keeley, 2012). Maksud dekomodifikasi produk adalah membuat sedemikian rupa suatu barang mentah hingga memiliki nilai tambah, agar dapat dijual ke pasar. Secara eksplisit, sertifikasi dapat meningkatkan nilai dari suatu produk karena diberlakukannya sistem standarisasi. Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Salah satu skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat berpengaruh pada rantai perkopian di daerah tersebut adalah CAFE Practices ( Neilson, 2007). CAFE Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya digunakan oleh starbucks Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi CAFE Practices adalah menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, dengan cara: 1. Meningkatkan kualitas produk
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
2. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak yang dirugikan 3. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai produksi 4. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah lingkungan (C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0, 2007). Seperti disebutkan sebelumnya, sertifikasi digunakan sebagai cara meningkatkan kualitas dan suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Dalam penelitian ini, penulis menjadikan skema sertifikasi CAFE Practices sebagai studi kasus, untuk melihat apakah sertifikasi CAFE Practices ini merubah pola mata rantai nilai kopi arabika di tiga karakter wilayah produksi yang berbeda (Studi kasus: Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang) sejak diterapkan pada tahun 2008. Masalah Penelitian 1. Bagaimana pola mata rantai nilai lokal / local value chain kopi arabika sebelum dan sesudah diberlakukanya skema sertifikasi CAFE Practices di Sulawesi Selatan? 2. Bagaimana efisisensi penerapan sertifikasi CAFE Practices tersebut dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai kopi arabika di Sulawesi Selatan ? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efisiensi penerapan sertifikasi CAFE Practices dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang. Konsep Pemasaran Terkait Perdagangan Internasional Konsep pemasaran adalah mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga dapat menghasilkan produk maupun jasa yang sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari pemasar adalah membuat suatu kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya menjadi sebuah permintaan. Produk yang menjadi sebuah permintaan harus dapat memuaskan konsumen. Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus mengidentifikasi segmen pasar yang diinginkan (Perreault et al, 2010), berdasarkan kondisi demografi, psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap pembeli. Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan transaksi (Kotler, 2010). Dalam penelitian ini, inovasi dan standarisasi yang diaplikasikan starbucks Coffee adalah dalam bentuk skema sertifikasi CAFE Practices. Transformasi sistem perekonomian dunia setelah perang dunia 2 telah memberikan
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
dampak yang luar biasa hingga saat ini. Dampak yang sangat signifikan terasa adalah munculnya perusahaan internasional / Trans Nasional Corporations (TNC) yang mendominasi sistem perekonomian dunia. Proses produksi yang tadinya hanya terikat di satu wilayah, berubah melintasi batas Negara (Golledge et al, 1997). Inilah yang disebut era globalisasi dimana batas Negara tidak lagi menjadi hambatan dalam setiap kegiatan, terutama kegiatan ekonomi. Pemahaman TNC (Trans National Corporation) TNC (Trans National Corporation) merupakan perusahan yang memproduksi dan mendagangkan suatu produk dengan melewati batas nasional (Waitt et al, 2000). TNC ini sendiri memiliki peran paling besar dalam satu sistem pasar global. Hal ini dapat terjadi karena TNC lah yang mampu memproduksi barang dengan menggunakan bahan baku dari negara berbeda dan didistribusikan ke Negara lain pula. Pada penelitian ini, TNC diperankan oleh starbucks Coffee yang dalam satu sistem mata rantai nilai kopinya tidak hanya terletak di satu daerah lokal, tapi juga melewati batas Negara. Sulawesi Selatan menjadi salah satu wilayah produksi kopi yang terikat dengan sistem mata rantai nilai starbucks Coffee. Sertifikasi Latar Belakang Munculnya Sertifikasi Dasar munculnya sertifikasi tidak lepas dari konsep dasar pemasaran, yaitu mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga suatu produk maupun jasa dapat sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari pemasar adalah membuat suatu kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya menjadi sebuah permintaan. Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus mengidentifikasi segmen pasar yang diinginkan (Perreault et al, 2010), berdasarkan kondisi demografi, psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap pembeli. Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan transaksi (Kotler, 2002). Di era globalisasi ini, segala jenis informasi dengan mudah didapat oleh konsumen, mulai dari sumber produk, bagaimana produk diolah, bagaimana perusahaan bertanggung jawab atas tenaga kerja, mulai dari bahan mentah hingga barang jadi, bahkan bagaimana tanggung jawab perusahaan dengan ekosistem terkait dengan kegiatan produksi. Mudahnya informasi didapat oleh konsumen menjadi tantangan tersendiri bagi para perusahaan. Selain kepuasan yang didapat dari suatu produk, konsumen yang telah memiliki cara pandang lebih tinggi seperti kesadaran atas keseluruhan sistem rantai produksi harus ramah lingkungan dan tidak merugikan pekerja, menjadi aspek penting yang harus diperhatikan
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
perusahaan agar konsumennya tetap setia. Perubahan selera konsumen saat ini berubah, ditandai dengan meningkatnya permintaan terkait produk yang sehat dan berkualitas tinggi serta kesadaran proses produksi yang etis (Barret et al 1999). Maka atas dasar ini muncul suatu standarisasi, yang dalam kaitanya dengan mata rantai nilai kopi disebut sertifikasi. Terdapat berbagai jenis sertifikasi yang dipakai oleh perusahaan kopi tergantung target konsumen mereka. Ada yang orientasinya khusus pada keberlanjutan ekosistem sekitar perkebunan kopi, yaitu sertifikasi Rain Forest Alliance. Khusus starbucks Coffee, skema sertifikasi yang digunakan adalah CAFE Practices yang bertujuan menciptakan suatu sistem mata rantai nilai kopi yang berkelanjutan. Sertifikasi dapat diartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk yang homogen (Blackmore & Keeley, 2012). Secara eksplisit, Sertifikasi dapat meningkatkan nilai dari suatu produk, contohnya adalah kopi, komoditas yang akan menjadi bahasan utama dalam penelitian ini. Terkait dengan konsep pemasaran, sertifikasi ini diartikan sebagai inovasi dan peningkatan kualitas agar dapat memuaskan konsumen. Sertifikasi itu sendiri hanya akan efektif tergantung karakter tempat, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani yang sesuai (Blackmore & Keeley, 2012). Jika dikaitkan dengan modal bantuan yang dikeluarkan untuk menciptakan suatu produk kopi dengan tujuan meningkatkan minat beli konsumen, maka sertifikasi disini dapat dikatakan sebagai bentuk baru dari monopoli perdagangan (private regulation) dimana perusahaan mengambil alih suatu keputusan dari permintaan pasar (Blackmore & Keeley, 2012). CAFE Practices CAFE Practices merupakan skema sertifikasi yang bertujuan menciptakan kegiatan produksi kopi yang bersifat berkelanjutan. Ada empat point penting yang menjadi fokus skema sertifikasi ini, kualitas produk, transparansi keuangan, tanggung jawab sosial dan menejemen lingkungan. Keempat point ini dimaksud agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang bersifat berkelanjutan. Dalam penelitian ini, cakupan penerapan sistem CAFE Practices adalah semua aktor yang berada di Sulawesi Selatan setelah tahun 2008, yaitu saat di mana skema CAFE Practices diterapkan di Sulawesi Selatan. Konsep Rantai Nilai (Value Chain) Value chain dapat diartikan sebagai keseluruhan aktivitas yang akan menghasilkan sebuah produk ataupun servis yang terdiri dari beberapa proses, yang hasil akhirnya akan diantarkan kepada konsumen (Hellin & Meijer, 2006). Tujuan utama dari value chain adalah untuk menciptakan produk atau layanan yang memiliki nilai tambah untuk pasar dengan cara mengolah sumber daya dengan menggunakan sarana yang tersedia. Dalam implementasinya, selain ada peluang juga terdapat hambatan terkait lingkungan di dalam sistem tersebut. Hambatan yang terkait pengembangan sistem ini adalah sudut pandang yang terkait dengan
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
akses pasarnya, baik lokal, regional maupun internasional. Selain akses ke pasar, hambatan yang termasuk dalam sistem ini adalah orientasi pasar (Grunert et al. 2005), ketersediaan sumber daya, infrastruktur fisik (Porter 1998: factor conditions ) serta institusi terkait (Regulative, Cognitive and Normative; Scott 1995). Value chain itu sendiri terdiri dari dua aktifitas, yaitu aktifitas utama dan pendukung (Porter, 1998). Yang termasuk dalam aktifitas utama pada mata rantai nilai: a. Imbound Logistic: Proses kegiatan dari menerima, menggudangkan komoditas mentah dan mendistribusikanya ke tempat pengolahan pertama b. Operation: proses merubah produk mentah menjadi barang jadi serta adanya adanya pemberian servis c. Outbond logistic: pergudangan dan pendistribusian barang jadi d. Marketing: kegiatan mengidentifikasi kebutuhan konsumen untuk peningkatan penjualan e. Sales: Kegiatan pendukung (pelayanan) pada konsumen setelah produk dan servis telah terjual pada konsumen Sedangkan yang termasuk kegiatan pendukung: a. Infrastruktur perusahaan: struktur organisasi, sistem pengontrolan, budaya dalam dalam perusahaan b. Menejemen sumber daya manusia: perekrutan tenaga kerja, penerimaan, pelatihan, pengembangan dan pembayaran gaji c. Pengembangan teknologi: teknologi yang dipakai untuk mendukung kegiatan dalam memberi nilai tambah d. Procurement: proses pembayaran/transaksi dalam usaha memperoleh material, supplai dan peralatan yang terkait Semua yang masuk dalam kegiatan pendukung ada pada setiap tingkat kegiatan utama. Terkait dengan mata rantai nilai, adanya standarisasi yang diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi seharusnya memeiliki dampak yang positif untuk kegiatan produksi dan jual beli antar aktor. Sertifikasi (standarisasi) seharusnya mampu meningkatkan efisiensi dengan mengurangi ongkos transaksi antar aktor yang berbeda dalam satu mata rantai nilai (Cooper & Graffham, 2009) Linkages Biaya dalam setiap aktivitas penambahan nilai tidak akan pernah lepas dari aktifitas lain yang ada dalam satu sistem mata rantai nilai. Kaitan selalu muncul antar tiap aktifitas menjadikan munculnya dua tipe keterkaitan (linkage) (Porter, 1998): Kaitan (linkage) dalam satu mata rantai nilai Keterkaitan dalam setiap aktivitas penambahan nilai selalu masuk dalam satu sistem mata
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
rantai nilai. Secara umum, keterkaitan ini terjadi antar aktifitas utama. Seperti keterkaitan antara inbound logistic dengan operation ataupun outbound logistic. Dalam keperluannya untuk meminimalisir biaya, maka butuh dilakukan analisis, dengan pertanyaan apa saja yang akan terpengaruh dalam melakukan suatu aktifitas? Jika telah menemukan kunci keterkaitan antar aktifitas, maka sebuah perusahaan akan dapat mengambil suatu tindakan yang bertujuan meminimalisisr biaya mulai dari produksi hingga pemasaran (Porter, 1998). Kaitan (linkage) antar aktor dalam rantai nilai dan kaitannya dengan efisiensi Keterkaitan lain dalam sitem mata rantai nilai adalah keterkaitan antar aktor. Keterkaitan antar aktor juga sangat berperan dalam pengeluaran biaya suatu perusahaan. Keterkaitan antar aktor ini dapat dicontohkan sebagai keterkaitan antara penyaluran barang mentah hingga ke perusahaan pengolah. Dengan adanya hubungan antar aktor, perusahaan berpeluang meminimalisisr biaya penyaluran dari lokasi produksi barang mentah (Porter, 1998). Terkait dengan penelitian pola mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan, keterkaitan antar aktor ini akan sangat menentukan suatu efisiensi. Keterkaitan antar aktor ini bisa berdampak pada peningkatan biaya yang dibayar perusahaan, maupun peningkatan biaya yang dibayar petani agar hasil produksi barang mentahnya sampai ke tangan perusahaan. Keterkaitan antar aktor ini dapat dijadikan dasar analisis efisiensi atau kegagalan efisiensi akibat penerapan sertifikasi CAFE Practices. Jaringan Komoditas (Commodity Network) Dalam membahas rantai nilai suatu komoditas tidak akan lepas dari berbagai proses produksi hingga konsumsi. Hubungan antara produksi hingga konsumsi dapat diaplikasikan dalam bentuk jaringan / network concept (Hughes, 2004). Jadi, secara utuh, konsep jaringan digunakan untuk menyederhanakan koneksi antara berbagai pemeran dalam rantai nilai, seperti manusia, perusahaan, organisasi dll (Dicken et al., 2001; Thrift dan Olds, 1996). Analisis netwok dapat dikembangkan dengan pendekatan teori actor-network (ANT). ANT (Actor Network Theory) merupakan konseptualisasi spasial dari sebuah jaringan. Secara singkat, ANT menyatakan bahwa jaringan komoditas selalu berada pada suatu lokasi, bekerja pada suatu tempat dan waktu yang sudah jelas (Hughes, 2004). Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan merupakan proses tingkah laku manusia yang memiliki peran signifikan dalam konsep geografi. Terdapat berbagai aspek yang mempengaruhi seorang individu dalam mengambil suatu keputusan, beberapa diantaranya adalah aspek lingkungan, sosial, politik dan budaya (Golledge et al, 1997). Pembuktian aspek tersebut sebagai hal yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan dapat dilihat dari variabel struktural dan fungsional individu seperti pekerjaan, agama, umur, status pernikahan. Sedangkan dari
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
variabel sosial/ budaya/politik adalah seperti pendapatan, kelas sosial, tingkat pendidikan, etnis, kependudukan. Daris variabel spasial terdapat lokasi, kepadatan dan distribusi karakter lokasi. Sedangkan dalam penelitian ini, variabel yang dijadikan alat penentu pengambilan keputusan oleh aktor mata rantai nilai kopi Sulawesi Selatan adalah tingkat pendidikan, pendapatan, budaya dan karakter fisik (ketinggian dan aksesibilitas). Pengambilan keputusan dalam sistem mata rantai nilai kopi menjadi hal penting karena dalam setiap pergantian aktor terdapat aspek yang mendasarinya yang terlihat diwakili oleh variabel tersebut. Aksesibilitas Aksesibilitas merupakan kemudahan suatu tempat dicapai dari tempat lain. Aksesibilitas dapat diukur dari unsur jarak, waktu ataupun biaya yang terkait infrastruktur. Selain ketiga tolok ukur aksesibilitas yang telah disebutkan, ada tolok ukur non fisik yang menjadi tolok ukur akses ke suatu tempat, yaitu kelas sosial atau etnis tertentu (Pacione, 2009). Kondisi jalan, ongkos dan relasi menjadi variabel karena dirasa akan sangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh aktor. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai peran sertifikasi CAFE Practices terhadap perubahan pola mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan ini didasari oleh beberapa penelitian ilmiah. Terdapat sekitar tiga penelitian yang terkait dengan mata rantai nilai dan upgrading. Penelitian yang pertama adalah “Mempertahankan Profitabilitas Industri Kopi Toraja”, (2007). Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya mengakibatkan banyak tenaga kerja yang terikat dalam sistem produksi ini. Penelitian ini bertujuan memberikan solusi dan saran agar sistem produksi kopi ini terus berjalan dan dapat menghasilkan keuntungan bagi keseluruhan aktor dalam sistem. Penelitian kedua adalah “Agricultural Value Chains in Developing Countries A Framework for Analysis”, (2011). Globalisasi memberikan peluang pada Negara berkembang untuk berkontribusi dalam pasar nasional maupun internasional. Adanya kegiatan perdagangan internasional di Negara berkembang akan memberi dampak pada berbagai aktor. Terutama produsen skala kecil, mereka berada dalam pihak yang agak dirugikan karena minimnya modal yang diinvestasikan, hanya menggunakan teknik tradisional, tenaga kerjanya hanya bergantung pada saudara dan minimnya akses terhadap pasar internasional (De Janvry dan Sadoulet 2005; Daviron dan Gibbon 2002; Reardon dan Barret 2000 dalam Trienekens, 2011). Atas dasar hal ini, produsen besar yang bergantung pada produsen kecil sebagai suplayer bahan baku butuh meingkatkan kontrol dalam kegiatan produksi, perdagangan dan distribusi dalam menjamin kualitas dan nilai tambah suatu produk agar tetap laku di pasaran. Yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana produsen kecil di Negara berkembang
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
mendapatkan manfaat dari adanya sistem perdagangan bebas ini. Metode yang digunakan adalah menggunakan analisis kerangka mata rantai nilai. Penelitian berikutnya yang terkait dengan mata rantai dan upgrading adalah “From farm to super market: The trade in fresh horticultural produce from sub-Saharan Africa to the United Kingdom”, (2004). Dalam dua puluh tahun terakhir, produksi hortikultural segar telah ikut dalam perdagangan internasional. Negara-negara berkembang seperti Kenya, Mexico dan Brazil merupakan penghasil produk tersebut yang nantinya akan dijual ke Negara-negara berkembang, seperti Negara di Eropa dan Amerika Utara (Barret et al, 2004). Tingginya permintaan konsumen terhadap buah-buahan dan sayur seperti stroberi dan kacang-kacangan juga berpengaruh terhadap tingginya angka impor komoditas tersebut ke Negara-negara di Eropa, salah satunya adalah United Kingdom. Negara-negara di sub-sahara merupakan produsen buah-buahan dan sayuran yang dikirim ke United Kingdom. Menganalisis fenomena ini sebagai evaluasi dari perdagangan bebas akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan perdagangan di era globalisasi ini. Dalam penelitian, Pendekatan jaringan digunakan untuk menganalisis bagaimana sistem rantai perdagangan produk hortikultural. Studi kasus pada penelitian ini difokuskan pada Negara Kenya dan Gambia yang mengekspor buah dan sayuran segar ke United Kingdom. Penerapan Sertifikasi CAFE Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Dalam upaya mencapai suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, starbucks Coffee harus terus meningkatkan kualitas dan mengejar standar pasar yang terus meningkat. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan memenuhi standar pasar itu diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi, yaitu sertifikasi CAFE Practices. Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Salah satu skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat berpengaruh pada rantai perkopian di daerah tersebut adalah CAFE Practices ( Neilson, 2007). CAFE Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya digunakan oleh starbucks Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi CAFE Practices adalah menciptakan satu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, dengan cara: 5. Meningkatkan kualitas produk 6. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak yang dirugikan 7. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai produksi 8. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah lingkungan (C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0, 2007) “Skema sertifikasi CAFE Practices baru diterapkan di Toraja pada tahun 2008”, (Pak Sarjana, Kepala KUD Sane/UUO Agribisnis Toraja). Selama melakukan tinjauan antara keempat poin penilaian CAFE Practices, poin ke 1 dan 3 lah yang memiliki dampak pada
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan. Dalam penggunaan istilah operasionalnya dalam penelitian ini, aspek tanggung jawab sosial diartikan sebagai jaminan terjalinya aktivitas jual beli kopi antar aktor. Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Sebelum Penerapan Sertifikasi CAFE Practices (1997-2007) Pola mata rantai sebelum penerapan sertifikasi dibagi kedalam dua tahap, yaitu 19972004 dan 2005-2007 (Tabel 1). Dasar dari pembagian dua waktu tersebut adalah pada 1997, KUD terbuka pada siapapun yang ingin menjadi relasi penjualan dengan KUD, dan ini berlangsung hingga tahun 2004 di saat KUD berhenti membuka bebas relasinya. Kemudian tahap kedua, yaitu 2005-2007, yaitu masa dimana KUD berhenti terbuka pada relasi yang masuk dan sebelum penerapan CAFE Practices. Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (1997-2004) Distribusi kopi bersumber dari berbagai aktor, mulai dari petani hingga tengkulak. Hal ini dikarenakan starbucks yang saat itu baru memasuki pasar kopi terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi relasi (menjual kopi produksinya ke KUD Sane). Hal yang mempengaruhi lainya adalah harga kopi yang saat itu tinggi disaat terjadi krisis ekonomi, membuat petani
berlomb a menjual kopi sebanyak mungkin ke pada siapapun yang ingin membeli. Pada fase ini, terdapat dua pola mata rantai nilai di Toraja Utara dan Tana Toraja. Ada petani yang langsung menjual kopi ke KUD dan ada pula yang menjualnya ke tengkulak relasi. Petani yang langsung menjual kopi ke KUD saat ini agaknya lebih menguntungkan karena harga jual kopi tanduknya tidak terpotong oleh aktor perantara seperti tengkulak. Hal ini dapat terjadi karena KUD masih membuka relasi dan saat krisis harga kopi melambung tinggi membuat petani tertarik langsung menjual ke KUD. Pola kedua adalah petani yang tetap menjual ke tengkulak. Dapat disimpulkan pada fase ini, simpul mata rantai nilai kopi
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
lokal di Toraja Utara maupun tana Toraja berjumlah 1-2 simpul sebelum sampai ke KUD. Toraja Utara dan Tana Toraja yang memang sudah lebih dulu berkecimpung dalam mata rantai kopi di Sulawesi menampakan volume produksi yang cukup besar dibanding Enrekang. Berdasarkan wawacara yang dilakukan kepada seorang informan di Enrekang: “Enrekang memang masih baru berkecimpung dalam rantai kopi di Sulawesi, yaitu sekitar tahun 1997, saat krismon. Ketika itu, harga kopi yang ada di Toraja tinggi, membuat kami berpikir untuk mencoba juga. Kebetulan, KUD Sane juga melakukan penyuluhan untuk bagaimana menanam kopi dengan baik. Karena tuntutan ekonomi, kami mencoba peruntungan di bidang kopi. Saat memulai bertani kopi, luas tanah yang saya miliki hanya 0,5 Ha.” (Pak Burhanudin, Petani &Tengkulak) Pernyataan Pak Baraka di atas mengisyaratkan bahwa pengusahaan kopi bagi masyarakat Enrekang masih baru, sehingga pada saat iu, hanya ada satu aktor dalam rantai kopi yaitu petani. Petani di Enrekang sangat diuntungkan dengan adanya KUD sebagai pembeli kopi mereka. Dari hasil pengusahaan kopi, Pak Burhan mampu menghidupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pak Burhan mengakui bahwa beliau adalah pelopor pengusahaan kopi di Enrekang, khususnya Baraka. Jika dibandingkan dengan di Toraja, jumlah simpul mata rantai nilai di Enrekang sebelum sampai ke KUD hanya satu, yaitu petani. Hal ini akan berubah pada fase 2005-2007. Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (2005-2007) Petani yang awalnya banyak langsung menjual kopi ke KUD saat pada saat itu hanya menjual kopinya ke tengkulak. Hal ini terjadi karena dua faktor. Pertama, KUD sudah menutup pembukaan peluang menjadi relasi dan faktor kedua adalah harga kopi yang sudah mulai menurun. Di Toraja jumlah simpul mata rantai nilai tidak ada lagi yang hanya berjumlah satu. Pada fase ini, mata rantai nilai lokal di Toraja Utara maupun Tana Toraja berjumlah 2 simpul sebelum sampai ke KUD. “Di Toraja itu petani kopinya hanya ikut-ikutan nanem sebenernya, kalo harga tinggi berbondong-bondong semua nanem, tapi kalo harga turun, pada ga nanem. Kalo kopi murah, kadang mereka malah membiarkan kebun kopinya terlantar, jadi sayang, padahal kalo dirawat, potensi menghasilkan jumlah kopi yang lebih besar itu sangat mungkin. Penduduk Toraja dan Tana Toraja umumnya karakternya sama, hanya saja kabupaten yang beda. Budaya mereka sama, lebih mementingkan pesta. Pesta itu adalah acara pemakaman, setiap ada yang meninggal pasti dirayain dan tamu yang dating harus bawa babi atau kerbau. Sedangkan hasil dari penjualan kopi hanya buat kehidupan hari-hari” (Pak Sarjana, kepala KUD Sane). Hal ini dibuktikan dengan persenan pendapatan hasil kopi dari keseluruhan pendapatan. Kopi , hanya berperan sekitar 20 % di Toraja Utara dan 13 % di Tana Toraja dari
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
keseluruhan pendapatan (Neilson, 2009). Berbeda hal nya dengan Baraka, jumlah petani yang ada semakin meningkat malah semakin bertambah. Berdasarkan pengakuan informan, “ Saya itu bisa dibilang pelopor keberhasilan produksi kopi di Enrekang, saya awalnya hanya punya tanah buat nanem 0,5 Ha, tapi karena setiap ada pemasukan, saya tanam buat beli tanah, sekarang saya punya tanah 4 Ha. Terus penduduk sekitar yang melihat keberhasilan saya dan melihat pohon kopi saya yang bagus, mereka pada minta ajarin. Jadi ya sekarang banyak petani yang mulai mencari nafkah sebagai petani kopi, dan dari pendapatan yang diterima, kopi menyumbang sebesar 70% dari keseluruhan pendapatan ”, (Burhanudin, Baraka-Enrekang). Penutupan peluang menjadi relasi oleh KUD membuat masyarakat Baraka yang mulai mencoba pengusahaan kopi menjual kopinya ke Pak Burhan karena dia yang memiliki relasi dan dianggap senior. Akibat penutupan peluang menjadi relasi oleh KUD adalah munculnya simpul baru di sistem mata rantai nilai kopi Enrekang (Baraka), yaitu menjadi dua simpul yang awalnya hanya satu simpul dihitung sebelum sampai ke tangan KUD. Kendati demikian, petani tetap termotivasi untuk mengusahakan tanaman kopi. Hal ini juga tidak lepas dari keberhasilan Pak Burhanudin yang mampu meluaskan perkebunanya hasil dari pengusahaan tanaman kopi. Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Setelah Penerapan Sertifikasi CAFE Practices ( ≥ 2008) Berdasarkan pengamatan dampak yang dihasilkan oleh tiap unit standar sertifikasi CAFE Practices, aspek peningkatan kualitas dan aspek jaminan jual beli dapat berdampak pada perubahan pola mata rantai nilai, yaitu berdampak pada meningkatnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai di Sulawesi selatan khususnya Toraja Utara dan Tana Toraja. Aspek peningkatan kualitas menyebabkan tengkulak relasi yang ada harus memiliki kopi kulit tanduk yang sesuai dengan kriteria pembelian oleh KUD. Ketergantungan pendapatan petani kopi di Toraja terhadap kopi yang kecil, mengakibatkan tanaman kopi tidak terlalu maksimal terawat sehingga jumlah produksi juga sedikit. Ketergantungan pendapatan petani terhadap pengusahaan kopi yang sangat sedikit merupakan faktor pertama yang mengakibatkan tengkulak relasi sulit memperoleh kopi karena jumlah produksi sedikit. Jika ada kopi yang didapat haruslah disortir untuk mendapatkan kopi kulit tanduk yang bagus. Penyortiran itu sendiri butuh biaya untuk menyewa tenaga kerja penyortir. Akan sangat merugikan jika kopi yang didapat sedikit, namun juga harus mengeluarkan biaya untuk membayar penyortir. Faktor kedua adalah adanya pesaing kuat, yaitu Toarco yang memang lebih dulu berkecimpung di sistem rantai nilai kopi Toraja. Adanya pesaing menyebabkan semakin kecil jumlah kopi yang diperoleh oleh tengkulak relasi KUD. Dua hal inilah yang mengakibatkan beberapa tengkulak relasi tersisih dari segi penyaringan kualitas karena ditolak penjualan kopinya oleh KUD. Hanya beberapa yang berhasil bertahan menjadi relasi,
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
dan tengkulak yang tersisih berujung turun sati tingkat menjadi tengkulak yang hanya membeli kopi kulit tanduk dari petani. Fenomena yang cukup berbeda terjadi di pengusahaan kopi Enrekang. Mengingat kopi berkontribusi tinggi terhadap pendapatn masyarakat Enrekang, khususnya kecamatan Baraka, maka petani antusias agar kopi hasil tanamanya masuk standar kriteria pembelian oleh KUD. Ini cukup menguntungkan bagi tengkulak relasi KUD karena bias dikatakan kopi kulit tanduk dari petani terjamin tersedia. Keuntungan juga diperoleh KUD karena tidak ada pesaing seperti Toarco di Enrekang. Aspek jaminan jual beli antar aktor, yaitu memberi sebuah perpanjangan kontrak relasi pada tengkulak relasi yang kontinu menjual kopinya ke KUD. Mengingat adanya peningkatan kualitas, maka beberapa tengkulak relasi Toraja yang kekurangan modal untuk biaya penyortiran kesulitan memperoleh kopi untuk dijual ke KUD. Ini berakibat tidak berlanjutnya tengkulak menjual kopi ke KUD. Dalam pendataan KUD, kasus ini digolongkan kedalam relasi yang tidak kontinu menjual kopinya ke KUD. Akibatnya, hilanglah status relasi yang dimiliki beberapa tengkulak setelah diterapkannya sertifikasi CAFE Practices. Kondisi berlawanan terjadi pada tengkulak relasi di Enrekang. Tengkulak relasi memang lebih diuntungkan dibanding dengan tengkulak di Toraja. Petani yang ada di Enrekang lebih memiliki usaha tinggi dalam mengusahakan pertanian kopi. Hal ini berakibat pada kualitas kopi yang baik dan produksi yang konsisten ada untuk dijual ke tengkulak. Pola perubahan yang terjadi setelah penerapan CAFE Practices tidak lepas dari aktivitas penambahan nilai pada komoditas kopi. Berdasarkan hasil pengamatan, ada beberapa perlakuan terhadap kopi yang berbeda antara sebelum (Tabel 1) dan setelah diterapkanya sertifikasi CAFE Practices (Tabel 2 & 3). Dari evaluasi hasil penerapan aspek peningkatan kualitas produk dan aspek jaminan jual beli, dapat dilihat adanya perubahan pola mata rantai di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu meningkatnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi. Sebelum penerapana sertifikasi, jumlah simpul di Toraja Utara dan Tana Toraja adalah dua buah (dihitung sebelum sampai tangan KUD). Sedangkan setelah diterapkanya sertifikasi, jumlah simpul mata rantai nilai kopi di Toraja menjadi tiga buah. Hasil yang berbeda terjadi di Enrekang. Pola mata rantai nilai kopi di Enrekang tidak berubah antara sebelum dan sesudah penerapan sertifikasi CAFE Practices. Jumlah simpul yang ada tetap sama, yaitu dua buah.
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
Peran Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Terhadap Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFE Practices Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Efektif dan efisien dalam penelitian ini dilihat dari berbagai sudut pandang, sudut pandang perusahaan dan sudut pandang masyarakat sebagai produsen. Efektif dan efisien dari sudut pandang perusahaan adalah jika tercipta suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan setelah diterapkannya CAFE Practices. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat petani, semakin panjang mata rantai nilai kopi di suatu lokasi akibat penerapan sertifikasi, maka semakin tidak efisien penerapan sertifikasi diterapkan di lokasi tersebut. Semakin panjangnya mata rantai nilai kopi diindikasikan dari meningkatnya jumlah simpul pada sistem mata rantai nilai. Jika hal
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
berlawanan terjadi, yaitu saat pola mata rantai nilai semakin pendek atau tetap dari pola mata rantai nilai sebelum diterapkan sertifikasi, maka sertifikasi yang digunakan efisien diterapkan diterapkan dilokasi tersebut. Semakin pendek maupun tetapnya pola mata rantai nilai diindikasikan dari jumlah simpul yang berkurang ataupun tetap. Alasan dikatakannya semakin panjang mata rantai semakin tidak efisien penerapan sertifikasi adalah karena keuntungan yang didapat akan semakin kecil, khususnya bagi aktor dengan ordo terendah (petani). Sedangkan alasan mata rantai nilai yang tetap dapat dianggap efisien adalah karena kualitas produk kopinya menjadi lebih baik karena optimalisasi saat pengolahan di perkebunan dan mampu mempertahankan penjualan kopi ke perusahaan sehingga dapat penghasilkan pendapatan yang optimal dan berkelanjutan bagi petani walaupun dengan jumlah simpul yang sama antara sebelum penerapan sertifikasi. Kita dapat melihat penambahan jumlah simpul dan tidak berubahnya jumlah simpul di lokasi yang berbeda. Bertambahnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi terjadi di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu dari 2 buah menjadi 3 buah simpul setelah diterapkanya sertifikasi CAFE Practices. Bertambahnya jumlah simpul yang ada di Toraja Utara dan Tana Toraja disebabkan oleh beberapa faktor. Kontribusi pengusahaan kopi terhadap pendapatan masyarakat sangat kecil. Pengaruh budaya membuat orientasi hidup masyarakat Toraja mencari uang sebanyak mungkin agar bias melaksanakan upacara adat pemakaman. Kecilnya hasil dari pengusahaan kopi oleh petani membuat pengusahaan tanaman kopi juga rendah. Hal ini dilihat dari jarangnya petani merawat pohon kopi dan merawat kebun kopinya. Umumnya, petani di Toraja hanya bekerja saat masa panen saja (Neilson, 2007). Sedikitnya perawatan membuat hasil produksi kopi tidak stabil, terkadang menghasilkan, terkadang tidak. Selain masalah dari sisi petani, terdapat faktor lain yang berpengaruh. KUD bukanlah pembeli kopi tunggal di Toraja. Pesaing KUD adalah Toarco yang sejarahnya adalah aktor yang telah lama berperan dalam industri kopi Toraja sejak 1976. Walaupun memang KUD tidak sepenuhnya kehilangan kuota memperoleh kopi dari Toraja, namun adanya dua pembeli besar akan mengurangi jumlah kopi yang diperoleh. Ditambah lagi produksi kopi di Toraja relatif sedikit dan berdasarkan wawancara dengan petani kopi, ikatan emosional penduduk Toraja lebih dekat dengan Toarco karena dianggap berjasa mempelopori pengusahaan kopi. Sedikitnya produksi kopi mengakibatkan tengkulak relasi tidak menjamin bisa selalu menjual kopi ke KUD. Dampak pada pola mata rantai nilai lokal kopi Toraja sangat terasa ketika diterapkanya skema sertifikasi. Aspek jaminan jual beli yang bertujuan memberi perpanjangan kontrak bagi relasi yang konsisten sulit diupayakan oleh tengkulak relasi Toraja. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh kopi dari petani. Selain itu, adanya peningkatan kualitas produk menuntut tengkulak relasi menyortir kopi kulit tanduk agar sesuai dengan standar sertifikasi. Sayangnya, penyortiran kopi kulit tanduk membutuhkan
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
pekerja yang harus dibayar. Bagi tengkulak relasi yang tidak punya modal cukup membayar penyortir,ini menjadi kendala besar untuk menjual kopi ke KUD, karena kemungkinan besar kopi nya tidak akan dibeli. Oleh karena itu, bagi beberapa tengkulak yang tidak mendapatkan kopi dari petani dan tidak punya modal sendiri akan kehilangan status relasinya dan memilih jadi tengkulak perantara antara petani, dengan tengkulak relasi KUD, yang tidak harus menyortir kopi dari petani. Berbeda kasusnya dengan pola mata rantai nilai di Enrekang. Tidak terjadi penambahan simpul di mata rantai nilai kopi nrekang. Alasan pola mata rantai di Enrekang tetap juga dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kontribusi pengusahaan kopi pada petani di Enrekang tergolong besar, yaitu sekitar 70 % dari keseluruhan pendapatan. Selain itu, berbeda dengan penduduk Toraja yang orientasi hidupnya adalah mecari uang untuk upacara adat, orientasi hidup petani Enrekang lebih cenderung untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan anak mereka. Karena kopi menjadi tumpuan utama penduduk Enrekang khusunya kecamatan Baraka, maka pengusahan kopi oleh petani sangatlah maksimal. Hal ini berdampak pada konsistensi produksi kopi yang baik. Perawatan kebun juga dilakukan secara berkala. Petani selalu konsisten menjual kopinya ke tengkulak relasi, dan hal ini berdampak sangat baik pada tengkulak relasi. Konsistensi penjualan kopi ke KUD dan kualitas yang dijual baik serta banyak, membuat KUD menjadikan Enrekang sebagai lokasi kunci agar tercipta keberlanjutan sistem mata rantai nilai kopi, mengingat jika mengandalkan kopi dari Toraja akan sangat rentan. Akibat beberapa faktor ini, tidak ada simpul baru maupun simpul yang hilang dari sistem mata rantai nilai kopi di Enrekang. Hasil evaluasi perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi menunjukan beberapa fakta. Jika kita melihat dari sudut pandang perusahaan starbucks yang diwakili KUD, CAFE Practices efektif karena berhasil menciptakan suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan. Selain itu sertifikasi membuat perusahaan lebih efisien dalam upaya meningkatkan kualitas karena petani dan tengkulaklah yang mengusahakan kopi agar memiliki kualitas baik agar dapat dijual ke perusahaan. Namun pada penelitian ini, efisien tidak dilihat dari sudut pandang perusahaan, melainkan dari sudut pandang masyarakat petani. Efisien dari sudut pandang perusahaan berbeda denga sudut pandang masyarakat petani. Jika dilihat dari sudut pandang petani, penerapan CAFE Practices nyatanya menyulitkan tengkulak relasi menjual kopi ke perusahaan khususnya di Toraja. Kesulitan ini dikarenakan tidak optimalnya pengusahaan kopi saat diperkebunan oleh petani. Selain itu, kesulitan ini berdampak pada munculnya simpul baru yang mengakibatkan harga jual kopi oleh petani menjadi semakin rendah dan sangat merugikan petani Toraja. Pengelolaan perkebunan yang tidak optimal di Toraja membuat tengkulak relasi harus melakukan penyortiran agar mampu menyesuaikan standar pembelian KUD. Akibat dari peningkatan standar, tengkulak relasi yang tidak memiliki biaya untuk menyortir kopi yang dibeli dari petani akhirnya memilih menjadi tengkulak perantara.
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
Selain itu, karena jumlah kopi dari petani sedikit, maka keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan onkos transport yang harus dikeluarkan untuk menditribusikanya ke tempat pembelian. Oleh karena itu sebagian dari tengkulak relasi yang modalnya kecil memilih untuk menjadi tengkulak perantara dan menjual kopi yang dibeli dari petani ke tengkulak relasi. Munculnya simpul baru ini menandakan bahwa penerapan sertifikasi tidak efisien diterapkan di Toraja karena harus ada biaya lebih yang dikeluarkan agar mampu menyesuaikan standar perusahaan. Kasus yang berbeda terjadi di Enrekang. Pengelolaan perkebunan kopi lebih maksimal, maka tengkulak tidak lagi perlu khawatir akan kehilangan kesempatan menjual kopi ke KUD. Optimalisasi pengelolaan perkebunan oleh petani merupakan alasan mengapa tidak adanya biaya penyortiran yang dikeluarkan oleh tengkulak relasi. Oleh karena itu, jumlah simpul yang tetap antara sebelum dan setelah penerapan CAFE Practices menandakan bahwa efisiensi penerapan Café Prectice tercapai di Enrekang. KESIMPULAN Pola mata rantai nilai setelah penerapan Cafe Practice semakin panjang di wilayah yang penduduknya masih memiliki ikatan kuat dengan tanah adat. Panjangnya pola rantai nilai ditandai dengan munculnya simpul/mata rantai baru dalam rantai nilai setelah penerapan Cafe Prctice. Pola mata rantai nilai setelah penerapan Cafe Practice tidak berubah pada wilayah yang penduduknya tidak memiliki ikatan dengan tanah adat. Dibandingkan wilayah yang penduduknya memiliki ikatan kuat dengan tanah adat, penerapan Cafe Practice lebih efisien diterapkan di wilayah yang penduduknya tidak memiliki ikatan dengan tanah adat. DAFTAR PUSTAKA Barrett, H., Ilbery, B., Browne, A. dan Binns, T. 1999. Globalization &Tthe Changing Networks of Food Supply:The Importation of Fresh Horticultural Produce from Kenya into The UK. Transactions of the Institute of British Geographers, 24, pp. 159–74. Blackmore, Emma dan Keeyley, James. 2012. Pro-Poor Certification: Assessing The Benefits of Sustainibility Certification for Small-Scale Farmers in Asia. United Kingdom: IIED. C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0. 2007. C.A.F.E. Practice Generic Overview. 2004. Cooper , J dan Graffham. 2009. Glogal GAP version 3: Threat or opportunity for small-scale African growers. Dicken, P. et al. 2001. Chain and Networks, Teritories and Scales : Towards a Relational Framework for Analysing the Global Economy, Global Networks, 1 (2), pp. 89112. Golledge, Reginald G, et al. 1997. Spatial Behavior: A Geographic Perspective. New York: The Guilford Press. Grunert, K., J. Fruensgaard, L. Risom, K. Jespersen dan A. Sonne. 2005. Market Orientation of Value Chains: A Conceptual Framework Based on Four Case Studies from The Food Industry. European Journal of Marketing 39(5/6): 429-455.
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013
Hellin, Jon dan Meijer, Madelon. 2006. Guiedlines for Value chain Analysis. Hughes, Alex dan Reimer, Suzanne. 2004. Geographies of Comodities Chain. London: Routledge. Humphrey, J., & Schmitz, H. 2004. Governance in global value chains dalam H. Schmitz (Ed.), Local enterprises in the global economy (hal. 95–109). Cheltenham: Edward Elgar. Kotler, Philip. 2002. Marketing Management: Millenium Edition. USA: Pearson Costum Publishing. Neilson, Jeff. 2007. Global private Regulation and Value-Chain Restructuring in Indonesian Smallholder Coffee System. Sydney: Elsevier. Neilson, J., B, Arifin, et al. 2011. Quality Upgrading in Specialty Coffee Chains and Smallholder Livelihoods in Eastern Indonesia: Opportunities and Challenges. Perreault et al. 2010. Essential of Marketing. Mc Graw-Hill Companies, Inc. Porter, Michael E.. 1998. Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior Performance: With A New Introduction. USA: The Free Press. Roduner, Daniel. 2005. Value-Chains What is behind this ‚new’ key word? And what is the role of development agencies in value chain development in developing countries?.Rural Development News. Scott, W. Richard. 1995. Institutions and Organizations Foundations for Organizational Science. London: SAGE Publications Ltd. Shonk, Felicity. 2012. Coffee, Buffalo and Remittances. Sydney: University of Sydney. Thrift, Nigel dan Olds, Kris. 1996. “Refuguring the economic in Economic Geography”, Progress in Human Geography, Vol. 27 (3), pp. 323-40. Trienekens, Jacques H. 2011. Agricultural Value Chains in Developing Countries A Framework for Analysis. International Food and Agribusiness Management Review Volume 14, Issue 2. Van Dijk, P.M dan Trienekens, Jacques. 2012. Global Value Chain: Linking Local Producers from Developing Countries. Amsterdam: Amsterdam University Press. Yunus, H.S. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. DIY: Pustaka Pelajar.
Peran sertifikasi …, Fathia Hashilah, FMIPA UI, 2013