PERAN REOLOGI ADONAN DI DIE HEAD EKSTRUDER, DERAJAT GELATINISASI DAN KRISTALINITAS BERAS ANALOG PADA KARAKTERISTIK FISIKNYA
FALEH SETIA BUDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Peran Reologi Adonan di Die Head Ekstruder, Derajat Gelatinisasi dan Kristalinitas Beras Analog pada Karakteristik Fisiknya adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor,
Juni 2016
Faleh Setia Budi F261110061
iii
RINGKASAN FALEH SETIA BUDI. Peran Reologi Adonan di Die Head Ekstruder, Derajat Gelatinisasi dan Kristalinitas Beras Analog pada Karakteristik Fisiknya. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, dan DAHRUL SYAH Dewasa ini penggunaan teknologi ekstrusi untuk membuat beras analog mendapatkan cukup banyak perhatian dari para peneliti karena banyaknya kelebihan yang dimilikinya. Proses ekstrusi melibatkan banyak parameter seperti reologi bahan di die head, derajat gelatinisasi dan sebagainya. Koide dan Zhuang mengidentifikasi derajat gelatinisasi sebagai parameter kritis yang berpengaruh terhadap mutu beras analog dan dipengaruhi oleh suhu ekstrusi, kadar air adonan, dan kecepatan screw. Namun Bhatnagar dan Hanna mengatakan bahwa pati jagung yang meninggalkan daerah melting zone ekstruder sudah tergelatinisasi sempurna. Oleh karena itu perlu dilakukan reinvestigasi terhadap pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat gelatinisasi dan dampaknya pada mutu beras analog. Kadar air adonan dan kadar amilosa bahan dan suhu ekstrusi juga berpengaruh terhadap kristalinitas beras analog yang berdampak terhadap kekerasan beras analog dan reologi bahan di dalam die head ekstruder yang berdampak pada bentuk beras analog. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan parameter-parameter kritis yang sangat berpengaruh terhadap mutu beras analog berbahan dasar jagung (kekerasan beras analog, kekerasan nasi beras analog, kekuatan kunyah nasi beras analog, densitas kamba, dan bentuk) dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi parameter-parameter kritis tersebut (kadar air, kadar amilosa, dan suhu ekstrusi). Untuk mengevaluasi hipotesa di atas maka disusunlah penelitian yang terdiri atas 3 tahapan, yaitu; (1) Pengembangan model empiris pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat gelatinisasi dan dampaknya terhadap kekerasan beras analog, (2) Pengembangan model matematis pengaruh derajat kristalinitas beras analog terhadap kekerasan beras analog dan kekerasan nasi beras analog, dan (3) Pengembangan model empiris pengaruh indeks perilaku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) adonan di dalam die head ekstruder terhadap bentuk beras analog. Pada tahap pertama suhu ekstrusi divariasi pada level 50 oC, 60 oC, 70 oC, 80 oC, dan 90oC dan kadar air adonan 35%, 40%, dan 45% dengan respon derajat gelatinisasi dan kekerasan beras analog. Pada tahap kedua dan ketiga proses ekstrusi dilakukan pada suhu 70 oC, 80 oC, dan 90oC, kadar amilosa 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09% serta kadar air adonan sama seperti tahap pertama dengan respon derajat kristalinitas, kekerasan beras, kekerasan nasi, kekuatan kunyah nasi, indeks konsistensi, indeks perilaku aliran, dan bentuk beras analog. Berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa proses ekstrusi pada suhu 70–90oC dan kadar air adonan 35–45% menyebabkan granula pati tergelatinisasi sempurna dan berubahnya tipe kristal A menjadi V. Derajat gelatinisasi beras analog tidak berkorelasi dengan kekerasan beras analog. Derajat kristalinitas berkorelasi positif dengan kekerasan beras analog (r=0.561, p=0.01) dan kekerasan nasi beras analog (r=0.891, p=0.01). Adonan beras analog di die head ekstruder merupakan fluida non Newtonian pesudoplastik (n<1). Semua
iv
perlakuan percobaan menghasilkan aliran tipe laminar sehingga tipe aliran tidak berdampak terhadap bentuk beras analog. Nilai K<21000 Pa.sn dan n<0.5 menyebabkan beras analog berbentuk trapesium, nilai K>21000 Pa.sn dan n<0.5 menghasilkan beras analog berbentuk pellet; dan nilai K>21000 Pa.sn dan 0.5
v
SUMMARY FALEH SETIA BUDI. Role of Dough Rheology in Extruder Die Head, Degree of Gelatinization and Crystallinity of Rice Analogues on Physical Characteristics. Supervised by PURWIYATNO HARIYADI, SLAMET BUDIJANTO, and DAHRUL SYAH. In recent years researchers were interested in the usage of extrusion technology for producing rice analogues because of many benefit. The extrusion process involved some parameters as rheology of material in die head, degree of gelatinization etc. Koide and Zhuang identified the degree of gelatinization as critical parameter that greatly influenced the quality of rice analogues and was affected by extrusion temperature, moisture content of dough, and screw speed. However Bhatnagar and Hanna revealed that the corn starch leaving the melting zone in the barrel of extruder had gelatinized completely. Therefore the effect of extrusion temperature and dough moisture content on degree of gelatinization that impacted the quality of rice analogues needed to be reinvestigated. Moisture content and amylose content of dough and extrusion temperature also influence the crystallinity of rice analogues that impact the hardness of rice analogues and the rheology of material in the die head of extruder that affect on the shape of rice analogues. This research aimed to obtain the critical parameters greatly affected on the quality of rice analogues of corn based material (hardness of rice analogues, hardness of cooked rice analogues, gumminess of cooked rice analogues, bulk density, and shape of rice analogues) and factors that can influence the critical parameters (dough moisture content, amylose content, and extrusion temperature). To evaluate the hypothesis, the research was conducted in 3 step, i.e.: Development of empiric model of effect of extrusion temperature and dough moisture content on degree of gelatinization and impacted on hardness of rice analogues, Development of mathematic model of effect of crystallinity on hardness of rice analogues and hardness of cooked rice analogues, and Development of empiric model of effect of consistency index (K) and flow behavior index of dough (n) in die head of extruder on the shape of rice analogues. In the first step temperature of extrusion was set at level of 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, and 90oC and dough moisture content of 35%, 40%, and 45% with response parameters including degree of gelatinization and hardness of rice analogues. In the second and third steps the extrusion process were conducted at temperature of 70oC, 80oC, and 90oC, and amylose content of 16.99%, 19.35%, 21.72%, and 24.09% as well as dough moisture content of 35, 40, and 45% with response parameters including degree of crystallinity, hardness of grain, hardness and gumminess of cooked rice analogues, bulk density, rheology of material and shape or rice analogues. Based on the analysis of experiment data can be concluded that the extrusion process at temperature of 70–90oC and dough moisture content of 35–45% caused the starch granules gelatinized completely and changed type crystal A in the raw material to type crystal V in the rice analogues. The degree of gelatinization of rice analogues did not correlate with hardness of rice analogues. The degree of crystallinity of rice analogues correlated positively with the hardness of rice analogues (r=0.561, p=0.01) and hardness of cooked rice analogues (r=0.891, p=0.01). The dough of rice analogues in die head of extruder were pseudoplastic vi
non Newtonian fluid (n<1). All the treatment of experiment resulted in the laminar flow type so that the type of flow didn’t influence the shape of rice analogues. Value of K<21000 Pa.sn and n<0.5 caused trapezium form of rice analogues, value of K>21000 Pa.sn and n<0.5 produced rice analogues with pellet shape, and value K>21000 Pa.sn and 0.5
vii
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
viii
PERAN REOLOGI ADONAN DI DIE HEADEKSTRUDER, DERAJAT GELATINISASI DAN KRISTALINITAS BERAS ANALOG PADA KARAKTERISTIK FISIKNYA
FALEH SETIA BUDI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
ix
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS Prof. Dr. Ir. Bambang Hariyanto, MS.
x
Judul Nama NRP
: Peran Reologi Adonan di Die Head Ekstruder, Derajat Gelatinisasi dan Kristalinitas Beras Analog pada Karakteristik Fisiknya : Faleh Setia Budi : F261110061
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr Anggota
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum
Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 14 April 2016
Tanggal Lulus:
xi
PRAKATA Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala petunjuk dan karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini mengeksplorasi proses ekstrusi beras analog dari bahan jagung dan mengevaluasi peran derajat gelatinisasi, kristalinitas, dan reologi bahan di dalam die head ekstruder pada karakteristik fisik beras analog yang dihasilkan. Penelitian ini dilaksanakan sejak Juni 2013 sampai September 2015. Penghargaan yang setingi tingginya disampaikan kepada Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Sekolah Pascasarja IPB dan Direktorat Pendidikan Tinggi Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang telah memberikan dukungan dana untuk biaya pendidikan dan penelitian melalui Program BPPS dan Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr., dan Dr. Ir. Dahrul Syah sebagai Komisi Pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. (Ketua Departemen ITP IPB), Prof. Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Tien Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si, Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc, Azis Boing Sitanggang, STP, M.Sc. yang telah memberikan dukungan semasa penelitian dan penulisan artikel ilmiah. Kepada penguji luar komisi, Dr. Ir. Adil Basuki Ahza, MS (pada ujian tertutup dan terbuka), Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS (pada ujian tertutup), Prof. Dr. Ir. Bambang Hariyanto, MS (pada ujian terbuka), Dr. Elvira Syamsir, STP, MSi dan Dr. Tjahja Muhandri, STP, MT (pada ujian prakualifikasi) disampaikan banyak terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman di Departemen ITP IPB, teman-teman mahasiswa Pascasarjana IPB, rekan-rekan teknisi di laboratorium ITP, Seafast Center, dan Techno-Park Fateta IPB. Dengan penuh rasa hormat dan kecintaan, penulis ucapkan terima kasih yang tulus kepada Bapak Zuhdi (Almarhum), Ibu Hanifah (Almarhumah), ke enam kakak kandung, Bapak Djamian Tambunan (Almarhum), Ibu Suhaesih, dan semua saudara ipar serta kepada istri (Ika Roostika) dan ananda (Furaida Alya Muna) yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga hasil karya ini memberikan manfaat yang seluas-luasnya.
Bogor,
Juni 2016
Faleh Setia Budi
xii
DAFTAR ISI DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR GAMBAR
xvi
1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 3 4 4
2. TINJAUAN PUSTAKA Beras Analog Ekstrusi Reologi Bahan Perilaku Aliran Bahan Viskositas Terukur Tipe Aliran dan Bentuk Beras Analog Perilaku Aliran Bahan dan Bentuk Beras Analog Derajat Gelatinisasi dan Mutu Beras Analog Kristalinitas Bahan Bahan dan Kondisi Operasi Ekstruder
5 5 7 9 9 10 12 12 14 14 19
3. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Proses Ekstrusi Prosedur Analisis
21 21 21 22 26 26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Bahan Derajat Gelatinisasi Beras Analog Penentuan Suhu Ekstrusi Tipe Kristal dan Derajat Kristalinitas Beras Analog Kekerasan Beras Analog Kekerasan dan Kekuatan Kunyah Nasi Beras Analog Korelasi Derajat Kristalinitas dengan Kekerasan Beras Analog dan Kekerasan Nasi Beras Analog Densitas Kamba Beras Analog Perilaku Reologi Adonan Beras Analog di dalam Die Head Ekstruder Bentuk Beras Analog Implikasi Praktis Terhadap Kekerasan dan Bentuk Beras Analog
35 35 37 42 45 50 58
5. SIMPULAN DAN SARAN
61 64 66 74 80 83
xiii
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
85
DAFTAR TABEL Tabel 1. Penelitian beras analog dari berbagai bahan dan hasil capainnya Tabel 2. Fluida Newtonian, Power Law dan Plastik Bingham sebagai kasus khusus dari model Herschel-Bulkey Tabel 3. Kadar amilosa dan suhu gelatinisasi beberapa bahan sumber pati Tabel 4. Pengaruh kadar air adonan dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi dan viskositas bahan Tabel 5. Analisa proksimat tepung jagung kuning dan pati jagung Tabel 6. Kadar pati, amilosa dan serat dari tepung dan pati jagung Tabel 7. Derajat gelatinisasi beras analog pada beberapa kondisi operasi ekstrusi Tabel 8. Kecepatan alir dan densitas bahan di dalam die head ekstruder pada beberapa kadar air adonan dan suhu ekstrusi Tabel 9. Kecepatan alir dan densitas bahan di dalam die head ekstruder pada beberapa kadar amilosa dan suhu ekstrusi. Tabel 10. Analisis sidik ragam persamaan 35 Tabel 11. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap reologi dan bentuk beras analog Tabel 12. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar amilosa terhadap reologi dan bentuk beras analog Tabel 13. Perbandingan karakteristik fisik beras analog dengan beras IR 64
6 10 19 20 36 36 41 70 70 74 75 76 83
xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Variabel-variabel proses ekstrusi Gambar 2. Kurva aliran bahan pangan Gambar 3. Kurva viskositas bahan pangan Gambar 4. Distribusi kecepatan dan bentuk aliran laminar (A) dan turbulen (B) Gambar 5. Profil distribusi kecepatan laminar untuk fluida power law dengan nilai indeks perilaku aliran n berbeda Gambar 6. Susunan rantai molekul polimer dalam unit cell Gambar 7. Model kristal polimer semikristal Gambar 8. Difraktogram sinar X dari kristal pati tipe A, B, dan V Gambar 9. Struktur kristal pati tipe A dan B Gambar 10. Struktur molekul (a) dan kristal senyawa komplek amilosa-lipid (b) Gambar 11. Struktur cluster amilopektin dan molekul amilosa Gambar 12. Kekerasan (H) polimer semikristal sebagai fungsi dari derajat kristalinitas (αc atau α) untuk bahan iPBu-1 (a) dan bahan polimer lain (b). Gambar 13. Bentuk dan ukuran geometri die beras analog Gambar 14. Diagram alir penelitian utama pertama Gambar 15. Diagram alir penelitian utama kedua dan ketiga Gambar 16. Gambar skema ekstruder Berto BEX-DS-2256 Gambar 17. Rotary rheometer parallel plate Haake MARS Gambar 18. Thermogram DSC tepung jagung, pati jagung, dan campuran pati-tepung jagung dengan rasio 9:1 Gambar 19. Difraktogram sinar X pati jagung, tepung jagung dan campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 dan beras IR 64 Gambar 20. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 (a), beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 50oC-40% (b), beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 60oC-35%, 60oC-40%, 60oC-45 % (c, d, e) Gambar 21. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 (a), beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 70oC-35%,70oC-40%, 70oC-45 % (b, c, d), pada kondisi operasi 80oC-35%, 80oC-40%, 80oC-45 % (e, f, g) dan pada kondisi operasi 90oC-35%, 90oC-40%, 90oC-45 % (h, i, j). Gambar 22. Thermogram DSC pati/tepung jagung pada rasio 1/9 dan beras analog yang dihasilkan pada suhu ekstrusi 70oC (a), 80oC (b), dan 90oC (c) serta kadar air adonan 35% , 40%, dan 45%. Gambar 23. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan suhu ekstrusi pada kadar air adonan 35%, 40%, dan 45% Gambar 24. Grafik hubungan derajat gelatinisasi dan suhu ekstrusi pada kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%
xvi
9 10 11 13 13 15 15 16 16 17 17
18 21 24 25 26 35 37
37
38
39
40 43 43
Gambar 25. Beras analog pada suhu ekstrusi 60oC dan kadar air adonan 35% (a), 40% (b), dan 45% (c) Gambar 26. Beras analog pada kondisi operasi 70oC-35% (a), 70oC-40% (b),70oC-45% (c), 80oC-35% (d), 80oC-40% (e), 80oC-45% (f), 90oC-35% (g), 90oC-40% (h), dan 90oC-45% (i) Gambar 27. Beras analog yang puffing Gambar 28. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 80oC dan kadar amilosa 16.99% (k.a.: kadar air) Gambar 29. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada kadar air 35% dan kadar amilosa 16.99% Gambar 30. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 80oC dan kadar air 35% (k.am: kadar amilosa). Gambar 31. Grafik hubungan derajat kristallinitas beras analaog dan kadar air adonan. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi dan notasi x, y, z untuk faktor kadar air adonan. Gambar 32. Grafik hubungan derajat kristalinitas beras analog dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi Gambar 33. Termogram DSC beras analog dari adonan pati-tepung jagung (rasio 1/9) dengan kadar air 35% (a), 40%(b), dan 45% (c) dan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 34. Cell unit kristal tipe V komplek amilosa-lipid yang dilihat dari bidang a,b menunjukkan susunan spasial heliks dan dihubungkan oleh ikatan hidrogen Gambar 35. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan kadar air adonan. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar amilosa Gambar 36. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan kadar amilosa pada pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, untuk faktor kadar amilosa Gambar 37. Foto SEM dengan perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada kadar air adonan 40%, kadar amilosa adonan 16.99%, dan suhu ekstrusi 70oC (a), 80oC (b), dan 90oC (c) Gambar 38. Foto SEM dengan perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 70oC, kadar amilosa adonan 16.99%, dan kadar air adonan 35% (a), 40% (b), dan 45% (c)
44
44 45
45
46
46
47
47
49
50
51
51
53
54
xvii
Gambar 39. Foto SEM perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 70oC, kadar air adonan 40%, dan kadar amilosa adonan 16.99% (a) dan 24.09% (b) Gambar 40. Foto SEM perbesaran 750x dari beras analog dengan suhu ekstrusi 70oC-kadar amilosa 16.99% (a), suhu ekstrusi 90oC-kadar amilosa 24.09% (b), kadar air adonan 45%-kadar amilosa 16.99% (c), dan kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% (d) Gambar 41. Foto SEM perbesaran 750x dari beras analog dengan suhu ekstrusi 70oC-kadar air adonan 35%-kadar amilosa 16.99% (a) dan suhu ekstrusi 90oC-kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% (b). Gambar 42. Grafik hubungan kekerasan nasi dan kadar air adonan pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan Gambar 43. Grafik hubungan kekuatan kunyah nasi dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c, untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan Gambar 44. Grafik hubungan kekerasan nasi dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar amilosa Gambar 45. Grafik hubungan kekuatan kunyah nasi dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y untuk faktor kadar amilosa Gambar 46. Korelasi antara derajat kristalinitas dan kekerasan beras analog dan nasi beras analog Gambar 47. Nasi beras IR 64 (a) dan nasi beras analog yang dihasilkan Pada perlakuan 70oC-35%, 70oC-40%, 70oC-45%, 80oC-35%, 80oC-40%, 80oC-45%, 90oC-35%, 90oC-40% dan 90oC-45% (b – j) Gambar 48. Grafik hubungan densitas kamba dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90 oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan Gambar 49. Grafik hubungan densitas kamba dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi
xviii
56
57
58
59
59
60
61 62
64
65
65
Gambar 50. Kurva aliran adonan beras analog di dalam die head ekstruder pada suhu ekstrusi 70oC dan kadar air adonan 35% Gambar 51. Kurva viskositas adonan beras analog di dalam die head ekstruder pada suhu ekstrusi 70oC dan kadar air adonan 35% Gambar 52. Grafik hubungan indeks konsistensi (K) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 53. Grafik hubungan indeks perilaku aliran (n) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 54. Grafik hubungan indeks konsistensi (K) dan kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 55. Grafik hubungan indeks perilaku aliran (n) dan kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 56. Grafik hubungan Bilangan Reynold (NRe) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 57. Grafik hubungan Bilangan Reynold (NRe) versus kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Gambar 58. Indeks konsistensi (K) yang ditentukan dengan percobaan versus indeks konsistensi yang dihitung dengan model persamaan matematik Gambar 59. Bentuk-bentuk beras analog yang dihasilkan pellet (a), setengah oval (b) dan trapesium (c) Gambar 60. Pengaruh indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) terhadap bentuk beras analog Gambar 61. Aliran bahan berviskositas rendah di dalam die head Gambar 62. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan K<21000 Pa.sn dan n<0.5 Gambar 63. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan nilai K>21000 Pa.sn dan n<0.5 Gambar 64. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan nilai K>21000 Pa.sn dan 0.5
67 67 68 68 69 69 71 71
74 75 77 78 79 79 80
xix
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama sepuluh tahun terakhir produksi padi Indonesia cenderung mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 54.09 juta ton pada tahun 2004 (BPS 2004) menjadi 74.99 juta ton pada tahun 2015 (BPS 2015). Namun pada saat yang sama konsumsi beras di Indonesia juga mengalami peningkatan hingga mencapai 98 kg/kapita/tahun (BPS 2015). Hal ini menyebabkan jumlah beras yang dihasilkan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat sehingga menyebabkan pemerintah melakukan upaya impor beras dengan jumlah yang cukup tinggi hingga mencapai sekitar satu juta ton. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 2009 dan 2015 menunjukkan bahwa tingkat konsumsi beras menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan tingkat konsumsi bahan pangan lain seperti jagung, ubi kayu, sagu dan lain-lain. Bahkan tingkat konsumsi sumber karbohidrat non beras seperti ubi kayu mengalami penuruan dari 5.53 kg/kapita/tahun pada tahun 2009 (BPS 2009) menjadi 3.6 kg/kapita dan pada tahun 2015 (BPS 2015). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada salah satu bahan pangan ini. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan menimbulkan faktor resiko yang tinggi. Bila suatu saat terjadi gangguan pasokan akibat adanya bencana alam atau gagal panen maka dapat menimbulkan permasalahan ketahanan pangan. Permasalahan ketahanan pangan ini dapat merembet ke permasalahan ekonomi dan keamanan. Strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah program diversifikasi pangan. Selain beras Indonesia juga memiliki sumber pangan lokal lain seperti jagung, sorgum, ubi kayu, ubi jalar, sagu dan lain-lain. Namun bahan pangan non beras tersebut kalah populer dengan beras dan konsumsinya pun semakin menurun akibat kebijakan swasembada beras yang dilakukan oleh pemerintah pada tiga dekade yang lalu. Ketersediaan yang cukup banyak dan mudah dicari di pasar/toko serta proses pengolahannya yang mudah merupakan keunggulan beras padi yang mengakibatkan masyarakat menjadi sulit untuk dialihkan konsumsinya ke sumber pangan lain non beras. Agar program diversifikasi pangan yang dilakukan mampu menurunkan tingkat konsumsi beras dan mendongkrak tingkat konsumsi sumber pangan lain maka sumber bahan pangan lokal non beras tersebut harus diolah sedemikian rupa sehingga mempunyai karakteristik seperti beras, baik sifat-sifat fisik butiran maupun tekstur nasinya. Produk beras yang dihasilkan tersebut dikenal sebagai beras analog (Machmur et al. 2011). Proses pembuatan beras analog sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan metode granulasi (Katsuya et al. 1971; Kurachi 1995; Samad 2003; Herawati dan Widowati 2009). Namun beras analog yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang masih jauh dari yang diharapkan (bentuk bulat, mudah pecah dan densitas rendah). Metode lain yang dicoba digunakan untuk membuat beras analog adalah ekstrusi. Penggunaan teknologi ekstrusi untuk membuat beras analog mempunyai banyak kelebihan seperti kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan dan pembentukan sehingga beras analog yang dihasilkan mempunyai karakteristik yang
1
serupa dengan beras. Beberapa peneliti telah berhasil membuat beras analog dari bahan menir/beras patah (Scella et al. 1986; Wenger dan Huber 1988; Zhuang et al. 2010). Keberhasilan proses ekstrusi untuk membuat beras analog dari non beras/menir juga dilaporkan oleh Diehl (1996) yang menggunakan bahan tepung jagung, pati jagung dan gelatin, Koide et al. (1999) menggunakan bahan pati (jagung dan beras), whey protein concentrate dan tepung beras, Kato (2006) menggunakan tepung kedelai rendah lemak, Budijanto et al. (2012) menggunakan bahan campuran tepung jagung, tepung sorgum dan pati sagu, dan Subagio et al. (2012) menggunakan bahan tepung singkong termodifikasi. Pada umumnya para peneliti beras analog masih fokus pada formulasi dan penentuan kondisi proses ekstrusi untuk membuat beras analog dan hanya Koide et al. (1999) dan Zhuang et al. (2010) yang mencoba mengidentifikasi parameter kritis. Proses ekstrusi melibatkan banyak parameter seperti densitas dan viskositas/reologi bahan di dalam die head, kecepatan alir, derajat gelatinisasi, kristalinitas, specific mechanical energy (SME), tekanan, dan sebagainya. Koide et al. (1999) dan Zhuang et al. (2010) mengidentifikasi derajat gelatinisasi sebagai parameter kritis yang sangat berpengaruh terhadap mutu produk beras analog dan dipengaruhi oleh variabel bahan dan variabel operasi. Namun Bhatnagar dan Hanna (1996) yang banyak melakukan investigasi terhadap fenomena yang terjadi selama proses ekstrusi mengatakan bahwa pati jagung yang meninggalkan daerah melting zone dalam ekstruder sudah tergelatinisasi sempurna. Gaya geser pada adonan yang dihasilkan oleh gerakan memutar ulir ekstruder dan tekanan tinggi di daerah cooking zone dapat menghancurkan granula pati sehingga gelatinisasi sempurna dapat dicapai pada kadar air yang rendah karena kemungkinan perpindahan air ke dalam molekul amilopektin berlangsung lebih cepat (Barron et al. 2001; Einde et al. 2003; Liu et al. 2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan investigasi ulang terhadap pengaruh derajat gelatinisasi pada mutu beras analog. Selain mengakibatkan granula pati tergelatinisasi sempurna, proses ekstrusi pati juga mengubah tipe kristal bahan dari tipe A menjadi tipe V (Bhatnagar dan Hanna 1994a; Frost et al. 2009). Degradasi granula pati yang terjadi selama proses ekstrusi menyebabkan rusaknya atau hilangya kristalit yang terdapat pada molekul amilopektin dalam granula (tipe kristal A). Degradasi granula pati tersebut juga disertai dengan pelepasan molekul-molekul amilosa yang dapat berinteraksi secara kuat dengan senyawa lipid membentuk senyawa kompleks amilosa-lipid (tipe kristal V). Parameter kristalinitas tersebut berpengaruh terhadap kekerasan beras analog. Kekerasan merupakan salah satu karakteristik beras analog yang sangat penting. Beras analog dengan kekerasan yang cukup memadai tidak akan mudah pecah/hancur ketika dikemas dan dikirim ke konsumen. Colonna et al. (1998) mengatakan bahwa bentuk produk terekstrusi (ekstrudat) sangat ditentukan oleh geometri die, sistem pemotongan dan sifat-sifat reologi bahan di dalam ekstruder (die head). Pada proses pembuatan beras analog dengan ekstrusi bentuk dan ukuran die tidak mengalami perubahan, kecepatan putar pisau pemotong juga tetap maka sifat-sifat reologi bahan merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk beras analog. Degradasi granula pati yang terjadi selama proses ekstrusi juga menyebabkan terjadinya fragmentasi/pemotongan molekul amilopektin dan amilosa menjadi molekul-molekul amilosa rantai pendek. Penurunan berat molekul dari komponen-komponen granula pati tersebut
2
berdampak terhadap viskositas/reologi bahan di dalam die head ekstruder dan tentunya juga berpengaruh terhadap bentuk beras analog yang dihasilkan. Berdasarkan kajian pustaka tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan parameter-parameter kritis tersebut dan mencari tahu faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya seperti kadar air adonan, kadar amilosa, dan suhu ekstrusi. Parameter-parameter kritis tersebut terkait dengan perubahan struktur granula pati di dalam tepung jagung, tipe dan profil aliran bahan di dalam die head ekstruder yang berpengaruh terhadap kekerasan, densitas kamba, dan bentuk beras analog yang dihasilkan.
1.2. Perumusan Masalah Dibandingkan dengan teknologi granulasi, penggunaan teknologi ekstrusi untuk membuat beras analog mempunyai banyak kelebihan seperti kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan, dan pembentukan sehingga beras analog yang dihasilkan mempunyai sifat-sifat yang hampir mirip dengan beras. Namun teknologi proses ekstrusi mempunyai permasalahan yang sangat kompleks karena terlibatnya beberapa variabel (komposisi, kadar air, suhu ekstrusi, kecepatan ulir), parameter (reologi, waktu tinggal, Specific Mechanical Energy, Kristalinitas, Densitas), dan proses (pencampuran, pemanasan, pengaliran). Adanya kendala keterbatasan peralatan dan untuk memudahkan pelaksanaan penelitian maka perlu dilakukan penyederhanaan masalah dengan mengidentifikasi parameter kritis yang berpengaruh terhadap mutu produk beras analog dan mengendalikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan beberapa parameter kritis yang diduga berpengaruh terhadap mutu beras analog adalah derajat gelatinisasi, kristalinitas, dan reologi bahan di dalam die head ekstruder. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi parameter-parameter kritis proses ekstrusi tersebut dan mengkaji faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang pengaruh karakteristik bahan (kadar air dan kadar amilosa) dan kondisi proses ekstrusi (suhu) terhadap mutu atau karakteristik beras analog yang dihasilkan (kekerasan, densitas kamba, bentuk, dan tekstur). Hasil penelitian diharapkan juga dapat digunakan untuk memprediksi kondisi operasi proses ekstrusi dalam pengembangan beras analog dari berbagai macam bahan karbohidrat lokal non beras. Di masa yang akan datang beras analog dapat diproduksi dari berbagai macam karbohidrat khususnya sumber karbohidrat lokal non beras untuk menurunkan ketergantungan pada beras dan meningkatkan konsumsi sumber karbohidrat non beras.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan parameterparameter kritis yang berpengaruh terhadap mutu beras analog berbahan dasar jagung (kekerasan, densitas kamba, dan bentuk beras analog serta kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog) dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
3
parameter-parameter kritis tersebut (kadar air dan kadar amilosa bahan dan suhu ekstrusi). Tujuan khusus penelitian ini adalah: • Mengembangkan model empiris pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat gelatinisasi dan dampaknya terhadap kekerasan beras analog. • Mengembangkan model matematis pengaruh derajat kristalinitas beras analog terhadap kekerasan beras analog dan kekerasan nasi beras analog. • Mengembangkan model matematis pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap indeks konsistensi (K) adonan di dalam die head ekstruder. • Mengembangkan model empiris pengaruh indeks perilaku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) adonan di dalam die head ekstruder terhadap bentuk beras analog. Hipotesis yang diajukan pada penelitian adalah: 1. Kekerasan beras analog dipengaruhi oleh derajat gelatinisasi dan derajat kristalinitas. 2. Bentuk beras analog (setengah oval dan pellet) dipengaruhi oleh tipe aliran dan profil kecepatan alir adonan di dalam die head ekstruder. Tipe aliran (laminar atau turbulen) dapat dikarakterisasi dari Bilangan Reynold (NRe), sedangkan profil/distribusi kecepatan alir bahan dapat dikarakterisasi dari nilai indeks perilaku aliran (n) bahan di dalam die head ekstruder. 3. Kadar amilosa dan kadar air bahan, dan suhu ekstrusi berpengaruh terhadap derajat gelatinisasi, derajat kristalinitas, dan reologi bahan (indeks konsistensi K dan indeks perilaku aliran n) di dalam die head ekstruder.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan antara lain: 1. Penentuan parameter proses ekstrusi (kadar air dan kadar amilosa bahan dan suhu ekstrusi) ketika memproduksi beras analog dari bahan jagung. 2. Penyelesaian permasalahan yang timbul selama proses produksi beras analog berbahan dasar jagung dengan proses ekstrusi. 3. Peningkatan kapasitas produksi dari skala pilot ke skala industri dalam rangka untuk meningkatkan kapasitas produksi ke skala komersial. Data reologi/viskositas bahan di dalam die head ekstruder yang diperoleh merupakan salah satu parameter pada Bilangan Reynold yang juga dapat digunakan untuk penggandaan skala kapasitas dengan prinsisp similaritas.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian. Penelitian beras analog memiliki cakupan yang sangat luas seperti sifat-sifat kimia-fisik, sifat penanakan, tekstur, sensori dan sebagainya. Agar penelitian yang dilakukan mendalam maka perlu dilakukan pembatasan kajian. Keterbatasan peralatan penelitian yang tersedia juga menyebabkan perlunya dilakukan pembatasan ruang lingkup penelitian. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
4
ekstruder ulir ganda Berto BEX-DS-2256 co-current pada kecepatan ulir 75 rpm yang mempunyai kapasitas 100 kg/jam. Studi yang dilakukan difokuskan pada sifat-sifat fisik beras analog yang dihasilkan, khususnya kekerasan, densitas kamba, dan bentuk beras analog serta kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog. Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, bentuk dan kekerasan beras analog tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh reologi bahan di dalam die head ekstruder, derajat gelatinisasi, dan kristalinitas beras analog. Sedangkan derajat gelatinisasi, kristalinitas, reologi bahan di dalam die head ekstruder itu sendiri kemungkinan dipengaruhi oleh, kadar air dan kadar amilosa bahan dan suhu ekstrusi. Untuk membuktikan hipotesa tersebut maka dilakukan penelitian yang terdiri dari 3 tahapan, yaitu; a. Studi pengaruh kadar air adonan dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi dan kekerasan beras analog. b. Studi pengaruh kadar air dan kadar amilosa adonan, dan suhu ekstrusi terhadap kristalinitas beras analog yang dihasilkan dan dampaknya terhadap kekerasan beras analog tersebut. c. Studi pengaruh kadar air dan kadar amilosa adonan, dan suhu ekstrusi terhadap reologi adonan di dalam die head ekstruder dan dampaknya terhadap bentuk beras analog yang dihasilkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beras Analog Beras tiruan/beras non padi/beras artifisial/fabricated rice/beras analog adalah produk beras yang berasal dari tepung beras patah atau tepung non beras yang diproses sedemikian rupa sehingga karakteristiknya mirip dengan beras padi (Machmur et al. 2011; Budijanto dan Yuliyanti 2012; Mishra et al. 2012). Karakteristik beras padi banyak sekali dan dapat diklasifikasikan menjadi 4 kelompok, antara lain: sifat kimia, sifat fisik dan mekanik, penanakan, dan tekstur. Sifat kimia terdiri dari kandungan pati, protein, lipid, mineral, air dan amilosa. Sifat fisik dan mekanik meliputi dimensi, densitas, kekerasan dan sebagainya. Sifat penanakan terdiri dari waktu tanak, rasio serap air, dan rasio pemanjangan (elongation). Sedangkan sifat tekstur terdiri dari gaya maksimum, cohesiveness, packability, kekerasan dan kekuatan kunyah (Singh et al. 2005). Dari sejumlah karakteristik tersebut hanya beberapa sifat yang akan menjadi tinjauan dalam pembuatan beras analog, yaitu: kekerasan, densitas kamba, dan bentuk beras analog serta kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog. Beras analog dapat dibuat dengan teknologi granulasi (Katsuya et al. 1971; Kurachi 1995; Samad 2003; Herawati dan Widowati 2009) dan teknologi ekstrusi (Koide et al. 1999; Zhuang et al. 2010; Budijanto et al. 2012; Subagio et al. 2012). Dibandingkan dengan teknologi granulasi, penggunaan teknologi ekstrusi untuk membuat beras analog mempunyai banyak kelebihan seperti kapasitas besar, terjadinya proses pengaliran, pencampuran, pengadonan, pemanasan dan pembentukan sehingga beras analog yang dihasilkan mempunyai sifat-sifat seperti beras. Beberapa penelitian beras analog dengan menggunakan teknologi ekstrusi
5
dari berbagai macam bahan dapat dilihat pada Tabel 1. Harrow dan Martin (1982); Scella et al. (1986); Wenger dan Huber (1988); Koide et al. (1999); Zhuang et al. (2010) telah memproduksi beras analog dari tepung beras. Sedangkan Budijanto et al. (2012) mampu menghasilkan beras analog dari bahan baku non beras (tepung jagung dan sagu), Budijanto dan Yuliyanti (2012) memproduksi beras analog dari sorgum dan sagu dan Subagio et al. (2012) membuat beras analog dari tepung singkong termodifikasi. Penelitian beras analog yang mengkaji pengaruh derajat gelatinisasi hanya dilakukan oleh Koide et al. (1999) dan Zhuang et al. (2010). Sedangkan penelitian yang dilakukan mengkaji pengaruh derajat kristalinitas terhadap kekerasan beras analog dan pengaruh reologi bahan (indeks konsistensi K dan indeks perilaku aliran n) di dalam die head ekstruder terhadap bentuk beras analog. Kedua kajian tersebut menghasilkan model matematik pengaruh derajat kristalinitas terhadap kekerasan beras analog, kekerasan nasi beras analog, model matematik pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap indeks konsistensi (K) adonan di dalam die head ekstruder, dan model empiris pengaruh indeks perilaku aliran (n) dan indeks konsistensi (K) terhadap bentuk beras analog yang merupakan kebaruan (novelty) dari penelitian ini. Tabel 1. Penelitian beras analog dari berbagai bahan. Bahan Tepung beras. NaCl 4-12 %, Lemak 10 %, Telur 10.5 %
Tepung beras, Aditif (0-5%) Gum (0-2%)
Tepung beras dari beras menir
Gelatin, Tepung jagung, Pati jagung
6
Perlakuan Ekstrusi pada tekanan rendah dan kadar air 20-30% Rasio tepung pregelatinisasi dan tak tergelatinisasi 30%, Ekstrusi pada 10121oC, waktu tinggal 15-60 dt, laju pengumpan bahan 56.8 kg/jam dan laju pemasukan air 140 mL/menit Prekondisi pada 6598oC selama 20 dt 3 menit, kadar air 23-27% Ekstrusi ulir ganda low shear pada 113129oC, kadar air 36%, 200-1200 psig Ekstrusi
Hasil Bentuk mirip beras. Kadar air 4-8%
Peneliti Harrow dan Martin (1982)
Bentuk mirip beras. Kadar air 8% dan densitas 0.55 g/mL
Scella et al. (1986)
Integritas produk unggul, hasil penanakan tidak lembek meskipun overcooking.
Wenger dan Huber (1988)
Bentuk mirip beras, pengikat dapat larut dalam air.
Diehl (1996)
Tabel 1. Penelitian beras analog dari berbagai bahan Bahan Pati jagung, Pati beras, Tepung beras, Whey Protein Concentrate
Perlakuan Pregelatinisasi dan ekstrusi ulir ganda pada suhu 80-120oC.
Tepung kedelai Ekstrusi ulir ganda rendah lemak pada suhu 25-42oC dan tekanan 20005000 kPa Kadar air adonan 3060% Tepung beras
Ekstrusi ulir tunggal pada kadar air (2836%), kecepatan ulir (150-350 rpm) dan suhu (30-70 oC)
Tepung jagung, Sagu
Formulasi, kondisi proses dan evaluasi sensori
Tepung sorghum, Sagu
Evaluasi varitas sorgum terhadap mutu beras analog
Tepung singkong termodifikasi, Tepung beras.
Formulasi
(lanjutan).
Hasil Bentuk sama dengan beras. Pada suhu 80oC derajat gelatinisasi 50-60% dan 90% pada suhu 120oC Bentuk sama dengan beras. Waktu tanak lebih pendek. Kadar protein tinggi dan kadar karbohidrat rendah Bentuk sama dengan beras. Suhu ekstrusi & kadar air adonan berkorelasi positif dengan sifatsifat kimia fisik beras analog. Salah satunya derajat gelatinisasi beras analog yang disukai mempunyai komposisi 30% pati sagu, kadar air adonan 40% dan suhu ekstrusi 95oC. Sorgum varitas pahat dan numbu memberikan sensori yang lebih disukai Perbandingan tepung singkong termodifikasi dan beras 4:5
Peneliti Koide et al. (1999)
Kato (2006)
Zhuang et al. (2010)
Budijanto et al. (2012)
Budijanto dan Yuliyanti (2012) Subagio et al. (2012)
2.2. Ekstrusi Ekstrusi pangan adalah proses mengalirkan secara paksa bahan pangan di dalam barrel dan di bawah satu atau lebih variasi kondisi proses pencampuran, pemanasan dan pengaliran (shearing) serta melewati die yang didesain untuk membentuk dan dengan/tanpa mengembangkan bahan (puff dry) (Mishra et al.
7
2012; Riaz 2012). Berdasarkan suhu prosesnya ekstrusi dapat dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu: ekstrusi dingin dan ekstrusi panas. Kedua proses mengalirkan adonan yang terbuat dari komponen utama tepung, aditif, dan air di dalam barrel ekstruder. Ekstrusi panas menggunakan suhu tinggi di atas 70oC yang diperoleh dari steam atau elemen pemanas listrik yang dipasang mengelilingi barrel dan friksi antara bahan adonan dengan permukaan barrel dan ulir. Pemanasan dan kompresi ini menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi dan pelelehan kristal bahan. Sedangkan ekstrusi dingin merupakan proses yang sama tetapi digunakan untuk membuat pasta tanpa menggunakan energi panas tambahan dan hanya mengandalkan panas yang dihasilkan oleh proses friksi (suhu rendah di bawah 70oC). Proses pembentukan menghasilkan butiran yang mentah, berwarna opaque dan lebih mudah membedakan dari kernel beras regular. Ekstrusi juga dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe menurut kadar air bahannya, yaitu: ekstrusi basah dan ekstrusi kering. Kadar air bahan pada ekstrusi basah adalah 30-40% dan 1218% untuk ekstrusi kering (Riaz 2000). Karakteristik ekstrudat/beras analog diperkirakan sangat terkait dengan sifat-sifat reologi adonan bahan sebelum keluar dari die ekstruder (Moraru dan Kokini 2003). Sifat-sifat reologi adonan tersebut dipengaruhi oleh karakteristik bahan baku (komposisi, kadar air, ukuran partikel) dan kondisi operasi proses ekstrusi (Li et al. 2004). Variabel-variabel yang terlibat pada proses ekstrusi dan interaksinya diperlihatkan pada Gambar 1. Variabel bahan yang meliputi komposisi, kadar air, ukuran partikel dan aditif dan variabel operasi yang terdiri dari suhu, kecepatan ulir, laju alir umpan dan kecepatan pisau potong dapat dikelompokkan sebagai variabel input. Interaksi antar variabel input akan menghasilkan kelompok variabel lain (parameter sistem) seperti viskositas, waktu tinggal, Specific Mechanical Energy (SME) dan tekanan produk. Parameter sistem ini akan mempengaruhi parameter output (mutu produk) yang mencakup gelatinisasi, morfologi, indeks penyerapan air, indeks kelarutan dalam air, tekstur dan sifat penanakan. Ada banyak variabel yang terlibat pada proses ekstrusi. Antar variabel tersebut juga terjadi interaksi yang kompleks selama proses sehingga mengakibatkan sulitnya untuk membentuk korelasi antar variabel yang dapat membantu untuk memahami proses dan pengaruh variabel-variabel ini terhadap mutu produk. Oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan dengan mengidentifikasi parameter-parameter kritis. Berdasarkan kajian pustaka dan penelitian pendahuluan diduga bahwa parameter-parameter kritis yang sangat berpengaruh terhadap mutu beras analog (bentuk dan kekerasan) adalah densitas, kecepatan alir, viskositas adonan/reologi, derajat gelatinisasi, dan kristalinitas. Parameter densitas, kecepatan alir dan viskositas merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam Bilangan Reynold dan digunakan untuk mengkarakterisasi tipe aliran dalam ekstruder yang diduga berkaitan dengan bentuk beras analog. Derajat gelatinisasi dan kristalinitas merupakan parameter yang sangat terkait dengan karakteristik beras analog (densitas dan kekerasan).
8
Variabel bahan: • Komposisi & rasio bahan • Kadar air • Ukuran partikel • Aditif
Parameter output: • Gelatinisasi • Kristalinitas • Kekerasan • Densitas • Sifat penanakan (Kekerasan & kuat kunyah nasi). • Bentuk • Kadar air & suhu produk
Parameter sistem: • Densitas • Viskositas (Reologi) • Kecepatan alir • Waktu tinggal • SME • Tekanan produk
Variabel operasi: • Suhu ekstrusi • Kecepatan ulir • Laju alir umpan • Kecepatan pisau potong
Gambar 1. Variabel-variabel proses ekstrusi (Campanella et al. 2002).
2.3. Reologi Bahan 2.3.1. Perilaku aliran bahan Reologi bahan pangan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari perubahan bentuk/deformasi dan aliran bahan baku, produk setengah jadi, dan produk jadi dari industri pangan. Tipe aliran bahan pangan dapat dikarakterisasi berdasarkan hubungan antara shear stress/gaya geser (τ) dan shear rate/laju geser (γ) seperti yang terlihat pada Gambar 2 (Steffe 1996). Bahan pangan yang memiliki hubungan linier antara gaya geser dan laju geser dikenal sebagai fluida Newtonian, sedangkan bahan pangan yang memiliki hubungan tidak linier antara gaya geser dan laju geser disebut sebagai fluida non-Newtonian. Hubungan linier gaya geser dan laju geser dari bahan pangan yang bertipe Newtonian dituliskan secara matematik seperti pada persamaan 1. τ = η.γ
(1)
di mana τ : gaya geser (Pa), γ : laju geser (1/s), dan η : viskositas (Pa.s).
9
Gambar 2. Kurva aliran bahan pangan (Steffe 1996). Model matematik untuk menggambarkan perilaku fluida non-Newtonian secara umum adalah model Herschel-Bulkey seperti yang dinyatakan pada persamaan 2 (Steffe 1996). τ = K.γn + τo
(2)
di mana τo : Yield stress (Pa), K : indeks konsistensi (Pa.sn), dan n : indeks perilaku aliran. Model matematik ini sesuai untuk banyak bahan pangan yang berbentuk fluida dan dapat diaplikasikan untuk fluida Newtonian, non-Newtonian/power law, plastik Bingham sebagai kasus khsus dengan nilai τo, K, dan n tertentu seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Fluida Newtonian, Power Law dan Plastik Bingham sebagai kasus khusus dari model Herschel-Bulkey. Fluida Herschel-Bulkey
K >0
n 0
τo >0
Newtonian
>0
1
0
Pseudoplastik (shear-thinning) Dilatant (shear-thickening) Plastik Bingham
>0
0
0
>0
1
0
>0
1
>0
Contoh Pasta ikan cincang, pasta kismis Air, jus buah, susu, madu, minyak sayur Saos apel, puree pisang, konsentrat jus jeruk Larutan pati jagung 40% Pasta gigi, pasta tomat
2.3.2. Viskositas terukur Viskositas terukur (apparent) (ηapp) didefinisikan sebagai gaya geser yang dibagi dengan laju geser (persamaan 3).
10
ηapp = τ/ γ
(3)
Viskositas terukur untuk fluida plastik Bingham dan Herschel-Bulkey ditentukan dengan persamaan 4 dan 5. ηapp = K + τo.γ-1 ηapp = K.γ(n-1) + τo.γ-1
(4) (5)
Viskositas terukur menurun dengan meningkatnya laju geser pada bahan pseudoplastik dan plastic Bingham. Pada fluida Herschel-Bulkey, viskositas terukur akan menurun dengan meningkatnya laju geser ketika 0 < n < 1 tetapi berperilaku kebalikannya ketika n > 1. Viskositas terukur konstan untuk bahan pangan yang bersifat Newtonian dan meningkat dengan meningkatnya laju geser untuk bahan pangan yang bersifat dilatan (Gambar 3). Viskositas bahan di dalam ekstruder dapat juga dimodelkan dengan persamaan 6 yang diusulkan oleh (Vergnes dan Villemaire 1987; Einde et al. 2005). Model ini mengasumsikan bahwa viskositas bahan di dalam ekstruder merupakan fungsi eksponensial dari suhu ekstrusi dan kadar air adonan. η(γ) = Ko.exp(-bT).exp(-aX).(γ)(n-1)
(6)
dimana T : suhu ekstrusi, X : kadar air adonan bahan, b: konstanta suhu ekstrusi, dan a : konstanta kadar air adonan.
Gambar 3. Kurva viskositas bahan pangan (Steffe 1996). Sifat-sifat reologi ini dipengaruhi oleh perubahan struktur bahan seperti gelatinisasi pati yang terdapat di dalam bahan, perubahan kristalinitas dan/atau 11
denaturasi protein. Perubahan struktur ini dipengaruhi oleh komponen lain yang terdapat di dalam bahan seperti air dan lipid serta energi yang masuk selama proses ekstrusi. Sifat-sifat reologi adonan beras analog di dalam die head ekstruder sangat berpengaruh terhadap aliran bahan di dalam die head ekstruder dan bentuk ekstrudat. Data sifat-sifat reologi (viskositas) adonan juga penting untuk penggandaan kapasitas produksi dari skala laboratorium ke skala yang lebih besar (pilot dan industri) (Einde et al. 2003; Janssen dan Mościcki 2006).
2.4. Tipe Aliran dan Bentuk Beras Analog Ada dua tipe aliran fluida berbeda yang dapat terbentuk ketika fluida dialirkan dalam pipa yaitu aliran laminar dan turbulen. Aliran laminar adalah pola aliran fluida yang lapisan-lapisannya terlihat sejajar antara satu dengan lainnya tanpa olakan. Tipe aliran laminar terjadi pada kecepatan lambat. Sedangkan aliran turbulen merupakan pola aliran olakan yang terjadi pada kecepatan tinggi. Kedua tipe aliran ini dapat dikarakterisasi dengan Bilangan Reynold (NRe). Bilangan Reynold dapat didefinisikan sebagai perbandingan hasil kali densitas (ρ), diameter pipa (D) dan kecepatan rata-rata fluida mengalir (V) dengan viskositas fluida (μ) seperti pada persamaan 7 untuk fluida Newtonian atau seperti persamaan 8 untuk fluida non Newtonian (Steffe 1996). Faktor K dan n merupakan indeks konsistensi dan indeks perilaku aliran. Aliran laminar mempunyai NRe < 2100 dan NRe > 4000 untuk tipe aliran turbulen. Bilangan Reynold antara 2100-4000 merupakan daerah transisi. Re = ρ D V /μ (7)
=
(
(
[
)
]
)
(8)
Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian pendahuluan yang tidak dipublikasikan bahwa bentuk beras analog diduga sangat dipengaruhi oleh bentuk lubang dan ukuran die serta tipe aliran di dalam die. Jika bentuk dan ukuran lubang die konstan dan mirip dengan beras maka hanya tipe aliran di dalam die saja yang berpengaruh dominan terhadap bentuk beras analog. Tipe aliran laminar akan menghasilkan bentuk ekstrudat yang mirip dengan beras dan tipe aliran turbulen akan menghasilkan ekstrudat berbentuk pellet (Gambar 4). Bilangan Reynold yang dapat mengkarakterisasi tipe aliran fluida dapat digunakan untuk memprediksi parameter-parameter kritis yang berpengaruh terhadap bentuk beras analog. Parameter-parameter yang terdapat pada Bilangan Reynold (ρ, D, V dan μ) diidentifikasi sebagai parameter-parameter kritis. Namun diameter lubang die (D) konstan sehingga parameter-parameter kritis yang tersisa adalah ρ, V dan μ.
2.5. Perilaku Aliran Bahan dan Bentuk Beras Analog Sifat-sifat reologi bahan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap profil kecepatan fluida di dalam pipa. Pemahaman profil-profil ini penting dalam pembuatan berbagai desain dan proses pangan. Profil kecepatan fluida di dalam 12
pipa dapat diprediksi denga menggunakan persamaan 9, yang menyatakan hubungan antara kecepatan pada berbagai titik r dan kecepatan rata-rata volumetrik. (
ū
=
)
1 −
(9)
di mana u: kecepatan pada berbagai titik r, ū: kecepatan rata-rata volumetrik, R: jari-jari pipa, dan r: titik di sepanjang jari-jari pipa. A
B
Gambar 4. Distribusi kecepatan dan bentuk aliran laminar (A) dan turbulen (B). Nilai indeks perilaku aliran n rendah menyebabkan profil kecepatan lebih datar/tumpul dan nilai n tinggi memaksimalkan perbedaan elemen/bagian fluida yang mengalir paling cepat dan paling lambat seperti yang diperlihatkan pada Gambar 5 (Steffe 1996). Perbedaan profil kecepatan aliran fluida di dalam pipa kemungkinan berpengaruh terhadap bentuk beras analog yang dihasilkan. Nilai indeks perilaku aliran 0 < n < 0,5 menyebabkan profil distribusi kecepatan aliran berbentuk tumpul (plug flow) sehingga menghasilkan beras analog berbentuk pellet, sedangkan nilai indeks perilaku aliran 0.5 < n < 1 menyebabkan profil distribusi kecepatan aliran berbentuk parabola sehingga menghasilkan beras analog dengan bentuk setengah oval yang mirip dengan beras.
Gambar 5. Profil distribusi kecepatan laminar untuk fluida power law dengan nilai indeks perilaku aliran n berbeda (Steffe 1996).
13
2.6. Derajat gelatinisasi dan Mutu Beras Analog Derajat gelatinisasi merupakan salah satu parameter yang penting dan digunakan untuk mengukur tingkat gelatinisasi yang terjadi pada bahan pati yang mengalami proses ekstrusi maupun proses pengolahan lainnya. Derajat gelatinisasi dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah pati yang tergelatinisasi dengan pati total yang terkandung di dalam bahan. Derajat gelatinisasi ini sangat berpengaruh terhadap viskositas lelehan bahan di dalam die head ekstruder (Li et al. 2004). Pengaruh derajat gelatinisasi terhadap viskositas lelehan bahan diperkirakan juga akan berdampak terhadap karakteristik fisik produk beras analog yang meliputi densitas kamba, kekerasan, dan bentuk beras analog. Pati yang tergelatinisasi parsial diduga berfungsi sebagai pengikat partikel-partikel bahan yang tidak tergelatinisasi. 2.7. Kristalinitas Bahan Struktur fisik bahan padat tergantung pada susunan atom, ion atau molekul yang menyusunnya dan gaya ikatan yang mengikatnya. Atom, ion atau molekul bahan padat yang tersusun dalam pola berulang 3 dimensi disebut struktur kristal. Kristalinitas bahan dapat didefinisikan sebagai tumpukan atom, ion atau molekul (rantai molekul untuk bahan polimer) dari bahan yang menghasilkan susunan atom, ion atau molekul yang teratur di dalam bahan padat (Callister 2001). Struktur kristal dapat ditentukan dari unit cell yang biasanya cukup kompleks. Unit cell polyethylene dan hubungannya dengan struktur rantai molekul ditunjukkan pada Gambar 6 dan unit cell tersebut mempunyai geometri orthorhombik. Oleh karena ukurannya yang besar dan kompleksitasnya, molekul polimer sering hanya memiliki kristal sebagian (atau semi kristal), yang mana daerah kristal terdispersi dalam daerah amorf seperti yang terlihat pada Gambar 7. Beberapa rantai yang tidak teratur atau tidak sejajar akan menghasilkan daerah amorf, suatu kondisi yang cukup umum karena pemuntiran, pembelitan, dan penggulungan rantai mencegah penyusunan yang teratur dan ketat dari setiap segmen rantai (Callister 2001). Tingkat kristalinitas dapat berkisar dari amorf sempurna sampai hampir kristal seluruhnya (sekitar 95%) dan dikenal sebagai derajat kristalinitas yang merupakan perbandingan antara luas daerah kristal terhadap luas total bahan (luas daerah kristal dan amorf) seperti yang dituliskan pada persamaan 10. Derajat Kristalinitas (%) = Ac/At x 100%
(10)
di mana Ac adalah luas daerah kristal dan At merupakan luas total (kristal+amorf). Bahan yang memiliki nilai derajat kristalinitas tinggi berarti bahan tersebut mempunyai susunan atom atau molekul yang sangat teratur (Rabiej 1991).
14
Gambar 6. Susunan rantai molekul polimer dalam unit cell.
Gambar 7. Model kristal polimer semikristal. Alpha-glucan pati yang merupakan rantai eksterior dari amilopektin membentuk double helices/helik ganda. Helik ganda ini dapat membentuk susunan yang lebih teratur atau kurang teratur, yang mana struktur yang teratur dikenal sebagai kristal dan yang kurang/tidak teratur disebut amorf (Tester et al. 2004). Ada dua tipe kristal utama yang dikenal berdasarkan pola difraksi sinar X, yaitu; tipe A untuk pati sereal dan tipe B untuk pati umbi dan pati kaya amilosa (Gambar 8). Diagram difraksi sinar X tipe C untuk pati kacang-kacangan, akar, beberapa buah dan batang merupakan gabungan dari polimorfi tipe A dan B. Struktur polimorfi tipe A dan B dideskripsikan pada Gambar 9. Susunan helik ganda dalam struktur polimorfi tipe A relative kompak dalam unit cell monoklinik dengan kadar air yang rendah (8 molekul air per unit cell), sedangkan polimorfi tipe B mempunyai struktur yang lebih terbuka dalam unit cell heksagonal dengan 36 molekul air per unit cell (Buleon et al. 1998; Tester et al. 2004). Diagram difraksi sinar X tipe lain adalah tipe V (Gambar 8) yang dibentuk dari amilosa single helice/helik tunggal dengan senyawa iodine, alkohol, atau asam lemak/monogliserid atau lebih dikenal sebagai senyawa kompleks amilosalipid/iodine/alkohol. Pada struktur molekul senyawa kompleks amilosa-lipid bagian alifatis dari lipid/asam lemak berada di dalam helik tunggal amilosa, sedangkan gugus polar karboksil terletak di luar karena terlalu besar untuk masuk ke dalam helik tunggal. Strukur kristal yang diperoleh adalah helik tunggal yang umumnya tersusun dalam unit cell orthorhombik seperti yang terlihat pada Gambar 10 (Buleon et al. 1998; Putseys et al. 2010). Senyawa kompleks amilosa-lipid dapat
15
dibagi menjadi tipe I dan II tergantung pada suhu lelehnya. Senyawa kompleks tipe I yang tersusun dari amilosa rantai pendek memiliki suhu leleh di bawah 100oC, sedangkan senyawa kompleks tipe II yang tersusun dari amilosa rantai panjang mempunyai titik leleh di atas 100oC (Gelders et al. 2004).
Gambar 8. Difraktogram sinar X dari kristal pati tipe A, B, dan V
Air Gambar 9. Struktur kristal pati tipe A dan B Polimer amilopektin bertanggung jawab terhadap kristalinitas granul. Derajat kristalinitas granul sekitar 15 – 45% sebagai hasil dari susunan helik ganda rantai samping amilopektin. Lamellae kristal terdiri dari cluster rantai samping amilopektin helik ganda yang teratur dan diselingi dengan lamellae amorf yang terdiri dari daerah cabang amilopektin dan amilosa seperti yang terlihat pada Gambar 11 (Gallant et al. 1997; Tester et al. 2004). Amilosa tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kristalinitas pati ketan (waxy) dan normal. Namun pada pati beramilosa tinggi, amilosa dapat berkontribusi terhadap
16
kristalinitas secara signifikan meskipun sifat polimorfi kristal bisa berbeda (Tester et al. 2004).
Gambar 10. Struktur molekul (a) dan kristal senyawa kompleks amilosa-lipid (b) Cluster amilopektin
Kristal Amorf
Amilosa
Gambar 11. Struktur cluster amilopektin dan molekul amilosa. Kekerasan polimer semikristal berkaitan dengan derajat kristalinitas, susunan rantai, ketebalan kristal dan energi permukaan. Kekerasan polimer semikristal (H) dan derajat kristalnitas (α) mempunyai hubungan yang linier dan dapat digambarkan dalam model matematik persamaan 11 (Flores et al. 2009). H = Hc.α + Ha.(1 – α)
(11)
dimana Hc adalah kekerasan kristal, Ha kekerasan amorf dan α derajat kristalinitas polimer. Untuk bahan semikristal dengan derajat polimerisasi yang tinggi (α > 0.3), kekerasan daerah amorf dapat diasumsikan ekuivalen dengan 0 (Ha ~ 0) sehingga persamaan 11 dapat disederhanakan menjadi persamaan 12. H ~ Hc.α
(12)
Azzurri et al. (2003) melaporkan bahwa kekerasan polimer semikristal iPBu-1 meningkat dengan meningkatnya derajat kristalinitas (Gambar 12a) dan mengikuti persamaan 12. Peningkatan kristalinitas menunjukkan susunan molekul semakin teratur dan ikatan antar molekul semakin kuat sehingga berdampak pada 17
meningkatnya kekerasan bahan. Gambar 12a juga menunjukkan bahwa bahan dengan struktur kristal heksagonal (form I) lebih keras dibanding bahan dengan struktur kristal tetragonal (form II) karena bahan dengan struktur kristal heksagonal mempunyai susunan rantai yang lebih padat dibanding bahan dengan struktur kristal tetragonal. Bahan semikristal dengan derajat kristalinitas yang rendah, korelasi kekerasan (H) dan derajat kristalitas diperlihatkan pada Gambar 12b dan mengikuti persamaan 11. Polimer pada Gambar 12a dan 12b semuanya merupakan polimer sintetik. Untuk polimer alam seperti amilopektin dan amilosa kemungkinan mempunyai kecenderungan yang sama, yaitu: derajat kristalinitas berpengaruh terhadap kekerasan bahan. a
b
Gambar 12. Kekerasan (H) polimer semikristal sebagai fungsi dari derajat kristalinitas (αc atau α) untuk bahan iPBu-1 (a) dan bahan polimer lain (b) (Azzurri et al. 2003).
18
2.8. Bahan dan Kondisi Operasi Ekstruder 2.8.1. Bahan Pada proses ekstrusi beras analog, pati merupakan salah satu bahan yang paling penting dan mempunyai peranan yang kunci selama proses. Selain berfungsi sebagai sumber utama karbohidrat, pati yang tergelatinisasi juga berfungsi sebagai pengikat partikel-partikel pati yang tidak tergelatinisasi dan komponen-komponen lainnya. Beberapa sifat fungsional beras analog seperti densitas dan kekerasan berkaitan dengan jumlah pati yang tergelatinisasi. Pada lingkungan tanpa geseran, rasio antara air terhadap unit glukosa anhydrous yang minimum untuk mencapai gelatinisasi sempurna adalah 14 (Nelles et al. 2000). Dengan perhitungan teoritis diperkirakan kadar air minimum untuk menggelatinisasi pati secara sempurna tanpa adanya geseran adalah 63 %. Perubahan sifat kimia fisik pati selama ekstrusi sangat berbeda dengan yang terjadi pada lingkungan berkadar air tinggi dan tanpa geseran. Selama ekstrusi gaya geser akan menggores granula pati menghasilkan pecahan pati yang memungkinkan transfer molekul air lebih cepat ke dalam molekul-molekul pati(Barron et al. 2001; Ozcan dan Jackson 2005; Liu et al. 2009). Granula pati tersusun dari molekul amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer linier dari monomer glukosa yang terikat pada ikatan α-1,4 glikosida dengan jumlah monomer glukosa 100-1000. Amilopektin adalah polimer bercabang dari monomer glukosa yang diikat dengan ikatan α-1,4 glikosida pada rantai liniernya dan α-1,6 glikosida pada rantai cabangnya. Termogram DSC menunjukkan adanya titik puncak yang jelas antara suhu awal (on set) dan suhu akhir (terminate) untuk pati berkadar amilopektin tinggi, sedangkan pati berkadar amilosa tinggi menunjukkan kurva yang datar dan lebar. Perbedaan perilaku gelatinisasi ini menunjukkan bahwa amilosa lebih tahan terhadap gelatinisasi dibanding amilopektin (Xie et al. 2009). Setiap bahan memiliki kadar amilosa yang berbeda dan perbedaan ini berdampak pada karakteristik gelatinisasi masingmasing bahan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3 (Srichuwong et al. 2005). Tabel 3. Kadar amilosa dan suhu gelatinisasi beberapa bahan sumber pati. Sumber pati Jagung Padi Singkong Ubi jalar Sagu Talas Kentang
Kadar amilosa (%) 23.4 13.2 17.9 19.8 21.9 16.3 18.0
Tgo (oC) Tgp (oC) 62.6 61.6 59.3 66.7 65.4 74.2 61.4
66.7 67.3 65.7 74.0 70.4 77.4 65.5
Tgt (oC) 81.3 80.0 79.6 86.6 81.9 86.4 77.7
∆H (kJ/kg) 16.9 18.7 17.6 86.6 17.0 16.2 19.8
Tgo: Suhu gelatinisasi on set, Tgp: Suhu gelatinisasi puncak Tgc: Suhu gelatinisasi conclusion (terminate), ∆H: enthalpi gelatinisasi
2.8.2. Kondisi operasi ekstruder Menurut Li et al. (2004), ada 15 variabel ekstrusi yang diperkirakan berpengaruh terhadap gelatinisasi pati. Di antara 15 variabel tersebut, variabel yang
19
paling berpengaruh terhadap derajat gelatinisasi adalah kadar air dan suhu (Sandoval dan Barreiro 2007). Dengan menggunakan ekstruder ulir ganda dan bahan beras patah Zhuang et al. (2010) menunjukkan bahwa pada suhu 84oC dan kecepatan ulir 250 rpm derajat gelatinisasi pati menurun dari 84.5% menjadi 51.2% ketika kadar air meningkat dari 28% menjadi 36%. Viskositas menurun dengan meningkatnya kadar air. Peningkatan kadar air 25 - 30% menurunkan indeks konsistensi K dari 5841 Pa.Sn menjadi 2412 Pa.Sn dan meningkatkan indeks perilaku aliran (n) dari 0.31 menjadi 0.43. Kadar air lebih dari 35% menyebabkan indeks perilaku aliran mendekati fluida Newtonian (n~1)(Li et al. 2004). Air merupakan plasticizer utama untuk tepung sereal dan bahan berpati sehingga mampu menurunkan suhu transisi gelas dan melunakkan bahan tepung/pati atau menurunkan viskositasnya. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan derajat gelatinisasi. Derajat gelatinisai pati meningkat dari 68% menjadi 88% dengan meningkatnya suhu dari 68oC menjadi 88oC pada kecepatan ulir 250 rpm dan kadar air 34% (Zhuang et al. 2010). Dautant et al. (2007) melaporkan bahwa peningkatan suhu ekstrusi menurunkan viskositas tepung beras dan bahan tepung/pati lainnya di dalam ekstruder pada kadar air dan laju geser yang konstan. Oleh karena perilaku reologi semua bahan serealia mengikuti model power law maka pengaruh suhu terhadap viskositas juga dapat dilihat dari nilai indeks konsistensi (K). Untuk bahan tepung beras dengan kadar air 29%, nilai K menurun dari 61 kPa sn pada suhu 90oC menjadi 35 kPa sn pada suhu 110oC. Begitu juga untuk bahan pati jagung dengan kadar air 28 %, nilai K menurun dari 12-18 kPa sn pada suhu 110 oC menjadi 4-9 kPa sn pada suhu 150oC. Namun indeks perilaku aliran (n) cenderung konstan terhadap pengaruh kenaikan suhu sehingga indeks perilaku aliran dapat dianggap sebagai parameter yang bebas dari pengaruh suhu. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat gelatnisasi dan viskositas produk ketika melewati die head ekstruder diringkas pada Tabel 4. Tabel 4. Pengaruh kadar air adonan bahan dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi dan viskositas bahan. Parameter Derajat Gelatinisasi
Derajat Gelatinisasi
Indeks konsistensi (K) Indeks konsistensi (K)
20
Deskripsi Kenaikan kadar air 28-36% menurunkan derajat gelatinisasi 84.5-51.2% Kenaikan suhu 68-88oC meningkatkan derajat gelatinisasi 40.2-63.6% Kenaikan kadar air 25-30% menurunkan K 5841-2412 Pa.sn Kenaikan suhu 90-110oC menurunkan K 61-35 kPa.sn
Referensi (Zhuang et al. 2010) (Zhuang et al. 2010) (Li et al. 2004) (Dautant et al. 2007)
3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai September 2015. Proses ekstrusi beras analog dilakukan di F-Technopark, Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta), Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengujian/analisis bahan baku dan produk beras analog menggunakan beberapa laboratorium di dalam dan di luar IPB, yaitu Laboratorium Kimia Pangan dan Rekayasa Proses Pangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta-IPB; Laboratorium Mikrobiologi Pangan di South East Asia Food Agricultural Science and Technology (Seafast) Center IPB, Laboratorium Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan Balitbang Kehutanan Kementrian Kehutanan, Laboratorium Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Cibinong Bogor, dan Laboratorium Sentra Teknologi Polimer Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. 3.2. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan terdiri atas tepung jagung kuning, pati jagung, gliserol monostearat, dan air serta bahan kimia untuk analisis. Tepung jagung kuning dengan ukuran partikel 40 mesh dibeli dari PT Matahari Corn Mill, Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pati jagung dibeli dari Pd. Anugerah, Tangerang, Banten (impor dari Tiongkok). Sedangkan alat yang digunakan antara lain: mixer tepung, ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256), pengering rak (tray drier), blender kering, ayakan ukuran lubang 60 mesh, Mikroskop cahaya terpolarisasi Olympus yang dilengkapi dengan CCD, X Ray Diffraction XRD 7000 maxima X Shimadzu, Differential Scanning Calorimeters DSC 60 Shimadzu, Hardness Tester Kiya Seisaku, Scanning Electron Microscope Jeol JSM-5310 LV, Texture Analyzer TAXT2i, rotary rheometer parallel plate Haake MARS, timbangan elektronik (MACS030A/W-D, Quattro MACS, China) gelas ukur 25 mL dan timbangan Sartorius. Die dengan bentuk beras dan berjumlah 30 (Gambar 13) dipasang di ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256).
Gambar 13. Bentuk dan ukuran geometri die beras analog.
21
3.3. Tahapan Penelitian Penelitian yang dilakukan terbagi dalam empat tahap, yaitu (a) penelitian pendahuluan, (b) penelitian utama, dan (c) pengolahan dan analisis data. 3.3.1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan merupakan penelitian awal yang bertujuan untuk mengkarakterisasi bahan baku yang digunakan. Karakteristik bahan baku yang dianalisis meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar pati, kadar serat, kadar amilosa, thermogram DSC dan profil amilograf (RVA). 3.3.2. Penelitian Utama Penelitian utama merupakan studi pengaruh kadar amilosa, kadar air, dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi, kristalinitas, dan reologi bahan di dalam die head ekstruder dan relevansinya dengan karakteristik produk beras analog yang dihasilkan (densitas kamba, kekerasan beras, kekerasan nasi, kekuatan kunyah nasi, dan bentuk). Penelitian utama utama terdiri 3 bagian, yaitu: menginvestigasi pengaruh kadar air adonan dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi dan kekerasan beras analog; mempelajari pengaruh kadar air adonan, kadar amilosa bahan jagung, dan suhu ekstrusi terhadap derajat kristalinitas beras analog dan reologi bahan di dalam die head ekstruder dan dampaknya terhadap densitas kamba, kekerasan beras, kekerasan nasi, kekuatan kunyah nasi, dan bentuk beras analog yang dihasilkan; mengumpulkan data densitas dan laju alir bahan di dalam die head ekstruder pada berbagai perlakuan kadar air adonan, kadar amilosa dan suhu ekstrusi untuk mendukung penghiitungan Bilangan Reynold. 3.3.2.1. Investigasi pengaruh kadar air adonan dan suhu ekstrusi terhadap derajat gelatinisasi dan kekerasan beras analog (Gambar 14). Variabel penelitian pada bagian pertama dari penelitian utama adalah: a. Kadar air adonan : 35%, 40%, dan 45% b. Suhu ekstrusi : 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, dan 90oC Respon yang diamati antara lain: a. Derajat gelatinisasi b. Kekerasan produk 3.3.2.2. Studi pengaruh kadar air adonan, kadar amilosa, dan suhu ekstrusi terhadap derajat kristalinitas beras analog dan reologi bahan di dalam die head ekstruder dan dampaknya terhadap densitas kamba, kekerasan beras, kekerasan nasi, kekuatan kunyah nasi, dan bentuk beras analog (Gambar 15). Variabel penelitian pada bagian kedua dari penelitian utama adalah: a. Kadar air adonan : 35%, 40%, dan 45% b. Kadar amilosa : 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09% (dari perhitungan campuran pati-tepung jagung rasio 10/90, 20/80, 30/70, dan 40/60) c. Suhu ekstrusi : 70oC, 80oC, dan 90oC 22
Respon yang diamati antara lain: a. Kristalinitas b. Kekerasan beras analog c. Densitas kamba d. Kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog e. Indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) f. Bentuk Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan tiga faktor dan dua kali ulangan. Ketiga faktor tersebut adalah kadar air adonan (α), kadar amilosa bahan (β), dan suhu ekstrusi (γ). Faktor kadar air adonan terdiri atas tiga taraf, yaitu: 35%, 40%, dan 45%. Sedangkan faktor kadar amilosa terdiri atas empat taraf, yaitu: 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09% serta faktor suhu ekstrusi terdiri atas tiga taraf, antara lain: 50oC, 60oC, 70oC, 80oC, dan 90oC. Model matematik yang dapat digunakan dituliskan pada persamaan 13 (Montgomery 2009). Yijkl = ū + αi + βj + γk + αi.βj + αi.γk + βj.γk + αi.βj.γk + εij
(13)
di mana : Yijkl = respon pada perlakuan α ke-i, perlakuan β ke-j, perlakuan γ ke-k, perlakuan ulangan ke-l. ū = efek rata-rata keseluruhan/total. αi = efek kadar air adonan ke-i βj = efek suhu ekstrusi ke-j γk = efek kadar amilosa ke-k αi.βj = efek interaksi α ke-i dan β ke-j αi.γk = efek interaksi α ke-i dan γ ke-k βj.γk = efek interaksi β ke-j dan γ ke-k αi.βj.γk = efek interaksi α ke-i, β ke-j, dan γ ke-k εijk = komponen kesalahan acak atau galat 3.3.2.3. Pengumpulan data densitas dan laju alir bahan di dalam die head ekstruder pada berbagai perlakuan kadar air adonan, kadar amilosa dan suhu ekstrusi untuk mendukung penghitungan Bilangan Reynold (Gambar 15). Die yang digunakan untuk pengumpulan data densitas dan laju alir bahan di dalam die head ekstruder memiliki lubang satu. Variabel penelitian pada bagian ketiga dari penelitian utama adalah: a. Kadar air adonan : 35%, 40%, dan 45% b. Kadar amilosa : 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09% c. Suhu ekstrusi : 70oC, 80oC, dan 90oC Respon yang diamati antara lain: a. Berat ekstrudat basah b. Volume ekstrudat basah c. Densitas ekstrudat basah d. Laju alir bahan di dalam die head ekstruder.
23
Tepung jagung
Air GMS 2%
Pati Jagung
Pencampuran Kadar air adonan 35%, 40%, dan 45% Kadar amilosa 16.99%
Ekstrusi dengan mesin Berto BEX-DS-2256 pada suhu 50, 60, 70, 80 & 90 oC, Kecepatan ulir 75 rpm
Pengeringan
Beras Analog
Kekerasan beras analog
Analisis Derajat Gelatinisasi
Gambar 14. Diagram alir penelitian utama pertama
24
Tepung jagung
Air
Pati Jagung
Pencampuran Kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%% Kadar amilosa: 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09%
GMS 2%
Ekstrusi dengan mesin Berto BEX-DS-2256 pada suhu 70, 80 & 90 oC, Kecepatan ulir 75 rpm
Pengeringan
Ekstrudat
Beras analog
densitas kamba, kekerasan, tekstur nasi, dan bentuk
derajat kristalinitas
n: indek perilaku aliran K : indek kekentalan
Berat ekstrudat basah Volume ekstrudat basah Densitas ekstrudat basah Laju alir (Q)
Menghitung NRe
Gambar 15. Diagram alir penelitian utama kedua dan ketiga
25
3.3.3. Pengolahan dan analisis data. Pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan korelasi antara karakteristik bahan baku (kadar air dan kadar amilosa), kondisi proses (suhu ekstrusi), dengan derajat gelatinisasi, kristalinitas, viskositas/reologi dan karakteristik produk beras analog yang dihasilkan (bentuk, densitas kamba, kekerasan, tekstur nasi, dan bentuk) dilakukan dengan menggunakan program statistik SPSS.
3.4. Proses Ekstrusi Pati jagung dan tepung jagung 40 mesh dicampur dengan rasio 10/90, 20/80, 30/70, dan 40/60 (w/w) di dalam mixer untuk mendapatkan adonan dengan kadar amilosa 16.99%, 19.35%, 21.72%, dan 24.09% dan kemudian ditambahkan gliserol monostearate sebanyak 2%. Air ditambahkan secara bertahap ke adonan sampai kadar airnya mencapai 35%, 40%, dan 45% (dihitung dan dianalisa dengan metode 925.10 (AOAC 2009). Setelah homogen adonan dibiarkan selama 2 jam dalam kemasan plastik. Selanjutnya adonan dimasukkan ke dalam hopper untuk diumpankan ke dalam ekstruder ulir ganda (Berto BEX-DS-2256). Setelah suhu barrel mencapai 70oC, 80oC, dan 90oC dan kecepatan putar ulir 75 rpm, auger dioperasikan dengan kecepatan alir 26.4 kg basis kering/jam. Susunan komponen utama ekstruder diilustrasikan pada Gambar 16. Ekstrudat yang keluar dari die dipotong dengan pisau pada kecepatan putar tertentu. Setelah proses steady state dan menghasilkan ekstrudat yang baik, produk diambil dan dikeringkan. Sampel ekstrudat yang sudah kering dikumpulkan dan dianalisis sifat-sifat fisiknya.
Gambar 16. Gambar skema ekstruder Berto BEX-DS-2256
3.5. Prosedur Analisis 3.5.1. Analisis Proksimat 3.5.1.1. Analisis Kadar Air [Metode 925.10 (AOAC 2009)] Cawan kosong dan tutupnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 ± 5oC sampai beratnya konstan (1 - 2 jam). Cawan didinginkan dalam desikator selama 3 26
menit dan timbang (Wo). Tiga sampai empat gram sampel yang telah dihaluskan ditimbang dalam cawan tersebut (W1). Cawan berisi sampel dikeringkan dengan oven pada suhu 100 ± 5oC selama 2 - 3 jam. Cawan berisi sampel kering didinginkan di desikator selama 30 menit dan timbang (W2). Prosedur pemanasan diulangi sampai beratnya konstan. Kehilangan berat dihitung sebagai kadar air dalam tepung dengan persamaan 14. Kadar air = (W1 – W2)/Ws x 100 % di mana :
(14)
Ws = W1 – Wo Ws = berat sampel (g) Wo = berat cawan kosong (g) W1 = berat sampel dan cawan sebelum pemasan (g) W2 = berat sampel dan cawan setelah pemanasan (g)
3.5.1.2. Analisis Kadar Abu [Metode 923.03 (AOAC 2009)] Cawan porselen kosong (dan tutupnya) dipanaskan dalam tanur pada suhu 550oC dan didinginkan dalam desikator. Suhu tanur diturunkan sampai 180oC dan cawan dipindahkan ke dalam desikator, didinginkan selama 30 menit dan ditimbang (Wo). Dua sampai empat gram sampel duplikat ditimbang ke dalam cawan porselen tersebut (W1). Sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik untuk dibakar pada suhu maksimum 550oC sampai menghasilkan abu yang ringan atau berat konstan (W2). Cawan sampel didinginkan di dalam desikator kemudian timbang. Ulangi lagi penimbangan hingga diperoleh berat yang kosntan. Kadar abu dihitung dengan persamaan 15. Kadar abu (g/100 g bb) = (W2 – Wo)/Ws x 100 di mana:
(15)
Ws = W1 - Wo Ws = bobot sampel sebelum diabukan (g) Wo = berat cawan kosong (g) W1 = berat sampel dan cawan sebelum diabukan (g) W2 = berat sampel dan cawan sesudah diabukan (g)
Kadar abu dalam basis kering Kadar abu (g/100 g bk) = kadar abu (bb)/[100–kadar air (bb)] x 100
(16)
3.5.1.3. Analisis Kadar Lemak [Metode 920.39 (AOAC 2009)] Labu lemak disiapkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama sekitar 15 menit. Kemudian labu lemak didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang 1-2 g, dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang dialasi dengan kapas. Selongsong kertas yang berisi sampel disumbat dengan kapas dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama ± 1 jam. Sampel dimasukkan ke dalam soxhlet yang telah dirangkai di bagian labu lemak. Lemak dalam sampel diekstrak dengan heksana selama ± 6 jam. Heksana didistilasi dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC. Ekstrak lemak didinginkan pada desikator dan ditimbang. Pengeringan diulangi hingga bobotnya tetap. Kadar lemak dihiitung dengan persamaan 17.
27
Kadar lemak (g/100 g bb) = [(W1 – W2)/Wo] x 100
(17)
di mana : Wo = Bobot contoh dalam gram (g). W1 = Bobot labu lemak + lemak hasil ekstraksi (g) W2 = Bobot labu lemak kosong (g) bb = Basis bahan basah Kadar lemak dalam basis kering Kadar lemak (g/100 g bk)=[kadar lemak (bb)/(100–kadar air (bb))] x100
(18)
3.5.1.4. Analisis Kadar Protein [Metode Semimikro Kjeldahl SNI 01-28911992, butir 7.1. (BSN 1992)] Sampel sebanyak 0.51 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 100 mL dan kemudian ditambahkan 2 g campuran selen (yang dibuat dari 2.5 g SeO2, 100 g K2SO4, dan 30 g CuSO4.5H2O) dan 25 mL H2SO4. Campuran dipanaskan sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam). Larutan dibiarkan dingin dan kemudian diencerkan dalam labu ukur 100 mL dengan menambahkan akuades sampai tanda batas. Larutan encer tersebut diambil 5 mL dan dimasukan ke dalam alat penyuling dan menambahkan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Penyulingan dilakukan selama 10 menit dan distilatnya ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi larutan asam borat 2% yang telah dicampur dengan indikator. Ujung pendingin dibilas dengan air suling. Larutan distilat yang diperoleh dititrasi dengan larutan HCl 0.01 N. Prosedur tersebut diulangi untuk larutan blangko. Kadar protein dalam sampel dihitung dengan persamaan 19. Kadar protein = (V2 – V1) x N x 0,014 x f.k. x f.p. /W
di mana
(19)
W = berat sampel v1 = volume HCl 0.01 N untuk titrasi sampel V2 = volume HCl 0.01 N untuk titrasi blangko N = Normalitas HCl penitrasi f.k.= faktor konversi protein (makanan secara umum 6,25) f.p.= faktor pengenceran.
3.5.1.5. Analisis Kadar Karbohidrat (FAO 2003) Kadar karbohidrat total dihitung dengan difference method menurut persamaan 20. Kadar karbohidrat (%) = 100% - (P+A+Ab+L) di mana :
28
P = kadar protein (%bb) A = kadar air (%bb) Ab= kadar abu (%bb) L = kadar lemak (%bb)
(20)
3.5.2. Analisis Kadar Pati Total (Laurentin dan Edwards 2003). Analisis kadar pati total dengan metode anthroone terdiri dari tiga tahapan, yaitu: ekstraksi pati, hidrolisis pati dan analisis gula. a. Ekstrakasi pati Sampel 2-5 g dimasukkan ke dalam beaker glass 250 mL dan ditambahkan 50 mL alcohol 80% serta diaduk selama 1 jam. Suspensi yang terbentuk disaring dengan kertas saring dan pompa vakum. Endapan pati dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 250 mL dan filtrat dibuang karena mengandung karbohidrat terlarut. Residu pati dicuci dengan 10 mL ether sebanyak 5x. Setiap pencucian pati disaring dengan kertas saring dan ether yang tersisa dalam residu dibiarkan menguap. Residu dicuci lagi dengan 150 mL alkohol 10% untuk membebaskan karbohidrat sisa yang masih terlarut. b. Hidrolisis pati Residu dipindahkan secara kuantitatif dari kertas saring ke dalam gelas piala dan kertas saring dicuci dengan 200 mL aquades. Dua puluh milliliter HCl 25% ditambahkan. Gelas piala ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan dengan pemanas water bath yang mendidih selama 2,5 jam. Larutan yang terbentuk didinginkan dan dinetralkan dengan larutan NaOH 45%. Larutan dimasukkan ke dalam labu takar 500 mL. Aquades ditambahkan sampai tanda batas. Larutan disaring lagi dengan menggunakan kertas saring. c. Analisis gula Larutan hasil langkah sebelumnya (hidrolisis) diambil 5 mL dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 mL. Aquades ditambahkan sampai tanda batas (tanda tera). Larutan diambil 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup. Selanjutnya ditambahkan 5 mL reagent anthrone. Homogenisasi dilakukan dengan menggunakan vortex agar sampel dapat bercampur merata. Sampel dipanaskan di dalam water bath dengan suhu 100oC selama 12 menit. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Penentuan konsentrasi gula dalam contoh dilakukan dengan menggunakan kurva standar. d. Pembuatan kurva standard Glukosa standard 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan diencerkan hingga volume total masing-masing tabung menjadi 1 mL. Larutan blangko dibuat dengan menggunakan 1 mL aquades. Pereaksi anthrone 5 mL ditambahkan ke masing-masing tabung reaksi dan ditutup. Larutan dalam tabung divortex dan dikocok hingga merata. Tabung reaksi dipanaskan di atas water bath mendidih (100 oC) selama 12 menit. Tabung reaksi didinginkan dan dipindahkan ke kuvet untuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm. Data yang diperoleh digunakan untuk membuat kurva standar Volume glukosa standar (mL) Kandungan glukosa standar (mg) 0.00 0 (blangko) 0.2 0.04 0.4 0.08 0.6 0.12 0.8 0.16
29
Konsentrasi total gula dan pati dhitung dengan persamaan 21 dan 22. 1. Total Gula Total Gula (%) = (G x FP/W) x 100 di mana
(21)
G = Gula dari kurva standar FP = Faktor pengenceran W = berat sampel
2. Total Pati Total Pati (%) = 0.9 x total gula (%)
(22)
3.5.3. Analisis Kadar Serat [Metode 985.29 (AOAC 2009)] Mula-mula sampel kering homogen diekstraksi lemaknya dengan petroleum eter pada suhu kamar selama 15 menit jika kadar lemak sampel melebihi 6-8%. Penghilangan lemak dari sampel bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati. Kemudian sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Selanjutnya ditambahkan 50 mL buffer fosfat pH 6 dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan buffer fosfat dimaksudkan untuk menstabilkan enzim alfa-amilase (termamyl). Selanjutnya ditambah 100 µL termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil sekali-kali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan adalah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasikan terlebih dahulu. Setelah dingin pH diatur menjadi 7.5 dengan menambahkan 10 mL NaOH 0.275 M. Selanjutnya ditambahkan 5 mg protease. Pengaturan pH hingga 7.5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim protease maksimum. Erlenmeyer ditutup kemudian diinkubasi pada suhu 60oC dan diagitasi selama 30 menit. Selanjutnya didinginkan dan ditambahkan 10 mL HCl 0.325 M. Keasaman larutan diatur hingga 4-4.6. Pengaturan pH menjadi 4-4.6 ditujukan untuk memaksimumkan aktivitas enzim amiloglukosidase. Kemudian ditambahkan 0.3 mL enzim amiloglukosidase dan ditutup dengan alumunium foil serta diinkubasikan pada suhu 60oC selama 30 menit sambil diaduk. Selanjutnya ditambahkan 280 mL ethanol 95 % yang sebelumnya dipanaskan sampai 60oC (ukur volume sebelum dipanaskan) dan dibiarkan terbentuk endapan pada suhu ruang selama 60 menit. Crucible yang berisi celite 0.1 mg ditimbang dan kemudian dibasahi dan diratakan pada permukaan crucible dengan ethanol 78%. Endapan dipindahkan dari hasil penghancuran enzim ke crucible. Residu dicuci dengan 20 mL ethanol 78 % (3x), 10 mL ethanol 95 % (2x) dan 10 mL aseton (2x). Crucible yang berisi residu dikeringkan semalam pada oven vakum pada suhu 70oC atau oven biasa pada suhu 105oC. Crucible berisi residu didinginkan di desikator dan ditimbang hingga mendekati 0.1 mg. Berat crucible dan celite dikurangkan untuk menentukan berat residu. TDF = [(Berat residu – P – A – B)/beratsampel] x 100
(23)
B = berat residu – PB – AB
(24)
di mana P = berat protein (mg) yang ditentukan pada sampel pertama A = berat abu (mg) yang ditentukan pada sampel kedua. B = blanko
30
PB = berat protein yang ditentukan pada residu blanko pertama AB = berat abu yang ditentukan pada residu blanko kedua 3.5.4. Analisis Kadar Amilosa (Adegunwa et al. 2011) Dua puluh miligram contoh ditimbang ke dalam gelas piala (Beaker glass) 50 mL. Ditambahkan 10 mL larutan KOH 0.5 N dan diaduk. Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL dan diencerkan dengan air suling sampai tanda batas/tera. Sepuluh mililiter larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan 5 mL HCl 0.1 N. Selanjutnya larutan diencerkan sampai tanda batas dan ditambahkan 0.5 mL larutan iodine. Setelah 5 menit segera diukur adsorbansinya pada panjang gelombang 589 nm. Dilakukan blanko. Kalibrasi/Kurva standar. Larutan amilosa standar dengan konsentrasi 1, 5, 10, 15 dan 20 ppm dibuat dan ditambahkan 4 kali bobot amilopektin (4, 20, 40, 60 dan 80 mg). Campuran ditambah 10 mL KOH 0.5 N dan dipindahkan ke dalam labu ukur 100 mL. Larutan diencerkan dengan air suling. Sebanyak 10 mL dari larutan tersebut dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL dan ditambahkan 5 mL HCl 0.1 N. Kemudian dilakukan pengenceran sampai tanda batas dan ditambahkan 0.5 mL larutan iodine. Setelah 5 menit segera diukur adsorbansinya pada panjang gelombang 589 nm. Kurva kalibrasi/kurva standar konsentrasi amilosa terhadap absorbansi dibuat. 3.5.5. Analisis Derajat Gelatinisasi 3.5.5.1. Metode DSC(Baks et al. 2007). Karakteristik thermal beras analog dianalisis dengan menggunakan instrumen DSC 60 Shimadzu, Tokyo, Jepang. Beras analog dihaluskan menjadi tepung dan ditimbang 3 mg di dalam wadah sampel khusus (pan cell no. 20153090). Akuades 10 µL ditambahkan dengan menggunakan mikropipet dan kemudian pan cell tersebut ditutup dengan rapat. Pan cell yang berisi sampel dan akuades dibiarkan selama 2 jam pada suhu ruang untuk mencapai kesetimbangan. Selanjutnya pan cell tersebut dipanaskan dari suhu 40oC sampai 120oC dengan laju pemanasan 5oC/menit (Gelders et al. 2004). Data enthalpy yang diperoleh dari thermogram digunakan untuk menghitung derajat gelatinisasi dengan persamaan 25 (Baks et al. 2007). DG = [1 − (ΔHr / ΔHnative)] × 100%
(25)
di mana ΔHnative adalah nilai enthalpy gelatinisasi bahan yang tidak diberi perlakuan dan ΔHr adalah nilai enthalpi gelatinisasi dari bahan yang diberi perlakuan. 3.5.5.2. Metode Mikroskop Cahaya Terpolarisasi (Baks et al. 2007) Langkah pertama adalah membuat kurva standar hubungan derajat gelatinisasi dan konsentrasi granula. Suspensi pati 1% dan suspensi pati 1% yang tergelatinisasi sempurna dibuat dan dicampur untuk memperoleh suspensi standar dengan derajat gelatinisasi 0%, 20%, 40%, 60%, 80% dan 100%. Kemudian suspensi standar ini diteteskan ke atas kaca hemocytometer dengan micropipette dan diamati di bawah cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 200x pada Mikroskop 31
Olympus yang dilengkapi dengan kamera CCD. Jumlah granula pati yang masih sempurna dihitung untuk memperoleh konsentrasi granula yang masih sempurna dengan persamaan 26 (I Zarguili 2006). Konsentrasi Granula = Jumlah granula/volume (mL)
(26)
Volume yang dimaksud dalam persamaan 25 merupakan volume satu bidang kotak pada kaca hematocymeter yang mempunyai luas 0.0625 mm2 dan kedalaman 0.1 mm. Sehingga volume satu bidang kotak tersebut adalah (0.0625 x 0.1) mm3 atau 0.00625 mL. Langkah kedua adalah menganalisis konsentrasi granula di dalam sampel beras analog. Sampel beras analog yang telah dihaluskan disuspensikan ke dalam air untuk mendapatkan konsentrasi 1% dan diteteskan ke atas kaca hemocyto meter untuk dilihat di bawah cahaya terpolarisasi dengan perbesaran 200x pada mikroskop Olympus yang dilengkapi dengan kamera CCD. Konsentrasi granula yang masih sempurna dihitung dan diplotkan ke kurva standar untuk memperoleh derajat gelatinisasi (Bhatnagar dan Hanna 1996; Baks et al. 2007). 3.5.6. Analisis kristalinitas dengan XRD (Vermeylen et al. 2006) Sampel beras analog dihaluskan menjadi tepung dan ditempatkan pada wadah sampel khusus dari alumunium untuk dipapar sinar X monokromatik radiasi Cu-Kα (λ=1.54 A) yang dihasilkan oleh X Raya Diffraction (XRD 7000 maxima X, Shimadzu Ltd., Tokyo, Jepang). Sudut refleksi pemindaian 5–30o dengan peningkatan 0.02o. Difraktogram sinar X yang diperoleh didekonvolusi dengan menggunakan software Origin 8.0 dan derajat kristalinitas (DK) dihitung dengan metode curve fitting menggunakan persamaan 27. DK = Ak/At x 100 %
(27)
dimana Ak adalah luas daerah kurva kristal dan At merupakan luas daerah kurva total (kristal + amorf)(Terinte et al. 2011). Pengukuran derajat kristalinitas diulang dua kali. 3.5.7. Analisis Kekerasan (Ajeigbe et al. 2008) Kekerasan beras analog yang dihasilkan diukur dengan alat Hardness Tester yang dibuat oleh Kiya Seisaku Shd Ltd, Kawagoe, Saitama, Jepang. Pengukuran dilakukan sebanyak 30 kali. 3.5.8. Densitas Kamba/Bulk Density (Singh et al. 2005). Densitas kamba adalah massa butiran total yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan berdasarkan berat sampel butiran beras yang menempati suatu wadah dengan volume tertentu. Rasio antara berat dan volume dari sampel butiran tersebut merupakan densitas kamba dengan satuan g/mL. Gelas ukur 10 mL ditimbang beratnya (Wo) dan kemudian sampel dimasukkan ke dalam gelas ukur hingga tanda tera. Selanjutnya gelas ukur berisi sampel tersebut diitimbang (W1). Densitas kamba dihitung dengan persamaan 28. Densitas kamba (g/mL) = (W1-Wo)/10
32
(28)
di mana
Wo = Berat gelas ukur kosong (g) W1 = Berat gelas ukur dan sampel (g)
3.5.9. Analisis Tekstur (Zhuang et al. 2010) Lima butir beras analog tanak ditempatkan di permukaan plate analyzer. Program kompresi dua kali dan gaya waktu digunakan dengan kecepatan prauji (pre-test) 5 mm/s, kecepatan uji (test) 2 mm/s, kecepatan paska uji (post-test 5 mm/s dan laju regangan 80%. Probe yang digunakan adalah cylinder SMS P/35 alumunium berdiameter 3.5 cm. Dari kurva hubungan gaya dan waktu yang diperoleh, parameter tekstur kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog dapat dihitung dengan menggunakan software pengolah data. Pengukuran dilakukan tiga kali. 3.5.10. Analisis Mikrostruktur (Goldstein et al. 1992)
Sampel beras analog dipotong melintang dan ditempatkan pada dudukan sampel. Kemudian potongan sampel tersebut dilapisi dengan logam Au dan selanjutnya ditempatkan pada posisi sampel di dalam alat Scanning Electron Microscope SEM (Jeol JSM-5310 LV, Jeol Ltd., Tokyo, Jepang) dan tabung divakumkan. Perbesaran yang digunakan adalah 750x dan jika sudah mendapatkan gambar yang baik, dilakukan penyimpanan gambar dalam bentuk file. 3.5.11. Analisis laju alir massa (Ayadi et al. 2013) Laju alir massa di dalam die head ekstruder (m) diukur dengan mengumpulkan ekstrudat yang keluar dari die (berlubang satu) pada interval waktu 10 detik dan ditimbang beratnya (W) dengan menggunakan timbangan elektronik (MACS030A/W-D, Quattro MACS, China). m (g/dt) = W/10
(29)
di mana W = berat ekstrudat basah pada interval waktu 10 detik (g) 3.5.12. Densitas bahan di dalam die head (Ayadi et al. 2013) Ekstrudat basah yang keluar dari die (berlubang satu) dikumpulkan dalam waktu 10 menit dan ditimbang beratnya (W) dengan menggunakan timbangan elektronik (MACS030A/W-D, Quattro MACS, China). Selanjutnya ekstrudat tersebut diukur volumenya dengan memasukkannya ke dalam gelas ukur 500 mL yang berisi air 300 mL. Kenaikan volume yang terjadi merupakan volume dari ekstrudat (V). Density dihitung dengan persamaan 30. Densitas (g/mL) = W/V
di mana
(30)
W = berat ekstrudat basah (g) V = volume ekstrudat basah (mL)
33
3.5.13. Analisis laju alir volume (Q) (Ayadi et al. 2013) Laju alir volume di dalam die head ekstruder (Q) ekstrudat yang keluar die dihitung dengan membagi laju alir massa ekstrudat yang keluar die dengan density ekstrudat tersebut (persamaan 31). Q (mL/dt) = m/density di mana
(31)
m = laju alir massa (g/dt)
3.5.14. Analisis reologi (Khatoon et al. 2009) Pada analisis reologi parameter yang akan diukur adalah gaya geser dan viskositas bahan di dalam die head ekstruder pada beberapa laju geser. Alat ukur reologi (rheometer) yang cocok untuk mengukur reologi beras analog di dalam die head ekstruder adalah tipe capillary rheometer yang in line dengan ekstruder seperti slit capillary die rheometer/slit die viscometer (Xie et al. 2009) atau rod capillary die rheometer/cylindrical die viscometer (Martin et al. 2003)]. Sehingga bahan yang telah diproses di dalam ekstruder dapat langsung diukur gaya geser dan viskositasnya. Oleh karena adanya keterbatasan alat ukur reologi yang tersedia maka analisis reologi bahan di dalam die head dilakukan dengan menggunakan rheometer tipe rotary parallel plate. Agar rotary rheometer parallel plate dapat digunakan untuk mengukur reologi bahan di dalam die head ekstruder maka bahan harus dikondisikan sama dengan keadaan di dalam die head ekstruder yang berarti bahan harus sudah mengalami proses ekstrusi. Kadar air dan suhu bahan harus dibuat sama dengan kondisi di dalam die head ekstruder. Rotary rheometer tipe parallel plate (Haake MARS, Haake Karlsruhe, Germany) yang diperlihatkan pada Gambar 17 digunakan untuk mengukur gaya geser dan viskositas bahan beras analog di dalam die head ekstruder secara off line atau terpisah dari alat ekstruder. Alat tersebut memiliki 2 pelat yang paralel dengan jarak/gap yang dapat diatur. Pada saat pengukuran kedua pelat tersebut diatur mempunyai gap 1 mm dan pelat bawah dalam keadaan diam (statis). Sedangkan pelat atas bergerak pada kecepatan putar (Ω) tertentu untuk menghasilkan laju geser (γ) tertentu. Sampel beras analog kering digiling menjadi tepung dengan ukuran 40 mesh dan kemudian ditambahkan air agar kadar airnya menjadi 35%, 40%, dan 45% sesuai dengan perlakuan yang dilakukan saat proses ekstrusi. Sampel tersebut dicetak dengan bentuk lingkaran dengan diameter 2 cm dan ketebalan 3 mm. Sampel yang telah tercetak ditempatkan di atas pelat bagian bawah. Minyak paraffin dioleskan tipis diujung pinggir lingkaran sampel untuk mencegah menguapnya air dalam sampel selama pengukuran. Ruang tempat sampel ditutup rapat dan pengukuran dimulai. Pengukuran gaya geser dan viskositas dilakukan pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC (suhu di pelat paralel dan ruang pengukuran), jarak pelat atas – bawah 1 mm dan pada beberapa kecepatan putar (Ω) untuk mendapatkan laju geser 0.001 – 1 s-1. Pengaturan (setting) suhu pengukuran, jarak pelat atas-bawah, dan kecepatan putar tersebut dilakukan melalui computer pengendali yang terhubungkan dengan rheometer tersebut dengan mengisi kolomkolom yang sudah tersedia pada program aplikasi. Begitu juga untuk beras analog dengan kadar amilosa 16.99%, 19.35%, 21.72%, 24.09% dan kadar air 40% diukur gaya geser dan viskositasnya pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC pada laju geser 0.001 – 1 s-1. Semua pengukuran dilakukan dua kali. Kurva aliran (hubungan gaya geser
34
dan laju geser) dan kurva viskositas (hubungan viskositas dan laju geser) dihasilkan pada laju geser 0.001 – 1 s-1.
Ruang tempat sampel yang kedap dan dapat dibuka-tutup
Pelat bawah untuk menempatkan sampel
Gambar 17. Rotary rheometer parallel plate Haake MARS 3.5.15. Analisis Statistik Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program SPSS 20 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA). Hasil yang diperoleh dalam penelitian dituliskan sebagai nilai rata-rata dari beberapa ulangan ± standard deviasi. Perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata ditentukan dengan uji Duncan pada level signifikansi P < 0.05. Koefisien korelasi pearson digunakan untuk menentukan hubungan antara derajat kristalinitas dan kekerasan beras analog.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakterisasi Bahan Sifat-sifat kimia dan fisik bahan-bahan yang digunakan dianalisis dan hasilnya ditampilkan pada Tabel 5 untuk analisis proksimat dan Tabel 6 untuk kadar pati, amilosa, dan serat (Budi et al. 2015a). Tepung jagung mempunyai kadar karbohidrat total yang lebih rendah dan kadar protein, lemak, dan abu yang lebih tinggi dibanding pati jagung. Perbedaan ini disebabkan oleh tipe jagung dan proses pengolahan. Setiap varitas jagung memiliki komposisi kimia yang spesifik yang dipengaruhi oleh iklim, tanah, pupuk dan sebagainya. Tepung jagung diproses dengan menggiling endosperma jagung kering (grits) sehingga semua komponen yang ada di dalamnya akan masuk ke dalam tepung (Peplinski et al. 1984). Pati
35
jagung diekstraksi dari jagung yang telah direndam dan digiling dengan menggunakan air dan kemudian pati jagung yang telah dipisahkan dikeringkan sehingga komponen pati sangat dominan di dalam produk pati jagung (Eckhoff dan Watson 2009). Pati jagung memiliki kadar amilosa 38.29% , lebih tinggi dibandingkan dengan kadar amilosa tepung jagung (14.62%). Jagung yang digunakan untuk membuat pati jagung berasal dari tanaman jagung yang mengandung kadar amilosa medium, sedangkan tepung jagung berasal dari tanaman jagung dengan kadar amilosa rendah (Cheetham dan Tao 1998). Tabel 5. Analisis proksimat tepung jagung kuning dan pati jagung. Parameter Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%)
Tepung jagung 12.286 ± 0.016 0.671 ± 0.010 1.186 ± 0.081 7.910 ± 0.071 77.947 ± 0.178
Pati jagung 12.035 ± 0.050 0.090 ± 0.014 0.195 ± 0.021 0.455 ± 0.021 87.225 ± 0.028
Tabel 6. Kadar pati, amilosa dan serat dari tepung dan pati jagung. Parameter Pati (%) Amilosa (%) Serat (%)
Tepung jagung 71.20 ± 2.14 14.62 ± 0.13 5.93 ± 0.06
Pati jagung 86.73 ± 2.81 38.29 ± 0.34 0.46 ± 0.07
Termogram DSC tepung jagung, pati jagung dan campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 ditunjukkan pada Gambar 18 (Budi et al. 2015a). Tepung jagung mempunyai suhu gelatinisasi puncak 73.21oC, lebih tinggi dibandingkan dengan suhu gelatinisasi puncak pati jagung (69.26oC), tetapi entalpi (∆H) tepung jagung (5.71 J/g) lebih rendah dibandingkan dengan entalpi gelatinisasi pati jagung (10.14 J/g). Sedangkan suhu gelatinisasi puncak dan enthalpi gelatinisasi campuran pati-tepung jagung pada rasio 1/9 adalah 72.68oC dan 5.88 J/g. Suhu gelatinisasi awal (on set) dan suhu gelatinisasi puncak tepung jagung yang lebih tinggi menunjukkan bahwa energi yang lebih banyak dibutuhkan untuk menginisiasi gelatinisasi pati (Sandhu dan Singh 2007). Entalpi gelatinisasi merefleksikan energi yang dibutuhkan untuk melelehan kristal amilopektin dan perbedaan enthalpi merepresentasikan perbedaan besarnya gaya ikat antar helik ganda yang membentuk kristal amilopektin yang tersusun dari ikatan hidrogen (McPherson dan Jane 1999). Difraktogram sinar X menunjukkan bahwa tepung jagung dan pati jagung mempunyai tipe kristal A yang dikarakterisasi dengan adanya puncak-puncak pada sudut 2θ (bragg angle) 15o, 17o, 18o, dan 23o seperti yang terlihat pada Gambar 19 (Budi et al. 2015a). Namun puncak-puncak difraktogram sinar X pati jagung lebih tajam dibanding tepung jagung. Perbedaan ini disebabkan oleh amilosa yang terdapat di dalam granula. Kadar amilosa pati jagung lebih tinggi dibandingkan tepung jagung dan kadar amilosa mempunyai peranan dalam menurunkan kristalinitas atau tidak terlibat dalam pembentukan kristalit di dalam granula.
36
Peningkatan kadar amilosa di dalam bahan akan menurunkan derajat kristalinitas (Cheetham dan Tao 1998).
Gambar 18. Thermogram DSC tepung jagung, pati jagung, dan campuran patitepung jagung dengan rasio 1/9
Gambar 19. Difraktogram sinar X pati jagung, tepung jagung, campuran patitepung jagung dengan rasio 1/9 dan beras IR 64.
4.2. Derajat Gelatinisasi Beras Analog Mikroskop cahaya terpolarisasi dan DSC digunakan untuk mengamati perubahan granula pati yang diakibatkan oleh perlakuan percobaan. Pengukuran derajat gelatinisasi dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi dilakukan berdasarkan penurunan jumlah granula pati pada 64 bidang sudut pandang. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi ditampilkan pada Gambar 20 dan 21. Foto mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan bahwa granula pati jagung masih terlihat sempurna dan birefringence granula pati masih tampak terlihat jelas (Gambar 20a). Pada tepung jagung yang telah mengalami perlakuan ekstrusi, granula pati memperlihatkan terjadinya perubahan. Pada suhu ekstrusi 50oC dan kadar air adonan 40% birefringence granula pati masih 37
terlihat dan mulai muncul lubang ditengah pada beberapa granula pati yang mengindikasikan bahwa granula pati tersebut mulai mengalami proses gelatinisasi (Gambar 20b). Pada suhu ekstrusi 60oC beberapa granula pati mulai berubah bentuk akibat adanya pembengkakan (swelling). Jumlah granula pati yang masih memperlihatkan birefringence semakin berkurang dan hal ini menandakan telah terjadinya peningkatan proses gelatinisasi (Gambar 20c, 20d, dan 20e).
Gambar 20. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 (a), beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 50oC-40% (b), dan beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 60oC-35%, 60oC-40%, 60oC-45 % (c, d, e). Peningkatan kadar air adonan dari 35% menjadi 40% dan 45 % juga berpengaruh terhadap penurunan jumlah granula pati yang masih memperlihatkan birefringence. Pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, 90oC dan kadar air adonan 35%, 40%, 45% granula pati di dalam beras analog tampak mengalami kerusakan seperti: kehilangan birefringence, pecah menjadi beberapa bagian, dan terjadi penggumpalan dari beberapa pecahan granula seperti yang tampak pada Gambar 21b–j (Budi et al. 2015a). Hasil ini membuktikan bahwa proses ekstrusi pada suhu 70oC–90oC dan kadar air 35% – 45% telah menyebabkan granula pati tergelatinisasi sempurna (derajat gelatinisasi 100%). Granula pati di dalam beras analog yang tergelatinisasi sempurna pada kondisi operasi ekstruder suhu 70oC – 90oC dan kadar air adonan 35% - 45% juga teramati pada thermogram DSC tepung jagung dan beras analog seperti yang ditunjukkan pada Gambar 22 (Budi et al. 2015a). Kondisi operasi ekstruder pada suhu 70oC – 90oC dan kadar air adonan 35% – 45% telah menyebabkan hilangnya puncak kurva gelatinisasi (Gambar 22). Pada thermogram DSC tepung jagung yang tidak diekstrusi, puncak kurva gelatinisasi masih terlihat jelas tetapi puncak kurva gelatinisasi tersebut hilang pada thermogram DSC beras analog pada kondisi operasi ekstruder suhu 70oC – 90oC dan kadar air adonan 35% – 45%. 38
Gambar 21. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi. Campuran pati-jagung dengan rasio 1/9 (a), beras analog yang dihasilkan pada kondisi operasi 70oC-35%, 70oC-40%, 70oC-45 % (b, c, d), pada kondisi operasi 80oC-35%, 80oC-40%, 80oC-45 % (e, f, g) dan pada kondisi operasi 90oC-35%, 90oC-40%, 90oC-45 % (h, i, j). F.A.Nyanzi et al. (1995) menyatakan bahwa campuran pati jagung dan isolat protein kedelai (75:25) dengan kadar air 20% yang diekstrusi dengan ekstruder ulir tunggal pada suhu 50oC dan kecepatan ulir 120 rpm menghasilkan derajat gelatinisasi 91.6%. Bhatnagar dan Hanna (1996) mengatakan bahwa pati jagung yang meninggalkan daerah melting zone sudah tergelatinisasi sempurna. Gaya geser pada adonan yang dihasilkan oleh gerakan memutar ulir ekstruder dan tekanan tinggi di daerah cooking zone dapat menghancurkan granula pati sehingga gelatinisasi dapat dicapai pada kadar air yang rendah karena kemungkinan perpindahan air ke dalam molekul amilopektin berlangsung lebih cepat (F.A.Nyanzi et al. 1995; Liu et al. 2009). Mikroskop cahaya terpolarisasi dapat digunakan untuk mengukur derajat gelatinisasi berdasarkan granula pati yang masih utuh dan terlihat birefringencenya. Hasil pengukuran derajat gelatinisasi beras analog dengan mikroskop cahaya terpolarisasi ditampilkan pada Table 7 (Budi et al. 2015a). Pada suhu ekstrusi di bawah 70oC granula pati di dalam beras analog belum tergelatinisasi sempurna (< 100%).
39
Gambar 22. Thermogram DSC pati/tepung jagung pada rasio 1/9 dan beras analog yang dihasilkan pada suhu ekstrusi 70oC (a), 80oC (b), dan 90oC (c) serta kadar air adonan 35% , 40%, dan 45%. Kenaikan suhu ekstrusi dari 50oC menjadi 60oC pada kadar air adonan 40% akan meningkatkan derajat gelatinisasi beras analog dari 8% menjadi 73%. Kenaikan kadar air adonan dari 35% menjadi 40% dan 45% juga meningkatkan derajat gelatinisasi dari 68% menjadi 73% dan 84%. Pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 40
90oC granula pati di dalam beras analog sudah tergelatinisasi sempurna baik pada kadar air adonan 35%, 40% maupun 45%. Begitu juga pengukuran derajat gelatinisasi dengan menggunakan DSC yang digunakan sebagai pembanding memberikan hasil yang sama seperti yang diperlihatkan pada Tabel 7 untuk suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC serta kadar air adonan 35%, 40%, dan 45% (Budi et al. 2015a). Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung yang digunakan mempunyai suhu gelatinisasi di sekitar suhu 70oC dan sesuai dengan data suhu gelatinisasi campuran pati-tepung jagung dengan rasio 1/9 yang dianalisis dengan DSC, yaitu 72.68oC (Gambar 18). Gelatinisasi merupakan proses perubahan irreversible yang disertai dengan perusakan struktur granula pati yang disebabkan oleh adanya pemanasan terhadap granula pati yang berada dalam lingkungan air (Liu et al. 2009). Di bawah kondisi tanpa adanya gaya geser proses gelatinisasi granula pati membutuhkan air dalam jumlah cukup banyak atau lebih dari 63%. Namun pada kondisi di bawah gaya geser seperti proses ekstrusi, gelatinisasi dapat dicapai pada kadar air rendah karena gaya geser merusak granula pati sehingga memungkinkan perpindahan ke dalam molekul secara lebih cepat. Selama proses ekstrusi kehilangan kristalinitas tidak disebabkan oleh penetrasi air tetapi oleh perusakan ikatan molekul secara mekanis dan thermal yang disebabkan oleh intensnya gaya geser dan panas di dalam ekstruder. Gaya geser dapat menyebabkan terjadinya pemecahan granula pati selama ekstrusi. Energi mekanik dan panas yang ditransfer ke adonan pati selama ekstrusi akan mempengaruhi perusakan ikatan primer dan sekunder (ikatan hidrogen) antara molekul-molekul pati yang berdekatan di dalam struktur granula pati (Barron et al. 2001; Liu et al. 2009). Tabel 7. Derajat gelatinisasi beras analog pada beberapa kondisi operasi ekstrusi. Suhu ekstrusi (oC)
50 60 70 80 90 100 Keterangan:
Derajat Gelatinisasi Mikroskop Cahaya Terpolarisasi 35% 40% 45% 35% 8 68 73 84 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
DSC 40% 100 100 100 100
45% 100 100 100 100
- = tidak diukur karena tidak diperoleh sampel atau DSC bermasalah
Koide et al. (1999) dan Zhuang et al. (2010) yang juga membuat beras analog dengan menggunakan proses ekstrusi panas memiliki hasil yang berbeda. Koide et al. (1999) menyatakan bahwa pada kadar air adonan 30% - 40% dan suhu ekstrusi 80oC, derajat gelatinisasi beras analog yang dihasilkan dari bahan dasar pati jagung sekitar 50% - 60% dan pada suhu 120oC derajat gelatinisasinya 90% atau lebih. Sementara Zhuang et al. (2010) juga melaporkan bahwa proses ekstrusi beras analog dari bahan dasar tepung beras pada kadar air adonan 28% - 36% dan suhu ekstrusi 68oC – 90oC akan menghasilkan derajat gelatinisasi 40.2% - 84.5%. Semakin tinggi suhu ekstrusi akan menghasilkan derajat gelatinisasi pati semakin tinggi. Hasil penelitian yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya berbeda
41
dengan hasil penelitian kedua peneliti tersebut. Perbedaan ini disebabkan oleh metode yang digunakan untuk mengukur derajat gelatinisasi. Koide et al. (1999) dan Zhuang et al. (2010) keduanya menggunakan metode spektrofotometri setelah sampel digelatinisasi dan direaksikan dengan larutan iodine. Menurut Bhatnagar dan Hanna (1994b), lipid dapat berinteraksi secara kuat dengan amilosa yang dilepaskan oleh granula pati untuk membentuk senyawa kompleks amilosa–lipid ketika diekstrusi dengan disertai pemanasan sehingga akan mengurangi amilosa yang terukur untuk menentukan derajat gelatinisasi. Keberadaan senyawa kompleks amilosa–lipid di dalam sampel akan menurunkan kemampuan pengikatan iodine. Oleh karena itu pengukuran derajat gelatinisasi sampel pati terekstrusi yang terjadi pembentukan senyawa komplek amilosa-lipid dengan menggunakan metode spektrofotometri tidak akurat atau nilainya lebih kecil dibanding nilai yang sebenarnya.
4.3. Penentuan Suhu Ekstrusi Berdasarkan data derajat gelatinisasi beras analog yang dihasilkan pada berbagai perlakuan (suhu 60oC, 70oC, 80oC, 90oC dan kadar air adonan 35%, 40%, 45%) maka dibuatlah grafik hubungan derajat gelatinisasi dan suhu ekstrusi (Gambar 24). Data kekerasan beras analog yang ditampilkan pada Gambar 23 digunakan untuk melengkapi penjelasan Gambar 24. Gambar 24 memperlihatkan bahwa proses ekstrusi pada suhu ekstrusi 60oC menghasilkan beras analog dengan derajat gelatinisasi 68%, 74%, dan 84% pada kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%. Sedangkan Gambar 23 menunjukkan bahwa beras analog yang dihasilkan pada suhu ekstrusi 60oC tersebut memiliki kekerasan yang rendah (berkisar antara 1.4 – 2.02 kg). Suhu ekstrusi 60oC menghasilkan beras analog yang belum tergelatinisasi sempurna dan memiliki kekerasan yang rendah sehingga mudah hancur ketika sudah dikemas. Di samping itu butiran beras analog yang dihasilkan mempunyai permukaan yang kasar (Gambar 25). Permukaan kasar itu memperlihatkan bahwa ada sebagian granula pati yang belum mengalami pelelehan atau gelatinisasi sehingga ketika dicetak di die granula pati tersebut masih utuh dan menimbulkan efek yang kasar pada permukaan beras analog. Masalah lain yang timbul akibat adanya sebagian granula pati yang belum tergelatinisasi sempurna adalah tersumbatnya die yang digunakan untuk mencetak beras analog. Die tersebut memilik ukuran lubang yang cukup kecil sekitar 2 x 6 mm. Jika fase bahan di dalam die head tidak homogen dalam bentuk lelehan bahan/fluida atau masih berupa campuran suspensi pati (dispersi pati dalam air) maka aliran suspensi pati tersebut di dalam die tidak akan smooth dan lancar sehingga dalam waktu tertentu akan terjadi penyumbatan. Pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC derajat gelatinisasi beras analog pada ketiga variasi kadar air (35%, 40%, dan 45%) telah mencapai 100%. Namun kekerasan beras analog yang dihasilkan pada perlakuan suhu ekstrusi dan kadar air tersebut sangat bervariasi dengan perbedaan yang saat signifikan (Gambar 23). Pada kadar air adonan 45% kekerasan beras analog yang dihasilkan sangat rendah (sekitar 1.7 – 2.02 kg), hampir sama dengan kekerasan beras analog pada suhu ekstrusi 60oC. Sedangkan pada kadar air 35% dan 40%, kekerasan beras analog,
42
berkisar antara 4.06 – 5.7 kg (hampir sama atau lebih tinggi dari kekerasan beras IR 64 yang berada di 4.21 kg).
Kekerasan (kg)
8 5.70
6 4.36 4.06
4.80 4.42
4.74
35%
4 2.02 1.44 1.61
2
2.05
1.95
1.71
40% 45%
0 60
70
80 Suhu
90
(oC)
Gambar 23. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan suhu ekstrusi pada kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%.
100
Derajat Gelatinisasi (%)
90
Produk puffing
80 70 60 50
k.a. 35%
40
k.a. 40%
30
k.a. 45%
20
Produk rapuh
10 0 40
50
60
70 80 90 100 110 120 Suhu ekstrusi (oC)
Gambar 24. Grafik hubungan derajat gelatinisasi beras analog dan suhu ekstrusi pada kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%. Beras analog yang dihasilkan juga mempunyai permukaan yang halus (Gambar 26). Pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC semua granula pati telah mengalami pelelehan atau gelatinisasi sempurna sehingga ketika dicetak di die, menghasilkan permukaan beras analog yang halus mengikuti bentuk lubang die. Proses gelatinisasi atau pelelehan yang sempurna ini juga menyebabkan adonan yang
43
mengalir di dalam die head sudah menjadi fluida dan dapat mengalir dengan lancar atau tidak menyebabkan terjadinya penyumbatan. 6 mm
2 mm
a
b
c
Gambar 25. Beras analog pada suhu ekstrusi 60oC dan kadar air adonan 35% (a), 40% (b), dan 45% (c). 2 mm
b
d
e
c
6 mm
a
f
g i h Gambar 26. Beras analog pada kondisi operasi 70oC-35% (a), 70oC-40% (b), 70oC45% (c), 80oC-35% (d), 80oC-40% (e), 80oC-45% (f), 90oC-35% (g), 90oC-40% (h), dan 90oC-45% (i). Pada suhu ekstrusi di atas 105oC beras analog yang dihasilkan mengalami puffing atau pengembangan (Gambar 27). Pada suhu ekstrusi 105oC molekul air di dalam adonan sebagian mengalami perubahan fase menjadi uap dan terbentuk inti gelembung serta terjadi peningkatan tekanan di dalam die head ekstruder. Ketika ekstrudat keluar dari die, ekstrudat akan mengalami ekspansi akibat terjadinya pertumbuhan gelembung yang dikendalikan oleh perbedaan tekanan uap antara lelehan adonan di dalam die head ekstruder dan tekanan di luar (atmosfir). Dari data yang ditampilkan pada Gambar 23, 24, 25, 26, dan 27 dapat ditentukan kondisi suhu ekstrusi yang sesuai untuk mengeksplorasi pengaruh suhu ekstrusi terhadap sifat-sifat beras analog yang dihasilkan. Suhu ekstrusi yang akan digunakan adalah 70oC, 80oC, dan 90oC pada tiga variasi kadar air adonan 35%, 40%, dan 45%. Suhu ekstrusi 60oC tidak digunakan karena menghasilkan beras analog yang rapuh dan permukaannya kasar dan muncul masalah die tersumbat.
44
Suhu ekstrusi lebih dari 100oC juga tidak digunakan karena menghasilkan produk beras analog yang puffing/mengembang.
4.4 mm
7.5 mm
Gambar 27. Beras analog yang puffing.
4.4. Tipe Kristal dan Derajat Kristalinitas Beras Analog. Proses ekstrusi pembuatan beras analog pada berbagai perlakuan percobaan (suhu ekstrusi 70oC, 80oC, 90oC, kadar air adonan 35%, 40%, 45% dan kadar amilosa 16.99%, 19.35%, 21.72%, 24.09%) telah mengubah bentuk tipe kristal bahan tepung jagung dari A menjadi V yang ditandai dengan bergesernya puncak kurva difraktogram dari 15o, 17o, 18o, dan 23o menjadi 13o, dan 20o (Gambar 28, 29, dan 30). Perubahan bentuk tipe kristal tersebut disebabkan oleh terjadinya pembentukan senyawa kompleks amilosa-lipid pada saat proses ekstrusi. Pembentukan senyawa kompleks amilosa-lipid juga dilaporkan oleh Mercier et al. (1979) setelah melakukan ekstrusi pati jagung pada suhu 70–135oC dan kadar air 22%, Bhatnagar dan Hanna (1994a) yang mengekstrusi pati jagung pada berbagai kadar amilosa pada suhu 110oC dan kadar air 19% dan Frost et al. (2009) yang mengekstrusi pati jagung pada suhu 60–100oC. Beras IR 64 yang digunakan sebagai kontrol memiliki difraktogram dengak puncak-puncak kurva pada sudut 2θ: 15o, 17o, 18 o, dan 23o (Gambar 19). Sehingga beras IR 64 mempunyai tipe kristal A sama seperti tepung jagung karena keduanya termasuk golongan serealia.
Gambar 28. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 80oC dan kadar amilosa 16.99% (k.a.: kadar air)(Budi et al. 2015a).
45
Gambar 29. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada kadar air 35% dan kadar amilosa 16.99% (Budi et al. 2015a)
Gambar 30. Difraktogram XRD tepung jagung dan beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 80oC dan kadar air 35% (k.am: kadar amilosa). Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat kristalinitas beras analog ditunjukkan pada Gambar 31 (Budi et al. 2015b). Sedangkan pengaruh kadar amilosa terhadap derajat kristalinitas beras analog pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC ditampilkan pada Gambar 32. Analisis statitik (uji sidik ragam pada taraf uji p=0.05) menunjukkan bahwa faktor suhu ekstrusi dan kadar air adonan memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat kristalinitas beras analog. Namun faktor kadar amilosa, interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan, interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa, interaksi kadar air adonan-kadar amilosa, dan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan-kadar amilosa tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap derajat kristalinitas beras analog. Peningkatan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 90oC meningkatkan derajat kristalinitas beras analog dari 5.86 – 15.00% menjadi 10.70 – 18.87% (Gambar 31). Hasil ini menunjukkan bahwa molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid tersusun lebih teratur dan rapat dengan meningkatnya suhu ekstrusi. Energi dari peningkatan suhu ekstrusi dapat menyusun ulang molekul-molekul senyawa
46
Derajat Kristalinitas (%)
kompleks amilosa-lipid yang terdistribusi secara acak menjadi lebih teratur. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pada kadar air adonan 35%, kenaikan suhu ekstrusi dari 70oC sampai 90oC, derajat kristalinitas meningkat tidak signifikan. Pada kadar air adonan 40% dan 45%, peningkatan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 80oC tidak juga meningkatkan derajat kristalinitas secara signifikan tetapi peningkatan suhu ekstrusi dari 80oC menjadi 90oC meningkatkan derajat kristalinitas secara signifikan. 22 20 18 16 14 12 10 8 6 4
ax ax ax by
T 70 oC
bz
ay
T 80 oC
ay
az
T 90 oC
az
35
40 Kadar air (%)
45
Derajat kristalinitas (%)
Gambar 31. Grafik hubungan derajat kristallinitas beras analaog dan kadar air adonan. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi dan notasi x, y, z untuk faktor kadar air adonan. 18 16 14
b
a
12 10
b
b
b a
a
a a
a
a
16.99
19.35 21.72 Kadar amilosa (%)
8
a
T 70 oC T 80 oC T 90 oC
6 24.09
Gambar 32. Grafik hubungan derajat kristalinitas beras analog dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi. Termogram DSC memperlihatkan bahwa beras analog yang dihasilkan dari adonan dengan kadar air 35% dan suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC mempunyai titik puncak kurva/titik leleh (Tm) 96oC seperti yang terlihat pada Gambar 33a
47
(Budi et al. 2015b). Gambar 33b dan 33c menunjukkan bahwa termogram DSC beras analog dari adonan dengan kadar air 40% dan 45% dan pada suhu ekstrusi 70oC dan 80oC juga mempunyai titik puncak kurva/titik leleh (Tm) 96oC (Budi et al. 2015b). Namun beras analog yang dibuat dari adonan dengan kadar air 40% dan 45% dan suhu ekstrusi 90oC memiliki titik puncak kurva/titik leleh 113oC yang juga ditunjukkan pada Gambar 33b dan 33c. Menurut Gelders et al. (2004), titik leleh 96oC merupakan titik leleh dari senyawa kompleks amilosa-lipid tipe I yang dibuat dari amilosa rantai pendek dengan derajat polimerisasi (DP) kurang dari 60. Senyawa kompleks amilosa-lipid tipe I diperoleh pada suhu rendah (≤ 80oC) melalui nukleasi cepat dan menghasilkan distribusi helik acak/random tanpa membentuk kristal yang berbeda (Bail et al. 1999). Sementara titik leleh 113oC merupakan titik leleh senyawa kompleks amilosa-lipid tipe II yang terbentuk dari amilosa rantai panjang dengan derajat polimerisasi (DP) lebih besar dari 60 dan temperataur ≥ 90oC. Senyawa kompleks amilosa-lipid tipe II yang tersusun dari amilosa rantai panjang mempunyai kemampuan untuk mengorganisasikan dirisendiri di dalam susunan molekul menjadi lebih teratur (Gelders et al. 2004). Pada kadar air adonan 45% dan suhu ekstrusi ≥ 90oC, senyawa amilosa rantai panjang lebih larut dan berinteraksi dengan lipid untuk membentuk senyawa kompleks amilosa-lipid tipe II. Namun peningkatan kadar air adonan dari 35% – 45% menurunkan derajat kristalinitas beras analog dari 15.00 – 18.81% menjadi 5.86 – 10.70% (Gambar 31). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kenaikan kadar air adonan dari 35%, 40%, dan 45% menurunkan derajat kristalinitas secara nyata. Penurunan derajat kristalinitas ini menggambarkan bahwa susunan molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid menjadi tidak teratur yang disebabkan oleh meningkatnya jarak molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid. Pada beras analog basah molekul air berada di antara molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid (interhelik) karena permukaan helik dari senyawa kompleks amilosa-lipid bersifat hidrofilik (Gambar 34). Molekul air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan permukaan helik senyawa kompleks amilosa-lipid [glycosyl–O---H–O–H---O–glycosyl] (Cuthbert et al. 2012). Peningkatan kadar air adonan akan meningkatkan kadar air beras analog basah dan menambah jumlah molekul-molekul air di daerah interhelik sehingga dapat terbentuk ikatan hidrogen antara molekul-molekul air yang terikat pada helik senyawa kompleks amilosa-lipid [glycosyl–O---H–O–H---H–O–H---O–glycosyl] (Cuthbert et al. 2012). Hal ini menyebabkan jarak molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid menjadi semakin jauh dan berdampak pada menurunnya keteraturan molekulmolekul senyawa kompleks amilosa-lipid atau menurunnya derajat kristalinitas. Ketika beras analog dikeringkan, molekul air di daerah interhelik akan menguap dan meninggalkan ruang kosong. Pada kadar air 35% derajat kristalinits beras analog yang dihasilkan tinggi. Namun kadar air yang rendah (<35%) menyebabkan suhu ekstrusi menjadi sulit untuk dikendalikan sehingga meningkat terus sampai lebih dari 105oC dan mengakibatkan produk menjadi puffing. Meskipun pada kadar air 40% derajat kristalinitas beras analog menurun tetapi suhu ekstrusi lebih mudah dikendalikan. Molekul-molekul air yang berada di dalam adonan dapat menyerap panas yang
48
dihasilkan oleh gesekan bahan dengan bahan, bahan dengan permukaan barrel dan ulir ketika dialirkan di dalam barrel.
Gambar 33. Termogram DSC beras analog dari adonan pati-tepung jagung (rasio 1/9) dengan kadar air 35% (a), 40%(b), dan 45% (c) dan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC
49
V-helik kompleks amilosa-lipid
Ikatan hidrogen interhelik
Molekul air Ikatan hidrogen interhelik Gambar 34. Cell unit kristal tipe V kompleks amilosa-lipid yang dilihat dari bidang intrahelik a,b menunjukkan susunan spasial heliks dan dihubungkan oleh ikatan hidrogen (Godet et al. 1993; Cuthbert et al. 2012). Beras IR 64 yang berfungsi sebagai kontrol memiliki derajat kristalinits 33.63% lebih tinggi dibandingkan dengan derajat kristalinitas beras analog (Budi et al. 2015b). Kristalinitas beras IR 64 berasal dari rantai-rantai cabang molekul amilopektin yang membentuk helik ganda dan tersusun sejajar secara teratur atau kristalit (Cheetham dan Tao 1998).
4.5. Kekerasan Beras Analog. Kekerasan merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur kekuatan biji beras analog terhadap gaya yang menekannya atau dapat didefinisikan sebagai kekuatan hancur beras analog (Ajeigbe et al. 2008). Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap kekerasan beras analog ditampilkan pada Gambar 35 (Budi et al. 2015b) dan pengaruh suhu ekstrusi dan kadar amilosa terhadap kekerasaan beras analog dapat dilihat pada Gambar 36. Analisis statistik (uji sidik ragam pada taraf p=0.05) memperlihatkan bahwa faktor-faktor suhu ekstrusi, kadar air adonan, kadar amilosa, interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa, interaksi kadar air adonan-kadar amilosa, dan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan-kadar amilosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekerasan beras analog. Namun faktor interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan tidak memberikan pengaruh yang nyata.
50
8 7 bx
Kekerasan (kg)
6 5
ax ax
ay
ay
by
T 70 oC
4
T 80 oC
3 az
2
az bz
T 90 oC
1 0 35
40 Kadar air (%)
45
Gambar 35. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan kadar air adonan. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan. 14
Kekerasan (kg)
12 10
6
by
by
8 bx ax ax
ax
ax
ay
bx ay
T 70 oC ay ay
T 80 oC T 90 oC
4 2 16.99
19.35 21.72 Kadar amilosa (%)
24.09
Gambar 36. Grafik hubungan kekerasan beras analog dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y untuk faktor kadar amilosa. Peningkatan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 90oC telah meningkatkan kekerasan beras analog dari 1.71 – 4.36 kg menjadi 2.05 – 5.70 kg yang disebabkan oleh meningkatnya derajat kristalinitas beras analog. Semakin meningkat derajat kristalinitas beras analog maka semakin teratur susunan molekul senyawa kompleks amilosa-lipid sehingga gaya antar molekul menjadi semakin kuat. Uji
51
lanjut Duncan memperlihatkan bahwa kekerasan beras analog yang dihasilkan pada suhu ekstrusi 70oC dan 80oC tidak berbeda nyata tetapi pada suhu ekstrusi 90oC tampak berbeda nyata. Pada suhu ekstrusi 90oC, senyawa kompleks amilosa-lipid tipe II yang tersusun dari molekul amilosa rantai panjang terbentuk dan memiliki derajat kristalinitas yang lebih tinggi dibanding derajat kristalinitas senyawa kompleks amilosa-lipid tipe I yang terbentuk pada suhu ekstrusi kurang dari 80oC dari molekul amilosa rantai pendek. Hal ini akan berdampak pada jumlah energi yang dibutuhkan untuk memutuskan ikatan tersebut atau untuk merusak beras analog tersebut semakin besar, yang berarti bahwa beras analog tersebut semakin keras. Meningkatnya kekerasan beras analog akibat peningkatan suhu ekstrusi juga dapat dilihat dari mikrostruktur beras analog dengan menggunakan SEM seperti yang terlihat pada Gambar 37 (Budi et al. 2015b). Hasil foto SEM potongan melintang beras analog pada suhu 70oC menunjukkan bahwa partikel-partikel beras analog tampak tidak terikat kuat (Gambar 37a). Oleh karena itu ikatan-ikatan antar partikel beras analog mudah dipatahkan dan beras menjadi menjadi rapuh atau mudah pecah. Pada suhu ekstrusi 80oC, partikel-partikel tampak mulai meleleh dan sedikit terikat (Gambar 37b). Ikatan antar partikel yang muncul di dalam butiran beras analog meningkatkan kekuatan beras analog. Sedangkan pada suhu ekstrusi 90oC partikel-partikel sudah meleleh dan terikat sempurna sehingga meningkatkan kekuatan butiran beras analog (Gambar 37c). Peningkatan suhu ekstrusi meningkatkan jumlah ikatan antar partikel sehingga meningkatkan kekerasan butiran beras analog. Peningkatan kadar air adonan dari 35% menjadi 45% menurunkan kekerasan beras analog dari 4.36 – 5.70 kg menjadi 1.71 – 2.05 kg (Gambar 35). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa peningkatan kadar air adonan dari 35%, 40%, dan 45% telah menurunkan kekerasan beras analog dengan signifikan. Penurunan kekerasan ini disebabkan oleh menurunnya derajat kristalinitas dan penambahan jumlah pori di dalam butiran beras analog seperti yang terlihat di foto SEM pada Gambar 38 (Budi et al. 2015b). Menurunnya derajat kristalinitas menunjukkan adanya pengurangan keteraturan molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid (Cuthbert et al. 2012). Peningkatan kadar air adonan meningkatkan jumlah air di beras analog basah, khususnya di daerah interhelik sehingga menyebabkan jarak molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid semakin jauh dan berdampak pada menurunnya keteraturan molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid atau menurunnya derajat kristalinitas (Gambar 34). Ketika beras analog dikeringkan, molekul-molekul air akan menguap dan meninggalkan ruang kosong atau pori-pori di dalam butiran beras analog. Foto SEM menunjukkan bahwa partikel-partikel beras analog pada kadar adonan 35% tampak masih padat dan kompak (Gambar 38a). Pada kadar air adonan 40% partikel-partikel mulai lepas atau muncul pori-pori (Gambar 38b) dan pada kadar air 45% partikel-partikel menjadi longgar atau pori-pori menjadi lebih besar (Gambar 38c). Keberadaan pori-pori di dalam butiran beras analog menjadi titik lemah. Ketika butiran beras analog mendapatkan tekanan dari sebuah gaya, tekanan tersebut akan didistribusikan ke semua bagian. Ketika gaya yang didistribusikan melalui sebuah pori, gaya tersebut tidak dapat didistribusikan ke lingkungan sehingga akan terakumulasi di satu titik.
52
a
b
c
Gambar 37. Foto SEM dengan perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada kadar air adonan 40%, kadar amilosa adonan 16.99%, dan suhu ekstrusi 70oC (a), 80oC (b), dan 90oC (c).
53
a
b
c
Gambar 38. Foto SEM dengan perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 70oC, kadar amilosa adonan 16.99%, dan kadar air adonan 35% (a), 40% (b), dan 45% (c).
54
Jika gaya yang terakumulasi telah mencapai titik lelah dari beras analog, akan muncul retakan/crack dari pori tersebut dan kemudian akan terjadi patahan. Oleh karena itu peningkatan pori-pori di dalam butiran beras analog akan menurunkan kekerasan beras analog. Perlakuan peningkatan kadar amilosa di dalam adonan meningkatkan kekerasan butiran beras analog dari 4.06 – 4.74 kg menjadi 4.91 – 8.20 kg (Gambar 36). Sebagian komponen amilosa tersebut akan berinteraksi secara kuat dengan lipid membentuk senyawa kompleks amilosa-lipid dan sisanya menjadi senyawa amilosa bebas. Komponen amilosa yang tidak terkonversi menjadi senyawa kompleks amilosa-lipid merupakan senyawa amilosa bebas yang akan berfungsi sebagai pengikat molekul-molekul amilopektin terdegradasi atau partikel-partikel beras analog (Singh et al. 2005). Peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan jumlah komponen amilosa bebas dan mendorong meningkatnya ikatan network antar molekul-molekul amilopektin terdegradasi sehingga akan meningkatkan kekuatan atau kekerasan beras analog. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kekerasan beras analog pada kadar amilosa 16.99% dan 19.35% tidak berbeda nyata tetapi kekerasan beras analog pada kadar amilosa 19.35% dan 21.72% tampak berbeda nyata. Sedangkan kekerasaan beras analog pada kadar amilosa 21.72% dan 24.09% juga tampak tidak berbeda nyata. Peningkatan kadar amilosa dari 16.99% menjadi 19.35% tidak mampu meningkatkan kekerasan beras analog secara signifikan. Ketika kadar amilosa mencapai 21.72%, kekerasan beras analog yang dihasilkan meningkat cukup signifikan. Singh et al. (2005) yang membandingkan sifat-sifat kimia fisik beras sosoh dari berbagai varitas melaporkan bahwa kadar amilosa mempunyai korelasi positif yang sangat kuat terhadap kekerasan beras sosoh. Kadar amilosa yang tinggi dapat memberikan ikatan yang lebih banyak antar partikel-partikel dan molekulmolekul sehingga beras cenderung keras. Namun hasil yang berkebalikan diperoleh oleh Thachil et al. (2014) yang mengekstrusi tepung jagung dengan kadar amilosa 25% dan 45% pada suhu ekstrusi 105oC, kecepatan ulir 350 rpm dan kadar air 18%. Ekstrudat jagung berkadar amilosa tinggi menunjukkan kurang keras dibandingkan dengan ekstrudat jagung berkadar amilosa rendah. Jagung berkadar amilosa tinggi yang diekstrusi menghasilkan ekstrudat yang lebih mengembang sehingga ekstrudat menjadi mudah pecah. Kontribusi peningkatan kadar amilosa terhadap kekerasan beras analog dapat juga dilihat dari mikrostruktur beras analog dengan menggunakan SEM. Pada foto SEM beras analog dengan kadar amilosa 16.99% (Gambar 39a) menunjukkan bahwa partikel-partikel padatan beras analog tampak tidak terikat sehingga mudah dipisahkan/pecah. Sedangkan pada foto SEM beras analog dengan kadar amilosa 24.09% (Gambar 39b) sebagian besar partikelpartikel padatan beras analog tampak terikat. Adanya ikatan-ikatan antar partikel ini menyebabkan meningkatnya kekerasan beras analog. Pengaruh faktor-faktor interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa, interaksi kadar air adonan-kadar amilosa, dan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan-kadar amilosa yang yang signifikan terhadap kekerasan beras analog dapat juga dilihat dari foto SEM potongan melintang beras analog seperti yang terlihat pada Gambar 40 dan Gambar 41. Perubahan kondisi operasi dari suhu 70oC-kadar amilosa 16.99% menjadi suhu 90oC-kadar amilosa 24.09% yang merupakan interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa telah meningkatkan kekerasan beras analog dari 4.06 kg menjadi 8.20 kg.
55
a
b
Gambar 39. Foto SEM perbesaran 750x dari potongan melintang beras analog yang diproduksi pada suhu ekstrusi 70oC, kadar air adonan 40%, dan kadar amilosa adonan 16.99% (a) dan 24.09% (b). Peningkatan kekerasan tersebut juga dapat dilihat dari perubahan mikrostruktur foto SEM beras analog. Pada foto SEM suhu ekstrusi 70oC-kadar amilosa 16.99% (Gambar 40a) partikel-partikel tampak tidak terikat sehingga mudah dipisahkan/dipecahkan. Sedangkan pada foto SEM suhu ekstrusi 90oC-kadar amilosa 24.09% (Gambar 40b) partikel-partikel terlihat terikat kuat sehingga tidak dapat dipatahkan dengan mudah/lebih keras. Begitu juga perubahan kondisi operasi dari kadar air adonan 45%-kadar amilosa 16.99% menjadi kadar air adonan 40%kadar amilosa 24.09% yang merupakan interaksi kadar air adonan-kadar amilosa telah meningkatkan kekerasan dari 1.71 kg menjadi 4.91 kg. Peningkatan kekerasan tersebut juga dapat dilihat dari perubahan mikrostruktur foto SEM beras analog. Pada foto SEM kadar air adonan 45%-kadar amilosa 16.99% pori-pori di dalam beras analog tampak lebar (Gambar 40c) sehingga beras analog menjadi mudah pecah/rapuh saat diberi gaya tetapi foto SEM kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% pori-pori tampak lebih rapat (Gambar 40d) sehingga menjadi lebih kuat jika dikenai gaya tekan.
56
a
b
c
d
Gambar 40. Foto SEM perbesaran 750x dari beras analog dengan suhu ekstrusi 70oC-kadar amilosa 16.99% (a), suhu ekstrusi 90oC-kadar amilosa 24.09% (b), kadar air adonan 45%-kadar amilosa 16.99% (c), dan kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% (d). Perubahan kondisi operasi dari suhu ekstrusi 70oC-kadar air adonan 35%-kadar amilosa 16.99% menjadi suhu ekstrusi 90oC-kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% yang merupakan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan-kadar amilosa telah meningkatkan kekerasan beras analog dari 4.36 kg menjadi 8.20 kg. Peningkatan kekerasan tersebut juga dapat dilihat dari perubahan mikrostruktur foto SEM beras analog. Pada foto SEM suhu ekstrusi 70oC-kadar air adonan 35%kadar amilosa 16.99% (Gambar 41a) partikel-partikel tampak padat tetapi tidak terikat kuat sehingga agak tidak mudah dipecahkan. Sedangkan pada foto SEM suhu ekstrusi 90oC-kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% (Gambar 41b) partikel-partikel terlihat terikat kuat dan ada sedikit pori-pori. Meskipun memiliki sedikit pori-pori beras analog tersebut tetap keras karena kuatnya ikatan antar partikel. Beras IR 64 yang berfungsi sebagai kontrol mempunyai kekerasan 4.21 kg lebih besar dibandingkan beras analog dari adonan dengan kadar air 45%, lebih kecil dibandingkan dengan beras analog pada perlakuan kadar air adonan 35–40% dan suhu 80–90oC, kadar amilosa 21.72–24.09% dan suhu 80oC, dan kadar amilosa 19.35–24.09% dan suhu 90oC serta sama dengan kekerasan beras analog pada perlakuan lainnya (Budi et al. 2015b).
57
a
b
Gambar 41. Foto SEM perbesaran 750x dari beras analog dengan suhu ekstrusi 70oC-kadar air adonan 35%-kadar amilosa 16.99% (a) dan suhu ekstrusi 90oC-kadar air adonan 40%-kadar amilosa 24.09% (b).
4.6. Kekerasan dan Kekuatan Kunyah Nasi dari Beras Analog. Setelah ditanak nasi beras analog yang dihasilkan akan memiliki tekstur yang spesifik dan diukur dengan Texture Analyzer (TA-XT2i). Dua parameter tekstur yang diamati adalah kekerasan dan kekuatan kunyah nasi. Kekerasan nasi didefinisikan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk menekan nasi hingga mengalami deformasi. Sedangkan kekuatan kunyah (gumminess) nasi didefinisikan sebagai energi yang dibutuhkan untuk memecah/mengunyah nasi (makanan agak padat/semi solid) sampai siap ditelan (Leelayuthsoontorn dan Thipayarat 2006). Kekerasan dan kekuatan kunyah nasi termasuk faktor penentu penerimaan konsumen. Grafik hubungan kekerasan nasi dan kadar air adonan dan grafik hubungan kekuatan kunyah nasi dan kadar air adonan menunjukkan bahwa perlakuan suhu ekstrusi pada proses pembuatan beras analog memberikan pengaruh positif terhadap kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog tetapi perlakuan kadar air adonan berpengaruh negatif terhadap kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog (Gambar 42 dan 43). Hasil uji sidik ragam pada taraf p=0.05 menunjukkan bahwa perlakuan kadar air adonan, kadar amilosa, dan suhu ekstrusi pada proses pembuatan beras analog memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
58
kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog. Sedangkan faktor-faktor interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan, interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa, interaksi kadar air adonan-kadar amilosa, dan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan-kadar amilosa tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog.
Kekerasan nasi (g)
3000 cx
2600 bx
2200
ax
cy
1800
70 oC 80 oC
by
cz bz
ay
1400
90 oC
az
1000 35
40 Kadar air (%)
45
Gambar 42. Grafik hubungan kekerasan nasi dan kadar air adonan pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan.
Kekuatan kunyah nasi (g)
1600 1400
cx
1200 ax
bx
cy
1000
T 70 oC
by
800
cz bz
ay
600
T 80 oC T 90 oC
az
400 200 35
40 Kadar air (%)
45
Gambar 43. Grafik hubungan kekuatan kunyah nasi dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan.
59
Kenaikan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 90oC meningkatkan kekerasan nasi beras analog dari 1158.7 – 2038.9 g menjadi 1532.0 – 2525.7 g (Gambar 42) dan kekuatan kunyah nasi beras analog dari 444.2 – 1002.8 g menjadi 686.1 – 1259.2 g (Gambar 43). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya derajat kristalinitas beras analog. Peningkatan kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog yang disebabkan oleh meningkatnya suhu ekstrusi juga disampaikan oleh Zhuang et al. (2010) meskipun dengan tingkat kenaikan yang berbeda. Kenaikan kadar air adonan dari 35% menjadi 45% menurunkan kekerasan nasi beras analog dari 2038.9 – 2525.7 g menjadi 1158.7 – 1532.0 g (Gambar 42) dan kekuatan kunyah nasi beras analog dari 1002.8 – 1259.2 g menjadi 444.2 – 686.1 g (Gambar 43). Kenaikan kadar air adonan tersebut akan meningkatkan pori-pori di di dalam beras analog dan nasi beras analog. Peningkatan pori-pori ini menyebabkan kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog menjadi menurun. Zhuang et al. (2010) yang juga mengukur kekerasaan dan kekuatan kunyah nasi beras analog yang dihasilkan dari perlakuan kadar air 28% menjadi 36% mendapatkan hasil yang berbeda dengan kecenderungan yang semakin meningkat dengan meningkatnya kadar air adonan. Kadar amilosa mempunyai pengaruh positif terhadap kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog (Gambar 44 dan 45). Peningkatan kadar amilosa dari 16.99% menjadi 24.09% meningkatkan kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog dari 1305.3–1996.4 g menjadi 1788.1–2364.5 g dan dari 549.7–1025.0 g menjadi 728.1–1177.4 g. Data tersebut menunjukkan bahwa peningkatan kadar amilosa menyebabkan nasi menjadi keras/pera. Kadar amilosa yang tinggi dapat memberikan interaksi yang lebih baik antara partikel dengan partikel dan partikel dengan komponen lain seperti protein dan lipid (Singh et al. 2005). Beras IR 64 yang digunakan sebagai kontrol memiliki kekerasan dan kekuatan kunyah nasi 2901.0 dan 1497.4 g lebih besar dari kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog pada semua perlakuan. 2600 Kekerasan nasi (g)
cz cy
cy
2200
cx
by by
1800 bx
1400
bz
ay
az ay
70 oC 80 oC
ax
90 oC
1000 16.99
19.35 21.72 Kadar amilosa (%)
24.09
Gambar 44. Grafik hubungan kekerasan nasi dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar amilosa. 60
Kekuatan kunyah nasi (g)
1400 cy
1200 cx
cx
cx
by
1000 800
ay ax
600
T 70 oC
bx
bx
bx
ax
T 80 oC T 90 oC
ax
400 16.99
19.35 21.72 Kadar amilosa (%)
24.09
Gambar 45. Grafik hubungan kekuatan kunyah nasi dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y untuk faktor kadar amilosa.
4.7. Korelasi Derajat Kristalinitas dengan Kekerasan Beras Analog dan Kekerasan Nasi Beras Analog Analisis statistik menunjukkan bahwa derajat kristalinitas beras analog dan kekerasan beras analog memiliki nilai koefisien korelasi pearson r = 0.561 dan signifikansi = 0.008 pada tingkat kepercayaan p=0.01 yang berarti derajat kristalinitas beras analog mempunyai korelasi yang signifikan dengan kekerasan beras analog. Begitu juga dengan derajat kristalinitas beras analog dan kekerasan nasi beras analog mempunyai nilai koefisien korelasi pearson r = 0,891 dan signifikansi = 0,001 pada tingkat kepercayaan p=0.01 yang menunjukkan derajat kristalinitas beras analog mempunyai korelasi yang signifikan dengan kekerasan nasi beras analog. Korelasi antara derajat kristalinitas beras analog dengan kekerasan beras analog dan kekerasan nasi beras analog dapat divisualisasikan seperti yang terlihat pada Gambar 46. Pada Gambar 46 terlihat bahwa peningkatan derajat kristalinitas beras analog meningkatkan kekerasan beras analog dan nasi beras analog. Kecenderungan ini juga dilaporkan oleh Flores et al. (2009) yang meresensi beberapa karya tulis ilmiah yang mempelajari pengaruh derajat kristalinits terhadap kekerasan polimer sintetik seperti polyethylene, polypropelene, polyethelene terephthalate dan polybutylene terephthalate (Gambar 12b). Kenaikan derajat kristalinitas beras analog meningkatkan keteraturan susunan molekulmolekul senyawa kompleks amilosa-lipid di dalam beras analog sehingga ikatan antar molekul menjadi lebih kuat dan butiran beras analog menjadi lebih keras. Derajat kristalinitas beras analog dipengaruhi oleh suhu ekstrusi dan kadar air adonan. Kenaikan suhu ekstrusi meningkatkan jumlah molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid yang tersusun teratur di dalam beras analog 61
sehingga derajat kristalinitas beras analog meningkat. Namun kenaikan kadar air adonan menurunkan derajat kristalinitas beras analog. Penambahan air ke dalam adonan meningkatkan jumlah molekul-molekul air di daerah interhelik senyawa kompleks amilosa-lipid sehingga menyebabkan jarak antar molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid semakin jauh dan berdampak pada menurunnya keteraturan molekul-molekul senyawa kompleks amilosa-lipid atau menurunnya derajat kristalinitas beras analog. Di samping itu, ketika beras analog basah dikeringkan, molekul-molekul air di daerah interhelik akan menguap dan meninggalkan ruang kosong. Selain berpengaruh terhadap kekerasan beras analog, derajat kristalinitas juga berpengaruh terhadap kekerasan nasi beras analog. Peningkatan derajat kristalinitas juga meningkatkan kekerasan nasi beras analog (Gambar 46). 9 8
y = 0.274x + 1.6065 R² = 0.3147
Kekerasan (kg)
7 6 5 4 3 2
y = 0.1062x + 0.6365 R² = 0.805
1 0 5
10 15 Derajat kristalinitas (%) Kekerasan beras analog
Tingkat kekerasan beras IR 64
Kekerasan nasi beras analog
Tingkat kekerasan nasi IR 64
20
Gambar 46. Korelasi antara derajat kristalinitas dan kekerasan beras analog dan nasi beras analog. Regresi linier pada Gambar 46 menghasilkan 2 persamaan matematik, yaitu: persamaan 32 yang menyatakan hubungan antara derajat kristalinitas dengan kekerasan beras analog dan persamaan 33 untuk hubungan derajat kristalinitas dan kekerasan nasi beras analog. Hasil regresi linier derajat kristalinitas dengan kekerasan nasi beras analog memiliki nilai R2=0.805 yang berarti hasil perhitungan kekerasan nasi beras analog dengan menggunakan persamaan 33 memiliki realibilitas yang cukup baik. Sedangkan hasil regresi linier derajat kristalinitas dengan kekerasan butiran beras analog mempunyai nilai R2=0.3147 yang berarti hasil perhitungan kekerasan butiran beras analog dengan menggunakan persamaan 32 mempunyai realibilitas yang rendah. Oleh karena itu persamaan matematik 32 tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksi kekerasan butiran beras analog berdasarkan derajat kristalinitas. Kemungkinan faktor kadar amilosa juga
62
berkontribusi terhadap kekerasan butiran beras analog. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji pengaruh derajat kristalinitas dan kadar amilosa terhadap kekerasan beras analog agar diperoleh model matematik yang lebih baik. y = 0.2740x+1.6065 R2 = 3147 (32) (33) y = 0.1062x+0.6365 R2 = 8057 Gambar 46 juga menunjukkan bahwa beras IR 64 yang memiliki derajat kristalinitas (33.63%) lebih tinggi dari beras analog ternyata cenderung memiliki kekerasan yang lebih rendah (4.21 kg) dibanding kekerasan beras analog. Beras analog yang mengandung senyawa kompleks amilosa-lipid mempunyai struktur kristal orthorhombik (Gambar 10), sedangkan beras IR 64 dengan komponen dominan molekul amilopektin memiliki struktur kristal monoklinik (Gambar 9a). Struktur kristal orthorhombik mempunyai susunan yang lebih padat dan ikatan antar molekul yang lebih kuat dibanding struktur krisal monoklinik. Perbedaan struktur kristal ini menyebabkan perbedaan kekerasan beras IR 64 dan beras analog. Bagian amorf dalam beras analog kemungkinan juga berkontribusi terhadap kekerasan beras analog dan mengikuti persamaan 11. Kontribusi bagian amorf terhadap kekerasan beras analog dapat menjadi topik penelitian yang menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut. Namun peningkatan kadar air adonan sampai 45% menyebabkan meningkatnya jumlah pori-pori di dalam beras analog semakin banyak sehingga berdampak pada menurunnya kekerasan beras analog sampai di bawah kekerasan beras IR 64. Berdasarkan garis regresi kekerasan beras analog yang merupakan fungsi dari derajat kristalinitas dan garis tingkat kekerasan beras IR 64 pada Gambar 46 dapat ditentukan suhu ekstrusi dan kadar air adonan. Agar beras analog yang dihasilkan mempunyai kekerasan ≥ kekerasan beras IR 64 (4.21 kg) dan ≤ kekerasan beras analog maksimal regresi linier (6.80 kg) maka beras analog harus memiliki derajat kristalinitas antara 9.5% – 19.0%. Suhu ekstrusi dan kadar air adonan yang mampu mencapai nilai derajat kristalinitas tersebut adalah 70oC – 90oC dengan kadar air adonan 35% dan 80oC – 90oC dengan kadar air adonan 40%. Gambar 46 juga memperlihatkan bahwa semua nasi beras analog hasil perlakuan mempunyai kekerasan yang lebih rendah dibanding kekerasan nasi IR 64 (2.9 kg). Selain molekul-molekul kompleks amilosa-lipid, beras analog juga tersusun dari molekul-molekul pecahan amilopektin dan amilosa bebas. Molekulmolekul senyawa kompleks amilosa-lipid dan pecahan amilopektin pada beras analog tersebut diikat oleh ikatang hidrogen interhelik dan senyawa amilosa bebas. Ketika beras analog ditanak dalam rice cooker maka molekul-molekul air akan masuk menyisip di antara molekul-molekul kompleks amilosa-lipid. Di samping itu molekul-molekul amilosa bebas yang berfungsi sebagai pengikat molekul senyawa kompleks amilosa-lipid juga terlarut ke dalam air. Granula pati beras IR 64 tersusun dari molekul amilopektin sebagai komponen utama dan molekul amilosa. Molekulmolekul amilopektin tersebut merupakan molekul besar yang memiliki banyak cabang dan cabang-cabang tersebut membentuk susunan helik ganda. Ketika beras IR 64 ditanak dalam rice cooker, granula pati akan mengalami pembengkakan/swelling dan molekul-molekul air akan menyusup sampai ke cabang-cabang molekul amilopektin yang telah kehilangan ikatan helik ganda karena prose pemanasan. Namun molekul-molekul amilopektin tersebut tidak
63
mengalami pemutusan rantai-rantai cabangnya sehingga ukuran molekul amilopektin tetap besar dan jarak rantai-rantai cabang tidak terlalu renggang. Hal ini menyebabkan kekerasan nasi beras IR 64 lebih tinggi dibanding kekerasan nasi beras analog. Nasi hasil penanakan beras IR 64 dan beras analog hasil berbagai perlakuan ditampilkan pada Gambar 47.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
Gambar 47. Nasi beras IR 64 (a) dan nasi dari beras analog yang dihasilkan pada perlakuan 70oC-35%, 70oC-40%, 70oC-45%, 80oC-35%, 80oC-40%, 80oC-45%, 90oC-35%, 90oC-40% dan 90oC-45% (b – j).
4.8. Densitas Kamba Beras Analog. Hasil uji anova pada taraf p=0.05 memperlihatkan bahwa faktor kadar amilosa dan interaksi suhu ekstrusi-kadar amilosa pada proses ekstrusi pembuatan beras analog memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap densitas kamba (Gambar 49). Sedangkan grafik hubungan densitas kamba dan kadar air adonan pada Gambar 48 memperlihatkan bahwa perlakuan suhu ekstrusi dan kadar air adonan pada proses ekstrusi pembuatan beras analog memberikan pengaruh negatif terhadap densitas kamba. Pada saat suhu ekstrusi dinaikkan dari 70oC menjadi 90oC densitas kamba beras analog menurun dari 0.5923–0.6835 g/mL menjadi 0.5650–0.6653 g/mL. Zhuang et al. (2010) yang membuat beras analog dari tepung beras juga melaporkan bahwa peningkatan suhu ekstrusi dari 68oC menjadi 88oC menurunkan densitas kamba beras analog yang dihasilkan dari 0.72 g/mL mejadi 0.69 g/mL. Peningkatan suhu ekstrusi menyebabkan terjadinya pelelehan akibat menurunnya gaya ikatan antar molekul-molekul amilopektin terdegradasi sehingga jarak antar molekulnya akan meningkat atau molekulmolekul menjadi renggang. Melemahnya gaya ikatan antar molekul dapat dilihat dari perubahan padatan beras analog yang dihasilkan oleh foto SEM (Gambar 37). Hasil foto SEM menunjukkan bahwa beras analog pada suhu ekstrusi 70oC masih terdapat partikel-partikel padatan (Gambar 37a). Pada suhu 80oC partikel-partikel padatan pada beras analog mulai menghilang karena mulai meleleh (Gambar 37b) dan pada suhu 90oC partikel-partikel padatan beras analog meleleh sempurna (Gambar 37c).
64
Densitasnkamba (g/ml)
0.70
ax
bx
cx
ay ay by
0.66
70 oC
0.62 az bz
0.58
80 oC cz
90 oC
0.54 35
40 Kadar air (%)
45
Gambar 48. Grafik hubungan densitas kamba dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90 oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b, c untuk faktor suhu ekstrusi dan huruf x, y, z untuk faktor kadar air adonan.
Densitas kamba (g/ml)
0.672 0.666 0.660
a
a
a a
a
0.654
b
a a
70 oC
a
b
b
16.99
19.35 21.72 Kadar amilosa (%)
80 oC b
0.648
90 oC
0.642 24.09
Gambar 49. Grafik hubungan densitas kamba dan kadar amilosa pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC. Huruf yang yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Huruf a, b untuk faktor suhu ekstrusi. Densitas kamba beras analog turun dari 0.6835–0.6653 g/mL menjadi 0.5923–0.5650 g/mL ketika kadar air adonan dinaikkan dari 35% menjadi 45% (Gambar 48). Pada proses pembuatan beras analog kadar air ekstrudat beras analog basah masih tinggi dan akan dikurangi sampai sekitar 11 % dengan proses pengeringan. Air dalam ekstrudat beras basah akan meninggalkan pori-pori pada beras analog setelah mengalami penguapan pada proses pengeringan. Peningkatan kadar air adonan menyebabkan air yang tertingal dalam ekstrudat beras analog basah juga akan meningkat sehingga juga akan meningkatkan terbentuknya pori-
65
pori di dalam beras analog. Peningkatan pori-pori akan menurunkan densitas kamba beras analog. Hasil foto SEM beras analog memperlihatkan bahwa partikel-partikel beras analog pada kadar air adonan 35% masih tampak rapat dan padat (Gambar 38a). Pada kadar air adonan 40% partikel-partikel beras analog mulai merenggang atau muncul pori-pori (Gambar 38b) dan pada kadar air adonan 45% partikelpartikel beras analog semakin merenggang atau pori-pori semakin membesar (Gambar 38c). Namun hasil yang berbeda di sampaikan oleh Zhuang et al. (2010) yang mengatakan bahwa kenaikan kadar air umpan dari 28% menjadi 36% telah meningkatkan densitas kamba beras analog dari 0.55 g/mL menjadi 0.71 g/mL tanpa memberikan penjelasan. Densitas kamba dari Beras IR 64 yang digunakan sebagai kontrol adalah 0.8695 g/mL lebih tinggi dibanding densitas kamba beras analog.
4.9. Perilaku Reologi Adonan Beras Analog di dalam Die Head Ekstruder Pada sub bab derajat gelatinisasi dijelaskan bahwa proses ekstrusi beras analog pada suhu 70oC-90oC dan kadar air adonan 35%-45% telah menyebabkan terjadinya perusakan granula pati dan pemotongan molekul amilopektin sehingga terbentuk molekul-molekul yang lebih kecil dan menurunkan viskositas adonan beras analog di dalam die head ekstruder. Penurunan viskositas ini akan mempengaruhi profil aliran yang tentunya akan berdampak terhadap bentuk beras analog. Adonan beras analog dibuat dengan menambahkan sejumlah air ke campuran tepung dan pati jagung dengan perbandingan 90:10, 80:20, 70:30, dan 60:40 hingga kadar air akhir adonan mencapai 35%, 40%, dan 45% dengan menggunakan helical ribbon mixture. Air yang ditambahkan juga dapat berperan sebagai plasticizer sehingga peningkatan kadar air ini akan menyebabkan turunnya suhu transisi gelas (Tg) adonan menjadi di bawah suhu ruang yang berarti pada suhu ruang adonan bersifat rubbery dan bisa mengalir seperti fluida ketika diberi gaya tekan. Kemudian adonan tersebut diumpankan ke dalam barrel ekstruder yang telah diatur suhunya pada 70oC, 80oC, dan 90oC sehingga adonan akan mengalami pemanasan ketika melewati barrel. Adonan yang telah melewati barrel tersebut dan berada di dalam die head mengalami gelatinisasi akibat adanya air, pemanasan, dan tekanan geser seperti yang dijelaskan pada sub bab 4.2. dan penurunan viskostas dan mempunyai sifat sebagai fluida (mampu mengalir ketika diberi gaya tekan). Untuk menentukan sifat fluida tersebut perlu dilakukan analisis reologi dengan menggunakan rheometer. Tipe rheometer yang digunakan untuk melakukan analisis reologi adalah rotary rheometer parallel plate (Haake MARS) dan parameter yang diukur sebagai respon adalah gaya geser (τ) dan viskositas (η) dengan memvariasi nilai laju gesernya (γ). Hasil pengukuran ditampilkan dalam bentuk grafik kurva aliran dan kurva viskositas (Gambar 50 dan 51). Kurva aliran tersebut menunjukkan bahwa hubungan gaya geser dan laju geser tidak linier sehingga fluida beras analog yang berada di dalam die head merupakan fluida bertipe non Newtonian. Kurva tersebut juga tidak memiliki Yield stress (τo = 0) sehingga persamaan Herschel-Bulkey (persamaan 6) dapat disederhanakan menjadi persamaan 34 dan merupakan karakterisitik dari model matematik power law. Jika data pada Gambar 50 diplotkan pada grafik hubungan log τ dan log γ dan dilakukan
66
regresi linier maka akan diperoleh nilai indeks konsistensi K dan indeks perilaku aliran n. τ = K.γn
(34)
Gaya geser, τ (Pa)
30000 25000 20000 15000 10000 5000 0 0
0.2
0.4 0.6 0.8 Laju geser, γ (1/s)
1
1.2
Gambar 50. Kurva aliran adonan beras analog di dalam die head ekstruder pada suhu ekstrusi 70oC dan kadar air adonan 35%.
Viskositas, η (cP)
1.E+09 8.E+08 6.E+08 4.E+08 2.E+08 0.E+00 0
0.2
0.4 0.6 0.8 Laju geser, γ (1/s)
1
1.2
Gambar 51. Kurva viskositas adonan beras analog di dalam die head ekstruder pada suhu ekstrusi 70oC dan kadar air adonan 35%. Hasil regresi linier kurva aliran semua perlakuan percobaan disajikan pada Gambar 52 dan 54 untuk indeks konsistensi K kadar air dan indeks konsistensi K kadar amilosa. Sedangkan Gambar 53 dan 55 menampilkan hasil regresi linier untuk parameter indeks perilaku aliran n kadar air dan indeks perilaku aliran n kadar amilosa. Dari Gambar 53 dan 55 terlihat bahwa semua perlakuan percobaan menghasilkan adonan beras analog di dalam die head dengan indeks perilaku aliran n<1.
67
Indeks konsistensi K (Pa.sn)
80000 70000 60000 50000 T 70 oC 40000
T 80 oC
30000
T 90 oC
20000 10000 30
35 40 45 Kadar air (%)
50
Gambar 52. Grafik hubungan indeks konsistensi (K) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC
Indeks perilaku aliran (n)
0.70 0.65 0.60 0.55
T 70 oC
0.50
T 80 oC T 90 oC
0.45 0.40 30
35
40 45 Kadar air (%)
50
Gambar 53. Grafik hubungan indeks perilaku aliran (n) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Xie et al. (2009) yang melakukan pengukuran reologi ketika melakukan proses ekstrusi pati jagung dengan kadar amilosa 0%, 23%, 50%, 80% dan kadar air adonan 19%, 23%, 27% pada suhu 110oC, 120oC, 130oC, 140oC juga mendapatkan nilai indeks perilaku aliran n <1. Begitu juga Drozdek dan Faller (2002) yang melakukan pengukuran reologi ketika mengekstrusi pati jagung berkadar amilosa 0 % dan 23 % dengan kadar air 38% - 48% pada suhu 84oC – 94oC memperoleh nilai indeks perilaku aliran n<1. Hal ini menunjukkan bahwa semua adonan beras analog di dalam die head hasil perlakuan percobaan merupakan fluida non Newtonian tipe pseudoplastik (shear-thinning). Fluida non Newtonian tipe pseudoplastik merupakan fluida yang mempunyai sifat mengalami penurunan viskositas (η)
68
Indeks konsistensi, K (Pa.sn)
ketika laju geser (γ) ditingkatkan seperti yang terlihat pada Gambar 51 yang merupakan hasil penelitian dan Gambar 3 (Steffe 1996). 55000 45000 T 70 oC
35000
T 80 oC 25000
T 90 oC
15000 16.99
19.35 21.72 24.09 Kadar amilosa (%)
Indeks perilaku aliran (n)
Gambar 54. Grafik hubungan indeks konsistensi (K) dan kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC 0.65 0.6 0.55 T 70 oC 0.5
T 80 oC
0.45 0.4 15.00
T 90 oC 17.00
19.00 21.00 23.00 Kadar amilosa (%)
25.00
Gambar 55. Grafik hubungan indeks perilaku aliran (n) dan kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC Setelah tipe fluida beras analog di dalam die head diketahui dilanjutkan dengan penghitungan Bilangan Reynold (NRe) untuk menentukan tipe aliran fluida di dalam die head. Untuk fluida bertipe non Newtonian persamaan matematik yang digunakan untuk menghitung nilai NRe merupakan fungsi dari indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) (persamaan 8). Parameter lain yang diperlukan untuk menghitung NRe adalah kecepatan alir (V) dan densitas bahan/adonan (ρ) di dalam die head ekstruder yang hasil pengukurannya ditampilkan pada tabel 8 dan 9. Hasil perhitungan NRe untuk semua perlakuan ditampilkan pada Gambar 56 dan 57. Kedua gambar tersebut memperlihatkan bahwa semua perlakuan menghasilkan beras analog dengan nilai NRe adonan di dalam die head jauh dibawah 2100. Hal ini berarti bahwa fluida di dalam die head dengan semua perlakuan percobaan memiliki tipe aliran laminar. Fakta yang diperoleh ini tidak sesuai dengan hipotesa 69
yang disusun pada proposal penelitian sehingga hipotesa “tipe aliran aliran fluida di dalam die head berpengaruh terhadap bentuk beras analog” tertolak. Tabel 8. Kecepatan alir dan densitas bahan di dalam die head ekstruder pada beberapa kadar air adonan dan suhu ekstrusi. Suhu ekstrusi (oC) 70
80
90
Kadar air adonan (%) 35 40 45 35 40 45 35 40 45
V (cm/dt)
ρ (g/mL)
0.0375 ± 0.0028 0.0669 ± 0.0028 0.1044 ± 0.0056 0.0522 ± 0.0056 0.0799 ± 0.0028 0.1141 ± 0.0056 0.0685 ± 0.0049 0.0913 ± 0.0056 0.1337 ± 0.0056
0.99 ± 0.07 1.03 ± 0.01 1.05 ± 0.03 1.00 ± 0.04 1.02 ± 0.04 1.02 ± 0.02 1.05 ± 0.03 1.06 ± 0.01 1.08 ± 0.01
Keterangan: Nilai ρ di dalam die head ekstruder diperoleh dengan cara menimbang berat ekstrudat basah yang keluar dari die dalam waktu 10 detik dan mengukur volumenya dengan menggunakan piknometer gelas ukur 500 mL. Berat ekstrudat basah yang diperoleh (g) dibagi dengan volume ekstrudat basah (mL) sehingga diperoleh nilai densitas adonan di dalam die head ekstruder. Nilai V di dalam die head ekstruder diperoleh dengan cara mengukur laju alir ekstrudat basah (Q) yaitu volume ekstrudat basah (mL) dibagi dengan waktu 10 menit. Laju alir ekstrudat basah tersebut (Q) dibagi dengan luas penampang (A) sehingga diperoleh kecepatan aliran bahan di dalam die head ekstruder. Asumsi: Suhu ekstrusi dibawah titik didih air pada tekanan 1 atm (100oC). Penurunan kadar air ekstrudat basah akibat pelepasan uap air sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap berat basah ekstrudat basah dan dapat diabaikan.
Tabel 9. Kecepatan alir dan densitas bahan di dalam die head ekstruder pada beberapa kadar amilosa dan suhu ekstrusi. Suhu ekstrusi (oC) 70
80
90
Kadar amilosa (%) 16.99 19.35 21.72 24.09 16.99 19.35 21.72 24.09 16.99 19.35 21.72 24.09
V (cm/dt)
ρ (g/mL)
0.0669 ± 0.0028 0.0848 + 0.0056 0.1076 + 0.0049 0.1321 + 0.0049 0.0799 ± 0.0028 0.1011 + 0.0056 0.1174 + 0.0049 0.1402 + 0.0028 0.0913 ± 0.0056 0.1109 + 0.0056 0.1272 + 0.0049 0.1451 + 0.0028
1.03 ± 0.01 1.05 + 0.02 1.16 + 0.02 1.17 + 0.02 1.02 ± 0.04 1.08 + 0.04 1.08 + 0.02 1.09 + 0.01 1.06 ± 0.01 1.07 + 0.02 1.09 + 0.02 1.11 + 0.05
Keterangan: Nilai ρ di dalam die head ekstruder diperoleh dengan cara menimbang berat ekstrudat basah yang keluar dari die dalam waktu 10 detik dan mengukur volumenya dengan menggunakan
70
piknometer gelas ukur 500 mL. Berat ekstrudat basah yang diperoleh (g) dibagi dengan volume ekstrudat basah (mL) sehingga diperoleh nilai densitas adonan di dalam die head ekstruder. Nilai V di dalam die head ekstruder diperoleh dengan cara mengukur laju alir ekstrudat basah (Q) yaitu volume ekstrudat basah (mL) dibagi dengan waktu 10 menit. Laju alir ekstrudat basah tersebut (Q) dibagi dengan luas penampang (A) sehingga diperoleh kecepatan aliran bahan di dalam die head ekstruder. Asumsi: Suhu ekstrusi dibawah titik didih air pada tekanan 1 atm (100oC). Penurunan kadar air ekstrudat basah akibat pelepasan uap air sangat kecil sehingga tidak berpengaruh terhadap berat basah ekstrudat basah dan dapat diabaikan.
2E-14 1.6E-14
NRe
1.2E-14 70 oC 8E-15
80 oC 90 oC
4E-15 0 30
35
40 45 Kadar air (%)
50
Gambar 56. Grafik hubungan Bilangan Reynold (NRe) dan kadar air adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC 1.6E-14
NRe
1.2E-14 70 oC
8E-15
80 oC 90 oC
4E-15 0 15
17
19 21 Kadar amilosa
23
25
Gambar 57. Grafik hubungan Bilangan Reynold (NRe) dan kadar amilosa adonan pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, dan 90oC
71
4.9.1. Efek Kadar Amilosa Hasil analisis pengaruh kadar amilosa terhadap perilaku reologi yang meliputi indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) ditampilkan pada Gambar 54 dan 55. Hasil analisis statistik pada level 0.05 menunjukkan bahwa faktor kadar amilosa bahan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks konsistensi (K) tetapi faktor interaksi kadar amilosa-suhu ekstrusi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ineks konsistensi K (Gambar 54). Kenaikan kadar amilosa bahan dari 16.99% menjadi 24.09% cenderung menurunkan menurunkan indeks konsistensi (K). Sedangkan terhadap indeks perilaku aliran (n), juga terjadi kecenderungan penurunan ketika kadar amilosa ditingkatkan dari 16.99% menjadi 24.09% dan hasil analisis sidik ragam pada level 0.05 menunjukkan bahwa kadar amilosa dan interaksi kadar amilosa-suhu eksttrusi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap indeks perilaku aliran n (Gambar 55). Kenaikan kadar amilosa menurunkan indeks perilaku aliran n secara signifikan (Gambar 55). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa indeks perilaku aliran n menurun dari 0.59 menjadi 0.53 ketika kadar amilosa bahan ditingkatkan dari 16.99% menjadi 24.09% pada suhu 90oC tetapi pada suhu 70oC dan 80oC tidak terjadi penurunan yang signifikan (Gambar 55). Drozdek dan Faller (2002) yang melakukan pengukuran viskositas pati jagung pada suhu 80-90oC dan kadar air 3545% dengan rod capillary die rheometer yang in line dengan ekstruder ulir ganda dan Xie et al. (2009) yang melakukan pengukuran reologi pati jagung pada suhu 110-140oC dan kadar air 19-27% dengan slit capillary die yang in line dengan ekstruder ulir tunggal mendapatkan kecenderungan yang sama, yaitu kenaikan kadar amilosa di dalam bahan mengakibatkan turunnya nilai indeks perilaku aliran (n) bahan di dalam die head. Kenaikan kadar amilosa menyebabkan bahan lebih bersifat pseudoplastik karena meningkatnya ikatan/belitan antar rantai amilosa (Xie et al. 2009). 4.9.2. Efek Kadar Air Adonan dan Suhu Ekstrusi Analisis pengaruh kadar air adonan dan suhu ekstrusi terhadap perilaku reologi bahan di dalam die head dilakukan dengan melihat nilai indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) yang keduanya menjadi parameter penting di dalam persamaan viskositas (persamaan 6) dan hasilnya di tampilkan pada Gambar 52 untuk indeks konsistensi (K) dan Gambar 53 untuk indeks perilaku aliran (n). Hasil analisis sidik ragam pada p=0.05 menunjukkan bahwa faktor-faktor suhu ekstrusi, kadar air adonan, dan interaksi suhu ekstrusi-kadar air adonan memberikan pengaruh yang nyata terhadap indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n). Kenaikan kadar air adonan dari 35% menjadi 45% dan suhu esktrusi dari 70oC menjadi 90oC cenderung menurunkan indeks konsistensi (K) bahan di dalam die head dari 47253 – 68489 Pa.sn menjadi 14184 – 15296 Pa.sn dan dari 15296 – 68489 Pa.sn menjadi 14184 – 47253 Pa.sn (Gambar 52) yang berarti menurunnya viskositas karena viskositas berbanding lurus dengan indeks konsistensi (persamaan 4). Penurunan indeks konsistensi (K) bahan di dalam die head akibat kenaikan kadar air adonan dan suhu ekstrusi juga dilaporkan oleh Einde et al. (2005) yang melakukan pengukuran viskositas pati jagung dengan alat shear cell yang prinsip operasinya sama dengan rotary rheometer cone-plate dan Xie et al. (2009) yang melakukan pengukuran viskositas pati jagung dengan alat slit capillary die rheometer yang in line dengan ekstruder ulir tunggal. Air berfungsi sebagai
72
plasticizer. Penambahan air akan menurunkan suhu transisi gelas dan mengubah fase bahan menjadi lebih lunak sehingga menjadi mudah mengalir karena menurunnya viskositas. Penambahan panas untuk meningkatkan suhu akan menyebabkan bahan menjadi lebih lunak (meleleh) akibat menurunnya gaya ikatan antar molekul sehingga bahan akan menjadi lebih mudah mengalir akibat menurunnya viskositas. Viskositas merupakan parameter tahanan fluida ketika terdapat gaya yang bekerja pada fluida tersebut untuk mengubah posisinya secara irreversible. Namun pada pada kadar air adonan 45%, nilai indeks konsistensi bahan beras analog di dalam die head pada suhu 70, 80 dan 90oC sama. Kenaikan kadar air adonan dari 35% menjadi 45% cenderung menurunkan indeks perilaku aliran (n) dari 0.59 – 0.65 menjadi 0.43 – 0.44 tetapi kenaikan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 90oC cenderung meningkatkan indeks perilaku aliran (n) dari 0.43 – 0.59 menjadi 0.44 – 0.65 (Gambar 53). Kenaikan indeks perilaku aliran n akibat meningkatnya suhu ekstrusi juga dilaporkan oleh Xie et al. (2009) dan Valle et al. (1996). Penurunan indeks perilaku aliran n yang disebabkan oleh meningkatnya kadar air adonan juga disampaikan oleh Drozdek dan Faller (2002). Kenaikan nilai indeks perilaku aliran (n) menunjukkan bahwa bahan lebih mendekati sifat Newtonian. Sedangkan penurunan nilai indeks perilaku aliran (n) memperlihatkan bahwa bahan lebih mendekati sifat pseudoplastic. Penurunan nilai indeks perilaku aliran (n) akibat meningkatnya kadar air adonan disebabkan oleh meningkatnya komponen amilosa yang terlarut. Komponen amilosa tersebut berasal dari degradasi/depolimerisasi molekul amilopektin dan amilosa selama proses ekstrusi. Peningkatan komponen amilosa berdampak pada meningkatnya ikatan/belitan antar rantai amilosa sehingga menurunkan nilai indeks perilaku aliran (n) (Drozdek dan Faller 2002; Xie et al. 2009). Data pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air dan kadar amilosa adonan terhadap indeks konsistensi (K) adonan di dalam die head pada Gambar 52 dan Gambar 54 dilakukan regresi linier sehingga akan didapatkan model matematik indeks konsistensi (K) sebagai fungsi dari suhu ekstrusi (T) dan kadar air (X) dan kadar amilosa adonan (C) (persamaan 35). K = 1.283 x 1010 exp (-0.021T) exp (-13.621X) exp (0.079C)
(35)
Gambar 58 menunjukkan indeks konsistensi (K) yang dihitung dengan model matematik (35) yang dibandingkan dengan indeks konsistensi (K) yang diukur pada saat percobaan. Hasil analisa sidik ragam persamaan matematik 35 ditampilkan pada Tabel 10. Persamaan 35 memiliki nilai F sebesar 52.04 lebih besar dibandingkan dengan nilai F tabel pada derajat kebebasan 3 dan 14 dan tingkat kepercayaan 99% atau p=0.01 sebesar 5.56. Hal ini membuktikan bahwa hipotesa Ho yang menyatakan semua nilai koefisien regresi sama dengan 0 ditolak dan hipotesa H1 yang menyatakan paling tidak ada satu koefisien regeresi atau ketiga koefisien regresi tidak sama dengan 0 diterima. Kemudian nilai koefisien determinan R2 dan koefisien determinan terkoreksi R2adj adalah 0.92 dan 0.90 menunjukan bahwa persamaan matematik tersebut memiliki realibilitas yang baik karena memiliki variasi kesalahan sebesar 10%. Oleh karena itu persamaan 35 dapat digunakan untuk memprediksi nilai indeks konsistensi K pada rentang suhu ekstrusi 70–90oC, kadar air adonan 35–45%, dan kadar amilosa adonan 16.99 – 24.09%.
73
Tabel 10. Analisis sidik ragam persamaan 35 Sumber Fitted model Residual Total
Derajat kebebasan 3 14 17
Jumlah kuadrat 4981.27 446.71 5427.99
Kuadrat rata 1660.42 31.91
F 52.04
R2 0.92
R2 adj 0.9
80000 R² = 0.9267
70000 K eksperimen
60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 0
10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000 90000 K model
Gambar 58. Indeks konsistensi (K) yang ditentukan dengan percobaan versus indeks konsistensi yang dihitung dengan model persamaan matematik (32).
4.10. Bentuk Beras Analog Beras analog yang dihasilkan memiliki bentuk yang berbeda-beda tergantung suhu ekstrusi, kadar air adonan dan kadar amilosa. Secara kualitatif ada tiga bentuk beras analog yang dihasilkan, antara lain: pellet, setengah oval/ellips, dan trapesium seperti yang terlihat pada Gambar 59. Bentuk pellet didefinisikan sebagai bentuk silinder dengan semua bidang rata/tidak runcing. Bentuk trapesium didefinisikan sebagai bentuk silinder dengan kedua ujung runcing dan datar. Bentuk setengah oval didefinisikan sebagai bentuk setengah bola dengan permukaan datar dan melengkung tetapi kedua ujungnya runcing dan merupakan bentuk yang paling mirip dengan beras padi. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap reologi bahan beras analog di dalam die head ekstruder dan dampaknya terhadap bentuk beras analog ditampilkan pada Tabel 11. Sedangkan pengaruh kadar amilosa bahan dan suhu ekstrusi terhadap reologi bahan beras analog di dalam die head ekstruder dan dampaknya terhadap bentuk beras analog diperlihatkan pada Tabel 12. Data pada kedua tabel tersebut menunjukkan bahwa indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) bahan di dalam die head ekstruder berpengaruh terhadap bentuk beras analog yang dihasilkan.
74
2 mm
6 mm
a
b
c
Gambar 59. Bentuk-bentuk beras analog yang dihasilkan pellet (a), setengah oval (b) dan trapesium (c). Tabel 11. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap reologi dan bentuk beras analog. Suhu ekstrusi 70oC
80oC
90oC
Kadar air 35%
K (Pa.sn)
n
68489 ±2297
0.59 ±0.0281
1
40%
40986± 3246
0.46 ±0.0128
2
45%
15296 ± 252
0.43 ±0.0113
3
35%
58253 ±3384
0.62 ±0.0067
4
40%
34917 ±2204
0.53 ±0.0004
5
45%
14599 ± 592
0.44 ±0.0099
6
35%
47253 ± 831
0.65 ±0.0174
7
40%
27799 ± 2193
0.59 ±0.0127
8
45%
14184 ± 663
0.44 ±0.0048
9
Bentuk beras
kode
75
Tabel 12. Pengaruh suhu ekstrusi dan kadar amilosa terhadap reologi dan bentuk beras analog. K (Pa.sn)
Suhu Kadar ekstrusi amilosa 70oC 16.99%
40986 ±3246
0.46 ± 0.0128
2
19.35%
47419 ±1474
0.49 ±0.0074
a
21.72%
42861 ±1047
0.47 ±0.0154
b
24.09%
41921 ±3436
0.46 ±0.0089
c
16.99%
34917 ±2204
0.53 ±0.0004
5
19.35%
37586 ±3081
0.53 ±0.0017
d
21.72%
29468 ±4046
0.51 ±0.0090
e
24.09%
34063 ± 571
0.51 ±0.0129
f
16.99%
27799 ±2193
0.59 ±0.0127
8
19.35%
28172 ±2213
0.54 ±0.0161
g
21.72%
21430 ±3153
0.53 ±0.0095
h
24.09%
26901 ±2864
0.54 ±0.0023
i
80oC
90oC
n
Bentuk beras
kode
Untuk memudahkan analisis dibuatlah grafik hubungan indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) terhadap bentuk beras analog (Gambar 60) untuk memetakan pengaruh indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) di dalam die head ekstruder terhadap bentuk beras analog yang dihasilkan. Grafik pada Gambar 60 tersebut memperlihatkan posisi ketiga bentuk beras analog yang dihasilkan. Beras analog berbentuk trapesium yang ditunjukkan dengan kode angka 3, 6, dan 9 mempunyai nilai indeks konsistensi (K) 14200 – 15300 Pa.sn dan indeks perilaku aliran (n) 0.43 – 0.44. Beras analog berbentuk pellet dengan kode 2, a, b, dan c memiliki indeks konsistensi (K) 41000 – 47400 Pa.sn dan indeks perilaku
76
aliran (n) 0.46 – 0.49. Sedangkan beras analog berbentuk setengah oval dengan kode 1, 4, 5, 7, 8, d, e, f, g, h, dan i mempunyai nilai indeks konsistensi (K) 21400 – 68500 Pa.sn dan indeks perilaku aliran (n) 0.51 – 0.65. Beras analog berbentuk pellet mempunyai nilai n maksimum 0.49 dan beras analog berbentuk setengah oval memiliki nilai n minimum 0.51. Dari nilai n minimum dan maksimum tersebut dapat dilakukan pendekatan untuk menentukan garis batas daerah beras analog berbentuk pellet dan daerah beras analog berbentuk setengah oval berdasarkan Gambar 60, yaitu: pada n = 0.5. Untuk beras analog berbentuk trapesium memiliki nilai K maksimum 15300 Pa.sn dan beras analog berbentuk setengah oval mempunyai nilai K minimum 21400 Pa.sn. Dari nilai K minimum dan maksimum tersebut dapat dilakukan pendekatan untuk menentukan garis batas yang memisahkan daerah beras analog berbentuk trapesium dan dareah beras analog berbentuk setengah oval berdasarkan Gambar 60, yaitu: pada K = 21000. Penentuan garis batas K=21000 cenderung mendekati nilai K 21400 Pa.sn dengan tujuan untuk menghindari terbentuknya beras analog yang yang tidak diinginkan. Daerah 0.49 < n < 0.51 dan 15300 < K < 21400 sebenarnya merupakan daerah transisi dan pendekatan yang dilakukan untuk menentukan garis batas tersebut hanya berdasarkan perkiraan. Penentuan garis batas n dan K tersebut dapat dilakukan secara matematis jika parameter bentuk beras analog dinyatakan secara kuantitatif. Oleh karena itu pada penelitian yang akan datang perlu dilakukan pengukuran parameter bentuk secara kuantitatif dengan metode image analysis (Rodriguez et al. 2013) agar penentuan garis batas n dan K untuk membagi daerah beras analog berbentuk trapesium, pellet, dan setengah oval dapat dilakukan secara matematis.
Gambar 60. Grafik hubungan indeks konsistensi (K) – indeks perilaku aliran (n) dan bentuk beras analog.
77
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat dipetakan tiga daerah bentuk beras analog pada grafik indeks konsistensi (K) indeks perilaku aliran (n) pada Gambar 60, yaitu: daerah beras analog berbentuk trapesium (K<21000 Pa.sn, n<0.5), daerah beras analog berbentuk pellet (K>21000 Pa.sn, n<0.5), dan daerah beras analog berbentuk setengah oval yang mirip dengan beras padi (K>21000 Pa.sn, 0.5
Gambar 61. Aliran bahan berviskositas rendah di dalam die head. Daerah beras analog berbentuk pellet yang memiliki nilai indeks konsistensi K>21000 Pa.sn dan nilai indeks perilaku aliran n<0.5 dihasilkan oleh proses ekstrusi pada suhu 70oC, kadar air adonan 40%, dan kadar amilosa 16.99%–24.09%. Indeks konsistensi (K) bahan yang tinggi (>21000 Pa.sn) menandakan bahan/fluida di dalam die head sangat kental (viscous) atau hambatan geser sangat tinggi sehingga perbedaan kecepatan aliran bahan di bagian tengah yang merupakan daerah berkecepatan maksimum dengan kecepatan aliran bahan di permukaan logam die yang merupakan daerah berkecepatan minimum (0 cm/dt) cukup signifikan. Nilai indeks perilaku aliran n yang rendah (n<0.5) menunjukkan bahan cenderung bersifat sebagai fluida pseudoplastik. Fluida bahan yang berperilaku pseudoplastik
78
akan membentuk profil distribusi kecepatan aliran yang tumpul (Steffe 1996; Bird et al. 2002). Ketika bahan keluar dari lubang die dan dilakukan pemotongan maka akan dihasilkan ekstrudat/beras analog yang berbentuk pellet (Gambar 63).
Gambar 62. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan K<21000 Pa.sn dan n<0.5.
R di r=R, V = 0 dan τ = τmax
di r=0, V = Vmax dan τ = 0
Gambar 63. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan nilai K>21000 Pa.sn dan 0.5
21000 Pa.sn dan nilai indeks perilaku aliran 0.5
64). Suhu ekstrusi dan kadar air adonan yang mempunyai nilai K>21000 Pa.sn dan nilai indeks perilaku aliran 0.5
Gambar 64. Bentuk bahan keluar die ketika akan dipotong untuk bahan dengan nilai K>21000 Pa.sn dan 0.5
4.11. Implikasi Praktis Terhadap Kekerasan dan Bentuk Beras Analog Pada sub bab 4.2 dan 4.3 telah dibahas tentang pengaruh suhu ekstrusi dan kadar air adonan terhadap derajat gelatinisasi beras analog dan dampaknya terhadap kekerasan beras analog. Beras analog yang dihasilkan pada suhu ekstrusi di bawah 70oC (50oC dan 60oC) dan kadar air adonan 35% – 45% memiliki derjat gelatinisasi 8% – 84% atau granula pati dalam bahan belum tergelatinisasi sempurna (Tabel 7). Ketika dilakukan pengukuran kekerasan beras analog tersebut memiliki kekerasan yang rendah 1.44 – 2.05 kg (Gambar 23) dan mudah hancur saat terjadi gesekan antara butiran yang satu dengan yang lain. Di samping itu beras analog yang dihasilkan memiliki permukaan yang kasar (Gambar 25) dan rawan terjadi kemacetan proses akibat tersumbatnya die ekstruder. Sedangkan pada suhu ekstrusi 70oC – 90oC dan kadar air adonan 35% – 45% beras analog yang dihasilkan sudah tergelatinisasi sempurna granula patinya (Tabel 7). Beras analog yang dihasilkan mempunyai permukaan yang rata (Gambar 26) dan tidak terjadi penyumbatan die sehingga proses ekstrusi dapat berjalan dengan lancar. Hasil ini menunjukkan bahwa derajat gelatinisasi tidak berkorelasi dengan kekerasan beras analog sehingga hipotesa yang menyatakan bahwa derajat gelatinisasi berpengaruh terhadap kekerasan beras analog yang dihasilkan tidak terbukti. Suhu ekstrusi 100oC tidak digunakan sebagai level percobaan karena berdekatan dengan suhu 105oC yang menyebabkan beras analog yang dihasilkan puffing (Gambar 27). Ekstruder Berto BEX-DS-2256 yang digunakan mempunyai simpangan suhu ± 5oC dari suhu yang ditetapkan. Jika suhu operasi ditetapkan 100oC maka suhu operasi sesungguhnya pada saat tertentu dapat mencapai 105oC. Berdasarkan data penelitian tersebut maka eksplorasi parameter-parameter ekstrusi yang lain dilakukan pada suhu 70oC–90oC dan kadar air adonan 35% – 45%.
80
Hasil analisis beras analog dengan menggunakan mikroskop cahaya terpolarisasi (Gambar 21) dan DSC (Gambar 22) menunjukkan bahwa granula pati telah mengalami gelatinisasi sempurna pada suhu ekstrusi 70oC, 80oC, 90oC dan kadar air adonan 35%, 40%, 45%. Selain kurva puncak gelatinisasi hilang, bentuk kurva juga cenderung menurun yang mengindikasikan adanya molekul-molekul yang larut dalam air. Molekul-molekul tersebut kemungkinan molekul-molekul amilosa rantai pendek hasil fragmentasi molekul amilopektin dan amilosa pada saat proses ekstrusi. Liu et al. (2009) dan Barron et al. (2001) menyatakan bahwa gaya geser dapat menyebabkan terjadinya pemecahan granula pati selama ekstrusi. Di samping itu energi mekanik dan panas yang ditransfer ke adonan pati selama ekstrusi akan mempengaruhi perusakan ikatan valensi primer dan sekunder (ikatan hidrogen) antara molekul-molekul pati yang berdekatan di dalam struktur granula pati dan menghasilkan molekul-molekul amilosa rantai pendek. Untuk mengkonfirmasi pernyataan tersebut dan data termogram DSC, sekiranya perlu dilakukan penelitian untuk menganalisis keberadaan molekul-molekul amilosa rantai pendek. Setelah diketahui derajat gelatinisasi tidak mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik beras analog yang dihasilkan (kekerasan) maka dilakukan analisis terhadap kristalinitas beras analog. Derajat kristalinitas merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur keteraturan susunan atom, ion atau molekul di dalam bahan. Jika susunan atom, ion atau molekul dalam suatu bahan teratur maka jarak antar atom, ion atau molekul semakin rapat dan ikatan antar atom, ion atau molekul semakin kuat sehingga energi yang digunakan untuk memutuskan atau merusak ikatan tersebut semakain besar dan bahan tersebut dikatakan keras. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa derajat kristalinitas mempunyai korelasi positif dengan kekerasan beras analog (Gambar 46). Peningkatan derajat kristalinitas akan meningkatkan kekerasan beras analog. Beras IR 64 yang digunakan sebagai kontrol memiliki derajat kristalinitas 33.63% dan kekerasan 4.21 kg. Dengan menggunakan garis regresi yang menyatakan hubungan kekerasan dengan derajat kristalinitas dan garis kontrol dari beras IR 64 maka dapat ditentukan kekerasan beras analog yang harus dicapai secara kasar yaitu 4.21 – 6.80 kg. Kekerasan beras analog tersebut dapat terpenuhi pada derajat kristalinitas 9.5% – 19.0%. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa derajat kristalinitas dipengaruhi oleh suhu ekstrusi, kadar air adonan, dan kadar amilosa. Peningkatan suhu ekstrusi akan meningkatkan derajat kristalinitas tetapi sebaliknya peningkatan kadar air adonan akan menurunkan derajat kristalinitas (Gambar 31). Suhu ekstrusi dan kadar air adonan yang mampu mencapai nilai derajat kristalinitas 9.5% – 19.0% adalah 70oC – 90oC dengan kadar air adonan 35% dan 80oC – 90oC dengan kadar air adonan 40%. Parameter penting beras analog yang lain adalah bentuk. Menurut Colonna et al. (1998) bentuk ekstrudat sangat ditentukan oleh geometri die, sistem pemotongan dan sifat-sifat reologi bahan di dalam die head ekstruder. Pada proses pembuatan beras analog dengan ekstrusi bentuk dan dimensi die tidak mengalami perubahan, kecepatan putar pisau pemotong juga tetap maka sifat-sifat reologi bahan merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk beras analog. Dari definisi reologi bahan pangan yang dijelaskan di sub bab 2.3.1 yang dimaksud dengan bahan pangan adalah bahan baku, produk setengah jadi, dan produk jadi dari industri pangan. Reologi bahan pangan ini sangat terkait dengan tipe aliran bahan
81
(laminar dan turbulen) dan viskositas bahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe aliran bahan tidak berpengaruh terhadap bentuk beras analog. Semua perlakuan percobaan (suhu ekstrusi 70oC – 90oC dan kadar air adonan 35% - 45%) menghasilkan tipe aliran laminar yang ditandai dengan nilai NRe<2100. Sedangkan hasil pengukuran viskositas beras analog di dalam die head ekstruder menunjukkkan bahwa fluida beras analog di dalam die head ekstruder bertipe nonNewtonian pseudoplastik yang ditandai dengan nilai indeks perilaku aliran n<1. Viskositas bahan non-Newtonian merupakan fungsi dari indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) (persamaan 4, 5, dan 6). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa ada tiga bentuk beras analog yang dihasilkan, yaitu: pellet, setengah oval, dan trapesium (Gambar 61). Beras analog trapesium terbentuk pada indeks konsistensi K < 21000 Pa.sn dan indeks perilaku aliran n < 0.5. Beras analog pellet dihasilkan pada indeks konsistensi K > 21000 Pa.sn dan indeks perilaku aliran n < 0.5. Sedangkan beras analog setengah oval dibentuk pada indeks konsistensi K > 21000 Pa.sn dan indeks perilaku aliran 0.5
82
Tabel 13. Perbandingan karakteristik fisik beras analog dengan beras IR 64 Parameter Tipe kristal Derajat kristalinitas (%) Kekerasan beras (kg) Densitas kamba (g/cc) Bentuk Kekerasan nasi (g) Kekuatan kunyah nasi (g)
Beras analog V 9.5 – 18.9% 4.2 – 8.2 kg 0.6940 – 0.6835 Setengah oval 1400 – 2500 550 – 1260
Beras IR 64 A 33.6% 4.21 kg 0.8695 Oval penuh 2901 1497.4
Model matematik persamaan 35 dan model empiris pengaruh indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n) pada Gambar 60 dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul pada saat proses produksi beras analog. Jika pada saat proses produksi muncul masalah seperti beras analog yang dihasilkan berbentuk trapesium atau pellet maka dapat diplotkan di model empiris Gambar 60 untuk menentukan nilai K dan n. Kemudian dari nilai K dan n tersebut dapat dihitung nilai suhu ekstrusi (T) dan kadar air (X) dan kadar amilosa (C) adonan dengan menggunakan model matematik 35. Selanjutnya nilai suhu ekstrusi dan kadar air adonan tersebut diperiksa apakah sudah tepat dan jika belum maka perlu dilakukan perbaikan suhu ekstrusi dan kadar air adonan. Namun model matematik yang didapatkan belum lengkap karena belum adanya model matematik yang menyatakan hubungan antara indeks perilaku aliran n dengan suhu ekstrusi dan kadar air adonan. Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian model matematik yang sesuai untuk menggambarkan hubungan indeks perilaku aliran n dengan suhu ekstrusi dan kadar air adonan.
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Berdasarkan analisis data yang diperoleh pada saat percobaan dapat disimpulkan bahwa proses ekstrusi pada suhu 70oC, 80oC, dan 90oC dan kadar air adonan 35%, 40%, dan 45% menyebabkan granula pati di dalm beras analog tergelatinisasi sempurna (derajat gelatinisasi 100) dan terjadinya perubahan tipe kristal A bahan menjadi tipe kristal V beras analog. Peningkatan suhu ekstrusi dari 70oC menjadi 90oC meningkatkan derajat kristalinitas dari 5.86 – 15.00% menjadi 10.70 – 18.87%, kekerasan beras analog dari 1.71 – 4.36 kg menjadi 2.05 – 5.70 kg, kekerasan nasi beras analog dari 1158.7 – 2038.9 g menjadi 1532.0 – 2525.7 g, kekuatan kunyah nasi beras analog dari 444.2 – 1002.8 g menjadi 686.1 – 1259.2 g, dan indeks perilaku aliran (n) dari 0.43 – 0.59 menjadi 0.44 – 0.65 tetapi menurunkan densitas kamba dari 0.5923–0.6835 g/mL menjadi 0.5650–0.6653 g/mL dan indeks konsistensi (K) dari 15296 – 68489 Pa.sn menjadi 14184 – 47253 Pa.sn. Peningkatan kadar air dari 35% menjadi 45% menurunkan derajat kristalinitas dari 15.00 – 18.87% menjadi 5.86 – 10.70%, kekerasan beras analog dari 4.36 – 5.70 kg menjadi 1.71 – 2.05 kg, densitas kamba dari 0.6835 – 0.6653 g/mL menjadi 0.5923 – 0.5650 g/mL, kekerasan nasi beras analog dari 2038.9 – 83
2525.7 g menjadi 1158.7 – 1532.0 g, kekuatan kunyah nasi beras analog dari 1002.8 – 1259.2 g menjadi 444.2 – 686.1 g, indeks konsistensi (K) dari 47253 – 68489 Pa.sn menjadi 14184 – 15296 Pa.sn dan indeks perilaku aliran (n) dari 0.59 – 0.65 menjadi 0.43 – 0.44. Peningkatan kadar amilosa di dalam adonan dari 16.99% menjadi 24.09% meningkatkan kekerasan beras analog dari 4.06 – 4.74 kg menjadi 4.91 – 8.20 kg, kekerasan dan kekuatan kunyah nasi beras analog dari 1305.3– 1996.4 g menjadi 1788.1–2364.5 g dan dari 549.7 – 1025.0 g menjadi 728.1 – 1177.4 g tetapi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap derajat kristalinitas, densitas kamba beras analog, indeks konsistensi (K) dan indeks perilaku aliran (n). Derajat gelatinisasi beras analog tidak berkorelasi dengan kekerasan beras analog. Derajat kristalinitas beras analog berkorelasi positif dengan kekerasan beras analog (r=0.561, p=0.01) dan kekerasan nasi beras analog (r=0.891, p=0.01). Adonan beras analog di dalam die head ekstruder merupakan fluida non Newtonian pesudoplastik (indeks perilaku aliran n<1). Semua perlakuan percobaan menghasilkan aliran tipe laminar sehingga tipe aliran tidak mempunyai dampak terhadap bentuk beras analog. Nilai K<21000 Pa.sn dan n<0.5 menyebabkan beras analog berbentuk trapesium, nilai K>21000 Pa.sn dan n<0.5 menghasilkan beras analog berbentuk pellet; dan nilai K>21000 Pa.sn dan 0.5
5.2. Saran Disarankan untuk melakukan penelitian proses ekstrusi beras analog pada berbagai nilai kecepatan ulir untuk melengkapi data yang sudah diperoleh dan khususnya pada kecepatan ulir yang tinggi untuk mengoptimalkan kapasitas produksi. Model matematik yang menyatakan hubungan kekerasan beras analog dengan derajat kristalinitas dan kadar amilosa perlu dikaji. Parameter bentuk beras analog perlu dilakukan pengukuran secara kuantitatif. Korelasi indeks konsistensi K dan indeks perilaku aliran n dengan parameter bentuk kuantitatif perlu dieksplorasi. Berat molekul dari komponen hasil degradasi molekul amilopektin dan amilosa pada proses ekstrusi beras analog perlu dilakukan pengukuran. Pengaruh komposisi kristal dan amorf pada beras analog terhadap kekerasan beras analog dan bahan pangan lainnya perlu dipelajari. Model matematik yang menyatakan hubungan antara indeks perilaku aliran n dengan suhu ekstrusi dan kadar air adonan perlu didapatkan. Optimasi proses ekstrusi beras analog dengan metode RSM perlu dilakukan untuk mendapatkan kondisi operasi optimal yang lebih baik.
84
DAFTAR PUSTAKA Adegunwa MO, Alamu EO, Bakare HA, Godwin PO. 2011. Effect of fermentation length and varieties on the qualities of corn starch (Ogi) production. AJFN. 1(4):166-170.doi:10.5251/ajfn.2011.1.4.166.170. Ajeigbe HA, Ihedioha D, Chikoye D. 2008. Variation in physico-chemical properties of seed of selected improved varieties of Cowpea as it relates to industrial utilization of the crop. Afr J Biotechnol. 7(20):3642-3647 [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2009. Official Methods of Analysis of AOAC International. Gaithersburg, MD, (US): AOAC International. Ayadi FY, Fallahi P, Rosentrater KA, Muthukumarappan K. 2013. Modeling single-screw extrusion processing parameters and resulting extrudate properties of DDGS-based Nile Tilapia (Oreochromis niloticus) feeds. JFR. 2(2):11-28.doi:10.5539/jfr.v2n2p11. Azzurri F, Flores A, Alfonso GC, Sics I, Hsiao BS, Calleja FJB. 2003. Polymorphism of isotactic polybutene-1 as revealed by microindentation hardness. Part II: correlations to microstructure. Polymer. 44:1641-1645 Bail PL, Bizot H, Ollivon M, Keller G, Bourgaux C, Bule´on A. 1999. Monitoring the crystallization of amylose–lipid complexes during maize starch melting by synchrotron X-ray diffraction. Biopolymers. 50:99 –110 Baks T, Ngene IS, Soest JJGv, Janssen AEM, Boom RM. 2007. Comparison of methods to determine the degree of gelatinisation for both high and low starch concentrations. Carbohydr Polym. 67:481-490. doi:10.1016/j.carbpol.2006.06.016. Barron C, Bouchet B, Valle GD, Gallant DJ, Planchot V. 2001. Microscopical study of the destructuring of waxy maize and smooth pea starches by shear and heat at low hydration. J Cereal Sci. 33:289 - 300. doi:10.1006/jcrs.2000.0368. Bhatnagar S, Hanna MA. 1994a. Amylose-lipid complex formation during singlescrew extrusion of various corn starches. Cereal Chem. 7(16):582-587 Bhatnagar S, Hanna MA. 1994b. Extrusion processing conditions for amylose-lipid complexing. Cereal Chem. 71(6):587 - 593 Bhatnagar S, Hanna MA. 1996. Starch-stearic acid complex development within single and twin screw extruders. J Food Sci. 61(4):778-782. doi:10.1111/j.1365-2621.1996.tb12202.x. Bird RB, Stewart WE, Lightfoot EN. 2002. Transport Phenomena. New York (US): John Wiley & Sons Inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2004. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Jakarta (ID). [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional. Budi FS, Hariyadi P, Budijanto S, Syah D. 2015a. Effect of dough moisture content and extrusion temperature on degree of gelatinization and crystallinity of rice analogues. J. Dev. Sus. Agr. 10(2): 91-100
85
Budi FS, Hariyadi P, Budijanto S, Syah D. 2015b. Effect of extrusion temperature and moisture content of corn flour on crystallinity and hardness of rice analogues. Di dalam: Hadiyanto, editor. AIP Conference Proceeding vol. 1699. International Conference of Chemical and Material Engineering (ICCME) 2015, Sept 29-30, Semarang, Indonesia. Semarang (ID): AIP Publishing LLC. Budijanto S, Sitanggang AB, Purnomo EH, Yulianti, Widara SS, Karunia A, penemu; Institut Pertanian Boogor. 2012. Metode pengolahan beras analog. Paten Indonesia. ID P 00 2012 00463 Budijanto S, Yuliyanti. 2012. Studi persiapan tepung sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) dan aplikasinya pada pembuatan beras analog. J. Teknol. Pertanian. 13(3):177-186 Buleon A, Colonna P, Planchot V, Ball S. 1998. Starch granules: structure and biosynthesis. Int J Biol Macromol. 23:85–112 Callister WD. 2001. Fundamentals of materials science and engineering. New York (US): John Wiley & Sons, Inc. Campanella OH, L PX, Ros KA, Okos MR. 2002. The role of rheology in extrusion. Di dalam: Welti-Chanes J, et al., editor. Engineering and Food for the 21st Century. Boca Raton (US): CRC Press. Cheetham NWH, Tao L. 1998. Variation in crystalline type with amylose content in maize starch granules: an X-ray powder diffraction study. Carbohydr Polym. 36:277–284 Colonna P, Tayeb J, Mercier C. 1998. Extrusion cooking os starch and starchy products. Di dalam: Mercier C, et al., editor. Extruxion Cooking. St. Paul Minnesota (US): American Association of Cereal Chemists, Inc: 247-320. Cuthbert WO, Ray SS, Emmambux MN. 2012. V-amylose Structural Characteristics, Methods of Preparation, Significance and Potential Applications. Food Rev Int. 28(4):412-438. doi:10.1080/87559129.2012.660718. Dautant FJ, Simancas K, Sandoval AJ, Muller AJ. 2007. Effect of temperature, moisture and lipid content on the rheological properties of rice flour. J Food Eng. 78:1159–1166. doi:10.1016/j.jfoodeng.2005.12.028. Diehl JC, penemu; 1996 Aug 20. Imitation Ceremonial Rice. US Patent US 5,547,719. Drozdek KD, Faller JF. 2002. Use of a dual orifice die for on-line extruder measurement of flow behavior index in starchy food. J Food Eng. 55:79-88 Eckhoff SR, Watson SA. 2009. Sorghum starches: Production. Di dalam: BeMiller J, et al., editor. Starch: Chemistry and Technology. Burlington (US): Academic Press: 373. Einde RMVD, Dergoot AJV, Boom RM. 2003. Understanding molecular weight reduction of starch during heating-shearing process. J Food Sci. 68(8):23962404. doi:10.1111/j.1365.2621.2003.tb070b.x Einde RMVD, Veen MEvd, Bosman H, Goot AJvd, Boom RM. 2005. Modeling macromolecular degradation of corn starch in a twin screw extruder. J Food Eng. 66:147–154. doi:10.1016/j.jfoodeng.2004.03.001. F.A. Nyanzi, J.A. Maga, C. Evans. 1995. Changes in microstructure and thermal properties of thermally processed corn starch/soy protein isolate model food
86
systems. Dev Food Sci. 37:1155-1164. doi:10.1016/S0167-4501 (06) 80226-8. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2003. Food Energy – Methods of Analysis and Conversion Factors. Rome (I): Food and Agriculture Organization of The United Nations. Flores A, Ania F, Balta-Calleja FJ. 2009. From the glassy state to ordered polymer structures: A microhardness study. Polymer. 50:729–746. doi:10.1016/j.polymer.2008.11.037. Frost K, Kaminski D, Kirwan G, Lascaris E, Shanks R. 2009. Crystallinity and structure of starch using wide angle X-ray scattering. Carbohydr Polym. 78:543-548. doi:10.1016/j.carbpol.2009.05.018. Gallant DJ, Bouchet B, Baldwin PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a new level of granule organization. Carbohydr Polym. 32:177-191 Gelders GG, Vanderstukken TC, Goesaert H, Delcour JA. 2004. Amylose–lipid complexation: a new fractionation method. Carbohydr Polym. 56:447–458. doi:10.1016/j.carbpol.2004.03.012. Godet MC, Tran V, Delage MM, Buleon A. 1993. Molecular modelling of the specific interactions involved in the amylose complexation by fatty acids. Int J Biol Macromol. 15:11-16 Goldstein JI, Newbury DE, Echilin P, Joy DC, Jr. ADR, Lyman CE, Fiori C, Lifshin E. 1992. Scanning Electron Microscopy and X-Rays Microanalysis : A Text for Biologist, Materials Scientist, and Cytologists. New York (US): Plemun Press. Harrow AD, Martin JW, penemu; Thomas J Lipton, Inc. 1982 Apr 20. Reformed rice product. US Patent. US 4,325,976. Herawati H, Widowati S. 2009. Karakteristik beras mutiara dari ubi jalar. Bull Teknol Pascapanen Pertanian. 5:37-44 I Zarguili ZM-R, C. Loisel, J. L. Doublier. 2006. Influence of DIC hydrothermal process condition on the gelatinization properties of standard maize starch. J Food Eng. 77:454 - 461 doi:10.1016/j.jfoodeng.2005.07.014. Janssen LPBM, Mościcki L. 2006. Scale-up of thermoplastic starch extrusion TEKA Komisji Motoryzacji Energetyki Rolnictwa. 6A:82-91 Kato K, penemu; 2006 Apr 6. Soy-Based Rice Substitute. US Patent US2006/0073259A1. Katsuya N, Sagara T, Takahashi R, Yoshida T, Ojima T, penemu; Ajinomoto Co. Inc. 1971 Dec 21. Process for producing enriched artificial rice. US Patent. US 3.628.966. Khatoon S, Sreerama YN, Raghavendra D, Bhattacharya S, Bhat KK. 2009. Properties of enzyme modified corn, rice and tapioca starches. Food Res Int. 42:1426–1433. doi:10.1016/j.foodres.2009.07.025. Koide K, Fukushima T, Tomita T, Kuwata T, penemu; Meji Milk Products, Co., Ltd. 1999 Aug 3. Fabricated rice. US Patent. US 5.932.271. Kurachi H, penemu; Japan Corn Starch Co., Ltd. 1995 Apr 4. Process for Making Enriched Artificial Rice. US Patent. US 5403606. Laurentin A, Edwards CA. 2003. A microtiter modification of the anthrone-sulfuric acid colorimetric assay for glucose-based carbohydrates. Anal Biochem. 315:143–145. doi:10.1016/S0003-2697(02)00704-2.
87
Leelayuthsoontorn P, Thipayarat A. 2006. Textural and morphological changes of Jasmine rice under various elevated cooking conditions. Food Chem. 96(4):606–613. doi:10.1016/j.foodchem.2005.03.016. Li PX, Campanella OH, Hardacre AK. 2004. Using an in-line slit die viscometer to study the effect of extrusion parameters on corn melt rheology. Cereal Chem. 81(1):70-76 Liu H, Xie F, Yu L, Chen L, Li L. 2009. Thermal processing of starch-based polymers. Prog Polym Sci. 34:1348 1368. doi:10.1016/j.progpolymsci.2009.07.001. Machmur M, Dahrulsyah, Sawit MH, Subagyo A, Rachman B. 2011. Diversifikasi Pangan Solusi Tepat Membangun Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta (ID): Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian. Martin O, Averous L, Valle GD. 2003. In-line determination of plasticized wheat starch viscoelastic behavior: impact of processing. Carbohydr Polym. 53:169–182. doi:10.1016/S0144-8617(03)00040-7. McPherson AE, Jane J. 1999. Comparison of waxy potato with other root and tuber starches. Carbohydr Polym. 40:57–70 Mercier C, R.Charbonniere, D.Gallant, A.Guilbot. 1979. Structural modification of various starches by extrusion cooking with a twin-screw french extruder. Di dalam: Blanshard JMV, et al., editor. Polysaccharides in Food. London (GB): Butterworths Mishra A, Mishra HN, Rao PS. 2012. Preparation of rice analogues using extrusion technology. Int J Food Sci Techn.1-9. doi:10.1111/j.13652621.2012.03035.x. Montgomery, D.C. 2009. Design and Analysis of Experiments. New York (US): John Wiley & Sons Moraru CI, Kokini JL. 2003. Nucleation and expansion during extrusion and microwave heating of cereal foods. Compr Rev Food Sci F. 2:120-138. doi:10.1111/j.1541-4337.2003.tb0020.x. Nelles EM, Dewar J, Bason ML, Taylor JRN. 2000. Maize starch biphasic pasting curves. J Cereal Sci. 31(3):287-294. doi : http://dx.doi.org/10.1006/jcrs.2000.0311. Ozcan S, Jackson DS. 2005. Functionality behavior of raw and extruded corn starch mixtures. Cereal Chem. 82(2):223-227.doi:10.1094/CC·82·0223. Peplinski AJ, Anderson RA, Alaksiewicz FB. 1984. Corn dry milling studies: Shortened mill flow and reduce temper time and moisture. Cereal Chem. 61:60 - 62 Putseys JA, Lamberts L, Delcour JA. 2010. Amylose-inclusion complexes: Formation, identity and physico-chemical properties. J Cereal Sci. 51:238247. doi:10.1016/j.jcs.2010.01.011. Rabiej S. 1991. A comparison of two X-ray diffraction procedures for crystallinity determination. Eur Polym J. 27(9):947-954 Riaz MN. 2000. Extruders in Food Applications. Boca Raton (US): CRC Press. Riaz MN. 2012. Extrusion of rice analogue. Newfood. 15: 64-67. Rodriguez JM, Edeskär T, Knutsson S. 2013. Particle shape quantities and measurement techniques–a review. EJGE. 18/A:169-198 Samad MY. 2003. Pembuatan beras tiruan (artificial rice) dari bahan baku ubikayu dan sagu. Teknologi untuk Negeri. Jakarta (ID).
88
Sandhu KS, Singh N. 2007. Some properties of corn starches II: Physicochemical, gelatinization, retrogradation, pasting and gel textural properties. Food Chem. 101:1499–1507.doi:10.1016/j.foodchem.2006.01.060. Sandoval AJ, Barreiro JA. 2007. Off-line capillary rheometry of corn starch: Effects of temperature, moisture content and shear rate. LWT - Food Sci Technol. 40:43-48. doi:10.1016/j.lwt.2005.09.001. Scella RP, Hegedus E, Giacone J, Bruins HB, Benjamin EJ, Baililie IC, penemu; General Food Corporation. 1986 Dec1. Extruded quick-cooking rice-like product. European Patent. EP 0226375. Singh N, Kaur L, Sodhi NS, Sekhon KS. 2005. Physicochemical, cooking and textural properties of milled rice from different Indian rice cultivars. Food Chem. 89:253-259. doi:10.1016/j.foodchem.2004.02.032. Srichuwong S, Sunarti TC, Mishima T, Isono N, Hisamatsu M. 2005. Starches from different botanical sources I: Contribution of amylopectin fine structure to thermal properties and enzyme digestibility. Carbohydr Polym. 60:529– 538. doi:10.1016/j.carbpol.2005.03.004. Steffe JF. 1996. Rheological Methods in Food Process Engineering. 2807 Still Valley (US): Freeman Press. Subagio A, Witono Y, Hermanuadi D, Nafi’ A, Windrati WS. 2012. Pengembangan beras cerdas sebagai pangan pokok aternatif berbahan baku mocaf. Di dalam: D.W. Karmiadji et al., editor. Membangun Sinergi Riset Nasional untuk Kemandirian Teknologi. Seminar Insentif Riset SINas, 2012 Nov 2930 Bandung, Indonesia. Bandung (ID): Deputi Bidang Relevansi dan Produktivitas Iptek, Kementrian Riset dan Teknologi. hlm. PG150-PG157. Terinte N, Ibbett R, Schuster KC. 2011. Overview on native cellulose and microcrystalline cellulose I structure studied by X-ray diffraction (WAXD): Comparison between measurement techniques. Lenzinger Berichte. 89:118131 Tester RF, Karkalas J, Qi X. 2004. Starch—composition, fine structure and architecture. J Cereal Sci. 39:151–165. doi:10.1016/j.jcs.2003.12.001. Thachil MT, Chouksey MK, Gudipati V. 2014. Amylose-lipid complex formation during extrusion cooking: effect of added lipid type and amylose level on corn-based puffed snacks. Int J Food Sci Techn. 49:309-316. doi:10.1111/ijfs.12333. Valle GD, Colonna P, patria A, Vergnes B. 1996. Influence of amylose content on the viscous behavior of low hydrated molten starches. J Rheol. 40(3):347562 Vergnes B, Villemaire JP. 1987. Rheological behaviour of low moisture molten maize starch. Rheol Acta. 26:570-576 Vermeylen R, Goderis B, Delcour JA. 2006. An X-ray study of hydrothermally treated potato starch. Carbohydr Polym. 64:364-375 Wenger ML, Huber GR, penemu; Wenger Manufacturing, Inc. 1988 Sept 6. Low Shear Extrusion Process for Manufacturing of Quick Cooking Rice. US Patent, US 4.769.251. Xie F, Yu L, Su B, Liu P, Wang J, Liu H, Chen L. 2009. Rheological properties of starches with different amylose/amylopectin ratios. J Cereal Sci. 49:371377. doi:10.1016/j.jcs.2009.01.002.
89
Zhuang H, An H, Chen H, Xie Z, Zhao J, Xu X, Jin Z. 2010. Effect of extrusion parameters on physicochmeical properties of hybrid Indica Rice (Type 9718) extrudates. J Food Process Pres. 34:1080-1102. doi:10.1111/j.17454549.2009.00439.x.
90
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Rembang pada tanggal 1 Januari 1970 sebagai putra bungsu dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Zuhdi (almarhum) dan Ibu Hanifah (almarhumah). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro (1989 – 1994). Penulis pernah bekerja di industri pengolahan polimer PT Dynaplast sebagai supervisor QC pada tahun 1995 – 1998. Pada tahun 1998 penulis mendapatkan Beasiswa Karyasiswa dari Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan pendidikan Program Master di Departemen Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Pada tahun 2000 – 2010 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro dan sejak tahun 2010 pindah bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan dukungan beasiswa BPPS. Selama mengikuti pendidikan program Doktor, penulis menjadi anggota Perhimpunan Ahli dan Teknologi Pangan (PATPI), Masyarakat Perkelapa Sawitan Indonesia (MAKSI) dan Himpunan Polimer Indonesia. Satu artikel yang berjudul “Teknologi Proses Ekstrusi untuk Membuat Beras Analog” telah dipublikasikan pada Jurnal Pangan volume 22, no. 3, 2013. Disertasi ini telah dipublikasikan di dua jurnal internasional, yaitu: Journal of Development in Sustainable Agriculture volume 10, issue 2, 2015 dengan judul “Effect of Dough Moisture Content and Extrusion Temperature on Degree of Gelatinization and Crystallinity of Rice Analogues” dan Journal AIP Conference Proceeding volume 1699, 2015 dengan judul “Effect of Extrusion Temperature and Moisture Content of Corn Flour on Crystallinity and Hardness of Rice Analogues”.
91