PERAN RAMSI (REGIONAL ASSISTANCE MISSION TO THE SOLOMON ISLANDS) DI KEPULAUAN SOLOMON PASCA KONFLIK

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (2) 585-594 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016

PERAN RAMSI (REGIONAL ASSISTANCE MISSION TO THE SOLOMON ISLANDS) DI KEPULAUAN SOLOMON PASCA KONFLIK Muhammad Fahry1 Nim. 0902045026 Abstract The Solomon Islands conflict caused its country into a despair condition which lead to the absent of prosperity towards its citizen. In order to restore the prosperity, law and security as well as the economy of Solomon Island, the neutral and competent existence is highly needed. The regional assistance mission formed to bring the civil development programs that distributes value on long term stability of security and citizen’s prosperity of Solomon Island. This regional assistance mission is known as RAMSI. Keywords : Role of RAMSI, Conflict of Solomon Island

Pendahuluan Kepulauan Solomon adalah sebuah negara berdaulat yang terdiri dari sebagian besar pulau-pulau di Oceania yang terbentang di sebelah timur Papua Nugini dan barat laut Vanuatu dan meliputi daerah seluas 28.400 kilometer persegi. Mayoritas suku bangsa di Solomon adalah Melanesia. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Melanesia Pidgin. Mayoritas penduduk Solomon beragama Kristen Protestan. Solomon merupakan negara Commonwealth, Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. Ibukotanya adalah Honiara yang terletak di Pulau Guadalcanal. Sebagian besar penduduk Solomon bergantung kepada sektor perikanan, pertanian dan kehutanan. Mata uang yang digunakan di Solomon adalah Dollar Solomon. Pada tahun 1800an Negara-negara Eropa memperebutkan wilayah di Pasifik Barat Daya, termasuk Kepulauan Solomon yang akhirnya dikuasai oleh Inggris dan menjadi bagian dari British Protectorate (BSIP) tahun 1893. Inggris mulai melakukan dekolonisasi di tahun 1970. Pada tahun 1978 Kepulauan Solomon menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Sejak dekolonisasi Inggris, Pasifik Selatan menjadi kawasan yang rentan terhadap konflik. Perang sipil Bougainville, Fiji yang mengalami kudeta militer, serta konflik etnis di Kepulauan Solomon menandakan bahwa kondisi kawasan Pasifik Selatan masih belum stabil.

1

Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email: [email protected]

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 2, 2016: 585-594

Akar perselisihan di Kepulauan Solomon terjadi sejak berlangsungnya perang dunia II. Perpindahan penduduk Malaita ke Guadalcanal menjadi penyebabnya. Orang Malaita memilih untuk bekerja kepada militer Amerika Serikat yang berada di Honiara karena di Pulau Malaita sangat padat penduduk dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Hingga perang berakhir, orang Malaita memilih untuk tinggal di Guadalcanal. Para pria Malaita yang tinggal dan kemudian menikahi wanita Guadalcanal. Orang Guadalcanal menganggap bahwa pernikahan tersebut adalah cara orang Malaita untuk mendapatkan tanah mereka. Namun di sisi lain, pemimpin pria Guadalcanal juga menjual tanah kepada orang Malaita untuk mendapatkan uang tanpa seizin pihak keluarga. Penjualan tersebut dilakukan secara sah baik prosedur adat maupun hukum. Hal tersebut selama bertahun-tahun dibenci oleh generasi muda Guadalcanal, karena mereka telah kehilangan hak atas tanah kelahiran. Pada akhirnya muncul tuntutan-tuntutan dari orang Guadalcanal kepada pemerintah. Tuntutan tersebut berupa permintaan untuk memulangkan orang Malaita kembali ke daerah asalnya, kemudian meminta kompensasi atas apa yang dilakukan oleh orang Malaita di tanah mereka. Respon yang lamban dari pemerintah membuat pemuda Guadalcanal mengambil tindakan atas tuntutan-tuntutan mereka. Aktor utama pada konflik ini adalah Guadalcanal Revolutionary Army (GRA) dan Malaita Eagle Force (MEF). GRA adalah kelompok militan nasionalis Guadalcanal yang memiliki tujuan mengusir orang Malaita keluar dari Pulau Guadalcanal. GRA kemudian berganti nama menjadi Isatabu Freedom Movement (IFM). MEF dibentuk untuk berjuang memberikan keamanan bagi orang Malaita di Guadalcanal, menjaga aset yang ditinggalkan di Honiara oleh orang Malaita yang mengungsi keluar Guadalcanal. Aktor lain yang terlibat dalam konflik adalah Pemerintah Kepulauan Solomon dan The Commonwelath. Mereka terlibat dalam upaya menyediakan perdamaian kedua belah pihak yang berkonflik. Pada akhir tahun 1998, IFM mulai mempersenjatai diri mereka dan melakukan serangan serta pengusiran. Pemerintah Kepulauan Solomon dan Kepolisian mengalami kesulitan dalam menghadapi tekanan militan IFM yang telah menguasai desa-desa di Honiara. Sedikitnya 100 orang terbunuh, kekerasan seksual terhadap wanita, dan kurang lebih 35.000 orang meninggalkan tempat tinggalnya. Di pertengahan 1999, konflik meningkat dengan munculnya MEF yang mulai melakukan serangan balik. Parlemen kemudian mengumumkan negara dalam keadaan darurat pada 17 Juni 1999. Sebagai respon hal tersebut, pemerintah Kepulauan Solomon kemudian meminta bantuan kepada The Commonwealth. The Commonwealth kemudian mengutus Sitiveni Rabuka, seorang pimpinan kudeta Fiji tahun 1987 untuk menggelar perundingan damai Honiara Peace Accord (HPA). HPA diselenggarakan dalam upaya menengahi perdamaian kedua belah pihak. Namun dalam HPA, baik Guadalcanal maupun Malaita merasa tidak puas dengan hasil perundingan sehingga kedua belah pihak memilih untuk tidak menandatangani perundingan tersebut. Pasca gagalnya perundingan damai HPA, MEF kemudian meningkatkan serangannya dengan menduduki gudang senjata di Honiara. Selain itu, MEF juga didukung oleh Royal Solomon Island Police Force (RSIPF) yang mana di dominasi oleh orang Malaita. MEF mencoba mengambil alih pemerintahan dengan melakukan kudeta terhadap Perdana Mentri Bart Ulafa’alu pada pertengahan Juni 2000. Hal tersebut

586

Peran RAMSI di Kepulauan Solomon Pasca Konflik (Muhammad Fahry)

dikarenakan PM Ulafa’alu dinilai gagal dalam menciptakan keamanan di Ibukota Honiara. Manasye Sogavare sebagai pemimpin oposisi menjadi Perdana Menteri Menggantikan Ulafa’alu. Di tahun yang sama, kedua belah pihak kemudian melakukan perundingan kembali yang menghasilkan kesepakatan dengan nama Townville Peace Aggrement. Akan tetapi pada tahun berikutnya, kekerasan diantara IFM dan MEF kembali meningkat. Hal tersebut disebabkan adanya anggapan bahwa Perdana Menteri memiliki kedekatan dengan salah satu kelompok milisi. Situasi di Guadalcanal kemudian tidak mengalami kondisi yang lebih baik. Terlebih terdapat beberapa keluhan pada kesepakatan TPA dimana wilayah-wilayah lain di Solomon diharuskan untuk membantu memulihkan Guadalcanal pasca konflik, sehingga muncul tekanan-tekanan terhadap pemerintah Solomon. Merespon hal tersebut PM Sir Allan Kemakeza yang terpilih pada pemilu tahun 2001 kemudian meminta bantuan internasional untuk melakukan pemulihan stabilitas di Solomon. Pada pertengahan Juli 2003, parlemen Solomon mendukung intervensi yang diusulkan. Bulan berikutnya, pasukan penjaga perdamaian internasional yang dikenal sebagai Regional Assistance Mission to the Solomon Island ( RAMSI ) memasuki Solomon. RAMSI atau Operasi Helpem Fren adalah kemitraan antara masyarakat dan pemerintah Kepulauan Solomon serta anggota-anggota South Pasific Forum. Berdasarkan Australia Treaty Series, RAMSI yang terbentuk pada 24 Juli 2003 berada di Solomon untuk meletakkan dasar bagi stabilitas jangka panjang, keamanan dan kemakmuran melalui dukungan untuk meningkatkan hukum, keadilan dan keamanan, pemerintah yang lebih efektif, akuntabel dan demokratis, dan pertumbuhan ekonomi berbasis luas lebih kuat. Pasca konflik yang terjadi antara milisi Guadalcanal dan Malaita, kondisi Kepulauan Solomon mengalami keterpurukan akibat kekerasan, hingga tidak tersedianya kesejahteraan untuk rakyat. Memburuknya hukum dan ketertiban dan keamanan di Kepulauan Solomon menimbulkan ancaman bagi pemerintahan yang baik dan kemakmuran ekonomi di Kepulauan Solomon. Sehingga diperlukan pihak yang netral dan memiliki kemampuan untuk membantu memulihkan kesejahteraan rakyat, hukum dan ketertiban, keamanan, serta ekonomi di Kepulauan Solomon. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya penulis akan memaparkan bagaimana peran RAMSI di Kepulauan Solomon pasca konflik. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Konsep Konflik Konflik ialah mengejar tujuan yang tidak kompatibel dengan kelompok yang berbeda. Hal ini menunjukkan rentang yang lebih luas dari waktu dan kelas dari perjuangan konflik bersenjata. Hal ini berlaku untuk setiap konflik politik, apakah itu dikejar dengan cara damai atau dengan penggunaan kekerasan. Pendapat lain mengatakan konflik sebagai perbedaan perspektif antara dua pihak atau lebih pada saat yang bersamaan. Konflik dapat didefinisikan sebagai perjuangan atau kompetisi antar masyarakat dengan kebutuhan, ide, keyakinan, nilai, atau tujuan yang berbeda. Konflik dalam suatu kelompok merupakan hal yang tidak terhindarkan akan tetapi hasil konflik tidak dapat diprediksi. Konflik dapat meningkat dan menyebabkan hasil yang non-

587


produktif, atau konflik dapat menghasilkan keuntungan dan membawa produk yang berkualitas. Wese dan Becker berpendapat bahwa konflik atau pertentangan itu adalah proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lain yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Konsep Peran Pihak Ketiga Pihak ketiga dapat didefinisikan sebagai individu atau kolektif yang berada diluar konflik antara dua pihak atau lebih yang mencoba membantu mereka mencapai penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan. Tujuan masuknya pihak ketiga adalah mengubah situasi konflik destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, turut dalam upaya transformasi konflik, mengaliihkan para pelaku konflik kearah penyelesaian. Pihak ketiga dapat berperan dalam upaya memfasilitasi menuju kearah penyelesaian konflik. Adapun alasan mengapa pihak luar biasanya terlibat dalam upaya penyelesaian konflik karena tidak dapat disangkal, bahwa dalam konflik internal, negara sulit menjadi arbitrer yang mampu berdiri netral (pihak ketiga) tetapi justru menjadi bagian dari pihak yang berkonflik (pihak kedua). Keterlibatan yang paling baik dan efektif adalah apabila kehadirannya karena memang diperlukan dan berhasil membantu para pemimpin setiap pihak yang terlibat konflik untuk menemukan sendiri cara penyelesaiannya serta berhasil membangun hubungan hubungan kerjasama satu sama lain, sehingga pada akhirnya jasanya tidak diperlukan atau diinginkan lagi. Pihak ketiga memiliki power atau peranan yan sangat kuat dalam menciptakan perdamaian. Dalam skala ringan pihak ketiga, banyak memfasilitasi berbagai aktifitas yang disandarkan pada kemampuan taktik berkomunikasi. Pihak ketiga merancang pertemuan pihak-pihak yang terlibat konflik, mencoba meningkatkan kepemimpinan mereka, atau setidaknya mentransmisikan pesan diantara mereka. Dalam skala moderat, aktifitas ditekankan pada taktik formulasi dimana pihak mediator menentukan struktur agenda, mempengaruhi cara pandang baru terhadap berbagai isu yang ada dan menyediakan berbagai kemungkinan penyelesaian konflik. Dalam skala berat, pihak ketiga melakukan kontrol dimana kemampuan dalam memanipulasi taktik sangat diperlukan, jika perlu, pihak ketiga melakukan penekanan atau ancaman, sogokan atau hal lain yang mampu menekan para pelaku konflik untuk membuat kesepakatan atau kompromi. Metode Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dimana penulis menjelaskan terjadinya konflik di Kepulauan Solomon dan masuknya RAMSI sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian konflik. Data-data yang disajikan adalah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka dan literatur-literatur seperti buku, internet, dan lainlain.Teknik analisis data yang digunakan yaitu Content Analysis.

588


Hasil Penelitian Pemetaan Konflik Kepulauan Solomon Konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon pada tahun 1998 hingga 2003 dapat dijelaskan melalui konsep konflik, dimana konsep tersebut menjelaskan mengenai tipe konflik yang terjadi serta faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik. Konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon merupakan konflik internal yang terjadi intra-negara yang melibatkan penduduk asli Guadalcanal dengan penduduk pendatang Malaita. Faktor yang menyebabkan terjadinya konflik di Kepulauan Solomon adalah ekonomi sosial dimana persaingan ekonomi dirasakan oleh penduduk asli Guadalcanal dengan hadirnya pendatang Malaita yang menetap dan bekerja di Guadalcanal, terutama Honiara yang menyebabkan diskriminasi sosial tidak dapat terhindarkan. Sedangkan peran RAMSI di Kepulauan Solomon pasca konflik dapat dijelaskan melalui konsep peran pihak ketiga. Dalam konsep peran pihak ketiga hal pertama yang harus dilakukan adalah menganalisa keberadaan RAMSI dalam konflik Kepulauan Solomon. Masuknya RAMSI di Kepulauan Solomon tahun 2003 berdasarkan atas permintaan bantuan oleh Perdana Menteri kepada Australia dan kemudian disetujui Forum Pasifik Selatan. Masuknya RAMSI menandakan bahwa kehadiran pihak ketiga dalam konflik Kepulauan Solomon sangat dibutuhkan dalam membantu pemerintah Kepulauan Solomon dalam membangun negaranya pasca konflik. Konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon tahun 1998-2003 bersumber dari konflik internal yang melibatkan penduduk asli Guadalcanal dengan pendatang Malaita, dimana penduduk Guadalcanal menginginkan pendatang untuk kembali ke pulau asalnya dengan melakukan kekerasan dan pengusiran. Konflik tersebut terpusat di kota Honiara, Pulau Guadalcanal. Konflik ini melibatkan militan dari kedua belah pihak yaitu Isatabu Freedom Movement (IFM) dan Malaita Eagle Force (MEF). Pada awal tahun konflik, keberadaan kelompok militan yang mewakili penduduk asli Guadalcanal Isatabu Freedom Movement (IFM) melakukan pengusiran terhadap pendatang Malaita. Pengusiran ini dilakukan setelah sebelumya 3 penduduk asli Guadalcanal terbunuh di Honiara. IFM mengajukan tuntutan kepada pemerintah namun pemerintah menanggapi lamban hal tersebut. Pengusiran dapat dilihat sebagai sebuah reaksi kemarahan penduduk asli Guadalcanal terhadap pemerintah dan juga terhadap pendatang Malaita. Pengusiran oleh IFM menyebabkan banyak pendatang malaita yang harus meninggalkan tempat tinggalnya. Hal tersebut jika dilihat dari sudut pandang penduduk asli Guadalcanal merupakan sebuah kesuksesan besar atas apa yang diinginkan yaitu memaksa pendatang untuk kembali ke tempat asalnya. Namun di pihak Malaita hal tersebut menjadi kerugian besar karena mereka telah lama menetap dan tidak ingin menginggalkan Honiara begitu saja. Kehadiran kelompok Malaita Eagle Force (MEF) memberikan gambaran mengenai tipe konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon. Ketegangan 2 kelompok militan yang sama-sama merupakan warga negara Kepulauan Solomon menjelaskan bahwa konflik ini terjadi di dalam negara Kepulauan Solomon (intra-negara), yaitu di Pulau Guadalcanal.

589


Pemerintah Kepulauan Solomon menyadari bahwa konflik di dalam negaranya berpotensi menjadi lebih besar. Kastom Feast merupakan salah satu adat istiadat masyarakat di Kepulauan Solomon yaitu bertukar cindera mata agar terjalin hubungan baik antar masyarakat. Kastom Feast tersebut diadakan untuk menurunkan skala konflik yang terjadi antara penduduk asli Guadalcanal dengan pendatang. Namun dalam upaya pemerintah mendamaikan kedua pihak, belum terjadi kesepakatan damai. Sebagai negara dekolonisasi Inggris, Kepulauan Solomon merasa perlu meminta bantuan kepada The Commonwealth untuk membuka jalur damai bagi kedua belah pihak yang berkonflik. Upaya menghadirkan pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik sejak awal telah dilakukan oleh pemerintah Kepulauan Solomon. Perwakilan The Commonwealth kemudian menyelenggarakan Honiara Peace Accord yang berisikan himbauan untuk meninggalkan kekerasan dan pemberian kompensasi kepada keduabelah pihak yang bertikai. Namun sekali lagi upaya yang dilakukan tidak ada kesepakatan damai. Sebagai tindak lanjut dari kesepakatan damai HPA yang tidak berhasil, Panatina Agreement di selenggarakan yang mana berisikan pelucutan senjata para militan. Pelucutan senjatan militan tersebut gagal dikarenakan 3 militan IFM terbunuh oleh kepolisian. Hal tersebut menggambarkan adanya dominasi orang Malaita di instusi kepolisian dan membuat konflik semakin memuncak. Operasi gabungan MEF dan Royal Solomon Police Force (RSIPF) berhasil mengkudeta pemerintahan Bart Ulafa’alu yang dianggap tidak mampu menyediakan keamanan bagi warga negaranya, termasuk pendatang Malaita di Honiara. Selama tujuan dari masing masing kelompok militan belum tercapai, konflik masih terus berlanjut. Seperti apa yang dijelaskan Wese dan Becker mengenai konflik, orangperorangan atau kelompok berusaha untuk mencapai tujuannya dengan menentang pihak lain disertai dengan kekerasan atau ancaman. Kedua militan baik IFM maupun MEF sama-sama belum mencapai tujuannya. Dipandang dari sudut IFM, dominasi orang Malaita di institusi kepolisian menegaskan bahwa kelompok MEF berupaya memerangi IFM dengan menguasai kepolisian sehingga kontak senjata tak dapat terhindarkan dan menyebabkan 3 orang IFM terbunuh. Jika dilihat dari sudut pandang MEF, menguasai kepolisian sangat penting untuk melawan kelompok militan IFM yang terus menerus melakukan pengusiran terhadap pendatang Malaita. Konflik akan terus berlanjut juga dikarenakan kedua militan menolak melakukan gencatan senjata, seperti yang diserukan oleh Panatina Agreement. Konflik internal yang disebabkan oleh faktor ekonomi sosial ini dapat di lihat pada dikuasainya sektor penting negara oleh MEF yang membuat penduduk asli Guadalcanal merasa tidak memiliki kesempatan mendapatkan perkerjaan sehingga menyebabkan diskriminasi sosial oleh IFM terhadap MEF. Pemerintah Kepulauan Solomon sejak September 2002 telah mengirimkan permohonan bantuan kepada PBB namun mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan karena pengakuan diplomatik Kepulauan Solomon atas Republik Taiwan. Terpuruknya kondisi negara membuat Perdana Menteri Kepulauan Solomon segera mengambil tindakan mengirimkan surat kepada Australia untuk permintaan bantuan.

590


Australia dipandang sebagai kekuatan regional yang dapat membantu menyelesaikan konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon. Oleh karena Kepulauan Solomon merupakan anggota dari Forum Pasifik Selatan, maka permintaan tersebut di teruskan kepada forum. Dalam Biketawa Deklaration point 2 disepakati bahwa negara-negara forum dapat membentuk misi bantuan dan mengirimnya kepada negara yang membutuhkan bantuan. Disebutkan dalam point 2 bahwa Forum harus konstruktif dalam mengatasi masalah yang sulit dan sensitif termasuk penyebab ketegangan dan konflik. Oleh karena itu peran pihak ketiga sangat dibutuhkan dalam penyelesaian konflik di Kepulauan Solomon. Tujuan dari pihak ketiga itu sendiri adalah mengubah situasi konflik destruktif dan menurunkan tingkat eskalasinya, turut dalam upaya transformasi konflik, mengalihkan para pelaku konflik kearah penyelesaian. Pihak ketiga harus tidak terlibat didalam konflik dan bersedia membantu penyelesaian masalah melalui berbagai kesepakatan. Dalam konflik internal, negara sulit untuk menjadi arbitrer bahkan justru malah terlibat didalam konflik. Maka dari itu pemerintah Kepulauan Solomon mengirimkan permohonan bantuan kepada Australia dan disetujui Forum Pasifik Selatan sebagai misi bantuan regional yang di sebut Regional Assistance Mission To The Solomon Islands (RAMSI). Peran RAMSI di Kepulauan Solomon Kehadiran RAMSI pasca konflik di Kepulauan Solomon berdasarkan atas permintaan Pemerintah Kepulauan Solomon yang bertujuan untuk memberikan bantuan terhadap negara dalam satu kawasan yang telah mengalami keterpurukan akibat ketegangan yang terjadi antara 2 kelompok yaitu Isatabu Freedom Movement dan Malaita Eagle Force. Mengacu kepada Facilitation Of International Assistance Act tahun 2003 No. 1 yang menyebutkan bahwa tujuan umum dari operasi tersebut adalah untuk memastikan keamanan dan keselamatan orang serta properti, menjaga ketersediaan layanan yang penting bagi masyarakat, mencegah kekerasan, intimidasi dan kejahatan, menjaga hukum dan ketertiban, mendukung dan mengembangkan institusi pemerintahan, serta tanggap bencana. RAMSI merupakan bentuk intervensi non militer dimana intervenor dalam hal ini RAMSI tidak menggunakan kekuatan militernya dalam intervensi konflik atau penyelesaian konflik. RAMSI lebih menggunakan cara damai seperti negosiasi, mediasi, diplomasi, ataupun cara lainnya. RAMSI merupakan organisasi regional bentukan Forum Pasifik Selatan yang terbentuk atas kesepakatan para pemimpin dalam forum tersebut. Kesimpulan Konflik di Kepulauan Solomon merupakan konflik internal negara Kepulauan Solomon. Konflik ini terjadi di ibukota Honiara yang terletak di Pulau Guadalcanal dari kurun tahun 1998 hingga 2003. Pemicu utama konflik ini adalah faktor ekonomi sosial yaitu masalah kesempatan dalam memperoleh kesejahteraan yang menyebabkan diskriminasi sosial, yaitu pengusiran. Meningkatnya konflik menyebabkan keikutsertaan pemerintah Kepulauan Solomon dalam hal ini Royal Solomon Police Force untuk melucuti senjata militan dan kontak senjata tidak dapat

591


terhindarkan. Aktor-aktor yang terlibat dalam konflik ini adalah Isatabu Freedom Movement dan Malaita Eagle Force. Untuk membantu penyelesaian konflik di Kepulauan Solomon dibutuhkan pihak ketiga yang bersifat netral. Pihak ketiga tersebut adalah Regional Assistance Mission To The Solomon Islands (RAMSI). Peran RAMSI di Kepulauan Solomon pasca konflik adalah membantu pemerintah untuk mengatasi kerusuhan, pelanggaran hukum, ekonomi yang terpuruk, serta pelayanan publik yang buruk. Hal tersebut tertuang didalam 3 Pilar Program Pengembangan Sipil RAMSI yaitu hukum dan ketertiban, mesin pemerintahan dan tata kelola ekonomi. 3 pilar tersebut telah berjalan dengan baik namun tidak dapat menjamin kesejahteraan masyarakat Kepulauan Solomon. Sebagaimana diketahui bahwa Kepulauan Solomon adalah negara berkembang dengan kondisi perekonomian yang dapat memicu konflik ekonomi sosial terjadi kembali. Saran Permintaan bantuan oleh pemerintah Kepulauan Solomon kepada Australia yang kemudian menyetujui dikirimnya bantuan regional RAMSI di Kepulauan Solomon. Namun minimnya keterampilan berbahasa pidgin Solomon menjadikan personil RAMSI sulit untuk berkomunikasi langsung dengan masyarakat disekitar. Hal tersebut dapat menghambat kinerja RAMSI dalam bekerjasama dengan masyarakat maupun pemerintah Kepulauan Solomon. Di sisi lain, peran yang dijalankan RAMSI sebagai pihak ketiga yang membantu Kepulauan Solomon membangun negaranya pasca konflik tidak serta merta menjamin kesejahteraan ekonomi sosial di masyarakat Kepulauan Solomon khususnya di Honiara. Oleh karena itu, RAMSI harus berupaya untuk terus membantu Kepulauan Solomon dalam membangun perekonomian serta institusi penting negara. Kondisi perekonomian Kepulauan Solomon menyebabkan setiap masyarakat berupaya untuk memenuhi kebutuhan mereka. Konflik yang terjadi di Kepulauan Solomon menjadikan hal tersebut semakin terpuruk. Dengan keberadaan RAMSI di Kepulauan Solomon diharapkan dapat membangun perekonomian agar tercipta masyarakat yang sejahtera, sehingga gesekan yang disebabkan oleh faktor ekonomi sosial tidak mudah terjadi. Serta memperbaiki kondisi Kepulauan Solomon pasca konflik yang terjadi. Daftar Pustaka Braithwaite John, Sinclair Dinnen, Matthew Allen, Valerie Braithwaite, Hilary Charlesworth, Pillars and Shadow, Statebuilding as peacebuilding in Solomon Island, ANU E Press, 2010 Crocker Chester A., Fen Osler Hampson, Pamela Aall. Turbulent Peace: The Challenges Of Managing International Conflict, United States Institute Of Peace Press, Washington DC, 2001

592


Fisher, Ronald J., Interactive Conflict Resolution, Syracuse University Press, Newyork, 1997 Touval Saadia, Zartman William, International Mediation in The Post-Cold War Era, United States Institute Of Peace Press, Washington, 2001 Hamid Zulkifli, Sistem Politik Pasifik Selatan, Pustaka Jaya, 1996 Soekanto Soerdjono, Sosio;ogi, Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, 2002 George, Tim, Submission by Regional Assistance Mission to Solomon Islands, Foreign Relations Committee, 2008 Jones, Howard Jenny, Australia Costly Investment in Solomon Islands: The Lesson of RAMSI, LOWY Institute For International Policy, 2014

Sumber Lain : Australia-Oceania: Solomon Islands dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/bp.html . diakses pada tanggal 15 September 2014 Guadalcanal Revolutionary Army dalam http://www.trackingterrorism.org/group/guadalcanal-revolutionary-armygra?ip_login_no_cache=ae9122007b6d08c0b8a375a61abeb015 diakses pada tanggal 10 Februari 2014. Malaita Eagle Force – Isatabu Freedom Movement dalam https://www.fas.org/irp/world/para/solomons.htm diakses pada tanggal 9 Februari 2014 Malaita Eagle Force-Isatabu Freedom Movement dalam http://www.globalsecurity.org/military/world/para/solomons.htm diakses pada tanggal 24 September 2014 Solomon Islands dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Solomon_Islands. diakses pada tanggal 5 Februari 2014 Contemporary Conflict Resolution dalam http://www.polity.co.uk/ccr/contents/chapters/1.pdf diakses pada tanggal 29 Juni 2016 Conflict, Conflict Prevention, Conflict Management and Beyond dalam http://www.silkroadstudies.org/new/docs/concept_paper_ConfPrev.pdf diakses pada tanggal 29 Juni 2016

593


Understanding Conflict and Conflict Management dalam http://www.foundationcoalition.org/publications/brochures/conflict.pdf diakses pada tanggal 29 Juni 2016 What is RAMSI dalam http://www.ramsi.org/about/what-is-ramsi.html diakses pada tanggal 11 Februari 2014 Regional Intervention In Solomon Island dalam http://www.paclii.org/journals/fJSPL/vol09no1/4.shtml diakses pada tanggal 10 Agustus 2015

594

PERAN RAMSI (REGIONAL ASSISTANCE MISSION TO THE SOLOMON ISLANDS) DI KEPULAUAN SOLOMON PASCA KONFLIK

Recommend Documents