PERAN PERS DAN MEDIA TERHADAP PEMBENTUKAN OPINI PUBLIK DALAM RUANG SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA
Makalah Diajukan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Pengantar Jurnalisme Semester Ganjil Tahun 2009
Oleh: Nama : Fauzan Al-Rasyid Kelas : Pengantar Jurnalisme NPM : 0806346060
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI PROGRAM STUDI JURNALISME PROGRAM PENDIDIKAN S1 REGULER 2009
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Berbicara mengenai komunikasi berarti berbicara mengenai media. Media kini sudah menjadi bagian dari hidup manusia yang sudah tidak dapat terpisahkan. Sejak kecil, seorang anak sudah dikenalkan dengan media sebagai bentuk sosialisasi. Setiap hari dan setiap saat kitas selalu berhubungan dengan media. Salah satu bentuk media yang paling dekat dengan hidup masyarakat adalah media massa. Media massa, sesuai namanya, dapat diartikan sebagai media penghubung atau media komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Masyarakat memperoleh segala macam pengetahuan mengenai berita dan informasi yang terjadi setiap hari melalui berbagai jenis media, baik cetak maupun elektronik, yang dibuat oleh para jurnalis. Sebagi pers, jurnalis sangat berperan penting dalam menentukan isi media. Isi media sangat berpengaruh pada sikap dan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu bentuk nyata dari pengaruh media terhadap masyarakat adalah munculnya pendapat umum atau opini publik di tengah masyarakat. Opini publik yang muncul akibat dari pemberitaan kasus atau isu-isu tertentu di media massa menggiring khalayak dalam bersikap dan berpikir. Pada akhirnya, dari pers, media, dan publik yang kemudian membentuk suatu opini publik terhadap suatu hal akan menghasilkan sebuah lingkaran sistem komunikasi yang menunujukkan bahwa setiap unsur dalam sistem tersebut saling terkait satu sama lain dan suatu hal yang dihasilkan oleh salah satu unsur akan menyebabkan adanya tanggapan atau feedback dari unsur yang lain. Sebagai contoh, salah satu isu yang sempat menjadi berita hangat di tanah air dan menggiring opini publik adalah berita perseteruan antara KPK dengan Polri yang sangat jelas memberi berdampak luar biasa bagi masyarakat. Hal ini bukan saja karena melibatkan dua institusi yang seharusnya memberikan contoh penegakan hukum, tetapi juga karena kasus ini sudah mengarah pada gengsi antar lembaga. Polisi merasa gengsi dan harus membela diri karena (merasa) dipojokkan, sementara itu KPK bisa menjadi besar kepala karena merasa didukung oleh semua elemen masyarakat. Namun, perseteruan ini masih menyisakan persoalan karena semakin membuat rumit opini yang berkembang di masyarakat. Pihak kepolisian membela diri, sementara KPK juga tidak jauh berbeda. Masyarakat yang tidak
kritis tentu akan menerima begitu saja berita-berita yang berasal dari media massa. Akibatnya maka muncullah opini publik di tengah masyarakat mengenai Polri dan KPK. Ketika masyarakat ternyata lebih berpihak pada KPK maka media pun semakin mengagendakan bahwa masyarakat memang harus mendukung KPK, dengan kata lain, media menggiring opini publik agar opini tersebut semakin kuat. Selain itu, sebagai suatu sistem komunikasi, antara pers dengan media dan keterkaitan keduanya terhadap timbulnya opini publik, keduanya sudah seharusnya berkewajiban dalam memberikan informasi dan berita yang bertanggung jawab, khususnya bila berita tersebut memang dimaksudkan untuk menggiring opini publik maka baik pers maupun media harus benar-benar obyektif dalam membuat pemberitaan dan tanpa adanya bias sedikit pun. Karena terkadang dengan adanya bias tertentu membuat berita menjadi tidak obyektif dan bila diberikan kepada masyarakat yang kurang kritis dalam menanggapi berita maka akan berita tersebut akan dianggap sebagai sesuatu yang benar sesuai dengan kacamata media dan pers yang menulis berita. Saat ini pembahasan mengenai opini publik menjadi semakin menarik karena melibatkan banyak unsur dan elemen, serta berbagai macam faktor yang mendukung. Seperti halnya kasus “Cicak vs. Buaya” yang kemudian berhasil membawa opini publik untuk mendukung KPK, di Indonesia, peran pers dan media sangat mempengaruhi arah pandang masyarakat terhadap suatu isu atau kasus tertentu. Oleh karena itu, berdasarkan uraian hal-hal tersebut, penulis membuat sebuah pengamatan kepada masalah ini, yaitu pengaruh yang dihasilkan oleh media terhadap munculnya opini publik dengan harapan dapat menambah pengetahuan mengenai seluk-beluk pers dan media baik untuk diri penulis sendiri maupun untuk orang banyak. Oleh karena itu, penulis memberi judul makalah ini “Peran Pers dan Media Terhadap Pembentukan Opini Publik dalam Ruang Sistem Komunikasi Indonesia”.
1.2. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah dengan judul “Peran Pers dan Media Terhadap Pembentukan Opini Publik dalam Ruang Sistem Komunikasi Indonesia” ini adalah untuk mengulas lebih dalam mengenai pengaruh yang dihasilkan oleh pers dan media massa terhadap pembentukan opini publik atau pendapat umum di tengah masyarakat di lihat dalam ruang lingkup sistem komunikasi Indonesia, serta untuk memenuhi Ujian Akhir Semester
(UAS) mata kuliah Pengantar Jurnalisme Semester Ganjil tahun 2009, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
1.3. Rumusan Masalah Dalam makalah ini, penulis ingin mengetahui hal-hal berikut: 1. Bagaimana kaitan antara pers dan media dalam sebuah sistem komunikasi? 2. Apakah yang dimaksud dengan sistem pers? 3. Bagaimana hubungan antara kebebasan pers dan pelaksanaan HAM? 4. Apa sesungguhnya makna opini publik? 5. Bagaimana pers dan media dapat mempengaruhi terciptanya opini publik? 6. Faktor apa saja yang dapat menyebabkan munculnya opini publik? 7. Bagaimana tahapan-tahapan terjadinya opini publik di tengah masyarakat?
1.4. Metodologi Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan. Dengan demikian data yang diperoleh berasal dari berbagai sumber bacaan, baik dari referensi media cetak maupun media online, yang merupakan bahan acuan utama dalam penulisan.
1.5. Sistematika Penulisan Makalah ini dirangkai menjadi tiga bab. Secara umum bab-bab tersebut tersusun dalam pokok-pokok bahasan sebagai berikut: I.
BAB I: Pendahuluan I.1. Latar belakang
I.2. Tujuan Penulisan I.3. Rumusan Masalah I.4. Metodologi I.5. II.
Sistematika Penulisan
BAB II: Pembahasan 2.1
Peran Pers dan Media dalam Sistem Komunikasi Indonesia
2.2
Sistem Pers
2.3. Kebebasan Pers Sebagai Perwujudan Pelaksanaan HAM 2.4. Pengertian dan Perkembangan Opini Publik dalam Masyarakat III.
BAB III: Penutup 3.1. Kesimpulan 3.2. Saran
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Peran Pers dan Media dalam Sistem Komunikasi Indonesia Di awal subbab pembahasan ini penulis akan menjelaskan mengenai keterkaitan antara pers dan media dalam sistem komunikasi Indonesia. Namun, sebelum membahas peran pers dan media tentunya kita harus mengenal definisi atau penegertian dari sistem komunikasi Indonesia. Pertama, membahas mengenai sistem komunikasi Indonesia sudah pasti berbicara mengenai sistem. Ada banyak definisi mengenai sistem. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa sistem adalah seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Definisi lainnya mengenai sistem disebutkan oleh Tatang M. Amirin (1996), yaitu sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa tujuan dan hal ini dilakukan dengan cara mengolah data dan/atau barang (benda) di dalam jangka waktu tertentu guna menghasilkan informasi dan/atau energi dan/atau barang (benda). Dengan demikian, jika dikaitkan dengan komunikasi maka sistem komunikasi bisa didefinisikan sebagai sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan, menuangkan ide, gagasan simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi. Menurut Nurudin (2005), jika definisi tersebut dijadikan alat untuk mengamati dunia surat kabar, misalnya, bisa diartikan sebagai sekumpulan orang, alat, mesin, fasilitas yang bekerja mengolah suatu berita/informasi lain dengan mengolahnya menjadi lembaranlembaran tulisan guna memproduksi informasi yang telah direncanakan pada saat para langganan memerlukannya. Dengan demikian jika diringkas, dalam sebuah definisi sistem komunikasi paling tidak atau minimal selalu ada: 1. Sekumpulan unsur (wartawan, karyawan, komputer, mesin, barang, buku, kertas, dan fasilitas lain).
2. Tujuan sistem (menyebarkan informasi pada khalayak, membentuk citra postif dalam humas dan persuasi). 3. Wujud hasil kegiatan atau proses sistem selama jangka waktu tertentu (media cetak., penerbitan intern, press release). 4. Pengolahan data dan/atau energi dan/atau bahan (bahan berita berupa 5W1H, bagaimana diolah menjadi berita straight news atau depth news, kolom, tajuk rencana, artikel, fact finding, dan lain-lain). Dengan melihat definisi dan contoh di atas, sesuatu disebut sistem apabila memiliki ciri-ciri paling tidak sebagai berikut: 1. Adanya interdependensi, artinya komponen-komponen itu saling berkaitan, berinteraksi, dan berinterdependensi secara keseluruhan. Tidak bekerjanya suatu unsur akan mempengaruhi kinerja unsur-unsur yang lain. 2. Keluaran (output) dari suatu sistem sesuai dan konsisten dengan tujuan yang sudah direncanakan. 3. Eksistensi kesatuan (totalitas) suatu sistem dipengaruhi oleh komponen-komponennya, sebaliknya eksistensi masing-masing komponen itu dipengaruhi oleh kesatuannya. 4. Sebagai suatu kesatuan yang mempunyai masukan (input) dan keluaran (output) atau tujuan tertentu. Dari definisi dan penjelasan di atas diketahui bahwa satu hal yang menjadi ciri dan sekaligus penting dalam sebuah sistem adalah adanya interdependensi, output yang sesuai dengan tujuan, adanya kesatuan antarunsur, serta adanya input dan output yang jelas. Dalam kaitannya dengan pers dan media, tentu kita dapat melihat keterkaitan ini. Pers dan media merupakan salah satu contoh bentuk sistem komunikasi. Baik pers maupun media, keduanya saling berkaitan satu sama lain, saling berinterdepensi. Artinya, pers tidak akan eksis tanpa bantuan media dan begitu juga dengan media yang tidak akan hidup tanpa adanya pers. Keduanya pun memiliki tujuan yang jelas dalam menghasilkan output-nya. Pers yang dianggap sebagai pilar keempat demokrasi bertujuan dan bertugas untuk mencari dan memberitakan kebenaran (telling the truth) sesuai dengan prinsip dan etika jurnalisme, sedangkan media bertugas sebagai sarana atau medium untuk menyampaikan apa yang diberitakan oleh pers kepada khalayak. Media dan jurnalisme harus objektif dalam segala hal,
tetapi objektivitas bukanlah tujuan. Objektivitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi karena itulah sosok nilai kebenaran yang diharapkan. Sebagai dua unsur yang saling terkait dalam sistem komunikasi, pers dan media memiliki tanggung jawab besar kepada publik untuk menyiarkan berita sesuai dengan etika dan nilai-nilai kebenaran. Hal ini dikarenakan segala hal yang diberitakan oleh pers lewat media akan menimbulkan pendapat umum di tengah masyarakat. Pendapat umum yang terus berkembang dan semakin menjadi isu inilah yang kemudian disebut sebagai opini publik. Opini publik yang berkembang dalam masyarakat merupakan hasil penafsiran masyarakat terhadap berita atau isu yang diangkat di media yang bersumber dari pers. Opini publik ini bisa menjadi sesuatu yang positif, tetapi bisa juga menjadi sesuatu yang negatif. Namun, sebelum membahas lebih lanjut mengenai opini publik, penulis akan menjelaskan mengenai sistem pers dan keterkaitannya dengan kebebasan pers sebagai wujud pelaksanaan HAM.
2.2. Sistem Pers Sistem pers adalah subsistem dari sistem komunikasi. Sistem ini mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan sistem lainnya, misalnya sistem informasi manajemen dan sistem dalam komunikasi organisasi. Unsur yang paling penting dalam sistem pers adalah media massa, baik cetak maupun elektronik. Media massa menjalankan fungsi untuk mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat, termasuk dalam hal membentuk opini publik. Melalui media, masyarakat dapat menyetujui dan menolak kebijakan pemerintah. Lewat media pula berbagai inovasi atau pembaruan bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Marshall Mc Luhan menyebutkan bahwa media sebagai the extension of man (media adalah ekstensi manusia). Dengan kata lain, media adalah perpanjangan dan perluasan dari kemampuan jasmani dan rohani manusia (F. Rafhmadi, 1990). Berbagai keinginan, aspirasi, pendapat, sikap perasaan manusia bisa disebarluaskan melalu pers. Sosialiasai kebijakan tentang kenaikan atau penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) atau kenaikan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang perlu diketahui secara cepat oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan dengan komunikasi tatap muka. Pemerintah cukup melakukan press release ke media atau mengundang wartawan untuk jumpa pers. Dalam waktu singkat injformasi itu akan tersebar luas ke tengah masyarakat.
Mengutip pendapat Wilbur Schramm (1973), tidak bisa dipungkiri bagi masyarakat, pers bisa dianggap sebagai pengamat, forum, dan guru (watcher, forum, and teacher). Artinya, setiap hari pers memberikan laporan, ulasan mengenai kejadian, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat dari segala generasi. Dengan kata lain, pers mengamati kejadian dan melaporkannya kepada masyarakat, menjadi tempat “diskusi” (mengeluarkan ide atau gagasan dan menanggapinya) serta kemampuan mendidik masyarakat ke arah kemajuan (pers memberikan ilmu pengetahuan serta mengarahkan masyarakat pada pembaruan). Kemudian, pers juga memiliki dua sisi kedudukan. Pertama, pers sebagai medium komunikasi yang tertua dibandingkan dengan medium yang lain. Kedua, pers sebagai lembaga kemasyarakatan atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat dan bukan merupakan unsur asing atau terpisah (F. Rachmadi, 1990).
2.3. Kebebasan Pers Sebagai Perwujudan Pelaksanaan HAM Jika kita berbicara tentang kebebasan pers maka berarti secara implisit kita juga berbicara tentang hak asasi manusia (HAM). Alasannya karena kebebasan pers berawal dari kebebasan komunikasi antarmanusia (human communication). Komunikasi menuntut kebebasan karenan manusia tidak dapat hidup tanpa komunikasi (one cannot not communicate). Paling sedikit, kebutuhan komunikasi sama dengan kebutuhan manusia untuk makan, minum, dan berlindung dari udara dingin, panas, dan hujan.
Oleh karena itu,
berkomunikasi adalah HAM, sama halnya seperti menjalani hidup (to live) bagi manusia adalah HAM. Hak untuk berkomunikasi sama dengan hak untuk hidup. Kebebasan mencari dan mendapatkan informasi merupakan HAM pula sebab informasi adalah bagian integral dari komunikasi antarmanusia. Keberadaan pers dalam komunikasi antarmanusia (tahun 1445) merupakan fenomena kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Dengan menggunakan pers jangkauan komunikasi (penyampaian pesan) menjadi luas, jauh, mencapai banyak orang (penerima pesan) dan pesan menjadi lebih diterima masyarakat karena dilakukan secara tertulis (tercetak) sehingga lebih jelas. Keberadaan pers pun meningkatkan kemampuan manusia untuk berkomunikasi. Ketika pers hadir dalam kehidupan manusia hak asasi komunikasi pun melebar kepada saluran komunikasi massa. Kebebasan komunikasi itu pun mengikuti tahap-tahap
kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Pada akhirnya saat ini kebebasan komunikasi sebagai hak asasi manusia telah memasuki dunia maya informasi yang disebut cybercommunication. Akibatnya pun sangat dramatis. Rambu-rambu lama seketika menjadi benda kuno (archaid) dan hampir tidak berguna lagi (futile) menurut sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Asian Institute of Development Communication (AIDCOM) di Kuala Lumpur bulan November 1997 yang dipandu oleh A. Muis penulis buku “Indonesia di Era Dunia Maya: Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas”. Namun, kebebasan berkomunikasi tidak berlaku mutlak. Hal ini dikarenakan semua orang memiliki hak untuk bebas berkomunikasi demi kelanjutan hidupnya.
Dengan
demikian, kebebasan berkomunikasi dibatasi oleh kebebasan komunikasi pula. Karena pers adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi antara manusia maka kebebasan pers pun harus tunduk pada rambu-rambu hukum dan etika, tetapi pembatasan yuridis itu tidak boleh bersifat pencekalan terhadap kebebasan pemberitaan (pre-public penalty), seperti sensor, pembredelan, SIT, SIUPP, dan sejenisnya karena hal itu berarti melanggar HAM.
2.4. Pengertian dan Perkembangan Opini Publik dalam Masyarakat Sebelum membahas lebih dalam mengenai opini publik, penulis akan membasa mengenai definisi opini publik terlebih dahulu. Dari berbagai referensi mengenai opini publik, ternyata banyaknya definisi mengenai opini publik sebanyak jumlah penulis tentang opini publik itu sendiri. Kata opini publik terdiri atas dua unsur, yaitu kata opini dan publik. Secara sederhana, opini adalah pendapat, gagasan, atau ide yang dikemukan manusia atas suatu kejadian atau peristiwa yang dia lihat atau ketahui, sedangkan pengertian publik secara umum adalah sekelompok individu dalam jumlah besar, sedangkan dari beberapa pakar dapat diperoleh beberapa pengertian sebagai berikut: 1. Publik adalah sejumlah orang yang bersatu dalam satu ikatan dan mempunyai pendirian sama terhadap suatu permasalahan sosial (Emery Bogardus). 2. Publik adalah sekelompok orang yang (1) dihadapkan pada suatu permasalahan, (2) berbagi pendapat mengenai cara pemecahan persoalan tersebut, (3) terlibat dalam diskusi mengenai persoalan itu (Herbert Blumer).
Kemudian ketika kata opini dan publik disatukan membentuk istilah opini publik, pada dasarnya bermakna sebagai opini yang berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa. Menurut Machiavelli yang pertama kali menggunakan istilah opini publik atau disebut juga sebagai pendapat umum, dalam buku Discourses, dia menyatakan bahwa orang yang bijaksana tidak akan mengabaikan pendapat umum mengenai soal-soal tertentu, seperti pendistribusian jabatan dan kenaikan pangkat. Namun, seperti kebanyakan penulis, ia kemudian menganggap bahwa istilah tersebut sudah cukup dikenal dan dimengerti sehingga tidak perlu didefinisikan. Kemudian pendapat selanjutnya mengenai pendapat umum atau opini publik diutarakan oleh James Madison. James Madison menulis bahwa pendapat umum atau opini publik adalah kedaulatan yang nyata (real sovereign) dalam setiap negara merdeka, bukan karena pimpinannya dapat mengetahui atau mengikuti setiap mayoritas, tetapi karena pendapat massa menetapkan batasan yang tak dapat dilampaui para pembuat kebijakan (policymakers) yang bertanggung jawab. Madison juga segera melihat bahwa partai politik yang longgar dan bersifat terpusat dapat menghimpun – “mengagregasikan” – berbagai pendapat dan karenanya memberikan sarana utama untuk menjaga agar para pemimpin tetap dalam batas yang dapat diterima publik. Namun, studi modern tentang pendapat umum kemungkinan telah dimulai sejak diterbitkannya Public Opinion and Popular Government karya A. Lawrence Loweel tahun 1919 dan Public Opinion karya Walter Lippman pada tahun 1922. Para penulis tahun 1920an dan 1930-an, dengan mengandalkan konsep-konsep dan bahan-bahan yang baru diorganisasi yang dikemukakan oleh para psikolog dan sosiolog, telah mengembangkan cukup banyak teori dan hipotesis. Kuliah pendapat umum diberikan di berbagai universitas di Amerika oleh para ilmuwan politik, sosiolog, psikolog social, dan para wartawan. Kemudian pendapat pakar lainnya, Leonard W. Doob dalam buku Public Opinion and Propaganda menyebutkan bahwa pendapat umum mengacu pada sikap rakyat tentang suatu isu jika mereka adalah anggota dari kelompok sosial yang sama. David Truman menyatakan, pendapat umum terdiri atas pendapat sekelompok individu yang bersama-sama membentuk masyarakat yang sedang mereka diskusikan. Hal itu tidak mencakup semua pendapat individu, tetapi hanya yang berhubungan dengan isu atau keadaan yanga menentukan mereka sebagai suatu masyarakat. Dengan demikian, berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat ditarik suatu pemahaman umum bahwa opini publik adalah kompleks
preferensi yang dinyatakan sejumlah orang tertentu mengenai isu yang menyangkut kepentingan umum (Bernard Hennessy, 1981). Kini perkembangan opini publik yang cukup relevan jika dikaitkan dengan problematika di Indonesia saat ini adalah mengenai kasus “Cicak vs. Buaya” yang sempat menarik perhatian masyarakat luas. Perseteruan antara Kapolri, dengan Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah yang diberitakan di berbagai media massa akhirnya membentuk opini publik di tengah masyarakat. Berbagai rentetan peristiwa antara “Cicak vs. Buaya” yang cukup kompleks kemudian diberitakan secara luas dan menyeluruh oleh media massa (cetak dan elektronik). Rentetan peristiwa itu kemudian diikuti oleh opini-opini yang dibangun berdasarkan fakta-fakta yang berasal dari opini narasumber. Ketika kemudian opini-opini tersebut diberitakan oleh media massa dan pengaruhnya juga sampai ke pembaca, penonton atau pendengarnya maka inilah yang disebut dengan public opinion (opini publik). Opini publik ini menjadi opini yang berkembang karena pengaruh pemberitaan dari media massa, meskipun ada juga opini publik yang bisa dibangun bukan dari media massa, tapi media massa mempunyai kekuatan untuk memperkuat dan mempercepat tersebarnya sebuah opini. Dalam hal ini opini publik bisa disebabkan oleh dua hal, direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Opini publik yang direncanakan dikemukakan karena memang ada sebuah rencana tertentu yang disebarkan media massa agar menjadi opini publik. Ia mempunyai organisasi, kinerja dan target yang jelas. Misalnya, opini yang sengaja dibuat oleh elite politik tertentu bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Ide ini dikemukakan di media massa secara gencar dengan perencanaan matang. Sementara itu, opini publik yang tidak direncanakan muncul dengan sendirinya tanpa rekayasa. Media hanya sekadar memuat sebuah peristiwa yang terjadi, kemudian diperbincangkan di tengah masyarakat. Dalam posisi ini, media massa hanya mengagendakan sebuah peristiwa dan memberitakannya. Peristiwa atau kasus yang dibahas di media kemudian menjadi pembicaraan publik karena publik menganggap isu itu penting untuk diperbincangkan. Karena menjadi pembicaraan di masyarakat, media massa kemudian memberi penekanan tertentu atas sebuah isu dan akhirnya ia pun menjadi opini publik. Melihat apa yang terjadi dengan kasus “Cicak vs. Buaya” sehingga menghasilkan dukungan yang besar dari publik kepada KPK, dapat kita lihat bahwa efek dari opini publik yang merupakan pengaruh dari media massa sangat luar biasa. Namun, sesungguhnya proses
terjadinya opini publik bukanlah suatu proses yang singkat. Kemunculan opini publik di tengah masyarakat melalui berbagai proses yang tidak mudah. Ferdinand Tonnies (Nurudin, 2001: 56 – 57) dalam bukunya Die Offentlichen Meinung pernah mengungkapkan bahwa opini publik terbentuk melalui tiga tahapan; pertama, die luftartigen position. Pada tahap ini, opini publik masih semerawut seperti angin ribut. Masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya berdasarkan pengetahuan, kepentingan, pengalaman dan faktor lain untuk mendukung opini yang diciptakannya. Kedua, die fleissigen position. Pada tahap ini, opini publik sudah menunjukkan ke arah pembicaraan lebih jelas dan bisa dianggap bahwa pendapat-pendapat tersebut mulai mengumpul ke arah tertentu secara jelas. Artinya, sudah mengarah, mana opini mayoritas yang akan mendominasi dan mana opini minoritas yang akan tenggelam. Ketiga, die festigen position. Pada tahap ketiga ini, opini publik telah menunjukkan bahwa pembicaraan dan diskusi telah mantap dan suatu pendapat telah terbentuk dan siap untuk dinyatakan. Dengan kata lain, siap untuk diyakini kebenarannya setelah melalui perdebatan dan perbedaan pendapat yang tajam sebelumnya. Kemudian, setelah suatu opini publik tercipta di tengah masyarakat tentu menghasilkan efek tertentu bagi masyarakat tersebut. Di era reformasi saat ini atau dapat dikatakan sebagai era serba “kebebasan”, setiap orang menuntut segala macam kebebasan yang bisa didapat. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi pun terkadang tanpa disadari berlaku menuntut segala kebebasan, dalam hal ini adalah kebebasan mendapatkan informasi dan menyebarkan informasi. Setelah mendapatkan berita, pers kemudian meletakkan segala macam informasi yang didapat di dalam media. Media kemudian disebarkan dan dikonsumsi oleh publik. Akhirnya segala hal yang ada di media mengatur segala bentuk pandangan dan pemikiran publik mengenai suatu persistiwa atau kasus tertentu. Media pun secara tidak disadari memberitakan hal-hal seperti apa yang memang diinginkan oleh publik. Sebagai perumpamaan, dalam dunia pemasaran (marketing), Seth Godin dalam bukunya yang berjudul All Marketers Are Liars mengatakan bahwa fungsi marketers adalah menceritakan apa yang sebenarnya ingin didengar oleh konsumen, dan bukan sebaliknya, yaitu mempersuasi konsumennya seperti yang selama ini dibayangkan. Begitu pula dengan pembentukan opini publik. Pembentukan opini publik melalui media di dalam banyak hal juga tidak jauh berbeda. Media memang mendidik masyarakat, tetapi lebih banyak diarahkan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri.
BAB III PENUTUP
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab pembahasan, pada bab ini penulis ingin menyampaikan beberapa kesimpulan. Selain itu, untuk lebih menyempurnakan makalah ini, penulis juga ingin menyampaikan beberapa saran.
3.1. Kesimpulan Sebagai dua unsur elemen yang saling terkait dalam sistem komunikasi, pers dan media memiliki tanggung jawab besar kepada publik untuk menyiarkan berita sesuai dengan etika dan nilai-nilai kebenaran. Walaupun komunikasi adalah salah satu bentuk HAM, kebebasan berkomunikasi tidak berlaku mutlak. Hal ini dikarenakan semua orang memiliki hak untuk bebas berkomunikasi demi kelanjutan hidupnya. Oleh karena itu, kebebasan berkomunikasi dibatasi oleh kebebasan komunikasi pula. Karena pers adalah bagian yang tak terpisahkan dari komunikasi antara manusia maka kebebasan pers pun harus tunduk pada rambu-rambu hukum dan etika. Jika sebuh media meng-expose suatu berita atau kasus tertentu secara terus-menerus dan berkelanjutan, dari berita tersebut dapat muncul suatu opini publik di tengah masyarakat. Opini publik atau pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat merupakan hasil penafsiran masyarakat terhadap berita atau isu yang diangkat oleh media yang bersumber dari pers. Opini publik ini bisa berupa sesuatu yang positif, tetapi bisa juga berupa sesuatu yang negatif. Opini publik ini pun bisa disebabkan oleh dua hal, yang yang direncanakan (planned opinion) dan tidak direncanakan (unplanned opinion). Namun, pembentukan opini publik melalui media pada dasarnya lebih banyak diarahkan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri.
3.2. Saran
1. Pers dan media harus tetap menjalankan prinsip-prinsip dan etika jurnalisme dalam membuat dan menyebarkan berita. Tidak boleh berat sebelah dalam pembuatan berita (tidak obyektif) karena segala hal yang diberitakan di media dapat membentuk opini publik terhadap isu atau kasus tertentu. 2. Kebebasan pers sebaiknya tidak menjadi alasan terhadap pembuatan dan penyebaran berita yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah jurnalisme. 3. Sebagai salah satu pilar demokrasi, pers seharusnya dapat mengendalikan opini publik yang tercipta di tengah masyarakat dan menggiring opini tersebut ke sebuah pemecahan atau solusi dari sebuah kasus atau isu yang dibahas. 4. Masyarakat harus tetap kritis dalam membaca dan menanggapi segala berita yang dimuat di media. Masyarakat sebaiknya tidak langsung menerima begitu saja apa yang ditulis oleh media karena ada selalu ada kemungkinan bahwa berita yang dimuat tidak obyektif. 5. Masyarakat sebaiknya tidak hanya terpaku pada satu jenis media tertentu, tapi harus melihat pada media lain sebagai bahan perbandingan terhadap keakuratan isi suatu media dalam membuat berita.
DAFTAR PUSTAKA
Gamble, Michael and Teri Kwal Gamble. 2005. Communication Works. New York: McGraw-Hill Education. Hennessy, Bernard. 1981. Public Opinion, terj. Amiruddin Nasution. Jakarta: Erlangga. Muis, A. 2001. Indonesia di Era Dunia Maya: Teknologi Informasi dalam Dunia Tanpa Batas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Nurudin. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Ruben, Brent D. and Lea P. Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. USA: Allyn and Bacon. West, Richard and Lynn H. Turner. 2007. Introducing Communication Theory Analysis and Application. New York: McGraw-Hill Education.
http://netsains.com/2007/10/seberapa-banyak-kita-harus-percaya-pada-opini-publik/ http://pbhmi.org/opini-publik-sebagai-hukuman-sosial/ http://ppsdms.org/peran-strategis-media-dalam-pembentukan-opini-publik.htm http://sarlito.hyperphp.com/articles/psychological-and-physical-disorders/pengaruh-opinipublik-terhadap-teori-diagnosis-dan-terapi-gangguan-jiwa.html http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/sosial-politik/1439-mengarahkan-opinipublik.html http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=206741&actmenu=35