PERAN PEREMPUAN DI SEKTOR PERTANIAN (Studi Perempuan Petani Tebu Kec. Sragi Pekalongan) Tim PSG STAIN Pekalongan
Abstract: One important problem faced by women workers in agriculture is as much as 60% of them do not get paid. In addition, if paid, 40% of the women with the status as a laborer, received a lower income than men who become farm laborers. This study examines the problems faced by women in one of the main areas of development of agriculture, especially regarding the quality, role and position them. Objective is to get a view of the quality, role and position in the agricultural peremuan; shape, pattern and process of marginalization of women in agriculture and; strategies women do in managing the business or employment in this pertanianPenelitian using qualitative-descriptive approach with a gender perspective. The data collection methods with the study documentation, in-depth interviews with the subjects chosen by purposive sampling, focus group discussions (focus group discussion) and Observasiaan mereka.Teknik Data Analysis with descriptive-qualitative techniques that are equipped with the Gender Analysis Pathway (GAP). Kata Kunci: Perempuan, Marginalisasi dan Pertanian
PENDAHULUAN Pada hakikatnya pembangunan bertujuan mewujudkan masyarakat (laki-laki dan perempuan) adil dan sejahtera. Namun pada kenyataannya, pembangunan belum memberi manfaat secara adil kepada perempuan dan laki-laki. Pembangunan yang semula dianggap “netral” dan akan memberi efek manfaat yang sama kepada semua warga, ternyata memberi kontribusi terhadap timbulnya ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender. Data tentang peringkat Gender-related Development Index (GDI) atau Indeks Pembangunan terkait Gender dan Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia pada tahun 2002 memberi petunjuk adanya masalah ketimpangan gender. Seperti diketahui, prestasi keseluruhan perempuan dalam pembangunan manusia dapat dipantau melalui GDI. Indeks ini mengurangi setiap komponen HDI dalam proporsi sejauh mana ada ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Jika tidak ada ketimpangan, GDI akan sama nilainya dengan HDI. Pada tahun 2002 nilai HDI Indonesia sebesar 65,8 sementara nilai GDI 59,2. Lebih rendahnya nilai GDI dari HDI ini memberi indikasi masih adanya ketidaksetaraan gender di masyarakat. Lebih jauh lagi, jika dilakukan perbandingan angka HDI dan GDI antara beberapa kabupaten di Indonesia, diketahui bahwa kabupaten-kabupaten yang berada dalam posisi memimpin, nilai GDI mereka sangat dekat dengan nilai HDI yang mereka capai. Karena itu dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender di suatu daerah memberi kontribusi positif pada peningkatan kesejahteraan sosial di daerah tersebut (lihat BPS, BAPPENAS, UNDP, Ekonomi dari demokrasi: Membiayai Pembangunan Manusia Indonesia, 2004). Ukuran lain yang dapat menunjukkan tingkat keberhasilan pembangunan pemberdayaan perempuan adalah Gender Empowerment Measure (GEM) yang menitikberatkan pada partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan. Nilai GEM Indonesia pada tahun 2002 adalah 54,6 yaitu ranking ke 33 dari 71 negara yang diukur.
Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Tim PSG STAIN Pekalongan)
215
Analisis dari masing-masing komponen HDI dan GDI menunjukkan beberapa hal pokok di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Data Susenas 2003 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (11,56 persen berbanding 5,43 persen). Penduduk perempuan yang buta huruf sekitar 12,28 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84 persen. Rata-rata lamanya sekolah pada perempuan adalah 6,5 tahun sedangkan pada laki-laki adalah 7,6 tahun. Dari aspek kesehatan, Angka Harapan Hidup perempuan memang lebih tinggi, akan tetapi pada sisi lain, angka kematian ibu hamil dan melahirkan (AKI) masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, prevalensi anemia pada ibu hamil masih lebih dari 50%. Berdasarkan Susenas 2003, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah yaitu 44,81 persen, dibandingkan dengan laki-laki (76,12 persen). Di bidang politik, meskipun Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, namun hasil Pemilu 2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu keterwakilan perempuan di DPR hanya 11,6 persen dan di DPD hanya 19,8 persen (data Komisi Pemilihan Umum). Pada tahun 2003, rendahnya keterlibatan perempuan dalam jabatan publik juga dapat dilihat dari rendahnya persentase perempuan PNS yang menjabat sebagai Eselon I, II dan III yang hanya 12 persen. Walaupun HDI merupakan ukuran kualitas sumber daya manusia, kualitas hidup perempuan juga ditentukan oleh ada tidaknya masalah lain yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi HDI. Tindak kekerasan terhadap perempuan masih tinggi, walaupun belum ada angka-angka yang tepat tentang hal ini. Laporan dari beberapa lembaga yang menangani korban tindak kekerasan menunjukkan adanya kenaikan jumlah kasus, yang juga menunjukkan semakin terungkapnya tindak kekerasan di masyarakat. Diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang ada dalam perbedaan upah para pekerja dengan tingkat pendidikan yang sama dan pembedaan pemberian jaminan sosial atau tunjangan. Masalah lain yang dihadapi adalah maraknya perdagangan perempuan dan anak serta masalah eksploitasi termasuk pornografi dan pornoaksi. Selain itu masalah perempuan di daerah konflik dan bencana, penduduk usia lanjut dan penyandang cacat serta remaja memerlukan perhatian dan hak-hak azasi mereka harus dilindungi. Permasalahan rendahnya kualitas hidup perempuan menyebabkan laki-laki dan perempuan memiliki pengalaman kemiskinan yang berbeda. Dampak yang diakibatkann oleh kemiskinan terhadap kehidupan laki-laki juga berbeda dari perempuan. Angka yang menjadi basis bagi pengambilan keputusan, penyusunan program dan pembuatan kebijakan, tidak mampu mengungkap dinamika kehidupan menjadi netral gender dan menimbulkan kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan. Penelitian ini mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh kaum perempuan di salahsatu bidang pembangunan yaitu bidang pertanian, khususnya menyangkut kualitas, peran dan posisi mereka. Pertanian, sebagaimana halnya, bidang perekonomian lainnya merupakan ranah publik yang mengalami proses ketidakadilan gender. Meskipun demikian di bidang pertanian terdapat kekhususan masalah. Hal ini karena adanya perubahan yang cukup drastis yang dibawa oleh Revolusi Hijau mulai tahun 1960-an. Sebelum periode tersebut, kedudukan dan posisi laki-laki dan perempuan kurang lebih setara baik menyangkut kedudukan, peran, serta hak dan kewajibannya. Namun diperkenalkannya penggunaan teknologi maju di bidang pertanian memunculkannya terjadi diversifikasi kerja yang cukup tajam antara laki-laki dan perempuan yang kemudian memicu timbulnya perubahan kedudukan, peran, serta hak dan kewajibannya. Perubahan inilah yang justru menimbulkan kesenjangan antara laki-laki dan peremuan. Beban kerja perempuan boleh dikata hanya sedikit lebih ringan daripada laki-laki namun akses dan haknya jauh berada dibawah laki-laki. Kajian yang dilakukan mengenai kualitas, peran dan posisi perempuan dalam pertanian sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, namun saat ini belum ada kajian yang secara cukup komprehensif mengkhususkan diri pada pertanian, khususnya petani tebu di Kabupaten Pekalongan. Wilayah tersebut perlu mendapatkan perhatian tersendiri mengingat karakteristik wilayah yang memang berciri khas 216
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
pertanian. Permasalahan yang dihadapi oleh perempuan yang bekerja subsektor pertanian tersebut memiliki spesifikasi permasalahan masing-masing yang terkait dengan bentuk, proses dan pola marjinalisasi. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan secara kualitatif-deskriptif. Hal ini dimaksudkan agar dapat diketahui gambaran secara spesifik tentang keberadaan perempuan di sektor pertanian yang spesifik sesuai dengan jenis komoditasnya yaitu tebu. Keberadaan perempuan disini meliputi kualitas, peran dan posisi mereka, marjinalisasi yang terjadi serta strategi dalam mengelola usaha atau pekerjaan mereka masing-masing. Secara lebih spesifik, penelitian kualitatif-deskriptif ini akan menggunakan model studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (fenomena) didalam konteks kehidupan nyata yang pada akhirnya mampu memberikan gambaran secara detail dan mendalam tentang latar belakang,sifatsifat serta karakter-karakter dari yang khas dari kasus,ataupun status dari individu (Yin,2005). Dalam konteks penelitian metode kasus yang dipergunakan untuk mengungkap relasi aktor yang yang berbasis gender tidaklah cukup karena pada umumnya metode penelitian ini masih bias gender. Oleh karena itu harus mengintegrasikan perspektif gender dalam studi kasus. Sehingga realitas perempuan (keberadaan, pengalaman,dan kebutuhannya) dengan laki-laki akan dapat dilihat (Harding, 1987). A. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa metode : 1. Studi dokumentasi yaitu dengan melakukan telaah atas sejumlah pustaka yang relevan dengan penelitian terutama yang mengandung tema perempuan dalam pertanian. Hasil telaah ini digunakan untuk melihat latar belakang penelitian secara umum dan konseptual agar mendapatkan gambaran yang utuh dari permasalahan penelitian serta membantu proses analisis dari hasil-hasil penelitian. 2. Wawancara mendalam dengan subyek yang dipilih secara bertujuan (purposive sampling). Berdasarkan pertimbangan metodologis, orang untuk diwawancarai. Kriteria untuk masing-masing informan adalah perempuan yang bekerja di sektor pertanian dengan jenis komoditi sayur, gula aren, bawang dan tebu. Selain itu mereka mengetahui secara relatif terperinci tentang permasalahannya. Beberapa informan tersebut juga setidaknya menjadi anggota perhimpunan atau perkumpulan di subsektor pertanian dimana ia menjalankan pekerjaan. 3. Diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan para pemangku kepentingan (multistakeholders). Yang dimaksud dengan para pemangku kepentingan disini adalah perempuanpetani baik yang memiliki lahan ataupun tidak serta perwakilan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan dinas-dinas pemerintahan yang terkait (pertanian, koperasi, industri kecil dan menengah, perdagangan). 4. Observasi atau pengamatan dimana yang menjadi fokusnya adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perempuan dalam mengelola usaha atau pekerjaan mereka. Selain itu akan diamati pula kemungkinan terjadinya marjinalisasi ketika mereka sedang menjalankan usaha atau pekerjaan mereka. B. Teknik Analisis Data Data-data penelitian akan dianalisis dengan teknik deskriptif-kualitatif yang dilengkapi dengan Gender Analysis Pathway (GAP). GAP adalah salah satu alat analisis gender yang dapat digunakan untuk membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan dan atau perencanaan program pembangunan. Dengan menggunakan GAP, para perencana kebijakan Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Tim PSG STAIN Pekalongan)
217
dapat mengidentifikasi kesenjangan gender dan permasalahan gender serta sekaligus menyusun rencana kebijakan yang ditujukan untuk memperkecil atau menghapus kesenjangan gender tersebut. HASIL PENELITIAN A. Letak Geografis Kabupaten Pekalongan Kabupaten Pekalongan merupakan salah satu dari 35 Kabupaten/Kota diPropinsi Jawa Tengah, yang berada di daerah Pantura bagian barat sepanjang pantai utara Laut Jawa memanjang ke selatan dengan Kota Kajen sebagai Ibu Kota pusat pemerintahan. Secara geografis kabupaten ini terletak diantara: 60 - 70 23’ Lintang Selatan dan antara 1090 - 1090 78’ Bujur Timur yang berbatasan dengan Kota Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah Timur, Laut Jawa dan Kota Pekalongan di sebelah Utara, Kabupaten Banjarnegara di sebelah Selatan, dan Kabupaten Pemalang di sebelah Barat. Luas Wilayah Kabupaten Pekalongan + 836,13 km2 atau 2,59% dari luas Propinsi Jawa Tengah, secara geografis terbagi atas 19 Kecamatan yang terbagi lagi dalam 13 Kelurahan, 270 Desa, 1.209 Dusun, 1.497 RW dan 4.289 RT yang seluruhnya merupakan desa Swasembada (www.pekalongankab.go.id). Sedangkan menurut topografi terdapat 64 desa, 20% diantaranya merupakan desa dataran tinggi atau pegunungan yang berada di wilayah bagian selatan ada 4 kecamatan yang merupakan daerah lereng pegunungan Dieng yaitu antara lain Kecamatan Petungkriyono, Paninggaran, Lebakbarang dan Kandangserang. Adapun jumlah desa yang berada di Kecamatan Petungkriyono sebanyak 19 desa, Paninggaran sebanyak 15 desa, Lebakbarang sebanyak 11 desa Kandangserang sebanyak 12 desa, Kecamatan Paninggaran sebanyak 15 desa dan ada di 4 kecamatan lainnya yang sebagian desanya merupakan pegunungan seperti Kecamatan, Talun sebanyak 4 desa, Kecamatan Doro sebanyak 6 desa, Kecamatan Karanganyar sebanyak 2 desa dan Kecamatan Kajen sebanyak 5 desa serta sebanyak 80% atau 219 desa/kelurahan yang berada di 11 kecamatan merupakan wilayah dataran rendah. Untuk mengefektifkan dan pemerataan pembangnan, maka Kabupaten Pekalongan dibagi menjadi tiga Sub Wilayah Pembangunan (SWP) yaitu: SWP I dengan pusat Kota Kajen yang meliputi : Kecamatan Kajen, Karanganyar, Kesesi, Lebakbarang,Kandangserang dan Paninggaran. Potensi yang perlu dikembangkan adalah sektor pembangunan jasa, pertanian, pariwisata dan sosial budaya (pendidikan). SWP II dengan pusat Kota Kedungwuni meliputi Kecamatan Kedungwuni,Doro,Buaran,Petungkriyono, Talun dan Wonopringgo. Potensi yang perlu dikembangkan adalah sektor pengembangan pertanian, industri dan sosial budaya (pendidikan). SWP III dengan pusat Kota Wiradesa meliputi Kecamatan Wiradesa, Tirto, Sragi dan Bojong. Potensi yang perlu dikembangkan adalah sektor perdagangan, industri, pertanian dan perikanan. 1.
Keadaan Penduduk Kabupaten Pekalongan. Jumlah penduduk di Kabupaten Pekalongan tercatat dalam tahun 2007 mencapai 899.242 jiwa, dengan perbandingan yang relatif sama antara laki-laki (452.991 jiwa) dan perempuan (446.251jiwa). a. Jumlah penduduk Kabupaten Pekalongan menurut Kecamatan dan jenis kelamin pada bulan Desember tahun 2007.
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 218
Kecamatan Kandangserang Paninggaran Lebakbarang Petngkriyono Talun Doro Karanganyar Kajen
Laki-laki 16.359 19.689 5.418 6.049 13.847 20.772 20.803 32.987
Perempuan 16.525 19.238 5.169 5.842 15.646 20.135 20.498 32.889
Jumlah 32.884 38.927 10.587 11.891 29.493 40.907 41.301 65.876
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
j Kesesi Sragi Siwalan Bojong Wonopringgo Kedungwuni Karangdadap Buaran Tirto Wiradesa Wonokerto Total
35.680 32.131 23.323 35.512 21.559 45.469 17.538 21.636 33.750 28.224 22.245 452.991
35.275 32.033 23.339 34.598 19.939 44.539 17.340 21.407 31.962 28.071 21.000 446.251
70.955 64.164 46.662 70.110 41.498 90.008 34.878 43.043 65.712 56.295 14.951 899.242
Dari daftar di atas, Kecamatan Sragi, yang dijadikan untuk pemilihan seting penelitian di Kabupaten ini, berpenduduk sebanyak 64.164 jiwa dan termasuk urutan yang kedua dalam angka jumlah penduduk yang bekerja dalam lapangan usaha pertanian (sebanyak 14.530 jiwa) setelah kecamatan Kesesi (sebanyak 16.551 jiwa). b.
Keadaan penduduk dari segi tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan penduduk kabupaten Pekalongan secara umum terbilang cukup tinggi, sebab dari penduduk total berdasar jenis kelamin yaitu laki-laki 452.991 jiwa dan perempuan 446.251 jiwa. Yang mengenyam pendidikan (baik yang hanya lulus SD, sampai lulusan dari Perguruan tinggi) adalah sebanyak 409.500 jiwa penduduk laki-laki dan 406.670 jiwa penduduk perempuan. Namun yang mendominasi adalah hanya pada lulusan SD (laki-laki = 176.560 jiwa, dan perempuan= 197.413) sedang yang lulusan perguruan tinggi atau yang bergelar sarjana hanya berkisar 2.304 laki-lki dan 1.235 perempuan. Khusus untuk penduduk Sragi perbedaan lulusan perguruan tinggi antara laki-laki dan perempuan sangat mencolok, dimana jumlah laki-laki yang berhasil menjadi sarjana adalah 89 jiwa, sedang jumlah perempuannya hanya separohnya yaitu 49 jiwa. Kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi belum bisa terwujud, karena masih ada anggapan tradisional yang mengatakan “nggo opo bocah wadok sekolah duwurduwur, mengko yo bakale nang pawon”. “Buat apa perempuan sekolah tinggi, nanti ujung-ujungnya juga hanya di dapur saja”. Pendpat yang seperti itulah sepertinya belum bisa hilang sama sekali, hanya tekikis sedikit demi sedikit, dan lebih banyak masih melekat pada pemikiran penduduk setempat.
c.
Keadaan penduduk dari segi ekonomi. Sebagian besar penduduk Kabupaten Pekalongan bekerja sebagai petani, pedagang, dan pekerja di industri garmen, dengan UMR tahun 2007 sebesar Rp 565.000. Industri garmen dan tekstil, perdagangan serta jasa masih menempati posisi teratas dalam menyumbang PDRB, yakni 31,55%, 20,70%, dan 13,89%. Ini membuktikan bahwa sektor pertanian dan perdagangan menjadi andalan utama pemasukan bagi Kabupaten Pekalongan. (http:// www.suaramerdeka.com/harian/0706/26/eko04.htm)
Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Tim PSG STAIN Pekalongan)
219
d.
Gambaran sekilas pertanian tebu
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Kecamatan Kandangserang Paninggaran Lebakbarang Petngkriyono Talun Doro Karanganyar Kajen Kesesi Sragi Siwalan Bojong Wonopringgo Kedungwuni Karangdadap Buaran Tirto Wiradesa Wonokerto Total
Luas area (Ha) 95,86 80,36 174,38 360,75 336,52 541,13 35,49 233,50 239,55 80,14 276,92 92,61 70,25 152,62 2.770,09
Dari tabel terlihat bahwa dalam sektor pertanian tebu kecamatan Sragi lebih mendominasi banding kecamatan-kecamatan lain. Hal inilah yang mendorong dilaksanakannya penelitian ini di Kecamatan Sragi. B. Perempuan Petani Tebu di Kabupaten Pekalongan Petani identik dengan laki-laki, namun pada kenyataannya perempuan juga banyak terlibat dalam penggarapan lahan-lahan baik persawahan maupun perkebunan. Salah satu contohnya adalah di kecamatan Sragi Kabupaten Pekalongan para perempuan banyak terlibat dalam penggarapan kebun tebu milik PTP Nusantara IX - Pesero Pg Sragi. Dari proses produksi banyak kegiatan yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Bertani tebu dan menjadi buruh harian di perkebunan tebu di kecamatan Sragi merupakan hal yang sudah wajar dan umum, karena mayoritas penduduknya berprofesi sebagai penggarap perkebunan rakyat tersebut. Hal ini juga didukung oleh luas wilayah perkebunan yang ada di sragi. Di kabupaten Pekalongan tanaman tebu terluas berada di kecamatan sragi dengan luas area mencapai 541,13 ha atau 19,53%. Komoditas perkebunan merupakan salah satu sumber devisa sektor pertanian. Komoditi tebu di Kabupaten Pekalongan merupakan sektor pertanian yang digolongkan dalam bidang perkebunan. Perkebunan dibagi menjadi perkebunan besar dan perkebunan rakyat, tebu di kabupaten pekalongan merupakan salah satu komoditi yang dihasilkan dari perkebunan rakyat. (Kabupaten Pekalongan dalam Angka 2007, hal 119). Adapun informan di Kabupaten Pekalongan ini adalah :
No 1. 2. 3. 4. 220
Nama Rasimi Darsinah Rejeh Idin
P/L P P L L
Usia 50 48 46 42
Pendidikan Tdk tamat Tdk tamat Tdk tamat Tdk tamat
Jumlah anak Penghasilan (per hari) 10 ribu per hari 10 ribu per hari 12 ribu per hari 12 ribu per hari MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
5. 6. 7. 8. 9. 10.
1.
Mak Sri’ah Warsiyah Wasmi Rayem Taryumi Darsimi
P P P P P P
50 45 45 43 40 20
Tdk tamat Tdk tamat Tdk tamat SD kls 5 Tdk tamat Tdk tamat
4 2 3 3
p 10 ribu per hari 10 ribu per hari 10 ribu per hari 10 ribu per hari 10 ribu per hari 10 ribu per hari
Kegiatan dalam Pekerjaan Petani Tebu Secara umum, proses produksi gula di kecamatan Sragi dibagi menjadi 2, yaitu di perkebunan dan di pabrik. Dalam penelitian ini karena tema utamanya adalah perempuan dalam pertanian, proses yang dijadikan kajian adalah yang ada di perkebunan, sebab pengelolaan yang lebih banyak melibatkan perempuan adalah pada saat di perkebunan. Meskipun demikian masih ada beberapa kegiatan di perkebunan yang harus melibatkan laki-laki. Untuk lebih jelasnya, tabel di bawah ini membantu kita menganalisa proses produksi dari awal sampai akhir di perkebunan tebu berdasar gender. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis Pekerjaan
Dikerjakan oleh Laki-laki Gali got Laki Mbedeng Laki Nggarpu Perempuan Lalahan Perempuan Nanem Perempuan Mupuk I Mbumbun I (Ngerut), Mbumbun II (Wali Bisa laki-laki, bisa perempuan Geger), & Mbumbun III ( Gombeng) Perempuan Mupuk II Perempuan Ngarug (arug doo & Arug Lepas)
Secara berurutan proses pekerjaan di perkebunan bisa dijelaskan sebagai berikut: a. Gali got adalah menyiapkan lahan sehingga siap untuk ditanami b. Mbedeng adalah membuat petak-petak tanah c. Nggarpu adalah membuat garis-garis dalam petak tanah sebagai jalur penanaman d. Lalahan adalah pemberian tanah tambahan untuk menaruh bibit pada tanah bedengan. e. Nanem yaitu menanam bibit batang tebu f. Mupuk I merupakan pemberian pupuk tahap petama pada tanaman g. Mbumbun merupakan kegiatan menutup tunas yang muncul dengan tanah. Ada tiga tahap yang pertama dinamakan ngerut, yang kedua adalah walik geger, yang yang ketiga adalah nggombeng. h. Mupuk II merupakan kegiatan memberikan pupuk yang kedua kalinya pada tanaman setelah di bumboni. i. Ngarug berarti menambahkan tanah pada sela-sela pohon satu dengan yang lain. Ada 2 tahap yaitu arug doro (dilakukan setelah pemupukan kira-kira 6 bulan sebelum panen) dan arug lepas (dilakukan menjelang panen), kadang proses arug lepas ini tidak dilakukan (dilewati) dan langsung pada proses ngletek (melepas pelepah kering). Proses tersebut di atas secara terus menerus digarap sampai memakan waktu 6 bulan. Setelah proses tersebut di atas dilaksanakan maka tinggal menunggu masa panen, dimana peggarapannya dilakukan oleh laki-laki (yaitu ngletek dan nebang), yang kemudian proses pengolahan di pabrik. Dari tabel di atas juga bisa dilihat bahwa pelibatan perempuan dalam pertanian tebu khususnya pada saat di perkebunan sangat besar. Namun stereotipe yang tetap ada adalah petani yang pokok adalah laki-laki, sedang perempuan hanya sekedar membantu pekerjaan laki-laki. Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Tim PSG STAIN Pekalongan)
221
Dari tabel di depan, kita bisa melihat adanya perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, meskipun dengan lamanya waktu pekerjaan sama yaitu jam 06.00 sampai jam 11.00, upah yang perempuan terima lebih kecil daripada laki-laki. Hal ini karena menurut mereka beban kerja lakilaki lebih berat. Dan bagi mereka perempuan tidak menganggap perbedaan ini sebagai diskriminasi, karena mereka anggap sebagai kewajaran. Angka GDI (Gender Development Index) di Kabupaten Pekalongan sangatlah rendah, menempati peringkat ke-4 dari bawah dari jumlah propinsi di jawa Tengah. 0 Kota Surakarta Kab. Semarang Kota Salatiga Kota Magelang Sukoharjo Temanggung Kota Semarang karanganyar Demak Kudus Klaten Kab. Magelang Jawa Tengah Boyolali Sragen Wonogiri Blora Kendal Banyumas Purworejo Pemalang Kota Pekalongan Pati Kota Tegal Kab Tegal Purbalingga Batang Cilacap Banjarnegara Jepara Kebumen PKL Kab Grobogan Wonosobo Brebes
10
20
30
40
50
60
70
80
74.1 71.5 71.1 70.7 68.7 69.3 68.5 67.5 66.6 65.9 64.9 64.7 63.7 63.3 63.2 63.2 62.9 62.7 62.1 61 60.5 59.6 59.6 59.3 58.8 58.5 57.6 56.1 55.2 54.9 53.9 52.6 52.4 52.3 50.2
Sumber: KPP & BPS, Pembangunan Manusia Berbasis Gender 2007
Rendahnya angka GDI ini terbukti dengan salah satu contohnya yaitu perempuan petani tebu di Pekalongan, yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih rendah di banding laki-laki. Akses untuk mendapatkan informasi pun sangat sedikit sehingga muncul kondisi yang tidak adil ketika para petani tebu laki-laki, terutama yang hanya menjadi mandor saja yang punya perkumpulan atau sebuah organisasi. Kebanyakan dari mereka berprofesi pada satu pekerjaan, yaitu petani penggarap tebu. Hanya sebagian kecil yang terkadang mencari sambilan yaitu “meret pari” (menuai padi), pada saat masa tunggu tebang, karena tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan untuk menangani tebu. Dari pada menganggur, maka mereka (contoh: Rayem, dan Warmi) mencari kegiatan lain ke juragan lain agar tetap bisa memperoleh penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sebagian besar dari mereka atau bahkan hampir semuanya tidak menginginkan anak turunya menggeluti profesi yang sama. Oleh karena itu demi peningkatan kondisi sosial ekonomi, mereka lebih menyarankan anak-anak mereka merantau ke Jakarta, atau bekerja di sektor yang dipandang lebih menjanjikan yaitu industri pakaian (menjahit di pengusaha konveksi misalnya). Dalam kegiatan di rumah tangga, ketimpangan gender masih sangat terasa. Hal tersebut terlihat dari kesempatan untuk mengajukan pendapat yang dapat dikatakan hampir tidak ada, karena dominasi laki-laki dalam rumah tangga masih sangat kental. Kesempatan perempuan menduduki peran publik juga terbatas yang terlihat dari tidak adanya dari mereka yang menjadi mandor perempuan.
222
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010
PENUTUP A. Simpulan 1. Dalam realitas proses produksi, pelibatan perempuan dalam pertanian tebu khususnya pada saat di perkebunan sangat besar. Namun stereotipe yang tetap ada adalah petani yang pokok adalah lakilaki, sedang perempuan hanya sekedar membantu pekerjaan laki-laki. 2. Perempuan petani tebu di Pekalongan, yang mempunyai tingkat pendidikan yang lebih rendah di banding laki-laki. Akses untuk mendapatkan informasi pun sangat sedikit sehingga muncul kondisi yang tidak adil ketika para petani tebu laki-laki, terutama yang hanya menjadi mandor saja yang punya perkumpulan atau sebuah organisasi. 3. Perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, meskipun dengan lamanya waktu pekerjaan sama yaitu jam 06.00 sampai jam 11.00, upah yang perempuan terima lebih kecil daripada laki-laki. Hal ini karena menurut mereka beban kerja laki-laki lebih berat. B. Saran 1. Kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada peningkatan sensitivitas gender sebaiknya disebarluaskan kepada seluruh kalangan masyarakat termasuk kepada masyarakat perdesaan mengingat ketidakadilan gender yang terjadi pada kaum perempuan di ranah pertanian salahsatunya berakar pada kurangnya sensitivitas gender pada masyarakat perdesaan, baik laki-laki maupun perempuan. Tentu saja cara-cara untuk melakukan hal itu hendaknya disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat. 2. Pemerintah kabupaten sebaiknya memberikan perhatian khusus kepada kaum perempuan yang bekerja di sektor pertanian karena penelitian ini memperlihatkan betapa besarnya sumbangan kaum perempuan dalam proses-proses produksi yang ada di berbagai komoditas pertanian. Perhatian khusus tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian akses permodalan kepada perempuanpetani yang memiliki dan/atau mengelola usaha pertaniannya masing-masing. Sedangkan perhatian dalam bentuk pemberian ketrampilan melalui berbagai macam pelatihan dapat diberikan baik kepada perempuan yang berstatus petani atau pemilik/pengelola lahan/usaha pertanian maupun yang berstatus buruh tani atau petani yang tidak memiliki lahan atau memiliki lahan tetapi sempit. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Statistik dan Analisa Gender Kabupaten Pekalongan Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. UMM Press, Malang Ismi Dwi Astuti Nurhaini, 2009, Teknik Analisis Gender, UNS Press, Surakarta.
Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Tim PSG STAIN Pekalongan)
223
224
MUWÂZÂH , Vol. 2, No. 1, Juli 2010