HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi NIM I34100132
iv
v
ABSTRAK FIKA FATIA QANDHI Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta. Di bawah bimbingan SATYAWAN SUNITO Gerakan petani tidak pernah luput dari peran dan keterlibatan perempuan di dalamnya. Perempuan tidak hanya berperan di bidang domestik, namun peran perempuan juga dirasakan sebagai pendorong dan penyokong gerakan petani. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo, serta menganalisis hubungannya dengan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk pesisir. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei. Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah acak sederhana dengan jumlah responden sebanyak 30 orang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan terlibat secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan lingkup lokal, dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Kata kunci: Gerakan petani, Peran gender, Peran perempuan
ABSTRACT FIKA FATIA QANDHI The Relationship between Women Role in Livelihood System with Their Role in The Movement of Sand Land Farmer of Kulon Progo Yogyakarta. Under the guidance of SATYAWAN SUNITO The farmer movement never occur without women role in the movement. Women not only play domestic role, but also as a booster and advocate in the farmer movement. The purpose of this study is to analyze the role of women in the movement of Kulon Progo farmer, as well as to analyze the relationship between women role in livelihood system of coastal society. The study was conducted using research survey method. The sampling method used in this study is simple random sampling with 30 correspondences. This study uses a quantitative approach and qualitative approach. The results shows that women consciously involved in the movement, but in general the division of labor in the movement still follow the traditional gender. Women are actively involved in the local fight, where the actions were spontaneous, without any plan and every member of the society had the chance to participate. Key Words: Farmer movement, Gender role, Women role
vi
HUBUNGAN PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK DENGAN PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO YOGYAKARTA
FIKA FATIA QANDHI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
viii
ix
Judul Skripsi
Nama NIM
: Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta : Fika Fatia Qandhi : I34100132
Disetujui oleh
Dr Satyawan Sunito Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________
x
xi
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Hubungan Peran Perempuan dalam Sistem Penghidupan Penduduk dengan Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Yogyakarta dengan baik. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini mengangkat tema peran perempuan dengan lokasi penelitian di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr Satyawan Sunito selaku pembimbing skripsi. Penulis juga menyampaikan hormat dan terima kasih kepada orang tua tersayang, Ayahanda Saiful Fikri dan Ibunda Elidawati serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, bantuan, dan doa untuk penulis. Selain itu, penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan untuk Keluarga Besar Mas Warsito, Mas Widodo, Mbak Isyanti, Keluarga Besar Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, dan seluruh responden serta masyarakat pesisir Kulon Progo. Kemudian penulis ucapkan terima kasih kepada Mas Eko dan Muhammad Ichsan yang membantu penulis dalam proses penelitian ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh keluarga besar SKPM terutama kepada para dosen, staf, dan seluruh civitas akademik Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah memberikan ilmu dan bantuan untuk penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat SKPM 47 sebagai keluarga kedua yang telah memberikan banyak dukungan dan semangat. Kemudian terima kasih juga penulis sampaikan kepada para sahabat Fida, Arin, Chakim, Aktiandari dan Idah, atas dukungannya. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi dalam kehidupan penulis yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa FEMA IPB, serta seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat
Bogor, Oktober 2014
Fika Fatia Qandhi
xii
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Gerakan Petani Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani Bentuk-bentuk Peran Perempuan Peran Gender Analisis Gender Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengambilan Informan dan Responden Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data PROFIL DESA BUGEL Kondisi Geografis Kondisi Sosial Budaya Kondisi Pertanian Lahan Pasir Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Ikhtisar PENDAPAT PEREMPUAN TENTANG KONFLIK DI KULON PROGO DAN GERAKAN PETANI KULON PROGO Pendapat Perempuan tentang Konflik di Kulon Progo Pendapat Perempuan tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Ikhtisar PERAN PEREMPUAN DALAM SISTEM PENGHIDUPAN PENDUDUK Peran Gender Peran Reproduktif Peran Produktif Peran Sosial (Masyarakat) Akses dan Kontrol Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya
xv xvi xvi 1 1 3 4 4 5 5 5 6 9 12 14 15 17 19 19 25 25 25 26 27 27 29 29 29 31 35 39 41 41 43 49 51 51 52 53 57 58 58 60
xiv
Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja 61 Akses dan Kontrol terhadap Manfaat 62 Ikhtisar 62 PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR 65 KULON PROGO Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Petani 65 Akses dan Kontrol Perempuan terhadap Gerakan Petani 74 Faktor-faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan dalam 78 Gerakan Petani Ikhtisar 80 PENUTUP 83 Simpulan 83 DAFTAR PUSTAKA 85 LAMPIRAN 87 RIWAYAT HIDUP 111
xv
DAFTAR TABEL Tabel Tabel Tabel
1 2 3
Tabel
4
Tabel
5
Tabel
6
Tabel
7
Tabel
8
Tabel
9
Tabel
10
Tabel
11
Tabel
12
Tabel
13
Tabel
14
Tabel
15
Tabel
16
Klasifikasi peran gender Tabel kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel,2014 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada pertanian komoditas cabai keriting, 2014 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada pertanian komoditas melon, 2014 Pembagian peran produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada sektor perdagangan dan peternakan, 2014 Pembagian peran sosial laki-laki dan perempuan Desa Bugel, 2014 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap sumberdaya fisik/material, 2014 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap sumberdaya sosial-budaya, 2014 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, 2014 Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap manfaat, 2014 Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Desa Bugel, 2014 Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014 Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan dengan tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014 Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014 Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014
15 46 53 54 55 56 57 60 61 62 62 70 72 74
75 76
xvi
DAFTAR GAMBAR Gambar
1
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
2 3 4 5 6
Gambar Gambar
7 8
Gambar Gambar Gambar Gambar
9 10 11 12
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Kerangka penelitian peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir kulon progo Peta Desa Bugel Salah satu ladang cabe keriting di Desa Bugel Salah satu contoh tanaman cabe keriting di Kulon Progo Kegiatan konvoi Ulang Tahun PPLP tahun 2014 Salah satu kegiatan Fundrising PPLP yakni penyablonan baju Wawancara dengan petani Kulon Progo Masyarakat pesisir saat memeriahkan Ulang Tahun PPLP tahun 2014 Hasil lukisan bertema perlawanan petani oleh seniman Wawancara dengan petani Kulon Progo Perempuan Desa Bugel ketika menyiangi tanaman Aksi solidaritas petani Kulon Progo di Titik 0 KM, Jogjakarta Perempuan memetik cabe keriting ketika panen raya Kegiatan panen raya di Garongan Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Kegiatan Ulang Tahun PPLP tahun 2014 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Aksi demontrasi Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Kegiatan diskusi petani Kulon Progo di Bandung Kegiatan menonton film perjuangan petani Trisik
18 89 106 106 106 106 106 106 107 107 107 107 107 107 108 108 108 108 108 108 109 109 109 109 109 109
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran Lampiran
1 2 3 4 5 6
Peta Desa Bugel Jadwal kegiatan penelitian Kerangka responden Kuesioner penelitian Panduan pertanyaan wawancara mendalam Dokumentasi penelitian
89 90 91 96 105 106
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang kehidupannya masih tergantung pada sektor pertanian, maka pemilikan dan penguasaan lahan merupakan faktor penting. Dilema yang dihadapi tentang peruntukan lahan pada sektor pertanian seringkali bersaing dengan sektor lain seperti industri, pemukiman, dan perdagangan. Dilihat dari segi aspek hukum, hak memiliki dan menguasai pada umumnya melekat pada tiga jenis subyek hukum yaitu masyarakat, negara atau pemerintah, dan perusahaan swasta. Fauzi (1999) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan politik agraria yang dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat, diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan, dan agroindustri. Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes agraria. Terdapat sejumlah konflik utama yang muncul: Pertama, pemerintah mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi tercapai-terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan. Aksi protes terhadap penindasan dan penaklukan petani ini mempunyai ciri khas, yakni: protes dilakukan oleh sejumlah petani korban, dengan didampingi oleh Organisasi Non Pemerintah (Ornop) tertentu; protes disalurkan pada parlemen dan pemerintah; isu protes bersifat kausitis; dan media massa dipercaya akan membantu penyelesain masalah. Kondisi inilah yang membuat petani melakukan perlawanan-perlawanan. Perlawanan-perlawanan tersebut diwujudkan dalam sebuah gerakan, yang sering digaungkan dengan gerakan petani. Henry A. Landsberger dan Yu. G. Alexandrov dalam Landsberger (1984) mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu termarjinalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik. Wolf dalam Landsberger (1984) mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam, termasuk proses penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. Hal ini jelas memperlihatkan bahwa petani adalah individu yang mandiri, berhak
2
menentukan apa yang terbaik bagi hidup mereka, berhak mengambil keputusan, dan berhak memperjuangkan yang menjadi hak-hak mereka. Di dalam pergerakan petani, jarang sekali digambarkan secara terperinci bagaimana peran perempuan. Padahal keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Rasa kepemilikan atas lahan yang melekat pada perempuan tidak dapat memungkiri keterlibatan perempuan dalam setiap gerakan petani. Kodrat perempuan sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan pekerja pemeliharaan sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan. Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik, mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sektor produksi. Hampir secara universal, berlaku batas-batas sosial dan politik atas laki-laki dan perempuan yang disebabkan berlakunya perbedaan peran gender (Wahyuni 2007). Salah satu contoh kasus yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah gerakan petani lahan pasir yang berada di Kulon Progo. Saouki, dkk (2010) menyatakan bahwa di Kulon Progo, terjadi konflik perebutan penguasaan lahan pantai yang mengandung bijih besi, antara Raja, yakni pihak Kraton Yogyakarta, Paku Alaman, dan masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak Kerajaan ingin membuka pertambangan pasir besi di lahan ini. Bermula dari rencana proyek besar penambangan pasir besi oleh PT. Jogja Magasa Mining (JMM) yang saham utamanya dimiliki oleh keluarga besar Kraton Yogyakarta dan Paku Alaman serta bekerja sama dengan PT Indomine Australia. Rencana ini disetujui oleh Pemda Kulon Progo dengan alasan dapat meningkatkan pemasukan daerah. Lahan pantai yang direncanakan sebagai lahan tambang seluas lebih dari 3000 Ha, sepanjang 22 Km dari garis pantai. Pembangunan ini direncanakan di sejumlah desa di empat kecamatan. Desa-desa tersebut adalah Jangkaran dan Palihan di Kecamatan Temon, Glagah dan Karangwuni di Kecamatan Wates, Nomporejo, Kranggan dan Banaran di Kecamatan Galur, dan Garongan, Pleret, Bugel, dan Karangsewu di Kecamatan Panjatan. Konsesi penambangan pasir besi jelas sangat merugikan petani lahan pasir. Lahan pasir yang selama ini memberikan kehidupan kepada petani. Lahan pasir yang dulunya lahan kering kini dengan teknologi hasil temuan petani mampu menumbuhkan berbagai macam tanaman. Kondisi ini lah yang membuat petani lahan pasir Kulon Progo melakukan perlawanan. Pada kasus ini peneliti melakukan penelitian di salah satu desa yang lahan pertaniannya termasuk dalam wilayah konsesi penambangan pasir besi, yakni Desa Bugel. Desa Bugel memiliki sejarah panjang atas pengolahan lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi keluarga-keluarga petani Kulon Progo dan masyarakat luas melalui hasil pertanian mereka. Petani-petani di wilayah selatan Desa Bugel secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda. Sebagai salah satu daerah basis perlawanan, salah satu tokoh perempuan gerakan petani lahan pasir Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Hal ini mendorong keterlibatan perempuan desa Bugel lainnya untuk ikut dalam perlawanan. Perempuan Desa Bugel terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan menolak pertambangan pasir besi. Keberhasilan perlawanan petani hingga saat ini menolak penambangan pasir besi merupakan hasil dari berbagai upaya
3
perlawanan yang telah petani lakukan, yang melibatkan berbagai kalangan, baik perlawanan secara terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi. Oleh karena itu, menarik bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo Yogyakarta? Rumusan Masalah Peranan perempuan tidak hanya dirasakan dalam rumah tangga. Perempuan juga terlibat dan berperan di bidang pertanian. Wahyuni (2007) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Keterlibatan perempuan dalam bidang pertanian inilah yang memupuk rasa memiliki atas lahan dan hasil pertanian. Hal ini merupakan salah satu alasan perempuan terlibat langsung dalam gerakan petani. Perempuan memiliki pendapat dan gambaran tersendiri mengenai konflik yang mereka hadapi dan perlawanan-perlawanan yang mereka lakukan. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk mengetahui bagaimana pendapat perempuan tentang konflik yang terjadi di Kulon Progo dan gerakan petani Kulon Progo? Di dalam sistem penghidupan penduduk secara alami tumbuh pembagian kerja atas laki-laki dan perempuan. Selain itu juga terdapat perbedaan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang dimiliki bersama antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai gender antara satu budaya dengan budaya lain adalah berbeda. Begitu pula dengan budaya masyarakat pesisir selatan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani lahan pasir. Baik perempuan maupun laki-laki petani lahan pasir tidak pernah terlepas dari aktivitas reproduktif, aktivitas produktif, dan aktivitas sosial atau yang bersifat kemasyarakatan. Di mana di setiap aktivitas tersebut muncul pembagian kerja serta akses dan kontrol yang berbeda antara laki-laki dan perempuan terhadap sumber daya yang dimiliki bersama. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk petani lahan pasir Kulon Progo? Perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani tidak pernah terlepas dari keterlibatan perempuan di dalamnya. Hafid (2001) menyatakan bahwa masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah mendorong semangat perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah mendorong petani untuk terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya. Dalam kasus tanah Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam proses pengambilan keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan pertimbangan hati nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan dalam mobilisasi
4
massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran perempuan juga memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani Jenggawah bukan hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak semata persoalan politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan kesejahteraan anakanaknya. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo? Tidak dapat dipungkiri perempuan banyak terlibat dalam kegiatankegiatan produktif seperti dalam halnya kegiatan pertanian, kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan pendidikan, dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Tidak jarang perempuan menempati posisi penting dan terlibat aktif di dalamnya. Begitu pula dalam hal gerakan petani. Perempuan yang terlibat langsung dalam kegiatan pertanian dan merasakan langsung manfaat dari adanya lahan pasir memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap lahan pasir. Posisi dan peran-peran yang yang diambil atau diberikan perempuan dalam gerakan petani diduga memiliki hubungan dengan posisi dan peranan perempuan dalam sistem penghidupan penduduk. Oleh karena itu penting bagi peneliti untuk menganalisis bagaimana hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani?
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum pada penelitian ini adalah menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Adapun tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui pendapat perempuan tentang konflik yang terjadi di Kulon Progo dan gerakan petani Kulon Progo. 2. Menganalisis peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk petani lahan pasir Kulon Progo. 3. Menganalisis peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. 4. Menganalisis hubungan antara peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo.
Kegunaan Penelitian Secara khusus kegunaan dari penelitian ini bagi peneliti adalah untuk menambah pengetahuan yang berkaitan dengan peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo yang diperlukan sebagai bahan penelitian dan skripi peneliti guna memenuhi syarat kelulusan sebagai sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Secara umum, kegunaan dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan hasil penelitian terkait peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo.
5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka
Gerakan Petani Wolf dan Moore dalam Landsberger (1984) mengatakan terdapat tiga karakteristik yang mencirikan petani, diantaranya adalah subordinasi legal, kekhususan kultural, dan khususnya ‘pemilikan de facto’ atas tanah. Sepuluh tahun kemudian Wolf dalam monografnya, mendefiniskan peasants sebagai tukang cocok tanam pedesaan yang surplusnya dipindahkan kepada kelompok penguasa yang dominan. Bukan pemilikan, tetapi lepasnya penguasaan terhadapnya dan penguasaan atas tenaga kerjanya sendiri. Dengan kata lain telah ditutupi oleh sistem lain dimana kontrol atas alat-alat produksi, termasuk penentuan tenaga kerja manusia, berpindah-pindah dari tangan produsen primer kepada kelompok-kelompok yang tidak melakukan proses produktif itu sendiri. Namun kemudian Wolf juga mendefinisikan petani sebagai penduduk yang secara ekstensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam, mencakup penggarapan atau penerima bagi hasil maupun pemilik-penggarap selama mereka ini berada pada posisi pembuat keputusan yang relevan tentang bagaimana pertumbuhan tanaman mereka. Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984) mendefinisikan bahwa petani adalah para tukang cocok tanam pedesaan yang menduduki posisi yang relatif rendah pada berbagai dimensi yang penting. Dimensi penting yang dimaksudkan disini adalah dimensi ekonomi dan politik. Dimensi ekonomi dan politik dapat dibagi ke dalam tiga rangkaian dimensi yang setara yakni pengendalian atas masukan ekonomi dan politik yang relevan, pengendalian proses transformasi dalam ekonomi dan politik, dan dimensi yang berkaitan dengan tingkat faedah dari keluaran (output) dari masing-masing sektor ini di masyarakat. Suatu contoh dalam hal masukan ekonomi, para tukang cocok tanam desa dapat diukur dari (1) jumlah masukan yang mereka kendalikan (tanah, modal, tenaga kerja); dan (2) kepastian dengan mana mereka mengendalikan masukan itu. Dalam hal proses transformasi, petani dapat melakukan partisipasi, kurang lebih dalam perumusan nyata keputusan-keputusan politik. Pada akhirnya petani, sedikit atau banyak, memperoleh keuntungan dari isi keputusan yang dibuat. Namun seringkali posisi petani disubordinatkan. Petani sering dianalogikan sebagai masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan untuk merubah struktur, pasrah terhadap kondisi yang menimpa mereka dan patuh terhadap aturan-aturan yang ada. Petani seringkali hanya dijadikan obyek-obyek pembangunan lewat program-program yang terlihat revolusiener, padahal terkadang sama sekali tidak menyuntuh kebutuhan petani. Kondisi-kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan dalam diri petani. Landsberger dan Alexandrov (1984) menjelaskan bahwa terdapat tiga jenis situasi yang seringkali memainkan peranan dalam merangsang ketidakpuasan petani, diantaranya yakni inkonsistensi status, kemorosotan relatif dari status lama seseorang atau dari harapan orang
6
tentang statusnya yang sekarang dan perasaan adanya ancaman terhadap status di masa depan. Inkonsistensi status didefinisikan sebagai kedudukan yang relatif baik menurut satu karakteristik sementara tetap rendah menurut karakteristik lain, yang merupakan salah satu pencetus pemberontakan petani di Inggris di tahun 1831 dan di Perancis di tahun 1789. Dalam kedua kasus tersebut, perbaikan nasib petani telah terjadi dalam berbagai hal, namun di sisi lain justru hal tersebut lah yang membuat ketaksanggupan yang masih ada seperti dalam hal pajak perkawinan dan kerja bakti yang menyulitkan petani. Kemudian, kedudukan yang tak menguntungkan dibandingkan dengan yang lain –kemorosotan relatifsedikitnya memainkan peranan di Mexico, dimana meningkatnya kontak dengan Amerika Serikat memungkinkan petani untuk membandingkan nasibnya dengan tetangganya dan akibatnya menjadi tidak puas. Dan yang terakhir adalah kemorosotan sehubungan dengan masa lalu atau yang diharapkan sekarang ataupun ancaman terhadapnya di masa depan, sebagaimana terjadi dalam kasus pemberontakan Pugachev. Salah satu perubahan masyarakat yang dapat menghasilkan ketidakpuasan petani adalah penggusuran petani dan komunitas petani yang telah ada sebelumnya, pencaplokan hak-hak meraka oleh tuan-tuan tanah dan negara dalam suatu proses feodalisasi, yang akan membawa kepada perasaan merosotnya status petani. Kebijaksanaan pencaplokan serupa itu mungkin dicetuskan oleh perangsang-perangsang seperti keinginan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan komersial dan teknik yang baru, atau dari tekanan negatif pada elite politik dan ekonomi, seperti kekalahan perang. Rasa ketidakpuasan yang timbul tersebut kemudian mendorong petani untuk melakukan gerakan-gerakan perlawanan terhadap kondisi yang memarginalkan mereka. Landsberger dan Alexandrov dalam Landsberger (1984) mendefinisikan gerakan sebagai reaksi kolektif terhadap kedudukan rendah. Kedudukan rendah ini digambarkan sebagai petani yang posisinya selalu termarginalkan dari berbagai aspek, baik ekonomi maupun politik. Rasa-rasa ketidakpuasan inilah yang juga mendasari gerakan-gerakan petani yang ada di Indonesia seperti dalam kasus Serikat Petani Pasundan, SPPQT, kasus tanah Jenggawah, dan kasus petani di Desa Cisarua. Di negara-negara lain kondisi ini juga terlihat dalam gerakan-gerakan petani yang ada di negara India, Zimbabwe, dan Filipina.
Bentuk-bentuk dan Strategi Perlawanan Petani Bentuk-bentuk perlawanan petani sangat beragam, mulai dari yang bersifat sembunyi-sembunyi hingga aksi terbuka, mulai dari laten hingga manifes. Perlawanan-perlawanan petani merupakan representasi dari rasa ketidakpuasan petani dan permasalahan-permasalahan agraria yang terjadi. Bentuk-bentuk perlawanan petani berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Oleh karenanya gerakan petani bersifat unik. Gerakan-gerakan ini juga berkaitan erat dengan pengetahuan lokal masyarakat petani setempat, jaringan yang dimiliki oleh petani dan kultur yang berkembang di daerah tersebut. Hal ini lah yang akan menentukan strategi apa yang dipilih oleh petani dalam perlawananperlawanannya. Beberapa gerakan petani disokong oleh organisasi non
7
pemerintah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Aprianto (2008) yang menyatakan bahwa kelahiran gerakan sosial baru di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari hadirnya organisasi non pemerintah (Ornop) sebagai aktor kritis terhadap pembangunan di tingkat lokal, nasional dan internasional. Terdapat dua pendekatan yang dilakukan oleh gerakan sosial dalam rangka memasuki ruang politik kenegaraan yakni, pertama, mendorong keterlibatan tokoh atau pemimpin dari gerakan sosial untuk memasuki ranah politik praktis dari tingkat yang paling rendah yaitu kepala desa maupun level eksekutif dan legislatif baik lokal maupun nasional. Kedua, menyiapkan upaya-upaya untuk melakukan intervensi dan mempengaruhi agenda-agendda negara dalam rangka pelaksanaan gerakan sosial. Atas alasan tersebut, berbagai serikat tani kemudian mendorong upaya untuk memasuki ranah politik praktis dalam rangka membuka peluang jalannya gagasan dari gerakan sosial. Hal ini pula lah yang dilakukan oleh petanipetani di Salatiga melalui SPPQT. Hasil penelitian Purwandari (2006) menunjukkan bahwa pola perlawanan yang dikembangkan oleh organisasi petani SPPQT (Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah) tidak dilakukan dengan mengubah struktur yang ada, melainkan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Perlawanan dilakukan terhadap kemapanan yang ada dengan cara memperkuat aliansi dan menjadi bagian dari agenda negara.Gerakan perlawanan yang dikembangkan SPPQT merupakan basis dekonstruksi sosial. Saat ini strategi yang dikembangkan adalah SPPQT mulai masuk dalam pembahasan APBD dan masuk dalam ranah politik. SPPQT mulai ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan. Upaya yang saat ini dikembangkan adalah penguatan pola gerakan sebagai upaya mempengaruhi kebijakan lokal. Selain itu juga terdapat perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara kolektif melalui afiliasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan lembaga hukum. Hafid (2001) menyatakan bahwa strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani Jenggawah adalah perlawanan kolektif. Cara yang digunakan adalah dengan unjuk rasa. Selain itu, petani Jenggawah juga menguatkan jaringan dengan beberapa lembaga hukum dan LSM. Perlawanan petani dalam bentuk yang lebih radikal dan langsung yakni lewat aksi massa juga merupakan jalan yang dipilih petani. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Serikat Petani Pasundan (SPP). Aji (2005) menyatakan bahwa salah satu kewajiban anggota SPP adalah melakukan aksi massa. Beberapa aksi massa tersebut adalah reclaiming atau secara aktif melakukan penguasaan tanah, ekspansi anggota baru di lingkungan sekitarnya untuk menambah jumlah anggota OTL, dukungan solidaritas terhadap OTL-OTL yang lain melalui pengerahan massa, dan (d) aksi demonstrasi untuk mendesakkan isu-isu penyelesaian sengketa tanah dan reformasi agraria yang dilakukan secara bersama-sama dengan organisasi lain. Strategi yang dilakukan SPP berbeda antara aksi massa yang dilakukan “di dalam” dengan aksi massa “di luar”. Sebagai suatu bentuk perlawanan langsung, aksi massa “di dalam” seringkali dilakukan secara rahasia (underground), terutama aksi reclaiming yang mana mereka harus berhadapan dengan “preman perkebunan”, kepolisian, bahkan militer. Massa SPP ini tidak terlihat karena menyatu dengan warga desa lainnya, sementara secara bergerilya mereka melakukan perlawanan sehingga pihak lawan akan kesulitan mendeteksi gerakan-
8
gerakannya. Sedangkan aksi massa “di luar” atau yang sering disebut dengan demonstrasi dilakukan dengan cara sebaliknya. Aksi massa ini dilakukan secara terbuka dan justru menggalang kekuatan-kekuatan dari organisasi tani di luar SPP. Strategi aksi massa yang terbuka antara lain diperlihatkan pada jumlah massa yang sangat besar di tempat-tempat tertentu seperti kantor DPR, DPRD, di jalanjalan protokol; sejumlah poster, baliho, bendera SPP, lagu-lagu perjuangan dan menyebarkan “statement” yang terkait dengan tema aksi saat itu. Hal ini juga dilakukan oleh gerakan-gerakan petani di Zimbabwe, India, dan Filipina. Kasus gerakan petani di India, Routledge (2005) menyatakan bahwa gerakan petani di India dipelopori oleh organisasi Narmada Bachao Andolan (NBA). NBA melancarkan dua bentuk perjuangan yang saling berkait. Pertama, disebut dengan perlawanan wacana. Perang-perang kata ini meliputi kesaksian, lagu, syair dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta analisis rinci tentang dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan berkelanjutan. Kedua, dikenal dengan istilah perlawanan fisik. Taktik-taktik perjuagan mereka melebar menjangkau berbagai macam repetoar perlawanan, termasuk bentuk-bentuk konflik institusional dan ekstra-institusional, serta aneka metode aksi langsung non-kekerasan- mulai dari demonstrasi dan pawai, perkemahan dan pendudukan satyagraha, puasa serta mogok makan. Kemudian kasus gerakan petani di Filipina, Boras dan Franco (2005) menyatakan bahwa jenis-jenis aksi yang digunakan adalah dengan melakukan pendudukan tanah, pemogokan, demonstrasi jalan, aksi di tempat kerja dan dialog. Gerakan petani di Filipina juga diwakili oleh nama organisasi UNORKA (Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom). Aksi-aksi kolektif UNORKA tampil beragam mulai dari pendudukan tanah paksa sampai dialog, dari turun ke jalan sampai serangan-serangan legal, dari surat petisi sampai menyegel gerbang DAR (Departemen Reforma Agraria) untuk mendramatisasi protes mereka. Selanjutnya kasus yang terjadi di Zimbabwe, Moyo (2005) menyatakan bahwa perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani adalah dengan melakukan pendudukan tanah dan invansi. Invasi mencakup kunjungan sementara yang berlangsung hanya sekian hari, serta kunjungan sporadis yang berulang-ulang dan tidak diikuti aksi menetap berkepanjangan. Namun kondisi sebaliknya, yakni perlawanan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan lokalistik terjadi pada kasus petani di Desa Cisarua. Kinseng dan Ariendi (2011) menyatakan bahwa bentuk perlawanan kecil yang dilakukan di Desa Cisarua ialah memperluas lahan garapan secara diam-diam dengan koordinasi yang dilakukan hanya berdasarkan asas sama tahu saja. Organisasi yang anonim, bersifat non formal, dengan bentuk perlawanan kecil dan sembunyi-sembunyi yang dilakukan setiap hari oleh petani Desa Cisarua dengan penuh kesabaran dan kehati-hatian serta berpura-pura bodoh dengan berpura-pura tidak mengetahui bahwa lahan yang mereka garap merupakan tanah HGU yang tidak boleh digarap oleh petani. Perjuangan yang dilakukan oleh petani ialah bersifat individual, tidak secara kolektif. Beberapa kasus di atas, terlihat bahwa terdapat berbagai macam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani, diantaranya perlawanan secara sembunyisembunyi dan perlawanan terbuka dan langsung. Perlawanan secara terbuka dan langsung diantaranya dilakukan dengan melakukan aksi massa, unjuk rasa, pendudukan tanah, pemogokan, reclaiming, demonstrasi, pawai, perkemahan,
9
puasa, mogok makan, dialog, melancarkan serangan-serangan legal melalui surat petisi. Sedangkan perlawanan secara sembunyi-sembunyi dilakukan dalam bentuk perlawanan kecil secara diam-diam dan berpura-pura bodoh. Selain itu bentuk perlawanan tidak langsung dapat terlihat dengan memasuki ruang politik kenegaraan dan mempergunakan struktur yang ada dan menjadi bagian dari sistem tersebut untuk kemudian memperbaiki sistem dari dalam. Selain itu terdapat pula perlawanan yang dilakukan secara individual maupun kolektif serta perlawanan wacana dan perlawanan fisik. Perlawanan wacana meliputi perang-perang kata seperti kesaksian, lagu, syair, dan naras (slogan-slogan), disertai riset serta analisis rinci tentang dampak waduk dan alternatif-alternatif pembangunan berkelanjutan.
Faktor-faktor Munculnya Gerakan Petani Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya masih menggantungkan penghidupannya pada sektor pertanian. Oleh karena itu lahan memegang peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat. Lahan merupakan hal yang paling esensial dan keberadaannya seringkali diperebutkan oleh berbagai pihak, pada umumnya diwakili oleh tiga aktor yakni, masyarakat, negara, dan pihak swasta. Lahan merupakan bagian dari kajian agraria. Berbicara mengenai agraria di Indonesia tidak pernah terlepas dari historis Indonesia sejak dari zaman kolonialisme, era Orde Lama hingga Orde Baru. Era Orde Lama ditandai dengan lahirnya UUPA. Fauzi (1999) menyatakan bahwa berlakunya UUPA berusaha mengatasi dualisme hukum agraria masa kolonial, yakni: hukum yang berasal dari penjajah (kolonial), disebut juga Hukum Barat, dan hukum yang berasal dari adat asli Indonesia. Dengan UUPA, pemerintah, dan masyarakat pasca kolonial melaksanakan rekonstruksi bangunan politik agraria untuk pemenuhan tujuan-tujuan pendirian negara bangsa sebagaimana tercantum pada dokumen-dokumen dasar negara: Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. UUPA beserta peraturan-peraturan jabarannya, ingin mengubah kenyataan yang berkembang di masa kolonial. Yakni, menjamin hak rakyat petani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang angkassa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya agar rakyat menjadi makmur. Usaha ini disebut juga sebagai pembaruan agraria (land reform). Fauzi (1999) dalam bukunya Petani dan Penguasa menyatakan bahwa pada masa selanjutnya terjadi perubahan penguasa politik (suksesi rezim) dari Orde Lama ke Orde Baru, yang berakibat pada berhentinya pelaksanaan populisme dan dimulainya skenario politik agraria yang baru yang merubah seluruh sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Retorika “Revolusi” dan praktek politik agraria populis digantikan secara drastis dan dramatis oleh retorika “Pembangunan” dan praktek politik agraria kapitalis. Strategi pembangunisme ini dijalankan dengan mengaitkan diri dengan kapitalisme internasional, yang dilakukan dengan membuka diri terhadap agen-agen donasi internasional seperti World Bank (WB), International Monetary Funds (IMF), dan International Group for Goverment of Indonesia (IGGI). Kebijakan-kebijakan politik agraria yang dibangun oleh Orde Baru, pertama adalah menjadikan masalah land reform hanya sebagai masalah teknis. Kedua, menghapus semua legitimasi partisipasi organisasi
10
petani di dalam program land reform. Ketiga, penerapan kebijakan massa mengambang (floating mass) pada menjelang pemilu tahun 1971 dengan memotong hubungan massa pedesaan dengan partai-partai politik. Keempat, diundangkannya UUPD (Undang-undang Pemerintahan Desa) tahun 1979. Dan kelima, terlibatnya unsur polisi dan militer di dalam pengawasan dinamika pembangunan desa. Pembangunan kapitalisme di sektor agraria terlihat dari dilaksanakannya program revolusi hijau, eksploitasi hutan dan agroindustri. Pembangunan kapitalisme ini melahirkan konflik agraria dan aksi protes agraria. Terdapat sejumlah konflik utama yang meruyak: Pertama, pemerintah mewajibkan petani untuk mempergunakan unsur-unsur revolusi hijau, demi tercapai terjaganya swasembada beras. Kedua, perkebunan mengambil alih tanah tanah yang sebelumnya dikuasai oleh rakyat. Ketiga, terdapat sejumlah kasus dimana pemerintah melakukan pengambilalihan (penggusuran) tanah untuk apa yang dinyatakan sebagai “program pembangunan” baik oleh pemerintah sendiri maupun swasta. Keempat, konfilik akibat eksploitasi hutan. Berdasarkan sejarah panjang politik agraria di atas, terlihat bahwa landasan terciptanya konflik atas lahan di Indonesia yang terus terjadi hingga saat ini adalah hasil dari sebuah perencanaan panjang pada era Orde Baru yang secara sengaja mengaburkan agenda land reform. Hal tersebut berdampak pada terciptanya kondisi tumpang tindih kepemilikan lahan, perebutan lahan, penguasaaan lahan yang tidak seimbang, dan berbagai kondisi ketimpangan lainnya. Alexandrov dan Landsberger dalam Landsberger (1984) menyatakan bahwa permulaan suatu gerakan petani tidak hanya sendirinya mewakili suatu perubahan, tetapi merupakan konsekuensi dari perubahan yang mendahului sebagaimana halnya setiap kejadian historis. Gerakan petani tidak hanya terjadi secara simultan. Pembentukan gerakan petani dapat dilatarbelakangi oleh berbagai kejadian, diantaranya yakni: (a) kejadian jangka pendek yang mempercepat – kalah perang, pajak baru, sederetan panen yang gagal—sebagai hal yang berbeda dari perubahan jangka panjang dalam struktur sosial, ekonomi maupun politik: seperti kemorosotan aristokrasi yang berdasar feodal, pembukaan kemungkinan komersial dalam pertanian dan tendensi sentralistis pada pemerintah nasional, (b) perubahan pada fase pertama membawa akibat kepada kelas yang mendominasi petani dan baru kemudian diteruskan kepada petani, (c) perubahan-perubahan di sektor ekonomi dan (d) perubahan-perubahan obyektif. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Purwandari (2006) yang menyatakan bahwa petani-petani di Salatiga mendapatkan tekanan struktural yang tidak hanya terkait persoalan teknik produksi, namun juga menyentuh akar kehidupan petani terutama terkait dengan hak atas tanah. Kondisi ini juga dialami oleh petani di Desa Cisarua yang memiliki keterbatasan akses dan penguasaan lahan akibat dilegitimasinya lahan di wilayah desa tersebut sebagai HGU untuk perkebunan milik negara. Kasus tanah jenggawah juga muncul sebagai bentuk kekecewaan panjang petani terhadap kebijakan pemerintah, yang memberikan kewenangan kepada PTPN X untuk mengambil tanah milik petani di Jenggawah. Kasus serupa juga terjadi di Tanah Pasundan, dimana sebagian besar lahan dikuasai oleh PTPN dan PT. Perhutani. Hal ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Aprianto (2008) yang menyatakan bahwa munculnya gerakan sosial, walau masih embrional, pada tingkat tertentu merupakan bagian dialektika untuk melakukan perubahan kebijakan atas proses pembangunan yang tidak adil. Hal ini
11
mengindikasikan bahwa akar-akar pembangunan yang ditanamkan pada era Orde Baru tidak menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar yakni permasalahan pendistribusian lahan secara adil dan merata, sebagaimana yang diamanahkan dalam UUPA Tahun 1960. Padahal kepemilikan dan penguasaan atas lahan mutlak diperlukan untuk pengembangan sektor pertanian. Pergolakan agraria juga terjadi di beberapa negara belahan lain di dunia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa permasalahan agraria bukan hanya menjadi agenda bangsa namun juga dunia. Boras dan Franco (2005) menyatakan bahwa pergolakan agraria di Filipina berpangkal dari periode kolonial Spanyol (15651898). Selama kurun waktu tiga setengah abad penjajahan Spanyol inilah, konsep kepemilikan privat individu sebesas-bebasnya atas tanah diperkenalkan. Konsep yang diperkenalkan pada abad-16 ini, membentuk landasan sosial dan ekonomi untuk perkembangan bertahap distribusi kepemilikan dan kontrol tanah yang sangat kacau balau. Selama kurun waktu tersebut terjadi pemberontakanpemberontakan besar. Kondisi yang melatarbelakangi terjadinya pergolakan di Filipina tidak jauh berbeda dengan kondisi yang terjadi di Indonesia, yang samasama mengalami masa penjajahan yang sangat panjang. Pada masa tersebut Indonesia dan Filipina sebagai negara terjajah tidak memiliki kekuasaan untuk mengatur kepemilikan lahan bagi warga negaranya sendiri dan hal ini diperparah dengan langgengnya sistem tersebut di masa pemerintahan selanjutnya. Hal yang sama juga terjadi di Zimbabwe. Moyo (2005) menyatakan bahwa di Zimbabwe, masyarakat sipil yang didominasi kaum perkotaan, termasuk gerakan ornop tidak pernah memprioritaskan agenda land reform, sementara masyarakat sipil pedesaan secara formal telah disisihkan dari debat pertanahan akibat mengalami kemiskinan berbasis kelas. Selain itu, prospek akan demokratisasi dan land reform egaliter di Zimbabwe pupus akibat perubahan arah kebijakan dari sosialisme ke neoliberalisme. Pemaksaan program-program penyesuaian struktural di seantero Afrika pada tahun 1980an dirasionalisasi dengan penjelasan tentang adanya ‘krisis’ ekonomi politik di Afrika. Selain itu, kondisi yang melatarbelakangi lahirnya permasalahan agraria juga dapat dipengaruhi oleh adanya adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam bentuk proyek-proyek pembangunan, sebagaimana yang terjadi di India. Routledge (2005) menyatakan bahwa pergolakan di India terjadi bersamaan dengan pembangunan waduk raksasa, yang diasosiasikan sebagai wujud pembangunan berkelanjutan mengenai penanggulangan kemarau. Penerapan pembangunan kerap didahului oleh penciptaan abnormalitas di suatu tempat. Masalah-masalah ini karenanya membutuhkan profesionalisasi dan institusionalisasi praktek-praktek pembangunan. Hal ini terjadi melalui wacana pakar-pakar pembangunan, kolonisasi proses pembangunan oleh otoritas seperi otoritas Kontrol Narmada serta diperkuat dengan iming-iming manfaat dan kegunaan bagi calon pengguna dan penerima manfaat. Berdasarkan kasus-kasus di atas, jelas petani adalah pihak yang selalu dijadikan obyek pembangunan dan paling dirugikan dari program-program pembangunan yang ada. Petani menjadi kaum mayoritas yang terpinggirkan di tanahnya sendiri. Petani sering berada di posisi yang tersudutkan dan tertekan. Tekanan-tekanan ini datang dari berbagai pihak mulai dari kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada petani hingga pengambilalihan dan penguasaan lahan secara besar-besaran oleh pemilik modal. Hal ini lah yang mendorong petani
12
untuk melakukan perlawanan-perlawanan yang diwujudkan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata, yang sering disebut sebagai gerakan petani. Petani secara mandiri mengorganisir dan melakukan perlawanan-perlawanan. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukan bahwa banyak hal yang melatarbelakangi lahirnya perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani. Diantaranya adalah keterbatasan akses dan penguasaan lahan akibat dilegitimasinya lahan petani oleh pihak pemerintah maupun swasta atau dengan kata lain kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada nasib petani. Kondisi ini memperlihatkan bahwa land reform tidak menjadi primadona dalam agenda pemerintah yang berakibat pada terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan dan dominasi penguasaan lahan oleh sejumlah pihak yang berkuasa. Hal ini diperkuat dengan belum adanya perubahan kebijakan yang tegas atas proses pembangunan yang tidak adil. Perlawanan-perlawanan yang mencuat juga dapat disebabkan oleh adanya proses adopsi budaya barat yang diinisiasi dalam bentuk proyek-proyek pembangunan yang telah merasuki di hampir semua negara-negara dunia ketiga.
Bentuk-bentuk Peran Perempuan Peranan perempuan meliputi banyak hal, baik dalam rumah tangga, bidang pertanian, perkebunan, dan gerakan-gerakan sosial. Wahyuni (2007) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam kegiatan pertanian tidak saja menjadi bagian terbesar dari tenaga kerja di sektor pertanian, tetapi perempuan juga memiliki pengetahuan dan keterampilan utama dalam kegiatan pekerjaan pertanian. Secara tradisional perempuan memiliki keterampilan memilih benih padi yang baik dan menyimpannya untuk ditanam pada musim tanam berikutnya. Perempuan juga mampu memilih lahan yang cocok untuk budidaya pertanian. Mereka juga mampu memilih tanaman yang cocok untuk pengobatan. Kemampuan tersebut dipelajari para perempuan untuk kebutuhan bertahan hidup keluarganya. Kodrat perempuan sebagai yang melahirkan anak membuat perempuan menjadi produsen primer dan pekerja pemeliharaan. Peran perempuan diidentifikasi dengan alam dan pemelihara kehidupan, sedangkan laki-laki identik dengan pengelola kebudayaan. Identifikasi ini mengakibatkan perempuan diberi peran di sektor domestik, mengurus rumah tangga dan laki-laki dalam peran publik, mengurus berbagai hal yang berhubungan dengan sektor produksi. Kemudian Sukesi (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan tebu rakyat, wanita menunjukkan peran kerja yang nyata, baik pekerjaan pengelolaan maupun pekerjaan fisik. Keterampilan kerjanya tidak berbeda dengan pekerja pria, namun ruang geraknya dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumah tangga dan di perkebunan tebu. Curahan kerja wanita diperlukan terutama dalam kedudukan sebagai pekerja keluarga dan buruh tani. Di rumah tangga, wanita mendominasi pekerjaan rumah tangga dan melakukan pekerjaan jasa bagi terlaksananya produksi tebu, namun kurang mendapat perhatian. Kekuasaan wanita nyata tetapi sebatas rumah tangga dan pengelolaan tanaman pangan yang subsisten. Di sisi lain, perempuan juga berperan dalam gerakan petani. Hafid (2001) menyatakan bahwa masuknya perempuan dalam kelompok elit petani telah mendorong semangat perjuangan petani. Partisipasi kaum perempuan telah mendorong petani untuk terjun dalam kancah perjuangan hak milik tanahnya.
13
Dalam kasus tanah Jenggawah, terlihat bahwa perempuan juga ikut andil dalam proses pengambilan keputusan, dalam hal ini diidentikkan dengan menggunakan pertimbangan hati nurani. Sehingga komposisi antara laki-laki dan perempuan akan melahirkan komposisi strategis yang harmonis. Perempuan juga berperan dalam mobilisasi massa dan dalam mengomunikasikan perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan kepada sesama perempuan lainnya. Selain itu, kehadiran perempuan juga memperkuat kesan bahwa persoalan menuntut hak oleh petani Jenggawah bukan hanya persoalan kaum pria saja. Perjuangan tersebut tidak semata persoalan politis, tetapi sudah masuk pada persoalan keluarga dan urusan perut anak-anaknya. Tidak hanya sebatas itu, perempuan juga terlibat dalam gerakan-gerakan sosial yang meliputi aspek-aspek yang lebih luas. Suryochondro (1995) dalam tulisannya memaparkan gerakan-gerakan wanita di beberapa negara. Gerakan wanita di Inggris memperjuangkan perolehan hak pilih. Di Amerika, setelah Revolusi Amerika berakhir (1861-1863) kaum wanita mulai ikut bergerak dalam rangka pembaharuan kehidupan agama. Selain itu, kaum wanita juga berperan dalam gerakan anti perbudakan yang dimulai tahun 1830. Kemudian, gerakan wanita di Jepang dimulai pada abad ke-19 yang menuntut persamaan hak pria dan wanita dalam keluarga dan masyarakat, peningkatan kesempatan pendidikan bagi wanita, penghapusan sistem selir, dan penghapusan perizinan pelacuran. Di India, yang menjadi jajahan Inggris sejak tahun 1857 dan memperoleh kemerdekaan tahun 1947, timbuk gerakan wanita yang bergandengan dengan gerakan kemerdekaan. Dalam hal ini Mahatma Gandhi sangat berjasa dengan mendorong wanita berpartisipasi dalam perjuangan memperoleh kemerdekaan bangsa. Dan terakhir gerakan wanita di Filipina sangat dipengaruhi oleh kekuasaan politik. Sedangkan di Indonesia pada awal pergerakan perempuan berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan mengusung semangat nasionalisme. Rahayu, dkk (2005) mengatakan bahwa berdasarkan sejarah panjang perjuangan SPP, peran perempuan sangat besar. Mulai dari awal penguasaan lahan sampai pada penataan produksi dan upaya mempengaruhi kebijakan baik di tingkat desa maupun tingkat nasional. Upaya keterlibatan perempuan dalam organisasi sangat penting. Upaya keterlibatan ini bisa dilihat dalam musyawarahmusyawarah organisasi. Keterlibatan mereka tidak hanya dalam persoalan penggarapan lahan akan tetapi keterlibatan perempuan dalam kegiatan-kegiatan organisasi dari mulai pendidikan sampai pada pengambilan keputusan, itu tersebut merupakan hal penting bagi agenda SPP ke depan karena peranan perempuan dalam gerakan reforma agraria merupakan hal yang tidak terbantahkan dalam perjuangannya. Munculnya pemimpin-pemimpin perempuan di desa-desa bagi SPP adalah keharusan. Pelibatan perempuan secara aktif mulai dari menentukan bibit tanaman, pengolahan dan pemeliharaan tanaman, panen, dan sampai pada pemasaran bersama. Di dalam organisasi SPP perempuan harus terlibat dalam musyawarah-musyawarah organisasi, ikut menentukan jalan atau tidaknya organisasi, ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan organisasi, ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, baik di tingkat desa, maupun di tingkat nasional. Hal-hal yang sudah dan harus dilakukan perempuan dalam organisasi SPP adalah:
14
1. Ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga dan berani memutuskan sikap menghadapi persoalan-persoalan keluarga dan persoalan kampungnya. 2. Ikut ambil bagian dalam musyawarah keluarga dan musyawarah kampungnya menentukan sikap dalam pengelolaan organisasi SPP. 3. Ikut ambil bagian dalam musyawarah kampungnya dan menentukan sikap apa yang harus diambil dalam musyawarah tersebut. 4. Ikut ambil bagian dan berperan aktif dalam musyawarah-musyawarah di kampungnya dari tingkat kelompok, kampung, desa, kabupaten dan tingkat nasional. 5. Bersama-sama dengan petani laki-laki, pemuda dan pihak lain mengurus organisasi SPP dan melakukan pembagian kerja yang adil sehingga organisasi tertata dan terkelola dengan baik. 6. Ikut ambil bagian dalam merumuskan dan melaksanakan kerja-kerja organisasi SPP yang telah disepakati bersama. 7. Bersama-sama dengan petani lainnya baik laki-laki dan perempuan belajar bersama dalam mengelola organisasi dan mengelola desanya. 8. Ikut ambil bagian dalam upaya penyelesaian sengketa agraria di desanya melalui organisasi SPP dan pemerintahan desa. 9. Memperkuat peran-peran perempuan dalam organisasi, misalnya membuat kegiatan-kegiatan khusus perempuan, contohnya: pengajian perempuan, pendidikan ibu-ibu, diskusi, dan lain-lain. Dari penjelasan kasus di atas, terlihat bahwa peranan perempuan pada nyatanya sangat esensial dan beragam. Terlihat bahwa perempuan berperan dalam proses pengembangan pertanian, beperan dalam bidang perkebunan, gerakangerakan petani dan gerakan-gerakan sosial. Peranan perempuan di berbagai bidang ini menggugat pemikiran-pemikiran pihak yang mengsubordinatkan peranan perempuan.
Peran Gender Peran merupakan suatu status yang dijalankan oleh seorang individu yang berada pada suatu kelompok atau situasi sosial tertentu. Maksud dari peran gender menurut Hubeis (2010): “Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu”. Sementara itu, lebih terperinci lagi, Mugniesyah yang diacu oleh Aini (2014) mengemukakan bahwa peranan gender adalah suatu perilaku yang diajarkan dalam masyarakat, komunitas, dan kelompok sosial tertentu yang menjadikan aktivitas-aktivitas, tugas-tugas dan tanggung jawab tertentu dipersepsikan umur, kelas, ras, etnik, agama dan lingkungan geografi, ekonomi, dan sosial. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender di suatu wilayah akan berbeda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakterisktik wilayahnya. Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan diklasifikasikan ke
15
dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010): 1) Peran Reproduktif (domestik) Merupakan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan sebagai kerja produktif yang menghasilkan pendapatan. 2) Peran Produktif Merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang ringan. 3) Peran Masyarakat (sosial) Peran masyarakat terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat terkait dengan status dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Terdapat klasifikasi tiga peran gender (Hubeis 2010): Tabel 1 Klasifikasi peran gender Gender Perempuan
Reproduktif Peran utama:Istri, ibu, ibu rumah tangga (keluarga)
Produktif Acap diasumsikan tidak memiliki peran produktif Pembantu (turut) mencari nafkah keluarga
Laki-laki
Bapak kepala rumah tangga
Peran utama: mencari nafkah keluarga
Sosial Manajemen, jasa, penyuluhan terkait pada aspek peran reproduktif Pekerja tidak dibayar (informal) Kepemimpinan Politik Ketahanan/militer Pekerja dibayar
Sumber: Hubeis 2010
Analisis Gender Salah satu alat analisis gender adalah kerangka Harvard yang dapat digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga dan masyarakat. Kerangka Harvard terdiri atas tiga komponen, Overholt et al. (1986) yang diacu oleh ILO (tanpa tahun) menyatakan komponen tersebut adalah aktivitas, profil akses dan kontrol, dan faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses dan kontrol.
16
1) Profil Aktivitas Profil aktivitas didasarkan pada pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan. Profil ini mencakup informasi mengenai siapa yang melakukan kegiatan, kapan, dan dimana kegiatan dilaksanakan, berapa frekuensi dan waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut, dan berapa pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Analisis pembagian kerja pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi peran perempuan dalan sistem penghidupan penduduk dan dalam gerakan petani. 2) Profil Akses dan Kontrol Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaaan atas hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya. Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya partisipasi. Aksesbilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu berapa jumlah laki-laki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di dalam sistem penghidupan penduduk dan gerakan petani. Kegunaan analisis ini adalah untuk memperlihatkan hierarki wewenang, pengambilan keputusan dan peran serta perempuan. Selain itu pola pengambilan keputusan dalam keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa yang bertanggung jawab untuk apa dan siapa memperoleh manfaat apa. 3) Faktor-faktor pengaruh Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses, dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan, sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna untuk mengkaji fator-faktor apa saja yang mendorong keterlibatan perempuan dalam gerakan petani.
17
Kerangka Penelitian Gerakan petani merupakan bentuk perlawanan petani terhadap sistem yang dengan sengaja berupaya untuk mengambil hak petani atas tanah. Gerakan petani dilakukan atas dasar kesadaran petani dan rasa kepemilikan atas tanah yang telah menghidupi keluarga dan orang banyak. Oleh karena itu, gerakan petani melibatkan seluruh pihak dan seluruh lapisan dari masyarakat, laki-laki dan perempuan. Peran-peran yang diambil atau diberikan kepada perempuan dalam gerakan petani berhubungan dengan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk. Peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk mencakup tiga peran, yakni: peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial (masyarakat). Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis gender kerangka Harvard untuk mengetahui peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk serta untuk mengetahui peran perempuan dalam gerakan petani. Variabel yang digunakan adalah aktivitas, akses, kontrol, dan faktor-faktor pengaruh lainnya. Pada sistem penghidupan penduduk, variabel aktivitas meliputi aktivitas pada kegiatan reproduktif, kegiatan produktif, kegiatan sosial. Kemudian variabel akses meliputi akses terhadap sumberdaya fisik/material, akses terhadap sumberdaya sosial-budaya, akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta akses terhadap manfaat. Selanjutnya variabel kontrol meliputi kontrol terhadap sumberdaya fisik/material, kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya, kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta kontrol terhadap manfaat. Sedangkan pada gerakan petani, variabel aktivitas meliputi kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam gerakan petani. Sedangkan variabel akses dan kontrol meliputi akses dan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan gerakan petani. Adapun faktor-faktor pengaruh yang terdapat dalam analisis gender akan dianalisis menggunakan metode kualitatif, untuk mengetahui hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk terhadap posisi dan peran perempuan dalam gerakan petani. Kerangka penelitian disajikan pada gambar di bawah ini.
18 Perkembangan politikekonomi makro
Agenda pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi
Rencana proyek pertambangan pasir besi
Perlawanan petani
Peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk 1. Peran reproduktif 2. Peran produktif 3. Peran sosial
Peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk
Peran perempuan dalam gerakan petani 1. Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani 2. Akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani
Faktor-faktor pengaruh lainnya 1. Hubungan penduduk dengan keraton Jogjakarta 2. Ancaman dari rencana eksploitasi pasir besi
1. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya fisik/material 2. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya 3. Akses dan kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja 4. Akses dan kontrol terhadap manfaat Keterangan: : hubungan (secara kuantitatif deskriptif) : hubungan (secara kualitatif deskriptif) : fokus penelitian Gambar 1 Kerangka penelitian hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan peran perempuan dalam gerakan petani
19
Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan nyata antara peran perempuan dalam kegiatan reproduktif, produktif, dan sosial masyarakat petani dengan peran perempuan dalam gerakan petani. 2. Diduga terdapat hubungan nyata antara akses (kesempatan) perempuan terhadap sumber daya dan manfaat dengan peran perempuan dalam gerakan petani. 3. Diduga terdapat hubungan nyata antara kontrol (penguasaan) perempuan terhadap sumber daya dan manfaat dengan peran perempuan dalam gerakan petani.
Definisi Operasional Definisi operasional merupakan definisi yang digunakan oleh peneliti dalam mengukur variabel-variabel yang diteliti. Adapun definisi operasional yng digunakan adalah sebagai berikut: 1. Pembagian kerja reproduktif adalah pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya manusia dan tugas kerumahtanggaan. Adapun aktivitas reproduktif dalam penelitian ini adalah berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari, memilih pangan yang akan dikonsumsi, memasak, membereskan rumah, menyetrika pakaian, mengasuh anak-anak, merawat orang sakit, dan mencuci pakaian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih pekerjaan reproduktif tertentu. - Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau lebih pekerjaan reproduktif tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau lebih pekerjaan reproduktif tertentu. 2. Pembagian kerja produktif adalah pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Kerja produktif dalam penelitian ini terdiri dari lima kategori, yakni pertanian komoditas cabai keriting, pertanian komoditas melon, perdagangan, peternakan, dan lain-lainnya terkait bidang jasa. Masing-masing kategori pada pembagian kerja produktif akan dijabarkan dalam bentuk pertanyaan yang terangkum dalam kuesioner. Berikut aktivitas produktif pada berbagai sektor: Pertanian komoditas cabe keriting: mengolah lahan, membersihkan lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan, menyebar pupuk dasar, memasang mulsa dan penyempurnaan kompos, menanam, menyiram tanaman, menyiang tanaman,
20
mengendalikan hama dan penyakit, melakukan pemupukan sususlan, dan memetik hasil panen. Pertanian komoditas melon: mengolah lahan, membersihkan lahan, mencangkul, melakukan pemupukan dasar, menanam, menyiram tanaman, menyiang tanaman, mengendalikan hama/menyemprot pestisida, memupuk tanaman, memetik hasil panen, dan menjarang buah. Perdagangan: menjaga toko/warung/berjualan di pasar, membeli barang/bahan baku, membuat produk, dan mengatur keuangan. Peternakan: membersihkan kandang, menyiapkan makan ternak, menggembalakan ternak, merawat ternak, dan melakukan pemasaran hasil. Sektor jasa: mengajar, menarik ojek, kuli bangunan, bekerja di pabrik, bekerja di kantor. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala nominal. Variabel pembagian kerja produktif dibagi menjadi tiga kategori, yakni: - Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih jenis pekerjaan produktif tertentu. - Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau lebih jenis pekerjaan produktif tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau lebih jenis pekerjaan produktif tertentu. 3. Pembagian kerja sosial adalah pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan peran masyarakat terkait dengan kegiatan sosial dan jasa partisipasi politik. Aktivitas sosial dalam penelitian ini adalah kegiatan keagamaan, kegiatan PNPM, kegiatan kelompok tani/Gapoktan, gotong-royong, rapat RT/lainnya, penyuluhan pertanian, dan hajatan. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Dominan laki-laki, apabila laki-laki melakukan sebagian atau lebih pekerjaan sosial tertentu. - Dominan perempuan, apabila perempuan melakukan sebagian atau lebih pekerjaan sosial tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan melakukan sebagian atau lebih pekerjaan sosial tertentu. 4. Akses terhadap sumberdaya fisik adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya fisik diantaranya adalah lahan pertanian, modal uang untuk kebutuhan keluarga, modal uang untuk kegiatan pertanian, sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu.
21
5. Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya sosial-budaya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya sosial-budaya adalah mengeyam pendidikan, mengikuti penyuluhan pertanian, mengikuti penyuluhan lainnya, ikut menentukan komoditas tanaman, dan ikut menentukan strategi pengelolaan pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu. 6. Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya pasar komoditas dan tenaga kerja tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja adalah menyediakan (membeli) bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan, menentukan tempat penjualan, menentukan jumlah komoditas yang akan dijual, menentukan jumlah buruh tani, pengelolaan usaha pertanian, dan pengelolaan usaha non pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga tertentu. 7. Akses terhadap manfaat adalah kesempatan untuk menggunakan hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan lain-lain tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Sumberdaya manfaat adalah hasil pendapata, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, dan pendidikan di keluarga. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan untuk menggunakan sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise.
22
8. Kontrol terhadap sumberdaya fisik/material adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya fisik atau material. Sumberdaya fisik diantaranya adalah lahan pertanian, modal uang untuk kebutuhan keluarga, modal uang untuk kegiatan pertanian, sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya fisik/material tertentu. 9. Kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumberdaya sosial-budaya. Sumberdaya sosial-budaya adalah mengeyam pendidikan, mengikuti penyuluhan pertanian, mengikuti penyuluhan lainnya, ikut menentukan komoditas tanaman, dan ikut menentukan strategi pengelolaan pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosial-budaya tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosialbudaya tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya sosialbudaya tertentu. 10. Kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan pasar komoditas dan tenaga kerja. Sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja adalah menyediakan (membeli) bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan, menentukan tempat penjualan, menentukan jumlah komoditas yang akan dijual, menentukan jumlah buruh tani, pengelolaan usaha pertanian, dan pengelolaan usaha non pertanian. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja tertentu. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja tertentu. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih sumberdaya pasar komoditas dan tenaga kerja tertentu.
23
11. Kontrol terhadap manfaat adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan lain-lain. Sumberdaya manfaat adalah hasil pendapata, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, dan pendidikan di keluarga. Skala pengukuran yang dipakai adalah skala nominal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni: - Laki-laki, apabila laki-laki memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise. - Perempuan, apabila perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise. - Bersama, apabila laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan atas sebagian atau lebih hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, dan prestise. 12. Tingkat keterlibatan perempuan dalam gerakan petani adalah pembagian kerja gender yang dapat dilihat dari profil kegiatan-kegiatan gerakan petani. Kegiatan dalam gerakan petani dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar yakni: Kegiatan dalam internal PPLP-KP: proses inisiasi pembentukan PPLP, diskusi terkait rencana pertambangan di awal pembentukan PPLP, memberi pendapat ketika diskusi berlangsung, mengambil keputusan ketika menentukan sikap terkait rencana pertambangan, dan kegiatan perayaan hari terbentuknya PPLP-KP. Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas: diskusi tentang perjuangan masyarakat di kampus-kampus, pementasan teater di kampus Atma Jaya, diskusi tentang perjuangan masyarakat di beberapa kumpulan masyarakat yang juga memperjuangkan lahan pertaniannya, pementasan teater di kampus Universitas Gadjah Mada, kunjungan ke Kebumen dalam rangka menjalin solidaritas, pembentukan kesenian teater “unduk gurun”, pembentukan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris), diskusi di Gerbang Revolusi, Garongan, menjalin solidaritas dengan seniman, menjalin solidaritas dengan agamawan, menjalin solidaritas dengan akademisi, kampanye di dunia maya, menjalin solidaritas dengan masyarakat pendukung penolakan penambangan pasir besi yang bertempat di Australia, dan menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris. Kegiatan aksi dan demontrasi: memblokade jalur lalu lintas pertambangan, aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek, pencegatan pekerja pilot proyek PT.JMI, mendatangi gedunggedung pemerintahan, kampanye penolakan pertambangan pasir besi di Filipina, aksi-aksi demontrasi, pembuatan surat presiden pertama, kedua dan ketiga, aksi demo di pemerintahan Kabupaten Kulon Progo, aksi demo di kantor DPR yang pertama sampai kelima, dan mengorganisir petani-petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi demontrasi berlangsung.
24
Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori, yakni: - Tinggi, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada pada rentang 1-3 - Sedang, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada pada rentang 4-6 - Rendah, apabila skor total variabel pada setiap jenis kegiatan berada pada rentang 7-9 13. Tingkat akses perempuan terhadap gerakan petani adalah kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani. Akses terhadap kegiatan kegiatan dalam gerakan petani diantaranya adalah kesempatan untuk mengikuti diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi, kesempatan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk mengikuti diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, agamawan, dan akademisi), kesempatan untuk mengikuti aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye, dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama, pencegatan pihak penambang, dll). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori, yakni: - Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 6-8 - Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 9-11 - Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 12-14 14. Tingkat kontrol perempuan terhadap gerakan petani adalah penguasaan atau kewenangan penuh perempuan untuk mengambil keputusan atas kegiatan-kegiatan gerakan petani. Kontrol terhadap kegiatan kegiatan dalam gerakan petani diantaranya adalah kewenangan untuk mengikuti diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi, kewenangan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya, kewenangan untuk mengikuti diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya, kewenangan untuk menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, agamawan, dan akademisi), kewenangan untuk mengikuti aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye, dan kewenangan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama, pencegatan pihak penambang, dll). Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal yang terbagi menjadi tiga kategori, yakni: - Tinggi, apabila skor total variabel berada pada rentang 6-8 - Sedang, apabila skor total variabel berada pada rentang 9-11 - Rendah, apabila skor total variabel berada pada rentang 12-14
25
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei adalah informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Penelitian yang dilakukan termasuk ke dalam penelitian deskriptif. Menurut Bungin (2005), penelitian deskriptif dimaksudkan hanya untuk menggambarkan, menjelaskan, atau meringkaskan berbagai kondisi, situasi, fenomena atau berbagai variabel penelitian menurut kejadian sebagaimana adanya yang dapat dipotret, diwawancara, diobservasi, serta yang dapat diungkapkan melalui bahan dokumenter. Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dan pendekatan penelitian kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Pendekatan kuantitatif akan diteliti menggunakan instrumen kuesioner. Terdapat tiga konsep yang diukur secara kuantitatif. Pertama, ialah konsep mengenai peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk dengan variabel yang diukur berupa peran (pembagian kerja) reproduktif, peran (pembagian kerja) produktif, peran (pembagian kerja) sosial, akses dan kontrol terhadap sumberdaya fisik/material, akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya, akses dan kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja serta akses dan kontrol terhadap manfaat. Kedua ialah konsep peran perempuan dalam gerakan petani dengan variabel yang diukur peran perempuan dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani, serta akses dan kontrol terhadap kegiatan-kegiatan gerakan petani Pendekatan kualitatif dilakukan dengan cara wawanacara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai sejarah pertanian lahan pasir, sejarah kepemilikan, penguasaan, dan penggarapan lahan pasir, gerakan petani lahan pasir Kulon Progo, faktor-faktor yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan petani dan untuk menggambarkan pendapat perempuan mengenai masalah yang sedang mereka hadapi dan perlawanan yang mereka lakukan.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah di desa yang lahan pertaniannya terkena konsesi penambangan pasir besi. Hal ini dikarenakan desa tersebut berada di sepanjang pesisir pantai selatan yang memiliki sejarah panjang atas pengolahan lahan pasir. Lahan pasir telah menghidupi keluarga-keluarga petani Kulon Progo dan masyarakat luas melalui hasil pertanian mereka. Petani-petani di wilayah selatan secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam gerakan petani, baik laki-laki maupun perempuan, tua mapun muda. Hal ini disebabkan besarnya rasa kepemilikan atas lahan pertanian dan hasil pertanian petani.
26
Lokasi penelitian bertempat di Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Jogjakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive. Terdapat tiga alasan peneliti memilih Desa Bugel, yakni: pertama, lokasi ini termasuk lokasi konsesi proyek pertambangan pasir besi; kedua, Desa Bugel merupakan salah satu desa yang menjadi basis perlawanan petani Kulon Progo; dan ketiga, salah satu tokoh perempuan dalam pergerakan petani Kulon Progo berasal dari Desa Bugel. Penelitian ini akan dilaksanakan selama delapan bulan, yaitu terhitung sejak Februari 2014 sampai dengan Oktober 2014. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Adapun tabel jadwal penelitian yang dilakukan oleh peneliti terlampir pada Lampiran 2.
Teknik Pengambilan Informan dan Responden Populasi dalam penelitian ini adalah perempuan yang bertempat tinggal di Desa Bugel wilayah selatan. Sumber data dalam penelitian ini adalah responden dan informan. Responden akan diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah dibuat karena jawabannya dianggap dapat mewakili keberadaannya sebagai individu yang lahan pertaniannya terancam oleh konsesi pertambangan pasir besi dan terlibat dalam gerakan petani. Responden hanya memberikan informasi terkait dengan dirinya. Unit analisa atau unit yang akan diteliti oleh peneliti adalah perempuan yang terlibat dalam gerakan petani. Alasan pemilihan unit analisa ini dikarenakan sesuai dengan tujuan dari penelitian ini yakni menganalisis hubungan peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk peran perempuan dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pengambilan sampel acak sederhana dari populasi perempuan pesisir Desa Bugel bagian selatan, yang mencakup dua dusun. Hal ini dikarenakan unit penelitian atau satuan elementer dari populasi bersifat homogen yakni petani lahan pasir dan terlibat dalam gerakan petani. Oleh karena itu, jumlah sampel yang akan diambil adalah sebanyak 30 perempuan yang lahan pertaniannya terkena konsesi penambangan pasir besi dari 458 perempuan. Penarikan sampel pada penelitian ini menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2010 dengan menggunakan rumus =randbetween(1;458). Informan diperlukan untuk melengkapi data yang didapat melalui responden. Warga yang dapat berperan sebagai informan adalah mereka yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam perlawanan petani lahan pasir Kulon Progo. Informan kunci dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat maupun tokoh yang dituakan, laki-laki dan perempuan baik di desa yang bersangkutan maupun di dalam internal kelompok PPLP-KP. Pemilihan informan di wilayah ini menggunakan teknik bola salju (snow ball). Metode ini dipilih untuk mendapatkan informan yang benar-benar terlibat, mengetahui, dan memahami pergerakan dan perlawanan yang dilakukan.
27
Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam peneilitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, kuesioner, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada responden maupun informan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen tertulis yang terdapat di Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Data sekunder berupa dokumen-dokumen yang terkait dengan penelitian ini, seperti dokumen sejarah penguasaan lahan, data lahan yang terkena konsesi penambangan pasir besi, data masyarakat yang menjadi anggota PPLP-KP maupun data mengenai kegiatan-kegiatan perlawanan yang dilakukan oleh PPLPKP. Data sekunder juga diperoleh melalui berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini, yaitu buku, laporan hasil penelitian, artikel, dan sebagainya.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini mempunyai dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2010. Pembuatan tabel frekuensi untuk melihat data awal responden untuk masing-masing variabel secara tunggal menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2010. Selanjutnya pembuatan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara tingkat pendidikan perempuan dengan peran perempuan dalam gerakan petani. Data kualitatif dianalisis melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi.Pertama ialah proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen. Tujuan dari reduksi data ini ialah untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Kedua ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.
28
29
PROFIL DESA BUGEL Profil Desa Bugel menjelaskan mengenai kondisi keadaan Desa Bugel yang dijadikan sebagai tempat penelitian. Informasi yang terkandung dalam bab ini antara lain kondisi geografis, kondisi sosial budaya, serta kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir sebelum dan sesudah pengolahan lahan pasir.
Kondisi Geografi Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran Samudera Hindia meluas ke arah utara. Menurut sejarah lisan yang dituturkan warga, istilah ‘bugel’ menunjuk pada satu sisa akar pohon (bugel) yang tersisa dari kebakaran besar di desa tersebut. Secara demografis, desa ini terletak di Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo. Desa ini terletak di sebelah utara jalan Daendeles dengan ketinggian 0.5 meter diatas permukaan laut. Batas-batas wilayah Desa Bugel yakni sebelah barat berbatasan dengan Desa Pleret; sebelah timur berbatasan dengan Desa Tirtorahayu dan Desa Karangsewu; sebelah utara berbatasan dengan Desa Depok dan Desa Kanoman; dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Jarak desa Bugel dengan kecamatan kurang lebih 3 Km, ke kota Kabupaten kurang lebih 8 Km, ke ibukota Provinsi kurang lebih 20 Km. Secara administratif Desa Bugel memiliki luas wilayah sebesar 642.32 ha dan terdiri dari 10 pedukuhan, 20 RW dan 41 RT, yang terdiri dari pekarangan seluas 443.69 ha, persawahan 127.63 ha dan lainnya seluas 20.25 ha. Pola penggunaan lahan terdiri atas: tegalan 26.73 %; pertanian sawah 17.36 %; lahan pasir 16.35% (untuk pertanian 119 Ha). Selain itu adalah kawasan industri, hutan, bangunan, pemukimam, kawasan peternakan, perdagangan, rekreasi dan olahraga, perikanan darat dan tawar. Di Desa Bugel terdiri dari wilayah lahan pasir dan lahan tanah liat. Lahan pasir di pedukuhan I dan II, sedangkan lahan tanah liat terletak di pedukuhan III sampai dengan pedukuhan X. Desa Bugel terletak di kawasan tepi pantai dengan kondisi topografi yang landai dan datar. Elevasi ketinggian rata-rata Desa Bugel adalah 0.5 meter sampai dengan 10 meter diatas permukaan laut. Kondisi Sosial Budaya Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Salah satu tokoh pelopor utama penemu pengelolaan lahan pasir tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN. Temuan-temuannya adalah budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan lainnya, seperti semangka dan jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain seperti irigasi sumur bronjong. Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga datang salah satunya dari Pak KMN dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel, sebelum akhirnya tersebar ke desa-desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan pertanian lahan pasir untuk budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir
30
Kulon Progo yang terbaik (dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan dan Bugel. Pak KMN juga merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan gerakan atau mobilisasi masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh lainnya. Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni Kelompok Tani Sugih Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok pengajian. Keseluruhan kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi pergerakan perlawanan petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Kelompok tani Sugih Mulyo merupakan bagian dari Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Garuda merupakan basis gerakan petani bagi pemuda-pemuda Desa Bugel. Keberadaan kelompok perjuangan pemuda dirasa penting oleh PPLP-KP, agar perjuangan tetap ada dan terus berlanjut. Penting menanamkan kesadaran bahwa lahan pertanian yang kini telah mengubah kesejahteraan hidup para petani layak diperjuangkan dari segala bentuk penindasan. Kegiatan-kegiatan dari kelompok pemuda ini diantaranya adalah touring menggunakan sepeda motor. Kegiatan ini diadakan untuk mempererat tali silaturahmi diantara sesama pemuda pesisir. Kegiatan tersebut juga aktif untuk menyebarkan semangat perjuangan pemuda untuk melawan rencana pertambangan pasir besi serta sebagai media saling berbagi informasi. Berbeda dengan kelompok pemuda, kelompok pengajian diikuti oleh seluruh kalangan, baik anak-anak, remaja, dewasa maupun tua serta baik perempuan maupun laki-laki. Kelompok pengajian ini ada di tujuh desa di sepanjang desa pesisir. Setiap malam secara bergantian masyarakat desa pesisir berdoa untuk menolak rencana pertambangan pasir besi. Pengajian ini tidak pernah terputus, berlangsung secara terus-menerus hingga saat ini. Di Desa Bugel sendiri pengajian diadakan pada hari rabu. Masyarakat pesisir menyebutnya dengan “mujadahan”. Mujadahan ada atas inisiatif dari masyarakat pesisir. Ide untuk melakukan mujadahan bermula dari kejadian penangkapan salah satu masyarakat pesisir yang tidak bersalah oleh aparat Kepolisian Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo. Sejak saat itu masyarakat pesisir merasa perlu adanya kegiatan untuk mendoakan agar rencana pertambangan pasir besi tidak pernah terlaksana di Kulon Progo. Sejak adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung. Masyarakat kontra pertambangan tidak lagi memiliki rasa empati kepada masyarakat yang pro pertambangan. Menurut pengakuan warga, ketika masyarakat pro pertambangan mengadakan hajatan maka masyarakat yang kontra tidak menghadiri hajatan tersebut. Bahkan jika ada diantara masyarakat yang pro pertambangan meninggal dunia, maka masyarakat kontra pertambangan tidak melayat orang tersebut. Selain itu, antara masyarakat pro dan kontra pertambangan memiliki tempat ibadah masing-masing dalam satu Desa Bugel. Masyarakat pro pertambangan Bugel memiliki kelompok sendiri yang dinamakan Peduli Rakyat yang disingkat dengan Perak. Kelompok ini dibentuk dan dibiayai
31
oleh JMI (Jogja Magasa Iron), yang merupakan salah satu pemilik saham dalam proyek pertambangan pasir besi. Kondisi Pertanian Lahan Pasir1 Penemuan pengetahuan dan teknologi pengolahan lahan pasir merupakan temuan warga petani pesisir sendiri. Dari satu kondisi kehidupan yang serba miskin dan tertinggal kemudian sejak tahun 1985, pengetahuan hasil eksperimentasi tanpa lelah akhirmya menunjukkan hasilnya. Lahan pasir yang sebelumnya kering dan tandus dapat diubah menjadi lahan subur yang bisa di tanamai beragam tanaman pangan, palawija dan buah-buahan yang dapat menjadi produk unggulan2. Kehidupan kemiskinan ekonom dan ketertinggalan secara sosial dan budaya yang dialami wong cubung berbalik secara revolusioner sejak ditemukannya pengolahan lahan pasir. Pak KMN di desa Bugel pada mulanya hanya melakukan eksperimentasi kecil-kecilan mengolah lahan pasir dengan pupuk kandang, sebab ia terinspirasi atas temuan satu pohon cabe yang tetap hidup di lahan pasir dekat pantai. Setelah bertahun-tahun mencoba pengolahan lahan pasir dengan pupuk kandang sebagai pengikat dan ditambahkan dengan obat-obat kimia yang sesuai kebutuhkan tanaman palawijanya ternyata dapat berhasil. Sejak tahun 1985 kemudian pengetahuan dan teknologi itu menyebar di sekitar desa-desa pesisir. Pada tahun 1990-an telah menjadi model pertanian lahan pasir diseluruh pesisir Kulon Progo, dengan tanaman utamanya cabe keriting dan semangka.
Budidaya Palawija dan Buah-buahan (Cabe Keriting dan Semangka) Sejak ditemukannya pengolahan lahan pasir, para petani di Bugel dan Garongan terinspirasi untuk mengeksperimentasikan pertanian lahan pasir ini dengan beragam tanaman pangan. Sudah banyak jenis tanaman pangan yang diujicobakan di lahan pasir, dari padi, kedelai, jagung kacang-kacangan, segala umbi-umbian, beragam buah-buahan; jeruk, melon, blewah, dan segala macam sayur mayur dapat tumbuh dengan sehat. Namun, hasil produksinya di pasaran cukup rendah. Lalu eksperimentasi para petani pesisir inipun berlanjut untuk mencoba jenis tanaman lain yang orientasinya menjadi tanaman unggulan. Sejak ditemukannya cabe keriting dengan jenis Lado dan Helik yang prosesnya cukup panjang, setelah menyeleksi dan mencoba jenis cabe keriting lainnya, kemudian buah semangka sebagai produk unggulan petani pesisir. Mayoritas petani pesisir cenderung menanam keduanya sebagai produk unggulan (khususnya di desa Garongan dan Bugel). Meskipun dalam prakteknya model tanam tumpang sari dengan tanaman sayur mayur dan palawija lainnya tetap dilakukan, seperti kacang 1
Kondisi pertanian lahan pasir ini berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan atas kerjasama STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo Institute) yang berjudul Laporan Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika penguasaan agraria dan sistem produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan klaim penguasaan dan kepentingan peruntukan uang. 2 Secara Lebih detail sejarah penemuan pengetahuan dan teknologi pertanian lahanpasir ini telah di dokumentasikan dalam sebuah film yang mengangkat kisah biografi Pak karman (dari dusun Bugel) dengan Judul “ Menyebar Asa di Pasir” (sebuah Film Dokumenter), oleh Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.
32
panjang, sawi, terong dan sebagainya, namun tanaman tersebut hanya untuk tambahan saja. Atau menurut bahasa warga “sekedar untuk tambahan beli pulsa”. Sebab, bagaimanapun warga Garongan dan Bugel sudah mapan dengan cabe keriting dan buah semangka. Penghasilan dari tanaman cabe merah kriting dan lahan pasir yang subur telah mengubah drastis kehidupan sosial ekonomi masyarakat garongan dan sekitarnya. Meski luas lahan mereka rata-rata hanya 2000-3000 m2 (dan paling luas di Desa Garongan hanya 7000 m2) sudah cukup bahkan lebih untuk kebutuhan sehari-hari. Setiap panen raya pada bulan Juni hingga Agustus, dengan luas lahan 2000-3000 m2 dengan harga cabe Rp 7000-10.000/Kg untung bersih (setelah dipotong ongkos produksi dan buruh panen) yang masuk 15-20 juta. Tanaman semangka mesipun tidak sebesar cabe keriting, namun penghasilan panennya hampir separuh dari panen cabe keriting. Dengan penghasilan seperti itu, masyarakat dipesisir Kulon Progo (khususnya di desa Bugel dan Garongan) akan mempertahankan mati-matian atas lahan mereka, dan sangat wajar jika mereka sangat bergantung sekali dengan hasil tanaman cabe dan semangka dari lahan pasir mereka.
Tonggak-tonggak irigasi Salah satu temuan penting dari petani pesisir yang mendukung pengetahuan dan teknologi pertanian lahan pasir adalah teknologi irigasi. Seiring ditemukannya teknik pengolahan lahan pasir dengan pupuk kandang yang telah berhasil untuk tanaman cabe dan palawija, petani juga memikirkan bagaimana irigasi untuk tanaman tersebut. Tonggak-tonggak perubahan dari teknologi irigasi ala pesisir Kulon Progo ini bertahap. Pada mulanya, tahap pertama, kebutuhan air di pasok dari sumur-sumur sederhana yang dibuat dengan menggali pasir sedalam mungkin agar muncul air tawar untuk tanaman. Namun setiap dua meter, selalu ambruk lagi, meski air sudah di dapatkan. Tahap kedua, dibuat sumur bronjong. Dengan membuat anyaman bambu yang bungkus sarung untuk menayaringnya dari pasir. Cukup lumayan hasilnya namun tidak terlalu mencukupi untuk kebutuhan tanaman dan pertanian yang ada. Tahap ketiga, mulai dibuat sumur renteng. Setelah lubang-lubang sumur dibuat dibawah sumur utama dipasang bambu-bambu panjang yang telah dilubangi tengahnya untuk menghubungkan ke sumur-sumur lain untuk ditimba airnya dan disiramkan secara manual dengan gembor ke tanaman-tanaman cabe. Tahap keempat, dibuat sumur renteng yang menggunakan asbes. Pada tahap ini sumur-sumur renteng lebih kuat karena telah dibuat dengan asbes yang memagari sumur-sumur tersebut, sehingga tidak mudah runtuh kembali dan menjaga agar air tetap tergenang banyak. Tahap kelima, sumur dengan paralon. Setelah melalui usaha-usaha untuk memudahkan mendapatkan air para petani melirik paralon sebagai pengganti bambu-bambu dan sumur asbes. Dengan pompa air dan paralon yang saling menghubungkan akhirnya air dapat dipompa keluar dan mudah dialirkan dan diambil untuk disiramkan ke tanaman. Tahap keenam, siram dengan selang. Semakin hari petani berusaha memudahkan untuk menyiram tanaman cabe mereka yang memang membutuhkan siraman setiap hari. Saat mengenal selang, mereka tidak lagi menggunakan gembor. Penggunaan paralon yang lebih rapi dan saling menghubungkan di titiktitik tertentu sepanjang luas lahan yang ada, mereka memasang selang panjang
33
yang di ujungnya diberi semacam shower yang bisa menjadi alat siram pengganti gembor. Sehingga sampai saat ini, dengan cadangan air tawar yang cukup dan peralatan siram selang paralon ini sangat dimudahkan dan tercukupi untuk menyirami tanaman cabe mereka. Belakangan ini mereka mulai melirik modal penyiraman tanaman yang dikembangkan untuk tanaman buah naga di daerah Gelagah yang memakai teknologi siraman yang berputar sendiri ala siraman rumput kebun untuk diuji cobakan. Sayang masih tergolong mahal, sehingga belum banyak yang mencoba.
Jalan Usaha Tani Faktor penting lainnya yang mendukung penemuan teknologi pengolahan lahan pasir hingga produktifitas cabe keriting dan semangka di desa Bugel dan Garongan serta beberapa desa di sekitar pesisir Kulon Progo adalah keberadaan jalan usaha tani yang menembus dari jalan utama ke lahan garapan dan pemajekan warga. Sebelumnya para petani sangat kesulitan untuk mengangkut hasil panen mereka, sehingga membuat banyak petani tidak maksimal untuk menanam beragam tanaman di lahan pasir mereka (baik pemajekan maupun garapan). Berkat kerja keras, negosiasi dan tekanan beberapa tokoh kelompok tani ke pihak pemerintah desa (Garongan dan Bugel), ke kecamatan Panjatan, ke kabupaten hingga provinsi untuk menyuarakan pentingnya jalan usaha tani ini akhirnya berhasil. Pak Karman di desa Bugel dan Pak Diro di desa Garongan dengan kelompok taninya adalah beberapa orang yang ikut mendorong keberhasilan dibangunnya jalan usaha tani tersebut. Jalan makadam (dengan batu putih) ini dibangun untuk memudahkan transportasi dari lahan sawah warga ke jalan raya. Mereka menyebut jalan ini sebagai ‘jalan usaha tani’. Sebagian besar jalan usaha tani yang ada di daerah Bugel dan Garongan adalah hasil perjuangan warga sendiri, meski awalnya ditolak oleh pemerintah desa maupun pemerintah daerah setempat dengan alasan akan memperluas lahan pertanian warga di tanah Paku Alaman Grond. Namun, akhirnya warga tetap diberi keleluasaan untuk membangun jalan tersebut, sebagian dana pembangunan berasal dari pemerintah sementara para petani membangun dan meratakan jalan secara swadaya dan bergotong royong. Dengan dibangunnya jalan usaha tani tersebut warga pesisir sekarang semakin dimudahkan untuk mengangkut hasil panen dan hasil bumi ke jalan utama.
Sistem Lelang Sejarah Lelang, di temukan dan dimulai dari gagasan Pak Sudiro (Ketua Kelompok Tani Bangun Karyo) di Desa Garongan sejak tahun 2002. Latar belakang munculnya sistem lelang ini di dasari oleh keresahan para petani pesisir yang kerap dibohongi dan dipermainkan soal harga, hasil pertanian mereka (terutama semangka dan cabe keriting). Sebab sebelumnya (saat sistem lelang belum ditemukan), para pembeli dan juragan membeda-bedakan harga hasil panen petani pesisir sesuai hasil negosiasi dengan para petani. Jika petani bisa ditekan, maka akan dapat harga murah dan sebaliknya. Akibatnya, diantara para petani sering terjadi ketegangan dan konflik. Sehingga antar mereka berkompetisi untuk ‘saling mendekat dan menjilat’ para juragan dan pembeli hasil panen mereka, yang mengarah pada kompetisi yang tidak sehat. Bahkan, lebih jauh konflik tersebut merembet sampai pada unit
34
keluarga, sebab antar satu keluarga dengan keluarga lain saling bersaing dan mengejek hasil penjualan cabe mereka yang dihargai lebih murah dan yang lain membanggakan diri karena terjual dengan harga yang tinggi dan lebih mahal. Pada tahun 2002, Pak Sudiro sebagai ketua kelompok tani Bangun Karyo, berusaha mencari jalan penyelesaian nasib petaninya dengan berusaha mengumpulkan hasil panen cabe di kelompoknya di satu tempat, yaitu di rumahnya sendiri. Kemudian para pembeli dan juragan cabe diminta datang dan menawar harga. Bagi para pembeli dan juragan yang mampu menawar paling tinggi dialah yang berhak untuk membawa pulang semua hasil panen di kelompok Pak Sudiro. Ternyata inisiatif awal ini dilihat oleh kelompok dan para juragan cabe yang lain. Sehingga para juragan dan pembeli cabe yang belum dapat kula’an (bahan jualan) meminta jatah dari Pak Diro dan kelompoknya. Melihat permintaan dan kemampuan untuk menentukan harga yang lebih baik seperti itu, Pak Diro berinisiatif untuk mengajak kelompok tani lainnya untuk mengumpulkan hasil panen cabe mereka di satu tempat untuk kemudian di “lelang” kan ke juragan dan pembeli cabe. Ternyata gagasan itu disambut baik dan antusias. Pada awalnya, para juragan dan pembeli cabe menulis harga tawaran mereka pada secarik kertas dan dimasukkan ke dalam kotak kecil (seperti kotak amal masjid), kemudian kotak tersebut diputarkan ke rumah-rumah para juragan dan pembeli cabe. Sehingga pada saat itu masih terjadi manipulasi harga, ketika pembawa kotak berkunci itu ‘kong kalikong’ dengan salah satu juragan dan pembeli cabe, yang kemudian memberi harga lebih tinggi, setelah melihat harga dari pembeli lainnya. Namun sekarang, kotak tempat harga para juragan itu harus ditaruh di tempat terbuka dan ketika para juragan dan pembeli cabe memasukkan secarik kertas harga pembelian mereka dimaksukkan di depan khalayak umum. Sehingga keamanan kotak tersebut bisa terjaga. Dan setelah semua juragan dan pembeli selesai memasukkan harga mereka, maka panitia membuka dan membacakan harga-harga tersebut, dan menuliskannya di white board yang telah disediakan, sesuai dengan jenis cabe yang dibeli dan dari kelompok mana yang hendak dibeli. Masing-masing juragan dan pembeli boleh menaruh dua atau tiga harga sekaligus, baik langsung maupun melalui titipan ke orang lain (melalui pesan singkat atau telepon) yang hadir di tempat lelang. Dan bagi pemilik harga tertinggilah yang akan menjadi pemenang untuk mengangkut semua hasil panen di tempat lelang tersebut. Rata-rata harga selisih antar pembeli tidaklah jauh, berkisar Rp.2000-3000. Sehingga prediksi dan keahlian untuk menakar pasar mutlak diperlukan bagi para pembeli dan juragan cabe di pesisir, jika tidak ia akan mudah kalah. Bagi para petani cabe di pesisir Kulon Progo, sistem Lelang sangat menguntungkan hasil lelang mereka. Selain daulat harga cabe mereka ada dari para pembeli dan juragan cabe, juga sebagai media untuk memutus konflik antar petani dan ketegangan di dalam keluarga yang dulu kerap terjadi di setiap musim panen cabe. Sekarang sistem lelang telah jamak digunakan dan tersebar di kalangan petani pesisir Kulon Progo, khususnya dan hanya untuk tanaman cabe, tidak pernah untuk hasil panen pertanian yang lain. Setelah marak dan dipakai oleh banyak kelompok Tani Cabe di pesisir Kulon Progo, kini sistem lelang sudah mulai diakui pemerintah dan mulai
35
didukung untuk dikembangkan lebih luas dengan bantuan pembuatan tempat tetap dan alat pendukung dari pasar lelang. Jika dihitung, maka dapat disebutkan bahwa fasilitas pasar lelang yang sudah ada di desa-desa adalah sebagai berikut: 1. Desa Glagah : 2 tempat 2. Desa Garongan : 1 tempat 3. Desa Bugel : 1 tempat 4. Desa Karang Sewu : 2 tempat 5. Desa Trisik : 1 tempat 6. Desa Karangwuni : belum ada
Penanganan Hama ala Petani Beberapa petani pesisir telah menemukan teknologi dan pengetahuan tentang bagaimana menangani hama-hama tanaman di lahan pasir mereka secara mandiri. Salah satu yang pernah diseminarkan dan diakui oleh pihak Fakultas Pertanian Kampus Universitas Gajah Mada (UGM) dalah temuan Pak Karman, pelopor pertanian lahan pasir dari Bugel, tentang hama Uret di cabe keriting3. Meskipun pengetahuannya pada mulanya didapatkan dari pendidikan dan pelatihan dari Dinas Pertanian, namun keuletannya dalam menekuni dan menghayati tanaman lahan pasirnya menjadikan ia peka dan tahu persis beragam hama dan virus yang menghinggapi tanamannya sejak hama tersebut dikeluarkan dari induknya hingga berkembang menjadi bentuk hama dan kemudian menjadi induk baru. Namun banyak temuan pengetahuan data teknologi dalam pertanian lahan pasir yang hanya ia ingat saja dan sebagian ia tulis ala kadarnya. Namun begitu, sampai saat ini telah banyak mahasiswa dari beragam jurusan dan beragam strata S1, S2 dan S3 dan mendampingi doktor-doktor dalam bidang pertanian dari beragam kampus di Indonesia dalam studi dan penelitiannya tentang pertanian di lahan pasir. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir4 I.
Sebelum Pengolahan Lahan Pasir Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Orang-orang yang dulu ingin memanfaatkan lahan pasir tersebut hanya bisa dilakukan di musim kemarau 3
Lebih jauh lihat, makalah Pak karman tentang “Penaganan Hama Uret di Cabe Keriting” makalah sipresentasikan di UGM pada tahun 2007 (tidak diterbitkan), kemudian atas seizin beliau, temuanitu dikembangkan salah seorang calon doktor pertanian di UGM dan menjadikan temuannya itu sebagai bahan desertasinya, dan menjadikannya seorang Doktor pertanian. Pada bulan agustus 2009 lalu, pak Karman berkat jasa dan temuannya dalam dunia pertanian lahan pasir dan telah membantu dunia akademik dengan membimbing dan membantu puluhan mahasiswa S1, S2 dan S3 dalam kajian di pertanianlahan pasir, dianugerahi penghargaan sebagai petani pelopor petanian lahan pasir oleh fakultas Pertanian UGM. Lihat, Kompas, 29 September 2009. 4 Sejarah kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir ini berdasarkan hasil riset yang dilaksanakan atas kerjasama STPN (Sekolah Tinggi Pertanahan Negara) dan SAINS (Sajogyo Institute) yang berjudul Laporan Kabupeten Kulon Progo. Laporan ini menganalisis dinamika penguasaan agraria dan sistem produksi di wilayah pesisir yang berhimpitan dengan benturan klaim penguasaan dan kepentingan peruntukan uang.
36
dengan beberapa tanaman saja yaitu tanaman ketela dan kentang kleci (kecil). Sulit diharapkan gurun pasir tersebut memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat. Ketika musim kemarau datang angin laut yang keras yang mengarah ke desa selalu membawa penyakit debu dan pasir yang menyebabkan sakit mata massal (belek’an) di hampir seluruh desa di pesisir. Banyak warga yang keluar dan bekerja di luar desa karena tidak tahan hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan. Sebagian kecil menjadi TKI ke Malaysia, Hongkong, dan Timur Tengah. Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Menurut Pak Diro seorang pelopor dan ketua kelompok tani di Garongan, banyak warga Garongan dulu yang bekerja sebagai Rembang tebu (pemanen tebu), pembuat sungai, atau pencari batu apung di pantai, sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Banyak diceritakan warga Garongan dan Bugel, bahwa dalam kehidupan sehari-hari untuk makan nasi saja hanya bisa sekali, selebihnya adalah ketela (ubi jalar atau ubi kayu) yang rebus atau digoreng. Rata-rata warga tidak mengecap pendidikan, jikapun ada hanya sampai Sekolah Dasar saja, dan sebagian besar tidak lulus. Sebagaimana diceritakan sebelumnya, kondisi lingkungan masyarakat desa Garongan dan Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan. Secara fisik tempat tinggal mereka masih berupa gedek anyaman (bambu) dan beratap blarak (anyaman daun kelapa). Mayoritas basis subsitensi warga adalah buruh tani dan landless hanya bergantung pada petani kaya di sebelah desa (non-pasir). Meskipun mereka ada yang menanam tanaman di lahan pasir, di musim kemarau seperti: kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci. Namun tak cukup untuk kebutuhan minimum keseharian, maka apapun kerja buruh yang bisa menghasilkan akan dilakukan. Kondisi kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang kemudian membuat orang luar (non-pasir) yang lebih sejahtera sering menyebut mereka sebagai “Wong Cubung”. Jika ditelusuri lebih jauh setidaknya ada empat hal yang menjadikan kemiskinan warga desa pesisir atau wong cubung ini bertahan terus menerus, yaitu; pertama: Persepsi terhadap lahan pasir dan gurun atau bentuk hubungan dengan alam (gurun pasir). Bagi masyarakat pesisir waktu itu gurun pasir hanyalah lahan kering yang sudah tak bisa diolah lagi ibarat tanah mati. Kalaupun mereka coba-coba untuk mengolahnya adalah sekedar saja, dan itupun bergantung pada air hujan atau ladang tadah hujan, dan sifatnya berpindahpindah sesuai dengan kondisi lahan yang hendak ditanamai. Karena itu mayoiritas ‘wong cubung’ tidak berharap banyak dari lahan pertanian pasir mereka, tetapi lebih banyak kerja di luar pertanian, sebgaimana dijelaskan di muka. Kedua, keterbatasan kemampuan untuk pemanfaatan lahan pasir. Ketidaktahuan, ketiadaan pengetahuan dan teknologi pertanian pengolahan lahan pasir menjadikan masyarakat pesisir atau wong cubung berasumsi bahwa sampai kapanpun tanaman yang cocok bagi lahan pasir kering mereka adalah tanaman tahan kering seperti kacang tanah, ketela kaspo, ketela muntul dan kentang kleci. Meskipun sebenarnya mereka tahu bahwa tanaman tersebut tidak akan mencukupi kebutuhan subsistensi mereka sehari-hari. Namun, hanya itulah yang mereka mampu saat itu. Sementara untuk keluar dari dunia pertanian, tingkat keterampilan dan pendidikan mereka tak memungkinkan untuk berkompetisi.
37
Maka, sebagian anak muda mengadu nasib menjadi buruh kasar di kota terdekat atau merantau ke kota besar, sebagian kecil keluar negeri menjadi TKI, khususnya ke Singapura, Hongkong dan Timur Tengah. Ketiga, Ketidakpastian ‘Identitas ‘ Lahan Pasir. Sebab pertama dan kedua tak bisa dilepaskan dari faktor ketiga ini. Sebagian nenek-moyang pertama yang mendiami gurun pasir ini mengerti bahwa mereka hanyalah nunut (numpang) di lahan milik Paku Alaman Grond. Meskipun dapat dipastikan mereka tak tahu persis bagaimana bentuk legalitas identitas lahan Pakualaman Grond itu termasuk batas wilayahnya. Yang mereka tahu waktu itu adalah seluruh pesisir Kulon Progo adalah milik keraton Paku Alaman. Ketidaktahuan pengetahuan hukum formal pertanahan di lahanpasir ini mengakibatkan para ‘wong cubung’ tak punya kemampuan dan imajinasi lebih untuk mengolah lahan pasir yang mereka diami selama ini. Yang penting masih bisa hidup, tinggal dan menetap diatas lahan pasir tersebut sudah untung. Meskipun demikian seiring terbukanya informasi, mendorong sebagian kecil dari warga memahami status lahan yang disebut terlantar atau tanah merah dan boleh untuk diolah oleh warga yang mendiaminya selama tidak mengubah bentuk aslinya. Sebagian lain kemudian jug amengetahui status tanah absente, tanah swapraja dan UU Pokok Agraria 1960 yang mendorong dan menjamin mereka untuk mengelola lahan pasir tersebut sebgai lahan pertanian mereka. Keempat, Relasi kuasa Timpang Pembangunan: Pusat-Pinggiran. Ketika sebagian warga pesisir sudah mulai menetap dan mengembangkan lahan pasir mereka menjadi pertanian meskipun belum seperti sekarang ini, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa daerah pesisir belum dipandang ‘potensial’ secara ekonomi-politik bagi pemerintah daerah dan provinsi. Sehingga pembangunan di sekitar pesisir tidak sekuat dan sepesat di daerah kabupaten lain, seperti Bantul dan Sleman. Disain pembangunan yang timpang ini bukan saja karena daya potensi pesisir Kulon Progo yang secara ekonomi politik tidak sekuat kabupaten lain, namun secara sosial daerah Garongan khususnya, dianggap tempat kriminalitas (para Garong) tinggal dan bersembunyi. Sehingga memakai istilah Chambers (1983), pembangunan pedesaan hanya berorientasi menurut kacamata kalangan ‘elit’ dan ‘orang luar’ dan menutup potret ‘kemiskinan’ yang sebenarnya berdiam kuat di dalam pinggir-pinggir pedesaan yang hampir ‘tak terdengar’ karena terlapisi oleh kebijakan pembangunanisasi yang melulu pada orientasi ke pusat dan meminggirkan yang pinggiran. Keempat faktor yang saling terhubung dan membangun relasi secara dinamis inilah yang ikut mendorong proses kemiskinan di masyarakat pesisir atau wong cubung sebelum ditemukannya teknologi dan pengetahuan pengolahan lahan pasir. II.
Sesudah Pengolahan Lahan Pasir Pada tahun 19855 setelah berulangkali berusaha untuk merubah lahan pasir sebagai lahan pertanian yang tidak berhasil, salah seorang dari (penduduk) yang
2
Dalam sebuah presentasi di UGM seorang petani Kulo Progo bernama Karman menjelaskan secara kronologis bagaimana mula rencana penambangan Pasir Besi di Kulon Progo. Disampaikan dalam acara Kuliah Umum Mahasiswa Baru Fakultas Pertanian UGM, 23 Agustus 2008, Gedung Auditorium Harjono Danusastro, Bulaksumur. Sukarman adalah Pengurus Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Pesisir Kulon Progo D.I. Yogyakarta, penangkar benih cabe, pengiat lembaga
38
sedang berjalan-jalan di bibir pantai tanpa sengaja melihat sebatang tanaman cabe liar yang tumbuh dan berbuah di tengah gumuk pasir yang menggurun. Muncullah gagasan, “mengapa cabe ini bisa tumbuh di pasir ini, kenapa tak dicoba menanam cabe?”. Maka, dimulailah sejarah pertama penanaman cabe di lahan pasir yang tandus dan kerontang itu. Persolan awal yang muncul adalah air tawar. Lalu warga pesisir mulai menggali pasir yang terus-menerus longsor untuk menemukan air. Dari usaha keras tersebut warga menemukan bahwa 3 meter di bawah hamparan gumuk pasir pantai ini ternyata tersimpan air tawar, benar-benar tawar, sehingga ikan sungai pun mampu hidup. Penemuan ini oleh petani pesisir dianggap sebagai berkah yang luar biasa. Namun kondisi pasir yang mudah longsor membuat warga kesulitan mengambil air setiap saat. Maka, berbagai macam eksperimentasi untuk mengatasi longsoran pasir tersebut di coba. Awalnya warga mencoba membuat dinding sumur dari anyaman kelapa berkerangka bambu (gronjong) bahkan dengan kain sarung. Cara ini pada mulanya cukup membantu. Akan tetapi timbul masalah baru, angin pantai yang membawa serta garam ternyata dapat mengeringkan tanaman warga. Maka, mulailah para petani pesisir memagari hamparan ladangnya dengan anyaman daun kelapa. Dengan pupuk, teknologi dan teknik pengolahan pertanian yang sederhana sudah cukup membawa dan mampu membantu warga pesisir pantai memperbaiki keadaan, setidaknya dua tahun berikutnya. Pada tahun 1987-1989, sumur berdinding gronjong tradisional mulai diganti dengan sumur berdinding semen dan dilengkapi dengan timba. Pekerjaan menimba menjadi lebih ringan dari sebelumnya ketika masih harus mengangkut air ke atas. Simpanan penghasilan warga yang mulai cukup dikumpulkan secara gotong royong digunakan untuk memperbaiki pengairan dalam jangka waktu dua tahun. Pada tahun 1990-1992, petani pesisir Kulon Progo mulai memikirkan cara pengairan yang lebih menghemat tenaga, yaitu dengan sumur renteng. Sumur induk yang sudah dibikin warga sebelumnya, dilengkapi dengan sumur-sumur kecil yang dihubungkan oleh pipa, yang pada awalnya terbuat dari bambu lalu kini berganti menjadi pipa plastik. Dengan adanya sumur-sumur penampung ini, petani pesisir tidak harus bolak-balik ketika menyiram tanaman. Bahkan akhirnya setelah cukup dana dan kemampuan warga dengan bergotong royong mampu membeli pompa air untuk mengangkut air dari sumur induk. Kini, beberapa kelompok tani termasuk PPLP (Paguyuan Petani Lahan Pasir) telah mengembangkan penyiraman dengan selang, tanpa sumur renteng lagi. Menurut keterangan dari petani pesisir,6 pada tahun 1995, menteri pertanian waktu itu sempat berkunjung di daerah Kulon Progo dan membawa serta para pakar dan perwakilan kelompok tani dari seluruh Indonesia untuk belajar dari ekonomi petani Gisik Pranaji. Bab ini hendak menjelaskan kilasan sejarah berdasarkan dari persepekif warga petani Kulon Progo tersebut dengan menambahkan, menganalisa dan membahas beberapa bagian yang terkait dengan tema kajian ini berdasarkan pada hasil diskusi dan wawancara penulis dengan petani Pesisir kulon Progo. 6
Presentasi dan Diskusi Petani Pesisir Kulon Progo di Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, tanggal 19 November 2008.
39
pengalaman petani pesisir tersebut mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif yang subur. Satu tahun berikutnya, Universitas Gadjah Mada melakukan penelitian untuk membantu menanggulangi angin dengan menanam cemara udang, sebagai benteng pertahanan menggantikan peran gumuk pasir yang telah berubah menjadi hamparan palawija. Kehadiran para ilmuwan kampus ini cukup sangat membantu petani pesisir Kulon Progo meningkatkan produksi dan keuntungan pertanian mereka. Pada saat teknologi sederhana dan tepat guna diterapkan, seperti: mulsa (penutup tanah) jerami dan pelapisan tanah liat di bawah permukaan ladang pasir membuat tanaman mereka lebih sehat dan subur. Bisa dibayangkan kesenangan dan kebahagiaan warga atas hasil pertanian mereka, ketika harga cabe di tingkat petani Rp. 7000,00/kg pendapatan petani pesisir bisa mencapai per bulan (3-4 kali panen) dapat 5-10 juta rupiah. Padahal harga cabe belakangan ini rata-rata Rp. 15.000/ kg. Maka tak heran, menurut pengakuan para petani pesisir tersebut, mereka mampu meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu. Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu membantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan). Maka, tak heran jika petani pesisir Kulon Progo sekarang termasuk menjadi pemasok cabe yang cukup penting bagi pasar nasional, dengan hasil rata-rata 70 ton per hari. Belum lagi hasil tani yang lain seperti sawi, melon, semangka, jagung, dan bawang merah yang menjadi hasil sampingan yang juga dapat tumbuh subur di lahan pasir yang dulu tandus-kerontang itu. Keberhasilan gemilang seperti inilah yang membawa petani pesisir bermimpi, suatu hari kelak, kawasan di mana mereka tinggal, akan berubah menjadi lebih kaya akan jenis tanaman dan satwa serta memberi manfaat kepada banyak orang disekitarnya, suatu ketika dapat menjadi kawasan wisata tani yang berwawasan lingkungan (desa wisata). Selain akan mendatangkan pemasukan bagi pemerintah melalui desa wisata, keanekaragaman dan keajaiban alam di kawasan ini akan melahirkan ilmuwan kampus yang mumpuni di bidang pertanian dan lebih banyak lagi.
Ikhtisar Desa Bugel merupakan dataran rendah yang terletak di pinggiran Samudera Hindia meluas ke arah utara. Lahan yang digunakan untuk pertanian seluas 119 Ha.Salah satu tokoh pelopor utama penemu pengelolaan lahan pasir tinggal di Desa Bugel, beliau bernama Pak KMN. Temuan-temuannya adalah budidaya cabe keriting, palawija dan buah-buahan lainnya, seperti semangka dan jeruk. Beliau juga penemu teknologi pertanian lain seperti irigasi sumur bronjong. Sejarah kelompok tani dan sistem lelang juga datang salah satunya dari Pak KMN dan salah satunya dimulai dari Desa Bugel, sebelum akhirnya tersebar ke desa-
40
desa pesisisir lainnya. Sehingga bisa dikatakan pertanian lahan pasir untuk budidaya cabe keriting dan buah semangka di pesisir Kulon Progo yang terbaik (dari segi kualitas dan kuantitas) adalah di Garongan dan Bugel. Pak KMN juga merupakan pendiri dan ‘sesepuh’ Paguyuban Petani Lahan Pasir (PPLP) Kulon Progo, sehingga salah satu inisiator perundingan dan gerakan atau mobilisasi masa kerap datang dari Beliau, selain tentunya tokoh lainnya. Kondisi lahan pasir di pesisir Kulon Progo sebelum ditemukannya teknik dan teknologi pengolahan menjadi lahan subur seperti sekarang ini, merupakan gurun pasir tandus yang penuh alang-alang. Sebagian warga hidup dengan berdagang kecil-kecilan, berjualan ternak (blantik), buruh tani dan penggembala kambing. Kondisi lingkungan masyarakat Desa Bugel tergolong sangat tertinggal dan miskin secara sosial dan ekonomi dibanding desa-desa lain di kecamatan Panjatan. Namun, sejak adanya pengolaan lahan pasir, mereka mampu meningkatkan taraf hidup serta kepercayaan diri atas kemampuan mereka sendiri. Selain itu petani Pesisir juga mampu menyekolahkan anak-anak mereka sampai jenjang perguruan tinggi, dengan harapan generasi mendatang tak perlu lagi mengulang sejarah kemiskinan di pesisir Kulon Progo dulu. Dampak lainnya, keberhasilan pengelolaan tanaman cabe ini membuat para pemuda di desa lebih memilih untuk menetap di desanya ketimbang migrasi ke kota, sebab lahan kini pasir telah menjanjikan penghidupan. Warga pesisir juga mampu memmbantu menolong petani lain di luar daerah mereka untuk menjadi buruh petik dengan upah yang di atas rata-rata (Rp. 25.000,00 per orang belum termasuk makan). Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk Desa Bugel ialah Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia. Terdapat beberapa kelompok di desa ini yakni Kelompok Tani Sugih Mulyo, kelompok pasar lelang, Garuda, dan kelompok pengajian. Keseluruhan kelompok yang ada di Desa Bugel merupakan basis bagi pergerakan perlawanan petani menolak rencana pertambangan pasir besi. Sejak adanya isu pertambangan pasir besi, masyarakat pesisir Desa Bugel terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat kontra pertambangan. Masyarakat kontra pertambangan memiliki kesepakatan bersama untuk memberikan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro pertambangan. Sanksi sosial tersebut berupa diputuskannya hubungan kekeluargaan, baik antara tetangga maupun sesama saudara kandung.
PENDAPAT PEREMPUAN DESA BUGEL TENTANG KONFLIK PEREBUTAN LAHAN PASIR KULON PROGO Bab ini berisi tentang pendapat perempuan pesisir Desa Bugel terhadap masalah yang mereka hadapi yakni konflik perebutan lahan pasir Kulon Progo antara JMI (PT. Indomines Australia, Kesultanan Jogjakarta, Paku Alaman), pemerintah, dan masyarakat pesisir serta pendapat mereka terhadap perlawanan yang mereka lakukan, baik perlawanan fisik maupun perlawanan non fisik.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Konflik Perebutan Lahan Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Menurut cerita perempuan Desa Bugel TSB, 41 tahun Isu penambangan sudah ada sejak lama. Beberapa tahun lalu ada beberapa pihak yang masuk ke beberapa desa pesisir. Mereka meminta izin kepada sesepuh-sesepuh desa untuk meneliti kandungan-kandungan yang terdapat dalam lahan pasir. Kami tidak mengetahui hal tersebut, kami hanya melihat mereka sedang mengebor lahan pasir. Kami tidak tahu siapa mereka dan untuk apa itu dilakukan. Usut punya usut ketika isu pertambangan santer di masyarakat, kami tahu bahwa itu semua adalah untuk kepentingan penambangan. Tahun 2008 puncak-puncaknya tekanan yang diberikan kepada kami. JMI terus memaksa kami untuk menyetujui penambangan. Mereka mengklaim bahwa lahan pertanian kami milik PAG dan SG. Padahal kami jelas-jelas mempunyai bukti bahwa pada masa Sultan Hamengku Buwono IX lahan tersebut telah diberikan kepada kami dan dalam isi surat tersebut disebutkan bahwa lahan pesisir Kulon Progo hanya diperuntukan untuk kegiatan pertanian, tidak boleh diperuntukan untuk penambangan ataupun aktivitas-aktivitas yang dapat mengubah fungsi lahan. Kami benar-benar tidak menyangka bahwa Sultan Hamengku Buwono X menarik kembali surat tersebut, apa yang telah diberikan kepada rakyat. Mereka sudah dibutakan dengan kekuasaan dan uang. Raja justru berpihak kepada kepentingan asing. Kami seolah-seolah penghambat proyek pembangunan yang harus disingkirkan. Tidak hanya itu, sekarang Sultan sedang gencar membangun hotel-hotel diikuti aksi penggusuran di atas lahan masyarakat. Selain itu juga sudah dicanangkan pembangunan bandara untuk mendukung beroperasinya penambangan. Dimana hati nurani mereka semua? Selain itu, Konflik di Kulon Progo juga merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok masyarakat kontra pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Kelompok masyarakat netral tidak berpihak ke kelompok mana pun, masyarakat pesisir menyebutnya “mereka pihak yang mengambil posisi aman, mereka hanya memikirkan kepentingan
42
mereka sendiri, mereka tidak ikut melawan, namun sebenarnya posisi mereka diuntungkan dengan adanya perlawanan masyarakat pesisir,”. Setidaknya terdapat tiga penyebab terbentuknya kelompok pro dan netral terhadap pertambangan. Pertama, kelompok masyarakat pro pertambangan dan kelompok masyarakat netral pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang tidak bermata pencaharian sebagai petani. Pada umumnya mereka bekerja di setor pemerintahan, sebagai pegawai negeri sipil dan lain sebagainya. Mereka tidak menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Kedua, mereka adalah penduduk pendatang di pesisir Kulon Progo sehingga mereka tidak memiliki keterikatan sejarah dengan lahan pasir. Mereka tidak menjadi bagian dalam sejarah masyarakat pesisir Kulon Progo yang telah berhasil mengubah lahan tandus menjadi lahan subur untuk pertanian. Ketiga, mereka yang berpegang teguh pada nilai-nilai adat Kesultanan Jogjakarta. Kelompok ini menganggap bahwa seluruh tanah yang mereka miliki adalah milik raja. Raja berhak menentukan untuk apa diperuntukan lahan yang dimiliki rakyat. Segala sesuatu yang datang dari raja akan membawa berkah. Masyarakat harus “manut” dan menghormati perintah raja. Membangkang terhadap keputusan raja maka akan membawa petaka. Oleh karena itu ketika isu pertambangan pasir besi berhembus, masyarakat kelompok ini mempercayai bahwa pertambangan akan membawa pada kemakmuran dan kemajuan masyakat pesisir Kulon Progo. Sejak adanya rencana pertambangan pasir besi, timbul kesenjangan di antara masyarakat pro dan kontra pertambangan. Perempuan pesisir Desa Bugel ELS, 29 tahun dan WWI, 44 tahun menuturkan bahwa Kesenjangan tersebut sangat nyata terlihat di masyakarat. Kami sangat ketat menerapkan sanksi sosial kepada masyarakat yang pro pertambangan. Itu telah menjadi kesepakatan di seluruh desa pesisir Kulon Progo. Bentuk sanksi sosial tersebut adalah terputusnya hubungan dengan kelompok masyarakat pro pertambangan. Jika mereka adalah ibu dan anak, maka terputuslah hubungan antara ibu dan anak kandungnya, jika mereka adalah tetangga maka terputus lah hubungan tetangga diantara mereka. Antara kelompok masyarakat pro dan kontra pertambangan tidak boleh saling berkomunikasi, tidak boleh melayat masyarakat pro yang meninggal dunia, tidak boleh menghadiri hajatan yang diadakan oleh masyarakat pro, dan tidak boleh menjenguk masyarakat pro yang sedang sakit. Di Desa Karang Huni, bahkan mayat masyarakat pro tidak boleh dikebumikan di tanah pesisir Kulon Progo. Di Desa Bugel sendiri, tempat ibadah masyarakat pro dan kontra pertambangan terpisah. Pernah terjadi insiden bentrok antara masyarakat pro dan kontra pertambangan karena tiba-tiba masyarakat pro pertambangan melarang kami melintas jalan di depan masjid orang-orang pro. Kami ya tidak bisa menerima diperlakukan seperti itu. Itu kan jalan umum, mereka tidak berhak bertindak seperti itu. Kesenjangan tersebut tidak saja terjadi di antara kami orang dewasa, bahkan anak-anak secara otomatis di dalam alam bawah sadar mereka tertanam rasa untuk melawan dan menolak orang-orang yang pro pertambangan. Di sekolah, anak-anak kontra pertambangan tidak mau berteman dengan anak-anak pro pertambangan, bahkan mereka menolak sekelas dengan anak-anak pro. Kami para orang tua padahal tidak pernah mengajarkan seperti itu,
43
karena mereka masih anak-anak. Di sekolah, anak-anak kami tidak menggambar pemandangan seperti pada anak umumnya seumuran mereka, yang mereka gambar adalah truk-truk pihak penambangan yang datang ke desa kami, mereka juga menggambarkan mobil-mobil yang digunakan orang tuanya untuk melakukan aksi demonstrasi. Namun menurut salah satu anggota PPLP, jumlah masyarakat yang pro pertambangan sekitar 10% dari total keseluruhan masyakat pesisir Kulon Progo. Pada umumnya mereka bertempat tinggal di bagian utara Kulon Progo. Di sisi lain, konflik tersebut juga menyatukan antara masyarakat desa pesisir satu dengan desa pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. Sebelumnya perempuan pesisir tidak mengenal perempuan pesisir di desa lain karena kegiatan perkumpulan kelompok tani dihadiri oleh laki-laki. Sehingga mobilitas mereka terbatas di dalam desa tempat mereka tinggal. Rencana pertambangan membuat masyarakat pesisir memutuskan untuk menyatukan kekuatan melawan pertambangan. Seiring perlawanan dan pergerakan yang berlangsung intensitas interaksi antara masyarakat pesisir meningkat. Hal ini meningkatkan rasa memiliki dan rasa senasib sepenanggungan diantara masyarakat pesisir. Salah satu prakarsa yang dilakukan oleh perempuan pesisir adalah dilaksanakannya “mujadahan”. Mujadahan merupakan bentuk perlawanan dari sisi agamawi melalui doa-doa yang dipanjatkan setiap malam untuk menolak rencana pertambangan pasir besi.
Pendapat Perempuan Desa Bugel tentang Gerakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa terdapat perbedaan perlawanan yang dilakukan oleh petani pada masa awal pergerakan petani dan pergerakan petani saat ini. Berbagai dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan pasir Kulon Progo baik dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada masa awal pergerakan, petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Di awal pergerakan, masyarakat pesisir berada pada tahap mempelajari strategi perlawanan yang tepat untuk diterapkan. Untuk itu, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), LBH (Lembaga Bantuan Hukum), aktivis, salah seorang kesultanan Jogjakarta, dan lain-lainnya. PPLP banyak menjalin solidaritas dengan kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang berpihak kepada nasib petani. Seperti kebanyakan pergerakan petani di daerah maupun belahan dunia lain, PPLP juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk menyuarakan konflik perebutan lahan yang mereka hadapi. Langkah yang telah ditempuh petani pesisir diantaranya adalah berdemonstrasi di Kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi; berdemonstrasi di Universitas Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan dengan PT. JMI, dimana dalam aksi ini melibatkan sebanyak 3000 massa; menduduki kantor DPRD Kulon Progo menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi karena berpotensi pada
44
pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia); melakukan audiensi dengan komisi VII DPR RI dan Kedutaan Besar Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada publik; melakukan dialog dengan Komnas HAM terkait proyek penambangan pasir besi yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM; mengadakan pertemuan dengan LBH; mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan PERDA No.2 Tahun 2010; dan mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada presiden RI. Selain itu masyarakat juga banyak melakukan perlawanan-perlawanan fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi, baik di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Kulon Progo, Universitas Gadjah Mada maupun di Kantor DPR RI; aksi memblokir jalan menuju kawasan pesisir untuk kepentingan pengagkutan material bahan Pilot Project PT. JMI; aksi langsung menghentindakan tindakan yang meresahkan masyarakat yakni datangnya enam mobil tanpa seizin warga yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel; dan aksi melakukan penutupan Pilot Project di Gupit setelah tiga tahun beroperasi tanpa mengindahkan kepentingan lingkungan. Gerapan petani tersebut ada yang direncanakan dan ada pula yang dilakukan secara spontan. Aksi spontan tersebut banyak dilakukan oleh perempuan. Menurut pengakuan salah satu laki-laki pesisir PJO, 50 tahun menyatakan bahwa, Perempuan-perempuan disini sangar mbak, pemberani-pemberani. Kalau ada orang asing yang masuk kesini, perempuan-perempuan disini langsung keluar bawa parang ngehadang, pernah kaca mobil dihancurin. Saya aja gak berani mbak. Istri saya sama anak perempuan saya itu gak takut sama sekali. Kalau ada aksi-aksi istri saya paling depan meneriakan “bertani atau mati, tolak tambang besi!”. Kami para laki-laki pesisir, khususnya saya sendiri tidak pernah memaksa istri ataupun anak saya untuk ikut dalam aksi-aksi perlawanan fisik tersebut, tetapi itu kemauan mereka sendiri. Namun masyarakat pesisir mengakui bahwa segala bentuk perlawanan fisik melalui jalur birokrasi dan aksi-aksi demontrasi ke kantor pemerintah tersebut tidak menghasilkan perubahan apa-apa, dalam artian rencana proyek pertambangan pasir besi belum dibatalkan. Berbagai bentuk aksi demonstrasi tersebut tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Proses perlawanan panjang tersebut membuat masyarakat menyadari bahwa penguasa (pemerintah, Kesultanan Jogjakarta, dan Paku Alaman) tidak pernah berpihak kepada nasib masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak penguasa justru berpihak kepada kepentingan pemodal dan memaksa masyarakat pesisir menerima logika-logika ekonomi pembangunan. Bahkan salah satu desa pesisir, yakni Desa Karang Huni, sebagian besar warganya telah menjual lahan pertanian mereka kepada PT. JMI. Hal ini terjadi, salah satunya karena masyarakat Desa Karang Huni menokohkan salah satu warga sebagai pemimpin mereka. Hal ini berdampak ketika pemimpin tersebut memutuskan untuk menjual lahannya maka masyarakat lain juga ikut menjual
45
lahan mereka. Lahan Desa Karanghuni kini telah dibangun pabrik. Menurut masyarakat pesisir Desa Bugel WST, 29 tahun Masyarakat pesisir Desa Karang Huni kini menyesal telah menjual lahannya. Mereka tidak dapat menanam lagi. Mereka kehilangan mata pencaharian yang selama ini menghidupi mereka. Mereka menjual lahannya dengan harga Rp. 75.000/m2. Harga yang sangat murah dan tidak sebanding dengan manfaat yang kami dapatkan jika ditanami cabai keriting, semangka, dan melon. Warga Karang Huni telah termakan janjijanji manis PT. JMI. PT. JMI membuat kesepakatan dengan warga Desa Karang Huni yang menjual lahannya dalam sebuah perjanjian. Perjanjian yang sifatnya rahasia. Kami mengetahui perjanjian tersebut dari warga Desa Karang Huni yang masih mempertahankan lahan pertaniannya. Hanya tiga warga Desa Karang Huni yang masih bertahan. Setelah kami pelajari, perjanjian tersebut sangat merugikan warga Desa Karang Huni sebagai penjual. Dalam satu pasal disebutkan bahwa jika ada pihak ketiga yang mengklaim lahan milik penjual, maka penjual wajib mengembalikan uang yang telah diterima dari pihak pembeli. Pihak ketiga tersebut bisa saja orang-orang PT. JMI dengan mengatasnamakan pihak lain. Yaa, orang-orang bayaran PT. JMI lah mbak. Namun, warga Desa Karang Huni tidak mempelajari bahkan tidak membaca isi perjanjian tersebut. PT. JMI sangat licik menggelabui masyarakat. Mereka menyodorkan isi perjanjian tersebut yang harus ditandatangi masyarakat beserta uang senilai Rp. 10.000.000,- sebagai uang muka. Hebatnya lagi mereka tidak berhubungan langsung dengan masyarakat Desa Karang Huni. JMI memanfaatkan kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat untuk memuluskan proses penjualan lahan tersebut. Menyadari hal tersebut, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP menyusun strategi perlawanan baru. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara mandiri, tidak bekerjasama dengan lembaga atau partai politik manapun. Masyarakat pesisir menunjukan bahwa perlawanan mereka tidak mewakili kepentingan pihak manapun, murni memperjuangkan ribuan ruang hidup masyarakat pesisir. Perlawanan panjang yang telah dilakukan membuat masyarakat pesisir selektif terhadap pihak-pihak yang berusaha masuk ke dalam kawasan pesisir Kulon Progo, dalam bentuk apapun baik sebagai peneliti, akademisi, aktivis, kaum intelektual, maupun calon-calon legislatif dari salah satu partai politik. Masyarakat mengakui tidak semua pihak dapat dipercaya dan loyal kepada masyarakat pesisir. Oleh karena itu, masyarakat pesisir memutuskan hanya ada satu pintu masuk bagi pihak yang ingin berinteraksi dan bersolidaritas dengan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir memiliki kesepakatan untuk menolak semua pihak yang masuk ke desa tanpa izin terlebih dahulu. Reaksi penolakan tersebut dapat berupa menutup mulut, mengintrogasi, mengusir, hingga aksi kekerasan. Menurut salah satu informan WDD, 34 tahun menyatakan bahwa Kami harus tetap waspada kepada semua pihak yang datang kepada kami. Banyak pengkhianat berkeliaran di sekitar kami. Contohnya banyak orang yang mengaku mahasiswa untuk melakukan penelitian disini, padahal sebenarnya intel. Banyak lembaga yang mengaku ingin membantu kami, padahal ingin mempengaruhi kami untuk menerima
46
pertambangan. Kami pernah ditawarkan untuk melakukan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). Mereka mengatakan bahwa jika proyek pertambangan pasir besi tidak lolos AMDAL maka kami punya bukti untuk menolak pertambangan. Tapi kami tidak bodoh, kami tahu AMDAL dilakukan untuk kepentingan siapa. Semua itu hanya akal-akalan pemodal dan peguasa saja. Dengan kami menyetujui dilakukannya AMDAL sama saja dengan kami menyutujui dilaksanakannya proyek pertambangan. Oleh karena itu, kami harus sangat hati-hati memutuskan dengan siapa kami bersolidaritas. Kami tidak ingin dibuat bergantung dengan pihak mana pun. Berikut adalah kronologi gerakan petani lahan pasir Kulon Progo Tabel 2
Kronologi Perjuangan Petani Lahan Pasir Kulon Progo
No 1
Tanggal 1 April 2006
2
27 Agustus 2007
3
1 Maret 2008
4
4 Februari 2008
5
21 Juni 2008
Kegiatan Penolakan Petani Lahan Pasir Kulon Progo Masyarakat pesisir dari 4 kecamatan dan 10 desa yang berkepentingan mempertahankan fungsi ekosistem dan matapencaharian sebagai petani lahan pantai membentuk organisasi perjuangan yang bersifat independen, yaitu Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP KP), dengan agenda utama penolakan rencana pertambangan pasir besi. PPLP KP berdemonstrasi di Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Kulon Progo dengan tuntutan pembatalan proyek pertambangan pasir besi. Bupati (Toyo S, Dipo) dan Ketua DPRD Kulon Progo (Kasdiyono) menyetujui tuntutan masyarakat secara tertulis, dengan konsekuensi pengunduran diri. Warga Bugel melakukan aksi memblokir jalan menuju kawasan pesisir untuk kepentingan pengangkutan material bahan Pilot Project PT JMI. Aksi ini terjadi karena Bupati dan Ketua DPRD Kulon Progo mengingkari kesepakatan dengan masyarakat yang ditandatangani di depan ribuan warga Kulon Progo pada 27 Agustus 2007. Sejumlah perwakilan masyarakat pesisir melakukan audiensi dengan Komisi VII DPR RI dan Kedutaan Australia untuk meminta kejelasan identitas Indo Mines Ltd, pihak Kedutaan Besar Australia menyatakan ketidaktahuannya atas keterlibatan Indo Mines Ltd dan memberikan keterangan bahwa alamat perusahaan Indo Mines Ltd tidak sesuai dengan yang diinformasikan kepada publik. Sebanyak 3000 massa PPLP KP berdemonstrasi di Universitas Gadjah Mada menuntut penghentian kerjasama reklamasi lahan pascapenambangan oleh Fakultas Kehutanan UGM dengan PT.JMI. Tuntutan
47
6
7
8
9
10
ini disetujui oleh Rektor UGM Prof. Soedjarwadi dan Dekan Fakultas Kehutanan UGM Prof. M. Na’iem dengan penandatangan surat pernyataan. Aksi ini terjadi karena UGM tidak memberi sikap secara resmi setelah PPLP KP mengirim surat permintaan klarifikasi sebanyak 3 kali. 23-25 Oktober Masyarakat pesisir menduduki kantor DPRD Kulon 2008 Progo untuk menuntut pembatalan proyek penambangan pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran Hak Azasi Manusia. Dalam aksi ini, legislatif tidak bersedia menemui masyarakat. Selanjutnya, PPLP KP meminta bantuan LBH DIY untuk mengirimkan surat pengaduan ke KOMNAS HAM agar KOMNAS HAM meminta kejelasan sikap Gubernur DIY dan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo tentang aspek HAM dalam proyek tersebut. 3-6 Juni 2008 KOMNAS HAM telah melakukan penyilidikan dan pemeriksaan terhadap rencana proyek penambangan pasir besi di Kulon Progo Yogyakarta. Pemantauan tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang menjelaskan bahwa berdasarkan data, informasi, dan fakta proyek penambagan pasir besi di Kulon Progo sangat berpotensi memicu terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya hak atas tanah, hak atas pekerjaan, hak atas aman, hak atas informasi, dan hak petani. 27 Oktober 2008 Sekumpulan massa (sekitar 300 orang) dari luar kawasan konflik melakukan perusakan dan pembakaran 7 posko penolakan proyek dan 1 rumah milik warga pesisir yang menolak pertambangan. Peristiwa ini terdomentasikan melalui media televisi swasta, menurut kesaksian dan dokumentasi lapangan, satuan kepolisian yang siap di tempat kejadian melakukan pembiaran dan pengarahan tindakan kekerassan massa tidak bertanggungjawab tersebut. 19 Juli 2009 PPLP KP mengadakan pertemuan di LBH membahas kasus kriminalisasi terhadap Tukijo atas tuduhan pencemaran nama baik Kepala Dusun Bedoyo, Isdiyanto, karena Tukijo menyakan tujuan pendataan tanah warga. 20 Oktober 2009 Konsultasi publik terkait KA AMDAL oleh pemrakarsa yang tidak melibatkan masyarakat terundang dan tidak menampung aspirasi masyarakat terdampak. Konsultasi publik ini diwarnai aksi pemukulan dan penembakan gas air mata, jumlah terbesar korban kekerasan aparat negara adalah kaum
48
perempuan. 11 April 2010 Warga mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada Presiden RI. 12 Mei 2010 Kunjungan ESDM di Bugel untuk investigasi permasalahan sosial di tingkat masyarakat terkait penolakan rencana pertambangan pasir besi. Warga mengirim surat kepada DPRD DIY yang isinya menuntut DPRD DIY mengusut dugaan skandal perundang-undangan dalam proses penyusunan Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY 20092029 oleh Pemerintah DIY (Gubernur). 13 Juni 2010 Warga mengirimkan surat kepada DPRD untuk mengajukan pembatalan Perda No 2 Tahun 2010 karena secara hukum melanggar UU No 10 Tahun 2004 dan Permendagri No 28 Tahun 2008. 14 15 Desember 2010 Aksi rapat akbar menolak rencana pertambangan pasir besi bertepatan dengan penilain dokumen KA AMDAL di Bugel. 15 16 Desember 2010 Aksi langsung warga menghentikan tindakan yang meresahkan masyarakat yang dilakukan oleh oknum Pakualaman di Bugel, dimana datang enam mobil tanpa seizin warga. 16 9 Februari 2011 Mediasi oleh KOMNAS HAM di Bugel, menghasilkan rekomendasi deadlock untuk konteks mediasi (mempertemukan kepentingan para pihak). Sumber: Dokumen PPLP-KP “Bertani atau Mati” Periode berikutnya masyarakat pesisir banyak melakukan aksi-aksi untuk menunjukan perlawanan mereka melalui sebuah buku yang berjudul “menanam adalah melawan”, melalui hasil karya petani pesisir Kulon Progo tersebut, masyarakat pesisir Kulon Progo banyak diundang ke kampus-kampus dalam kegiatan bedah buku dan diskusi terkait konflik agraria. Selain itu, masyarakat pesisir memiliki dua website PPLP dan satu website solidaritas Australia, proses pembuatan website ini melibatkan aktivis yang bersolidaritas dengan PPLP. Beberapa masyarakat pesisir juga aktif menyuarakan issu-issu konflik agraria melalui media sosial seperti facebook. PPLP juga membentuk kesenian teater yang diberi nama “unduk gurun”. Kesenian teater ini menceritakan tentang konflik yang terjadi di Kulon Progo dan langsung diperankan oleh masyarakat pesisir Kulon Progo. Teater ini telah tampil di beberapa universitas, diantaranya yakni Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Kampus Atma Jaya, dan di berbagai aksi solidaritas dan diskusi yang dilakukan di beberapa kota seperti Jakarta, Jogjakarta, dan Bogor. Selain itu, masyarakat pesisir juga melakukan solidaritas dengan seniman Yogyakarta. Salah satu bentuk aksi solidaritas tersebut adalah kegiatan bedah buku, diskusi, dan kegiatan penggalangan dana. Kegiatan penggalangan dana tersebut berupa penjualan buku “menanam adalah melawan”, penjualan kaos yang bertemakan perlawanan, penjualan hasil lukisan yang mengangkat tema konflik pertambangan, penjualan kalender yang mengusung tema perlawanan dan
49
pergolakan konflik di pesisir Kulon Progo dan didesain langsung oleh seniman, dan penjualan DVD yang mengangkat kasus konflik perebutan lahan. Hasil penjualan dalam kegiatan penggalangan dana tersebut didonasikan sepenuhnya untuk kegiatan-kegiatan gerakan petani. Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh petani pesisir melalui PPLP adalah bersama-sama dengan Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKAS) dan FOSWOT Lumajang melakukan pertemuan dan diskusi. Hasil dari beberapa pertemuan dan diskusi tersebut menyepakati untuk membantu sebuah wadah perjuangan petani mandiri dan independen yang dinamai Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). Organisasi ini memiliki orientasi yang lepas dari campur tangan dan intervensi dari LSM, partai politik, dan lembaga donor. Hingga saat ini setidaknya ada dua belas komunitas petani yang tergabung di dalamnya dan berasal dari beberapa daerah, diantaranya adalah: FPPKS Kebumen, ARMP Bantul, PPLP Kulon Progo, SPBS Blora, JMPPK Pati, KT Berdikari Sumedang, Bale Ruhayat Ciamis, Grapad Banten, Foswot Lumajang, FPR Ogan Ilir, SKKL Al Faz Sidoerjo, Fornel, dan PMS Jepara. Salah satu agenda kegiatan FKMA adalah sekolah tani, sebagai langkah untuk saling bertukar pengetahuan dalam sektor pengorganisasian perjuangan, teknologi pertanian, mekanisme pasar berbasis komunitas, dan hal-hal lain terkait dengan visi misi keadilan agraria. Tidak hanya dalam skala lokal maupun nasional, masyarakat pesisir juga menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris, dengan masyarakat pendukung penolakan pertambangan pasir besi yang bertempat di Australia, dan melakukan kampanye di Filipina.
Ikhtisar Bagi perempuan Desa Bugel konflik yang berlangsung antara masyarakat pesisir, Paku Alaman Ground, Sultan Ground, dan korporasi tidak hanya konflik perebutan lahan. Namun konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada lahan pertanian. Konflik di Kulon Progo merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat jadi terkotak-kotak ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro pertambangan, kelompok masyarakat kontra pertambangan, dan kelompok masyarakat netral. Berbagai dinamika perlawanan mewarnai gerakan petani lahan pasir Kulon Progo baik dalam internal maupun eksternal masyarakat pesisir. Pada masa awal pergerakan, petani banyak melakukan perlawanan secara fisik. Selanjutnya masyarakat pesisir juga menempuh berbagai jalur birokrasi untuk menyuarakan konflik perebutan lahan yang mereka hadapi. Masyarakat juga banyak melakukan perlawananperlawanan fisik, seperti melakukan aksi-aksi demonstrasi di berbagai instansi Proses perlawanan panjang tersebut membuat masyarakat menyadari bahwa penguasa tidak pernah berpihak kepada nasib masyarakat pesisir Kulon Progo. Pihak penguasa justru berpihak kepada kepentingan pemodal dan memaksa masyarakat pesisir menerima logika-logika ekonomi pembangunan. Oleh karena itu, masyarakat pesisir melalui wadah PPLP menyusun strategi perlawanan baru. Perlawanan-perlawanan yang dilakukan secara mandiri, tidak bekerjasama dengan lembaga atau partai politik manapun.
50
51
PERAN PEREMPUAN DESA BUGEL DALAM SISTEM PENGHIDUPAN MASYARAKAT PESISIR Bab ini menjelaskan mengenai peran perempuan desa bugel dalam sistem penghidupan penduduk masyarakat pesisir. Dilihat dari tiga aspek yakni pembagian kerja, akses, dan kontrol. Pembagian kerja perempuan dan laki-laki meliputi tiga peran yakni peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Akses meliputi akses terhadap sumberdaya fisik dan material, akses terhadap sumberdaya sosial dan budaya, akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, dan akses terhadap manfaat. Sedangkan kontrol meliputi kontrol terhadap sumberdaya fisik dan material, kontrol terhadap sumberdaya sosial dan budaya, kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, dan kontrol terhadap manfaat.
Peran Gender Peran merupakan suatu status yang dijalankan oleh seorang individu yang berada pada suatu kelompok atau situasi sosial tertentu. Peran gender menurut Hubeis (2010) menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan dan kelaziman bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa peran gender disuatu wilayah akan berbeda dari peran gender lainnya sesuai dengan karakterisktik wilayahnya. Pun dengan peran gender yang ditampilkan masyarakat pesisir yang berada di Desa Bugel. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadikan peran gender di Desa Bugel berbeda dengan peran gender di daerah lainnya. Pertama, kondisi sosial ekonomi masyarakat Desa Bugel sebelum berkembanganya pertanian lahan pasir. Di mana pada masa itu masyarakat hidup dalam kondisi kemiskinan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat bekerja sebagai buruh tani, menanam tanaman apa saja yang dapat tumbuh di lahan pasir yang gersang dan tandus, serta banyak pula yang bekerja ke luar daerah untuk mengadu nasib. Kondisi keterbelakangan dan kemiskinan yang menghimpit masyarakat kala itu membentuk karakteristik peran gender yang berbeda pada masyarakat pesisir. Secara alami timbul peran-peran apa saja yang harus dilakukan oleh perempuan dan peran-peran apa saja yang harus dilakukan oleh laki-laki dalam rangka untuk terus mempertahankan dan memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, peran gender pada masyarakat pesisir cenderung egaliter. Kedua, pengelolaan lahan pasir yang membutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Hanya masyarakat pesisir yang mengetahui bagaimana mengolah lahan pasir milik mereka, apa yang dibutuhkan oleh tanaman, bagaimana merawat tanaman, bagaimana memilih bibit yang cocok dengan lahan pasir, dan hal-hal lainnya. Pengolahan pertanian di lahan pasir sangat berbeda dengan pengolahan pertanian di lahan biasa. Membutuhkan dana yang tidak sedikit dan tenaga yang banyak, terutama ketika mulai menanam dan saat musim panen. Pengelolaan pertanian lahan pasir tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi perempuan juga menjadi bagian terbesar dalam sejarah pertanian lahan pasir Kulon Progo. Ketiga, adanya konflik semenjak berhembusnya isu rencana pertambangan pasir besi di pesisir Kulon Progo. Konflik yang melibatkan
52
masyarakat pesisir, pemerintah, dan pihak Kesultanan ini dalam prosesnya sangat menguras tenaga dan pikiran masyarakat pesisir. Secara fisik masyarakat pesisir harus mempersiapkan diri untuk melawan pihak-pihak yang dengan sengaja ingin mengambil ruang hidup mereka. Masyarakat juga harus mengerahkan tenaga dan pikiran mereka untuk terus berjuang melawan mega proyek rencana pertambangan pasir besi. Di sisi lain, sebagai petani masyarakat juga harus tetap melangsungkan hidup mereka dengan menanam dan merawat tanaman mereka. Hasil tanaman yang menjadi sumber kehidupan mereka. Di dalam kondisi seperti ini lah perempuan dan laki-laki masyarakat pesisir tampil saling melengkapi peran gender yang pada awalnya telah tumbuh secara alami. Kondisi-kondisi dan tekanan-tekanan yang mereka hadapi membuat masyarakat demikian tanggap terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan peran apa yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki dan peran apa yang harus dilakukan oleh perempuan. Masyarakat menyadari perjuangan melawan rencana pertambangan pasir besi adalah milik bersama. Terlihat bahwa masyarakat tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Bagi masyarakat pesisir “menanam adalah melawan”. Perempuan mengambil peran-peran yang dapat dilakukan oleh mereka. Apapun yang mereka lakukan pada dasarnya bermuara pada hal yang sama yakni untuk mempertahankan lahan pertanian mereka. Secara universal peran gender antara laki-laki dan perempuan diklasifikasikan ke dalam tiga peran pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran sosial (masyarakat), Hubeis (2010).
Pembagian Peran Reproduktif Peran reproduktif (domestik) merupakan peran yang dilakukan seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumber daya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan. Tidak jarang kegiatan reproduktif ini tidak dianggap sebagai suatu pekerjaan yang konkret dan tidak diperhitungkan sebagai kerja produktif yang menghasilkan pendapatan. Kegiatan-kegiatan kerumahtanggaan masyarakat pesisir Desa Bugel banyak dilakukan oleh kaum perempuan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pembagian kerja reproduktif di wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, mengikuti budaya timur pada umumnya. Bagi masyarakat pesisir tugas-tugas kerumahtanggaan telah menjadi tanggung jawab kaum perempuan sebagai istri. Dapat dikatakan bahwa peran reproduktif diberikan kepada kaum perempuan dan telah menjadi kesepakatan bersama di dalam keluarga dan masyarakat pesisir. Berikut pada tabel di bawah ini dapat dilihat pembagian peran reproduktif antara laki-laki dan perempuan di Desa Bugel.
53
Tabel 3 Pembagian peran reproduktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel, 2014 Pelaku Aktivitas reproduktif
Dominan perempuan
Berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari Memilih pangan yang akan dikonsumsi Memasak Membereskan rumah Menyetrika pakaian Mengasuh anak-anak Merawat orang sakit Mencuci pakaian Dominan peran reproduktif
Dominan peran
Bersama
Dominan laki-laki
30
0
0
Perempuan
29
1
0
Perempuan
30 27 29 0 0 29
0 3 0 28 30 0
0 0 0 0 0 0
Perempuan Perempuan Perempuan Bersama Bersama Perempuan Perempuan
Dari tabel 3 terlihat bahwa dari 30 responden keseluruhannya menyatakan bahwa aktivitas reproduktif dominan dilakukan oleh perempuan, baik dilakukan oleh ibu maupun anak perempuan. Aktivitas-aktivitas reproduktif tersebut diantaranya adalah berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari, memilih pangan yang akan dikonsumsi, memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian, dan menyetrika pakaian. Adapun aktivitas reproduktif yang dilakukan secara bersamasama antara laki-laki dan perempuan adalah mengasuh anak-anak dan merawat orang sakit.
Pembagian Peran Produktif Peran produktif merupakan peran yang menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa perihal kebedaan tanggung jawab antara laki-laki dengan perempuan. Misalnya laki-laki identik melakukan pekerjaan yang berat dengan menggunakan bantuan mesin, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan yang ringan. Masyarakat pesisir Desa Bugel sangat menggantungkan hidupnya pada pertanian lahan pasir. Komoditas unggulan pertanian lahan pasir adalah cabai, semangka, dan melon. Selain itu masyarakat juga menanam berbagai jenis sayuran yang ditanam secara tumpang sari dengan komoditas unggulan cabai, semangka, dan melon. Oleh sebab itu mayoritas masyarakat pesisir aktivitas produktifnya adalah bertani. Selain bertani, ada juga beberapa masyarakat yang berdagang menjual berbagai jenis kebutuhan hidup sehari-hari dengan membuka warung kecil-kecilan dan ada yang beternak ayam dan kerbau. Namun, pada umumnya tidak untuk dijual, namun untuk konsumsi keluarga. Selain itu, ada juga beberapa masyarakat pesisir yang bekerja sebagai guru. Namun, tetap bagi masyarakat pesisir mata pencahariaan utama mereka adalah bertani. Walaupun setiap harinya mereka mengajar di sekolah dan setiap harinya pula ke ladang untuk bertani. Menurut salah satu pengakuan responden DRT, 46 tahun menyatakan bahwa
54
Bertani adalah pekerjaan pilihan hati mbak. Bertani itu pekerjaan yang paling menyenangkan. Saya bebas dan mandiri untuk mengatur waktu, tidak terikat dengan jam kerja seperti kebanyakan yang telah dirasakan masyarakat pesisir yang bekerja ke kota besar sebagai buruhburuh pabrik maupun tenaga kerjadi Indonesia (TKI). Benar-benar berbeda bekerja sebagai petani dengan menjadi buruh pabrik. Saya merasa menjadi orang yang merdeka dengan bertani. Bertani di lahan pasir tidak hanya melibatkan laki-laki, perempuan juga ikut serta di dalamnya. Bahkan beberapa anak remaja mengolah lahan pertanian pemberian orang tuanya secara mandiri. Bertani bagi masyarakat pesisir tidak hanya milik laki-laki sebagai kepala rumah tangga, namun milik keluarga. Tabel berikut adalah pembagian kerja pada aktivitas produktif. Tabel 4 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada pertanian komoditas cabai keriting, 2014 Pelaku Aktivitas produktif
Dominan perempuan 0 3 0
Bersama
Mengolah lahan 2 Membersihkan lahan 2 Mencangkul 0 Membuat petak-petak 0 0 tanaman/bedengan Menyebar pupuk dasar (5 26 1 kompos) Memasang mulsa dan 0 2 menyempurnakan kompos Menanam 2 28 Menyiram tanaman 24 1 Menyiang tanaman 30 0 Mengendalikan hama dan 0 20 penyakit tanaman Memberi pupuk susulan 24 1 Memetik hasil panen 30 0 Dominan peran produktif pada pertanian cabai keriting
Dominan Dominan peran laki-laki 28 Laki-laki 25 Laki-laki 27 Laki-laki 30 3 28 0 5 0 10 5 0
Laki-laki Perempuan Laki-laki Bersama Perempuan Perempuan Bersama Perempuan Perempuan Bersama
Pada pertanian komoditas cabai keriting, pekerjaan yang dominan dilakukan oleh perempuan adalah menyebar pupuk dasar, menyiang tanaman, dan memetik hasil panen. Pada umumnya di Desa Bugel, pemetikan hasil panen komoditas cabai keriting selalu menggunakan jasa buruh. Hal ini dikarenakan luasnya lahan yang dimiliki setiap masing-masing keluarga, sehingga tidak memungkinkan jika dilakukan secara mandiri atau hanya dalam lingkup keluarga. Buruh yang digunakan untuk memetik hasil panen adalah buruh perempuan. Karena bagi masyarakat pesisir Desa Bugel perempuan sangat teliti dan hati-hati. Buruh perempuan ini ada yang berasal dari dalam desa pesisir, adapula yang didatangkan dari luar desa pesisir, tergantung kebutuhan dari luas lahan pertanian
55
yang dimiliki. Upah yang diberikan untuk buruh petik tergantung dari harga pasar cabai saat panen. Harga tertinggi yang pernah dicapai oleh petani yakni pada panen tahun 2013 dengan kisaran harga Rp.30.000,-/kg. Pada harga puncak tersebut petani menghargai buruh petik dengan kisaran harga bersih Rp.50.000,/hari. Selain itu buruh petik juga mendapatkan makanan ringan di pagi hari dan makan berat di siang hari. Jam kerja buruh petik perempuan berlangsung dari jam 08.00-16.00. Di samping itu pada pertanian komoditas cabai keriting, pekerjaan yang dominan dilakukan oleh laki-laki adalah mengolah lahan, membersihkan lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan, pemasangan mulsa dan penyempurnaan kompos. Beberapa pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki juga menggunakan tenaga kerja upahan. Beberapa pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh tenaga kerja upahan adalah ketika pengolahan lahan, pembuatan petak tanaman/bedengan, pemasangan mulsa, dan pada saat penanaman. Sedangkan kegiatan yang dilakukan bersama-sama adalah ketika menanam, menyiram tanaman, dan mengendalikan hama dan penyakit. Pembagian kerja tersebut ada dan terjadi secara alami. Tabel 5 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada pertanian komoditas melon, 2014 Pelaku Aktivitas produktif
Dominan perempuan 0 0
Bersama
Mengolah lahan 2 Membersihkan lahan 2 Mencangkul dan melakukan 2 1 pemupukan dasar Menanam 2 25 Menyiram tanaman 24 1 Menyiang tanaman 30 0 Mengendalikan hama dan 0 20 penyakit tanaman Memberi pupuk tanaman 28 1 Memetik hasil panen dan 8 22 menjarang buah Dominan peran produktif pada pertanian komoditas melon
Dominan Dominan peran laki-laki 28 Laki-laki 28 Laki-laki 27 3 5 0 10
Laki-laki Bersama Perempuan Perempuan Bersama
1
Perempuan
0
Bersama Bersama
Pada pertanian komoditas semangka dan melon pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda dengan pertanian pada komoditas cabai keriting. Pekerjaan yang dominan dilakukan perempuan diantaranya adalah menyiram tanaman, menyiangi tanaman, dan memupuk tanaman. Pekerjaan yang dominan dilakukan oleh laki-laki adalah mengolah lahan, membersihkan lahan serta mencangkul dan melakukan pemupukan dasar. Sedangkan pekerjaan yang dominan dilakukan bersama-sama diantaranya adalah menanam, mengendalikan hama/menyemprot pestisida, dan memetik hasil panen serta penjarangan buah. Di samping itu, petani pesisir juga menanam berbagai jenis sayuran, dimana sebagian hasilnya digunakan untuk konsumsi keluarga dan sebagian lainnya untuk dijual ke pasar. Pembagian kerja pada tanaman sayuran ini adalah sama dengan pembagian
56
kerja pada tanaman komoditas cabai keriting, semangka atau melon. Hal ini dikarenakan sayuran ditanaman secara tumpang sari bersamaan dengan cabai keriting, semangka atau melon. Dengan kata lain, pengerjaannya dilakukan secara bersamaan, yang membedakan adalah waktu pemanenan. Tanaman sayuran dapat dipanen dalam waktu yang lebih singkat, yakni, dua hingga tiga minggu. Pada umumnya, pemetikan hasil panen tanaman sayuran juga dilakukan oleh perempuan. Sebagian masyarakat pesisir menjual tanaman sayuran kepada pengumpul dan sebagian lagi langsung ke pasar. Tabel 6 Pembagian kerja produktif laki-laki dan perempuan Desa Bugel pada sektor perdagangan dan peternakan, 2014 Pelaku Aktivitas produktif Perdagangan menjaga warung/berjualan di pasar membeli barang/bahan baku membuat produk mengatur keuangan Peternakan membersihkan kandang menyiapkan makan ternak memberi makan ternak menggembalakan ternak merawat ternak memasarkan hasil ternak
Dominan perempuan n %
N
%
Dominan laki-laki N %
3
10.0
0
0.0
0
0.0
3 0 3
10.0 0.0 10.0
0 0 0
0.0 0.0 0.0
0 0 0
0.0 0.0 0.0
5 5 5 0 2 5
16.7 16.7 16.7 0.0 6.0 16.7
0 0 0 0 2 1
0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 3.0
0 1 1 0 1 0
0.0 3.0 3.0 0.0 3.0 0.0
Bersama
Selanjutnya pembagian kerja produktif di sektor perdagangan dan peternakan lebih didominasi oleh perempuan. Dari 30 responden terdapat 3 responden yang memiliki usaha sampingan membuka warung. Pembagian kerja pada ketiga responden tersebut didominasi oleh perempuan mulai dari menjaga warung, membeli barang/bahan baku, membuat produk hingga mengatur keuangan. Di samping itu, dari 30 responden terdapat 6 responden yang beternak. Pekerjaan ini juga didominasi oleh perempuan. Dari 6 responden, 5 diantaranya segala pekerjaan yang terkait hewan ternak dilakukan oleh perempuan. Pekerjaan tersebut diantaranya membersihkan kandang, menyiapkan makan ternak, memberi makan ternak, merawat ternak. Dan hanya satu responden yang pekerjaan tersebut dominan dilakukan oleh laki-laki. Adapun pekerjaan yang dilakukan bersamasama adalah merawat ternak. Selain keempat aktivitas produktif di atas, terdapat satu kategori aktivitas produktif lainnya yang bersifat jasa. Namun, diantara 30 responden tidak ada yang melakukan aktivitas tersebut. Adapun kegiatan yang termasuk di dalamnya adalah mengajar, menarik ojek, bekerja sebagai kuli bangunan, bekerja di pabrik, dan bekerja di kantor.
57
Pembagian Peran Sosial Peran sosial (masyarakat) terkait dengan kegiatan jasa partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak yang bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan. Sedangkan kegiatan politik di masyarakat terkait dengan status dan kekuasaan seseorang, sehingga pada umumnya dilakukan oleh laki-laki. Kegiatan sosial pada masyarakat pesisir Desa Bugel cukup beragam. Budaya tolong-menolong sangat melekat di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir. Ketika musim tanam tiba, masyarakat pesisir saling bahu-membahu untuk membantu petani lainnya mengolah lahan dan menanam tanaman. Demikian pula saat musim panen tiba masyarakat petani secara bergantian saling membantu memetik hasil panen. Selain itu juga terdapat kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian bagi anak-anak dan remaja serta mujadahan yang khusus diselenggarakan untuk menolak rencana pertambangan pasir besi. Selain itu, di Desa Bugel juga terdapat kelompok tani yang bergerak secara aktif. Bagi masyarakat pesisir, kelompok tani merupakan wadah bagi petani untuk saling berkumpul dan berdiskusi dalam menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi petani pada tanaman mereka. Hal ini membuat petani secara mandiri terus mengembangkan teknologi pertanian lahan pasir, mengembangkan teknologi pengendalian hama dan penyakit tanaman, dan lainlainnya. Kelompok tani Sugih Mulyo juga aktif mengikuti penyuluhanpenyuluhan yang diselenggarakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Kulon Progo. Sebagai salah satu pelopor teknologi pertanian lahan pasir, tidak jarang para tokoh-tokoh pengembang pertanian lahan pasir yang ada di Desa Bugel juga memberikan penyuluhan-penyuluhan dan kuliah-kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Berikut adalah pembagian kerja pada aktivitas sosial di Desa Bugel. Tabel 7 Pembagian kerja sosial laki-laki dan perempuan Desa Bugel, 2014 Pelaku Aktivitas sosial Kegiatan keagamaan Kegiatan PNPM Kegiatan kelompok tani Mengikuti mujadahan Gotong-royong Mengikuti rapat RT/lainnya Kegiatan penyuluhan Menghadiri hajatan Dominan peran sosial
Dominan perempuan 1 0 0 0 0 0 0 2
Bersama 29 0 0 30 27 1 0 27
Dominan laki-laki 0 21 30 0 3 29 30 1
Dominan peran Bersama Laki-laki Laki-laki Bersama Bersama Laki-laki Laki-laki Bersama Laki-laki
Tabel 7 memperlihatkan bahwa mayoritas aktivitas sosial yang berlangsung di masayarakat Desa Bugel dilakukan oleh laki-laki. Dari delapan aktivitas sosial tersebut terdapat empat akvitas yang dominan dilakukan secara bersama-sama yakni kegiatan keagamaan (mujadahan), kegiatan pengajian, kegiatan gotong-royong, dan menghadiri hajatan. Sedangkan kegiatan PNPM,
58
kegiatan kelompok tani, kegiatan penyuluhan, dan kegiatan rapat RT/lainnya dominan dilakukan oleh laki-laki. Terlihat bahwa peran-peran yang diambil oleh perempuan dalam aktivitas sosial merupakan aktivitas yang terbatas di dalam desa, sukarela, non-komersial serta yang berhubungan dengan warga desa sedangkan peran-peran yang diambil oleh laki-laki merupakan aktivitas yang termasuk dalam ranah publik, melibatkan pihak luar, dan komersial. Perempuan menyerahkan kegiatan-kegiatan kelompok tani, penyuluhan, PNPM, dan rapat RT/lainnya untuk diikuti oleh laki-laki atau suaminya. Dengkan kata lain perempuan terlibat aktif dalam aktivitas sosial informal sedangkan laki-laki terlibat aktif dalam aktivitas sosial-formal. Pembagian peran ini merupakan model pembagian kerja yang umum di pedesaan.
Akses dan Kontrol Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaaan atas hasil pendapatan, kekayaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya.
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Fisik/Material Akses terhadap sumberdaya fisik/material adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Akses terhadap sumberdaya fisik meliputi kesempatan untuk memanfaatkan lahan pertanian, kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian, kesempatan untuk menggunakan sarana produksi pertanian, dan kesempatan menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Berdasarkan hasil kuesioner terlihat bahwa di Desa Bugel akses perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya fisik/material cenderung sama. Khususnya pada kesempatan untuk memanfaatkan lahan pertanian, kesempatan untuk menggunakan sarana produksi pertanian, dan kesempatan menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Selanjutnya kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dominan dimiliki perempuan, sedangkan kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian dominan dimiliki laki-laki. Hal ini sebanding dengan kontrol yang sama antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya fisik dan material. Kontrol terhadap sumberdaya
59
fisik/material adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya fisik atau material. Laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan yang sama atas penggunaan lahan pertanian, sarana produksi pertanian, dan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Sementara itu, perempuan memiliki kewenangan penuh atas modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga ini merupakan sejumlah uang yang dimiliki oleh rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sejalan dengan pembagian peran reproduktif pada masyarakat pesisir Desa Bugel, yakni kerja reproduktif dominan dilakukan oleh perempuan dan kewenangan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikuasai oleh perempuan. Kondisi ini memperlihatkan perempuan diberi dan mengambil kewenangan dalam ranah kerumahtanggan yang terkait pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini berbeda dengan penguasaan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian dimana dikuasai oleh laki-laki. Pengelolaan pertanian lahan pasir membutuhkan modal yang besar. Pada umumnya sebelum mulai menanam cabai keriting, petani lahan pasir Desa Bugel meminjam sejumlah uang ke Bank sebagai modal awal, yang akan dikembalikan secara bertahap ketika panen raya berlangsung. Modal ini untuk penyediaan bibit, pupuk, pestisida, pekerja, dan segala keperluan dan perlengkapan untuk menanam cabai keriting. Akses pada kredit bank berbeda dengan akses pada modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari. Akses pada kredit bank, secara resmi juga dimiliki oleh perempuan selama memenuhi syarat-syarat pengajuan kredit pada bank setempat. Namun, pengajuan kredit pada bank setempat bukanlah pekerjaan yang mudah, membutuhkan kemampuan bernegosiasi dengan pihak bank setempat. Kemudian modal uang tersebut harus dikelola secara efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan petani berkewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman tersebut, disamping juga harus mengelola modal uang untuk keperluan kegiatan pertanian dalam satu musim tanam dan menabung untuk persiapan musim tanam berikutnya. Di sisi lain, seluruh perencanaan penanaman komoditas cabai keriting juga didiskusikan oleh laki-laki dalam kelompok tani, mulai dari waktu tanam, harga bibit unggul yang akan digunakan, cara pengendalian hama dan penyakit tanaman serta harga obat yang akan digunakan, harga pupuk, dan lain-lainnya. Dengan kata lain, lakilaki adalah pelaku yang lebih mengetahui modal uang yang dibutuhkan untuk menanam komoditas cabai keriting, perkiraan hasil yang didapatkan, dan tabungan yang akan disimpan. Oleh karena itu kewenangan atas modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian dikendalikan oleh laki-laki. Berikut disajikan tabel yang memperlihatkan akses dan kontrol terhadap sumberdaya fisik 30 responden yang berada di Desa Bugel
60
Tabel 8
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap sumberdaya fisik/material, 2014
Sumberdaya fisik/material Lahan pertanian Modal uang untuk kebutuhan keluarga Modal uang untuk kegiatan pertanian Sarana produksi pertanian Hasil pertanian
PR 0
Akses B 30
LK 0
PR 0
Kontrol B 30
LK 0
24
6
0
28
2
0
0
5
25
0
2
28
0 0
25 30
5 0
0 3
22 27
8 0
Akses dan Kontrol terhadap Sumberdaya Sosial-Budaya Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya sosial-budaya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut, sedangkan kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan sumberdaya sosial-budaya. Variabel dari akses terhadap sumberdaya sosial-budaya diantaranya adalah kesempatan untuk mengeyam pendidikan, kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian, kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya, kesempatan untuk menentukan tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim tertentu, dan kesempatan utuk menentukan strategi pengelolaan pertanian. Dari keseluruhan variabel akses tersebut, data dominan menunjukan laki-laki memiliki akses yang besar terhadap sumberdaya sosial-budaya. Laki-laki juga memiliki kewenangan penuh atas sumberdaya sosial budaya. Laki-laki memiliki kesempatan dan kewenangan penuh khususnya akses dan kontrol yang menyangkut bidang pertanian, diantaranya yakni mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian, mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya, menentukan tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim tertentu, dan menentukan strategi pengelolaan pertanian. Hal-hal yang menyangkut bidang pertanian seperti menentukan waktu tanam, menentukan strategi pengelolaan pertanian, bagaimana membasmi hama pada tanaman media lahan pasir, dan lain sebagainya selalu didiskusikan secara bersama-sama di dalam kelompok tani yang diikuti oleh laki-laki. Oleh karena itu laki-laki memiliki kesempatan dan kewenangan lebih besar dalam menentukan pengelolaan pertanian lahan pasir. Sedangkan untuk kesempatan dan kewenangan untuk menentukan siapa yang berhak mengeyam pendidikan diputuskan secara bersama-sama. Keseluruhan responden tidak membeda-bedakan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki kesempatan yang sama atas pendidikan.
61
Tabel 9
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap sumberdaya sosial-budaya, 2014
Sumberdaya sosial-budaya Mengeyam pendidikan Mengikuti penyuluhan pertanian Mengikuti penyuluhan lainnya Ikut menentukan komoditas tanaman Ikut menentukan strategi pengelolaan pertanian
PR 0 0 0 0
Akses B 30 0 0 0
LK 0 30 30 30
0
2
28
Kontrol PR B 0 30 0 0 0 0 0 0 0
2
LK 0 30 30 30 28
Akses dan Kontrol terhadap Pasar Komoditas dan Tenaga Kerja Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya pasar komoditas dan tenaga kerja tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja diantaranya adalah kesempatan untuk menyediakan (membeli) bibit dan saprotan, kesempatan untuk menentukan waktu penjualan hasil pertanian, kesempatan untuk menentukan tempat penjualan hasil pertanian, kesempatan untuk menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual, kesempatan untuk menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung, kesempatan untuk pengelolaan usaha pertanian, dan kesempatan pengelolaan usaha non pertanian. Pada tabel di bawah terlihat bahwa laki-laki memiliki akses yang lebih besar terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja dibandingkan perempuan. Sebanyak 30 responden perempuan menyatakan bahwa kesempatan untuk penyediaan bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian, dan menentukan tempat penjualan hasil pertanian dimiliki oleh laki-laki dalam wadah kelompok tani. Adapun dalam menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual dan pengelolaan usaha pertanian, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Sedangkan perempuan memiliki kesempatan lebih besar dalam menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung. Hal ini dikarenakan buruh tani yang digunakan untuk memetik hasil panen adalah perempuan. Perempuan dianggap lebih teliti, hati-hati, dan telaten. Jumlah buruh tani ini disesuaikan dengan luas lahan yang dimiliki petani. Perempuanperempuan pesisir Desa Bugel menggunakan jaringan yang mereka miliki untuk mendapatkan buruh petik. Pada umumnya adalah orang-orang yang memiliki hubungan kerabat dengan mereka. Kondisi yang sama juga terlihat dalam kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja. Laki-laki memiliki kewenangan penuh atas penyediaan bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian, dan menentukan tempat penjualan hasil pertanian. Perempuan memiliki kewenangan penuh dalam menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung. Selanjutnya laki-laki dan perempuan memiliki kewenangan yang sama atas pengelolaan usaha pertanian dan dalam menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual.
62
Tabel 10
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja, 2014
Pasar komoditas dan tenaga kerja Menyediakan (membeli) bibit dan saprotan Menentukan waktu penjualan Menentukan tempat penjualan Menentukan jumlah komoditas yang akan dijual Menentukan jumlah buruh tani Pengelolaan usaha pertanian Pengelolaan usaha non pertanian
PR
Akses B
LK
Kontrol PR B LK
0
1
29
0
1
29
0 0
0 0
30 30
0 0
0 0
30 30
0
28
2
0
28
2
22 0 1
8 30 1
0 0 1
25 0 0
5 27 2
0 3 1
Akses dan Kontrol terhadap Manfaat Akses terhadap manfaat meliputi kesempatan atas pemanfaatan hasil pendapatan, kesempatan atas pemanfaatan kekayan bersama, kesempatan atas pemanfaatan kebutuhan dasar, dan kesempatan atas pendidikan keluarga. Kontrol terhadap manfaat adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas pemanfaatan kekayan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan pendidikan keluarga. Masyarakat pesisir Desa Bugel memperlihatkan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama atas pemanfaatan kekayaan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan pendidikan keluarga. Hal ini berdasarkan pernyataan dari 30 responden dalam kuesioner. Hal ini sebagaimana diperlihatkan tabel di bawah ini. Tabel 11
Akses dan kontrol laki-laki dan perempuan Desa Bugel terhadap manfaat, 2014 Manfaat
Hasil pendapatan Kekayaan bersama Kebutuhan dasar Pendidikan di keluarga
PR 0 0 3 0
Akses B 30 30 27 30
LK 0 0 0 0
PR 0 0 0 0
Kontrol B 30 30 30 30
LK 0 0 0 0
Ikhtisar Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas reproduktif pada masyarakat pesisir Desa Bugel dominan dilakukan oleh perempuan. Aktivitasaktivitas reproduktif tersebut diantaranya adalah berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari, memilih pangan yang akan dikonsumsi, memasak, membereskan rumah, mencuci pakaian, dan menyetrika pakaian. Adapun aktivitas reproduktif yang dilakukan secara bersama-sama antara laki-laki dan perempuan adalah
63
mengasuh anak dan merawat orang sakit. Hal ini berbeda dengan pembagian kerja pada aktivitas produktif. Dominan peran di sejumlah jenis kegiatan produktif dilakukan secara bersama. Jenis kegiatan produktif tersebut diantaranya adalah pertanian komoditas cabai keriting dan pertanian komoditas semangka dan melon. Sedangkan aktivitas pada sektor perdagangan dan peternakan didominasi oleh perempuan. Selanjutnya pada peran sosial, dominan dilakukan oleh laki-laki. Terdapat empat akvitas sosial yang dominan dilakukan secara bersama-sama yakni kegiatan keagamaan (mujadahan), kegiatan pengajian, kegiatan gotong-royong, dan menghadiri hajatan. Sedangkan kegiatan PNPM, kegiatan kelompok tani, kegiatan penyuluhan, dan kegiatan rapat RT/lainnya dominan dilakukan oleh laki-laki. Terlihat bahwa peran-peran yang diambil oleh perempuan dalam aktivitas sosial merupakan aktivitas yang terbatas di dalam desa, sukarela, non-komersial serta yang berhubungan dengan warga desa sedangkan peran-peran yang diambil oleh laki-laki merupakan aktivitas yang termasuk dalam ranah publik, melibatkan pihak luar, dan komersial. Pembagian peran ini merupakan kesepakatan bersama antara laki-laki dan perempuan. Perempuan menyerahkan kegiatan-kegiatan kelompok tani, penyuluhan, PNPM, dan rapat RT/lainnya untuk diikuti oleh lakilaki atau suaminya. Sementara itu, akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya fisik/material cenderung sama pada masyarakat pesisir Desa Bugel. Khususnya pada kesempatan untuk memanfaatkan lahan pertanian, menggunakan sarana produksi pertanian, dan menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Selanjutnya kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dominan dimiliki perempuan, sedangkan kesempatan menggunakan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian dominan dimiliki laki-laki. Hal ini berbeda dengan akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial dan budaya yang didominasi oleh laki-laki. Laki-laki memiliki kesempatan dan kewenangan penuh khususnya akses dan kontrol yang menyangkut bidang pertanian, karena didiskusikan secara bersama-sama di dalam kelompok tani yang diikuti oleh laki-laki. Oleh karena itu laki-laki memiliki kesempatan dan kewenangan lebih besar dalam menentukan pengelolaan pertanian lahan pasir. Sedangakan untuk kesempatan dan kewenangan untuk menentukan siapa yang berhak mengeyam pendidikan diputuskan secara bersama-sama. Hal ini juga terlihat dalam akses dan kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja yang dominan dimiliki oleh laki-laki. Kesempatan untuk penyediaan bibit dan saprotan, menentukan waktu penjualan hasil pertanian, dan menentukan tempat penjualan hasil pertanian dimiliki oleh laki-laki dalam wadah kelompok tani. Adapun dalam menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual dan pengelolaan usaha pertanian, perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Sedangkan perempuan memiliki kesempatan lebih besar dalam menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung. Kondisi yang sama juga terlihat dalam kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja. Sedangkan pada akses dan kontrol terhadap manfaat memperlihatkan bahwa antara laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang sama, yakni atas pemanfaatan kekayaan bersama, pemanfaatan kebutuhan dasar, dan pendidikan keluarga.
64
PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO Bab ini menjelaskan mengenai peran perempuan pesisir Desa Bugel dalam gerakan petani lahan pasir Kulon Progo. Peran perempuan dilihat dari berbagai aspek, yakni keterlibatan perempuan dalam berbagai aktivitas pergerakan perlawanan petani, kesempatan perempuan terlibat dalam gerakan petani, dan kewenangan perempuan dalam gerakan petani. Keterlibatan Perempuan dalam Aktivitas Gerakan Petani Gerakan petani tidak dapat menghindari kegiatan pertanian dan kegiatan kerumahtanggaan yang merupakan proses biologis. Pekerjaan pertanian (budidaya tanaman dan ternak) dan pekerjaan rumah tangga tidak dapat ditinggalkan, secara berkelanjutan harus ada yang mengurus. Suatu bentuk pembagian kerja merupakan keharusan. Pembagian kerja yang berlaku pada masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya dipengaruhi oleh pembagian gender yang tradisional. Dimana perempuan ditempatkan pada kerja reproduktif dan laki-laki pada kerja produktif. Tahun 2006 merupakan tonggak awal perjuangan masyarakat pesisir menolak rencana penambangan pasir besi, yakni dibentuknya Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). PPLP-KP merupakan wadah bagi seluruh petani untuk saling berbagi informasi dan menyusun strategi rencana penolakan pertambangan pasir besi. Seluruh petani lahan pasir tergabung dalam kelompok tani yang ada di setiap desa. Seluruh kelompok tani ini kemudian menghimpun diri dalam wadah PPLP-KP. Ide pembentukan PPLP-KP pada awalnya timbul karena keresahan warga atas issu yang berkembang di masyarakat terkait adanya rencana pertambangan di sepanjang lahan pasir Kulon Progo. Jauh sebelum issu pertambangan pasir besi berkembang, pihak penambang telah melakukan penelitian-penelitian terkait kandungan yang terdapat dalam pasir. Namun, pada masa itu masyarakat belum menyadari sepenuhnya. Berdasarkan hasil penelitianpenelitian tersebut, ditemukan tidak hanya kandungan besi yang terkandung dalam lahan pasir, namun terdapat kandungan-kandungan mineral lainnya yang memiliki daya jual tinggi. Hal ini lah yang membuat pihak penambang terus mendesak masyarakat untuk menjual lahannya. Desa Bugel merupakan salah satu basis perlawanan petani melawan rencana mega proyek pertambangan pasir besi. Sejak tahun 2006 hingga saat ini, masyarakat pesisir Desa Bugel telah melakukan banyak perlawanan, baik perlawanan yang bersifat terbuka maupun secara sembunyi-sembunyi, baik secara fisik maupun secara non-fisik. Oleh karena itu, Desa Bugel memiliki sejarah panjang dalam memperjuangkan lahan pertanian mereka. Beberapa inisiator dan tokoh perjuangan petani lahan pasir berasal dari Desa Bugel, yang tidak hanya laki-laki, namun juga perempuan. Tokoh perempuan ini lah yang mengawali pergerakan perempuan di Desa Bugel. Berikut profil singkat mengenai tokoh perempuan yang berasal dari Desa Bugel.
66
Ibu IST, Tokoh Pergerakan Perempuan Desa Bugel Beliau bernama Ibu IST. Ibu IST adalah penduduk asli Desa Bugel, yang lahir dan dibesarkan di desa pesisir Kulon Progo. Beliau bekerja sebagai petani lahan pasir. Selain sebagai petani, beliau terlibat aktif dalam program-program PNPM Mandiri yakni sebagai tim pengelola kegiatan desa tahun 2014, pengelolaan lembaga PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), program pengembangan desa pesisir tangguh, dan terlibat aktif dalam Para Legal LBH (Lembaga Bantuan Hukum). Keterlibatan beliau dalam LBH adalah awal mula keterlibatan beliau dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pasir-Kulon Progo). Sejak berdiri pada tahun 2006, PPLP-KP bersolidaritas dengan Para Legal LBH. PPLP-KP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan LBH untuk membahas kasus kriminalisasi terhadap Pak Tukijo atas tuduhan pencemaran nama baik Kepala Dusun Bedoyo, Isdiyanto, karena Pak Tukijo menanyakan tujuan pendataan tanah warga. Sejak saat itu lah interaksi antara Ibu IST dengan PPLP-KP meningkat dan beliau memutuskan untuk bergabung dengan PPLP-KP. Bagi beliau keputusan untuk ikut melawan menolak rencana pertambangan pasir besi dan mempertahankan lahan pertanian adalah panggilan hati. Setelah bergabung dengan PPLP-KP beliau menyadari bahwa perlawanan ini harus dilakukan bersama-sama, laki-laki dan perempuan. Gerakan petani ini adalah milik bersama. Perjuangan ini adalah milik bersama. Perjuangan untuk mempertahankan ruang hidup petani lahan pasir yang ingin direnggut oleh sekelompok penguasa, baik penguasa modal maupun penguasa kebijakan. Menurut beliau, kesadaran perempuan Desa Bugel untuk menolak rencana pertambangan pasir besi tidaklah serta merta ketika issu rencana pertambangan pasir besi berhembus sejak tahun 2006. Oleh karena itu, Beliau memanfaatkan kelompok-kelompok sosial yang ada dalam masyarakat pesisir untuk menyebarkan semangat perjuangan seperti kelompok-kelompok pengajian. Selain itu beliau juga banyak berkomunikasi dengan para petani perempuan ketika di ladang. Secara bertahap perempuan-perempuan di Desa Bugel terdorong untuk terlibat dalam gerakan petani. Beliau terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan dalam PPLP-KP. Ibu IST adalah satu-satunya perempuan yang ikut dalam rapat-rapat inti yang dilakukan oleh PPLP-KP. Beliau ikut memberikan pendapat dalam diskusi-dikusi yang terkait strategi perjuangan petani. Beliau adalah salah seorang perempuan yang memberikan orasi ketika aksi-aksi demo berlangsung. Ketika orasi berlangsung, beliau adalah orang yang mengumpulkan massa perempuan, menggerakkan perempuan, dan mengkoordinir perempuan dalam beberapa kesempatan aksi-aksi perlawanan. Beliau menyebarkan semangat perjuangan kepada perempuan-perempuan Desa Bugel melalui berbagai kesempatan seperti ketika perempuan-perempuan sedang bekerja di ladang, ketika berkumpul istirahat di ladang, dan dalam kegiatan-kegiatan sosial lainnya, seperti pengajian, hajatan, dan gotong-royong.
Keterlibatan peran perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani tidak terlepas dari peran Ibu IST. Dari sudut pandang perempuan pesisir, peran-peran yang lakukan oleh laki-laki adalah sama dengan peran-peran yang dilakukan oleh perempuan dalam gerakan petani. Antara laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Perempuan mengambil peran sesuai kapasitas yang mereka miliki. Adapun peran perempuan dalam gerakan petani dapat dibagi ke dalam beberapa jenis aksi perlawanan petani, yakni: 1. Menanam sebagai suatu prinsip Perempuan pesisir memiliki konsepsi bahwa menanam dan merawat tanaman yang mereka lakukan setiap harinya adalah bagian dalam melawan. Dengan mereka tetap menanam, masyarakat pesisir ingin
67
menunjukan keberadaan mereka dan sikap keras penolakan mereka atas rencana pertambangan pasir besi. Rencana pembangunan yang diagungagungkan oleh kelompok penguasa, sama sekali tidak bernilai di mata masyarakat pesisir Kulon Progo. 2. Aksi-aksi politik. Perempuan-perempuan Desa Bugel juga terlibat aktif dalam perlawanan-perlawanan fisik yang dilakukan oleh PPLP-KP. PPLP-KP telah melakukan banyak aksi-aksi perlawanan secara fisik di masa awal pergerakan petani. Hal ini merespon aksi JMI (Jogja Magasa Iron) yang secara terang-terangan meneror dan menekan masyarakat agar menyetujui rencana pertambangan pasir besi dengan menjual lahan mereka. Namun masyarakat pesisir yang tergabung dalam PPLP-KP telah mendeklrasikan bahwa menolak pertambangan pasir besi adalah harga mati. Tidak dapat ditawar-tawar, tidak ada negosiasi, dan tidak ada kata menerima dengan syarat dan ketentuan apapun. Diantara perlawanan-perlawanan fisik tersebut adalah aksi yang bertujuan menuntut hak politik. Aksi tersebut diantaranya adalah aksi mendatangi gedung-gedung pemerintahan, aksi-aksi demonstrasi, aksi pembuatan surat untuk presiden yang dilakukan sebanyak tiga kali, aksi demo di pemerintah Kabupaten Kulon Progo, aksi demo di kantor DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) baik DPRD maupun DPR RI yang dilakukan sebanyak lima kali, dan aksi-aksi mengorganisir petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi demosntrasi berlangsung. Berdasarkan hasil kuesioner terhadap 30 responden perempuan, terlihat bahwa mayoritas perempuan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan aksi dan demonstrasi. Diantaranya yakni aksi demo di Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, aksi demo di kantor DPRD Kulon Progo, dan aksi demo ke UGM (Universitas Gadjah Mada) terkait keberpihakan UGM kepada JMI dengan kesediannya melakukan penelitian terkait reklamasi lahan pasca penambangan. Aksi-aksi demo yang diikuti oleh perempuan adalah aksi-aksi yang masih dalam lingkup Kulon Progo dan dilakukan dalam waktu satu hari. Ketika aksi demo berlangsung, perempuan ikut menyuarakan menolak rencana pertambangan pasir besi. Selain itu, masyarakat pesisir juga pernah menduduki kantor DPRD Kulon Progo untuk menuntut pembatalan proyek pertambangan pasir besi karena berpotensi pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Aksi ini dilakukan selama tiga hari dan hanya diikuti oleh laki-laki. Selama tiga hari tersebut perempuan-perempuan pesisir setiap harinya memasak untuk dikirimkan kepada suami dan anak laki-laki mereka yang sedang memperjuangkan hak atas ruang hidup petani lahan pasir Kulon Progo. Selama tiga hari pula perempuan-perempuan lah yang mengambil peran laki-laki di ladang untuk merawat tanaman. Disinilah terlihat, perempuanperempuan pesisir menggantikan peran-peran yang biasanya dilakukan oleh laki-laki, terutama peran-peran produktif di sektor pertanian. Di dalam aksi tersebut petani pesisir melibatkan orang-orang yang bersolidaritas dengan PPLP-KP. Orang-orang yang berpihak kepada petani, yang ikut memperjuangkan nasib petani lahan pasir sesuai kemampuan yang mereka miliki. 3. Aksi-aksi fisik mencegah masuknya JMI (Jogja Magasa Iron)
68
Aksi-aksi fisik ini merupakan aksi-aksi yang tidak direncanakan, sehingga bersifat spontan. Aksi ini menjadi kewajiban seluruh masyarakat pesisir untuk menjaga agar tidak ada pihak asing yang masuk ke desa pesisir Kulon Progo. Masyarakat pesisir telah memiliki kesepakatan untuk tidak menerima pihak manapun yang berusaha masuk ke desa pesisir tanpa izin dari pihak yang telah ditunjuk oleh PPLP. Baik mahasiswa yang ingin melakukan penelitian, LSM yang ingin bersolidaritas, dan peneliti yang mengatasnamakan lembaga tertentu. Seluruh pihak yang ingin masuk ke desa pesisir harus melalui “satu pintu”. Menurut salah satu pengakuan perempuan Desa Bugel DRT, 46 tahun menyatakan bahwa Saat itu ketika menjelang magrib terdapat enam mobil Paku Alaman yang melintas di Desa Bugel tanpa seizin warga. Kemudian secara otomatis saya langsung keluar membawa parang untuk mencegat keenam mobil tersebut. Saya berdiri di tengah jalan dan mengatakan “berhenti!”. Suasana hening petang itu membuat ibu-ibu yang lain seketika keluar membawa parang. Beberapa warga langsung menghubungi warga di desa pesisir lainnya. Tidak sampai lima menit warga pesisir lain sudah berkumpul di Desa Bugel. Kami para ibu-ibu langsung menghadang orang per orang pekerja JMI. Satu orang pekerja di hadang oleh tiga perempuan lengkap dengan parang masingmasing. Saya sudah tidak berpikir lagi bagaimana keselamatan saya atas tindakan saya tersebut. Bagi saya menolak pertambangan adalah harga mati. 4. Aksi-aksi non fisik Selain perlawanan secara fisik, masyarakat pesisir yang tergabung dalam PPLP-KP juga melakukan aksi-aksi non fisik seperti menjalin solidaritas dan melakukan diskusi-diskusi. Kegiatan-kegiatan diskusi dilakukan di sepanjang perjuangan petani lahan pasir. Pada awal pergerakan PPLP-KP banyak melakukan diskusi-diskusi dengan petanipetani di daerah lain yang juga menghadapi mega proyek pertambangan. Tujuannya adalah untuk mempelajari strategi perlawanan, memperluas jaringan, dan menjalin solidaritas. Hasil dari solidaritas yang terjalin diantara petani tersebut terbentuk FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris). Petani pesisir juga melakukan diskusi dengan mahasiswamahasiswa di kampus-kampus. Diskusi-diskusi terkait perjuangan masyarakat pesisir melawan kepentingan korporasi dan penguasa. Di dalam kegiatan diskusi tersebut, petani pesisir Kulon Progo juga menampilkan pementasan teater yang mengisahkan kehidupan petani pesisir sebelum dan setelah adanya proyek pertambangan pasir besi. Teater yang diberi nama “unduk gurun” ini bersolidaritas dengan senimanseniman Jogja. Selain teater PPLP-KP juga mendorong kampanye di dunia maya melalui media sosial seperti facebook dan website. Alamat website PPLP-KP adalah http://petanimerdeka.tk/. Semua itu dilakukan untuk menyebarkan dan memperluas isu rencana pertambangan pasir besi. Menurut petani pesisir WDD, 34 tahun hal ini dikarenakan
69
Selama ini media massa bungkam terhadap nasib kehidupan petani lahan pasir atas rencana mega proyek pertambangan pasir besi Kulon Progo. Media massa dikuasai oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan. Padahal kasus-kasus perampasan tanah dan konflik agraria sangat penting diangkat dan diketahui masyarakat luas. Kami sangat menyadari perjuangan ini akan tetap terus berlanjut. Untuk itu kami harus terus mengkampanyekan perjuangan kami, menyebarkan issu mengenai rencana pertambangan yang tidak berdampak pada pembangunan ekonomi kami, justru merusak kehidupan kami. Kami menginginkan lahan kami. Kami hanya ingin ruang hidup kami tidak diusik. Kami hanya ingin menanam karena menanam adalah kehidupan kami. Perjuangan petani lahan pasir Kulon Progo tidak hanya berada dalam lingkup lokal maupun nasional. Namun mereka juga menjalin solidaritas dengan orang-orang luar negeri yang peduli terhadap nasib kehidupan petani pesisir Kulon Progo. Diantaranya yakni mereka bersolidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris, warga Australia, dan warga Filipina. Solidaritas dengan masyarakat Filipina diwujudkan dalam bentuk diskusi masyarakat pesisir Kulon Progo dengan masyarakat Filipina yang dilaksanakan di Filipina. Berdasarkan hasil kuesioner terlihat bahwa mayoritas perlawananperlawanan non fisik tersebut dilakukan oleh laki-laki dan banyak melibatkan solidaritas-solidaritas PPLP. Hal ini sama halnya dengan kegiatan-kegiatan internal PPLP seperti proses inisiasi pembentukan PPLP, diskusi internal PPLP terkait strategi perlawanan petani, dan keputusan-keputusan kunci yang diambil petani dalam rangka menolak rencana pertambangan pasir besi. Mayoritas kegiatan-kegiatan tersebut diikuti oleh petani laki-laki. Hanya satu perempuan yang ikut dalam rapat-rapat inti PPLP-KP, yakni tokoh perempuan dari Desa Bugel. Namun, hal ini tidak berarti perempuan pesisir tidak mengetahui perlawanan-perlawanan apa saja yang akan dilakukan oleh PPLP. Sebagian besar perempuan pesisir mengetahui langsung dari suami apa hasil yang dirapatkan oleh PPLP. Sebagian lain mengetahui hal tersebut dari perempuan-perempuan pesisir lainnya ketika sama-sama bekerja di ladang. Perempuan pesisir Desa Bugel STY, 33 tahun menyatakan bahwa Kami menyerahkan berbagai keputusan perlawanan tersebut di tangan petani-petani laki-laki dalam forum PPLP. Kami percaya semua itu dilakukan untuk mempertahankan lahan pertanian kami. Kami selalu mendukung segala bentuk perjuangan yang menjadi keputusan dalam PPLP. Kami tidak ingin terpecah. Saya sebagai istri tidak mungkin ikut dalam rapat-rapat yang dilakukan oleh PPLP karena biasanya rapat berlangsung hingga larut malam. Dan terkadang memang dilakukan pada dini hari untuk menghindari mata-mata ataupun intel JMI maupun Paku Alaman. Saya berkewajiban untuk menjaga anak-anak. Toh pada
70
akhirnya suami saya juga menyampaikan hasil rapat kepada saya. Oleh karena itu, untuk urusan tersebut saya serahkan kepada suami dan laki-laki pesisir Kulon Progo lainnya. Sebagai bentuk protes, masyarakat pesisir juga mengirimkan surat pernyataan sikap penolakan rencana pertambangan pasir besi kepada presiden RI. Ini dilakukan oleh petani-petani pesisir (laki-laki) dan orangorang yang bersolidaritas dengan petani. Perempuan tidak terlibat dalam proses pembuatannya. Namun mereka mengetahui aksi dan isi dari surat tersebut. Hal ini menggambarkan bahwa ketidakikutsertaan perempuan di dalamnya bukan karena ketidaktahuan perempuan akan aksi tersebut, namun karena mereka memilih menyerahkan hal tersebut kepada orangorang yang mumpuni melakukan hal tersebut. Segala bentuk gerakan menolak pertambangan selalu didukung oleh kaum perempuan. 5. Aksi-aksi internal petani pesisir dalam wadah PPLP-KP Petani-petani pesisir yang tergabung dalam PPLP-KP memiliki sejumlah kegiatan-kegiatan yang bersifat internal seperti perayaan Ulang Tahun PPLP yang bertepatan pada tanggal 1 April, panen raya, syawalan, mujadahan. Di dalam kegiatan tersebut, perempuan terlibat aktif di dalamnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tidak kalah pentingnya dengan perlawanan-perlawanan petani yang telah dijabarkan di atas. Kegiatan ulang tahun, panen raya, syawalan, dan mujadahan merupakan momen penting bagi masyarakat pesisir untuk berkumpul dan bersilaturahmi antarsesama. Di dalam kegiatan ini pula masyarakat saling menguatkan dalam perjuangan menolak penambangan pasir besi. Selain itu juga bentuk apresiasi atas hasil kerja keras petani dan menunjukkan eksistensi petani pesisir Kulon Progo, khususnya di mata JMI, Paku Alaman, dan Kasultanan Yogyakarta. Berikut merupakan gambaran tingkat keterlibatan perempuan dalam gerakan petani. Tabel 12
Keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani,2014 Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani
Kegiatan dalam PPLP-KP Proses inisiasi pembentukan PPLP Diskusi terkait rencana penambangan pasir besi di awal pembentukan PPLP Memberikan pendapat ketika diskusi berlangsung Mengambil keputusan ketika menentukan sikap terkait perencanaan penambangan pasir besi Perayaan hari terbentuknya PPLP-KP Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas Diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di kampus-kampus Pementasan teater di kampus Atma Jaya, Jakarta Diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di beberapa kumpulan masyarakat yang juga memperjuangkan lahan pertaniannya
Jumlah responden 0 0 0 0 30 0 0 0
71
Pementasan teater di kampus Universitas Gajah Mada Kunjungan ke Kebumen dalam rangka menjalin solidaritas Proses pembentukan kesenian teater “unduk gurun” Proses pembentukan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris) Diskusi di Gerbang Revolusi, Garongan Menjalin hubungan dengan seniman terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi Menjalin hubungan dengan agamawan terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi Menjalin hubungan dengan akademisi terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi Kampanye permasalahan petani di dunia maya Menjalin solidaritas dengan masyarakat pendukung penolakan penambangan pasir besi yang bertempat di Australia Menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris Kegiatan aksi dan demonstrasi Memblokade jalur lalu lintas rencana penambangan untuk menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa pertambangan pasir besi Aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek penambangan pasir besi Pencegatan pekerja pilot proyek PT. Jogja Magasa Iron (JMI) oleh warga masyarakat Gupit Mendatangi gedung-gedung pemerintahan Kampanye penolakan pertambangan pasir besi di Filipina Mengikuti aksi-aksi demosntrasi Pembuatan surat untuk presiden yang pertama Pembuatan surat untuk presiden yang kedua Pembuatan surat untuk presiden yang ketiga Aksi demo di pemerintah Kabupaten Kulon Progo Aksi demo di kantor DPR yang pertama Aksi demo di kantor DPR yang kedua Aksi demo di kantor DPR yang ketiga Aksi demo di kantor DPR yang keempat Aksi demo di kantor DPR yang kelima Mengorganisir petani-petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi demontrasi berlangsung
0 0 0 0 0 0 30 0 0 0 0
21
22 22 27 0 27 0 0 0 9 27 27 27 27 27 0
72
Tabel 13
Tingkat keterlibatan perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014
Variabel tingkat keterlibatan perempuan dalam gerakan petani Kegiatan dalam PPLP-KP
Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas
Kegiatan aksi dan demonstrasi
Skala
Jumlah responden
Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah
30 30 3 24 3
Tabel 13 memperlihatkan tingkat keterlibatan perempuan yang dibagi dalam ke dalam tiga kategori kegiatan. Pemberian skor dan dan pemberian skala ke dalam tingkat tinggi, sedang, dan rendah adalah upaya penulis untuk mengetahui tingkat keterlibatan perempuan pesisir Desa Bugel secara kuantitatif. Upaya penulis untuk mengkuantitatifkan data kuesioner tersebut pada dasarnya banyak kelemahan. Pertama, pengkategorian kegiatan perlawanan yang hanya dibagi ke dalam tiga bagian umum. Seharusnya dapat dibedakan perlawananperlawanan yang berada dalam lingkup lokal dan nasional, perlawananperlawanan yang membutuhkan mobilitas tinggi dan perlawanan sehari-hari. Perlawanan-perlawanan dalam lingkup lokal diantaranya adalah aksi-aksi memblokade jalur lalu lintas rencana pertambangan untuk menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa pertambangan pasir besi, aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek pertambangan pasir besi, dan aksi pencegatan pekerja pilot priyek PT. JMI (Jogja Magasa Iron) oleh masyarakat Gupit. Aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Di Desa Bugel, terlihat bahwa perempuan terlibat aktif dalam aksi-aksi ini. Perempuan Desa Bugel menjadi garda terdepan untuk aksi-aksi tersebut. Namun beda halnya dengan aksi-aksi demontrasi di UGM dan kantor DPR, baik DPRD Kabupaten Kulon Progo maupun DPR RI. Aksi-aksi tersebut merupakan aksi-aksi yang direncanakan, membutuhkan koordinasi dan kerjasama. Aksi-aksi ini banyak melibatkan laki-laki dalam hal perencanaan melalui diskusi-diskusi dan rapat. Namun hal ini tidak berarti perempuan tidak terlibat di dalamnya. Perempuan terlibat secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender tradisional. Hal ini terlihat dari salah satu peran perempuan pesisir ketika akan melakukan aksi demontrasi yakni menyiapkan segala perlengkapan makanan dan minuman. Selain itu, saat demo berlangsung, perempuan juga ikut berpartisipasi dengan menyuarakan tuntutan petani lahan pasir Kulon Progo. Perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan panen raya, mujadahan, syawalan, dan Ulang Tahun PPLP-KP. Ulang Tahun PPLP-KP misalnya perempuan menjadi bagian dalam panitia pelaksanaan, terutama di bidang yang membutuhkan keterampilan yang secara tradisional dikaitkan dengan perempuan, seperti memasak. Namun beda halnya dalam aksi-aksi solidaritas dan
73
diskusi, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional, yang dilakukan oleh laki-laki. Hal ini dikarenakan ada bagian yang harus tetap dilakukan dan berlanjut seperti menjaga anak, memasak, dan bekerja di ladang. Hal-hal yang tidak dapat ditinggalkan. Oleh karena itu, untuk beberapa kondisi terdapat aksiaksi yang hanya dapat diikuti oleh laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan tidak terlibat di dalamnya. Dukungan perempuan diwujudkan dalam bentuk kesediaannya untuk tetap menjalankan kelangsungan hidup keluarganya melalui kesepatakan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa peran perempuan di dalam gerakan tani mengikuti pembagian kerja tradisional. Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani berhubungan dengan peran perempuan dalam aktivitas reproduktif, aktivitas produktif, dan aktivitas sosial. Kondisi ini terlihat dari peran perempuan yang mengemuka dalam setiap kegiatan gerakan petani berhubungan dengan kerja-kerja reproduktif, yang dominan dilakukan oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat aksi dan demontrasi misalnya, perempuan-perempuan diberi tanggung jawab untuk menyiapkan konsumsi. Begitu pula dengan kegiatan-kegiatan syawalan, ulang tahun PPLP, dan panen raya, perempuan berperan aktif dalam kerja-kerja reproduktif yang terdapat di dalamnya. Peran perempuan dalam gerakan petani tidak terlepas dari pembagian peran gender pada sistem penghidupan masyarakat pesisir Kulon Progo. Perempuan diberi dan mengambil peran sesuai kapasitas yang mereka miliki. Perempuan-perempuan di Desa Bugel tidak hanya dituntut untuk menjadi istri yang menjalankan tugas kerumahtanggan, menjadi ibu yang mengurus anak-anaknya, dan menjadi pelaku kerja produktif yang merawat tanaman melainkan juga dituntut oleh keadaan untuk melakukan perlawanan untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Peran perempuan dalam gerakan petani juga berhubungan dengan pembagian peran produktif, khususnya peran produktif pada pertanian komoditas unggulan cabe keriting dan melon. Pada pembagian peran produktif terlihat bahwa perempuan melakukan aktivitas diantaranya yakni menyebar pupuk dasar (5 kompos), menyiram tanaman, menyiangi tanaman, memberi pupuk susulan, dan memetik hasil panen. Sedangkan laki-laki melakukan aktivitas mengolah lahan, membersihkan lahan, mencangkul, membuat petak-petak tanaman/bedengan, dan menyempurnakan kompos. Berdasarkan pembagian peran tersebut, empat di antaranya perempuan mengerjakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan secara kontinu setiap harinya sedangkan laki-laki lebih dominan pada pekerjaan yang dilakukan sewaktu-waktu namun membutuhkan tenaga yang lebih besar. Kondisi ini berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi perempuan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani yang berada dalam lingkup nasional dan internasional serta aksi-aksi yang berlangsung dalam beberapa hari seperti pendudukan kantor DPRD Kabupaten Kulon Progo yang berlangsung selama tiga hari. Oleh karena itu, aksi-aksi tersebut banyak dilakukan oleh laki-laki sedangkan perempuan berperan untuk menggantikan peran-peran produktif sehari-hari yang dilakukan oleh laki-laki. Sebab mengurus tanaman merupakan keharusan. Hal ini juga berhubungan dengan pembagian peran sosial dalam masyarakat pesisir Kulon Progo yang dominan dilakukan oleh laki-laki. Pada aktivitas sosial perempuan terlibat dalam aktivitas-aktivitas yang terbatas di dalam desa, sukarela, non komersial serta yang berhubungan dengan warga desa
74
sedangkan peran-peran yang diambil oleh laki-laki merupakan aktivitas yang termasuk dalam ranah publik, melibatkan pihak luar, dan komersial. Gerakan petani merupakan bagian dari aktivitas sosial. Pembagian peran dalam aktivitas sosial sejalan dengan pembagian peran dalam gerakan petani. Kondisi ini tidak berarti perempuan berkurang perannya dalam gerakan petani. Peran perempuan pesisir Desa Bugel juga tidak dibeda-bedakan berdasarkan status pendidikan. Tidak ada perlakukan khusus bagi siapa saja yang ikut berjuang karena semuanya memperjuangkan atas ruang hidup yang sama. Secara keseluruhan, peran antara satu perempuan dengan perempuan lainnya di pesisir Desa Bugel adalah sama. Terlihat bahwa dari 30 responden, sebanyak 12 responden berpendidikan tamat SLTA/SMA, 12 responden tamat SLTP/SMP, 4 responden tamat SD, dan 2 responden tidak tamat SD. Namun, data tingkat keterlibatan perempuan dalam gerakan petani menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan peran antara perempuan yang berpendidikan SD, SLTP/SMP, dan SLTA/SMA. Hal ini sebagaimana terlihat dalam tabulasi silang berikut, Tabel 14
Tabulasi silang antara tingkat pendidikan perempuan dengan tingkat Keterlibatan Perempuan Desa Bugel dalam Gerakan Petani, 2014
Tingkat peran perempuan Tinggi Sedang Rendah Total
Tingkat pendidikan perempuan Tinggi Sedang Rendah N % N % N % 0 0 0 0 0 0 12 100 12 100 6 100 0 0 0 0 0 0 12 100 12 100 6 100
Total N 0 30 0 30
% 0 100 0 100
Akses dan Kontrol Perempuan dalam Gerakan Petani Di dalam pergerakan petani lahan pasir Kulon Progo, perempuan dan lakilaki pada dasarnya memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat di dalam setiap kegiatan gerakan petani. Sebagai salah satu daerah basis perlawanan petani, perempuan-perempuan Desa Bugel justru didorong untuk terlibat aktif dalam gerakan petani. Namun, keterlibatan perempuan sama sekali tidak didasari atas dasar unsur paksaan dari pihak manapun. Perempuan-perempuan desa Bugel tergerak atas dasar kemauan dalam diri sendiri. Menurut LKM, 59 tahun dan PRD, 50 tahun menyatakan bahwa Walaupun secara fisik dan pemikiran kami tidak menyumbangkan apa-apa untuk perlawanan petani lahan pasir, setidaknya kami selalu mendukung apapun bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani pesisir. Kami ikut mendoakan agar penambangan tidak pernah terjadi di lahan pasir Kulon Progo. Kami ikut mendoakan untuk keselamatan semua masyarakat pesisir yang sedang berjuang mempertahankan lahan pertaniannya. Tidak ada lagi lapangan pekerjaan yang bisa menerima
75
orang tua seusia kami selain menjadi petani. Perusahaan tambang tidak mungkin menerima kami sebagai buruh di pabrik mereka. Namun dalam prosesnya, kesempatan antara laki-laki dan perempuan Desa Bugel untuk terlibat dalam gerakan petani tidak lah sama. Hal ini bukan karena adanya kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan melainkan situasi dan kondisi perlawanan yang menuntut mereka untuk membagi peran serta tanggung jawab yang harus diemban oleh laki-laki dan perempuan, baik peran reproduktif, peran produktif, peran sosial, maupun peran-peran dalam gerakan petani. Perbedaan akses berdampak pada perbedaan kontrol antara laki-laki dan perempuan dalam gerakan petani. Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan. Namun secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan pertanian yang bersifat biologis. Dalam hal ini pembagian pekerjaan tradisional mengemuka dan menempatkan peranan perempuan lebih dominan di aspek “lokal” dan “dapur”. Hal ini berdampak pada kontrol yang lemah dari perempuan di dalam kegiatan gerakan-gerakan petani. Pola ini akan menghambat peranan dan pengetahuan perempuan secara umum di ranah politik. Tetapi, peran “dapur” dari perempuan di dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran politiknya. Berikut disajikan tabel yang menunjukan akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petaani dan tingkat akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani. Tabel 15
Akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014
Kegiatan dalam gerakan petani Diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi Pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya Diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya Menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya Menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, dan lain-lain) Aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan penambangan pasir besi Kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama, penjegatan pihak penambang, dll)
Akses 8
Kontrol 0
0 0 0
0 0 0
0
0
30
0
30
0
76
Tabel 16
Tingkat akses dan kontrol perempuan Desa Bugel dalam gerakan petani, 2014
Variabel tingkat akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani Tingkat akses
Tingkat kontrol
Skala Tinggi Sedang Rendah Tinggi Sedang Rendah
Jumlah responden 30 30
Dari tabel 15 terlihat bahwa akses perempuan dalam aktivitas gerakan petani berada dalam posisi sedang. Akses terhadap kegiatan-kegiatan dalam gerakan petani meliputi kesempatan untuk mengikuti diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi, kesempatan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya, kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya seperti seniman dan agamawan, kesempatan untuk mengikuti aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan pertambangan pasir besi, dan kesempatan untuk mengikuti kegiatankegiatan gerakan petani lainnya (pementasan teater, penjegatan pihak penambang, dll). Hasil kuesioner kepada 30 responden menunjukan bahwa seluruh responden memiliki kesempatan untuk mengikuti aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan pertambangan pasir besi, dan kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya seperti penjegatan pihak penambang dan pihak-pihak asing lain yang berusaha masuk ke kawasan pesisir Kulon Progo. Sementara itu, laki-laki memiliki akses untuk semua kegiatan dalam gerakan petani. Hal ini menunjukan bahwa perempuan memiliki kesempatan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat perlawanan fisik, baik perlawanan yang dilakukan secara spontan maupun perlawanan yang direncanakan. Perempuan melakukan kegiatan-kegiatan gerakan petani yang telah menjadi keputusan bersama para petani laki-laki dalam forum PPLP. Perempuan tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani yang berlangsung dalam forum rapat, diskusi, dan menjalin solidaritas. Hal ini dikarenakan kegiatan tersebut memerlukan mobilitas yang tinggi, membutuhkan waktu, dan tanggung jawab serta komitmen yang tinggi. Perempuan memiliki tanggung jawab lain dalam rumah tangga. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama antara laki-laki dan perempuan. Disinilah terlihat perempuan dan laki-laki saling melengkapi peran antara satu dengan lainnya yang sama-sama ditujukan untuk mempertahankan hak mereka atas tanah dari pertambangan. Dapat dikatakan bahwa antara perempuan dan laki-laki pesisir Desa Bugel memiliki akses yang sama dalam gerakan petani, namun dalam bentuk yang berbeda. Laki-laki memiliki kesempatan dalam kegiatan-kegiatan yang langsung berkaitan dengan gerakan petani. Kondisi ini berkaitan dengan kontrol perempuan terhadap kegiatankegiatan dalam gerakan petani. Tabel di atas menunjukkan bahwa kontrol perempuan terhadap kegiatan-kegiatan dalam gerakan petani adalah rendah. Hal
77
ini dikarenakan perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti rapatrapat dalam forum PPLP, diskusi dengan kelompok-kelompok gerakan petani lainnya, dan menjalin solidaritas. Oleh karena itu perempuan berperan menjalankan hasil keputusan dalam forum PPLP. Laki-laki memiliki kewenangan penuh untuk menentukan strategi perlawanan petani dan langkah-langkah apa yang harus ditempuh untuk menolak pertambangan pasir besi. Salah satu koordinator PPLP WDD, 34 tahun mengutarakan bahwa Tahun 2008 merupakan puncak-puncaknya perlawanan petani pesisir. Kita menghadapi tekanan luar biasa dari pihak JMI. Mereka tidak hanya meneror kami petani pesisir, tetapi mereka juga melakukan aksiaksi kekerasan seperti merusak dan membakar tujuh posko penolakan proyek dan satu rumah milik warga pesisir yang menolak pertambangan. Hal ini diperparah dengan dukungan pemerintah daerah setempat dalam bentuk pembiaran dan pengarahan terhadap tindakan kekeran massa yang tidak bertanggung jawab tersebut tersebut oleh aparat kepolisian. Banyak sekali intel yang memata-matai aktivitas yang kami lakukan dalam PPLP. Oleh karena itu kami harus sangat berhati-hati dengan pihak manapun yang berusaha masuk dalam PPLP. Kami harus melakukan rapat-rapat rahasia dan mengelabui intel-intel tersebut. Untuk itu kami melibatkan laki-laki pesisir di dalamnya yang harus siap kapan saja jika dibutuhkan. Perempuan tidak mungkin kami libatkan dalam rapat-rapat yang sering kami lakukan ketika dini hari. Hanya ada satu perempuan yang kami ajak dalam rapat-rapat tersebut yang berasal dari Desa Bugel. Karena beliau memiliki tekad baja dan benar-benar berkomitmen dalam perjuangan ini. Kami mempertimbangkan banyak hal karena yang kami hadapi merupakan penguasa yang dapat bertindak sesuai keinginan mereka. Kami harus sangat hati-hati. Kami berbagi peran dengan istri dan anakanak kami. Cara melawan yang sudah pasti dan sampai sekarang yang kami lakukan adalah menanam. Akses dan kontrol perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat berhubungan dengan akses dan kontrol perempuan dalam gerakan petani. Akses dan kontrol perempuan terhadap manfaat dan sumberdaya fisik khususnya terhadap lahan pertanian dan hasil pertanian berhubungan dengan keterlibatan dan akses perempuan dalam gerakan petani. Akses dan kontrol terhadap manfaat dan sumberdaya fisik yang dimiliki dan dikuasai bersama berhubungan dengan besarnya rasa kepemilikan perempuan atas lahan pertanian yang mendorong perempuan untuk terllibat aktif dalam setiap gerakan petani. Sementara itu, akses dan kontrol perempuan yang rendah terhadap sumberdaya sosial-budaya dan pasar komoditas dan tenaga kerja berhubungan dengan rendahnya kontrol perempuan terhadap keputusan-keputusan dalam gerakan petani. Hal ini dikarenakan wadah PPLP berkesinambungan dengan kelompok tani, yang sejak lama diikuti oleh laki-laki. Perempuan tidak memiliki kontrol terhadap kegiatan-kegiatan dalam kelompok tani, hal ini linier dengan rendahnya kontrol perempuan dalam gerakan petani. Upaya penulis untuk mengkategorikan skala akses dan kontrol ke dalam tingkat tinggi, sedang, dan rendah tidak dapat menggambarkan semua aspek gerakan petani yang kompleks. Hal ini dikarenakan penulis tidak membedakan
78
akses dan kontrol ke dalam kegiatan yang bersifat publik dan politik. Seharusnya terdapat pembedaan antara akses dan kontrol kepada kegiatan-kegiatan seperti mujadahan, panen raya, syawalan, ulang tahun, menanam dan akses dan kontrol kepada kegiatan-kegiatan yang masuk dalam ranah politik seperti aksi-aksi demontrasi ke kantor DPRD, DPR RI, dan UGM. Hal ini berkaitan dengan keterlibatan perempuan dalam gerakan petani. Perempuan pesisir Desa Bugel memiliki akses dan kontrol yang tinggi pada kegiatan-kegiatan yang berada dalam internal petani dan PPLP-KP, sedangkan untuk kegiatan-kegiatan diskusi, aksi ke luar kota, dan aksi-aksi solidaritas yang membutuhkan mobilitas tinggi perempuan tidak memiliki akses dan kontrol. Namun, hal ini tidak berarti perempuan tidak berperan di dalamnya.
Faktor-Faktor Lain yang Mempengaruhi Peran Perempuan dalam Gerakan Petani Selain peran perempuan dalam sistem penghidupan penduduk, banyak faktor-faktor lain yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan petani. Faktor-faktor tersebut dapat berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan, sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Melihat konflik yang terjadi di Kulon Progo setidaknya terdapat dua faktor yang mempengaruhi peran perempuan dalam gerakan petani. Pertama, pengaruh dari perkembangan politikekonomi skala besar dan cepat, dalam hal ini adalah penambangan pasir besi. Pada masa orde baru, pemerintah membuka seluas-luasnya pintu bagi pemodal untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia yang ditukar dengan pemberian pinjaman uang (hutang luar negeri). Pemerintah beralasan karena kebutuhan yang mendesak akan suntikan dana untuk pembangunan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu sumberdaya alam pertama yang “dijual” oleh pemerintah Orba adalah sumberdaya hutan. Pemerintah juga memberikan konsensi untuk perusahaan tambang, perusahaan perkebunan, dan lain sebagainya. Untuk mendukung seluruh kegiatan eksploitasi tersebut, pemerintah merumuskan dan mensahkan berbagai kebijakan untuk memuluskan berbagai proyek tersebut. Kebijakan-kebijakan tersebut jelas sangat melindungi kepentingan pemodal. Hal ini tidak lepas dari intervensi lembaga-lembaga asing, penguasa asing, dan pemodal. Masa orde baru merupakan peletak dasar eksploitasi besar-besaran atas sumberdaya alam Indonesia. Tidak jauh berbeda yang terjadi pada masa sekarang, perkembangan politik-ekonomi skala besar dan berlangsung cepat mempengaruhi perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia. Indonesia sebagai negara yang sangat bergantung kepada suntikan dana asing tidak pernah lepas dari intervensi asing. Negara-negara maju sengaja menciptakan kondisi ketergantungan kepada negaranegara berkembang untuk melanggengkan kekuasaan dan kekayaan negara mereka. Ini merupakan bentuk penjajahan baru, penjajahan yang tidak tampak. Hal ini didukung dengan sikap serakah para penguasa Indonesia yang korup. Bagi pemerintah Indonesia ini adalah ladang untuk menumpuk pundi-pundi kekayaan. Proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo salah satu contohnya adalah merupakan bagian dari program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
79
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025). MP3EI merupakan proyek besarbesaran untuk mengeruk sumberdaya alam Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Untuk kepentingan program MP3EI pemerintah memangkas regulasi yang menghambat pengusaha; menyusun daftar mega proyek dengan membuat peta lokasi proyek MP3EI yang dibagi-bagi ke dalam lima koridor yakni koridor Sumatera, koridor Jawa, koridor Kalimantan, koridor Sulawesi, koridor Bali-Nusa Tengara, dan koridor Maluku-Papua; mengubah individu menjadi subyek industri; dan melayani pengusaha dengan infrastruktur; dan memeras keringat rakyat dengan memangkas subsidi. Untuk pelaksanaan proyek ini pemerintah membentuk Komite Eksekutif yang disingkat dengan KP3EI. KP3EI disusun segaris dengan struktur pemerintahan. Artinya setiap pejabat negara secara langsung merupakan para panitia pelaksana MP3EI7. Hal ini menunjukan pemerintah atas nama pembangunan telah menjual seluruh aset sumberdaya alam Indonesia untuk dieksploitasi secara besar-besaran. Di beberapa daerah Indonesia, masyarakat tidak menyadari kepentingan siapa yang dilayani oleh pemerintah, untuk siapa proyek MP3EI. MP3EI didesain seolah-seolah untuk kemakmuran masyarakat dan untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi Indonesia. Sehingga banyak masyarakat Indonesia tidak melakukan perlawanan dan secara tidak sadar mendukung MP3EI. Hanya sedikit masyarakat Indonesia yang “konsisten” melakukan perlawanan terhadap proyek MP3EI. Salah satunya adalah yang dilakukan masyarakat pesisir Kulon Progo. Perkembangan politik dan ekonomi yang begitu cepat tidak dapat dihindari. Masyarakat pesisir selatan Kulon Progo yang sebagian besar adalah petani dipaksa berhadapan dengan proyek MP3EI, yakni proyek pertambangan pasir besi. Proyek pertambangan pasir besi jelas menyangkut ribuan nasib petani Kulon Progo yang telah berpuluh-puluh tahun menggantungkan hidupnya pada pertanian lahan pasir. Pertanian lahan pasir, yang tidak hanya dimiliki dan dikuasai oleh laki-laki, melainkan juga perempuan. Oleh karena itu melawan merupakan suatu keharusan bagi masyarakat pesisir untuk mempertahankan dan melangsungkan hidup. Perlawanan petani yang terjadi di Kulon Progo, dilakukan oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Hal ini dikarenakan rencana proyek penambangan tidak hanya menyangkut hajat hidup lelaki, namun juga perempuan. Perempuan pesisir juga berkewajiban ikut melakukan perlawanan. Perempuan Desa Bugel yang pada awalnya tidak tergerak untuk terlibat dalam gerakan petani, lambat laun akibat tekanan yang semakin besar dari proyek pertambangan pasir besi (JMI sebagai pemilik saham) mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam perlawananperlawanan. Menurut penuturan seorang warga pesisir WDD, 34 tahun Rasanya kalau saya tidak ikut dalam aksi-aksi demonstrasi “rugi”. Keputusan kami untuk bertahan dengan menanam adalah keputusan politik. Mengapa? Karena setiap manusia itu berpolitik. Setiap orang berkuasa dan kekuasaan ada di setiap diri orang. Jika keputusan politik pemodal adalah menambang untuk mendapatkan keuntungan, maka kami
7
Dalam sebuah persentasi di Galeri Garuda, Jakarta. Hendro Sangkoyo membedah buku “Menanam adalah Melawan” karya Widodo, petani Kulon Progo dan menjelaskan kesinambungannya dengan Program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Disampaikan dalam acara Solidaritas Menembus Batas, 27 Maret 2014, Galeri Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur.
80
juga bisa melawan dengan membuat keputusan untuk terus menanam karena kami punya kekuasaan atas lahan kami. Kedua, hubungan penduduk dengan Keraton Yogyakarta yang berubah besar. Sejak bergulirnya rencana pertambangan pasir besi di Kulon Progo, masyarakat memiliki konsepsi sendiri atas Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan dan Keraton Jogjakarta. Hubungan antara Keraton Yogyakarta dengan masyarakat pesisir Kulon Progo berubah besar. Masyarakat memiliki sikap skeptis dan apatis terhadap Keraton Yogyakarta. Sikap apatis ini salah satunya ditunjukan dengan ketidakikutsertaannya dalam pemilihan calon legislatif dan pemilihan calon presiden. Masyarakat pesisir tidak lagi menghargai dan mempercayai Raja dalam hal ini Sultan sebagaimana masyarakat Yogyakarta pada umumnya. Bagi WST, 27 tahun DIY tidak layak disebut sebagai daerah Istimewa. Kalau orang banyak yang mengatakan bahwa Yogyakarta adalah istimewa, bagi kami ya istimewa menindas rakyatnya. Banyak mitos berkembang mengatakan bahwa dalam angka Jawa idealnya berhenti pada angka 9, seperti jumlah wali sembilan. Nah seharusnya jumlah sultan juga sembilan. Oleh karena itu sebagian masyarakat berkeyakinan bahwa sultan kesepuluh terlalu memaksakan kehendaknya. Sejak masa Sultan Hamengku Buwono X banyak dilakukan penggusuran mukim masyarakat untuk dibangun hotelhotel, rencana pertambangan diizinkan, dan telah diagendakan untuk pembangunan bandara. Sultan mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat. Sejahtera apanya? Wong tanah kami mau diambil. Kami ya sejahtera jika kami bisa menanam, gak diganggu, harga cabai gak dimainkan. Kami itu udah sejahtera. Padahal pesisir Kulon Progo itu pernah mendapatkan penghargaan dari pemerintah karena pertanian dan teknologi pertanian lahan pasir yang kami kembangkan, kok aneh sekarang tanah kami mau ditambang. Mereka pikir kami bisa hidup dengan makan hasil tambang. Kami hidup ya dari hasil pertanian. Harusnya kan Sultan itu mensejahterakan rakyat, memikirkaan bagaimana rakyat itu bisa sejahtera, mandiri, bukannya malah mau merampas kesejahteraan rakyat. Perubahan hubungan masyarakat pesisir dengan Keraton Yogkarta berakibat pada perubahan nilai-nilai gender yang terdapat dalam tradisi adat Jawa. Mobilisasi-mobilisasi yang dilakukan petani pesisir dalam perlawanan menuntut perempuan tampil di dalamnya. Hal ini juga lah yang mendorong peran perempuan pesisir Desa Bugel dalam gerakan petani. Ikhtisar Perempuan terlibat secara sadar di dalam perjuangan, namun secara umum pembagian kerja di dalam gerakan petani di Kulon Progo masih mengikuti pembagian kerja gender tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam perlawananperlawanan lingkup lokal, diantaranya adalah aksi-aksi memblokade jalur lalu lintas rencana pertambangan untuk menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa
81
pertambangan pasir besi, aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek pertambangan pasir besi, dan aksi pencegatan pekerja pilot priyek PT. JMI (Jogja Magasa Iron) oleh masyarkat Gupit. Aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Namun beda halnya dengan aksi-aksi demontrasi di UGM dan kantor DPR, baik DPRD Kabupaten Kulon Progo maupun DPR RI. Aksi-aksi tersebut merupakan aksi-aksi yang direncanakan, membutuhkan koordinasi dan kerjasama. Aksi-aksi ini banyak melibatkan laki-laki dalam hal perencanaan melalui diskusi-diskusi dan rapat. Perempuan juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan panen raya, mujadahan, syawalan, dan Ulang Tahun PPLP-KP. Namun beda halnya dalam aksi-aksi solidaritas dan diskusi, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional, perempuan menyerahkan hal tersebut kepada laki-laki. Namun, bukan berarti perempuan tidak terlibat di dalamnya. Dukungan perempuan diwujudkan dalam bentuk kesediaannya untuk tetap menjalankan kelangsungan hidup keluarganya melalui kesepatakan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan. Namun secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan pertanian yang bersifat biologis. Dalam hal ini pembagian pekerjaan tradisional mengemuka dan menempatkan peranan perempuan lebih dominan di aspek “lokal” dan “dapur”. Hal ini berdampak pada kontrol yang lemah dari perempuan di dalam kegiatan gerakan-gerakan petani. Pola ini akan menghambat peranan dan pengetahuan perempuan secara umum di ranah politik. Tetapi, peran “dapur” dari perempuan di dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran politiknya. Keterlibatan perempuan dalam gerakan petani juga dipengaruhi oleh pengaruh dari perkembangan politik-ekonomi skala besar dan cepat, dalam hal ini adalah penambangan pasir besi dan perubahan hubungan masyarakat pesisir dengan Keraton Yogkarta berakibat pada perubahan nilai-nilai gender yang terdapat dalam tradisi adat Jawa. Mobilisasi-mobilisasi yang dilakukan petani pesisir dalam perlawanan menuntut perempuan tampil di dalamnya. Hal ini juga lah yang mendorong peran perempuan pesisir Desa Bugel dalam gerakan petani.
82
83
SIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan tujuan penelitian ini, maka dapat dirusmuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Perempuan Desa Bugel berpendapat bahwa konflik yang terjadi di Kulon Progo merupakan konflik perampasan ruang hidup ribuan masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada pertanian lahan pasir. Selain itu, juga merubah tatanan sosial masyarakat. Masyarakat menjadi terkotakkotak ke dalam tiga kelompok, yakni kelompok masyarakat pro pertambangan, netral, dan kontra pertambangan. Namun di sisi lain, konflik juga yang menyatukan masyarakat desa pesisir satu dengan desa pesisir lainnya di sepanjang pantai selatan Kulon Progo. 2. Peran reproduktif dominan dilakukan oleh perempuan; peran produktif dilakukan secara bersama-sama khususnya pada pertanian komoditas cabai keriting, semangka atau melon; dan peran sosial dominan dilakukan oleh laki-laki. Sementara itu, akses dan kontrol antara perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya fisik/material cenderung sama pada masyarakat pesisir Desa Bugel; akses dan kontrol terhadap sumberdaya sosial dan budaya serta pasar dan tenaga kerja didominasi oleh laki-laki; dan akses dan kontrol terhadap manfaat didominasi bersama. 3. Pembagian peran ini berhubungan dengan peran-peran yang diberi dan diambil oleh perempuan dalam gerakan petani. Perempuan terlibat secara sadar dalam gerakan, namun secara umum pembagian kerja di dalam gerakan petani masih mengikuti pembagian kerja gender tradisional. Perempuan terlibat aktif dalam setiap aksi-aksi yang berada dalam lingkup lokal, dimana aksi-aksi tersebut bersifat spontan, tanpa ada perencanaan, dan setiap warga berkesempatan untuk ikut serta. Di dalam gerakan, perempuan berperan lebih besar dalam aspek kerja reproduktif, seperti menyediakan memasak dan mempersiapkan konsumsi untuk aksi-aksi demonstrasi. Perempuan juga berperan untuk menggantikan peran laki-laki dalam kerja produktif ketika aksi-aksi berlangsung. Selain itu, juga dipengaruhi oleh perkembangan politik-ekonomi skala besar dan cepat (penambangan pasir besi yang merupakan bagian dari proyek MP3EI) dan perubahan hubungan masyarakat pesisir dengan Keraton Yogyakarta yang berakibat pada perubahan nilai gender yang terdapat dalam tradisi Jawa. 4. Secara normatif tidak ada pembatasan keterlibatan perempuan, namun secara riil harus ada pengaturan peran yang dibatasi oleh kegiatan kerumahtangaan dan kegiatan pertanian. Hal ini berdampak pada kontrol yang lemah dari perempuan di dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani. Pola ini akan menghambat peranan dan pengetahuan perempuan secara umum di ranah politik. Tetapi peran kerja reproduktif dan produktif dari perempuan di dalam gerakan, tidak berarti perempuan kurang kesadaran politiknya. Akses yang besar yang dimiliki oleh perempuan terhadap lahan pertanian, hasil pertanian, dan manfaat bersama membuat perempuan memiliki rasa kepemilikan yang besar terhadap lahan pasir. Walaupun perempuan memiliki akses dan kontrol yang lemah terhadap kegiatankegiatan pertanian yang berada dalam kelompok tani.
85
DAFTAR PUSTAKA Aji GB. 2005. Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin. Aini FN. 2014. Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat. [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Aprianto TC. 2008. Wajah Prakarsa Partisipatif: Dinamika Gagasan Reforma Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998. [Jurnal]. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik. Volume 12, Nomor 1. Boras S dan Franco JC. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Perubahan PolaPola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina. Yogyakarta: Resist Book. Budirahayu, dkk. 2011. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media Group. Bungin B. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif Edisi Kedua. Jakarta: Kecana Prenada Media Group. Chambers R. 1987. Pembangunan Desa; Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Fakih M. 1999. Analisis Gender dan Transformasi Sosial: Analisis Gender dan Ketidakadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fauzi N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Insist, KPA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Hafid JOS. 2001. Perlawanan Petani Kasus Tanah Jenggawah: Strategi dan Taktik Perlawanan. Bogor: Pustaka Latin. Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID): IPB Press. [ILO] International Labour Organization. [Internet]. [diunduh 2014 Feb 25]; Tersedia pada: http://www.ilo.org/public/english/region/asro/mdtmanila/training/unit1/harv rdfw.htm. Kedzior S. 2006. A Political Ecology of the Chipko Movement: Women’s Participation in the Chipko Movement. [Master Theses]. University of Kentucky, Uknowledge.
86
Kinseng RA dan Ariendi GT. 2011. Strategi Perjuangan Petani dalam Mendapatkan Akses dan Penguasaan atas Lahan. [Jurnal]. Sodality. Vol. 05, No.01, Hal. 13-31. Landsberger HA. 1984. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial: Pergolakann Petani, Beberapa Tema dan Variasinya. Jakarta: CV. Rajawali. Moyo S. 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme. Yogyakarta: Resist Book. Purwandari H. 2006. Perlawanan Tersamar Organisasi Petani (Upaya Memahami Gerakan Sosial Petani). [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Rahayu, dkk. 2005. Gerakan Rakyat untuk Pembaruan Agraria. Garut: Serikat Petani Pasundan. Routledge P. 2005. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga: Pekik Kaum Terkutuk: Perlawanan di Tengah Pengenyahan Lembah Narmada. Yogyakarta: Resist Book. Sukesi K. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan: Wanita dalam Perkebunan Rakyat: Hubungan Kekuasaan Pria-Wanita dalam Perkebunan Tebu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Suryochondro S. 1995. Kajian Wanita dalam Pembangunan: Timbulnya dan Perkembangan Gerakan Wanita di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wahyuni ES. 2007. Perempuan Petani dan Penanggulangan Kemiskinan. [Jurnal]. Agrimedia. Vol.12, No.1. hal:26-32
87
LAMPIRAN
88
89
Lampiran 1 Peta Desa Bugel
Gambar 2 Peta Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulon Progo
90
Lampiran 2 Jadwal kegiatan penelitian Kegiatan Februari Maret Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal penelitian Pengambilan data lapangan Pengolahan data dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi
April
Mei
Juni
Juli
Agustus September Okt
91
Lampiran 3 Kerangka responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43
Nama Umur Katem Kurniyawati 40 Rukinem 57 Ny.Duljabar 88 Ny.Wardani 62 Ny.Rumsiyah S 82 Kun Dwi Andani 44 Lia Daru Calista 20 Anita Arum Sukma 19 WWI 44 Dwi Haryantiani 24 Tri Widiawati 22 TSB 41 Ny. Marto Wiyono 67 Sumiyati 48 Murjiyem 54 Rahayu 31 Hj. Mukirah 64 Kartinah 44 Lufiana R.P 23 Saijem 68 Ny. Rujinah 52 Ny. Wongsodiharjo 77 Sartinem 34 Pariyah 69 Warnipah 29 Egy Wulandari 21 Ny.Kasan W.A.S 84 Ny. Tuminah 73 Ny. Ngadinah K.D 83 Ane Widyantari 28 RNA 25 Karni 53 Ngadinah 83 Sutriyati 44 Kania Dewi Astuti 20 Sutriyati 38 Sri Wasono P 64 Hj. Sukartinah 66 Sarinah 64 Ny. Kromoyadi 99 Pariyah 56 Paradita 17 Dra Supraptinah 53
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
Maharani Cintya D Sri Hidayati Ninik E.S Wasini Dina Supangga Jiyem Kusilah Sumarsi Sri Puruhitani Wiwara S Pratista A Suyatun Tukijem Musaroh D Lyta Aminah K.T Ny. Udi W Sukarni Jumiyatun Siti Budi Astuti Supiyem Dian Heri Ariana Asriyah Giyem TSN Sri Suharni Ny Rono J.A.M Subandiyah Payem Saniyem Katiyem Lilia M.U Sri Muryani Anis Fitriani Ny Samirah M. W Riyana Rurita Nur Aini Latifah Rumanti Suparmi Kemirah Tri Mulyani Keminem Senen
19 41 36 46 19 67 83 49 46 24 18 27 53 37 35 81 69 37 48 35 59 19 44 83 21 49 100 47 67 58 50 18 48 26 81 29 27 24 42 59 26 63 53
92
87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132
Tri Purwanti Rubinem Sri Endang R Endah Suci Lestari Nur Khasanah Sukarni Yuliyanti Warsinem Srimarlena Endang Wulandari Sumarsih Arsiati Widiyantari Puput Arni Astuti Esti Sukamsih Varida Maryatun Ery Safitri W Warsilah Ginah Rubinem Ny. Harjo Wiyono Daliyem Samirat Ngatiyem Suratmi Kasinah Rusiyem Keminem Suminem Ny. Sastro W Jariyah Nnrika M Kartini Subandini Dian Septi P Nasilem Poniyem Saminem Sumaryatun Rubiyem Ny. Sadini Mukinem Nurmawati Suyatni Sri Murtiningsih Iriani R. R Winda Dwiastuti
23 52 48 19 26 45 41 33 29 31 46 44 19 46 50 24 46 68 36 76 58 82 59 32 49 58 54 49 74 38 20 42 37 18 35 79 56 44 40 73 44 49 40 45 17 17
133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178
Ngatini Ruminah Yatinem Tuti Ismawati Iskawati Sugiyarti Ngaipah Ratun Ny. Lasiyem P. U SMF Dwi Astuti Kasilah Ulfa M.A Dwi Wahyuningsih Marjiyati Kurnia Cipta D Anik Rahayu Pariyem Rini Ernawati Kartika Dewi H Sukiyem Soerjana Parjiyati Tinuk Wasmiyati Siti Rokhana RMN Suryanto Semi Puryani Ny. Amat S Mursiyem Surati Muryani Sutriantini Cacik M.I Ngadilah Aris Sukayati Purwanti Ngatemi SST Hartini Sukinem Siti Astuti Tusiyani Sumini MSH Wainah
45 44 74 37 24 27 45 54 67 41 28 54 17 44 38 24 31 37 24 27 67 48 36 45 18 45 38 38 79 43 31 31 42 20 74 34 32 46 32 43 55 31 22 38 31 44
93
179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228
Siti Romlah Estri Mursilah Wartini Jariyah Markilah MYT Tuyem Sarminah Kaminten Subiyah LKM Kuntarsih Ny. Tuginem S.W Rubiyem Tiyasi Karni Suwarti Wakinem Mamik Anggreani Tunem Suryati Isnarni Dwi Yuli Yani Suwarni Ny.Sunti Saliman Siti Resiyah Minem Sri Nurhayati Sri Subekti Latifa Sari Pebri Sisulowati Rini Ernawati Kosiatun Fauziah Sarinah Yanti K.H Deviana Arista Sunarsih Sudarti Waljuni Astuti Arum Setyaningsih Suryani JMN Sumiyatun Sunimi Siti Rohayah Saminten
30 38 37 35 25 39 76 34 79 67 59 31 73 85 31 39 60 23 61 41 25 24 48 53 33 48 35 27 25 23 24 34 23 48 37 22 45 40 19 17 36 41 32 60 23 43
229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274
Istiyem Riska Ratnasari Sarmi Kartinem Sri Marfuah Satiyem Peni Arumsasi DRT Nurkhayati Sugiyem Tumirah Siti Anisah Waijem Sumidah Sri Lestari Satini Ngaisah Poniyem Tri Yaningsih Epon Winarsih Waginah Suratini Krisnanti Ana Rizki P Kadilah Mijem Sugiyem Rahmi Nastiti Helda Kurnia Sari Suprapti Erika A Ayusnah Warsiti Sri Purwaningsih Sudiyah Rukiyati Ngatijem Mujiyem Suharti Fahmi Rahmawati Siti Badriyah Rusmiyati Purwati Sujimah Jeminten Rubinem
40 18 53 65 40 71 18 46 23 45 79 42 65 57 28 75 71 58 29 40 60 48 43 19 73 70 57 36 17 36 18 37 40 30 64 34 72 74 38 31 39 37 37 73 42 64
94
275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320
Suratin Susi Rahmawati Sri Suwarni Kuspriyati Natalia S Suyatmi Irma Nuryani Sariyati Rubinah SGT Sunarni Sukarni Wagiyem Dwi Lestari Sainah Emy Cornia Tumirah Paimah Tumijah Maryani Sutirah TantMaryani Lestari Sarmi Sumini Tri Susanti Purwaningsih Murtiah Ina hidanah Tita Fitriyana Erlina E.S Kamini Wiyanti Sumiyati Sumiyem Tri Purwanti Saparilah Mustini Supiyem Nur Suryati AMD Tumijem Sumartini Muhyati Upi Wiyanti Ngadiyem Kasihati
47 18 42 43 24 27 18 38 44 27 37 30 71 21 54 28 28 50 36 36 42 18 36 29 57 38 64 60 37 19 24 46 43 44 49 44 44 40 39 34 67 43 42 35 84 52
321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366
Munfangatun Murtinem Tukinah Semi Suparinah Sudiyem Ngadiyem Rahmawati NDH Kartinem Subandilah Sri Widayati ELT Suratmi Prihandari Sri Cahyana S Hartiyah Parinem Sugi Sutinem Wafiratul Janah Tumilah SRM Sirep Uminem Musiyem Dwi Apriliani Rebyuk Rubiati Tika Fitriana Ginem Ngadinah STY Mariana Ulfah Tumijem Sutilah Kasiyati Titin Agustiyani Lafi Marsuti Karwinih Sutarti Nadhatul Mari’ah Sumirah Suprihatin Nunik Temu Wahyuni Wuryanti
26 51 83 73 56 35 69 19 49 61 55 59 29 63 34 17 43 71 74 44 19 73 46 82 57 59 18 46 20 57 55 33 20 64 77 34 19 44 59 43 28 76 34 25 38 34
95
367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412
Nurjanah Isman Sumiyem Kemiyem Ndari Purwanti Ny. Weryo Supiyah Mujiyem Suyati Siti Robiah Desi Wahyuningsih Parinah Martini Titin A.M Sudiyati Sri Rika Sunarti Hariyani Wagirah Samiyem Tuminem Tukinah Suprihatin Rubiyem Wuryaningsih Yeni M.K Waliyem Fitri Patimah Lestari Eny Widarti Rukini TKM Rubiyah Indah N.R Sutarti Dra Sri Suryati Keminem Wasini Sarinah Istikhomah Sariyah SKN KTY RYN Suparmi Sumini Rusiana Lestari
23 75 63 37 79 83 33 43 17 31 50 27 33 49 17 36 44 35 72 81 77 33 57 61 21 44 18 17 53 56 42 62 18 48 35 67 64 66 18 49 41 54 38 39 48 24
413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458
Lilik Sunarti Martini Puji Astuti Sri Khayati PWT Kadiyem Sri Maryati Sutinah Eko Siti Soleha MRY Sarinah RYT Suwarti Murtini Ninng Pratiwi Salbiyah Nur Agus T.W Tutik Nasihah Parjiyem DES Tumiyem PDL Radiyem Sumarni Satiyem Yunitasari Soyem Erna K RML SNY Estri Mursilah Erni Ernawati Sudinem Legiyem Sutiyah Karini Isnawati RSY Erna Hartuti Rusmini RR.Ramadhani B Indarsih Kamirah Ani Ana F Nanik Ekatini SMR
32 61 34 35 42 54 30 58 20 46 54 26 48 47 23 44 21 54 58 30 60 50 71 52 74 24 73 35 34 39 38 26 32 31 33 28 25 45 33 40 21 34 59 37 36 34
96
Lampiran 4 Kuesioner penelitian
Nomor responden Hari, tanggal survei Tanggal entri data INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT PERAN PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI LAHAN PASIR KULON PROGO Saya, Fika Fatia Qandhi, mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Program Studi Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang saya lakukan, saya meminta kesediaan Saudara/Saudari/Bapak/Ibu untuk mengisi kuesioner ini dengan keadaan yang sebenar-benarnya. Jawaban Saudara/Saudari/Bapak/Ibu akan dijamin kerahasiaannya dan digunakan semata-mata hanya untuk kepentingan penelitian ini. Terima kasih.
1 2 3 4 5 6 7
8
Petunjuk : Berilah centang (√) pada kolom yang telah disediakan Untuk kolom yang di dalamnya terdapat titik-titik, maka isilah sesuai dengan informasi yang ditanya
Identitas Karakteristik Responden Nama ……………………………………………… Umur ……………………………………………… tahun Jenis kelamin …………………………………………………………… Agama …………………………………………………………… Alamat ……………………………………………………… Nomor telepon ………………………………………………………… Pendidikan (1) Tidak Tamat SD (2) Tamat SD (3) Tamat SLTP/SMP (4) Tamat SLTA/SMA (5) Perguruan Tinggi (6) Lainnya:……………………………………… Pekerjaan Utama …………………………………………………………
9 Pekerjaan Sampingan/ Tambahan
…………………………………………………………… …………………………………………………………… ……………………………………………………............
97
II. Analisis Gender (Berikan tanda (√) pada kondisi yang sesuai) *) P: Dominan perempuan/istri L: Dominan laki-laki/suami B: Bersama PERAN (PEMBAGIAN KERJA) GENDER No
Pertanyaan
Pembagian kerja reproduktif 1 Siapa yang berbelanja kebutuhan rumah sehari-hari? 2 Siapa yang memilih pangan yang akan dikonsumsi? 3 Siapa yang memasak? 4 Siapa yang membereskan rumah? 5 Siapa yang menyetrika pakaian? 6 Siapa yang mengasuh anak-anak? 7 Siapa yang merawat orang sakit? 8 Siapa yang mencuci pakaian? JUMLAH Pembagian kerja produktif (pertanian komoditas cabai keriting) 1 Siapa yang melakukan pengolahan lahan? 2 Siapa yang melakukan pembersihan lahan? 3 Siapa yang mencangkul? 4 Siapa yang membuat petak-petak tanaman/bedengan? 5 Siapa yang menyebar pupuk dasar (5 kompos)? 6 Siapa yang melakukan pemasangan mulsa dan penyempurnaan kompos? 7 Siapa yang melakukan penanamn? 8 Siapa yang menyiram tanaman? 9 Siapa yang melakukan penyiangan tanaman? 10 Siapa yang melakukan pengendalian hama dan penyakit tanaman? 11 Siapa yang melakukan pemupukan susulan? 12 Siapa yang melakukan pemetikan hasil panen? JUMLAH Pembagian kerja produktif (pertanian komoditas melon) 1 Siapa yang mengolah lahan? 2 Siapa yang membersihkan lahan? 3 Siapa yang mencangkul dan melakukan pemupukan dasar? 4 Siapa yang menanam? 5 Siapa yang menyiram tanaman? 6 Siapa yang menyiang tanaman? 7 Siapa yang mengendalikan hama/menyemprot pestisida? 8 Siapa yang memupuk tanaman?
P
Pelaku L
B
98
9 Siapa yang melakukan pemetikan hasil panen dan penjarangan buah? JUMLAH Pembagian kerja produktif (perdagangan) 1 Siapa yang menjaga toko/warung/berjualan di pasar? 2 Siapa yang membeli barang/bahan baku? 3 Siapa yang membuat produk? 4 Siapa yang mengatur keuangan? JUMLAH Pembagian kerja produktif (peternakan) 1 Siapa yang membersihkan kandang? 2 Siapa yang menyiapkan makan ternak? 3 Siapa yang memberi makan ternak? 4 Siapa yang menggembalakan ternak? 5 Siapa yang merawat ternak? 6 Siapa yang melakukan pemasaran hasil? JUMLAH Pembagian kerja produktif (sektor jasa, dll) 1 Siapa yang mengajar? 2 Siapa yang menarik ojek? 3 Siapa yang bekerja sebagai kuli bangunan? 4 Siapa yang bekerja di pabrik? 5 Siapa yang bekerja di kantor? JUMLAH Pembagian kerja social 1 Siapa yang mengikuti kegiatan keagamaan? 2 Siapa yang mengikuti kegiatan PNPM? 3 Siapa yang mengikuti kegiatan kelompok tani/GAPOKTAN? 4 Siapa yang mengikuti kegiatan gotong-royong? 5 Siapa yang mengikuti rapat RT/lainnya? 6 Siapa yang mengikuti penyuluhan? 7 Siapa yang menghadiri hajatan? JUMLAH AKSES No
Pertanyaan
Akses terhadap sumberdaya fisik/material 1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk memanfaatkan lahan pertanian?
P
Pelaku L
B
99
2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga? 3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian? 4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan sarana produksi pertanian? 5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menggunakan hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga? JUMLAH Akses terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja 1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menyediakan (membeli) bibit dan saprotan? 2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan waktu penjualan hasil pertanian? 3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan tempat penjualan hasil pertanian? 4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual? 5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung? 6 Siapa yang memiliki kesempatan untuk pengelolaan lahan pertanian? 7 Siapa yang memiliki kesempatan untuk pengelolaan usaha non pertanian? JUMLAH Akses terhadap sumberdaya sosial-budaya 1 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengeyam pendidikan? 2 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian? 3 Siapa yang memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya? 4 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim tertentu? 5 Siapa yang memiliki kesempatan untuk menentukan strategi pengelolaan pertanian? JUMLAH Akses terhadap manfaat 1 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan hasil pendapatan? 2 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan kekayaan bersama?
100
3 Siapa yang memiliki kesempatan atas pemanfaatan kebutuhan dasar? 4 Siapa yang memiliki kesempatan atas pendidikan di kelurga? JUMLAH
KONTROL No
Pertanyaan
Kontrol terhadap sumberdaya fisik/material 1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas penggunaan lahan pertanian? 2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas modal uang untuk pemenuhan kebutuhan keluarga? 3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas modal uang untuk pemenuhan kegiatan pertanian? 4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas sarana produksi pertanian? 5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas hasil pertanian untuk pemenuhan kebutuhan keluarga? JUMLAH Kontrol terhadap pasar komoditas dan tenaga kerja 1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menyediakan (membeli) bibit dan saprotan? 2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan waktu penjualan hasil pertanian? 3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan tempat penjualan hasil pertanian? 4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan jumlah hasil pertanian yang akan dijual? 5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan jumlah buruh tani yang akan digunakan ketika panen berlangsung? 6 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk pengelolaan lahan pertanian? 7 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk pengelolaan usaha non pertanian?
P
Pelaku L
B
101
JUMLAH Kontrol terhadap sumberdaya sosial-budaya 1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan siapa yang berhak mengeyam pendidikan? 2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian? 3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk mengikuti kegiatan penyuluhan lainnya? 4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan tanaman apa yang akan ditanami pada musim-musim tertentu? 5 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) untuk menentukan strategi pengelolaan pertanian? JUMLAH Kontrol terhadap manfaat 1 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas pemanfaatan hasil pendapatan? 2 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas pemanfaatan kekayaan bersama? 3 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas pemanfaatan kebutuhan dasar? 4 Siapa yang memiliki kewenangan penuh (mengambil keputusan) atas pendidikan di kelurga? JUMLAH AKTIVITAS PEREMPUAN DALAM GERAKAN PETANI Jawaban No Pertanyaan Posisi Peran Ya Tidak Kegiatan dalam PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo) 1 Apakah Saudari ikut dalam proses inisiasi pembentukan PPLP? 2 Apakah Saudari mengikuti diskusi terkait rencana penambangan pasir besi di awal pembentukan PPLP? 3 Apakah Saudari ikut memberikan pendapat ketika diskusi berlangsung? 4 Apakah Saudari ikut dalam mengambil keputusan ketika menentukan sikap terkait perencanaan penambangan pasir besi?
102
5 Apakah Saudari ikut dalam kegiatan perayaan hari terbentuknya PPLP-KP? Kegiatan diskusi dan menjalin solidaritas 6 Apakah Saudari mengikuti kegiatan diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di kampus-kampus? 7 Apakah Saudari ikut dalam pementasan teater di kampus Atma Jaya, Jakarta? 8 Apakah Saudari mengikuti kegiatan diskusi tentang perjuangan masyarakat pesisir di beberapa kumpulan masyarakat yang juga memperjuangkan lahan pertaniannya? 9 Apakah Saudari ikut dalam pementasan teater di kampus Universitas Gajah Mada? 10 Apakah Saudari ikut dalam kunjungan ke Kebumen dalam rangka menjalin solidaritas? 11 Apakah Saudari ikut dalam proses pembentukan kesenian teater “unduk gurun”? 12 Apakah Saudari ikut dalam proses pembentukan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris) 13 Apakah Saudari ikut dalam diskusi di Gerbang Revolusi, Garongan? 14 Apakah Saudari menjalin hubungan dengan seniman terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi? 15 Apakah Saudari menjalin hubungan dengan agamawan terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi? 16 Apakah Saudari menjalin hubungan dengan akademisi terkait strategi perlawanan penambangan pasir besi? 17 Apakah Saudari ikut dalam proses kampanye permasalahan petani di dunia maya? 18 Apakah Saudari menjalin solidaritas dengan masyarakat pendukung penolakan penambangan pasir besi yang bertempat di Australia? 19 Apakah Saudari menjalin solidaritas dengan CAF (Casual Anarchist Federalism) yang berada di Inggris? Kegiatan aksi dan demonstrasi
103
20 Apakah Saudari ikut memblokade jalur lalu lintas rencana penambangan untuk menghalangi aktivitas rutin pihak penguasa pertambangan pasir besi? 21 Apakah Saudari ikut dalam aksi penutupan jalan menuju pilot plan proyek penambangan pasir besi? 22 Apakah Saudari ikut dalam pencegatan pekerja pilot proyek PT. Jogja Magasa Iron (JMI) oleh warga masyarakat Gupit? 23 Apakah Saudari ikut mendatangi gedung-gedung pemerintahan? 24 Apakah Saudari ikut serta dalam kampanye penolakan pertambangan pasir besi di Filipina? 25 Apakah Saudari mengikuti aksi-aksi demosntrasi ? 26 Apakah Saudari ikut andil dalam proses pembuatan surat untuk presiden yang pertama? 27 Apakah Saudari ikut andil dalam proses pembuatan surat untuk presiden yang kedua? 28 Apakah Saudari ikut andil dalam proses pembuatan surat untuk presiden yang ketiga? 29 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di pemerintah Kabupaten Kulon Progo? 30 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di kantor DPR yang pertama? 31 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di kantor DPR yang kedua? 32 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di kantor DPR yang ketiga? 33 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di kantor DPR yang keempat? 34 Apakah Saudari mengikuti aksi demo di kantor DPR yang kelima? 35 Apakah Saudari ikut bertugas mengorganisir petani-petani ketika sebelum dan saat aksi-aksi demontrasi berlangsung? JUMLAH
104
No 1 2 3 4 5
6
7
Akses terhadap Kegiatan-kegiatan dalam Gerakan Petani Jawaban Pertanyaan Ya Tidak Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti diskusidiskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, dan lainlain)? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti aksiaksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan penambangan pasir besi? Apakah Saudari memiliki kesempatan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama, penjegatan pihak penambang, dll)
JUMLAH Kontrol terhadap Kegiatan-kegiatan Gerakan Petani No
Pertanyaan
1 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam kegiatan diskusi-diskusi terkait rencana penolakan penambangan pasir besi? 2 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam pertemuan dengan kelompok gerakan petani lainnya? 3 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam kegiatan diskusi dengan kelompok gerakan petani lainnya? 4 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam menjalin solidaritas dengan kelompok gerakan petani lainnya? 5 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam menjalin solidaritas dengan individu-individu lainnya (seniman, dan lain-lain)? 6 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) di setiap kegiatan aksi-aksi, demonstrasi, atau kampanye terkait rencana penolakan penambangan pasir besi? 7 Apakah Saudari memiliki kewenangan (mengambil keputusan) dalam kegiatan-kegiatan gerakan petani lainnya (pementasan drama, penjegatan pihak penambang, dll) JUMLAH
Jawaban Ya Tidak
105
Lampiran 5 Panduan Pertanyaan Wawancara Mendalam 1. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Gerakan Petani (Perempuan) Hari, Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Pekerjaan : Pertanyaan Penelitian : a. Sejak kapan Ibu mengikuti kegiatan-kegiatan gerakan petani? b. Bagaimana bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh petani? c. Bagaimana keterlibatan perempuan di masa-masa awal terbentuknya gerakan petani? d. Kapan terakhir kali Ibu melakukan aksi terhadap rencana penambangan pasir besi? Seperti apa aksi yang dilakukan? e. Bagaimana pendapat Ibu mengenai konflik yang terjadi antara petani dan pihak penambang pasir besi? f. Bagaimana pendapat Ibu mengenai perlawanan yang telah dilakukan oleh petani? g. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi keterlibatan perempuan dalam gerakan petani? h. Menurut Ibu, apakah laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan sehari-hari? i. Menurut Ibu, apakah laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam masyarakat? j. Apakah ada aturan di masyarakat lahan pasir Kulon Progo yang membedakan antara laki-laki dan perempuan? 2. Pedoman Wawancara Mendalam Kepada Tokoh Gerakan Petani Hari, Tanggal Wawancara : Lokasi Wawancara : Nama dan Umur Informan : Pekerjaan : Pertanyaan Penelitian : a. Bagaimana sejarah kepemilikan lahan pasir Kulon Progo? b. Bagaimana kronologi asal mula adanya rencana penambangan pasir besi yang memicu munculnya konflik agraria? c. Faktor-faktor apa saja yang mendorong terjadinya gerakan petani? d. Bagaimana kronologi perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh petani? e. Bagaimana bentuk strategi perlawanan yang dilakukan oleh petani? f. Bagaimana keterlibatan perempuan dalam setiap gerakan petani? g. Bagaimana bentuk solidaritas antara petani dengan paguyuban petani lainnya? h. Bagaimana proses pembentukan PPLP-KP (Paguyuban Petani Lahan Pasir Kulon Progo)? i. Kegiatan-kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh PPLP-KP?
106
Lampiran 6 Dokumentasi penelitian
Gambar 3 Salah satu ladang cabe keriting di Desa Bugel
Gambar 5 Kegiatan konvoi Ulang Tahun PPLP Tahun 2014
Gambar 7 Wawancara dengan petani Kulon Progo
Gambar 4 Tanaman cabe keriting di Kulon Progo Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 6 Penyablonan baju (kegiatan fundrising PPLP)
Gambar 8 Masyarakat pesisir saat memeriahkan Ulang Tahun PPLP
107
Gambar 9 Hasil lukisan bertema perlawanan petani oleh seniman
Gambar 10 Wawancara dengan petani Kulon Progo
Gambar 11 Perempuan Desa Bugel ketika menyiangi tanaman
Gambar 12 Aksi Solidaritas Petani Kulon Progo di titik 0 KM Jogjakarta
Gambar 13 Perempuan memetik cabai ketika panen raya Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 14 Kegiatan panen raya di Garongan Sumber: Dokumen PPLP-KP
108
Gambar 15 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 16 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 17 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 18 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 22 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 19 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 20 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
109
Gambar 21 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 22 Kegiatan Tahun PPLP tahun 2014
Ulang
Gambar 23 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 24 Aksi demonstrasi petani Kulon Progo pada 15 Desember 2010 Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 25 Kegiatan diskusi petani Kulon Progo di Bandung Sumber: Dokumen PPLP-KP
Gambar 26 Kegiatan menonton film perjuangan petani Trisik Sumber: Dokumen PPLP-KP
110
111
RIWAYAT HIDUP Fika Fatia Qandhi dilahirkan di Langsa, pada tanggal 27 September 1992. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Saiful Fikri dan Elidawati, yang kini bermukim di Kampung Jawa Belakang, Kota Langsa, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pendidikan formal yang penulis jalani diantaranya sekolah dasar di SD Negeri 1 Langsa (1998-2004), dilanjutkan dengan SMP Negeri 1 Bireuen (2004-2007) dan SMA Negeri 1 Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (2007-2010). Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Kuliah di bidang ilmu sosial yang jauh berbeda dengan latar belakang jurusan yang diambil penulis ketika SMA mengharuskannya untuk belajar lebih tekun dan gigih lagi. Selama di Institut Pertanian Bogor, penulis tidak hanya aktif dalam kegiatan perkuliahan, tetapi juga aktif dalam berorganiasi dan kegiatan kepanitiaan. Penulis tercatat dalam bidang kepanitiaan, antara lain sebagai sekretaris Manajemen Fundrising Leadership and Enterpreneurship Schools (LES), staf divisi acara Open House Organisasi Mahasiswa Daerah Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) 2011, staf divisi humas gebyar nusantara IMTR 2011, sekretaris Gebyar Nusantara IMTR 2011, anggota kegiatan 1000 mahasiswa Turun Desa I-Share 2012, staf divisi pengajar Himasiera Pengajar 2012, staff divisi medis Masa Perkenalan Fakultas, Fakultas Ekologi Manusia 2012, ketua kadiv konsumsi Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat 2012, staf divisi konsumsi Sunatan Massal Fema Care and Share 2013, staf divisi konsumsi Donor Darah Fema Care and Share 2013, staf divisi sponsorship dan dana usaha Kemah riset 2013, dan staf divisi dana usaha Indonesian Ecology Expo 2013. Selain itu, penulis juga tercatat sebagai sekretaris Divisi Internal Forum Silaturahmi Mahasiswa (FOSMA) IPB, Anggota Divisi Sosial Lingkungan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) periode 2012-2013, Koordinator Divisi Pendidikan Anak Desa Mitra Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (Samisaena BEM FEMA) 2013, dan ketua Bedah Desa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (BEM FEMA) 2013.