PERAN PEMERINTAH DAN PARTISIPASI SOSIAL DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK MUARABULIAN JAMBI MARSAID & EDI AMIN Abstrak Artikel ini membahas bentuk dan sistem perlindungan anak pidana di Lapas Anak Muarabulian Jambi. Karena sistem perlindungan anak pidana didasarkan pada sejumlah peraturan perundang-undangan, artikel ini juga melihat penerapan undang-undang dan peraturan lainnya serta implementasinya dalam perlindungan anak pidana. Konkretnya bagaimana pada tataran praksis, sistem tersebut berjalan dengan baik atau tidak serta apa saja kendala dalam pembinaan anak pidana. Kata Kunci: anak pidana, perubahan sosial, partisipasi sosial, Lapas Anak Muara Bulian Jambi.
Pendahuluan Derasnya perubahan sosial dengan dukungan teknologi menambah problematika anak. Sebagai generasi penerus, anak atau remaja seyogianya mendapat perlindungan. Itulah arti pentingnya UndangUndang Perlindungan Anak. Namun apakah dalam tataran realitas, undang-undang tersebut telah berjalan sebagaimana mestinya? Bagaimanakah model pembinaan di lapas anak? Bagaimana peran pemerintah dan partisipasi sosial dalam mendukung perlindungan anak di lapas? Artikel ini ingin melihat bentuk dan sistem perlindungan anak pidana di Lapas Anak Muarabulian Jambi. Lebih jauh artikel ini juga melihat penerapan undang-undang dan peraturan lain serta implementasinya dalam perlindungan anak pidana. Konretnya bagaimana pada tataran praksis, apakah sistem tersebut berjalan dengan baik serta apa kendala dalam pembinaan terkait perlindungan anak pidana.
350
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Regulasi Perlindungan Anak Berdasarkan Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 jo pasal 13 PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembimbingan Warga Binaan Kemasyarakatan, dikenal tiga golongan didik pemasyarakatan, yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalankan pidana di lembaga pemasyarakatan anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Apabila anak yang bersangkutan telah berumur 18 tahun tetapi belum selesai menjalani pidananya di lapas anak, berdasarkan Pasal 61 UU No. 3 Tahun 1997, harus dipindahkan ke lapas. Bagi anak yang ditempatkan di Lapas karena umurnya sudah mencapai 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun, tempatnya dipisahkan dari narapidana yang telah berumur 21 tahun. Pihak lapas wajib menyediakan blok tertentu untuk mereka yang telah mencapai umur 21 tahun. Narapidana yang telah menjalani pidana penjara 2/3 dari pidana yang dijatuhkan, yang sekurang-kurangnya sembilan bulan, dan berkelakuan baik, dapat diberikan pembebasan bersyarat yang disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengn sisa pidana yang harus dijalankan.1 Syarat umumnya berdasarkan Pasal 29 ayat 3 UU No. 3 Tahun 1997 bahwa anak pidana tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan bersyarat. Sedangkan syarat khususnya dalam Pasal 29 ayat 4 UU No. 3 Tahun 1997 adalah syarat yang menentukan melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam pembebasan bersyarat, dengan tetap memerhatikan kebebasan anak. Anak-anak yang memeroleh pembebasan diawasi oleh jaksa dan pembimbingannya dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dari balai pemasyarakatan dan pengamatannya dilakukan oleh tim pengamat pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan mempunyai tugas dan fungsi untuk membina para narapidana (napi) yang pada saatnya akan kembali hidup di tengah-tengah masyarakat, karena para napi adalah orang1
Pasal 62 ayat 4 UU No. 3 Tahun 1997.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
351
orang yang telah tersesat melakukan kejahatan. Proses yang dijalani oleh petugas lembaga pemasyarakatan pada umumnya bertujuan untuk mengembalikan atau menggerakkan para napi (pelaku tindak pidana yang telah sah diputus oleh majelis hakim dalam persidangan) ke arah yang lebih baik, dengan harapan dapat kembali berperilaku normal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat apalagi bila napi adalah anak-anak yang di bawah umur, sehingga harapan hidupnya masih panjang. Lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam sejarahnya merupakan pengembangan dari pelaksanaan pidana penjara yang diwarisi sejak kolonial Belanda beberapa abad silam. Perkembangan melalui perubahan ini karena sistem kepenjaraan dianggap tidak manusiawi dan tidak mendidik, sehingga bila seseorang telah selesai menjalani hukuman, akan lebih sulit lagi untuk beradaptasi dengan masyarakat. Usaha untuk mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan tersebut terwujud pada 1964. Karena itu kemudian lembaga pemasyarakatan dianggap sebagai lembaga yang berfungsi sebagai wadah untuk menciptakan dan mengembalikan ketenteraman masyarakat, menyelenggarakan kehidupan bersama secara teratur, menjaga keadilan, dan lain sebagainya yang disebut dengan lembaga sosial.2 Sesuai tujuan pemasyarakatan, yakni merehabilitasi narapinada atau anak pidana, eksistensinya menjadi penting tidak saja membuat efek jera karena hukuman yang diterimanya, namun lebih jauh berusaha merehabilitasi perilaku menyimpangnya. Lembaga pemasyarakatan menjadi wadah untuk penempaaan diri. Dengan selesainya para narapidana menjalani hukuman, diharapkan mereka tidak akan lagi menjalani kesalahannya melanggar hukum yang telah mengantarkannya ke lembaga pemasyarakatan lagi dan semestinya kembali ke masyarakat hidup secara normal dan wajar. Untuk mencapai tujuan ini, narapidana perlu dibina, dibimbing, dan dihubungkan dengan masyarakat melalui berbagai aktivitas pembi2
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 130
352
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
naan baik melalui petugas, tokoh agama, dan tokoh adat. Dengan demikian, para napi dalam menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan diberi bekal bimbingan baik rohani maupun keterampilan jasmani sebagai modal kerja bila telah selasai menjalani masa hukuman dan juga supaya hidup bisa bahagia dan tenteram sebagai anggota masyarakat. Hal di atas sesuai dengan pendapat C. I. Harsono di dalam Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Menurutnya, sistem pemasyarakatan memandang sifat pemberian pekerjaan bagi narapidana yang sedang menjalani hukuman adalah pembinaan dengan melatih bekerja narapidana. Hal tersebut dimaksudkan agar setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka dapat menerapkan kepandaiannya sebagai bekal keluar lapas, hingga kejahatan yang pernah dilakukannya tidak diulangi lagi.3
Perubahan Sosial dan Perilaku Kejahatan Anak di Jambi Perubahan sosial adalah proses yang akan membawa penggaruh dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh tersebut membawa problem sosial. Dari segi iramanya, perubahan sosial dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Perubahan yang meringsut (mengecil), yang memberikan tambahan-tambahan pada keadaan semula tetapi tanpa mengadakan perubahan dalam subtansi maupun strukturnya. Bentuk-bentuk perubahan tersebut bisa juga berupa pengurangan, peniadaan, dan modifikasi terhadap substansi yang ada, namun demikian tetap tidak menimbulkan perubahan pada keadaan semula. 2. Perubahan yang luas dan serba meliputi hanya berbeda dari perubahan beringsut dalam hal jangkauannya yang lebih luas. 3. Perubahan revolusioner meliputi penggantian suatu tipe norma secara menyeluruh oleh yang lain dan merupakan penolakan 3
C. I. Harsono, HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, ( Jakarta: Penerbit Djawatan, 1997 ), hlm. 22.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
353
terhadap pola tingkah laku yang lama.4 Menurut Satjipto, ketiga irama perubahan di atas merupakan rangkaian yang berantai dan bagian dari suatu proses perubahan sosial saling berinteraksi. Perubahan revolusioner dalam masyarakat disebut sebagai perubahan dalam pola hubungan di antara anggota-anggota masyarakat atau perubahan dalam posisi yang ditempati oleh individu atau kelompok masyarakat dalam hubungannya satu sama lain.5 Ada faktor saling memengaruhi dalam perubahan yang terjadi di masyarakat. Dinamisasi masyarakat juga ikut menentukan arah perubahan. Selanjutnya, apabila dilihat dari jangkauan perubahan sosial, maka yang menjadi persoalan adalah jumlah kuantitas masyarakat yang mengalami perubahan dalam norma tingkah lakunnya. Dalam hal ini, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu perubahan norma-norma individual, perubahan norma-norma kelompok, dan perubahan normanorma masyarakat.6 Perubahan jenis pertama meliputi perubahan tingkah laku individual yang sekalipun tampak sebagai satu perubahan yang berpola, namun belum dapat diartikan secara tepat sebagai perubahan dalam norma tingkah laku. Perubahan dalam norma-norma kelompok terjadi pada satuan-satuan yang dikenal dengan sistem politik. Sedangkan perbedaan model yang ketiga adalah perubahan yang paling fundamental sifatnya, karena meliputi perubahan dalam nilai-nilai atau norma-norma dasar suatu masyarakat. Para ahli ilmu sosial menggambarkan corak atau ciri-ciri perubahan masyarakat yang akan berkembang di masa sekarang maupun masa depan ditandai dengan beberapa tren dominan dan objektif yang antara lain, pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya revolusi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Masyarakat 4
5 6
Gossman, Law and Change In Modern America, Pacivic Polisades, sebagaimana dikutip Satjipto Rahadjo dalam Hukum dan Perubahan Sosial, (Gema Publishing: Yogyakarta, 2009), hlm. 4. Rahardo, Hukum dan Perubahan, hlm. 39. Grossman dalam Rahadjo, Hukum dan Perubahan, hlm. 5.
354
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
teknologis ditandai dengan adanya pembakuan kerja dan perubahan nilai (change value), yaitu makin dominannya pertimbangan efisiensi dan produktivitas. Hubungan kerja dan kekerabatan akan bergeser ke arah efisiensi dan produktivitas. Budaya ini bergerak cepat atau lambat sangat bergantung pada tingkat kesadaran masyarakat atas urgensi dan manfaat dari budaya modern ini. Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang semakin fungsional. Masyarakat seperti ini ditandai dengan pola hubungan sosial ditentukan oleh seberapa ia bermanfaat buat orang lain. Karena itu, kemampuan seseorang secara individual semakin dibutuhkan. Tegasnya, dalam masyarakat seperti ini, akan terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari efektif netral sebagaimana diteorikan Talcott Parsons. Perubahan dari hubungan yang bersifat personal ke hubungan yang bersifat efektif dan netral. Ketiga, masyarakat padat informasi. Dalam masyarakat seperti ini, keberadaan seseorang pasti sangat ditentukan oleh sebesar-besarnya ia menguasai informasi. Proses penguasaan informasi sangat ditentukan oleh sistem nilai yang dibangun secara objektif dan terbuka di tengah masyarakat. Masyarakat yang padat informasi akan semakin bergerak ke depan apabila dia diatur secara baik oleh sistem yang terbuka (open system) dan dijalankan secara efektif oleh masyaraktnya. Sejalan dengan ciri perubahan masyarakat tersebut, pilihan terhadap budaya cenderung bergeser pada “budaya tertutup” (close culture) ke “budaya terbuka” (open culture). Karenanya budaya yang tidak menghargai pluralitas sosial cenderung bersikap otoriter, absolut, dan tiranik. Sedangkan budaya yang gemar menghargai pluralitas sosial memiliki kecenderungan sikap demokratis, kosmopolit, dan egaliter. Berdasarkan kecenderungan seperti itu, tampak jelas bahwa corak pemikiran masyarakat umum terhadap budaya modern adalah budaya yang seyogianya menghargai pluralitas. Budaya yang memberikan peluang dan kesempatan pada setiap orang untuk mengekspresikan diri dan kelompoknya di tengah masyarakat. Budaya inilah yang berwatak tekhnologis, bernurani teologis, bergerak secara fungsional, produktif, dan inovatif.7 Sikap keterbukaan memungkinkan terjadinya
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
355
transformasi. Transformasi harus disikapi dengan “kedewasaan” manajemen yang biasa disebut sebagai filter, yakni memilah informasi yang kompatibel dengan budaya lokal. Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jambi tidak terlepas dari faktor globalisasi informasi, maraknya penyelenggaraan pemilukada baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dijadikan sebagai media bagi komunitas tertentu untuk menjadi tim sukses calon dengan iming-iming dana dan fasilitas yang menggiurkan. Kesempatan ini ikut melahirkan perubahan sosial masyarakat lapisan bawah (grassroot) dan menengah yang dimediasi oleh elite. Kondisi tersebut juga dapat menyebabkan manuver-manuver negatif seperti black campaign dan money politics. Perilaku ini merupakan embrio baru dalam rangka menambah tindak kriminalitas di tengah-tengah perubahan sosial di masyarakat yang disebabkan oleh kondisi ketimpangan ekonomi masyarakat, majunya transformasi informasi, budaya luar yang sulit dikontrol. Soerjono Soekanto lebih lanjut menyatakan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor dari dalam, bertambah atau berkurangnya penduduk, penemuan baru, konflik/pemberontakan. Sementara faktor dari luar adalah perubahan lingkungan fisik dan pengaruh kebudayaan asing.8 Lemahnya pengawasan, baik dari orang tua, guru di sekolah, lingkungan masyarakat, dan kontrol sosial serta melemahnya pemahaman dan pembelajaran etika, agama, dan pranata sosial, semakin menyeret anak dan remaja untuk berperilaku menyimpang mengikuti tren kehidupan sosial yang negatif. Jika melawan hukum, konsekuensinya anak atau remaja akan mengisi hari-harinya dengan menghuni LP. Di era globalisasi, kehidupan masyarakat perkotaan khususnya merasa bahwa gaya hidup (lifestyle), tuntutan meniru pada kehidupan
7
8
Said Agil Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, ( Jakarta: Pena Madani, 2005), hlm. 209. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar ( Jakarta: Rajawali, 2001).
356
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
masyarakat modern, menjadi tidak terelakkan. Dalam masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen, demikian pula Provinsi Jambi yang masyarakatnya terdiri atas multietnik dan sangat heterogen, lahir gaya hidup masyarakat yang antisosial, lahirnya kejahatan yang terus merebak dengan cepat. Kondisi sosial dengan perubahan lingkungan yang dinamis menyebabkan norma-norma dan sanksi-sanksi sosial semakin longgar. Ditambah ragam budaya dan masuknya budaya asing, menambah potensi konflik yang akan membawa pengaruh dan munculnya disorganisasi dalam masyarakat yang pada gilirannya mengakibatkan kejahatan.9 Jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak di Jambi antara lain pelanggaran KUHP tentang curat (pencurian dan pemberatan), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), anirat (penganiayaan dan pemberatan), sajam (pelangggaran membawa senjata tajam tanpa izin), perkelahian, curring (pencurian ringan), perjudian, narkotika, pembunuhan, lakalantas dan langgarlantas (kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas), penipuan, penggelapan, pemerasan, curas (pencurian dengan kekerasan), perampokan, pelanggaran susila, dan pencabulan. Menurut Kalapas Anak Muarabulian, Jambi, Syahrul Manan, kebanyakan anak tersangkut kasus pencabulan (kesusilaan), narkoba, pencurian, penganiayaan dan pembunuhan. Lapas Anak Muarabulian hanya ditempati 36 anak pidana, sedangkan kurang lebih 60 persen lainnya masih menempati blok-blok di lapas dewasa.10
Kondisi Lembaga Pemasyarakatan Anak Muarabulian Penghuni Lapas Anak terdiri atas anak pidana tahanan atau biasa disebut juga anak didik pemasyarakatan. Tahanan adalah orang-orang yang secara hukum berada pada proses penyidikan, penyelidikan, 9 10
Kartini Kartono, Patologi Sosial, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 143. Wawancara dengan Kalapas Syahrul Manan, 26 Juli 2010.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
357
penuntutan, dan penyidangan, yang dalam istilah hukum disebut tersangka atau terdakwa. Menurut penuturan Kasubsi Registrasi, idealnya Lapas Anak merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan anak didik pemasyarakatan. Dalam hal ini status tahanan tidak ditempatkan di Lapas, melainkan ditempatkan di rutan atau cabang rutan. Tetapi mengingat di Kabupaten Batanghari belum ada rutan atau cabang rutan, orang yang berstatus tahanan pun ditempatkan di Lapas Anak. Berdasarkan data yang ada, jumlah penghuni Lapas selalu fluktuatif dari hari ke hari atau minggu ke minggu. Perubahan ini terjadi karena penambahan seperti adanya kiriman dari lapas lain, titipan dari polisi atau jaksa, pengurangan seperti penghuni yang dimutasi ke lapas lain karena usianya sudah lebih 18 tahun, penghuni yang bebas, dan penghuni yang meniggal dunia. Akan tetapi dari data yang ada, diketahui rata-rata penghuni antara 35-40 orang. Berdasarkan data November 2010, diketahui bahwa jumlah penghuni Lapas Anak Muarabulian sebanyak 36 orang. Ditinjau dari segi jenis kelamin, semua penghuni Lapas Anak Muarabulian adalah laki-laki. Dari data yang ada, diketahui bahwa jumlah penghuni semuanya laki-laki, tidak ada wanita. Keadaan penghuni Lapas Anak Muarabulian jika ditinjau dari segi pendidikan dan agama, menurut Kasi Binaker, variatif. Berdasarkan data diketahui bahwa anak didik pemasyarakatan berpendidikan tidak tamat SD 9 orang. Selanjutnya tidak tamat SLTP 16, sementara yang tidak tamat SLTA 2 orang. Dari segi agama, mayoritas penghuni Lapas Anak Muarabulian beragama Islam. Dari data diketahui bahwa penghuni yang beragama Islam 35 dan satu beragama Kristen. Ditinjau dari segi pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni Lapas Anak Muarabulian, terdapat beberapa jenis pelanggaran. Berdasarkan data diketahui adanya pelanggaran hukum seperti pembunuhan (pembunuhan ringan, sedang, dan berat), penganiayaan, perampokan, pencurian, ketertiban, kesusilaan, narkoba, lakalantas, psikotropika, dan
358
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
kejahatan bajak laut serta illegal loging. Menurut pengalaman dari beberapa penghuni, motif mereka melakukan tindakan pelanggaran hukum macam-macam. Ada yang dilatarbelakangi oleh keterpaksaan, faktor ekonomi, dan ada yang karena pengaruh dari teman dan pengaruh tontonan. Seperti yang dituturkan oleh seorang penghuni yang semua anggota keluarga masuk Lapas karena melakukan penganiayaan berkelahi sehingga dia ikut. Seorang anak berumur 13 tahun melakukan pencurian uang dalam jumlah yang cukup banyak karena orangtuanya tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Sementara yang lain menuturkan melakukan perkosaan terhadap teman sepermainannya karena pengaruh film porno yang sebelumnya ditonton. Sementara bagi seorang yang divonis karena mengonsumsi narkoba menuturkan bahwa motifnya melakukan hal itu semata-mata dipengaruhi oleh kawan-kawan dan karena hal itu berlangsung lama menyebabkan ia kecanduan. Berdasarkan data yang ada, jenis hukuman yang diberikan kepada anak didik pemasyarakatan di Lapas Anak Muarabulian terdiri atas pidana biasa, yaitu pidana sementara antara tiga bulan sampai dua tahun penjara, dengan kategori Register B II b, untuk hukuman 6 bulan sampai 1 tahun dan kategori Register B I untuk hukuman di atas 1 tahun. Untuk jenis pidana seumur hidup yang pada hakikatnya pidana sampai mati, setelah lima tahun dijalani yang bersangkutan berkelakuan baik, dapat diusulkan untuk memperoleh grasi ke presiden menjadi hukuman sementara maksimal 20 tahun dan kepadanya diberikan hak yang sama seperti pidana biasa, yaitu hak memeroleh ampunan setiap tahun sesuai dengan aturan yang berlaku. Ditinjau dari segi lamanya hukuman, berdasarkan data yang ada, mulai kategori hukuman 3-6 bulan, 6 bulan sampai 1 tahun, 1-3 tahun, dan di atas 3 tahun. Dari jumlah 36 anak didik pemasyarakatan, lama hukuman 3-6 bulan berjumlah 2 orang, 6 bulan-1 tahun berjumlah 2 orang, dan di atas 1 tahun 32 orang. Lapas Anak Muarabulian merupakan satu-satunya lapas anak yang ada di Provinsi Jambi, karena itu penghuninya berasal dari kabupaten
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
359
dan kota yang ada di dalam Provinsi Jambi. Namun demikian, anak pidana putusan hakim tidak semua menghuni Lapas Anak, disebabkan tempat yang jauh dan juga masa hukuman yang tidak terlalu lama. Selain itu juga ada atas permintaan orangtua agar anaknya tidak ditahan di Lapas Anak dengan tujuan agar tidak terlalu jauh untuk mengunjungi anak tersebut. Berdasarkan data yang ada, asal penghuni Lapas Anak Muarabulian adalah Kota Jambi berjumlah 7 orang, Kabupaten Batanghari berjumlah 8 orang, Kabupaten Merangin 7 orang, sementara dari Kabupaten Sarolangun, Kerinci, Tebo, dan Bungo tidak ada. Menurut pegawai Lapas, penghuni atau anak pidana bersikap dan berperilaku taat dan patuh terhadap mekanisme yang berlaku, meskipun ada di antara mereka yang tidak bisa meninggalkan kebiasaankebiasaan sebelumnya, terbukti setelah mereka bebas kemudian masuk lagi divonis dalam kasus yang sama. Seperti yang dikemukakan oleh Kasubsi Keamanan yang bertugas di lapangan, secara umum mereka patuh pada pegawai, mengikuti aturan, dan mengikuti berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Penghuni baru biasanya cenderung belum bisa beradaptasi, terkesan bandel, namun bisa diatasi. Berdasarkan pengamatan di Lapas, diketahui bahwa secara umum sikap dan perilaku penghuni Lapas Anak Muarabulian memperlihatkan kepatuhan dan ketaatan pada pegawai maupun aturan-aturan dan memelihara hak dan kewajiban mereka. Diketahui bahwa hanya dengan isyarat lonceng berbunyi, mereka langsung menuju lapangan untuk mengikuti senam pagi atau masuk ke blok masing-masing dengan tertib. Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu mereka masih perlu diarahkan dan dikomando. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku penghuni secara umum mencerminkan sikap patuh dan taat yang didorong oleh kesadaran akan status mereka sebagai seorang anak pidana.
360
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Pembinaan dan Perlindungan Anak di LP Anak Muarabulian Sebelum menguraikan tentang perlindungan anak, terlebih dahulu perlu dijelaskan tentang pengertian awal dalam kaitannya dengan perilaku kejahatan anak, yang menyebabkan anak masuk menjadi napi. Biasanya status seorang anak didasarkan pada tingkat usia, di samping ada juga yang menggunakan pendekatan psikologi dalam merumuskan batasan tentang anak. Paulus Hadi Saputra, misalnya, memberikan batasan berikut: Di Amerika Serikat di mana negara bagian menentukan batas umur antar 818 tahun dikatan anak, Australia di kebanyakan negara bagian menentukan batas umur 8-16 tahun dikatakan anak. Di Inggris menentukan antara 12-16 tahun disebut sebagai anak, sedangkan Srilangka anak 8-16 tahun, Jepang dan Korea 14-20 tahun, Taiwan menentukan batasan anak 14-18 tahun, Kamboja batas usia anak 15-18 tahun, negara-negara ASEAN, untuk Malaysia 7-18 tahun, Singapura 7-16 tahun, sedangkan Indonesia batas usia anak 8-18 tahun dan belum pernah kawin.11
Sementara menurut Singit, sebagaimana dikutip Paulus: Klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia dan kecenderungan kondisi kejiwaannnya dapat digolongkan menjadi lima: 1) anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun, 2) remaja dini, seorang yang berusia 12-15 tahun, 3) remaja penuh seseorang yang berusia 16-17 tahun, 4) dewasa muda seseorang yang berusia 18-21 tahun, 5) usia di atas 21 tahun.12
Perlindungan anak merupakan usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak bisa mendapatkan haknya dan melaksanakan kewajibannya dari pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial dan hukum atau undang-undang merupakan jaminan bagi perlindungan anak. Arief berpendapat bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanakan perlindungan anak.13 11
12 13
Paulus Hadi Saputra, Juvenile Delinquenci: Pemahaman dan Penanggulangannya, (Bandung: Citra Aditia Bakti, 1997), hlm. 8. Saputra, Juvenile Delinquenci, hlm. 12. Arif Rosita, Masalah Perlindungan Anak, ( Jakarta: Akademi Pressindo, 1989), hlm. 19.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
361
Pasal 1 ayat 2 UUD No. 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk merehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tidak perlakuan salah, eksploitasi, dan penelantaran.14 Sedangkan kewajiban anak diatur dalam Pasal 19 UU No. 23 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali, dan guru; mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; mencintai tanah air, bangsa, dan negara; menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. Keseimbangan antara hak dan kewajiban yang seharusnya dipertahankan di tengah-tengah masyarakat ternyata sering mengalami gangguan akibat dari beberapa faktor, antara lain lingkungan masyarakat yang tidak sehat, ekonomi yang mengalami gap di antara individu, transformasi budaya Barat yang memengaruhi kehidupan sosial, dan faktor rumah tangga yang instabilitas, goyahnya keseimbangan di tengah masyarakat. Pada akhirnya semuanya akan mengganggu stabilitas ketentraman anak dan akan mengancam anak untuk mencontoh dan bahkan berpikiran tak sehat sehingga lahirlah kenakalan remaja/ anak. Kenakalan anak yang sering disebut dengan istilah juvanile deliquency atau bisa diartikan dengan anak cacat sosial, karena anak melakukan tindakan atau perbuatan yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.15 14 15
UU No. 23 Tahun 2002. Ramli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja, (Bandung: Amrico, 1984), hlm. 23.
362
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak. Yang dimaksud perbuatan yang terlarang bagi anak adalah perbuatan menurut undang-undang maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Peraturan tersebut baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat. Dari dua pengertian di atas, anak nakal yang dapat diselesaikan melalui jalan hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian anak yang melakukan tindak pidana. Konsekuensi yuridis anak tahanan atau anak melanggar hukum adalah adanya sanksi hukum. Agar hukum dapat ditegakkan, maka peranan sanksi sangat berguna demi mengendalikan ketertiban, keamanan, keseimbangan, dan kemaslahatan di tengah masyarakat dalam kehidupan bersama sebagai anak bangsa. Apabila hal-hal tersebut dapat dicapai, maka dapat dikatakan bahwa hukum dapat menjalankan fungsinya. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur. Menurut Soerjono Soekanto, fungsi hukum adalah membimbing perilaku manusia sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap hukum secara ilmiah. Studi hukum secara ilmiah dengan sendirinya mempelajari sampai sejauh mana pengaruh hukum terhadap sikap tindak atau perilaku manusia.16 Sehubungan dengan sanksi terhadap anak yang melakukan tindak pidana, Undang-Undang Peradilan Anak telah mengaturnya, sebagaimana ditetapkan dalam Bab III Pasal 22. Sanksi tersebut ada dua macam, yaitu pidana dan tindakan. Mengenai pidana terdapat beberapa definisi. Menurut Sudarto yang dikutip dari Nani Suparni, definisi pidana adalah “nestapa yang diberikan negara kepada 16
Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sangsi, ( Jakarta: Remaja Karya, 1985), hlm. 3.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
363
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undangundang (hukum pidana) sengaja sebagai nestapa.”17 Secara struktural, LP Anak di bawah Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Divisi Pemasyarakatan. Lebih jelas dapat digambarkan bagan struktus sebagai berikut Kanwil Kementrian Hukum dan HAM Jambi membawahi empat divisi, yaitu Divisi Administrasi, Divisi Imigrasi, Divisi Pemasyarakatan, dan Divisi Pelayanan Hukum. Divisi Pemsyarakatan membawahi empat UPT, yaitu UPT Bapas, UPT Lapas, UPT Rutan, dan UPT Rubasan. Di Provinsi Jambi yang terdiri atas dua kota dan sembilan kabupaten, UPT Lapas terdiri atas Lapas Kota Jambi, Lapas Muarabulian, Lapas Anak Muarabulian, Lapas Kualatungkal, Lapas Muarabungo, Lapas Tebo, dan Lapas Bangko. Rutan hanya ada di Kerinci, sementara Rubasan hanya di Kota Jambi dan Bapas berada di Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Bungo, yang berada di Tebo. Menurut Kepala Divisi Pemasyarakatan, semua lapas yang tidak ada rutan maka lapas berfungsi sebagai rutan, dan rutan yang tidak memiliki lapas juga berfungsi sebagai lapas. Bagi kabupaten atau kota yang tidak memiliki UPT Bapas, petugas lapas ditunjuk oleh kepala lapas untuk bertindak sebagai bapas yang melaksanakan litmas bagi napi anak dan mendampingi anak sejak proses penyidikan sampai persidangan. Selanjutnya perlu diketahui tentang warga binaan pemasyarakatan. Adapun yang termasuk warga binaan pemasyarakatan meliputi: a) narapidana yang dibatasi kemerdekaannya dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan; b) anak negara, yang dimaksud adalah anak yang berstatus sedang menjalani putusan pengadilan dan ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak baik laki-laki maupun perempuan; c) klien pemasyarakatan, yang dimaksud adalah orang yang sedang dibina oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak (BISPA) yang berada di luar lembaga pemasyarakatan; d) tahanan 17
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Hukum dan Pemidanaan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 11.
364
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
rutan, untuk selanjutnya disebut tahanan yang dimaksud adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di rutan (rumah tahanan) untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam proses persidangan di pengadilan.18 Adapun tahapan yang harus dilakukan dalam pembinaan sekaligus perlindungan anak pidana, berdasarkan Pasal 17 ayat 1 dan 2 PP No. 31 Tahun 1999, terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir. Pembinaan tahap awal meliputi masa pengamatan, pemanggilan, dan penelitian lingkungan (paling lama 1 bulan); perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. Pembinaan tahap lanjutan meliputi perencanaan prorgam pembinaan lanjutan, pelaksanaan program pembinaan lanjutan, penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan, perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. Sementara pembinaan tahap akhir meliputi perencanaan program integrasi, pelaksanaan program integrasi, pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. Pasal 59 PP No. 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pembinaan anak pidana berakhir apabila anak pidana yang bersangkutan masa pidananya telah habis, memeroleh pembebasan bersyarat, memeroleh cuti menjelang bebas, dan meninggal dunia Pasal 22 PP No. 31 Tahun 1999 mengatur tentang pembinaan anak negara dititikberatkan pada pendidikan adapun wujud pembinaan anak negara adalah sebagai berikut: pendidikan agama dan budi pekerti, pendidikan umum, pendidikan kepramukaan, dan latihan keterampilan. Dalam hal pembinaan anak negara, Pasal 60 PP No. 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa berakhirnya pembinaan terhadap anak negara ada empat hal, yaitu anak negara yang dibina tersebut menca-
18
Keputusan Menteri Kehakiman RI tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Tahun 1990.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
365
pai umur 18 tahun, anak negara tersebut memeroleh pembebasan bersyarat dari hukumnya, anak negara tersebut memeroleh cuti menjelang bebas yang diberikan oleh lapas tersebut, dan anak negara tersebut meninggal dunia. Adapun program pembinaan bagi anak sipil menurut Pasal 26 ayat 1 PP No. 31 Tahun 1999 disesuaikan dengan kepentingan pendidikan anak sipil yang bersangkutan, sedangkan jangka waktunya disesuaikan dengan penetapan pengadilan. Apabila diperlukan pembinaan tahap lanjutan, maka pentahapan program pembinaan bagi anak sipil bisa disamakan dengan pentahapan yang belaku pada anak negara, hanya pada pembinaan anak sipil sewaktu-waktu yang bersangkutan bisa dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan anak, berdasarkan penetapan Menteri Kehakiman atau pejabat yang ditunjuk atas perumusan orang tua anak yang bersangkutan atau walinya. Dari penjelasan di atas, dapat ditangkap pesan bahwa amanat undang-undang dan peraturan pemerintah yang dilahirkan adalah dalam rangka perlindungan terhadap napi anak baik yang menempati LP anak maupun yang ada di luar. Hal penting yang perlu dicatat dalam amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 1999, terutama Pasal 5, adalah tentang asas pembinaan/pemasyarakatan yang berisi pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan salah satu penderitaan, dan terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu. Memerhatikan asas di atas, sasaran pembinaan/pemasyarakatan dibagi kepada dua bagian, yaitu 1) sasaran hukum, yaitu pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan yang menyangkut kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME., kualitas profesionalisme, dan keterampilan serta kualitas kesehatan jasmani dan rohani; 2) sasaran umum, yaitu indikator, keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang menyangkut, antara lain menurunnya secara bertahap dari tahun ke tahun angka kriminal
366
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
dan gangguan keamanan lainnya, isi lembaga pemasyarakatan lebih rendah dari kapasitas, meningkatnya jumlah napi yang bebas sebelum waktunya karena berperilaku baik sehingga mendapat remisi, meningkatnya jumlah institusi (pemasyarakatan) sesuai dengan kebutuhan/ golongan warga binaan pemasyarakatan. Agar tercapai sasaran dimaksud, ditempuh pembinaan yang dilaksanakan di LP anak, yaitu pembinaan mental, pembinaan sosial, dan pembinaan keterampilan.
Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial dalam Perlindungan Anak Pidana di Lapas Anak Muarabulian. Pembinaan atau bimbingan merupakan hal yang penting dalam keberhasilan mengembalikan anak pidana/anak didik menjadi manusia yang lebih baik sebagai anggota masyarakat. Lapas Anak berperan dalam pembinaan anak pidana dan memperlakukan serta mengarahkan agar pembinaan berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pembinaan anak pidana selalu melibatkan pihak luar masyarakat binaan, sekalipun dipahami oleh pihak petugas Lapas bahwa arah pembinaan mempunyai tujuan antara lain membina pribadi anak pidana sebagai anak didik pemasyarakatan baik secara mental atau fisik agar jangan sampai nanti mengulangi kejahatan dalam menaati peraturan hukum dan undang-undang serta aturan aturan yang ada di masyarakat, membina hubungan antara anak pidana sebagai anak didik pemasyarakatan terutama dalam hal saling menghormati dan menghargai sesama mereka dan kepada petugas serta pembina yang pada akhirnya hubungan dengan masyarakat luar nanti dapat berdiri sendiri dan dapat menjadi masyarakat yang baik. Untuk menyelenggarakan usaha pembinaan, diperlukan sarana yang memadai. Untuk mewujudkannya, Lapas Anak berusaha mengundang partisipasi sosial dari semua pihak agar upaya pembinaan berjalan optimal. Adapun usaha-usaha yang dilakukan Lapas antara lain: 1) penyuluhan agama, dengan mengundang dan memohon
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
367
partisipasi dari departemen agama; 2) penyuluhan hukum dari pihak pengadilan atau departemen pengadilan; 3) pembinaan sikap melalui kepramukaan dengan mengundang partisipasi dari gugus depan terdekat. Adapun jenis-jenis pembinaan anak pidana dapat digolongkan kepada tiga macam: pembinaan mental, pembinaan sosial, dan pembinaan keterampilan. Adanya patisipasi sosial diharapkan dapat mendukung pembinaan anak pidana sebagai anak didik karena sedang menjalani perubahan lingkungan yang tadinya bergerak bebas, kini dibatasi teralis dan pagar LP. Situasi demikian dapat memengaruhi jiwa anak, hingga dibutuhkan pembinaan yang dapat berjalan nyaman tanpa tekanan. Hambatan yang paling menonjol saat proses mengidentifikasikan diri anak didik adalah kurang keterbukaan. Pemidanaan membawa pengaruh bagi psikilogi anak, maka pemidanaan harus disertai pembinaan yang komprehensif. Pasal 33 UU No. 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa petugas kemasyarakatan terdiri atas tiga golongan, pembimbing kemasyarakatan dari Kementerian Kehakiman dan HAM, pekerja sosial dari Kementerian Sosial, dan pekerja sosial dari organisasi sosial kemasyarakatan. Petugas sosial mempunyai tugas membimbing, membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan kepada Kementerian sosial untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Petugas sosial hendaklah mengadakan koordinasi dengan pembimbing kemasyarakatan. Sedangkan pekerja sosial sukarela dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas dan kewajibannya, mempunyai keterampilan teknis, jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial, dan berminat untuk membina, membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan anak. Adapun LSM sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 1 PP No. 31 Tahun 1999 harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: warga negara Indonesia, taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945,
368
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
bertakwa kepada Tuhan YME, pendidikan serendah-rendahnya sekolah menengah umum atau sekolah kejuruan, telah mengikuti pelatihan bimbingan dan penyuluhan, sanggup melaporkan hasil kerja sukarela kepada pembimbing kemasyarakatan. Dengan demikian, jelaslah bahwa pembinaan anak pidana tidak hanya dilakukan petugas atau pegawai Lapas, tetapi dibantu oleh lembaga di luar Lapas dengan menggunakan metode pekerjaan sosial sebagai cara pembinaan. Guna menyesuaikan diri dengan sistem pemasyarakatan, dibentuklah Direktorat Balai Bimbingan dan Pengentasan Anak (Bispa). Sejak 1970, Menteri Kehakiman mendirikan Bispa di Jakarta, Surabaya, Madiun, Malang, Yogyakarta, dan Bandung. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehakiman RI No. J.S.4/3/7 tahun 1976 nama kantor Bispa menjadi Balai Bispa. Berdasarkan edaran Menteri Kehakiman RI No. M.05.PR.07.03 tanggal 5 September 1997, Balai Bispa berubah nama menjadi Bapas. Dalam tataran praktis, pelaksanann undang-undang dan PP di atas belum berjalan optimal di LP anak Muarabulian Jambi. Kondisi tersebut diakibatkan LSM relawan yang belum ada, jarak LP Anak Muarabulian yang relatif jauh (60 km dari kota) dan tranportasi dan kondisi jalan yang tidak memadai. Karena faktor jarak tersebut, LP Anak juga kesulitan dalam menjalin kerja sama dengan pihak Kementerian Sosial dan Kementerian Agama. Pada 2009, sempat terjalin kerja sama dengan dialer motor Yamaha Jambi. Program berupa pelatihan servis motor ringan, cukup mendapat antusiasme dan feedback yang positif dari anak pidana. Sayangnya program tersebut tidak berjalan berkesinambungan. Padahal, skill tersebut dibutuhkan pasar saat ini, skill yang riil dibutuhkan anak pidana setelah keluar dari LP.
Kendala-kendala dalam Perlindungan Anak Pidana Kendala-kendala dalam pembinaan atau rehabilitasi terkait perlindungan anak pidana merupakan bentuk-bentuk hambatan dalam proses perlindungan tersebut. Oleh sebab itu, temuan hambatan
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
369
dalam proses perlindungan anak pidana di Lapas anak Muarabulian merupakan bahan untuk dievaluasi lebih dalam oleh berbagai pihak terkait, khususnya bagi para stakeholder. Naifnya, terkadang suatu kelemahan atau hambatan sudah diketahui, namun enggan bahkan membiarkan kesalahan itu terus berlangsung dengan dalih ketidakberdayaan dan ketidakpedulian. Mental seperti inilah yang akan menghambat perlindungan anak pidana. Di antara kendala tersebut adalah ketersediaan dana yang minim, sebagaimana diungkapkan Kalapas Anak. Faktor jarak yang relatif jauh dan ketiadaan dana (minim) menyebabkan napi “telantar” di lapaslapas dewasa yang tersebar di Jambi. Hanya 36 anak pidana yang menempati Lapas Anak dari 96 anak pidana di Jambi. Jaksa yang sedianya menyerahkan anak pidana putusan hakim ke Lapas Anak, tidak dijalankan. Kalapas Anak dalam hal ini telah berusaha untuk proaktif menjemput anak pidana di LP-LP dewasa. Namun karena keterbatasan tadi, tidak semua anak pidana dapat dijemput. Keterbatasan pegawai Lapas belum sebanding dengan SDM untuk pemberdayaan pembinaan anak pidana. Sebagai contoh, Kalapas Syahrul Manan selain bertanggung jawab terhadap keberlangsungan lembaga, turun tangan mengajar Paket B dan C. Bahkan Kalapas mengajar salat, baca Alquran, tafsir, dan doa sebelum Zuhur pada setiap hari kerja. Keterbatasan SDM juga diungkapkan oleh pegawai LP bernama Sriyono (Kasi Binadik atau Pembinaan dan Pendidikan). Ia harus mengerjakan pekerjaan staf sambil menunjukkan buku administrasi laporan yang diambilnya dari Kalapas.19 Sarana dan prasarana yang belum memadai juga merupakan hambatan dalam pembinaan anak pidana di Lapas Anak Muarabulian Jambi. Komputer untuk praktik hanya tersedia satu buah yang bisa dioperasikan. Padahal, komputer saat ini merupakan kebutuhan. Artinya, jika ada fasilitas yang memadai seperti praktik perakitan dan servis komputer, laboratorium komputer, dapat membekali anak 19
Wawancara dan observasi, 11 November 2010.
370
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
pidana dengan skill yang dibutuhkan. Ilham sebagai pengajar komputer di Lapas adalah seorang sarjana komputer. Sayangnya, SDM yang memadai tersebut tidak didukung sarana yang memadai. Luas lapangan bola yang tidak standar karena cukup kecil, juga merupakan kendala dalam pelaksanaan olahraga sepak bola. Sepak bola adalah olahraga favorit anak pidana, sebagaimana dituturkan beberapa anak pidana seperti M. Said, Arpa Gitorolis, dan Pandi.20 Bisa dibayangkan bila Lapas memiliki lapangan sepak bola standar, dengan pembina atau pelatih yang profesional, setelah menjalani hukuman, anak pidana dapat menjadi atlet sepak bola yang andal. Jarak LP Muarabulian Jambi yang relatif jauh juga menambah kendala dalam proses pembinaan anak. Hal tersebut banyak dikeluhkan banyak pihak, seperti orangtua. Lapas Anak pun kesulitan dalam antar-jemput anak pidana dari atau ke lapas yang ada di kabupaten atau kota lain di Provinsi Jambi.
Penutup Artikel ini akan menyimpulkan bahwa perubahan sosial memiliki implikasi bagi anak-anak terkait perlindungan, khususnya bagi mereka yang telah masuk Lapas. Kesimpulannya adalah: a. Pemerintah telah berusaha melindungi anak pidana agar dalam proses rehabilitasi di Lapas mendapat hasil yang optimal. Hal ini terlihat dalam keseriusan pemerintah dalam mendirikan lapas khusus anak secara terpisah dengan narapidana dewasa, yang di Jambi dimulai pada 2000. Pemerintah melalui Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 1997 juga telah membuktikan kepeduliannya terhadap perlindungan anak. Karena itu, secara yuridis formal, pemerintah telah berusaha melindungi anak pidana di Lapas. Dalam implementasinya, banyak anak pidana yang masih menempati lapas dewasa merupakan PR bagi pemerintah untuk segera membenahi. Pemda Batanghari pun telah 20
Wawancara dan observasi, 11 November 2010.
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
371
menunjukkan perhatian ke Lapas Anak dengan mengirimkan petugas bimbingan agama agar memberikan pengajaran agama di Lapas Anak Muarabulian Jambi. Dan, khusus partisipasi sosial baik dari pekerja sosial dari Kementerian Sosial maupun dari organisasi kemasyarakatan, belum berjalan dengan baik. b. Kegiatan anak pidana di Lapas Anak Muarabulian telah berjalan, baik kegiatan pendidikan melalui program Paket A, B, dan C, mapun kegiatan olahraga seperti sepak bola, bola voli, dan tenis meja. Kegiatan lainnya adalah program belajar membaca Alquran. Banyak anak pidana yang sebelumnya belum bisa membaca Alquran, sekarang sudah lancar. c. Kendala-kendala dalam pembinaan anak terkait perlindungannya di Lapas anak Muarabulian Jambi adalah anak pidana di wilayah hukum Jambi sampai Oktober 2010 berjumlah 90 anak, namun yang menempati Lapas Anak baru 36 anak pidana. Anak yang menempati lapas dewasa tidak mendapatkan hak perlindungan secara baik, bahkan dapat terkontaminasi dengan narapidana dewasa. Selain itu, sumber daya manusia (SDM) pegawai Lapas Anak yang masih rendah, khususnya terkait pembinan. Anak pidana membutuhkan mentor-mentor, pelatih kesenian dan olahraga, guru dan penyuluh keagamaan, serta psikolog. Harapanya dengan SDM yang baik dan profesional, diperoleh hasil pembinaan yang optimal. Sementara itu, sarana dan prasarana kurang memadai, ditambah minimnya dana pembinaan.
372
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
DAFTAR PUSTAKA Anderson, James A., Communicatin Theory: Epistemological Foundations, (New York: Guilford, 1996). Arikunto, Suharsini, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1996). Atmasasmita, Ramli, Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja, (Bandung: Amrico, 1984). Boudon, Raymond, Theories of Social Change, (Cambridge: Polity Press, 1986). Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan, ( Jakarta: t.p., 1990). Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jakarta, Himpunan Peraturan Perundangundangan Tentang Pemasyarakatan yang dikeluarkan oleh Depkumham, ( Jakarta: t.p., 2004). Harsono, C.I., Sistem Baru Pembinaan Narapidana, ( Jakarta: Penerbit Djawatan, 1997). Gossman, Law and Change In Modern America, (California: Good Year, 1971). Gultom, Maidin, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2009). Johnson, Allan G., The Blackwell Dictionary of Sociology, User’s Guide to Sociological Language, (Cambridge: Blakwell Publishers, 1995). Kartono, Kartini, Psikologi Anak: Psikologi Perkembangan, (Bandung: Mandar Maju, 1995). Kartono, Kartini, Patologi Sosial, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005). Keputusan Menteri Kehakiman RI Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan Tahun 1990. Littlejohn & Karen A. Foss, Theories of Human Communication, (Canada: Thomson Wadsworth, 2004).
Marsaid & Edi Amin, “Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial di Lembaga...” |
373
Meliala, A. Syamsudin, & Sumarno, E., Kejahatan Awal Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1995). Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004). Al-Munawwar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, ( Jakarta: Pena Madani, 2005). Nisbet, J. & J. Watt, Studi Kasus: Sebuah Panduan Praktis, terj. L. Wilardjo, ( Jakarta: Gramedia, 1994). Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991). Rahardjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Gema Publishing, 2009). Rosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, ( Jakarta: Akademi Pressindo, 1989). Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LkiS, 2008). Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: Dari Denzin Guba dan Penerapannya, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001). Saputra, Paulus Hadi, Juvenile Delinquenci: Pemahaman dan Penaggulangannya, (Bandung: Citra Aditia Bakti, 1997). Simanjuntak, B., Kriminologi, (Bandung: Tarsito, 1984). Siregar, Bismar., Keadilan Hukum dan Berbagai Aspek Hukum Nasional, ( Jakarta: Rajawali, 1986). Smelser, Neil J., Social Change in the Industrial Revolution, (London: Routledge and Kegan Paul, 1958). Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, ( Jakarta: Rajawali, 2001). Soekanto, Soerjono, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, ( Jakarta: Remaja Karya, 1985). Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alvabeta, 2007). Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Hukum dan Pemidanaan, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1993). Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode
374
| Media Akademika Volume 25, No. 4, Oktober 2010
Teknik, (Bandung: Tarsito, 1990). Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Pusat Penelitan Sebelas Maret, t.t.). Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1995).