Peran Otoritas Jasa Keuangan dalam Bidang Pengawasan sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Syari’ah Oleh: Suko Bodiyarsih
Abstract The development of the Shari’ah financial services sector in Indonesia is growing rapidly, this phenomenon innovating the importance of the protection of consumers against the Shari’ah financial services which is offered by the provider; whether they are Shari’ah banks, insurances or the capital market form. The purpose of this protection is none other as a part of the maqashid shari’ah realization compliance. The protection of consumers in financial services is devided into two aspect: regulation and oversight. Both aspects are the authority and also the duty of the Financial Services Authority of Shari’ah since the adoption of Law Number 21 of 201 on the Financial Services Authority, relating to: the supervision of the institution does not have the role to be the supervisor in relation to Shari’ah financial services, because it is not regulated in detail and there is only one article which sets it. However, this condition is inversely proportional with the regulation and the supervision of the conventional financial services which are regulated in detail in this Act. The arising problem because of the regulation, which is not detailed, directs the Shari’ah financial service consumers to be not protected from the transactions that are prohibited by Islam, so the aim of the establishment of the OJK is not fulfilled. This paper attempts to examine the protection of the Shari’ah financial sevice consumers through the supervision mechanism by the financial services authority. Financial services authority known as the OJK, has the function of regulating and supervising the financial services either conventional or Shari’ah. Specifically for the function as the supervisory institution has the role to protect the consumers from the behavior of the financial service provider. This protection is not only for the conventional financial service consumers but also for the Shari’ah financial service consumers. The role of OJK in protecting the Shari’ah financial service consumers is done together with the DSN-MUI as the external supervisor. Keywords: consumer’s protection, financial services authority, shari’ah financial services. PENDAHULUAN Fenomema ekonomi Islam telah menjadi perhatian bagi ilmuwan muslim pada awal abad ke-20. Muhammad Nejatullah Shiddiqi menyatakan bahwa perhatian ini dimulai pada dekade 30-an dan karya-karya bidang ekonomi ini muncul pada dekade ke empat abad 20. Mulai munculnya perhatian akan ekonomi Islam didorong karena 84
kekuatan pergerakan ekonomi Islam adalah kerjasama bagi yang tidak dapat memproduktifkan kekayaan yang dimiliknya. Islam menganjurkan untuk melakukan musyrarakah dan mudharabah, yaitu bisnis bagi hasil, sisi lain ekonomi syariah mendorong manusia untuk memanfaatkan sumber daya pemberian atau titipan Allah SWT dengan seefektif dan
seefisien mungkin, dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu untuk diri sendiri dan orang lain.1 Konsep ekonomi Islam berangkat dari status manusia sebagai ‘abd dan khalifah fi al-ardh. Status ini menempatkan kegiatan produksi menjadi manifestasi ketundukan manusia pada Allah SWT (QS Hud: 61) serta menjadi sarana untuk mengaktualisasikan kemampuannya (QS alAn’am: 165). Kegiatan produksi tidak sekedar upaya memenuhi kebutuhan hidup sebagai homo economicus tapi juga menjadi sarana untuk mengupayakan keadilan sosial dan menjaga keluhuran martabat manusia. Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi kerangka acuan untuk mengembalikan kegiatan produksi pada tujuan awalnya yaitu meningkatkan kesejahteraan manusia secara total (dalam istilah as-Syaibani disebut ‘imaratul kaun). Seluruh proses dan kegiatan produksi mengarah pada pemuliaan status manusia, peningkatan kesejahteraan hidup, menghilangkan ketimpangan sosioekonomi, dan memberikan dampak positif 1
Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hlm. 12 dan 19. Pembangunan dalam Islam adalah pembangunan yang menyeluruh (at-tanmiyah asysyumuliyah), termasuk dalam hal ini adalah pembangunan manusia itu sendiri yang didasarkan pada konsep Robbani. Konsep yang tidak hanya terpaku kepada pembangunan aspek keduniaan dan materi saja, tetapi juga aspek ruhiyah dan akhirat. Islam tidak pernah memisahkan keduanya. Konsep yang mengajak kepada keadilan dan keseimbangan antara kepentingan individu tanpa melupakan kepentingan bersama. Konsep yang menolak keras pembangunan yang hanya mengkayakan sebagian golongan kecil dan memiskinkan golongan lainnya. Konsep yang menghadirkan rasa tanggungjawab. Keseimbangan dan keselarasan antara ruh dan jasad, antara ilmu dan akhlak, akan melahirkan keberkahan yang dijanjikan Allah SWT. (Aziz Budi Setiawan, “Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan di Indonesia”, Jurnal Kordinat, Vol.VIII No.1, April 2006, hm. 1.)
bagi pertumbuhan dan kemandirian 2 ekonomi. Upaya lebih lanjut terlihat dengan adanya implementasi sistem keuangan Islami dalam empat dekade terakhir dengan berjalan begitu gencar. Beberapa eksperimen awal untuk mendirikan perbankan Islam diantaranya berlangsung di Melayu pada pertengahan tahun 1940-an, di Pakistan pada akhir 1950-an, dan di Mesir melalui Mit Ghamr Savings Banks (19631967) serta Nasser Sosial Bank (1971).3 Pengaruh akan fenomena Islam terhadap bidang ekonomi tumbuh pesat pula di Indonesia secara formal telah berlangsung dari tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para wirausahawan dan para tokoh muslim pada saat itu.4 Institusi/Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat dalam 10 tahun belakangan ini (2000-2010). Keadaan ini berbeda dengan apa yang terjadi dalam 10 tahun sebelumnya (1989-1999). Perkembangan ini terjadi di hampir semua lembaga keuangan syariah, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Kemajuan serupa juga Fahrudin Sukarno, “Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam”, Al-Infaq, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1 N0. 1 September 2010, hlm. 31. 3 Aziz Budi Setiawan, “Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan di Indonesia”, Jurnal Kordinat, Edisi: Vol.VIII No.1, April 2006, hlm. 1. 4 Ahyar Ari Gayo, Irawan Taufik, “Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah (Perspektif Perbankan Syariah)”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012, hlm. 258. 2
85
terjadi di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dan sebagainya.5 Salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya insitusi/lembaga keuangan syariah di Indonesia adalah besarnya pengaruh Islam terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, selain karena mayoritas penduduknya beragama Islam (87%) yang tidak hanya berorientasi pada aspek peribadatan melainkan pula dalam perekonomian tampak dalam sejarah hukum Islam di Indonesia yang memiliki kekuatan normatif-sosiologis.6 Munculnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator menggantikan Bank Indonesia sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa, bahwa OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di Nevi Hasnita, “Politik Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia”, Jurnal Legitimasi, Vol.1 No. 2, JanuariJuni 2012, hlm. 259. Lembaga jasa keuangan lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundangundangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan 6 Saifullah Bombang, “Prospek Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013, hlm. 264. Ketentuan ini dijadikan dasar dalam memutuskan perkara-perkara di pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Penerapan hukum Islam tersebut walaupun hanya dalam lapangan hukum perdata (muamalah) dan hukum pidana (jinayat) pada domain hukum tertentu (NAD) telah membuktikan bahwa hukum Islam telah menjadi hukum yang berlaku dan mengikat warga masyarakat di Indonesia (constitute) sesuai dengan etika dan prinsip-prinsip syariah.
5
86
dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Ruang lingkup tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dijelaskan dalam Pasal 6 UU No. 21 Tahun 2011, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap: a. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan; b. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan c. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. Lain kata alasan pendirian OJK dengan berkembangnya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial menciptakan sistem keuangan menjadi kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan. Di samping itu, adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. Selain itu, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.7 Relevansi pengawasan dan perlindungan konsumen dalam ruang lingkup kegiatan 7
Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
jasa keuangan memiliki keterkaitan yang erat, dikarenakan UU OJK mengatur sendiri mengenai konsumen Pasal 1 angka 15 UU OJK: “Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Pencantuman dalam ketentuan umum, menyebabkan masalah konsumen merupakan masalah penting dalam UU OJK. Di samping itu, UU OJK memberikan pengertian yang luas dan umum terhadap konsumen. Pengertian konsumen dalam UU OJK tidak membatasi pengertian konsumen dalam individu saja melainkan pemodal di Pasar Modal pun diakui sebagai konsumen. Perlindungan konsumen dalam UU OJK mencakup perlindungan konsumen yang lebih kompleks dan lengkap. Cakupan yang semakin luas tentang konsumen ini, menimbulkan jangkauan akan tugas dan wewenang serta tanggungjawab perlindungan konsumen oleh OJK juga semakin luas di bidang jasa keuangan. Lembaga OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan mampu melindungi kepentingan Konsumen dan masyarakat.8 Fungsi OJK sebagai pengatur dan pengawasan dalam kegiatan jasa keuangan tidak hanya diperuntukan bagi Inosentius Samsul, “Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)”, Jurnal Negara Hukum Vol. 4, No. 2, November 2013, hlm. 160. 8
penyelenggara jasa keuangan konvensional, melainkan pula pada penyelenggaran jasa keuangan syariah, walaupun pengaturan pengawasan pada lingkup syariah tidak secara rinci terdapat dan dijelaskan dalam UU OJK sebagaimana diungkapkan oleh Ma’ruf Amin,9 pengawasan hanya dilakukan terhadap perbankan syariah atau bank syariah sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 5, atau dengan kata lain UU OJK belum secara komprehensif memberikan arahan dan regulasi untuk menentukan ruang gerak bagi jasa keuangan syariah untuk beroperasi, sehingga tidak hanya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah melainkan sesuai pula dengan regulasi negara. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi pengawasan secara terintegrasi telah dilakukan langkah-langkah persiapan dan periode transisi telah ditetapkan sehingga pada 1 Januari 2014 OJK telah siap melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas jasa keuangan secara terintegrasi. Proses transisi pengawasan industri jasa keuangan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal dan kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya (disingkat lembaga keuangan bukan bank /LKBB) yang dilakukan oleh Bapepam – LK dialihkan pada akhir tahun 2012. Tahap kedua, pengawasan bank dialihkan
Hasbi Hasan, “Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012, hlm. 385. 9
87
dari Bank Indonesia kepada OJK pada akhir tahun 2013.10 Pengalihan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BapepamLK) ini tidak hanya ditujukan untuk kepentingan lembaga-lembaga keuangan syariah, melainkan pula sebagai bagian dari tanggungjawab mereka untuk memberikan rasa aman dan nyaman terhadap konsumen yang menggunakan jasanya. Perlindungan konsumen dalam ranah pengawasan terutama berkaitan dengan jasa keuangan syariah, merupakan bagian dari menjalankan amanat dalam menjaga keseimbangan dan kemaslahatan individu dan bersama. Amanat ini berkaitan dengan komitmen Islam yang menuntut agar semua sumber daya yang tersedia bagi ummat manusia, amanat suci dari Tuhan digunakan untuk mewujudkan maqahid asy-Syariah.11 Aturan yang tidak secara terperinci mengatur tentang jasa keuangan syariah memberikan dampak tidak terpenuhi apa yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf c UU OJK yaitu “upaya untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat termasuk perlindungan terhadap pelanggaran dan kejahatan di sektor keuangan seperti manipulasi dan berbagai bentuk penggelapan dalam kegiatan jasa keuangan sebagaimana dijelaskan, atau dengan kata lain tujuan berdirinya OJK ini tidak menggambarkan betapa luasnya wewenang dan tanggung jawab OJK, keadaan ini berbanding terbalik dengan Zulkarnain Sitompul, “Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012, hlm. 345. 11 Zainulbahar Noor, “Islam Dan Tantangan Ekonomi”, Bedah Buku M. Umar Chapra ICMI, 25 Nopember 1999.
pengaturan dan pengawasan jasa keuangan konvensional yang diatur secara terperinci dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji perlindungan terhadap konsumen jasa keuangan syariah baik terutama terhadap perbankan syariah, asuransi syariah maupun pasar modal syariah melalui mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan metode pendekatan konseptual yang ditujukan untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang mengacu kepada norma-norma hukum, baik itu dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan,12 terutama yang berkaitan dengan Otoritas Jasa Keuangan, perlindungan konsumen dan jasa keuangan syari’ah PERLINDUNGAN KONSUMEN Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia mulai dipopulerkan sejak 21 tahun yang lalu, yaitu dengan berdirinya suatu Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM) yang bernama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang berdiri Februari 1988, dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota consumers internasional (CI). Latar belakang munculnya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)
10
88
Ridwan Khairandy, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum, No. Edisi khusus vol, 18 oktober 2011, hlm. 39. 12
di Indonesia dikarenakan adanya 13 konsumerisme. Perlindungan Konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usaha-usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri, Dalam bidang hukum, istilah ini masih relatif baru khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju, hal ini mulai dibicarakan bersamaan dengan berkembangnya industri dan teknologi. Pasal 1 angka (1) UU PK menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Upaya perlindungan konsumen di bawah UndangUndang, maka ada tiga model pendekatan dalam perlindungan konsumen tersebut, yaitu:14 1. Pendekatan sektoral: berarti hak-hak konsumen diakomodir dalam berbagai produk undang-undang sektoral. 2. Pendekatan holistik: ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Netty Endrawati, “Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler”, Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012. Hlm. 129. Kamus Bahasa Indonesia Edisi III didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan konsumerisme adalah: 1. Gerakan atau kebijakan untuk melindungi konsumen dengan menata metode dan standar kerja produsen, penjual, dan pengiklan 2. Paham atau gaya hidup yang menggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan; gaya hidup yang tidak hemat. 14 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007, “Panduan Bantuan Hukum di Indonesia”, Jakarta: YLBHI. Hlm. 260. 13
yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen, sekaligus menjadi payung dari Undang-Undang sektoral yang berdimensi konsumen. 3. Pendekatan gabungan: selain UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) secara khusus, untuk hal lain yang lebih detail dan teknis dipertegas dalam Undang-Undang sektoral, pendekatan inilah yang dipakai pemerintah Indonesia. Ketiga pendekatan ini ditujukan untuk mengarahkan terciptanya sinkronisasi dan harmonisasi yang diupayakan dapat memberikan kemudahan dalam mengatur sarana dan upaya yang dapat dilakukan demi kepentingan konsumen. Kepentingan konsumen menjadi penting untuk dilindungi karena lazimnya konsumen berada di dalam keadaan yang lemah baik secara ekonomi dan sosial. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah, disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. UU PK merupakan salah satu dari semua peraturan perundang-undangan yang terkait perlindungan konsumen. Penjelasan Umum UU PK menyatakan: ”Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi kepentingan konsumen”. 89
Perlindungan terhadap Konsumen yang dibentuk melalui undang-undang dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, dikarenakan prinsip ekonomi pelaku usaha lazimnya untuk mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertimbangan lain akan perntingnya perlindungan konsumen dengan jelas tampak dari asas-asas yang terdapat dalam UU No. 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara 90
4. kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 5. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
OTORITAS JASA KEUANGAN Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan 15 penyidikan. Kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia pada awalnya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Bank Indonesia (BI) dan Badan Pengawas Pasar Modal–Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). BI mengatur dan mengawasi sektor Perbankan, sedangkan Bapepam-LK mengatur dan mengawasi sektor Pasar Modal dan sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Pembentukan OJK ini 15
Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
mengakibatkan kewenangan-kewenangan tersebut beralih dari BI dan Bapepam-LK ke OJK, sehingga BI hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan moneter saja, sedangkan Bapepam-LK lebur menjadi OJK dan tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan.16 Latar belakang pembentukan OJK dikarenakan perlunya suatu lembaga pengawasan yang mampu berfungsi sebagai pengawas yang mempunyai otoritas terhadap seluruh lembaga keuangan, dimana Hesty D. Lestari, “Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan Dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012, hlm. 557. Fungsi pembentukan OJK bagi perbankan adalah Pembentukan UndangUndang OJK ini dimaksudkan untuk memisahkan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral ke sebuah badan atau lembaga yang independen di luar bank sentral. Dasar hukum pemisahan fungsi pengawasan tesebut yaitu Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang menyatakan: (1) Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang. (2) Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan dilaksanakan selambatlambatnya 31 Desember 2010.2 Sedangkan pengawasan yang dilakukan yaitu terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melakukan tugasnya lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-Undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan. 16
lembaga pengawas tersebut bertanggung jawab terhadap kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank maupun lembaga keuangan non bank, sehingga tidak ada lagi lempar tanggung jawab terhadap pengawasannya. Selain itu, kegiatan usaha yang dilakukan berakibat semakin besarnya pengaturan pengawasannya. Sehingga perlu adanya suatu alternatif untuk menjadikan pengaturan dan pengawasan maupun lembaga keuangan lainnya dalam satu atap.17 Regulasi dan supervisi sektor keuangan yang kuat merupakan faktor yang sangat krusial dalam rangka mengimbangi perkembangan sektor keuangan tersebut. Sektor keuangan merupakan sentrum dalam sebuah sistem perekonomian, sehingga kegagalan dalam mengelola sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem perekonomian. Regulasi dan pengawasan 17
Hermansyah, Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, hlm. 175-176. Meskipun latar belakang pendirian lembaga pengawas jasa keuangan terpadu berbeda di setiap negara, terdapat beberapa faktor yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawas jasa keuangan. Pertama, munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkannya universal banking di banyak negara. Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak efektif karena terjadi gap dalam regulasi dan supervisi. Kedua, stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Ketiga, kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Untuk meningkatkan -good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangannya. (Mamiko Yokoi-Arai, “The Regulatory Efficiency of a Single Regulator in Financial Services: Analysis of the UK and Japan”, Banking & Finance Law Review,Number 1, October, 2006, pg.1)
91
dibebani untuk memiliki Dewan Syariah (Shari’ah Committees) untuk memastikan bahwa setiap tindakannya sesuai dengan hukum Islam.20 Perbankan Islam menunjukkan kekhasannya yang sangat mencolok dalam hal relasi antara bank dengan nasabah. Bank Islam memiliki pengalaman hubungan yang erat dengan nasabahnya dalam sebuah model yang berbeda jika dibandingkan dengan perbankan konvensional. Kedaaan ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa faktor ekonomi menjadi tidak begitu penting, akan tetapi bagi nasabah yang beragama Islam, afiliasi mereka terhadap bank Islam didasari keyakinan mereka terhadap ajaran agamanya yang merefleksikan bahwa hidup harus berdasarkan tuntunan agama yang berasal dari Al-Quran serta Hadits Nabi Muhammad saw, yang telah menetapkan bahwa riba adalah sesuatu yang harus dijauhi dan karenanya orang Muslim dilarang untuk bertransaksi dalam bidang ekonomi dan keuangan yang mengandung unsur riba.21 Bank Syariah menurut UndangUndang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
sektor keuangan juga menempati posisi penting dalam rangka mengantisipasi potensi pelanggaran yang mungkin saja dilakukan oleh lembaga keuangan. Perkembangan kompetisi di sektor keuangan tak dapat dipungkiri akan memicu institusi individu untuk terus melakukan inovasi produk. Namun demikian, inovasi yang dilakukan seringkali berpotensi melanggar ketentuan yang berlaku karena desakan kompetisi yang begitu ketat.18 Sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah sistem pengawasan terintegrasi, artinya seluruh kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh berbagai lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan OJK. Sistem pengawasan jasa keuangan secara terintegrasi dimulai di Skandinavia pada pertengahan tahun 1980an. Inggris dan Jepang menerapkan sistem pengawasan terintegrasi pada tahun 1998 dengan mendirikan United Kingdom Financial Services Authority dan Japan Financial Services Agency.19 1. Jasa Keuangan Syariah a. Bank Syariah Ahmad M. Abu-Alkhaeil menyatakan jasa keuangan syariah lazimnya berbentuk perbankan syariah, pasar modal syariah dan asuransi syariah, perbankan syariah memiliki karakteristik yang sama dengan bank konvensional, terkecuali cara yang digunakan dalam pemenuhan tujuan. Bank syariah dituntut menggunakan prinsip-prinsip syariah dan bank syariah Hasbi Hasan, “Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah”, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012, hlm. 376. 19 Zulkarnain Sitompul, op.cit., hlm. 344 18
92
20
Ahmad M. Abu-Alkhaeil, Ethical Banking and Finance: A Theoretical and Empirical Framework for the Cross-Caountry and Inter-Bank Analysis of Efficiency, Productivity, and Financial Performance, Thesis Submitted For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The Faculty of Business, Economics, and Social Sciences at the University of Hohenheim on July 2, 2012, hlm. 13. 21 Agus Triyatna, “Implementasi Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Islam (Syariah) (Studi Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia)”, Jurnal Hukum No. Edisi khusus vol. 16 oktober 2009, hlm. 211.
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Bank syariah tidak hanya merupakan bank dengan tuntutan bebas dari riba, gharar, dan maisir, yang melarang setiap penerimaan maupun pembayaran (pembiayaan) dari ketiga hal tersebut, melainkan sebuah institusi yang menyelenggarakan berbagai macam kegiatan yang secara etika, moral dan hukum dinyatakan benar. Nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang menjadi dasar berkegiatannya bank syariah sehingga antar kepentingan bank dan nasabah sebagai konsumen berjalan secara harmoni. Keberadaan bank syariah adalah untuk mencapai kesejahteraan yang mencakup kebahagian dan kemakmuran pada kehidupan individu dan masyarakat atau untuk mencapai falah. Untuk mencapai hal tersebut, bank syariah berkewajiban menegakkan keadilan dengan menghindari ekploitasi, excessive hoarding/unproductive, spekulasi dan sewenang-wenang. Bank syariah juga berkewajiban menjaga keseimbangan aktivitas di sektor riil-financial, pengelola risk-return, aktifitas bisnissosial, aspek spritual dan material dan azas manfaat kelestarian lingkungan.22 b. Pasar Modal Syariah Pasar modal menjalankan dua fungsi secara simultan berupa fungsi dengan mewujudkan pertemuan dua 22
Anonim.
kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana, dan fungsi keuangan dengan memberikan kemungkinan dan kesempatan untuk memperoleh imbalan bagi pemilik dana melalui investasi.23 Lain kata pasar modal memiliki peran penting bagi perekonomian suatu negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi, yaitu pertama sebagai sarana bagi pendanaan usaha atau sebagai sarana bagi perusahaan untuk mendapatkan dana dari masyarakat pemodal (investor). Pertama, dana yang diperoleh dari pasar modal dapat digunakan untuk pengembangan usaha, ekspansi dan penambahan modal kerja dan kedua, pasar modal menjadi sarana bagi masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan seperti saham, obligasi dan reksa dana. Pilihan sarana investasi, salah satunya adalah investasi di pasar modal syariah.24 Pasar modal syariah dikembangkan dalam rangka mengakomodir kebutuhan 23
Soemitro, A, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana. Jakarta., 2009, hlm. 111. Tujuan investor baik pasar modal konvensional dan syariah adalah sama. Keinginan besar mereka adalah pencapaian keuntungan yang maksimal. Dipertegas dalam poin (3) bahwa penanaman saham ditujukan pada perusahaan yang benar-benar dapat menaikkan keuntungan. Pasar modal syariah sebagai pihak yang bertugas untuk menyalurkan modal tentunya akan berusaha untuk mengakomodasi keinginan investor. Oleh karena itu, hanya perusahaan besar dan mampu memberikan keuntungan besar yang berpeluang untuk mendapatkan kucuran modal dari investor. Sementara perusahaan yang sedang berbenah yang sesungguhnya lebih memerlukan modal akan tersingkir karena sistem tersebut. 24 Nucifera Julduha, Indra Kusumawardhani, “Pengaruh Net Profit Margin, Current Ratio, Debt To Asset Ratio Dan Tingkat Suku Bunga Terhadap Beta Saham Syariah Pada Perusahaan yang Terdaftar di Jakarta Islamic Index”, Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus 2013, hlm. 144.
93
umat Islam di Indonesia yang ingin melakukan investasi di produk-produk pasar modal yang sesuai dengan prinsip syariah. Dengan semakin beragamnya sarana dan produk investasi di Indonesia, diharapkan masyarakat akan memiliki alternatif berinvestasi yang dianggap sesuai dengan keinginannya, disamping investasi yang selama ini sudah dikenal dan berkembang di sektor perbankan.25 Pasar modal syariah diartikan sebagai bergabungnya investor (penyandang dana) yang memiliki kelebihan pendapatan (dana) untuk ikut serta menanamkan dananya tersebut, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang selaras dan sesuai dengan ajaran/prinsip-prinsip Islam.26 Prinsip prinsip tersebut antara lain: 27 1. Prinsip kemaslahatan (mashlahah) esensinya merupakan segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual serta kolektif. Kemaslahatan harus memenuhi secara keseluruhan unsur-unsur yang menjadi tujuan ketetapan syariah (maqasid syariah) yaitu berupa pemeliharaan terhadap akidah, keimanan dan ketakwaan (dien), akal (‘aqdl), keturunan 25
Tim Studi Tentang Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia, “Studi Tentang Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia”, Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar Modal Royek Peningkatan Efisiensi Pasar Modal Tahun Anggaran 2004, hlm. 10. 26 Ahmad M. Abu-Alkhaeil, op.cit., pg. 14. 27 Kariyoto, “Akuntansi dalam Perspektif Syariah Islam”, Jurnal JIBEKA Volume 7 No 2 Agustus 2013, hlm. 47
94
(nasl), jiwa dan keselamatan (nafs); dan harta benda (mal). 2. Prinsip keseimbangan (tawazun) esensinya meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, kesimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian. Transaksi syariah tidak hanya menekankan pada maksimalisasi keuntungan perusahaan semata untuk kepentingan pemilik (shareholder). Sehingga manfaat yang didapatkan tidak hanya difokuskan pada pemegang saham, akan tetapi pada semua pihak yang dapat merasakan manfaat adanya suatu aktivitas ekonomi. 3. Prinsip universalisme (syumuliyah) esensinya dapat dilakukan oleh, dengan, dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). c. Asuransi Syariah Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolongmenolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai
dengan syariah.28 Takaful pada dasarnya merupakan usaha kerja sama saling melindungi dan menolong antara masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya malapetaka dan bencana. Sebagaimana yang tercantum dalam QS. Al Maidah: 2. Islam sebagai konsep kehidupan yang komprehensif telah mengajarkan kepada umatnya untuk saling tolongmenolong dan bekerja sama dalam hal kebaikan. Seiring perkembangan zaman, bentuk kerja sama tersebut telah ditumbuhkembangkan sedemikian rupa menjadi bentukbentuk perusahaan takaful yang profesional. 29 Asuransi syariah ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap seseorang yang berada dalam satu kelompok dengan mekanisme kerjasama menanggung kesulitan antara satu orang dengan orang lain yang berada dalam kelompok tersebut dengan menggunakan prinsip tabarru’ (donasi) atau dengan prinsip ta’awun 30 (kerjasama). Ta’awanun dan tabarru’ merupakan konsep tentang pembagian resiko secara kolektif dan secara sukarela diantara anggota dalam suatu kelompok, kedua kata
ini diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti ikut menjamin atau menjamin satu sama lain. Kedua prinsip ini dipandang sebagai inti dari asuransi syariah yang memiliki unsur-unsur saling menjamin, saling melindungi dan saling membagi tanggungjawab, demokrasi, keseimbangan, persamaan, solidaritas, kejujuran, keterbukaan, tanggungjawab sosial, dan kasih sayang terhadap masyarakat tidak mampu,31 instrumen yang menjadi bagian dari takaful seperti sukuk, obligasi syariah, pembiayaan kepemilikan properti, deposit, dan Islamic unit trust.32 Asuransi syariah mengelola dana para peserta asuransi dalam bentuk premi yang dibayarkan menggunakan prinsip mudharabah (bagi hasil), prinsip tabarru’ (donasi) ataupun prinsip al musahamah (kontribusi), dengan menginvestasikannya di sektor riil yang dibenarkan secara syariah. Jika dari investasi tersebut pengelola asuransi syariah mendapatkan profit, maka peserta asuransi dapat memperoleh sharing atas keuntungan itu. Jika premi dibayarkan dengan prinsip mudharabah, maka keuntungan yang diperoleh peserta asuransi didasarkan
28
Ketentuan Umum angka 1 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/2001 Tentang Pedolamn Umum Asuransi Syariah. 29 Rezki Astuti Soraya, Good Corporate Governance Dalam Perspektif Islam Dan Penerapannya Pada Bisnis Syariah Di Indonesia, Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akutansi, Universitas Hasanuddin, Makasar, 2012, hlm, 38, tidak dipublikasikan. 30 Bank Negara Malaysia, Shariah Resolutions in Islamic Fianance, Kuala Lumpur 2010, hlm. 62.
Suzanne White, “Islamic Insurance Markets and the Structure of Takaful in Islamic Finance Instruments and Markets”, Bloomsbury Information Ltd, 2010, hlm. 18. 32 Asif Ahmed Qureshi, “Analyzing the sharia'h compliant issues currently faced by Islamic Insurance”, Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business, Vol. 3, No. 5, September 2011, pg. 282 and 286. 31
95
pada nisbah bagi hasil, sedangkan premi yang berasal dari tabarru’ besarnya manfaat yang diberikan tergantung pada kebijakan 33 pengelola. Rumusan yang diberikan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tersebut memperjelas bagaimana asuransi syariah itu sebenarnya. Asuransi syariah berbentuk tanggung menanggung dalam menghadapi risiko yang tidak diperkirakan sebelumnya. Tanggung menanggung ini dilakukan bukan antara pihak asuransi dengan peserta, tetapi tanggung menanggung ini antara para peserta. Di dalam asuransi syariah, selain menjadi anggota, seseorang juga dapat beramal membantu sesama peserta yang sedang tertimpa musibah.34 2. Kaitan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Syariah Penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan yang mencakup sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Penataan dimaksud dilakukan agar dapat dicapai mekanisme koordinasi yang lebih efektif di dalam menangani 33
Aziz Budi Setiawan, op.cit., hlm. 33. Rusmidarwati, Tinjauan Yuridis Terhadap Aspek Perjanjian Pada Asuransi Konvensional Dan Asuransi Syariah (Studi Perbandingan Antara Asuransi Kendaraan Bermotor Astra Buana Dengan Takaful), Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Riau, Pekan Baru, 2011, hlm. 18, tidak dipublikasikan.
34
96
permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan. Pengaturan dan pengawasan terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan tersebut harus dilakukan secara terintegrasi.35 Fungsi pengawasan sektor keuangan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga matriks, yaitu: 1. Macroprudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil—berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar keuangan—antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidakseimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara. 2. Microprudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsip kehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yaitu analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku.
35
Penjelasan Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.
3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi.36 Model pengawasan sektor keuangan yang berlaku di Indonesia selama ini pada dasarnya lebih condong pada pendekatan institusional (institutional approach), di mana regulator yang mengawasi suatu institusi didasarkan pada status badan hukum dari institusi yang diawasi tersebut. Bank diatur dan di awasi oleh BI, sedangkan perusahaan sektor keuangan nonbank diatur dan diawasi oleh Bapepam-LK, kelebihan dari model ini adalah bahwa masing-masing otoritas menjadi lebih fokus dalam mengatur dan mengawasi industrinya. Namun, model ini juga memiliki kekurangan, terutama ketika terjadi suatu aktivitas yang saling bersinggungan. Jika koordinasi tidak terjalin dengan baik, model ini berpotensi menimbulkan celah yang dapat
36
Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, “Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik”, 23 Agustus 2010, hlm. 23-24. Sementara fungsi-fungsi dasar yang dimiliki lembaga pengatur dan pengawas meliputi: 1. Prudential regulation bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan. 2. Stabilitas dan integritas sistem pembayaran. 3. Prudential supervision lembaga keuangan. 4. Pengelolaan regulasi bisnis seperti peraturan mengenai bagaimana perusahaanm mengelola bisnis dengan pelanggannya. 5. Pengelolaan pengawasan bisnis. 6. Penetapan jaring pengaman, seperti lembaga penjamin simpanan dan peran lender of last resort yang dimiliki oleh bank sentral. 7. Bantuan likuiditas bagi stabilitas sistemik, seperti bantuan likuiditas bagi lembaga tidak solven. Penanganan lembaga yang tidak solven. 8. Resolusi krisis. 9. Isu-isu terkait dengan integritas pasar.
dimanfaatkan pelaku industri untuk 37 melakukan moral hazard. Pasca diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka sistem pengawasan eksternal yang sebelumnya ditangani oleh BI secara otomatis akan digantikan oleh OJK— tentunya setelah struktur organisasi dan keanggotaan DK-OJK terbentuk nanti. Berkaitan dengan lembaga keuangan syariah yang pengawasan eksternal dilakukan dengan melibatkan MUI dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) dalam rangka menjamin pemenuhan prinsip syariah dalam operasionalnya OJK diharapkan dapat berkoordinasi dengan DSN. Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diharapkan dapat membantu pihak-pihak terkait seperti Departemen keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam menyusun peraturan atau ketentuan untuk lembaga keuangan syariah. Tugas dan kewenangan DSN antara lain: menumbuh kembangkan penerapan nilainilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya; mengeluarkan fatwa atas jenisjenis kegiatan keuangan; mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah; dan mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.38 Kewenangan DSN mengenai pengawasan terhadap lembaga keuangan yang menjalankan usahanya dengan menggunakan prinsip-prinsip syariah, dengan jelas diatur dalam SK Dewan Pimpinan MUI tentang Pembentukan 37
Hasbi Hasan, op.cit., hlm. 381 Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia, hlm. 281-284. 38
97
Dewan Syariah Nasional (DSN) No. Kep754/MUI/II/1999, salah satu faktor yang dapat dilihat melalui peraturan ini bahwa DSN diharapkan dapat berfungsi untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Berkaitan dengan pengawasan terintegrasi antara OJK dengan DSN sebagai mitra kerja yang bersifat koordinasi salah satu faktor pendukungnya adalah perlindungan konsumen, terutama dengan jasa keuangan syariah yang menjadi perhatian khusus pembentukan DSN, perlindungan konsumen dalam jasa keuangan syariah ditunjukkan untuk melindungi setiap kegiatan atau transaksi agar terhindar dari unsur-unsur yang dapat mencederai dan melanggar prinsip-prinsip syariah.39 39
dalam Pasal 9 huruf c terdapat pula redaksi mengenai perlindungan konsumen. Secara koseptual, instrumen hukum perlindungan konsumen dirumuskan untuk melindungi hak-hak konsumen, yaitu:39 a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
98
Asas dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan dan niaga adalah manifestasi dari adanya etika dengan tolak ukur kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, Islam dengan konsep Maqâshid Syarî’ah-nya juga mengatur tentang pemenuhan kebutuhan konsumen. Kebutuhan konsumen yang dipenuhi oleh pelaku usaha, di dalamnya harus mencakup pada pertimbangan terhadap hal-hal yang bersifat esensial dalam melindungi konsumen, seperti pemenuhan kebutuhan konsumen berupa barang maupun jasa diharuskan turut menjaga, memelihara dan tidak menjadi ancaman bagi agama konsumen, jiwa, akal, keturunan, dan harta.40 Perlindungan tersebut diarahkan terhadap pelarangan riba, gharar, maysir, dan. Riba adalah bunga (interest) maupun sebagai riba (usury). Riba dimaknai imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (return) untuk pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba, dan oleh karena itu dilarang oleh Islam. Riba yang demikian disebut riba AlNasi’ah. Riba dapat pula berupa kelebihan yang diperoleh atas pertukaran antara dua atau lebih barang yang sejenis. Misalnya pertukaran gandum dengan gandum yang lebih tinggi kualitasnya. Larangan ini bertujuan untuk memastikan agar tidak akan digunakan tipu muslihat atau cara-cara yang tidak sah sebagai jalan belakang bagi pemungutan riba berkaitan dengan transaksi hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 40 M. Yusri, “Kajian Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Ulumuddin, Volume V, Tahun III, Juli-Desember 2009, hlm. 9.
yang tertunda. Riba yang demikian disebut juga dengan riba Al-Fadhl, atau dapat diartikan sebagai kelebihan yang dikenakan dalam pertukaran barang yang sama jenisnya atau bentuknya.41 Gharar dalam pengertiannya adalah sesuatu yang tidak diketahui secara pasti, seperti membeli ikan yang masih di dalam kolam. Praktek seperti ini diharamkan oleh ulama dengan pertimbangan hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim, Tirmizi, Abu Daud, Nasai yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah, yang mengatakan Rasulullah saw melarang jual beli gharar. Musthafa Dib Bugha mengatakan bahwa ulama fikih membagi gharar kedalam tiga bagian, yaitu, pertama, gharar katsîr, kedua, gharar yasîr, dan ketiga, gharar 42 mutawassith. Syafi'i Antonio, mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adanya salah satu pihak yang untung namun di pihak lain justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebabsebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, di mana untung-rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.43
41
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1999, hlm. 14-15 42 Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah, hlm. 89 43 M. Syati'i Antonio, Prinsip Dasar Asuransi Takaful, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, Jakarta: BAM1,1994, hlm. 78.
Aspek lain mengenai perlindungan dalam hukum Islam dibagi menjadi beberapa segi:44 1. Islam mengenal sebuah prinsip hukum publik yang berbunyi bahwa hukum publik adalah salah satu dari hukum-hukum Allah SWT. Prinsip ini berkaitan dengan hukum pidana dan semua hukum yang bertalian dengan pelanggaran umum. Hukum publik ini harus ditegakkan oleh pemerintah walaupun dengan tidak adanya tuntutan dari rakyat, mekanisme ini menempatkan pemerintah sebagai pengawas langsung dari pelaksanaan hukum publik. 2. Islam mengatur apabila terdapat perselisihan antara hak publik dengan hak individu, maka hak publik lebih diprioritaskan karena ia adalah hak Allah SWT. Konsumen pada keadaan ini ditempatkan sebagai konsumen. 3. Seseorang tidak dapat menggunakan haknya secara semena-mena, seperti tindakan monopoli dan pelanggaran dalam kehidupan bertetangga atau pelanggaran terhadap lingkungan, termasuk larangan terhadap pengrusakan lingkungan yang dilakukan oleh pelaku usaha. 4. Hak manusia yang ditetapkan oleh syara’ tidak boleh digugurkan, seperti hak pembeli dalam transaksi khiyar al-ru’yah sebelum melihat barang yang akan dibeli, hak suf’ah sebelum terjadi akad jual beli karena Erina Pane, “Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam”, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 2, No. 1 Januari 2007, hlm. 65-66. 44
99
hak ini belum terjadi. Keadaan ini menunjukkan bahwa perjanjian dalam Islam dituntut adanya kesepakatan antara para pihak yang mengadakannya, sehingga perjanjian yang dikat berdasarkan persetujuan sepihak dinyatakan tidak sah. 5. Hak perlindungan dalam Islam dikembangkan dari huquq al-irtifaq. 6. Sanksi hukum yang tegas akan dikenakan terhadap pihak yang menggunakan secara sewenangwenang haknya, sehingga dapat merugikan pihak lain. KESIMPULAN Otoritas Jasa Keuangan atau yang dikenal dengan OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam jasa keuangan baik itu yang bersifat konvensional maupun syari’ah. Khusus untuk fungsinya sebagai lembaga pengawasan memiliki peran untuk melindungi konsumen dari perilaku penyedia jasa keuangan baik itu bank, asuransi ataupun pasar modal, perlindungan ini tidak hanya diarahkan kepada konsumen jasa keuangan syariah, melainkan pula terhadap konsumen jasa keuangan syari’ah. Peran OJK dalam melindungi konsumen jasa keuangan syari’ah dilakukan bersamasama dengan DSN-MUI sebagai pengawasal eksternal yang memiliki kompetensi dalam memahami ajaran Islam yang digunakan sebagai rujukan dalam menentukan tindakan pelaku usaha terhadap konsumen dapat dibenarkan oleh syara’ dan demi terwujudnya Maqâshid Syarî’ah.
100
DAFTAR PUSTAKA Buku Agus Triyatna, Implementasi Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Islam (Syariah) (Studi Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia), Jurnal Hukum No. Edisi khusus vol. 16 oktober 2009. Asif Ahmed Qureshi, Analyzing The Sharia'h Compliant Issues Currently Faced By Islamic Insurance, Interdisciplinary Journal Of Contemporary Research In Business, Vol. 3, No. 5, September 2011. Ahmad M. Abu-Alkhaeil, Ethical Banking and Finance: A Theoretical and Empirical Framework for the Cross-Caountry and Inter-Bank Analysis of Efficiency, Productivity, and Financial Performance, Thesis Submitted For The Degree Of Doctor Of Philosophy In The Faculty of Business, Economics, and Social Sciences at the University of Hohenheim on July 2, 2012. Ahyar Ari Gayo, Irawan Taufik, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Dalam Mendorong Perkembangan Bisnis Perbankan Syariah (Perspektif Perbankan Syariah), Jurnal Rechtsvinding, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2012. Arifin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007 Aziz Budi Setiawan, Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan di
Indonesia, Jurnal Kordinat, Vol.VIII No.1, April 2006. Azman Bin Mohd Noor dan Mohamad Sabri Bin Zakaria, Takaful: Analisis Terhadap Konsep dan Akad, Jurnal Muamalat Vol.. 3 • 2010. Bank Negara Malaysia, Shariah Resolutions in Islamic Fianance, Kuala Lumpur 2010. Erina Pane, Perlindungan Konsumen dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Hukum Islam, Jurnal Pranata Hukum, Vol. 2, No. 1 Januari 2007. Fada, Kodun Abiah and Bundi Wabekwa, People’s Perception Towards Islamic Banking: A Field work study in Gombe Local Government Area, Nigeria, International Journal of Business, Humanities and Technology Vol. 2 No. 7; December 2012. Fahrudin Sukarno, Etika Produksi Perspektif Ekonomi Islam, AlInfaq, Jurnal Ekonomi Islam, Vol. 1 N0. 1 September 2010. Hasbi Hasan, Efektivitas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Lembaga Perbankan Syariah, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012. Hermansyah, Edisi Revisi Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta. 2011. Hesty D. Lestari, Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru Dalam Pengaturan Dan Pengawasan Sektor Jasa Keuangan, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12 No. 3 September 2012. Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan Pasca
Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Jurnal Negara Hukum Vol. 4, No. 2, November 2013. Kariyoto, Akuntansi dalam Perspektif Syariah Islam. Jurnal JIBEKA Volume 7 No 2 Agustus 2013. Mamiko Yokoi-Arai, The Regulatory Efficiency of a Single Regulator in Financial Services: Analysis of the UK and Japan, Banking & Finance Law Review,Number 1, October, 2006. M. Syati'i Antonio, Prinsip Dasar Asuransi Takaful, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, BAM1, Jakarta, 1994. M. Yusri, Kajian Undang-Undang Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ulumuddin, Volume V, Tahun III, Juli-Desember 2009Musthafa Dib Bugha, Buku Pintar Transaksi Syariah. Netty Endrawati, Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Telepon Seluler, Jurnal Ilmu Hukum, MIZAN, Volume 1, Nomor 1, Juni 2012. Nevi Hasnita, Politik Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia, Jurnal Legitimasi, Vol.1 No. 2, Januari-Juni 2012. Nucifera Julduha, Indra Kusumawardhani, Pengaruh Net Profit Margin, Current Ratio, Debt To Asset Ratio Dan Tingkat Suku Bunga Terhadap Beta Saham Syariah Pada Perusahaan yang Terdaftar di Jakarta Islamic Index, Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Vol. 18, No. 2, Agustus 2013. 101
Ridwan Khairandy, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Jurnal Hukum, No. Edisi khusus vol, 18 oktober 2011. Rusmidarwati, Tinjauan Yuridis Terhadap Aspek Perjanjian Pada Asuransi Konvensional Dan Asuransi Syariah (Studi Perbandingan Antara Asuransi Kendaraan Bermotor Astra Buana Dengan Takaful), Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Islam Riau, Pekan Baru, 2011. Saifullah Bombang, Prospek Perbankan Syariah di Indonesia, Jurnal Diskursus Islam, Volume 1 Nomor 2, Agustus 2013. Soemitro, A. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Kencana. Jakarta., 2009. Sutan Remy Sjahdeini. Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999. Suzanne White, Islamic Insurance Markets and the Structure of Takaful in Islamic Finance Instruments and Markets, Bloomsbury Information Ltd, 2010. Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik, 23 Agustus 2010. Tim Studi Tentang Investasi Syariah di Pasar Modal Indonesia, Studi Tentang Investasi Syariah Di Pasar Modal Indonesia, Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengawas Pasar
102
Modal Royek Peningkatan Efisiensi Pasar Modal Tahun Anggaran 2004 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan AusAID, 2007, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Jakarta: YLBHI. Zulkarnain Sitompul, Konsepsi Dan Transformasi Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legislasi Indonesia Volume 9 Nomor 3 Tahun 2012. Zainulbahar Noor, Islam Dan Tantangan Ekonomi, Bedah Buku M. Umar Chapra ICMI, 25 Nopember 1999. Undang-Undang dan Fatwa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/2001 Tentang Pedolamn Umum Asuransi Syariah. Rezki Astuti Soraya, Good Corporate Governance Dalam Perspektif Islam Dan Penerapannya Pada Bisnis Syariah Di Indonesia, Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Akutansi, Universitas Hasanuddin, Makasar, 2012. Himpunan Fatwa DSN, Edisi Kedua, diterbitkan atas kerjasama DSN-MUI dengan Bank Indonesia.