PERAN MATERIALISME DAN KESULITAN DALAM REGULASI EMOSI TERHADAP MASALAH KESEHATAN MENTAL PENDUDUK JAKARTA Sharron Rani Agias Fitri Bina Nusantara,
[email protected]
ABSTRAK
Masalah kesehatan mental adalah hal penting yang dapat mempengaruhi produktivitas individu. Ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan mental individu. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan gambaran peran materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental warga perkotaan di Jakarta. Penelitian ini menggunakan desain penelitian non-eksperimental dengan pendekatan kuantitatif yaitu penyebaran kuesioner kepada 132 subjek penduduk Jakarta berusia 20-40 tahun yang sudah bekerja. Dalam penelitian ini, digunakan regresi linier sederhana untuk melihat peran kedua variabel prediktor secara bersamaan terhadap kesehatan mental. Ditemukan bahwa materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi secara bersamaan berperan terhadap masalah kesehatan mental. (S)
Kata Kunci: materialisme, kesulitan dalam regulasi emosi, masalah kesehatan mental, kehidupan perkotaan
ABSTRACT
Mental health problem is a curcial thing that could affect indiviual productivity. There are several factors that could affect one’s mental health. This research aimed to obtain an overview of the role of materialism and difficulties in emotion regulation in predicting mental health problem in Jakarta citizens who work. This study used a non-experimental research design with a quantitative approach by distributing questionnaires to 132 subjects aged 20-40 years old. In this research, used simple linear regression to examine the role of predictors simultaneously to mental health. It was found that materialism and difficulties in emotion regulation simultaneously affecting mental health problem. (S)
Kata Kunci: materialism, difficulties in emotion regulation, mental health problem, urban life
PENDAHULUAN Pada tahun 2010, Badan Pusat Statistik (Limas, Perdana, W., & Tannady, 2014) menyebutkan bahwa kepadatan penduduk Jakarta mencapai 14.694 jiwa per km2. Amalin (2013) menyebutkan bahwa penduduk Jakarta bertambah sebanyak 59.215 jiwa paska mudik pada tahun 2010 karena banyaknya urbanisasi yang terjadi dari desa ke kota. Kehidupan urban memiliki keuntungan antara lain kebebasan individu yang lebih besar, berkurangnya rintangan antar kasta gender, kelas, kesempatan bekerja yang lebih luas, dan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih luas (Srinivasa, 2014). Sebagai kota urban, tentunya Jakarta juga tidak luput dari masalah-masalah sosial seperti kriminalitas (Amalin, 2013), kemiskinan (Markum, 2009), peningkatan stressor akibat lingkungan yang terlalu padat dan tercemar, tingginya masalah kekerasan, dan menurunnya dukungan sosial (Srivastava, 2009; American Psychological Association/APA, 2005). Amalin (2013) menyebutkan bahwa masalah sosial tersebut disebabkan karena kesenjangan sosial dan persaingan yang lebih berat di kota urban. Menurut berbagai penelitian, permasalahan-permasalahan sosial di atas menunjukkan adanya persoalan pada masyarakat dan menandakan adanya masalah kesehatan mental pada individu (APA, 2005; Eitle, Gunken, & Van Gundy, 2004; Srinivasa, 2014; Srivastava, 2009). World Health Organization (2013) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sejahtera dimana individu mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan kehidupan yang normal, mampu bekerja secara produktif, dan mampu untuk berkontribusi bagi masyarakat. WHO sejak tahun 2001 mulai mencanangkan isu kesehatan mental sebagai komponen yang penting bagi kesehatan (Srinivasa, 2014). Kesehatan mental (Davies, Sherbourne, Peterson, & Ware, 1998) terdiri dari aspek psychological well being, seperti semangat, minat, dan kesenangan dalam hidup; serta aspek psychological distress, seperti kecemasan dan depresi. Marsella (dalam APA, 2005) menyatakan bahwa gangguan dan penyimpangan yang berkaitan dengan urbanisasi sangat besar, meliputi psikosis, depresi, sosiopati, substance abuse, alkoholisme, kriminal, kenakalan remaja, vandalisme, kehancuran keluarga, dan alienasi. Penelitian lain juga menunjukkan kecenderungan job insecurity (Wilkinson & Marmot, 2003) dan fear of crime (Taylor, Perkins, Shumaker, & Meeks, 1990) yang meningkatkan anxiety dan depresi. Masalah kesehatan mental adalah dampak dari kehidupan urban yang rentan dengan masalahmasalah sosial seperti tingginya tingkat kriminalitas, meningkatnya tingkat persaingan, dan lain sebagainya (Amalin, 2013). Dalam pengkajian mengenai dampak, perlu dibahas mengenai sebab terjadinya suatu
fenomena. Menurut WHO (2012), kesehatan mental individu dapat dipengaruhi oleh faktor individu, keadaan sosial, dan faktor dari lingkungan. Salah satu prediktor yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini berkaitan dengan materialisme karena materialisme adalah nilai individu yang dipengaruhi oleh keadaan sosial dan faktor lingkungan tempat individu tinggal. Materialisme adalah nilai individu yang menganut pentingnya kepemilikan benda, kompetisi, dan pendapatan keuntungan sebagai kesejahteraan manusia (Beutel & Marini, 1995; Richins & Dawson, 1992). Salah satu ciri modernisasi yang terjadi pada kehidupan urban adalah kebutuhan yang meningkat dan penggunaan uang sebagai alat tukar (Simmel, 2004). Sebagai warga perkotaan, uang menjadi materi utama yang paling mudah digunakan dalam berbagai keadaan. Oleh karena itu, materialisme menjadi isu yang besar dalam kehidupan urban dengan uang sebagai materi yang paling kuat menduduki tingkat prioritas warga perkotaan. Benda-benda materi menjadi simbol dari kebahagiaan dan kesuksesan (Gardasdottir & Dittmar, 2012). Hal tersebut menyebabkan banyak orang berlomba-lomba untuk memiliki benda-benda materi sebanyak mungkin (Okezone, 2014). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa materialisme memiliki pengaruh negatif terhadap kesejahteraan individu (Ahuvia & Wong, 1995; Bauer, Wilkie, Kim, & Bodenhausen, 2012; Chancellor & Lyubomirsky, 2011; Unanue, Dittmar, Vignoles & Vansteenkiste, 2014). Kesehatan mental individu akan terganggu karena kepemilikan benda juga berfungsi sebagai simbol identitas dan pengekspresian diri (Karabati & Cemalcilar, 2010). Individu yang tinggi dalam materialisme, saat tidak memiliki benda-benda materi, dapat mengalami kehilangan identitas diri dan kemampuan untuk mengekspresikan diri sehingga menjadi tidak sejahtera secara mental dan dengan kata lain mengalami masalah dalam kesehatan mental. Di Indonesia, materialisme dipandang memberikan efek negatif antara lain merusak mental anak-anak (Okezone, 2008), pengurangan nilai-nilai bangsa bagi masyarakat (Metrotvnews, 2014), menghancurkan kepribadian individu dan merusak hubungan interpersonal serta bangsa dan negara (Beritasatu, 2013). Kesehatan mental individu juga dapat dilihat melalui emosi yang terjadi dalam diri individu. Sebagai manusia, emosi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam diri individu (WHO, 2012). Dalam keberadaannya, seringkali orang yang tidak dapat mengelola emosinya mendapatkan berbagai masalah dan kesulitan, sehingga diperlukan kemampuan dalam regulasi emosi. Regulasi emosi (Gratz & Roemer, 2004) adalah kemampuan untuk mengatur emosi yang dialami agar individu dapat mengontrol perilaku yang timbul yang impulsif, tidak pantas, dan tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Regulasi emosi berbeda dengan loss of behavioral/emotional control (salah satu subdimensi dari kesehatan mental) karena regulasi emosi juga meliputi penerimaan emosi, kesadaran terhadap emosi, dan strategi dalam meregulasi emosi (Gratz & Roemer, 2004). Dalam kaitannya dengan kesehatan mental, ketidakmampuan dalam mengelola emosi memiliki korelasi positif dengan depresi, borderline personality disorder, substance-use disorders, eating disorders, somatoform disoders, dan gejala-gejala psikopatologis lainnya (Berking & Wupperman, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Lederborgen, Haddah, dan Meyer-Lindenberg (2013) membuktikan bahwa kehidupan perkotaan meningkatkan risiko individu untuk mengalami gangguan emosional. Hal ini terjadi karena kehidupan urban rentan terhadap stres, kecemasan, dan depresi. Tice dan Bratslavsky (2000) menyatakan bahwa emosi negatif yang berlebihan menimbulkan impulsive buying dari individu sebagai upaya untuk keluar dari suasana hati yang buruk. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa studi mengenai masalah kesehatan mental warga perkotaan menjadi krusial agar dapat dibuat program pencegahan dan penanggulangan yang sesuai. Materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi sebagai variabel yang menjadi prediktor, penting untuk dipelajari agar dapat diketahui seberapa besar perannya terhadap masalah kesehatan mental. Terutama karena materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi memiliki hubungan langsung dengan kesejahteraan individu. Individu yang sehat secara mental akan menjadi individu yang lebih produktif dan efektif dalam mengatasi kesulitan, juga berkontribusi bagi masyarakat (WHO, 2013).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif karena hasil yang diperoleh melalui penelitian ini berupa angka yang akan diolah secara statistik, yaitu dengan analisis regresi linier sederhana menggunakan program Statistical Package for Social Sciences (SPSS).
Pembagian kuesioner dilakukan pada tanggal 18 Desember 2014 sampai 15 Januari 2015. Subjek dalam penelitian ini adalah 132 penduduk Jakarta dengan rentang usia 20-40 tahun baik individu dengan jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dan sudah bekerja. Subjek termasuk dalam tahap perkembangan young adulthood dan dipilih karena subjek sudah mulai mandiri secara finansial pada tahap perkembangan tersebut. Subjek yang sudah mandiri secara finansial, terutama yang sudah bekerja, memiliki penghasilan sendiri sehingga lebih leluasa dalam menggunakan penghasilannya. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling, yaitu teknik sampling yang mengambil partisipan berdasarkan kemudahan dalam akses kepada responden. Peneliti menggunakan Materialism Value Scale 9-item Version (MVS-9) yang dikembangkan oleh Richins dan Dawson (1992) untuk mengukur tingkat materialisme pada individu. Alat ukur ini memiliki tiga dimensi, yaitu success, acquisition centrality, dan happiness. Alat ukur ini memiliki 6 skala, yaitu 1 (Sangat Tidak Sesuai), 2 (Tidak Sesuai), 3 (Agak Tidak Sesuai), 4 (Agak Sesuai), 5 (Sesuai), 6 (Sangat Sesuai). Berdasarkan uji reliabilitas dengan Cronbach’s Alpha, MVS-9 memiliki nilai reliabilitas yang baik, yaitu 0.8. Skor Validitas Konstruk pada alat ukur ini termasuk ke dalam kategori validitas baik yaitu berkisar dari 0.529 sampai 0.716. Variabel kesulitan dalam regulasi emosi diukur dengan alat ukur Difficulties in Emotion Regulation scale (DERS) yang dibuat oleh Gratz dan Roemer (2004). Alat ukur ini memiliki 6 dimensi yaitu awareness, strategies, goals, impulse, clarity, dan nonacceptance. Terdapat lima skala dalam alat ukur ini yaitu 1 (Hampir tidak pernah (0-10%)), 2 (Kadang-kadang (11-35%)), 3 (Sebagian waktu (36-65%)), 4 (Cukup sering (66-90%)), 5 (Hampir selalu (91-100%)). DERS memiliki skor Cronbach’s Alpha sebesar 0.924 yang berarti reliabilitas DERS tergolong baik. Ada beberapa butir DERS yang memiliki skor di bawah 0.20 yaitu butir 5, 9, 15, 18, 19, 25, 26, dan 30. Butir 5, 9, 15, 18, 25, dan 26 merupakan seluruh butir dari dimensi Awareness sehingga dimensi Awareness dihilangkan. Sementara itu, butir 19 (strategies) dan butir 30 (clarity) dihilangkan. Untuk mengukur masalah kesehatan mental subjek, peneliti menggunakan Mental Health Inventory 18-item version (MHI-18) yang dikembangkan oleh Veit dan Ware (1983). Alat ukur ini memiliki empat dimensi, yaitu anxiety, depression, behavioral/emotional control, dan positive affect. Alat ukur ini memiliki 6 skala, yaitu 1 (Tidak Pernah), 2 (Hampir Tidak Pernah), 3 (Terkadang), 4 (Agak Sering), 5 (Sering), 6 (Sangat Sering). MHI-18 memiliki skor Cronbach’s Alpha sebesar 0.933 sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas baik. Validitas antar butir berkisar antara 0.595 sampai 0.762 sehingga dapat dikatakan bahwa MHI-18 memiliki validitas yang baik.
HASIL DAN BAHASAN Tabel 1 Model
Sum of Squares 1 Regression 8571.353 Residual 16699.382 Total 25270.735 Tabel 4.15 Hasil Analisis Regresi Linear 1
Df 2 129 131
Mean Square 4285.676 129.453
F
Sig. .000b
33.106
Metode ANOVA uji F digunakan untuk mengetahui peran materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental warga perkotaan. Sesuai tabel di atas, nilai signifikansi adalah 0.000 sehingga H0 berhasil ditolak karena nilai signifikansi < 0.05. Oleh karena itu, individu yang memiliki nilai materialisme tinggi dan mengalami kesulitan dalam regulasi emosi dapat mengalami masalah kesehatan mental. Tabel 2 Model
Unstandardized Coefficients B Std. Error
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
1
(Constant) Materialisme Regulasi emosi
-.385 .609 .402
5.813 .162 .062
.272 .472
-.066 3.753 6.499
.947 .000 .000
Pada kolom standardized coefficient, angka koefisien materialisme adalah 0.272. Hal ini berarti bahwa kontribusi materialisme termasuk kecil karena mendekati 0, yaitu sebesar 0.272 terhadap kesehatan mental. Pada kolom standardized coefficient, angka koefisien kesulitan dalam regulasi emosi adalah 0.472. Hal ini berarti bahwa kontribusi kesulitan dalam regulasi emosi termasuk kecil, yaitu sebesar 0.472 terhadap kesehatan mental. Pada hasil penelitian, ditemukan bahwa materialisme dapat memprediksi masalah kesehatan mental. Hal ini dapat terjadi karena individu yang materialistis merasa tidak aman dan tidak kompeten sebagai akibat dari meningkatnya stressor pada kehidupan urban (Srivastava, 2009) sehingga mempengaruhi sikap individu terhadap dunia. Dampak materialisme akan membuat individu memiliki sikap yang negatif, dimana hal ini dapat berperan terhadap terjadinya masalah dalam kesehatan mental. Hal ini didukung oleh hasil analisa tambahan, dimana materialisme memiliki korelasi positif yang paling tinggi dengan dimensi positive affect dibandingkan dimensi lain pada masalah kesehatan mental. Adapun maksud positive affect pada alat ukur dalam penelitian ini mengacu telah negative affect, karena syarat dalam perhitungan skor masalah kesehatan mental (MHI-18) skor untuk dimensi positive affect harus di reverse. Oleh karena itu, korelasi yang positif ini menunjukkan bahwa individu yang materialistis memiliki sikap yang tidak positif terhadap dunia. Selain penjelasan di atas, individu yang materialistis juga rentan mengalami hubungan interpersonal yang relatif singkat dan penuh konflik (Kasser dkk., 2004), sehingga dapat mengalami masalah kesehatan mental karena hubungan yang buruk tersebut (WHO, 2012). Dampak dari materialisme yang terakhir adalah masalah autonomy, yaitu perasaan bahwa individu memiliki pilihan, kepemilikan, dan keterlibatan yang mendalam terhadap aktivitas individu (Kasser dkk., 2004). Individu yang materialistis akan mengalami masalah dalam autonomy, karena ia merasa harus mengejar benda-benda materi untuk mengatasi keraguan diri (contoh: saya bukan orang gagal karena saya memiliki banyak harta) dan untuk terlihat positif dalam lingkungan sosial (contoh: rumah dan mobil saya lebih bagus dari tetangga). Hal ini memperlihatkan bahwa individu menjadi tidak menyadari potensinya sendiri, padahal menurut WHO (2013) salah satu ciri individu yang sehat mental adalah individu yang menyadari potensinya. Peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental tidak besar, karena kontribusi yang diberikan hanya 0.272 dari 1 (lebih mendekati 0). WHO (2013) menyatakan bahwa individu yang sehat mental mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan hidup yang normal, mampu bekerja produktif, dan mampu berkontribusi bagi lingkungan. Kecilnya peran materialisme terhadap masalah kesehatan mental dapat terjadi karena individu yang materialistis, dapat bekerja secara produktif, namun karena fokusnya lebih pada kepemilikan, maka individu menjadi tidak menyadari potensinya sendiri. Hal ini didukung oleh hasil penelitian, dimana pada subjek dimensi materialisme yang berperan lebih besar dibandingkan dimensi yang lain terhadap masalah kesehatan mental adalah acquisition centrality (11.2%). Sebesar 0.728 faktor yang tidak berhasil diprediksi oleh materialisme dapat dipengaruhi oleh faktor psikologis lain seperti rendahnya self-esteem, kesulitan dalam berkomunikasi, rasa kesepian, tekanan dalam pekerjaan, economic insecurity, dan ketidakadilan dan diskriminasi (WHO, 2012). Individu yang memiliki self-esteem rendah dapat mengalami masalah kesehatan mental karena perasaan tidak berharga dan tidak kompeten dalam dirinya. Individu juga memerlukan dukungan sosial dari orang-orang di sekitarnya sehingga apabila individu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, individu tidak dapat menjalin hubungan yang baik dan dapat menjadi kesepian. Economic insecurity dan tekanan dalam pekerjaan adalah faktor yang dapat meningkatkan anxiety dan depresi (Wilkinson & Marmot, 2003) dan lazim terjadi dalam kehidupan urban yang memiliki tingkat persaingan tinggi (Amalin, 2013) sehingga mempengaruhi kesehatan mental individu. Faktor ketidakadilan dan diskriminasi yang disebabkan karena kemiskinan dapat menimbulkan masalah kesehatan mental karena adanya perlakuan yang tidak sama sehingga individu yang terdiskriminasi dapat terhalang dari pelayanan sosial seperti rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya yang dibutuhkan individu. Berdasarkan hasil penelitian, kesulitan dalam regulasi emosi berperan dalam memprediksi masalah kesehatan mental. Kesulitan dalam regulasi emosi yang menjadi variabel prediktor dalam penelitian ini dapat memprediksi masalah kesehatan mental individu, karena individu yang tidak mampu meregulasi emosinya
akan lebih sulit dalam menetapkan tujuan dan menangani tekanan atau perbedaan (WHO, 2012). Kesulitan dalam menetapkan tujuan dan menangani tekanan atau perbedaan akan membuat individu memiliki masalah dalam kesehatan mental, karena menurut WHO (2013) individu yang sehat mental adalah individu mampu menyadari potensinya sendiri, mampu mengatasi tekanan kehidupan normal, mampu bekerja secara produktif dan mampu berkontribusi bagi masyarakat. Oleh karena itu jika individu mampu meregulasi emosi, maka individu tersebut dapat berfungsi normal di masyarakat sehingga lebih sehat mental daripada individu yang kurang mampu meregulasi emosinya. Selain itu kesulitan dalam regulasi emosi berperan memprediksi masalah kesehatan mental pada subyek, karena sebagian besar subjek dalam penelitian ini memiliki tingkat kesulitan dalam regulasi emosi yang tinggi (51.51%). Lebih banyak subjek dalam penelitian ini tidak dapat mengatur respon emosi yang sesuai dengan tujuan dan tuntutan situasi, sehingga tidak mampu mengatasi tekanan hidup yang normal. Kemampuan mengatasi tekanan hidup yang normal sendiri merupakan bagian dari karakteristik individu yang sehat mental menurut WHO (2013). Peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental tidak besar, kesulitan dalam regulasi emosi dapat memprediksi masalah kesehatan mental hanya sebesar 0.472 dari 1 (sehingga lebih mendekati 0). Hal ini dapat terjadi karena menurut WHO (2012), pada usia adulthood penentu kesehatan mental individu berkaitan dengan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan sosial. Sementara regulasi emosi sendiri lebih menjadi faktor kritis pada usia childhood dan adolescence. Hal ini dapat menjelaskan kecilnya peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental karena subjek penelitian ini adalah young adulthood sehingga pada subyek ada individu yang sudah berhasil mengelola emosinya dan ada yang belum. Selain itu, rendahnya peran kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental pada subyek dapat terjadi karena terdapat faktor lain yang lebih berperan, seperti keadaan sosial dan faktor lingkungan. Menurut WHO (2012), faktor penentu kesehatan mental individu terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu atribut individu (seperti self-esteem, kemampuan komunikasi, dll.), keadaan sosial (seperti rasa kesepian, konflik keluarga, kemiskinan, tekanan pekerjaan, dll.), dan faktor lingkungan (mencakup diskriminasi, peperangan, dan bencana alam). Regulasi emosi sendiri termasuk dalam tingkatan atribut individu (cognitive/emotional immaturity), sedangkan variabel-variabel dari dua tingkatan lainnya tidak diteliti dalam penelitian ini. Penjelasan lain yang diduga peneliti adalah adanya faktor self-efficacy yang turut berkontribusi dalam regulasi emosi. Menurut Tamir dan Mauss (2011), regulasi emosi dipengaruhi tiga faktor, yaitu strategi dan kompetensi, keyakinan dalam pengontrolan diri, serta nilai dan tujuan. Strategi dan kompetensi telah dirumuskan dalam alat ukur regulasi emosi, yaitu nonacceptance, impulse, awareness, strategies, dan clarity; sedangkan faktor nilai dan tujuan dirumuskan dalam dimensi goals. Namun, keyakinan dalam pengontrolan diri belum dapat diukur melalui alat ukur DERS ini. Keyakinan atas kontrol diri ini disebut sebagai selfefficacy (Bandura, 1977, dalam Tamir & Mauss, 2011). Tamir dan Mauss (2011) juga menyatakan bahwa individu yang percaya bahwa emosi dapat dikontrol dan bahwa ia memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi, lebih sehat secara mental dan memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi. Faktor self-efficacy ini belum dapat diukur dalam penelitian ini sehingga faktor ini dapat menjadi salah satu variabel yang turut berkontribusi dalam 0.528 yang tidak berhasil diprediksi oleh kesulitan dalam regulasi emosi.
Tabel 3 Model 1 Tabel 4.17 Hasil Analisis
R
R Square .582
.339
Adjusted R Square .329
Std. Error of the Estimate 11.378
Melalui tabel di atas, dapat diketahui besarnya peranan variabel predictor terhadap variabel criterion yaitu dengan cara mengalikan R square dengan 100%. Berdasarkan tabel di atas, nilai koefisien determinasi pada kolom R square adalah 0.339. Oleh karena itu, jika dilakukan perhitungan berdasarkan rumus di atas, maka 0.339 * 100% = 33.9%. Hal ini berarti bahwa materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi berkontribusi sebanyak 33.9% terhadap masalah kesehatan mental.
Berdasarkan regresi linier berganda yang dilakukan peneliti untuk melihat peran materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi secara simultan terhadap kesehatan mental, hasilnya ditemukan bahwa peran materialisme dan kesulitan dalam meregulasi emosi terhadap kesehatan mental sebesar 33.9%. Kedua variabel prediktor ini dapat berperan terhadap kesehatan mental karena kedua variabel prediktor (materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi) memiliki korelasi yang signifikan, yaitu sebesar 0.266. Fakta ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat materialisme individu, semakin tinggi tingkat kesulitan dalam regulasi emosi. Korelasi yang positif antara materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi dapat dijelaskan melalui perilaku impulsive buying (Rose, 2007, dalam Robbins & Walker, 2008), dimana individu yang materialistis dan tidak mampu meregulasi emosi negatifnya rentan melakukan pembelanjaan impulsif. Individu yang memiliki kesulitan dalam mengelola emosinya cenderung akan melakukan tindakan-tindakan yang impulsif dan tidak sesuai dengan tujuan (goal). Kelak, individu tersebut akan menyesal karena melakukan tindakan impulsif (impulse) yang sebenarnya tidak sesuai dengan tujuan (goal). Kasser (2003) mengadakan riset tentang nilai materialistik pada individu dengan emosi yang dirasakan individu selama dua minggu. Hasilnya adalah, partisipan yang memiliki nilai tinggi dalam materialisme cenderung lebih sedikit mengalami emosi positif dan mengurangi kualitas dari pengalaman hidup individu dalam kesehariannya. Tidak hanya itu, individu yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai materialistik juga cenderung mengisolasi dirinya secara sosial, bersikap curiga terhadap orang lain, juga mengalami kesulitan dalam pengekspresian emosi dan kontrol diri (Kasser, 2003). Individu yang materialistik menggunakan benda-benda materi sebagai pengganti dari hubungan sosial sehingga timbul perasaan self-sufficiency dan individu merasa tidak membutuhkan orang lain (Vohs, Mead, & Goode, 2006). Lebih lanjut lagi, individu menjadi tidak sensitif terhadap emosinya dan emosi orang lain. Sharpe dan Ramanaiah (1999, dalam Robbins & Walker, 2008) juga menyatakan bahwa individu yang materialistis memiliki skor tinggi dalam neuroticism (yang merefleksikan ketidakstabilan emosi) sehingga mempengaruhi tingkat anxiety (dimensi dalam kesehatan mental). Menurut WHO (2012), salah satu tingkatan faktor yang mempengaruhi kesehatan mental adalah faktor yang berasal dari dalam individu. Nilai materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi adalah salah dua faktor yang termasuk ke dalam tingkatan individu ini. Artinya, dapat disimpulkan bahwa kedua variabel prediktor yang digunakan dalam penelitian ini sejalan sehingga keduanya berperan secara signifikan, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan.
SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis regresi berganda serta analisis tambahan yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental penduduk Jakarta sehingga Ho1 ditolak. Hal ini berarti bahwa adanya nilai materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental. Materialisme berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental, sehingga Ho2 ditolak. Artinya adanya nilai materialisme pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental. Kesulitan dalam regulasi emosi berperan secara signifikan terhadap masalah kesehatan mental, sehingga Ho3 ditolak. Artinya adanya kesulitan dalam regulasi emosi pada individu dapat meningkatkan masalah kesehatan mental.
Saran Metodologis Perlu diuji apakah penghilangan dimensi awareness pada alat ukur DERS mempengaruhi definisi kesulitan dalam regulasi emosi. Dalam mengukur variabel kesehatan mental, sebaiknya digunakan alat ukur yang langsung secara spefisik mengukur gejala atau gangguan psikopatologis.Untuk penelitian selanjutnya gunakan variabel self-efficacy sebagai variabel lain yang mempengaruhi peran antara regulasi emosi dengan kesehatan mental. Penelitian ini juga kurang mempertimbangkan faktor di luar atribut pribadi yang juga penting dalam menentukan kesehatan mental seseorang. Oleh karena itu, variabel lain juga perlu dipertimbangkan, seperti self-esteem, kemampuan komunikasi, hubungan interpersonal, kemiskinan, tekanan sosial, diskriminasi, dan lain sebagainya. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya menggunakan sampel dari rentang usia childhood sampai adolescence. Disarankan juga untuk merancang penelitian yang berbeda antara perempuan dan laki-laki karena terdapat perbedaan yang signifikan antara dua kelompok gender tersebut dalam hal regulasi emosi dan
kesehatan mental. Terakhir, disarankan untuk menggunakan sampel yang lebih banyak karena sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak cukup merepresentasikan populasi penduduk Jakarta.
Saran Praktis Bagi penduduk Jakarta yang mementingkan kepemilikan, sebaiknya kenali dulu potensi diri dan pahami bahwa kepemilikan uang dan barang adalah sesuatu yang dapat digunakan dalam mengembangkan potensi tersebut. Bagi individu yang memiliki nilai materialisme tinggi juga disarankan untuk lebih mensyukuri hal-hal yang sudah dimiliki saat ini dan untuk lebih mengutamakan hal-hal seperti kelekatan keluarga, hubungan interpersonal, dan lain-lain. Bagi perempuan, pahami berbagai strategi untuk meregulasi emosi. Dalam meregulasi emosi, diperlukan juga pemahaman yang baik terhadap emosi diri. Oleh karena itu, individu juga harus belajar untuk tanggap memahami emosi dan tidak mengabaikannya. Sebagai saran, program edukasi mengenai dampak materialisme dan kesulitan dalam regulasi emosi terhadap masalah kesehatan mental dapat diberikan kepada penduduk Jakarta sebagai kota urban yang memberikan banyak tantangan terhadap nilai materialisme pada individu. Edukasi mengenai regulasi emosi lebih penting daripada materialisme karena, selain dari koefisien yang lebih tinggi, kesulitan dalam regulasi emosi dapat menimbulkan materialisme (seperti impulsive buying) yang terjadi sebagai akibat dari emosi yang tidak teregulasi dengan baik sehingga masalah kesehatan mental akan lebih meningkat.
REFERENSI Ahuvia, A., & Wong, N. (1995). Materialism: origins and implications for personal well-being. E- European Advances Consumer Research , 2, 172-178. Amalin, R. E. (2013, Desember 30). Kriminalitas sebagai dampak dari urbanisasi di Jakarta. Retrieved April 22, 2014, from Kompasiana: http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/12/30/kriminalitassebagai- dampak-dari-urbanisasi-di-jakarta-623825.html American Psychological Association Task Force on Urban Psychology. (2005). Toward an urban psychology: research, action, and policy. Washington, DC: American Psychological Association. Bardeen, J. R., Fergus, T. A., & Orcutt, H. K. (2012). An examination of the latent structure of the difficulties in emotion regulation scale. Journal of Psychopathology and Behavioral Assessment, 34, 382-392. Bauer, M. A., Wilkie, J. E., Kim, J. K., & Bodenhausen, G. V. (2012). Cuing consumerism: situational materialism undemines personal and social wellbeing. Psychological Science , 23 (5), 517-23. Belk, R. W. (1985). Materialism: trait aspects of living in the material world. Journal of Consumer Research , 12, 265-280. Beritasatu. (2013, Desember 6). James Riady: Hedonisme dan materialisme hancurkan karakter dan kepribadian. Retrieved from http://www.beritasatu.com/lingkungan/154203-james-riadyhedonisme-dan- materialisme-hancurkan-karakter-dan-kepribadian.html Berking, M., & Wupperman, P. (2012). Emotion regulation and mental health: recent findings, current challenges, and future directions. Curr Opin Psychiatry , 25, 128-134. Beutel, A. M., & Marini, M. M. (1995). Gender and values. American Sociological review , 60, 436-48. Chancellor, J., & Lyubomirsky, S. (2011). Happiness and thrift: when (spending) less is (hedonically) more. Journal of Consumer Psychology , 21 (2), 131-138. Davies, Sherbourne, Peterson, & Ware. (1998). Scoring manual: Adult health status and patient satisfaction measures used in RAND's Health Insurance Experiment. Santa Monica: RAND Corporation. Eitle, D., Gunkel, S., & Gundy, K. V. (2004, Maret). Cumulative exposure to stressful life events and male gang membership. Journal of Criminal Justice , 95-111. Gardasdottir, R. B., & Dittmar, H. (2012). The relationship of materialism to debt and financial wellbeing: the case of Iceland'sperceived prosperity. Journal of Economic Psychology , 33, 471-481.
Gratz, K. L., & Roemer, L. (2004). Multidimensional assessment of emotion regulation and dysregulation: Development, factor structure, and initial validation of the Difficulties in Emotion Regulation Scale. Journal of Psychopathological and Behavioral Assessment, 26 (1), 41-54. Gross, J. J. (2008). Emotion and emotion regulation: Personality processes and individual differences. In O. P. John, R. W. Robins, & L. A. Pervin, Handbook of personality: Theory and research (pp. 701724). New York: The Guilford Press. Gross, J. J., & Munoz, R. F. (1995). Emotion regulation and mental health. Clinical Psychological Science Practice , 151-164. Karabati, S., & Cemalcilar, Z. (2010). Values, materialism, and well-being: a study with Turkish university students. Journal of Economic Psychology , 31 (4), 624-633. Kasser, T., Ryan, R. (1993). A dark side of the American dream: Correlates of financial success as a central life aspiration. Journal of Personality and Social Psychology, 65, 410-422. Kasser, T. (2003). The high price of materialism. Massachusetts: A Bradford Book. Kasser, T., Ryan, R., Couchman, C., & Sheldon, K. (2004). Materialistic values: their causes and consequences. In T. Kasser, & A. Kanner, Psychology and consumer culture: the struggle for a good life in a materialistic world (pp. 11-28). Washington, DC: American Psychological Association. Kring, A. M., Johnson, S. L., Davison, G. C., & Neale, J. M. (2013). Abnormal Psychology. Singapore: John Wiley and Sons, Inc. Lederborgen, F., Haddad, L., & Meyer-Lindenberg, A. (2013). Urban social stress: risk factor for mental disorders. Environmental Pollution , 1-5. Limas, A. V., Perdana, A., W., N., & Tannady, H. (2014). Pembahasan mengenai efek urban heat islands dan solusi alternatif bagi kota Jakarta. J@TI Undip , IX (1), 29-34. Markum, M. E. (2009). Pengentasan kemiskinan dan pendekatan psikologi sosial. Psikobuana , 1 (1), 1-12. Marques, S. C., Pais-Ribeiro, J. L., & Lopez, S. J. (2011). The role of positive psychology constructs in predicting mental health and academic achievement in Portuguese children and adolescents: A 2year longitudinal study. Journal of Happiness Study , 12, 1049-1062. McRae, K., Ochsner, K. N., Mauss, I. B., Gabrieli, J. J. D., & Gross, J. J. (2008). Gender differences in emotion regulation: An fMRI study of cognitive reappraisal. Group Processes & Intergroup Relations, 11, 143-162. Metrotvnews. (2014, Juni 28). Pengamat: Nilai kehormatan di Indonesia hilanh akibat materialisme. Retrieved from http://news.metrotvnews.com/read/2014/06/28/258400/pengamat-nilaikehormatan-di-indonesia-hilang-akibat-materialisme Meybodi, F. A., Saeedi, Z., Behjati, Z., Noorbala, F., Dastbaravardee, A., & Enjedany, A. (2011). Reliability and validity of a Farsi version of 18-item Mental Health Inventory. Social and Behavioral Science , 20, 1425-1429. Okezone. (2014, Februari 3). Ngaku cinta Feby, ternyata Edo cowok matre. Retrieved from Okezone News: http://news.okezone.com/read/2014/02/03/500/935297/ngaku-cinta-feby-ternyataedo-cowok-matre Okezone. (2008, Februari 29). Sifat materialisme merusak mental anak-anak. Retrieved from Okezone Lifestyle: http://lifestyle.okezone.com/read/2008/02/29/196/87929/sifat-materialisme-merusakmental-anak-anak Richins, M. L. (2004). The Material Values Scale: Measurement properties and development of a short form. Journal of Consumer Research , 31, 209-219. Richins, M. L., & Dawson, S. (1992). A consumer values orientation for materialism and its measurement: scale development and validation. Journal of Consumer Research , 19, 303-316. Robbins, B. D., & Walker, L. (2008). Does alexithymia mediate the relationship between material values and neuroticism? Materialism and psychological well-being: Contemporary research and ancient wisdom. Boston: Symposium conducted at the 116 th Annual Convention of the American Psychological Association. Roberts, B. W., & Mroczek, D. K. (2008). Personality trait change in adulthood. Current Directions in Psychological Science , 17, 31-35. Siang, A. C., & Talib, M. A. (2011). An investigation of materialism and undergraduates' life satisfaction. World Applied Sciences Journal , 15 (8), 1127-1135.
Shahjehan, A., Qureshi, J. A., Zeb, F., Saifullah, K. (2012) The effect of personality on impulsive and compulsive buying behavior. African Journal of Business Management 6 (6), 2187-2194. Simmel, G. (2004). The philosophy of money: third enlarged edition. (D. Frisby, Ed., & T. B. Frisby, Trans.) London and New York: Routledge. Smetanin, Stiff, Briante, Adair, Ahmad, & Khan. (2011). The life and economic impact of major mental illnesses in Canada. Canada: Mental Health Commission of Canada. Smith, J. M. (2010). A longitudinal and cross-sectional examination of the relationship between materialism and well-being and materialism and depressive symptoms. Counseling Psychology Dissertation , 17. Srinivasa, M. (2014). Urban mental health initiatives in India. Rome: Centro Studi Sofferenza Urbana. Srivastava, K. (2009). Urbanization and mental health. Ind Psychiatry J , 18 (2), 75-76. Tamir, M., & Mauss, I. B. (2011). Social cognitive factors in emotion regulation: Implications for well-being. In I. Nyklicek, A. Vingerhoets, M. Zeelenberg, & J. Donellet (Eds.), Emotion regulation and wellbeing (pp. 31-47). Springer Taylor, R. B., Perkins, D. D., Shumaker, S. A., & Meeks, J. W. (1990). Impacts over time of fear of crime and support on mental health: A stress and coping framework. Baltimore: American Society of Criminology. Tice, D. M., & Bratslavsky, E. (2000). Giving in to feel good: The place of emotion regulation in the context of general self-control. Psychological Inquiry , 11 (3), 149-159. Unanue, W., Dittmar, H., Vignoles, V. L., & Vansteenkiste, M. (2014). Materialism and well-being in the UK and Chile: basic need satisfaction and basic need frustration as underlying psychological processes. European Journal of Personality. Veit, C., & Ware, J. (1983). The structure of psychological distress and well-being in general populations. Journal of Consulting and Clinical Psychology , 51, 730-742. Vohs, K. D., Mead, N. L., & Goode, M. R. (2006). The psychological consequences of money. Science , 314, 1154-1156. Wilkinson, R., & Marmot, M. (2003). Social determinants of health: The solid facts, 2nd edition. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2012). Risk to mental health: An overview of vulnerabilities and risk factors. Geneva: World Health Organization. Retrieved from http://www.who.int/mental_health/mhgap/risks_to_mental_health_EN_27_08 _12.pdf World Health Organization. (2013). Retrieved April 22, 2014, from http://www.who.int/topics/mental_health/en/ Zukauskas, S., & Zukauskiene, R. (2013). Relationship between materialism and subjective well-being among difference income groups. Social Work Research Journal , 12 (1), 187-200
RIWAYAT PENULIS Sharron, lahir di kota Medan pada 16 Februari 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada 2015.