1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saat ini, kita berada dalam kondisi kemajuan ilmu pengetahuan, industri dan teknologi. Kita memiliki kesempatan terbuka untuk dapat mengembangkan diri. Pendidikan dan informasi dapat kita akses dengan mudah, 1 tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan adalah kebahagiaan semakin jauh, beban jiwa semakin barat, kegelisahan dan
ketergantungan serta tekanan perasaan lebih
berat.2 Kebahagiaan adalah salah satu tema filsafat yang telah menarik perhatian berbagai aliran pemikiran, baik di Barat maupun di Timur.3 Setiap aliran pemikiran memiliki pandangan dan cara yang berbeda dalam mendefinisikannya. Perbedaan aliran pemikiran telah mempengaruhi konsep kebahagiaan dalam suatu sistem etika. Filsuf Islam banyak dipengaruhi oleh gagasan Aristoteles dalam mendefinisikan kebahagiaan, tetapi
ada perbedaan dalam melihat cara-cara
meraih kebahagiaan tersebut.4 Menurut al-Ghazali, manusia memiliki tiga hal dalam dirinya, yaitu; kekuatan marah, nafsi, dan ilmu. Ketiganya harus proporsianal sehingga melahirkan keseimbangan (tawassuth). Keseimbangan itu akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang diinginkan seperti, kebijaksanaan, kesederhanaan, kesabaran, dan keberanian.5 Kebahagiaan adalah kesenangan ruhani. Kebahagiaan tersebut berhubungan dengan substansi akal, sementara kesenangan jasmani
1
Zakiyah Daradjat, Peran Agama Dalam Kesehatan Mental, (Jakarta : Gunung Agung, 2001), hlm. 3. 2 M. Utsman Najati, Al-Qur‟an dan Ilmu Jiwa, (Bandung : Pustaka, 1985), hlm. 15. 3 Sebagian pemikir menggunakan term ―euforia‖ sebagai alternatif. Euforia adalah bahasa Latin baru yang berasal dari bahasa Yunani, euphoros, yang arti asalnya adalah kesehatan. Lihat 2012 International Conference on Humanity, History and Society IPEDR vol.34 (Singapore: IACSIT Press, 2012), hlm. 1. 4 2012 International Conference on Humanity, History and Society IPEDR vol.34 hlm. 2 5 Kȋmiyȃʼ al-saȃdah; Kimiya Ruhani untuk Kebahagiaan Abadi, terj. The alchemy of Happiness, karangan al-Ghazali terbitan J. Murray, London, 2001. Penerj Dedi Slamet Riyadi dan Fauzi Bahreisy (Jakarta: Zaman, 2013), hlm. 22.
2
sangat lemah dan bergantung pada sesuatu. Jalan untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan ilmu dan amal saleh.6 Adapun menurut Ibn Sina, kebahagiaan adalah tujuan terbaik yang dicapai oleh makhluk hidup. Setiap potensi memiliki kemungkinan untuk teraktualkan, yang merupakan kesempurnaannya. Proses pencapain kesempurnanan tersebut adalah kebahagiaannya. Sebagai contoh, kesempurnaan dan kebahagiaan nafsu adalah kenikmatan yang dirasakannya. Kebahagiaan dan kesempurnaan kemarahan adalah kemenangan, dan kesempurnaan serta kebahagiaan jiwa adalah bebasnya jiwa manusia dari hal-hal yang besifat material. Ibn Sina tidak membedakan antara kebahagiaan dan kesempurnaan. Menurutnya, kesempurnaan adalah pencapaian akhir (aktual), sedangkan kebahagiaan usaha atau prosees menuju tujuan akhir tersebut. 7 Penulis memandang bahwa Hikmah Muta‘aliyah sebagai salah satu aliran terbesar dalam filsafat Islam memiliki konsep yang khas dan lebih lengkap dibandingkan dengan aliran filsafat sebelumnya. Alasannya, Mullâ Śadrâ memiliki metode gabungan yaitu, kalam, filsafat dan mistis, tetapi sayang rumusannya dalam tema kebahagiaan masih kurang dikaji secara serius dalam dunia akademis, khususnya di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian lebih serius guna menelisik pandangan Śadrâ ini akan sangat menarik. Kebesaran dan keagunagn filsafat Hikmah Muta‘aliyah adalah karena keberhasilan Mullâ Śadrâ melakukan sintesis terhadap berbagai aliran pemikiran di dunia Islam, yang sebelumnya seakan-akan memiliki paradigma tersendiri dan menghasilkan kebenarannya masing-masing. Ada tiga aliran pemikan yang berhasil disintesiskan Mullâ Śadrâ, antara lain, tasawuf, teologi, dan filsafat. Hikmah Muta‘aliyah yang merupakan magnum opus Mullâ Śadrâ merupakan sintesis dari ketiga corak berfikir tersebut, yaitu teologi dengan karakter
dialektik-polemikal
(jadali),
filsafat
dengan
karakter
demonstratif/burhani, teosofi illuminasionistik dan gnostik dengan karakter 6
Abu Hamid al-Ghazali, Mizan al-„Amal, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah 1989), hlm.
7
Ibn Sina, al-Mabda‟ wa al-Ma‟ad, (Tehran: Islamic Studies Institute, 1984), hlm. 5.
7
3
dzauqi, ditambah dengan elemen naqli yang berasal dari Alquran, hadits dan ucapan-ucapan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Sintesis atas ketiga aliran pemikiran, ditambah dengan bimbingan haditshadits dari Ali bin Abi Thalib telah melahirkan sebuah bangunan filsafat yang kokoh, yang dinyatakan oleh para ahli, yang tidak semata-mata aksidental, melainkan metode alternatif, konseptual dan ontologis. Sehingga, bagi sebagian pemikir filsafat, Mullâ Śadrâ dianggap sebagai puncak evolusi pemikiran filsafat sebelumnya. 8 Selain itu, keunikan filsafat Hikmah Muta‘aliyah adalah karena prinsipprinsip pemikiran yang membentuknya merupakan sistem filsafaat yang berbeda dari dua arus utama filsafat sebelumnya, yaitu paripatetik dan iluminasionisme, sedangkan keutuhannya karena seluruh prinsip dan pemikiran filsafat yang dibangun Mullâ Śadrâ saling terkait satu sama lain, dengan prinsip dasar yang membentuk keseluruhan bangunan filsafatnya didasarkan pada satu prinsip, yaitu wujud. 9 Atas dasar tersebut, tidak mungkin membicarakan pandangan Sadra tentang kebahagiaan tanpa membicarakan prinsip-prinsip utama yang membentuk filsafatnya seperti prinsip wujud dan kerelatifan kuiditas (asalat al Wujud wa i‟tibariayt al-mahiyyah), ambiguitas wujud (tasykik al wujud), kontinuitas wujud, wujud mental (al-wujud al-dzihni), prinsip emanasi, gerak transubstansial (al harakah al-jauhariyah), kesatuan subjek dan objek pengetahuan (ittihad al aqil wa al-ma‟qul) dan alam imajinal (alam mitsal). Bagi Mullâ Śadrâ, Tujuan utama filsafat adalah untuk mendapatkan kebahagiaan atau kesempuranaan hakiki, yang tidak hanya dalam konteks sosial dan psikologis manusia sebagaimana yang telah dirumuskan oleh filsafat sebelumnya, terutama filsafat Barat. Oleh karena itu, dalam filsafatnya, terutama dalam kitab asfar, Mullâ Śadrâ menjelaskan secara spesifik pandangan teodesi
8
Hossein Nasr, Sadr al-Din Shirazi (Mullâ Śadrâ) dalam M.M. Sharif, ED., A History of Muslem Philosophy, hlm. 939 9 Khalid al-Walid, Perjalanan Jiwa Menjuju Akhirat, (Jakarta: Sadra Press), 2012, hlm. 33
4
dan eskatologi, sebagai sebuah bagian dari perjalanan ruhani yang harus dilewati oleh setiap manusia yang hendak mencapai kebahagiaan.10 Hikmah Muta‘aliyah sebagai madrasah filsafat yang dikembangkan Mullâ Śadrâ diangkat dari kitab utamanya, al- Hikmah, al-Muta‟âliyah fi al-Asfâr al„Aqliyyah al-Arba‟a (puncak kearifan dalam empat tahap perjalanan intelektual), dalam bab ke-9, yang di situ dijelaskan tentang kebahagiaan.11 Kitab itulah yang akan menjadi referensi utama penelitian ini. Pembahasan tentang kebahagiaan masuk dalam pembahasan ontologi dalam filsafat Hikmah. Dalam ontologi filsafat Islam, realitas wujud itu hanya satu. Maka, bisa dikatakan bahwa realitas yang ada hanyalah kebahagiaan. Jika kita mengakui ada dua eksistensi yaitu kebahagiaan dan penderitaan, berarti kita mengakui adanya dua realitas yang kontradiktif. Padahal, logika menolak adanya dua hal yang kontradiktif berada dalam satu hal. Menurut Śadrâ, segala yang ada di dunia ini diciptakan secara sempurna. Sebab, Penciptanya adalah eksistensi yang sempurna, yang Dia mustahil tidak konsisten. Oleh karena itu, sesungguhnya penderitaan itu tidak ada, yang ada hanya kebahagiaan, tetapi kemudian muncul pertanyaan bagaimana mungkin penderiataan itu tidak ada, padahal kita jelas merasakannya? Pertanyaan ini akan diteliti lebih lanjut dalam bab selanjutnya oleh penulis. Setiap alam memiliki kesempurnaan dan kebahagiannya masing-masing. Dalam tesis ini, penulis akan memfokuskan diri pada penelitian tentang kebahagiaan hakiki. Bagi Mullâ Śadrâ, alam tercipta di dalam waktu bagi entitas alam yang berubah yaitu alam materi dan jiwa, dan alam tidak tercipta di dalam waktu bagi entitas alam yang permanen yaitu alam akal atau intelek. Di dalam 10
jiwa adalah tempat bertemunya dua samudera.‖ Demikian kata Mullâ Śadrâ, ―(pertemuan antara) yang jasadi dan yang ruhani. jika anda lihat substansinya di dunia ini, Anda akan mendapatinya sebagi sumber segenap daya tubuh, tetapi jika Anda lihat substansisnya di dunia intelek, Anda akan mendapati bahwa—dalam fitrahnya–ia adalah potensial murni tanpa forma di dunia itu. Hubungan awalnya dengan forma dunia itu adalah bagaikan biji terhadap buah atau embrio terhadap hewan. Persis seperti embiro adalah embrio dalam aktualitas dan hewan hanya secara potensial; demikian jiwa (pada mulanya) adalah sekedar manusia yang bisa mati, tetapi (sekaligus) intelek (sepenuhnya) secara potensial.‖ (Khalid al-Walid, Perjalanan Jiwa Menuju Akhirat (Jakarta: Sadra Press) 2012, Hlm xiv) 11 Khalid al-Walid, Perjalanan Jiwa Menjuju Akhirat (Jakarta: Sadra Press) 2012, hlm xxxii
5
kosmologi Mullâ Śadrâ, alam memiliki bentangan hirarkis mulai dari alam intelek („aql) hingga alam materi. Akal yang merupakan aktualitas murni adalah entitas permanen dari alam. Akal murni berfungsi sebagai pemberi bentuk (forma) bagi tatanan alam yang ada di bawahnya yaitu alam jiwa dan materi. Akal murni diibaratkan seperti pabrik yang secara terus-menerus menciptakan bentuk-bentuk baru pada setiap momen untuk mengaktualisasikan materi pertama dari status potensialitasnya.12 Akal murni berposisi sebagai entitas permanen yang menjadi tempat keberadaan masing-masing arketip dari segala sesuatu. Alam akal bersifat tetap dan tidak tercipta di dalam waktu sedangkan alam jiwa dan alam materi merupakan tempat bagi perubahan yang terus-menerus dalam proses penciptaan dan pembaharuan yang terus-menerus. Dalam hal ini, Mullâ Śadrâ merumuskan teori gerak tran-substansial yang didapatinya dalam tadabbûr atas ayat al-Qur‘an yang menceritakan fase-fase perkembangan janin dalam kandungan. Di dalam kandungan, manusia mengalami fase-fase perkembangan mulai dari sperma kemudian sperma berkembang menjadi janin dan tumbuh menjadi bayi dalam rahim yang kemudian lahir dan terus berkembang dari satu bentuk (forma) ke bentuk lainnya hingga mencapai kedewasaan. Di dalam proses perkembangan tersebut, tubuh bergerak menjadi lemah namun sebaliknya jiwa justru semakin meningkatkan aktualitasnya dalam kesempurnaan. Setelah meninggalkan tubuh jiwa manusia akan bergerak mencapai alam khayali (barzakh) dan kemudian berpuncak pada alam „aql dimana bagi orang-orang tertentu yang memiliki ketinggian jiwa mencapai kehadiran Ilahi. Setiap keadaan dari gerakan tersebut mengandung bentuk-bentuk (forma) dari eksistensi sebelumnya dan senantiasa mendapatkan bentuk-bentuk baru.13 Mullâ Śadrâ menggambarkan terbentuknya alam berasal dari manifestasi cahaya wujûd menuju arketipe masing-masing mawjûd sehingga membentuk multiplisitas mawjûd. Manifestasi cahaya Wujûd ini diistilahkan oleh Mullâ Shadrâ dengan pemancaran menurun (al-qaus al-nuzûlî).14 Pemancaran menurun 12
Seyyed Hossein Nasr, the Islamic Intelectual Tradition In Persia (Great Britain: Curzon Press, 1996) hlm. 286 13 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis, hlm. 919 14 Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis, hlm. 919
6
(al-qaws al-nuzûlî) ini merupakan proses mabdâʻ dengan membentuk hirarki mawjûd mulai dari terbentuknya alam akal, kemudian alam jiwa, selanjutnya berakhir pada alam materi. Alam materi yang merupakan titik kulminasi terbawah kemudian bergerak kembali (ma‟âd) naik ke pusat Wujûd melalui hirarki tersebut yang diistilahkan oleh Mullâ Shadrâ dengan pemancaran menaik (al-qaus alshu'ûdî). Pada gerak kembali ini, materi primer yang masih pada tahap potensialitasnya mendapat forma sehingga menjadi aktual membentuk entitas partikel (jism mushawwar), tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.15 Masingmasing bergerak menuju batas kesempurnaannya. Konsep-konsep epistemologi Śadrâ merupakan gerbang pertama yang harus kita fahami untuk mengetahui relasi jiwa sebagai subjek yang merasakan kebahagiaan dengan realitas wujud lain, yang kemudian lebih lanjut akan memperjelas pemahaman kita tentang konsep kebahagiaannya.
B. Perumusan Masalah Penelitian 1. Identifikasi Masalah Pembahasan tesis ini mencakup beberapa masalah, yaitu:
Dalam wacana filsafat barat kebahagiaan diartikan sebagai fenomena sosial dan psikologis semata.
Persoalan kebahagiaan masih belum terselesaikan dan masih menjadi diskusi yang menarik untuk dikaji.
Pembahasan tentang kebahagiaan lebih banyak dibahas dalam bab etika (axiologi) dan epistemologi oleh filsuf sebelum Śadrâ.
2. Batasan Masalah Penelitian ini akan fokus membahas dan meneliti konsep kebahagiaan hakiki dan realitas kebahagiaan dalam kerangka ontologis pemikiran Śadrâ. Penelitian ini akan menerapkan prinsip-prinsip filosofis yang dipakai Mullâ Śadrâ untuk menjelaskan dan membuktikan argumentasinya. 15
Mullâ Shadrâ, al-Syawâhid al-Rubûbiyyah fî al-Manâhij al-Sulûkiyyah (Iran: Bustan kitabevi) hlm. 276-277
7
3. Rumusan Masalah Pertanyaan pokok dari penelitian ini adalah, bagaimana kebahagiaan itu teraktualisasikan sebagai kebahagiaan yang sempurna berdasarkan refleksi filosofis Mullâ Śadrâ? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan itu, peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan turunan, yaitu: 1. Apa sesungguhnya realitas kebahagiaan itu? 2. Bagaimana relasi kebahagiaan dengan eksistensi dan kesempurnaan jiwa? 3. Apa bukti-bukti dan landasan berfikir bahwa kebahagiaan itu hakiki? 4. Bagaimana kebahagiaan itu terinternalisasi ke dalam jiwa?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan menganalis pandangan Mullâ Śadrâ tentang kebahagiaan hakiki dan untuk membuktikan bahwa kebahagian bukan semata-mata bersifat material, seperti yang banyak diungkapkan para filosof materialis dan kebahagiaan juga bukan semata-mata bersifat rasional, seperti yang telah diungkapkan oleh para pemikir paripatetik .
D. Methode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur. Langkah metodologis yang dilakukan melalui distansiasi, interpretasi, dan apropriasi. Distansiasi adalah upaya untuk membuat jarak antara apa yang dikatakan dari intensi subyek yang menulis. Demikian pula, distansiasi menghindarkan penafsir untuk mengklaim mampu mendapatkan makna yang benar-benar objektif. Pembaca bukan mencari sesuatu yang tersembunyi di balik teks, tetapi sesuatu yang ada di hadapan teks. Namun, distansiasi tidak menghalangi pembaca untuk memperoleh tafsir yang baik, bahkan tafsir terbaik atas teks, seiring dengan kekuatan
argumen
yang bisa
diterima.
Interpretasi (Verstehen) dalam
hermeneutika Ricoeur tidak didikotomikan dengan eksplanasi (Erklären),
8
melainkan berdialektika. Lalu, apropriasi atau ‗menjadikan milik sendiri apa yang sebelumnya asing‘ akan mengiringi distansiasi dan menjadi puncak interpretasi dan merupakan wujûd dari kreativitas pembaca untuk memperoleh makna
teks
bagi
dirinya
sendiri
sesuai
dengan keluasan-keterbatasan
horizonnya.16 Dengan menggunakan hermeneutika Ricoer tersebut, penulis memandang bahwa ada jarak antara penulis dengan Śadra. Dengan kata lain, penelitian penulis mengenai ―puncak kebahagiaan dan upaya pencapaiannya dalam filsafat Śadra‖ mengalami distansiasi, interpretasi, dan apropriasi oleh penulis sendiri. Adapun sumber data diperoleh dari berbagai buku serta artikel yang relevan dengan pokok permasalahan. Setelah data terkumpul, proses penyusunan tesis
ini
menggunakan
―metode
deskriptif-analitis‖.
Deskriptif,
yakni
memberikan gambaran terhadap data yang ada berikut penjelasan-penjelasan. Penelitian dibahasakan menurut kekhususan dan kekonkretannya sehingga menjadi terbuka bagi pemahaman umum.17 Kemudian, bersifat analitis karena penulis melakukan pemeriksaan dan pengkajian secara konseptual atas makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan.18 Selanjutnya,
untuk
membahas
puncak
kebahagiaan
dan
upaya
pencapaiannya secara mengakar dan komprehensif, penulis mengetengahkan pendekatan filsafat; penulis memilih pendekatan tersebut mengingat banyaknya pendekatan mengenai tema tersebut, khususnya psikologi. Pendekatan filosofis digunakan untuk menemukan akar fundamental dan sudut pandang dari setiap permasalahan, sehingga dapat dicapai hasil penelitian yang sesuai dengan kaidahkaidah logis.19 16
Akhyar Yusuf Lubis, Metode Fenomenologi – Hermeneutika dan Penerapannya pada Ilmu Sosial – Budaya dan Keagamaan, Materi Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan & Metodologi (Depok: Pascasarjana FIB-UI, 2011-2012) hlm. 29-37. 17 Anton Bakker dan Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 54. 18 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, dari ―Introduction of Philosophy”, terjemahan oleh Soejono Soemargono, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1986), hlm. 18. 19 Dalam pendekatan filosofis, penelitian tidak hanya terbatas pada formulasi, tetapi juga untuk merekonstruksi basis filosofis secara langsung ke dalam teks. Menurut Dale Canon, pendekatan filosofis adalah pendekatan yang dapat digunakan dalam menghadapi pendapat yang bertentangan tentang hal-hal yang kontroversi.
9
Adapun teknik pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Mengumpulkan data dan mengamatinya, terutama dari aspek kelengkapan dan validitas serta relevansi dengan tema pembahasan (penelitian). b. Mengklarifikasi
dan
mensistemasikan
data,
kemudian
memformulasikannya dengan pokok masalah yang ada. c. Melakukan analisis lanjutan terhadap data yang telah diklasifikasikan, teori-teori dan konsep-konsep pendekatan yang sesuai sehingga memperoleh kesimpulan berdasarkan uraian yang telah ada.20 d. Setelah data terkumpul, dilakukan proses pengolahan data dengan cara menganalisis dan menginterpretasi.21 Penelitian ini dilakukan melalui data yang telah terdokumentasikan, baik dari sumber-sumber primer maupun sekunder. Penulis akan memeriksa, memahami, dan menggali pandangan Śadrâ terkait konsep kebahagiaan dan upaya pencapaiannya. Data digali melalui sumber data primer, yaitu buku-buku yang berkaitan dengan topik yang diusung dalam penelitian ini. Adapun data primer dalam penelitian ini adalah karya yang ditulis oleh Śadrâ, terutama al- Hikmah, al-Muta‟âliyah fi al-Asfâr al-„Aqliyyah al-Arba‟ah bab kesembilan hususnya, alMasyâ‟ir, al-Mazahir, dan al-Syawahid al-Rububiyyah, al-Syawâhid
al-
Rubûbiyyah, Metaphysical Penetrations: A Parallel English-Arabic Text,dan Breaking The Idols Of Ignorance: Admonition Of The Soi Disant Sufi. Sumber data lainnya adalah sumber sekunder, yakni tulisan-tulisan dalam bentuk apa pun yang secara eksplisit membahas kedua tokoh tersebut, serta pokok pikirannya yang mempunyai relevansi dengan tema pokok. Adapun sumber sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah The Metaphysics of Mullâ Śadrâ (Parviz Morewedge), Sadr al-Din Shirazi and His Transcendent Theosophy: Background, Life, and Works (Seyyed Hossein Nasr), Perjalanan 20
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: bagian penerbit Fak. Ekonomi UGM, 1988), hlm. 36. 21 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 419-438.
10
Jiwa menuju Akhirat: Filsafat Eskatologi Mulla Shadra (Khalid al-Walid), Bidâyah al-Hikmah dan Nihâyah al-Hikmah (Thabataba‘i), serta sumber lainnya yang mendukung penelitian.
E. Tinjauan Pustaka Penulis tidak menemukan studi khusus tentang kebahagiaan menurut Mullâ Śadrâ berdasarkan pendekatan studi tex filosofis yang mendalam. Namun, penulis mencatat ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan konsep kebahagiaan, yakni beberapa tesis. Yang pertama berjudul Konsep Kebahagiaan Menurut Ibn Sina, ditulis oleh Rasid Ante Aminuddin, mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina. Tesis yang kedua berjudul Konsep Islam tentang Manusia; Sebuah Kajian atas pemikiran Ali Syariati, ditulis oleh Zen Assegaf, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2003. Tesis ketiga berjudul Human Nature: a Comparative Study on St. Thomas Aquinas‟s and Murtadha Muţahhari‟s Concepts, ditulis oleh Istasadhya, mahasiswa Pascasarjana ICAS-Paramadina, 2010. Tesis keempat berjudul Konsep Kebahagiaan (Studi Pemikiran al-Ghazali dalam Mizan al-„Amal), ditulis oleh Yusuf Suharto, mahasiswa Program Pascasarjana Institut Agama Isalm Negeri Sunan Ampel Surabaya. Keempaat tesis itu tidak secara intensif berbicara tentang kebahagiaan. Tetapi, ketiganya berupaya mengelaborasi secara mendalam dan lengkap terkait topik kebahagiaan seperti konsep manusia, eksistensi jiwa dan raga dan relasinya dengan kebahagiaan, serta etika. Rasyid Ante dalam tesisnya menjelaskan
bahwa Realitas fundamen
manusia adalah kebahagiaan. Dia juga membedakan antara kebahagiaan (happiness), kenikmatan (pleasure) atau kesenangan (enjoyment). Kebahagiaan (happiness) berkaitan dengan jiwa dan rasio, sedangkan pleasure berkaitan dengan hal-hal material (jasmaniyah). Dalam hal ini, dia mengutip Kant yang mendefinisikan pleasure sebagai perasaan berhasil mendapatkan atau mencapai suatu tujuan. Pleasure menurut Kant bersifat organik, yaitu sesuatu yang alamiah
11
bagi kehidupan.
.22
Penelitan ini akan melanjutkan penelitan Rasyid tentang
kebahagiaan. Adapun, dalam tesis Istasadhya dijelaskan bahwa diskusi tentang manusia akan membuat kita memahami diri kita sendiri. Dengan begitu kita kemudian akan tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita lakukan, sehingga kita akan mengetahui tujuan keberadaan kita. Pemahaman tentang human nature juga akan memberikan pemahaman tentang hidup yang bermakna. Menyepelekan pemahaman tentang manusia akan membawa problem kemanusiaan. Referensi utama yang digunakan Istasadhya adalah Sang Manusia Sempurna, karya Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Buku yang ditulis oleh Zainal Abidin berjudul Filsafat Manusia (2003). Penelitan tentang kebahagiaan berkaitan erat dengan konsep manusia, sehingga penelitan ini akan penting untuk menjadi salah satu referensi penulis. Dalam tesis Zen, yang menggunakan cara pandang Ali Syariati, tertulis bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki dua unsur yaitu lempung dan ruh Allah. Pernyataan itu bersifat simbolis. Lempung di situ bermakna kerendahan, stagnasi, pasivitas mutlak, sedangkan ruh Allah bermakna gerak tanpa henti ke arah kesempurnaan. Manusia ideal adalah manusia yang di dalam dirinya tergabung dua unsur berlawanan, zat yang dialektis. Dalam fitrah hidupnya, dia adalah arah tak terhingga dari lempung menuju Allah. 23 Mengutip Syariati, Zen menyebut bahwa manusia ideal adalah manusia teomorphis yang dalam pribadinya ruh Allah telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan dengan iblis. Dengan lempung dan lumpur endapan, dia telah bebas dari bimbang dan kontradiksi antara dua infiniti. Evolusi tidak terhingga dengan cara manusia membentuk lingkungannya dan dengan kesadaran dan iman, dia membebaskan diri dari segala stereotipe sejarah, masyarakat, dan diri. Manusia ideal memiliki aspek kebenaran, kebijakan, dan keindahan.
22
Douglas Burnham, Kant‟s Philosophies of Judgment (EndirburghUniversity Press, 2004), hlm. 173. 23 Assegaf, Zen, Konsep Islam tentang Manusia; Sebuah Kajian atas pemikiran Ali Syariati (Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2003), hlm. 64.
12
Penelitian Yusuf menggunakan sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan content analysis atas kitab Mizan al-„Amal yang merupakan karya alGhazali yang paling komprehensif tentang kebahagiaan. Dalam tesisnya, Yusuf menyimpulkan bahwa kebahagian menurut al-Ghazali hanya dapat dicapai dengan mengkombinasikan ilmu dan amal. Ilmu adalah prasyarat yang sangat penting dan amal adalah penyempurna dari ilmu. Ada pun kebahagiaan yang paling utama adalah kebahagiaan akhirat, sementara kebahagiaan dunia ada kalanya semu, tipuan atau kebenaran jika membantu kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan itu dicapai dengan mengumpulkan dan mensinergikan empat keutamaan setelah keutamaan akhirat, yaitu keutamaan jiwa, keutamaan badan, keutamaan luar, dan keutamaan taufik.24 Penulis juga menemukan beberapa karya berupa buku yang dijadiakan sebagai referensi tambahan seperti, Happiness between Illusion and Reality and Causes of Happines yang ditulis oleh Ghalib Ahmad Masri and Nathif Jama Adam. Buku itu berbicara tentang kebahagiaan secara general, seperti definisi kebahagiaan, sumber kebahagiaan dan kebahagiaan sejati. Buku ini akan berguna untuk memperkaya referensi tesis ini. Selain itu, penulis juga menemukan buku berjudul ―Philosophy of Happiness; be happy- be optimistic” ditulis oleh Nils Horn (2010)25. Nils horn mencoba mengekspolrasi tentang kebahagian dalam kehidupan praktis. Filsafat kebahagiaan berhubungan dengan sifat-sifat kebahagiann dan cara memperoleh kebahgaiaan. Buku ini lebih banyak mengeksplorasi proses mendapatkan kebahagiaan, tapi tidak secara mendalam mendefinisikan esesnsi kebahagiaan itu sendiri.
24
Yusuf Suharto, Tesis: Konsep Kebahagiaan (Studi Pemikiran al-Ghazali dalam Mizan al-„Amal), (Surabaya: Program Pascasarjana Institut Agama Isalm Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2011), hlm. Vi. 25 Nils Horn, Philosophy of Happiness; be happy- be optimistic (Hamburg German: Verlleger, 2010), hlm. 1.
13
F. Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab 1 adalah Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. Di dalam latar belakang dijelaskan tentang apa yang menjadi latar belakang penulis untuk meneliti topik yang dikaji. Berdasar pada latar belakang tersebut, dirumuskan masalah penelitian yang akan dibahas di bab 4. Hal yang ingin dicapai dalam penelitian ini dinyatakan di dalam tujuan penelitian. Pembatasan masalah penelitian diuraikan di sub-bab ruang lingkup. Bab 2 berisi biografi intelektual dan bangunan filsafat Mullâ Śadrâ yang menjadi landasan teoritis dalam penelitan ini. Adapun sub bab dari bab 2 ini menjelaskan tentang masa pendidikan formal Mullâ Śadrâ, masa pelatihan spiritual, masa mengajar dan menulis, karya-karya Mullâ Śadrâ, dan konstruksi pemikirannya. Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan tentang bangunan filsafat Mullâ Śadrâ yang meliputi epistemologi dan ontologinya yang unik yaitu; prinsip Ashâlat al-Wujûd wa I‟tibariyat al Mahiyyah, Prinsip Tasykîk al-Wujûd,gerakan trans-substansial (al-harakah al-Jawhariyyah), kesatuan antara subjek dan objek pengetahuan (ittihad al-„Aqil wa al-Ma‟qul), kontinuitas wujud , wujud mental (wujud al-zihni), prinsip emanasi, alam imajinal (al-„Ālam al-mitsāl), Qaûs Nuzûli sebagai Asal Muasal (mabda‟) dan Qaûs Su‟ûdi sebagai Gerak tran-substansial Jiwa (ma‟âd). Bab 3, eksistensi jiwa dan tubuh, pada bab ini dijelaskan tentang definisi dan karakteristik jiwa rasional, immaterialitas jiwa, penciptaan jiwa dan tubuh, ketunggalan jiwa dan tubuh, relasi jiwa dengan fakultas-fakultasnya, independensi persepsi jiwa dari forma-forma alam materi, tetapnya jiwa pasca kehancuran tubuh materi dan status materi tubuh pasca ditinggalkan jiwa, perangkat epistemologi tentang jiwa, qaûs Nuzûli sebagai Asal Muasal (mabda‟) dan qaûs Su‟ûdi sebagai Gerak tran-substansial Jiwa (ma‟âd) Bab 4 konsep puncak kebahagiaan dan upaya pencapayainnya berisi penjelasan tentang realitas kebahagiaan, level kebahagiaan, puncak kebahagiaan, dan relasi kebahagiaan dengan etika
14
Bab 5, Penutup, berisi simpulan dan saran. Pada bagian simpulan, penulis akan membuat simpulan-simpulan terkait hasil penelitian. Sementara itu, pada bagian saran, penulis akan menjabarkan hal-hal apa saja yang harus diperbaiki dan dilengkapi untuk menyempurnakan penelitian ini.