PERAN MATERIALISME DALAM MEMPREDIKSI SUBJECTIVE WELL BEING PADA ANGGOTA KELOMPOK ARISAN SOSIALITA DI JAKARTA
Imelda Konghoiro Pingkan Cynthia Belinda Rumondor Bina Nusantara,
[email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini ingin melihat peran materialisme dalam memprediksi subjective well being pada anggota arisan sosialita di Jakarta. Tujuan penelitian untuk mengetahui peran materialisme dalam memprediksi subjective well being pada anggota kelompok
di Jakarta. Metode penelitian
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasi prediktif. Subjek penelitian adalah sosialita berusia 20-40 tahun yang mengikuti setidaknya satu arisan dengan iuran di atas 2 juta. Jumlah Responden pada penelitian ini adalah 100 subjek arisan anggota arisan sosialita. Disimpulkan, materialisme berperan negatif dalam memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita di Jakarta walaupun pengaruhnya tidak besar. Di dapatkan
signifikan F (1,98) = 7.402, p < 0.05. Model ini menjelaskan 8,5% varians dari subjective well being (R² = 0,085). Hal ini dikarenakan subjek penelitian memiliki pemasukan di atas ratarata dan adanya social support di dalam arisan. (IK)
Kata kunci: Materialisme, Subjective well being, wanita dewasa muda, Arisan
ABSTRACT
Research wants to observe the role of materialism in predicting subjective well being of socialites arisan member in Jakarta. The purpose of this research is to find out the role of materialism in predicting subjective well being of female young adult group member in Jakarta. Research method was done with quantitative approach with correlation predictive design. The subject of this research were female young adult aged 20-40 years old who attend at least one arisan with contribution above 2 millions. There are 100 respondent in this research. It is concluded, materialism have a role in predicting subjective well being of female young adult of arisan group member in Jakarta although the effect is not significant. This research found that F (1,98) =
7.402, p < 0.05. This model explain 8,5% variant of subjective well being(R² = 0,085. This is caused because the subject have income about average and there are social support in arisan .(IK)
Keywords: Materialisme, Subjective well being, Arisan
PENDAHULUAN Pada September 2013, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengeluarkan fakta mengenai angka pengeluaran rumah tangga baik pangan maupun non pangan di Jakarta. Angka tertinggi pengeluaran rumah tangga di kota Jakarta ialah kebutuhan pangan yaitu 47,19% dari total pengeluaran. Sedangkan untuk total pengeluaran selain kebutuhan pangan (barang dan jasa, pakaian, alas kaki dan lain-lain) ialah sebesar 52,81% dari total pengeluaran. Angka pengeluaran selain pangan ini meningkat seiring waktu berjalan. Hal ini menunjukkan secara jelas bahwa penduduk Kota Jakarta tidak segan-segan dalam hal mengeluarkan uang di luar kebutuhan pangan. Pengeluaran non pangan tersebut menjadi “kewajiban” pada kelompok tertentu, salah satunya adalah kelompok arisan sosialita di Jakarta. Seperti hasil wawancara peneliti pada NN usia 29 tahun (wawancara, November, 30, 2014), seorang wanita salah satu anggota arisan sosialita yang menyatakan bahwa menggunakan tas merek X dengan kisaran harga di atas 5 juta, penggunaan berlian dan pakaian merek tertentu buatan desainer terkenal menjadi keharusan atau “must have item” yang harus dimiliki oleh anggota arisan guna menonjolkan dan memamerkan tas mereka untuk membuktikan bahwa penggunanya termasuk orang yang sukses sehingga mampu membeli tas tersebut. Perilaku tersebut didukung oleh hasil observasi yang dilakukan pada sebuah gathering arisan yang dihadiri kurang lebih 50 anggota arisan sosialita, terlihat bahwa semua wanita dewasa muda peserta acara tersebut menggunakan tas merek tertentu dimana tas bermerek X dengan kisaran di atas 5 juta tersebut bukanlah kebutuhan pokok mereka. Hal serupa juga dikemukakan oleh Roesma & Mulya (2013) bahwa tas mahal harga jutaan rupiah tersebut menjadi bawaan
wajib yang harus dimiliki oleh anggota arisan dan diletakkan paling depan saat akan berfoto agar orang lain dapat melihatnya. Anggota arisan di Jakarta kebanyakan adalah sosialita berusia 20-40 tahun. Sosialita menurut Kamus Webster (2008) adalah seseorang yang dikenal sebagai kalangan fashionable dan sering terlihat di pesta atau acara sosial untuk kalangan kaya. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Roesma & Mulya (2013), didapatkan hasil bahwa dari 300 responden wanita dewasa yang berusia 20-40 tahun, 78% (234 orang) mengikuti arisan. Lebih lanjut lagi menurut sumber yang sama, arisan ini sering diikuti oleh wanita dewasa rentang usianya 20-40 tahun, menikah sebanyak 215 orang dan seorang profesional sebanyak 96 orang. Arisan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2014) adalah kegiatan mengumpulkan uang atau barang yg bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka untuk menentukan siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan di sebuah pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya. Namun Roesma & Mulya (2013) mengungkapkan bahwa tujuan arisan yang mulanya untuk bersilahturahmi dan untuk menabung telah bergeser ke faktor yang lain. Arisan dinilai telah menjadi ajang untuk show off dengan menggunakan tas bermerek X dengan kisaran harga di atas 5 juta ataupun menggunakan berlian dengan harga ratusan juta rupiah. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dikemukakan di atas terdapat ciri perilaku materialisme dalam anggota kelompok arisan dewasa muda tersebut. Salah satu ciri perilaku materialisme yaitu memamerkan barang yang dimilikinya dengan tujuan untuk menunjukkan bahwa ia sukses sehingga dapat memiliki tas tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu dimensi materialisme yaitu success dimana mengukur keyakinan seseorang tentang kesuksesan berdasarkan pada jumlah dan kualitas kepemilikanya. Sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat indikator materialisme dalam anggota arisan sosialita tersebut. Materialisme adalah nilai individu yang menganut pentingnya kepemilikan benda, kompetisi, dan pendapatan keuntungan sebagai kesejahteraan manusia (Richins & Dawson, 1992). Benda-benda materi menjadi simbol dari kebahagiaan dan kesuksesan (Gardarsdottir & Dittmar, 2012). Materialisme biasanya dikaitkan dengan adanya pengeluaran secara berlebihan demi mendapatkan barang yang dinginkan. Selain itu, dalam Kamus Webster (2008) dikatakan pula materialisme sebagai sebuah doktrin yang menyatakan bahwa kenyamanan, kesenangan, dan kekayaan merupakan satu-satunya tujuan atau nilai tertinggi dalam kehidupan. Gaya hidup seperti ini sudah lama menimpa masyarakat maupun penduduk yang berstatus dan bermukim di kota besar seperti yang terjadi di Indonesia terutama kota-kota besar seperti Kota Jakarta. Gaya hidup materialisme ini secara filsafat menyatakan bahwa hal-hal yang benar ada ialah hanya materi saja dan pada dasarnya semua hal terdiri atas materi serta semua fenomena adalah hasil interaksi material (Sutardjo, 2010). Materialisme bukan lagi sebuah fenomena yang baru di depan mata namun sudah cukup lama bernaung dalam kehidupan masyarakat. Benda-benda materi menjadi simbol dari kebahagiaan dan kesuksesan (Gardarsdottir & Dittmar, 2012). Salah satu alasan ciri kehidupan urban adalah pembelian barang dan penggunaan uang yang berlebihan agar mendapatkan kebahagiaan (Diener, 2000). Kebahagiaan merupakan bentuk kesejahteraan (well being) yang sifatnya subjektif, berbeda dengan jenis well being lain (seperti tingkat ekonomi, tingkat kesehatan) yang dapat diukur dengan data objektif. Variabel kebahagiaan merupakan hal yang subjektif karena penilaian kebahagiaan dapat berbeda pada masing-masing individu. Hal inilah yang disebut Subjective well being (SWB). Subjective well being merupakan evaluasi orang terhadap kehidupannya sendiri, baik secara afektif maupun kognitif (Diener, 2006). Orang merasakan SWB yang melimpah ketika mereka mengalami perasaan nyaman yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika mereka merasakan kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika mereka puas dengan hidup mereka (Diener, 2000). Anggota arisan sosialita ini memang terlihat bahagia, namun jika ditelusuri lebih dalam mereka juga akan mengalami insecurity, kecemasan dan kekecewaan terlepas dari apa yang telah dimilikinya. Hal ini didukung oleh analisis konten dari wawancara dengan X, salah satu anggota arisan sosialita yang mengatahkan bahwa ia memang telah memiliki apa yang diinginkan seperti tas mahal, uang, dan rumah namun hidupnya tidak terlepas dari kekecewaan dan kesedihan seperti ketika sang ayah masuk penjara dan peristiwa meninggalnya sang adik. Selain itu menurut Roesma & Mulya (2013), di dalam anggota arisan sosialita tersebut sering tejadi persaingan antar anggota dalam memperebutkan barang seperti tas limited edition yang membuat mereka sering membandingkan diri dengan orang lain yang berdampak pada hubungan relasi antar anggotanya. Hal
ini dapat merusak relasi antar anggota karena akan menimbulkan perasaan buruk terhadap diri sendiri dan orang lain serta membuat individu menjadi semakin materalistik. Sehingga dapat berdampak negatif terhadap kebahagiaan anggota arisan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian beberapa ahli melihat bahwa materialisme merupakan variabel prediktor yang dapat memberikan dampak negatif terhadap SWB (Ahuvia & Wong, 1995; Bauer, Wilkie, Kim, & Bodenhausen, 2012; Chancellor & Lyubomirsky, 2011). Tingginya perhatian para ahli terhadap materialisme adalah karena materialisme dinilai telah banyak menimbulkan berbagai konsekuensi negatif terhadap kesejahteraan psikologis (well-being) individu seperti: materialisme menurunkan tingkat kepuasan hidup (Richins & Dawson, 1992 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), menurunkan tingkat kebahagiaan (Belk, 1985 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002), bertambah meningkatnya tingkat depresi (Kasser & Ryan, 1993 dalam Burroughs & Rindfleisch, 2002). Berbagai konsekuensi negatif tersebut tentunya tidak sesuai dengan tujuan awal dari individu dalam mengejar materi yakni sebagai cara untuk menunjukkan keberhasilan mereka dalam hidup, mencari kebahagiaan dan meraih kesejahteraan. Namun menurut Shrum (2012) materialisme dapat memberikan dampak positif apabila motif materialisme adalah motif yang bersifat intrinsik seperti untuk memiliki barang kebutuhan untuk diri sendiri dan memberikan dampak negatif apabila motif materialisme adalah motif ekstrinsik seperti mempunyai barang agar dapat dilihat oleh orang lain. Penelitian ini dilakukan pada orang yang berpemasukan di atas rata-rata sehingga berbeda dengan penelitian lain yang tidak mengontrol pemasukan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, pemasukan rata-rata di Indonesia Rp.5.581.000,-/bulan. Pemasukan tidak memiliki hubungan dengan materialisme dimana pemasukan baik tinggi ataupun rendah tidak mempengaruhi perilaku materialistik seseorang (Burchan, 2012). Namun pemasukan memiliki hubungan terhadap subjective well being dan juga sebaliknya walaupun hubungannya kecil (Cantril, 2000; Bradburn, 1969; Campbell, Converse & Rodgers, 1976; Inglehart, 1990; Veenhoven, 1994 dalam Eddington dan Shuman, 2006). Semakin tinggi pemasukan seseorang maka subjective well being nya akan semakin tinggi karena memenuhi kebutuhan dasar seseorang seperti makan, tempat tinggal dan kesehatan dapat memberikan efek positif pada subjective well being sedangkan semakin tinggi subjective well being seseorang maka akan semakin tinggi pemasukan karena orang tersebut akan bahagia dan akan semangat untuk mendapatkan pemasukkan. Namun penelitian ini berlaku hanya untuk populasi dengan jangkauan pemasukan yang luas. Selain itu, penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya karena peneliti akan meneliti mengenai peran materialisme terhadap subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita wanita dewasa muda dengan iuran di atas 2 juta rupiah, menggunakan tas-tas merek tertentu dengan harga di atas 5 juta seperti LV, Hermes, Gucci, dan lain-lain atau memiliki setidaknya satu pakaian yang seragam yang pernah dipakai pada saat arisan dan secara langsung mengikuti pertemuan arisan setidaknya satu bulan sekali yang memiliki pemasukan di atas rata-rata. Peneliti mengharapkan melalui penelitian ini, dapat menambah pengetahuan bagi sosialita mengenai peranan materialisme dalam memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita di Jakarta. Dari pemaparan di atas, didapatkan rumusan masalah yaitu “Apakah terdapat peranan materialism dalam memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita di Jakarta?” Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui peranan materialisme dalam memprediksi subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita di Jakarta.
METODE PENELITIAN Subjek penelitian ini adalah wanita dewasa muda dengan rentang umur 20-40 tahun yang telah memiliki pemasukan sendiri baik dari suami, bekerja atau orang tua, yang tergabung di satu atau lebih arisan dengan iuran di atas 2 juta rupiah, menggunakan tas-tas merek tertentu dengan harga di atas 5 juta seperti LV, Hermes, Gucci, dan lain-lain atau memiliki setidaknya satu pakaian yang seragam yang pernah dipakai pada saat arisan, secara langsung mengikuti pertemuan arisan setidaknya 1 bulan sekali dan memiliki pemasukan di atas 5 juta. Hal ini dilakukan karena melihat bahwa adanya nilai materialisme yang cukup tinggi pada kegiatan arisan yang dilakukan oleh wanita dewasa yang telah memiliki pemasukkan sendiri baik dari suami atau
bekerja yang terlihat dari iurannya, tas-tas bermerek yang dimiliki ataupun pakaian seragam yang dikenakan. Penelitian ini akan melihat korelasi antar kedua variabel itu pada wanita dewasa dengan rentang umur 20-40 tahun yang sudah bekerja atau berumah tangga. Target subjek penelitian yang akan dicapai sebanyak 100 orang sosialita di Jakarta. Target subjek sebanyak 100 orang karena melihat keterbatasan subjek dimana subjek hanya mengadakan arisan sebulan sekali sehingga peneliti mengalami kesulitan dalam mengakses subjek dan juga adanya keterbatasan waktu. Teknik sampling yang digunakan adalah snowball sampling karena peneliti tidak mengetahui berapa jumlah sampel sehingga meminta sampel pertama untuk menunjukkan sampel kedua dan seterusnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan pembagian kuesioner. Material Values Scale (MVS) yang disusun oleh Richins & Dawson (1992) untuk mengukur tingkat materialisme dan untuk Subjective well being digunakan dua skala yaitu Satisfaction with Life Scale (SWLS) yang disusun oleh Diener, Emmons, Larsen & Griffin (1985) dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) yang disusun oleh Diener & Biswas (2009). Penelitian ini juga menambahkan alat ukur social desirability (SD). Nilai SD akan dijadikan dasar analisa item. Item yang memiliki korelasi positif dengan SD akan direvisi. MVS dibuat oleh Richins & Dawson (1992) yang terdiri dari 15 item. 15 item ini terdiri atas 5 item akan mengukur success, 5 item mengukur centrality dan 5 item mengukur happiness. Jawabannya terdiri dari 5 skala yaitu sangat setuju, setuju, netral, tidak setuju dan tidak setuju. Skala ini memiliki 4 poin, dari 4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 = tidak setuju, dan 1= sangat tidak setuju. Cara menskoring alat ukur ini adalah memberikan nilai sesuai dengan urutan jawaban pada skala tersebut. SWLS adalah alat ukur berjumlah 5 item yang didesain untuk mengukur penilaian individu terhadap kepuasan hidupnya (Diener, Larsen & Griffin, 1985). Skor total didapatkan dengan menjumlahkan nilai dari semua item yang ada. Pengukuran menggunakan 7 skala poin 1 dari = sangat tidak setuju, 2 = tidak setuju, 3 = agak tidak setuju, 4 = ragu-ragu, 5 = agak setuju, 6 = setuju, sampai 7 = sangat tidak setuju. Skor yang total yang didapatkan dengan menjumlahkan poin dari semua butir. Rentang skor total adalah anatara 5-35 poin. SPANE dibuat oleh Diener & Biswan (2009) merupakan alat ukur yang mengukur afek positif dan afek negatif dan keseimbangan antar keduanya (SPANE B). Alat ini terdiri dari 12 item dimana 6 item mengukur afek positif (SPANE P), dan 6 item mengukur afek negatif (SPANE N). Untuk masing-masing afek positif dan negatif, tiga dari item pernyataan bermakna umum (contoh: positif, negatif), dan lainnya lebih spesifik (contoh: bahagia, sedih). Alat ini memakai skala 5 poin dari 1= sangat setuju, 2= setuju, 3= raguragu, 4= tidak setuju, dan 5= sangat tidak setuju. Social Desirability (SD) dibuat oleh Jaya, Hartana & Mangundjaya (2011) menggunakan dan menerjemahkan bagian pertama dari kuesioner SD Strahan-Gerbasi (1972) karena dianggap sebagai bagian yang paling reliable (Jaya, Hartana & Mangundjaya, 2010). SD dimasukkan dalam penelitian ini karena peneliti menyadari kerentanan subjek untuk mengisi dengan tidak jujur. SD terdiri dari 10 item dan jawabannya hanya benar atau salah. Item no 1-5 jawabannya “benar” dan 6-10 jawabannya “salah” lalu menggunakan skor dikotomi dengan memberikan nilai 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Nilai SD akan dijadikan dasar analisa item. Item yang memiliki korelasi positif dengan SD akan direvisi. Penelitian ini merupakan penelitian bersifat untuk memprediksi pengaruh variabel materialisme terhadap variabel Subjective well being. Desain dalam penelitian ini bersifat non-eksperimental karena variabel yang ada dalam penelitian sudah terjadi, tidak dapat dikontrol dan tidak ada manipulasi yang dilakukan dalam penelitian ini. Persiapan yang pertama kali dilakukan adalah mencari data dan juga fenomena mengenai hubungan antar kedua variabel dengan banyak membaca beberapa jurnal yang ada. Kemudian setelah itu, peneliti mulai mencari alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur variabel yang ada dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 3 alat ukur yaitu Material Values Scale (MVS) yang disusun oleh Richins & Dawson (1992) untuk mengukur tingkat materialisme dan untuk Subjective well being digunakan dua skala yaitu Satisfaction with Life Scale (SWLS) yang disusun oleh Diener, Emmons, Larsen & Griffin (1985) dan Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) yang disusun oleh Diener & Biswas (2009). Peneliti juga menambahkan satu alat ukur yaitu Social Desirability (SD) yang diadaptasi oleh Jaya, Hartana & Mangundjaya (2011). Kemudian, peneliti melakukan adaptasi pada alat ukur dan menyusun alat ukur untuk Materialisme Value Scale (MVS), Satisfaction with Life Scale (SWLS), Scale of Positive and Negative Experience (SPANE) dan Social Desirability (SD).
Selanjutnya, peneliti juga mempersiapkan semua instrument yang terkait berupa kuesioner yang akan dibagikan untuk diisi oleh subjek dengan melakukan back translation pada salah satu teman penulis yang bersekolah di luar negeri dan juga peneliti meminta bantuan expert judgement kepada dosen psikologi yaitu Rani Agias Fitri, M.Psi dan Juneman, S.Psi., M.Si, serta dosen pembimbing yaitu Pingkan C.B. Rumondor, M.Psi., guna meminta pendapat dalam proses pembuatan kuesioner ini sehingga kuesioner dapat segera diuji cobakan. Persiapan dalam mencari subjek penelitian, peneliti dengan menghubungi salah satu penulis buku KOCOK untuk meminta bantuan mendapatkan kontak arisan-arisan yang sesuai dengan kriteria subjek penelitian. Peneliti melakukan pilot test pada 4 Desember 2014 sampai 11 Desember 2014 melalui pembagian kuesioner secara langsung (snowball) dan melalui media internet atau kuesioner online (Google Docs) guna memudahkan peneliti agar mendapatkan subjek penelitian. Pelaksanaan pilot test ini mendapatkan responden sebanyak 30 responden. Setelah melalui pilot test, peneliti kemudian melanjutkan pada pilot test ke 2. Pilot test ke 2 berlangsung pada 19 Desember 2014 hingga 30 Desember 2014 dan mampu mendapatkan 108 responden namun hanya 100 data responden yang dapat diolah untuk analisa karena 5 data responden tidak sesuai dengan kriteria subjek penelitian yang telah di buat sebelumnya dan 3 data responden karena jawaban diisi dengan konstan. Pilot test ke 2 dilakukan dengan pembagian kuesioner dengan metode snowbal sampling baik secara langsung maupun melalui media elektronik yaitu kuesioner online (Google Docs). Selanjutnya, peneliti menunggu data tersebut terkumpul lalu mengolah data tersebut. Pengambilan data untuk pilot test di laksanakan pada tanggal 4 Desember hingga 30 desember. Pengambilan data responden dilakukan dengan cara memberikan kuesioner tersebut ke sosialita anggota kelompok arisan yang berusia 20-40 tahun di Jakarta. Peneliti menyebarkan kuesioner menggunakan metode snowball sampling dengan penyebaran menggunakan kuesioner secara langsung dan kuesioner online dengan bantuan Google Docs. Peneliti berhasil mengumpulkan 30 responden pada pilot test ini. Kemudian, peneliti melakukan pilot test ke 2 yang berlangsung pada 19 Desember 2014 hingga 30 Desember 2014. Pilot test ke 2 dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada subjek penelitian yang sesuai dengan criteria subjek. Peneliti juga mengunjungi beberapa arisan secara langsung untuk memberikan kuesioner sehingga dapat diisi oleh responden penelitian secara langsung. Selain itu, peneliti juga menitipkan beberapa kuesioner kepada salah satu anggota arisan sehingga dapat dibagikan kepada anggota arisan lainnya. Jumlah responden yang berhasil peneliti dapatkan untuk pilot test ke 2 sebanyak 108 responden namun hanya 100 data responden yang dapat diolah untuk analisa karena 5 data responden tidak sesuai dengan kriteria subjek penelitian yang telah di buat sebelumnya dan 3 data responden karena jawaban diisi dengan konstan. Pengolahan data akan dilakukan dengan menjumlah sejumlah skor yang telah didapatkan dengan menggunakan analisis linier sederhana dihitung dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for Social Science) 20.0. Peneliti menggunakan mengunakan analisis linier sederhana dalam mengolah data tersebut. Analisis regresi sederhana adalah hubungan secara linear antara satu variabel independen dengan variabel dependen. Analisis ini dilakukan untuk melihat peran masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen secara terpisah dan untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah positif atau negatif, serta untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan (Priyatno, 2014).
HASIL DAN BAHASAN Tabel 1 ANOVAa Model
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
1
6.435
1
6.435
9.162
.003b
Regression
Residual
68.829
98
Total
75.264
99
.702
a. Dependent Variable: totalSWB b. Predictors: (Constant), totalmvs Tabel 4.15 Hasil Analisis Regresi Linear 1 ANOVA dalam analisis regresi linear bertujuan untuk menunjukkan angka probabilitas atau signifikansi pada perhitungan ANOVA yang akan digunakan untuk uji kelayakan model regresi dengan ketentuan angka signifikansi yang baik untuk digunakan sebagai model regresi ialah harus lebih kecil dari 0.05 (Priyatno, 2014). Berdasarkan pada table 4.11 uji ANOVA menghasilkan nilai F sebesar 7.402 dengan tingkat signifikansi sebesar 0.003, karena angka signifikansi 0.003 < 0.05, maka model regresi ini layak untuk digunakan dalam memprediksi subjective well being. Selain itu, berdasarkan kriteria pengujian:
• •
Ho diterima jika nilai signifikansi > 0.05
Ha ditolak jika nilai signifikansi < 0.05 Untuk membandingkan nilai signifikansi, berdasarkan tablel 4.7 hasil analisis regresi linear koefisien, pada kolom Sig diperoleh nilai signifikansi adalah 0,008.Sehingga, nilai signifikansi 0.003 < 0.05 maka Ho ditolak, sehingga Ha diterima. Artinya model regresi ini layak untuk digunakan dan analisis dapat dilanjutkan.
Tabel 2 Coefficientsa
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
Model
B
Std. Error Beta
t
Sig.
1
(Constant)
1.787
.593
3.012
.003
totalmvs
-.046
.015
-3.027
.003
-.292
a. Dependent Variable: totalSWB Tabel 4.16 Hasil Uji Regresi Linear sede
Nilai skor signifikansi dari anova adalah 0.003, dimana signifikansi dibawah 0.05 menandakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan. Materialisme memiliki skor signifikan dibawah 0.05. Skor ini
membuktikan bahwa materialisme dapat memprediksi subjective well being. Dapat disimpulkan hipotesa penelitian bahwa materialisme dapat memprediksi Subjective well being pada anggota kelompok arisan sosialita di Jakarta dalam arah negatif diterima. Kemudian dari tabel koefisien di atas, bagian ini mengambarkan persamaan regresi untuk mengetahui angka konstan, dan uji hipotesis signifikansi koefisien regresi. Persamaan regresi adalah Y= a + bx, dimana: Y = Variabel dependen yang diprediksikan X = Variabel independen a = Nilai konstanta b = Koefisien regresi Oleh karena itu, persamaannya regresi sederhana menjadi Y= 1.787- 0.046X. Artinya, persamaan regresi sederhana memiliki konstanta (1.787) menyatakan bahwa jika tidak ada kenaikan nilai dari variable materialisme (X), maka nilai subjective well being (Y) adalah 1.787. Koefisien regresi sebesar -0.046 menyatakan bahwa setiap penambahan satu skor atau nilai materialisme akan memberikan penurunan skor subjective well being sebesar -0,046. Jadi semakin tinggi skor materialisme maka semakin rendah skor subjective well being pada anggota kelompok sosialita meskipun pengurangan tersebut dalam jumlah kecil. Hal ini berarti semakin seseorang menganggap harta sangat penting untuk hidupnya, menjadikan harta sebagai simbol kesuksesannya, dan memandang kepemilikan sebagai hal yang penting untuk kebahagiaan hidup maka semakin rendah evaluasi seseorang terhadap kepuasan hidup dan semakin sedikit merasakan emosi positif dalam hidupnya.
Tabel 3 Model Summaryb
Model
R
R Square
Adjusted R Square
1
.292a
.085
.076
Std. Error of the Estimate Durbin-Watson .83806
1.936
a. Predictors: (Constant), totalmvs b. Dependent Variable: totalSWB Tabel 4.17 Hasil Analisis Koefisien determinasi R square digunakan untuk menghitung besarnya peranan pada variabel bebas terhadap variabel terikat, koefisien determinasi dihitung dengan mengalikan R2 dengan 100% (R2 x 100%), angka R square disebut juga sebagai koefisien determinasi sedangkan analisis Adjusted R Square berfungsi untuk menjelaskan apakah sampel penelitian mampu mencari jawaban yang dibutuhkan dari populasinya selain itu, besarnya R berkisar antara 0-1 yang berarti semakin kecil besarnya R, maka hubungan kedua variabel semakin lemah, sebaliknya jika R square semakin mendekati 1, maka hubungan kedua variabel semakin kuat (Priyatno, 2014). Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa koefisien determinasi ditunjukkan pada kolom R square. Besarnya peranan materialisme (X) dalam memprediksi subjective well being (Y) adalah 0,085. Sumbangan variabel materialisme (X) adalah sebesar R square x 100%, yaitu 0,085 x 100% = 8,5%. Artinya variabel materialisme (X) memberikan sumbangan 8,5% kepada variabel subjective well being (Y). Sisanya sebesar 91,5% ditentukan oleh variabel lainnya yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil perhitungan regresi linear sederhana dengan materialisme sebagai variabel predictor dan subjective well being sebagai variabel criterion didapatkan model yang signifikan F (1,98) = 7.402, p < 0.05. Model ini menjelaskan 8,5% varians dari subjective well being (R² = 0,085). Hasil regresi sederhana juga memperlihatkan koefisien sebesar B = -0.046, p < 0.05. Hal ini berarti setiap penambahan satu skor atau nilai materialisme akan memberikan penurunan skor subjective well being sebesar -0,046. Jadi, semakin tinggi skor materialisme maka semakin rendah skor subjective well being pada anggota kelompok sosialita meskipun pengurangan tersebut dalam jumlah kecil.
Saran Metodologis 1. 2.
3.
4.
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar memperluas penelitian dengan menambahkan jumlah responden agar hasilnya lebih repesentatif. Untuk meningkatkan jumlah responden pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meningkatkan motivasi calon responden untuk ikut serta dalam penelitian ini misalnya dengan memberikan hadiah kepada subjek yang membantu mengumpulkan data sehingga dapat meningkatkan minat responden untuk ikut berpartisipasi. Untuk penelitian selanjutnya yang ingin meneliti materialisme pada anggota kelompok arisan dapat memperhitungkan faktor-faktor yang lain seperti traits dan self efficacy sehingga dapat meneliti lebih luas. Untuk penelitian selanjutnya dapat menambahkan kriteria subjek berupa motif materialisme apa yang digunakan apakah menggunakan motif intrinsic atau motif ekstrinsik.
Saran Praktis 1.
2.
3.
Untuk sosialita yang tergabung dalam kelompok arisan terutama arisan dengan iuran di atas 2 juta, penelitian ini diharapkan agar anggota arisan dapat lebih menyadari bahwa materialisme dapat mengurangi subjective well being. Bagi sosialita yang memiliki nilai materialisme dianjurkan untuk meninjau kembali tujuan mengikuti arisan dan sebaiknya memiliki tujuan lain selain kepemilikan harta seperti tujuan untuk memiliki banyak teman atau tujuan meningkatkan hubungan sosial dengan sesama. Untuk sosialita yang mengikuti arisan terutama arisan dengan iuran di atas 2 juta dapat mengrefleksikan dirinya untuk mengetahui alasan dirinya kurang bahagia, apakah karena memiliki nilai materialisme yang tinggi atau mungkin karena memiliki trait extraversion dan self efficacy yang rendah
REFERENSI Ahuvia, A., & Wong, N. (1995). Materialisme: Origins and implications for personal well-being. E-European Advances Consumer Research , 2, 172-178. American Psychological Association Task Force on Urban Psychology. (2005). Toward an urban psychology: Research, action, and policy. Washington, DC: American Psychological Association. Bauer, M. A., Wilkie, J. E., Kim, J. K., & Bodenhausen, G. V. (2012). Cuing consumerism: Situational materialisme undemines personal and social wellbeing. Psychological Science , 23 (5), 51723. Belk, R. W. (1985). Materialisme: Trait aspects of living in the material world. Journal of Consumer Research , 12, 265-280. Beutel, A. M., & Marini, M. M. (1995). Gender and values. American Sociological Review , 60, 43648. Bishma, P. M. (September, 8 2014). Geng Arisan Mayangsari Beriuran Rp 10 Juta/Bulan. Diperoleh pada 15 September 2014 dari http://hot.detik.com/read/2014/09/08/145201/2684292/230/geng-arisanmayangsariberiuran- rp-10-juta-bulan.
Burchan, H. (2012). “I Do” Want it All: Wedding, Materialism, and Marital Satisfaction. Disertasi tdak diterbitkan. Michigan: Program Pascasarjana University of Michigan. Burroughs, J. E., & Rindfleisch, A. (2002). Materialisme and Well-Being: A Conflicting Values Perspective. Journal Consumer Research, 29 (3), 348-370. Carr, A. (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human strengths Second Edition. New York: Routledge. Chancellor, J., & Lyubomirsky, S. (2011). Happiness and thrift: when (spending) less is (hedonically) more. Journal of Consumer Psychology , 21 (2), 131-138. Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Diener, E & Biswas, R. (2001). WILL MONEY INCREASE SUBJECTIVE WELL-BEING?. Social Indicators Research, 57, 119–169. Diener, E & Seligman, E, P. (2004). Beyond Money: Toward an Economic Well Being. Psychological Science in the Public Interest, 5(1), 1-31. Diener, E. (2000). Subjective well being: The science of happiness and proposal for national index. American Psychologist, 55 (1), 34-43. Eddington, N & Shuman, R. (2006). Subjective well being (Happiness). San Diego: Continuing Psychology Education Inc. Gardarsdottir, R. B & Dittmar, H. (2012). The Relationships of Materialisme to Debt and Financial Well Being: The Case of Iceland’s Perceive Prosperity. Jurnal of Economic Psychology, 33(3), 471-481 Jaya, E. S., Hartana, G. T. B., & Mangundjaya, W. G. (2010). Menyidik keberadaan social desirability (SD) pada variabel penelitian perilaku. Jurnal Psikologi Indonesia, 7 (1). Kashdan, T.B. (2004). The assessment of subjective well-being (issues raised by the Oxford Happiness Questionnaire). Personality and Individual Differences, 36, 1225–1232. Kasser, T., Ryan, R., Couchman, C., & Sheldon, K. (2004). Materialistic values: their causes and consequences. In T. Kasser, & A. Kanner, Psychology and consumer culture: the struggle for a good life in a materialistic world (pp. 1128). Washington, DC: American Psychological Association. Linley, P.A., Maltby, J., Wood, A. M., Osborne, G., & Hurling, R. (2009). Measuring happiness: The higher order factor structure of subjective and psychological well-being measures. Personality and Individual Differences, 47, 878-884. Meyers, L.S., Gamst. G.C., & Guarino, A.J. (2013). Performing Data Analysisi Using IBM SPSS. New York: John Wiley & Sons. Roesma, J., & Mulya, N. (2013). KOCOK! The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialites. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2007). Human Development. (10th Edition). NewYork: McGraw-Hill. Polak. E.L & McCullough, M. E. (2006). Is Gratitude An Alternative To Materilism?. Journal of Happiness Study, 7, 343-360. Priyatno, D. (2011). Buku Saku SPSS: Analisis Statistik Data Lebih Cepat, Efisien dan Akurat. Yogyakarta: MediaKom. Richins, M. L., & Dawson, S. (1992). A consumer values orientation for materialisme and its measurement: scale development and validation. Journal of Consumer Research , 19, 303-316. Sarafino, E.P. & Smith, T.W. (2012). Health psychology: biopsychosocial interactions. New York: John Wiley & Sons, Inc. Schiffman, L.G & Kanuk, L. L. (2010). Consumer Behavior, tenth edition. New Jersey: Pearson Education. Sekaran, U. (2006). Research Methods for Business: A Skill Building Approach, 4Th Ed. New Delhi: Wiley India. Shaughnessy, J.J., Zechmeister, E.B., & Zeichmeister, J.S. (2012). Research Methods in Psychology (9thed.). Singapore: McGraw Hill. Shrum, L. J., et al. (2012). Reconceptualizing materialisme as identity goal pursuits: Functions, processes, and consequences. Journal of Business Research, 7.
Smith, J. M. (2010). A longitudinal and cross-sectional examination of the relationship between materialisme and well-being and materialisme and depressive symptoms. Counseling Psychology Dissertation , 17. Soekanto, S. (2006). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Subiantoro, P. H. (Maret, 6 2013). “KOCOK” di balik Arisan sosialita . Diperoleh pada 18 Sepember 2014 dari http://www.antaranews.com/berita/361819/kocok-cerita-dibalik-arisan- sosialita . Sujianto, A. E. (2009). Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. Jakarta: Prestasi Pustaka.
RIWAYAT PENULIS Imelda Konghoiro, lahir di kota Makassar pada 29 April 1993. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada 2015.