PERAN KELUARGA TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN PASIEN PERILAKU KEKERASAN DI PANTI REHABILITASI MENTAL WISMA BUDI MAKARTI BOYOLALI
SKRIPSI Untuk Memenuhi Persayaratan Mencapai Sarjana Keperawatan
Oleh: Arifin Puguh Waskitho NIM. ST13006
PROGAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
ii
iii
KATA PENGANTAR Puji serta syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah S.W.T., karena atas rahmat dan karunia-Nya, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Perilaku Kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali”. Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Kepala Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Ibu Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep., selaku Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 4. Ibu Rufaida Nur Fitriana, S.Kep., Ns, selaku Pembimbing II yang juga telah memberikan masukan dan arahan selama penyusunan skripsi. 5. Ibu Happy Indri Hapsari, S. Kep., Ns., M.Kep, selaku Penguji skripsi yang telah memberi masukan dan saran. 6. Seluruh dosen dan staf akademik Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 7. Bapak H. Edi Mulyono selaku Pimpinan Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali yang telah memberikan ijin lahan untuk melakukan penelitian.
iv
8. Seluruh perawat dan karyawan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali yang telah membantu dalam melakukan penelitian. 9. Keluarga pasien di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali yang telah bersedia menjadi partisipan penelitian. 10. Orang tua tercinta dan adik-adik tersayang yang selalu memberikan dukungan, motivasi, doa dan kasih sayangnya sepanjang waktu. 11. Teman-teman Transfer S-1 Keperawatan angkatan 2013, yang selalu mendukung dan membantu dalam proses pembuatan skripsi ini. Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah S.W.T. Peneliti sangat berterimakasih atas masukan, saran dan kritik, semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak dan dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.
Surakarta, 26 Agustus 2015
Penulis
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................. ii SURAT PERNYATAAN................................................................................. iii KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 7 1.3.1. Tujuan Umum ..................................................................... 7 1.3.2 Tujuan Khusus ...................................................................... 7 1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 9 2.1 Tinjauan Teori............................................................................. 9 2.1.1 Keperawatan Jiwa .............................................................. 9 2.1.2 Perilaku Kekerasan .......................................................... 10 2.1.2.1. Pengertian Perilaku Kekerasan…………………,,10 2.1.2.2 Tanda dan Gejala ………………………………...11
vi
2.1.2.3. Rentang Respon …………………………………13 2.1.2.4. Faktor Penyebab ………………………………....14 2.1.2.5. Faktor Presipitasi ………………………………..18 2.1.2.6. Penanganan Perilaku Kekerasan ………………..18 2.1.3 Keluarga .......................................................................... 21 2.1.3.1. Pengertian Keluarga ……………………………..21 2.1.3.2. Tipe Keluarga ……………………………………22 2.1.3.3. Fungsi Keluarga …………………………………25 2.1.3.4. Tugas Keluarga dalam Kesehatan ………………27 2.1.3.5. Peran Keluarga …………………………………..31 2.2 Keaslian Penelitian .................................................................. 34 2.3 Kerangka Teori ........................................................................ 36 2.4. Fokus Penelitian ............................................................................. 37
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... 38 3.1 Jenis dan Desain Penelitian....................................................... 38 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 39 3.3 Populasi dan Sampel ................................................................. 40 3.4 Instrumen dan Prosedur Pengumpulan Data ............................. 41 3.4.1. Instrumen Penelitian ……………………………………..41 3.4.2. Prosedur Pengumpulan Data …………………………….42 3.5 Analisa Data.............................................................................. 43 3.6 Kreadibilitas Data ..................................................................... 45
vii
3.7 Etika Penelitian ......................................................................... 49 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Tempat Penelitian...................................................... 51 4.2 Karasteritik Responden .............................................................. 51 4.3 Hasil Penelitian .......................................................................... 52 BAB V PEMBAHSAN 5.1 Dukungan keluarga ..................................................................... 59 5.2 Pengawasan minum obat............................................................. 60 5.3 Mengontrol emosi ...................................................................... 63 5.4 Upaya pencegahan kekambuhan ................................................ 65 BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan ................................................................................ 68 6.2 Saran .......................................................................................... 69 DAFTAR PUSTAKA. LAMPIRAN.
viii
DAFTAR TABEL
No. Tabel
Judul Tabel
Tabel 2.1
Keaslian Penelitian
34
Tabel 2.2
Karasteritik Responden
52
ix
Halaman
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar
Judul Gambar
Halaman
2.1
Rentang Respon
13
2.2
Kerangka Teori
36
2.3
Fokus Penelitian
37
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Keterangan
1
Lembar Usulan Topik Penelitian
2
Lembar Pengajuan Judul
3
Lembar Pengajuan Izin Studi Pendahuluan
4
Surat Permohonan Studi Pendahuluan
5
Surat Balasan Izin Studi Pendahuluan
6
Lembar Pengajuan Izin Penelitian
7
Surat Balasan Penelitian
8
Surat Penjelasan Penelitian
9
Surat Persetujuan Menjadi Partisipan
10
Pedoman Wawancara
11
Transkip Wawancara
12
Analisa Data Tematik
13
Lembar Konsultasi
14
Jadwal Penelitian
15
Foto Wawancara/Penelitian
.
xi
PROGRAM STUDI TRANSFER S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015 Arifin Puguh Waskitho
Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Perilaku Kekerasan Di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali
Abstrak
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Penderita gangguan jiwa seberat apapun bisa pulih asalkan mendapatkan pengobatan dan dukungan psikososial yang dibutuhkannya. Penelitian ini untuk mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien dengan perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan menggunakan pendekatan deskriptif fenomenology. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling. Partisipan dalam penelitian ini adalah 3 anggota keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. Teknik analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan metode Collaizi Keluarga memberi peran yang baik terhadap pasien dengan gangguan jiwa perilaku kekerasan. Didapatkan tema antara lain memberikan dukungan finansial dan dukungan emosional, menjaga kepatuhan dalam minum obat, memberikan perhatian, memahami perasaan, memperdulikan, menjaga perasaan, memberikan kesempatan dan memeriksakan pasien secara rutin. Dalam penelitian ini bentuk dukungan finansial yang diberikan oleh keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan berupa membiayai pengobatan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Penderita gangguan jiwa seberat apapun bisa pulih asalkan mendapatkan pengobatan dan dukungan psikososial yang dibutuhkannya. Mereka bisa pulih dan kembali hidup di masyarakat produktif, baik secara ekonomis maupun secara sosial.
Kata Kunci : Peran keluarga, dukungan keluarga, perilaku kekerasan Daftar Pustaka : 36 (2005-2015)
secara
BACHELOR PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA HEALTH SCIENCE COLLEGE OF SURAKARTA 2015 Arifin Puguh Waskitho
Family’s Role in the Healing Process of Violent Behavior Patients at Wisma Budi Makarti Psychiatric Rehabilitation Center of Boyolali ABSTRACT
Violent behavior is a condition where people perform actions that can physically endanger either themselves or others. Any heavy psychiatric disorders can be recovered as long as they get treatment and psychosocial support they need.The objective of this research is to investigate the family’s role in the healing process of violent behavior patients at Wisma Budi Makarti Psychiatric Rehabilitation Center of Boyolali. This research used qualitative method with desctiptive phenomenologycal approach. The samples of resarch were 3 family members of the violent behavior patients at Wisma Budi Makarti Psychiatric Rehabilitation Center of Boyolali and were taken by using the purposive sampling technique. The data of research were analyzed by using the Collaizi’s method. The result of research shows that there were seven themes, namely: providing financial support and emotional support, maintaining the obedience in taking medication, giving attention, understanding their feelings, caring, keeping their feeling, giving patients a chance and checked regularly. Thus, family gave a good role on the violent behavior patient. The supports given by the family were paying for the medication of the patients and attending their daily needs. Whatever the severity of their disease, they could get recovered and return to live productively in community, both economically and socially.
Keywords : Family’s role, family’s support, violent behavior References : 36 (2005-2015)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Keperawatan jiwa menurut American Nurses Association (2007) adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (Kusumawati dan Hartono, 2010). Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik meliputi perawatan langsung, komunikasi
dan
manajemen,
bersifat
positif
yang
menggambarkan
keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadian yang bersangkutan (Sudirman, 2008). Gangguan jiwa merupakan proses interaksi yang kompleks antara faktor genetik, faktor organo-biologis, faktor psikologis serta faktor sosio-kultural. Telah terbukti bahwa ada korelasi erat antara timbulnya gangguan jiwa dengan kondisi sosial dan lingkungan dimasyarakat sebagai suatu “stressor psikososial”. Kini masalah kesehatan tidak lagi hanya menyangkut soal angka kematian atau kesakitan melainkan juga mencakup berbagai kondisi psikososial yang berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat termasuk taraf kesehatan jiwa masyarakat (Yosep, 2007).
1
2
Badan Kesehatan Dunia WHO (2001) menyebutkan angka kejadian gangguan jiwa diperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18 sampai 21 tahun (Hawari, 2007). Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 sampai 30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa. Diperkirakan bahwa 2% sampai 3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan dirumah sakit dan jika penduduk indonesia berjumlah 120 juta orang maka ini berarti bahwa 120 ribu orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit. Padahal yang tersedia sekarang hanya kira-kira 10.000 tempat tidur (Yosep, 2007). Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi gangguan mental emosional berjumlah 11,6% dari populasi orang dewasa. Bila dihitung menurut jumlah populasi orang dewasa Indonesia sebanyak lebih kurang 150.000.000 orang berarti terdapat 1.740.000 orang yang mengalami gangguan mental emosional (Depkes RI, 2010). Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama, baik di negara maju maupun negara berkembang. Gangguan jiwa tidak hanya dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun juga menimbulkan ketidak mampuan individu untuk
3
berperilaku tidak produktif. Salah satu bentuk masalah gangguan mental emosional yang dialami sebagian besar pasien adalah perilaku kekerasan. Pasien dapat melakukan perilaku kekerasan kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri (Hawari, 2009). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Perilaku kekerasan sering disebut gaduh gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol (Yosep, 2007). Melihat dari dampak dan kerugiannya, perilaku kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang dihadapi seseorang. Jadi perilaku kekerasan dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan (Keliat, 2007). Penderita
gangguan
jiwa
seberat
apapun
bisa
pulih
asalkan
mendapatkan pengobatan dan dukungan psikososial yang dibutuhkannya. Mereka bisa pulih dan kembali hidup di masyarakat secara produktif, baik secara ekonomis maupun secara sosial. Sebagian besar dari mereka bisa terbebas dari keharusan minum obat. Hanya saja, seperti juga kesehatan badan, kesehatan jiwa tetap harus dipelihara dan ditingkatkan.Tanpa pemeliharaan, baik kesehatan fisik maupun jiwa seseorang bisa kembali jatuh sakit (Setiahadi, 2014). Peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien gangguan jiwa, diantaranya: memberikan bantuan utama terhadap penderita gangguan jiwa,
4
pengertian dan pemahaman tentang berbagai manifestasi gejala-gejala sakit jiwa yang terjadi pada penderita, membantu dalam aspek administrasi dan finansial yang harus dikeluarkan dalam selama proses pengobatan penderita, untuk itu yang harus dilakukan oleh keluarga adalah nilai dukungan dan kesediaan menerima apa yang sedang dialami oleh penderita serta bagaimana kondisi kesehatan penderita dapat dipertahankan setelah diklaim sehat oleh tenaga psikolog, psikiater, neurolog, dokter, ahli gizi dan terapis dan kembali menjalani hidup bersama keluarga dan masyarakat sekitar (Salahuddin, 2009). Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah disebut keluarga batih. Sebagai unit pergaulan terkecil yang hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu (Soerjono, 2004). Terdapat beberapa fungsi pokok antara lain asih, asuh dan asah. Asih adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan meraka tumbuh dan berkembang sesuai kebutuhan dan usianya. Asuh adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan agar kesehatan selalu terpelihara sehingga sehat fisik, mental, sosial dan spiritual. Asah adalah memenuhi
5
kebutuhan pendidikan sehingga siap menjadi manusia yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya (Sudiharto, 2007). Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan seperti affection, security and acceptance, identity and satisfaction, affiliation and companionship, socialization dan controls,hal tersebut merupakan medan kontrol yang memberikan dan berkontribusi terhadap derajat sehat atau sakitnya anggota keluarga yang lain terhadap persoalan fisik, psikis, sosial atau spiritual yang dihadapi, terlebih ketika dia menghadapi persoalan gangguan kejiwaan yang bersifat patologis (Padila, 2012). Hasil penelitian Wuryaningsih, dkk (2013) yang meneliti tentang “Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ” menunjukkan bahwa terdapat 5 tema yang menggambarkan pengalaman keluarga tersebut yaitu pengetahuan keluarga terhadap riwayat perilaku kekerasan, kepekaan keluarga terhadap pencetus kekambuhan, cara pengendalian pasien untuk mencegah kekambuhan, kepedulian keluarga sebagai upaya pencegahan kekambuhan, dan kepasrahan dalam menerima kondisi pasien. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali tanggal 31 Desember 2014 dengan dua orang keluarga pasien yang mempunyai keluarga dengan perilaku kekerasan, diketahui bahwa saat mengalami kekambuhan di rumah, pasien menunjukkan perilaku
kekerasan
seperti
mengamuk,
berteriak,
berbicara
kasar,
6
memecahkan barang, mengganggu atau memukul orang lain. Keluarga mengatakan tidak mengetahui bagaimana cara menenangkan pasien, sehingga cenderung membiarkan pasien mengurung pasien di dalam kamar sampai tenang. Keluarga pasien mengatakan bahwa keluarga menjauhi, menghindari dan membenci pasien dengan perilaku kekerasan.Keluarga juga mengatakan enggan mengajak pasien berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat karena perilaku kekerasan bisa munculpada saat pasien berinteraksi. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali”. 1.2. Rumusan Masalah Pasien dengan perilaku kekerasan memerlukan asih dan asuh dalam proses penyembuhannya maka keluarga menjadi alternatif pertama dalam pemberian asih dan asuh guna memberikan dukungan mental dan emosional bagi pasien sehingga pasien lebih merasa nyaman, aman, tenang, merasa diperhatikan dan tidak berperilaku kekerasan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti akan melakukan penelitian di Yayasan Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti dengan permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut: “Bagaimana peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien perilaku kekerasan di Panti Rehabillitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali?”.
7
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien dengan perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. 1.3.2. Tujuan Khusus Mengetahui peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali.: 1. Mengidentifikasi peran keluarga dalam memberikan dukungan 2. Mengetahui peran keluarga dalam pengawasan minum obat 3. Mengetahui peran keluarga mengontrol emosi 4. Mengidentifikasi
upaya
keluarga
dalam
pencegahan
kekambuhan 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi institusi Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak institusi dalam memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien dengan perilaku kekerasan. 1.4.2. Bagi mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi mahasiswa dalam menangani pasien dengan perilaku kekerasan serta sebagai masukan
8
dalam memberikan penyuluhan kepada keluarga pasien dengan perilaku kekerasan. 1.4.3. Bagi rumah sakit atau panti rehabilitasi mental Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit khususnya tenaga kesehatan perawat dalam merawat dan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan. 1.4.4. Bagi Keperawatan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi tentang penanganan pasien dengan perilaku kekerasan menggunakan pendekatan keluarga atau SP keluarga. 1. 4.5 Bagi Keluarga Penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi anggota keluarga pasien yang mengalami gannguan jiwa perilaku kekerasan dalam melakukan SP keluarga.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teori 2.1.1. Keperawatan Jiwa Keperawatan jiwa menurut American Nurses Association (2007) adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (Kusumawati dan Hartono, 2010). Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik antara lain adalah perawatan langsung, komunikasi dan manajemen,
bersifat positif
yang
menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan
kepribadian
yang
bersangkutan
(Sudirman, 2014). Gangguan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama, baik di negara maju maupun negara berkembang. Gangguan jiwa tidak hanya dianggap sebagai gangguan yang
menyebabkan
kematian
secara
langsung,
namun
juga
menimbulkan ketidakmampuan individu untuk berperilaku tidak produktif (Hawari, 2009). Salah satu bentukmasalah gangguan mental emosional yang dialami sebagian besar pasien adalah perilaku
9
10
kekerasan. Pasien dapat melakukan perilaku kekerasan kepada orang lain, lingkungan maupun terhadap dirinya sendiri (Salahudin, 2009). Kriteria sehat jiwa menurut Jahoda (2000), individu yang sehat jiwa ditandai dengan hal-hal seperti sikap positif terhadap diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, integrasi, otonomi, persepsi realitas dan kecakapan dalam beradaptasi lingkungan (Herman, 2005). 2.1.2. Perilaku Kekerasan 2.1.2.1. Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati dan hartono, 2010). Menurut Keliat (2010) perilaku kekerasan merupakan salah satu respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang yang dapat menimbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Perilaku kekerasan adalah salah satu respon terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan perilaku kekerasan baik pada diri sendiri atau orang lain dan lingkungan secara verbal dan non verbal (Stuart dan Laraia, 2005).
.
11
2.1.2.2. Tanda dan Gejala Menurut Stuart dan Laraia (2005) perilaku kekerasan dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain : 1. Motorik: mondar mandir, ketidakmampuan untuk duduk diam, tangan mengepal atau meninju, rahang mengatup, pernafasan meningkat, tiba-tiba menghentikan aktifitas motorik (kataton), merusak benda dan melukai orang lain. 2. Verbalisasi: mengancam
kearah
objek
nyata,
meminta
perhatian yang mengganggu, suara keras dan tertekan, ada isi pikir delusi dan paranoid. 3. Afek: marah, bermusuhan, sangat cemas, mudah tersinggung, perasaan senang berlebihan atau tidak sesuai dengan emosi labil. 4. Tingkatkan kesadaran: sadar, tiba-tiba perubahan status mental, disorientasi, gangguan daya ingat, ketidakmampuan mengikuti petunjuk. Menurut Herman (2011) tanda dan gejala perilaku kekerasan meliputi, antara lain: 1. Fisik Mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
12
2. Verbal Mengancam,
mengumpat
dengan
kata-kata
kotor,
berbicara dengan nada keras dan kasar 3. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri atau orang lain, merusak lingkungan, amuk atau agresif. 4. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terngganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut. 5. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme. 6. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan kreatifitas terhambat. 7. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran. 8. Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melaukan penyimpangan seksual.
13
2.1.2.2. Rentang Respons
Respon Adaptif
Asertif
Frustasi
Respons Maladaptif
Pasif
Agresif
Kekerasan
Gambar 2.1 Rentang Respon (Herman, 2011) Keterangan : 1. Asertif Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan. 2. Frustasi Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak dapat menemukan alternatif. 3. Pasif Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya. 4. Agresif Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol. 5. Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.
14
2.1.2.3. Faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada pasien ganggungan jiwa meliputi, antara lain: 1. Faktor Predisposisi Menurut Riyadi dan Purwanto (2009) ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan: a. Teori Biologik Teori biologik terdiri dari beberapa pandangan yang berpengaruh terhadap perilaku: 1) Neurobiologik Ada tiga area pada otak yang berpengaruh terhadap proses impuls agresif: sistem limbik, lobus frontal dan hypothalamus.
Neurotransmitter
juga
mempunyai
peranan dalam memfasilitasi atau menghambat proses impuls
agresif.
Sistem limbik
merupakan sistem
informasi, ekspresi, perilaku, dan memori. Apabila ada gangguan pada sistem ini maka akan meningkatkan atau menurunkan potensial perilaku kekerasan. Adanya gangguan pada lobus frontal maka individu tidak mampu membuat keputusan, kerusakan pada penilaian, perilaku tidak sesuai dan agresif. Beragam komponen dari sistem neurologis mempunyai implikasi memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Sistem limbik terlambat dalam menstimulasi timbulnya perilaku agresif. Pusat
15
otak atas secara konstan berinteraksi dengan pusat agresif. 2) Biokimia Berbagai
neurotransmitter
(epinephrine,
norepinefrine, dopamine, asetikolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi atau menghambat impuls agresif. Teori ini sangat konsisten dengan fight atau flight yang dikenalkan oleh Selye dalam teorinya tentang respons terhadap stress. 3) Genetik Penelitian membuktikan adanya hubungan langsung antara perilaku agresif dengan genetik karyotype XYY. 4) Gangguan Otak Sindroma otak organik terbukti sebagai faktor predisposisi perilaku agresif dan tindak kekerasan. Tumor otak, khususnya yang menyerang sistem limbik dan lobus temporal; trauma otak, yang menimbulkan perubahan serebral; dan penyakit seperti ensefalitis, dan epilepsy,
khususnya
lobus
temporal,
terbukti
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
16
b. Teori psikologik 1) Teori Psikoanalitik Teori
ini
menjelaskan
tidak
terpenuhinya
kebutuhan untuk mendapatkan kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri rendah. Agresi dan tindak kekerasan memberikan kekuatan dan prestis yang dapat meningkatkan citra diri dan memberikan arti dalam kehidupannya. Perilaku agresif danperilaku kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaan dan rendahnya harga diri. 2) Teori pembelajaran Anak belajar melalui perilaku meniru dari contoh peran mereka, biasanya orang tua mereka sendiri. Contoh peran tersebut ditiru karena dipersepsikan sebagai prestis atau berpengaruh, atau jika perilaku tersebut diikuti dengan pujian yang positif. Anak memiliki persepsi ideal tentang orang tua mereka selama tahap perkembangan awal. Namun, dengan perkembangan yang dialaminya, mereka mulai meniru pola perilaku guru, teman, dan orang lain. Individu yang dianiaya ketika masih kanakkanak atau mempunyai orang tua yang mendisiplinkan
17
anak mereka dengan hukuman fisik akan cenderung untuk berperilaku kekerasan setelah dewasa. 3) Teori Sosiokultural Pakar sosiolog lebih menekankan pengaruh faktor budaya dan struktur sosial terhadap perilaku agresif. Ada kelompok sosial yang secara umum menerima perilaku kekerasan
sebagai
cara
untuk
menyelesaikan
masalahnya. Masyarakat juga berpengaruh pada perilaku tindak kekerasan, apabila individu menyadari bahwa kebutuhan dan keinginan mereka tidak dapat terpenuhi secara konstruktif. Penduduk yang ramai /padat dan lingkungan yang ribut dapat berisiko untuk perilaku kekerasan.
Adanya
keterbatasan
sosial
dapat
menimbulkan kekerasan dalam hidup individu. 2.1.2.4. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan (Yosep, 2009): 1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal dan sebagainya. 2. Ekspresi diri, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
18
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melalukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. 4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan dirinya sebagai seorang yang dewasa. 5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. 6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga. 2.1.2.5. Penanganan perilaku kekerasan dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain (Keliat, 2009): 1. Penanganan Intervensi keperawatan yang diberikan pada klien riwayat perilaku kekerasan dengan terapi generalis dan terapi spesialis. Terapi generalis meliputi tujuan khusus dan strategi komunikasi untuk klien, sedangkan terapi spesialisnya meliputi: Cognitif Behavioral Therapy, Assertive Training. Terapi keluarga meliputi: Family Psycho Education dan terapi kelompoknya Therapy Supportif Group.
19
Penanganan intervensi keperawatan pada klien perilaku kekerasan dengan memberikan strategi komunikasi pada klien meliputi : a. Intervensi keperawatan pada klien perilaku kekerasan Bertujuan untuk mengontrol perilaku kekerasannya, dengan cara: 1) Bersama klien mendiskusikan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan 2) Bersama klien mendiskusikan akibat dan perilaku kekerasan yang dilakukan 3) Bersama klien mendiskusikan cara mengontrol dan melatih perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (tarik nafas dalam) dan fisik 2 (melakukan aktivitas yang disukai) 4) Bersama klien melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal 5) Bersama klien melatih cara
mengontrol
perilaku
kekerasan dengan cara spiritual 6) Bersama klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara patuh minum obat 7) Bersama klien menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian
20
8) Bersama klien mengevaluasi jadwal kegiatan harian yang sudah dibuat dan dilaksanakan. b. Intervensi keperawatan yang diberikan pada Keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan Bertujuan agar keluarga mampu merawat klien dengan perilaku kekerasan, dengan hubungan dukungan cara : 1) Bersama
keluarga
mendiskusikan
masalah
yang
dirasakan keluarga dalam merawat pasien. 2) Bersama
keluarga
menyamakan
persepsi
definisi
perilaku kekerasan tanda dan gejala, proses terjadinya perilaku kekerasan. 3) Bersama
keluarga
menyamakan
persepsi
dan
mempraktekkan cara merawat pasien perilaku kekerasan. 4) Bersama keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah termasuk
minum
obat
(discharge
planning)
dan
menjelaskan follow up pasien setelah pulang. c. Intervensi keperawatan dengan terapi kelompok pada pasien perilaku kekerasan Terapi bertujuan untuk merubah perilaku destruktif dan maldaftif menjadi perilaku yang kontruktif, sehingga mampu berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan manfaat terapi kelompok adalah saling berbagi pengalaman, saling
21
membantu menyelesaikan masalah dan mempraktekkan cara marah yang asertif. Terapi kelompok perilaku kekerasan yang diberikan adalah terapi aktivitas kelompok yaitu stimulasi persepsi meliputi: 1) Bersama kelompok mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan; 2) Bersama kelompok belajar mencegah tidak melakukan perilaku kekerasan secara fisik; 3) Bersama
kelompok
belajar
mencegah
perilaku
belajar
mencegah
perilaku
kekerasan secara sosial; 4) Bersama
kelompok
kekerasan dengan spiritual; 5) Bersama kelompok belajar dan mencegah perilaku kekerasan dengan patuh mengkonsumsi obat. 2.1.3. Keluarga 2.1.3.1. Pengertian Keluarga Pengertian keluarga sangat variatif sesuai dengan orientasi teori yang menjadi dasar pendefisiannya.Keluarga berasal dari bahasa Sansekerta (kulo dan warga) kulowarga yang berarti anggota kelompok kerabat.Banyak ahli menguraikan pengertian keluarga sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat. Pendapat yang menganut teori interaksional, memandang keluarga
sebagai
suatu
arena
berlangsungnya
interaksi
22
kepribadian, sedangkan mereka yang berorientasi pada perspektif sistem sosial memandang keluarga sebagai bagian terkecil yang terdiri dari seperangkat komponen yang sangat tergantung dan dipengaruhi oleh struktur internal dan sistem-sistem lain (Padila, 2012). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah angga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai
peran
masing-masing
dan
menciptakan
serta
mempertahankan suatu budaya (Friedman, 2010). Keluarga adalah suatu sistem interaksi emosional yang diatur secara kompleks dalam posisi, peran dan norma yang lebih jauh diatur dalam subsistem didalam keluarga, subsistem ini menjadi dasar struktur atau organisasi keluarga (Harmoko, 2012). Penelitian Solahudin (2009) peran keluarga dalam penyembuhan gangguan jiwa di Yayasan Dian Atmajaya Lawang Kabupaten Magelang menyatakan peran keluarga sangat berkontribusi terhadap kesembuhan klien gangguan jiwa. 2.1.3.2. Tipe Keluarga Menurut Setyowatidan Murwani (2007), keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial maka tipe keluarga berkembang mengikutinya, agar dapat mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan maka
23
perawat perlu mengetahui berbagai tipe keluarga. Berikut ini disampaikan berbagai tipe keluarga : 1. Tipe keluarga tradisional a. Keluarga inti, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung atau anak angkat) b. Keluarga besar, yaitu keluarga inti ditambah keluarga lain yang mempunyai hubungan darah, misalnya kakek, nenek, keponakan, paman, bibi. c. Keluarga Dyad, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari suami dan istri tanpa anak. d. Single Parent, yaitu suatu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua (ayah/ibu) dengan anak (kandung/angkat). Kondisi ini dapat diakibatkan oleh perceraian atau kematian. e. Single Adult, yaitu suatu rumah tangga yang hanya terdiri seorang dewasa (seorang yang telah dewasa kemudian tinggal kost untuk bekerja atau kuliah). 2. Tipe keluarga non tradisional a. The unmarried teenage mather Keluarga yang terdiri dari orang tua (terutama ibu) dengan anak dari hubungan tanpa nikah. b. The stepparent family Keluarga dengan orang tua tiri.
24
c. Commune family Beberapa pasangan keluarga (dengan anaknya) yang tidak ada hubungan saudara hidup bersama dalam satu rumah, sumber dan fasilitas yang sama, pengalaman yang sama: sosialisai anak dengan melalui aktivitas kelompok atau membesarkan anak bersama. d. The non marital heterosexual cohibitang family Keluarga
yang hidup besamadan berganti-ganti
pasangan tanpa melaui pernikahan. e. Gay and lesbian family Seseorang yang mempunyai persamaan sex hidup bersama sebagaimana suami-istri (marital partners) f. Cohibitang couple Orang dewasa yang hidup bersama diluar ikatan perkawinan karena beberapa alasan tertentu. g. Group marriage family Beberapa orang dewasa mengunakan alat-alat rumah tangga bersama yang saling merasa sudah menikah, berbagi sesuatu termasuk sexual dan membesarkan anaknya. h. Group network family Keluarga inti yang dibatasi set aturan atau nilai-nilai, hidup bersama atau berdekatan satu sama lainnya dan saling
25
menggunakan
barang-barang
rumah
tangga
bersama,
pelayanan, dan tanggung jawab membesarkan anaknya. i. Foster family Keluarga menerima anak yang tidak ada hubungan keluarga atau saudara didalam waktu sementara, pada saat orang tua anak tersebut perlu mendapatkan bantuan untuk menyatukan kembali keluarga yang aslinya j. Homesless family Keluarga yang terbentuk dan tidak mempunyai perlindungan yang permanen karena krisis personal yang dihubungkan dengan keadaan ekonomi dan atau problem kesehatan mental. k. Gang Sebuah bentuk keluarga yang destruktif dari orangorang muda yang mencari ikatan emosional dan keluarga yang mempunyai perhatian tetapi berkembang dalam kekerasan dan kriminal dalam kehidupan. 2.1.3.3.
Fungsi Keluarga Menurut Friedman (1998) fungsi keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan perilaku kekerasan seperti affection, security and acceptance, identity and satisfaction, affiliation and companionship,
socialization
dan
controls,
hal
tersebut
merupakan medan kontrol yang memberikan dan berkontribusi
26
terhadap derajat sehat atau sakitnya anggota keluarga yang lain terhadap persoalan fisik, psikis, sosial atau spiritual yang dihadapi, terlebih ketika dia menghadapi persoalan gangguan kejiwaan yang bersifat patologis (Padila, 2012). Friedman (2010) mendefinisikan fungsi dasar keluarga adalah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarganya dan masyarakat yang lebih luas, meliputi : 1. Fungsi afektif adalah fungsi mempertahankan kepribadian dengan memfasilitasi kepribadian orang dewasa, memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga, peran keluarga dilaksanakan dengan baik dengan penuh kasih sayang. 2. Fungsi
sosial
adalah
memfasilitasi
sosialisasi
primer
anggotakeluarga yang bertujuan untuk menjadikan anggota keluarga yang produktif dan memberikan status pada anggota keluarga, keluarga tempat melaksanakan sosialisasi dan interakasi dengan anggotanya. 3. Fungsi reproduksi adalah fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan hidup keluarga, dan menambah sumberdaya manusia. 4. Fungsi ekonomi adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan mengembangkan untuk meningkatkan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya.
27
5. Fungsi perawatan mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar memiliki produktivitas yang tinggi, fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga dibidang kesehatan. 2.1.3.4.
Tugas Keluarga dalam Kesehatan Keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan (Friedman, 2010) yang meliputi: 1. Mengetahui kemampuan keluarga untuk mengenal masalah kesehatan keluarga klien dengan perilaku kekerasan, keluarga perlu mengetahui penyebab tanda-tanda klien kambuh dan perilaku maladaftifnya meliputi keluarga perlu mengetahui pengertian perilaku kekerasan, tanda dan gejalanya, cara mengontrol prilaku kekerasaannya dengan cara minum obat dan cara spiritual. 2. Mengetahui kemampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan keperawatan yang tepat dalam mengatasi anggota keluarga dengan prilaku kekerasan, menanyakan kepada
orang
yang
lebih
tahu,
misalnya
membawa
kepelayanan kesehatan atau membawa untuk dirawat ke rumah sakit jiwa. 3. Mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan yang perlu dikaji pengetahuan tentang akibat lanjut perilaku kekerasan yang dilakukan, pemahaman keluarga tentang cara
28
merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan yang perlu dilakukan oleh keluarga, pengetahuan keluarga tentang alat-alat yang membahayakan bagi anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, pengetahuan keluarga tentang sumber yang dimiliki keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, bagaimana keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan yang membutuhkan bantuan. 4. Mengetahui
kemampuan
keluarga
dalam
memodifikasi
lingkungan, yang perlu dikaji: pengetahuan keluarga tentang sumber-sumber yang dimiliki keluarga dalam memodifikasi lingkungan khususnya dalam merawat anggota keluarga dengan riwayat perilaku kekerasan, kemampuan keluarga dalam memanfaatkan lingkungan yang asertif. 5. Mengetahui kemampuan keluarga menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang berada di masyarakat, yang perlu dikaji pengetahuan keluarga tentang fasilitas keberadaan pelayanan kesehatan dalam mengatasi perilaku kekerasannya. Pemahaman keluarga tentang manfaat fasilitas pelayanan yang berada di masyarakat, tingkat kepercayaan keluarga terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, apakah keluarga mempunyai pengalaman yang kurang tentang fasilitas pelayanan kesehatan,
29
apakah keluarga dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat. Menurut Setyowati dan Murwani (2007), sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan, yaitu: 1. Mengenal masalah kesehatan keluarga Kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu akan tidak berarti dan karena kesehatanlah kadang seluruh kekuatan sumber daya dan dana keluarga habis. Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahan-perubahan yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian keluarga. Apabila menyadari adanya perubahan keluarga, perlu dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya. 2. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat, agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan dapat teratasi. Jika keluarga mempunyai
30
keterbatasan dapat meminta bantuan kepada orang di lingkungan tinggal keluarga agar memperoleh bantuan. 3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan Sering kali keluarga telah mengambil tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh keluarga sendiri. Jika demikian, anggota keluarga
yang
mengalami
gangguan
kesehatan
perlu
memperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak dapat terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama. 4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin keluarga sehat. Modifikasi lingkungan dilakukan agar keluarga merasa nyaman dan aman sehingga perilaku kekerasan tidak timbul. Modifikasi lingkungan yang dapat dilakukan seperti membuat suasana rumah selalu nyaman, aman, tenang, selalu bersih, banyak tanaman dan bunga sebagai aroma terapi serta lingkungan yang bebas dari suasanan keributan. 5. Memanfaatkan fasilitasi kesehatan di sekitarnya bagi keluarga. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas yang ada disekitarnya seperti puskesmas yang dapat digunakan sebagai sumber informasi serta pengobatan awal pada anggota keluarga yang
31
mengalami perilaku kekerasan serta sebagai media rujukan untuk merujuk pasien ke tempat rumah sakit jiwa agar anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasan dapat dirawat dan diobati sesuai dengan penyakit yang dialaminya. 2.1.3.5.
Peran keluarga Peran keluarga menurut beberapa sumber: 1. Keluarga perlu memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa membubuhkan dan mendukung tumbuhnya harapan dan optimisme. Harapan dan optimisme akan menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa, dilain pihak kata menghina memandang rendah dan membubuhkan pesimisme akan bersifat
melemahkan
proses
pemulihan.
Harapan
merupakan pendorong proses pemulihan, salah satu faktor penting dalam pemulihan adalah adanya keluarga, saudara dan teman yang percaya bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan kembali hidup produktif di masyarakat. Mereka bisa memberikan harapan, semangat dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk pemulihan. Melalui dukungan yang terciptanya lewat jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka penderita gangguan jiwa bisa mengubah hidupnya, dari keadaan kurang sehat dan tidak sejahtera menjadi
32
kehidupan yang lebih sejahtera dan mempunyai peranan di
masyarakat.
Hal
tersebut
akan
mendorong
kemampuan penderita gangguan jiwa mampu hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi di masyarakatnya. Harapan dan optimisme akan menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Dilain pihak, kata-kata yang menghina, memandang rendah dan menumbuhkan pesimisme akan bersifat melemahkan proses pemulihan (Setiadi, 2014) 2. Peran keluarga diharapakan dalam perawatan klien gangguan
jiwa
adalah
dalam
pemberian
obat,
pengawasan minum obat dan meminimalkan ekspressi keluarga. Keluarga merupakan unit paling dekat dengan klien dan merupakan “perawat utama” bagi penderita. Keluarga
berperan
dalam
menentukan
cara
atau
perawatan yang diperlukan klien, keberhasilan perawat di
rumah
sakit
akan
sia-sia
jika
kemudian
mengakibatkan klien harus dirawat kembali di rumah sakit (Keliat 1996, dalam Made Ruspawan dkk, 2011). 3. Peran keluarga meengontrol ekspresi emosi keluarga, seperti mengkritik, bermusuhan dapat mengakibatkan tekanan pada klien Andri (2008), pendapat serupa juga diungkapkan David (2003), yang menyatakan bahwa
33
kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting ndalam menimbulkan kekambuhan (Made Ruspawan dkk, 2011) 4. Peran keluarga sebagai upaya pencegah kekambuhan Kepedulian ini diwujudkan cara meningkatkan fungsi afektif yang dilakukan dengan memotivasi, menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi, member tanggung jawab dan kewajiban peran dari keluarga sebagai pemberi asuhan (Wuryaningsih dkk, 2013).
34
2.2.
Keaslian Penelitian Tabel 2.1 Keaslian Penelitian
No 1
Nama Peneliti Muhammad Salahuddin
Judul
Metode
Hasil
Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuh an Pasien Ganggguan Jiwa
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dengan populasi seluruh pasien gangguan jiwa di Yayasan Dian Atma Jaya Lawang dan sampel 4orang, yang diambil secara purposive sampling. Alasan pengambila n sampel ini didasarkan pada pertimbanga n kemudahan dalam proses pengumpula n danketajam an data.
Tema penelitia: Upaya keluarga mencegah kekambuhan pasien ini penelitian menghasilkan: Peran terhadap keluarga proses penyembuhan gangguan pasien jiwaYayasan Dian Atma Jaya Lawang Kabupaten Malang, diantaranya: memberikanbantuan terhadap utama gangguan penderita jiwa, pengertian dan pemahamantentang berbagai manifiestasi sakit gejala-gejala jiwa yang terjadi pada penderita,membantu dalam aspek administratrif dan finansial yang harus dikeluarkan dalamselama proses pengobatan penderita. Hal terpenting yang dilakukan harus adalahnilai dukungan kesedian dan menerima apa yang sedang dialami oleh penderitaserta bagaimana kondisi kesehatan penderita dapat dipertahankan dklaimsehat setelah oleh tenaga psikolog,
35
psikiater, neurolog, dokter, ahli gizi dan terapis dankembali hidup menjalani bersama keluarga dan masyarakat sekitar.
2.
Emi Wuryaningsi h dkk
Studi Fenomolog: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuha n Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisas i RSJ
Penelitian ini menggunan kan pendekatan kualitatif fenomologi deskriptif. Sampel penelitian berjumlah 8 partisipan dengan purposive sampling.A nalisis data menggunak an metode Collaizi.
Tema penelitian: pengetahuan keluarga tentang riwayat perilaku kekerasan Hasil penelitian ini menunjukan keluarga berupaya mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pada pasien gangguan jiwa berat. Upaya keluarga mencegah kekambuhan pasien dengan resiko perilaku kekerasan yaitu kepedulian terhadap keluarga, mengendalikan emosi pasien, dan peka terhadap faktor pencetus kekambuhan.
36
2.3.
Kerangka Teori
Keperawatan Jiwa
Perilaku Kekerasan
Penanganan Perilaku Kekerasan
Respon Perilaku Kekerasan 1. Respon Adaftif 2. Respon Maladatif
1. Mengontrol Perilaku Kekerasan 2. Penkes kepada Keluarga / SP Keluarga 3. Terapi Kelompok
Penyembuhan Perilaku Kekerasan
Intervensi Keluarga
Peran Keluarga : 1. Memberikan dukungan 2. Pengawasan minum obat 3. Mengontrol emosi 4. Kepedulian upaya mencegah kekambhan
Tugas Keluarga: 1. Mengenal Masalah 2. Memutuskan Tindakan 3. Merawat Keluarga 4. Memodifikasi Lingkungan 5. Memanfaatkan Fasilitas Kesehatan
Fungsi Keluarga: 1.Fungsi Afektif 2. Fungsi sosial 3. Fungsi ekonomi 4.Fungsi perawatan Keterangan : : Diteliti : Tidak Diteliti Gambar 2.2. Kerangka Teori
37
2.4.
Fokus Penelitian
Fungsi Keluarga: 1.Fungsi Afektif 2. Fungsi sosial 3. Fungsi ekonomi 4.Fungsi perawatan
Peran Keluarga : 1. Memberikan dukungan 2. Pengawasan minum obat 3. Mengontrol emosi upaya mencegah 4. Kepedulian kekambuhan
Gambar 2.2. Fokus Penelitian
Penyembuhan Perilaku Kekerasan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu pendekatan induktif untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan yang memerlukan keterlibatan peneliti dalam mengidentifikasi pengertian atau relevansi fenomena tertentu terhadap individu (Sutopo, 2006). Menurut Ircham, 2013 penelitian kualitatif menempatkan perhatian pada pembuktian pemahaman yang komprehensif/pemahaman secara holistik dari suatu keadaan sosial dimana penelitian dilakukan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan dengan alasan karena peneliti akan berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Penelitian kualitatif efektif digunakan untuk memperoleh informasi yang spesifik mengenai nilai, opini, perilaku, dan konteks sosial menurut keterangan populasi. Pendekatan fenomenologis merupakan merupakan pendekatan yang berusaha untuk memahami makna dari berbagai peristiwa dan interaksi manusia didalam situasi yang khusus (Sutopo, 2006). Menurut Sutopo, 2006 rancangan fenomenologis ini dilaksanakan dengan melakukan beberapa tahapan. Melakukan studi awal, memantapkan proposal penelitian, melaksanakan penelitian. Pelaksanakan penelitian ada beberapa langkah yang harus dilakukan, diantaranya mempersiapkan
38
39
pengumpulan data, melakukan pengumpulan data, dan melakukan refleksi, mengatur data, melakukan analisis data dan menyusun reduksi data, dan yang terakhir menyiapkan sajian data. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi karena peneliti akanberusaha memahami, menggali secara mendalam dan melakukan wawancara terhadap keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Tempat dan waktu penelitian sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemilihan tempat penelitian harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, sehingga tempat ditentukan
benar-benar
menggambarkan
kondisi
informan
yang
sesungguhnya. Tempat penelitian adalah tempat interaksi informan dengan lingkungannya yang akan membangun pengalaman hidupnya (Saryono & Anggraeni, 2010). 3.2.1. Waktu Penelitian Waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada Februari 2015 sampai 23 Maret 2015.
tanggal 21
40
3.2.2. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. Karena Yayasan Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali
merupakan tempat rehabilitasi yang
dikhususkan untuk pasien dengan gangguan jiwa salah satunya dengan perilaku kekerasan.
3.3. Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah setiap subyek (misalnya manusia, pasien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian adalah semua keluarga yang anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa perilaku kekerasan dan dirawat di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling yaitu pengambilan sampel didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informannya berdasarkan posisi dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasalahan secara mendalam dan dapat dipercaya sebagai sumber data. Pelaksanaan pengumpulan data sesuai dengan sifat peneliti yang lentur dan terbuka, pilihan informan dan jumlahnya dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data (Sutopo, 2006). Afiyanti dan Rachmawati (2014), bahwa fokus penelitian untuk kualitatif adalah pada kedalaman dan
41
besar sampel pada umumnya tidak ditentukan pada usulan penelitian, karena jumlah sampel tidak begitu diperhatikan yang terpenting hasil penelitian sudah sampai titik jenuh atau tersaturasi. Fokus kekhususan penelitian ini keluarga yang anggota keluarganya mengalami gangguan jiwa perilaku kekerasan. Kriteria inklusi sampel pada penelitian ini yaitu: 1. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan perilaku kekerasan 2. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan perilaku kekerasan yang sudah pernah diberi intervensi keperawatan keluarga
3.4. Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data 3.4.1. Instrumen Penelitian Instrument dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu : 1. Instrument inti Peneliti dalam penelitian ini merupakan instrument/alat dalam penelitian, karena peneliti sebagai perencana, penafsir data pengevaluasi hasil penelitian. Peneliti harus paham metode penelitian, penguasaan teori wawancara terhadap bidang yang akan diteliti, dan peneliti siap untuk memasuki objek penelitian, baik secara akademik maupun logistiknya. 2. Instrument penunjang Alat bantu dalam pengumpulan data yang digunakan yaitu lembar alat pengumpul data (meliputi nama, umur, alamat, pendidikan) untuk mencatat identitas informan, alat
42
tulis (buku dan bolpoin) untuk menulis hasil wawancara antara peneliti dan informan, lembar pedoman wawancara dan pertanyaan, alat perekam suara untuk merekam wawancara antara peneliti dan informan. 3.4.2. Prosedur Pengumpulan Data Prosedur yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain (Creswell, 2010): 1. Tahap Persiapan Setelah peneliti mendapat surat izin penelitiaan dari STIKes Kusuma Husada Surakarta, peneliti akan minta izin kepada Yayasan Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali untuk meneliti di tempat tersebut, setelah mendapat izin peneliti akan meminta izin kepada calon partisipan sesuai kriteria inklusi yang ada pada rencana penelitian. Sebelum peneliti melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu melakukan pendekatan kepada partisipan, menjelaskan tujuan yang akan dilakukannya, mengecek instrumenpenunjang seperti alat perekam, lembar pedoman wawancara dan pertanyaan, lembar catatan lapangan, peneliti harus menguasai konsep, latihan wawancara terlebih dahulu dan menguji coba wawancara terlebih dahulu. 2. Tahap Pelaksana Setelah itu wawancara secara mendalam dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan data dan untuk memperkuat
43
penelitiannya. Wawancara semiterstruktur, wawancara ini termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas. Tujuan dari wawancara ini untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara dimintai pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara peneliti mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan. Urutan pertanyaan tergantung pada proses wawancara dan jawaban tiap individu, wawancara ini menggunakan pertanyaan terbuka (Open-ended questions) dan menggunakan bantuan pertanyaan wawancara yang dilakukan selama penelitian. 3. Tahap Terminasi Penulis menulis laporan dan mendokumentasikan hasilnya, dalam penulisan laporan peneliti harus mampu menuliskan setiap frasa kata dan kalimat serta pengertian secara tepat sehingga dapat mendeskripsikan data dan hasil analisa yang telah diambil. Penulis mencatat kembali jika ada data tambahan, peneliti memberikan reward
kepada
partisipan,
peneliti
menyatakan
bahwa
penelitiannya sudah selesai kepada partisipan. 3.5. Analisa Data Analisa data merupakan proses pengumpulan data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dan menulis catatan singkat sepanjang penelitian. Teknik analisa yang dapat digunakan pada penelitian ini adalah
44
dengan menggunakan metode collaizi (Polit, 2006). Adapun langkahlangkah analisa sebagai berikut : 1.
Membuat deskripsi informan tentang fenomena dari informan dalam bentuk narasi yang bersumber dari wawancara.
2.
Membaca kembali secara keseluruhan deskripsi informasi dari informan untuk memperoleh perasaan yang sama seperti pengalaman informan. Peneliti melakukan 3-4 kali membaca transkrip untuk merasa hal yang sama seperti informan.
3.
Mengidentifikasi kata kunci melalui penyaringan pernyataan informan yang signifikan dengan fenomena yang diteliti. Pernyataan-pernyataan yang merupakan pengulangan dan mengandung makna yang sama atau mirip maka pernyataan ini diabaikan.
4.
Memformulasikan arti dari kata kunci dengan cara mengelompokkan kata
kunci
yang
sesuai
pernyataan
penelitian,
selanjutnya
mengelompokkan lagi kata kunci yang sejenis. Peneliti sangat berhatihati agar tidak membuat penyimpangan arti dari pernyataan informan dengan merujuk kembali pada pernyataan informan yang signifikan. Cara yang perlu dilakukan adalah menelaah kalimat satu dengan yang lain. 5.
Mengorganisasikan arti-arti yang telah teridentifikasi dalam beberapa kelompok tema. Setelah tema-tema terorganisir, peneliti memvalidasi kembali kelompok tema tersebut.
45
6.
Mengintegrasikan semua hasil penelitian ke dalam suatu narasi yang menarik dan mendalam sesuai dengan topik penelitian.
7.
Mengembalikan semua hasil penelitian pada masing-masing informan lalu diikutsertakan pada diskripsi hasil akhir penelitian.
3.6. Keabsahan Data Dalam pengujian keabsahan data, metode yang digunakan pada penelitiam ini meliputi : 3.6.1. Pengujian Kredibility Uji kredibilitas data atau kepercayaaan terhadaap data hasil penelitian kualitatif dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan member check. 1. Perpanjangan Pengamatan Peneliti mengecek kembali apakah data yang diberikan selama ini merupakan data yang sudah benar atau tidak. Bila data yang diperoleh selama ini setelah dicek kembali kepada pada sumber data asli atau sumber data lain ternyata tidak benar, maka peneliti melakukan pengamatan lagi yang lebih luas dan mendalam sehingga diperoleh data yang pasti kebenarannya. 2. Meningkatkan Ketekunan Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan, dengan cara tersebut
46
maka kepastian data dan urutan peristiwada dapat direkam secara pasti dan sistematis. 3. Triangulasi a. Triangulasi Sumber Teknik
ini
mengarahkan
peneliti
agar
didalam
pengumpulan data, peneliti wajib menggunakan berbagai sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Artinya, data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Dengan demikian apa yang diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenarannya bila dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya (Sutopo, 2006) b. Triangulasi Metode Teknik ini lebih menekankan pada pengunaan metode pengumpulan data yang berbeda, peneliti menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan informasi secara jelas dan rinci, peneliti juga mengggunakan metode observasi untuk memperkuat hasil dari wawancara yang peneliti lakukan. Memantapkan validitas data mengenai suatu keterampilan seseorang dalam
bidang
tertentu,
kemudian
dilakukan
wawancara mendalam pada informan yang sama, dan hasilnya diuji dengan pengumpulan data sejenis menggunakan teknik
47
observasi pada saat orang tersebut melakukan kegiatan atau perilakunya (Sutopo, 2006) c. Triangulasi Peneliti Triangulais penelitian adalah hasil penelitian baik data ataupun
simpulan
mengenai
bagian
tertentu
atau
keseluruhannya yang bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan dan bahkan sampai simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan
pendapat
yang
pada
akhirnya
bisa
lebih
memantapkan hasil akhir penelitian (Sutopo, 2006). d. Triangulasi Teori Triangulasi
ini
dilakukan
oleh
peneliti
dengan
menggunakan perspektif lebih dari suatu teori dalam membahas
permasalahan
yang
dikaji.Dalam
melakukan
triangulasi ini peneliti wajib memahami teori-teori yang digunakan dan keterikatannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan yang mantap, bisa dipertanggung jawabkan dan benar-benar memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Meski demikian, dalam hal ini peneliti bisa menggunakan suatu teori khusus yang digunakan sebagai fokus utama dari kajiannya secara
48
lebih mendalam dari pada teori lain yang digunakan (Sutopo, 2006). 4. Analisis Kasus Negatif Kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. 5. Menggunakan Bahan Referensi Adanya pendukung untukmembuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti, misalnya data data hasil wawancara perlu didukung dengan adanya rekaman wawancara. Data tentang interaksi manusia, atau gambaran tentang suatu keadaan perlu didukung oleh foto-foto. 6. Mengadakan Membercheck Membercheck adalah
proses pengecekan data
yang
diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuan membercheck untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data. 3.6.2. Pengujian Transferability Merupakan validitas eksternal, menunjukkan derajad ketepatan atau dapat diterapkan hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut diambil.Peneliti dalam membuat laporan harus memberikan
49
uraian yang rinci, jelas sistematis dan dapat dipercaya (Sugiyono, 2009). 3.6.3. Pengujian Dependebility Peneliti
melakukan
audit
terhadap
keseluruhan
proses
penelitian. Dimana pembimbing memantau aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian. Peneliti mulai menentukan masalah/fokus, memasuki lapangan, menentukan sumber data, melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan data, sampai membuat kesimpulan harus dapat ditunjukkan (Creswell, 2010). 3.6.4. Pengujian Konfirmability Penelitian ini telah disepakati oleh orang banyak. Dimana hasil penelitiannya di uji dan dikaitkan dengan proses yang dilakukan peneliti. Dalam penelitian jangan sampai prosesnya tidak ada,tetapi hasilnya ada. Peneliti harus mendapatkan persetujuan dari informan dan menyertakan surat-surat yang sudah diperolehnya, (Creswell, 2010). 3.7. Etika Penelitian Prinsip dasar etik merupakan landasan untuk mengatur kegiatan suatu penelitian.Pengaturan ini dilakukan untuk mencapai kesepakatan sesuai kaidah penelitian antara peneliti dan subjek penelitian. Subjekpada penelitian kualitatif adalah manusia dan peneliti wajib mengikuti seluruh prinsip etik penelitian selama melakukan penelitian (Afiyanti dan Rochmawati, 2014). Berikut aspek etika penelitian:
50
1. Lembar persetujuan (informed consent) Lembar persetujuan merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan partisipan, tujuan peneliti memberikan lembar persetujuan kepada partisipan sebelum penelitian dilakukan adalah supaya partisipan mengerti maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin akan terjadi selama dan sesudah pengumpulan data. Partisipan yang tidak bersedia maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormai hakhak partisipan. 2. Tanpa nama (anonimity) Tanpa nama adalah menjaga kerahasiaan dimana peneliti tidak mencantumkan nama partisipan tetapi peneliti menggunakan inisial atau kode. 3. Kerahasiaan (confidentiality) Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dari partisipan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti dengan cara menyimpang file transcript dan hasil penelitian pada komputer pribadi peneliti.
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Gambaran Tempat Penelitian Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali berdiri pada tanggal 06 September 1989, dengan SIUP Dinas Kesejahteraan Sosial (No 321/orsos/as/2004 ) dengan nama Panti Cacat Mental/Rehabilitasi. Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali mula-mula bernama Panti Budi Makarti berdiri pada tanggal 06 September 1989, di Dk. Ngronggah, Ds. Sanggrahan, Kec.Grogol, Kab. Sukoharjo. Didirikan oleh H. Edy Mulyono. Seiring berkembangnya jumlah pasien maka lokasinya pindah ke Karang Geneng RT 01, RW 03, Boyolali, dan berdiri diatas tanah seluas 5000 m2 dengan SIUP Dinas Kesejahteraan Sosial (No 321/orsos/as/2004) dengan nama Panti Cacat Mental/Rehabilitasi. Sampai saat ini Pasien Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali mencapai 126 pasien dengan jumlah keseluruhan pegawai 35 orang, dengan spesifikasi 15 orang perawat dan Pekerja Sosial Terlatih 20 orang dan konsultasi medis Dokter Spesialis Jiwa 1 orang dan Dokter Umum 1 Orang. 4.2 Karakteristik Responden Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2015. Sampel penelitian adalah 3 anggota keluarga yang mengantar pasien berobat ke Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali.
51
52
Karakteristik responden dalam penelitian ini merupakan salah satu sumber dalam menggambarkan kondisi yang terjadi pada responden saat ini. Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan pendidikan. Selanjutnya karakteristik responden ditampilkan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Karakteristik Responden Kode Informan Informan 1 Informan 2 Informan 3
Umur
Pendidikan
Jenis Kelamin
22 tahun 41 tahun 29 tahun
Mahasiswa S-1 SMA
Perempuan Laki-laki Laki-laki
Karakteristik responden menurut umur menunjukkan semua responden merupakan kelompok produktif yaitu usia antara 20 – 50 tahun. Tingkat pendidikan responden sebagian besar adalah cukup baik yaitu SMA sebanyak 1 responden, mahasiswa 1, 1 responden S1 Ekonomi dan jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 2 responden. 4.3 Data Hasil Penelitian Hasil wawancara kepada responden dan setelah dilakukan analisis terhadap jawaban responden, maka hasil penelitian peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien perilaku kekerasan adalah sebagai berikut: 4.3.1.
Dukungan Keluarga Hasil penelitian untuk mengetahui dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan didapatkan 2 tema yaitu dukungan finansial dan dukungan emosional. Berikut ungkapan dari partisipan :
53
1. Dukungan Finansial Dalam tema dukungan finansial didapatkan sub tema: 1) membiayai pengobatan, 2) mencukupi kebutuhan. Berikut pernyataan dari partisipan: “… ya harus membiayainya, namanya juga keluarga…” (P01) “… pokoknya saya dibiayai sampai kondisinya bagus mas, walaupun dengan biaya sendiri mas …” P(02) Partisipan 1 mengatakan harus membiayai karena pasien merupakan keluarga dan partisipan 2 mengatakan membayai pasien sampai kondisi pasien bagus. “… yaa yang dibutuhkan apa kita belikan…” (P01) “… kita cukupi kebutuhannya misalnya bapak butuh sabun atau perlengkapan mandi kita bawakan …” P(03) Partisipan 1 dan partisipan 3 mengatakan mencukupi kebutuhan pasien. 2. Dukungan Emosional Dalam tema dukungan emosional didapatkan sub tema: 1) memotivasi, 2) bersabar, 3) memberi semangat. Berikut pernyataan dari partisipan: “… bapak yang ngasih motivasi ...” P(01) “… biasanya kita beri motivasi mas ...’’ P(02) Partisipan 1 dan partisipan 2 mengatakan memotivasi pasien perilaku kekerasan. “... ya harus sabar soalnya mas E sulit orangnya… “ P(01)
54
“... harus sabar soalnya masih muda …” P(02) “… saya suruh keluarga sabar, bapak kan juga sudah tua…” P(03) Ketiga partisipan mengatakan bersabar untuk merawatat pasien perilaku kekerasan. “..biasanya bapak menasihatinya, memperhatikannya dan kasih semangat buat mas E... “ (P01) “... yaa saya perhatikan saya beri semangat ...” (P02) Partisipan 1 dan partisipan 2 mengatakan memberikan semangat kepada pasien perilaku kekerasan. 4.3.2.
Peran Keluarga dalam Pengawasan Minum Obat Hasil untuk pengawasan minum obat didapatkan 3 tema 1) pengawasan persiapan, 2) pengawasan dosis, 3) pengawasan ketepatan waktu. 1. Pengawasan persiapan Dalam tema pengawasan persiapan minum obat didapatkan 3 sub tema: 1) disiapkan, 2) ditunggu dan 3) diminum. Berikut pernyataan dari partisipam: “.. pokoknya disiapkan dulu…” P(02) “…wah harus disiapkan …” P(03) Partisipan 2 dan partisipan 3 mengatakan ketika akan memberikan obat kepada pasien harus disiapkan terlebih dahulu. “…ya ditunggu mas...” P(01) “... saya tunggu ...” P(02) “... ditunggu mas, jangan sampai dibuang…” P(03)
55
Ketiga partisipan mengatakan mengatakan obat yang sudah disiapkan ditunggu. “... sampai obatnya diminum, karena Mas E merasa tidak sakit…” P(01) “... sampai benar diminum…” P(02) Partisipan 1 mengatakan sampai obatnya diminum karena pasien merasa tidak sakit, sedangkan partisipan 2 mengatakan sampai benar diminum. 2. Pengawasan Dosis Dalam tema pengawasan dosis didapatkan sub tema yaitu kesesuaian dosis. Berikut pernyataan dari partisipan: “…ya sesuai anjuran perawat dan resep dokternya mas...” P(01) “…ya sesuai resep dokter, biasanya lihat dibungkusnya ada…” (P02)
Partisipan 1 dan partisipan 2 mengatkan pemberian obat sesuai dengan resep yang diberikan dokter dan anjuran dari perawat. 3. Pengawasan ketepatan waktu Ditema pengawasan ketepatan waktu didapatkan sub tema yaitu ketepatan waktu. Berikut pernyataan dari partisipan: “... jangan sampai terlambatlah …” P(01) “… jangan telat mas, kalau telat yaa mungkin gak lama..” P(02)
56
“… kalau bisa jangan sampai terlambat mas…” P(03) Ketiga partisipan mengatakan dalam pemberian obat tidak boleh terlambat. 4.3.3.
Peran Keluarga dalam Mengontrol Emosi Hasil penelitian untuk mengontrol emosi didapatkan tema: 1) bersikap empati dan 2) menciptakan lingkungan yang kondusif. Berikut ungkapan dari partisipan: 1. Bersikap empati Dalam
tema
empati
didapatkan
3
sub
tema:
1).
Memperhatikan, 2) memahami, 3) peduli. Berikut pernytaan dari partisipan: “… ya diperhatikan mas, jangan omong kasar sama mas E…” P(01) “…selalu diperhatikan, disayang bagaimanapun juga dia anak saya…” P(02) Partisipan
1
dan
partisipan
2
mengungkapkan
memperhatikan pasien perilaku kekerasan. “ mencoba memahami apa yang dipikirkannya…“ P(01) “…saya pahami apa yang anak saya mau…“ P(02)
Partisipan 1 dan partisipan 2 mengatkan mencoba untuk memahami apa yang dipikirkan pasien perilaku kekerasan. “… yang penting kepeduliannya terhadap anak saya…” P(02) “… semua keluarga memperdulikan bapak mas …” P(03)
57
Partisipan 2 mengatakan yang penting kepedulian terhadap pasien
perilaku
kekersan
sedangkan
partisipan
no
3
mengatakan semua keluarga peduli terhadap pasien. 2. Menciptakan lingkungan yang kondusif Dalam tema ini didapatkan sub tema yaitu menjaga perasaan pasien. Berikut ungkapan dari partisipan: “… kalau bisa jangan menyingung, harus menjaga perasaan…” P(01) “…yaa anak-anaknya harus menjaga perasaan bapak, kalau ingat ibu ya harus mengalihkan perhatiannya jangan sampai menyinggungnya…” P(03) Partisipan 1 dan partisipan 3 mengatakan harus menjaga perasaan pasien perilaku kekerasan. 4.3.4.
Peran Keluarga dalam Upaya Pencegahan Kekambuhan Hasil penelitian dari upaya penceahan kekambuhan didapatkan 2 tema yaitu: 1) pengalihan perhatian dan 2) upaya mencari pelayanan kesehatan. Berikut ungkapan dari partisipan: 1.
Pengalihan perhatian Dalam tema ini didapatkan sub tema yaitu rekreasi. Berikut pernyataan dari partisipan: “… mengajak anak saya ini jalan-jalan, saya bonceng naik motor keliling desa atau melihat sawah pemandangan, kadang ke bandara…(P02) “… bapak kadang-kadang diajak jalan-jalan ...” P(03)
58
Partisipan 2
mengatakan mengajak pasien jalan-
jalan, partisipan 3 mengatakan kadang jalan-jalan untuk refreshing. 2.
Upaya mencari pelayanan kesehatan Dalam tema ini didapatkan sub tema yaitu periksa, berikut ungkapan dari partisipan: “… 2 minggu dibawa ke panti untuk kontrol mas…” (P01) “… kontrol jangan sampai terlambat lama mas…” (P02) Partisipan 1 mengatakan 2 minggu pasien dibawa ke panti untuk periksa, sedangkan partisipan 2 mengatakan periksa jangan sampai terlambat.
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Dukungan Keluarga Hasil penelitian untuk mengetahui dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan dapat disimpulkan keluarga memberikan dukungan berupa dukungan finansial dan dukungan emosional. 1. Dukungan Finansial Dalam penelitian ini bentuk dukungan finansial yang diberikan oleh keluarga terhadap pasien perilaku kekerasan berupa membiayai pengobatan dan mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Iklima (2010) dalam penelitiannya mengatakan bahwa bentuk dukungan seperti penyediaan materi yang dapat memberikan pertolongan langsung seperti mencukupi kebutuhan, pemberian barang, makanan dan membiayai dapat mengurangi kecemasan karena individu dapat langsung memecahkan masalahnya yang berhubungan dengan materi. Hal ini sesuai pendapat Ruspawan dkk (2011) yang mengatakan salah satu dukungan yang harus dipenuhi kelurga yang mempunyai anggota keluarga dengan skizofrenia adalah dukungan materi, khususnya untuk biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit. 2. Dukungan Emosional Dalam penelitian ini keluarga memberikan dukungan emosional yaitu: memotivasi, bersabar dan memberi semangat. Pendapat serupa
59
60
diungkapkan oleh Yulia (2009) dalam penelitiannya dukungan emosional berupa kasih sayang, menghargai dan pemberian semangat sangat diperlukan, karena dengan memberikan dukungan emosional pasien akan merasa dihargai dan dicintai. Kondisi ini yang memungkinkan pasien gangguan jiwa untuk kooperatif. Pendapat ini diperkuat oleh hasil penelitian Permatasari (2012) yang mengungkapkan bahwa kehangatan dalam keluarga secara tidak langsung meningkatkan kepatuhan pasien. Keluarga yang bersedia untuk membantu individu ketika dibutuhkan serta hubungan antar anggota keluarga memunculkan perasaan dicintai dan mencintai. Intinya adalah bahwa anggota keluarga merupakan orang- orang yang penting dalam memberikan dukungan instrumental, emosional dan kebersamaan dalam menghadapi berbagai peristiwa menekan dalam kehidupan. 5.2.
Pengawasan Minum Obat 1. Pengawasan persiapan Hasil dari wawancara ketiga partisipan disimpulkan bahwa pengawasan persiapam minum obat harus disiapkan, ditunggu dan memastikan obat diminum dikarenakan pasien merasa tidak sakit ataupun pasien merasa dirinya sudah sembuh. Pentingnya peran keluarga dalam pengawasan minum obat sebagaimana dilakukan oleh penelitian Akbar (2008) tentang hubungan dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan penderita skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan
61
bahwa hubungan antara dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan skizofrenia adalah signifikan. Penelitian lain dilakukan oleh Prinda (2010) tentang hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada pasien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara variabel dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial. Hal ini bermakna bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan pasien minum obat. Dapat disimpulkan semakin tinggi dukungan keluarga dalam pengawasan minum obat maka kepatuhan pasien dalam minum obat juga semakin tinggi 2. Pengawasan dosis Hasil penelitian dapat disimpulkan keluarga dalam meberikan obat sesuai dengan dosis yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan. Hal serupa diungkapkan oleh Permatasari (2012) dalam penelitiannya obat yang dapat menyembuhkan penyakit serta tidak menimbulkan efek samping adalah obat yang diminum dengan dosis atau takaran yang tepat. Utuk dosis obat bisa disesuaikan berat badan atau usia. Sebelum minum obat perhatikan dengan seksama pada leaflet atau etiket obat, biasanya tertera jumlah obat yang harus diminum untuk setiap pemakaian. Pendapat ini didukung oleh Nurdiana (2010) dosis obat antipsikotik pada pasien gangguan jiwa dimulai dengan perlahan-lahan dinaikkan, dapat juga
dosis yang rendah lalu
langsung diberi dosis tinggi
62
tergantung pada keadaan pasien dan kemungkinan terjadi efek samping. Sedangkan Kuntarti (2005) mengatakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit boleh diberikan dosis tinggi karena pengawasannya lebih baik. 3. Pengawasan ketetapan waktu Hasil
penelitian
ini
didapatkan
bahwa
keluarga
berusaha
memberikan obat sesuai waktu yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan. Hal serupa dikatakan Yustina (2009) dalam penelitiannya mengatakan terdapat prinsip tepat yang harus dipatuhi dalam pemberian obat, yaitu salah satunya tepat waktu, yaitu a) Mengecek program terapi pengobatan dari dokter, Pastikan pemberian obat tepat pada jadwalnya, misalnya 3 x 1 berarti obat diberikan setiap 8 jam dalam 24 jam ; jika 2 x1 berarti obat diberikan setiap 12 jam sekali, b) Mengecek tanggal kadaluarsa obat, c) Memberikan obat dalam rentang 30 menit sebelum sampai 30 menit setelah waktu yang diprogramkan. Sedangkan peneliti Yudha (2015) mendukung ketepatan waktu pemberian obat dengan mengatakan untuk mendapatkan efek obat yang optimal, obat harus diminum pada waktu yang tepat, beberapa obat mungkin bisa diminum setiap saat tanpa mempengaruhi efeknya, sedangkan obat lain sebaiknya diminum pada saat-saat tertentu. Obat merupakan zat yang memiliki 2 sifat yaitu bersifat menyembuhkan dan bersifat meracuni. Obat bersifat menyembuhkan apabila dikonsumsi dengan cara, dosis, waktu, dan aturan yang tepat.
63
Puspitasai (2009) dalam penelitiannya mengatakan ketepatan waktu dalam pemberian dapat dilakukan dengan mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek tanggal kadaluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30 menit sebelum dan sesudah memberikan obat . Hal ini berbeda dengan yang peneliti temukan bahwa benar waktu menurut mereka diberikan dengan tepat waktu. Tetapi ada sumber lain yang mengatakan bahwa waktu yang benar adalah dimana obat yang diresepkan harus diberikan dalam waktu tertentu sehingga kadar plasma obat dapat dipertahankan. Hal ini menurut peneliti sama dengan yang ditemukan peneliti. Namun ada sumber lain yang mengatakan bahwa jika sebuah prosedur dapat menganggu tidur klien sebaiknya pemberian obat ditunda sampai waktu dimana klien dapat memperoleh manfaat optimal obat 5.3. Peran Keluarga Mengontrol Emosi 1.
Bersikap empati Hasil penelitian untuk mengontrol emosi dapat disimpulkan keluarga bersikap empati dengan memahami, memperhatikan dan peduli. Hal ini sejalan dengan Hartanto (2014) dalam penelitiannya mengatakan keluarga menunjukkan hal yang positif dan baik. Setiap keluarga memberikan dukungan yang membuat penderita gangguan jiwa yaitu anggota keluarganya memperhatikan, peduli dan keluarga selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik agar anggota keluarganya dapat sembuh.
64
Hal ini didukung oleh Nurdiana (2010), dari hasil penelitiannya sikap keluarga terhadap penderita gangguan jiwa baik secara kognitif, afektif dan kecenderungan untuk bertindak menunjukkan bahwa semua keluarga sudah memiliki sikap yang baik dan positif. Ditunjukkan dengan 3 (tiga) karakteristik kemampuan empati yaitu : 1) Mampu menerima sudut pandang orang lain, individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat. 2) Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain, individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar pengakuan saja. 3) Mampu mendengarkan orang lain, mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi.
65
2. Menciptakan lingkungan yang kondusif Peran keluarga yang lain dalam mengontrol ekspresi emosi keluarga dengan menciptakan lingkungan yang kondusif, hal ini sesuai dengan penjelasan yang diungkapkan Fitri (2012) dalam penelitiannya, bahwa ekspresi emosi keluarga seperti mengkritik, bermusuhan dapat mengakibatkan tekanan pada pasien Perilaku kekerasan sehingga dapat meningkatkan kekambuhan
pasien. Pendapat
yang serupa juga
diungkapkan oleh peneliti Solahudin (2009), yang menyatakan bahwa kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam menimbulkan kekambuhan. Pasien yang dipulangkan ke rumah lebih cenderung kambuh pada tahun berikutnya dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan di lingkungan residensial. Pasien yang paling berisiko adalah pasien yang berasal dari keluarga dengan suasana penuh permusuhan, keluarga yang memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, terlalu protektif berlebihan (disebut emosi yang diekspresikan). Penjelasan ini didukung oleh teori menurut Stuart dan Sudden (2007) salah satu faktor predisposisi kekambuhan penyakit skizofrenia adalah lingkungan yang berupa suasana rumah yang tidak nyaman, kurangnya dukungan sosial maupun dukungan keluarga. 5.4.
Upaya Pencegahan Kekambuhan 1. Pengalihan perhatian Hasil
wawancara
mengungkakan
upaya
pencegahan
kekambuhan berupa pengalihan perhatian berupa rekreasi. Rekreasi
66
memberikan efek distraksi atau pengalihan perhatian. Hal serupa dikatakan oleh Permatasari (2012) dalam penelitiananya terapi yang mempergunakan media rekreasi (bermain, olahraga, darmawisata, menonton TV, dan sebagainya), dia mengatakan tujuannya mengurangi ketergangguan emosional dan memperbaiki perilaku melalui diskusi tentang kegiatan rekreasi yang telah dilakukan, sehingga perilaku yang baik diulang dan yang buruk dihilangkan. Meluangkan waktu untuk merawat kesehatan fisik dan mental anggota keluarga lain dengan melakukan rekreasi, rekomendasi ini telah dicantumkan sebelumnya disampaikan melalui pembicaraan dengan subjek penelitian. Rekreasi adalah aktivitas yang dilakukan pada waktu senggang (lapang) yang bertujuan untuk membentuk, meningkatkan kembali kesegaran fisik, mental, pikiran dan daya rekreasi (baik secara individual maupun secara kelompok) yang hilang akibat aktivitas rutin sehari-hari dengan jalan mencari kesenangan, hiburan dan kesibukan yang berbeda dan dapat memberikan kepuasan dan kegembiraan yang ditujukan bagi kepuasan lahir dan batin manusia (Wiyati, dkk, 2010). 2. Upaya mencari pelayanan kesehatan Umumnya
penderita
gangguan
jiwa
enggan
untuk
memeriksakan diri ke dokter, keluarga teman sangat penting dalam menghadapi situasi ini. Hal ini sejalan dengan peneliti Setyowati dan Murwani (2007), yang mengatakan keluarga mampu memanfaatkan fasilitas yang ada disekitarnya seperti puskesmas yang dapat digunakan
67
sebagai sumber informasi serta pengobatan awal pada anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasan serta sebagai media rujukan untuk merujuk pasien ke tempat rumah sakit jiwa agar anggota keluarga yang mengalami perilaku kekerasan dapat dirawat dan diobati sesuai dengan penyakit yang dialaminya. Hasil penelitian keluarga mengatakan pemekriksaan tidak boleh terlambat, harus tepat waktu. Hal ini selajalan dengan penelitian Yudha (2015) dalam penelitian kuantitatif mengunakan desain cross sectional didapatkan lebih banyak responden keluarga yang memiliki sikap negatif dan niat sedang yaitu 42 atau 52,5%. Keluarga setuju bahwa membawa penderita ke poli kesehatan jiwa tepat waktu merupakan hal yang penting dalam kepatuhan kontrol yaitu sebesar 48 responden atau 60%, lebih banyak responden menganggap melakukan kontrol merupakan pemberian kesembuhan pada penderita skizofrenia agar dapat sembuh dari penyakit yaitu sebanyak 38 responden atau 47,5%. Penderita gangguan jiwa seberat apapun bisa pulih asalkan mendapatkan
pengobatan
dan
dukungan
psikososial
yang
dibutuhkannya. Mereka bisa pulih dan kembali hidup di masyarakat secara
produktif, baik secara ekonomis maupun secara sosial.
Sebagian besar dari mereka bisa terbebas dari keharusan minum obat. Hanya saja, seperti juga kesehatan badan, kesehatan jiwa tetap harus dipelihara dan ditingkatkan. Tanpa pemeliharaan, baik kesehatan fisik maupun jiwa seseorang bisa kembali jatuh sakit (Setiahadi, 2014).
BAB VI PENUTUP
Bagian ini merupakan bagian akhir dari laporan hasil penelitian yang menjelaskan kesimpulan dan saran. Kesimpulan yang dibuat berdasarkan kategori yang ada dan tema-tema yang telah ditemukan dalam penelitian tentang peran keluarga terhadap proses penyembuhan pasien dengan perilaku kekerasan di Panti Rehabilitasi Mental Wisma Budi Makarti Boyolali. Saran pada bab ini dibuat bagi perawat, bagi
rumah sakit, institusi pendidikan, peneliti lain, peneliti dan
keluarga. 6.1. Kesimpulan 1. Dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan Peran keluarga memberi dukungan terhadap proses penyembuhan menunjukkan bahwa keluarga telah memberikan peran yang baik. Hal tersebut berupa dukungan finansial dan dukungan emosional. Dukungan finansial seperti mencukupi kebutuhan dan membiayai pengobatan. Memberikan
dukungan
emosional
seperti
memotivasi,
bersabar,
mendengarkan, dan memberi semangat. 2. Peran keluarga dalam pengawasan minum obat Peran keluarga dalam pengawasan minum obat adalah baik, yaitu peran keluarga dalam pengawasan minum obat menunjukkan keluarga menjaga kepatuhan pasien dalam minum obat dengan menyiapkan obat,
68
69
menunggu pasien minum obat, memastikan obat diminum pasien, pengawasan dosis, serta ketepatan waktu dalam minum obat. 3. Peran Keluarga mengontrol emosi pasien Peran keluarga dalam mengontrol emosi pasien telah dilakukan dengan bersikap empati yaitu dengan memperhatikan pasien, memahami perasaan
pasien,
dan
memperdulikan
pasien,
serta
menciptakan
lingkungan yang kondusif dengan menjaga perasaan pasien. 4. Peran Keluarga dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien perilaku kekerasan Peran keluarga dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien perilaku kekerasan adalah baik, yaitu dengan memberikan kesempatan rekreasi agar pasien merasa senang, serta menjalankan fungsi keluarga sebagai pemeliharaan kesehatan dengan cara memeriksakan pasien secara rutin. 6.2. Saran 1. Bagi institusi Pendidikan Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar teori tentang pentingnya peran keluarga dalam upaya pencegahan kekambuhan pasien perilaku kekerasan. 2. Bagi Mahasiswa Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi mahasiswa dalam mempelajari perilaku kekerasan serta peran keluarga dalam pencegahan kekambuhan pasien perilaku kekerasan. Mahasiswa hendaknya senantiasa
70
meningkatan pengetahuan mereka dan melakukan kegiatan kepada masyarakat dengan memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang perawatan pasien perilaku kekerasan. 3. Bagi rumah sakit atau panti rehabilitasi mental Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit khususnya tenaga kesehatan perawat dalam merawat dan melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan perilaku kekerasan. 4. Bagi Perawat Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi tentang penanganan pasien dengan perilaku kekerasan menggunakan pendekatan keluarga atau SP keluarga. 5. Bagi Keluarga Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan keluarga guna menngembangkan terapi suportif pada pasien gangguan jiwa perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, M. 2008. Hubungan dukungan sosial keluarga terhadap tingkat kekambuhan penderita skizofrenia di RS Grhasia Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia. International Journal of Social Psychiatry. http://isp.sagepub.com
Afiyanti, Yantidan Nurrochmawati, Imami. 2014. Metodelogi Penelitian Kualitatif Dalam Riset Keperawatan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Creswell, J.W (2010). Research
Desaign Kuantitatif, Kualitatif and mixed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Depkes RI. (2010). Pedoman pelayanan rehabilitsai medik di rumah sakit. Diperoleh pada tanggal 09 Desember 2014 dari: http://www.depkes.go.id
Fitri. 2012. Hubungan Persepsi Keluarga Tentang Gangguan Jiwa Dengan Sikap Keluarga Pada Anggota Keluarga Yang Mengalami Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Naskah Publikasi. FIK UMS.
Friedman, M.M, Bowden, V.R & Jones, Elaine, G. (2010). Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktek: alih bahasa ,Achir Yani S, Hami (et al): editor edisi bahasa Indonesia, Estu Tiar, Ed.5, Jakarta: EGC
Harmoko. (2012). Asuhan Keperawatan Keluarga.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hartanto, Dwi. 2014. Gambaran dan Sikap keluarga Terhadap Gangguan Skizofreinia di Kecamatan Kartasuro. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Tidak dipublikasikan.
Hawari, D.M.(2007). Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofreni. Jakarta: FK-UI.
Herman S.D, Ade. 2005. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika
Iklima. 2010. Peran Orang Tua Dalam Proses Penyembuhan Pasien Di Rumah Sakit Jiwa Dr.Soehato Heerdjan Jakarta. Naskah Publikasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.http://repository.uinjkt.ac.id/
Ircham, Machfoedz. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Fitramaya: Yogyakarta
Keliat, B.A., (2009). Pemberdayaan Klien Dan Keluarga Dalam Merawat Klien Skizfrenia Dengan Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa Pusat Bogor. tidak dipublikasikan.
Kuntarti, 2005.Tingkat Penerapan Prinsip Enam Tepat dalam pemberian obat oleh Perawat. FKUI
Ruspawan Made, Dewa, Nengah Sumirta, I, Luh Putu Yuliawati, Ni.(2011). Peran Keluarga Dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia.Jurnal Keperawatan Poltekes Denpasar. Tidak Dipublikasikan
Nurdiana. 2010. Korelasi Peran Serta Keluarga Terhadap Tingkat Kekambuhan Klien Skizofrenia.Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 3, No. 1 : STIkes
Muhammadiyah
Banjarmasin.
http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/ diunduh pada tanggal 20-6-2014.
Permatasai Linda. 2012. Gambaran Dukungan Keluarga Yang Diberikan Keluarga Dalam Perawatan Penderita Skizofrenia di Instalasi Rumah Sakit
Jiwa Povinsi Jawa Barat. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran Bandung.
Polit, Denise F & Cheryl Tatano Beck. 2006. Essentials of Nursing Research: Methods, Appraisal, and zutilization 6th ed. Lippincott William & Wilkins, A Wolter Kluwer Company: Philadelphia.
Puspitasari, Esti. (2009). Penderita
Peran Dukungan Keluarga dalam Penanganan
Skizofrenia
Skripsi
Sarjana
Psikologi.
Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Prinda. 2010. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Keberfungsian Sosial Pada Pasien Skizofrenia Pasca Perawatan Di Rumah Sakit. Naskah publikasi. UNDIP Semarang. http//:eprint.undip.ac.id diunduh pada tanggal 21-6-2015 pukul 10.00.
Riyadi, Sujono dan Teguh Purwanto. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta :GrahaI lmu.
Saryono dan Anggraeni, Mekar Dwi. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif dalam Bidang Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.
Setiadi. 2014. Pemulihan Gangguan Jiwa: Pedoman Bagi Penderita, Keluarga dan Relawan. Tidak dipublikasikan.
Setyowati dan Murwani.(2007). Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta: Sagung Seto
Solahudin, Muhammad. (2009). Peran Keluarga Terhadap Proses Penyembuhan Pasien Gangguan Jiwa Kabupaten Magelang. Skripsi: fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri. Tidak dipublikasikan.
Stuart & Laraia. (2005). Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 5. Jakarta: EGC
Sudiharto.2007.
Asuhan
Keperawatan
Keluarga
Dengan
Pendekatan
keperawatan Trnaskultural. Jakarta: EGC
Sudirman.(2014). Faktor Presipitasi yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku Kekerasan pada Klien Gangguan Jiwa di BPRS Dadi Provinsi Sulawesi Selatan.Jurnal Keperawatan Jiwa. Volume 3.Nomor 6.
Sugiyono.(2009). Memahami Penelitian Kuantitatf dan Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Sutopo, 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Yudha,Tri S, Dr. Ah Yusuf, S.Kp., M.Kes, Hanik Endang.,S.Kep.,Ns.,M.Kep. 2015. Analisis Faktor Kepatuhan Keluarga Dalam Melakukan Kontrol Pada Penderita Skizofrenia Berdasarkan Theory Of Planned Behaviour Di Rumah Sakit Jiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Naskah publikasi Universitas Airlangga Surabaya Yulia Ice Wardani .(2009). Pengalaman Keluarga. Diambil pada tanggal 12 Agustus 2015, dari http://eprints.lib.ui.ac.id/4204/4/125769TESIS0617%20Ice%20N09p-Pengalaman%20Keluarga-Pendahuluan.pdf Yustina Nanik Lestari. 2009. Pengalamam Perawat Dalam Menerapkan Prinsip Enam Benar Dalam Pemberian Obat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Mardi Rahayu Kudus. Tidak dipublikasikan Wiyati Ruti, dkk. 2010. Pengaruh Psikoedukasi keluarga terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien Isolasi Sosial.Jurnal keperawatan Soedirman vol.5 no.2 Wuryaningsih, Emi Wuri, Achir, Yani S. Hamid, Novy. Helena C.D. (2013). Studi Fenomologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku
Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi di RSJ. Jurnal Keperawatan JIwa. VOL.1. NO.2