DUKUNGAN KELUARGA DAN KEKAMBUHAN PASIEN RESIKO PERILAKU KEKERASAN DI RSJD Dr. AMINO GONDOHUTOMO PROPINSI JAWA TENGAH Diyan Yuli Wijayanti, Sri Padma Sari, Rita Hadi W. Universitas Diponegoro Email:
[email protected]
ABSTRACT Violence is one of the symtomps in patients with severe mental disorder. Medical recordin Dr. Amino Gondohutomo hospital 2013th,68% patient with severe mental disorder were relapsed and rehospitalized with violence. The aim of this study was to investigaterelathionship between family care support withfrequency of relapse in patients with nursing diagnosed of Risk of Violence inDr. Amino Gondohutomo mental hospital of central java. The research method was descriptive correlation. The sample were main nursery care giver. The data was gathered by 2 questionnaire: family support andfrequency of relapse. The amount of samples were78 determined by consecutive sampling method. Data analized was univariatewithfrequency distribution and normality data test, while bivariatedata analizedused was one way anova to find out the relathionsipbetween family care support with frequency of relapse. Result showed that 55,1% of family gaveless support. 42,3% patientsrelapsedand rehospitalized 2 times, 30,8% relapsed more than 2 times and 26,9% relapsed justonce. One way anova showed that p-Value was 0,45 (p-value > 0,05), meaning thatthere’s no relathionshipbetween family care support with frequency of relapse in patients with Risk of Violence. The recomendationwasthatfamily should be supplied of knowledge of mental health and nursing carefor violence, so that family can give more support especially in afectiveand emosional support. Key words: violence, family support, relapse ABSTRAK Perilaku kekerasan merupakan salah satu tanda dan gejala pada pasien dengan gangguan jiwa berat. data rekam medik RSJD Dr. Amino Gondohutomo tahun 2013, sebesar 68% pasien gangguan jiwa berat rehospitalisasi atau dirawat kembali karena mengalami kekambuhan dengan munculnya kembali gejala perilaku kekerasan. Tujuan penelitian adalah mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien dengan masalah resiko perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo propinsi Jawa Tengah. Metode penelitian adalah deskriptif korelasi. Sampel adalah keluarga yang merawat pasien sebagai care giver utama.Pengumpulan data menggunakan kuesioner dukungan keluarga.Jumlah pasien 78 dengan tehnik konsekutif sampling.Analisa data menggunakan uji anova untuk mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dan frekuensi kekambuhan. Hasil menunjukkan bahwa 55,1% keluarga memberikan dukungan yang kurang baik. Sejumlah 42,3% pasien mengalami kekambuhan 2 kali, 30,8% kambuh >2 kali dan 26,9% 1 kali. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai p-Value adalah 0,45 (pvalue > 0,05), artinya tidak terdapat hubungan antara dukugan keluarga dengan frekuensi kekambuhan pasien resiko perilaku kekerasan di poliklinik jiwa RSJD Dr. Amino Gondohutomo Propinsi Jawa Tengah.Rekomendasi yang diberikan adalah agar keluarga
lebih dibekali dengan pengetahuan tentang bagaimana perawatan kesehatan jiwa terutama pada pasien resiko perilaku kekerasan dan memberikan dukungan lebih pada aspek afektif dan emosional. Kata kunci: perilaku kekerasan, dukungan keluarga, kekambuhan
PENDAHULUAN
Kekerasan (violence) merupakan suatu
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi
bentuk
sehat emosional, psikologis, dan sosial
behavior) yang bertujuan untuk melukai
yang terlihat dari hubungan interpersonal
seseorang
yang memuaskan, perilaku dan koping
psikologis.Perilaku
yang efektif, konsep diri yang positif dan
dilakukan secara verbal, diarahkan pada
kestabilan emosional kesehatan jiwa
diri
merupakan
bagian
lingkungan.Perilaku
kesehatan
keperawatan
(Videbeck,
2013).
dari
pelayanan psikososial
agresi
secara
sendiri,
(aggressive
fisik
maupun
kekerasan
orang
dapat
lain,
dan
kekerasan
dapat
terjadi dalam dua bentuk, yaitu saat
WHO,
sedang berlangsung perilaku kekerasan
prevalensi masalah kesehatan jiwa di
atau riwayat perilaku kekerasan (Muhith,
Indonesia mencapai 13% dari penyakit
2015).Perilaku
secara keseluruhan dan kemungkinan
salah satu respon terhadap stressor yang
akan berkembang menjadi 25% di tahun
dihadapi oleh seseorang.Respon ini dapat
2030. Hasil Riset Kesehatan Dasar
menimbulkan kerugian baik kepada diri
(Riskesdas) tahun 2013 bahwa prevalensi
sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
gangguan jiwa berat sebesar 4,6 per mil,
Data dari Riset Kesehatan Dasar pada
artinya ada empat sampai lima penduduk
tahun 2013, provinsi di Indonesia dengan
dari 1000 penduduk Indonesia menderita
prevalensi gangguan mental emosional
gannguan jiwa berat. Propinsi Jawa
tertinggi
adalah
Tengah
Tengah
(11,6%),
menduduki
Menurut
perilaku
peringkat
kedua
kekerasan
merupakan
Provinsi
Sulawesi
sedangkan
yang
jumlah penduduk dengan gangguan jiwa
terendah adalah di Provinsi Lampung
berat dengan prevalensi sebesar 3,3 per
(1,2%).
mil, yang artinya ada sekitar 3 penduduk
merupakan salah satu propinsi dengan
dari
jumlah
1000
penduduk
Jawa
Tengah
Propinsi
penduduk
Jawa
yang
Tengah
mengalami
menderita gangguan jiwa berat (Depkes
gangguan mental emosional tertinggi
RI,
yaitu lebih dari 1 juta jiwa penduduk.
2008
dalam
Nuraenah,
2012).
Masalah yang sering muncul pada pasien gangguan jiwa berat adalah perilaku kekerasan (Choe, Teplin, & Abram, 2008 dalam Wuryaningsih dkk, 2013).
Perilaku kekerasan sering menunjukkan perubahan perilaku seperti intonasi suara keras,
mengancam,
ekspresi
tegang,
gaduh, gelisah, tidak bisa diam, mondarmandir, agresif, bicara dengan semangat,
nada
suara
tinggi
dan
gembira
(Kemenkes, 2014). Bila kondisi tersebut
berlebihan.Kekacauan alam fikir juga
tidak
dapat dilihat dari isi pembicaraannya.
perawatan di rumah sakit jiwa, maka
Perubahan lain yang terjadi adalah
dapat
adanya
kemampuan
kekerasan bagi klien itu sendiri hingga
memecahkan masalah, orientasi terhadap
klien menjalani rehospitalisasi di rumah
waktu, tempat, dan orang, serta gelisah
sakit jiwa.
penurunan
(Stuart
dan
Nuraenah,
Laraia,
2012).
2005
Akibat
dalam perilaku
kekerasan bisa melukai atau mencederai diri sendiri atau orang lain, bahkan akan menimbulkan kematian yang dilakukan oleh perilakunya (Videbeck, 2013). Besarnya akibat
dampak
perilaku
tenaga-tenaga
yang
menuntut
klien
pasca
Kekambuhan
merupakan
keadaan
muncul tanda dan gejala yang pernah dialami dan mengakibatkan klien harus dirawat kembali (Andri, 2008).Sebesar 68%
pasien
gangguan
jiwa
dikarenakan
berat
perilaku
kekerasan (Wiyati, Wahyuningsih, & Widayanti,
2010).
Menurut
Widodo
untuk
(2003) salah satu hal yang dapat memicu
perilaku
kekambuhan pada klien dengan resiko
kekerasan dengan cepat dan tepat (Keliat,
perilaku kekerasan yaitu kurangnya peran
dan Akemat, 2006). Meskipun penderita
keluarga dalam merawat klien di rumah
gangguan
menangani
professional
oleh
memicu kekambuhan perilaku
rehospitalisasi
ditimbulkan
kekerasan,
didapatkan
klien
dengan
jiwa
belum
bisa
setelah kembali dari rumah sakit (pasca
100%, tetapi
para
hospitalisasi). Menurut Kamus Besar
penderita gangguan jiwa memiliki hak
Bahasa Indonesia, keluarga adalah sanak
untuk sembuh dan diperlakukan secara
saudara yang bertalian oleh turunan atau
manusiawi. UU RI No. 18 Tahun 2014
saudara yang bertalian oleh perkawinan,
Bab I Pasal 3 tentang Kesehatan Jiwa
orang seisi rumah, anak, suami, atau istri.
disembuhkan
telah dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa bertujuan menjamin setiap orang dapat mencapai
kualitas hidup yang
baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan dan
gangguan
mengganggu
lain
yang
kesehatatan
dapat jiwa
Salah satu peran dan fungsi keluarga adalah memberikan fungsi afektif untuk pemenuhan
kebutuhan
psikososial
anggota keluarganya dalam memberikan kasih sayang (Friedman, 2010).Selain itu, keluarga merupakan sumber pendukung utama bagi klien dengan gangguan jiwa
berat ketika berada di tengah masyarakat
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan
(Maldonado, Urizar, & Kavanagh, 2005;
pada tanggal 17-22 Februari 2016 di
Thompson, 2007 dalam Wuryaningsih
Ruang Gatotkoco RSJD Dr. Amino
dkk,
memiliki
Gondohutomo, dari 20 orang klien
tanggung jawab untuk merawat klien di
dengan diagnosa keperawatan resiko
rumah pasca hospitalisasi.
perilaku kekerasan, terdapat 12 orang
Hasil
2013).Keluarga
studi
juga
fenomenologi
oleh
Wuryaningsih dkk (2013) menyebutkan bahwa keluarga peka terhadap hal-hal yang dapat mencetuskan kekambuhan perilaku kekerasan klien.Hal-hal yang dapat mencetuskan kekambuhan tersebut dikarenakan klien diprovokasi, keinginan klien tidak terpenuhi, dan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.Sikap yang dapat memprovokasi klien pada penelitian ini yaitu konsekuensi dari sikap keluarga seperti bersikap keras, kasar, memukul, memarahi,
dan
membentak
klien.Kepedulian keluarga dapat berupa motivasi, menjadi pendengar yang baik, membuat senang, memberi kesempatan rekreasi, memberikan tanggung jawab, dan kewajiban peran lainnya sebagai pemberi asuhan. Penelitian lain yang dilakukan
oleh
Fawzi
(2013)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara dukungan keluarga dengan perilaku sosial pada pasien dengan perilaku kekerasan di RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang.
klien yang sudah pernah menjalani pengobatan dan perawatan sebelumnya di RSJD
Dr.
Amino
Gondohutomo.
Frekuensi pengobatan dan perawatan sebelumnya bervariasi antara 2 sampai 4 kali menjalani hospitalisasi. Sebanyak 5 orang klien mengatakan kekambuhan disebabkan karena putus obat/obat habis atau jarang minum obat; 2 orang karena merasa kurang mendapatkan perhatian dari keluarga dan lingkungan tempat tinggal; 2 orang karena sering dimarahi oleh
orang
tua;
1
orang
karena
ditelantarkan oleh keluarga dan menjadi gelandangan yang tinggal di pasar, dan 2 orang karena masalah perceraian dengan istrinya. Fenomena yang sama juga ditemui di Ruang Endotrenoyo dimana pasien dengan perilaku kekerasan kurang mendapatkan dukungan dari keluarganya saat berada di rumah, baik dukungan emosional, informasi tentang pengobatan, maupun penerimaan kembali sebagai anggota keluarga. Tujuan Penelitian ini adalah
untuk
mengetahui
hubungan
antara dukungan social keluarga dalam perawatan
kesehatan
jiwa
dengan
frekuensi kekambuhan pasien gangguan
penelitian
jiwa.
sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan
METODE Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan cross sectional, yaitu dengan mengukur variabel dukungan keluarga hanya dilakukan satu kali dan pada satu saat saja. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga dari pasien dengan riwayat perilaku kekerasan yang memeriksakan anggota keluarganya yang sakit
tersebut
di
RSJD
Amino
Gondohutomo semarang sejak bulan Mei 2016 sampai dengan Juni 2016. Jumlah populasi sebanyak 97 orang dengan sampel adalah keluarga pasien dengan riwayat perilaku kekerasan yang periksa di
RSJD
Semarang.
ini
Amino Kriteria
Gondohutomo inklusi
dalam
penelitian ini adalah: 1) keluarga yang merawat pasien yang berperan sebagai care giver utama bagi pasien (Ibu, ayah, pengasuh, adik, kakak, kakek, nenek, paman, tante), 2) anggota keluarga yang sakit adalah pasien yang dirawat dengan diagnose keperawatan:
resiko perilaku
kekerasan, 3) dirawat di RSJ > 1kali, 4) bersedia menjadi responden. Besar sampel sebanyak 78 orang dihitung menggunakan rumus Slovin(n = N / ( 1 + N e² ) = 97 / (1 + 97 x 0,05²) = » 78). Teknik sampling yang digunakan dalam
kriteria
adalah
subjek
inklusi
consecutive
yang
memenuhi
penelitian
yang
dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden yang diperlukan terpenuhi. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan
kuesioner
checklist.
Kuesioner dalam penelitian ini adalah kuesioner tentang dukungan keluarga dalam perawatan kesehatan jiwa pasien dengan masalah perilaku kekerasanyang diadaptasi dari kuesioner penelitian yang dilakukan oleh Sebayang (2011) terdiri atas
2
bagian,
kekambuhan
dan
yaitu
frekuensi
dukungan
sosial
keluarga. Analisis data dilakukan melalui analisis univariat untuk mendeskripsikan variabel-variabel
penelitian,
yaitu
dukungan sosial keluarga dan frekuensi kekambuhan.
Hasil
analisis
ini
ditampilkan dalam bentuk persentase tabel.
Analisa
bivariat
(uji
anova)
digunakan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi
dukungan
keluarga
dengan
kekambuhan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Dukungan Keluarga pada Pasien RPK di Poliklinik Jiwa RSJD Dr. Amino Gondohutomo Prop.Jateng 2016 (n=78) Variabel Dukungan keluarga
Mean 50,88
SD 6,27
Minimum 36
Maksimum 64
Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai rata-
Variabel dukungan keluarga berdistribusi
rata dukungan yang diberikan oleh
normal.
keluarga pada pasien adalah 50,88. Tabel 2 Distribusi Dukungan Keluarga pada Pasien RPK Di Poliklinik Jiwa RSJD Dr. Amino Gondohutomo Prop.Jateng 2016 Dukungan keluarga Kurang baik Baik Total
n 43 35 78
% 55,1 44,9 100,00
Tabel 2 menunjukkan bahwa dukungan
kepada pasien tentang manfaat minum
keluarga dengan kategori kurang baik
obat serta pemberian penghargaan atau
yaitu sebanyak 43 responden (55,1%).
pujian pada pasien untuk meningkatkan
Sedangkan
kemampuan pasien yang positif.
kategori
dukungan keluarga dengan baik
responden
yaitu
(44,9%).
sebanyak Hasil
35
penelitian
menunjukkan bahwa lebih banyak pasien mendapatkan dukungan keluarga yang kurang baik (55,1%) daripada keluarga yang
memberikan
dukungan
baik
sejumlah 44,9%. Dukungan keluarga yang memililiki nilai terendah terlihat pada item tentang tindakan keluarga yang kurang mampu mengingatkan pasien tentang bagaimana caranya mengontrol perasaan
marah
atau
jengkel,
jugakemampuan keluarga mengingatkan
Dukungan sosial keluarga merupakan suatu bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui hubungan interpersonal yang meliputi
perhatian,
emosional
dan
penilaian (Stolte, 2004). Dukungan sosial keluarga terdiri dari tiga komponen, yaitu dukungan emosional,
informasi, dan
dukungan
dukungan fasilitas
(Kaplan dalam Freidman 2010).Keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan klien. Keluarga yang mempunyai anggota keluarga dengan penyakit jiwa,
seperti
RPK,
pengorbanan
mempunyai ekonomi,
tuntunan
sosial,
dan
perbedaan
kelas
sosial
keluarga.
Keluarga dengan kelas sosial tinggi
psikologis yang lebih besar dari pada
memiliki
keluarga normal. Kualitas dan efektifitas
menentukan asuhan keperawatan yang
perilaku keluarga akan membantu proses
diperlukan oleh anggota keluarga yang
pemulihan
klien
mengalami RPK. Hal tersebut sesuai
sehingga status kesehatan klien ikut
dengan pendapat Friedman bahwa yang
meningkat (Madriffa’i, 2015).
dapat mempengaruhi peran keluarga
kondisi
kejiwaan
Hasil penelitian didapatkan sebanyak 43 responden (55,1%) memiliki dukungan sosial keluarga yang kurang baik. Hasil ini dapat menunjukkan bahwa fungsi afektif
pada
keluarga
belum
dapat
kepedulian
dan
cara
antara lain perbedaan kelas sosial, bentuk keluarga,
pengaruh
kebudayaan/etnik,
tahap perkembangan keluarga, dan model peran. Faktor lain yang dapat mempengaruhi
dilakukan secara optimal dalam proses
dukungan
perawatan klien RPK setelah pulang ke
pendidikan. Penelitian yang dilakukan
rumah.
oleh
Fungsi
afektif
keluarga
keluarga
Nuraenah
adalah
(2012)
faktor
menunjukkan
merupakan fungsi internal keluarga untuk
bahwa ada hubungan yang siginifikan
memenuhi kebutuhan psikososial anggota
antara
keluarga,
dukungan keluarga.Tingkat pendidikan
terutama
bagi
anggota
tingkat
pendidikan
keluarganya yang mengalami gangguan
seseorang
jiwa, seperti: saling mengasuh, cinta
kemampuan untuk menyerap informasi,
kasih, kehangatan, dan saling mendukung
menyelesaikan masalah, dan berperilaku
antar anggota keluarga (Friedman, 2010).
baik (Luecknotte, 2000 dalam Nuraenah
Hasil pada penelitian ini sejalan dengan
2012). Menurut Kelliat, upaya perawatan
penelitian yang dilakukan oleh Madriffa’i
yang dapat dilakukan oleh keluarga pada
(2015), dimana sebesar 46% peran
klien
keluarga dalam merawat klien dengan
mengenal marah yang dialami, seperti
skizofrenia
penyebab marah, tanda dan gejala,
berada
dalam
kategori
rendah. Rendahnya nilai dukungan keluarga pada klien RPK setelah pulang ke rumah dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
dapat
dengan
dengan
kerugian
bila
RPK
mempengaruhi
lain
marah;
membantu
memberikan
kesempatan klien untuk mengungkapkan rasa marah dan kesalnya; menganjurkan klien untuk melampiaskan marah dengan
cara positif, seperi nafas dalam atau
0,836 dengan p = 0,00 (< 0,05).
beribadah
itu,
Dukungan
keluarga juga berperan dalam pengobatan
dukungan
lanjutan klien, seperti mengingatkan
instrumental,
untuk
minum obat secara teratur dan
keluarga yang positif sangat dibutuhkan
memfasilitasi untuk kontrol ke pelayanan
dalam perawatan klien dengan RPK
kesehatan sesuai dengan jadwalnya.
untuk
dan
berdoa.
Selain
Kekambuhan pasien dengan gangguan jiwa sering kali disembunyikan oleh keluarga dan dikucilkan agar tidak diketahui
oleh
masyarakat.penelitian
yang dilakukan oleh Ambari (2010) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara
variabel
dukungan
keluarga dengan keberfungsian sosial pada klien skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit dengan nilai korelasi sebesar
yang
diberikan
informasi, dan
emosional,
penilaian.Persepsi
mencegah
Membangun
meliputi
kekambuhannya.
persepsi
positif
pada
keluarga dapat dilakukan dengan cara melakukan penyuluhan kepada keluarga tentang
RPK.
pelayanan
Selain
kesehatan
itu,
tempat
jiwa
perlu
mengembangkan promosi kesehatan di masyarakat agar tercipta persepsi yang positif terhadap klien dengan gangguan jiwa,
baik
oleh
keluarga
maupun
masyarakat.
Tabel 3 Frekuensi Kekambuhan pada Pasien RPK di Poliklinik Jiwa RSJD Dr. Amino Gondohutomo Prop.Jateng 2016 Frekuensi kekambuhan > 2 kali 2 kali 1 kali Total
n 24 33 21 78
% 30,8 42,3 26,9 100,00
Tabel 3 menunjukkan bahwa frekuensi
mengalami kekambuhan 2 kali dan harus
kekambuhan pada pasien RPK dengan
dirawat
jumlah terbesar yaitu yang mengalami
mengalami kekambuhan lebih dari 2 kali
kekambuhan
33
dan sebagian lainnya yaitu 26,9% pernah
78
mengalami kekambuhan sebanyak 1 kali.
ini
Penelitian di wilayah kerja Puskesmas
besar
Mantup Lamongan menyatakan bahwa
pasien atau sebesar 42,3% pasien pernah
kekambuhan pada pasien RPK adalah 1-2
2
kali,
responden
(42,3%)
responden.
Hasil
menunjukkan
bahwa
sebanyak dari
total
penelitian sebagian
kembali.
Sejumlah
30,8%
kali dalam satu tahun. Dari penelitian
Keliat
dari Surya Mulya Fadli dan Mitra (2013)
frekuensi kekambuhan yang sering (>2
di Rumah Sakit Tampan Provinsi Riau
kali)
pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
diindikasikan
rata-rata kekampuhan pada pasien RPK
ketidakteraturan minum obat, dukungan
dalam dua tahun adalah 1,48 kali dengan
sosial dari keluarga dan paramedis yang
standar deviasi 1,18 kali. Dalam studi
buruk dan positive belief yang buruk
naturalistic menemukan bahwa tingkat
pada
kekambuhan kumulatif dalam lima tahun
penelitian
berkisar 70-80%.
menjelaskan tentang hasil
Kazadi dkk (2008) menyebutkan bahwa
ini.Hasil wawancara dengan keluarga
faktor yang memperngaruhi kekambuhan
tentang kekambuhan yang dialami oleh
pada pasien RPK
pasien lebih banyak disebabkan karena
antara lain faktor
(1996)
menjelaskan
pada
pasien
bahwa
RPK
dari
perilaku
pasien.Teori-teori sebelumnya
dan
hasil
diatas
juga
penelitian
positive belief, faktor ketidakpatuhan
factor
pasien
Pasien merasa bosan dan merasa sudah
terhadap
proses
pengobatan,
ketidakteraturan
dapat
baik
sehingga
minum
obat.
faktor komplikasi psikopatologi, faktor
lebih
rendahnya pengetahuan pasien mengenai
diminum.Selain itu ketika gejala mulai
penyakit, faktor penyalahgunaan obat,
timbul kembali keluarga sudah tidak
faktor keteraturan pasien minum obat,
mampu
faktor hubungan yang buruk antar pasien,
sehingga pasien harus masuk rumah sakit
faktor kejadian hidup yang menimulkan
dan dirawat kembali.
untuk
obat
menangani
tidak
pasien,
stress, faktor keluarga dan paramedis serta faktor konsep diri pasien. Tabel 4 Hasil Uji Hubungan Frekuensi Kekambuhan dengan Dukungan Keluarga Pasien RPK di Poliklinik Jiwa RSJD Dr. Amino Gondohutomo Prop.Jateng 2016 Variabel
Dukungan Keluarga
Frekuensi Kekambuhan Kambuh ≥ 2 kali
N
Mean
SD
23
49.5
6.0
Kambuh 2 kali
33
51.6
6.3
Kambuh 1 kali
21
51.3
6.5
Total
78
50.9
6.3
hubungan
antara
p-Value
0,45
Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai p-
terdapat
dukungan
Value = 0,45 (p>0,05) yang berarti tidak
keluarga dengan frekuensi kekambuhan
pada pasien RPK di Poliklinik Jiwa
2008). Kekambuhan adalah kembalinya
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Propinsi
suatu penyakit setelah tampaknya mereda
Jawa tengah. Hasil analisis hubungan
(Dorland,
dalam penelitian ini tidak sejalan dengan
(2010) beberapa hal yang bisa memicu
penelitian-penelitian sebelumnya yang
pasien kambuh antara lain, tidak minum
telah
obat dan tidak kontrol ke dokter secara
dilakukan
adanya
yang
hubungan
menunjukkan
antara
dukungan
2010).
Menurut
Purwanto
teratur, menghentikan sendiri obat tanpa
keluarga dengan frekuensi kekambuhan
persetujuan
pasien.
dukungan dari keluarga dan masyarakat,
Tidak adanya hubungan antara dukungan keluarga dengan frekuensi kekambuhan
dari
dokter,
kurangnya
serta adanya masalah kehidupan berat yang membuat stress.
dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Rata-rata
Pertama,
perilaku
skizofrenia dalam dua tahun adalah 1,48
kepatuhan minum obat pada pasien. Hasil
kali dengan standar deviasi 1,18kali.
wawancara didapatkan bahwa sebagian
Tingkat
pasien minum obat dengan kesadaran
skizofrenia masih terus dipelajari. Studi
sendiri tanpa harus diingatkan oleh
naturalistik
keluarganya. Beberapa pasien sudah
kekambuhan kumulatif dalam lima tahun
merasa bahwa minum obat merupakan
berkisar 70-80%. Studi di Hongkong
kebutuhannya agar selalu berada alam
menemukan
kondisi yang stabil. Bahkan beberapa
psikosis, tingkat kekambuhan adalah
pasien
21%, 33%dan 40% dalam tahun pertama,
berkaitan
dengan
meminta
sendiri
dan
kekambuhan
kekambuhan
penderita
menemukan
bahwa
93
pasien
kedua,
kontrol ke rumah sakit ketika obat habis.
Penelitian di wilayah kerja Puskesmas
patuh minum obat walaupun keluarga sudah mengingatkan untuk minum obat,
ketiga
dari
tingkat
mengingatkan kepada keluarga untuk
Namun, ada beberapa pasien yang tidak
dan
penderita
(Christy,
2011).
Mantup Lamongan menyatakan bahwa kekambuhan skizofrenia adalah 1-2 kali dalam satu tahun (Patonah, 2012).
dan menyebabkan pasien mengalami
Hal yang kedua, bila dikaitkan dengan
kekambuhan. Kekambuhan merupakan
pemberian
keadaan muncul tanda dan gejala yang
adalah kurangnya bekal pengetahuan
pernah
mengakibatkan
keluarga dalam memberikan perawatan
pasien harus dirawat kembali (Andri,
kesehatan jiwa pada pasien dengan resiko
dialami
dan
dukungan
dari
keluarga
perilaku
sebagian
pujian kepada pasien untuk minum obat
besar responden (69,2%) mengalami
dengan prinsip 6 benar, memotivasi,
kekambuhan
saja.
membimbing dan memberi pujian kepada
sebelumnya,
klien dengan cara verbal/ bicara baik
Padahal,
kekerasan,
namun
hanya
menurut
1-2 data
kali
frekuensi kekambuhan >2 kali, lebih
serta
banyak. Studi naturalistik menemukan
memberi pujian kepada klien mengontrol
tingkatkekambuhan kumulatif dalam lima
perilaku kekerasan dengan cara spiritual.
tahun berkisar 70-80% (Christy, 2011). Kurangnya pengetahuan keluarga ini diketahui saat keluarga ditanya tentang bagaimana mengingatkan kepada pasien cara mengontrol perilaku kekerasan, banyak keluarga yang mengatakan tidak tau dan bahkan ketika pasien marah dan menunjukkan
perilaku
kekerasan,
keluarga hanya membiarkan saja sampai kemarahan pasien berlalu atau sampai pasien mengalami kekambuhan dan harus dibawa ke rumah sakit.
memotivasi,
dan
Salah satu faktor penyebab kekambuhan pasien
skizofrenia
adalah
perilaku
keluarga yang tidak tahu cara menangani pasien
skizofrenia
di
rumah.(Keliat,
2006) Perawatan dirumah sakit tidak akan bermakna apabila tidak dilanjutkan dengan perawatan di rumah. Untuk dapat melakukan perawatan yang baik dan benar, keluarga perlu mempunyai bekal pengetahuan
tentang
penyakit
yang
dialami penderita, salah satunya adalah gangguan fungsi kognitif.Oleh sebab itu,
Hal ini belum sesuai dengan standar
orang
kemampuan yang harus dimiliki keluarga
keluarga,pengasuh,
dalam merawat pasien dengan perilaku
berperan
kekerasan.
penanganan
Kemampuan
membimbing
yang
harus
dimiliki keluarga dalam merawat pasien dengan perilku kekerasan berdasarkan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa (Tim FIK UI, 2015) tentang cara mengontrol perilaku kekerasan antara lain adalah memotivasi, membimbing dan memberi pujian kepada pasien untuk latihan tarik nafas dalam dan pukul kasur bantal, memotivasi, membimbing dan memberi
terdekat
sangat
penderita dan
seperti
masyarakat
penting
dalam penderita
skizofrenia.(Magaru, 2012). Keluarga
perlu
memperhatikan
dukungan, sikap, dan kepatuhan minum obat.
Keluarga
yang
memiliki
pengetahuan yang tinggi juga dapat terjadi kekambuhan bila pasien tidak patuh minum obat dan keluarga tidak memantau dan mengawasi pasien minum obat. Perilaku minum obat bagi penderita
skizofrenia
tergantung
kesadaran
(insight)
pada dari
tingkat
penderita,
memberikan dukungan lebih pada aspek afektif
dan
emosional.
Penelitian
misalnya penderita menyangkal atau
selanjutnya dapat dilakukan pada pasien
sadar
yang dirawat di ruang rawat inap.
bahwa
dirinya
sakit.
Untuk
keluarga, harus selalu mengikuti proses perawatan
sehingga
keluarga
dapat
memberikan informasi, saran, dukungan, perhatian, mengontrol dan mengawasi penderita minum obat.
SIMPULAN Teridentifikasi
bahwa
tidak
terdapat
dukungan
dengan
hubungan
antara
frekuensi
kekambuhan
pada
pasien
DAFTAR RUJUKAN Amelia, D.R., & Anwar, Z. 2013. Relaps pada klien skizofrenia.Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. Vol. 1: 52-64 Andri. 2008. The treatment gap for schizophrenia. Proseding kongres nasional skizofrenia V. Lombok: Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Christy
LM HUI.2011. Relapse in Schizophrenia. Medical Bulletin. Jockey Club Early Psychosis (JCEP) Project,Department of Psychiatry, The University of Hong Kong.
Dahlan
MS. 2013. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Dilengkapi AAplikasi dengan Menggunakan SPSS Edisi 5. Jakarta: Salemba Medika.
dengan RPK di poliklinik RSJD Dr. Amino Gondohutomo propinsi Jawa Tengah,
dengan
p-Value
0,45
(p-
Value>0,05).Teridentifikasi pula bahwa sebagian
besar
pasien
minum
obat
dengan kesadaran sendiri tanpa harus diingatkan
oleh
keluarganya,
serta
kurangnya pengetahuan keluarga dalam memberikan perawatan kesehatan jiwa pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan, namun sebagian besar pasien di
poliklinik
hanya1-2
kali
saja
mengalami kekambuhan. Rekomendasi yang diberikan adalah agar keluarga lebih dibekali dengan pengetahuan tentang pengobatan
pasien
dan
bagaimana
Depkes RI. 2013. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia Dewi, R., C.R. Marchira. 2009. Riwayat gangguan jiwa pada keluarga dengan kekambuhan klien skizofrenia di RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Berita Acara Kedokteran Masyarakat. Vol. 25(4): 178-179
perawatan kesehatan jiwa pada pasien resiko
perilaku
kekerasan
dengan
Dorland, W.A. Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Ed. 31 (Alih
Bahasa Albertus Agung Mahode). Jakarta: EGC Fadli, Mitra. 2013. Pengetahuan dan Ekspresi Emosi Keluarga serta Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hangtuah Pekanbaru. Fawzi,
Rizqa, Arief Nugroho, dan Supriyadi. 2013. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Perilaku Sosial Pasien dengan Perilaku Kekerasan.
Friedman, M.M., Bowden O dan Jones M. 2010.Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktek. Alih Bahasa: Achir Yani S.H dkk. Editor Edisi Bahasa Indonesia: Estu Tiar. Edisi 5. Jakarta: EGC Kerlinger, F.N., dan Lee, H.B. 2000. Foundation of Behavioural Research 4th Edition. Forth Worth: Harcourt Coledge Publisher Keliat, B.A. & Akemat. 2006. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC Kurnia, Farida Y.P. 2015. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kekambuhan pada klien skizofrenia di Poli Psikiatri RSD dr. Soebandi Jember. Jember: Fakultas Kedokteran Universitas Jember Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Andi Notoatmodjo S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nuraenah. 2012. Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS Jiwa Islam Klender Jakarta Timur. Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia. Nursalam. 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi ke-3. Jakarta: Salemba Medika. Patonah 2012. Kajian Epidemiologis Skizofrenia Epidemiologic Study of Schizophrenia. Jurnal.fk.unila.ac.id/index.php/M ajority/article. Pertiwi, Ensan G. 2012. Pengaruh dukungan keluarga terhadap kekambuhan klien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Purwanto A 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. Skripsi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta. Raharjo, Agus B., Dwi H.R., Purnomo. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada klien skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondhoutomo Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK). Semarang: Universitas Sultan Agung Semarang Santoso S. Statistik Parametrik: Konsep dan Aplikasi dengan SPSS Edisi Revisi. Jakarta: Elex Media Komputindo; 2014.
Sebayang, Septian Mixrofa. 2011. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Pasien Skizofrenia Paranoid di Poliklinik RS Jiwa Daerah Propsu Medan. Skripsi Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Naskah Publikasi. Tersedia di http://respository.usu.ac.id/. Diunduh tanggal 22 Februari 2016 pukul 19.46 WIB. Sharaswati, Nuzuly Tara. 2009. Hubungan Kesepian dan Agresi pada Remaja yang Sedang Berpacaran. Skripsi. Naskah Publikasi. Tersedia di http://lib.ui.ac.id/. Diunduh tanggal: 01 Maret 2016 pukul 23.12 WIB. Tim FIK UI, 2015. Standar Asuhan Keperawatan Keperawatan Jiwa. Kumpulan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Diagnosa Sehat, Resiko dan Gangguan.EGC. Jakarta. Wijayanti, Diyan Y. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Semarang: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Wiyati,
R., Wahyuningsih, D., & Widayanti, E.D (2010).Pengaruh Psikoedukasi Keluarga terhadap Kemampuan Keluarga dalam Merawat Klien Isolasi Sosial.Jurnal Keperawatan Soedirman. 5(2), 85-94
Wuryaningsih, Emi W. Achir Yani S.H., dan Novy H.C.D. 2013. Studi Fenomenologi: Pengalaman Keluarga Mencegah Kekambuhan Perilaku Kekerasan Pasien Pasca Hospitalisasi RSJ. Jurnal
Keperawatan Jiwa. 1(2): 178185. Videbeck, Sheila L,.(2013). Psychiatric Mental Health Nursing. 6th edition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.