Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ............................................................................................... 1 Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ................................................................................. 12 Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto Budi Widiyanto, S. Hudijono ..................................................................................................................... 20 Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Untung Halajur, Berthiana Tinse .............................................................................................................. 29 Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ............................................................................................................. 38 Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011 Arainiati, Legawati, Noordiati ................................................................................................................... 48 Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ................................................................................ 56 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Pada Lansia Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya Syam’ani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ......................................................................................... 62
TIM REDAKSI Jurnal Ilmiah Forum Kesehatan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palangka Raya Tim Penyunting : Penanggung Jawab
:
Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes
Redaktur
:
Iis Wahyuningsih, S.Sos
Editor
:
Vissia Didin Ardiyani, SKM, MKM
Tim Pembantu Penyunting : Penyunting Pelaksana
:
Erma Nurjanah Widiastuti, SKM
Pelaksana TU
:
1. Deddy Eko Heryanto, ST 2. Daniel, A.Md.Kom 3. Arizal, A.Md
Tim Mitra Bestari : 1.
Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., MARS
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
2.
Prof. Rr. Tutik Sri Hariyanti, S.Kp., MARS Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
3.
Djazuly Chalidyanto, SKM, MARS
Fakultas Kesehatan Malang Universitas Airlangga
Alamat Redaksi : Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah Telepon/Fax : 0536 – 3230730, 3221768 Email
:
[email protected],
[email protected]
Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id Terbit 2 (dua) kali setahun.
PENGANTAR REDAKSI Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan. FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan. Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN volume kedua nomor keempat ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan muncul pada penerbitan – penerbitan selanjutnya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN Volume III Nomor 5, Pebruari 2013 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah yang telah disampaikan kepada redaksi. Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM KESEHATAN ini selanjutnya. Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume kedua nomor keempat ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya. Tim Redaksi
DAFTAR ISI Hal. Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ..................................................................
1
Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ....................................................
12
Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto Budi Widiyanto, S. Hudijono ........................................................................................
20
Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Untung Halajur, Berthiana Tinse .................................................................................
29
Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ...............................................................................
38
Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011 Arainiati, Legawati, Noordiati ......................................................................................
48
Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ..................................................
56
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Pada Lansia Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya Syam’ani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ...........................................................
62
Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
ARTIKEL PENELITIAN
Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau Community Participation In Hygienic And Healthy Behavior Through Mpa-Phast Aproach At District Of Pulang Pisau Tri Widodo1, Suharman2, Widodo Hariyono3 1. 3.
Dinas Kesehatan Pulang Pisau, Kalteng, 2..Rural and Regional Research Center, UGM FKM, Universitas Ahmad Dahlan
Abstrak. Kemiskinan, kebersihan lingkungan dan sanitasi dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan masyarakat. Untuk mencegah beberapa upaya perbaikan harus dibuat. Upaya yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau untuk meningkatkan PHBS adalah dengan melibatkan masyarakat untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan sanitasi. Di Kabupaten Pulang Pisau persentase PHBS masih relatif rendah (17%). Melalui proyek pelayanan air bersih (CWSHP) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pendekatan MPA PHAST-. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat keluarga di desa yang berpartisipasi dalam MPA PHAST-dan mereka yang tidak menerima MPA PHAST di Kecamatan Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-kualitatif dan eksperimen semi post test dengan membandingkan group design. Sampel terdiri dari 294 kepala keluarga diambil dengan teknik proportional random sampling dari delapan desa, empat desa mendapat MPA-PHAST di Kecamatan Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Kecamatan Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) dan empat desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST di Kecamatan Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir), Kecamatan Maliku (Buntoi, Maliku). Tidak ada perbedaan pengetahuan tentang PHBS dan perilaku cuci tangan keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHASTdengan p> 0,05 (0,536 dan 0,050). Ada perbedaan perilaku penyediaan air bersih dan penggunaan, toileting di tempat yang tepat, sanitasi lingkungan, dan pengetahuan tentang sanitasi lingkungan keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHAST-dengan p <0,05 (0,000; 0,001, 0,000, dan 0,000). Para keluarga di desa yang mendapat pemberdayaan melalui MPAPHAST umumnya lebih baik daripada keluarga yang tidak. Kata kunci: kebersihan, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, tokoh masyarakat, MPA-PHAST Abstract. Poor environmental hygiene and sanitation can bring bad impact to public health. In order to that prevent that efforts for improvement have to be made. An effort that has been made by Pulang Pisau District of Health Office to improve PHBS is involving the community to increase environmental hygiene and sanitation. At District of Pulang Pisau the percentage of PHBS is still relatively low (17%). Through the project of community water services and health (CWSHP) community empowerment is undertaken using MPA-PHAST approach. The objective of the study was to identify the difference in PHBS of the family in the village that participated in MPA-PHAST and those that did not receive MPA-PHAST at Sibdistrict of Pandih Batu and Maliku District of Pulang Pisau. The study used quantitative-qualitative approach and quasi experiment post test with compare group design. Samples consisted of 294 heads of the family taken with proportional random sampling technique from eight villages; four villages got MPA-PHAST at Subdistrict of Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Subdistrict of Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) and four villages that did not get MPA-PHAST at Subdistrict of Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir), Subdistrict of Maliku (Buntoi, Maliku). There was no difference in knowledge on PHBS and behavior of handwashing of the family at the village that got MPA-PHAST and those without MPA1
Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST
PHAST with p > 0.05 (0.536 and 0.050). There was difference in behavior of clean water provision and use, toileting in the proper place, environmental sanitation, and knowledge about environmental sanitation of the family in the village that got MPA-PHAST and those without MPA-PHAST with p < 0.05 (0.000; 0.001; 0.000; and 0.000). The of family in the village that got empowerment through MPA-PHAST generally better than the family that did not. Keywords: hygiene, environmental sanitation, hygienic and healthy behavior, community empowerment, MPA-PHAST
Pendahuluan Data dari World Health Organization (WHO)(1), menunjukkan bahwa kira-kira 3,1% kematian (1,7 juta) dan 3,7% disability adjusted life years (DALYs) (54,2 juta) disebabkan oleh air yang tidak layak konsumsi, sanitasi dan hygiene. Di Afrika dan negara berkembang di Asia Tenggara, 4-8% penyakit disebabkan oleh faktor tersebut. Lebih dari 99,8% kematian juga disebabkan oleh faktor tersebut ,dan 90% nya yang meninggal adalah anak-anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia melalui Program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) mengajak masyarakat agar menyadari akan pentingnya berperilaku hidup sehat(2). Perilaku hidup bersih dan sehat di Kalimantan Tengah masih di bawah nasional (38,7%) yaitu sebesar 33,0%(3). Melalui Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (P2 dan PL Depkes RI) tahun 2003 dibentuklah proyek Community Water Services and Health Project (CWSHP)(4). Kabupaten Pulang Pisau merupakan salah satu daerah yang ikut dalam CWSHP. Proyek CWSHP Pulang Pisau ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan Methodology for Participatory AssessmentParticipatory Hygiene and Sanitation Transformation (MPA-PHAST)(5,6). Sebagai tahap awal pelaksanaan kegiatan pemberdayaan dengan MPA-PHAST dilakukan di 4 desa dalam 2 kecamatan yang telah menyetujui persyaratan yang diberikan oleh proyek. Masyarakat yang ikut kegiatan ini adalah keluarga yang termasuk dalam ekonomi golongan menengah ke bawah. Dipilihnya kelompok tersebut karena keluarga yang berperilaku tidak sehat dalam hygiene dan sanitasi lingkungan terbanyak (83%) adalah keluarga ekonomi menengah ke bawah(7). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dan perilaku keluarga yang ikut dalam pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST dengan yang tidak ikut dalam pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST dalam ber- PHBS dan sanitasi lingkungannya di Kecamatan Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Metodologi Pada penelitian ini digunakan metode kuantitatif - kualitatif, dengan rancangan penelitian eksperimen semu setelah intervensi dengan pembanding (quasi experimenl post test only with compare design).Metode kualitatif dilakukan untuk mendukung jawaban dari metode kuantitatif. Penelitian dilakukan Di Kecamatan Maliku dan Pandih Batu Kabupaten Pulang Pisau dilaksanakan pada bulan November 2009– Januari 2010 dengan pertimbangan di 2 kecamatan tersebut terdapat desa yang sudah mengikuti pemberdayaan melalui pendekatan MPA-PHAST. Dua desa di Kecamatan Maliku yaitu desa Tahai Jaya dan Tahai Baru, dan dua desa di Kecamatan Pandih Batu adalah Desa Talio Hulu dan Talio Muara. Populasi penelitian ini adalah semua keluarga yang ikut pemberdayaan melalui MPA-PHAST di Kecamatan Maliku dan Pandih Batu pada tahun 2008. Subjek Penelitian adalah kepala keluarga ikut dalam pemberdayaan dengan MPA-PHAST. Sampel pada penelitian ini sebanyak 308 kepala keluarga (KK) yang terdiri dari 154 KK yang ikut pemberdayaan dengan MPA-PHAST dan 154 KK yang tidak ikut. Data primer adalah data perilaku cuci tangan dengan air bersih dan sabun, penyediaan dan penggunaan air bersih, BAB di jamban, sanitasi lingkungan dan data tingkat pengetahuan PHBS dan sanitasi lingkungan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, checklist, dan wawancara singkat dengan beberapa responden, Satker CWSHP dan tenaga kesehatan setempat. Setelah data dikumpulkan lalu diberikan kode 2
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
yang bertujuan untuk memudahkan dalam tabulasi data.Selanjutnya dilakukan editing data dan kemudian dianalisis.Data dianalisis secara kuantitatif secara univariat, dan bivariat. Untuk analisis uji statistik yang digunakan adalah uji independent t-test, untuk data berdistribusi normal dan Mann Whitney test bila data tidak berdistribusi normal. Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian Subjek penelitian pada awal penelitian adalah 308 KK untuk kelompok yang mendapatkan MPA-PHAST 154 KK dan 154 KK yang tidak mendapatkan. Ada 14 KK yang drop out yaitu 7 KK dari kelompok yang mendapatkan MPA-PHAST dan 7 KK yang tidak mendapatkan. Dari 308 KK setelah dikurangi yangdrop out yang disebabkan responden pindah rumah dan tidak bersedia untuk diwawancarai, subjek penelitian menjadi berjumlah 294 KK.
PHBS keluarga yang mendapatkan MPAPHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,536 lebih besar dari p tabel (0,05). Untuk mengetahui penyebab hal tersebut terjadi, dilakukan wawancara terhadap responden, petugas kesehatan dan satker CWSHP.Wawancara dilakukan terhadap responden yang tidak mendapatkan MPAPHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak mendapatkan MPA-PHAST, mereka memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas kesehatan yang setiap bulan melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak mampu. “…setiap bulan kami mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan oleh bu bidan di sini pak…setiap ada kegiatan posyandu...” (R1DT,15-01-2010)
Karakteristik subjek penelitian Karakteristik yang ditampilkan meliputi jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan responden, dan pendapatan keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak (Tabel 1). Perbedaan tingkat pengetahuan PHBS antara keluarga yang mendapatkan MPAPHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkan Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa tingkat pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan MPA-PHAST yang berkategori baik lebih banyak daripada yang tidak mendapatkan (79 KK dan 76 KK). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan
“…kami ini dhedhel pak (bodoh pak)…SD saja tidak tamat…belum mikir pekerjaan kami diladang untuk bertahan hidup…ya namanya orang miskin pak…”(R2DP,10-01-2010) Dengan promosi yang dilakukan melalui penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda dengan yang mendapatkan.Selain itu, pendidikan formal juga memegang peranan penting bagi seseorang untuk menerima pengetahuan atau hal yang baru.
Tabel 1. Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPA-PHAST di Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010 Jumlah KK Desa Karekteristik Responden
Umur < 36 tahun 36 – 55 tahun
Persentase (%)
Tidak mendapatkan MPA-PHAST
Mendapatkan MPA-PHAST
27.2
22.4
24,8
48.3
53.7
51
3
Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST
> 55 tahun
24.5
23.8
24,1
Jenis Kelamin Laki-laki
71.4
88.4
79,9
Perempuan
28.6
11.6
20,1
Tabel 1. Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPAPHAST di Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010 Jumlah KK Desa Karekteristik Responden
Tidak mendapatkan MPA-PHAST
Pendidikan Tidak Sekolah
Persentase (%)
Mendapatkan MPA-PHAST
8.2
12.9
10,5
Tamat SD
25.9
40.8
33,3
Tamat SMP
26.5
25.2
25,9
Tamat SMA
32.7
14.3
23,5
PT
6.8
6.8
6,8
Pekerjaan Petani
50.3
74.8
62,6
Nelayan
2.0
0.7
1,4
Pedagang
8.8
4.1
6,5
Buruh
17.7
8.2
12,9
PNS
17.0
9.5
13,3
Lain-Lain
4.1
2.7
3,4
Pendapatan < Rp 400.000,-
19.7
50.3
35
Rp 400.000,- - Rp 800.000,-
51.0
32.0
41,5
> Rp 800.000,-
29.3
17.7
23,5
Tabel 2. Analisis perbedaan tingkat pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST
Variabel
Tingkat pengetahuan PHBS Kurang %
Baik %
Tidak mendapatkan MPA-PHAST
71 (51.1%)
76 (49%)
Mendapatkan MPA-PHAST
68 (48,9%)
79 (51%)
Md
p
14
0.536
Desa
Untuk mengetahui penyebab hal tersebut terjadi, dilakukan wawancara terhadap responden, petugas kesehatan dan satker CWSHP.Wawancara dilakukan terhadap responden yang tidak mendapatkan MPAPHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak mendapatkan MPA-PHAST, mereka
memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas kesehatan yang setiap bulan melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya
4
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak mampu. “…setiap bulan kami mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan oleh bu bidan di sini pak…setiap ada kegiatan posyandu...” (R1DT,15-012010)
dengan nilai p hitung= 0,05, sama dengan p tabel (0,05). Ketika ditanyakan kepada responden tentang perilaku cuci tangan dengan air dan sabun mereka menjawab bahwa mereka biasa cuci tangan tetapi tidak menggunakan sabun. “…kami ini petani pak…kalau cuci tangan ya..yang penting sudah tidak ada lumpur dan tanah cukup saja… tidak perlu pakai sabun...” (R2DP,1001-2010)
“…kami ini dhedhel pak (bodoh pak)…SD saja tidak tamat…belum mikir pekerjaan kami diladang untuk bertahan hidup…ya namanya orang miskin pak…”(R2DP,10-01-2010). Dengan promosi yang dilakukan melalui penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda dengan yang mendapatkan. Selain itu, pendidikan formal juga memegang peranan penting bagi seseorang untuk menerima pengetahuan atau hal yang baru. Perbedaan perilaku cuci tangan dengan air bersih dan sabun antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkannya Tabel 3 menyatakan bahwa jumlah keluarga dengan perilaku cuci tangan dengan air bersih dan sabun, di desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST berkategori baik jumlahnya lebih banyak, daripada yang mendapatkan (90 KK dan 73 KK). Tidak ada perbedaan perilaku cuci tangan dengan air bersih dan sabun antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkannya,
Hal tersebut ditanyakan juga pada Satker CWSHP mereka menjawab bahwa untuk perilaku cuci tangan dengan sabun baru diawali pada siswa SD. Di setiap SD yang desanya mengikuti program CWSHP, disediakan sarana dan prasarana untuk cuci tangan dengan air dan sabun. “…ya benar saja pak karena kegiatan cuci tangan baru dilakukan di siswasiswa SD, untuk orang tuanya hanya diberitahu saat penyuluhan dalam kegiatan proyek…sedangkan untuk pengawasan apa mereka melakukan cuci tangan dengan benar atau tidak kami tidak melakukan…sedangkan untuk siswa SD ada pengawasan dari gurunya…” (CWSH,18-01-2010). Penyuluhan tentang pentingnya perilaku cuci tangan dengan air bersih dan sabun dilakukan pada siswa SD, dengan harapan agar perubahan perilaku tersebut juga dilakukan di rumah para siswa.
Tabel 3. Analisis perbedaan perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun, antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST
Variabel
Perilaku cuci tangan dg menggunakan Air bersih& sabun Kurang %
Baik %
Tidak mendapatkan MPA-PHAST
57 (43.5%)
90 (55,2%)
Mendapatkan MPA-PHAST
74 (56.5%)
73 (44.8%)
Md
P
16
0.050
Desa
Perbedaan tingkat pengetahuan tentang sanitasi lingkungan keluarga yang
mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkannya 5
Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST
Tabel 4 menyatakan bahwa, jumlah keluarga dengan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan, di desa yang mendapatkan MPAPHAST yang berkategori baik lebih banyak daripada yang tidak mendapatkan (105 KK dan 87 KK). Wawancara singkat pada masyarakat yang mendapatkan MPA-PHAST dilakukan untuk mengetahui pengetahuan tentang sanitasi lingkungan. “…saat mas-mas dan mbak-mbaknya dari proyek datang (CWSHP)…kami diberitahu bagaimana menata keadaan lingkungan tempat tinggal agar sesuai kesehatan…kami juga tidak hanya diajari (diberitahu) tapi langsung praktek pak…jadi sampai sekarang kami masih ingat bagaimana membuat lingkungan kami jadi sehat…”(R1DP,1001-2010) Pada masyarakat yang tidak mendapatkan MPA-PHAST dilakukan wawancara mengenai pengetahuan sanitasi lingkungan. Mereka menjawab bahwa tidak semuanya dapat diingat pengetahuan sanitasi lingkungan yang diperoleh dari tenaga kesehatan saat penyuluhan
kesehatan, karena hal tersebut tidak langsung dipraktekkan. “…ya…kami diberitahu sama petugas kesehatan tentang sanitasi lingkungan tapi ya…hanya sebatas tahu saja pak…tidak dibimbing langsung untuk praktek yang benar itu gemana…maka saat ditanya ya…kelalen pak (kelupaan pak)…”(R1DT,15-01-2010) Ada perbedaan antara tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,000 lebih kecil dari p tabel (0,05), CI = -2,628 - (1,032).Pada tabel 4 dapat diketahui bahwakeluarga yang mendapatkan MPA-PHAST memiliki tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan yang baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak mendapatkan MPAPHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada populasi akan memberikan perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak mendapatkan adalah antara -2,628 sampai - 1,032.
Tabel 4. Analisis perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST
Variabel
Tk. pengetahuan sanitasi lingkungan
µ
Kurang %
Baik %
60 (58,6%)
87 (45,3%)
15.05
42 (41,2%)
105 (54,7%)
16.88
Nilai p (95% CI)
Desa -
Tidak mendapatkan MPA-PHAST Mendapatkan MPAPHAST
Perbedaan perilaku buang air besar di jamban antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkannya Tabel 5 terlihat bahwa jumlah keluarga dengan perilaku buang air besar di jamban, di desa yang mendapatkanMPA-PHAST berkategori
0.000 -2.100-(-1.032)
baik lebih banyak (56%), daripada yang tidak mendapatkan (112 KK dan 88 KK). Wawancara dengan salah satu keluarga yang mengikuti pemberdayaan dengan MPA-PHAST mengatakan bahwa atas anjuran dari Satker CWSHP, maka jamban mereka perbaiki agar sesuai
6
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
dengan jamban yang sehat dan tidak menimbulkan penyakit. “…saat mas dan mbaknya datang ke desa ini (Satker CWSHP), mereka mengajari kami membuat jamban yang sehat pak…sehingga jamban yang selama ini kami pakai untuk buang air besar ya…kami perbaiki sesuai anjuran mereka…” (R1DP,10-01-2010) Ada perbedaan perilaku buang air besar di jamban antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkannya,
dengan nilai p hitung = 0,001 lebih kecil darip tabel (0,05), CI = - 2.081- (-0.586). Pada tabel 5 dapat diketahui bahwakeluarga yang mendapatkan MPAPHAST memiliki perilaku buang air besar di jamban yang baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak mendapatkan MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada populasi akan memberikan perbedaan perilaku buang air besar di jamban antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak mendapatkan adalah antara -2.081sampai -0.586.
Tabel 5. Analisis perbedaan perilaku BAB di jamban desa dan perilaku penyediaan dan penggunaan air bersih terhadap desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST Perilaku BAB di jamban Variabel
Confidence Interval 95%
µ
p
Kurang %
Baik %
59 (62.8%)
88 (44%)
12.24
0.001
-2.08- (-0.586)
35 (37.2%)
112 (56%)
13.57
p
Confidence Interval 95%
Desa -
Tidak mendapatkan MPA-PHAST Mendapatkan MPAPHAST Variabel
Perilaku penyediaan dan penggunaan air bersih Kurang %
µ
Baik %
Desa -
Tidak mendapatkan MPA-PHAST Mendapatkan MPAPHAST
77 (68.8%)
70 (38.5%) 16.39 0.000
35 (31.3%)
112 (61.5%) 18.35
Perbedaan perilaku penyediaan dan penggunaan sarana air bersih antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak mendapatkan Tabel 5 menyatakan bahwa jumlah keluarga dengan perilaku penyediaan dan penggunaan sarana air bersih, di desa yang mendapatkanMPA-PHAST berkategori baik jumlahnya lebih banyak (61,5%), daripada yang tidak mendapatkan (112 KK dan 70 KK). Ada perbedaan perilaku penyediaan dan penggunaan air bersih antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga
-2.713 - (-1.205)
yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,000 lebih kecil darip tabel (0,05), CI = - 2.713 - (-1.205). Pada tabel 6 dapat diketahui bahwa keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST memiliki perilaku penyediaan dan penggunaan sarana air bersih yang baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak mendapatkan MPAPHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada populasi akan memberikan perbedaan perilaku penyediaan dan penggunaan sarana air bersih antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST 7
Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST
dengan yang tidak mendapatkan adalah antara 2.713 sampai -1.205. Perbedaan sanitasi lingkungan keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak mendapatkan. Tabel 6 menyatakan bahwa, jumlah keluarga dengan perilaku sanitasi lingkungan, keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST berkategori baik jumlahnya lebih banyak (66,5%), daripada yang tidak mendapatkan (127 KK dan 64 KK). Ada perbedaan sanitasi lingkungan antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-
PHAST dengan yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,000 lebih kecil darip tabel (0,05), CI = -4.528 - (-2.493).Pada tabel 6 dapat diketahui bahwakeluarga yang mendapatkan MPA-PHAST memiliki sanitasi lingkungan yang baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak mendapatkan MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada populasi akan memberikan perbedaan sanitasi lingkungan antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak mendapatkan adalah antara -4.528 sampai -2.493.
Tabel 6. Analisis perbedaan perilaku dan ketersediaan sarana dan prasarana berkaitan dengan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST
Variabel
Perilaku berkaitan dg sanitasi lingkungan Baik Kurang % %
µ
Nilai p (95% CI)
Desa -
Tidak mendapatkan MPA-PHAST Mendapatkan MPAPHAST
Variabel
83 (80.6%)
64 (33.5%)
10.01
20 (19.4%)
127 (66.5%)
13.57
Ketersediaan sarana dan prasarana sanitasi lingkungan
µ
Kurang %
Baik %
83 (65.4%)
64 (38.3%)
7.93
44 (38.3%)
103 (61.7%)
11.44
0.000 -4.343 - (-2.786)
Nilai p (95% CI)
Desa -
Tidak mendapatkan MPA-PHAST Mendapatkan MPAPHAST
Dilihat dari sarana dan prasarana yang dimiliki antara keluarga desa yang mendapatkan pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST dengan yang tidak mendapatkan ada perbedaan yang bermakana. Kemaknaan tersebut ditunjukkan dengan nilai p hitung = 0,000, CI = -3.812 - (-1.460). Sedangkan ketersediaan sarana dan prasarana keluarga desa yang mendapatkan MPA-PHAST berkategori baik lebih tinggi (61,7%) daripada yang tidak mendapatkan (103 KK dan 64 KK). Pembahasan
0.000 -4.528 - (-2.493)
Umur responden antara desa yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak terbanyak (51%) pada usia antara 36 – 55 tahun. Dengan jenis kelamin responden terbanyak adalah laki-laki (79%).Hal tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pemberdayaan masih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Padahal peran serta perempuan sangatlah penting dalam kehidupan karena perempuan merupakan central of role(5). Tingkat pendidikan responden antara desa yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak lebih banyak berpendidikan SD (33,3%). 8
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Dengan jumlah keluarga terbanyak yang pendidikan hanya tamat SD pada desa yang mendapatkan MPA-PHAST (60 KK).Keluarga di desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST tingkat pendidikannya lebih banyak yang tamat SMP/SMA (77 KK).Tingkat pendidikan seseorang dapat berpengaruh terhadap perilaku kesehatannya.Sander(8), dari penelitiannya menyimpulkan bahwa jenjang pendidikan memegang peranan penting dalam kesehatan masyarakat. Pekerjaan responden baik desa yang mendapatkan MPA-PHAST maupun tidak, yang terbanyak adalah petani, Sebagai masyarakat yang memiliki profesi sebagai petani, kesibukan mereka lebih banyak di ladang atau di sawah.Hal tersebut tentu berdampak pada perilaku ber PHBSnya. Pendapatan masyarakat kedua desa tersebut yang terbanyak (41,5%) antara Rp 400.000,00 - Rp 800.000,00. Pendapatan keluarga tersebut telah sesuai dengan pendapatan per kapita untuk wilayah Kalimantan Tengah sebesar Rp. 700.000,00(9). Hasil analisis tingkat pengetahuan PHBS dalam penelitian ini yang memiliki kategori baik lebih banyak (51%) diperoleh di desa yang mendapatkan MPA-PHAST, sedangkan desa yang tidak mendapatkan tingkat pengetahuannya yang berkategori baik hanya 49%. Bila dilihat dari presentase ternyata tidak besar, bedanya, hanya 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan PHBS keluarga antara kedua desa adalah tidak jauh berbeda.Kondisi tersebut bisa terjadi karena, meskipun tidak mendapatkan MPA-PHAST, masyarakat desa tersebut juga mendapatkan penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas satu bulan sekali. Tingkat pendidikan juga dapat berpengaruh, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah untuk menerima pengetahuan dan perubahan(10). Semakin tinggi pendidikan formal, akan semakin baik pengetahuan tentang kesehatan(11). Keluarga di desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST lebih banyak yang tamat SMP/SMA (77 KK). Dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tersebut, keluarga di desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST, memiliki pengetahuan PHBS yang tidak jauh berbeda dengan yang mendapatkan, meskipun hanya mendapat penyuluhan yang dilakukan oleh nakes setempat.
Tidak ada perbedaan perilaku cuci tangan antara keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST dengan yang tidak. Di daerah penelitian, mayoritas penduduknya adalah petani dan pendatang.Kebiasaan cuci tangan dengan menggunakan sabun merupakan hal baru yang harus dilakukan.Selain itu sebagai permulaan untuk melakukan perubahan perilaku baru dipromosikan melalui siswa SD setempat. Dengan harapan melalui anak-anak kebiasaan cuci tangan dengan sabun dapat ditransfer kepada orang tua atau anggota keluarga yang lain. Menurut Wijk(12), perubahan perilaku merupakan proses yang berisikan beberapa tahapan, dimulai dari keinginan untuk berubah dan memutuskan sesuatu perubahan untuk membuat keputusan mencobanya dan bila positif, akan dipeliharanya. Selama ini masyarakat merasa tidak ada masalah walaupun cuci tangan tanpa sabun. Jenjang pendidikan memegang peranan penting dalam kesehatan masyarakat(8). Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST sulit memahami akan arti pentingnya hygiene perorangan dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyakit menular. Ada perbedaan pengetahuan sanitasi lingkungan antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak.Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan sanitasi lingkungan keluarga di desa yang mengikuti pemberdayaan lebih baik daripada yang tidak mengikuti.Salah satu responden yang terlibat langsung dengan kegiatan MPA-PHAST mengatakan bahwa mereka masih mengingat hal yang dilakukan saat pemberdayaan. Masyarakat, dalam kegiatan pemberdayaan yang terjun langsung ke lapangan juga membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan sendiri dengan dibimbing oleh Satker CWSHP. Untuk pengetahuan sanitasi lingkungan, karena langsung praktek di lapangan maka mudah mengingat kembali, sedangkan desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST tidak langsung praktek di lapangan sehingga sulit untuk mengingat kembali hal yang berkaitan dengan sanitasi lingkungan. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kolesar(13) bahwa dengan adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam 9
Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST
kegiatan pemberdayaan akan memberikan dampak positif pada yang terlibat langsung. Ada perbedaan perilaku buang air besar antara keluarga di desa yang mendapatkan MPAPHAST dengan yang tidak.Kesadaran yang baik tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang baik terhadap dampak negatif yang disebabkan oleh buang air besar di sembarang tempat. Menurut Wibowo, dkk.(14), tempat pembuangan tinja yang tidak sanitair akan meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita sebesar 2,55 kali dibandingkan dengan yang sanitair. Perilaku penyediaan dan penggunaan air bersih, keluarga yang mendapatkan MPAPHAST lebih baik daripada yang tidak mendapatkan. Adanya penyediaan dan penggunaan air ini juga tidak terlepas dari adanya sarana dan prasarana. Kesadaran tersebut tidak terlepas dari pemahaman keluarga yang mengikuti MPA-PHAST akan pentingnya air bagi kesehatan. Hasil penelitian Atmosukarto(15), menunjukkan bahwa morbiditas diare paling tinggi terjadi pada penduduk yang menggunakan air minum dari sungai. Menurut Green(16), perubahan perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor, salah satunya adalah faktor pendukung. Responden yang diberi sarana dan prasarana air bersih di dekat tempat tinggal mereka memanfaatkan sarana tersebut, sehingga perilaku masyarakat yang biasanya memanfaatkan air sungai sebagai sumber air bersih, mulai tidak menggunakan lagi.Menurut Tan(17), bahwa perubahan perilaku bukan karena pendidikan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan tetapi karena adanya sarana dan prasarana untuk berubah. Lingkungan yang kondusif untuk terwujudnya keadaan sehat, adalah lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, kawasan perumahan dan pemukiman yang sehat, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang memelihara nilai-nilai budaya bangsa(18). Pentingnya lingkungan yang sehat dibuktikan oleh WHO(19), yaitu angka kematian dan kesakitan yang tinggi serta epidemi sering terjadi pada masyarakat yang higiene dan sanitasi lingkungannya buruk. Dampak sanitasi lingkungan yang buruk telah diketahui oleh keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST.Pembuangan sampah rumah tangga telah menjadi perhatian keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST agar tidak menjadi
sumber penyakit. Menurut Kusnoputranto(20) penentuan lokasi pembuangan sampah harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : tidak mencemari lingkungan seperti sumber air, tanah dan udara, tidak terjangkau dan digunakan sebagai tempat perkembangbiakan vektor penyakit, tidak mengganggu pemandangan dan berbau tidak sedap akibat proses pembusukan. Kesimpulan Dan Saran Kesimpulan 1. Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan PHBS, perilaku cuci tangan denagn air bersih dan sabun antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak. 2. Ada perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan, perilaku BAB di jamban, penyediaan dan penggunaan air, perilaku sanitasi lingkungan antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak. Saran Program promosi kesehatan hendaknya dilakukan terus menerus untuk melakukan perubahan perilaku kepada masyarakat yang sesuai dengan PHBS. Hal yang perlu dilakukan oleh instansi terkait antara lain : 1. Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau sebaiknya saat melakukan promosi kesehatan sedapat mungkin menyesuaikan kondisi masyarakat yang ada. Masyarakat yang ada adalah mayoritas transmigran dengan pekerjaan sebagai petani. Promosi kesehatan yang dilakukan sebaiknya menyesuaikan dengan kultur dan budaya masyarakat, dengan cara memasukkan muatan lokal sebagai bahan promosi. 2. Tenaga kesehatan yang berada di wilayah kerja Dinas Kesehatan sebaiknya melakukan pembinaan kepada masyarakat secara berkesinambungan agar perubahan PHBS dapat lebih cepat dilakukan. Masyarakat desa yang telah mendapatkan MPA-PHAST sebaiknya mulai mempraktekkan cuci tangan dengan sabun untuk mengurangi risiko terkena penyakit. Daftar Pustaka 1. World Health Organization (WHO). Sanitation and Hygiene Promotion: Programming Guidance, Geneva; 2005. 10
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
2.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan RI. No. 1114/Menkes /SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Daerah, Jakarta; 2006a 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Riset Kesehatan Dasar 2007,Laporan Nasional 2007:2008b 4. Asian Developing Bank (ADB).Water for All: The Water Policy of the Asian Development Bank .Manila;2000. 5. Dayal, R., Wijk, C. van, Mukherje, N. Methodology for Participatory Assessments with Communities Institution and Policy Makers Linking Sustainability with Demand, Gender and Poverty, Water and Sanitation Programme, World Bank;2000. 6. World Health Organization, 1997, The PHAST Initiative, Participatory Hygiene and Sanitation Transformation, A New Approach to Working with Communities, UNDP-World Bank, Geneva;1997 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia., Lembar Catatan dan Skoring Tahap I CWSHP Pulang Pisau Kalimantan Tengah, Dirjen P2 dan PL;2007. 8. Sander, M.A. 2005. Hubungan Faktor Sosio Budaya dengan Kejadian Diare di Desa Candinegoro Kecamatan Wonoayu Sidoarjo. Jurnal MedikaI. Vol 2.No.2. JuliDesember 2005: 163-193. 9. DinasKesehatan Propinsi Kalimantan Tengah. 2008. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah tahun 2007. Palangka Raya. 10. Daud, R.K. Hubungan antara Tingkat Pendidikan, Pendapatan, dan Perilaku Masyarakat dengan Kualitas Sanitasi Lingkungan di Pesisir Pantai Desa Huangobatu Kecamatan Kabila Kabupaten Gorontalo, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta;2000. 11. Hastono, PS. 1997. Hubungan Faktor Sosial Demografi Ibu dengan Pemanfaatan Penolong Persalinan di Kabupaten Cianjur 1995. Jurnal Penelitian UI.Makaro no I seri A. 12. Wijk, C. van, and Murre, T.,1994. Mechanisms of Change Motivating Better Hygiene Behaviour :Importance for Public
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19. 20.
Health Mechanisms of Change. IRC International Water and Sanitation Centre.The Hague. The Netherlands.UNICEF Kolesar, R., Kleinau, E. , Torres, MP., Candida Gil, C,. Cruz, V. de la, and Post, M. 2004. Combining Hygiene Behavior Change with Water and Sanitation: Monitoring Progress in Hato Mayor, Dominican Republic Part II Prepared for the Office of Health, Bureau for Global Health, U.S. Agency for International Development, under EHP Project 26568/CESH.DR.Y5 Wibowo, T,A, Soenarto, S,S, dan Pramono, D, 2004, Faktor-faktor Risiko Kejadian Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten Sleman;2004. BKM, Vol. 20. No.01, pp.4147 Atmosukarto, K. Peran Sumber Air Minum dan Kakus Saniter dalam Pemberantasan Diare di Indonesia, Cermin Dunia Kedokteran;1996.No. 109, pp. 39-41 Green, L.W., Kreuter, H.W., Deeds, S.G., and Patridge, K.B. Health Education Planning :A Diagnostic Approach. Mayfield Publishing Company, California;1980. Nachuk, S., Tan, E.S.M., Gaduh, A.B., Leisher, S.H., Kuznezov, L., and Ginting, J.I., 2006, Making Services Work for the Poor (MSWP) Nine Case Studies from Indonesia : Water Supply and Health in Lumajang District, East Java, World Bank;2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Manajemen PHBS Menuju Kabupaten/Kota Sehat, Jakarta;2002 Entjang, I.Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung;1991. Kusnoputranto, H., 1986, Kesehatan Lingkungan. Badan Penerbit Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta;1986.
11
ARTIKEL PENELITIAN
Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke Family’s Role in Physical Rehabilitation of Post Stroke Patient
Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Abstrak. Dampak yaang ditimbulkan dari penyakit stroke adalah kecacatan, sehigga mengakibatkan ketergantungan klien kepada keluarganya. Upaya yang dilakukan adalah memberikan pelayanan rehabiltasi fisik melalui peran keluarga dengan harapan ketergantungan klien kepad aorang lain menjadi minimal dan klien mampu mandiri.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi fisik di rumah terhadap kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen pre-pos tes dengan kelompok kontrol. Besar sampel adalah 27 responden kelompok kontrol dan 27 responden kelompok intervensi. Cara pemilihan sampel adalah non probability sampling jenis consecutive sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda dua mean dependent sample test paired t test, uji beda dua mean independent sample t test dan ANOVA. Hasil penelitian penelitian menunjukkan bahwa kelompok intervensi menunjukkan peningkatan kemandirian dibandingkan kelompok kontrol (p=0.000). Peningkatan kemandirian klien pasca stroke dipengaruhi oleh posisi di dalam keluarga dan pendidikan (p=0,000). Diharapkan perawat mengembangkan potensi yang dimiliki keluarga dan klien untuk meningkatkan kemandirian aktifitas sehari-hari. Kata Kunci : Peran keluarga, rehabilitasi fisik, kemandirian aktifitas sehari-hari, klien pasca stroke Abstract : One of the apparent impacts resulting from stroke is disability which may cause the client to be dependent on the family. An effort which can be done to cope with this problem is providing physical rehabilitation service through the role of familiy. The purpose is to reduce clients independecy at the end and the clients can live independently or self care. The purpose of tthis research is to find out an role in carrying out physical rehabilitation on daily activity independence of post stroke clients at home in Palangka Raya city. This research used the design of quasi experimental pre test-post test with control group. The sample covered, 27 respondents in control group and 27 respondents in the intervention group. The sample was drawn using non probability sampling method of consecutive sampling type. The statiscal test used here was the mean dependent samples test paired, mean independent sample t test and ANOVA. The results showed that intervention group to increase independency compared to the to the control group. (p=0,000). Independency to increase of post stroke client was ifluence by client education and family in positions (p=0,000). Recommended for nurses should be developed further so that potensials of clients and family can be increased and exlored well Key words : Family role, physical rehabilitation, activity independence, post stroke client Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007)2, di di Indonesia Pendahuluan Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO, 1983 dalam Mulyatsih, 2007)1.
prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk dan merupakan penyebab kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4% dari seluruh kematian)., stroke menjadi penyebab kematian tertinggi baik di perkotaan maupun pedesaan di Indonesia. Laporan World Stroke Organization (2009) memperlihatkan 12
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
bahwa stroke adalah penyebab utama hilangnya hari kerja dan kualitas hidup yang buruk. Kecacatan akibat stroke tidak hanya berdampak bagi para penyandangnya, namun juga bagi para anggota keluarganya. Beban ekonomi yang ditimbulkan akibat stroke juga sedemikian beratnya. Merujuk pada hasil Riskesdas tahun 2007, memperlihatkan prevalensi stroke Propinsi Kalimantan Tengah mencapai 7 per 1000 penduduk dan untuk Kotamadya Palangka Raya 8-9 per 1000 penduduk. Hal ini memerlukan perhatian dari serius dari tenaga kesehatan agar prevalensi stroke dapat dikurangi atau diminimalkan. Berdasarkan penyebabnya stroke diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan stroke iskemik (Misbach, 1999)3. Dari seluruh kejadian stroke, 83% adalah stroke iskemik dan sisanya 17% stroke hemoragik. Namun demikian pemulihan akibat penyakit stroke ini tergantung dari berbagai faktor antara lain faktor risiko yang dimiliki pasien, ketepatan dan kecepatan penatalaksanaan, penyakit yang memperberat stroke dan perawatan untuk mencegah salah satu komplikasi. Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa klien stroke yang mampu hidup sampai 6 bulan , 27 % tidak mengalami kecacatan, 24 % mengalami cacat ringan, 23 % mengalami cacat sedang dan 6 % mengalami cacat berat ( Gordon, 2000 dalam Winarni 2004).4 Berdasarkan data WHO (1989, dalam Tandrawarsito, 1993)5 menyatakan bahwa pada akhir tahun pertama klien stroke yang membutuhkan bantuan untuk aktifitas seharihari sebanyak 60 % dan 20 % diantaranya membutuhkan bantuan aktifitas secara total, 15 % mengalami ketergantungan parsial dan 5 % mengalami ketergantungan minimal kepada orang lain serta 20 % klien mampu mandiri. Winarni (2004)4 juga menyatakan bahwa dari klien stroke yang mengalami hemiparese, 68 % mengalami ketergantungan total, 15% mengalami ketergantungan sebagian dan 16 % mengalami ketergantungan minimal. Hal ini menunjukkan bahwa klien pasca stroke mempunyai kesempatan mandiri dalam melakukan aktifitas sehari-hari, apabila klien mendapatkan latihan rutin yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga di rumah dan dilakukan pengawasan oleh perawat.
Rehabilitasi fisik merupakan salah satu upaya untuk mengatasi dampak pasca stroke yang dapat dilakukan secara terintegrasi dalam bentuk kerjasama secara tim seperti dokter spesialis saraf, dokter rehabilitasi medik, perawat dan anggota keluarga. Tindakan rehabilitasi fisik dapat dilakukan oleh keluarga yang pada awalnya dilatih oleh perawat dan selanjutnya dapat dilakukan secara mandiri oleh keluarga. Keluarga mempunyai peran sebagai pemberi perawatan utama apabila salah satu anggota mengalami sakit atau ketidakmampuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran keluarga dalam rehabilitasi fisik terhadap kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke di kota Palangka Raya Metode Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan pre-post test with control group. Pengukuran kemandirian kepada klien pasca stroke sebelum (pre test) dan sesudah (post test) pemberian rehabilitasi fisik terhadap klien pasca stroke. Pre test dilakukan satu hari sebelum klien stroke pulang baik pada kelompok intervensi maupun kelompok kontrol. Rehabilitasi fisik pada kelompok intervensi melalui kunjungan rumah dan dilakukan selama 4 minggu dengan frekuensi 2 kali seminggu bersama keluarga pada , sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan 2 kali selama 4 minggu. Setelah minggu ke 4 dilakukan post test. Populasi adalah seluruh keluarga pasien stroke yang di rawat di ruang neurologi RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah consecutive sampling, dimana semua subjek penelitian yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan di masukkan ke penelitan sampai batas waktunya terpenuhi.6,7 Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah keluarga pasien pasca stroke yang mengalami hemiparese atau hemiplegia, kesadaran compos mentis, berkomunikasi dengan baik, tidak mengalami depresi, bersedia dikunjungi dan berdomisili di kota Palangka Raya. Penelitian ini dilakukan di ruang H (neurologi) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dan dilanjutkan kunjungan rumah di wilayah kota Palangka Raya mulai bulan Juli 2011 sampai dengan Desember 2011. 13
Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke
Hasil Karakteristik Responden Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan usia pada kelompok kontrol serta kelompok kontrol. Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin anggota keluarga yang merawat klien pasca stroke pada penelitian ini paling banyak adalah perempuan, yaitu 40 orang dengan rincian pada kelompok kontrol 18 orang (66,6%) dan kelompok intervensi 22 orang ( 81,4%). Berdasarkan latar belakang pendidikan, terlihat bahwa keluarga yang merawat klien sebagian besar berpendidikan SLTA yaitu 26 orang, dengan 9 orang (33,3%) pada kelompok kontrol dan 17 orang (63,0%) pada kelompok intervensi. Keluarga klien yang berpendidikan SLTP adalah 13 orang, dengan 9 orang (33,3%) pada kelompok kontrol dan 4 orang (14,8%) pada kelompok intervensi. Keluarga klien yang berpendidikan SD adalah 11 orang, dengan 6 orang (22,2%) pada kelompok kontrol dan 5 orang (18,5%) pada kelompok intervensi, sedangkan keluarga klien yang berpendidikan perguruan tinggi adalah 4 orang, dengan 3 orang (11,1%) pada kelompok kontrol dan 41 orang (3,7%) pada kelompok intervensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga yang merawat klien pasca stroke yang tidak bekerja adalah 28 orang, dimana paling banyak pada kelompok intervensi 16 orang (59,3%) sedangkan pada kelompok kontrol yaitu 12 orang (44,4% ). Pada keluarga yang merawat klien pasca stroke yang bekerja sebanyak 26 orang, 15 orang (55,6%) pada kelompok kontrol dan 11 orang (40,7%) pada kelompok intervensi. Berdasarkan posisi di dalam keluarga dalam merawat klien pasca stroke dapat dilihat bahwa sebagian besar klien dirawat oleh anak dan istri. Klien pasca stroke yang dirawat oleh anak dan yang lainnya adalah 23 orang, 12 orang (44,4%) pada kelompok kontrol dan 11 orang (40,7%) pada kelompok intervensi. Selanjutnya klien pasca stroke yang dirawat oleh istri sebanyak 22 orang, 8 orang (29,6%) pada kelompok kontrol dan 13 orang (48,2%) pada kelompok intervensi. Suami juga berperan dalam merawat istri yang stroke, yaitu 7 orang
(26,0%) pada kelompok kontrol dan 3 orang (11,1%) pada kelompok intervensi. Hasil analisis tabel 4.1. menunjukkan ratarata usia keluarga yang melatih klien stroke di rumah pada kelompok kontrol adalah 45,19 tahun, median 47 tahun dengan standar deviasi 12, 41 tahun. Usia termuda 24 tahun dan usia tertua 65 tahun. Dari estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa ratarata usia keluarga yang merawat pasien pasca stroke di rumah pada kelompok kontrol antara usia 40, 28 tahun sampai dengan usia 50,09 tahun. Sedangkan pada kelompok intervensi menunjukkan rata-rata usia keluarga yang melatih klien stroke di rumah pada kelompok kontrol adalah 41,59 tahun, median 45 tahun dengan standar deviasi 13,06 tahun. Usia termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun. Dari estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata-rata usia keluarga yang merawat pasien pasca stroke di rumah antara 36,43 tahun dan 46,76 tahun. Secara rinci dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan, Usia dan Hasil Uji Kesetaraan di Kota Palangka Raya Periode Juli-Desember 2011 (n=34) Karakteristik Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan SD SLTP SLTA PT Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Posisi di Keluarga Suami Istr Usia Mean Median SD Min-Mak 95% CI
Kelompok Kontrol Intervensi
p value
9 (33,3%) 18 (66,7%)
5 (18,6%) 22 (81,4%)
0,352
6 (22,2%) 9 (33,3%) 9 (33,3%) 3 (11,1%)
5 (18,5%) 4 (14,8%) 17 (63,0%) 1 (3,7%)
0,140
12 (44,4%) 15 (55,6%)
16 (59,3%) 11 (40,7%)
0,414
7(26,0%) 8 (29,6%) 12 (44,4%)
3 (11,1%) 13 (48, 2%) 11 (40,7%)
0,242
45,19 47 12,41 24-65 40,28-50,09
41,59 45 13,06 19-70 36,43-46,76
0,262
Hasil uji kesetaraan pada karakteristik keluarga klien pasca stroke menunjukkan adanya kesetaraan pada antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi, jika ada perbedaan setelah dilakukan intervensi, maka 14
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
perbedaan tersebut disimpulkan terjadi sebagai pengaruh dari perlakukan tersebut. Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik di Rumah dan setelah dilakukan intervensi yaitu 64,26 (SD=17,53). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok kontrol meningkat setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000). Pada kelompok intervensi menunjukkan ratarata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63 (SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70 (SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok intervensi setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000). Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih sebelum dilakukan intervensi adalah 34,07 (SD=14,28) dan setelah dilakukan intervensi yaitu 64,26 (SD=17,53). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok kontrol meningkat setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000). Pada kelompok intervensi menunjukkan rata-rata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63 (SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70 (SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok intervensi setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000). Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok
Tabel 2 memperlihatkan rata-rata kemandirian aktifitas fisik sehari –hari klien pasca stroke pada kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi adalah 34,07 (SD=14,28)
rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44) dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19 (SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali selama 4 minggu dapat meningkatkan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca stroke dibandingkan yang dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu. Tabel 2 memperlihatkan rata-rata kemandirian aktifitas fisik sehari –hari klien pasca stroke pada kelompok kontrol
intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44) dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19 (SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali selama 4 minggu dapat meningkatkan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca stroke dibandingkan yang dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu. Secara rinci dapat dilihat pada tabel.2. rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44) dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19 (SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali selama 4 minggu dapat meningkatkan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca stroke dibandingkan yang dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu.
Tabel 2. Analisis Rata-rata Kemandirian Aktifitas Klien Pasca Stroke Di Kota Palangka RayaPeriode Juli-Desember Tahun 2011 (n=34) Kemandiran Aktifitas Sehari –hari Kelompok Kontrol Pre test Post test Kelompok Intervensi Pre test Post test Peningkatan Kemandirian Kelompok Kontrol Kelompok Intervensi
Mean
SD
SE
p value
34,07 64,26
14,28 17,53
2,75 3,37
0,000
39,63 83,70
14,00 16,68
2,97 3,68
0,000
30,19 44,26
8,38 10,44
2,01 1,61
0,000
15
Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke
Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari Klien Pasca Stroke Analisis yang dilakukan dengan menggunakan uji t pada variabel usia dan uji Berdasarkan tabel 3, memperlihatkan koefisien determinasi (R square) adalah 0,117 yang menjelaskan variabel usia keluarga hanya dapat menjelaskan variabel peningkatan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke sebesar 11,7% dan hasil uji F menunjukkan usia keluarga tidak mempengaruhi terhadap peningkatan kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke (p=0,723). Rata-rata pengaruh jenis kelamin keluarga terhadap peningkatan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke, dimana keluarga yang berjenis kelamin laki laki yaitu 39,93 (SD=9,42) dan perempuan 36,63 (SD=12,53). Lebih lanjut setelah dilakukan analisis diperoleh hasil tidak ada perbedaan yang signifikan berdasarkan jenis kelamin terhadap peningkatan kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke (p=0,533) Dilihat dari pekerjaan keluarga klien pasca stroke, diperoleh rata-rata keluarga responden yang tidak bekerja yaitu 40,36 (SD=11,78), sedangkan keluarga yang bekerja yaitu 33,85 (SD=10,98). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa status pekerjaan keluarga bermakna
anova pada variabel jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan peran keluarga secara terinci dapat dilihat pada tabel 3.
terhadap kemandirian aktifitas fisik klien pasca stroke (p=0,041). Rata-rata pengaruh pendidikan keluarga responden terhadap kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke dengan latar belakang SD adalah 22,55 (SD=6,50), SLTP yaitu 31,15 (SD=6,81) dan SLTA yaitu 45,19 (SD=9,21), kemudian perguruan tinggi adalah 40 (SD=10,00). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik sehari klien pasca stroke (p=0,000). Jika dilihat dari rata-rata anggota keluarga yang melatih klien pasca stroke lebih tinggi oleh istri dibandingkan dengan suam atau anak serta yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata peningkatan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke yang dilatih istri adalah 42,38 (SD=10,44), jika oleh suami adalah 38,50 (D=9,44) dan oleh anak serta yang lainnya adalah 31,96 (SD=11,94). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan posisi di keluarga terhadap peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke (p=0,010).
Tabel 3. Pengaruh Karaktersitik Keluarga Terhadap Peningkatan Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-hari Klien Pasca Stroke di Kota Palangka Raya Periode Juli-Desember 2011 (n=34)
16
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Karakteristik Keluarga Usia
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pekerjaan Tidak Bekerja Bekerja Pendidikan SD SLTP SLTA PT Posisi Keluarga Suami Istri Anak dan lainnya
Koef.Regresi 0,107 R=0.117
Beta 0,117 R²=0,014
T 0,850
p value 0,399
Mean
SD
95% CI
p value
38,93 36,63
9,42 12,53
33,48-44,38 32,62-40,63
0,533
40,36 33,83
11,78 10,98
35,79-44,38 29,41-38,28
0,041
24,55 31,15 45,19 40,00
6,50 6,81 9,21 10,00
20,18-28,92 27,03-35,27 41,47-48,92 24,09-55,91
0,000
38,50 42,38 31,96
9,44 10,44 11,94
31,75-45,25 37,63-47,13 26,79-37,12
0,010
Pembahasan Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik di Rumah Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan rehabilitasi fisik dapat lebih meningkatkan kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca stroke pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (p=0,000). Peningkatan kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke dapt terjadi karena adnya faktor pemulihan secara alammiah dari dalam tubuh dengan adanya perbaikan fungsional atau kesembuhan yang terjadi.8 Selain dari proses penyembuhan alamiah, juga dapat dihasilkan dari pengaruh pengobatan yang dapat mengurangi perluasan stroke atau intervensi lain seperti rehabilitasi fisi yang dilakukan untuk mempertinggi fungsi neurologis sehingga klien menunjukkan kontrol motorik yang baik.4 Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya oleh Gilbertson, et al (2000)9 bahwa rehabilitasi fisik di rumah klien pasca stroke yang pulang dari rumah sakit sebanyak 8 kali dengan waktu selama 30-45 menit selama 8 minggu menunjukkan hasil yang bermakna pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001). Penelitian yang lain dilakukan Weiss, et al (2005)10 menyebutkan bahwa klien yang dilakukan rehabilitasi fisik di rumah terkait aktifitas fisik sehari-hari, pergerakan sendi, tonus dan koordinasi serta sensasi yang dilakukan 6 minggu sampai 8 minggu menunjukkan hasil kemampuan berjalan
dengan alat dan mandiri secara parsial dalam pemenuhan aktifitas sehari-harinya. Peningkatan kemandirian aktifitas seharihari klien pasca stroke tidak terlepas dari peran keluarga melakukan rehabilitasi fisik. Pengembangan ketrampilan keluarga dalam merawat atau melatih klien dalam melakukan rehabilitasi fisik di rumah dan mendukung keluarga agar dapat mengambil keputusan dalam menentukan perawatan klien.11 WHO (1989, dalam Tandarwarsito, 1993)5 menyatakan bahwa program rehabilitasi fisik dapat dilanjutkan di ruah agar rehabilitasi fisik yang sudah dilakukan di rumah sakit menjadi optimal dan peranan keluarga sangat penting untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi fisik klien. Keluarga mempunyai waktu dan kesempatan yang lebih banyak dalam memberikan perawatan pada anggota keluarga yang mengalami stroke, sehingga kemitraan perawat dengan keluarga dapat mewujudkan kelanjutan perawatan yang dilakukan di rumah. Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari Klien Pasca Stroke Usia Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun.12 Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang lebih matang dalam berpikir dan bekerja dan hal ini terlihat dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa rata-rata usia anggota keluarga yang melakukan rehabilitasi fisik adalah 45, 19 (kelompok kontrol) dan 41,59 (kelompok intervensi), yang berarti rata-rata usia keluarga termasuk usia dewasa madya, 17
Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke
dimana dalam menyelesaikan suatu masalah langsung memasuki masalahnya dan mampu mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan dapat melihat akibat langsung dari usahausahanya guna menyelesaikan masalah tersebut, walaupun setelah dianalisis lebih lanjut menunjukkan bahwa usia keluarga tidak mempengaruhi terhadap peningkatan kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke (p=0,723). Bagi keluarga yang memberikan perawatan, usia dari pemberi perawatan di rumah akan berdampak terhadap perawatan yang diberikan kepada klien pasca stroke kemarena semakin tua umur seseorang atau keluarga diharapkan semakin konstruktif dalam menyelesaikan yang dialami oleh klien pasca stroke. Jenis Kelamin Jenis kelamin penting untuk dipertimbangkan karena perbedaan pengalaman antara laki-laki dan perempuan dapat berkaitan efek terapeutik. Berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jenis kelamin anggota keluarga yang merawat klien pasca stroke pada penelitian ini paling banyak adalah perempuan, 40 orang dengan rincian pada kelompok kontrol 18 orang (66,6%) dan kelompok intervensi 22 orang ( 81,4%). Setelah dilakukan analisis lebih lanjut disimpulkan jenis kelamin keluarga yang melakukan rehabilitasi fisik pada klien pasca stroke tidak pengaruh terhadap peningkatan kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke (p=0,533). Jenis kelamin merpakan sebuah set yang diduga atau diyakini mempunyai perbedaan perilaku dan pengalaman antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan ini dikembangkan oleh adanya budaya, agama dan pengaruh dari keluarga sendiri. Pendidikan Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah pendidikan formal tertinggi yang dicapai oleh keluarga. Berdasarkan latar belakang pendidikan, terlihat bahwa keluarga yang merawat klien sebagian besar berpendidikan SLTA yaitu 26 orang, SLTP 13 orang, SD 11 orang dan berpendidikan perguruan tinggi adalah 4 orang. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam bidang kesehatan.13
Analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik sehari klien pasca stroke (p=0,000). Pendidikan yang dimiliki oleh keluarga akan dapat mempengaruhi kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke di rumah. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin mudah mengerti, mampu menyelesaikan masalah, lebih trampil dan lebih cakap serta mempunyai sikap yang positif terhadap perawatan. Pekerjaan Pekerjaan merupakan kegiatan yang dapat menghasilkan uang atau pendapatan sebagi sumber penghasilan. Berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keluarga yang merawat klien pasca stroke yang tidak bekerja adalah 28 orang dan yang bekerja sebanyak 26 orang. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa status pekerjaan keluarga berpengaruh terhadap kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke (p=0,041). Bagi keluarga yang merawat klien pasca stroke, jenis pekerjaan keluarga memberikan dampak pada kemampuan keluarga untuk memberikan dukungan yang lebih baik dalam perawatan yang menunjang kelanjutan dari pengobatan dan penggunaan fasilitas kesehatan yang tersedia. Posisi di Keluarga Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung kepada klien selama di rumah dalam keadaan sehat ataupun sakit (Friedman, Bowman & Jines, 2003). Berdasarkan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa posisi di dalam keluarga dalam merawat klien pasca stroke sebagian besar klien dirawat oleh anak dan yang lainnya adalah 23 orang, dirawat oleh istri sebanyak 22 orang dan dirawat oleh suami sebanyak 10 orang. Lebih lanjut analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan posisi di keluarga terhadap peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke (p=0,010). Posisi di dalam keluarga berkaitan dengan status-status yang diciptakan dalam sebuah keluarga. Dalam sebuah keluarga terdapat sejumlah peran forml yaitu sebagai orang tua atau anak. Peran keluarga apabila salah satu anggota keluarga mengalami kondisi sakit adalah sebagai pemberi keperawatan yang dapat dilakukan oleh istri, anak atau suami. Perubahan peran ini dapat terjadi jika ada anggota keluarga yang 18
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
sakit, ketidakmampuan melakukan aktifitas, kematian atau kelahiran. Kesimpulan 1. Peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi fisik bermakna terhadap kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke. 2. Tingkat kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca stroke pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol setalah dilakukan rehabilitasi fisik. 3. Setelah dilakukan rehabilitasi fisik, karakteristik keluarga yang bermakna terhadap kemandirian kemandirian aktifitas fisik sehari klien pascastroke adalah pendidikan, pekerjaan dan posisi di keluarga, sedangkan usia dan jenis kelamin tidak bermakna terhadap kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke. Saran 1. Perlu diperkuat sistem follow up pasien pasca stroke antara rumah sakit dan puskesmas sebagai tindak lanjut perawatan di rumah. 2. Perlu dikembangkan pelayanan keperawatan di rumah (home care) sebagai modela pelayanan keperawatan berkelanjutan yang dapat dilakukan bersama oleh perawat atau antar profesi kesehatan sehingga perawatan lanjutan bagi pasien stroke dapat dilakukan secara paripurna. 3. Perlu support mental melalui kunjungan rumah terhadap keluarga yang melakukan latihan rehabilitasi fisik pada pasien-pasien stroke yang di rawat di rumah. 4. Perlu dikembangan penelitian lanjutan terhadap variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadapa penelitian ini Daftar Rujukan
3. Miscbah,J.(1999). Stroke aspek diagnostik, patofisiologi, managemen. Jakarta : Balai penerbit FKUI 4. Winarni, S (2004). Pola Tindakan Keperawatan untuk Meningkatkan Kemandirian Pada Pasien Stroke Dengan Hemiparese. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan 5. Tandrawarsito, A.L (1993). Gambaran Tentan Aktifitas Hidup Sehari-Hari Penderita Pasca Stroke Di Uni Rawat Jalan RSU Dr . Soetomo Surabaya. Laporan Penelitian Pendahuluan. Tidak Dipublikasikan. 6. Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada 7. Sastroasmoro, S. (2006). Pemilihan subyek penelitian, dalam Sastroasmoro & Ismael, dasar-dasar metodologi penelitian klinis (hlm.67-77). Jakarta: Sagung Seto. 8. Hadinoto, S., Setiawan & Soetedjo (1992). Stroke Pengelolaan Mutakhir.SemarangBadan Penerbit UNDIP. 9. Gilbertson, L., Langhorne P., Alle & Murray,G.D. (2000). Domiciliary Occupational Therapy For Patient With Stroke Discharge From Hospital : Randomized Controlled Trial, http:///bmjjournal.com. Diakses 24 Januari 2010 10. Weiss, et.al (2005) 11. Friedman, M.M., Bowman, V.R., Jones, E.G.(2003). Family Nursing, Research,theory & Practice. New Jersey: Appleton & Lange 12. Hurlock, E.B. (1995). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang rentang Kehidupan.Alih Bahasa : Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi lima. Jakarta : Penerbit Erlangga 13. Notoatmojo, S.(1997). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta
1. Mulyatsih,E & Ahmad,A .(2008). Stroke :Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di rumah. Jakarta :Balai penerbit FKUI 2. Balitbangkes, (2007). Laporan Nasional Riskesdas 2007
19
ARTIKEL PENELITIAN
Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Effect Of Suction Endotracheal Preoxygenation FOR THE OXYGEN Saturation in ICU Prof Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto Budi Widiyanto, S. Hudijono Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang
Abstrak. Tindakan suction bertujuan untuk mengeluarkan sputum dari rongga mulut, trakhea, dan bronchus sehingga jalan napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak lain yang ditimbulkan dari tindakan tersebut yaitu adanya hipoksemia yang ditandai penurunan saturasi oksigen, dan salah satu cara untuk mengatasi hipoksemia adalah dengan pemberian preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.Metode penelitian menggunakan pre eksperimental design dengan desain one group pra test-post test design. Alat yang digunakan adalah Pulse Oksimetri dan lembar observasi. Sampel yang diperoleh 17 responden dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100 % adalah 97,2941 % dan nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100 % adalah 99,7647 %, dari analisa statistik dengan t-test dependent didapat p = 0.000 (<0.05), sehingga kesimpulannya terdapat pengaruh peningkatan yang signifikan pemberian preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen. Kata Kunci : Suction, pre oksigenasi, saturasi oksigen Abstract. Mucus suction aimed to release sputum of mouth cavity, trachea, and bronchus, so that the airway is not obstructed. However there is an impact from those suction ie : the existence of hypoxemia which is marked by degradation of saturation oxygen .One of the ways to overcome hypoxemia is by giving pre oxygenation before conducting Endo tracheal suction. The aim of this research is to know the influence of giving pre oxygenation for Endo tracheal suction toward oxygen saturation in ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. This research has been conducted from 15 August until 14 September 2008. The research method was pre experimental with design one group pre test-post test. The instruments used were Pulse oxymetri and observation sheet. The obtained samples were 17 respondents by using purposive sampling technique. The result of this research revealed that average value of oxygen saturation after suction without O2 pre oxygenation 100 % was 97, 2941 % and the average value of oxygen saturation after suction with O2 pre oxygenation 100 % was 99,7647 %. The statistical analysis with dependent t-test showed p = 0.000 (< 0.05), so that it was concluded that there was significance influence from delivering pre oxygenation toward oxygen saturation before Endo tracheal suction has been conducted. Keyword : Suction, pre oxygenation, oxygen saturation
20
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Pendahuluan Beberapa kondisi pasien yang memerlukan pelayanan intensif adalah pasien dengan gangguan sistem penapasan. Salah satu bentuk gangguan pernapasan diantaranya adalah obstruksi saluran pernapasan yang bisa diakibatkan oleh adanya penumpukan sekret / cairan ataupun benda yang menghalangi saluran pernapasan. Apabila benda tersebut tidak dapat dikeluarkan maka akan berakibat sangat fatal bagi kelangsungan hidup. Obstruksi jalan napas adalah resiko yang dihadapi pasien tidak sadar karena epiglotis dan lidah mungkin rileks, yang menyumbat orofaring, atau pasien mungkin muntah atau sekresi nasofaring.1 Salah satu intervensi yang dilakukan oleh perawat di pelayanan intensif adalah pelaksanaan suction / suction saluran pernapasan. Ada 3 macam bentuk penghisapan yaitu penghisapan orofaring dan penghisapan nasofaring, penghisapan orotrakhea dan nasotrakhea, dan penghisapan napas buatan.2 Tujuan dari tindakan keperawatan suction ini adalah untuk mengeluarkan sputum dari rongga mulut, trakhea, dan bronchus sehingga jalan napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak lain yang ditimbulkan dari tindakan tersebut yaitu hipoksemia yang ditandai dengan penurunan saturasi dan peningkatan frekuensi pernapasan jika dilakukan dengan teknik yang kurang tepat.3 Menurut Baun (1984), Judson (1994), Lookinland (1991), Mancinelli-Van (1992), Peruzzi (1995) yang dikutip oleh Wynne R, Botti M, Paratz J (2004)4 Preoksigenasi direkomendasikan pada suction/suction endotrakheal untuk mencegah hipoksemia. Adapun salah satu bentuk teknik preoksigenasi yaitu hiperoksigenasi dengan meningkatkan pemberian oksigen pada saat inspirasi. Menurut Bresler (1998)5 untuk mencegah terjadinya hipoksemia adalah dengan melakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit. Pengukuran saturasi oksigen kapiler yang kontinu dapat dilakukan dengan menggunakan oksimetri kutaneus. Saturasi oksigen adalah persentase hemoglobin yang disaturasi oksigen. Menurut Whitney (1990) dikutip oleh Potter dan Perry (2005)2 keuntungan pengukuran oksimetri transkutaneus yaitu mudah dilakukan, tidak invasif, dan dengan mudah diperoleh. Oksimetri yang paling umum
digunakan adalah oksimeter nadi. Jenis oksimeter ini melaporkan amplitudo nadi dengan data saturasi oksigen. Perawat biasanya mengikatkan sensor noninvasif ke jari tangan, jari kaki, atau hidung klien yang memantau saturasi oksigen darah. Di ruang Intensif Care Unit (ICU) RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto jumlah pasien dari bulan Januari sampai April 2008 sebanyak 138 orang, dan yang dilakukan tindakan suction/suction sebanyak 76 orang artinya sekitar 55 % pasien-pasien di ruang ICU RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo dilakukan pengisapan lendir/suction. Penghisapan lendir harus dilakukan dengan prosedur yang tepat untuk mencegah terjadinya infeksi, luka, spasme, edema, serta perdarahan jalan napas, dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk menghindari terjadinya hipoksia atau hipoksemia. Sedangkan di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo tidak semua perawat sebelum melakukan tindakan suction / suction endotrakheal melakukan preoksigenasi dengan O2 100 % terlebih dahulu. Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik untuk menyusun laporan penelitian tentang pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut, ’’Adakah pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto . Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode pre eksperimental design, atau sering juga disebut dengan istilah quasi eksperimen dengan jenis penelitian menggunakan desain one group pra test-post testwithout control group yaitu caranya dengan dilakukan pre test dahulu sebelum diberikan intervensi kemudian setelah intervensi lalu diberikan post test. Sebelum
21
Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen
dilakukan intervensi kelompok subyek di lakukan tindakan pengukuran saturasi oksigen (SaO2) dengan pulse oksimetri dan setelah dilakukan intervensi dengan cara memberikan preoksigenasi O2 100 % pada suction/suction
endotrakheal kemudian dilakukan pengukuran SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal selesai, kemudian dibandingkan apakah ada perbedaan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan terhadap subyek penelitian Subyek K
Pra
Perlakuan
O1 Time 1
I Time 2 1
Paska Test
O2 Time 3
Keterangan: K : Subyek (Pasien dengan terpasang endotrakheal)
O1
I
1
O2
: Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100%. : Intervensi pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction. : Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction dengan preoksigenasi O2 100%.
Populasi dan Sampel. Dalam penelitian ini populasi yang diambil adalah seluruh pasien dengan terpasang endotrakheal yang dilakukan suction/suction di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dari tanggal 15 Agustus sampai dengan 14 September 2008. Sampel pada penelitian ini diambil dengan teknik Purposive sampling yaitu dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, atau random tetapi didasarkan atas adanya tujuan penelitian penulis dari seluruh populasi yang dirawat inap di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dalam jangka waktu yang telah ditetapkan untuk penelitian ini. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 17 orang. Kriteria sampel yang digunakan adalah : Pasien yang terpasang endotrakheal, keluarga Pasien bersedia menjadi responden, semua golongan jenis kelamin yang kooperatif, pasien yang terpasang ventilator dan dilakukan tindakan suction/suction, tidak ada kontra indikasi dilakukan preoksigenasi O2 100%”. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data Pada penelitian ini alat yang digunakan adalah pulse oksimetri yang terdapat pada bedside monitor untuk mengukur saturasi oksigen (SaO2) dari sampel yang akan diteliti,
sedangkan pemberian O2 100% yaitu dengan setting ventilator yang terhubung dengan oksigen sentral. Disamping itu peneliti juga menggunakan lembar observasi untuk menuliskan hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2). Lembar observasi diisi oleh peneliti atau enumerator (jika peneliti berhalangan hadir) yang terlibat dalam penelitian ini. Cara Pengumpulan Data. Peneliti meminta ijin secara tertulis kepada Direktur RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto untuk melakukan penelitian di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Setelah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian, peneliti dan enumerator menjelaskan maksud dan tujuan penelitian kepada responden atau keluarga pasien. Responden yang bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan menjadi responden. Peneliti atau enumerator melakukan tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% kemudian mencatat saturasi oksigen dilembar observasi. Selanjutnya dilakukan preoksigenasi O2 100% selama 2 menit dilanjutkan tindakan suction selama maksimal 15 detik kemudian kita lakukan pengukuran kembali saturasi oksigen (SaO2).
22
Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen
Etika Penelitian Peneliti atau enumerator memberikan lembar persetujuan (Informed Consent) yang merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian, hal ini bertujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampak dari penelitian, jika bersedia maka subyek diminta untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan, apabila responden menolak maka peneliti akan menghormati hak pasien dan tidak akan melakukan pemaksaan kehendak. Pada lembar pengumpulan data nama responden tidak dicantumkan, hanya dituliskan kode pada lembar alat ukurnya yaitu menggunakan nomor 1 sampai 17. Confidentiality (kerahasiaan). Pelaporan hasil riset hanya kelompok data tertentu yang dapat mewakili, semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data Pengolahan Data. Hasil dari pengumpulan data merupakan data kasar, kemudian diolah agar data kasar dapat diorganisir, disajikan dan dianalisa hingga bisa ditarik kesimpulan, ini merupakan proses penataan data. Editing. Tujuan dari editing adalah agar kesalahan atau kekurangan data yang ditemukan dengan segera dapat dilakukan perbaikan dengan cara mengoreksi data yang meliputi kelengkapan pengisian dan hasil pengamatan, koreksi ini dilakukan dilapangan setelah pengukuran saturasi oksigen (SaO2) dan pengisian chek list selesai. Koding. Setelah editing data selesai maka dilakukan pemberian kode atau tanda tertentu terhadap hasil tindakan dan pengamatan yang diperoleh untuk mempermudah penyusunan tabel. Tabulasi Guna memudahkan dalam menganalisa data maka dilakukan kegiatan memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria tertentu. Pengolahan data.Untuk mengetahui pengaruh preoksigenasi O2 100% untuk tindakan suction terhadap nilai saturasi oksigen (SaO2) dengan cara menghitung selisih nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2
100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100%. Analisa Data. Analisa Univariat. Digunakan dengan tujuan untuk menggambarkan tiap variabel dengan menggunakan tendensi sentral yang berupa Standart Deviasi (SD) dan Mean, dari hasil tersebut akan tergambar hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Analisa Bivariat. Analisa data ini digunakan untuk mengetahui hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan menggunakan alat bantu komputer melalui program SPSS versi 11.5. kemudian dilanjutkan uji statistik menggunakan t-test dependen untuk uji beda yang digunakan untuk menganalisa perbedaan nilai Mean hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, untuk semua responden yang didapat. Berdasarkan uji tersebut dapat disimpulkan nilai p value jika ≥0,05 maka hipotesis nol (Ho) diterima dan Ha di tolak, yang berarti tidak ada pengaruh hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, sebaliknya nilai p value jika < 0,05 maka hipotesis nol (Ho) ditolak dan Ha diterima yang berarti ada pengaruh hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Hasil Dalam Bab ini akan disampaikan tentang hasil penelitian yang telah dilaksanakan di ruang ICU Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto dengan jumlah
23
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
sampel 17 yaitu antara lain karakteristik responden, nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%, nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100%, pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% untuk suction/suction endotrakheal terhadap SaO2 di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Karakteristik Responden Dari rincian tabel 2 dapat kita uraikan hasil penelitian terhadap 17 responden yang
memenuhi kriteria inklusi, berdasarkan analisa data dapat diketahui bahwa jumlah proporsi responden antara laki-laki dan perempuan lebih besar laki-laki yaitu 11 responden (64,7 %) perempuan 6 responden (35,3 %). Dari tabel 2. dapat diuraikan usia terbanyak antara usia 13-44 tahun yang berjumlah 10 orang (58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun berjumlah 5 orang (29,4 %) dan usia lebih dari 60 tahun paling sedikit yaitu hanya 2 responden (11,8%).
Table 1. Karakteristik responden menurut jenis kelamin di ruang ICU RSUD Margono Soekarjo Purwokerto (n=17) Karakteristik Jenis kelamin Laki-laki Perempuan
Frekuensi (n)
Prof. Dr.
Persentase (%)
11 6
64,7 35,3
17
100,0
Table 2. Karakteristik responden menurut umur di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto (n=17) Karakteristik Umur a. b. c.
13-44 tahun 45-60 tahun > 60 Tahun
Frekuensi (n)
Persentase (%)
10 5 2
58,8 29,4 11,8
17
100,0
Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% Dari rincian pada tabel 3 dapat diterangkan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan terpasang endotrakheal yang dilakukan tindakan suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono purwokerto terdapat 17 responden, nilai ratarata (Mean) SaO2 adalah 97,2941 %, SaO2 tertinggi (Maksimal) adalah 100 %, SaO2 terendah adalah 95 % dan standar deviasi adalah 1,57181.
Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% . Pada tabel 4. dapat dijelaskan bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pasien dengan terpasang endotrakheal yang dilakukan tindakan suction/suction dengan preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono purwokerto terdapat 17 responden, nilai Mean SaO2 adalah 99,7647 %, SaO2 tertinggi (Maksimal) adalah 100 %, SaO2 terendah adalah 99 % dan standar deviasi adalah 0,43724.
24
Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen
Tabel 3. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto N 17
Mean
(%)
Maksimal
97,2941
(%)
Minimal (%)
Standart Deviasi
95
1,57181
100
Tabel 4. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto
N
Mean (%)
Maksimal (%)
Minimal (%)
Standart Deviasi
17
99,7647
100
99
0,43724
Pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada tabel 5. berdasarkan analisa statisik dengan menggunakan uji beda t- test
dependen menunjukan bahwa nilai p value adalah sebesar 0,000 (< 0,05) dengan nilai thitung = -6,769 < ttabel = -2,120 yang berarti terdapat pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen.
Table 5. Pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tindakan suction
Tanpa O2
X ( %)
97,2
SD
t
+
1,5
+
0,4
- 6,769 Dengan O2
99,7
P value
Pembahasan Pada bab ini akan dibahas mengenai karakteristik responden, hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%, hasil pengukuran SaO2 setelah dilakukan tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100%, menganalisa pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% untuk suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang telah selesai diteliti.
0,000
Karakteristik Responden. Hasil penelitian dari 17 responden yang memenuhi syarat inklusi didapatkan bahwa proporsi responden antara laki-laki dan perempuan adalah lebih besar laki-laki yaitu 11 orang (64,7 %) dibandingkan perempuan yaitu 6 orang (35,3 %) pada pasien yang dilakukan tindakan suction/suction endotrakheal dengan terpasang ventilator. Sedangkan karakteristik sampel menurut umur pada penelitian ini jumlah sampel terbanyak pada rentang usia 13-44 tahun yaitu 10 orang (58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun sebanyak
25
Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen
5 orang (29,4 %) dan yang paling sedikit usia lebih dari 60 tahun sebanyak 2 orang (11,8 %). Angka kejadian tersebut bukan berarti jumlah pasien yang terpasang endotrakheal dan dilakukan tindakan suction/suction laki-laki lebih besar dari perempuan, hal ini merupakan suatu kebetulan saja pada saat dilaksanakan penelitian pasien yang dilakukan suction/suction endotrakheal lebih banyak laki-laki. Sementara dilihat dari karakteristik usia, kelompok usia yang paling banyak adalah usia 13-44 tahun hal ini kemungkinan adalah karena usia tersebut adalah usia produktif dimana angka kejadian trauma kepala lebih besar karena dari 17 responden yang dijadikan sampel 82,3 % adalah pasien dengan trauma kepala. Hal ini diperkuat data dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2008 jumlah pasien yang terpasang ventilator dan dilakukan suction/suction endotrakheal sebanyak 52 orang dan 44 orang atau 85 % adalah pasien cedera kepala. Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh bahwa Nilai rata-rata SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% adalah 97,2941 % hal ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% yaitu 99,7647 % sehingga sesuai dengan apa yang ditulis oleh Hudak dan Gallo (1997)3 bahwa ada dampak lain yang ditimbulkan dari tindakan suction/suction yaitu hipoksemia yang ditandai dengan penurunan saturasi dan peningkatan frekuensi pernapasan jika dilakukan dengan teknik yang kurang tepat, dan salah satu cara untuk mengatasi hipoksemia tersebut adalah dengan terapi oksigen atau pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction endotrakheal dilakukan (Hudak dan Gallo, 1997).3 Adapun menurut Fikri dan Ganda (2005)6, sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh melibatkan fungsi paru-paru dan sistem kardiovaskuler. Oksigen yang ditranspor ke jaringan tergantung dari jumlah oksigen yang
masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan dan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen (hemoglobin). Sependapat dengan Hudak dan Gallo (1997)3, mayoritas oksigen yang dibawa oleh darah dibawa oleh hemoglobin, dan dalam jumlah sangat sedikit dilarutkan dalam plasma. Persentase saturasi hemoglobin dengan oksigen memberikan perkiraan mendekati jumlah total oksigen yang dibawa oleh darah. Tiap gram hemoglobin dapat membawa maksimum 1,34 ml oksigen. Persentase saturasi hemoglobin diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa hemoglobin dibandingkan dengan jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh hemoglobin,ditunjukan sebagai persentase : Jumlah O2 Hb yang dibawa Persen saturasi O2 Hb = Jumlah O2 yang dapat dibawa Hb Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% diperoleh ratarata SaO2 99,7647 % hal ini lebih tinggi dibandingkan nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% yang hanya 97,2941 %, sehingga dapat diartikan bahwa pemberian preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal mampu meningkatkan nilai saturasi oksigen. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Baun (1984), Judson (1994), Lookinland (1991), Mancinelli-Van (1992), Peruzzi (1995) yang dikutip oleh Wynne , Botti , Paratz (2004)4 bahwa Preoksigenasi direkomendasikan pada suction/suction endotrakheal untuk mencegah hipoksemia. Teknik untuk preoksigenasi ada tiga cara yaitu dengan memasukan hiperoksigenasi atau meningkatkan pengiriman oksigen inspirasi, kemudian dengan hyperinflasi atau meningkatkan tidal volume, dan teknik hyperventilation atau meningkatkan menit volume atau kecepatan respirasi. Adapun salah satu bentuk teknik preoksigenasi yaitu hiperoksigenasi dengan
26
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
meningkatkan pemberian oksigen pada saat inspirasi. Sedangkan terapi pemberian preoksigenasi dengan O2 100% pada pasien yang dilakukan tindakan suction/suction endotrakheal bertujuan untuk mengatasi hipoksemia sesuai dengan analisis gas darah, serta menurunkan kerja nafas dan menurunkan kerja miokard. Terapi pemberian oksigen dapat berjalan dengan baik dilihat dari hasil observasi saturasi oksigen. Menurut (Rupii, 2005)7 saturasi oksigen adalah kemampuan hemoglobin mengikat oksigen. Ditunjukkan sebagai derajat kejenuhan atau saturasi (SaO2). Saturasi yang paling tinggi (jenuh) adalah 100%. Artinya seluruh tangan hemoglobin mengikat oksigen. Sebaliknya saturasi yang paling rendah adalah 0% artinya tidak ada oksigen sedikitpun yang terikat oleh hemoglobin. Hemoglobin yang tidak berikatan dengan oksigen disebut reducen hemoglobin. Menurut (Hudak & Gallo, 1997)3 tiap gram hemoglobin dapat membawa maksimal 1,34 ml oksigen. Presentase saturasi hemoglobin diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin dibandingkan dengan jumlah oksigen yang dapat dibawa oleh hemoglobin (Hudak & Gallo, 1997).3 Adapun transport oksigen ke jaringan tergantung pada jumlah oksigen dalam darah arteri (kandungan oksigen arteri) dan kemampuan jantung untuk memompa darah yang mengandung oksigen ini keseluruh jaringan. Sedangkan kandungan oksigen arteri tergantung pada seberapa baik paru mampu mendapatkan oksigen dari udara ke dalam darah dan jumlah normal hemoglobin yang berfungsi untuk membawa oksigen. Sependapat dengan Fikri dan Ganda (2005)6 pengangkutan oksigen ke dalam jaringan tubuh tergantung dari jumlah oksigen yang masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan dan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. Pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% untuk suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen (SaO2) Berdasarkan hasil penelitian pada pasien dengan ventilator yang dilakukan suction/suction endotrakheal di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang dilakukan terhadap 17
responden didapatkan hasil bahwa ada pengaruh pemberian pemberian preoksigenasi O2 100% untuk suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen (SaO2). Hal ini dapat dilihat dari data adanya peningkatan nilai rata-rata SaO2 99,7647 % dari tindakan suction/suction endotrakheal yang dilakukan preoksigenasi O2 100% terlebih dahulu dibandingkan nilai rata-rata saturasi oksigen dari tindakan suction suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% yaitu hanya 97,2941 %. Dari uji beda dengan t-test dependent diperoleh p value 0,000 (<0,05) yang berarti ada pengaruh yang signifikan sekali dari pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction endotrakheal. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hudak dan Gallo (1997)3 bahwa preoksigenasi O2 100% diberikan untuk mencegah hipoksemia, takipnea, takikardi pada pasien yang dilakukan suction/suction endotrakheal. Sependapat dengan Baun (1984), Judson (1994), Lookinland (1991), Mancinelli-Van (1992), Peruzzi (1995) yang dikutip oleh Wynne, Botti , Paratz (2004)4 Preoksigenasi direkomendasikan pada suction/suction endotrakheal untuk mencegah hipoksemia. Weingart & Levitan (2011)8 bahkan meminta preoksigenasi dilakukan pada semua kategori baik resiko rendah (SpO2 96%–100%), tinggi (SpO2 91%–95%) hingga hypoksemia SpO2 90% sehingga tidak terjadi desaturasi pada akhirnya berkaitan dengan tindakan emergency airway management. Ada banyak penyebab terjadinya hipoksia jaringan yang mengakibatkan ketidakcukupan oksigen. Empat penyebab mengapa darah arteri tidak dapat membawa jumlah oksigen normal yaitu Hipoventilasi alveolar yang berhubungan dengan PCO2 tinggi, kerusakan difusi yang berhubungan dengan PCO2 rendah atau normal, pirau kanan ke kiri, ketidak cocokan ventilasi dan aliran darah pada paru. Salah satu cara untuk mengetahui ada atau tidaknya hipoksia atau hipoksemia adalah dengan mengukur saturasi oksigen. Saturasi oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang masuk paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi, dan kapasitas homoglobin dalam membawa oksigen. Kapasitas darah membawa oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut
27
Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen
dalam plasma. Jumlah dan kecenderungan homoglobin untuk berikatan oksigen. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian mengenai Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction/Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen Di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang dilakukan pada 17 responden yang dianalisa dengan SPSS versi 11.5 dapat diambil kesimpulan nilai rata-rata saturasi oksigen setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100% adalah 97,2941 %, saturasi oksigen tertinggi 100 %, saturasi oksigen terendah 95 %, dengan standar deviasi 1,57181, nilai rata-rata saturasi oksigen setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100% adalah 99,7647 %, saturasi oksigen tertinggi 100 %, saturasi oksigen terendah 99 %, dengan standar deviasi 1,50489, hasil analisis dari uji beda dengan menggunakan t-test dependen didapatkan p value 0,000 (<0,05) yang berarti bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari pemberian preoksigenasi O2 100% untuk tindakan suction/suction endotrakheal terhadap saturasi oksigen di Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Dari kesimpulan ini peneliti menyarankan agar klien yang terpasang ventilator agar diberikan tindakan suction/suction endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100%.
6. Fikri B, Ganda I.J. 2005. Transpor Oksigen, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. 7. Rupi’i. 2005. Kumpulan makalah pelatihan PPGD,RSUP dr. Karyadi, Semarang: tidak dipublikasikan. 8. Weingart, S. & Levitan, R. 2011. Preoxygenation and prevention of desaturation during emergency airway management. Annals of Emergency Medicine Volume 59, Issue 3 , Pages 165-175.e1. Diakses 20 Maret 2012.
Daftar Pustaka 1. Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, (terjemahan), Edisi 8 volume 3, Jakarta: EGC. 2. Perry & Potter. 2005. Buku saku ketrampilan dan prosedur dasar, (terjemahan), Jakarta: EGC. 3. Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis, (terjemahan), Jakarta,EGC. 4. Wynne R, Botti M, Paratz J. 2004. Preoxygenation for tracheal suctioning in ventilated adults,diakses dari doi.wiley.com/10.1002/14651858.Cd 005142, tanggal 14 mei 2008 jam 11.00 WIB. 5. Bressler, M. 1998. Buku saku: Penuntun Kedaruratan medis (terjemahan) ,Edisi V, Jakarta: EGC.
28
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Association Between Nurse Managerial Functions Head Of Nursing Perception In dr. Doris Sylvanus Hospital Palangkaraya Untung Halajur, Berthiana Tinse Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya
Abstrak. Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit akan selalu menghadapi secara langsung baik pasien maupun keluarga, selalu berinteraksi selama 24 jam sehingga lebih banyak memiliki waktu dan jumlah kontak,juga dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan profesional,merupakan salah satu indikator dalam menciptakan kepuasan dan loyalitas pasien. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruangan terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya. Desain penelitian merupakan studi crosssectional,unit analisis akan dilakukan kepada responden yaitu perawat pelaksana dengan pengukuran melalui kuesioner persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang dan pengukuran manajemen asuhan keperawatan melalui penilaian 5 dokumen keperawatan pasien yang sudah dinyatakan pulang pada masing-masing ruangan. Hasil analisis univariat tentang pelaksanaan penerapan standar asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus menunjukan bahwa hasil askep yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam asuhan keperawatan kategori cukup (68,6%), persepsi perawat terhadap fungsi perencanaan kepala ruangan yaitu 73,3% baik,fungsi pengorganisasian kepala ruangan 66,7% baik, fungsi pengarahan kepala ruangan 66,7% baik, fungsi pengawasan kepala ruangan 50% baik. Hasil analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan dan pengorganisasian kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan, sedangkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan dan pengawasan menunjukkan ada hubungan yakni p<0,05. Kata kunci: fungsi manajerial, kepala ruang, asuhan keperawatan, rumah sakit Abstract. Nurses as the spearhead of the hospital will always face directly either the patient or the family, always interacting for 24 hours so that more have the time and the number of contacts, are also required to provide health care professionals, is one of the indicators in creating patient satisfaction and loyalty. The effort is very important in improving the quality of nursing services one of which is to improve human resources management and nursing. The research objective was to analyze the relationship nurse's perception of managerial functions chief executive room on the implementation of nursing care management in the inpatient hospital Dr. Doris Sylavanus Palangkaraya. Method. The study design was cross-sectional study, the unit of analysis will be done to the respondent that the nurse practitioner through a questionnaire measuring perceptions of the nurse practitioner on managerial functions and measurement of head space management nursing care through assessment document five nursing home patients who had been declared in each room. The results of univariate analysis of implementation of the standards of nursing care in hospitals dr. Doris Sylvanus showed that nursing outcomes were assessed and the average achievement in nursing care enough category (68.6%), the perception of the head nurse of the planning function 29
Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep
room which is 73.3% better, the head of the organizing function rooms 66.7% good, function direction of head room 66.7% good, room monitoring function heads 50% good. The results of bivariate analysis showed no association between nurse executive perceptions about the functions of planning and organizing head space with the implementation of nursing care management ie p> 0.05, while the nurse executive perceptions about the direction and controlfunctions show no relationship that is p <0.05. Keywords: managerial functions, the head of the room, nursing care, hospital
Pendahuluan Rumah Sakit merupakan salah satu tatanan pemberi jasa layanan kesehatan, dimana rumah sakit dituntut harus mampu dan mau menyediakan berbagai jenis pelayanan kesehatan yang bermutu bagi pelanggan/pasien. Salah satu tuntutan yang harus diperhatikan adalah pelayanan prima yang tidak hanya memberikan pelayanan sesuai standar tetapi mengedepankan kepuasan pelanggan/pasien. Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit secara langsung berinteraksi dengan pelanggan baik pasien maupun keluarga, juga selalu berinteraksi dengan pasiennya selama 24 jam, sehingga lebih banyak memiliki waktu kontak dan jumlah kontak, dengan demikian memiliki kontribusi yang besar dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan.1Perawat juga dituntut untuk memberikan pelayanan yang profesional sebagai salah satu indikator dalam menciptakan kepuasan dan loyalitas pelanggan. Salah satu upaya yang sangat penting dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan adalah meningkatkan sumber daya manusia dan manajemen keperawatan.2Melihat pentingnya peran seorang pemimpin khususnya kepala ruangan dalam memimpin terutama melakukan fungsi manajerial dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan penting mengetahui persepsi perawat pelaksana terhadap fungsi manajerial kepala ruangan agar bisa tercapainya pelayanan keperawatan sesuai dengan standar praktek keperawatan, maka penelitian ini penting dilakukan. Menurut Sarlito persepsi adalah kemampuan untuk membeda-bedakan, mengelompokkan dan memfokuskan perhatian terhadap suatu objek , sehingga setiap orang akan berlainan dalam mempersepsikan suatu objek, dan menurut Menurut Walgito (2001) Cit Sunaryo persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsang yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan
aktivitas yang integrated dalam diri individu, sedangkan menurut Maramis (1999) Cit Sunaryo persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancainderanya mendapat rangsang.3Jadi dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa persepsi adalah suatu proses diterimanya rangsang melalui pancaindera yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik hal yang diluar dirinya maupun hal yang didalam dirinya.Manajemen adalah proses melaksanakan pekerjaan melalui upaya orang lain (Gillies).1 Manajemen keperawatan sebagai proses pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui staf keperawatan untuk memberikan Asuhan Keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada pasien/keluarga/masyarakat. Fungsi manajemen yang harus dilaksanakan oleh pengelola keperawatan yakni kepala ruangan adalah untuk merencanakan, mengorganisasi dan mengarahkan serta mengawasi sumber-sumber yang ada (dana dan daya) untuk membuat pelayanan asuhan kesehatan khususnya pelayanan keperawatan dapat berlangsung secara efektif dan efisien dan sesuai dengan standar asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.4 Adapun tujuan umum penelitian ini adalah Menganalisis hubungan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruangan terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya. Metode Desain penelitian ini merupakan studi crosssectional, populasi dalam penelitian adalah seluruh perawat pelaksana rawat inap dan dokumen keperawatan pasien yang telah pulang dalam kurun waktu 2 (dua) bulan pada Oktober – Nopember 2011 di RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.Pengambilan sampel penelitian untuk perawat pelaksana, ini ditentukan melalui 30
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Proportionate Stratified Random Sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan berstrata secara proposional serta berdasarkan ruangan dimana perawat pelaksana berada.5 Selain itu responden ditentukan berdasarkan kriteria: bersedia menjadi responden, pendidikan minimal DIII keperawatan, bekerja minimal 2 tahun diruangan tempat dimana responden berada saat penelitian, dan bekerja sebagai perawat pelaksana.Sebagai unit analisis akan dilakukan kepada responden yaitu perawat pelaksana sebanyak 30 responden yang berasal dari ruangan A, B, D, E dan F serta ruang kelas utama masing-masing diambil 5 orang sebagai responden yang memenuhi kriteriadengan pengukuran melalui kuesioner persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang dan kuesioner pengukuran manajemen asuhan keperawatan melalui penilaian 5 dokumen keperawatan pasien yang sudah dinyatakan pulang pada masingmasing ruangan yang didapat dari bagian medikal record rumah sakit Doris Sylvanus dan ditentukan secara random sampling. Alat untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunakan jenis instrumen yanig terdiri dari :a. Kuisioner Penelitian Perawat Pelaksana; 1) Daftar isian karakteristik demografi perawat, 2) Daftar pernyataan persepsi tentang faktor fungsi manajerial kepala ruangan.b. Instrumen Studi Dokumentasi Penerapan Standar Asuhan Keperawatan. Analisis data pada penelitian ini terdiri dari :a. Analisis Univariat; dilakukan untuk mendiskripsikan seluruh variabel, yaitu variabel independen maupun variabel dependen dengan menggunakan analisis statistik deskriptif (persentase, ukuran nilai tengah dan ukuran varian), b. Analisis Bivariata Analisis bivariat ini menggunakan analisis tabulasi silang (Crosstab) yaitu menyajikan data dalam bentuk tabulasi yang meliputi baris dan kolom yang datanya berskala nominal atau kategori. Chisquaremenguji adakah assosiasi antara masingmasing variabel independen persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang yaitu fungsi perencanaan, fungsi pengorganisasian, fungsi pengarahan, dan fungsi pengawasan secara sendiri-sendiri terhadap
variabel dependen tentang pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan, sehingga diketahui variabel independen mana yang secara bermakna berhubungan dan layak untuk diuji secara bersama-sama (multivariat). Apabila hasil uji Chi-squares (χ²) nilai p<0.05, maka dapat disimpulkan ada hubungan atau assosiasi antara variabel independen dan dependen.c. Analisis Multivariat; digunakan regresi logistik (logistic regression) karena skala pengukuran pada variabel dependen berskala nominal dikotom dan skala pengukuran pada variabel independen juga berskala numerik dan nominal. Disini diuji apakah probabilitas terjadinya variabel dependen dapat diprediksi dengan variabel independennya.Karena dalam penelitian ini diteliti variabel independen persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang yang diukur dengan skala nominal berpengaruh terhadap variabel dependen tentang pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan yang juga berskala nominal. Hasil Karakteristik responden penelitian kepala ruangan adalah 1) berdasarkan tingkat pendidikan kepala ruangan di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya paling banyak berpendidikan D3 Keperawatan (93,3%) dan S1 keperawatan sebanyak 6,7%. 2) berdasarkan umur kepala ruangan berumur 26-30 tahun sebanyak 50%, yang berumur 31-35 tahun sebanyak 33%, dan berumur 21-24 tahun sebanyak 16,7%. Sebagian besar kepala ruangan adalah perempuan (86,7%), laki-laki berjumlah 13,3 %. kepala ruanganyang sudah menikah sebanyak 70% dan 30% belum menikah. Pelaksanaan Penerapan Standar Asuhan Keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus Pada tabel 1.menunjukan bahwa hasil askep yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011 di kategori cukup (68,6%). Hal ini dapat dilihat pada nilai pengkajian keperawatan 74,2%, diagnose keperawatan 63,3%, perencanaan keperawatan 93,3%, evaluasi keperawatan 91,7%, dan catatan askep 88,7%.(Lihat tabel1).
31
Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep
Tabel 1. Evaluasi Pelaksanaan Penerapan Standar Askep di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 No
Askep
Jumlah
1 Pengkajian 2 Diagnose 3 Perencanaan 4 Tindakan 5 Evaluasi 6 Catatan Askep Total Pencapaian Rata-rata
89 57 168 99 55 133
Nilai seharusnya 120 90 180 120 60 150
Rata-Rata (%) 74,2 63,3 93,3 82,5 91,7 88,7 493,7 68,6
Persepsi Perawat tentang Fungsi Manajerial perencanaan terdiri dari 8 pertanyaan, fungsi dan PelaksanaanManajemen Askep di Ruang pengorganisasian terdiri dari 7 pertanyaan, Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus fungsi pengarahan 4 pertanyaan, fungsi
Pelaksanaan manajemen Askep dinilai dari 6 standar pelaksanaan Askep yaitu pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan, dan catatan asuhan keperawatan. Berdasarkan 6 standar ini kemudian dikelompokan menjadi pelaksanaan manajemen Askep tidak baik, bila nilai kurang dari nilai rata-rata dan dikatakan baik bila lebih atau sama dengan nilai rata-rata. Sedangkan persepsi perawat tentang fungsi manajerial Kepala Ruangan ditanyakan 5 fungsi manajerial Kepala Ruangan. Fungsi
pengawasan terdiri dari 6 pertanyaan, dan fungsi pengendalian terdiri dari 8 pertanyaan. Berdasarkan 6 standar ini kemudian dikelompokan menjadi persepsi perawat tentang fungsi manajerial Kepala Ruangan tidak baik bila kurang dari nilai rata-rata dan dikatakan baik bila lebih atau sama dengan nilai rata-rata. Hasil analisis bivariat ditemukan variable independen yang memenuhi kriteria kandidat model adalah fungsi pengarahan (nilai p=0,002) dan pengawasan (nilai p=0,009) (Lihat tabel 2).
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011 Variabel
Perencanaan
Tidak baik Baik
Pengorganisasian Tidak baik Baik
Manajemen Askep
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Tidak baik
Baik
4 50.0% 11 50.0% 3 30.0% 12 60.0%
4 50.0% 11 50.0% 7 70.0% 8 40.0%
Total
OR
95% CI
Nilai P
8 100.0% 22 100.0% 10 100.0% 20 100.0%
1
0,198-5,045
1,000
0,29
0,056-1,446
0,121
32
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011 Variabel
Pengarahan
Tidak baik Baik
Pengawasan
Tidak baik Baik
Manajemen Askep
Total
OR
95% CI
Nilai P
Jumlah
Tidak baik 7
Baik 3
10
2,5
1,092-7,714
0,002
% Jumlah % Jumlah
70.0% 8 40.0% 6
30.0% 12 60.0% 5
100.0% 20 100.0% 11
2,3
2,130-5,915
0,009
% Jumlah %
54.5% 9 47.4%
45.5% 10 52.6%
100.0% 19 100.0%
Model akhir multivariat terdapat hubungan antara pengarahan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya. Terlihat bahwa Fungsi pengarahan dengan nilai p=0,014 (p<0,05) dan OR=3,4, menunjukkan persepsi perawat tentang fungsi pengarahan kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh terhadap manajemen asuhan keperawatan tidak baik 3,4 kali lebih besar dibandingkan dengan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik,danfungsi pengawasan
dengan nilai p=0,044 (p<0,05) dan OR=1,19, menunjukkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan tidak baik sebesar 1,19 kali lebih besar, dibandingkan dengan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang baik. Variabel yang paling dominan mempengaruhi pelaksanaan Askep di Ruang Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus adalah fungsi pengarahan (OR=3,4)(Lihat tabel 3).
Tabel 3. Model Akhir Regresi Logistik Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011 Fungsi Manajerial Pengarahan Pengawasan Konstanta R2 = 0,601
Koefisien
OR
95% CI
Nilai P
1,304 -0,144 -1,952
3,46 1,19
1,73 – 5,60 1,09 – 4,37
0,014 0,044
Pembahasan Pelaksanaan penerapan standar Askep di RSUD Dr.Doris SylvanusPalangka Raya Nopember 2011 khususnya pada ruangan A, B, D, E dan F serta ruang kelas utama yang dijadikan sampel penelitian, menunjukan hasil bahwa asuhan keperawatan yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam asuhan keperawatan di RSUD Dr.Doris Sylvanus di kategorikan cukup baik (68,6%), hal ini dapat
dilihat pada nilai pengkajian keperawatan 74,2%, diagnosa keperawatan 63,3%, perencanaan keperawatan 93,3%, evaluasi keperawatan 91,7%, dan catatan askep 88,7%. Hal ini terkait dengan pendidikan perawat dimana sebagian besar responden berpendidikan D III Keperawatan (93,3%), dimana sudah mendapat pengetahuan dan pengalaman mengelola pasien dengan pendekatan asuhan keperawatan selama 33
Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep
pendidikan.Menurut Nursalam (2009) seorang manajer diharapkan mampu mengelola pelayanan keperawatan di ruang rawat inap dengan menggunakan pendekatan manajemen keperawatan yaitu melalui fungsi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Hasil penelitian menunjukkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala ruangan sebagian besar setuju pada perencanaan kegiatan askep kepala ruang, khususnya kegiatan setiap bulan (70%) dan setiap hari (70%), ada sebagian ragu-ragu, khususnya pada perencanaan askep tiap tahun (53,3%) dan sebagian kecil yang kurang setuju, khususnya pada perencanaan kegiatan askep tiap minggu (53,3%),akan tetapi secara kumulatif persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencannaan kepala ruangan yang tidak baik proporsinya sama baik pada perencanaan yang baik maupun tidak baik, masing-masing yaitu 50%, demikian pula dengan manajemen askep yang baik. Berdasarkan uji Chi-squares menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (p>0,05). Dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, tidak terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi perencanaan kepala ruang baik maupun tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala ruangan tingkat pendidikannya D-IV (30,3 %) dan S-1 (30,3%) serta S-1 + Ners (30,3%) walaupun mereka mempunyai masa kerja yang cukup lama, hal tersebut tidak mempengaruhi kemampuan manajerial kepala ruangan. Disamping itu perawat pelaksana sebagian besar tingkat pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli madya yang sifatnya hanya operasional dalam pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan. Hasil penelitian fungsi pengorganisasian kepala ruang menurut persepsi perawat pelaksana menunjukkan sebagian besar setuju bahwa ada perumusan metode/sistem penugasan (56,7%), membuat rincian tugas katim dan anggota tim (56,7%), mengatur dan mengendalikan tenaga keperawatan (40%), pendelegasian tugas keperawatan (53,3%), dan memberikan wewenang kepada tenaga TU (50%).Ada sebagian persepsi perawat
pelaksana ragu-ragu tentang merumuskan metoda/system penugasan (26,7%), Akan tetapi secara kumulatif persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengorganisasian kepala ruangan yang tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang baik (60%), daripada yang tidak (30%). Demikian pula dengan manajemen askep karu yang baik lebih banyak berasal dari fungsi pengorganisasian yang tidak baik (70%) daripada yang baik (40%). Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan tidak ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengorganisasian kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (p=0,121), dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, tidak terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi pengorganisasian kepala ruang baik maupun tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala ruangan sebagian tingkat pendidikannya bervariasi walaupun mereka mempunyai masa kerja yang cukup lama, hal tersebut tidak mempengaruhi kemampuan manajerial kepala ruangan. Disamping itu perawat pelaksana sebagian besar tingkat pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli madya yang sifatnya hanya operasional dalam pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruang sebagian besar kurang setuju (43,3%) bahwa kepala ruang tidak melibatkan perawat sejak awal hingga akhir, tidak memberi motivasi dalam meningkatkan asuhan keperawatan (40%), tidak pernah membimbing perawat dalam asuhan keperawatan dengan benar (43,3%). Sebagian besar setuju, jika kepala ruangan memberi pujian kepada perawat dalam asuhan keperawatan (50%), Hal tersebut didukung oleh data sejumlah persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruangan yang tidak baik (70%), daripada yang baik (40%). Demikian pula dengan manajemen askep yang baik lebih besar berasal dari pengarahan yang baik (60%) daripada pengarahan yang tidak baik (40%). Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruangan dengan pelaksanaan manajemen 34
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (p=0,002), dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik maupun tidak baik. Hasil uji regresi logistik bahwa persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan tidak baik 3,4 kali lebih besar, dibandingkan dengan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik. Pentingnya fungsi pengarahan ini dilakukan oleh seorang kepala ruang adalah karena manusia pada dasarnya dapat diarahkan dan dapat menerima kepemimpinan untuk berbagai alasan diantaranya administrasi mereka, kekuasaan, penghasilan dan keamanan. Pengarahan efektif yaitu yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan sangat berguna dalam meningkatkan dukungan staf untuk mencapai tujuan manajemen keperawatan dan tujuan asuhan keperawatan. Fungsi pengarahan yang dilakukan oleh kepala ruangan dalam melakukan kegiatan asuhan keperawatan berupa saling memberi motivasi, membantu pemecahan masalah, melakukan pendelegasian, menggunakan komunikasi yang efektif, melakukan kolaborasi dan koordinasi, hal ini akan memberikan dampak dan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat pelaksana, karena apa yang dipersepsikan oleh seseorang terhadap objek tertentu itu akan di interpretasikan oleh orang tersebut melalui perilakunya, demikian juga halnya yang akan dilakukan seorang perawat pelaksana. Hasil penelitian menunjukkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang sebagian besar kurang setuju, jika kepala ruangan tidak menilai pelaksanaan asuhan keperawatan (73,3%), tidak terlibat perbaikan askep pada saat suvervisi (63,3%), dan tidak menggunakan standar untuk menilai askep (53,3%). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang sebagian besar setuju, jika kepala ruangan melakukan supervisi langsung (63,3%), saat supervisi memperhatikan kemajuan dan kualitas asuhan keperawatan (63,3%), dan menilai pengetahuan dan ketrampilan perawat
dalam asuhan keperawatan (53,3%). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruangan yang tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari pengawasan karu yang tidak baik (54,5%), daripada yang baik (47,4%). Demikian pula dengan manajemen askep yang baik, lebih besar berasal dari pengawasan yang baik (52,6%) daripada pengawasan yang tidak baik (45,5%).Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus (p=0,009), dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi pengawasan kepala ruang baik maupun tidak baik. Hasil uji regresi logistik bahwa persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan tidak baik 1,19 kali lebih besar, dibandingkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruangan baik. Pentingnya pengawasan dilakukan karena pengawasan adalah suatu proses untuk mengetahui apakah pelaksanaan kegiatan/pekerjaan sesuai dengan renacan, pedoman, ketentuan, kebijakan, tujuan dan sasaran yang sudah ditentukan sebelumnya, sehingga dapat mencegah terjadinya penyelewengan, penyalahgunaan wewenang, juga dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, mendidik serta dapat memperbaiki kesalahan, penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang yang telah terjadi. Fungsi pengawasan kepala ruang dalam pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan dengan kegiatan supervisi keperawatan secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu juga dilaksanakan penilaian pelaksanaan asuhan keperawatan, memperhatikan kemajuan dan kualitas asuhan keperawatan, memperbaiki kekurangan/kelemahan asuhan keperawatan, meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan perawat dalam asuhan keperawatan, dan menggunakan standar untuk menilai asuhan keperawatan, hal ini akan sangat membantu perawat pelaksana dalam kegiatan asuhan keperawatan, hal ini akan memberikan dampak dan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat 35
Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep
pelaksana, karena didukung oleh kehadiran seorang atasan yang dianggap mempunyai pengaruh terhadap bawahan.Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Warsito, pada tahun 2006 dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, tidak berhubungan dengan persepsi mereka tentang fungsi perencanaan dan pengorganisasian kepala ruang baik maupun tidak baik, dan fungsi pengarahan dan pengawasan dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, berhubungan dengan persepsi mereka tentang fungsi pengarahan dan pengawasan kepala ruang baik maupun tidak baik. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :1). Perawat pelaksana yang mempunyai persepsi tentang pelaksanaan manajemen kepala ruang inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya yang baik adalah memiliki jumlah yang sama dengan yang tidak baik.2). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala ruangan terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Doris Sylvanusyai Palangka Raya perencanaan yang tidak baik proporsinya sama baik pada perencanaan yang baik, maupun yang tidak baik, masing-masing mempunyai proporsi yang sama, demikian juga halnya dengan manajemen askep yang baik mempunyaing sama.3). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengorganisasian kepala ruangan yang tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang baik daripada yang tidak baik. Demikian juga halnya dengan manajemen askep karu yang baik lebih banyak berasal dari fungsi pengorganisasian yang tidak baik daripada yang baik.4). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala ruangan yang tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari pengarahan karu yang tidak baik daripada yang baik. Demikian juga halnya dengan manajemen askep karu yang baik
lebih banyak berasal dari fungsi pengarahan yang baik daripadapengarahan yang tidak baik. 5). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala ruangan yang tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari pengawasan karu yang tidak baik daripada yang baik.Demikian juga halnya dengan manajemen askep karu yang baik, lebih banyak berasal dari fungsi pengawasan yang baik daripada pengawasan yang tidak baik.6). Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan dan pengorganisasian (p>0,05) kepala ruangan tidak terdapat pengaruhnya terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, tidak terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi perencanaan dan pengorganisasian kepala ruang baik maupun tidak baik.7).Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan dan pengawasan kepala ruangan terdapat pengaruhnya terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana perawat pelaksana yang melaksanakan manajemen asuhan keperawatan baik maupun tidak baik, terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik maupun tidak baik. Saran Kepada RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, a).Perlu meningkatkan kemampuan kepemimpinankepala ruang dengan pelatihan manajemen keperawatan. b).Perlu rekruitmen dan seleksi kepala ruang dengan latar minimal pendidikan S-1 keperawatan dan masa kerja diperhitungkan sebagai prasyarat. Untuk penelitian selanjutnya adalah perlu melihat hubungan antara persepsi dan pelaksanaan dengan latar belakang pendidikan kepala ruang S-1 dan pendidkan kepala ruang D-III diteliti secara tersendiri, selanjutnya juga bisa meneliti hubungan persepsi dan pelaksanaan dari masing-masing ruangan secara tersendiri.
36
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Daftar Pustaka 1. Nursalam. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktek Keperawatan Profesional Edisi ke-2. Jakarta : Salemba Medika, 2009. 2. Gomes C.F. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi ke-1. Yogyakarta : Andi Offset, 2001. 3. Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta : EGC, 2004 4. Suarti. S, Bahtiar Y. Manajemen Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Jakarta: Erlangga 2002. 5. Kountur R. Metode Penelitian untuk penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta : PPM, 2005. 6. Warsito B.E. Pengaruh Persepsi Perawat Pelaksana tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang Terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan di RSJD Dr.Amino Gondohutomo Semarang, Tesis. Semarang : 2006
37
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD Doris Sylvanus Palangka Raya Nurse Knowledge On Six Right Principles In Medication At RSU BLUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya Reny Sulistyowati, Barto Mansyah Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Abstrak. Prinsip enam tepat merupakan prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat dalam pemberian obat untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan keberhasilan pengobatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran dan melihat hubungan antara karakteristik perawat meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja serta tingkat pengetahuan perawat dengan tingkat penerapan prinsip enam tepat dalam pemberian obat di Ruang Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Disain yang digunakan adalah cross sectional. Responden pada penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap yang berperan dalam pemberian obat. Pengambilan sampel dengan cara purposive sampling berjumlah 50 orang dari 10 ruang rawat inap di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Data dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuisioner untuk memperoleh data deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat penerapan prinsip enam tepat oleh perawat secara umum baik. Urutan tingkat penerapan masing-masing komponen adalah tepat klien, tepat waktu, tepat obat, tepat rute atau cara, tepat dokumentasi dan tepat dosis. Namun tingkat penerapan prinsip umum yang berkaitan dengan aspek keamanan bagi perawat masih rendah. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat penerapan ini adalah karakteristik responden dan tingkat pengetahuan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat penerapan prinsip ini dapat dilakukan dengan meningkatkan pelaksanaan pendidikan keperawatan berkelanjutan. Kata Kunci: prinsip enam tepat, kesalahan pemberian obat
Abstract. The purpose of this study was to identify the relationship between nurse‟s knowledge with the level of application of six rights principles in medication at ward. Six rights principles were the principles that must be attention by nurses in medication to avoid errors medication and to take a successful of medication. The design of this study was cross-sectional with purposive sampling. Fifty (50) nurses who gived medication from 10 (ten) wards were participated as respondens in this study. The study has been conducted in RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya by distributed a set of quisioner to get data about the relation ship between the level of nurse‟s knowledge with the level of application and factors influencing in application of six rights principles in medication. The result revealed that most nurses has good level of application of six rights principles such as right patient, right time, right drug, right route, right documentation and right dose. This study also revealed that most nurses has poor implementation in level of application of universal precaution. The internal factors that influence in application of six rights principles were responden‟s characteristics and level of knowledge. To maintain and increase of level of application should be done by increasing nurse education. Key words: six rights principles, error in drug administration
38
Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat
Latar Belakang Obat merupakan salah satu bagian terpenting dalam proses penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan dan juga pencegahan terhadap suatu penyakit. Penentuan obat untuk pasien adalah wewenang dari dokter, tetapi para perawat pun dituntut untuk turut bertanggung jawab dalam pengelolaan obat tersebut. Mulai dari memesan obat sesuai order dokter, menyimpan dan meracik obat sesuai order hingga memberikan obat pada pasien. Memastikan bahwa obat tersebut aman bagi pasien dan mengawasi akan terjadinya efek dari pemberian obat tersebut pada pasien. Karena hal tersebut maka perawat dalam menjalankan perannya harus dibekali dengan ilmu keperawatan (UU No.23 th. 23 th. 1992 pasal 32 ayat (3). Dalam pemberian obat yang aman, perawat perlu memperhatikan prinsip lima tepat (five rights) yang kemudian berkembang menjadi six rights atau enam benar pemberian obat. Istilah lima benar1 yaitu : pasien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute pemberian yang benar, dan waktu yang benar. Persiapan dan pemberian obat harus dilakukan dengan akurat oleh perawat. Perawat menggunakan “Lima Benar” pemberian obat untuk menjamin pemberian obat yang aman (Benar Obat, Benar Dosis, Benar Klien, Benar Rute Pemberian, dan Benar Waktu)2. Kemudian berkembang menjadi prinsip 6 benar dalam pemberian obat yang dianggap lebih tepat untuk perawat. Joyce (1996) Prinsip “enam benar” yaitu: klien yang benar, obat yang benar, dosis yang benar, waktu yang benar, rute yang benar dan ditambah dengan dokumentasi yang benar. Six Rights Of medication Administration are : Right Medication, Right Dose, Right Time, Right Role, Right Client and Right Documentation3. Mengingat di ruang rawat inap seorang perawat harus memberikan berbagai macam obat kepada beberapa pasien yang berbeda. Data tentang kesalahan pemberian obat (medication error) yang dilakukan terutama oleh perawat di Indonesia belum dapat ditemukan. Darmansjah, ahli farmakologi FKUI menyatakan bahwa kasus pemberian obat yang tidak benar maupun tindakan medis yang berlebihan (tidak perlu dilakukan tetapi dilakukan) sering terjadi di Indonesia, hanya saja tidak terekspos media massa4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Auburn University di 36 rumah sakit dan nursing home di Colorado dan Georgia,
USA, pada tahun 2002, dari 3216 jenis pemberian obat, 43% diberikan pada waktu yang salah, 30% tidak diberikan, 17% diberikan dengan dosis yang salah, dan 4% diberikan obat yang salah5. Pada penelitian ini juga dikemukakan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Institute of Medicine error pada tahun 1999, yaitu kesalahan medis (medical error) telah menyebabkan lebih dari 1 (satu) juta cedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data yang didapat JCHO juga menunjukkan bahwa 44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi dirumah sakit setiap tahun disebabkan oleh kesalahan medis6. Data penelitian mengenai tingkat pengetahuan farmakologi (pemberian obat) yang dilakukan oleh Kuntarti pada tahun 20047 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta di kemukakan sekitar 61,7% perawat belum pernah mengikuti seminar atau pelatihan tentang pemberian obat dan hanya 38,3% perawat yang sedah mengikuti kegiatan tersebut. Pada penelitian ini penulis memilih hubungan antara tingkat pengetahuan perawat terhadap prinsip enam benar dengan tingkat penerapannya yang harus diperhatikan oleh perawat dalam pemberian obat. Karena fakta di lapangan beberapa kali ditemui kasus kesalahan pemberian obat, contohnya dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Qosim (2007) dirumah sakit di Gombong, ditemukan antara lain kesalahan cara pemberian obat yaitu perawat hanya memberikan obat oral pada pasien tanpa menunggu pasien tersebut meminumnya, pemberian obat kepada pasien tanpa memvalidasi identitas pasien yang dituju dan pemberian obat yang tidak didokumentasikan oleh perawat, serta perawat tidak memakai sarung tangan ketika memberikan obat secara parenteral. Tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan yang memiliki jumlah terbesar dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit dan harus selalu siap membantu klien setiap saat serta bekerja selama 24 jam setiap harinya untuk memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif dan profesional7. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga perawat menempati posisi yang menentukan tinggi rendahnya mutu pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah sakit karena tenaga keperawatan yang setiap hari berinteraksi langsung dengan klien, demikian halnya dengan proses pemberian obat.
39
Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat
Berdasarkan hasil pengamatan penulis di RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya belum pernah dilakukan penelitian tentang tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat oleh perawat di ruang rawat inap. Mengingat kesalahan dalam pemberian obat merupakan hal yang dapat menimbulkan ancaman jiwa bagi pasien, maka perlu diadakan penelitian berkenaan dengan hal tersebut agar kesalahan serupa tidak terjadi kembali. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metoda analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu seluruh variabel independen dan dependen diamati dalam satu saat yang bersamaan, dalam rangka mencari hubungan antara karakteristik dan tingkat pengetahuan perawat tentang prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat dengan pelaksanaannya. Dalam penelitian ini populasi penelitian adalah seluruh perawat pelaksana fungsional yang bertanggung jawab dalam memberikan obat kepada klien dan yang bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Sedangkan sampel penelitian adalah perawat yang bertugas di ruang rawat inap dewasa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (total sampling) yaitu sebanyak 50 orang dengan tingkat pendidikan minimal SPK/SPR. Alasan mengambil sampel perawat pelaksana fungsional di ruang rawat inap karena perawat memiliki kesempatan interaksi dengan pasien secara individual lebih lama daripada perawat yang bertugas di bagian rawat jalan. Sampel dipilih dengan cara purposive sampling. Pengolahan dan analisa data hasil penelitian dilakukan melalui tahap-tahap dari Pengolahan Data, Editing, Coding,Tabulasi, Data entry dan
Tabel 1. Karakteristik Perawat Yang Bekerja Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011
Data cleaning serta melalui Analisa Univariat dan Analisa Bivariat. Hasil Penelitian Karakteristik Responden Distribusi karakteristik perawat dibedakan menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan masa kerja dapat dilihat pada tabel 4.1.Umur responden yang terendah 23 tahun dan tertinggi 51 tahun dengan rata-rata 31 tahun. Umur dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu umur dewasa muda 20 – 39 tahun dan umur dewasa tua antara 40 – 60 tahun8. Pada penelitian ini umur perawat dikelompokkan berdasarkan umur yang paling membahagiakan diusia 30 yaitu umur 33 tahun9. Dari seluruh responden dapat terlihat bahwa sebagian responden berada pada kelompok umur ≤ 33 tahun (88%), sedangkan yang berumur > 33 tahun sebanyak 12% (tabel 1). Dari seluruh responden jenis kelamin lakilaki paling sedikit, yaitu sejumlah 6%. Sedangkan wanita sebanyak 94% (tabel 4.1). Dari seluruh responden dapat terlihat yang memiliki latar belakang pendidikan SPK/SPR/D1 bidan ada 12%, tingkat pendidikan DIII Keperawatan (88%) (tabel 1). Dari seluruh responden, rata-rata sudah bekerja selama 6 tahun dengan variasi 1 tahun sampai 31 tahun. Masa kerja dikelompokkan menurut lama masa kerja menjadi tiga kategori, yaitu masa kerja pendek (< 5 tahun) yang mana pengalaman dalam memberikan obat masih belum cukup, masa kerja lama (≥ 5 tahun), yang idealnya pengalaman dalam melaksanakan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat lebih banyak. Berdasarkan masa kerja diperoleh sebagian besar responden memiliki masa kerja pendek (48%) dan masa kerja lama (52%) (tabel1). Grafik 1. Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Di Ruang Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011
40 39
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Karakteristik Umur a. ≤ 33 tahun b. > 33 tahun Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Wanita Pendidikan a. DIII Keperawatan b. SPR/SPK/D1 bidan Masa Kerja a. < 5 tahun (pendek) b. ≥ 5 tahun (lama)
Jumlah
%
44 6
90% 10%
5 45
6% 94%
44 6
88% 12%
24 26
48% 52%
Baik 42% Buruk 58%
Hasil analisa univariat terhadap seluruh responden menunjukkan pengetahuan buruk sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan baik sebanyak 29 orang (58%) (Grafik 1).
Pengetahuan Untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden, digunakan 20 pertanyaan tentang pemberian obat. Penilaian untuk tiap butir pertanyaan diberikan nilai 5 bila responden menjawab benar dan nilai 0 bila menjawab salah. Tingkat pengetahuan dibagi dalam 2 kategori dengan cut of point median. Nilai pengetahuan berkisar yang terendah 30 dan nilai tertinggi 100 dengan nilai median 75. Tingkat pengetahuan responden dikategorikan tinggi bila nilai ≥ 75 dan rendah bila < 75.
Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Penerapan pemberian obat dengan menerapkan prinsip enam tepat diukur dengan pertanyaan dengan skala likert (1-5) sebanyak 27 pertanyaan mengenai cara pemberian obat dan 3 pertanyaan mengenai tindakan universal pre-caution.
Tabel 2. Komponen Enam Tepat dalam Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011 No. I 1 2 3
Komponen Enam Tepat Tepat Obat Mengecek program terapi pengobatan dari dokter Menanyakan ada/tidaknya alergi obat
4
Menanyakan keluhan klien sebelum dan setelah memberikan obat Mengecek label obat 3 kali
5
Mengetahui interaksi obat
6
Mengetahui efek samping obat
7
Hanya memberikan obat yang disisapkan sendiri Tepat Waktu Mengecek program terapi pengobatan dari dokter Mengecek tanggal kadarluarsa obat
II 1 2 3
III 1
Memberikan obat dalam rentang 30 menit seblum sampai 30 menit setelah waktu yang diprogramkan Tepat Dosis Mengecek terapi pengobatan dari dokter
selalu
sering
kadang
htp
tp
42 84% 25 50% 34 68% 33 66% 21 42% 23 46% 14 28%
8 16% 17 34% 8 16% 17 34% 16 32% 17 34% 8 16%
0 0% 8 16% 8 16% 0 0% 21 42% 10 20% 18 36%
0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 4 8%
0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 6 12%
50 100% 42 84% 45 90%
0 0% 2 4% 5 10%
0 0% 6 12% 0 0%
0 0% 0 0% 0 0%
0 0% 0 0% 0 0%
45
5
0
0
0
2 41
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
2
Mengecek hasil hitungan dosis dengan perawatan lain (double cek)
90% 29 58%
10% 16 32%
0% 5 10%
0% 0 0%
0% 0 0%
*htp = hampir tidak pernah; tp = tidak pernah
Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan Responden Tentang Prinsip Penerapan ‘Enam Tepat’ Untuk melihat hubungan antara variabel independen (bebas) dengan variabel dependen (terikat) maka dilakukan uji chi square (X2) dan nilai p. Hasil analisis hubungan faktor karakteristik responden (umur, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja) serta pengetahuan responden tentang prinsip penerapan „enam tepat‟ dengan penerapannya oleh perawat terdapat pada tabel 2. Hubungan Umur Dengan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Umur perawat dikelompok berdasarkan umur yang paling membahagiakan diusia 30 yaitu umur 33 tahun9. Berdasarkan tabel 3 penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia ≤33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia diatas 33 tahun. Berdasarkan hasil uji Chi Square didapatkan nilai p= 0,041 yang artinya ada perbedaan yang signifikan pada penerapan prinsip enam tepat antara perawat yang berumur ≤33 tahun dengan perawat yag berumur >33 tahun. Odds ratio adalah 3,9 tahun yang artinya perawat dengan umur >33 tahun cenderung melakukan penerapan prinsip „enam tepat‟ yang buruk sebesar 3,9 kali dibandingkan dengan perawat yang berumur ≤ 33 tahun (95% CI: 1-15,2). Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Jenis kelamin perawat tidak menunjukan adanya perbedaan (nilai P=0,218). Hal ini disebabkan kurangnya responden yang berjenis kelamin laki-laki hanya 3 orang saja, sehingga ada 2 sel yang nilai expectednya < 5. (Tabel 2). Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Tingkat pendidikan perawat tidak menunjukan adanya perbedaan (nilai p=0,339). Hal ini disebabkan kurangnya responden yang berasal dari pendidikan SPK/SPR/D1 bidan
sehingga ada 2 sel yang nilai expectednya < 5. (Tabel 2.). Hubungan Masa Kerja Dengan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Penerapan penerapan prinsip enam tepat diihat dari masa kerja perawat tidak menunjukan perbedaan yang signifikan. Penerapan prinsip enam tepat yang baik sedikit lebih banyak ditemukan pada perawat dengan masa kerja <5 tahun (70,8%) dibandingkan dengan perawat yang masa kerjanya ≥ 5 tahun (61,5%). Sedangkan penerapan prinsip enam tepat yang buruk sedikit lebih banyak pada perawat dengan masa kerja ≥ 5 tahun (38,5%) dibandingkan dengan perawat yang masa kerjanya <5 tahun (29,2%). Namun, berdasarkan hasil uji chi-square nilai P = 0,488 artinya tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penerapan prinsip enam tepat antara masa kerja ≥ 5 tahun dengan masa kerja <5 tahun (table 2). Hubungan Pengetahuan Dengan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih banyak sedikit pada perawat yang pengetahuannya baik (69%) dibandingkan dengan perawat yang pengetahuannya buruk (61,9%). Sedangkan pelaksaan prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak sedikit pada perawat dengan pengetahuan kurang (38,1%) dibandingkan dengan perawat yang pengetahuannya baik (31%). (Tabel 2.). Pembahasan Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat Dalam Pemberian Obat Hasil kuesioner pernyataan responden didapatkan 33 orang (66%) perawat telah melaksanakan prinsip enam tepat dengan dalam pemberian obat kepada klien sedangkan yang penerapannya buruk sebanyak 17 orang (34%). Hasil pernyataan (self assessment) ini tanpa didukung dengan hasil observasi, sehingga apabila dilakukan penelitian sejenis berikutnya hendaknya juga disertai dengan observasi sebagai perbandingan. Rata-rata responden menyatakan telah menjalankan
2 42
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
prinsip „enam tepat‟ dalam memberikan obat kepada klien, hal ini terlihat dari hasil pernyataan yang diberikan, rata-rata responden melakukan prinsip „enam tepat‟ pemberian obat sebagai rutinitasnya sehari-hari. Kecuali pada item tepat cara pemberian, yaitu pemberian per oral: mengecek kemampuan menelan, menunggui klien sampai meminum obatnya, antara pernyataan selalu dan kadangkadang sama-sama sebanyak 13%.
Tepat waktu memiliki tingkat penerapan yang paling tinggi, yaitu pada bagian pernyataan mengecek program terapi pengobatan dari dokter, sebanyak 45 responden (90%) menerapkannya. Tindakan untuk meyakinkan bahwa obat diberikan pada waktu yang tepat, perawat sebaiknya memberikan obat dalam waktu 30 menit sebelum dan sesudah waktu yang terjadwal jika interval pemberian obat lebih dari 2 jam9,10.
Tabel 3. Hasil Uji Chi Square Hubungan antara Karakteristik dan Pengetahuan Perawat dengan Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011 Penerapan Baik Buruk Umur
χ2
Nilai p
OR 95% CI
4,166
0,041
3,9 (1 – 15,2)
1,518
0,218
0,234 (0,02-2,8)
≤33 tahun
Jumlah %
28 73.7%
10 26.3%
38 100.0%
>33 tahun
Jumlah
5
7
12
41.7%
58.3%
100.0%
1 33.3% 32 68.1%
2 66.7% 15 31.9%
3 100.0% 47 100.0%
% Jenis Kelamin laki-laki
Jumlah % perempuan Jumlah %
Pendidikan
SPK/SPR/ D1 bidan D3
Jumlah % Jumlah %
5 83.3% 28 63.6%
Masa Kerja
≥5 tahun
Jumlah % Jumlah %
16 61.5% 17 70.8%
10 38.5%
Jumlah % Jumlah %
20 69.0% 13 61.9%
9 31.0% 8 38.1%
<5 tahun Pengetahuan
Total
baik buruk
1 16.7% 16 36.4%
7 29.2%
Perawat juga harus mempertimbangkan efek yang akan terjadi setelah pemberian obat dengan waktu pemberian. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Auburn University di 36 rumah sakit dan nursing home di Colorado dan Gergia, USA, pada tahun 2002, bahwa dari 3216 jenis pemberian obat, 43% diberikan pada waktu yang salah5.
6 100.0% 44 100.0%
0,913
0,339
2,857 (0,306-26,655)
26 100.0% 24 100.0%
0,480
0,488
0,659 (0,202 – 2,150)
29 100.0% 21 100.0%
0,271
0,603
1,4 (0,420 – 4,455)
Tingkat penerapan terbaik kedua adalah tepat klien, yaitu 44 (88%) responden mengecek identitas klien pada papan atau kardeks. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh karakteristik responden yang hampir seluruhnya wanita (94%), berpendidikan D-III Keperawatan (88%) dan lama kerja ≥ 5 tahun (62,5%). Dengan karakteristik responden seperti itu, penerapan kemampuan komunikasi perawat lebih baik karena salah satu tindakan
2 43
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
yang perlu dilakukan untuk menjamin ketepatan klien ini adalah memanggil nama klien ketika akan memberikan obat12. Tingkat penerapan yang cukup baik berikutnya adalah tepat dokumentasi. Dokumentasi pemberian obat yang tepat mencakup aspek lima tepat yaitu tepat klien, obat, dosis, cara pemberian dan waktu pemberian serta respons klien terhadap pengobatan. Aspek legal dalam pendokumentasian yang perlu diperhatikan antara lain nama atau inisial dan tanda tangan atau paraf perawat yang memberikan. Prinsip yang perlu diterapkan oleh perawat yaitu mencatat yang dikerjakan diri sendiri dan tidak mencatat apa yang dikerjakan oleh orang lain12. Komponen dari prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat yang tingkat penerapannya cukup banyak yang rendah adalah penerapan tepat obat dan tepat cara atau rute pemberian. Tindakan untuk meyakinkan bahwa perawat memberikan obat yang tepat kepada klien, perawat harus mampu mengintepretasikan program terapi pengobatan dokter secara tepat. Selain itu perawat juga dianjurkan membaca label obat paling sedikit tiga kali sebelum memberikan obat, yaitu saat melihat botol atau kemasan obat, sebelum menuangkan obat dan sesudah menuangkan obat11. Hasil penelitian ini menunjukkan ada 10 orang (20%) yang rendah. Begitu juga dengan ketepatan cara pemberian obat, hanya 3 orang (6%) yang tingkat penerapannya rendah. Tindakan untuk menjamin bahwa cara atau rute yang digunakan untuk memberikan obat adalah tepat, perawat harus yakin bahwa bentuk obat sesuai dengan cara yang tertulis dalam program terapi pengobatan10. Untuk pemberian obat secara oral atau melalui mulut, perawat harus mengkaji kemampuan klien dalam menelan dan tidak meninggalkan klien sebelum yakin bahwa klien benar-benar menelan obatnya. Pada tindakan universal caution dalam pemberian obat, item pernyataan membuang jarum suntik bekas pada tempat khusus dalam keadaan terbuka, didapatkan hasil selalu 14%, yang lebih rendah dibandingkan dengan pernyataan tidak pernah sebanyak 16%. Hal ini berdasarkan pengamatan dari peneliti ratarata diruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya belum memiliki tempat pembuangan jarum suntik bekas pakai yang khusus, di tiap ruangan masing
menggunakan tempat sampah tradisional dan belum ada alat khusus perusak jarum disposable. Padahal prinsip universal precaution penting diperhatikan dan diterapkan oleh perawat, terutama untuk keamanan (safety) bagi perawat. Perawat juga harus menggunakan teknik aseptik ketika memberikan obat. Untuk pemberian obat secara parenteral, perawat harus menggunakan teknik steril dan mengikuti cara atau instruksi penyiapan dan pemberian dari perusahaan pembuat obat11. Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Responden Dilihat dari karakteristik perawat yang bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya sebagian besar berumur dewasa muda (88%), sedangkan yang berumur dewasa tua hanya 12%. Di satu sisi hal ini menguntungkan bagi rumah sakit karena para perawatnya masih berada dalam usia produktif dan berkesempatan dalam mengembangkan diri. Hasil analisa univariat terhadap seluruh responden menunjukkan pengetahuan buruk sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan baik sebanyak 29 orang (58%). Hal ini kemungkinan kurangnya pelatihan atau seminar tentang penerapan pemberian obat yang diikuti oleh perawat yang bekerja di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Tampak dari item pertanyaan yang diajukan pada kuesioner, seluruh perawat menjawab tidak pernah mengikuti pelatihan atau seminar tentang pemberian obat. Variabel-Variabel Yang Berhubungan Dengan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Umur Hasil penelitian membuktikan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh perawat dengan nilai p= 0,041. Dengan demikian penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia ≤33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia diatas 33 tahun. Teori Gibson (1987)13 tentang faktor demografi khususnya umur dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dalam penelitian ini terbukti. Variabel-Variabel Yang Tidak Berhubungan Dengan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Jenis Kelamin
2 44
Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat
Hasil penelitian membuktikan tidak ada hubungan bermakna antara umur dengan penerapan komunikasi terapeutik dengan nilai p= 0,218. Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan penerapan komunikasi terapeutik tidak terbukti. Demikian pula teori Gibson (1987)13 tentang jenis kelamin dapat mempengaruhi perilaku kerja individu, dalam penelitian ini tidak terbukti. Hal ini menunjukkan bahwa responden laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama untuk melaksanakan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat kurang atau baik. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ bisa disebabkan karena dari keseluruhan jumlah responden yang berjumlah 50 orang, hanya 3 orang dengan jenis kelamin laki-laki, sedangnya selebihnya adalah perempuan (47 orang). Pendidikan Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara pendidikan dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat dengan nilai p= 0,339, OR= 2,857 (95% CI = 0,306-26,655). Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat tidak dapat dibuktikan. Tingkat pendidikan dapat dijadikan indikator dalam penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat yaitu semakin rendah tingkat pendidikan perawat, semakin kurang pula tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat. Teori Green (1980) tentang faktor predisposisi khususnya pendidikan dapat mempengaruhi perilaku individu tidak terbukti dalam penelitian ini. Hal ini bisa disebabkan tidak adanya responden yang berasal dari pendidikan S-1 perawat, karena perawat yang memiliki latar belakang pendidikan S-1 di RSUD Doris Sylvanus ratarata menjabat sebagai kepala ruangan. Masa Kerja Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara masa kerja dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat dengan nilai p= 0,488, OR= 0,659 (95% CI = 0,202 – 2,150). Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara masa kerja dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat tidak dapat dibuktikan. Teori Gibson (1987) yang
menyatakan bahwa pengalaman termasuk variabel individu yang mempengaruhi perilaku kerja tidak terbukti dalam penelitian ini. Masa kerja perawat di ruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya yang menerapkan „prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat antara yang ≥ 5 tahun dengan yang < 5 tahun hampir sama banyak. Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara masa kerja perawat dengan tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan hasil penelitian dalam analisis bivariat membuktikan tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat dengan nilai p= 0,603 ; OR = 1,4 (95% CI = 0,420 – 4,455). Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ tidak dapat diterima. Menurut Notoatmodjo (2002)14 pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang apabila suatu tindakan didasari oleh pengetahuan, maka pengetahuan tersebut akan bersifat langgeng. Pengetahuan seseorang dapat menurun setelah beberapa lama apabila tidak ada pengulangan atau tidak dipraktekkan secara terus menerus7. Tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat yang telah dikemukakan diatas mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Pada penelitian ini yang teridentifikasi adalah faktor internal yaitu karakteristik responden dan tingkat pengetahuan; dan faktor eksternal yaitu pernah tidaknya responden mengikuti seminar atau pelatihan tentang pemberian obat. Pada tingkat pengetahuan, penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan responden dalam menyelesaikan kasus tentang pemberian obat pada kuisioner sebagian besar baik. Hasil tersebut mungkin dipengaruhi oleh sebagian besar responden merupakan perawat berpendidikan D-III (88%). Hal ini juga dibuktikan dengan pengenalan responden terhadap istilah „enam tepat‟. Padahal hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 50 responden tidak satupun yang pernah mengikuti kegiatan seminar atau pelatihan tentang pemberian obat. Tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟yang baik, yang dicapai
39 45
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
oleh sebagian besar responden pada penelitian ini juga mungkin disebabkan oleh pemahaman mereka terhadap besarnya peranan perawat dalam pemberian obat. Selain itu dari hasil penelitian ini tampak bahwa tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat yang sebagian besar cukup baik, lebih dipengaruhi oleh faktor internal perawat, yaitu karakteristik responden meliputi umur responden yang membuktikan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh perawat dengan nilai p= 0,041. Dengan demikian penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia ≤33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada perawat dengan usia diatas 33 tahun. Dengan demikian responden yang berumur muda memiliki risiko untuk melakukan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat lebih baik daripada yang berusian > 33 tahun. Teori Gibson (1987)13 tentang faktor demografi khususnya umur dapat mempengaruhi perilaku seseorang, dalam penelitian ini terbukti. Kesimpulan Tingkat pengetahuan perawat tentang prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat menunjukkan hasil yang lebih banyak yang memiliki tingkat pengetahuan tinggi dibandingkan yang rendah. Gambaran mengenai tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat oleh perawat menunjukkan bahwa sebagian besar cukup baik, lebih dipengaruhi oleh faktor internal perawat yaitu karakteristik responden terutama umur responden yang membuktikan ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh perawat dengan nilai p= 0,041. Tingkat pengetahuan responden juga baik terbukti pada penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan responden dalam menyelesaikan kasus tentang pemberian obat pada kuisioner sebagian besar baik dan perlu dipertahankan.
kepada klien selaku pengguna pelayanan kesehatan serta mengirimkan staf keperawatan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, minimal sampai setingkat sarjana keperawatan. Karena semakin tinggi tingkat pendidikan perawat, penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat idealnya lebih optimal dilaksanakan. Daftar Rujukan
1. Tambayong, J. 2002. Farmakologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika. 2. Perry dan Potter (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 1, Alih Bahasa Yasmin Asih, SKp. Jakarta: EGC. 3. Kozier, Erb & Olivieri. 2004. Fundamentals of Nursing: Concepts, Process and Practice. California: Addison-Wesley. 4. Nainggolan, N. 2003. Pemakaian
5.
6.
7.
8.
Saran Perlu diadakan kegiatan seminar, pelatihan 9. atau workshop secara kontinyu mengenai pentingnya prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat untuk meningkatkan mutu pelayanan dibidang keperawatan mengingat semakin ketatnya persaingan antar rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang terbaik 40
Antibiotik Dosis Tinggi Merusak Ginjal Anne. Suara Pembaruan, 09 Desember 2003. Joint Commission on Accreditation of Health Organization. 2002. Research Shows Disturbing Drug Error Rates, diunduh pada 20 November 2011 dari http://www.glencoe.com/ps/health/arti cle/php4?articleId=518. Kinninger, T & Reeder, L. 2003. Establishing Roi For Technology to Reduce Medication Errors is Both a Science and an Art, diunduh pada 20 November 2011 dari http://www.highbeam.com. Kuntarti, 2005). Tingkat Penerapan Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap. Jakarta: FKUI. Taylor, C, Lilis, C & Le Mone, P. 1989. Fundamentals of Nursing: Concepts, Process and Practice. New York: Lippincot. Chernecky, C, et al. 2002. RealWorld Nursing Survival Guide: Drug Calculations and Drug Administration. Philadelphia: WB Saunders Co. 4 46
Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat
10. Kee, J.L & Hayes, E.R.
2000. Pharmacology: A Nursing Process Approach, 3rd Ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 11. Abrams, A.C. 1995. Clinical Drug Therapy: Rationales For Nursing Practice, 4th Ed Philadelphia: J.B. Lippincott Co. 12. Gibson, J.H. 1987. Fundamentals of Management. Chicago: Irwin. 13. Notoadmojo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
39 47
ARTIKEL PENELITIAN
Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011 Association Between Hormonal Contraseptive And Breast Cancer In dr Doris Sylvanus Hospital, Palangka Raya, 2011
Arainiati, Legawati, Noordiati Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya
Abstrak. Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari 250,000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175,000 di Amerika Serikat. Estimasi insidens kanker payudara di Indonesia sebesar 26 per 100.000 perempuan dan kanker leher rahim sebesar 16 per 100.000 perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara Jenis penelitian yang dilaksanakan menggunakan rancangan cross sectional study melalui pendekatan kuantitatif sampel 115 ibu. Analisa data dilakukan melalui tiga tahapan yaitu analisis ( ) dan RR sedangkan univariabel, analisis bivariabel dengan menggunakan uji untuk analisis multivariat secara regresi logistic. Hasil analisis bivariabel menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara.Beberapa variabel yang berhubungan adalah genetik dan paritas. Hasil multivariabel dengan permodelan menunjukkan hubungan yang bermakna antara penggunaam metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dengan mengontrol variabel genetik dan paritas dapat memberikan kontribusi sebesar 17%.Terdapat hubungan yang bermakna antara metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara, variabel lain yang mempengaruhi kejadian kanker payudara adalah paritas dan genetik dan yang tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara adalah umur, pendidikan dan pekerjaan. Kata Kunci: Kontrasepsi hormonal, Kontrasepsi non hormonal dan kanker payudara Abstract. According to the WHO 8-9% of women will develop breast cancer. This makes breast cancer as the type of the most common cancer in women. Each year more than 250,000 new cases of breast cancer diagnosed in Europe and approximately 175.000 in the United States. According to WHO, in 2000 an estimated 1.2 million women diagnosed with breast cancer and more than 700,000 die from it. There are no accurate statistics in Indonesia, but the data collected from hospitals showed that breast cancer ranked first among other cancers in women breast cancer is the leading cause of cancer death in women. Each year, in the United States 44.000 patients died of the disease while in Europe, more than 165.000. This study was aim to know the relationship of use of hormonal contraceptive methods with the incidenceof breast cancer. The design conducted using cross sectional design study with a quantitative approach to sample 115 mothers. Quantitative data analysis carried out in three stages, namely analysis univariabel, bivariabel analysis using an χ2 (Chi square) and RR, while for the multivariate logistic regression analysis. The analysis showed bivariabel there was a significant association between use of hormonal contraceptive methods with the incidence of breast cancer (RR = 2.4, 95% CI = 1.13 to 4.93). Several variables related to the genetic (RR = 1.39 95% CI = 1.1 to 1.7) and parity (RR = 2.85, 95% CI = 1.01 to 8.04). The results of the multivariable modeling demonstrated a significant association between use of hormonal contraceptive methods with the incidence of breast cancer (RR = 7.41, 95% CI = 2.05 to 26.73) to
48
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
control the genetic variables and parity can contribute by 17% for events breast cancer in addition there are many other risk factors that cause increased incidence of breast cancer. Conclusion: Breast cancer in users of hormonal contraceptive methods was more pronounced, as many as 71 people (73.2%) compared with those not using hormonal contraception methods were 26 men (26.8%). There is a significant association between hormonal contraceptive method with the incidence of breast cancer. Another variable affecting the incidence of breast cancer is the parity (number of children) and genetic (family history of breast cancer). Another factor that has no effect on the incidence of breast cancer are age, education and employment .. Keywords: hormonal contraceptives, non-hormonal contraceptives and breast cancer Pendahuluan Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari 250,000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175,000 di Amerika Serikat. Masih menurut WHO, tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita terdiagnosis kanker payudara dan lebih dari 700,000 meninggal karenanya. Belum ada data statistik yang akurat di Indonesia, namun data yang terkumpul dari rumah sakit menunjukkan bahwa kanker payudara menduduki ranking pertama diantara kanker lainnya pada wanita(1). Kanker payudara merupakan penyebab utama kematian pada wanita akibat kanker. Setiap tahunnya, di Amerika Serikat 44,000 pasien meninggal karena penyakit ini sedangkan di Eropa lebih dari 165,000. Setelah menjalani perawatan, sekitar 50% pasien mengalami kanker payudara stadium akhir dan hanya bertahan hidup 18 – 30 bulan(2). Penyakit kanker merupakan penyebab kematianke–5 di Indonesia. Kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara. Sudah lebih dari 30 tahun kanker payudara menjadi suatu penyakit yang paling ditakuti oleh wanita. Insiden kanker di Indonesia masih belum diketahui secara pasti karena belum ada registrasi kanker berbasis populasi yang dilaksanakan(3). Penyebab pasti kanker payudara tidak diketahui. Ada sejumlah faktor yang dapat meningkatkan risiko pada individu tertentu, yang meliputi:Jenis kelamin perempuan, Umur, Genetik, Mutasi genetik dari kanker ovarium, riwayat keluarga, mempunyai peluang besar menderita kanker payudara dari hasil mammography, hasil biopsi memperlihatkan adanya hyperplasia, riwayat terkena radiasi pada usia muda, tidak pernah punya anak, mempunyai anak pada umur diatas 35 tahun, tingginya kadar androgen dan estrogen dalam
darah, penggunaan hormonal pengganti, obesitas, kepadatan tulang yang tinggi, minum alkohol setiap hari, menopause umur diatas 55 tahun,menarche umur ≤ 12 tahun menggunakan pil hormonal kontrasepsi secara langsung maupun tidak langsung(4). Pentingnya faktor usia sebagai faktor risiko diperkuat oleh data bahwa 78% kanker payudara terjadi pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dan hanya 6% pada pasien yang kurang dari 40 tahun. Ratarata usia pada saat ditemukannya kanker adalah 64 tahun. Studi juga mengevaluasi peranan faktor gaya hidup dalam perkembangan kanker payudara yang meliputi pestisida, konsumsi alkohol, kegemukan, asupan lemak serta kurangnya olah fisik (5). Penelitian lain menyatakan bahwa ada dua faktor penting yang bisa meningkatkan kejadian kanker payudara adalah tindakan menghentikan kehamilan dan kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan risiko kejadian kanker payudara. Kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen dan progestin dapat menyebabkan selsel payudara berkembang biak sehingga meningkatkan kemungkinan mutasi yang menyebabkan sel kanker dan bersifat karsinogenik (6). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kejadian kanker payudara dengan penggunaan metode kontrasepsi hormonal di Rg Perawatan Bedah Wanita RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Metodologi Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional study(7). Subjek penelitian ini adalah ibu yang menderita/ pernah di rawat di Ruang Perawatan Bedah Wanita RSUD dr Doris Sylvanus Palangka Raya pada Periode Januari-Desember 2010 (8) dengan diagnosis kanker payudara dan tidak menderita kanker payudara. Penelitian ini dilakukan di Ruang Bedah Wanita terdiri dari 78 orang penderita
49
Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara
kanker payudara dan 37 orang penderita yang bukan penderita kanker payudara yang dirawat di Ruang Bedah Wanita RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Pengambilan data dilakukansecarasekunder menggunakan catatan rekam medik pasien yang ada. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan total populasi penderita yang pernah di rawat di Ruang Bedah Wanita RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Periode Januari- Desember 2010(8).Data dianalisis secara kuantitatif dengan analisis univariabel, bivariabel dan multivariabel. Uji statistik yang digunakan chi-square dengan melihat risiko relatif (RR) dengan tingkat kemaknaan p < 0.05 serta confidence interval 95%(7). Hasil Karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis kuantitatif Analisis bivariabel untuk melihat hubungan antara variabel penggunaan metode kontrasepsi hormonal dan kejadian kanker
payudara serta variabel umur ibu, pendidikan, paritas, genetik, pekerjaan dapat dilihat padaTabel 2. PadaTabel 2 terlihat bahwa terdapat hubungan antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara. Dan ini dapat dilihat dari nilai RR 2,4 yang menunjukkan bahwa penggunaan metode kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan kejadian kanker payudara 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan penderita yang tidak menggunakan metode kontrasepsi non hormonal. Dari tabel 2 juga terlihat bahwa faktor lain yang mempengaruhi kejadian kanker payudara adalah genetik (RR= 1,39; dimana kejadian kanker payudara meningkat pada responden yang mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit kanker payudara 1,39 kali lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita kanker payudara) dan paritas (RR= 2,85: dimana kejadian kanker payudara lebih besar dialami multipara 2,85 kali lebih besar dibandingkan primirapa)
Tabel 1. Karakteristik Responden, RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106) Variabel
Frekuensi n=106
Persentase (%)
Ya Tidak
78 37
67,8 32,2
Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Non Hormonal
97 18
84,4 15,6
78 37
67,9 32,1
73 42
63,5 36,5
18 97
15,7 84,3
Primipara Multipara
34 81
29,6 70,4
Bekerja Tidak Bekerja
22 93
19,1 80,9
Kanker Payudara
Umur 20-35 tahun >35 tahun Pendidikan Menengah Tinggi Genetik Ya Tidak Paritas
Pekerjaan
50
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Tabel 2. Analisis Chi Square (χ2) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara, RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)
Variabel Penggunaan kontrasepsi Hormonal Non Hormonal Umur 20-35 tahun >35 tahun Pendidikan Ibu Menengah Tinggi Genetik Ya Tidak Paritas Primipara Multipara Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja
n
Kanker Payudara Ya Tidak % N %
x2
RR
95% CI
71 7
73,2 38,9
26 11
26,8 61,1
8,19
2,4
1,13-4,93
23 55
62,2 70,5
14 23
37,8 29,5
0,93
0,68
0,87-1,53
49 29
67,1 69,1
24 13
32,9 30,9
1,4
0,91
0,82-2,03
12 62
66,7 63,9
6 35
33,3 36,1
4,3
1,39
1,1-1,7
25 53
73,5 65,4
9 28
26,5 34,6
5,57
2,85
1,01-8,04
64 14
68,8 63,6
29 8
31,2 36,4
0,21
0,92
0,66-1,31
Keterangan: RR (95% CI) = Risk Ratio (95% Confidence Interval)
Analisis multivariabel dilakukan dengan menggunakan permodelan yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dan melakukan kontrol pada beberapa variabel yang mempunyai hubungan yang bermakna pada analisis bivariat dan variabel yang secara teoritis mempunyai hubungan dengan variabel bebas dan terikat.
Berdasarkan hasil analisis multivariat pada Tabel 3 dengan regresi logistikdan melakukan permodelan, terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dengan melakukan kontrol pada beberapa variabel lain.
Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara, RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)
Variabel Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Non Hormonal Genetik Ya Tidak
Model 1 RR 95% CI
Model 2 RR 95% CI
Model 3 RR 95% CI
Model 4 RR 95% CI
6,18 (1,96-19,47)
7,69 (2,19-27,04)
6,04 (1,83-19,93)
7,41 (2,05-26,73)
6,45 (1,25-32,24)
6,22 (1,09-35-32)
51
Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara
Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara, RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)
Variabel Paritas Primipara Multipara N R2 Deviance
Model 1 RR 95% CI
115 0,07 133,8
Model 2 RR 95% CI
Model 3 RR 95% CI
Model 4 RR 95% CI
115 0,12 126,9
4,08 (1,41-11,74) 115 0,13 125,9
3,80 (1,29-11,13) 115 0,17 120,04
Keterangan: OR(95%CI): odd ratio (95% confidence interval)
Pemodelan dalam logistic regression menampilkan nilai RR danconfidence interval (CI) 95%. Nilai -2 log likelihood atau deviance digunakan untuk membandingkan perbedaan regresi model 1 dengan model regresi lainnya. Perbedaan bermakna secara statistic jika model regresi yang lain berbeda dengan regresi model 1, berarti variabel tambahan lain selain variabel bebas mempunyai peluang mempengaruhi variabel terikat dan berpeluang merubah nilai RR pada variabel bebasnya. R2 yaitu melihat seberapa jauh seluruh variabel dalamsetiap model memprediksi proporsi ibu yang mengalami kejadian kanker payudara. Dapat disimpulkan bahwa model yang dipilih adalah model dengan nilai R2 tertinggi sebagai pertimbangan untuk melakukan intervensi. Banyak hal yang menjadi faktor risiko kejadian kanker payudara sehingga dari permodelan regresi logistik ini maka dapat dipilih model 4 dimana terlihat adanya hubungan yang bermakna antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dengan nilai RR= 7,41; 95% CI= 2,05-26,73, sehingga dapat dibuat sebuah pernyataan bahwa untuk ibu-ibu yang menggunakan metode kontrasepsi hormonal mempunyai peluang 7,41 kali lebih besar mengalami kanker payudara dibandingkan dengan ibu yang tidak menggunakan metode kontrasepsi hormonal, apalagi dengan adanya riwayat genetik dalam keluarga tentang penyakit kanker payudara dan jumlah anak lebih dari 1 (multipara) akan memperbesar peluang risiko (kontrasepsi hormonal dapat memberikan kontribusi peningkatan kejadian kanker payudara sebanyak 17%).
Pembahasan Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dan melihat beberapa variabel lain yang juga mempengaruhi meliputi: umur, pendidikan, genetik, paritas dan pekerjaan. Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Berdasarkan hasil analisis multivariat kontrasepsi hormonal dapat memberikan kontribusi kejadian kanker payudara sebesar 17% setelah dilakukan pengontrolan pada variabel genetik dan paritas. Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan oleh Penelitian lain (3) yang menyatakan bahwa penggunaan metode kontrasepsi hormonal kombinasi (estrogen dan progesteron) meningkatkan kejadian kanker payudara 1,864 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan pengguna metode kontrasepsi hormonal kombinasi (OR=1,864; p =0,118). Dari nilai p value = 0,118 yang lebih besar dari p>α=0,05 maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai OR=1,864 atau kemungkinan pengguna kontrasepsi hormonal kombinasi memiliki peluang lebih besar 1,864 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bukan pengguna metode kontrasepsi hormonal non kombinasi akan tetapi kontrasepsi hormonal kombinasi bukan faktor risiko yang signifikan dapat meningkatkan kejadian kanker payudara. Non Hormonal Kontrasepsi harus digunakan sebagai pilihan pertama pada penderita kanker yang survival. Sterilisasi dan pemasangan IUD non hormonal dapat merupakan pilihan
52
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
metode kontrasepsi non hormonal. Penelitian lanjut untuk penggunaan metode kontrasepsi hanya hormon progestin dibutuhkan oleh penderita kanker payudara yang survival (9). Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan Umur responden Penelitian ini menunjukkan bahwa analisis bivariabel menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian kanker payudara. Penelitian yang dilakukan di Perjan RS Dr. Cipto (3) Mangunkusumo menunjukkan bahwa karakteristik kejadian kanker payudara terbesar pada responden umur 40-44 tahun. Akan tetapi, tidak dilakukan analisis bivariabel untuk melihat hubungan antara umur dengan kejadian kanker payudara. Berdasarkan program SEER (Surveillance, Epidemiology and End Results) yang dilakukan NCI (National Cancer Institutte) insidensi kanker payudara meningkat seiring dengan pertambahan usia. Diperkirakan 1 dari 8 wanita mengalami perkembangan penyakit payudara sepanjang hidupnya. Kemungkinan terbesar perkembangan payudara mulai terjadi pada wanita dengan kisaran umur 40-50 tahun (3) Penelitian ini mendukung penelitian lain yang dilakukan(5) menyatakan bahwa penderita kanker payudara pada kisaran umur 60 tahun. Dan ini mendukung penelitian lain (4) yang menyatakan bahwa ada perbedaan kejadian kanker payudara pada masing-masing kisaran umur meliputi : umur 20 tahun (1 dari 232), umur 40 tahun ( 1 dari 69), umur 50 tahun (1 dari 42), umur 60 tahun ( 1 dari 29) dan Umur 70 tahun ( 1 dari 27). Penelitian lain yang dilakukan (1) menyatakan bahwa umur pertama melahirkan > 30 tahun akan meningkatkan kejadian kanker payudara (OR=2,27; 95% CI = 1,02-5,05). Hal ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadian kanker payudara 2,27 kali pada umur melahirkan > 30 tahun dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pertama pada umur < 30 tahun. Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan Pendidikan Responden Pendidikan bukan merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan atau menurunkan kejadian kanker payudara).
Penelitian lain yang dilakukan(1) didapatkan bahwa status pendidikan adalah pada pendidikan menengah sebanyak 34 orang (54%) dibandingkan pendidikan rendah sebanyak 4 orang (6,3%). Setelah dilakukan analisis bivariabel ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna dan signifikan antara pendidikan dengan kejadian kanker payudara Penelitian berbeda dilakukan oleh (2) yang menyatakan bahwa pendidikan akan meningkatkan kewaspadaan tentang kesehatan, pemeriksaan sadari dan pemeriksaan klinisi untuk penyakit kanker payudara. Dengan pendidikan yang tinggi dapat memudahkan kerjasama dalam memberikan pengobatan atau penanganan apabila ditemukan/ terdeteksi awal menderita kanker payudara. Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan Pekerjaan Responden Pekerjaan bukan merupakan salah satu faktor yang bisa meningkatkan atau menurunkan kejadian kanker payudara). Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan (1)yang menunjukkan bahwa angka kejadian kanker payudara paling banyak diderita oleh ibu rumah tangga sebanyak 48 orang (76,2%) dibandingkan dengan wanita pekerja. Walaupun demikian tidak terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian kanker payudara. (4) Penelitian berbeda dilakukan menemukan bahwa paparan radiasi pada umur muda yang berlangsung lama akan meningkatkan risiko kejadian kanker payudara. Paparan radiasi yang lama dan kontinyu merupakan salah satu faktor predisposisi kejadian kanker payudara karena dapat meningkatkan perkembangan sel baru yang sifatnya abnormal atau adanya mutasi genetik dari pertumbuhan sel baru tersebut sehingga terjadi pertumbuhan sel kanker. Ini banyak ditemukan pada kelompok wanita yang terkena radiasi pada umur yang sangat muda. Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan Paritas responden Terdapat hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian kanker payudara (RR= 2,85, dan p= 0,01; dimana kejadian kanker payudara meningkat dengan semakin
53
Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara
banyaknya jumlah anak yang dilahirkan dimana multipara 2,85 kali lebih besar kejadian kanker payudara dibandingkan dengan primipara). Penelitian lain (10) menemukan bahwa paritas mempengaruhi kejadian kanker payudara. Karena ditemukan perbedaan antara kanker payudara pada ibu yang melahirkan satu kali dengan yang melahirkan anak 4 orang atau lebih. Menyusui bayi setelah melahirkan dapat menurunkan faktor risiko kejadian kanker payudara sepanjang proses menyusui. Karena dalam proses menyusui kelenjar air susu mengalami perubahan. Dalam periode menyusui tersebut akan menghasilkan rentang waktu untuk kehilangan siklus menstruasi. Siklus menstruasi menyebabkan setiap bulan wanita melepaskan hormon estrogen dan progesteron. Paparan hormon estrogen selama periode mestruasi inilah yang diketahui merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian kanker payudara. Sehingga ditemukan perbedaan dengan penelitian yang lain bahwa paritas dapat mempengaruhi kejadian kanker payudara. Dengan semakin banyaknya anak yang dilahirkan dan semakin panjangnya proses menyusui akan menurunkan risiko kejadian kanker payudara (6). Hubungan Kejadian Kanker Payudara dengan Genetik (Riwayat Penyakit Kanker Payudara dalam keluarga) Dan hasil analisis bivariabel menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara genetik dengan kejadian kanker payudara Persentase penderita kanker payudara yang memiliki riwayat keluarga penderita kanker payudara sekitar 6-12%. Riwayat menderita kanker payudara yang diwarisi menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Carrier kanker payudara akan meningkatkan perkembangan kanker payudara pada usia muda (3)
Penelitian lain yang dilakukan (4) menyatakan bahwa pada kenyataannya bahwa ada beberapa wanita yang menderita kejadian kanker payudara akan tetapi tidak memiliki riwayat keluarga yang menderita kanker payudara. Seorang wanita yang memiliki ibu, saudara perempuan atau anak perempuan
menderita kanker payudara akan meningkatkan faktor risiko kejadian kanker payudara. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :1) Kanker payudara pada pengguna metode kontrasepsi hormonal lebih tinggi yaitu sebanyak 71 orang (73,2%) dibandingkan dengan yang tidak menggunakan metode kontrasepsi hormonal sebanyak 26 orang (26,8%); 2)Terdapat hubungan yang bermakna antara metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara; 3) Variabel lain yang mempengaruhi kejadian kanker payudara adalah paritas (jumlah anak) dan genetik (riwayat kanker payudara dalam keluarga); 4) Faktor lain yang tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara adalah umur, pendidikan dan pekerjaan. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut maka dapat ada beberapa saran atau rekomendasi meliputi : 1) Bagi Petugas Kesehatan dapat melakukan penyuluhan kesehatan secara gencar dalam setiap kegiatan tentang pengaruh metode kontrasepsi hormonal terhadap kejadian peningkatan kanker payudara, 2). Bagi BKKBN membantu fasilitasi penyedian metode kontrasepsi non hormonal serta menggalakkan metode kontrasepsi jangka panjang non hormonal. Daftar Pustaka 1. Harrison, PA., Srinivasan, K., Binu, VS., Vidyasagar, MS., Nair, S. Risk Factor for Being Cancer Among Women Attending a Tertiary Care Hospital in Southern India.International Journal of Collaborative Reasearch on Internal Medicine & Public Health. 2010 April;2(4):109-116. 2. Schulman, LN., Willet, W,., Sievers, A., Knaul, FM. Breast Cancer in Developing Countries: Oppurtunities for Improved Survival. Oncology.J.2010 May-Oct 3. Harianto., Mutiara, R., Surachmat. Risiko Penggunaan Pil Kontrasepsi Kombinasi terhadap Kejadian Kanker Payudara pada Reseptor KB di Perjan RS Dr. Cipto
54
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
4.
5.
6.
7.
Mangunkusumo. Majalah Ilmu Kefarmasian. II(1): 84-99. Susan G. Facts For Life Breast Cancer Risk Factors. Health Communication Research Laboratory at Saint Louise University 2012 Klein, RL., Brown, AR., Castro, CMG., Chambers, SK., Cragun, JM., Le Beu, LG., Long, JI. Ovarian Cancer Metastatic to the Breast Presenting as Inflammatory Breast Cancer: A Case Report and Literature Review. Journal of Cancer. 2010 June;1:27-31. Lanfranchi, A. The Reasons Hormonal Contraceptives and Induced Abortion Increase Breast Cancer Risk, Agust 2009.76(3):236-249 Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom T. Basic Epidemiology. 2nd ed. Geneva: WHO; 2006.
8.
Bagian Medical Record. Register Pasien Perawatan Ruang Bedah Wanita. RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya 2011 9. Chair, DMP., Lea, RH., Jeffrey,JF., Oza, A., Reid, RL., Swenerton, KD. Progesteron Only and Non Hormonal Contraception in The Breast Cancer Survivor: Joint Review and Committee Opinion of the Society of Obstericians and Gynaecologist of Canada and the Society og Gynecologic Oncologists of Canada. Joint Clinical Practice Guidelines, July 2006. 10. National Breast and Ovarian Cancer Centre. Report to The nation Breast Cancer 2010.Australian Goverment Department of Health and Ageing.
55
ARTIKEL PENELITIAN
Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya Effect of Relaxation Theraphy on Pregnancy induced Hypertension in Palangka Raya
Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi Di Puskesmas sekota Palangka Raya.Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test, tekanan darah diukur sebelum dan setelah pemberian relaksasi progresif. Data karakteristik ibu hamil dikumpulkan melalui kuisoner. Uji statitistik ada 2 tahap yaitu univariate dan bivariate. Terdapat 10 orang dengan hasil sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 16 orang tetap, dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi dari sebelum relaksasi. Test statistics menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai P <0,05, dengan demikian disimpulkan terdapat perbedaan rerata sistolik antara sebelum relaksasi dan sesudah relaksasi.Jika dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah relaksasi yaitu sebesar 5 mmHg Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan sesudah relaksasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang tinggi dari sebelum relaksasi.Kesimpulan ada penurunan tekanan darah sistolik setelah dilakukan relaksasi progresif. Sedangkan tekanan diastolik tidak ada penurunan yang signifikan dengan dilakukan relaksasi progresif. Tidak terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan terutama tekanan darah diastolik hal ini dapat disebabkan waktu pemberian atau latihan relaksasi yang singkat yaitu 1 bulan. Kata Kunci : Relaksasi Progresif, hipertensi pada ibu hamil
Abstract. Hypertension is one of the complication in the pregnancy. Hypertension was defined as systolic and diastolic pressure increased until it reaches or exceeds140/90 mmHg. Hypertensice disease in pregnancy plays a major role in morbidity and maternal mortality and perinatal, complications of hypertension is estimated to be approximately 7-10% of all pregnancies. One of the measure for hypetension in pregnant women is the relaxation. Relaxation is one way that can be done by individuals to reduce stress, and reduces blood pressure due to relaxation training can be by achieved a relaxed state, the general decline in the level of tension and increase comfort. Purpose research to knowing in purpose of effectiveness research provision progressive relaxation in pregnant women with hypertension the public health service in Palangka Raya. Method used in this study was quasi experemental approach to pre and post test, blood pressure was measured before and after administration of progresive relaxation. Maternal characteristics data collected throught questionnaires. The are 2 test statistic univariate and bivariate stages. There are 10 people with lower systolic outcomes after relaxation than before relaxation, 16 people remain, and 10 people have high systolic relaxation than before. Test stastics show the result obtained by the Wilcoxon test P< 0,05, thus there is a difference rerata sistolic concluded between the before and after relaxation. It seen from the diffrence in mean systolic blood pressure
56
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
before and after the relaxation is equal to 5 mmHg, while diastolic pressure before and after relaxation showed significant diffrence (P>0,06). It is also evident from the mean diastolic difference between before and after relaxation is zero. Discriptively, the are 4 people with lower diastolic result after relaxation than before relaxation, 22 people remain, and o people have high distolic relaxation of before. There is a decrease in systolic blood pressure after progresive relaxation while the diastolic pressure there was no significant decrease with progressive relaxation cone. Keywords :Progressive relaxation, hypertension in pregnance women Pendahuluan Pada masa kehamilan ibu harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena ibusehatakanmelahirkanbayi yang sehat, begitu pula sebaliknya. Faktor kesehatan ibu sangat menentukan dalam menentukan kemampuan melahirkan bayi yang sehat. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan kemampuan dalam melahirkan bayi yang sehat adalah ibu hamil dengan penyakit hipertensi. Penyakit hipertensi pada kehamilan berperan besar dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan parinteral, hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10 % seluruh kehamilan. Di dunia yaitu berkisar 5-8% disebabkan oleh hipetensi dalam kehamilan. Di Amerika Serikat, kematian ibu disebabkan hipetensi dalam kehamilan, preeklampsia dan eklampsia kurang dari 1% dan kematian janin sekitar 12%. Di negara berkembang Kematian ibu yang disebabkan oleh Hipetensi dalam kehamilan dan Preeklampsia Berat (PEB) masih tinggi, sekitar 5 – 10 %, dan kematian janin sekitar 40 %. Dari seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama masa hamil, setengah sampai dua pertiganya didiagnosa mengalami preeklamsi atau eklamsi. Prevalansi kehamilan pada wanita dengan penyakit ginjal kronis atau penyakit pembuluh darah seperti hipertensi esential, diabetus mellitus dan lopus eritematosus meningkat sampai 20-40%.1 Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih tinggi dibandingkan dengan AKI negara-negara ASEAN lainnya. Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2006 sebanyak 255 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2007 sebanyak 228 per 100.000 kelahiran hidup, dan pada tahun 2008 sebanyak 248 per 100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian ibu yang paling besar adalah perdarahan 28%, keracunan
kehamilan/eklamsi (kaki bengkak dan darah tinggi) sebanyak 24% dan infeksi sebanyak 11%. Pada tahun 2009 angka kematian ibu (AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran hidup. 2 Di Indonesia preeklampsia-eklampsia masih merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan kematian perinatal yang tinggi. Hipertensi diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7% sampai 10 % seluruh kehamilan. Hipertensi dalam Kehamilan adalah penyebab kematian utama ketiga pada ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi. Angka kejadian Hipertensi dalam Kehamilan kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan. 3 Salah satu tindakan untuk mengatasi hipertensi pada ibu hamil adalah dengan relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan sendiri oleh individu untuk mengurangi stres, kekalutan emosi dan bahkan dapat mereduksi pelbagai gangguangangguan fisiologis dalam tubuh sehingga dengan relaksasi dapat memberikan keuntungan secara fisik dan psikis yaitu memberikan rasa tenang, mengurangi tekanan darah, mengatur pernafasan, mengurangi atau bahkan terhindar dari serangan panik akibat kekurangan oksigen, memperlancar aliran darah, mengurangi pegal akibat meningkatnya tekanan otot di saat stres, menghilangkan gangguan somatisasi seperti sakit kepala (migrain), sakit Punggung, memberikan kontrol baik ketika marah atau frustrasi, memberikan tenaga lebih dalam menghadapi stres, meningkatkan kemampuan konsentrasi, memberikan ketenangan dalam pengambilan keputusan dan tenang dalam menghadapi masalah dan bertindak lebih efisien. Penelitian yang dilakukan oleh Reshma dkk dengan judul Effect of Relaxation Therapy on mild pregnancy incuded hypertesiondengan menggunakan metode kuasi eksperimen didapatkan hasil 57
Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi
terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad aibuhamil pertama dengan dengan hipertensi yaitu rata-rata Score prarelaksasi 17,4, dan postrelaksasi 7,17. Berdasarkan hal itu maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahuiEfektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan post test yaitu tekanan darah ibu diukur sebelum dan setelah diberikan relaksasi progresif. Prosedur yang dilakukan yaitu pada awal penelitian tekanan darah ibu diukur, bagi ibu dengan tekanan darah yang melebihi 140/90 mmHg diberikan relaksasi progresif dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu selama 1 bulan, dan terakhir dilakukan pengukuran tekanan darah kembali.Penelitian dilakukan di Puskesmas Sekota Palangka Raya dengan waktu Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Juni sampai dengan Desember 2011.Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan hipertensi di Puskesmas sekota Palangka Raya.Sampel penelitian ini adalah semua ibu hamil yang ada di puskesmas sekota Palangka Raya dengan hipertensi (tekanan darah di atas 140/90 mmHg) . Besar sampel dalam penelitian ini adalah sesuai kriteria subyek penelitian yang dibatasi oleh lamanya waktu penelitian yaitu berjumlah 26 orang dengan kriteria inklusi ibu hamil dengan hipertensi tanpa melihat usia kehamilan dan berapa jumlah kehamilan, kesadaran kompos mentis, dan kriteria inklusi ibu hamil dengan diabetes mellitus, gangguan perdarahan, ibu hamil dengan riwayat penyakit hati, dan ginjal.Variabel yang diteliti dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel independen dan dependen. Variabel independen yaitu relaksasi progresif dan variabel dependen penurunan tekanan darah.
Pengumpulan data dilakukan pada kelompok ibu hamil dengan hipetensi dan dilakukan relaksasi progresif, selanjutnya data yang diperoleh diolah dan dianalisa dengan menggunakan aplikasi statistik pada program komputer. Hasil Dan Pembahasan Karakteristik responden dalam penelitian inidilihat dari umur, pekerjaan, pendidikan dan usia kehamilan. Responden yang berumur kurang dari 20 tahun (< 20 tahun) sebanyak 5orang (19%), umur 20-35 tahun sebanyak 16 orang (62%) dan lebih dari 35 tahun (> 35 tahun) sebanyak 5 orang (19%). Perkerjaannya adalah sebagai Ibu Rumah Tangga yaitu sebanyak 16 orang (62%), dan yang lainnya swasta sebanyak 7 orang (27 %) dan PNS sebanyak 3 orang (11%).Dari umur dan pekerjaan terlihat bahwa sebagaian besar responden berada pada usia produktif yaitu 16 orang dan bekerja baik sebagai ibu rumah tangga, swasta dan PNS. Seorang ibu yang bekerja bertujuan untuk membantu perekonomian keluarga, dan stess dari pekerjaan dapat dapat memberikan dampak tersendiri terutama pada ibu yang sedang hamil. Berdasarkan tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini adalah SD/Sederajat yaitu sebanyak 9 orang (34,6%), SMP/sederajat 9 orang (34,6%), SMU/sederajat 5 orang (19,2%), perguruan tinggi (PT) 1 orang (3,8%) dan tidak sekolah 2 orang (7,6%). Dari tingkat pendidikan terlihat bahwa masih banyak responden pada tingkat pendidikan SD dan tidak sekolah. Tingkat pendidikan termasuk dalam latar belakang psikososial yang dapat menjadi penyebab stress pada ibu. Usia kehamilan respondendalam penelitian ini adalah usia kehamilan lebih dari 20 minggu (> 20 minggu) sebanyak 24 orang (92%) dan kurang dari 20 minggu (<20 minggu) sebanyak 2 orang (8%).
58
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
Tabel 1. KarakteristikSubjekPenelitian (n=26) Karakteristik
Rerata
SD
Min-Max
Sistoliksebelum (mmHg)
150
8,9
140-170
Sistoliksesudah (mmHg)
145
9,5
130-160
Dstoliksebelum (mmHg)
90
4,7
90-100
Diastoliksesudah (mmHg)
90
5,5
80 - 100
Analisis bivariate yang digunakanyaituujihipotesis non parametric Wilcoxon (uji alternative dependent Ttest).Uji ini digunakan karena setelah dilakukan transformasi data untuk upaya distribusi data menjadi normal tidak berhasil. Tabel2.memperlihatkan hasil uji analisis Wilcoxon. Terdapat 10 orang dengan hasil sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 16 orang tetap, dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi dari sebelum relaksasi. Test statistics menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai P <0,05, dengan demikian disimpulkan terdapat perbedaan rerata sistolik antara
sebelum relaksasi dan sesudah relaksasi. Jika dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah relaksasi yaitu sebesar 5 mmHg (table 4.1.). Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan sesudah relaksasi tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang tinggi dari sebelum relaksasi.
Tabel 2. Analisis Non Parametrik Wilcoxon Tekanan Darah Sistolik dan Distolik Sebelum dan Sesudah Relaksasi (n=26) N Sistoliksesudahrelaksasi – sistoliksebelumrelaksasi
Diastoliksesudahrelaksasi – diastolicsebelumrelaksasi
Statistik
Negative Ranks
10a
Positive Ranks
0b
Ties
16c
Total
26
Negative Ranks
4a
Positive Ranks
0
Z
P
-2,84
0,005
-1,890
0,06
b
Ties
22c
Total
26
a. after
before c. after =before
Relaksasi pada ibu hamil dengan hipertensi dapat membantu menurunkan tekanan darah. Dalam penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan tekanan darah
dengan pada ibu hamil dilakukan relaksasi yaitu terdapat 10 orangdenganhasilsistoliknyalebihrendahsetela hrelaksasidaripadasebelumrelaksasi, 16 orang
59
Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi
tetap, dan 0 orang mempunyaisistolik yang tinggidarisebelumrelaksasi. Hal inisesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reshma dkk pada penelitiannya yang berjudul Effect of Relaxation Therapy on mild pregnancy incuded hypertesionmenunjukkanbahwa, terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad aibuhamil pertama dengan dengan hipertensi.Studi menunjukkan bahwa stres memainkan peranan besar dalam tekanan darah tinggi. Pernapasan lambat adalah teknik aktif untuk mengurangi stres dan tekanan darah membuka pembuluh darah santai otot di diafragma. Sistem saraf manusiater diri dari atas system saraf pusat dan system saraf otonom.Sistem saraf otonom terbagi menjadi system saraf simpatetis yang bekerja diantaranya dengan meningkatkan rangsangan atau memacu organ-organ tubuh dan saraf parasimpatetis yang menstimulasi turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh system saraf simpatetis dan menstimulasi naikknya semua fungsi yang diturunkan oleh saraf simpatetis. Saat tubuh mengalami ketegangan dan kecemasan maka yang bekerja adalah system saraf simpatetis sedangkan system saraf para simpatetis bekerja pada waktu tubuh dalam keadaan rileks. Dengan demikian relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa cemas.4,6 Relaksasi aka nmengubah ketegangan otot menjad irelaks, sehingga tekanan darah penderita hipertensi dapat diturunkan.Relaksasi memperlancar proses metabolism tubuh, laju denyutjantung, peredaran darah.4,6 Relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan.Relaksasi adalah suatu teknik yang merupakan bagian dari terapi perilaku. Relaksasi adalah perpanjangan serabut otot skeletal, sedangkan ketegangan adala hkontraksi terhadap perpindahan serabu totot.4,6 Gold friend dan trier melaporkan terapi relaksasi efektif menurunkan kecemasan, metode yang digunakan sebagai self control coping skill. Jacobson melaporkan bahwa terjadi penurunan nadi dan tekanan darah pada pasien ansietas setelah dilakukan terapi relaksasi. Prawitasari melaporkan bahwa terapi relaksasi sangat efektif untuk pasien
dengan kecemasan menyeluruh, kecemasan berbicara di muka umum.4,5,6 Karyono dkk melaporkan bahwa relaksasi dapat menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolic pada pasien hipertensi.6 Relaksasi bernafas lambat dapat membuat nafas menjadi lebih dalam dan lambat. Dengan bernafas secara rutin dapat membantu mengatur tekanan darah. Bernafas lambat selama 15 menit selama 2 bulan dapat menurunkan tekanan darah 10-15 poin.4,5,6 Kesimpulan Dan Saran Pada ibu hamil yang mengalami hipertensi setelah dilakukan relaksasi progresif, terdapat penuruan tekanan darah terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan tekanan diastolik tidak ada penurunan yang signifikan dengan dilakukan relaksasi progresif. Tidak terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan terutama tekanan darah diastolik hal ini dapat disebabkan waktu pemberian atau latihan relaksasi yang singkat yaitu 1 bulan. Penelitian tentang relaksasi progresif pada ibu hamil dengan hipertensi ini perlu dilanjutkan, terutama waktu pelaksanaan relaksasi. Diperlukan waktu >1 bulan dengan frekuensi yang sering untuk melihat tingkat keefektifitas relaksasi terhadap penurunan tekanan darah.Perlu dipertimbangkan untuk penggunaan relaksasi progresif dalam penanganan ibu hamil dengan hipertensi.Perlu disosialisasikan hasil penelitian agar bisa dimamfaatkan oleh masyarakat terutama ibu hamil. Daftar Pustaka
1. Bobak. 2004. KeperawatanMaternitas. Jakarta : EGC
2. Manuaba
Ida Bagus. 1993. PenuntunKepanitraanKlinikObstetridanG inekologi. Jakarta : EGC 3. PedomanPengelolaanHipertensiDalamKe hamilan di Indonesia, Edisi 2. HimpunanKedokteranFetomaternal . POGI 2005 4. Jones Richard Nelson. 2011, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi Yogyakarta Pustaka Belajar
60
Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013
5. Karyono, 1994, Efekivitas Relaksasi Dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Ringan, Yogyakarta : Tesis Program Pasca Sarjana UGM. 6. Komala sari G., et al Teori dan Teknik Konseling. Jakarta indeks 7. SS.Reshma, Alice Salins, SS. Kiron, and M. Saritha, Effect of Relaxation Therapy
On Mild Hypertension
Pregnancy
incuded
61
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan. 2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang ditujukan kepada Forum Kesehatan, belum dipublikasikan di tempat lain. 3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan publikasi dan ditandatangani oleh penulisa. 4. Komponen naskah: Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf dan spasi. Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman pertama. Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5 kata kunci. Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian. Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi, sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul data, prosedur analisa data. Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan, bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir. Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat. Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas. Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada. 5. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi 25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun terakhir. Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti “dkk (et al)”. Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar, selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris bawah dan ditebalkan hurufnya. Artikel Jurnal Penulis Individu: Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T, Villalpando S. Impact of the Mexican Program for Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth and Anemia in infants and young children a randomized effectiveness study. JAMA. 2004; 291(21):2463-70. Artikel Jurnal Penulis Organisasi Diabetes Prevention Program Research Group. Hypertension, insulin, and prosulin in participants with impaired glucose tolerance. Hypertension. 2002;40(5):679-86.
Buku yang ditulis Individu: Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource Management: Present and Future Challenges. St. Louis: Mosby;1998. Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit: Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide, Departement of Clinical Nursing. Compendium of nursing research and practice dvelopment, 1999-2000. Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001. Bab dalam Buku: Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262. Artikel Koran: Tynan T. Medical improvements lower homicide rate: study sees drop in assault rate. The Washington Post. 2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4). CD-ROM: Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual Health [CD ROM], London: Reproductive Health Matters;2005. Artikel Jurnal di Internet: Griffith, AI. Cordinating Family and School: Mothering for Schooling, Education Policy Analysis Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ; 102 (3): [about 3 p.]. Available from: http://olam.ed.asu.edu/epaa/. Buku di Internet: Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative care for cancer [monograph on the internet]. Washington: National Academy Press; 2001 [cited 2002 Jul 9]. Available from: http://www.nap.edu/books/0309074029/html/. Situs Internet: Canadian Cancer Society [homepage on the internet]. Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12; cited 2006 Oct 17]. Available from: http://www.cancer.ca/. 6. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda, ditulis dengan program komputer Microsoft Word, dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen tertulis. 7. Naskah harus disertai surat pengantar yang ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada permintaan tertulis. 8. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal „Forum Kesehatan‟, Perpusatakaan Gedung B Lantai 2 Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George Obos No.32 Palangka Raya. Telp/Fax: 0536-3230730 Atau email : [email protected].
UNIT PPM