PERAN KELUARGA DALAM MEMANDIRIKAN ANAK RETARDASI MENTAL DI ACEH THE ROLE OF FAMILY IN HELPING MENTALLY RETARDED CHILDREN BECOME INDEPENDENT IN ACEH Tiara Ayu1; Fithria2 1
2
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Bagian Keilmuan Keperawatan Keluarga, Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Peran keluarga merupakan hal yang paling dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak retardasi mental dalam kehidupannya khususnya dalam tingkat kemandiriannya dikarnakan dalam kondisi ini anak lebih banyak bergantung pada orang tuanya dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain cross sectional study. Populasi yang diambil adalah seluruh orang tua khususnya ibu yang mempunyai anak retardasi mental di SDLBN Labui Banda Aceh berjumlah 42 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan total sampling, alat ukur berbentuk kuesioner dengan metode wawancara terpimpin, yang dilaksanakan pada tanggal 27 Mei sampai tanggal 04 Juni 2016 di SDLBN Labui Banda Aceh. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di SDLBN Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang sebesar (57,1%), dimana secara umum semua sub variabel juga berada pada kategori kurang yaitu peran formal keluarga (52,4%) dan peran informal keluarga (52,4%). Diharapkan bagi para guru di SDLBN Labui Banda Aceh untuk meningkatkan penyuluhan dengan cara mengajarkan cara memandirikan anak dan tentang pentingnya peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental. Kata kunci
: Peran Keluarga, Retardasi mental, Kemandirian
ABSTRACT The role of the family is most necessary for the growth and development of children with mental retardation in their life, especially in the level of independence because in this condition more children depend on their parents in performing everyday activities. The purpose of this study was to determine the role of the family in helping mentally retarded children become independent in State Special Elementary School (SDLBN) of Labui in Banda Aceh. This research was a descriptive research with cross sectional study design. The population was all parents, especially mothers who had children with mental retardation in SDLBN of Labui in Banda Aceh with total samples of 42 respondents. The sampling collection technique used was total sampling technique. Data were collected on May 27 to June 4, 2016 in SDLBN of Labui in Banda Aceh by using questionnaire with guided interview method. The result showed that the role of the family in helping mentally retarded children become independence in SDLBN of Labui in Banda Aceh was in poor category (57.1%), which in general all the sub-variables were also in poor category that is formal role of the family (52.4%) and informal role of the family (52.4%). It is expected that teachers in SDLBN of Labui in Banda Aceh improve education by informing the parents how to help the mentally retarded children become independent and explaining the importance of the role of the family in helping the mentally retarded children become independent. Keywords
: role of family, mental retardation, Independence
1
PENDAHULUAN Retardasi mental adalah salah satu bentuk gangguan yang dapat ditemui di berbagai tempat, dengan karakteristik penderitanya yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata (IQ di bawah 75), dan mengalami kesulitan dalam beradaptasi maupun melakukan berbagai aktivitas sosial di lingkungan, dan lebih lanjut kondisi tersebut akan berkaitan serta memberikan pengaruh terhadap terjadinya gangguan perilaku selama periode perkembangan (Soetjiningsih, 1995). Kondisi ini akan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan si anak, terutama keterbatasan dalam kemampuan fisik, sosial, mental, kemandirian, adaptasi, dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Retardasi mental merupakan masalah didunia dengan implikasi yang besar terutama negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0,3% dari seluruh populasi, dan hampir 3% mempunyai IQ dibawah 70. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 persentase disabilitas sebesar 11% dari jumlah penduduk di Indonesia. Sedangkan persentase disabilitas di Aceh menurut Riskesdas tahun 2013 adalah 12,7% dari jumlah penduduk Aceh tahun 2013, dimana jumlah down syndrome sebanyak: 0,13%. (Kementrian kesehatan RI, 2014). Hasil pengambilan data awal di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh pada tanggal 20 Februari 2016, Kepala Sekolah mengemukakan bahwa jumlah keseluruhan siswa/i yang bersekolah di SDLBN Labui berjumlah 90 orang, dan jumlah anak tuna grahita ialah 51 orang, autis berjumlah 6 orang. Hasil wawancara dengan beberapa orang tua murid mengenai perkembangan anaknya tentang melakukan aktivitas sehari-hari, mereka masih sangat bergantung untuk melakukan aktivitas seperti: ke toilet, memakai sepatu, memakai kaos kaki. Penelitian yang dilakukan oleh Alifian (2013, p.13) tentang gambaran pengalaman orang tua dalam memandirikan anak retardasi mental di SDLB N Surakarta. Didapati hasil dari penelitian
ini adalah ada 4 item permasalahan yang sering muncul pada anak yaitu kurangnya kemampuan anak dalam kebersihan diri, kurangnya perhatian dari anak ketika dilatih kemandirian, saat membersihkan perineal yang kurang bersih, berbicara anak yang kurang jelas. Pengalaman orang tua dalam mengajarkan kemandirian pada anak dalam hal mandi didapatkan hasil ialah: memberikan instruksi berulang-ulang, memberikan arahan mandi, memberikan bimbingan langkah demi langkah, mengenalkan anak tata cara mandi yang benar, memodifikasi alat kebersihan yang aman. Pengalaman orang tua mengajarkan kemandirian pada anak dalam hal menyikat gigi didapatkan hasil: memberikan contoh cara menyikat gigi dengan benar, mengganti air kumur yang mentah ke air yang sudah matang, mengajarkan cara menyikat gigi dengan benar, memberikan contoh cara menyikat gigi. Peran orang tua sangat berpengaruh dalam perkembangan anak retardasi mental, seperti yang di kemukakan oleh Nye dan Gecas (1976, dalam Friedman 2010, p.301) mengidentifikasikan delapan peran dasar yang menyusun posisi sosial suami-ayah dan istri-ibu: provider, pengurus rumah tangga, pengasuh anak, rekreasional, dan peran pertemanan (memelihara hubungan dengan keluargaPihak ayah dan ibu), teurapetik (memenuhi kebutuhan afektif pasangan), peran seksual. Dan anggota keluarga individu akan memainkan banyak peran dalam sebuah keluarga, baik itu formal maupun informal. Peran formal ibu adalah untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya. Dan peran informal ialah pendorong, sahabat, penyelaras, negosiator, pendamai, dominator, pengasuh keluarga. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi 2
mental di Sekolah Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh. METODE Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain cross sectional study, melalui angket dan wawancara terpimpin. Metode pengambilan sampel menggunakan total sampling Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua khususnya ibu yang mempunyai anak retardasi mental di SDLBN Labui Banda Aceh berjumlah 42 responden. alat ukur berbentuk kuesioner dengan metode wawancara terpimpin, yang dilaksanakan pada tanggal 27 Mei sampai tanggal 04 Juni 2016 di SDLBN Labui Banda Aceh. HASIL Berdasarkan tabel 1 dapat disimpulkan bahwa sebagian besar keluarga memiliki anak retardasi mental sedang sebanyak 28 orang (66,7%). Sementara itu hasil dari distribusi tertinggi umur responden ibu dengan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh adalah dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 20 orang (47,6%). Bila ditinjau dari hasil penelitian tentang distribusi tertinggi pendidikan terakhir ibu adalah tingkat menengah (SMA) sebanyak 20 orang (47,6%). Jika dilihat dari hasil penelitian didapatkan gambaran distribusi tertinggi perkerjaan responden ibu adalah IRT sebanyak 32 orang (76,2%), sedangkan gambaran penghasilan perbulan ibu atau keluarga adalah berada pada kategori diatas UMP yaitu ≥ Rp.2.118.500 sebanyak 23 orang (54,8%). Tabel 1. Data Demografi Keluarga Anak Retardasi Mental di Aceh (n=42) No Data Demografi Frekuensi Presentase 1 Kondisi anak a. RM Ringan 9 21,4 b. RM sedang 28 66,7 c. Autis 5 11,9
No Data Demografi Frekuensi Presentase 2 Umur a. 26-35 tahun 14 33,3 (Dewasa awal) 20 47,6 b. 36-45 tahun 8 19,0 (Dewasa akhir) c. 46-55 tahun (Lansia Awal) 3 Pendidikan a. Tingkat dasar 8 21,4 (SD dan SMP) 20 47,6 b. Tingkat 13 31,0 menengah (SMA) c. Tingkat tinggi (Akademi, Sarjana, Megister dan Doktor) 4 Pekerjaan a. IRT 32 76,2 b. PNS 10 23,8 5 Penghasilan a. Dibawah UMP 19 45,2 (< Rp. 23 54,8 2.118.500) b. Diatas UMP (≥ Rp.2.118.500) Berdasarkan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa 24 orang keluarga (57,1%) kurang dalam melakukan perannya dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh. Tabel 2. Peran Keluarga Dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental di Aceh (n=42) No Peran Keluarga Frekuensi Presentase 1 Baik 18 42,9 2 Kurang Baik 24 57,1 Total 42 100 Berdasarkan tabel 3 dapat disimpulkan sebanyak 22 keluarga (52,4 %) kurang dalam menjalankan peran formal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di SDLBN Labui Banda Aceh.
3
Tabel 3. Peran Formal Keluarga dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental di Aceh (n=42) No Peran Frekuensi Persentase formal 1 Baik 20 47,6 2 Kurang 22 52,4 Total 42 100,0 Tabel 4. Peran Informal Keluarga Dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental di Aceh (n=42) No Peran Frekuensi Persentase informal 1 Baik 20 47,6 2 Kurang 22 52,4 Total 100,0 Berdasarkan tabel 4 dapat disimpulkan peran informal keluarga sebanyak 22 keluarga (52,4 %) kurang baik dalam menjalankan peran informal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di SDLBN Labui Banda Aceh. PEMBAHASAN Peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Aceh Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 2 dapat diketahui bahwa peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang sebanyak 24 orang (57,1%). Hasil Penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Novianda (2011), mengenai peran keluarga dengan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh diketahui bahwa peran keluarga dengan anak retardasi mental berada pada kategori kurang baik dari sampel 55 responden. Ini dapat dibuktikan dari pernyataan tentang “ibu membawa anak ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit” hanya 27 responden atau (49,1%) yang menjawab selalu, bahkan ada responden yang tidak pernah melakukan kegiatan tersebut.
Stainback dan Susan (1999, p.22) mengatakan bahwa, orang tua bertanggung jawab menyediakan diri untuk terlibat dalam membantu belajar anak di rumah, mengembangkan keterampilan belajar yang baik, memajukan pendidikan dalam keluarga dan menyediakan sarana alat belajar seperti tempat belajar, penerangan yang cukup, buku-buku pelajaran dan alat-alat tulis dan berperan sebagai pembimbing atau pengajar. Orang tua akan memberikan pertolongan kepada anak dengan siap membantu belajar melalui pemberian penjelasan pada bagian yang sulit dimengerti oleh anak, membantu anak mengatur waktu belajar, dan mengatasi masalah belajar dan tingkah laku anak yang kurang baik. Seorang anak retardasi mental dikatakan mandiri bila ia memperlihatkan ciri-ciri, yaitu: percaya diri yang didasari oleh kepemilikan akan konsep diri yang positif, bertanggung jawab pada hal-hal yang dikerjakan dan hal ini dapat ditumbuhkan dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk memegang tangung jawab, mampu menemukan pilihan dan mengambil keputusannya sendiri yang mana hal ini diperoleh dari adanya peluang untuk mengerjakan sesuatu, dan mampu mengendalikan emosi dengan adanya kesempatan untuk berbuat dengan tidak banyak mendapatkan larangan (Sanan dan Yamin, 2010, p.84). Zahroh dan Unasiansari (2011, p.10), mengatakan bahwa peran orang tua merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak. Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai atau norma, memberikan perhatian dan kasih sayang, serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik, sehingga dijadikan contoh atau panutan bagi anaknya. Dari penjelasan diatas dapat kita analisa bahwa peran keluarga yang kurang dikarnakan sebagian besar keluarga memiliki anak retardasi mental sedang sehingga mereka lebih membutuhkan perawatan dan bimbingan keluarga 4
yang optimal di bandingkan dengan anak retardasi mental lainnya dan mereka juga lebih bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, namun disisi lain ibu juga memiliki banyak peran yang harus dikerjakan seperti mengurus rumah tangga, berkerja, dan merawat anggota keluarga lainnya sehingga peran keluarga dalam memandirikan anak retadasi mental tersebut kurang optimal dan dapat kita lihat juga bahwasannya banyak orang tua tidak tega membiarkan anaknya melakukan aktivitasnya sendiri. Dari uraian di atas penulis juga menyimpulkan bahwa orang tua mempunyai tugas yang sangat penting dalam memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak mereka, hal tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian yang telah dilakukan yang menujukkan seluruh responden dalam penelitian ini adalah perempuan sebanyak 42 orang, dan dapat dikatakan bahwa ibu lebih berperan dalam mendidik dan mengasuh anak. Selain itu ibu mempunyai peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai masyarakat kelompok sosial tertentu dan orang yang paling dekat atau yang paling sering berhubungan dengan anak dalam keluarga pada umumnya adalah ibu. Sehingga, sikap ibu merupakan faktor yang penting dalam perkembangan anak. Peran formal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Aceh Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 3 dapat diketahui bahwa peran formal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang sebanyak 22 orang (52,4%). Pada item peran formal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental sedang menunjukan hasil kurang yaitu sebanyak 60,7%. Salah satu distribusi jawaban dari Item pernyataan
“keluarga mengajarkan anak untuk memakai kaos kaki sendiri” dimana 4 responden yang menjawab selalu (9,5%), 4 responden yang menjawab tidak pernah (9,5%) dan 23 responden yang menjawab kadang-kadang (54,8%) (Lampiran 19). Dari distribusi jawaban tersebut dapat kita nilai bahwa ibu belum melakukan peran formalnya dengan baik karena seharusnya ibu memiliki peran sebagai pembimbing dan pengajar dalam memberikan arahan kepada anak dalam melakukan kegiatan sehari-harinya dan untuk meningkatkan kemandiriannya. Hasil penelitian ini sedikit berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Johana Tuegeh (2012) tentang peran keluarga dalam memandirikan anak Retardasi mental di Yayasan pembinaan Anak Cacat Manado Tahun 2011, didapatkan hasil tentang peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental sebanyak 12 keluarga (60%) yang mempunyai peran baik, 7 keluarga (35%) yang mempunyai peran cukup dan 1 responden keluarga (5%) yang mempunyai peran kurang. Hasil penelitian ini tidak mendukung teori yang dikemukakan oleh Suryabrata (1998, p.14) menyatakan bahwa orang tua dapat berperan dalam pendidikan anak sebagai pembimbing. Bimbingan belajar dari orang tua merupakan bagian yang memiliki peran dalam membawa anak dalam mencapai tujuan yang akan diraih. Adapun tujuan yang akan dicapai dari proses bimbingan belajar orang tua yaitu: Tercapainya tujuan belajar penguasaan pengetahuan, keterampilan dan pengembangan sikap. Bimbingan belajar dari orang tua kepada anaknya akan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi anak dalam proses belajarnya. Dengan kesabaran dan keuletan orang tua dalam membimbing kesulitan-kesulitan belajar dapat teratasi maka tujuan belajar yang berupa penguasaan keterampilan, dan pengembangan sikap dapat tercapai dengan baik. Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan oleh peneliti didapatkan hasil bahwa peran formal 5
keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh di peroleh hasil sebagian besar keluarga memiliki peran formal dalam kategori kurang yaitu 52,0%. Hal ini dikarnakan sebagian keluarga memiliki anak retardasi mental sedang dan autis yang memerlukan peranan yang optimal dari keluarga, dan juga perawatan khusus bagi mereka karena kondisi anak retardasi mental sedang dan autis tingkat ketergantungannya pada orang tua dan orang lain itu tinggi dibandingkan dengan anak retardasi mental ringan. Keluarga yang memiliki anak retardasi mental sedang dan autis mereka memerlukan energi, tenaga atau support sistem lebih banyak dibandingkan keluarga yang memiliki anak retardasi mental ringan, ditambah lagi dengan beban keluarga yang mempunyai anak retardasi mental dikarnakan kondisi ini akan terus dijalani dan dialami orang tua, belum lagi dengan beban dari penghasilan keluarga karena banyaknya keluarga/orang tua yang memiliki penghasilan di bawah upah minimum provinsi (UMP) yaitu < Rp 2.118.500 sebanyak 19 orang sehingga mereka juga mengalami kesulitan dalam merawat anak dengan kondisi seperti ini. Keluarga juga belum menyadari sepenuhnya tentang pentingnya peran orang tua terhadap kemandirian anak di masa yang akan datang. Hal ini didukung oleh hasil presentase tertinggi tingkat pendidikan orang tua ialah tingkat menengah (SMA) yaitu 20 orang (47,6%) dari pada tingkat SD, SMP dan perguruan tinggi. Tingkat pendidikan ibu juga mempengaruhi sikap dan tingkah lakunya dalam menghadapi anak-anaknya artinya ibu yang berpendidikan akan bersikap lebih baik. Peran keluarga yang baik dapat membentuk kemandirian pada anak begitupun anak retardasi mental, sedangkan peran keluarga yang buruk akan memperlambat kemandirian anak. Sehingga mandiri atau tidaknya anak bergantung pada keluarga. Orang tua berperan amat penting dalam membangkitkan dan meningkatkan kemandirian
belajar anak. Orang tua adalah guru pertama bagi anak karena orang tualah yang pertama kali mendidik atau menanamkan pendidikan kepada anak-anaknya, dan apabila kurangnya perhatian dan pengawasan orang tua dapat menyebabkan anak bersikap acuh tak acuh dan tidak mempunyai kemauan minat belajar. Peran informal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Aceh Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat pada tabel 4 dapat diketahui bahwa peran informal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang sebanyak 22 orang (52,4%). Handayani (2009), mengatakan hal pertama yang perlu diberikan kepada anak dengan Retardasi mental adalah kepercayaan diri dalam melakukan sesuatu. Caranya, di antaranya orangorang terdekat harus selalu diberikan pujian atas apa yang telah dilakukan, meskipun hasilnya tidak sempurna. Dengan begitu, si anak merasa apa yang dia lakukan sudah benar. "Sehingga, timbul rasa percaya diri, berani tampil di depan orang lain. Minimal dia merasa diperhatikan. Yang dibutuhkan anak Retardasi mental yaitu keikhlasan dan kekompakan orang tua beserta anggota keluarga lainnya, kerja keras orang tua, tidak sekadar menunggu keajaiban anak bisa mandiri, pendidikan dan pelatihan kemampuan sosial, toilet training, pendekatan perilaku, upaya menumbuhkan kepercayaan diri dan penghargaan atas apa yang telah dikerjakan. Suryabrata (1998, p.14) menyatakan bahwa motivasi orang tua kepada anaknya sangat penting dalam rangka meningkatkan minat dan rangsangan anak untuk belajar. Motivasi ini dapat diberikan melalui 3 bentuk yaitu motivasi belajar yang bersifat tidak langsung, motivasi untuk meningkatkan dan mempertahankan prestasi, serta motivasi untuk memperbaiki prestasi. Motivasi belajar yang bersifat tidak langsung dapat dilakukan dengan cara: memberikan semanagat 6
kepada anak ketika anak mengalami kebosanan dalam belajar. Motivasi belajar untuk meningkatkan dan mempertahankan prestasi anak dapat dilakukan dengan cara memberikan pujian dan hadiah ketika prestasi anak meningkat. Sedangkan motivasi belajar untuk memperbaiki prestasi belajar anak dapat dilakukan dengan cara membimbing dan menasihati anak agar mau memperbaiki prestasi belajarnya. Perhatian atau pengawasan dari orang tua kepada anaknya merupakan bagian terpenting yang harus dilakukan oleh setiap orang tua. Perhatian dan pengawasan tersebut meliputi rutinitas kegiatan anak di rumah, pemanfaatan waktu senggang anak, kedisiplinan waktu belajar anak, gangguan atau hambatan yang dialami anak, pergaulan anak dengan teman temannya, serta prestasi belajar anak. Dari urain diatas dapat kita simpulkan bahwa peran informal keluarga yang kurang di karnakan kondisi anak retardasi mental sedang lebih dominan daripada kondisi anak retardasi mental ringan, anak dengan retardasi mental sedang memerlukan arahan dan motivasi yang ekstra dari pihak keluarga, sementara itu peran keluarga bukan hanya untuk anak retardasi mental saja namun keluarga juga memiliki anak lainnya yang harus di perhatikan oleh keluarga sehingga peran keluarga tidak didapatkan secara optimal. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa peran keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang dengan hasil penelitian didapatkan sebanyak 24 orang (57,1%). Dan peran formal keluarga dalam memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang dengan hasil penelitian didapatkan sebanyak 22 orang (52,4%). Sedangkan peran informal keluarga dalam
memandirikan anak retardasi mental di Sekolah Dasar Luar Biasa Negeri (SDLBN) Labui Banda Aceh berada pada kategori kurang dengan hasil penelitian didapatkan sebanyak 22 orang (52,4%). REFERENSI Andarmoyo, S. (2012). Keperawatan Keluarga, Konsep Teori, Proses Praktik Keperawatan. Yogyakarta: Garaha Ilmu. Astati. (2015). Menuju Kemandirian Anak Tunagrahita. Di akses pada tanggal 29 Maret 2016 dalam http://file.Upi.edu/ Buditarto, E. (2003). Metodelogi Kedokteran. Jakarta: EGC
Penelitian
Dion,Y. Betan & Yasinta. (2013). Asuhan Keperawatan Keluarga Konsep dan Praktik. Yogyakarta: Nuha Medika. Friedman, M. M. (2010). Buku Ajar Keperawatan Keluarga: Riset, Teori dan Praktik. Jakarta: EGC. Hendriani,W & Eliyanto, H. (2013). Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 2 No. 02. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya. Hendriani, W & Handarianti, R & Sakti, T. M. (2006). Penerimaan Keluarga Terhadap Individu Yang Mengalami Keterbelakangan Mental. INSAN Vol.8 No. 2. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga di akses pada tanggal 21 November 2015 dalam: http://journal.unair.ac.id/. Tuegeh, J. (2011). Peran keluarga Dalam Memandirikan Anak Retardasi Mental di Yayasan Pembinaan Anak Cacat Manado Tahun 2011. Vol 1, No 1 Maret 2012. Jurusan Keperawatan Poltekes Kemkes Manado. Di akses pada Tanggal 28 Mei 2016. Dalam http://Portal.garuda.org/ 7
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Penyandang Cacat Disabilitas Pada Anak. Infodatin. Kementrian Kesehatan RI. (2014). Situasi Penyandang Disabilitas. Buletin Jendela data dan informasi kesehatan. Novianda, E. (2011). Peran Keluarga Dengan Anak Retardasi Mental Di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Labui Banda Aceh. Fakultas Keperawatan Universitas Syiah Kuala Potter, P. A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta : EGC
Shochib, M. (1998). Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Swarjana, I.K. (2015). Metodologi Penelitian Kesehatan (edisi revisi). Yogyakarta: ANDI. Suprajitno. (2004). Asuhan Keperawatan Keluarga: Aplikasi dalam Praktik. Jakarta EGC. Yamin, M. (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung persada.
Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Sularyo, T. S & Kadim M. (2000). Retardasi Mental. Vol. 2, No. 3. Sari Pediatri. Di akses pada tanggal 21 November 2015 dalam : http://saripediatri.idai.or.id/. Steinberg. (2002). Adolescence.6th Ed. USA: McGraw Hill Higher Education Stainback, S & William,S. (1998). Understanding and Conducting Qualitative. Research. Lowa: Kendall Publishing Company Suryabrata,S. (1998). Psikologi Jakarta: Raja grafindo.
Pendidikan.
Sudjana. (2002). Metoda Statistika. (Ed. 6). Bandung: Tarsito Subroto, S. (2013). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Setiadi. (2008). Konsep dan Proses Keperawatan Keluarga. Surabaya: Graha Ilmu.
8