Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi
Erliza Hambali
31
PERAN PERTANIAN DALAM MEMBANTU MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN ENERGI Role of Agriculture in Helping to Achieve Energy Security Erliza Hambali Surfactant and Bioenergy Research Center, LPPM-IPB Jl. Raya Pajajaran No. 1, Bogor, Indonesia E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Agriculture's role in helping to achieve energy security is huge. Various feedstocks from agricultural products can be processed further into surfactant aimed to increase crude oil production and to produce bioenergy as substitute for fossil fuel. Surfactant application on Enhanced Oil Recovery (EOR) technology and as oil well stimulation agent can increase crude oil production and reduce fossil fuel import, thus saving foreign exchange for about Rp10.2 trillion/year (EOR application) and Rp2.1 trillion/year (stimulation agent). The application of mandatory B10 Biodiesel and E02 Bioethanol in 2015 can save foreign exchange up to Rp 35 trillion and would increase up to Rp237 trillion in 2025 with the adoption of B25 Biodiesel and E20 Bioethanol. The utilization of fly ash, residue from electricity plant, as an ameliorant (soil conditioner) will save the cost of waste treatment of Rp2.2 trillion and has the added value of Rp6 trillion for its utilization as ameliorant. Utilization of biomass to produce bio-electric can produce electricity 49,810 MW when converted into its money value become about Rp501.8 trillion/year. Potential of Indonesian agriculture can only help in achieving energy security through appropriate and consistent government policy. Keywords: surfactant, bioenergy, palm oil, EOR, biodiesel, bioethanol, fly ash, biomass
ABSTRAK Peran pertanian dalam membantu mewujudkan kemandirian energi sangat besar. Beragam jenis bahan yang berasal dari pertanian dapat diolah lebih lanjut menjadi surfaktan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi minyak bumi dan untuk menghasilkan bioenergi pensubstitusi bahan bakar minyak (BBM). Pemanfaatan surfaktan dari minyak nabati pada aplikasi teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) dan stimulasi pada sumur minyak untuk meningkatkan produksi minyak bumi dapat mengurangi impor BBM sehingga menghemat devisa sekitar Rp10,2 triliun/tahun (aplikasi surfaktan pada teknologi EOR) dan Rp2,1 triliun/tahun (aplikasi surfaktan pada teknologi stimulasi). Penerapan mandatori biodiesel B10 dan bioetanol E02 pada tahun 2015 dapat menghemat devisa sebesar Rp35 triliun dan akan meningkat menjadi Rp237 triliun pada tahun 2025 dengan penerapan biodiesel B25 dan bioetanol E20. Pemanfaatan fly ash hasil residu industri PLTU batubara sebagai ameliorant (soil conditioner) akan menghemat biaya penanganan fly ash sebesar Rp2,2 triliun dan mempunyai nilai tambah sebesar Rp6 triliun melalui pemanfaatannya sebagai ameliorant. Pemanfaatan biomassa untuk memproduksi biolistrik dapat menghasilkan listrik 49.810 MW yang bila dikonversikan ke nilai uang berkisar sekitar Rp501,8 triliun/tahun. Potensi pertanian Indonesia yang luar biasa hanya dapat dimanfaatkan untuk membantu mewujudkan kemandirian energi nasional melalui kebijakan implementasi yang tepat dan konsisten oleh pemerintah. Kata kunci: surfaktan, bioenergi, minyak sawit, EOR, biodiesel, bioetanol, fly ash, biomassa
PENDAHULUAN Minyak bumi masih merupakan salah satu sumber energi utama yang belum tergantikan dari segi ketersediaannya secara luas dan integrasinya dengan teknologi yang ada saat ini di Indonesia. Produksi minyak Indonesia sejak tahun 1999 terus mengalami penurunan, yaitu dari 1,5 juta barel/hari pada tahun 1999 menjadi 779 ribu barel/hari pada tahun 2014. Dengan kebutuhan minyak nasional tahun ini sekitar 1,5 juta barel/hari, sementara kemampuan pasokan dalam negeri hanya
32
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
mencapai 779 ribu barel/hari, maka terdapat kekurangan sekitar 721 ribu barel/hari yang harus dipenuhi melalui impor. Mengingat hal tersebut maka upaya peningkatan produksi minyak nasional dan pengembangan teknologi bioenergi penting kiranya untuk segera dilakukan. Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena 73% dari lapangan minyak Indonesia merupakan lapangan tua (mature field). Lapangan-lapangan tua tersebut telah melewati masa puncak produksinya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan produksi minyak bumi melalui penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR). Penerapan teknologi EOR memerlukan surfaktan untuk menurunkan tegangan antarmuka antara air formasi dan minyak yang terperangkap pada batuan formasi. Surfaktan dapat disintesis dari minyak nabati, seperti minyak sawit yang ketersediaannya sangat berlimpah di Indonesia. Melalui pengembangan teknologi EOR ini dapat diprediksi cadangan minyak bumi Indonesia dapat bertambah menjadi 15 tahun ke depan. Selain melalui peningkatan produksi minyak bumi, kemandirian energi dapat juga diwujudkan melalui pemanfaatan bioenergi sebesar-besarnya untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan bakar minyak (BBM). Bioenergi yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut di Indonesia adalah biodiesel, bioetanol, biogas, dan biolistrik. Biodiesel dapat diproduksi dari minyak sawit, minyak kelapa, kemiri sunan, nyamplung, dan sumber minyak nabati lainnya. Bioetanol dapat diproduksi dari nira tebu, aren, nipah, siwalan, pati singkong, pati sagu, nira dan pati sorgum, dan biomassa lainnya. Biogas dapat dihasilkan dari pemanfaatan kotoran sapi dan limbah agroindustri lainnya seperti limbah cair sawit (POME), limbah pengolahan singkong dan sagu. Biolistrik dapat dihasilkan dari limbah biomassa yang jumlahnya sangat berlimpah di Indonesia. Bioavtur juga dapat dihasilkan dengan mengolah minyak sawit atau minyak kelapa. Dengan demikian, Indonesia memiliki beragam jenis bahan pertanian yang dapat diolah menjadi berbagai jenis produk bioenergi yang dapat berperan dalam mewujudkan kemandirian energi nasional.
PERAN PERTANIAN DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI MINYAK BUMI MENGGUNAKAN SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT Lapangan minyak yang dimiliki Indonesia saat ini adalah sekitar 629 lapangan. Sekitar 73% (460 lapangan) merupakan lapangan tua (mature/depleted field), sehingga produksinya rendah dengan water cut tinggi bahkan mencapai 95-99%. Artinya, setiap fluida yang berhasil diproduksikan dari sumur minyak bumi berupa 95-99% air dan 1-5% minyak bumi. Lapangan-lapangan tua tersebut telah melewati masa puncak produksinya. Upaya untuk meningkatkan produksi minyak bumi yang dapat dilakukan yaitu melalu injeksi bahan chemical berupa surfaktan dari minyak sawit Indonesia pada aplikasi EOR di lapangan minyak tua (mature field). Surfaktan memegang peranan penting dalam peningkatan kapasitas produksi minyak pada sumur yang sudah highly depleted dengan cara menurunkan tegangan antarmuka (IFT), mengubah kebasahan (wettability), menurunkan viskositas, mengecilkan droplet minyak dalam air, menstabilkan dispersi butiran minyak dan membersihkan sumur minyak, sehingga memudahkan proses pengaliran minyak dari reservoir ke lubang sumur produksi. Agar dapat menguras minyak yang masih tersisa secara optimal pada sumur minyak yang sudah highly depleted tersebut diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi fluida (air formasi dan minyak) dan reservoir. Target EOR adalah untuk meningkatkan Original Oil in Place (OOIP) sebesar 40 miliar barel minyak. Penerapan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) menggunakan surfaktan diprediksi dapat meningkatkan Oil Recovery Incremental sekitar 10-20%, sehingga dapat mempertahankan produksi minyak bumi hingga 15 tahun ke depan. Pengembangan surfaktan dari minyak sawit sebagai chemical untuk aplikasi EOR dapat dilakukan mengingat Indonesia merupakan produsen sawit terbesar dunia dengan jumlah produksi minyak sawit (CPO dan PKO) Indonesia tahun 2014 hampir mencapai 30 juta ton. Dengan asumsi berdasarkan produksi minyak nasional sebesar 779 ribu barel/hari dan hanya 30% lapangan minyak yang dapat mengaplikasikan teknologi EOR dengan hasil recovery minyak sebesar 10%, maka penerapan teknologi EOR dapat meningkatkan produksi minyak sekitar 23,4 ribu barel/hari. Jika harga minyak sekitar US$100/barel (@Rp12.000/US$), maka penghematan devisa
Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi
Erliza Hambali
33
dari penerapan teknologi EOR adalah sekitar Rp10,2 triliun/tahun dari peningkatan produksi minyaknya. Selain surfaktan dari minyak sawit dapat diaplikasikan untuk teknologi EOR di lapangan minyak, surfaktan dari minyak sawit juga dapat diaplikasikan untuk teknologi stimulasi sumur minyak di Indonesia. Stimulasi sumur minyak bertujuan untuk menaikan laju produksi dari suatu sumur. Sejumlah fluida khusus dipompakan ke dalam sumur guna membersihkan lubang sumur dari berbagai macam kotoran seperti asphaltene dan paraffin, sehingga fluida hidrokarbon akan mudah kembali mengalir masuk ke dalam lubang sumur. Campuran fluida khusus tersebut mengandung surfaktan dan surfaktan dari minyak sawit yang mempunyai sifat tertentu dapat digunakan untuk campuran fluida khusus tersebut. Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan dengan asumsi bahwa saat ini di Indonesia terdapat sekitar 629 lapangan minyak yang total produksinya saat ini sebesar 779 ribu barel/hari, dan jika hanya 30% saja dari jumlah lapangan minyak tersebut yang menerapkan teknologi stimulasi pada sumur minyak dengan tingkat tambahan produksi minyak sekitar 2%, maka sudah didapat peningkatan produksi minyak sekitar 4,7 ribu barel/hari. Jika harga minyak sekitar US$100/barel (@Rp12.000/US$), maka penghematan devisa dari penerapan teknologi stimulasi sumur minyak adalah sekitar Rp2,1 triliun/tahun dari peningkatan produksi minyaknya. Potensi pemanfaatan minyak sawit lainnya untuk industri perminyakan yaitu surfaktan untuk drilling fluids. Drilling fluid ini diperlukan untuk pengeboran sumur baru dan untuk workover sumur lama. Drilling fluid atau lumpur bor menurut definisi API (American Petroleum Institute, 2003) adalah fluida sirkulasi yang digunakan dalam pemboran dan memiliki peranan yang penting dalam keberhasilan proses pemboran itu sendiri. Lumpur pengeboran dipompakan dari permukaan melalui pipa bor menuju mata bor dan akan kembali ke permukaan melalui annulus (celah antara pipa bor dengan lubang sumur) sambil membawa cutting (serpihan) pemboran (Growcock, 2005). Salah satu fungsi lumpur pemboran adalah sebagai stabilisator dinding lubang sumur dengan menahan partikelpartikel padatan saat sirkulasi pemboran berhenti. Untuk itu, karakteristik lumpur pemboran yang diinginkan adalah yang mampu bertahan (stabil) atau membentuk gel, dapat membuat lapisan tipis pada dinding formasi permeabel untuk menahan aliran fluida masuk ke dalam formasi, namun tidak mempersempit lubang bor dan tidak menyebabkan kehilangan cairan yang banyak. Lumpur pemboran dapat berupa Water Based Mud (WBM) atau Oil Based Mud (OBM) tergantung dari penggunaannya. Di industri perminyakan, biaya pengeboran sumur minyak dan pengadan bahan drilling fluid baik itu WBM atau OBM dapat mencapai US$10 juta/pengeboran. Jika diasumsikan bahwa gliserol dan gliserol ester yang merupakan produk turunan dari gliserol yang dapat disintesis dari bahan hasil pertanian yang dibutuhkan untuk formulasi drilling fluid adalah sebesar 1% dari nilai biaya pengeboran, maka penghematan devisa dari pemanfaatan gliserol dan produk turunannya gliserol ester adalah sebesar US$100 ribu/pengeboran.
PERAN PERTANIAN DALAM MEMPRODUKSI BIOENERGI Hasil pertanian dapat diolah menjadi beragam produk bioenergi seperti yang disajikan pada Gambar 1. Bioenergi tersebut dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar sarana transportasi, listrik untuk keperluan rumah tangga dan industri, dan sumber panas untuk industri. Indonesia merupakan negara agraris, kepulauan, dan maritim yang memiliki potensi sumber daya alam dan bahan pertanian yang sangat luar biasa. Salah satu hasil pertanian Indonesia yang sangat luar biasa adalah kelapa sawit. Kelapa sawit dapat diolah lebih lanjut menjadi beragam produksi bioenergi seperti yang disajikan pada Gambar 2. Bioenergi yang merupakan 60% dari total energi baru dan terbarukan tidak lagi membutuhkan insentif ekonomi yang tinggi. Hanya perlu kebijakan jangka panjang yang menyediakan pasar yang dapat diprediksi dan diandalkan serta didukung dengan kebijakan yang sejalan dengan tujuan sosial untuk mensejahterakan masyarakat. Hal ini karena pengembangan bioenergi bisa dilaksanakan di mana saja, pada skala berapa saja, dan bisa melibatkan masyarakat di pedesaan, serta dapat menggerakkan perekonomian masyarakat di pedesaan.
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
34
Minyak nabati
Transesterifikasi
Biodiesel Substitusi BBM untuk transportasi
Gula & pati
Hidrolisis-fermentasi distilasi
Bioetanol/ ETBE
Pirolisis-hidrogenasi
Bio-oil Biolistrik untuk rumah tangga dan industri
Fisher-tropsh Lignosellulos Gasifikasi
Bimassa basah
Penghasil gas
Peletisasi
Pelet
Digesti anaerob
Biogas
Biopanas untuk proses industri (steam)
Gambar 1. Proses konversi hasil pertanian menjadi beragam produk bioenegi
Ketersediaan biomassa di Indonesia juga sangat berlimpah yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biolistrik. Menurut studi ESDM (2013), biomassa berpotensi untuk menghasilkan listrik 49.810 MW. Jika harga rata-rata penjualan listrik Rp1.150/kWh, maka bila dikonversikan ke dalam bentuk uang akan dapat menghasilkan pendapatan sekitar Rp501,8 triliun/tahun. Mengacu pada Permen ESDM No. 25/2013 mengenai mandatori BBM pemanfaatan biodiesel dan bioetanol, maka penggunaan biodiesel dan bioetanol untuk BBM dapat menghasilkan penghematan devisa yang cukup besar. Kebutuhan bahan bakar solar pada tahun 2015 diperkiraakan sebesar 182,48 juta barel dan tahun 2025 menjadi sebesar 384,44 juta barel, sedangkan kebutuhan bahan bakar premium pada tahun 2015 diperkirakan sebesar 169,77 juta barel dan tahun 2025 menjadi sebesar 295,96 juta barel (BPPT, 2013; data diolah). Jika diasumsikan harga solar adalah US$135/barel dan harga premium adalah US$126/barel (@Rp12.000/US$) maka dengan penerapan biodiesel minimal 10% (B10) dan bioetanol minimal 2% (E2) di tahun 2015 saja akan dapat dihemat devisa sebesar Rp35 triliun. Pada tahun 2025 penerapan biodiesel minimal menjadi 25% (B25) dan bioetanol minimal menjadi 20% (E20), maka penghematan devisa akan meningkat menjadi Rp237 triliun.
Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi
Erliza Hambali
Esterifikasi/ transesterifikasi
35
Biodiesel
Green gasoline Cataliytic cracking Minyak sawit (Olein/stearin/ PFAD)
Green olefin Deoksigenasi/selective cracking/isomerisasi
Green diesel
Deoksigenasi/isomerisasi Panas/listrik
Tungku/boiler
Kelapa sawit
Pengarangan & pemampatan Limbah padat (tandan kosong, MF, cangkang, pelepah, batang)
Green jet
Bio briket/biopelet
Syngas/ Gas fuel
Gasifikasi
Indirect liquifaction
Pirolisis
Bio-oil
Direct liquifaction Fermentasi hidrolisis
Limbah cair (POME)
Proses anerobik/mikrobiologi
Etanol
Gas metan
Gambar 2. Pengolahan kelapa sawit menjadi bioenergi
PERAN PERTANIAN DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI PLTU BATUBARA Sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar minyak, proyek percepatan kelistrikan mengutamakan pembangunan pembangkit berbahan bakar batubara. Pada tahun 2030, diperkirakan pemakaian batubara untuk memasok tenaga listrik akan mencapai 645 TWh, atau 66% dari total kebutuhan pada tahun tersebut atau sekitar 720 TWh (Hasan, 2014). Di samping pasokan yang melimpah, biaya pembangkit listrik yang menggunakan batubara hanya sekitar Rp700-800/kWh relatif lebih murah sekitar 75% dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya (BBM Rp3.200/kWh; gas Rp2.950/kWh). Berdasarkan data Indikator Ekonomi dalam revisi APBN tahun 2013 tercatat bahwa belanja subsidi listrik pada APBN tahun 2014 sebesar 71,4 triliun untuk membiayai BBM sebagai bahan bakar, sehingga konversi PLTD berbahan bakar minyak (BBM) ke PLTU dengan bahan bakar batubara dapat menghemat anggaran pemerintah untuk subsidi sebesar Rp71,4 triliun untuk penyediaan listrik. Akan tetapi, pemakaian batubara sebagai bahan bakar akan menghasilkan sekitar 5% polutan padat yang berupa abu (fly ash dan bottom ash), di mana sekitar 10-20% adalah bottom ash dan sekitar 80-90% fly ash dari total abu yang dihasilkan. Di sinilah peran penting pertanian untuk dapat membantu meningkatkan efisiensi PLTU batubara melalui pemanfaatan fly ash sebagai ameliorant.
36
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Berdasarkan PP No. 85 tahun 1999 fly ash dan bottom ash dikategorikan sebagai limbah B3 karena terdapat kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan dapat mencemari lingkungan, sehingga dalam proses penanganannya diperlukan biaya yang sangat tinggi. Seperti contoh, biaya penanganan fly ash di salah satu pabrik pupuk di Kalimantan mencapai Rp24 miliar/tahun (Rp370.000/ton fly ash). Menurut studi BPPT (2013) jumlah batubara yang akan dimanfaatkan oleh PLTU pada tahun 2015 adalah sekitar 120 juta ton, sehingga akan dihasilkan fly ash sekitar 6 juta ton. Fly ash saat ini menjadi masalah besar bagi pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Estimasi biaya penanganan fly ash, karena dikategorikan sebagai limbah B3, sangat besar, yaitu sekitar Rp2,2 triliun. Padahal, menurut the U.S. Environmental Protection Agency (EPA), fly ash diklasifikasikan sebagai limbah non-hazardous, bahkan menurut Liu et al. (2005) fly ash tidak menyebabkan pencemaran pada air. Beberapa negara lain juga telah memanfaatkan limbah fly ash ini sebagai bahan baku dalam bidang konstruksi dan pertanian. Secara fisik, fly ash merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus dan berwarna keabu-abuan. Secara kimia, fly ash memiliki pH ± 11. Fly ash mengandung unsur antara lain silika (SiO2), alumina (Al2O3), fero oksida (Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO), magnesium oksida (MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O), sulfur trioksida (SO3), pospor oksida (P2O5), dan carbon. Berdasarkan sifat fisik dan kimia fly ash tersebut, potensi pemanfaatan fly ash untuk dijadikan sebagai ameliorant (soil conditioner) sangat tinggi. Fly ash yang digranulakan dapat dimanfaatkan sebagai soil conditioner. Di samping dapat meningkatkan pH tanah, fly ash juga dapat menyediakan unsur hara (micronutrient) yang dibutuhkan oleh tanaman. Kondisi tanah di Indonesia cenderung bersifat masam termasuk lahan gambut. Luas lahan gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia (Wahyunto et al., 2005) sehingga perlu dilakukan usaha untuk memperbaiki kualitas lahan gambut agar menjadi lahan yang lebih produktif yaitu dengan pemberian ameliorant. Bahan ameliorant yang ideal adalah mempunyai sifat-sifat kejenuhan basa tinggi, dapat meningkatkan pH gambut, serta memiliki kandungan unsur hara yang lengkap sehingga dapat juga berfungsi sebagai pupuk dan mampu memperbaiki struktur tanah gambut. Berdasarkan penelitian Sharma dan Karla (2006), fly ash terbukti mampu memperbaiki struktur tanah, bulk density, kemampuan mengikat air (water holding capacity), memperbaiki konduktivitas tanah, dan ukuran partikel tanah. Penelitian yang dilakukan oleh SBRC LPPM IPB (2014) yang bekerjasama dengan Center Research Institute of Electric Power Industry (CRIEPI) Jepang dan Hokoriku Electric Power Company Jepang, menunjukan bahwa pemberian fly ash dalam media tanam sorgum yang berasal dari tanah gambut mampu meningkatkan pertumbuhan dan produksi sorgum (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh pemberian fly ash terhadap pertumbuhan tanaman sorgum
Perlakuan
Tinggi tanaman
Jumlah daun pada batang utama
Jumlah cabang
Jumlah daun pada cabang
Jumlah anakan
Jumlah daun anakan
Jumlah malai
Kontrol 59,25 b 1,75 b 1,00 bc 4,75 bc 1,75 bc 5,25 c 0,25 c Fly ash 1 (pH 6) 225,75 a 7,25 a 4,25 a 20,50 a 4,00 abc 23,50 b 6,00 a Dolomit (pH 6) 241,25 a 8,25 a 2,75 ab 10,00 abc 7,00 a 39,75 a 5,00 ab Fly ash 2 (pH 5) 202,00 a 6,00 a 3,75 a 19,00 ab 5,50 ab 35,50 ab 6,00 a Dolomit (pH 5) 175,00 ab 5,50 ab 0c 0c 0c 0c 0,75 bc Keterangan: kolom dengan huruf yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata dalam taraf 5%
Diameter batang 3,61 b 19,32 a 18,80 a 19,58 a 9,90 b
Dengan demikian fly ash berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai ameliorant atau soil conditioner. Fly ash menjadi salah satu alternatif yang memberi harapan dapat memperbaiki sifat kimiawi tanah gambut sekaligus mampu mengurangi beban limbah terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh pembangkit listrik tenaga uap dari batubara. Selama ini untuk meningkatkan pH tanah di tanah masam digunakan dolomit. pH tanah masam besarnya sekitar pH 3-4.
Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi
Erliza Hambali
37
Jika hanya fly ash yang dihasilkan dari PLTU berbahan bakar batubara milik PLN dimanfaatkan sebagai ameliorant, maka akan dapat dihemat biaya penanganan fly ash tersebut sekitar Rp2,2 triliun/tahun dan diperoleh pendapatan sebesar Rp6 triliun (dengan asumsi harga ameliorant sama dengan dolomit, yaitu sebesar Rp1.000/kg). Oleh sebab itu, perlu kiranya dikaji ulang pengkategorikan fly ash sebagai limbah B3 melalui kajian dan studi yang mendalam mengingat besarnya manfaat yang akan diperoleh bagi PLTU batubara dan untuk pertanian Indonesia.
PENGALAMAN PENGEMBANGAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI UNTUK MENUJU KEMANDIRIAN ENERGI INDONESIA Pengembangan Teknologi Surfaktan untuk EOR Penelitian sintesis surfaktan telah dilakukan sejak tahun 1998, dimana aneka jenis surfaktan disintesis dari minyak sawit meliputi dietanolamida (DEA), sukrosa ester, metil ester sulfonat (MES), alkohol sulfat (AS), alkil poli glikosida (APG). Untuk keperluan sintesis surfaktan dari sawit ini, dikembangkan reaktor skala laboratorium dengan kapasitas 500 ml–5 liter per batch. Surfaktansurfaktan yang dihasilkan pada saat itu diformulasi hanya terbatas untuk produk pembersih (sabun, deterjen bubuk, deterjen cair), produk kosmetika dan perawatan diri (sabun cair, sabun batang, sabun transparan, skin cream, skin lotion, roll on, dan sebagainya). Pada tahun 2003, berkembang ide untuk memanfaatkan surfaktan pada industri perminyakan. Ide ini berawal dari pemikiran bahwa sumur minyak membutuhkan surfaktan juga dalam proses peningkatan produksinya apabila usaha produksi menggunakan primary dan secondary recovery sudah tidak menjanjikan recovery yang tinggi, maka usaha untuk meningkatkan recovery minyak bumi adalah menggunakan bantuan chemicals seperti surfaktan yang dikenal sebagai proses Enhanced Oil Recovery (EOR). Hampir 100 tahun industri perminyakan Indonesia berdiri, namun surfaktan yang digunakan sebagian besar adalah surfaktan impor. Kemampuan untuk mensintesis surfaktan yang dimiliki dan disertai kolaborasi riset dengan ahli perminyakan di Indonesia dari ITB dan PT. Pertamina, serta bantuan dari industri kimia dalam bentuk pengadaan gas SO3, akhirnya inovasi teknologi proses produksi surfaktan dari minyak sawit sebagai chemicals untuk aplikasi EOR dapat dilakukan. Pada tahun 2013 surfaktan minyak sawit yang dihasilkan telah diujicoba dalam bentuk field trial injeksi di salah satu lapangan minyak selama 8 bulan. Dengan hasil yang memberikan respon positif terhadap efektifitas surfaktan pada salah satu sumur monitor. Pengembangan Teknologi Surfaktan untuk Stimulasi Sumur Minyak Setelah surfaktan dari minyak sawit berhasil disintesis untuk aplikasi EOR di lapangan minyak Indonesia, kemudian riset yang dilakukan berkembang untuk aplikasi stimulasi sumur minyak di Indonesia. Proses stimulasi sumur minyak yang dilakukan dengan memformulasi surfaktan dengan aditif pelarut dapat menurunkan tegangan antarmuka (IFT), mengubah kebasahan (wettability), menurunkan viskositas, mengecilkan droplet minyak dalam air dan menstabilkan dispersi sehingga memudahkan proses pengaliran minyak dari reservoir ke lubang sumur. Saat ini sedang dilakukan optimasi proses formulasi surfaktan untuk aplikasi stimulasi bagi sekitar 10 lapangan minyak di Indonesia. Pengembangan Teknologi Permunian Gliserol untuk WBM dan Esterifikasi Gliserol untuk OBM Gliserol (C3H8O3) merupakan cairan bening tidak berwarna yang larut air. Gliserol dapat diperoleh dari hasil samping industri biodiesel. Jumlah gliserol yang dihasilkan pada proses produksi biodiesel rata-rata mencapai 15% dengan kemurnian hanya sekitar 50%. Proses pemurnian gliserol dilakukan dengan cara mereaksikan gliserol kasar dengan asam fosfat sejumlah 4% sampai terbentuk endapan garam kalium fosfat. Dari reaksi tersebut dihasilkan tiga lapisan, yaitu asam lemak (29%), gliserol (46%), dan garam fosfat (25%). Tingkat kemurnian gliserol meningkat dari 50% menjadi 80%. Pada proses pemurnian lanjutan dengan distilasi vakum kondisi suhu 90-95 °C, tekanan 15 Bar, lama proses 2 jam, dan kecepatan pengadukan 300 rpm telah berhasil meningkatkan kadar gliserol menjadi 94,5%.
38
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
Gliserol untuk Water Based Mud (WBM) Water Based Mud (WBM) adalah lumpur pemboran yang berfungsi untuk melumasi dan mendinginkan mata bor, air sebagai continuous phase, oil dan solid sebagai discontinuous phase, menahan tekanan formasi, mengangkat cutting, meringankan beban drill pipe (efek buoyancy), dan menahan dinding bor. Gliserol sebagai bahan aditif pada WBM bertujuan untuk meningkatkan lubrisitas lumpur. Sebagai salah satu lumpur pemboran, lubrisitas memegang peranan penting dalam keberhasilan operasi pemboran secara efektif dan efisien. Saat ini prototype pemurnian gliserol dari 50% menjadi sekitar 90% kapasitas 1,5 ton/hari sedang dalam proses penyelesaian dan diharapkan pada tahun 2015 akan dilakukan commissioning. Esterifikasi Gliserol untuk Oil Based Mud (OBM) Oil Based Mud (OBM) adalah lumpur pemboran (drilling fluid) berbasis minyak untuk kebutuhan pemboran sumur minyak pada industry perminyakan. OBM digunakan secara ekstensif sebagai lumpur pemboran karena mudah untuk dibentuk, tidak membutuhkan biaya pemeliharaan yang mahal serta dapat diformulasikan secara khusus untuk menangani masalah pada sumur minyak. Bahan yang berpotensi digunakan untuk Oil Based Mud (OBM) adalah gliserol ester. Untuk itu, gliserol harus dikonversi terlebih dahulu menjadi gliserol ester melalui proses esterifikasi asam oleat dengan katalis MESA. Pilot plant esterifikasi gliserol skala 1,5 ton/hari saat ini masih dalam proses penyelesaian dan diharapkan commissioning akan dilakukan tahun 2015. Pengembangan Teknologi Biodiesel dari Olein dan Stearin Sawit Proses sintesis biodiesel dari olein dan stearin sawit dilakukan melalui proses transesterifikasi dengan campuran alkohol dan katalis basa (metoksida) untuk menghasilkan metil ester (biodiesel) dan gliserol. Kandungan asam lemak bebas olein atau stearin sawit yang digunakan kurang dari 2%, maka konversi olein atau stearin sawit menjadi metil ester hanya diterapkan satu tahapan reaksi, yaitu proses transesterifikasi. Proses transesterifikasi minyak sawit menjadi metil ester (ME) atau biodiesel telah dilakukan untuk skala produksi 100 liter/batch, kemudian di-scale up hingga kapasitas 1 ton/hari dan selanjutnya dibangun lagi menjadi skala pilot plant kapasitas 5 ton/hari sebelum ke skala industri. Saat ini prototype peralatan produksi biodiesel skala 5 ton/hari sedang dalam proses penyelesaian dan diperkirakan commissioning akan dilakukan tahun 2015. Pengembangan Teknologi Proses Biodiesel dari Minyak Jelantah Penggunaan biodiesel sebagai campuran BBM dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan asap lainnya dari kendaraan. Salah satu bahan baku yang pernah dimanfaatkan adalah minyak jelantah. Minyak jelantah merupakan minyak goreng bekas yang bisa diperoleh dari industri-industri kecil seperti industri keripik dan restoran serta hotel. Biodiesel dari minyak jelantah telah dimanfaatkan oleh transportasi publik yaitu bus Trans Pakuan (city bus Kota Bogor). Biodiesel yang digunakan sebanyak 20% (B20) dari konsumsi solar untuk kebutuhan 15 bus per hari. Biodiesel tersebut diproduksi oleh Yayasan The Heritage Bogor dengan kapasitas produksi rata-rata 1 ton per hari. Pihak yang berperan dalam pengumpulan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel adalah Pemerintah Kota Bogor. Biodiesel dari minyak jelantah mulai digunakan untuk transportasi publik di Kota Bogor setelah diresmikan oleh Sekretaris Daerah Kota Bogor, yaitu H. Dody Rosadi pada tanggal 12 November 2007 (Gambar 3). Teknologi proses produksi biodiesel dari minyak jelantah juga telah dimanfaatkan oleh PT Freeport di Papua dengan kapasitas sekitar 175 liter/batch. Spin off teknologi produksi biodiesel dari minyak jelantah juga sudah dilakukan oleh Yayasan The Heritage Bogor untuk PT Pupuk Kaltim dengan kapasitas sekitar 200 liter/batch.
Peran Pertanian dalam Membantu Mewujudkan Kemandirian Energi
Erliza Hambali
39
Gambar 3. Launching B20 dari biodiesel minyak jelantah
Teknologi Biopelet dari Limbah Biomassa Biopelet adalah jenis bahan bakar padat berbasis limbah biomassa yang memiliki ukuran lebih kecil dari briket. Biomassa yang berpotensi digunakan untuk produksi biopelet di antaranya pelepah sawit, bungkil kelapa, sekam padi, batang ubi kayu, tongkol jagung, tempurung kelapa, kulit kacang, kulit kopi, dan sebagainya. Teknologi biopelet telah digunakan oleh ibu rumah tangga di Desa Lulut, Kecamatan Citeureup, Bogor dan pengusahaan pemindangan ikan di Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor Barat. Proses pembuatan biopelet, yaitu limbah biomassa dipotong dan dijemur sampai kering. Setelah kering, bahan dihaluskan hingga berbentuk tepung dan proses terakhir adalah mencetak tepung menjadi pelet. Proses utama yang digunakan adalah pengempaan (pressing) dengan suhu dan tekanan tinggi, sehingga membentuk produk yang seragam dengan kapasitas produksi tinggi. Biopelet dari limbah biomassa pelepah sawit yang pernah dihasilkan ditunjukkan pada Gambar 4. Karakteristik biopelet yang dihasilkan yaitu kadar air 9,53%, kadar abu 2,97%, densitas kamba 3 690,16 kg/m , dan nilai kalori 4.405,40 kkal/kg.
Gambar 4. Biopelet dari limbah biomassa pelepah sawit
40
Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia Ke-34: Pertanian-Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial
PENUTUP Pertanian sangat berperan dalam membantu mewujudkan kemandirian energi nasional. Minyak kelapa sawit berpotensi besar untuk disintesis menjadi produk surfaktan dan diaplikasikan untuk proses peningkatan recovery minyak bumi di lapangan minyak tua di Indonesia, untuk proses drilling di industri perminyakan, untuk aplikasi lingkungan melalui pemanfaatan surfaktan pada proses granulasi fly ash sebagai ameliorant. Pemanfaatan surfaktan dari minyak sawit untuk aplikasi teknologi EOR dan stimulasi pada industri perminyakan dapat meningkatkan produksi minyak bumi sehingga dapat menghemat devisa sekitar Rp10,2 triliun/tahun (aplikasi surfaktan untuk teknologi EOR) dan 2,1 triliun/tahun (aplikasi surfaktan untuk teknologi stimulasi). Penerapan mandatori Biodiesel B10 dan Bioetanol E02 pada tahun 2015 dapat menghemat devisa sebesar Rp35 triliun dan akan meningkat penghematan devisanya menjadi Rp237 triliun pada tahun 2025 dengan penerapan Biodiesel B25 dan Bioetanol E20. Pemanfaatan fly ash sebagai ameliorant akan menghemat biaya penanganan limbah PLTU batubara sebesar Rp2,2 triliun dan mempunyai nilai tambah sebesar Rp6 triliun dari pemanfaatannya sebagai ameliorant. Pemanfaatan biomassa untuk memproduksi biolistrik dapat menghasilkan listrik 49.810 MW yang bila dikonversikan ke nilai uang berkisar sekitar Rp501,8 triliun/tahun. Indonesia memiliki beragam jenis bahan baku yang dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan berbagai jenis bioenergi seperti biodiesel, bioetanol, biogas, biolistrik, dan bioavtur. Beragam macam jenis bioenergi ini dapat membantu memenuhi kekurangan pasokan BBM Indonesia. Potensi pertanian Indonesia dapat dimanfaatkan untuk membantu mewujudkan kemandirian energi nasional melalui kebijakan yang tepat oleh pemerintah diantaranya untuk memanfaatkan teknologi EOR dan stimulasi sumur minyak menggunakan surfaktan lokal berbasis sawit, pemanfaatan fly ash dari batubara untuk ameliorant lahan pertanian, pemanfaatan biomassa untuk biolistrik, serta merealisasikan sekenario mandatori BBM secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA [API] American Petroleum Institute. 2003. Specification for Drilling-fluid Materials– Specification 13A. American Petroleum Institute. Washington, DC. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2013. Outlook Energi Indonesia 2013: Pengembangan Energi dalam Mendukung Sektor Transportasi dan Industri Pengolahan Mineral. Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE), BPPT. Jakarta. ESDM. 2013. Kerangka Kebijakan Energi Terbarukan. Makalah Seminar. Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE)-ESDM. Jakarta. Growcock, F.B. 2005. Enhanced Wellbore Stabilization and Reservoir Productivity with Aphron Drilling Fluid Technology”, US DOE, Award Number DE-FC26-03NT42000 Hambali, E., Marbun, B.T.H., dan Rivai, M. 2013. Esterifikasi Gliserol Hasil Samping Industri Biodiesel Olein Sawit sebagai Water-Based Mud. Laporan Akhir Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasan, D.H. 2014. Batubara untuk Ketahanan Energi. http://www.listrikindonesia.com/batubara_untuk_ketahanan_energi__158.htm (15 Oktober 2014). Liu, H., W. Burkett, and K. Haynes. 2005. Improving freezing and thawing properties of fly ash bricks. Proceedings of the World of Coal Ash, 11-15 April 2005, Kentucky, USA. Sharma, S.K. and N. Karla. 2006. Effect of fly ash incorporation on soil properties and productivity of crop: a review. Journal of Scientific & Industrial Research 65:383-390. PT PLN (Persero). 2014. Statistik PLN 2013Sekretariat Perusahaan PT PLN (Persero). Jakarta. Wahyunto, S. Ritung, Suparto, dan H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon Pulau Sumatera dan Kalimantan. Proyek CCFPI (Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia). Wetlands International- Indonesia Programme (WI-IP) & Wildlife Habitat Canada (WHC).