PERAN KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI
AI NURASIAH ZAKIAH
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2013
Ai Nurasiah Zakiah NIM: I34090087
ABSTRAK AI NURASIAH ZAKIAH. Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai. Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO. Perilaku destruktif manusia atas sumberdaya alam khususnya hutan semakin mencemaskan dalam beberapa tahun belakangan ini. Kasus penebangan liar dan penyerobotan lahan hutan terus berlangsung, yang menyebabkan degradasi hutan, erosi, dan berkurangnya debit air. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara kritis keberadaan dan peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan hutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara peran kelembagaan lokal terhadap perubahan tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelembagaan lokal di Desa Citaman telah berperan secara nyata dalam perubahan tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan kapasitas kelembagaan lokal, rendahnya kesadaran masyarakat akan tugas dan fungsi kelembagaan, serta keterbatasan pembinaan oleh lembaga terkait dianggap menjadi penghambat jalannya kelembagaan dan terbatasnya peran kelembagaan. Kata Kunci: kelembagaan lokal, penggunaan lahan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat
ABSTRACT AI NURASIAH ZAKIAH. The Role of Local Institutions on Land Use and the Welfare of society in the Upstram Watershed. Supervised by MARTUA SIHALOHO. Destructive people’s behavior toward natural resources has led to critical issues of natural resources management, especially in the last few years, where the new goverment are continues reform and local autonomy taking places. Cases of illegal logging and forest encoarchment are continues and these have led to seriour forest degradation, forest land errotion, and even significance decrease of springs and water supply. The aims of this study are to critically analyse the existance of local institutions, to analyze the profile and the roles of local institutions in forest management. The purposeof this studyare to analyzethe relationship between the role of local institutions to changes in land use and the level of social welfare. Results of this study indicate that local institutional Citaman village had significantly instrumental in the change of land use and the level of social welfare. Lack of local institutions’ capacity, lack of awareness of the duties and functions of institutions, and lack of goverment support and supervision considered to be a inhibit the progress of institutions and lack of local institutions. Keywords: local institutions, land use, and the welfare of society
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PENGGUNAAN LAHAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI
AI NURASIAH ZAKIAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGANMASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
JudulSkripsi
Nama NIM
: Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai : Ai Nurasiah Zakiah : I34090087
Disetujui oleh,
Martua Sihaloho, SP, MSi Pembimbing
Diketahui oleh,
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus: ________________
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Peran Kelembagaan Lokal Terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana peran kelembagaan lokal terhadap penggunaan lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta perubahan tata guna lahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Peneliti mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Bachrani selaku ketua kelompok tani hutan Karya Muda II, dan kepada seluruh masyarakat Desa Citaman yang telah banyak membantu dalam pengambilan data dan informasi di lokasi penelitian. Terimakasih dan hormat yang mendalam kepada MartuaSihaloho, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, masukan, saran, dan sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Orang tua tercinta Achmad Rosyidin dan Ibunda Iis Badriyah, serta kakak-kakak tersayang, Nunung Sayidah dan Asep Hidayat yang selalu sabar memberi doa, dukungan, semangat, materi dan semua pengorbanannya dengan penuh ikhlas kepada penulis. Sahabat-sahabat terbaik SKPM dan HIMASIERA, khusunya Ajeng Intan, Arif Rachman, Hamdani Pramono, Elbi Yudha Pratama, Indra Setiayadi, Bahari Ilmawan, Oki Wanna Rijky, dan Adia Yuniarti, serta banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Sahabat yang tiada henti memberikan dukungan Cindy Lukitasari, Dessy Emalia, Trini Nuresa, dan Dessy Ratna Cempaka. Cokorda Agung Wibowo, yang selalu memotivasi, mendukung dan mendengarkan keluh kesah penulis. Teman satu bimbingan dan sahabat terbaik Dian Nurdianti, untuk masukan, saran, candaan, dan kebersamaan dalam mengerjakan skripsi sehingga kita bisa bersamasama menyelesaikan dengan lancar. Keluarga besar PSAA Fajar Harapan, Ir. H Srijanto Prono, H. Emo Sudarmo, Bapak Dahrur Charori,dan Drs. Sumpeno yang telah mendidik dan membesarkan penulis, serta mendengarkan curahan dan pengaduan penulis. Ibu Maryati Nasution (Alm), Bpk Budiman, Bpk Ahmad Saubari, dan alumni IPB angkatan 1959 yang telah menjadi donatur bagi penulis selama studi di IPB. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat, bagi penulis khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya.
Bogor, Mei 2013
Ai Nurasiah Zakiah I34090087
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Konsep Kelembagaan Lokal Peran Kelembagaan Lokal Tata Guna Lahan “Penggunaan dan Penguasaan Lahan” Penggunaan Lahan Penguasaan dan Pemilikan Lahan Konsep Kesejahteraan Masyarakat Indikator Kesejahteraan Masyarakat Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANG Metodologi Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi geografi Iklim Hidrologi Penggunaan Lahan Kondisi Demografi Kondisi Sosial Ekonomi Agama Ketersediaan Fasilitas Umum Pranata Sosial, Budaya, dan Adat Istiadat PERAN KELEMBAGAAN LOKAL, PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN, DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI Aspek Kesejarahan Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Karakteristik Umum Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Peran Kelembagaan Lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Terbatasnya Peran Kelembagaan Lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman Eksistensi Kelembagaan Lokal di Desa Citaman
Halaman i ii v vi 1 1 3 3 3 5 5 5 6 6 8 10 11 13 14 14 17 17 17 17 20 21 21 21 22 22 23 23 24 24 24 27
27 28 31 35 36
ii
Perubahan Tata Guna Lahan Masyarakat Desa Citaman Sejarah Akses Penggunaan Lahan di Desa Citaman Ragam Struktur Agraria “Pemilikan dan Penguasaan Lahan” di Desa Citaman Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Desa Citaman Kepemilikan Lahan Kemampuan Membayar Buruh Kemampuan Menyekolahkan Anak Kemampuan Akses Kesehatan Keterlibatan pada Organisasi/Kelembagaan Lokal Tingkat Kepemilikan Aset Kondisi Tempat Tinggal Responden Kepemilikan Kendaraan Kepemilikan Barang Elektronik Kepemilikan Hewan Ternak Kepemilikan Tabungan Tingkat Pendapatan HUBUNGAN PERAN KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI Hubungan Peran Kelembagaan Lokal terhadap Perubahan Tata Guna Lahan Hubungan Peran Kelembagaan Lokal terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Hubungan Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Perubahan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA
38 39 44 45 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 59
60 60 61 63 64
iii
DAFTAR TABEL No. Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12
Tabel 13
Tabel 14 Tabel 15
Tabel 16
Tabel 17
Tabel 18
Tabel 19
Halaman Focus Group Discussion (FGD), Jenis data serta sumber data dan informasi di Desa Citaman Wawancara responden dan jenis informasi yang dicari Luas penggunaan lahan Desa Citaman tahun 2012 Jumlah penduduk Desa Citaman menurut kelompok umur tahun 2012 Komposisi penduduk Desa Citaman berdasarkan mata pencaharian tahun 2012 Sejarah kelembagaan lokal di Desa Citaman Karakteristik umum kelembagaan yang teridentifikasi di Desa Citaman Peran kelembagaan lokal KTH Karya Muda II di hulu daerah aliran sungai (DAS) di Desa Citaman Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terbatasnya peran kelembagaan lokal di Desa Citaman Faktor penyebab dan wujud nyata eksistensi kelembagaan lokal di Desa Citaman 2013 Akses dan penggunaan lahan di Desa Citaman Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan SPPT sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan tata guna lahan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pemilikan dan pola penguasaan lahan di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan membayar buruh sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan menyekolahkan anak sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan akses kesehatan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam kelembagaan lokal sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013
18 19 22 23 23 27 30 31 35 36 39 40
41
44 45
46
47
48
49
iv
Tabel 20
Tabel 21
Tabel 22
Tabel 23
Tabel 24
Tabel 25
Tabel26 Tabel 27 Tabel 28 Tabel 29
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan tempat tinggal sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan kendaraan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan hewan ternak sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan tabungan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Jumlah pendapatan masyarakat dari hasil tani on farm untuk luas tanah 1 hektar Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Hubungan antara tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat
51
52
53
54
55
56
57 60 60 61
v
DAFTAR GAMBAR No. Gambar 1 Gambar 2
Lingkup hubungan-hubungan agraria Kerangka berpikir
Halaman 9 13
DAFTAR LAMPIRAN No Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Sketsa Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten Sketsa lokasi lahan milik kelompok tani hutan Karya Muda II Kerangka sampling rumah tangga anggota KTH Karya Muda II Kerangka sampling rumah tangga non anggota KTH Karya Muda II Hasil uji korelasi Rank Spearman Dokumentasi dan penghargaan yang diperoleh oleh KTH Karya Muda II Dokumentasi penelitian
Halaman 68 69 70 71 72 75 78 80
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian (agraris) baik sebagai pemilik tanah, petani penggarap tanah, maupun sebagai buruh tani. Tanah atau sumberdaya lainnya pada suatu masyarakat agraris merupakan faktor produksi yang mempunyai arti penting baik menyangkut aspek sosiologi, ekonomi, maupun aspek politik. Menurut Tjondronegoro (1998), tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya. Sumberdaya tanah bersifat multifungsi dalam aktifitas kehidupan manusia di berbagai bidang, baik di bidang pertanian maupun nonpertanian. Di bidang pertanian, tanah digunakan sebagai lahan untuk berusaha tani sehingga dapat menghasilkan produksi yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan di bidang non-pertanian tanah digunakan sebagai tempat pemukiman, perkantoran/jasa maupun tempat lainnya. Manusia merupakan komponen daerah aliran sungai (DAS) yang memegang peranan penting dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat serta aktivitas masyarakat yang semakin beragam menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia akan sumberdaya. Pemenuhan kebutuhan penduduk akan menyebabkan eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya peristiwa alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan atau konversi lahan mengandung pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia, yang dapat bersifat permanen maupun sementara. Dikatakan bersifat permanen, jika lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian. Akan tetapi apabila lahan tersebut berubah fungsi dari persawahan menjadi perkebunan, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat sementara. Alih fungsi lahan yang bersifat permanen dampaknya lebih besar dari pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara (Kivell 1993). Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan hutan di wilayah DAS Cidanau berupa pencurian kayu/penebangan liar, perambahan lahan yang dijadikan lahan budidaya pertanian berupa sawah dan kebun. Cagar Alam Rawa Danau kini menjadi pusat utama perhatian pemerintah khususnya Badan Pengelola DAS (BPDAS) Cidanau sejak terjadinya euphoria reformasi tahun 1998. Perambahan terjadi kembali dalam jumlah cukup banyak, penduduk yang ditransmigrasikan ada yang kembali menggarap lahan Cagar Alam Rawa Danau. Hasil identifikasi tahun 2004 dari luas 2 500 ha telah dirambah untuk lahan pertanian berupa sawah dan kebun sekitar 845 ha atau 1/3 luas kawasan. Penggarap tercatat 1.497 orang dengan luas garapan masing-masing 500 m2 – 5 000 m2. Menurut data statistik, masyarakat di wilayah DAS Cidanau secara umum bermata pencaharian sebagi petani (36%) dengan luas lahan mencapai 75% dan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh masyarakat untuk pertanian rata-rata dibawah 1 ha dan luas pemilikan lahan terbanyak rata-rata antara 0.20-0.50 ha. Penggunaan lahannya lebih banyak berupa lahan sawah dan irigasi, baik teknis maupun non teknis seluas 5 193.35 ha, tanah tegalan yang ditanami sawah tadah hujan seluas 1 235 ha dan berupa kebun rakyat seluas 3 309 ha, sedangkan luas
2
penggunaan untuk sawah adalah 4 359.15 ha. Pertanian merupakan salah satu mata pencaharian penduduk di Kecamatan Ciomas. Luas lahan kritis di Kecamatan Ciomas mencapai 592.88 ha. Pemanfaatan sumberdaya lahan belum menerapkan prinsip prioritas antara hulu-tengah, dan hilir. Masyarakat yang berada pada setiap bagian DAS tetap mengelola lahan berdasarkan pengalamannya dalam berkebun dan bertani. Tidak ada batasan atau prioritas pengelolaan untuk daerah hulu, tengah, dan hilir. Sebagai akibatnya dan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan dan pemanfaatan semakin meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, maka situasi ini kemudian mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa kebun campuran, sawah, dan lahan kering. Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Membentuk gerakan masyarakat tersebut dibutuhkan suatu wadah yang dapat menampung aspirasi dan koordinasi dalam mengelola DAS. Prinsipnya kelembagaan DAS dibentuk atas kesadaran dan kebutuhan masyarakat sekitar DAS untuk melaksanakan pengelolaan DAS yang lebih baik sebagai akibat dari permasalahan-permasalahan yang timbul seperti konflik kepentingan antar sektor dan antar pemerintah daerah yang menyebabkan degradasi DAS. Pembentukan kelembagaan DAS harus didasarkan pada komitmen bersama dalam pencapaian tujuan pengelolaan DAS agar terbangun komunikasi dan jejaring kerja (networking) diantara pemangku kepentingan yang terkait dengan pengelolaan DAS. Masing-masing pihak dapat memperoleh manfaat, peran, tanggungjawab, dan membangun komitmen untuk mencapai tujuan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan ekosistem DAS (Dephut 2003 b). Upaya penyelamatan hulu DAS tersebut sangat bergantung pada sejauh mana kelembagaan yang terdapat di daerah hulu tersebut berperan dalam menjaga pelestarian lingkungan, fungsi, dan kualitas air bagi sub DAS tengah dan hilir. Desa Citaman, Kecamatan Ciomas merupakan salah satu desa di kawasan Cagar Alam Rawa Danau sebagai kawasan endemik situs konservasi rawa pegunungan satu-satunya tersisa di Pulau Jawa. Tetapi, proses pembiaran dan salah urus menyebabkan hampir sepertiganya diduduki oleh petani lapar tanah sebagai akibat ketimpangan struktur agraria di kawasan tersebut. Guna mengetahui gambaran bagaimana realitas sosial di lokasi, perlu diteliti mengenai perubahan tata guna lahan (penggunaan, penguasaan, dan pemilikan lahan). Penelitian diharapkan dapat dihasilkan pemikiran yang mendalam mengenai masalah tata guna lahan yang sedang terjadi khususnya di Desa Citaman DAS Cidanau. Berdasarkan hal tersebut peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Peran Kelembagaan Lokal terhadap Penggunaan Lahan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Hulu Daerah Aliran Sungai”.
3
Masalah Penelitian Berdasarkan uraian yang telah disampaikan di bagian latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagi berikut: 1. Sejauhmana kelembagaan lokal di hulu DAS berperan dalam perubahan tata guna lahan masyarakat? 2. Sejauhmana kelembagaan lokal di hulu DAS berperan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat? 3. Sejauhmana perubahan tata guna lahan berperan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat? Tujuan Penelitian 1. Menganalisis peran kelembagaan lokal di hulu DAS dalam perubahan tata guna lahan masyarakat. 2. Menganalisis peran kelembagaan lokal di hulu DAS dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. dalam meningkatkan 3. Menganalisis peran perubahan tata guna lahan kesejahteraan masyarakat. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi maupun non akademisi. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan kajian untuk penelitian selanjutnya, serta dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria. Bagi non akademisi seperti pemerintah, swasta maupun masyarakat, dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Banten dan Desa Citaman, Kecamatan Ciomas pada khususnya.
4
5
PENDEKATAN TEORITIS Konsep Kelembagaan Lokal Lembaga berasal dari kata institute lebih menunjuk kepada suatu “badan” seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki beragam tujuan (Nasdian 2003). Kelembagaan sosial merupakan terjemahan dari istilah social institution. Koentjaraningrat (1964) menyebut kelembagaan sosial sebagai pranata sosial, yaitu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Dalam sosiologi, yang dimaksud dengan kelembagaan sosial atau social institution adalah suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting. Kelembagaan atau yang hidup dalam suatu masyarakat dapat dianalisis dalam dua perspektif. Perspektif pertama, kelembagaan sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan perspektif kedua kelembagaan sebagai institusi/organisasi atau struktur (Durkheim 1964). Kelembagaan sebagai nilai, norma, dan aturan main menurut Scott (2008) memberikan kedamaian bagi kehidupan sosial dan dukungan pada sistem sosial. Dalam analisis Scott (1989) keberadaan kelembagaan komunitas di pedesaan pra kapitalis berfungsi sebagai “asuransi terselubung” dan “energi sosial” dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan. Sehingga, ketika kedua fungsi itu memudar akibat penetrasi kekuatan ekonomi kapitalis menimbulkan ketegangan sosial dan pemberontakan di pedesaan. Peran Kelembagaan Lokal Peran kelembagaan lokal yaitu pemerintah lokal/desa dan lembaga kemasyarakatan lokal, di pandang sebagai suatu proses dari tata kelola pemerintah yang baik. Peran kelembagaan lokal baik sebagai nilai, norma, aturan perilaku, dan aturan main atau sebagai institusi, eksistensinya dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, budaya komunitas, fungsionalitas, dan intensitas interaksinya dengan supra lokal. Kelembagaan komunitas kehadirannya didorong oleh adanya kebutuhan bersama dari anggota untuk menciptakan ketertiban, keamanan, dan keberlanjutan sumberdaya ataupun kesejahteraan. Kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan bersama yang dilembagakan karena keberadaannya didasarkan pada kebutuhan bersama, maka kelembagaan komunitas muncul dan tenggelam seiring dengan kebutuhan dan dinamika masyarakatnya (Hidayat 2011). Dimensi kelembagaan dikemukakan oleh Uphoff (1986) mengidentifikasi kelembagaan secara hirarkis dan vertikal: kelembagaan mikro, meso, dan kelembagaan makro. Kelembagaan mikro atau kelembagaan lokal, adalah kelembagaan yang hidup dinamis dalam komunitas/masyarakat, baik publik, partisipatori, maupun swasta. Dalam analisis Uphoff (1986), kelembagaan lokal jangkauannya mencakup administrasi pemerintahan terkecil, seperti desa. Pada kelembagaan lokal yang bersifat publik, jangkauannya mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan perangkat birokrasi yang terdapat di dalamnya. Pada kelembagaan lokal bersifat partisipatori, meliputi lembaga-lembaga yang tumbuh
6
dalam masyarakat yang dibangun secara sukarela dan swadaya. Menurut Uphoff, kelembagaan lokal dapat berupa kelembagaan bisnis yang terdapat dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian, perdagangan, kerajinan, industri, dan kelembagaan bisnis lainnya yang berorientasi profit. Fungsi kelembagaan sosial Doorn dan Lammers (1964) dalam Nasdian (2003): 1. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan. 2. Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara. 3. Memberi pegangan kepada masyarakat mengadakan kontrol sosial: artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya. 4. Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Kelembagaan lokal baik partisipatori, publik maupun bisnis, dinamika dan kompleksitasnya dipengaruhi oleh kemampuan dan fungsinya dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas. Sepanjang kelembagaan lokal tersebut memiliki kapasitas dan adaptabilitas untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi komunitas, eksistensinya akan terjaga dan terpelihara dengan baik. Tetapi bila kapasitas dan adaptabilitas melemah dan disfungsional, kelembagaan lokal tersebut hanya akan menjadi artefak sejarah. Salah satu kelembagaan lokal yang bersifat partisipatori dan persisten dalam kehidupan komunitas pedesaan adalah kelembagaan tata kelola sumberdaya agraria. Kelembagaan jenis ini ditemukan pada berbagai komunitas dan entitas di Indonesia. Budi (1999) mengemukakan bahwa peran kelembagaan lokal baik pada organisasi pemerintah lokal maupun pada organsiasi kemasyarakatan lokal secara positif akan teraktualisasikan dalam penerapan prinsip-prinsip, meliputi prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen. Penggunaan Lahan Notohadikusumo (2005) mengemukakan bahwa lahan adalah jabaran operasional kawasan. Lahan mengandung sejumlah ekosistem dan sekaligus juga menjadi bagian dari ekosistem-ekosistem yang dikandungnya. Menurut Utomo et al. (1992), lahan memiliki ciri yang unik dibanding sumberdaya lainnya, yakni lahan merupakan sumberdaya yang tidak habis, namun jumlahnya tetap dan dengan lokasi yang tidak dapat dipindahkan. Penggunaan lahan sangat terkait dengan tata guna lahan. Tata guna lahan menurut Jayadinata (1999) adalah penggunaan lahan itu sendiri. Tata guna lahan tidak hanya penggunaan permukaan bumi di daratan, tetapi juga mengenai penggunaan permukaan bumu di lautan. Aspek-aspek penting dalam tata guna lahan adalah lahan dengan unsur alami lain, yaitu tubuh lahan (soil, air, dan iklim) serta mempelajari kegiatan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan ekonomi. Dalam istilah tata guna lahan terdapat dua unsur penting, antara lain:
7
1. Tata guna lahan yang berarti penataan/pengaturan penggunaan (merujuk kepada sumberdaya manusia). 2. Lahan (merupakan sumberdaya alam) yang berarti ruang permukaan lahan serta lapisan bantuan dibawahnya dan lapisan udara diatasnya, serta memerlukan dukungan berbagai unsur alam lain seperti air, iklim, tubuh lahan, hewan, vegetasi, dan mineral. Pertimbangan mengenai kepentingan atas lahan di berbagai wilayah berbeda tergantung struktur sosial penduduk tertentu yang mempengaruhi prioritas bagi fungsi tertentu kepada lahan. Aturan-aturan dalam penggunaan lahan tergantung kepada kesepakatan yang berlaku di masyarakat. Beberapa kategori yang dapat membandingkan aturan tata guna lahan wilayah satu dengan lainnya, antara lain kepuasan, kecenderungan untuk kegiatan dalam tata guna lahan, luas kesadaran akan tata guna lahan, kebutuhan orientasi dan penataan/pengaturan estetika. Chapin (1995) dalam Jayadinata (1999) menggolongkan lahan dalam tiga kategori, yaitu: 1. Nilai keuntungan, yang dihubungkan dengan tujuan ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli lahan di pasaran bebas. 2. Nilai kepentingan umum, yang dihubungkan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat. 3. Nilai sosial, merupakan hal mendasar bagi kehidupan dan dinyatakan oleh penduduk dengan perilaku yang berhubungan dengan pelestarian, tradisi dan kepercayaan. Utomo et al. (1992) menjelaskan bahwa penggolongan lahan dapat digolongkan menjadi dua, yaitu: 1. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan potensi alaminya, seperti kesuburan, kandungan mineral atau terdapat endapan bahan galian dipermukaannya. 2. Penggunaan lahan dalam kaitan dengan pemanfaatan sebagai ruang pembangunan, tidak memanfaatkan potensi alamnya tetapi lebih ditentukan oleh hubungan-hubungan tata ruang dengan penggunaan-penggunaan lain yang telah ada, diantaranya kegiatan prasarana dan fasilitas umum. Utomo et al. (1992) menjelaskan tentang faktor–faktor yang menentukan karakteristik penggunaan lahan, antara lain: 1. Faktor sosial dan kependudukan; faktor ini berkaitan dengan peruntukan lahan bagi pemukiman atau perumahan secara luas. Secara khusus mencakup penyediaan fasilitas sosial yang memadai dan kemudahan akses akan sarana dan prasarana kehidupan, seperti sumber ekonomi, akses transportasi, akses layanan kesehatan, dan rekreasi. 2. Faktor ekonomi dan pembangunan; faktor ini apabila dilihat lebih jauh mencakup penyediaan lahan bagi proyek-proyek pembangunan pertanian, pengairan, industri, penambangan, transmigrasi, perhubungan, dan pariwisata. 3. Faktor penggunaan teknologi; faktor ini dapat mempercepat alih fungsi lahan ketika penggunaan teknologi tersebut menurunkan potensi lahan. Misalnya penggunaan pestisida dengan dosis yang terlalu tinggi di suatu kawasan dapat menyebabkan kerusakan lahan sehingga perlu untuk dialih fungsi.
8
4. Faktor kebijaksanaan makro dan kegagalan institusional; kebijakan makro yang diambil oleh pemerintah akan sangat mempengaruhi jalannya sistem kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Perubahan penggunaan lahan atau disebut dengan alih fungsi lahan sebagai perubahan penggunaan atau fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan sendiri (Utomo et al. 1992). Faktor penyebab alih fungsi yang bersifat langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan penduduk, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota (Pakhpahan 1993). Konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan 1997). Penguasaan dan Pemilikan lahan Aspek penggunaan lahan seperti yang dikutip oleh Syahyuti (2005) tertuang dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Secara konseptual agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda yaitu aspek „penguasaan dan pemilikan‟ dan „aspek penggunaan dan pemanfaatan‟. Aspek penguasaan dan pemilikan berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan lahan, aspek penggunaan dan pemanfaatan membicarakan bagiaman lahan dan sumberdaya alam lainnya digunakan sebagai sumberdaya ekonomi. Istilah agraria berdasarkan penelusuran etmologis Kamus Bahasa Latin Indonesia dan World Book Dictionary dalam Sitorus (2002) berasal dari kata “ager”, yang artinya “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah”. Suatu bentangan “lapangan”, “pedusunan” atau “wilayah” yang terdiri dari aneka unsur yang meliputi tanah, air, hutan, bahan mineral/tambang, dan udara. Sitorus (2002) juga menjelaskan bahwa lingkup agraria mengandung pengertian yang luas dari sekedar “tanah pertanian” atau “pertanian”, yaitu suatu bentang alam yang mencakup keseluruhan kekayaan alami (fisik dan hayati) dan kehidupan sosial yang terdapat di dalamnya. Lingkup agraria itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu obyek agraria atau sering disebut sebagai sumber-sumber agraria dan subyek agraria. Merujuk pada pasal 1 (ayat 2, 4, 5, dan 6) UUPA 1960, Sitorus (2002) menyimpulkan sumber-sumber agraria sebagai berikut: (1) tanah atau permukaan bumi yang merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan; (2) perairan, baik di darat maupun di laut yang meliputi kegiatan perikanan (sungai, danau maupun laut); (3) hutan, meliputi kesatuan flora dan fauna dalam suatu kawasan tertentu dan merupakan modal alami utama dalam kegiatan ekonomi komunitas-komunitas; (4) bahan tambang, mencakup beragam
9
bahan tambang/mineral yang terkandung di dalam tubuh bumi; dan (5) udara, dalam arti ruang di atas bumi dan air. Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas (sebagai kesatuan dari unit-unit rumahtangga), pemerintah (sebagai representasi negara), dan swasta (private sector). Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumbersumber agraria melalui institusi penguasaan/pemilikan (tenure institution). Hubungan pemanfaatan tersebut menunjuk pada dimensi teknis, atau lebih spesifik dimensi kerja. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan seperti sumber-sumber agraria menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaan/pemilikan/pemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria (Sitorus 2002) (Gambar 1). Komunitas
Sumber-sumber agraria
Swasta
Pemerintah
Keterangan : Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria Gambar 1 Lingkup Hubungan-hubungan Agraria (Sumber: Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi) Penguasaan lahan dan kepemilikan lahan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Menurut Wiradi (2008) bahwa konsep antara kepemilikan, dan penguasaan lahan perlu dibedakan. Kata “pemilikan” menunjuk pada penguasaan formal. Hak milik atas tanah berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki seseorang atas tanah, yaitu hak yang sah untuk menggunakannya, mengolahnya, menjualnya dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari permukaan tanah. Hal tersebut menyebabkan pemilikan atas tanah tidak hanya mengenai hak milik saja melainkan juga termasuk hak guna atas tanah yaitu suatu hak untuk memperoleh hasil dari tanah bukan miliknya dengan cara menyewa, menggarap dan lain sebagainya. Sedangkan kata penguasaan menunjukkan pada penguasaan efektif. Misalnya jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang itulah yang secara efektif menguasainya. Kata pengusahaan/pemanfaatan nampaknya cukup jelas, yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif.
10
Pemilikan lahan tidak selalu mencerminkan penguasaan lahan, karena memang ada berbagai jalan untuk menguasai lahan, misalnya melalui sewa, sakap, gadai, dan sebagainya. Pemilik lahan luas biasanya tidak selalu menggarapnya sendiri. Sebaliknya pemilik tanah sempit dapat pula menggarap tanah orang lain melalui sewa atau sakap, di samping menggarap lahannya sendiri. Wiradi (1984) mengemukakan bahwa terdapat lima pengelompokkan penduduk desa dalam penguasaan lahan, diantaranya: (1) pemilik penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap lahan yang dimilikinya; (2) penyewa dan penyakap murni, yaitu mereka yang tidak memiliki lahan garapan tetapi mempunyai lahan garapan melalui sewa dan/atau bagi hasil; (3) pemilik penyewa dan/atau pemilik penyakap, yaitu mereka yang di samping menggarap lahannya sendiri juga menggarap lahan milik orang lain; (4) pemilik bukan penggarap; dan (5) tunakisma mutlak, yaitu mereka yang benar-benar tidak memiliki lahan garapan. Sebagian besar dari mereka (tunakisma) ini adalah buruh tani, dan hanya sebagian kecil saja yang memang pekerjaannya bukan tani. Fenomena pemilikan lahan terkait erat dengan pertumbuhan penduduk. Makin mengecilnya persediaan lahan rata-rata per orang, sejalan dengan pertumbuhan penduduk, mereka yang tak berlahan diperkirakan semakin bertambah (tunakisma). Dalam keadaan tekanan penduduk yang berat ini memberikan peluang bagi berkembangnya bentuk-bentuk hubungan penguasaan lahan yang kurang menguntungkan penggarap. Persaingan antara sesama buruh tani semakin sengit dalam mendapatkan kesempatan kerja (Rusli 1995). Sihaloho (2004) mengemukakan bahwa pola penguasaan lahan dapat diketahui pertama dari pemilikan lahan dan bagaimana lahan tersebut diakses oleh orang lain. Menurutnya, penguasaan dapat dibagi dua yaitu: (1) pertama, pemilik sekaligus penggarap. Pemilik penggarap umunya dilakukan oleh petani berlahan sempit, karena ketergantungan ekonomi dan kebutuhan akan rumahtangga maka pemilik sekaligus menggarap lahannya dengan menggunakan tenaga kerja dan atau memanfaatkan buruh tani; (2) kedua, pemilik yang mempercayakan kepada penggarap. Seperti ungkapan Scheltema (1985) yang dikutip oleh Sihaloho (2004), pola ini merupakan pola yang khas terjadi di Indonesia sejak tahun 1931 dan telah ditemukan di 19 daerah hukum adat. Hal ini menunjukkan ketimpangan struktur agraria telah terjadi sejak lama dan sistem bagi hasil dan atau sewa menjadi solusi ketimpangan ini khususnya dalam hal penguasaan dan atau akses terhadap lahan. Konsep Kesejahteraan Masyarakat Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Suharto (2006) mensintesiskan bahwa sedikitnya ada empat makna yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut: 1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi,
11
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi, serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. 2. Sebagai pelayanan sosial. Yakni mencakup jaminan sosial, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pelayanan sosial personal. 3. Sebagai tunjangan sosial. 4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembagalembaga sosial, masyarakat, maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke-dua), dan tunjangan sosial (pengertian ke-tiga). Indikator Kesejahteraan Masyarakat Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Menurut BPS (2006), indikator kesejahteraan yaitu: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitik beratkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. 2. Kesehatan dan gizi Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. 3. Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat. 5. Taraf dan pola konsumsi Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk.
12
Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapakan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. 6. Perumahan dan lingkungan Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban). 7. Sosial dan budaya Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata, akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio, dan membaca surat kabar. Menurut Sawidak (1985), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sesuatu yang relatif karena tergantung dari besarnya kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakikatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menurut Yosep seperti yang dikutip Maharani (2006), kesejahteraan itu bersifat luas yang dapat diterapkan pada skala sosial besar dan kecil, misalnya keluarga dan individu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum tentu dapat juga dikatakan sejahtera bagi orang lain. Yusuf et al. (2009) melihat indikator atau ukuran kesejahteraan petani secara partisipatif di dua desa yang menjadi lokasi penelitiannya, yaitu Desa Dangiang dan Desa Sukatani. Berdasarkan hasil kajian kesejahteraan warga secara partisipatif (participatory poverty assesment/PPA) di Desa Dangiang terdapat tiga lapisan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, yaitu golongan mampu, sedang, dan tidak mampu. Indikator atau ukuran kesejahteraan petani sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal, serta kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Sedangkan di Desa Sukatani, indikator kesejahteraan petani juga sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, selain itu juga sumber tenaga kerja, jenis bangunan rumah, kemampuan akses terhadap fasilitas kesehatan, dan kemampuan untuk menyumbang dalam kegiatan sosialkeagamaan.
13
Kerangka Pemikiran Masyarakat yang berada pada setiap bagian DAS tetap mengelola lahan berdasarkan pengalamannya dalam berkebun dan bertani. Tidak ada batasan atau prioritas pengelolaan untuk daerah hulu, tengah, dan hilir. Akibatnya dan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka intensitas pengelolaan dan pemanfaatan semakin meningkat. Ketika masyarakat tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan subsistennya karena keterbatasan lahan yang mereka miliki, situasi ini mendorong mereka melakukan konversi hutan alam menjadi lahan budidaya pertanian, baik berupa kebun campuran, sawah, dan lahan kering.Salah satu langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah adalah dengan membentuk gerakan masyarakat untuk bersama-sama melestarikan dan menjaga ekosistem DAS. Kelembagaan lokal yang dibutuhkan adalah organisasi baik organisasi pemerinah lokal maupun organisasi kemasyarakatan lokal yang memiliki komitmen akan keberpihakan untuk membantu dalam mengatasi berbagai masalah yang dialami oleh masyarakat, dan memiliki tanggungjawab sosial dalam mengelola perubahan. Peran kelembagaan lokal yang ada di Desa Citaman berpengaruh terhadap perubahan tata guna lahan. Hal ini tentu saja akan berdampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat di desa tersebut. Secara ringkas alur pemikiran dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2. Peran Kelembagaan Lokal
Akuntabilitas Transparansi Partisipasi Daya tanggap Komitmen
Perubahan Tata Guna Lahan
Penggunaan Lahan: Pertanian: Lahan basah Perkebunan Tegalan Non Pertanian: Lahan domestik
Keterangan : : Berhubungan Gambar 2 Kerangka berpikir
Tingkat Kesejahteraan masyarakat Penggarapan lahan Tingkat partisipasi sekolah Kemampuan akses kesehatan Keterlibatanpada organisasi tani lokal Kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Kepemilikan ase Tingkat pendapatan
14
Hipotesis Penelitian Hipotesis Penelitian ini disajikan sebagai berikut: 1. Peran kelembagaan lokal di hulu DAS berhubungan dengan perubahan tata guna lahan masyarakat. 2. Peran kelembagaan lokal di hulu DAS berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. 3. Diduga perubahan tata guna lahan berhubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Definisi Operasioanl 1. Peran organisasi kemasyarakatan/kelembagaan lokal adalah persepsi masyarakat tentang keberadaan organisasi kemasyarakatan/kelembagaan lokal dalam mendukung kegiatan pengelolaan sumberdaya agraria berdasarkan prinsip-prinsip berikut: a. Akuntabilitas adalah persepsi responden tentang tanggung jawab kelembagaan lokal dalam melakukan kegiatan kelompok. b. Transparansi adalah persepsi responden tentang kebebasan arus informasi, kejelasan mekanisme formulasi dan implementasi setiap kebijakan, program, dan kegiatan pemberdayaan. c. Partisipasi adalah persepsi responden tentang peran organisasi masyarakat dalam melibatkan anggota masyarakat dalam pengambilan keputusan, baik dilakukan secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya dalam kegiatan kelembagaan. d. Daya tanggap adalah persepsi responden tentang ketercapaian daya tanggap organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan kelembagaan. e. Komitmen adalah persepsi responden tentang tanggung jawab kelembagaan lokal dalam melakukan kegiatan kelembagaan untuk meningkatkan kesejahteraan, tata kelola yang baik, dan berdampak pada keberlanjutan kelembagaan. Terdapat lima pertanyaan untuk setiap variabel dalam konsep peran kelembagaan. Nilai terhadap jawaban responden adalah, 4 untuk sangat setuju, 3 (setuju), 2 (tidak setuju), dan 1 (sangat tidak setuju). Dapat dikategorikan menjadi: 1. Peran kelembagaan lokal rendah jika skor 25 - < 49. 2. Peran kelembagaan lokal sedang jika skor 50 - < 75. 3. Peran kelembagaan lokal tinggi jika skor 76 - 100. 2. Tata Guna Lahan Penggunaan Lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikategorikan menjadi tiga: a. Rendah: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi kebun, diberi skor 1. b. Sedang: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi kebun campuran, diberi skor 2. c. Tinggi: jika penggunaan lahan berubah dari ladang menjadi talun, diberi skor 3.
15
3.Tingkat kesejahteraan adalah tingkat kualitas hidup masyarakat berdasarkan pandangan masyarakat itu sendiri. Tingkat kesejahteraan dalam penelitian ini terdiri dari: luas kepemilikan lahan, kemampuan menyekolahkan anak, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal, kemampuan membayar tenaga buruh upahan, tingakt pendapatan, dan kepemilikan aset. a. Luas penggarapan lahan, luas lahan yang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat untuk lahan pertanian yang menjadi kebutuhan utama masyarakat. 1. Tinggi: luas lahan < 0.24 hektar, diberi skor 1. 2. Sedang : luas lahan 0.25-0.99 hektar, diberi skor 2. 3. Rendah: luas lahan > 1 hektar, diberi skor 3. b. Kemampuan membayar tenaga buruh upahan, kemampuan pemilik lahan untuk menggunakan tenaga buruh. 1. Rendah: menggarap dan mengelola lahannya sendiri hanya dibantu oleh anak dan istri tanpa mengeluarkan biaya/upah kerja, diberi skor 1. 2. Sedang: menggarap dan mengelola lahannya dibantu oleh saudara atau tetangga yang mengeluarkan biaya/upah kerja, namun upahnya tidak penuh (saling membantu), diberi skor 2. 3. Tinggi: menggarap dan mengelola lahannya sepenuhnya menggunakan buruh dan mengeluarkan biaya/upah kerja, diberi skor 3. b.Tingkat partisipasi sekolah, kemampuan untuk menyekolahkan anak. 1. Rendah: mampu menyekolahkan anak sampai tamat SD, diberi skor 1. 2. Sedang : mampu menyekolahkan anak sampai tamat SMP, diberi skor 2. 3. Tinggi: mampu menyekolahkan anak sampai bangku SMA dan Perguruan tinggi, diberi skor 3. c. Kemampuan akses kesehatan, kemampuan masyarakat untuk mengakses kesehatannya. 1.Rendah: mampu mengakses kesehatan ke orang pintar atau dukun setempat, diberi skor 1. 2. Sedang: mampu mengakses kesehatan ke puskesmas, diberi skor 2. 3. Tinggi: mampu mengakses kesehatan ke rumah sakit, diberi skor 3 d. Keterlibatan pada kelembagaan tani lokal, posisi dan peran masyarakat dalam kelembagaan. 1. Rendah: masyarakat yang tidak menjadi anggota dan pengurus dalam kelembagaan dan tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kelembagaan, diberi skor 1. 2. Sedang: masyarakat yang tidak terlibat dalam organisasi sebagai anggota dan pengurus tetapi sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh kelembagaan, diberi skor 2. 3. Tinggi: masyarakat yang terlibat langsung dalam kelembagaan baik sebagai anggota maupun pengurus, serta mengikuti seluruh kegiatan kelembagaan, diberi skor 3. e. Tingkat kepemilikan aset, jumlah barang berharga yang dimiliki masyarakat. a. Kondisi tempat tinggal responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu:
16
1. Rendah: responden yang memiliki tempat tinggal gubuk, diberi skor 1. 2. Sedang: responden yang memiliki rumah semi permanen (atap seng, dinding triplek, lantai semen atau tanah); dan kategori rendah, diberi skor 2. 3. Tinggi: responden yang memiliki tempat tinggal permanen (atap genteng, dinding tembok, dan lantai berkeramik), diberi skor 3. b. Kepemilikan kendaraan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Rendah: responden yang memiliki sepeda atau bahkan tidak memiliki satu pun kendaraan, diberi skor 1. 2. Sedang: responden memiliki satu unit motor dan sepeda; diberi skor 2. 3. Tinggi: responden memiliki kendaraan bermotor lebih dari dua atau memiliki mobil, diberi skor 3. c. Kepemilikan barang elektronik responden yaitu (komputer, lemari es, televisi, radio, DVD/ VCD, kipas angin, telepon/ hp, setrika, rice cooker, mesin cuci) dan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Rendah: responden yang memiliki barang elektronik kurang dari tiga atau tidak memiliki sama sekali, diberi skor 1. 2. Sedang: responden memiliki 3-5 jenis barang elektronik, diberi skor 2. 3. Tinggi: responden memiliki barang elektronik lebih dari lima barang elektronik, diberi skor 3. d. Kepemilikan hewan ternak, responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Rendah: responden yang memiliki hewan ternak seperti ayam/bebek atau tidak memiliki sama sekali, diberi skor. 2. Sedang: responden yang memiliki kambing kurang dari lima ekor; diberi skor 2. 3. Tinggi: responden yang memiliki hewan ternak kambing lebih dari lima ekor/ memiliki sapi atau kerbau; diberi skor 3. e. Kepemilikan tabungan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: 1. Rendah: responden yang tidak memiliki investasi baik berupa tabungan uang atau pun perhiasan, diberi skor 1. 2. Sedang: responden yang menginvestasikan uangnya pada perhiasan (emas), diberi skor 2. 3. Tinggi: responden yang menginvestasikan uangnya pada emas dan tabungan uang, diberi skor 3. f. Tingkat Pendapatan, hasil selisih dari total pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang bekerja baik disektor pertanian maupun non pertanian, dalam kurun waktu satu tahun1. 1. Rendah: pendapatan masyarakat < Rp. 15.000.000,- per tahun, diberi skor 1. 2. Sedang: pendapatan masyarakat antara Rp. 15.000.000,- sampai Rp. 30.000.000,- per tahun, diberi skor 2. 3. Tinggi: pendapatan masyarakat > Rp. 30.000.000,- per tahun, diberi skor 3. 1
Diadopsi dari BPS 2006, ukuran tingkat pendapatan akan ditentukan secara partispatif menurut perspektif lokal setelah turun langsung ke lapangan.
17
PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan metode survai. Metode survai adalah suatu metode yang menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur untuk mengumpulkan informasi dari responden (Singarimbun 1989). Metode kualitatif dilakukan untuk memberikan penguatan terhadap data kuantitatif. Metode yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam kepada responden dan informan menggunakan panduan wawancara. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Pada tanggal 28 Maret 2013 sampai 23 April 2013. Tempat ini dipilih sebagai lokasi penelitian karena Desa Citaman merupakan salah satu desa di Kecamatan Ciomas yang berada dalam kawasan Cagar Alam Rawa Danau sebagai kawasan endemik situs konservasi rawa pegunungan satusatunya tersisa di Pulau Jawa, serta memiliki kelembagaan lokal (kelompok tani) yang dibina langsung oleh pihak kehutanan, BPDAS dan LSM Rekhonvasi bumi yang dicanangkan sebagai kelompok tani pelestari hutan. Teknik Pengumpulan Data Data dan informasi yang dikumpulkan terdiri dari: (1) data dan informasi primer; dan (2) data, dan informasi sekunder. Data dan informasi sekunder terutama dikumpulkan dari dokumen-dokumen yang dimiliki pemerintahan desa dan kecamatan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Serang dan Badan Pusat Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Serang untuk melihat bagaimana kondisi lingkungan masyarakat dilihat dari jumlah lahan kritis dan penggunaan lahan oleh masyarakat, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data dan informasi dikumpulkan dengan tiga cara sehingga prinsip triangulasi metode dan sumber data terpenuhi, yaitu wawancara perorangan, diskusi kelompok terfokus, dan studi dokumen. Wawancara dilakukan terhadap responden dan informan perorangan, dengan menggunakan suatu pedoman pertanyaan terstruktur yaitu kuesioner. Sementara diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dilakukan dengan tiga kali pertemuan dimana mengundang para petani, pemimpin desa, para pengurus/organisasi lokal (gapoktan atau elit desa) serta pelaku terkait lainnya untuk secara bersama-sama mendiskusikan perihal posisi dan peranan setiap kelompok kelembagaan lokal di hulu DAS terhadap proses perubahan tata guna lahan dan dampak bagi tingkat kesejahteraan masyarakat, yang tinggal dalam komunitas yang sama (lihat Tabel 1). Studi dokumen menghasilkan data dan informasi yang diperoleh dalam bentuk laporan dan surat resmi yang berfungsi sebagai pelengkap bagi data hasil wawancara perorangan dan diskusi kelompok terfokus.
18
Tabel 1 Focus Group Discussion (FGD), jenis data serta sumber data dan informasi di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Jawa Barat Sumber data dan Metode Jenis data dan informasi informasi Pertemuan - Kepala Desa Struktur agraria lokal pleno - Ketua/anggota Sistem tata guna lahan (tingkat desa) gapoktan Proses pembukaan lahan dan pola Tokoh/elit penguasaan dan pemilikan lahan desa Berbagai penggunaan lahan milik warga BPDAS Peta sumberdaya lahan desa Berbagai kelembagaan lokal terkait - Pihak Kehutanan penguasaan dan kepemilikan lahan Peran kelembagaan lokal Aktivitas kelembagaan lokal dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kondisi ekonomi masyarakat sebelum bergabung dalam kelembagaan dan sesudah bergabung dalam kelembagaan Wawancara terhadap responden dilaksanakan untuk pengumpulan data dan informasi tentang data karakteristik petani, data, dan informasi tentang penguasaan dan pemilikan lahan, serta penggunaan lahan oleh masing-masing petani. Data dan informasi tentang sumber dan jumlah penerimaan petani, jenis dan jumlah pengeluaran keluarga petani. Selain itu bagaimana peran kelembagaan lokal (Kelompok Tani Hutan) yaitu nilai, norma, aturan perilaku, institusi yang berlaku dalam penguasaan, pemilikan, dan penggunaan lahan petani serta dampaknya terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat (lihat Tabel 2). Sementara itu, data dan informasi kualitatif yang dikumpulkan terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan: 1. Apakah peran kelembagaan lokal terhadap tata guna mengalami perubahan dan apa dampak yang di rasakan masyarakat petani dengan adanya kelembagaan lokal tersebut. 2. Apakah perubahan tata guna lahan tersebut berpengaruh pada tingkat pendapatan masyarakat sehingga mengarah pada kesejahteraan masyarakat. 3. Apakah ada perbedaan antara masyarakat yang bergabung dengan kelembagaan dan masyarakat yang tidak bergabung dalam kelembagaan baik dalam tata guna lahan maupun tingkat kesejahteraan hidup.
19
Tabel 2 Wawancara responden dan jenis informasi yang dicari N0 Jenis Informasi Uraian Spesifik 1 Karakteristik Umur Responden Jenis kelamin Tingkat pendidikan Jenis Pekerjaan Jumlah tanggungan Luas lahan Keanggotan dalam organisasi/kelembagaan 2 Tata guna lahan Penggunaan Lahan: Pertanian: sawah, tegal, dan perkebunan Non pertanian: perumahan dan industri 3 Kelembagaan lokal Akuntabilitas Transparansi Partisipasi Daya tanggap Komitmen Tingkat g. 4 kesejahteraan Luas penggarapan lahan masyarakat . Tingkat partisipasi sekolah 4. Kemampuan akses kesahatan Keterlibatan pada organisasi lokal Kemampuan membayar tenaga buruh upahan Tingkat pendapatan Kepemilikan aset Populasi dari penelitian ini terdiri dari dua populasi yaitu anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) Karya Muda II dan warga Desa Citaman yang tidak/bukan anggota KTH. Kerangka sampling adalah anggota KTH Karya Muda II dan warga Desa Citaman non anggota KTH. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sejauhmana peran kelembagaan lokal terhadap perubahan tata guna lahan dan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Dua populasi diatas dibandingkan apakah kelompok yang bergabung dengan kelembagaan lebih sejahtera dibandingkan dengan yang tidak bergabung atau sebaliknya. Responden yang diambil dari kerangka sampling sebanyak 60 responden dengan proporsi 30 orang anggota KTH Karya Muda II dan 30 orang warga masyarakat Desa Citaman yang tidak bergabung dengan KTH. Pemilihan kerangka sampling ini di dasarkan pada sensus awal setelah melakukan sensus di lapangan. Setelah didapat jumlahnya maka kerangka sampling itu diacak untuk menentukan responden mana yang akan diteliti (lihat Lampiran 4). Pengacakan sample ini dilakukan dengan bantuan teknik sample random sederhana menggunakan microsoft office excel 2007 dengan rumus “= randbetween (1; kerangka sampling). Unit analisis adalah kepala keluarga.
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS for windows versi 17.0. Data primer yang diperoleh secara kuantitatif kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif korelasi. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi. Tabel frekuensi digunakan untuk menyajikan semua data yang telah diolah. Analisis korelasi menggunakan uji statistik yaitu uji korelasi Rank Spearman dengan nilai signifikan sebesar α (0.05), artinya hasil penelitian mempunyai kesempatan untuk benar atau tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat kesalahan sebesar 5%. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data secara kualitatif melalui dua tahap, yaitu reduksi data dan penyajian data. Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang berupa catatan-catatan tertulis di lapangan selama penelitian berlangsung. Reduksi data ditujukan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan data, dan membuang data yang tidak perlu. Selanjutnya, penyajian data dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi agar mudah dalam penarikan kesimpulan yang disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapang.
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah Propinsi Banten, secara geografis DAS Cidanau terletak di antara 06º 07' 30'' - 06º18'00'' LS dan 105º49'00'' - 106º 04' 00'' BT. DAS Cidanau mencakup kawasan seluas 22.620ha (Bapedalda Provinsi Banten 2001), mencakup wilayah Kabupaten Pandeglang seluas 999,29 ha, dan Kabupaten Serang seluas 21 620.71 ha. DAS Cidanau memiliki luas 22 620 ha dan merupakan salah satu sumberdaya yang mendukung pembangunan di wilayah barat Provinsi Banten sebagai salah satu lokasi industri yang sangat penting dan strategis bagi Indonesia. Desa Citaman merupakan lokasi penelitian yang terletak di daerah hulu DAS dengan ketinggian berada pada 600 meter dpl. Desa Citaman secara administratif terletak di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Batas-batas wilayah desa adalah sebagai berikut. a. Sebelah utara dibatasi oleh Desa Pondok Kahuru dan Sungai. b. Sebelah timur dibatasi oleh Desa Cisitu, Lebak dan Sungai Cikempong. c. Sebelah selatan dibatasi oleh Kabupaten Pandeglang. d. Sebelah barat dibatasi oleh Desa Sukabares dan Sungai Cidanghian. Jarak Desa Citaman dari kantor kecamatan sekitar tiga km dengan waktu tempuh 15 menit. Aksesibilitas menuju kantor kecamatan tergolong sulit karena jalan rusak dan transportasi yang ada berupa motor sewaan yang sangat terbatas. Jarakdesa dari kantor Pemda 24 km dengan waktu tempuh sekitar satu jam dan dapat dilalui oleh angkutan umum. Aksesibilitas menuju desa tergolong sulit karena kondisi jalan utama menuju desa sebagian besar rusak. Kondisi ini disebabkan oleh buruknya drainase di sepanjang jalan. Lokasi terpencil dan jauh dari pusat perekonomian menyebabkan hal-hal yang bersifat mempermudah akses tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah setempat. Iklim Indonesia pada umumnya beriklim tropis, termasuk di kawasan DAS Cidanau, hanya memiiki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Akibat dari keadaan tersebut terjadi variasi keadaan suhu, kelembapan nisbi, keadaan air permukaan, dan besarnya curah hujan. Variasi keragaman suhu, keadaan air permukaan dan besaran curah hujan di DAS Cidanau termasuk tipe iklim B1 (FKDC 2007). Curah hujan rata-rata berkisar antara 23 - 25.9°C. Wilayah ini mendapat curah hujan dua musim yaitu musim Timur antara bulan Nopember - Maret dan bulan Mei-Oktober, sedangkan bulan-bulan kering terjadi antara bulan Agustus-September. Kelembaban nisbi DAS Cidanau antara 77.60% - 85.00% dimana kelembaban terendah terjadi pada bulan Oktober, sedangkan kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Maret.
22
Hidrologi Siklus hidrologi secara umum diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu air hujan, air permukaan, dan air tanah. 1. Sumberdaya Air Hujan Kuantitas air hujan dilihat dari jumlah curah hujan yang jatuh kemudian dikaitkan dengan luas daerah tangkapannya. Dari hasi data sekunder yang ada dapat dilihat bahwa hujan rata-rata tahunan berjumlah 2 650 mm. Luas daerah tangkapan adalah 2 620 ha, dengan demikian kuantitas sumber daya hujan tahunan di DAS Cidanau sebesar 59 943 106 m2 (KTI 2009). 2. Sumberdaya air tanah Air Tanah adalah semua sumberdaya air yang dijumpai di bawah permukaan tanah (FKDC 2009). 3. Sumberdaya air permukaan Sumberdaya air permukaan di DAS Cidanau berupa air sungai dan air danau. Di dalam kawasan DAS Cidanau terdapat 17 sub DAS yang bermuara di sungai Cidanau yang umumnya membentuk pola aliran mendaun (sub dendritik), hampir sebagian besar dari 17 sub DAS tersebut mengalir dan bermuara ke Rawa Danau (hulu Sungai Cidanau) yang terus-menerus mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Satu-satunya sungai yang mengalir dari Rawa Danau ke laut adalah Sungai Cidanau. Sungai tersebut yang menjadi sumber air utama untuk memenuhi kabutuhan air bersih industri dan masyarakat di wilayah Kota Cilegon. Penggunaan Lahan Sebaran penggunaan lahan yang berada di kawasan DAS Cidanau diolah dari hasil interpretasi dan informasi sumber data peta penggunaan lahan BPT, peta topografi dan data foto udara , serta hasil uji pemeriksaan di lapangan terhadap hasil interpretasi dengan pengelolaan transformasi database. Luas penggunaan lahan diuraikan pada Tabel 3. Tabel 3 Luas penggunaan lahan Desa Citaman tahun 2012 Penggunaan Lahan Luas Lahan (ha) Hutan belukar 2 814.41 Hutan rawa 306.80 Danau rawa 306.80 Kebun Campuran 8 174.88 Sawah 6 708.95 Pemukiman 386.95 Lahan Kritis 4 315.97
Persentase (%) 11.7 5.9 1.3 33.9 27.8 1.6 17.9
Sumber: Profil Desa Citaman Tahun 2012
Tabel 3 menunjukkan bahwa mayoritas penggunaan lahan masyarakat di Desa Citaman berupa kebun campuran yaitu seluas 8 174.88 hektar atau 33.9% dari luas lahan keseluruhan.
23
Kondisi Demografi Desa Citaman memiliki jumlah penduduk sebanyak sebanyak 2 522 jiwa yang terdiri dari 514 kepala keluarga (KK) hingga akhir Desember 2012. Jumlah penduduk laki-laki terdiri dari 1 310 jiwa dan jumlah penduduk perempuan terdiri dari 1 212 jiwa. Kepadatan penduduk Desa Citaman yaitu 496 jiwa/km2. Mayoritas warga Desa Citaman merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan asli Desa Citaman. Adapun yang merupakan warga pendatang biasanya datang tidak jauh, masih dari kecamatan Ciomas, ada juga yang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang pada mulanya merantau dan menjadi guru ngaji, namun sekarang telah menjadi warga tetap Desa Citaman. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4 Jumlah penduduk Desa Citaman menurut kelompok umur tahun 2012 Kelompok umur Jumlah Jiwa (n) Persentase (%) Usia anak-anak 1 351 39.61 (1-15 tahun) Usia produktif 1 585 55.74 (16-60 tahun) Lanjut usia ( >60 tahun) 29 4.6 Sumber: Profil Desa Citaman Tahun 2012
Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk Desa Citaman menurut kelompok umur. Jumlah penduduk pada usia produktif antara 15-60 tahun tergolong besar yaitu sekitar 1 585 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang berada di usia nonproduktif sebesar 1 380 jiwa. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Desa Citaman hanya 205 orang selisih antara usia produktif dan nonproduktif. Kondisi Sosial Ekonomi Pemanfaatan lahan terluas di Desa Citaman adalah untuk lahan pertanian, sehingga mayoritas penduduk Desa Citaman bermata pencaharian sebagai petani, meliputi pemilik dan buruh tani. Selain dari bertani juga ada yang bermata pencaharian sebagi pedagang, warung warung kecil dan pedagang kain panggul. Namun, ada juga yang berternak dan sebagai pengrajin seperti pengrajin gula aren, dan pengrajin golok. Tabel 5 Komposisi penduduk Desa Citaman berdasarkan mata pencaharian tahun 2012 Mata Pencaharian Persentase (%) Petani 68.48 Buruh Tani 23.35 Buruh atau pegawai swasta 3.31 Pegawai negeri 0.58 Pengrajin 0.39 Pedagang 3.70 Peternak 0.19 Sumber: Profil Desa Citaman Tahun 2012
24
Tabel 5 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Citaman didominasi oleh golongan masyarakat yang bergerak dalam bidang pertanian hutan (91.83%) baik sebagai petani maupun buruh tani. Agama Masyarakat Desa Citaman 100% beragama Islam. Sarana peribadatan yang ada hanyalah masjid dan musholla. Kegiatan-kegiatan keagamaan rutin dilakukan, misalnya pengajian dan peringatan hari besar agama. Kiyai atau ulama menjadi salah satu tokoh masyarakat yang paling dihormati, disegani dan tuakan oleh masyarakat. Ketersediaan fasilitas umum Fasilitas umum yang berada di Desa Citaman masih sangat terbatas. Fasilitas umum yang tersedia antara lain listrik, sarana angkutan, sarana dan prasarana perekonomian, sarana pendidikan, sarana ibadah, dan sarana kesehatan. Akses menuju Desa Citaman dapat ditempuh dengan ojeg. Jalan menuju Desa sudah di aspal meskipun belum sempurna baru di jejali bebatuan, jalanan cenderung naik dan sangat curam. Hampir seluruh masyarakat di Desa Citaman sudah menggunakan listrik meskipun tidak semua rumah tangga memiliki KWH. Sarana prasarana perekonomian yang terdapat di Desa Citaman yaitu warung yang menjual kebutuhan rumah tangga dan jajanan anak. Desa Citaman memiliki empat masjid dan 12 mushola. Segi pendidikan, Desa Citaman hanya memiliki Sekolah Dasar (SD), dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sarana kesehatan di Desa Citaman ini belum tersedia, tetapi ada satu di desa lain yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sarana telekomunikasi yang dimiliki yaitu jaringan telepon. Namun jaringan telepon ini masih mengalami kendala sulitnya mendapatkan sinyal yang cukup baik. Telepon yang digunakan masyarakat berupa seluler atau telepon genggam. Pranata Sosial, Budaya, dan Adat Istiadat Mayoritas masyarakat adalah Suku Sunda sehingga dalam tatanan kehidupan mereka pun tidak terlalu beragam. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Sunda, tetapi Bahasa Sunda di Desa Citaman ini sudah campur dengan Bahasa Jawa. Pasca kemerdekaan, banyak sekali guru sekolah dan kyai dari Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bermukim di Desa Citaman. Kemampuan warga menggunakan Bahasa Indonesia pun sangat minim. Sebagian masyarakat mengerti bahasa Indonesia namun tidak bisa mengucapkan. Keadaan nilai-nilai budaya warga setempat digolongkan relatif baik, penghargaan terhadap orang tua, guru, tokoh masyarakat, tetangga, dan pemerintah masih tinggi. Kondisi ketertiban dan kondisi masyarakat relatif cukup aman, sehingga jenis kejahatan seperti pencurian, penodongan, dan mabukmabukan. Hal ini karena masyarakat masih menjunjung tinggi nilai agama.
25
Desa Citaman memiliki budaya dengan julukan yang khas yaitu “budaya golok”, Desa Citaman memiliki tempat pembuatan golok (pandai) yang terkenal dengan “golok Ciomas”. Golok yang diproduksi bukan golok untuk kegiatan sehari-hari seperti memasak dan membelah kayu akan tetapi disebut dengan “golok isi” yaitu dipercaya sebagai golok pelindung dan penjaga keselamatan pemiliknya. Golok isi ini memiliki tradisi khusus yang harus dipenuhi oleh pemilik yaitu harus dimandikan dan oleh palu khusus yang disebut “palu sidenok” dan “silengkung”, serta harus dibungkus oleh kain kafan. Pemeliharaan ini dilakukan setiap tanggal 12 bulan Maulid. Masyarakat Desa Citaman juga masih relatif banyak mempercayai dukun, khususnya dalam kesehatan dan jodoh. Meskipun sudah banyak bidan dan dokter, masyarakat masih memilih berobat ke dukun, seperti menangani proses melahirkan, memijat, dan penyakit lainnya. Segala bentuk penyakit diobati dengan air yang telah di “jampi-jampi” oleh dukun. Remitan sosial masyarakat Desa Citaman pun masih sangat tinggi, sehingga dibentuk arisan yang unik ala Citaman, contohnya Bapak A melakukan Hajat dan Bapak B menyumbang 100kg beras, maka ketika Bapak B hajat, Bapak A harus menyumbang minimal 100kg beras atau bahkan bisa lebih. Keeratan kekerabatan ini menginspirasi masyarakat sendiri untuk membentuk arisan sumbangan kegiatan, bentuk arisan yang dikelola berupa catatan nama dan apa jenis barang yang disumbangkan. Selain itu, masyarakat Desa Citaman masih menganut sistem tukar barang, misalnya, melinjo di tukarkan dengan beras ke warung/pasar. Budaya memakai kalung yang terbuat dari tali celana (kolor) bapaknya pada saat lahir sampai kalung tersebut lepas dengan sendirinya dengan tujuan anak tersebut agar tidak cacingan, serta perutnya diikat oleh tujuh benang pada bagian perut dengan tujuan agar ketika tumbuh dewasa anak berbadan langsing dan cantik atau tampan. Pemakaian kalung dan ikatan benang pada perut ini dibacakan yasin dengan syarat mubin (tanda berhenti dalam al-quran) sebanyak tujuh mubin, yaitu: (1) agar dipanjangkan umurnya, (2) diampuni dosa, (3) diberikan rezeki yang banyak, (4) dikuatkan keimanan dan kesabaran, (5) mendapat panggilan dari Nabi Ibrahim a.s untuk ibadah haji, (6) mohon agar anaknya menjadi anak yang shalih/shalihah, dan (7) mohon agar orang tua yang sudah wafat (meninggal dunia) diampuni dosa, dan ditetapkan iman dan islamnya. Budaya religius masyarakat Desa Citaman terasa kuat, terlihat dari tradisi keagamaan yang masih dilaksanakan di desa seperti Muludan, Rajaban. dan Susuran. Muludan adalah acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, acara Rajaban adalah peringatan isra‟ mi‟raj, dan Susuran adalah acara yang dilaksanakan pada bulan Muharram (Sura) sebagai awal tahun baru Islam (Hijriyah). Budaya lain yang ada di Desa Citaman adalah budaya organisasi. Keterlibatan masyarakat dalam organisasi ini adalah keikutsertaan atau tidak serta menjadi pengurus dan atau menjadi anggota organisasi, baik organisasi sosial maupun organisasi pemerintah. Ketidakterlibatan masyarakat pada organisasi adalah keaktifan masyarakat dalam mengikuti organisasi formal dan berposisi sebagai pengurus. Hasil observasi lapang dan wawancara dengan kepala desa dan pengurus desa menjelaskan bahwa anggota masyarakat yang ada di Desa Citaman sebagian besar ikut serta dalam organisasi sosial kemasyarakatan yang ada di desa, baik sebagai anggota aktif dan anggota tidak aktif. Keterlibatan tersebut
26
sebagian besar pada organisasi-organisasi seperti kelompok tani yang diikuti dengan PKK, posyandu, dan kelompok pengajian. Hasil pengamatan menunjukan bahwa kegiatan organisasi seperti posyandu, PKK, dan pengajian sebagai salah satu organisasi yang hidup kembali dengan adanya kelompok tani. Keterlibatan masyarakat di kelompok tani turut meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya organisasi. Karakter umum masyarakat masyarakat Desa Citaman adalah masyarakat yang relatif terbuka, kritis, dan egaliter. Terlihat dari penggunaan sunda ragam (basa loma, kasar), serta jawa, campur sunda, di dalam kehidupan sehari-hari, sekalipun kepada orang yang memiliki status yang lebih tinggi.
27
PERAN KELEMBAGAAN LOKAL, PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN, DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Aspek Kesejarahan Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Kelembagaan lokal merupakan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dilembagakan. Kelembagaan lokal yang hidup dalam komunitas dapat kelembagaan tradisional/adat dan kelembagaan bukan tradisonal. Kelembagaan lokal tradisonal dibentuk dan dipraktikan secara turun temurun, sedangkan kelembagaan bukan tradisional merupakan bentukan generasi baru atau hasil bentukan (intervensi) dari pihak luar. Kelembagaan yang berada di Desa Citaman tergolong pada kelembagaan non tradsional, karena kehadirannya merupakan bentukan dari generasi baru atau adanya intervensi dari pihak luar yaitu pemerintah desa. Kelembagaan lokal yang terdapat di Desa Citaman adalah kelompok tani hutan (KTH). Tabel 6 Sejarah kelembagaan lokal di Desa Citaman Tahun
1993
1994-1995
2001
Peristiwa Pembentukan kelopok tani hutan (KTH), diberi nama Karya Muda I. Kegiatan pertama yang dilakukan adalah pemberian bibit dari pemerintah desa kepada seluruh warga Desa Citaman. Masyarakat masih sangat tertutup sehingga hanya 20 orang yang ikut bergabung dengan KTH Karya Muda I, masyarakat ketakutan bahwa program itu sebuah iming-iming belaka dari pemerintah kemudian lambat laun tanah mereka diambil, masyarakat berpandangan bahwa dengan adanya bantuan bibit dari pemerintah maka mereka harus membagi hasil pertaniannya dengan pemerintah. Kegiatan kelembagaan pada saat itu masih bersifat insidental, yaitu belum terlaksana secara terencana. Oleh karena itu, kelompok tani Karya Muda I ini tidak berjalan. Lahir kegiatan padat karya yang melibatkan seluruh warga Desa Citaman, setiap orang diberikan upah sebesar Rp. 7.500,- per hari untuk menyiangi lahan tegal di lahan milik mereka masing-masing. Program selanjutnya yaitu penanaman kembali pohon di lahan tegalan menjadi lahan kebun dengan jenis tanaman antara lain: melinjo, mangga, dan albasia. Program padat karya ini berlangsung selama satu bulan. Tindak lanjut dari program ini masyarakat didampingi dan dibekali wawasan mengenai pengelolaan hutan yang lebih menguntungkan dan tidak merusak lingkungan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan penyuluh pertanian. Pemerintah kembali berinisiatif untuk membentuk kelompok tani yang merupakan tindakan/program wajib disetiap desa sebagai kelompok binaan. KTH Karya Muda I diganti nama menjadi Karya Muda II . Jumlah anggota yang terlibat sebanyak 43 orang. Karya Muda II dinilai sudah mandiri, kegiatan sudah terencana, memiliki struktur kepengurusan yang jelas, aturan kelembagaan yang jelas, dan efektif dilingkungannya khususnya di Desa Citaman. KTH Karya Muda II saat ini dilibatkan menjadi salah satu aktor utama dalam pengelolaan DAS Cidanau khususnya di daerah hulu. KTH Karya Muda II dianggap sebagai kelompok tani pelestari lingkungan. Kontribusi masyarakat di Desa Citaman dihargai oleh masyarakat hilir, yaitu oleh Perusahaan Terbatas Krakatau Tirta Industri (PT. KTI), salah satu perusahaan air minum terbesar di Serang. Penghargaan ini disebut imbal jasa, dengan nominal Rp. 1.200.000,- per hektar per tahun. dengan syarat yang disepakati antara pihak hulu (KTHKarya Muda II) dan hilir (PT. KTI).
28
Kelembagaan lokal yang dikembangkan adalah selain terkait dengan pengaturan perilaku anggota di dalam kelompok, juga terkait dengan pengaturan interaksi masyarakat dengan sumberdaya alam hutan. Kelembagaan Lokal di Desa Citaman adalah kelompok tani hutan dibentuk secara sengaja oleh dan untuk masyarakat. Proses terbentuknya KTH berasal dari inisiatif sekretaris desa Bapak Bachrani yang kemudian menjabat sebagai ketua kelompok tani. Pembentukkan KTH ini seiring adanya program pemerintah yaitu reboisasi hutan, kondisi hutan kritis disebabkan oleh penebangan liar dan peningkatan aktivitas masyarakat setempat terhadap sumberdaya alam. Karakteristik Umum Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Salah satu komponen penting dalam sistem sosial masyarakat Desa Citaman adalah terbentuknya kelompok atau organisasi kemasyarakatan. Kelompok atau organisasi kemasyarakatan ini umumnya memiliki ciri-ciri, yakni kehadirannya berasal dari masyarakat dengan alasan untuk pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan sosial maupun ekonomi. Oleh karena itu, kelompok-kelompok ini tumbuh dan berkembang sesuai karakterisitik lokal dan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan KTH Karya Muda II tidak hanya berkisar seputar pertanian tapi juga kegiatan sosial dan keagamaan. Pengajian merupakan salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh kelompok tani Karya Muda muda II setiap hari kamis/malam jumat. Pengajian melibatkan seluruh warga yang ada di Desa Citaman. Pengajian diadakan disekretariat KTHKarya Muda II yang merupakan rumah dari ketua kelompok. Dalam pengajian, kelompok tani dipungut iuran sebesar Rp. 10.000,- per pertemuan sedangkan untuk non anggota hanya sumbangan yang bersifat sukarela. Kegiatan pengajian berkelompok ini sangat bermanfaat bagi warga khususnya anggota pengajian untuk memberikan pemahaman dalam upaya membentuk perilaku masyarakat yang mandiri serta menjadi kesempatan bagi seluruh warga mendapat informasi mengenai pertanian yang di bahas rutin oleh KTH Karya Muda II. Masyarakat belajar untuk peka terhadap lingkungan, mereka bersama-sama saling membantu baik bersifat rutin maupun ketika ada musibah. Meskipun sukarela, secara tidak langsung kegiatan ini memiliki manfaat besar dan membantu program pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Kearifan lokal yang dipelihara oleh KTH Karya Muda II yaitu budaya gotong royong. Hal ini terlihat jika ada kematian, dengan penuh kesadaran warga lainnya membantu kepada warga yang terkena musibah baik berupa bantuan fisik ataupun jasa terhadap keluarga yang ditinggalkan, masyarakat juga secara sukarela mendoakan (tahlil) sampai dengan hari ke-100 kematian. Gotong royong lain seperti perbaikan jalan, pembangunan fasilitas umum juga masih dilakukan oleh warga setempat tanpa imbalan. Kegiatan sosial yang dilakukan berupa arisan pernikahan/hajatan. Setiap warga dicatat apa saja bentuk bantuan yang dikeluarkan bagi tuan hajat, suatu hari tuan hajat harus mengembalikan berupa bantuan yang sama seperti yang diterima diusahakan bisa lebih dari apa yang dia terima. Masyarakat Desa Citaman relatif masih religius “di antara harta-harta kita itu terdapat milik orang miskin”. Falsafah itulah mereka senantiasa menyisihkan uangnya untuk shadaqoh (sumbangan uang seikhlasnya), dari hasil sumbangan tersebut kemudian
29
dikumpulkan, diadministrasikan, dan didistribusikan kepada anggota masyarakat yang memerlukan termasuk kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok, menyantuni anak yatim piatu, dan membantu memperbaiki fasilitas umum dan fasilitas ibadah. Kegiatan lainnya, KTH Karya Muda II membentuk “himpunan pengguna air minum Karya Muda Desa Citaman Kecamatan Ciomas”. Pengurus himpunan ini sepenuhnya dikelola oleh kelompok tani Karya Muda, sedangkan anggotanya adalah seluruh warga Desa Citaman. Kewajiban anggota, membayar iuran sebesar satunliter beras atau sebesar Rp. 8000,- (delapan ribu rupiah) dan anggota berhak mendapatkan air dan mengetahui kondisi keuangan kelompok yang dilaporkan pengurus setiap satu bulan sekali. Kewajiban pengurus, melaporkan kondisi keuangan kelompok setiap satu bulan sekali, mengupayakan perkembangan organisasi kelompok untuk meningkatkan kesejahteraan anggota kelompok, memberikan teguran kepada anggota yang dianggap tidak mematuhi kesepakatan yang disepakati oleh kelompok. Hak pengurus, mendapatkan uang ganti transport dan akomodasi pada saat memiliki kepentingan kelompok, berhak dipatuhi oleh seluruh anggota kelompok, dan berhak mendapat dana operasional untuk seksi pemeliharaan 60%, seksi usaha 10%, dan pengurus 5%. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, kelembagaan lokal (KTH Karya Muda II) memiliki dinamika yang khas dalam kehidupan masyarakat Desa Citaman. Kelembagaan lokal memiliki peran penting mengingat kehadirannya dikehendaki masyarakat karena sebagian upaya membantu pemerintah dalam pengembangan dan pembangunan masyarakat, serta mengatasi masalah masyarakat dalam upaya pencapaian tujuan bersama.
30
Tabel 7 Karakteristik umum kelembagaan yang teridentifikasi di Desa Citaman KTH Karya Muda II Desa Citaman Jumlah kelompok, Satu kelompok jumlah anggota 43 orang Tahun terbentuk 2001 Masyarakat bersama pemerintah Desa membentuk Proses Pembentukan dan menghidupkan kembali kelompok tani setelah adanya penyuluhan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rekonvasi Bhumi dari tahun 1994-2001. Kelompok terdiri dari ketua, sekretaris, dan bendahara, serta ada empat pengurus blok lahan Struktur Kelompok pertanian yang bertugas mengotrol kegiatan bertani anggota kelompoknya. Kegiatan utama: (1) penanaman lahan dengan tanaman kayu keras dan buah tahunan;(2) Tambal sulam (jika terjadi pohon tumbang atau terkena penyakit); (3) Pemeriksaan rutin oleh pengurus blok mengenai jumlah dan jenis tanaman yang diwajibkan; (4) Pemberian nomor pohon meliputi Kegiatan (nama pemilik dan nomor urut pohon); dan (5) Pertemua rutin untuk laporan kemajuan kelompok. Kegiatan lain yang dilakukan antara lain: kerja bakti, dan pengajian rutin. Sekretariat kelompok tani sebagai balai pertemuan Aset Kelompok dan budidaya kambing. Pembinaan dilakukan oleh: (1) penyuluh pertanian perdesaan; (2) Forum Komunikasi DAS Cidanau Pembinaan (FKDC) sebagai perwakilan dari Badan Pengelola DAS (BPDAS) Cidanau; dan (3) LSM Rekonvasi Bhumi. Pembinaan ini tidak rutin. Bantuan berupa: (1) bibit dari pemerintah desa dan LSM dalam program padat karya sebanyak 1 000 pohon melinjo dan 1 000 pohon durian; (2)kambing Bantuan terhadap kelompok dari pemerintah desa sebanyak 5 ekor yang kemudian dibudidayakan oleh kelompok, dan (3) upah jasa dari PT. KTI atas kerjasamanya dalam menjaga lingkungan hutan sebesar (Rp. 1.200.000,per hektar). Aturan dibuat bersama antara pengurus dan Keberadaan aturan anggota kelompok, dan sudah dibakukan secara tertulis. Penangan masalah kelompok berkaitan dengan pelanggaran pada peraturan, anggota yang melanggar dikenakan sanksi berupa sanksi moral Masalah Kelompok (dikeluarkan dari kelompok) dan sanksi materil dikenakan denda sesuai tingakat masalah.
31
Peran Kelembagaan Lokal Kelompok Tani Hutan (KTH) Karya Muda II di Desa Citaman Peran kelembagaan lokal dalam konteks ini dilihat dari prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, daya tanggap, dan komitmen. Prinsip tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (1) tinggi, (2) sedang, dan (3) rendah. Untuk mengetahui gambaran mengenai sejauhmana peran kelembagaan lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman baik bagi anggota maupun non anggota KTH Karya Muda II. Tabel 8 Peran kelembagaan lokal KTH Karya Muda II di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), Desa Citaman 2013 Peran Non Anggota Kelembagaan Kategori Anggota KTH KTH Lokal n1 % n2 %
Akuntabilitas
Transparansi
Partisipasi
Daya tanggap
Komitmen
Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total Rendah Sedang Tinggi Total
0 5 25 30 0 6 24 30 0 3 27 30 0 7 23 30 0 3 27 30
0 16.7 83.3 100 0 20 80 100 0 10 90 100 0 23.3 76.7 100 0 10 90 100
0 15 15 30 2 13 15 30 0 11 19 30 1 16 13 30 0 15 15 30
0 50 50 100 6.7 43.3 50 100 0 36.7 63.3 100 3.3 53.3 43.3 100 0 50 50 100
Tabel 8 menunjukkan kecenderungan persepsi masyarakat terkait dengan akuntabilitas dominan sedang dan tinggi. Ada perbedaan persepsi anggota dan non anggota KTH Karya Muda II. Persepsi anggota KTH terkait akuntabilitas tinggi sebesar 83.3% dan sedang hanya 5%, sedangkan non anggota KTHKarya Muda II memiliki persepsi terkait akuntabilitas tinggi 50% dan sedang 50%. Persamaannya, persepsi terhadap prinsip akuntabilitas tidak ada yang menilai rendah, hal ini dikarenakan telah adanya standar prosedur pelaksanaan dari setiap kegiatan. Meskipun banyak dari kegiatan masyarakat yang bersifat sukarela namun masyarakat tetap berpijak berdasarkan prosedur yang di organisir oleh kelompok tani. Prinsip akuntabilitas ini diukur dengan bagaimana kelompok tani
32
menjalankan program kegiatan sesuai tujuan yang disepakati bersama, adanya mekanisme pergantian pengurus, adanya laporan pertanggung jawaban, dan pembagian kerja yang jelas. Data ini didukung oleh masyarakat non anggota kelompok tani yang merupakan bagian dari aparatur Desa Citaman: “... abdi mah teu pati nyaho kana sadaya programna mah, tapi lamun cek abdi mah jigana mah sesuai. Soalna kieu neng, pasa waktu can aya kelompok tani di dieu sering pisa lonngsor. Saatos aya kelompok tani nya kurang lebih opat taunan ka tukang teu pernah deui aya longsor malahanmah solokan oge gararing, tapi mun hujan urang teu pernah kakurangan cai, malah ayeuna mah aya khusus anu ngurus cai ka imah-imah. Masyarakat oge melak kai gede ayeuna mah, nya jigana kana lingkungan fokusna teh neng, jeung tanggung jawab pisan mun cek urang mah....(saya kurang begitu tahu ya mengenai keseluruhan programnya, tapi kalau menurut saya kayaknya sesuai. Soalnya gini neng, pada waktu belum ada kelompok tani disini sering banget bencana longsor. Setelah ada kelompok tani ya kurang lebih 4 tahuan kebelakang gak pernah lagi longsor malah selokan aja kering tapi kalo hujan kita gak pernah kurang air, malah sekarang ada khusus yang ngurus air ke rumah-rumah. Masyarakat juga pada nanem pohon besar sekarang mah, ya kayaknya sih ke lingkungan kali fokusnya neng, dan tanggung jawab banget lah kalo kata saya..)” (SKR, 51 tahun). Prinsip transparansi telah dilaksanakan di masyarakat, dan sudah cukup optimal, meskipun ada beberapa responden yang menilai rendah sebesar 6.7%. Dominan persepsi masyakarakat menilai tinggi dan sedang. Jumlah Anggota KTHmenilai transparansi tinggi sebesar 80% dan sedang 20%, sedangkan nilai transparansi yang diberikan non anggota KTH sebesar 43.3% tinggi, sedang 50%, dan rendah 6.7%. Proporsi penilaian yang berbeda ini dikarenakan anggota kelompok tani dilibatkan secara langsung dalam seluruh kegiatan yang diselenggarakan, menerima laporan pertanggung jawaban secara langsung mulai dari laporan keuangan serta dokumentasi/administrasi kelompok tani. Sedangkan keterlibatan masyarakat non kelompok tani dalam kegiatan sifatnya tidak wajib. Masyarakat diberikan informasi yang mudah diakses melalui tempat ibadah, aparat desa, dan sekretariat KTH. Masyarakat non anggota memang dikibatkan dalam kegiatan, tapi sifatnya tidak wajib. Hal inilah yang menyebabkan sebagian masyarakat merasa KTH ini kurang terbuka atau tidak transparan. Masyarakat non anggota KTHjuga ada yang berpendapat bahwa adanya kelompok tani justru memudahkan mereka untuk mendapatkan informasi. “ .... lamun menurut abdi sih neng, aya kelompok tani jadi gampang menang informasi atawa ngabagi informasi. Unggal kemis pan rotin pangajian, pasti aya wae anu dibahas rek informasi ti luar desa atawa ti warga satempat.... nya, masing urang lain anggota atawa pengurus ge, laporan keuangan mah sering menang laporan, pan saban ngaji kamis teh disebutkeun sabaraha hasil sumbangan saikhlasna, unggal bulan pasti disebutkeun sabaaraha hasil sumbangan anu kakumpul terus rek di pake naon wae....(kalo menurut saya sih neng, adanya
33
kelompok tani saya jadi gampang untuk dapat informasi ataupun berbagi informasi. Setiap kamis itu kan pengajian rutin, pasti adalah yang dibahas baik informasi dari luar desa ataupun dari warga masyarakat Desa Citaman sendiri... iya, biar kami bukan anggota atau pengurus kita sih pasti sering dapet laporan keuangan mah, pan setiap ngaji kamis itu kita dipungut sumbangan seikhlasnya, nah setiap bulan itu pasti disebutkan berapa hasil sumbangan yang terkumpul terus mau dipake buat apa aja” (ASN, 45 tahun, non anggota KTH karya muda II). Persepsi masyarakat terkait partisipasi dalam kegiatan kelembagaan lokal KTHKarya Muda II cukup optimal. Persepsi masyarakat dominan pada nilai tinggi, anggota KTHKarya Muda II menilai sebesar 90% dan 63.3% non anggota. Kategori sedang, anggota menilai 10% dan non anggota menilai 36.7%. Keduanya tidak memberikan skor rendah. Prinsip partisipasi sangat berperan di masyarakat serta tidak membatasi masyarakat untuk terlibat. Bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan yaitu masyarakat dilibatkan dalam setiap kegiatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Program kegiatan kelompok mengacu pada pemetaan masalah yang dihadapi kelompok, pemangku kepentingan, serta kemampuan kelembagaan itu sendiri. Diakhir tahun, kelompok memeriksa ulang seluruh program yang berhasil dan gagal dilakukan, lalu dilihat dampak yang dirasakan langsung oleh anggota dan masyarakat setempat. Data ini didukung oleh pendapat dari bapak MDS (49 tahun, anggota KTH) dan SMD (42 tahun, non anggota KTH)”. “...... urang pan anggota neng, nya wajib milu kana sadaya kagiatan tur taat kana aturan anu aya, aturan pan urang saraea anu nyieun jadi nya maenya urang keneh nu ngalanggar. Henteu atuh...teu pengurus hungkul tapi anggota oge diajak lamun aya pelatihan kaluar desa, nya bebas anu dek milu mah teu di bates ngan paling halangan ongkos neng, nya anu indit mah sesuai jeng ayana ongkos tina uang kas, lamun duit sorangan mah nya anu boga we, engke lamun anu indit bakal ngabejaan informasina jadi pasti nyaho kabeh..(saya kan anggota neng, ya wajib ikut semua kegiatan dan mentatati aturan yang ada, aturan kita sama-sama yang buat jadi ya masa kita juga yang langgar. Gak lah.... gak cuma pengurus tapi anggota juga diajak kalo ada pelatihan keluar desa, ya diikuti bebas siapa aja yang mau ikut tidak ada batasan, ya paling kendalanya ongkos neng, yang berangkat sesuai dengan adanya ongkos dari uang kas, kalo uang sendiri mah ya yang punya aja, nanti juga di kasih tahu sama yang berangkat jadi semua pasti jadi tahu” (MDS, 49 tahun, anggota KTH). “...kaleresan rorompok caket pisan ka sekretariat, abdi mah aya kagiatan atanapi henteu nya kadieu. Nyaho abdi mah sadaya kagiatan kelompok tani mah, pas aya bule oge kadieu urang sadayana diajakan ngariung, lamaun aya mahasiswa kawas kieu nya waba (ketua kelompok tani) diajakan we sadayana, ngarah aya peangalaman
34
cenah.....(kebetulan saya rumah deket kantor sekretariat ini, saya mah ada kegiatan atau enggak ya kesini. Tahu saya kegiatan kelompok tani, waktu ada bule aja kesini kita ikut di ajak berkumpul, kalo ada mahasiswa begini ya waba (ketua kelompok tani) diajak aja semuanya, katanya biar ada pengalaman. Kalo menurut saya mah mau kelompok tani atau bukan kegiatan mah ikut aja, apalagi gotong royong itu mah wajib. Iya betul, waba (ketua kelompok tani) yang suka ngasih pengumuman ngajak-ngajak warga disini (SMD, 42 tahun, non anggota KTH)”. Persepsi masyarakat terkait daya tanggap kelompok tani dalam kegiatan kemasyarakatan ada pada kategori rendah, sedang, dan tinggi. Anggota KTH menilai daya tanggap pada kategori tinggi 76.7%, sedang 23.3%, dan rendah 0%. Non anggota KTH menilai daya tanggap pada kategori tinggi 43.3%, sedang 53.3% dan rendah 3.3%. Prinsip daya tanggap KTH dinilai dari bagaimana respon kelembagaan terhadap permintaan anggota dan masyarakat setempat, tanggapan kelembagaan pada keluh kesah anggota dan masyarakat, solusi yang diberikan kelembagaan terhadap masalah yang timbul, respon terhadap pelanggaran kelompok, dan cepat tanggap dalam mengadakan kerjasama dengan berbagai pihak. Mayoritas masyarakat menilai daya tanggap kelompok pada kategori sedang dan tinggi artinya peran kelembagaan KTH dinilai cukup optimal dan dirasakan langsung oleh masyarakat. Data tersebut didukung oleh pernyataan Bapak ZNN (34 tahun): “...Alhamdulillah neng, lamun ngadu ka pamarentah desa sok lila diurusna, mangkana abdi mah lamun aya kaperluan nanaon atawa perlu bantuan ngnjeum duit pasti ka kelompok tani, enaklah ngabalikeunana teu dibuburu.....(alhamdulilah neng, kalo ngeluh sama pemerintah desa kadang lama diurusnya. Makanya kalo saya ada apa-apa keperluan atau perlu bantuan pinjam pasti ke kelompok tani, enaklah ngembaliin juga gak diburu-buru” (ZNN, 34 tahun, non anggota KTH). Persepsi masyarakat pada prinsip komitmen KTH dalam kegiatan kemasyarakatan ada pada kategori sedang dan tinggi. Anggota KTH menilai daya tanggap pada kategori tinggi 90%. sedang 10%. Non anggota KTH menilai daya tanggap pada kategori tinggi 50% dan sedang 50%. Komitmen ini lebih pada bagaimana persepsi responden untuk menilai keyakinan dan penerimaan masyarakat terhadap nilai dan tujuan kelembagaan, memiliki rasa cinta pada kelembagaan dan membina hubungan sosial, adanya perasaan berat untuk meninggalkan kelembagaan, adanya perasaan yang mengharuskan bertahan dalam kelembagaan karena tanggung jawab terhadap kelembagaan yang didasari atas pertimbangan norma, nilai, dan keyakinan. Data tersebut didukung oleh pernyataan dari salah satu anggota kelembagaan kelompok tani Karya Muda II, Bapak SPN (50 tahun):
35
“...abdi sorangan ngarasa beurat pisan neng lamun kudu kaluar tina kelembagaan mah, abdi geus tujuh taun ngagabung. Kelompok tani teh tos jiga imah kadualah keur abdi mah...(saya sendiri berat neng kalo harus keluar dari kelembagaan, saya sudah 7 (tujuh) tahun bergabung. Kelompok tani ini seperti rumah kedua lah bagi saya mah” (SPN, 50 tahun, anggota KTH). Persepsi responden terhadap peran kelembagaan lokal KTHKarya Muda II memiliki persepsi yang positif, ditunjukan dengan penilaian yang dominan pada kategori sedang dan tinggi. Penilaian responden disetiap sub variabel tidak ada yang menilai pada kategori rendah dan berjumlah (0%) dari total, artinya secara tidak langsung masyarakat sudah mengakui adanya kelembagaan lokal KTH Karya Muda II, bahkan perannya sudah dirasakan langsung oleh masyarakat. Persepsi responden sejalan dengan kegiatan sosial yang dilaksanakan dengan frekuensi yang tinggi dan reguler, peran kelembagaan lokal dalam kegiatan kemasyarakatan di Desa Citaman sudah dilaksanakan dan dipandang sudah optimal.Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Desa Citaman menganggap kelembagaan lokal KTHKarya Muda II ini sangat diperlukan. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Terbatasnya Peran Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Faktor penghambat kinerja kelembagaan lokal terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu berasal dari dalam kelembagaan itu sendiri, dan faktor eksternal yaitu adanya pengaruh dan hambatan dari luar kelembagaan. Tabel 9 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terbatasnya peran kelembagaan lokal di Desa Citaman 2013 FaktorPenyebab Kelembagaan Lokal Belum seluruh anggota memahami betul mengenai Internal fungsi dan tugas kelompok Sumber Daya Manusia (SDM) kelompok relatif rendah Terbatasnya pembinaan oleh pihak terkait, seperti Eksternal pemerintah Desa, Perhutani, dan BPDAS Cidanau Minimnya bantuan bagi kelompok khususnya bantuan dalam bentuk materil Tabel 9 menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh kelembagaan lokal sebagai penghambat dari peran kelembagaan antara lain kapasitas kelompok tani “sumberdaya manusianya” relatif rendah hanya 43 orang kepala keluarga (KK) dari jumlah total 517 KK di Desa Citaman yang bergabung dalam kelompok, dan anggota kelompok sendiri belum memahami betul mengenai fungsi dan tugas kelompok sebagai kelompok tani hutan atau kelompok yang dinobatkan sebagai pelestari hutan. Faktor lain adalah faktor eksternal dimana masih sangat terbatasya pembinaan dari pemerintah, Perhutani, dan BPDAS, sehingga kegiatan yang dilakukan khususnya dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya hutan masih berlandaskan pada pengetahuan dan pengalamannya tanpa
36
mempertimbangkan aspek lain seperi ekologis dan ekonomisnya. Selain itu, minimnya bantuan dalam bentuk materil sehingga kelompok meiliki kesulitan dalam meningkatkan produktivitasnya. Eksistensi Kelembagaan Lokal di Desa Citaman Permasalahan kelembagaan lokal dipaparkan begitu nyata terlihat, namun yang menarik adalah bagaimana kelembagaan itu bisa tetap eksis (ada). Kelembagaan lokal KTH Karya Muda II bisa kurang lebih telah berdiri selama 12 tahun lebih yaitu dari tahun 2001-2013 sekarang ini. Tabel 10 Faktor penyebab dan wujud nyata eksistensi kelembagaan lokal di Desa Citaman Faktor penyebab eksistensi Wujud nyata eksistensi kelembagaan lokal kelembagaan lokal Aturan Main Kelompok Berkembangnya KTH Karya Muda II yaitu lahir KTH Karya muda II Penyesuaian kegiatan kelompok Penghargaan dan prestasi yang berdasarkan karakteristik masyarakat diperoleh baik tingkat kecamatan, setempat provinsi, dan saat ini sedang proses memenangkan prestasi nasional (kalpataru), (lihat Lampiran 8) Adanya ikatan kerjasama dengan PT. Adanya pengakuan dari masyarakat, dan Krakata Tirta Industri (KTI) dalam pemerintah setempat program imbal jasa Pengaruh kepemimpinan kelompok Kegiatan-kegiatan yang dikoordinasi oleh kelompok Tabel 10menunjukkan bahwa faktor penyebab eksisnya kelembagaan antara lain: (1) aturan main kelompok, artinya kelembagaan lokal KTH Karya Muda II ini bersifat partisipatoris. Aturan main dalam kelompok di buat secara bersamasama oleh kelompok sehingga mereka merasa tidak terbebani dan bertanggung jawab dalam menjalankannya; (2) penyesuaian kegiatan kelompok berdasarkan karakteristik masyarakat setempat, artinya program kegiatan disesuaikan dengan kebutuhan dan minat kelompok serta karakteristik masyarakat setempat, misalnya kajian islam rutin (pengajian) sekaligus pemaparan kajian kelembagaan; (3) adanya ikatan kerjasama dengan PT. Krakata Tirta Industri ( PT. KTI) dalam program imbal jasa, program kerjasama ini mengikat kelompok dikontrak selama lima tahun, bentuk kerjasamanya adalah masyarakat hulu menjaga kelestarian hutan dengan menanam 500 pohon/ ha berjenis kayu-kayuan keras dan buahbuahan, dan masyarakat hilir membayar sebagai biaya pemeliharaan sebesar Rp. 1.200.000,- per hektar, selain itu kelompok diberikan penyuluhan dan pengarahan dalam pengelolaan lahan; dan (4) pengaruh kepemimpinan kelompok, artinya di Banten masih terkenal dengan jeger/jawara/penguasa desa atau orang yang dituakan, dihormati, dan disegani oleh masyarakat. Biasanya mereka memiliki pengaruh kuat, dan kepemimpinan itu timbul bisa berdasarkan atas kekuasaan, kharismatik, dan keterampilan.
37
Pemimpin kelembagaan KTH Karya Muda II saat ini bisa dikatakan ketua abadi karena meskipun telah dua kali pergantian pengurus posisi ketua tetap diduduki oleh ketua lama. Faktor penyebabnya antara lain kepemimpinan itu lahir berdasarkan kekuasaan dimana nenek moyangnya merupakan keluarga yang memiliki lahan paling luas di Desa, memiliki keahlian bela diri dan memiliki kekuatan ilmu hitam (ilmu ghaib), serta pernah menjabat sebagai sekretaris desa selama 18 tahun. Ketua KTH Karya Muda II sangat dihormati dan disegani oleh seluruh warga, tidak sedikit orang yang menyebutnya “kuncen” Desa Citaman. Selain kelahirannya karena kekuasaan, namun beliau memiliki sikap yang loyal terhadap tetangga sehingga masyarakat baik anggota maupun bukan anggota KTH merasa nyaman jika melakukan kegiatan bersama-sama. Wujud nyata eksistensinya KTH Karya Muda II antara lain: (1) KTH Karya Muda II melahirkan generasi baru yaitu KTH Karya Muda III yang di ketuai oleh salah satu anggota terpilih dari KTH Karya muda II untuk mengelola dan membangun kelompok supaya mandiri, sekretasrisnya merupakan anak dari ketua KTH Karya muda II. Hal ini menunjukkan bahwa bertambahnya masyarakat yang mulai terdedah pengetahuannya terhadap kelembagaan dan meraskan manfaat adanya kelembagaan; (2) penghargaan dan prestasi yang diperoleh baik tingkat kecamatan,provinsi, dan saat ini sedang proses memenangkan prestasi nasional (kalpataru), prestasi yang pernah diraih antara lain: Juara II kelompok tani berprestasi tingkat Provinsi Banten, terbaik 1 kelompok tani berprestasi tingkat kabupaten serang, kunjungan (studi banding) dari DAS hulu Lemau Provinsi Bengkulu, terlibat dalam pelatihan penyebarluasan informasi pengelolaan DAS terpadu, pelatihan bersama Dinas Pertanian, pelatihan petani kehutanan di Jawa Barat, kunjungan ke DAS Brantas Jawa Timur, serta dijadikan lokasi penelitian oleh mayoritas mahasiswa kehutanan; (3) adanya pengakuan dari masyarakat dan pemerintah setempat. Pengakuan ini berupa simpati dan respon terhadap kegiatan kelompok, diberikan kemudahan dalam mengakses informasi, dipermudah dalam pembuatan surat menyurat yang berkaitan dengan kelompok, dan adanya bantuan khusus baik secara moril maupun materil; dan (4) kegiatankegiatan yang dikoordinasi oleh kelompok, artinya wujud lain dari eksisnya kelembagaan ini adalah terealisasinya kegiatan baik itu kegiatan yang merupakan program kelompok tani maupun kegiatan kemasyarakatan yang dikoordinasi oleh kelompok tani seperti gotong royong, dan pengajian.
38
Perubahan Tata Guna Lahan di Desa Citaman, Kecamatan Ciomas Sejarah Akses Penggunaan Lahan di Desa Citaman Pemahaman warga mengenai tata guna lahan dibedakan atas lahan basah/sawah, dan lahan kering. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan tanah untuk pekarangan, kebun, kebun campuran, talun kebun, dan ladang. Tata guna lahan tanah basah penggunaanya untuk tanaman padi dan jenis palawija. Kedua jenis tata guna lahan tersebut berasal dari pembukaan hutan dan ladang oleh masyarakat. Warga membedakan ladang, kebun, dan talun kebun berdasarkan jenis dan susunan tanaman yang ditanam. Kebun dicirikan oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya. Kebun campuran dicirikan oleh jenis tanaman dari berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang cukup beragam. Talun dicirikan dengan tanaman tahunan atau jenis tanaman keras dan buah-buahan. Pengetahuan lokal masyarakat yang khas adalah warga mengetahui tata guna lahan yang cocok untuk pertanian, tempat tinggal, tanah untuk tempat ibadah dan tanah untuk kuburan (pemakaman). Tanah yang cocok digunakan untuk pertanian berdasarkan arah mata angin yaitu tanah yang membujur dari utara ke selatan. Pepohonan yang ditanam pertumbuhannya lebih cepat dan hasilnya lebih bagus karena mendapat sinar matahari yang cukup. Tata guna tanah untuk tempat tinggal yaitu berupa hamparan tanah datar, tidak jauh dari sumber mata air, dan pertimbangannya praktis untuk meratakan dan tidak memakan waktu serta tenaga kerja yang besar. Tata guna tanah untuk tempat ibadah (masjid dan musholla) yaitu letaknya harus lebih tinggi dari tempat tinggal dan harus berada di tengah perkampungan, karena selain tempat ibadah juga berfungsi sebagai sarana untuk bersosialisasi, sarana pendidikan dan ajang sosial2. Tata guna tanah untuk kuburan letaknya lebih tinggi dari tempat tinggal, bebas dari genangan air hujan dan suara bising. Pemanfaatan tata guna lahan di lokasi penelitian mayoritas pada lahan kering. Perubahan tata guna lahan di lahan kering ini bergerak secara linear: berawal dari pembukaan hutan menjadi ladang, kemudian menjadi kebun, dan terakhir seiring bertambahnya penduduk pembukaan hutan ini untuk pemukiman. Lahan yang dimiliki masyarakat pada saat ini adalah lahan yang pada mulanya hasil pembukaan hutan menjadi ladang. Latar belakang pembukaan lahan karena pertumbuhan dan perkembangan penduduk yang cukup pesat dan aktivitas manusia yang semakin beragam menyebabkan permintaan kebutuhan manusia akan sumberdaya alam tinggi.
2
Tempat bertukar fikiran, pemandian umum (laki-laki dan perempuan), tempat mencuci pakaian dan perbaotan rumah tangga.
39
Tabel 11 Akses dan penggunaan lahan di Desa Citaman Tahun
Pasca 1945
1967
1990 -2001
2004
2009
Peristiwa Masyarakat menyebut hutan dengan “leuweung”, pada mulanya masyarakat masih percaya bahwa leuweung merupakan kawasan hutan yang dititipkan dan diamanatkan dari para leluhur kepada anak cucu untuk dilindungi dan dipelihara. Pemanfaatan warga pada leuweung bersifat terbatas, masyarakat hanya mengambil hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu hanya untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari, tidak diperbolehkan untuk kebutuhan komersil. Kepercayaan masyarakat terhadap “leuweung” mulai bergeser, hal ini didorong pula oleh kebutuhan masyarakat akan kebutuhan hidup yang terus meningkat, masyarakat mulai membuka “leuweung” menjadi ladang atau dinamai “leuweung bukaan”, aktivitas masyarakat yaitu mengelola hutan untuk kegiatan huma dan kebun. Pengelolaan masyarakat masih berpegang pada pedoman untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis antara sumberdaya manusia dan sumberdaya hutan sebagai ritme dari budaya hidup masyarakat hutan. Pada tahun ini tercatat bahwa kondisi alam di Desa Citaman mulai menurun, ditandai dengan terjadi banjir bandang dan erosi yang menewaskan beberapa warga setempat. Hal ini karena akses masyarakat pada hutan sudah tidak memenuhi subsistensinya. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat,salah satu faktor pendorong adalah masyarakat Desa Citaman ini menolak adanya program keluarga berencana karena dianggap melanggar takdir Tuhan, sehingga jumlah tanggungan setiap rumah tangga digolongkan tinggi, rata-rata lebih dari tujuh orang anak. Akhirnya, masyarakat melakukan perambahan hutan secara besar-besaran. Kayu-kayu hasil hutan ditebang dan dijual, orientasi masyarakat lebih pada sektor ekonomi. Masyarakat menggunakan lahannya untuk huma, pembukaan lahan masyarakat juga semakin luas dan masyarakat mulai mengklaim bahwa hutan yang digarap itu adalah lahan milik warga sehingga dinamakan hutan rakyat. Seiring dibentuknya kelompok tani hutan, Perhutani dan BPDAS mulai melakukan aksi nyata untuk menanggulangi masalah krisis hutan. Pemerintah membuat plang yang bertuliskan “LAHAN INI MILIK KEHUTANAN, pemerintah sempat berkonflik mengenai lahan hutan yang sekarang digarap, solusi yang diambil adalah masyarakat diperbolehkan menggarap hutan dengan batasan lahan yang sudah dimiliki saat ini, jika terjadi pertambahan perambahan lahan maka masyarakat akan dikenakan sanksi secara perdata. Pada tahun ini, masyarakat mulai merubah lahannya menjadi kebun campuran dan talun yaitu tanaman buah-buahan dan kayukayuan. Penggunaan lahan masyarakat hulu mulai mendapat menghargaan dari masyarakat hilir dalam ikatan kerjasama berupa imbal jasa. Masyarakat mulai merasakan manfaat dari hasil pertaniannya, dan masyarakat mampu menjual sebagian hasil pertaniannya untuk ditukar dengan barang atau jenis keperluan hidup lainnya. Saat ini, penggunaan lahan masyarakat sudah mengarah ke arah yang lebih positif, yaitu masyarakat mulai memerhatikan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kebutuhan lingkungan hidup.
40
Mengacu pada teori Kivell (1993) perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Citaman mayoritas tergolong pada alih fungsi lahan yang bersifat sementara karena lahan tersebut hanya berubah fungsinya saja dari hutan menjadi ladang. Namun beberapa meter dari luas lahan yang ada mengalami perubahan secara permanen yaitu lahan hutan menjadi lahan domestik atau rumah. Proses pembukaan hutan menjadi ladang ini dilakukan oleh warga setempat dibantu oleh keluarganya. Sebagai penciri dan batasan lahan masing-masing pemilik biasanya ditandai oleh jenis tanaman tertentu yang disepakati bersama. Sampai saat ini masyarakat tidak memiliki sertifikat tanah, mereka hanya memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) dan tidak semua warga memiliki SPPT ini dengan alasan harus mengeluarkan biaya. Pembuatan SPPT dilakukan dikantor desa dengan mendatangkan saksi dari pihak pemilik dan aparat desa yang menangani. Anggota kelompok tani 100% memiliki SPPT, pemilikan SPPT ini menjadi salah satu program penting yang dianjurkan di dalam kelembagaan. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan SPPT dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman Sebelum ada KTH Setelah ada KTH KTH Non KTH KTH Non KTH Kepemilikan SPPT
Jumlah Total
n
%
n
%
n
%
n
%
17
56.67
13
43.33
30
100
18
60
30
100
30
100
30
100
30
100
Berdasarkan Tabel 12 menunjukkan bahwa adanya perubahan kepemilikan SPPT dari sebelum adanya kelembagaan dengan setelah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi bagi anggota KTH dari 56.67% menjadi 100%, karena bagi anggota diwajibkan memiliki SPPT. Non anggota kelompok tani juga mengalami perubahan yaitu dari 43.33% menjadi 60%, hal tersebut dikarenakan sebagian masyarakat yang sering terlibat dalam kelembagaan memiliki bantuan dari kelompok serta didorong untuk membuat SPPT. Kemilikan SPPT ini bertujuan sebagai jaga-jaga dan tanda bukti bahwa lahan tersebut milik warga dan tidak bisa di klaim/diakui oleh pihak lain termasuk pemerintah hutan (PERHUTANI). Mayoritas masyarakat masih menganggap SPPT itu sebagai hal yang tidak penting penting, karena lahan yang mereka gunakan saat ini merupakan lahan warisan dari leluhurnya yang sejauh ini tidak ada yang mengungkit. Hal ini diperkuat oleh pendapat dari Bapak TLM (70 tahun): “... lamun aya anu wani nyokot lahan kami pasti bakal di demo ku warga di dieu, lah itu pan lahan bisa jadi kawas ayeuna bisa di pelakan kusabab sesepuh urang terus ayeuna rek dicokot kitu wae nya moal dibikeun, rek timana urang dahar toh bantaun ti pamarentah keur petani leutik teu aya, nyieun SPPT oge kudu mayar, saya mah teu
41
boga duit jadi bae we antepkeun....(kalau ada yang berani ngambil lahan kami pasti akan di demo sama warga disini, lah itu lahan jadi seperti sekarang bisa ditanami karena orang tua saya terus sekarang mau diambil sama orang ya kita gak kasih, mau dari mana kita makan toh bantuan dari pemerintah untuk petani kecil seperti kami tidak ada, bikin SPPT juga harus bayar, saya mah gak ada uang lah biarin saja”(TLM, 70 tahun, non KTH). Perubahan tata guna lahan masyarakat di Desa Citaman ini diukur dalam tiga kategori yaitu: (1) tinggi; (2) sedang; dan (3) rendah. Pengukuran ini dilihat berdasarkan perubahan yang positif dimana hutan mulai kembali seperti pada fungsinya. Masyarakat hutan adalah masyarakat yang bermukim di daerah hulu, kondisi dan kualitas masyarakat tengah dan hilir bergantung pada bagaimana pengelolaan dan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat hulu. Oleh karena itu dalam pengelolaan DAS, masyarakat hulu dikatakan sebagai “aktor utama” bahkan tidak jarang disalahkan. Contoh banjir di hilir, yang pertama kali dipersalahkan adalah masyarakat hulu karena menebang pohon sembarangan, padahal disisi lain aktivitas buruk masyarakat hilir juga menjadi salah satu penyebab banjir tersebut, misalnya buang sampah sembarangan. Pengukurannya dikategorikan: (1) tinggi, perubahan tata guna lahan dari ladang menjadi talun, (2) sedang, perubahan tata guna lahan dari ladang menjadi kebun campuran, dan (3) rendah, perubahan tata guna lahan menjadi kebun. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan perubahan tata guna lahan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman Sebelum ada KTH Setelah ada KTH Tata guna KTH Non KTH KTH Non KTH lahan n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
30 0 0 30
100 0 0 100
30 0 0 30
100 0 0 100
0 0 30 30
0 0 100 100
4 11 15 30
13.3 36.7 50 100
Berdasarkan Tabel 13 tata guna lahan masyarakat mengalami perubahan yang cukup signifikan. Sebelum adanya kelembagaan penggunaan lahan masyarakat baik anggota maupun non anggota KTH ada pada kategori rendah artinya seluruh masyarakat menggunakan lahannya untuk subsistensi (pemenuhan kebutuhan sehari-hari) yaitu ladang. Penggunaan lahan sebagai ladang, masyarakat hanya menanam padi gogo (huma). Hasil pertanian padi gogo sering mengalami gagal panen akibat hama babi dan tanah lonsor sehingga menimbun padi. Selain hasilnya tidak bagus juga merugikan secara ekologi. Pada tahun 2001 pernah terjadi longsor besar yang menewaskan beberapa orang yang sedang menggembala. Hal ini dikarenakan kurangnya pohon berakar kuat sebagai penopang dan penyerap air hujan. Data ini didukung oleh ketua KTH Karya Muda II, BRN (54 tahun):
42
“..anu paling karasa nya cai, baheula mah sering pisan lamun musim halodo neangan cai, lamun musim hujan nepika limpas. Pernah kajadian loba jelema anu kabawa palid bahkan dulur abdi oge paeh keur ngangon munding. Bagong oge lamun ti peuting mineng turun, mineng pisan katenjo ngalantung buruan....(yang paling terasa sih air, dulu sering kalau musim kemarau mencari air, kalo hujan air melebihi badan sungai/meluapsampai banyak yang hanyut bahkan saudara saya mati sedangmenggembala kerbau. Babi saja kalo malam sering turun, sering saya lihat di halaman (BRN, 54 tahun). Setelah adanya kelembagaan Kelembagaan, KTH Karya Muda II mewajibkan seluruh anggotanya mengelola lahan menjadi talun (lahan yang dicirikan dengan tanaman kayu-kayuan dan buah-buahan). Proporsi tanamannya 70% adalah tanaman buah-buahan seperti melinjo, durian, rambutan, cengkeh, jengkol, petai, kopi dan 30% persen kayu-kayuan yang memiliki umur panjang seperti kayu jati, sobsis, mahoni, dan mindi. KTH Karya Muda II saat ini terlibat dalam program CSR (Corporate Social Responsibility) PT. Krakatau Tirta Indutri (KTI) yang dinamakan imbal jasa. Setiap lahan per satu hektar harus terdiri dari 500 tegakan pohon tahunan. PT. KTI memberi imbalan sebagai upah pemeliharaan kepada masyarakat hulu sebesar Rp. 1.200.000,- per hektar dengan catatan tegakan pohon tidak kurang dari 500 pohon/hektar dan pohon tidak ditebang kecuali jika pohon terserang penyakit dan program penjarangan pohon atau disebut juga tambal sulam (ditebang dan ditanam pohon baru). Sedangkan non anggota KTH perubahan tata guna lahannya menjadi variatif. Secara keseluruhan perubahan tata guna lahan terjadi, sebanyak 50% non anggota KTH merubah penggunaan lahannya menjadi talun (tinggi) dicirikan dengan tanaman kayu-kayuan keras dan buah-buahan seperti durian, rambutan, dan melinjo, alasan lainnya karena letak lahan masyarakat ini berdampingan dengan lahan anggota pertanian yang 100% menjadi lahan talun, sebanyak 36.6% merubah tata guna lahannya menjadi kebun campuran (sedang) dicirikan dengan berisi tanaman kayu-kayuan cepat panen, beragam buah-buahan, dan ada juga tanaman musiman, dan sebanyak 13.3% merubah tata guna lahannya menjadi kebun (rendah) dicirikan dengan tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya, seperti padi gogo (padi huma), jagung, pisang, singkong, dan rempah-rempah. Faktor pendorong non anggota untuk merubah tata guna lahannya menjadi talun, antara lain: (1) lokasi lahan berdampingan dengan lahan anggota KTH, hal ini menjadi alasan penting karena tata guna lahan menjadi talun yang dilakukan oleh KTH membentuk strata kanopi (daun pohon membentuk payung) sehingga menutup sinar matahari masuk ke dalam. Jika masyarakat tetap menanam padi gogo sudah barang tentu hasilnya akan gagal panen, karena padi butuh cukup sinar matahari; ( 2) melihat hasil, setelah melihat hasil dari perubahan tata guna lahan yang dilakukan oleh KTH mereka menilai cukup menguntungkan artinya hasil pertanian tidak hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari tapi bisa sampai menjual hasil pertaniannya; dan (3) intervensi dari luar, pergaulan dan lingkungan kelembagaan menyebabkan masyarakat mulai terdedah
43
pengetahuannya dan mendapat informasi, pengetahuan baru, dan keterampilan dalam bertani. Intervensi ini bisa berupa penyuluhan yang diselenggarakan oleh penyuluh desa, Perhutani, BPDAS, dan LSM. Selain itu, perubahan tata guna lahan menjadi talun masyarakat menjadi punya waktu luang yaitu masa tunggu panen yang biasanya digunakan untuk melakukan pekerjaan sampingan, seperti kuli angkut batu, dan pengrajin gula aren, karena penggunaan lahan sebagai ladang (menanam padi gogo) membutuhkan curahan waktu yang cukup intensif untuk menyiangi dan menjaga dari hama. Masyarakat non anggota KTH sendiri mulai merasakan adanya perubahan positif dengan merubah ladangnya menjadi talun. Data ini diperkuat oleh pendapat dari Bapak SGD (47 tahun): “.....mimitina mah abdi kapaksa ngarobah lahan jadi talun, kusabab lahan abdi sawates jeung bapak Sukaemi anggota KTH. Abdi melak pare gagal wae, pan angkeub jadi cahaya panon poe teu bisa asup. Salian ti eta nya ayeuna abdi tiasa ngajual hasil tani jiga duren, cengkeh, jeung tangkil. Kabeh oge hayang jadi talun ngan ngarana oge petani leutik mah loba kabutuh lamun melak sobsis mah pan lima tahun oge bisa di ala, melak cau tilu bulan bisa digoreng, melak sampeu teu aya kadaharan tinggal di ala, lamun bangsa bungbuahan mah lebbar mun di tuar teh kusabab beuki lila umurna bakal leuwih alus buahna .....(awalnya saya terpaksa merubah jadi talun, soalnya lahan saya berbatasan dengan bapak sukemi anggota kelompo tani. Saya nanem padi gagal, pan rimbun jadi cahaya matahari gak masuk. Selain itu saya jadi bisa jual hasil pertanian seperti durian dan cengkeh. Semuanya sih kepengen mbak jadi talun, tapi namanya petani kecil kan banyak butuh kalo nanem sobsis kan lima tahun bisa panen, nanem pisang tiga bulan bisa digoreng, nanem singkong gak ada makanan tinggal di panen, kalo buah-buahan di tebang ya sayang kan buahnya bagus kalo udah tua umurnya” (SGD, 47 tahun, non anggota KTH). Anggota dan non anggota KTH melakukan perubahan tata guna lahan sudah sangat baik, bagi non anggota KTH pun mayoritas ada pada kategori sedang dan tinggi. Anggota KTH 100% perubahannya tinggi. Manfaat perubahan tata guna lahan menjadi talun sudah cukup dirasakan oleh masyarakat baik dari sisi ekonomi (penghasilan bertambah) maupun ekologi (tidak longsor, dan ketersediaan air stabil).
44
“Pemilikan dan Penguasaan Lahan” di Desa Citaman Struktur masyarakat agraris merujuk pada pola hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat agraris yang akan bertumpu pada posisi para petani dalam hal penguasaan lahan, baik melalui mekanisme penguasaan tetap (pemilikan) atau penguasaan sementara. Kondisi ini menjadikan tanah sebagai alat efektif untuk mendapatkan kekuasaan yang penuh dalam kehidupan sosio-agraria.. Selanjutnya yang terbentuk adalah munculnya diferensiasi struktur agraria yang merujuk pada keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang posisinya dalam penguasaan lahan tidak sama. Berdasarkan pada basis hubungan sosial dalam penguasaan lahan (pemilikan tetap dan pemilikan sementara), dari hasil wawancara terhadap responden di Desa Citaman menunjukkan bahwa struktur agraria masyarakat Desa Citaman terdiferensiasi menjadi banyak lapisan. Sebagian dari lapisan tersebut dibangun dengan status tunggal (pemilik, penggarap, dan buruh tani), sedangkan lapisan yang lain dibangun dengan status jamak atau kombinasi. Berikut hasil temuan di lokasi penelitian yaitu: a. Petani milik, yaitu petani yang menguasai lahan hanya melalui mekanisme pemilikan tetap (baik petani pemilik yang atanahnya diusahakan atau petani yang tanahnya diusahakan orang lain). b. Petani pemilik+penggarap, yaitu petani yang menguasai lahan tidak hanya melalui mekanisme pemilikan tetap juga melalui pemilikan sementara (mengusahakan tanah pemilik petani lain melalui sistem sewa atau bagi hasil). c. Petani pemilik+penggarap+buruh tani, yaitu petani yang menguasai lahan melalui pemilikan tetap dan pemilikan sementara juga menjadi buruh. Tabel 14 Jumlah dan persentase hubungan tenurial di Desa Citaman 2013 Anggota KTH Non Anggota KTH No. Tipe penguasaan n % n % 1. Pemilik 8 26.67 2 6.67 2. Pemilik+penggarap 4 13.33 2 6.67 3. Pemilik+penggarap+buruh 18 60.0 26 86.6 Total 30 100 30 100 Tabel 14 menunjukkan bahwa 26.67% anggota KTH dan 6.67% non anggota KTH dari jumlah total responden masuk ke dalam lapisan pemilik. Para petani pada lapisan ini petani memiliki lahan dengan mekanisme pemilikan tetap dan tanahnya diusahakan oleh orang lain atau memiliki buruh. Lapisan pemilik+penggarap sebesar 13.33% anggota KTH dan 6,67% non anggota KTH dimana pemilikan lahan petani pada lapisan ini lahannya digarap sendiri dan tidak diusahakan pada orang lain. Lapisan pemilik+penggarap+buruh sebesar 60% anggota KTH dan 86.6% non anggota KTH adalah mereka yang memiliki lahan relatif sempit, selain menggarap lahan milik sendiri juga berupaya menjadi tenaga kerja upahan guna dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari.
45
Data ini menunjukkan bahwa baik anggota KTH maupun non anggota KTH pola sosio-agraria mayoritas “pemilik+penggarap+buruh”, masyarakat di Desa Citaman ini 100% memiliki lahan dari warisan orang tua, sehingga tidak ada masyarakat yang masuk pada lapisan petani penggarap+buruh tani, buruh tani saja (tunakisma mutlak). Oleh karena itu, buruh tani menjadi salah satu pekerjaan sampingan dan bahkan bisa menjadi pekerjaan utama dalam penguasahaan lahan untuk pemenuhan kebutuhan rumahtangga sehari-hari.
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Desa Citaman Indikator kesejahteraan masyarakat dalam penelitian ini merujuk pada pada penelitian sebelumnya, yaitu terdiri dari tingkat kepemilikan aset, luas garapan lahan, tingkat kemampuan menyekolahkan anak, kemampuan membayar buruh, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi lokal, dan tingkat pendapatan. Kepemilikan Lahan Luas kepemilikan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden yang memiliki luas garapan lebih > 1 hektar; (2) kategori sedang, responden yang memiliki luas garapan 0.25-0.99 hektar; dan (3) kategori rendah, responden yang tidak memiliki luas garapan < 0.24 hektar. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH KTH Non KTH
Kepemilikan Lahan N Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
8 14 6 30
% 26.67 46.67 20 100
Setelah ada KTH KTH Non KTH
n
%
n
%
n
%
8 16 6 30
26.67 53.33 20 100
2 18 10 30
6.67 60 30 100
8 16 6 30
26.67 53.33 20 100
Tabel 15 menunjukkan ada perubahan kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 26.67% menjadi 6.67%, kategori sedang mengalami penambahan yaitu dari 46.67% menjadi 60%, dan kategori tinggi berubah dari 20% menjadi 30%. Non anggota KTH tidak mengalami perubahan, namun pada kategori rendah jumlah masyarakat tyang ada pada kategori rendah sebanyak 26.67%, kategori sedang tetap sebanyak 53.33%, dan kategori tinggi tetap sebanyak 20%. Perbedaan yang cukup signifikan dari keduanya, masyarakat menyatakan bahwa lahan yang mereka miliki saat ini mayoritas merupakan warisan dari orang tua. Namun, beberapa orang dari anggota KTH mengakui dalam dekat ini mampu membeli lahan dari penghasilan pertaniannya. Sebanyak 7 orang atau 23.33% anggota kelompok tani membeli
46
lahan dari tetangganya dengan harga yang relatif murah karena penjual sedang terdesak membutuhkan uang. Merujuk pada data tersebut maka salah satu peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kemampuan masyarakat membeli lahan sebagai aset kepemilikannya. Lahan yang dimiliki masyarakat merupakan milik sendiri bukan berupa lahan garapan. 100% masyarakat memiliki lahan sendiri meskipun banyak yang tergolong rendah. Kepemilikan tanah yang rendah ini dikarenakan warisan dari orang tuanya dibagi sebanyak anak yang ada, oleh karena itu lahannya cenderung sempit. Sedangkan sebanyak lima orang atau 16.67% anggota KTH menggarap lahan milik LSM Rekhonvasi Bumi dan keuntungan dibagi hasil 1/2 antara pemilik dan penggarap. Non anggota KTH tidak mengalami perubahan jumlah kepemilikan baik pada kategori rendah, sedang, dan tinggi tetap sama dengan sebelum adanya kelembagaan. Kemampuan Membayar Buruh Kemampuan membayar buruh upahan dalam menggarap lahan responden dibagi tiga kategori yaitu: (1) tinggi, menggarap dan mengelola lahannya sepenuhnya menggunakan buruh dan mengeluarkan biaya/upah kerja; (2) sedang: menggarap dan mengelola lahannya dibantu oleh saudara atau tetangga yang mengeluarkan biaya/upah kerja, namun upahnya tidak penuh (saling membantu); (3) rendah, menggarap dan mengelola lahannya sendiri hanya dibantu oleh anak dan istri tanpa mengeluarkan biaya/upah kerja. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan membayar buruh sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman 2013 Kemampuan membayar buruh Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
Sebelum ada KTH KTH Non KTH
Setelah ada KTH KTH Non KTH
n
%
n
%
n
%
27 0 3 30
90 0 10 100
30 0 0 30
100 0 0 100
18 4 8 30
60 13.33 26.67 100
n
%
26 86.6 2 6.67 2 6.67 30 100
Tabel 16 menunjukkan ada perubahan kemampuan membayar buruh sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Perubahan pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 90% menjadi 60% artinya penggarapan lahan tidak sebatas dibantu oleh anak dan istri, kategori sedang dari 0% meningkat menjadi 13.33% artinya setelah mereka berkelompok penggarapan lahannya pun cenderung dilakukan secara berkelompok dan gotong royong bergantian, dan kategori tinggi berubah dari 10% menjadi 26.67%, masyarakat yang mampu membayar upah buruh secara penuh adalah mereka yang disebut tuan tanah (orang yang memiliki lahan di atas satu hektar). Non anggota KTH juga mengalami perubahan, pada
47
pada kategori rendah sebanyak 100% berubah menjadi 86.6, kategori sedang dari 0% menjadi 6.67%, dan kategori tinggi juga dari 0% menjadi 6.67%. Dari data tersebut menggambarkan bahwa di Desa Citaman mayoritas menggarap dan mengelola lahannya dibantu oleh anak dan istri. Bantuan lain yaitu berupa bantuan tenaga dari tetangga, sebagai gantinya ketika tetangga lain membutuhkan tenaga, harus kembali membantu. Jika ada rejeki (uang) pekerja di beri makan dan diupah setengah dari harga buruh harian punuh atau seadanya uang. Anak yang banyak juga menjadi salah satu alasan kuat untuk tidak memperkerjakan lahan pada orang lain, kegiatan sehari-hari di lahan di bantu oleh anak dan istri. Kemampuan Menyekolahkan Anak Kemampuan menyekolahkan anak responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden yang mampu menyekolahkan anaknya sampai SMA dan perguruan tinggi; (2) kategori sedang, responden yang mampu menyekolahkan anaknya sampai SMP; dan (3) kategori rendah, responden yang kemampuan menyekolahkan anaknya sampai SD. Tabel
17
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan menyekolahkan anak sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman 2013
Kemampuan menyekolahkan anak Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
Sebelum ada KTH KTH Non KTH n 20 10 0 30
% 66.67 33.33 0 100
n
% 21 9 0 30
70 30 0 100
Setelah ada KTH KTH Non KTH n 6 12 12 30
% 33.33 50 26.67 100
n 17 6 7 30
% 46.67 40 3.33 100
Tabel 17 menunjukkan ada perubahan kemampuan menyekolahkan anak sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 66.67% menjadi 33.33% artinya masyarakat mulai mampu menyekolahkan anak kejenjang yang lebih tinggi dari SD, kategori sedang dari 33.33% meningkat menjadi 50% artinya hampir setengah dari masyarakat menyekolahkan anaknya sampai SMP, dan kategori tinggi berubah dari 0% menjadi 26.67%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan, pada kategori rendah sebanyak 70% berubah menjadi 46.67%, kategori sedang dari 30% menjadi 40%, dan kategori tinggi juga dari 0% menjadi 3.33%. Secara umum baik anggota maupun non anggota KTH sudah mampu menyekolahkan anaknya sampai tingkat SMP, dikarenakan saat ini di Desa Citaman ini telah memiliki satu unit SMP dan seiring adanya program wajib belajar sembilan tahun. Masyarakat tidak perlu mengeluarkan biaya pendidikan seperti SPP tapi cukup menyediakan uang jajan harian saja.
48
Data di atas juga menujukan bahwa kemampuan menyekolahkan anak pada kategori rendah masih sangat mendominasi, yang menjadi alasan adalah mayoritas masyarakat beranggapan bahwa pendidikan agama itu lebih penting daripada sekolah. Oleh karena itu, banyak orang tua/responden yang mengirim anaknya untuk mesantren diluar desa atau bahkan ke luar kota. Kemampuan menyekolahkan anak pada kategori tinggi mayoritas baru sampai pada tahap SMA, hanya satu orang yang menginjak bangku kuliah. Anggota KTH menyadari bahwa kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan sekolah meningkat ketika mereka telah gabung di KTH, sering adanya mahasiswa/peneliti/dosen yang datang untuk berbagi pengalaman dan penelitian membuka kesadaran akan pentingnya pendidikan. Oleh karena itu, tingkat pendidikan di Desa Citaman ini bisa dikatakan meningkat.Peningkatan kemampuan menyekolahkan anak bukan semata pada masalah ekonomi, namun lebih kepada keterdedahan masyarakat akan pentingnya pendidikan tinggi. Kemampuan Akses Kesehatan Kemampuan akses kesehatan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1)kategori tinggi, responden yang mampu akses kesehatan/ berobat ke rumah sakit; (2) kategori sedang yang mampu akses kesehatan/berobat ke puskesmas; dan (3) kategori rendah, responden yang mampu akses kesehatan/ berobat ke dukun atau orang pintar setempat. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan akses kesehatan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II, di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH Setelah ada KTH Kemampuan KTH Non KTH KTH Non KTH akses n % n % n % n % kesehatan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
24 6 0 30
80 20 0 100
27 3 0 30
90 10 0 100
11 36.67 13 43.33 6 20 30 100
22 73.33 8 26.67 0 0 30 100
Tabel 18 menunjukkan ada perubahan kemampuan akses kesehatan sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 80% menjadi 36.67%, kategori sedang dari 20% meningkat menjadi 43.33% , dan kategori tinggi berubah dari 0% menjadi 20%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan, pada kategori rendah menururn sebanyak 90% berubah menjadi 73.33%, kategori sedang dari10% menjadi 26.67%, dan kategori tinggi tetap sebanyak 0%.Persentase kemampuan akses kesehatan pada non anggota KTH masih didominasi pada kategori rendah dimana kepercayaan mereka terhadap dukun/orang pintar masih tinggi. Dukun ini dianggap sebagai penyembuh segala penyakit yang telah dipercayai sejak dulu oleh para leluhur, seluruh jenis penyakit diobati dengan doa pada segelas air putih yang tata caranya bisa diminum atau dimandikan.
49
Akses kesehatan pada kategori sedang yaitu akses kesehatan ke puskesmas, saat ini sudah banyak orang yang mulai akses karena adanya program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) bagi masyarakat miskin, tapi itu hanya digunakan jika penyakitnya sudah sangat parah, sedangkan flue atau demam biasa mereka pun tetap mempercayakan pada dukun setempat. Kegiatan kelembagaan antara lain membantu pemerintah menyampaikan berbagi informasi termasuk mengenai kesehatan, program pemerintah yang mewajibkan penanganan melahirkan oleh bidan juga sedikit demi sedikit membuka wawasan masyarakat bahwa tidak semua penyakit bisa disembuhkan sebatas dengan do‟a. Keterlibatan pada Organisasi/Kelembagaan Lokal Keterlibatan responden pada organisasi lokal digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden terlibat sebagai anggota dan mengikuti seluruh kegiatan kelembagaan/organisasi lokal; (2) kategori sedang, responden yang ikut terlibat dalam kegiatan kelembagaan lokal namun tidak menjadi anggota; dan (3) kategori rendah, responden yang tidak menjadi anggota dan tidak terlibat dalam kegiatan kelembagaan lokal setempat. Tabel 19 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keterlibatan dalam organisasi lokal sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH Setelah ada KTH Keterlibatan KTH Non KTH KTH Non KTH dalam organisasi n % n % n % n % lokal Rendah 30 100 30 30 0 0 18 60 Sedang 0 0 0 0 0 0 12 40 Tinggi 0 0 0 0 30 100 0 0 Jumlah Total 30 100 30 100 30 100 30 100 Tabel 19 menunjukkan ada perubahan keterlibatan masyarakat dalam kelembagaan lokal sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan pada anggota KTH terjadi sangat signifikan dimana seluruhnya terlibat secara penuh dalam kelembagaan baik sebagai pengurus maupun anggota. Sedangkan pada non anggota KTH perubahannya cukup variatif, yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 100% menjadi 60% artinya sebagian masyarakat mulai turut terlibat dalam kelembagaan, kategori sedang dari 0% meningkat menjadi 40%, dan kategori tinggi tetap sebanyak 0%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan, pada kategori rendah sebanyak 30% berubah menjadi 60%, kategori sedang dari 0% menjadi 40%, dan kategori tinggi tetap 0%. Masyarakat mulai terdedah dan merasakan manfaat adanya kelembagaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Non anggota KTH pun menyadari bahwa seringnya ia terlibat dalam kelembagaan memberikan manfaat antara lain kekerabatan dan kekeluargaan tinggi, bertambah wawasan mengenai pertanian, mudah dalam megakses informasi, dan menjadi ada kegiatan selain di kebun. Namun, masih ada
50
masyarakat yang masih pasif dan menganggap berorganisasi itu tidak penting. Data ini diperkuat oleh pemaparan dari Bapak ASR, sebagai berikut: “....manfaat tina gabung jeng kegiatan KTH jadi boga kagiatan anu nangtu, nambah silaturahmi, nambah pangalaman, jadi loba babaturan, aktif kana gotong royong, tur menang elmu dina praktek tatanen.....(manfaat dari bergabung dengan kegiatan KTH jadi memiliki kegiatan yang fokus, bertambahnya silaturahmi, menambah pengalaman, jadi banyak teman, aktif gotong royong, dan mendapatkan ilmu seputar prakter pertanian” (ASR, 49 tahun, non anggota KTH). Bapak ASR mengakui bahwa banyak manfaat ikut terlibat dalam kegiatan KTH, oleh karena itu beliau berniat untuk bergabung menjadi anggota KTH secara resmi. Hal serupa dikemukakan oleh salah satu anggota KTH yaitu Bapak ZND 52 tahun, manfaat bergabung dalam KTH antara lain, bisa ketemu mahasiswa, bertambah pengalaman, lebih dekat dan disegani warga setempat, mengetahui pembuatan guludan, membuat penyerapan menggunakan biopori, mengetahui cara penanganan penyakit tanaman, pelatihan menggunakan pupuk kandang, mengetahui jarak tanaman dan jenis tanaman yang menguntungkan, pendapatan bertambah dan kegiatan tambal sulam. Keterlibatan masyarakat Desa Citaman dalam kelembagaan memberikan manfaat yaitu pada aspek sosial, aspek pengetahuan dan keterampilan, dan aspek ekonomi. Tingkat Kepemilikan Aset Tingkat kepemilikan aset yaitu jumlah barang berharga yang dimiliki responden baik anggota KTH maupun non anggota KTH. Terdiri dari, kondisi tempat tinggal, kepemilikan kendaraan, kepemilikan barang elektronik, kepemilikan hewan, dan kepemilikan tabungan Kondisi Tempat Tinggal Responden Kondisi tempat tinggal responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden yang memiliki tempat tinggal permanen (atap genteng, dinding tembok, dan lantai berkeramik); (2) kategori sedang, responden yang memiliki rumah semi permanen (atap seng, dinding triplek, lantai semen atau tanah); dan (3) kategori rendah, responden yang memiliki tempat tinggal gubuk.
51
Tabel 20 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan tempat tinggal sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH Setelah ada KTH Kepemilikan KTH Non KTH KTH Non KTH tempat tinggal n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
14 46.67 9 30 7 23.33 30 100
20 66.67 3 10 7 23.33 30 100
6 12 12 30
20 40 40 100
17 56.67 6 20 7 23.33 30 100
Tabel 20 menunjukkan bahwa kondisi tempat tinggal responden mengalami perubahan dari sebelum dan setelah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada anggota KTH kategori rendah berkurang dari 46.67% menjadi 20%, kategori sedang meningkat dari 30% menjadi 40%, dan kategori tinggi juga mengalami peningkatan yaitu dari 23.33% menjadi 40%. Perubahan yang terjadi pada non anggota KTH yaitu kategori rendah berkurang dari 66.67% menjadi 56.67%, kategori sedang meningkat dari 10% menjadi 20%, dan kategori tinggi tetap sama yaitu dari 23.33%. Sebagian responden mengaku merasa terbantu dengan adanya kelembagaan lokal dan perubahan tata guna lahan yang dilakukannya. Hasil pertanian mereka saat ini sedikit demi sedikit dapat dikumpulkan untuk memperbaiki rumah mereka. Data tersebut didukung oleh pernyataan ketua kelompok tani Karya Muda II sebagai berikut. “...alhamdulillah neng, abdi kaasup salah sahiji anu boga kamar cai di jero imah, imah oge permanen lah. Enya, tina hasil tani. Baheula mah boro-boro keur nyieun imah, pare huma oge mineng gagal panen, loba hama bagong neng, paling karek lima tahunan imah ieu mah, abdi ge baheula mah imahna gubuk, lamun ayeuna mah tina panen cengkeh oge abdi mah saeutik-saetik dikumpulkeun bisa jadi imah kawas kieu......(alhamdulillah, saya termasuk salah satu yang punya kamar mandi di dalam rumah, rumah juga permanen. Iya, dari hasil tani. Dulu mah jangankan buat bikin rumah, padi gogo aja sering gagal panen, banyak hama babi neng, paling baru 5 tahun rumah ini mah, sama saya dulu juga rumahnya gubuk, kalo sekarang mah dari panen cengkeh saya mah lumayan lah sedikit sedikit mah dikumpul jadi rumah kayak begini)” (BRN, 54 tahun) Bapak BRN sekarang memiliki kondisi rumah yang sudah permanen. Beliau mengakui bahwa rumah beliau dulunya gubuk. Adanya kelmbagaan dan perubahan tata guna lahan yang dia lakukan serta adanya penyuluhan di terhadap KTH membuat Bapak BRN bisa mengumpulkan uang untuk untuk memperbaiki rumah secara bertahap. Hal serupa dituturkan oleh Bapak SYN (60 tahun). Meskipun tempat tinggal beliau masih semi permanen, beliau mengaku uang hasil
52
pertaniannya dapat membantu untuk memperbaiki rumah beliau sedikit demi sedikit, dari yang dulunya gubuk menjadi seperti sekarang ini. Kepemilikan Kendaraan Kepemilikan kendaraan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden memiliki kendaraan bermotor lebih dari dua atau memiliki mobil;(2) kategori sedang, responden memiliki satu unit motor dan sepeda; dan (3) kategori rendah, responden yang memiliki sepeda atau bahkan tidak memiliki satu pun kendaraan. Tabel 21 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan kendaraan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH KTH Non KTH
Kepemilikan Kendaraan Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
Setelah ada KTH KTH Non KTH
n
%
n
%
n
%
n
%
21 7 2 30
70 23.33 6.67 100
20 6 4 30
66.67 20 13.33 100.00
11 12 7 30
36.67 40 23.33 100
14 16 4 30
46.67 53.33 13.33 100
Tabel 21 menunjukkan ada perubahan kepemilikan lahan sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 70% menjadi 36.67%, kategori sedang mengalami penambahan yaitu dari 23.33% menjadi 40%, dan kategori tinggi berubah dari 6.67% menjadi 23.33%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan yang cukup signifikan yaitu pada kategori rendah mengalami penururnan dari 66.67% menjadi 46.67%, kategori sedang meningkat dari 20% menjadi 53.33%, dan tinggi bertambah dari 6,67% menjadi 13.33%. Dapat dilihat bahwa jumlah masyarakat yang memiliki kendaraan bertambah, faktor penyebabnya antara lain: (1) akses jalan menuju desa sudah di aspal sehingga bisa dilalui oleh kendaraan; dan (2) pembelian kendaraan bisa dilakukan secara kredit tanpa perlu memberi uang pokok, dan sekarang masyarakat merasa percaya diri dan mampu menyicil dari hasil pertanian. Kepemilikan kendaraan ini sebagian besar masyarakat statusnya masih cicilan, oleh karena itu kendaraan yang mereka miliki jarang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dikhawatirkan kendaraan rusak sebelum pembayaran lunas. Kepemilikan kendaraan masyarakat tergolong rendah, hanya 20% dari masyarakat yang telah mampu melunasi biaya cicilan kendaraannya dan status kendaraan tersebut sebagai hak milik.
53
Kepemilikan Barang Elektronik Kepemilikan barang elektronik responden yaitu (komputer, lemari es, televisi, radio, Digital Video Disc (DVD) atau Video Compact Disk (VCD), kipas angin, telepon/hp, setrika, rice cooker, mesin cuci) dan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden memiliki barang elektronik lebih dari lima barang elektronik; (2) kategori sedang, responden memiliki 3-5 jenis barang elektronik; dan (3) kategori rendah, responden yang memiliki barang elektronik kurang dari tiga atau tidak memiliki sama sekali. Tabel 22 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda IIdi Desa Citaman 2013 Kepemilikan Barang elektronik Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
Sebelum ada KTH KTH Non KTH n 14 7 2 30
% 46.67 23.33 6.67 100
n 21 9 0 30
% 70 10 0 100
Setelah ada KTH KTH Non KTH n 3 18 9 30
% 10 60 30 100
n 13 14 3 30
% 43.33 46.67 10 100
Tabel 22 menunjukkan ada perubahan kepemilikan barang elektronik sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 46.67% menjadi 10%, kategori sedang mengalami penambahan yaitu dari 23.33% menjadi 60%, dan kategori tinggi berubah dari 6.67% menjadi 30%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan yang cukup berarti yaitu pada kategori rendah terjadi penurunan dari 70% menjadi 43.33%, kategori sedang meningkat dari 10% menjadi 46.67%, dan kategori tinggi juga meningkat dari 0% menjadi 10%. Dapat dilihat bahwa jumlah masyarakat yang memiliki barang elektronik terusbertambah , hampir 100% dari masyarakat memiliki barang elektronik meskipun cukup banyak yang berada pada kategori rendah. Jenis barang elektronik yang dimiliki oleh responden yaitu hand phone, meskipun jaringan tidak stabil alasan kepemilikan barang elektronik ini dirasakan sangat perlu apalagi jika ada informasi yang mendadak, lebih mudah untuk mengumpulkan warga, dan seiring dengan pasar bebas harga handphone bisa dijangkau dengan uang Rp. 100.000,faktor penyebabnya antara lain: (1) listrik sudah masuk desa; (2) pembelian barang elektronik bisa dilakukan secara kredit, dan (3) terpengaruh oleh tetangganya, salah satu karakteristik masyarakat desa ada yang disebut “panasbaranan” artinya tidak bisa melihat tetangganya maju ada unsur kompetisi saingan satu sama lain. Perubahan ini memiliki dua dampak, yaitu dampak dari sisi positif yang bisa dilihat yaitu masyarakat bertambah wawasan dan mudah dalam akses informasi, sedangkan negatifnya masyarakat jadi sangat konsumtif.
54
Kepemilikan Hewan Ternak Kepemilikan hewan ternak responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden yang memiliki hewan ternak kambing lebih dari lima ekor/ memiliki sapi atau kerbau; (2) kategori sedang, responden yang memiliki kambing kurang dari lima ekor; dan (3) kategori rendah, responden yang memiliki hewan ternak seperti ayam/bebek atau tidak memiliki sama sekali. Tabel 23
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan hewan ternak sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH KTH Non KTH
Kepemilikan Hewan ternak n Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
22 5 3 30
% 73.33 16.67 0 100
n 18 10 2 30
Setelah ada KTH KTH Non KTH
%
n
%
n
%
60 33.33 27 100
8 10 12 30
27 33.33 40 100
12 16 2 30
56.67 53.33 27 100
Tabel 23 menunjukkan ada perubahan kepemilikan hewan ternak sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 73.33% menjadi 27%, kategori sedang mengalami penambahan yaitu dari 16.67% menjadi 33.33%, dan kategori tinggi berubah dari 0% menjadi 40%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan yaitu pada kategori rendah terjadi penurunan dari 60% menjadi 56.67%, kategori sedang meningkat dari 33.33% menjadi 53.33%, dan kategori tinggi tetap sebanyak 2%. Masyarakat mayoritas memiliki hewan ternak meskipun mayoritas ada pada kategori sedang, yaitu ternak kambing. Anggota KTH mengalami perubahan yang cukup berarti, dalam kepemilikan hewan ternak pada KTH mulanya merupakan bantuan kelompok dari pemerintah desa sebanyak lima ekor, seiring berjalannya waktu kambing terus di kembang biakan sehingga setiap anggota mendapat jatah satu ekor kambing yang kemudian diternakkan terus menerus sehingga responden yang memiliki kambing cukup banyak ditukar dengan sapi atau kerbau. Anggota KTH yang memiliki ternak pada kategori rendah yaitu jatah kambing dari kelompok biasanya mereka jual untuk kebutuhan rumah tangga yang lain. Sedangkan kepemilikan hewan ternak seperti ayam/bebek rata-rata setiap rumah memiliki meskipun hanya dua atau tiga ekor saja. Pada non anggota KTH, pada mulanya maro bati (mengurus kambing milik anggota KTH, ketika beranak maka jumlah anak dibagi dua untuk pengurur dan pemilik). Oleh karena itu, dalam hal ini kelembagaan memiliki peranan penting khususnya dalam memberdayakan masyarakat supaya lebih mandiri.
55
Kepemilikan Tabungan Kepemilikan tabungan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden yang menginvestasikan uangnya pada emas dan tabungan uang; (2) kategori sedang, responden yang menginvestasikan uangnya pada perhiasan (emas); dan (3) kategori rendah, responden yang tidak memiliki investasi baik berupa tabungan uang atau pun perhiasan. Tabel 24 Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan tabungan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH KTH Non KTH
Kepemilikan Tabungan n Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
18 10 2 30
% 60 33.33 6.67 100
n 25 5 0 30
Setelah ada KTH KTH Non KTH
%
n
%
n
%
83.33 16.67 23.33 100
8 14 8 30
26.67 46.67 26.67 100
22 8 0 30
73.33 26.67 0 100
Tabel 24 menunjukkan ada perubahan kepemilikan tabungan sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan yang terjadi pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 60% menjadi 26.67% artinya semakin sedikit orang yang tidak memiliki tabungan, kategori sedang mengalami penambahan yaitu dari 33.33% menjadi 46.67%, dan kategori tinggi berubah dari 6.67% menjadi 26.67%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan yaitu pada kategori rendah terjadi penurunan dari 83.33% menjadi 73.33%, kategori sedang meningkat dari 16.67% menjadi 26.67%, dan kategori sebanyak 0%. Masyarakat sudah mampu menyisihkan uang sisa dari kebutuhan sehari-harinya. Kecenderungan orang menabung ada kemungkinan, antara lain: (1) dia menabung namun menekan biaya konsumtif/konsumsi rendah, lebih berorientasi pada kebutuhan jangka panjang, dan (2) dia tidak menabung namun biaya konsumsi tinggi, arinya dia lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek. Dalam penelitian ini, kemampuan menabung terjadi karena tingkat pendapatannya sudah mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari bahkan lebih. Kepemilikan tabungan masyarakat yang berupa uang, disimpan di koperasi desa, sedangkan kepemilikan perhiasan (emas) yaitu perhiasan yang digunakan sehari-hari seperti anting, kalung, cincin, dan gelang. Investasi ini disiasati masyarakat untuk menghadapi masa paceklik atau turunnya hasil pertanian, biasanya terjadi pada bulan JanuariMaret. Namun ada juga beberapa responden yang menabung berupa menyimpan hasil pertaniannya di warung, ketika memiliki kebutuhan rumah tangga khususnya kebutuhan dapur maka dia akan mengambil barang dari warung, aktivitas ini lebih tepat disebut barter meskipun dalam waktu panjang.
56
Tingkat Pendapatan Responden Tingkat pendapatan responden digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu: (1) kategori tinggi, responden memiliki pendapatan > Rp. 30.000.000,- per tahun; (2) kategori sedang, responden yang memiliki responden di antara Rp.15.000.000,sampai Rp. 30.000.000,- per tahun; dan (3) kategori rendah, responden yang memiliki pendapatan tahun jika < Rp. 15.000.000,- per tahun. Tabel 25 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah adanya KTH Karya Muda II di Desa Citaman 2013 Sebelum ada KTH Setelah ada KTH Tingkat KTH Non KTH KTH Non KTH pendapatan n % n % n % n % Rendah Sedang Tinggi Jumlah Total
21 9 0 30
70 30 0 100
27 3 0 30
90 10 0 100
7 18 5 30
23.33 60 16.67 100
14 46.67 15 50 1 3.33 30 100
Tabel 25 menunjukkan ada perubahan tingkat pendapatan sebelum dan sesudah adanya kelembagaan. Perubahan pada anggota KTH yaitu adanya penurunan pada kategori rendah yaitu dari 70% menjadi 23.33%, kategori sedang dari 30% meningkat menjadi 60%, dan kategori tinggi berubah dari 0% menjadi 16.67%. Non anggota KTH juga mengalami perubahan, pada kategori rendah menurun dari 10% berubah menjadi 50%, kategori sedang dari10% menjadi 40%, dan kategori tinggi juga dari 0% menjadi 3.33%. Tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh hasil dari jenis tanaman yang dimiliki oleh responden. Jenis tanaman yang ditanam oleh anggota KTH yaitu 70% tanaman buah-buahan seperti (durian, cengkeh, rambutan, melinjo, petai, dan jengkol), dan 30% tanaman kayukayu keras seperti kayu jati dan mindi. Sedangkan non anggota KTH 60% menanam kayu-kayuan cepat panen seperti albasiah dan buah-buahan 40%. Setelah dibandingan antara pola tanam kedua responden, pola tanam yang dilakukan anggota KTH jauh lebih menguntungkan dibanding yang pola tanam non anggota KTH, oleh karena itu non anggota KTH sudah mulai merubah pola tanamnya mengikuti pola tanam anggota KTH, namun ketika ditanyakan perubahannya mereka belum bisa menjawab karena tanaman buahnya masih sangat kecil-kecil. Disamping itu, tambahan pendapatan diperoleh dari usaha tani non farm, seperti: kuli angkut batu, pengrajin gula aren, pengrajin golok, pedagang kain, pedagang kebutuhan dapur/warung, penjaga sekolah, aparat desa, dan guru honorer. Selain itu juga tambahan pendapatan dari usaha tani off farm seperti buruh tani dan tengkulak. Hasil pertanian on farm masyarakat di luas lahan 1 ha, rata-rata sebagai berikut:
57
Tabel 26 Jumlah pendapatan masyarakat dari hasil tani on farm untuk luas tanah satu hektar No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Jenis Tanaman Cengkeh Petai Jengkol Durian Melinjo daun Melinjo buah Rambutan Pisang Kopi Nangka Kayukayuan: Mindi Sobsis Jati Albasiah Tasuk
Waktu Panen
Hasil
Harga
1 kali/tahun 1 kali/tahun 1 kali/tahun 1 kali/tahun 96kali/tahun
100 kg 30 ikat 25 kg 500 butir 960 kg
Rp. 115.000,Rp. 20.000,Rp. 20.000,Rp. 5.000,Rp. 2.000,-
1 kali/tahun
1000kg
Rp.
1 kali/tahun 2 kali/tahun 1kali/ tahun 1 kali/tahun
200 kg 200 tandan 500 kg 200 kg Tergantung kebutuhan, karena kayu yang ditebang hanya kayu yang terkena penyakit/ ambruk terkena angin.
Rp. 200.000,Rp. 5.000,Rp. 15.000,Rp. 1.000,-
1kali/tahun
Hasil Panen/tahun Rp. 11.500.000,Rp. 600.000,Rp. 500.000,Rp. 2.500.000,Rp. 1.920.000,-
6.000,- Rp. 6.000.000,Rp. 4.000.000,Rp. 1.000.000,Rp. 7.500.000,Rp. 200.000,-
Rp.
2.000.000,-
Rp. 33.720.000,Jumlah Total
58
59
HUBUNGAN PERAN KELEMBAGAAN LOKAL TERHADAP PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKATDI HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI Pembentukan gerakan masyarakat kelompok tani hutan (KTH) Karya Muda II bukan hanya sebagai wadah aspirasi masyarakat namun sebagai langkah awal untuk mengatasi kerusakan DAS yang semakin parah dan bersama-sama melestarikan, serta menjaga ekosistem DAS. Dengan adanya kelembagaan KTH Karya Muda II diharapkan petani memiliki pedoman, acuan, bertambahnya wawasan, dan keterampilan dalam bertani. Asumsinya adalah dengan adanya kelembagaan lokal KTH Karya Muda II masyarakat lebih bersemangat dalam menggarap tanahnya dengan bekal dan pengetahuan baru yang di dapatkan dari kelembagaan. Jika peran kelembagaan KTH Karya Muda II ini optimal di masyarakat khususnya bagi anggota KTH maka penggunaan tata guna lahan akan semakin positif artinya masyarakat mulai seimbang antara keinginan pemenuhan ekonomi dengan penjagaan kelestarian ekologi. Pengurus Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) memperkuat dengan kalimat sebagai berikut: “.......rubahna kagunaaan lahan masyarakat tina ladang jadi talun , atawa ladang jadi kebon campur ngabantu pisan perhutan dina ngajagi kalestarian hutan anu jeung ngabalaikeun deui seperti fungsina, tur keur DAS sorangan alus pisan ngarah cai aya terus tur matuh....(perubahan tata guna lahan masyarakat dari ladang menjadi talun, atau ladang menjadi kebun campuran sangat membantu perhutani dalam menjaga kelestarian hutan dan mengembalikan hutan sesuai fungsinya, serta bagi DAS sendiri sangat bagus supaya air yang ada tetap stabil”(UTG, 52 tahun). Perubahan tata guna lahan ini diharapkan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Asumsinya, jika tata guna lahan masyarakat semakin positif maka tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi. Selain itu, dilihat apakah peran kelembagaan lokal ini berperan langsung atau memiliki hubungan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Asumsinya, semakin optimal peran kelembagaan maka tingkat kesejahteraan masyarakat tinggi atau meningkat. Penelitian yang dilakukan di Desa Citaman ini mencoba mencari hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan, hubungan perubahan tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat, serta peran kelembagaan lokal dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Unit analisis dari penelitian ini adalah dua karakter responden yang berbeda untuk dibandingkan, yaitu responden yang terlibat dalam anggota KTH Karya Muda II dan responden yang tidak terlibat dalam KTH Karya Muda II. Penelitian ini menggunakan uji statistik analisis Rank Spearman. Hipotesis di atas akan diuji dengan melihat nilai signifikansi dari hasil pengujian dengan analisis Rank Spearman. Kriteria pengujian hipotesis dengan uji statistik korelasi Rank Spearman adalah jika nilai signifikansi (p) >0.05 maka konsep/variabel tidak memiliki hubungan, dan jika nilai signifikansi (p) <0.05 konsep/variable memiliki hubungan. Penjelasan lebih jauh mengenai hubungan masing-masing aspek akan dijabarkan sebagai berikut
60
Tabel 27 Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan Perubahan Tata Guna Lahan Peran Kelembagaan Lokal
Anggota KTH Karya Muda II s P 0.573 0.001
Non Anggota KTH Karya Muda II P s 0.060
0.347
Hasil uji korelasi statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa peran kelembagaan lokal dan perubahan tata guna lahan pada anggota KTH Karya Muda II memiliki nilai signifikan (p) = 0.001 dan ( s) = 0.573. Karena nilai signifikasi < 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan memiliki hubungan, dan hubungannya sedang atau cukup berarti. Sedangkan pada hasil uji korelasi Rank Spearman data non anggota KTH Karya Muda II menunjukkan nilai signifikan (p) = 0.060 dan ( s) = 0.347. Karena nilai signifikasi > 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan non anggota KTH tidak memiliki hubungan yang signifikan. Tabel 28 Hubungan antara peran kelembagaan lokal dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Tingkat Kesejahteraan Anggota KTH Karya Non Anggota KTH Peran Muda II Karya Muda II Kelembagaan P s P s Lokal 0.387 0.035 0.673 -0.080 Hasil uji korelasi statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa peran kelembagaan lokal dan tingkat kesejahteraan pada anggota KTH Karya Muda II memiliki nilai signifikan (p) = 0,035 dan ( s) = 0.387. Karena nilai signifikasi < 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan memiliki hubungan, namun hubungannya lemah/rendah. Sedangkan pada hasil uji korelasi Rank Spearman data non anggota KTH Karya Muda II menunjukkan nilai signifikan (p) = 0.673 dan ( s) = -0.080. Karena nilai signifikasi > 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan non anggota KTH tidak memiliki hubungan yang signifikan.
61
Tabel 29 Hubungan antara tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan masyarakat Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Tata Guna Lahan
Anggota KTH Karya Muda II s P 0.006
0.486
Non Anggota KTH Karya Muda II P s 0.752
0.067
Hasil uji korelasi statistik Rank Spearman menunjukkan bahwa tata guna lahan dan tingkat kesejahteraan pada anggota KTH Karya Muda II memiliki nilai signifikan (p) = 0.006 dan ( s) = 0.486. Karena nilai signifikasi < 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan memiliki hubungan, namun hubungannya sedang atau cukup berarti. Sedangkan pada hasil uji korelasi Rank Spearman data non anggota KTH Karya Muda II menunjukkan nilai signifikan (p) = 0.752 dan ( s) = 0.067. Karena nilai signifikasi > 0.05 maka peran kelembagaan lokal dengan perubahan tata guna lahan non anggota KTH tidak memiliki hubungan yang signifikan.
62
63
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Atas dasar data yang terhimpun, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan berikut: 1. Peran kelembagaan lokal KTH Karya Muda II di Desa Citaman terhadap perubahan penggunaan lahan masyarakat sudah terlihat secara nyata. Masyarakat mulai merubah cara penggunaan lahannya dan berupaya mengembalikan hutan sesuai dengan fungsinya. Perubahan yang terjadi yaitu perubahan penggunaan lahan dari ladang menjadi kebun campuran dan talun. KTH berperan sebagai: (1) pedoman pada anggota masyarakat bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut pemenuhan kebutuhan masyarakat, (2) menjaga keutuhan, dan (3) memberi pegangan kepada masyarakat dalam mengadakan kontrol sosial. 2. Peran kelembagaan lokal KTH Karya muda II di Desa Citaman terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat sudah cukup terlihat dan dirasakan masyarakat meskipun belum begitu signifikan. Tingkat kesejahteraan masyarakat diukur oleh beberapa indikator diantaranya kepemilikan aset, luas lahan, kemampuan membayar buruh, kemampuan menyekolahkan anak, kemampuan membayar buruh, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi lokal, dan tingkat pendapatan. Peningkatan kesejahteraan dengan adanya KTH pada anggota KTH sudah terlihat sangat signifikan semua aspek pada tingkat kesejahteraan meningkat, yang paling khusus dan yang belum begitu terlihat dari non anggota KTH adalah kemampuan menyekolahkan anak, kema mpuan akses kesehatan, dan keterlibatan pada organisasi lokal. Peningkatan pada ketiga aspek ini karena masyarakat anggota KTH mulai terdedah informasi, bertambah wawasan, dan dorongan dari pihak luar (mahasiswa, peneliti, wartawan) dan pembinaan dari pemerintah (desa, BPDAS, Perhutani dan swasta (LSM). 3. Perubahan penggunaan lahan masyarakat di Desa Citaman terhadap tingkat kesejahteraan terlihat signifikan khususnya pada tingkat pendapatan dan kepemilikan aset. Perubahan penggunaan lahan ini, membuat masyarakat memperoleh hasil pertanian yang meningkat, masyarakat tidak hanya mampu memenuhi kebutuhannya untuk subsistensinya tapi juga masyarakat mampu menjual hasil pertaniannya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga lainnya.
64
Saran Saran yang dapat diberikan sesuai dengan hasil yang didapat dari penelitian adalah: 1. Pemerintah desa seharusnya mendukung penuh kegiatan kelembagaan ini, bukan hanya sebatas mempermudah dalam pembuatan surat menyurat seperti yang di ungkapkan responden tetapi juga memberikan bantuan berupa materil untuk mengembangkan kegiatan dan membuat usaha bersama yang di kelola oleh kelompok. 2. Kelembagaan lokal KTH Karya muda II telah meraih beberapa prestasi dalam penyelamatan hutan dan penghijauan baik tingkat kabupaten maupun provinsi, namun nampaknya baru sebatas pengakuan saja tidak ada perhatian khusus yang diberikan oleh pemerintah kabupaten dan provinsi. Oleh karena itu, kegiatan seperti ini seharusnya dibina agar terus berkelanjutan. 3. Masyarakat Desa Citaman mencapai 500 kepala keluarga (KK) namun hanya 43 kepala keluarga yang bergabung dengan kelembagaan. Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan secara intensif untuk membuka pandangan dan wawasan masyarakat Desa Citaman tentang pentingnya berorganisasi/mengikuti kelembagaan.
65
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta (ID): BPS. Budi. 1999. Aparatur Pemerintah yang Profesional dalam Perencanaan Pembangunan: Dapatkah Diciptakan?. Edisi kedua. Jakarta(ID): Bappenas. [Dephut] Departemen Kehutanan. Kriteria Lahan Kritis yang Perlu Dilakukan Rehabilitasi Hutan. [Internet]. [diunduh tanggal 24 Mei 2013]. Dapat diunduh dari:http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/8809/Bab%202 %202008dhe.pdf?sequence=8 Durkheim E. 1964. The Rule of Sosiological Method. New York (USA): The Free Press. Hidayat. 2011. Politik Agraria Transformatif: Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria pada Komunitas Petani si DAS Cidanau Kabupaten Serang Provinsi Banten. [Disertasi]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jayadinata J T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan, dan Wilayah. Edisi Ketiga. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung. Kivell P.1993. Land and The City: Patterns and Processes of Urban Change. London (UK): Raudledge. Koentjaraningrat. 1964. Pengantar Antropologi. Cetakan Kedua. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Hal. 113. Kustiawan I. 1997. Konversi Lahan Pertanian di Pantai Utara dalam Prisma No 1. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES. Maharani T. 2006. Analisis Pendapatan dan Tingkat Transmigrasi di Unit Pemukiman Transmigrasi Provinsi lampung. [Skripsi]. Bogor (ID). Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nasdian FT. 2003. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy. (Project Working Paper Series No. 4). Bogor (ID): Pusat Studi Pembangunan-IPB. Notohadikusumo. 2005.Implikasi Etika dalam Kebijakan Pembangunan Kawasan. [Internet]. [Diunduh tanggal 21 Mei 2013]. Dapat diunduh dari: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/JG/article/download/87/88
66
Pakpahan. 1993. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Rusli S. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta (ID): PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Sawidak M. 1985. Analisis Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Petani Transmigrasi di Delta Upang, Sumatera Utara. [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Scott. 1989. The Development of Indigenous Knowledge: A New Applied Antrophology” Current Antrophology. Vol 39, No.2, 1989. Scott. 2008. Institutional and Organizations, Idea and Interest. Los Angeles (USA): Sage Publication. Sihaloho M. 2004. Konversi lahan pertanian dan perubahan struktur agraria. [Tesis]. Bogor (ID): Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Singarimbun M. 1989. Metode dan Proses Penelitian. Dalam: Singarimbun M dan Effendi S, Editor. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES. Hal. 3-15. Sitorus MTF. 2002. Lingkup Agraria. Dalam: Suhendar E, Sunito S, Sitorus MTF, Satria A, Agusta I, Dharmawan AH, Editor. Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. Bandung (ID): Yayasan AKATIGA. Hal. 25-40. Soekanto S. 1990. Sosiologi: Suara Pengantar. Jakarta (ID): Rajawali. Suharto E. 2006. Peta Dinamika Welfare Statedi Beberapa Negara: Pelajaran Apa yang Bisa Dipetik untuk Membangun Indonesia?. [Internet]. [Dikutip 03 Mei 2011]. Dapat Diunduh Dari:Http://://Www.Policy.Hu/Suharto/Naskah%252520+pdf/Ugm+Welfare +State.Pdf&spell=1&sa=X&ei=uvSiUZyFCoKMrgfXloCIAQ&sqi=2&ved =0CCcQBSgA&biw=1280&bih=681 Syahyuti. 2005. Metodologi Studi Agraria: Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Bogor (ID): Sajogjo Institute. Tjondronegoro SMP. 1998. Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. Bandung (ID): AKATIGA. Triadi D. 2008. The Management Lecture Resume. [Internet]. [Dikutip Tanggal 26 Februari 2013]. Halaman 24. Dapat Diunduh Dari: Http://Eprints.Undip.Ac.Id/View/Type/Thesis.Html#Group_T Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook With Cases. Conecticut (AS): Kumarian Press.
67
Utomo M, Eddy Rifai, Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan Alih Fungsi Lahan. Lampung (ID): Universitas Lampung. Wiradi G. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria, dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (Ed.), Seri Pembangunan Pedesaan: Dua Abad Penguasaan Tanah (Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa). Jakarta (ID): PT. Gramedia. Wiradi G. 2008. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria Dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. Penyunting: Soediono M.P. Tjondronegoro danGunawan Wiradi. Jakarta (ID): Gramedia. Yusuf M, Purwandari H, dan Sihaloho M. 2009. Pembentukan Modal, Ekstraksi Surplus dan Penciptaan Kemiskinan di Pertanian Dataran Tinggi (Studi Kasus Dua Desa di Garut). Dalam: Savitri LA, Shohibuddin M, Saluang S, editor. Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problema Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta-Bogor (ID): STPN Press_Sajogjo Institut. Hlm 10-50.
LAMPIRAN Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Juni Juli Februari Maret April Mei Rencana No Kegiatan 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 Survey Lokasi 2 Penyusunan Proposal 3 Kolokium 4 Perbaikan proposal 5 Penjajagan Lapang 6 Pengumpulan Data 7 Pengolahan Data dan Penulisan Skripsi 8 Konsultasi dan Perbaikan Skripsi 9 Ujian Skripsi 10 Perbaikan Skripsi 11 Perbanyakan
69
Lampiran 2 Sketsa Desa Citaman, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten
Sumber: Statistik Daerah Kecamatan Citaman 2012
70
Lampiran 3 Sketsa lokasi lahan milik kelompok tani hutan Karya Muda II
Sumber: Dokumentasi KTH Karya Muda II 2012
71
Lampiran 4 Kerangka sample rumah tangga anggota KTH Karya Muda II dan non Karya Muda II Anggota KTH Karya muda II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
SKR PRD ZBD SYN MST ASR UND PNT MTR RHN SKM ANI SDH SWR ARM SDW JND SHN AMR BHN MKN KNR MHY SKN ASR SRI SKD MNR AMG ATM SNI WWN ANN ALM SBL
36 37 38 39 40 41 42 43
SRT SGD ARS SBR JMR JFR SPI MHD
72
Lampiran 5 Kerangka Sampling rumah tangga yang tidak masuk kelompok tani Karya Muda II ( Warga Desa Ciomas) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
ANT SRI ZBD SWJ TIA MST WLO PNT CPG KLL PRM ANI GPH SWR DDT IMB JND SNR AMR ACG ARF SMR BND SKN CKE WRR PDG MNR AMG UMN AFF WWN DDI BLG RDA
36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
SHB TPR ARS BBT IBR JFR SLY SPJ SMG BTG IRW NRD KKO HSN ULN JSM LKM AMB YSF MNS BBG TPL AGS WJI BDI OJN KSG AML ATG UCL UNL LWK JDI HRT SNT
71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105
ADR WLR JII LEO HAS OKI TGM JRR SUN LWH BSR PJR END PTR CMG VRS DYT ANH TJL ALI ODG UTG ZUL ABG SNM SGG AMO MYL GNW LTF BUD TNA ASD ABK AMI
106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140
SMS EDI NRL SYT RNL YOG LTP SDR AND SNN BHR RBT ABD SPL NAS SND AHD WJU BHD SRP JPR ATK UMA JMY BLT RDI KHR RNA NSR OKP FER ACO BDN HMB RIO
141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175
TIO BAH AI UDN SMD SYR AGB SAM BKK HOS RST ABS PJH WLJ ANJ FTW ALW ALO SJN SRD DLK YKP HSN TLM RYN ABD GGN ZLK RSY NNG ASP HDT JJG DDN JWR
73
177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 201 203 204 205 206 207 208 209 210 211
SDT ADW WBW ANR ANS WR GND FDN MSH SSM PLM ANN GDI SRT DDT IMB JND SNR AMR ACG ARF SMR BND SKN CKE WRR PDG MNR AMG UMN AFF WWN DDI BLG RDA
213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247
SHB TPR ARS BBT IBR JFR SLY SPJ SMG BTG IRW NRD KKO HSN ULN JSM LKM AMB YSF MNS BBG TPL AGS WJI BDI OJN KSG AML ATG UCL UNL LWK JDI HRT SNT
248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 23 274 275 276 277 278 279 280 281 282
ADR WLR JII LEO HAS OKI TGM JRR SUN LWH BSR PJR END PTR CMG VRS DYT ANH TJL ALI ODG UTG ZUL ABG SNM SGG AMO MYL GNW LTF BUD TNA ASD ABK AMI
283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317
SMS EDI NRL SYT RNL YOG LTP SDR AND SNN BHR RBT ABD SPL NAS SND AHD WJU BHD SRP JPR ATK UMA JMY BLT RDI KHR RNA NSR OKP FER ACO BDN HMB RIO
318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352
TIO BAH AI UDN SMD SYR AGB SAM BKK HOS RST ABS PJH WLJ ANJ FTW ALW ALO SJN SRD DLK YKP GNJ USE YSF TT ULH UCK DMN ABS SND IRF RZL AGN BDR
74
353 354 353 356 357 358
ANT SRI ZBD SWJ TIA MST
359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390
WLO PNT CPG KLL PRM ANI GPH SWR DDT IMB JND SNR AMR ACG ARF SMR BND SKN CKE WRR PDG MNR AMG UMN AFF WWN DDI BLG RDA SHB TPR ARS
391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 420 421 422 423 424 425
BBT IBR JFR SLY SPJ SMG
426 427 428 429 430 431
LEO HAS OKI TGM JRR SUN
BTG IRW NRD KKO HSN ULN JSM LKM AMB YSF MNS BBG TPL AGS WJI BDI OJN KSG AML ATG UCL UNL LWK JDI HRT SNT JDI HRT SNT ADR WLR JII
432 433 434 435 436 437 438 439 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463 464 465 467 468 469 470 471
LWH BSR PJR END PTR CMG VRS DYT ANH TJL ALI ODG UTG ZUL ABG SNM SGG AMO MYL GNW LTF BUD TNA ASD ABK AMI SMS EDI NRL
75
Lampiran 6 Hasil uji korelasi Rank Sperman
Korelasi antara Perubahan Tata Guna Lahan dan Tingkat kesejahteraan Masyarakat Nonparametic Correlation Correlation Tata guna lahan Spearman's rho
tataguna lahan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N tingkat Correlation kesejahteraan Coefficient Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Tingkat kesejahteraan Masyarakat
1,000
,486(**)
. 30 ,486(** ) ,006 30
,006 30 1,000 . 30
Korelasi Peran Kelembagaan Lokal Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nonparametic Correlation Correlation Tingkat Kesejaht eraan Masyara kat
Peran kelembagaan lokal Spearman's rho
Peran kelembagaan Correlation lokal Coefficient Sig. (2-tailed) N Tingkat Correlation Kesejahteraan Coefficient Masyarakat Sig. (2-tailed) N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1,000
,387(*)
. 30
,035 30
,387(*)
1,000
,035 30
. 30
76
Nonparametic Correlation Korelasi Peran Kelembagaan Lokal terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Correlations Tata guna lahan
Peran kelembagaan lokal Spearman's rho
Peran kelembagaan Correlatio lokal n Coefficien t Sig. (2tailed) N Tatalah Correlatio n Coefficien t Sig. (2tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
1,000
,573(**)
.
,001
30
30
,573(**)
1,000
,001
.
30
30
Responden: Non Anggota KTH Karya Muda II
Nonparametic Correlation Correlations Peran kelembagaan lokal Spearman's rho
kategori peran
tataguna lahan
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tata guna lahan
1,000
,347
. 30
,060 30
,347
1,000
,060 30
. 30
77
Nonparametic Correlation Correlations Tata guna lahan Spearman's rho
Tata guna lahan Correlati on Coefficie nt Sig. (2tailed) N Tingkat Correlati Kesejahteraan on Masyarakat Coefficie nt Sig. (2tailed) N
Tingkat Kesejahteraan Masyarakat
1,000
,067
.
,725
30
30
,067
1,000
,725
.
30
30
Nonparametic Correlation Correlations Peran kelembagaa n lokal Spearman's rho
Peran kelembagaan Correlation lokal Coefficient Sig. (2-tailed) N Tata guna lahan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Tata guna lahan
1,000
-,080
. 30
,673 30
-,080
1,000
,673 30
. 30
78
Lampiran 7 Dokumentasi dan Penghargaan yang diperoleh oleh KTH Karya Muda II
Data Anggota KTH Karya Muda II
Buku Kas Harian KTH Karya Muda II
Laporan Pertanggung Jawaban Keuangan KTH Karya Muda II
Tata Tertib KTH Karya Muda II
Penghargaan Sebagai Kelompok Tani Pelestari Hutan
Juara I Kelompok Tani Berperestasi Tingkat Kabupaten Serang
79
Juara II Kelompok Tani Penghijauan Berprestasi Tingkat Provinsi Banten
Kenang-kenangan dalam Lokakarya Penyebarluasan Informasi Pengelolaan DAS
Kenang-kenangan Studi Banding DAS Leumau Provinsi Bengkulu
Kenang-Kenangan Studi Banding Forum DAS Sumatera Selatan
Sertifikat Pelatihan Karuna Tani SeProvinsi Jawa Barat Tahun 1985
Sertifikat Pelatihan Petani Kehutanan SeProvinsi Banten Tahun 2002
80
Lampiran 8 Dokumentasi Penelitian
Tempat tinggal warga (gubuk) Kondisi jalan menuju Desa Citaman
Tempat tinggal warga (semi permanen)
Tempat tinggal warga (permanen)
Beberapa orang warga beternak kerbau
Ternak kambing milik kelompok tani Karya Muda II
81
Sekolah dasar yang terletak di Desa Citaman
Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang terletak di Desa Citaman
Pemandian umum warga desa Citaman
Lahan non anggota KTH didominasi oleh kayu albasiah
Lahan anggota KTH didominasi oleh pohon melinjo dan buah-buahan seperti durian dan rambutan
Pandai golok produk budaya golok Ciomas yang terletak di Desa Citaman
82
Pengajian rutin yang diselenggarakan oleh KTH setiap malam juma’at
Kegiatan tambal sulam
Gotong royong perbaikan jalan
Wawancara responden
Pembibitan oleh kelompok tani Karya Muda II
Kamar mandi pribadi hanya ditutup dengan plastik setinggi setengah badan
83
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Ai Nurasiah Zakiah AR dilahirkan di Bandung pada tanggal 23 November 1991. Penulis merupakan anak ke-2 dari pasangan Ahmad Rosyidien dan Iis Badriyah. Penulis dididik dan dibesarkan dengan penuh kasih sayang di sebuah panti asuhan yang bernama PSAA fajar Harapan selama 6 tahun (2003-2009). Penulis menamatkan pendidikan SD Jatibaru 1 Bandung pada tahun 1997-2003, SMP Muhammadiyah 3 Bandung pada tahun 2003-2006, dan SMA Muhammadiyah 1 Bandung pada tahun 2006-2009. Pada tahun 2009, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan formal, penulis aktif dalam mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi, dan kepanitiaan. Selama perkuliahan, penulis aktif mengikuti organisasi Badan Eksekutif Mahasiwa Fema IPB pada tahun 2010-2011 sebagai sekretaris divisi POLKASTRAD (Politik Kajian Strategis dan Advokasi), sebagai anggota divisi Broadcasting di HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) pada tahun 2011-2012, pengurus organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Bandung sebagai Humas pada tahun 2009-2010, pengurus Playground Therater Institute pada tahun 2010-saat ini, anggota IMIKI (Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Indonesia) pada tahun 2012-2013. Penulis juga aktif dalam mengikuti kepanitian, diantaranya Writing Day 2011, Indonesian Expo 2011, Ecology Art Event 2011, pekan ekologi manusia 2011, Himasiera Olah Talenta 2012, Bogor Monolog Festival 2011, Tawuran Topeng 2011, dll. Penulis memiliki minat yang tinggi dalam bidang keilmuan, sosial, filsafat, seni rupa broadcasting dan psikologi. Selain itu, perhatian besar juga diarahkan dalam bidang musik dan teater. Diantara semua aktivitas sebagai mahasiswa, adalah saat apa yang di lihat, di dengar, dirasakan menjadi sentuhan pena untuk diredaksi menjadi sebuah karya yang murni, berani dan penuh kejujuran. Saat ini penulis bekerja sebagai penyiar radio, asisten praktikum MK. Komunikasi Kelompok, Master of Ceremony (MC) dan Moderator di berbagai acara.