1
Peran Kebermaknaan Kerja-Keluarga dan Keterikatan Kerja Dalam Memprediksi Intensi Keluar dari Organisasi
Intisari
Ayudia Indrawati IJK Sito Meiyanto
Pekerjaan, keluarga dan komunitas merupakan domain utama yang berada dalam kehidupan seseorang. Interaksi yang terjadi diantara keluarga dan komunitas memberikan efek timbal balik positif bagi pekerjaan yakni berpengaruh pada keinginan seseorang keluar dari pekerjaan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji apakah efek simultan pada kebermaknaan kerja-keluarga dan keterikatan kerja dapat memprediksi intensi keluar dari organisasi. Penelitian ini melibatkan sejumlah 112 (N=112) pekerja industri jasa yang menjadi partisipan menggunakan skala Work-Family Enrichment, Job Embeddedness, dan Turnover Intention. Keseluruhan tiga kuesioner terdiri dari 36 aitem dengan lima pilihan jawaban skala Likert melalui metode analisis regresi dua prediktor. Temuan dari penelitian ini mendukung hipotesis bahwa secara bersama-sama kebermaknaan kerja-keluarga dan keterikatan kerja dapat memprediksi intensi keluar dari organisasi secara signifikan (R=0,350; F=7,589; p<0,01). Hasil menunjukkan prediktor terbaik untuk memprediksi intensi keluar dari organisasi adalah kebermaknaan kerja-keluarga (β=-0,100; p<0,01) dengan arah negatif yang berarti semakin tinggi kebermaknaan kerja-keluarga yang ada pada individu maka semakin rendah keinginan untuk keluar dari organisasi. Sedangkan keterikatan kerja bukan merupakan prediktor untuk memprediksi intensi keluar dari organisasi karena memiliki hubungan yang yang signifikan terhadap intensi keluar dari organisasi (β=-0,026; p>0,01). Kata Kunci :
kebermaknaan kerja-keluarga, keterikatan kerja, intensi keluar dari organisasi
Survei yang dilakukan terhadap 600 perusahaan mengindikasikan sejumlah 81% memandang fenomena keluar dari organisasi yang disebut dengan turnover merupakan prioritas strategi bisnis yang penting (Griffieth, Hom & Gaertner, 2000). Jumlah ini mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebanyak 41%. Survei yang dilakukan oleh Watson Wyatt pada tahun 2007 menunjukkan persentase karyawan yang keluar pada beberapa jenis industri jasa dan produksi seperti perbankan yang tertinggi mencapai 6,3%-7,5%, sementara di industri lain 0,1%-0,74% (swa.co.id, 2008). Hal ini bermakna perusahaan sudah mulai memperhitungkan turnover sebagai satu permasalahan
2
yang menghambat dalam mencapai target perusahaan. Sebagai gambaran tingkat turnover secara sukarela di PT.XXF dari tahun 2010 hingga 2012 adalah sebagai berikut : Tabel 1 Jumlah Voluntary Turnover PT.XXF
2010
2011
2012
Jumlah Turnover
15
29
36
Jumlah Total Karyawan
2.740
2.880
3.152
Persentase
0,5%
1%
1,1%
Sumber : Dokumen PT.XXF Tahun 2010-2012
Employee Engagement Survey (EES) yang pernah dilakukan oleh PT.XXF pada tahun 2009 juga menunjukkan rendahnya tingkat keterikatan kayawan. Selain itu hasil obervasi dan wawancara menunjukkan adanya penurunan motivasi pada karyawan. Hal ini bermakna bahwa terdapat gejala-gejala meningkatnya intensi keluar dari organisasi di PT.XXF. Dalam mempertahankan eksistensinya organisasi harus memenuhi tuntuan hak-hak dan kebutuhan karyawan. Tuntutan terhadap perusahaan untuk memahami kehidupan keluarga dan pekerjaan adalah dengan memfasilitasi karyawan dengan beragam keterlibatan baik di organisasi sendiri maupun di komunitas. Harapannya adalah karyawan dapat memaknai maanfaat hubungan timbal balik yang terdapat pada pekerjaan dan keluarga. Adaptasi kebijakan dalam memahami kehidupan pekerjaan dan keluarga karyawan merupakan investasi jangka panjang bagi perusahaan agar karyawan dapat bertahan di tempat kerjanya. Pada kenyataannya beberapa perusahaan belum mampu menerapkan kebijakan yang memenuhi tuntutan dan hak-hak kebutuhan karyawan dalam memahami kehidupan keluarga dan pekerjaan sehingga pada akhirnya karyawan justru berkeinginan untuk keluar dari perusahaan.
3
Secara singkat, Mondy (2010) mendefinisikan tingkat turnover sebagai banyaknya karyawan baru yang dipekerjakan untuk mengganti karyawan yang keluar dari perusahaan. Price (2001) memaparkan pengertian turnover sebagai pergerakan individu yang melintasi batas keanggotaan organisasi. Konsep individu mengacu pada suatu organisasi sedangkan pergerakan dapat diinterpretasi sebagai keluarnya karyawan dari perusahaan. Turnover digunakan untuk mengukur efektifitas rekrutmen sehingga dipandang menjadi satu dari beberapa indikator performansi organisasi (Glebbeek & Bax, 2004). Sebelum terjadinya perilaku pengunduran diri secara sukarela, terlebih dahulu timbul keinginan atau niat pada individu untuk melakukan pengunduran diri secara sukarela. Intensi keluar dari organisasi dipandang sebagai kecenderungan atau niat karyawan untuk berhenti kerja dari pekerjaannya secara sukarela menurut pilihannya sendiri (Wickramasinghe & Wickramasinghe, 2011). Ketika terjadi perbedaan diantara harapan, kebutuhan dan nilai-nilai yang seharusnya dimiliki karyawan dengan keadaan sebenarnya, hal tersebut dapat memicu perilaku menarik diri dari organisasi. Social Exchange Theory merupakan teori yang menyatakan hubungan diantara dua orang lebih dimana mereka saling tergantung untuk mencapai hasil-hasil yang positif (Blau, 1964). Dapat disimpulkan dari sudut pandang perusahaan, intensi keluar dari organisasi merupakan variabel yang lebih penting daripada perilaku keluar itu sendiri. Artinya, hal ini disebabkan oleh adanya kesempatan perusahaan untuk dapat mengubah keinginan seseorang yang belum terwujud menjadi perilaku nyata untuk keluar dari perusahaan.
4
Keluarnya karyawan dari organisasi secara umum terbagi menjadi dua, yakni sukarela (voluntary) dan tidak sukarela (involuntary) (Mbah & Ikemefuna, 2012). Keluar dari organisasi secara tidak sukarela merupakan keadaan ketika karyawan tidak memiliki pilihan dalam keputusannya untuk keluar dari perusahaan. Hal ini dapat terjadi pada masa pensiun, pemutusan hubungan kerja dan lainnya. Keluar dari organisasi secara sukarela merupakan keadaan ketika karyawan memiliki pilihan untuk keluar dari perubahan dengan sukarela seperti pada pengunduran diri atau resign (Morrel, Loan-Clarke & Wilkinson, 2001). Artinya, voluntary bertanggungjawab atas kerugian yang dialami perusahaan
jika
karyawan
yang
keluar
adalah
karyawan
yang
ahli,
berpengalaman dan menempati posisi penting. Hal ini tak lain disebabkan oleh keinginan karyawan yang tinggi untuk meninggalkan perusahaan. Dampak negatif yang diakibatkan oleh keluarnya karyawan dari organisasi dapat menimbulkan sejumlah kerugian bagi perusahaan. Kerugian yang diakibatkan oleh tingginya tingkat turnover dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung. Pada beberapa kasus ditemukan terdapat kekosongan posisi-posisi penting (Rigotti, Otto & Mohr, 2007), menambah biaya dan waktu untuk mengganti karyawan yang telah keluar (organizational cost) (Robinson & Morley, 2006), menurunnya persepsi nilai terhadap perusahaan (Brandmeir & Bologlu, 2004), serta meningkatnya rata-rata beban kerja serta stres kerja (Hendrie, 2004). Penelitian yang dilakukan pada institusi kesehatan ditemukan adanya penurunan motivasi karyawan akibat tingkat turnover yang konstan (Brandmeir & Bologlu, 2004). Hom
dan
kawan-kawan
(2000)
menjabarkan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi intensi keluar dari organisasi yakni adanya faktor (1) demografis
5
yang termasuk di dalamnya ialah jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, tanggung jawab keluarga; (2) kondisi kerja yang termasuk di dalamnya adalah tekanan kerja, kepuasan kerja, ketrampilan dan kemandirian kerja; (3) organisasi yang termasuk di dalamnya ialah gaya kepemimpinan, keamanan kerja, gaji, sistem pengembangan karir, lingkungan fisik dan sosial dan yang terakhir; (4) lingkungan eksternal seperti situasi kerja baru, keamanan kerja yang ditawarkan oleh organisasi lain. Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi intensi keluar dari organisasi terdiri dari faktor internal dan eksternal. Tanggung
jawab
keluarga
merupakan
salah
satu
faktor
yang
mempengaruhi seseorang untuk keluar keluar dari pekerjaannya. Peran keluarga idealnya juga dapat mensinergikan kehidupan kerja sehingga menghasilkan outcome positif
diantara keduanya.
Kebermaknaan kerja dan keluarga
didefinisikan Greenhaus dan Powel (2006) sebagai sejauh mana pengalaman atau keterlibatan dalam suatu peran meningkatkan kualitas hidup dan mempengaruhi peran yang lainnya. Kebermaknaan kerja-keluarga merupakan konstruk yang merepresentasikan bagaimana keluarga dan pekerjaan saling memberi manfaat. Kebermaknaan kerja-keluarga didasari atas pemikiran fundamental bahwa pekerjaan dan keluarga masing-masing memberikan individu dengan sejumlah sumber daya maupun manfaat lain yang dapat membantu individu untuk melakukan seluruh domain kehidupan lainnya lebih baik lagi (Barnett & Hyde, 2001). Kebermaknaan kerja-keluarga terjadi ketika sumbersumber yang terjadi pada suatu peran meningkatkan kinerja peran yang lain. Menurut Wayne dan kawan-kawan (2004) efek positif yang terdapat pada tempat kerja dan membawa pengaruh positif ke dalam kehidupan pribadi disebut juga dengan work-to-family enrichment sedangkan efek positif yang terdapat di
6
dalam kehidupan pribadi dan membawa pengaruh ke dalam tempat kerja disebut dengan family-to-work enrichment. Dalam studi yang dilakukan Wayne, Randel dan Stevens (2006) menemukan bahwa family-to-work enrichment secara negatif berpengaruh pada intensi keluar dari organisasi, sedangkan work-to-family enrichment berpengaruh positif terhadap komitmen organisasi. Hammer dan kawan-kawan
(2005)
melaporkan
bahwa
individu
yang
mengalami
kebermaknaan antara pekerjaan dan keluarga memiliki kondisi yang kesehatan mental dan fisik lebih baik. Carlson dan kawan-kawan (2006) mengkategorikan keberrmaknaan kerja-keluarga menjadi tiga dimensi yakni (1) work-family capital, (2) work-family affect dan (3) work-family development. Work-family capital didefinisikan sebagai keterlibatan di dalam pekerjaan yang meningkatkan sumber-sumber psikososial seperti rasa aman, percaya diri, prestasi kerja atau pemenuhan diri (selffulfillment) yang membantu individu menjadi anggota keluarga yang lebih baik. Dimensi kedua, work-family affect terjadi apabila keterlibatan di dalam pekerjaan menghasilkan keadaan emosional atau perilaku positif yang membantu individu menjadi anggota keluarga yang lebih baik. Dimensi terakhir, work-family development didefinisikan sebagai keterlibatan di dalam pekerjaan menuju pada penerimaan atau penyempurnaan ketrampilan, pengetahuan dan perilaku atau cara pandang yang membantu individu menjadi anggota keluarga yang lebih baik lagi. Model baru dalam menjelaskan intensi turnover diperkenalkan oleh Mitchell dan kolega (2001). Keterikatan kerja didefinisikan sebagai sekumpulan pengaruh psikologis, sosial dan finansial yang terdapat pada individu sehingga untaian jaringan membuat individu terjebak di dalamnya (Yao dkk, 2004). Mitchell
7
& Lee (2001) menjelaskan banyaknya kelekatan yang terjadi pada organisasi akan menahan individu untuk keluar dari organisasi. Maka dari itu individu yang memiliki tingkat keterikatan yang tinggi akan memilih untuk bertahan pada organisasi meskipun dihadapkan pada keadaan yang kurang ideal. Mitchell dan Lee (2001) menyebutkan bahwa keterikatan kerja disusun tidak hanya berdasarkan faktor yang membuat seseorang ingin meninggalkan organisasi, namun lebih terfokus pada faktor yang membuat seseorang seseorang bertahan di organisasi tersebut. Keterikatan kerja didasari atas kekuatan kontekstual dan persepsi yang menghubungkan individu dengan komunitas, dan isu-isu di tempat kerja (Yao dkk, 2004). Penelitian terkini pun menunjukkan bahwa keterikatan kerja mampu memperkuat keterikatan karyawan dengan perusahaan sehingga menjadi prediktor yang kuat terhadap keinginan seseorang untuk keluar dari perusahaan (Allen, 2006). Dalam studinya Mitchell dan kawan-kawan (2001) menjelaskan bahwa keterikatan kerja merupakan hubungan antara individu dengan organisasi dan juga hubungan antara individu dengan komunitas sebagai prediktor turnover yang penting. Melalui organisasi dan komunitas seseorang memiliki tiga jenis keterikatan yakni links, fit, sacrifice. Maka dari itu dengan adanya dua faktor (organisasi dan komunitas) serta tiga jenis keterikatan (links, fit, sacrifice) tersebut, model keterikatan kerja memiliki enam total dimensi, yakni (1) organizaition links, (2) organization fit, (3) organization sacrifice, (4) community links, (5) community fit, serta (6) community sacrifice. Berikut penjabaran dimensi-dimensi yang terdapat pada keterikatan kerja : Tabel 2 Dimensi Keterikatan Kerja
8
Faktor
Dimensi
Organization
Organization links
Organization fit
Community
Community links
Community fit
Organization Sacifice Community Sacrifice
Maertz & Griffeth (2004) menjelaskan dimensi dalam faktor community pada keterikatan kerja, community link merupakan hubungan yang dimiliki individu dengan individu ataupun kelompok di dalam sebuah komunitas di luar organisasi. Community link dimanifestasikan dalam bentuk aktivitas-aktivitas di luar lingkungan pekerjaan seperti hobi, rekreasi, kelompok keagamaan, dan sebagainya. Cohen (1995) menjelaskan individu yang memiliki keterlibatan aktif pada kegiatan di luar pekerjaan berkorelasi positif terhadap komitmen organisasi. Kedua, community fit merupakan persepsi kesesuaian individu dengan komunitas yang berada di luar organisasi tempatnya bekerja. Feldman dan Bolino (1998) dalam penelitiannya menemukan individu yang memiliki keterikatan terhadap komunitas dimana ia tinggal dan juga memiliki orangtua yang tinggal di daerah/tempat ia tinggal memiliki keinginan yang kecil untuk berpindah pekerjaan. Ketiga, community sacrifice adalah sebagai bentuk konsekuensi yang terjadi apabila individu meinggalkan komunitas pada daerah/tempat dimana ia tinggal. Berdasarkan pemaparan teoritis diatas, kelekatan pada komunitas (community embeddedness) disebut juga dengan keterikatan diluar pekerjaan. Lebih lanjut Mitchell dan kawan-kawan (2001) menjelaskan pengertian faktor organization dalam dimensi keterikatan kerja. Organization links adalah sebuah hubungan yang dimiliki individu dengan individu lainnya ataupun kelompok di dalam sebuah organisasi. Kedua, organization fit adalah kesesuaian antara norma/nilai yang dimiliki individu dengan organisasi dan pekerjaannya.
9
Organization fit terdiri dari person-organization dan person-job fit. Ketiga, organization sacrifice merupakan konsekuensi dalam bentuk materi maupun nonmateri yang terjadi apabila seseorang meninggalkan pekerjaannya. Organization sacrifice dapat berupa sistem reward, benefit maupun kesempatan karir yang dimiliki ketika bekerja. Shaw dan kawan-kawan (1998) menemukan bukti bahwa organisasi yang menawarkan reward menarik berokrelasi negatif terhadap tingkat turnover. Berdasarkan pemaparan teoritis diatas, kelekatan pada organisasi (organization embeddedness) disebut juga dengan istilah keterikatan pada pekerjaan. Dalam penelitian yang melibatkan 636 karyawan, Lee dan kawan-kawan (2004) menemukan bahwa kerterikatan diluar pekerjaan mampu memprediksi intensi turnover dan masalah kehadiran, sementara keterikatan pada pekerjaan mampu memprediksi organizational citizenship behavior dan performansi karyawan jauh diatas kepuasan kerja dan komitmen kerja. Hal ini bermakna bahwa aspek diluar lebih signifikan dalam memprediksi intensi keluar dari organisasi dibandingkan dengan aspek pada pekerjaan. Namun demikian tidak berarti bahwa aspek diluar pekerjaan tidak dapat memprediksi intensi keluar dari organisasi
karena
keduanya
tetap
memiliki
dinamika
tersendiri
dalam
memprediksi intensi keluar dari organisasi. Pekerja yang memiliki rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan danarti hidup, serta gambaran diri yang positif (Mowday dkk,1982). Premis dasar yang digunakan pada Social Exchange Theory ialah interaksi sosial hanya akan diulangi apabila peserta-peserta dalam interaksi mendapat ganjaran materil (objek) atau psikologis (kebahagiaan,
10
kemudahan, rasa aman, dan lainnya). Interaksi sosial yang saling tergantung (interdependent) bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang positif bagi tiap-tiap peserta interaksi. Fungsi memaksmimalkan hasil yang positif berlaku juga untuk seluruh kelompok sehingga individu-individu sebagai kelompok dapat tetap bersatu. Pada situasi kerja ketika seseorang mengalami kebermaknaan, individu tersebutakan cenderung membuat atribusi kognitif terkait sumber kebermaknaan tersebut (Wayne dkk, 2004). Ketika usaha yang dilakukan dalam satu domain memberikan keuntungan baginya pada domain yang lain, domain yang memberikan manfaat yakni pada pekerjaan akan memiliki kecenderungan terlihat sebagai sesuatu hal yang memuaskan. Berdasarkan Social Exchange Theory (Blau, 1964) ketika individu mempersepsikan bahwa organisasi tempatnya bekerja menyediakan sesuatu yang bermanfaat baginya dan keluarganya, ia akan membuat hubungan timbal balik melalui cara menunjukkan sikap dan perilaku yang konsisten dengan manfaat yang telah didapatkan. Pada saat karyawan memiliki keterikatan pada organisasi dan komunitas yang erat, hal ini membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup, serta gambaran diri yang positif. Karyawan pun akan memandang pekerjaannya menghasilkan manfaat positif bagi mereka dan keluarganya, sehingga memiliki perasaan positif (kebermaknaan) tentang pekerjaan dan organisasinya serta memiliki intensi untuk bertahan di organisasi. Berdasarkan
fenomena dan
kajian
empiris
teoritis
diatas
maka
memunculkan pertanyaan yakni seberapa besar kebermaknaan kerja-keluarga dan keterikatan kerja dalam memprediksi intensi keluar dari pekerjaan. Guna
11
menjawab pertanyaan tersebut muncul maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu dengan kerangka teoritis sebagai berikut :
Kebermaknaan Kerja-Keluarga Intensi Keluar dari Organisasi Keterikatan Kerja Gambar 1. Kerangka Konseptual Hubungan Antar Variabel
Hipotesis
:
Kebermaknaan kerja-keluarga dan keterikatan kerja mampu memprediksi intensi keluar dari organisasi.