PERAN GURU PAI DALAM UPAYA DERADIKALISASI SISWA Salman Parisi Dosen dan Ketua Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) di STAI Madinatul Ilmi Depok
[email protected]
ABSTRAK Banyak fakta dan penelitian membuktikan bahwa radikalisme telah demikian mewabah di masyarakat, bahkan sudah menyusup ke dalam lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal. Mereka menyusup melalui oknum-oknum guru agama, melalui unit-unit kegiatan ekstrakurikuler agama atau melalui buku-buku panduan. Karena itu, untuk menghambat penyebaran paham radikal di kalangan para siswa guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peranan yang sangat strategis. Dalam tulisan ini dikemukakan tentang ciri-ciri paham radikal dan langkahlangkah apa saja yang harus dilakukan oleh guru PAI dalam menghadapinya. Kata-kata kunci: radikalisme, deradikalisme, peran guru PAI.
A. LATAR BELAKANG Indonesia dalam keadaan serba darurat: darurat korupsi, narkoba dan paham radikalisme. Paham radikalisme telah menyebar di berbagai lapisan masyarakat bahkan telah menyasar kalangan pelajar di berbagai tingkatan yang tentu saja akan membahayakan masa depan mereka dan masa depan bangsa ini secara umum. Penelitian yang dilakukan oleh Abu Rokhmad menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan diduga tidak kebal terhadap pengaruh ideologi radikal yang ditunjukkan oleh: (1) Beberapa guru mengakui adanya konsep Islam radikal yang mungkin menyebar di kalangan siswa karena kurangnya pengetahuan keagamaan; (2) Unitunit kajian Islam di sekolah-sekolah berkembang baik namun tidak ada jaminan adanya kekebalan dari radikalisme karena proses belajarnya diserahkan kepada pihak ketiga; (3) Di dalam buku rujukan dan kertas kerja terdapat beberapa pernyataan yang dapat mendorong siswa untuk membenci agama atau bangsa lain.(Rokhmad 2012, 79) Bila tidak ditangani paham radikalisme akan menyebabkan terganggunya ketertiban dan keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dan sudah terbukti bahwa aksi-aksi terorisme diilhami oleh paham-paham radikal seperti ini. Lebih jauh Indonesia bisa jatuh dalam kubangan kekacauan berdarah seperti yang sekarang terjadi di Suriah dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Ancaman ini bukan sekadar isapan jempol karena menurut se orang peneliti LIPI, Anas Saidi, radikalisme sekarang cukup meng khawatirkan karena menurutnya hal itu bisa mengakibatkan disin tregasi bangsa dalam dua atau tiga dekade ke depan bila tidak ada tindakan dari negara dan kalangan moderat.Untuk mengatasinya, kata Anas, perlu strategi kebudayaan yang menyeluruh dan berkesinam bungan. Pasalnya, gerakan ideologi dengan mempolitisasi agama yang menggunakan istilah dan berputar pada kekuasaan Tuhan akan mudah membuat orang memiliki semangat yang kuat untuk mengutamakan simbol-simbol agama sebagai daya tarik. “Untuk itu perlu deradikalisasi secara halus, lewat bahasa-bahasa agama yang relevan dan sosialisasi pandangan tentang adanya nilai-nilai afinitas antara Islam dan Pancasila. Ini untuk mengembalikan corak keagamaan yang menjadi ciri khas Islam di Indonesia yaitu moderat, inklusif dan toleran,” ujarnya dalam diskusi mengenai radikalisasi di Indonesia yang digelar
86
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
LIPI di Jakarta, Kamis, 18 Februari 2016. (Tisnadibrata 2016). Salah satu lembaga strategis dalam strategi kebudayaan melawan paham radikalisme adalah pendidikan. Tetapi faktanya pendidikan dan lembaga pendidikan pun sekarang ini justru telah disusupi dengan benihbenih radikalisme. Beberapa laporan menunjukkan adanya institusi pendidikan Islam nonformal telah mengajarkan fundamentalisme dan ra dikal isme kepada para peserta didiknya (Indonesia 2016). Akhirakhir ini, sekolah-sekolah formal juga terpengaruh untuk mengajarkan elemen-elemen radikalnya, misalnya melarang murid-muridnya untuk menghormati bendera Merah Putih pada saat upacara bendera (Metrotvnews 2011). Terakhir BBC (Lestari 2016) melaporkan bahwa anak-anak di sekolah tingkat dasar dan menengah bahkan taman kanakkanak berisiko terpapar ajaran intoleransi dan radikalisme, seperti ditunjukan sejumlah penelitian. Kekhawatiran juga itu disampaikan oleh sejumlah orang tua kepada BBC Indonesia. Lantas dari manakah paham radikalisme ini bisa menyusup ke sekolah? Menurut Gurubesar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra, “Paham radikal—yang menganggap pemahamannya paling benar—telah menyusup ke sekolah menengah melalui guru.” (Lestari 2016). Hal ini juga diperkuat oleh Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dipimpin oleh Prof. Dr. Bambang Pranowo, yang juga gurubesar sosiologi Islam di UIN Jakarta, pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, mengungkapkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan Syariat Islam di Indonesia. Jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa dan 14,2% membenarkan serangan bom. (Lestari 2016) Penelitian ini menunjukkan peran penting guru PAI di sekolah umum karena beberapa alasan. Pertama, kurikulum PAI beserta standar isi dan kompetensinya sangat dipengaruhi oleh kecenderungan paham yang diajarkan oleh para guru kepada para siswa. Oleh karenanya, guru dituntut dapat mengajarkan Islam dengan cara yang tidak mendorong peserta didik untuk menjadi radikal. Kedua, siswa/siswi SMA yang tidak memiliki background pendidikan agama (pesantren) sangat
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
87
mudah terpengaruh oleh model-model Islam harfiah yang diajarkan oleh guru atau ustaz mereka. Ketiga, pihak sekolah dan guru perlu meningkatkan kemampuan untuk deteksi dini (early warning) peserta didik yang mulai “menyimpang” dari keumuman paham keislaman yang ada. Siswa-siswi yang mulai “sok alim”, menyendiri atau ekslusif dengan kelompok sendiri, gampang mengharamkan dan mengafirkan, mengikuti pengajian berhari-hari tanpa izin, mengikuti pengajian yang di dalamnya ada baiat, fanatik, menyerang kelompok Islam lain, mulai berani kepada guru dan orang tua, memiliki cita-cita jihad dan mendirikan negara Islam, adalah sebagian kecil tanda-tanda yang harus diwaspadai oleh guru-guru PAI. Dengan mengenali sumber radikalisme di sekolah, maka upaya deradikalisasi dapat berjalan efektif manakala pihak sekolah dan guru PAI dapat memainkan peran positif dengan mengajarkan Islam moderat (Rokhmad 2012, 81) Oleh karena itu, guru-guru PAI memiliki peran strategis dalam menangkal ajaran radikalisme ini. Guru-guru PAI harus menanamkan Islam moderat dan dapat menemukan cara yang tepat untuk menanggulangi (deradikalisasi) Islam radikal. Berdasarkan latar belakang tersebut dalam tulisan ini, penulisakan focus kepada peran guru PAI dalam upaya deradikalisasi di sekolah.
B. PERANAN GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) 1.
Pengertian Peranan
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (Nasional 2008, 854). Maksud peranan berarti suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika menduduki jabatan tertentu, seseorang dapat memainkan fungsinya karena posisi yang diduduki nya tersebut.
2.
Pengertian Guru
Dalam bahasa Arab guru dikenal dengan istilah al-mu’alim atau al-ustadz, yang bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim (Suprihatiningrum 2013, 23). Dalam pengertian sederhana, guru ialah se seorang yang pekerjaannya mengajar orang lain (Syah 2010, 222).
88
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Sementara dalam KBBI, guru diartikan sebagai seorang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar (Nasional 2008, 330). Guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. Digugu artinya diindahkan atau dipercayai, sedangkan ditiru artinya dicontoh (Aziz 2013, 19). Jadi segala bentuk ucapan, tindakan dan perbuatan seorang guru itu akan dicontoh oleh anak didiknya. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pen didikan menengah.” (Syah, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen 2008, 35) Pendidik atau guru adalah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kesempurnaan yang lebih tinggi, status pendidik dalam model ini bisa diemban oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja (Yasin 2008, 68). Menurut Munif Chatib dalam bukunya Gurunya Manusia menga takan guru adalah sebuah profesi. Profesionalitas guru tentunya sangat terkait dengan manejemen kerja guru: bagaimana guru membuat perencanaan, kemudian mengaplikasikannya dengan mengajar di kelas, lalu mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan (Chatib 2013, 75). Dari definisi yang dikemukakan beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan, guru adalah seorang profesional yang digugu dan ditiru, dengan tugas utama membuat manajemen kerja, mengajar, mendidik, melatih, dan membimbing peserta didik menuju kemandirian.
3.
Pengertian Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dalam KBBI, istilah pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Dalam bahasa Arab istilah ini diterjemahkan dengan “tarbiyah” yang berarti pendidikan. Sementara dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pen didikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
89
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian dirinya, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang memerlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Kemenag 2016, 2). Ki Hajar Dewantara seperti dikutip Abu Ahmadi dan Nur Ukhbiyah mendefinisikan pendidikan sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar kelak mereka menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Hidayat 2013, 2). Sedangkan pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life) (Drajat 1996, 86). Pendidikan agama Islam adalah usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu peserta didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam (Zuhairini 1983, 27). Menurut Usman Said, pendidikan agama Islam adalah segala usaha untuk terbentuknya atau bimbingan/menuntun rohani, jasmani seseorang menurut ajaran Islam (Uhbiyati 1991, 110). Menurut Beni Ahmad Saebani dan Hendra Akhdiyat adalah: “Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya, yaitu kitab suci Alquran dan Hadis, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, pelatihan serta penggunaan pengalaman” (Saebani 2012, 258). Menurut Ahmad Ahwan, pendidikan Islam dapat dipahami sebagai prinsip yang mengarahkan, menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada diri peserta didik yang bercorak Islam dan mampu membentuk sumber daya manusia yang dicita-citakan oleh Islam (Ahwan 2010, 21). Sedangkan menurut Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI pendidikan agama Islam adalah: “Upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertakwa dan berakhlak mulia dalam menjalankan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Alquran dan Hadis melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan latihan serta penggunaan pengalaman.” (FIP-UPI 2007, 2)
90
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Dari definisi yang diungkapkan oleh para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian peranan guru pendidikan agama Islam adalah perangkat tingkah laku atau tindakan yang dimiliki seseorang dalam memberikan ilmu pengetahuan agama Islam kepada anak didiknya di sekolah dan madrasah. Seseorang dikatakan menjalankan peran manakala ia menjalankan hak dan kewajibannya yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari status yang disandangnya.
4.
Peran-Peran Guru Penididikan Agama Islam
Tanggung jawab guru adalah mencerdaskan kehidupan anak didik. Guru harus memiliki dedikasi penuh dan loyalitas berusaha membimbing dan membina anak didik agar di masa mendatang menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Profesi guru adalah panggilan jiwa, bila guru melihat peserta didiknya berada dalam masalah maka guru akan memikirkan cara agar peserta didiknya tidak terjerumus dan dapat dicegah dari perbuatan yang kurang baik (Djamarah 2010, 35). Guru bertanggung jawab atas segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan peserta didik dalam membina watak dan jiwa peserta didik, serta melindungi dari hal-hal yang negatif yang bisa merugikan kehidupan peserta didik maupun orang lain. Guru PAI berperan untuk melakukan perubahahan sosial dengan amar makruf nahi mungkar, guru PAI harus memposisikan diri sebagai model atau sentral identifikasi diri serta konsultan bagi peserta didik atau menurut Stanley, tokoh yang berperan sebagai “shaper of new society, transformational leader, change agent, architect of the new social order” yakni membentuk masyarakat baru, pemimpin dan pembimbing serta pengarah transformasi, agen perubahan, serta arsitek dari tatanan sosial yang baru selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Ilahi. Agar peranan guru lebih efektif, maka guru harus menjadi aktivis sosial yang senantiasa mengajak orang lain tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan atau petunjuk-petunjuk ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar (Muhaimin 2007, 52). Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidup secara optimal. Adapun peran guru menurut E. Mulyasa antara lain:
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
91
a.
Guru sebagai pendidik Sebagai pendidik guru, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Karena itu, guru hendaknya memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. b.
Guru sebagai pengajar Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari. Sebagai pengajar, guru berusaha membuat sesuatu menjadi lebih jelas bagi peserta didik, dan berusaha lebih terampil dalam memecahkan masalah. c.
Guru sebagai pembimbing Guru diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Sebagai pembimbing, guru hendaknya merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancaran sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik. d.
Guru sebagai pelatih Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan keterampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, karena tanpa latihan seorang peserta didik tidak akan mampu menunjukkan penguasaan kompetensi dasar, dan tidak akan akan mahir dalam berbagai keterampilan yang dikembangkan sesuai dengan materi standar. e.
Guru sebagai model dan teladan Sebagai teladan tentunya pribadi dan apa saja yang dilakukan oleh guru akan mendapat sorotan peserta didik dan lingkungannya. Sikap dasar, proses berpikir, keputusan, gaya hidup dan prilaku guru sangat memengaruhi peserta didik. f.
Guru sebagai tokoh masyarakat Guru dipandang sebagai tokoh masyarakat yang memiliki tanggung jawab moral di masyarakat. Seseorang yang memiliki profesi sebagai guru tokoh masyarakat dan layak dijadikan panutan, baik
92
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
kepribadian, tingkah laku maupun gaya hidupnya. Tugas selain mengajar adalah berbagai macam tugas yang sesungguhnya bersangkutan dengan mengajar, yaitu tugas membuat persiapan mengajar, tugas mengevaluasi hasil belajar, dan lainya yang selalu bersangkutan dengan pencapaian tujuan pengajaran. Muhammad Ali merinci tugas utama guru sebagai pemegang peran sentral dalam proses belajar mengajar sebagai berikut: a) Merencanakan Perencanaan yang dibuat merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan. b)
Melaksanakan pengajaran Situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar mengajar itu sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan situasi yang dihadapi. c)
Memberikan balikan Upaya memberikan balikan harus dilakukan secara terus menerus. Dengan demikian, minat dan antusias siswa dalam belajar selalu terpelihara. Upaya itu dapat dilakukan dengan jalan melakukan evaluasi. Hasil evaluasi itu sendiri harus diberitahukan kepada siswa yang bersangkutan, sehingga mereka dapat mengetahui letak keberhasilan dan kegagalannya. Evaluasi yang demikian benar-benar berfungsi sebagai balikan, baik bagi guru maupun bagi siswa (Ali 2008, 4-7). Dari ketiga tugas yang telah diutarakan diatas, ahli pendidikan Islam, Ramayulis menambahkan 3 buah tugas secara khusus guru di dalam Islam, yaitu: a)
Sebagai pengajar (instruksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun, dan memberikan penilaian setelah program itu dilaksanakan. b) Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
93
pada tingkat kedewasaan yang berkepribadian Islam, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia. c) Sebagai pemimpin (managerial) yang memimpin dan mengen dalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait. Menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu (Ramayulis 2013, 110-111).
C. RADIKALISME Pertama-tama secara istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut KBBI, radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik (Nasional 2008, 1151-2). Seringkali dalam mewujudkan cita-cita perubahan mereka menggunakan cara-cara kekerasan atau terorisme. Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya—di Timur Tengah—secara apa adanya tanpa mem pertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadis hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadis, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bidah. Keempat, menolak ideologi non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Alquran dan Hadis. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (Rubaidi 2010, 63). Peningkatan radikalisme keagamaan banyak berakar pada kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu. Menurut Azyumardi
94
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Azra, di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber dari: 1.
2.
3.
Pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-sepotong terhadap ayat-ayat Alquran. Pemahaman seperti itu hampir tidak memberikan ruang bagi akomodasi dan kompromi dengan kelompok-kelompok muslim lain yang umumnya moderat, dan karena itu menjadi arus utama (mainstream) umat. Kelompok umat Islam yang berpaham seperti ini sudah muncul sejak masa al-Khulafa’ al-Rasyidun Keempat Ali bin Abi Thalib dalam bentuk kaum Khawarij yang sangat radikal dan melakukan banyak pembunuhan terhadap pemimpin muslim yang telah mereka nyatakan “kafir”. Bacaan yang salah terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Ini terlihat dalam pandangan dan gerakan Salafi, khususnya pada spektrum sangat radikal seperti Wahabiyah yang muncul di Semenanjung Arabia pada akhir abad 18 awal sampai dengan abad 19 dan terus merebak sampai sekarang ini. Tema pokok kelompok dan sel Salafi ini adalah pemurnian Islam, yakni membersihkan Islam dari pemahaman dan praktik keagamaan yang mereka pandang sebagai bidah, yang tidak jarang mereka lakukan dengan cara-cara kekerasan. Dengan pemahaman dan praksis keagamaan seperti itu, kelompok dan sel radikal ini “menyempal” (splinter) dari mainstream Islam yang memegang dominasi dan hegemoni otoritas teologis dan hukum agama dan sekaligus kepemimpinan agama. Karena itu, respon dan reaksi keras sering muncul dari kelompok-kelompok “mainstream”, arus utama, dalam agama. Mereka tidak jarang mengeluarkan ketetapan, bahkan fatwa, yang menetapkan kelompok-kelompok sempalan tersebut sebagai sesat dan menyesatkan. Ketetapan atau fatwa tersebut dalam praktiknya tidak jarang pula digunakan kelompokkelompok mainstream tertentu sebagai dasar dan justifikasi untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Deprivasi politik, sosial dan ekonomi yang masih bertahan dalam masyarakat. Pada saat yang sama, disorientasi dan dislokasi sosial-budaya, dan ekses globalisasi, dan semacamnya sekaligus merupakan tambahan faktor-faktor penting bagi kemunculan kelompok-kelompok radikal. Kelompok-kelompok sempalan terse
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
95
but tidak jarang mengambil bentuk kultus (cult), yang sangat eksklusif, tertutup dan berpusat pada seseorang yang dipandang kharismatik. Kelompok-kelompok ini dengan dogma eskatologis tertentu bahkan memandang dunia sudah menjelang akhir zaman dan kiamat; sekarang waktunya bertobat melalui pemimpin dan kelompok mereka. Doktrin dan pandangan teologis-eskatologis seperti ini, tidak bisa lain dengan segera dapat menimbulkan reaksi dari agama-agama mainstream, yang dapat berujung pada konflik sosial. Radikalisme keagamaan jelas berujung pada peningkatan konflik sosial dan kekerasan bernuansa intra dan antaragama; juga bahkan antar umat beragama dengan negara. Ini terlihat jelas, misalnya, dengan meningkatnya aktivitas penutupan gereja di beberapa tempat di mana kaum muslim mayoritas, seperti di Bekasi, Bogor dan Temanggung belum lama ini. Atau penutupan masjid/ musala di daerah mayoritas nonmuslim di berbagai tempat di tanah air, seperti di Bali pasca-bom Bali Oktober 2002; termasuk pula anarkisme terhadap berbagai fasilitas dan masjid-masjid Ahmadiyah serta para jemaatnya. Berbagai tindak kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah juga masih terus terjadi di sejumlah tempat mulai dari NTB, Parung, Cikeusik dan berbagai lokasi lain. Lalu ada juga kelompok-kelompok hardliners atau garis keras di kalangan muslim, menegakkan hukumnya sendiri–atas nama syariat (hukum Islam)– seperti pernah dilakukan Laskar Jihad di Ambon ketika terjadinya konflik komunal Kristen-Muslim; atau razia-razia yang dilakukan Front Pembela Islam (FPI) dalam beberapa tahun terakhir ini, khususnya pada Ramadhan, atas diskotik, dan tempat-tempat hiburan lainnya atas nama al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an almunkar (menyeru dengan kebaikan dan mencegah kemungkaran). Bagi mereka tidak cukup hanya amar ma`ruf dengan lisan, perkataan; harus dilakukan pencegahan terhadap kemungkaran dengan tangan (al-yad), atau kekuatan. Sekali lagi, tindakan-tindakan seperti ini juga dapat memicu terjadinya konflik sosial. Umat Islam mainstream—seperti diwakili NU, Muhammadiyah, dan banyak organisasi lain—berulang kali menyatakan, mereka menolak caracara kekerasan, meski untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran sekalipun. Tetapi, seruan organisasi-organisasi mainstream ini sering tidak efektif; apalagi di dalam organisasiorganisasi ini juga terdapat kelompok garis keras yang terus juga
96
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
4.
melakukan tekanan internal terhadap kepemimpinan organisasi masing-masing. Masih berlanjutnya konflik sosial bernuansa intra dan antaragama dalam masa reformasi ini, sekali lagi, disebabkan berbagai faktor amat kompleks. Pertama, berkaitan dengan euforia kebebasan, dimana setiap orang atau kelompok merasa dapat mengekspresikan kebebasan dan kemauannya, tanpa peduli dengan pihak-pihak lain. Dengan demikian terdapat gejala menurunnya toleransi. Kedua, masih berlanjutnya fragmentasi politik dan sosial khususnya di kalangan elite politik, sosial, militer, yang terus mengimbas ke lapisan bawah (grassroot) dan menimbulkan konflik horizontal yang laten dan luas. Terdapat berbagai indikasi, konflik dan kekerasan bernuansa agama bahkan diprovokasi kalangan elit tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, tidak konsistennya penegakan hukum. Beberapa kasus konflik dan kekerasan yang bernuasa agama atau membawa simbolisme agama menunjukkan indikasi konflik di antara aparat keamanan, dan bahkan kontestasi di antara kelompokkelompok elite lokal. Keempat, meluasnya disorientasi dan dislokasi dalam masyarakat Indonesia, karena kesulitan-kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Kenaikan harga kebutuhan-kebutuhan sehari-hari lainnya membuat kalangan masyarakat semakin terhimpit dan terjepit. Akibatnya, orang-orang atau kelompok yang terhempas dan terkapar ini dengan mudah dan murah dapat melakukan tindakan emosional, dan bahkan dapat disewa untuk melakukan tindakan melanggar hukum dan kekerasan.
Berdasarkan hasil penelusuran Komaruddin Hidayat (okezone 2009), ada beberapa ciri dari gerakan ini yang perlu diperhatikan oleh guru dan orang tua. Pertama, para tutor penyebar ideologi kekerasan itu selalu menanamkan kebencian terhadap negara dan pemerintahan. Bahwa pemerintahan Indonesia itu pemerintahan tagut, seitan, karena tidak menjadikan Alquran sebagai dasarnya. Pemerintahan manapun dan siapa pun yang tidak berpegang pada Alquran berarti melawan Tuhan dan mereka mesti dijauhi, atau bahkan dilawan. Kedua, para siswa yang sudah masuk pada jaringan ini menolak menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, terlebih lagi upacara hormat bendera. Kalaupun mereka melakukan, itu semata hanya untuk mencari selamat, tetapi hatinya mengumpat. Mereka tidak mau tahu bahwa sebagai
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
97
warga negara mesti mengikuti dan menghargai tradisi, budaya, dan etika berbangsa dan bernegara, dibedakan dari ritual beragama. Ketiga, ikatan emosional pada ustaz, senior, dan kelompoknya lebih kuat daripada ikatan keluarga dan almamaternya. Keempat, kegiatan yang mereka lakukan dalam melakukan pengajian dan kaderisasi bersifat tertutup dengan menggunakan lorong dan sudutsudut sekolah, sehingga terkesan sedang studi kelompok. Lebih jauh lagi untuk pendalamannya mereka mengadakan outbond atau mereka sebut rihlah, dengan agenda utamanya renungan dan baiat. Kelima, bagi mereka yang sudah masuk anggota jamaah diharuskan membayar uang sebagai pembersihan jiwa dari dosa-dosa yang mereka lakukan. Jika merasa besar dosanya, semakin besar pula uang penebusannya. Keenam, ada di antara mereka yang mengenakan pakaian secara khas yang katanya sesuai ajaran Islam, serta bersikap sinis terhadap yang lain. Ketujuh, umat Islam di luar kelompoknya dianggap fasik dan kafir sebelum melakukan hijrah: bergabung dengan mereka. Kedelapan, mereka enggan dan menolak mendengarkan ceramah keagamaan di luar kelompoknya. Meskipun pengetahuan mereka tentang Alquran masih dangkal, mereka merasa memiliki keyakinan agama paling benar, sehingga meremehkan, bahkan membenci ustaz di luar kelompoknya. Kesembilan, di antara mereka itu ada yang kemudian keluar setelah banyak bergaul, diskusi secara kritis dengan ustaz dan intelektual di luar kelompoknya, namun ada juga yang kemudian bersikukuh dengan keyakinannya sampai masuk ke perguruan tinggi yang sangat berpeluang menjadi penyebar benih radikalisme dan sekaligus penangkal (baca: deradikalisasi) Islam radikal. Studi-studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya lembaga pendidikan Islam tertentu (terutama yang nonformal, seperti pesantren) telah mengajarkan fundamentalisme dan radikalisme kepada para peserta didik. Belakangan, sekolah-sekolah formal juga mulai mengajarkan elemen-elemen Islam radikal, misalnya mengajarkan kepada murid untuk tidak menghormat bendera Merah Putih saat upacara bendera.
D. PERAN GURU PAI DALAM UPAYA DERADIKALISASI SISWA Dari paparan di atas radikalisme di kalangan sekolah bisa terjadi karena memang ada elemen-elemen radikalisme yang ada dalam
98
Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
buku-buku PAI. Karena itu, peran guru PAI di sini adalah sebagai yang memberi umpan balik atau sebagi evaluator atas materi-materi PAI yang bermuatan elemen-elemen radikal. Evaluasi ini bisa dijadikan masukan kepada bagian kurikulum di tingkat sekolah yang seterusnya akan dilanjutkan kepada pihak yang berwenang sampai ke tingkat nasional. Di tingkat nasional bisa dilakukan desain ulang kurikulum materi PAI yang lebih berwawasan moderat dan rahmatan lil ‘alamin. Terkait dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan pihak ketiga maka guru agama berperan sebagai manajerial kegiatan ini. Misalanya guru agama harus memantau silabus kegiatan yang dilakukan oleh Rohis, apa materi serta dari mana pengisinya. Hal ini dilakukan agar jangan sampai pihak-pihak ketiga memiliki kesempatan untuk memasukkan elemen-elemen radikal dalam kegiatan rohis di sekolah. Salah satu gerakan ciri radikal adalah menganggap bahwa pemeritanh NKRI adalah sebagai sistem thaghut karena tidak berdasarkan ajaran Islam yang murni versi mereka. Dalam kaitan ini, peran guru agama berperan sebagai pembimbing yang menjelaskan bahwa negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila bukan agama tertentu. Tetapi itu tidak berarti bahwa Indonesia antiagama atau bahwa Pancasila di atas agama. Justru Pancasila diilhami oleh ajaran-ajaran agama. Di samping itu, juga guru agama harus berperan menanamkan kecintaan kepada bangsa dan negara (nasionalisme) sebagai bagian dari mengamalkan ajaran agama yang benar. Dengan demikian, para siswa tidak lagi bisa disusupi dengan paham radikal yang salah satu cirinya adalah memperlawankan antara ajaran Islam dengan negara. Di samping itu, sudah merupakan fakta bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beraneka yang meski demikian kebhinekaan itu tidak menyebabkan perpecahan. Semangat inilah yang kemudian menjadi semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika. Kenyataan inilah yang harus menyadarkan guru PAI bahwa anak didiknya adalah manusia-manusia yang unik yang tidak bisa diseragamkan seperti kehendak kaum radikal. Karena itulah, James Lynch menyatakan pendidik agama harus mampu menyampaikan pokok bahasan multikultural dengan berorientasi pada dua tujuan, yaitu: penghargaan kepada orang lain (respect for others) dan penghargaan kepada diri sendiri (respect for self). Kedua bentuk penghargaan ini mencakup tiga ranah pembelajaran (domain of learning) yaitu pengetahuan (cognitive),
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
99
keterampilan (psychomotor), dan sikap (affective) (Lynch 1986, 86-87). Tentu saja tugas guru PAI tidak hanya sekadar pentransfer informasi mengenai nilai-nilai multikulturalitas tetapi juga ia harus dapat bersikap dan berperilaku sesuai nilai-nilai multikulturalitas. Ia harus dapat menjadi teladan kepada anak didik, keluarga, dan masyarakat. Karena itu, pendidik jangan mengajar agama dengan gaya yang cenderung mengindoktrinasi, namun ia harus dapat memberi pelajaran tentang iman dalam semangat religiusitas yang dialami dalam kehidupan sehari-hari (Posumah-Santoso 2005, 285). Menurut Abu Rokhmad, gerakan radikalisasi harus proaktif dan tidak menunggu sampai terjadi aksi terorisme. Strategi deradikalisasi yang dapat dilakukan oleh guru-guru PAI adalah: (1) re-edukasi (memahami Islam lebih utuh); (2) kampanye ukhuwwah islāmiyyah dan antiradikalisme. Di samping itu, deradikalisasi juga dapat dilakukan setelah seseorang menjadi radikal (curative deradicalization). Model ini bersifat menyembuhkan bagi pelaku radikalisme, baik sebelum maupun setelah terjadi aksi radikal (teror). Selain membutuhkan strategi deradikalisi yang pertama, juga dibutukan langkah-langkah yang lain, seperti a) dialog intensif; b) pendekatan konseling dan psikologis. Aktor yang terlibat dalam deradikalisasi model yang pertama ini adalah guru PAI, pihak sekolah dan orang tua. Jika seseorang sudah melakukan tindakan teror, yang berhasil ditangkap, diadili dan dipenjarakan, maka strategi deradikalisasi mengacu kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh BNPT (Rokhmad 2012, 109).
DAFTAR PUSTAKA Ahwan, Ahmad. Dimensi Etika Mengajar dalam Pendidikan Islam. 1. Yogyakarta: Gama Media, 2010. Ali, Muhammad. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. 13. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008. Aziz, Hamka Abdul. Karakter Guru Profesional. 1. Jakarta: al-Mawardi, 2013. Chatib, Munif. Gurunya Manusia. 1. Bandung: Kaifa, 2013. Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineke Cipta, 2010.
100 Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa
Drajat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Angkasa, 1996. FIP-UPI, Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007. Hidayat, Syarif. Teori dan Prinsip Pendidikan. Tangerang: Pustaka Mandiri, 2013. Lynch, James. Multicultural Education: Principles and Practise. London: Routledge & Kegan Paul, 1986. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Pers, 2007. Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 5. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Posumah-Santoso, Jedid T. “Pluralisme Pendidikan Agama.” In Pluralisme, Konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia, by Th. Sumartana dkk, 285. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2005. Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. 10. Jakarta: Kalam Mulia, 2013. Rubaidi, A. Radikalisme Islam, Nahdhatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010. Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam 1. 2. Bandung: Pustaka Setia, 2012. Suprihatiningrum, Jamil. Guru Profesiional IPedoman Kinerja, Kualifikasi, dan Kompetensi Guru. 1. Jakarta: ar-Ruz Media, 2013. Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. 15. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2010. Syah, Muhibbin. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Jakarta: Visimedia, 2008. Uhbiyati, Abu Ahmadi & Nur. Ilmu Pendidikan Agama. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991. Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang: UIN Malang, 2008. Zuhairini, Dkk. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha NAasional, 1983.
safina
Volume 2/Nomor 1/ 2017
101
Jurnal Munip, Abdul. “Mengangkal Radikalisme Agama di Sekolah.” Jurnal Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga 1, no. 2 (November 2012): 159181. Rokhmad, Abu. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.” Walisongo 20, no. 1 (2012): 79. Situs Daring Indonesia, Media. “Media Indonesia.” http://www.mediaindonesia. com. 1 September 2016. http://www.mediaindonesia.com/news/ read/64540/sekolah-larang-hormat-bendera/2016-09-01 (diakses 18 Maret 2017). kemenag. http://pendis.kemenag.go.id. April 1, 2016. http://pendis. kemenag.go.id/file/dokumen/uuno20th2003ttgsisdiknas.pdf (diakses 1 April 2016). Lestari, Sri. “bbc.” www.bbc.com. Mei 25, 2016. http://www.bbc.com/ indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsus_ radikalisme_anakmuda_sekolah (diakses 18 Maret 2017). Metrotvnews. “Metro TV.” Metrotvnews.com. Juni 6, 2011. www. metrotvnews.com (diakses 18 Maret 2017). okezone. http://news.okezone.com/. Oktober 23, 2009. http://news. okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islammenyusup-ke-smu (diakses 1 April 2016). Tisnadibrata, Ismira Lutfia. “http://www.benarnews.org.” Februari 18, 2016. http://www.benarnews.org/indonesian/berita/radikalisme-dikalangan-mahasiswa-02182016114216.html (diakses 18 Maret 2017).
102 Peran Guru PAI dalam Upaya Deradikalisasi Siswa