PERAN GENDER DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN MENDAYAGUNAKAN PANGAN POKOK LOKAL
NUR FITRIA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015 Nur Fitria NIM I34110108
ABSTRAK NUR FITRIA. Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal. Dibimbing oleh SITI AMANAH. Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras dan diarahkan kembali ke penggunaan bahan pangan lokal. Hal ini seperti yang dilakukan masyarakat Kampung Cireundeu yaitu mengonsumsi ketela atau singkong sebagai bahan pangan pokok. Penelitian bertujuan menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Penelitian dengan metode survai ini dilaksanakan di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Sebanyak 36 rumah tangga dipilih secara sengaja dengan beberapa pertimbangan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat korelasi positif yang nyata antara karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Akses dan bantuan teknologi untuk penanaman dan pengolahan bahan pangan non beras masih kurang. Diperlukan sosialisasi dan pendampingan mengenai diversifikasi konsumsi pangan pokok yang melibatkan masyarakat lokal. Kata kunci: peran gender, diversifikasi konsumsi pangan pokok, masyarakat lokal
ABSTRACT NUR FITRIA. Gender Role in Local Food Consumption Through Diversifying Local Staple Food. Supervised by SITI AMANAH Diversification of food consumption is one attempt to overcome the problem of dependence on rice and directed back to the use of local food. It is like the village society in Cirendeu is by eating sweet potatoes or cassava as a staple food. The research aims were to analyze the relationship between socio-economic characteristics of households, gender roles in the household, and amount of family member that consumed cassava rice (rasi). The research site was in Cireundeu, Leuwigajah Village, South Cimahi Sub District, Cimahi City. There were 36 households were purposivily selected by some considers. The research result show that there is a significant positives correlation between socioeconomic characteristics of households, gender roles in the household, and amount of family member that consumed rasi. Access and technology support for planting and processing of non rice food still not enough. Socialization and direction about diversification of stample food consumption needed based on local society participation. Key words: gender roles, diversification of stample food consumption, local community
PERAN GENDER DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN MENDAYAGUNAKAN PANGAN POKOK LOKAL
NUR FITRIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Judul Skripsi : Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal Nama : Nur Fitria NIM : I34110108
Disetujui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayat-Nya sehingga skripsi yang berjudul Peran Gender dalam Diversifikasi Konsumsi Pangan Mendayagunakan Pangan Pokok Lokal dapat terselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, MSc selaku Dosen Pembimbing dan Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat yang telah banyak mencurahkan waktunya dan memberikan saran serta masukan selama proses penulisan skripsi. 2. Orang tua tercinta, Bapak Heri Kusdianto dan Ibu Herlin Nurhaeni, serta kakak tersayang Muhammad Syaifullah Akbar yang selalu memberikan doa dan melimpahkan kasih sayangnya untuk penulis. 3. Dikti dan Kemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan yang telah membantu kelancaran kuliah serta memberikan semangat dan motivasi untuk berprestasi. 4. Sahabat-sahabat terkasih penulis, The Outliers: Yunita, Phia, Muti, Rina, Yayuk, Mufi, Nafiah, Ghani, Anca, Zainun, Zhilal, Iwan, Lathif, dan Faisal yang selalu membuat hari-hari di kampus menjadi menyenangkan dan memberikan kebersamaan layaknya keluarga. 5. Teman-teman satu bimbingan Kinan, Nina dan Ade yang selalu menyemangati satu sama lain. 6. Keluarga Besar SKPM 48 yang selalu memberikan dukungan semangat, bantuan, dan doanya kepada penulis hingga akhirnya skripsi ini dapat selesai. Terima kasih telah menemani perjalanan meraih ilmu yang bermanfaat. 7. Kepala Kesatuan Bangsa Kota Cimahi, Kepala Dinas Koperasi Perindustrian Perdagangan dan Pertanian (Diskopindagtan), Kepala Desa Leuwigajah, Ketua Kampung Cireundeu, dan seluruh warga Kampung Cireundeu yang telah membantu penulis dalam pengumpulan data di lapangan dan memberikan pengalaman berharga bagi penulis. Semoga skripsi ini dapat menjadi sumber ilmu yang berkah dan bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Bogor, Agustus 2015 Nur Fitria
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
ix ix x
PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
1 1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Peran Gender dalam Rumah Tangga Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Diversifikasi Pangan Berbasis Lokal Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional
5 5 6 8 9 10 12 12
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Validitas dan Reliabilitas Instrumen Teknik Pengolahan dan Analisis Data
15 15 15 17 18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Administratif Kondisi Penduduk Karakteristik Pangan Pokok Kampung Cireundeu
19 19 20 21
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA, PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA, DAN TINGKAT DUKUNGAN LOKAL Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Tingkat Pendidikan Tingkat Pengeluaran Ukuran Rumah Tangga Status Kepemilikan Lahan Luas Lahan Peran Gender dalam Rumah Tangga Pola Pembagian Kerja Tingkat Akses Tingkat Kontrol
23 23 24 25 26 26 27 28 28 31 32
viii
Tingkat Dukungan Lokal Tingkat Aturan Lokal Mengenai Pangan Pokok Besarnya Peran Elit Lokal
33 33 34
JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI RASI
35
HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA PEUBAH DENGAN JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI RASI
37
PENUTUP Kesimpulan Saran
42 42 43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
46
RIWAYAT HIDUP
64
ix
DAFTAR TABEL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14
15
16
17 18
Rincian metode pengumpulan data Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan mata pencaharian Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat dukungan lokal Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Hasil uji statistik Rank Spearman antara karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Hasil uji statistik Rank Spearman antara peran gender dalam rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan peran gender dalam rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Hasil uji statistik Rank Spearman antara tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi
16 20 20 23 24 28 29 30 31 32 33 35
37
38
40
40 41
41
DAFTAR GAMBAR
1 2
Kerangka pemikiran Teknik sampling responden
10 17
x
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8
Peta lokasi penelitian Jadwal kegiatan penelitian Kerangka sampling Kuesioner penelitian Pedoman wawancara mendalam Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner Dokumentasi Catatan lapang
44 45 46 48 54 55 56 58
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidupnya, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang merupakan hak yang harus dipenuhi. Ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 yaitu negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal. Berdasarkan undang-undang tersebut masalah pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintah Indonesia. Menurut Pusdatin (2014)1, beras merupakan bahan pangan pokok lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Berdasarkan data hasil SUSENAS - BPS (2002 dan 2012), konsumsi beras per kapita cenderung menurun, yaitu dari 107.71 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 97.65 kg/kapita/tahun pada tahun 2012. Di sisi lain, pertumbuhan penduduk Indonesia melaju dengan cepat, yaitu 1.49 persen per tahun pada periode tahun 1999-2000 (BPS 2000). Kenyataan tersebut menunjukkan total konsumsi domestik beras Indonesia akan terus meningkat walaupun per kapitanya menunjukkan penurunan. Total konsumsi domestik beras yang terus meningkat tentu akan menambah beban penyediaan beras untuk memenuhi permintaan, ditambah dengan kondisi sumberdaya alam produksi yang semakin terbatas. Jika kondisi ini terus berlangsung dikhawatirkan terjadi kerawanan pangan di tingkat masyarakat. Oleh karena itu, diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting untuk dilakukan. Diversifikasi konsumsi pangan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah ketergantungan pada beras. Bagi produsen, diversifikasi konsumsi pangan akan memberi insentif pada produksi yang lebih beragam, termasuk produk pangan dengan nilai ekonomi tinggi dan pangan berbasis sumberdaya lokal. Jika ditinjau dari sisi konsumen, konsumsi dan pangannya menjadi lebih beragam, bergizi, bermutu, dan bermartabat (Giriwono dan Hariyadi 2004). Penganekaragaman pangan bukan hanya dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras, tetapi juga untuk pengingkatan mutu gizi masyarakat. Diversifikasi konsumsi pangan diarahkan kembali ke penggunaan bahan pangan lokal, sumber karbohidrat non beras. Hal ini seperti yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cireundeu yang masih memelihara tradisi lama yang mengakar dan diwariskan oleh tetua adat terdahulu yaitu mengonsumsi ketela atau singkong sebagai bahan pangan pokok.
1
Dalam Berkala Ilmiah Buletin Konsumsi Pangan yang diterbitkan oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (Pusdatin), Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian
2
Seksi Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cimahi (2010) menyatakan bahwa beralihnya makanan pokok masyarakat adat Kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih tahun 1924, ketika lahan pertanian yang ditanami padi oleh masyarakat Cireundeu mengalami gagal panen (puso). Ancaman kelaparan yang dirasakan masyarakat membuat sebuah gagasan baru yaitu konversi lahan sawah menjadi kebun singkong karena kegagalan panen dari kebun singkong relatif lebih kecil dibandingkan dengan lahan padi. Sejak itulah warga Cireundeu mulai beralih mengonsumsi nasi singkong, yang oleh warga Cireundeu dinamakan rasi atau sanguen. Hingga kini tradisi tersebut masih dipertahankan. Masyarakat Cireundeu menjadi mandiri dan tidak tergantung dengan beras yang merupakan makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, semua dinamika yang terkait dengan beras seperti naiknya harga atau kelangkaan pasokan beras tidak terlalu berpengaruh bagi kehidupan mereka. Diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu tidak terlepas dari relasi antara perempuan dan laki-laki. Relasi gender adalah cara-cara di mana suatu budaya atau masyarakat mendefinisikan hak-hak, tanggung jawab, dan identitas laki-laki dan perempuan dalam relasi komunikasinya (Bravo-Baumann 2000). Perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda dalam menjaga tradisi konsumsi singkong sebagai pangan pokok. Peran tersebut dapat terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Nilai-nilai yang berkembang dimasyarakat bersifat subyektif sehingga terkadang mengakibatkan adanya ketimpangan peran gender, seperti yang terjadi pada masyarakat Kampung Cireundeu. Kelompok Tani Kampung Cireundeu diikutsertakan dalam programprogram pendukung ketahanan pangan yang dilaksanakan Pemerintah Kota Cimahi secara berkelanjutan. Salah satu program tersebut adalah peningkatan di sektor agroindustri yang memberikan penyuluhan HACCP, GMP dan pelatihan kemasan, serta memberikan bantuan-bantuan berupa mesin pemarut singkong, mesin pengering, mesin penghalus aci, alat sealer, dan plastik kemasan. Program tersebut sangat membantu dalam diversifikasi produk olahan dari bahan dasar singkong segar yang dapat dibuat menjadi beras singkong (rasi), kanji, aci, serta produk makanan lainnya yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan harga asli singkong. Pada praktiknya, anggota kelompok tani mayoritas didominasi oleh laki-laki, sehingga dalam sistem produksi lebih banyak melibatkan laki-laki dibandingkan perempuan. Begitu pun dalam hal akses informasi dan teknologi, tidak terdapat kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan, sehingga manfaat dari program-program pembangunan tidak dapat dirasakan oleh semua orang. Lain halnya dengan yang terjadi di sektor rumah tangga. Perempuan mendominasi dalam hal pemilihan pangan yang akan dikonsumsi, pengelolaan pangan, strategi penghematan, pemegang pendapatan rumah tangga, dan pembagian anggaran untuk pangan dan non pangan. Contohnya, Ibu RTA (37 tahun) mengonsumsi beras padi sebagai pangan pokok, sedangkan suaminya AGT (44 tahun) mengonsumsi beras rasi untuk pangan pokoknya. Ibu RTA memiliki akses dan kontrol yang lebih tinggi terhadap pemilihan pangan yang dikonsumsi, sehingga anak-anaknya pun dibiasakan untuk mengonsumsi beras padi dibandingkan beras singkong. Tidak dilibatkannya laki-laki dalam hal pemilihan
3
dan penentuan pangan yang dikonsumsi dapat mengakibatkan diversifikasi konsumsi pangan dalam rumah tangga sulit untuk dilakukan. Kenyataannya, masih terdapat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam hal pangan di Kampung Cireundeu. Dalam konteks diversifikasi konsumsi pangan, baik laki-laki maupun perempuan, dapat terlibat dalam perencanaan, pengolahan, dan sistem produksi. Keterlibatan tersebut tentu didasarkan pada niat, pengetahuan, minat, dan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Peran gender yang seimbang dapat memicu semakin banyak sumberdaya manusia produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama, sehingga diversifikasi konsumsi pangan dapat tercapai.
Rumusan Masalah Upaya penganekaragaman pangan bukan merupakan hal yang baru. Pada tahun 1950 telah dilakukan usaha melalui Panitia Perbaikan Makanan Rakyat, tahun 1963 dikembangkan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga, tahun 1974 dikeluarkan Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) yang kemudian disempurnakan dengan Inpres 20/1979, melanjutkan proses sebelumnya pada Pelita VI telah pula dikembangkan Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) (Giriwono dan Hariyadi 2004). Keseluruhan upaya tersebut sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ketergantungan pangan masyarakat Indonesia terhadap beras sudah mencapai tingkatan yang memprihatinkan. Kebutuhan akan pangan karbohidrat yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk akan sulit terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi padi, sehingga diperlukan bahan pangan lain yang dapat menggantikan beras baik dari segi gizi, kepraktisan, dan ketersediaannya untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Masyarakat Indonesia perlu mengubah persepsi pangan yang identik dengan beras. Hal ini dinilai sangat nyata dengan sering terdengarnya kalimat yang berbunyi “belum makan kalau belum makan nasi”. Dengan mulai menghilangkan persepsi tersebut, maka konsumsi bahan pangan pokok lainnya untuk memenuhi rasa lapar mendapat peluang yang lebih besar. Di Kampung Cireundeu, sebagian masyarakat telah menganggap beras singkong (rasi) sebagai bahan pangan pokok mereka. Kasus ini menjadi menarik untuk diteliti untuk mengetahui mengapa dan bagaimana mereka dapat menganggap rasi sebagai bahan pangan pokok untuk dijadikan pembelajaran penerapan diversifikasi di daerah lain. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ingin menjawab: 1. Bagaimana hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu dilihat dari jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi? 2. Bagaimana peran gender dalam rumah tangga masyarakat Kampung Cireundeu dan hubungannya dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi? 3. Bagaimana hubungan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi di Kampung Cireundeu?
4
Tujuan Penelitian
1.
2.
3.
Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dalam mewujudkan diversifikasi konsumsi pangan di Kampung Cireundeu dilihat dari jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Menganalisis peran gender dalam rumah tangga masyarakat Kampung Cireundeu dan hubungannya dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Menganalisis hubungan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi di Kampung Cireundeu.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademisi, pembuat kebijakan dan masyarakat peminat kajian gender. Secara spesifik manfaat yang didapatkan oleh berbagai pihak adalah sebagai berikut: 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai peran gender dalam diversifikasi konsumsi pangan. 2. Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat berfungsi sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan terkait diversifikasi konsumsi pangan di masyarakat. 3. Bagi masyarakat peminat kajian gender, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai peran gender dalam diversifikasi konsumsi pangan yang mendayagunakan pangan pokok lokal.
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Badan Pusat Statistik (BPS) (2014) menyatakan rumah tangga adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. Orang yang tinggal di rumah tangga ini disebut anggota rumah tangga, sedangkan yang bertanggung jawab atau dianggap bertanggung jawab terhadap rumah tangga adalah kepala rumah tangga. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Menurut Aini (2014), karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, dan tingkat penguasaan lahan. 1. Tingkat pendidikan Pemilihan dan penentuan dalam penyusunan hidangan konsumsi makanan bukanlah sesuatu yang secara otomatis diturunkan. Susunan hidangan adalah hasil dari proses belajar. Cahyani (2008) menyatakan bahwa pola konsumsi pangan masyarakat sulit dirubah, namun tetap dapat berubah. Perubahan dapat dilakukan melalui proses belajar, peningkatan pengetahuan dan pembentukan kesadaran akan manfaat gizi seimbang melalui konsumsi aneka ragam pangan. Perubahan lebih mudah terjadi apabila sejak dini anak-anak mulai diperkenalkan pendidikan tentang konsep gizi seimbang yang diiringi dengan praktek konsumsi pangan yang beranekaragam. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat konsumsi pangan adalah semakin meningkat tingkat pendidikan, maka konsumsi pangan akan semakin beragam. Tingkat pendidikan formal anggota rumah tangga sangat penting karena diduga berkaitan dengan pengetahuan akan pangan dan gizi beserta pengelolaannya. 2. Tingkat pengeluaran Menurut BPS (2014) ada dua cara penggunaan pendapatan, yaitu (1) membelanjakannya untuk barang-barang konsumsi; (2) tidak membelanjakannya seperti ditabung. Pengeluaran konsumsi dilakukan untuk mempertahankan taraf hidup. Pada tingkat pendapatan yang rendah, pengeluaran konsumsi umumnya dibelanjakan untuk kebutuhan-kebutuhan pokok guna memenuhi kebutuhan jasmani. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Akan tetapi terdapat berbagai macam barang konsumsi (termasuk sandang, perumahan, bahan bakar, dan sebagainya) yang dapat dianggap sebagai kebutuhan untuk menyelenggarakan rumah tangga. Keanekaragamannya tergantung pada tingkat pendapatan rumah tangga. Tingkat pendapatan yang berbeda-beda mengakibatkan perbedaan taraf konsumsi.
6
3. Ukuran rumah tangga Ukuran rumah tangga merupakan komponen penting dalam karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dapat membantu keuangan keluarga apabila berada dalam usia produktif dan bekerja, namun apabila dalam usia yang tidak produktif hanya akan menambah jumlah pengeluaran. BKKBN (2014) mengelompokkan ukuran rumah tangga ke dalam tiga kelompok, yaitu rumah tangga kecil bila jumlah anggota rumah tangga kurang dari atau sama dengan 4 orang, rumah tangga sedang bila jumlah anggota rumah tangga antara 5 dan 6 orang, dan rumah tangga besar bila anggotanya 7 orang atau lebih. 4. Tingkat penguasaan lahan Dalam studi-studi sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan tanah ke dalam dua kelompok besar yaitu (1) Milik, dan (2) Bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya. Meskipun pendekatan tersebut belum dapat menerangkan dengan baik eksistensi dan implikasi ekonomi dari sistem kelembagaan tanah adat, namun cukup baik untuk menjelaskan fenomena dinamika penguasaan tanah dan hubungannya dengan pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan (Sumaryanto dan Rusastra 2000).
Peran Gender dalam Rumah Tangga Gender adalah konstruksi sosial yang mengacu pada perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang tidak didasarkan pada perbedaan biologis tetapi pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan perseorangan (pribadi) dan dalam tiap bidang masyarakat yang menghasilkan peran gender (Hubeis 2010). Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis peran gender merupakan kajian sistematik tentang peranan, hubungan dan proses yang difokuskan pada ketidaksetaraan dalam akses dan kontrol terhadap kekuasaan, kekayaan, beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat. Tujuannya adalah untuk melihat keragaman peran yang ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki bukan karena perbedaan biologis tetapi karena persoalan relasi gender yang berlaku tidak selalu sama untuk tempat dan waktu yang tidak sama (Hubeis 2010). Peran gender menampilkan kesepakatan pandangan dalam masyarakat dan budaya tertentu perihal ketepatan kelaziman bertindak untuk seks tertentu (jenis kelamin tertentu) dan masyarakat tertentu. Namun, secara perseorangan ada kemungkinan bahwa seorang perempuan dan atau laki-laki memiliki peran aktual gender yang bertentangan dengan peran gender per jenis seks yang dipandang tepat dan lazim serta disepakati di masyarakat bersangkutan. Menurut Moser (1993), secara universal, peran gender dapat diklasifikasikan dalam tiga peran pokok yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik) dan peran masyarakat (sosial). 1. Peran reproduktif (domestik) adalah peran yang dilakukan oleh seseorang untuk melakukan kegiatan yang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya
7
2.
3.
insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, menyiapkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan keluarga dan mengasuh serta mendidik anak. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari, dan hampir selalu merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan. Pekerjaan reproduktif yang dilakukan di dalam rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif (karena tidak dibayar). Peran produktif (publik) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, seperti petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Peran ini diimbali (dibayar) dengan uang (tunai) dan natura. Peran masyarakat (sosial) merupakan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan, sedangkan peran politik di masyarakat adalah peran yang terkait dengan status dan kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi, biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Salah satu alat analisis gender adalah Kerangka Harvard yang dapat digunakan untuk keperluan menganalisis situasi hubungan gender dalam keluarga dan masyarakat. Tujuan Kerangka Harvard adalah untuk memetakan pekerjaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan melihat faktor penyebab perbedaan. Komponen analisis Harvard terdiri dari tiga komponen utama yaitu (1) pembagian kerja (dapat dilihat dari profil kegiatan laki-laki dan perempuan); (2) profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat; dan (3) faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga dan pengambilan keputusan. 1. Pola Pembagian Kerja Menurut Hubeis (2010), pembagian pekerjaan menurut seks mengacu pada cara di mana semua jenis pekerjaan (reproduktif, produktif, dan pekerjaan sosial) dibagi antara perempuan dan laki-laki dan bagaimana pekerjaan tersebut dinilai dan dihargai dalam suatu masyarakat atau kultur tertentu. Analisis pembagian kerja pada kelompok sasaran pada suatu area proyek akan memberikan gambaran tentang penggunaan waktu dari perempuan dan laki-laki di dalam melakukan berbagai pekerjaan yang berbeda. 2. Profil Akses dan Kontrol Mengutip Qoriah dan Sumarti (2008), akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya maupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Selanjutnya kontrol adalah penguasaan atau kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Profil akses dan kontrol (peluang dan penguasaan) terhadap sumber daya mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan terhadap sumber daya fisik atau material, pasar komoditas dan pasar kerja, dan sumber daya sosial-budaya. Berikutnya, profil peluang dan penguasaan terhadap manfaat mencakup informasi mengenai siapa yang mempunyai peluang dan penguasaan atas hasil pendapatan, kekayaaan bersama, kebutuhan dasar, pendidikan, prestise, dan seterusnya.
8
Analisis ini berguna untuk mengidentifikasi kekurangan sumber daya yang nantinya dapat di atasi oleh program pembangunan, ketidakseimbangan peluang dan penguasaan antara perempuan dan laki-laki, siapa yang memperoleh manfaat dari penggunaan sumber daya dan potensi apa yang dapat digunakan atau ditingkatkan dalam program pembangunan. Akses dan kontrol juga dapat dilihat dari tinggi rendahnya partisipasi. Aksesibilitas dapat diukur dengan partisipasi kuantitatif, yaitu berapa jumlah lakilaki dan perempuan yang berperanserta dalam lembaga tertentu dengan kedudukan dan tugas apa. Selanjutnya kontrol diukur dengan partisipasi kualitatif yaitu bagaimana peranan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan di lembaga tersebut. Analisis ini dilakukan pada lembaga formal maupun informal yang ada di desa. Kegunaan analisis ini adalah untuk memperlihatkan hierarki wewenang, ketidak seimbangan dalam pengambilan keputusan, peran serta, dan alasan keterbatasan perempuan. Selain itu pola pengambilan keputusan dalam keluarga juga dapat digunakan untuk melihat siapa bertanggungjawab untuk apa, siapa memperoleh manfaat apa, dan siapa yang bisa dijadikan mitra untuk program pembangunan. 3. Faktor-Faktor Pengaruh Untuk memecahkan permasalahan yang menyangkut hubungan gender perlu dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja, akses dan kontrol terhadap sumber daya dan manfaat, partisipasi dalam lembaga, dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Faktor-faktor tersebut bisa berupa struktur kependudukan, kondisi ekonomi, kondisi politik, pola-pola sosial budaya, sistem norma, perundang-undangan, sistem pendidikan, lingkungan, religi, dan lain-lain. Analisis ini berguna untuk mengaji dampak, kesempatan, dan kendala faktorfaktor tersebut dalam mengupayakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Pangan adalah segala suatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan pengolahan dan atau pembuatan makanan dan minuman (Hariyadi et al. 2003). Pangan pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering dikonsumsi secara teratur sebagai makanan utama dan memberikan sumbangan energi lebih dari sepertiga total konsumsi energi. Pangan pokok mempunyai peran strategis dalam pembangunan pangan, terutama karena: 1) rata-rata kuantitas konsumsi pangan pokok sekitar 6 persen dari total bahan pangan yang dikonsumsi penduduk setiap hari; 2) rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan pokok adalah sekitar lima puluh peren belanja pangan total; 3) perubahan harga pangan pokok cukup dominan dalam menentukan inflasi; dan 4) kegagalan pemenuhan kebutuhan akan pangan pokok dalam sejarah Indonesia seringkali menjadi pemicu instabilitas nasional (Syah 2009).
9
Pengertian diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah proses pemilihan pangan utama sumber karbohidrat yang tidak tergantung pada satu jenis bahan saja. Menurut penelitian Briawan et al. (2003), istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok tampaknya belum familiar bagi masyarakat. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang sebagian besar (71,1 persen) mengaku belum pernah mendengar istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok, baik responden yang tinggal di desa maupun yang tinggal di kota. Pengertian diversifikasi konsumsi pangan pokok bermacam-macam sesuai dengan persepsi dan pengetahuan masing-masing orang. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah makanan yang beragam yang dimakan sehari-hari, terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayuran, buah dan susu atau yang lebih dikenal dengan istilah empat sehat lima sempurna. Pendapat yang lain adalah makanan yang bergizi untuk kesehatan. Selain itu ada juga pendapat yang hampir mendekati benar tentang pengertian istilah diversifikasi konsumsi pangan pokok yaitu bermacam-macam bahan makanan pokok selain nasi. Keadaan ini menunjukkan bahwa sosialisasi mengenai diversifikasi konsumsi pangan pokok di tingkat masyarakat sangat diperlukan mengingat masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hal tersebut.
Diversifikasi Pangan Berbasis Lokal Hariyadi et al. (2003) berpendapat bahwa beras sebagai makanan pokok dipersepsikan komoditas strategis dan memiliki nilai politis. Ini berlangsung sejak zaman kolonial, para pengambil keputusan mempunyai obsesi untuk berhasil dalam swasembada beras. Beras dalam menu masyarakat Indonesia menduduki strata sosial tertinggi, dibandingkan dengan karbohidrat lainnya seperti jagung, ubi kayu, sagu, ubi jalar, dan lain-lain. Politik pangan nasional bertumpu pada bagaimana ketersediaan beras, secara tidak disadari telah mengakibatkan terjadinya perubahan menu karbohidrat non beras ke beras, terutama untuk daerah-daerah yang secara tradisional bukan pemakan beras, seperti kawasan Indonesia timur, ini dikarenakan beras mudah didapat dimana-mana. Hal tersebut dilakukan tanpa memperhatikan pola pangan lokal. Upaya nasional untuk mengembangkan ketahanan pangan bias pada beras, hampir sebagian besar dana riset pangan lebih difokuskan untuk menciptakan varietas-varietas padi unggul, sedangkan untuk serealia lainnya kurang mendapat perhatian. Padahal sumber karbohidrat lain non beras juga penting. Banyak daerah memiliki sumber karbohidrat yang tidak kalah kualitasnya dengan kandungan gizi beras seperti biji-bijian dan umbi-umbian. Jagung, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan aneka talas-talasan relatif belum tersentuh. Upaya-upaya kearah penciptaan diversifikasi pangan lokal belum dilakukan secara serius. Perlu adanya komitmen nasional untuk mengurangi karbohidrat yang bersumber dari beras. Sudah saatnya petani diberi kebebasan untuk menanam aneka komoditas yang menurut penilaiannya memberikan manfaat ekonomi maksimal. Pemerintah sebaiknya disini berperan sebagai penyedia infrastruktur pasca panen, penyimpanan produksi, dan penyedia informasi pertanian sehingga
10
petani mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang realitas komoditas pangan nasional sehingga mereka dapat memfokuskan usahanya untuk memproduksi komoditas yang memberikan manfaat ekonomi yang paling optimum, kebebasan petani memproduksi aneka bahan makanan akan berkontribusi dalam mempercepat diversifikasi pangan.
Kerangka Pemikiran Diversifikasi konsumsi pangan pokok bukanlah suatu konsep dan situasi yang terjadi tanpa proses. Diversifikasi konsumsi pangan pokok terlaksana apabila terdapat dukungan, baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat masyarakat. Peran serta dari rumah tangga, masyarakat, dan budaya memiliki hubungan yang penting dalam terwujudnya diversifikasi konsumsi pangan pokok. Oleh karena itu, peneliti mengusulkan kerangka pemikiran sebagai berikut. Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga (X1) (X1.1) Tingkat Pendidikan (X1.2) Tingkat Pengeluaran (X1.3) Ukuran Rumah Tangga (X1.4) Status Kepemilikan Lahan (X1.5) Luas Lahan
Peran Gender dalam Rumah Tangga (X2) (X2.1) Pola Pembagian Kerja (X2.2) Tingkat Akses (X2.3) Tingkat Kontrol
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi (Y)
Tingkat Dukungan Lokal (X3) (X3.1) Tingkat Aturan Lokal Mengenai Pangan Pokok (X3.2) Besarnya Peran Elit Lokal Keterangan:
: Berhubungan Gambar 1 Kerangka pemikiran
Diversifikasi konsumsi pangan pokok adalah proses pemilihan pangan utama sumber karbohidrat yang tidak tergantung pada satu jenis bahan saja. Masyarakat Kampung Cireundeu ada yang mengonsumsi beras padi dan ada pula yang mengonsumsi beras singkong sebagai makanan pokoknya. Pemilihan kedua bahan pangan ini diduga berbeda pada setiap karakteristik sosial ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi beras singkong (rasi) yang dikonsumsi oleh masyarakat,
11
maka diperkirakan tingkat diversifikasi konsumsi pangan semakin tinggi pula. Hal ini karena masyarakat tidak tergantung pada bahan pangan beras saja, tetapi dapat mengonsumsi bahan pangan lain sebagai pangan pokoknya, sehingga untuk mengukur tingkat diversifikasi pangan pokok rumah tangga akan dilihat berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga yang diteliti adalah tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan. Tingkat pendidikan yang berbeda diduga akan berbeda pula pola pikir dan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berbeda pula pertimbangan dalam memilih bahan pangannya. Tingkat pengeluaran yang berbeda diduga berbeda pula konsumsi pangan pokoknya karena diperkirakan tujuh puluh persen pengeluaran rumah tangga dialokasikan untuk membeli pangan pokok. Ukuran rumah tangga yang berbeda diduga akan berbeda pula jumlah anggota rumah tangga dan pangan pokok yang dikonsumsi. Begitupun status kepemilikan dan luas lahan yang berbeda diduga berbeda pula dalam produksi dan ketersediaan pangan pokok. Oleh karena itu, kelima karakteristik tersebut diduga memiliki hubungan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi perempuan dan laki-laki. Analisis peran gender merupakan kajian sistematik tentang peranan, hubungan dan proses yang difokuskan pada ketidaksetaraan dalam akses dan kontrol terhadap kekuasaan, kekayaan, beban kerja antara perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan tatanan kehidupan masyarakat. Peran gender dalam rumah tangga yang diteliti adalah pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol. Pola pembagian kerja yang berbeda antara perempuan dan laki-laki diduga akan berbeda pula dalam mobilitas sosial yang dilakukan berdasarkan kemampuan dan potensi baik secara pendidikan maupun kemandirian dalam hal pangan pokok. Tingkat akses dan kontrol yang berbeda antara perempuan dan laki-laki diduga akan berbeda pula besarnya kesempatan dan kekuasaan dalam hal sumber fisik/material, pasar komoditas, sumberdaya sosial-budaya, dan perolehan manfaat dari pangan pokok. Oleh karena itu, peran gender dalam rumah tangga tersebut diduga memiliki hubungan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Budaya memiliki pengaruh yang besar dalam pemilihan dan penentuan bahan pangan pokok. Tingkat dukungan lokal di masyarakat adalah suatu bentuk aturan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan dalam masyarakat untuk penganekaragaman pangan. Tingkat dukungan lokal yang diteliti adalah tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok dan besarnya peran elit lokal. Tingkat aturan lokal yang berbeda diduga akan berbeda pula dalam pemanfaatan dan konsumsi pangan pokok. Begitupun peran elit lokal yang berbeda diduga akan berbeda pula dorongan masyarakat terhadap bahan pangan pokok. Oleh karena itu, tingkat dukungan lokal memiliki hubungan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.
12
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Karakteristik rumah tangga memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. 2. Peran gender dalam rumah tangga memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. 3. Tingkat dukungan lokal memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi.
Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional untuk mengukur berbagai peubah. Masing-masing peubah terlebih dahulu diberikan batasan dan indikator pengukurannya. Berikut ini adalah rumusan operasionalisasi masingmasing peubah: 1. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga merupakan sifat yang melekat pada rumah tangga dan akan mempengaruhi kondisi sosial ekonomi serta pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Variabel ini diukur dengan: a. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh responden dan dihitung berdasarkan tahun sukses. 1) SD/sederajat: 1 – 6 tahun 2) SMP/sederajat: 7 – 9 tahun 3) SMA/sederajat: 10 – 12 tahun 4) Perguruan tinggi: 13 – 16 tahun b. Tingkat pengeluaran adalah jumlah rupiah yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pangan dan non pangan selama satu bulan. Rata-rata pengeluaran responden adalah Rp 1 187 550 dan standar deviasinya adalah Rp 506 984. 1) Rendah: pengeluaran < Rp 934 058 2) Menengah: pengeluaran Rp 934 058 - Rp 1 441 042 3) Tinggi: pengeluaran > Rp 1 441 042 c. Ukuran rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga responden yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. 1) Kecil: jumlah anggota rumah tangga ≤ 4 orang 2) Menengah: jumlah anggota rumah tangga 5 - 6 orang 3) Besar: jumlah anggota rumah tangga ≥ 7 orang d. Status kepemilikan lahan adalah keadaan atau kedudukan yang menggambarkan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga responden sesuai dengan jenis komoditas yang diusahakan, yakni kebun singkong. 1) Tidak memiliki lahan: golongan responden yang tidak memiliki lahan kebun singkong.
13
2) Lahan bukan milik: golongan responden yang menggarap lahan kebun singkong atas dasar sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya. Lahan yang digarap bukan milik sendiri. 3) Lahan milik: golongan responden yang memiliki lahan kebun singkong sendiri dan hasilnya sepenuhnya menjadi milik responden. e. Luas lahan adalah besarnya kepemilikan lahan kebun singkong yang dikuasai oleh responden. Luas lahan ini diukur dalam satuan hektar (Ha). Rata-rata luas lahan responden adalah 0.62 Ha dan standar deviasinya adalah 1.046. 1) Rendah: luas lahan < 0.097 2) Menengah: luas lahan 0.097 - 1.143 3) Tinggi: luas lahan >1.143 2.
Peran gender dalam rumah tangga adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden terhadap perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konstruksi sosial-budaya masing-masing responden. Variabel ini diukur dengan: a. Pola pembagian kerja adalah pembagian seluruh aktivitas dalam suatu rumah tangga responden sesuai peranan masing-masing anggotanya. Kegiatan rumah tangga dibagi menjadi kegiatan domestik (13 kegiatan), kegiatan produktif (10 kegiatan), dan kegiatan sosial (8 kegiatan). Responden dapat memilih 1 dari 4 pilihan. Kegiatan laki-laki sendiri (skor 1), kegiatan perempuan sendiri (skor 1), dan kegiatan bersama (skor 2). 1) Rendah: skor 31-41 2) Menengah: skor 42-52 3) Tinggi: skor 53-62 b. Tingkat Akses adalah besarnya kesempatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses dibagi menjadi kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material (5 pertanyaan), sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya (7 pertanyaan), sumberdaya sosial-budaya (5 pertanyaan), dan manfaat (7 pertanyaan). Responden dapat memilih 1 dari 3 pilihan, yakni dominan lakilaki sendiri (skor 1), dominan perempuan sendiri (skor 2), dan bersama (skor 3). 1) Dominan laki-laki: skor 24-39 2) Dominan perempuan: skor 40-55 3) Dominan bersama: skor 56-72 c. Tingkat kontrol adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat kontrol dibagi menjadi kesempatan untuk menggunakan sumber daya fisik/material (5 pertanyaan), sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya (7 pertanyaan), sumberdaya sosial-budaya (5 pertanyaan), dan manfaat (7 pertanyaan). Responden dapat memilih 1 dari 3 pilihan, yakni dominan laki-laki sendiri (skor 1), dominan perempuan sendiri (skor 2), dan bersama (skor 3). 1) Dominan laki-laki: skor 24-39 2) Dominan perempuan: skor 40-55
14
3) Dominan bersama: skor 56-72 3.
Tingkat dukungan lokal adalah suatu bentuk aturan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan dalam masyarakat untuk penganekaragaman pangan. Variabel ini diukur dengan: a. Tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok adalah ketentuan dan norma mengenai pemanfaatan pangan pokok berupa rasi dan tradisi untuk mempertahankan rasi sebagai pangan pokok masyarakat di Kampung Cireundeu. Terdapat 7 pertanyaan mengenai aturan lokal mengenai pangan. Responden dapat memilih 1 dari 2 pilihan, yakni tidak (skor 1) dan ya (skor 2). 1) Rendah: skor 7-9 2) Menengah: skor 10-12 3) Tinggi: skor 13-14 b. Besarnya peran elit lokal adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden mengenai elit lokal yang mengatur mengenai rasi sebagai pangan pokok di Kampung Cireundeu. Terdapat 7 pertanyaan mengenai peran elit. Responden dapat memilih 1 dari 4 pilihan, yakni tidak (skor 1) dan ya (skor 2). 1) Rendah: skor 7-9 2) Menengah: skor 10-12 3) Tinggi: skor 13-14
4.
Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi adalah jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi dalam rumah tangga responden. Pada Kampung Cireundeu terdapat dua macam makanan pokok yang sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat yaitu beras padi (beras) dan beras singkong (rasi). Diversifikasi pangan pokok yang terjadi adalah peralihan dari beras padi ke beras singkong, untuk itu yang akan diukur dalam variabel ini berfokus pada beras singkong (rasi). Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi dihitung sebagai berikut. Jumlah anggota rumah = Jumlah anggota rumah tangga yang x 100% tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan mengonsumsi rasi pokoknya Jumlah keseluruhan anggota rumah tangga Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan rata-rata jumlah anggota rumah tangga responden yang mengonsumsi rasi adalah 70.21 persen dan standar deviasinya adalah 34.03 persen. 1) Rendah: jumlah anggota rumah tangga yang mangonsumsi rasi < 53.20 persen 2) Menengah: jumlah anggota rumah tangga yang mangonsumsi rasi 53.20 persen – 87.22 persen 3) Tinggi: jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi > 87.22 persen
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi. Pertimbangan penentuan lokasi didasarkan pada dua indikator utama yaitu masyarakat Kampung Cireundeu melakukan diversifikasi konsumsi pangan dengan mengganti pangan pokok mereka dari beras padi menjadi beras singkong (rasi) dan hal tersebut sudah dilakukan sejak lama. Penulis tertarik memilih lokasi tersebut sebagai tempat penelitian untuk menganalisis lebih lanjut mengenai peran gender dalam diversifikasi konsumsi pangan yang mendayagunakan pangan pokok lokal berupa singkong. Peta lokasi Kampung Cireundeu dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian dimulai dari bulan Januari, meliputi kegiatan penyusunan proposal, kolokium, dan perbaikan proposal. Selanjutnya pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, penyusunan skripsi, sidang skripsi dan perbaikan laporan skripsi dilakukan pada bulan Februari sampai Juli. Jadwal kegiatan penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
Teknik Pengumpulan Data Metode penelitian yang digunakan adalah survai. Survai merupakan penelitian yang mengambil sampel atau contoh untuk mewakili seluruh populasi lokasi penelitian. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 1989). Terdapat dua data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yakni data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara terstruktur kepada rumah tangga sampel sesuai dengan kuesioner yang telah disusun. Informasi yang tidak dapat digali melalui kuesioner dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam kepada informan. Informan terdiri atas tokoh-tokoh masyarakat yang miliki pengaruh besar dalam masyarakat, seperti Ketua Adat Kampung Cireundeu, Tokoh-Tokoh Adat Kampung Cireundeu, Ketua RW 10, Sekretaris RW, Ketua RT 02 dan 03, Pegawai Pemerintah Kelurahan Leuwigajah dan Dinas Koperasi Perindustrian Perdagangan dan Pertanian (Diskopindagtan), serta pihak terkait lainnya. Wawancara informan menggunakan panduan pertanyaan yang telah disusun agar penggalian informasi dapat lebih maksimal. Sementara itu, data sekunder merupakan data yang diperoleh dari studi literatur. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi profil desa, potensi desa, data kependudukan dan sumber lainnya yang mendukung kelengkapan informasi. Adapun rincian metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.
16
Tabel 1 No
Rincian metode pengumpulan data Data
Sumber Data Ketua RW, Sekretaris RW, Ketua RT 02 dan 03, Kelurahan Leuwigajah dan DISKOPINDAGTAN
Teknik Perolehan Data
1.
Profil desa, potensi desa, data kependudukan, dan data pendukung lainnya
Wawancara mendalam kepada informan
2.
Karakteristik sosial ekonomi Responden rumah tangga, meliputi: tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan, dan luas lahan
Wawancara menggunakan panduan kuesioner
3.
Peran gender dalam rumah tangga, meliputi: pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol
Responden
Wawancara menggunakan panduan kuesioner
4.
Tingkat dukungan lokal, meliputi: tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok dan besarnya peran elit lokal
Responden
Wawancara menggunakan panduan kuesioner
5.
Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi
Responden
Wawancara menggunakan panduan kuesioner
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga di Kampung Cireundeu yang mengonsumsi pangan pokok berupa rasi yang berada di RT 02 dan 03. Hal ini dikarenakan masyarakat yang mengonsumsi rasi tersebar di RT 02, 03, dan 05, akan tetapi paling banyak berada di RT 02 dan 03. Menurut Sekretaris RW terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 rumah tangga. Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan sementara karena belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok. Pemilihan responden dilakukan secara sengaja atau purposive, dengan pertimbangan-pertimbangan berupa: 1. Populasi yang digunakan dalam lingkup kampung, yang tidak memiliki data lengkap terkait anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. 2. Responden dengan kriteria spesifik, yaitu rumah tangga yang salah satu anggota atau keseluruhan anggota rumah tangganya mengonsumsi rasi, serta terdapat laki-laki dan perempuan dewasa yang tinggal di dalam rumah tersebut. 3. Diasumsikan responden yang digunakan sudah merepresentasikan seluruh rumah tangga yang mengonsumsi rasi di kampung tersebut.
17
Jumlah sampel yang akan dijadikan responden di setiap daerah berjumlah 36 rumah tangga yang mengacu pada rumus Slovin. Jumlah ini dirasa cukup untuk memenuhi reliabilitas dan validitas data yang dihasilkan. Lebih lanjut tentang teknik sampling responden dapat dilihat pada gambar berikut. Kampung Adat Cireundeu (56 Rumah Tangga) 36 Rumah Tangga
18 Rumah tangga Mengonsumsi Rasi
18 Rumah Tangga Mengonsumsi Rasi + Beras
36 Responden
36 Responden Gambar 2 Teknik sampling responden
Sampel yang diambil terdiri dari 18 rumah tangga yang mengonsumsi beras singkong (rasi) dan 18 rumah tangga yang mengonsumsi campuran, yaitu beras singkong (rasi) dan beras padi. Unit analisis yang digunakan adalah rumah tangga yang diwakili oleh satu laki-laki dewasa, diutamakan kepala keluarga dan satu perempuan dewasa, diutamakan istri dalam rumah tangga tersebut. Setiap rumah tangga diambil dua orang responden, sehingga jumlah responden rasi menjadi 36 orang dan jumlah responden campuran 36 orang. Jumlah responden keseluruhan sebanyak 72 orang dari 36 rumah tangga.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Uji validitas dan reliabilitas dilakukan terhadap data kuantitatif yang diperoleh melalui kuesioner. Mengutip Singarimbun dan Effendi (2006), validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu mengukur apa yang ingin diukur. Uji Validitas Product Momen dengan Correlate Bivariate dilakukan untuk mengetahui validitas dari setiap pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner yang digunakan dengan taraf signifikansi 0.05. Nilai rtabel yang diperoleh untuk jumlah data (n) sebanyak 72 orang responden pada taraf signifikansi 0.05 adalah 0.195. Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan, diketahui bahwa nilai validitas pada taraf signifikansi 0.05 dari variabel ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan, luas lahan, tingkat akses, tingkat kontrol, tingkat aturan lokal, dan besarnya peran elit lokal lebih besar daripada nilai rtabel. Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang
18
terdapat dalam kuesioner sudah valid dan dapat digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga, peran gender dalam rumah tangga, dan tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Nilai validitas pada taraf signifikansi 0.05 dari variabel tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, dan pola pembagian kerja lebih kecil daripada rtabel. Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner tidak valid dan kurang dapat digunakan untuk mengukur hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dan peran gender dalam rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulangi dua kali atau lebih (Singarimbun dan Effendi 2006). Uji reliabilitas intrumen dilakukan dengan menggunakan uji koefisien reliabilitas. Setelah dilakukan pengujian kuesioner pada 10 orang, diperoleh nilai reliabilitas sebesar 0.701. Nilai reliabilitas lebih dari 0.5 dan mendekati 1. Dengan demikian data hasil kuesioner memiliki tingkat reliabilitas yang baik atau dengan kata lain data hasil kuesioner dapat dipercaya. Hasil uji validitas dan reliabilitas kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 3.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data penelitian yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu apakah sudah lengkap atau belum. Data yang sudah lengkap diberi skor dan pengkodean. Selanjutnya data dianalisis menggunakan tabel frekuensi dan tabulasi silang. Kemudian dilakukan uji statistik menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Kaidah pengambilan keputusan tentang ada tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti adalah dengan signifikansi/probabilitas. Dasar pengambilan keputusan dirumuskan sebagai berikut. 1. Jika nilai signifikansi/probabilitas < 0.01 atau 0.05, maka Ho akan ditolak, sehingga hubungan antar variabel signifikan atau berhubungan nyata 2. Jika nilai signifikan/probabilitas > 0.01 atau 0.05, maka Ho akan ditolak, sehingga hubungan antar variabel tidak signifikan atau tidak berhubungan nyata Hubungan sebab akibat pada uji korelasi Rank Spearman ini ditunjukkan melalui tanda positif (+) dan negatif (-) di depan nilai koefisien. Positif (+) menandakan hubungan antar variabel searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat juga besar. Negatif (-) menandakan hubungan antar variabel tidak searah atau berbanding terbalik, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Administratif Cireundeu merupakan salah satu kampung yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat. Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu” karena dahulu di kampung ini populasinya sangat banyak. Pohon reundeu itu sendiri bermanfaat sebagai obat herbal. Kampung Cireundeu terletak di perbatasan Kota Cimahi dengan Kabupaten Bandung Barat tepatnya dengan Kecamatan Batujajar. Jarak kampung Cireundeu ke Kantor Kelurahan Leuwigajah kurang lebih 3 km dan 4 km ke kecamatan serta 6 km ke kota atau Pemerintah Kota Cimahi, dengan keadaan topografi datar, bergelombang sampai berbukit. Kampung Cireundeu dikelilingi oleh gunung Gajah Langu dan Gunung Jambul di sebelah Utara, Gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA dan Gunung Kunci di sebelah Barat. Dari ketinggian Gunung Gajah Langu kurang lebih 890 meter dpl tersebut, selayang pandang terlihat jelas panorama Kota Cimahi, Kotamadya Bandung dan Kabupaten Bandung yang berada pada cekungan dan hamparan telaga yang terbentuk dari sejak zaman purba, hamparan keindahan alam tersebut menarik untuk tempat berwisata. Kampung Cireundeu merupakan rukun warga (RW) 10 di Kelurahan Leuwigajah yang memiliki 20 RW di dalamnya. Terdapat 5 rukun tetangga (RT) di Kampung Cireundeu yang seperti terbagi menjadi dua bagian, yaitu RT 01 dan 04 yang terpisahkan oleh bukit dengan RT 02, 03, dan 05. Masyarakat Cireundeu membagi daerah menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat, khususnya masyarakat adat Cireundeu 2. Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru, luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar 3. Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkon atau ketela, dan umbi-umbian Luas areal tanah di Kampung Cireundeu yang biasa digunakan untuk kegiatan budidaya tanaman singkong dan tanaman jenis lainnya oleh masyarakat sekitar 25 Ha. Disamping itu areal tanah di sepanjang bukit mulai dari Pasir Panji, Gunung Jambul, Gunung Gajah Langu, Gunung Puncak Salam, Gunung Cimenteng sampai berbatasan dengan Kecamatan Batujajar diperkirakan seluas 800 Ha. Sedangkan, luas areal yang dipakai perumahan masyarakat sekitar 5 Ha.
20
Kondisi Penduduk Penduduk Kampung Cireundeu berjumlah 200 KK, terdiri dari 270 orang laki-laki dan 256 orang perempuan. Menurut struktur umur terdiri dari dewasa > 21 tahun, sebanyak 160 orang, remaja 7 – 21 tahun, sebanyak 283 orang, dan anak-anak < 7 tahun, sebanyak 83 orang. Dalam hal pendidikan, mayoritas penduduk Kampung Cireundeu adalah lulusan SMP/sederajat. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Kampung Cireundeu sudah tergolong menengah atau sedang. Pada Tabel 2 disajikan data penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan pendidikannya. Tabel 2
Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) SD/sederajat 24 8.05 SMP/sederajat 205 68.80 SMU/sederajat 65 21.81 Perguruan Tinggi 4 1.34 Mata pencaharian penduduk Kampung Cireundeu beragam, tetapi mayoritas bekerja sebagai petani. Pada Tabel 3 disajikan data penduduk berdasarkan mata pencahariannya. Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Kampung Cireundeu berdasarkan mata pencaharian Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%) Bertani dan beternak 96 54.24 PNS/pensiunan 6 3.39 Buruh bangunan 25 14.12 Pegawai swasta 50 28.25 Mayoritas penduduk Kampung Cireundeu beragama Islam yaitu sebanyak 814 orang, selain itu juga terdapat penganut kepercayaan terhadap Tuhan sebanyak 119 orang. Suku atau etnis yang terdapat di Kampung Cireundeu yaitu 1006 orang etnis Sunda dan 5 orang etnis Jawa, sisanya adalah etnis Cina. Penduduk Kampung Cireundeu merupakan salah satu komunitas adat kesundaan yang mampu memelihara, melestarikan adat istiadat secara turun temurun dan tidak terpengaruhi oleh budaya dari luar khususnya dalam mempertahankan adat leluhurnya. Mereka memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman” arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah kita sebagai warga kampung adat memiliki cara, ciri dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti penduduk Kampung Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikutinya seperti adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan. Potensi yang telah dicapai saat ini diantaranya ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan nasional dibidang Ketahanan Pangan Nasional di Makasar dan Lampung serta sering diundang oleh instansi, lembaga maupun forum yang
21
berkaitan erat dengan dunia pangan dan pertanian umumnya, serta mendapat beberapa penghargaan tingkat lokal, regional dan nasional.
Karakteristik Pangan Pokok Kampung Cireundeu Masyarakat adat Kampung Cireundeu menganut keyakinan tersendiri. Pada mulanya mereka menggunakan beras sebagai makanan pokoknya. Alasan beralihnya makanan pokok menjadi singkong karena pada masa penjajahan Belanda terjadi kekurangan pangan khususnya beras. Oleh karena itu, pengikut aliran kepercayaan tersebut diwajibkan berpuasa dengan cara mengganti nasi beras dengan nasi singkong sampai waktu yang tidak terbatas. Tujuan berpuasa adalah agar segera merdeka lahir dan batin, menguji keyakinan para penganut aliran kepercayaan serta agar mereka selalu ingat pada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu masyarakat adat kampung Cireundeu berpedoman pada prinsip hidup yang mereka anut, yaitu teu nyawah asal boga pare, teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal dahar, teu dahar asal kuat, yang maksudnya adalah tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat bisa menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat. Menohon kekuatan ini harus kepada Yang Memiliki, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Beralihnya makanan pokok masyarakat adat kampung Cireundeu dari nasi beras menjadi nasi singkong dimulai kurang lebih Tahun 1918, yang dipelopori oleh Ibu Omah Asmanah, putra Bapak Haji Ali yang kemudian diikuti oleh saudara-saudaranya di kampung Cireundeu. Ibu Omah Asmanah lalu mengembangkan makanan pokok non beras ini. Berkat kepeloporannya tersebut pemerintah melalui Wedana Cimahi memberikan suatu penghargaan sebagai Pahlawan Pangan pada Tahun 1964. Pada masa tugas Bupati Memed yang mempunyai perhatian besar terhadap makanan pokok singkong, makanan pokok penduduk kampung Cireundeu tersebut sering diikutsertakan pada pameran-pameran makanan non beras mewakili Kabupaten Bandung. Salah satu tujuan diperkenalkannya berbagai jenis makanan yang terbuat dari singkong dan proses pembuatan nasi singkong adalah agar masyarakat pada umumnya tidak tergantung pada beras sebagai makanan pokok. Kearifan budaya lokal yang selalu diterapkan di lingkungan masyarakat adat kampung Cireundeu. Kepedulian dan kecintaannya terhadap alam dan lingkungan sekitar menjadi bagian dari kehidupan warga, sebagaimana petuah leluhurnya dalam rangka menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan dalam bahasa sunda sebagai berikut: “Gunung Kaian, Gawir Awian, Cinyusu Rumateun, Sampalan Kebonan, Pasir Talunan, Dataran Sawahan, Lebak Caian, Legok Balongan, Situ Pulasaraeun, Lembur Uruseun, Walungan Rawateun, Jeung Basisir Jagaeun.” (Abah EMN, tidak diketahui)
22
“Gunung ada kayunya, tebingnya banyak bambu, mata air dirawat, tegalan kebun, pasir kosong/lahankosong, dataran persawahan, sungai ada airnya, kolam balongan, balongan/empang dipelihara/rawat, kampung dijaga, sungai dirawat, dan pinggiran danau dijaga.” (Abah EMN, tidak diketahui) Masyarakat kampung Cireundeu pada umumnya telah terbiasa dengan kegiatan budidaya tanaman singkong, dari mulai proses pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pembuatan beraneka ragam jenis makanan yang berbahan dasar singkong, salah satunya adalah “rasi” atau beras singkong. Hal ini telah dilakukan sejak lebih dari delapan puluh tahun, dan merupakan keseharian masyarakat kampung Cireundeu hingga saat ini. Terdapat 199 orang warga yang setiap harinya mengonsumsi beras singkong yang tersebar di 56 KK (Data ini diperoleh berdasarkan perkiraan sementara dari sekretaris RW, belum pernah diadakan pendataan kembali dari pemerintah). Beras singkong berkembang di Kampung Cireundeu dikarenakan singkong merupakan tanaman yang paling cocok ditanaman di daerah tersebut. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak SDJ (36 tahun), sebagai berikut: “Sudah dicoba bermacam-macam tanaman lain seperti jagung dan sorgum namun, hasilnya tidak memuaskan karena tanahnya yang asam.” (Bapak SDJ, 36 tahun) Terdapat 42 hektar kebun yang ditanami singkong sehingga akses untuk mendapatkan bahan baku beras singkong mudah. Selain itu juga telah terkoordinir mengenai pengolahan dan pemasaran beras singkong yang berpusat di sebuah balai di RT 02. Dalam kehidupan keseharian penduduk kampung Cireundeu dapat dikatakan sudah mandiri pangan dalam hal makanan pokok sehingga tidak terpengaruh oleh gejolak sosial terutama harga beras. Taraf ekonomi masyarakat kampung Cireundeu sudah tidak ada yang kekurangan, dalam hal mengonsumsi beras singkong bukan disebabkan oleh kondisi ekonomi tetapi disebabkan karena tradisi yang dianutnya. Cara pembuatan rasi pertama-tama singkong dikupas lalu dicuci sampai bersih, sesudah itu singkong diparut dan hasil parutannya diperas. Ampas perasan kemudian dijemur sampai kering, setelah itu ditumbuk atau digiling lagi lalu diayak. Cara pengolahannya yaitu rasi diberi air secukupnya sampai bisa dikepal “eumeul-eumeul” setelah itu adonan rasi dikukus ± 15 menit lalu angkat dan tiriskan. Nasi singkong siap disajikan. Kandungan gizi rasi per 100 gram adalah energi 359 kalori, karbohidrat 86,5 gram, protein 1.4 gram, lemak 0.9 gram. Standar gizi 100 gram beras setara dengan 120 gram singkong. Rasi memiliki kadar gukosa yang rendah, sehingga sangat baik untuk penderita diabetes dan untuk mengurangi tingkat obesitas.
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA, PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA, DAN TINGKAT DUKUNGAN LOKAL
Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Rumah tangga responden dibagi menjadi dua, yaitu (1) rumah tangga yang keseluruhan anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong (rasi) sebagai pangan pokoknya dan (2) rumah tangga yang sebagian anggota keluarganya mengonsumsi beras singkong dan sebagian lagi mengonsumsi beras padi (campuran) sebagai pangan pokoknya. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan yang dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4
Jumlah dan persentase responden berdasarkan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga
Karakteristik Sosial Ekonomi
Tingkat Pendidikan
Tingkat Pengeluaran
Ukuran Rumah Tangga Status Kepelikan Lahan
Kategori
Rumah Tangga Rasi
n
%
n
%
1-6 tahun (SD/sederajat)
10
27.78
16
44.44
7-9 tahun (SMP/sederajat)
12
33.33
5
13.89
10-12 tahun (SMA/sederajat)
10
27.78
12
33.33
13-16 tahun (Perguruan tinggi)
4
11.11
3
8.33
Rendah (
8
22.22
14
38.89
Menengah (Rp 934 0581 441 042)
14
38.89
14
38.89
Tinggi (>Rp 1 441 042)
14
38.89
8
22.22
Kecil (≤4 orang)
22
61.11
30
83.33
Menengah (5-6 orang)
12
33.33
4
11.11
2
5.56
2
5.56
27
75
14
38.89
Lahan bukan milik
0
0
6
16.67
Lahan milik
9
25
16
44.44
28
77.78
14
38.89
Menengah (0.097-1.143 ha)
6
16.67
14
38.89
Tinggi (>1.143 ha)
2
5.56
8
22.22
Besar (≥7 orang) Tidak mempunyai lahan
Rendah (<0.097 ha) Luas Lahan
Rumah Tangga Campuran
24
Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh responden dan dihitung berdasarkan tahun sukses. Pendidikan formal terakhir digolongkan menjadi empat kategori, yaitu 1-6 tahun (SD/sederajat), 7-9 tahun (SMP/sederajat), dan 13-16 tahun (perguruan tinggi). Pada responden campuran sebagaian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 7-9 tahun (SMP/sederajat) yaitu sebanyak 12 responden atau 33.33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan responden campuran berada pada tingkat menengah. Lain halnya dengan responden rasi yang sebagian besar mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 16 responden atau 44.44. Hal ini menunjukkan bahwa responden rasi memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Bila dilihat berdasarkan jenis kelaminnya terdapat perbedaan antara responden perempuan dan laki-laki dalam hal tingkat pendidikan. Persentase tingkat pendidikan responden berdasarkan golongan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5
Jumlah dan persentase responden dan berdasarkan tingkat pendidikan
Tahun Sukses
Laki-laki
Perempuan
n
%
n
%
1-6 tahun
13
36,11
13
36,11
7-9 tahun
8
22,22
9
25
10-12 tahun
13
36,11
9
25
13-16 tahun
2
5,56
5
13,89
36
100
36
100
Total
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa responden laki-laki paling banyak megenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) dan tingkat 10-12 tahun (SMA/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen pada masing-masing kategori. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden laki-laki berada pada tingkat rendah hingga tinggi. Pada responden perempuan paling banyak mengenyam pendidikan pada tingkat 1-6 tahun (SD/sederajat) yaitu sebanyak 13 responden atau 36,11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sebagian besar responden perempuan berada pada tingkat rendah. Anak perempuan di Desa Cireundeu cenderung putus sekolah ketika keuangan keluarga tidak mencukupi karena persepsi bahwa perempuan akan ikut suaminya setelah mereka menikah dan bertugas mengurus rumah tangga, sehingga tidak diperlukan pendidikan yang tinggi. Sebagian besar responden perempuan menjadi ibu rumah tangga dan mengandalkan suaminya sebagai pencari nafkah utama. Hanya sedikit responden perempuan yang ikut bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan perempuan karena pendidikan yang rendah membatasi perempuan pada pekerjaan informal dengan upah yang rendah. Studi yang dilakukan Pratitis dan Suryadi (2001) menemukan bahwa pilihan keluarga yang kurang beruntung memberikan prioritas bagi anak laki-laki untuk
25
sekolah dengan alasan biaya berdasarkan pada pengalaman empirik bahwa tingkat balikan (rate of return) terhadap pendidikan perempuan yang lebih rendah. Lakilaki cenderung lebih aktif berpartisipasi dalam proses pembelajaran di sekolah atau perguruan tinggi disebabkan nilai dan sikap masyarakat yang menganggap laki-laki lebih penting dalam berbagai dimensi kehidupan. Laki-laki masih dominan berperan sebagai kepala keluarga, pemimpin masyarakat, serta pemimpin dalam lembaga-lembaga birokrasi. Laki-laki juga mendominasi jurusan atau program studi berkaitan dengan ilmu-ilmu murni dan “ilmu-ilmu keras” (basic and hard sciences), seperti ilmu pengetahuan alam, otomotif, teknologi, industri, dan sejenisnya. Kesenjangan gender dalam bidang pendidikan serta dalam pemilihan jurusan-jurusan keahlian membuat laki-laki memiliki kesempatan memperoleh keahlian dan status profesional yang tinggi. Akibatnya, rata-rata penghasilan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penghasilan perempuan. Tingkat Pengeluaran Tingkat pengeluaran dihitung berdasarkan jumlah rupiah yang dikeluarkan responden untuk kebutuhan pangan dan non pangan. Rata-rata tingkat pengeluaran per bulan seluruh rumah tangga responden adalah Rp 1 187 550 dan standar deviasinya adalah Rp 506 984. Rata-rata nilai ini akan menentukan batasan pada tiap kategori, yakni tingkat pengeluaran rendah, menengah dan tinggi. Pada rumah tangga campuran, sebagian besar responden memiliki tingkat pengeluaran menengah dan tinggi, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Berbeda dengan rumah tangga rasi yang sebagian besar respondennya memiliki tingkat pengeluaran tinggi rendah dan menengah, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Hal ini karena beras padi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan beras rasi. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu SRH (21) dan Bapak YDI (33) sebagai berikut: “Sebulannya beli rasi paling dua kilo harganya hanya dua puluh ribu, sedangkan untuk beras sebulannya bisa sampe delapan atau sembilan kilo, harganya kira-kira sembilan puluh lima ribu.” (Ibu SRH, 21 tahun) “Mengonsumsi rasi akan lebih cepat kenyang. Satu kilogram rasi dapat mencukupi lebih dari lima orang karena porsi sedikit saja sudah bisa mengeyangkan. Hal ini terbukti tidak hanya pada orang-orang yang terbiasa makan rasi, orang-orang yang sekali mencoba rasi pun beranggapan demikian. Jadi, mengonsumsi rasi sebenarnya lebih hemat dan menguntungkan.” (Bapak YDI, 33 tahun) Berdasarkan pernyataan responden di atas maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengeluaran rumah tangga rumah tangga campuran lebih tinggi karena harga bahan pokok sehari-harinya lebih mahal dan kebutuhan per bulannya pun lebih banyak. Berbanding terbalik dengan rumah tangga rasi yang harga bahan
26
pokok sehari-harinya lebih murah dan kebutuhan per bulannya pun lebih sedikit, sehingga tingkat pengeluarannya menjadi rendah. Ukuran Rumah Tangga Ukuran rumah tangga dihitung berdasarkan jumlah anggota rumah tangga responden yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik/sensus dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. Ukuran rumah tangga dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu rumah tangga kecil bila jumlah anggota rumah tangga kurang dari atau sama dengan 4 orang, rumah tangga menengah bila jumlah anggota rumah tangga antara 5 dan 6 orang, dan rumah tangga besar bila anggotanya 7 orang atau lebih. Pada rumah tangga campuran, sebagian besar mempunyai ukuran rumah tangga kecil, yaitu sebanyak 22 responden atau 61.11 persen. Pada rumah tangga rasi, sebagian besar mempunyai ukuran rumah tangga kecil, yaitu sebanyak 30 responden atau 83.33 persen. Hal ini berarti bahwa rata-rata rumah tangga campuran maupun rasi memiliki anggota keluarga kurang dari atau sama dengan 4 orang. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dapat membantu keuangan keluarga apabila berada dalam usia produktif dan bekerja, namun apabila dalam usia yang tidak produktif hanya akan menambah jumlah pengeluaran. Hal ini didukung oleh Sinaga et al. (2014) yang menjelaskan bahwa bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, akan diikuti juga dengan penambahan pengeluaran untuk konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini terjadi karena dengan bertambahnya jumlah anggota rumah tangga, maka rumah tangga tersebut sudah pasti memerlukan penambahan asupan pangan yang tentunya membutuhkan biaya. Nilai absolut belanja pangan akan meningkat pada jumlah anggota keluarga yang besar, tetapi belanja pangan per kapita menurun sejalan dengan ukuran ekonomi yang ada. Melihat kondisi tersebut ukuran rumah tangga masyarakat Cireundeu yang rata-rata memiliki keluarga kecil dan anggota keluarganya kurang dari atau sama dengan empat dinilai sudah bagus karena asumsi bahwa kebutuhan pangan masing-masing anggota keluarga dapat terpenuhi dan kandungan gizi pangan yang dikonsumsi bisa lebih diperhatikan. Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan adalah informasi yang menggambarkan kepemilikan lahan yang dimiliki oleh rumah tangga responden sesuai dengan jenis komoditas yang diusahakan, yakni kebun singkong. Status kepemilikan lahan rumah tangga responden dibagi menjadi tiga kategori, yaitu tidak mempunyai lahan, lahan bukan milik, dan lahan milik. Status kepemilikan lahan yang beragam akan mempengaruhi karakteristik-karakteristik tertentu antara lain: jaminan untuk akses terhadap lahan dalam jangka panjang, kemudahan untuk akses kepada lembaga perkreditan, kemudahan membuat keputusan berkaitan dengan pemanfaatan lahan, jaminan terhadap penyerobotan dari pihak lain, jaminan untuk memperoleh seluruh hasil produksi atas pemanfaatan lahan, kemudahan mentransfer hak-hak penguasaan atas lahan kepada pihak lain, kemudahan ikut serta dalam pembentukan kelompok, dan kemudahan campur tangan pemerintah
27
dalam hal penyuluhan, bantuan kredit maupun investasi langsung (Pakpahan et al. 1992). Berdasarkan data di atas, terdapat perbedaan di antara rumah tangga responden campuran dan responden rasi. Sebanyak 27 responden atau 75 persen rumah tangga campuran tidak mempunyai lahan untuk menanam singkong. Pada rumah tangga rasi sebagian besar responden, yaitu sebanyak 16 responden atau 44.44 persen berstatus lahan milik yang digunakan untuk menanam singkong. Hal ini pun sesuai dengan mata pencaharian responden rumah tangga rasi yang kebanyakan bekerja sebegai petani. Luas Lahan Luas lahan adalah besarnya kepemilikan lahan kebun singkong yang dikuasai oleh responden. Luas lahan ini diukur dalam satuan hektar (Ha). Ratarata luas lahan kebun singkong responden adalah 0.62 Ha dan standar deviasinya adalah 1.046 Ha, sehingga didapatkan kategori luas lahan rendah adalah luas lahan kurang dari 0.097 Ha, luas lahan menegah adalah luas lahan 0.097 sampai 1.143 Ha, dan luas lahan tinggi adalah luas lahan lebih dari 1.143 Ha. Berdasarkan pengkategorian tersebut, baik rumah tangga responden campuran maupun rumah tangga responden rasi memiliki luas lahan yang rendah. Hal ini dikarenakan responden yang tidak memiliki lahan dan responden yang memiliki lahan kurang dari 0.097 Ha dimasukkan dalam satu kategori, sehingga jumlah responden yang memiliki luas lahan rendah menjadi banyak. Pada rumah tangga campuran, mayoritas memiliki luas lahan yang rendah, yaitu sebanyak 28 responden atau 77.78 persen. Pada rumah tangga rasi sebagian besar memiliki luas lahan yang rendah hingga menengah, yaitu sebanyak 14 responden atau 38.89 persen pada masing-masing kategori. Hal ini didukung oleh Adnyana (2000) yang mengungkapkan bahwa proporsi rumah tangga yang tidak mempunyai lahan di daerah Jawa cenderung meningkat dari 0.72 Ha menjadi 0.78 Ha, sedangkan di luar Jawa meningkat dari 0.53 Ha menjadi 0.54 Ha. Selama ini ada anggapan bahwa pendapatan yang diperoleh rumah tangga pedesaan dari usaha tani berhubungan dengan luas penguasaan sawah (milik dan bukan milik). Semakin luas tanah yang dimiliki, semakin tinggi pendapatan yang diperoleh dari usaha tani. Bila dikaitkan dengan Kampung Cireundeu masih banyak masyarakat yang bekerja sebagai petani maupun bukan petani yang tidak memiliki lahan atau hanya memiliki luas lahan rendah untuk menanam singkong. Hal ini akan mempengaruhi pendapatan mereka dari hasil usaha tani dan menghambat diversifikasi konsumsi pangan.
28
Peran Gender dalam Rumah Tangga Peran gender dalam rumah tangga adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden terhadap perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan konstruksi sosial-budaya masing-masing responden. Perbedaan peranan antara laki-laki dan perempuan bukanlah suatu hal yang negatif. Akan tetapi, ada baiknya perbedaan tersebut dapat saling mendukung untuk terciptanya diversifikasi konsumsi pangan pokok. Peran gender dalam rumah tangga diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol. Pola Pembagian Kerja Pola pembagian kerja adalah pembagian seluruh aktivitas dalam suatu rumah tangga responden sesuai peranan masing-masing anggotanya. Pola pembagian kerja dibagi ke dalam tiga kegiatan utama, yaitu: (1) kegiatan reproduktif (domestik); (2) kegiatan produktif; dan (3) kegiatan sosial. Untuk melihat proporsi pembagian kerja yang dilakukan perempuan dan laki-laki, akan dijelaskan satu-satu per kegiatan. Kegiatan reproduktif (domestik) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang terkait dengan pemeliharaan sumberdaya insani (SDI) dan tugas kerumahtanggaan seperti menyiapkan makanan, menyiapkan air, mencari kayu bakar, berbelanja, memelihara kesehatan keluarga dan mengasuh serta mendidik anak. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik disajikan pada Tabel 6. Tabel 6
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan domestik
Jenis Kelamin
Kegiatan Domestik
Perempuan
Rumah Tangga Rasi
n
%
n
%
13
72.22
13
72.22
Menengah
4
22.22
5
27.78
Tinggi
1
5.56
0
0
Rendah
0
0
0
0
Menengah
5
27.78
7
38.89
13
72.22
11
61.11
Rendah Laki-laki
Rumah Tangga Campuran
Tinggi
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa pada kegaiatan domestik yang dilakukan responden perempuan campuran maupun rasi berada pada tingkat yang tinggi, yaitu sebanyak 13 responden campuran atau 72.22 persen dan 11 responden rasi atau 61.11 persen, sedangkan kegiatan domestik yang dilakukan responden laki-laki campuran berada pada tingkat yang rendah, yaitu sebanyak 13
29
responden atau 72.22. Hal ini dikarenakan kegiatan domestik adalah kegiatan yang identik dengan kaum perempuan. Kegiatan ini hampir selalu menjadi tanggung jawab perempuan dan anak perempuan. Pekerjaan domestik yang dilakukan di dalam rumah tangga tidak diperhitungkan sebagai pekerjaan produktif (karena tidak dibayar) (Hubeis 2010). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu SPH (34 tahun) sebagai berikut: “Saya masak, cuci baju, nyetrika, cuci piring, pokoknya beresberes rumah sama ngasuh anak saya yang ngerjain, suami mah kerja aja, cari uang buat kebutuhan keluarga.” (Ibu SPH, 34 tahun) Kegiatan produktif (publik) merupakan pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan diperjualbelikan, seperti petani, nelayan, konsultasi, jasa, pengusaha, dan wirausaha. Pembagian kerja dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perihal perbedaan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki. Kegiatan ini diimbali (dibayar) dengan uang (tunai) dan natura. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif disajikan pada Tabel 7. Tabel 7
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan produktif
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kegiatan Produktif
Rumah Tangga Campuran
Rumah Tangga Rasi
n
%
n
%
Rendah
0
0
1
5.56
Menengah
0
0
0
0
Tinggi
18
100
17
94.44
Rendah
9
50
6
33.33
Menengah
9
50
7
38.89
Tinggi
0
0
5
27.78
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa pada kegaiatan produktif, laki-laki memilki tingkat yang tinggi, yaitu sebanyak 18 responden campuran atau 100 persen dan 17 responden rasi atau 94.44 persen, sedangkan perempuan memiliki tingkat yang rendah hingga menengah, yaitu sebanyak 9 responden campuran atau 50 persen dan tingkat yang menengah, yaitu sebanyak 7 responden rasi atau 38.89 persen. Hal ini dikarenakan kegiatan produktif identik dengan kaum laki-laki. Hal-hal seperti mempunyai penghasilan/gaji, menghasilkan pendapatan utama, dan memenuhi sebagian besar kebutuhan rumah tangga adalah tanggung jawab laki-laki. Perempuan di Kampung Cireundeu banyak yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan hanya sedikit yang bekerja membantu suami. Hal ini didukung oleh Handayani dan Sugiarti (2008) yang menyatakan bahwa banyak data menunjukkan bahwa persentase perempuan yang bekerja di sektor produktif (publik) berada di bawah laki-laki. Perempuan dan laki-laki
30
melakukan kegiatan produktif, akan tetapi pada umumnya fungsi dan tanggung jawab masing-masing berbeda sesuai dengan pembagian kerja gender. Kegiatan produktif yang dilakukan perempuan seringkali kurang diakui dibanding yang dilakukan laki-laki. Di lain pihak perempuan yang bekerja untuk menopang penghasilan keluarga memiliki beban kerja yang sangat berat karena disamping bekerja di sektor formal maupun non formal, masih harus menyelesaikan pekerjaan domestik tanpa bantuan dan campur tangan laki-laki. Hal ini menunjukkan konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai. Kegiatan masyarakat (sosial) merupakan kegiatan jasa dan partisipasi politik. Kegiatan jasa masyarakat banyak bersifat relawan dan biasanya dilakukan oleh perempuan, sedangkan peran politik di masyarakat adalah peran yang terkait dengan status dan kekuasaan seseorang pada organisasi tingkat desa atau tingkat yang lebih tinggi, biasanya dilakukan oleh laki-laki. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial disajikan pada Tabel 8. Tabel 8
Jumlah dan persentase responden berdasarkan kegiatan sosial
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kegiatan Produktif
Rumah Tangga Campuran
Rumah Tangga Rasi
n
%
n
%
Rendah
4
22.22
1
5.56
Menengah
8
44.44
5
27.78
Tinggi
6
33.33
12
66.67
Rendah
11
61.11
6
33.33
Menengah
3
16.67
4
22.22
Tinggi
4
22.22
8
44.44
Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa pada responden laki-laki campuran kegaiatan sosial yang dilakukan berada pada tingkat menengah, yaitu sebanyak 8 responden atau 44.44 persen, sedangkan responden laki-laki rasi kegaiatan sosial yang dilakukan berada pada tingkat tinggi, yaitu sebanyak 12 responden atau 66.67 persen. Pada responden perempuan campuran sebagian besar memiliki tingkat ikut serta dalam kegiatan sosial yang rendah, yaitu sebanyak 11 responden atau 61.11 persen, sedangkan responden perempuan rasi berada pada tingkat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan sosial, yaitu sebanyak 8 responden atau 44.44 persen. Kegiatan sosial yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Cireundeu, meliputi pertemuan desa/RT/RW, arisan, selamatan, kegiatan kelompok tani, kegiatan PKK, kerja bakti, dan melayat bila ada yang meninggal. Pada responden rasi, baik laki-laki maupun perempuan sudah sama-sama berada pada tingkat yang tinggi. Hal ini disebabkan responden rasi, yang sebagian besar tergabung dalam masyarakat adat, sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki peran yang sama besarnya dan diikutsertakan hampir dalam setiap acara yang ada di desa. Kegiatan sosial penting bagi pemeliharaan dan
31
pengembangan aspek spiritual, kultural komunitas, serta sebagai alat komunikasi untuk dapat menentukan nasibnya sendiri, sehingga sangat penting bagi laki-laki dan perempuan sama-sama terlibat dalam kegiatan sosial sesuai dengan sistem sosial gender yang berlaku. Tingkat Akses Tingkat Akses adalah besarnya kesempatan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses yang diukur, yaitu meliputi sumber fisik/material, sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya, sumberdaya sosial-budaya, dan manfaat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses disajikan pada Tabel 9. Tabel 9
Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat akses terhadap sumberdaya pangan
Tingkat Akses
Rumah Tangga Campuran
Rumah Tangga Rasi
N
%
n
%
Dominan Laki-laki
18
50
9
25
Dominan Perempuan
11
30.56
12
33.33
7
19.44
15
41.67
Dominan Bersama
Berdasarkan Tabel 9 diketahui bahwa pada tingkat akses responden campuran sebagian besar didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 18 responden atau 50 persen, berbeda pada tingkat akses responden rasi yang sebagian besar didominasi oleh bersama (laki-laki dan perempuan), yaitu sebanyak 15 responden atau 41.67. Hal ini menunjukkan bahwa pada rumah tangga campuran laki-laki yang lebih banyak berperan dalam mengelola sumberdaya pangan berupa singkong. Kesenjangan gender terlihat dari adanya perbedaan akses antara perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya, juga tenaga kerja mereka sendiri menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah dari laki-laki. Dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan-pekerjaan domestik, sehingga ia tidak punya cukup waktu lagi untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Adapun akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran (Handayani dan Sugiarti 2008). Pada rumah tangga rasi kesenjangan gender mulai dihilangkan. Perempuan maupun laki-laki memiliki akses yang sama besarnya dalam mengelola sumberdaya pangan.
32
Tingkat Kontrol Tingkat kontrol adalah tingkat kekuasaan yang dimiliki oleh anggota rumah tangga, baik laki-laki maupun perempuan dalam memanfaatkan, menggunakan, dan memperoleh berbagai sumberdaya pangan. Tingkat akses yang diukur, yaitu meliputi sumber fisik/material, sumberdaya pangan (singkong) dan pengelolaannya, sumberdaya sosial-budaya, dan manfaat. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kontrol terhadap sumberdaya pangan Tingkat Kontrol
Rumah Tangga Campuran
Rumah Tangga Rasi
n
%
n
%
Dominan Laki-laki
19
52.78
6
16.67
Dominan Perempuan
10
27.78
15
41.67
7
19.44
15
41.67
Dominan Bersama
Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pada tingkat kontrol responden campuran sebagian besar didominasi oleh laki-laki, yaitu sebanyak 19 responden atau 52.78 persen, berbeda pada tingkat kontrol responden rasi yang sebagian besar didominasi oleh perempuan dan bersama (laki-laki dan perempuan), yaitu sebanyak 15 responden atau 41.67 pada masing-masing kategori. Hal ini dikarenakan pada responden rasi, tingkat kontrol mengenai pangan pokok lebih banyak terbuka untuk perempuan. Sebagian besar rumah tangga dalam hal pemilihan pangan untuk dikonsumsi, strategi pengelolaan pangan, pemegang pendapatan rumah tangga, dan pembagian pendapatan rumah tangga dilakukan oleh perempuan. Tidak hanya itu dalam pengolahan lahan pertanian, penanaman singkong, pemeliharaan, pemanenan, sarana produksi, penyuluhan pertanian, baik perempuan dan laki-laki sama-sama dilibatkan. Biasanya dalam suatu rumah tangga, apabila suaminya adalah petani, maka istrinya pun ikut membantu suaminya dalam bertani. Mereka sama-sama saling membantu dalam mengelola pertanian, sehingga peran laki-laki maupun perempuan sama besarnya dalam perencanaan, produksi, maupun distribusi hasil petanian. Hal ini seperti yang dungkapkan oleh Ibu KYT (57 tahun) sebagai berikut: “Dari pagi saya ikut bapak ke kebun (singkong), pulangnya abis dzuhur. Dari mulai menanam, mengolah, sampe panen dilakukan bareng-bareng neng, saya sama suami saya. Saya juga ikut membantu dalam pembuatan singkong menjadi rasi.” (Ibu KYT, 57 tahun)
33
Tingkat Dukungan Lokal Tingkat dukungan lokal adalah suatu bentuk aturan, perhatian, penghargaan, ataupun bantuan dalam masyarakat untuk penganekaragaman pangan. Tingkat dukungan lokal diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat aturan lokal mengenai pangan dan besarnya peran elit lokal yang dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat dukungan lokal Tingkat Dukungan Lokal
Kategori
n
%
n
%
18
50
9
25
2
5.56
5
13.89
Tinggi
16
44.44
22
61.11
Rendah
20
55.56
9
25
Menengah
12
33.33
1
2.78
4
11.11
26
72.22
Rendah Tingkat Aturan Lokal Mengenai Pangan Pokok
Peran Elit Lokal
Responden Rasi
Responden Campuran
Menengah
Tinggi
Tingkat Aturan Lokal Mengenai Pangan Pokok Tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok adalah ketentuan dan norma mengenai pemanfaatan pangan pokok berupa rasi dan tradisi untuk mempertahankan rasi sebagai pangan pokok masyarakat di Kampung Adat Cireundeu. Terdapat perbedaan di antara responden rumah tangga campuran dan rasi. Menurut responden rumah tangga campuran aturan lokal mengenai rasi dinilai rendah, yakni sebanyak 18 responden atau 50 persen yang menyatakan demikian. Sebagian besar menjawab tidak ada peraturan di masyarakat yang mengatur mengenai pangan pokok dan tidak diharuskannya rasi menjadi pangan pokok sehari-hari. Lain halnya pada rumah tangga rasi, sebanyak 22 responden atau 61.11 persen yang menyatakan tingkat aturan lokal mengenai pangan tinggi. Menurut sebagian besar responden terdapat peraturan mengenai pangan pokok khususnya rasi. Kebanyakan masyarakat adat di Kampung Cireundeu yang lebih mengerti mengenai aturan tersebut karena aturan-aturan yang ada tidak tertulis namun diyakini oleh masyarakat. Masyarakat adat diharuskan untuk mengonsumsi rasi sejak kecil. Hal-hal mengenai sejarah dan semua yang berkaitan dengan rasi sudah ditanamkan sejak dini oleh para tetua adat dan orang tua masing-masing, sehingga orang asli Kampung Adat Cireundeu jarang sekali yang mengonsumsi pangan pokok berupa beras padi.
34
Besarnya Peran Elit Lokal Besarnya peran elit lokal adalah pandangan, opini, perspektif, dan pemahaman responden mengenai elit lokal yang mengatur mengenai rasi sebagai pangan pokok di Kampung Adat Cireundeu. Elit lokal yang dimaksud adalah sesepuh atau ketua adat, serta para tokoh adat di Kampung Cireundeu. Pada responden rumah tangga campuran, peran elit lokal dinilai rendah, yaitu sebanyak 20 responden atau 55.56 persen. Berbeda dengan rumah tangga rasi yang mayoritas respondennya menganggap bahwa peran elit lokal sangat tinggi dalam usaha penganekaragan pangan pokok berupa rasi. Sebanyak 26 responden atau 72.22 persen responden yang beranggapan demikian. Sesepuh dan tokoh adat sangat mendukung usaha untuk penganekaragaman pangan pokok dari beras padi digantikan oleh rasi atau bahan pangan pokok lainnya. Seluruh tokoh adat yang ada di Kampung Adat Cireundeu mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok seharihari. Pola pertanian di lahan kering dengan komoditi utama singkong telah dilakukan masyarakat Kampung Cireundeu secara turun temurun. Tindakan masyarakat Kampung Cireundeu membudidayakan singkong sebagai produk utama pertanian, disamping sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan sekitarnya yang dikelilingi topografi bergelombang dan berbukit serta dikelilingi Gunung Gajah Langu dan Gunung Jambul di sebelah Utara, Gunung Puncak Salam di sebelah Timur, Gunung Cimenteng di sebelah Selatan serta Pasir Panji, TPA (Tempat Pembungan Akhir sampah) Kota Cimahi dan Gunung Kunci di sebelah Barat. Kondisi tanahnya lebih cocok untuk tanamanan singkong dan palawija. Disamping itu secara adat turun temurun tradisi menanam singkong sudah menjadi kebiasaan. Kondisi demikian mendorong masyarakat Kampung Cireundeu tetap mempertahankan kearifan lokal budidaya singkong. Hal ini seperti yang diungkapkan Fadhilah (2012) dalam wawancara dengan YRT (Sekretaris RW 10 (Kampung Cireundeu) dan Anggota pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Leuwi Gajah), masyarakat Cireundeu tetap bertahan dengan singkong, karena ada alasan-alasan yang jelas antara untuk kebutuhan sendiri juga sebagai sumber penghasilan masyarakat sini. Bagi masyarakat Kampung Cireundeu tanaman singkong memiliki beberapa kelebihan, antara lain: 1. Bisa untuk sumber pangan dan cocok dengan kondisi geografis masyarakat Cireundeu yang berada pada dataran lahan berbukit 2. Menurut para „Inohong‟ (tokoh adat Kampung Cireundeu), singkong itu dianggap sebagai tanaman tidak ber roh, dalam hal ini yang dicabut atau diambil adalah umbinya, sedangkan yang ditanam (ber-roh, karena hidup) adalah batangnya. Jadi menurut tokoh adat disini yang ditanam bukan umbinya tetapi batangnya sehingga dianggap tidak „ber-roh‟. Berbeda dengan padi ataupun jagung yang dianggap tanaman ber-roh, karena yang ditanam untuk hidup adalah bijinya. Yang jelas bagi kami masyarakat Cireundeu, tanaman singkong itu dapat dimanfaatkan semua dan tidak ada yang terbuang percuma, itulah yang kelebihankelebihan singkong.
JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI RASI
Bab ini menjelaskan mengenai jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok dalam rumah tangga responden. Pada Kampung Cireundeu terdapat dua macam makanan pokok yang sehari-hari dikonsumsi oleh masyarakat yaitu beras padi (beras) dan beras singkong (rasi). Diversifikasi pangan pokok yang terjadi adalah peralihan dari beras padi ke beras singkong (rasi), sehingga variabel yang digunakan adalah jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi disajikan pada Tabel Tingkat diversifikasi konsumsi pangan pokok diukur dengan menggunakan beberapa indikator, yaitu kuantitas konsumsi pangan, frekuensi konsumsi pangan, dan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi yang dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi
Rumah Tangga Campuran
Rumah Tangga Rasi
N
%
N
%
28
77.78
0
0
Menengah (53.20 - 87.22 persen)
4
11.11
2
5.56
Tinggi (>87.22 persen)
4
11.11
34
94.44
Rendah (<53.20 persen)
Jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi pada rumah tangga campuran terbilang rendah, yaitu sebanyak 28 responden atau 77.78 persen. Hal ini berarti bahwa anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok sehari-hari kurang dari 53.20 persen pada setiap rumah tangga responden. Pada rumah tangga rasi jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi sangat tinggi, yaitu sebanyak 34 responden atau 94.44 persen. Hal ini berarti bahwa anggota rumah tangganya yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok lebih dari 87.22 persen pada setiap rumah tangga. Semakin banyak anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi, maka semakin besar tingkat diversifikasi konsumsi pangan. Singkong atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu sumber kabohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60 persen, pati 35 persen, serat kasar 2.5 persen, kadar protein 1 persen, kadar lemak 0.5 persen, dan kadar abu 1 persen, karenanya merupakan sumber kabohidrat dan serat makanan, namun sedikit kandungan zat gizi seperti protein (Badan Litbang Pertanian, 2011). Meskipun kandungan protein dan energi pada singkong tidak sebanyak beras, jika dalam konsumsinya ditambah dengan kacang-
36
kacangan, sayuran ataupun panganan nabati dan hewani, maka jumlah kandungan energinya bisa sama bahkan lebih besar. Kandungan energi beras giling per 100 gram sebanyak 357 kalori, nasi sebanyak 180 kalori, singkong sebanyak 154 kalori, sedangkan protein yang terkandung pada beras giling adalah 8.4 gram, nasi 3 gram, dan singkong 1 gram. Baik energi maupun protein yang terkandung di dalam singkong memang lebih rendah, namun jika lauknya diperbanyak maka energi dan protein yang dihasilkan bisa menyamai bahkan melebihi beras giling dan nasi. Masalahnya masyarakat lebih banyak mengkonsumsi nasi yang banyak dengan lauk yang sedikit. Hal ini yang menyebabkan diversifikasi konsumsi pangan menjadi perlu untuk dilakukan, yaitu mengganti makanan pokok dari beras padi menjadi beras singkong yang lebih banyak kandungan serat dan kalium. Cahyani (2008) menyatakan bahwa adanya pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari non beras ke arah beras karena kecenderungan secara nasional meningkatnya konsumsi beras dari waktu-waktu. Fakta ini memberikan indikasi peranan beras dalam menyumbangkan energi (karbohidrat) semakin penting dan dominan dibanding peranan pangan sumber karbohidrat lainnya seperti umbiumbian. Tingginya peranan beras dalam pola pangan penduduk diduga antara lain: (1) citarasa beras sesuai dengan selera masyarakat; (2) beras memiliki nilai sosial tinggi dalam kehidupan masyarakat; dan (3) beras merupakan sumber karbohidrat yang cukup tinggi dan juga sumber protein yang relatif murah harganya. Kondisi tersebut telah menyebabkan beras sebagai sumber energi sulit digantikan oleh kelompok pangan lain seperti umbi-umbian. Beberapa penduduk Kampung Cireundeu mengaku telah menjadi pengkonsumsi nasi setelah sekian lama mengonsumsi rasi. Seperti yang diungkapkan DWI (25 tahun) sebagai berikut: “Semenjak SMA saya tidak pernah lagi mengonsumsi rasi karena sulit untuk didapatkan di kota.” (DWI, 25 tahun) Selain itu, di Kampung Cireundeu yang sebagian besar masyarakatnya mengonsumsi rasi sebagai pangan pokok, masih terdapat penyaluran beras miskin dari pemerintah. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat terjadinya diversifikasi konsumsi pangan karena akses terhadap beras padi semakin luas.
HUBUNGAN ANTARA BEBERAPA PEUBAH DENGAN JUMLAH ANGGOTA RUMAH TANGGA YANG MENGONSUMSI RASI
Bab berikut menganalisis hubungan antara variabel karakteristik sosial ekonomi rumah tangga responden, peran gender dalam rumah tangga responden, dan tingkat dukungan lokal dengan variabel jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Variabel karakteristik sosial ekonomi rumah tangga responden dilihat menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan, dan luas lahan. Variabel peran gender dalam rumah tangga responden dilihat menggunakan beberapa indikator, yaitu pola pembagian kerja, tingkat akses, dan tingkat kontrol. Variabel tingkat dukungan lokal dilihat menggunakan beberapa indikator, yaitu tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok dan besarnya peran elit lokal. Masing-masing variabel memiliki hubungan terhadap tinggi atau rendahnya jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hubungan atau korelasi antara variabel-variabel dianalisis menggunakan tabulasi silang dan kemudian dilakukan uji statistik Rank Spearman. Dalam pengambilan keputusan berdasarkan nilai Sig. Jika Sig. (2-tailed) atau p-value lebih kecil dari taraf nyata (α) = 0.05, maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang nyata antara variabel-variabel yang diuji. Tanda (*) pada koefisien korelasi juga menunjukkan adanya hubungan antar variabel yang diuji. Semakin banyak jumlah (*), semakin tinggi tingkat signifikan atau hubungan antar variabel yang diuji. Hasil uji statistik yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil uji statistik Rank Spearman antara karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
Tingkat Pendidikan
-0.098
0.412
Tingkat Pengeluaran
-0.117
0.327
Ukuran Rumah Tangga
-0.335**
0.004
Status Kepemilikan Lahan
0.396**
0.001
Luas Lahan
0.471**
0.000
Variabel karakteristik sosial ekonomi rumah tangga terdiri dari beberapa indikator, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengeluaran, ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan, dan luas lahan. Kemudian dihubungkan dengan variabel jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hasil analisis Rank Spearman menunjukkan bahwa ukuran rumah tangga, status kepemilikan lahan dan luas lahan signifikan atau memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat
38
diversifikasi konsumsi pangan pokok. Hal ini ditunjukkan dari hasil Sig. (2-tailed) yang lebih kecil dari taraf nyata (α) = 0.05 maka Ho ditolak, yang artinya terdapat hubungan yang nyata antara variabel-variabel yang diuji. Nilai koefisien korelasi juga memiliki tanda bintang (*) yang menunjukkan adanya hubungan antara beberapa peubah dengan tingkat diversifikasi konsumsi pangan pokok. Semakin banyak jumlah bintang maka semakin signifikan. Status kepemilikan lahan dan luas lahan memiliki nilai koefisien korelasi positif yang artinya terdapat hubungan yang positif dan berbanding lurus dengan variabel yang diuji, sedangkan ukuran rumah tangga memiliki nilai koefisien korelasi negatif yang artinya terdapat hubungan yang negatif dan berbanding terbalik dengan variabel jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hasil tabulasi silang antar variabel disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan karakteristik sosial ekonomi rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Karakteristik Sosial Ekonomi Rumah Tangga Rendah Menengah Tinggi N % n % n % Tingkat 1-6 tahun 7 9.72 1 1.39 18 25 Pendidikan 7-9 tahun 11 15.28 1 1.39 5 6.94 10-12 tahun 8 11.11 3 4.17 11 15.28 13-16 tahun 2 2.78 1 1.39 4 5.56 Tingkat Rendah 8 11.11 0 0 14 19.44 Pengeluaran Menengah 10 13.89 4 5.56 14 19.44 Tinggi 10 13.89 2 2.78 10 13.89 Ukuran Kecil 4 5.56 2 8.33 18 25 Rumah Menengah 14 19.44 0 0 14 19.44 Tangga Besar 10 13.89 4 5.56 6 8.33 Status Tidak punya 4 5.56 14 19.44 23 31.94 Kepemilik- Bukan milik 0 0 0 0 6 8.33 an Lahan Lahan milik 5 6.94 2 2.78 18 25 Luas Lahan Rendah 4 5.56 14 19.44 24 33.33 Menengah 4 5.56 0 0 16 22.22 Tinggi 0 0 2 2.78 8 11.11 Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari total responden (sebanyak 72 orang), 25 persen diantaranya termasuk dalam tingkat pendidikan 16 tahun atau SD/sederajat dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi tinggi. Hal ini karena pemilihan bahan pangan pokok untuk dikonsumsi bukan ditentukan oleh tingkatan pendidikan atau pengetahuan responden mengenai gizi yang didapatkan di sekolah formal, melainkan karena faktor budaya yang telah ditanamkan sejak dini mengenai bahan pangan pokok berupa beras singkong (rasi) sebagai pengganti beras padi, sehingga masyarakat Kampung Cireundeu terutama masyarakat adat yang sangat memahami asal-usul rasi dan manfaatnya dalam jangka panjang akan cenderung memilih rasi sebagai bahan pangan pokok sehari-harinya dibandingkan dengan beras padi.
39
Sebanyak 19.44 persen responden termasuk dalam tingkat pengeluaran yang rendah, yaitu kurang dari 934 058 rupiah per bulan dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi menengah hingga tinggi. Hal ini dikarenakan rasi memiliki harga yang lebih murah dibandingkan dengan beras, sehingga rumah tangga responden yang mengonsumsi rasi cenderung memiliki pengeluaran yang lebih rendah dibandingkan dengan rumah tangga yang mengonsumsi beras padi sebagai pangan pokoknya. Kelebihan lain dari rasi adalah mengonsumsi rasi lebih hemat dibandingkan dengan beras karena sedikit rasi saja sudah mampu mengenyangkan dan bertahan hingga setengah hari, sehingga responden rata-rata makan hanya dua kali sehari. Hal ini berbeda dengan responden yang makan beras padi, rata-rata dalam sehari makan tiga kali. Ukuran rumah tangga masyarakat Cireundeu termasuk dalam ukuran rumah tangga kecil yaitu jumlah anggota dalam rumah tangga kurang dari empat orang. Hal ini dapat dilihat dalam tabulasi silang sebanyak 25 persen responden memiliki ukuran rumah tangga kecil dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi tinggi. Rata-rata rumah tangga yang mengonsumsi rasi sebagai pangan pokoknya memiliki kurang dari 4 orang yang tinggal didalam rumah tersebut, namun hampir keseluruhan anggota rumah tangga menganggap rasi sebagai pangan pokok dan bukannya beras. Hal ini mengakibatkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi terbilang tinggi. Berbeda dengan rumah tangga campuran yang kebanyakan hanya satu sampai dua anggota rumah tangganya saja yang mengonsumsi rasi, sedangkan anggota lainnya mengonsumsi beras padi sebagai makanan pokoknya. Padahal jumlah anggota rumah tangga responden campuran berada diukuran menengah atau sekitar 5-6 orang yang tinggal di dalam rumah responden. Hal ini mengakibatkan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi menjadi rendah, walaupun total keseluruhan anggota rumah tangga banyak. Status kepemilikan lahan dan luas lahan yang memiliki hubungan positif dengan variabel jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini berarti, semakin rendah status kepemilikan lahan responden, maka semakin rendah pula jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Dibuktikan dengan hasil tabulasi silang, yaitu sebanyak 31,94 responden yang menyatakan demikian. Begitu pun dengan luas lahan. Semakin rendah luas lahan yang dimiliki responden, maka semakin rendah jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini dikarenakan semakin sempit lahan kebun singkong, maka semakin sedikit singkong yang dapat ditanam. Semakin sedikit juga singkong yang dapat diolah menjadi beras dan dapat dikonsumsi menjadi pangan pokok sehari-hari, sehingga jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi menjadi rendah. Pada variabel peran gender dalam rumah tangga responden dapat terlihat hubungan masing-masing indikator dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi yang disajikan pada Tabel 15.
40
Tabel 15 Hasil uji statistik Rank Spearman antara peran gender dalam rumah tangga terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Peran Gender dalam Rumah Tangga
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
Pola Pembagian Kerja
0.166
0.163
Tingkat Akses
0.350**
0.003
Tingkat Kontrol
0.427**
0.000
Tingkat akses dan tingkat kontrol yang memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini berarti, semakin tinggi akses dan kontrol dalam sumber fisik/material, sumberdaya pangan dan pengelolaannya, sumberdaya sosial-budaya, dan manfaat yang dilakukan bersama (perempuan dan laki-laki), maka semakin tinggi pula jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini karena responden laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan dan kekuasaan dalam hal sumberdaya singkong dan produksi rasi, sehingga semakin terbuka peluang responden untuk mengganti pangan pokok mereka dari beras padi ke beras singkong, sehingga jumlah anggota masyarakat yang mengonsumsi rasi menjadi semakin tinggi. Hasil tabulasi silang antar variabel disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan peran gender dalam rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Peran Gender dalam Rumah Tangga Rendah Menengah Tinggi N % N % n % Pola Sangat timpang 10 13.89 1 1.39 6 8.33 Pembagian Timpang 14 19.44 4 5.56 26 36.11 Kerja Seimbang 4 5.56 1 1.39 6 8.33 Tingkat Dominan laki-laki 2 2.78 9 12.5 16 22.22 Akses Dominan perempuan 8 11.11 2 2.78 13 18.06 Dominan Bersama 4 5.56 2 2.78 16 22.22 Tingkat Dominan laki-laki 2 2.78 6 8.33 17 23.61 Kontrol Dominan perempuan 7 9.72 2 2.78 16 22.22 Dominan bersama 4 5.56 2 2.78 16 22.22 Pada variabel tingkat dukungan lokal dapat terlihat hubungan masingmasing indikator dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi yang disajikan pada Tabel 17.
41
Tabel 17 Hasil uji statistik Rank Spearman antara tingkat dukungan lokal terhadap jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Tingkat Dukungan Lokal
Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Koefisien Korelasi
Sig. (2-tailed)
Tingkat Aturan Lokal
0.300*
0.010
Besarnya Peran Elit Lokal
0.431**
0.000
Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa dari total responden (sebanyak 72 orang), 31.94 persen diantaranya termasuk dalam tingkat aturan lokal tinggi dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi tinggi. Pada besarnya peran elit lokal menunjukkan 33.33 persen responden yang menganggap peran elit lokal tinggi, jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi pun tinggi. Hasil tabulasi silang antar variabel disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan tingkat dukungan lokal dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi Jumlah Anggota Rumah Tangga yang Mengonsumsi Rasi Tingkat Dukungan Lokal Rendah Menengah Tinggi N % N % N % Tingkat Rendah 15 20.83 3 4.17 9 12.5 Aturan Menengah 0 0 1 1.39 6 8.33 Lokal Tinggi 13 18.06 2 2.78 23 31.94 Besarnya Rendah 17 23.61 1 1.39 11 15.28 Peran Elit Menengah 8 11.11 2 2.78 3 4.17 Lokal Tinggi 3 4.17 3 4.17 24 33.33 Tingkat aturan lokal mengenai pangan pokok dan peran elit lokal memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini karena aturan lokal yang ada di masyarakat mengenai pangan pokok rasi bukanlah suatu peraturan yang tertulis, tetapi berupa petuah dari leluhur, sehingga dapat berubah seiring berjalannya waktu. Hanya saja banyak sekali masyarakat yang masih menjaga aturan tersebut dan mematuhinya. Ketua dan tokoh adat Kampung Cireundeu selalu mendukung peralihan pangan pokok masyarakat dari beras padi menjadi beras singkong. Mereka mengupayakan agar generasi-generasi yang akan datang dapat melestarikan tradisi yaitu mengonsumsi pangan pokok non beras padi, sehingga diversifikasi konsumsi pangan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.
PENUTUP
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat dikemukakan beberapa simpulan untuk menjawab rumusan masalah dan hipotesis penelitian yang mengarah pada tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga di Kampung Cireundeu mayoritas berada pada tingkat pendidikan 1-6 tahun atau SD/sederajat. Tingkat pengeluaran terbilang rendah yaitu kurang dari Rp 934 058. Setiap rumah tangga rata-rata memilki lima sampai enam orang yang tinggal di dalamnya. Hampir sebagian besar rumah tangga tidak mempunyai lahan perkebunan dan sebagian lagi mempunyai lahan yang luasnya kurang dari 0.097 ha. Variabel karakteristik sosial ekonomi rumah tangga responden signifikan dan memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Apabila ukuran rumah tangga kecil, tidak mempunyai lahan, dan luas lahan rendah, maka jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi menjadi rendah. 2. Pola pembagian kerja dalam rumah tangga di Kampung Cireundeu masih terdapat ketimpangan. Tingkat akses dan tingkat kontrol terhadap sumberdaya pangan memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini karena baik laki-laki maupun perempuan di Kampung Cireundeu memiliki kesempatan dan kekuasaan dalam hal sumberdaya singkong dan produksi rasi, semakin terbuka pula peluang untuk mengganti pangan pokok mereka dari beras padi ke beras singkong, sehingga jumlah anggota masyarakat yang mengonsumsi rasi menjadi semakin tinggi. 3. Variabel tingkat dukungan lokal signifikan atau memiliki hubungan yang kuat dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Hal ini dibuktikan dengan tingkat dukungan lokal mengenai pangan pokok dan peran elit lokal yang memiliki hubungan positif dengan jumlah anggota rumah tangga yang mengonsumsi rasi. Aturan lokal yang ada di masyarakat Kampung Cireundeu mengenai pangan pokok sudah ada sejak lama dan diwariskan turun-temurun dari para leluhur terdahulu. Masyarakat Kampung Cireundeu masih menjaga dan mematuhi aturan tersebut salah satunya karena peran dari ketua dan tokoh adat Kampung Cireundeu. Mereka mengupayakan agar generasi-generasi yang akan datang dapat melestarikan tradisi yaitu mengonsumsi pangan pokok non beras padi, sehingga diversifikasi konsumsi pangan bukanlah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.
43
Saran Merujuk pada tujuan, manfaat, dan hasil penelitian maka saran yang direkomendasikan oleh peneliti, antara lain: 1. Akademisi agar dapat melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai peran gender dalam rumah tangga terhadap diversifikasi konsumsi pangan pokok dengan responden yang mengonsumsi bahan pangan non beras lainnya. 2. Dinas Koperasi, Perindustrian, Perdagangan, dan Pertanian Kota Cimahi agar dapat mempermudah akses dan bantuan teknologi untuk penanaman dan pengolahan bahan pangan pokok non beras. Pemerintah Pusat juga perlu mengurangi pemberian beras miskin untuk masyarakat, apabila hal tersebut terus terjadi maka sulit mengganti bahan pangan pokok mereka menjadi nonberas. 3. Pelibatan masyarakat lokal dalam sosialisasi dan pendampingan diversifikasi konsumsi pangan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, sehingga mereka mau mengonsumsi bahan pangan non beras untuk pangan pokok sehari-harinya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana MO dan Suhaeti RN. 2003. Penerapan Index Gini untuk Mengidentifikasikan Tingkat Pemerataan Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga Pedesaan di Wilayah Jawa dan Bali. Soca [Internet]. [diunduh pada 2015 Jun 16] 3(2): http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/search .html Aini FN. 2014. Analisis Gender dalam Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Hutan Rakyat (Kasus Desa Bojonggenteng, Kecamatan Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Amir Fadhilah, 2012, Budaya Pangan dalam Konfigurasi Sosiokultural Lokal: Studi Kasus Tradisi Kuliner Rasi pada Komunitas Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwi Gajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi Provinsi Jawa barat [Internet]. [diunduh pada 2015 Jan 14]. Tersedia pada: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/download/1056/94 [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 2014. Ukuran Rumah Tangga [Internet]. [diunduh pada 2014 Des 23]. Tersedia pada: www.bkkb n.go.id/arsip/Perpustakaan [BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Konsep dan Definisi Rumah Tangga, Konsumsi dan Pengeluaran [Internet]. [diunduh pada 2014 Des 23]. Tersedia pada: www.bps.go.id/Subjek/view/id/5 Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Ag Inov [Internet]. [diunduh pada 2015 Jul 02] 4(10): 1-5. Tersedia pada: https://muhammad-ikhsaneffendi.googlecode.com/files/Inovasi%20Pengolahan%20Singkong.pdf Bravo-Baumann H. 2000. Capitalisation of Experiences on The Contribution of Livestock Projects to Gender Issues [Internet]. [diunduh pada 2015 Mar 11] Tersedia pada: http://www.bridge.ids.ac.uk/docs_genie/sdc/Gender_and_Li vestock.doc Briawan D, Djamaluddin MD, Khomsan A, Madanijah S, Martianto D. 2003. Kajian Rekayasa Sosial dan Pengembangan Teknik Edukasi untuk Peningkatan Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Cahyani, GI. 2008. Analisis Faktor Sosial Ekonomi Keluarga terhadap Keanekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Agribisnis di Kabupaten Banyumas [Internet]. [diunduh pada 2015 Jan 13]. Tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/17454/ Giriwono PE dan Hariyadi P. 2004. Penganekaragaman Pangan. Bogor (ID): Forum Kerja Penganekaragaman Pangan Handayani T dan Sugiarti. 2008. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang (ID): Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Press Hariyadi P, Krisnamurti B, Winarno FG, editor. 2003. Penganekaragaman Pangan: Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Jakarta (ID): Forum Kerja Penganekaragaman Pangan Hubeis AVS. 2010. Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press
45
Moser. 1993. Gender Planning and Development: Theory, Practice, and Training [Internet]. [diunduh pada 2015 Mei 19]. Tersedia pada: http://www.questia.c om/library/103889390/gender-planning-and-development-theory-practice Pratitis B, Suryadi A. 2001. Analisis Gender dalam Pembangunan Pendidikan [Internet]. [diunduh pada 2015 Jun 18]. Tersedia pada: Pusdatin. 2014. Beras. Bul Konsum Pang [Internet]. [diunduh pada 2015 Mei 19] 5(1): 9-20. Tersedia pada: pusdatin.setjen.pertanian.go.id/publikasi-378buletin-konsumsi-pangan-vo lume-5-no1-tahun-2014.html Qoriah SN, Titik S. 2008. Analisis Gender dalam Program Desa Mandiri Pangan (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Klaten Jawa Tengah). Sodality [Internet]. [diunduh pada 2014 Sep 13]; 2(2): 209-234. Tersedia pada: http://202.124.205.111/index.php/sodality/article/viewArticle/5884 Sinaga RJR, Lubis SN, Darus MB. 2014. Kajian Faktor-Faktor Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Medan. JSEAA [Internet]. [diunduh pada 2015 Jun 18] 2(5): 1-13. Tersedia pada: http://202 .0.107.5/index.php/ceress/article/view/7876 Singarimbun M, Sofian E, editor. 2006. Metode Penelitian Survai. Jakarta (ID): LP3ES Seksi Pariwisata dan Kebudayaan Kota Cimahi. 2010. Kampung Adat Cireundeu. [Internet]. [diunduh 2014 Sep 23]. Tersedia pada: Disparbud.jabarprov.go.id /wisata/dest-det.php Sumaryanto dan Rusastra IW. 2000. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani [Internet]. [diunduh pada 2015 Jul 02]. Tersedia pada: http://directory.umm.ac.id/sistem-pakar/MSU_2.pdf Syah D. 2009. Riset untuk Mendayagunakan Potensi Lokal. Bogor (ID): PT Penerbit IPB Press [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan [Internet]. [diunduh 2014 Sep 25]. Tersedia pada: http://bkp.pertanian.go.id/ Berita-178-undangundang-republik-indonesia-nomer-18-tahun-2012-tent ang-pangan.html
LAMPIRAN
47
Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
48
Lampiran 2 Jadwal Kegiatan Penelitian
Kegiatan Kolokium Perbaikan proposal Pengambilan data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan laporan skripsi
Februari Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Juli
49
Lampiran 3 Kerangka Sampling
Responden dalam penelitian ini adalah rumah tangga yang berada di RT 02 dan RT 03 Kampung Cireundeu, serta mengonsumsi beras singkong (rasi) atau beras singkong dan beras padi (campuran) sebagai pangan pokoknya. Pemilihan responden dilakukan secara purposive atau sengaja. Rumah Tangga Rasi
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Perempuan Inisial Nama RT/RW DL 02/10 CR 03/10 NS 02/10 EN 02/10 RS 03/10 IM 03/10 NU 03/10 KA 03/10 SW 03/10 MI 02/10 EL 02/10 AA 02/10 AT 02/10 RO 03/10 KO 02/10 AL 02/10 NI 02/10 DE 03/10
No 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Laki-laki Inisial Nama RT/RW TT 02/10 KU 03/10 MN 02/10 DJ 02/10 SD 03/10 DR 03/10 HJ 03/10 SU 03/10 RH 03/10 TR 02/10 RM 02/10 NA 02/10 JA 02/10 AB 03/10 DW 02/10 TA 02/10 AS 02/10 CR 03/10
50
Rumah Tangga Campuran
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Perempuan Inisial Nama IM RN RI SO KR MR DD SH MA NE JU WD GG TK NN MT MI CN
RT/RW 03/10 02/10 02/10 03/10 03/10 02/10 03/10 03/10 03/10 03/10 02/10 02/10 02/10 02/10 03/10 03/10 03/10 03/10
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Laki-laki Inisial Nama OG YD AG DS AH DN BW IS LR AD AM TR ET BN BR RT DI ER
RT/RW 03/10 02/10 02/10 03/10 03/10 02/10 03/10 03/10 03/10 03/10 02/10 02/10 02/10 02/10 03/10 03/10 03/10 03/10
51
Lampiran 4 Kuesioner Penelitian No. Responden Tanggal Pengisian Lokasi Wawancara KUESIONER PERAN GENDER DALAM DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN YANG MENDAYAGUNAKAN PANGAN POKOK LOKAL
Peneliti bernama Nur Fitria, merupakan mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan skripsi sebagai syarat kelulusan studi. Peneliti berharap Bapak/Ibu menjawab kuesioner ini dengan lengkap dan jujur. Identitas dan jawaban dijamin kerahasiaannya dan semata-mata hanya akan digunakan untuk kepentingan penulisan skripsi. Terima kasih atas bantuan dan partisipasi Bapak/Ibu untuk menjawab kuesioner. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama 2. Jenis Kelamin* 3. Usia 4. Alamat
: ……………………………………………...…… :L/P : …………tahun : …………………………………………………... …………………………………………………...
5. No. HP/Telp.
: …………………………………………………...
KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA
No.
Anggota Rumah Tangga
Usia
Pendidikan Terakhir*
Pekerjaan
Penghasilan per bulan
*(1) Tidak tamat SD, (2) Sekolah Dasar/sederajat, (3) Sekolah Menengah Pertama/sederajat, (4) Sekolah Menengah Atas/sederajat, (5) Perguruan Tinggi
52
Pengeluaran Rumah Tangga untuk Pangan dan Non Pangan: Pangan No Jenis Pengeluaran Biaya/hari Biaya/bulan 1. Pangan pokok Padi/singkong/jagung/ubi kayu dll 2. Ikan Asin 3. Ikan Basah 4. Daging (sapi, ayam atau lainnya) 5. Telur 6. Susu 7. Sayur-sayuran 8. Buah-buahan 9. Minyak goreng dan lemak 10. Bumbu-bumbuan 11. Tembakau dan sirih 12. Kopi atau the 13. Makanan dan minuman jadi 14. Konsumsi lainnya : ………. Jumlah Non Pangan 15. Perumahan dan fasilitas rumah tangga 16. Jasa 17. Pendidikan 18. Biaya kesehatan 19. Pakaian, alas kaki, tutup kepala 20. Barang tahan lama 22. Pajak/asuransi 23. Keperluan pesta upacara atau kegiatan social 24. Transportasi 25. lainnya (rekreasi, urusan desa):…… Jumlah
Penguasaan Lahan (hektar): Penguasaan No Sawa Ladang Lahan 26. Tanah Milik
Kebun
27. Tanah Sewa 28. Tanah Sakap Jumlah Luas Total
Kolam/ Lainnya Tambak
Biaya/tahun
Luas Total
53
PERAN GENDER DALAM RUMAH TANGGA Pola Pembagian Kerja: (Berikan tanda √ pada kondisi yang sesuai) No.
Jenis Kegiatan
L
P
Kegiatan Domestik Mengasuh anak sehari-hari Mendampingi anak belajar Memasak Mencuci baju Membersihkan rumah Menjaga kesehatan anggota keluarga Menyetrika Menyiapkan makanan Mencuci piring Belanja kebutuhan sehari-hari Kegiatan Produktif 39. Mempunyai penghasilan/gaji 40. Memiliki pekerjaan di luar rumah 41. Mencari nafkah untuk keluarga Menghasilkan barang untuk konsumsi 42. keluarga Menghasilkan barang untuk diperjual43. belikan Menghasilkan jasa untuk diperjual44. belikan Melakukan pekerjaan yang berat di luar 45. rumah Melakukan pekerjaan yang ringan di 46. luar rumah 47. Menjadi tulang punggung keluarga Memenuhi seluruh kebutuhan rumah 48. tangga Kegiatan Sosial 49. Pertemuan desa/RT/RW 50. Arisan 51. Pengajian 52. Selamatan 53. Kegiatan kelompok tani 54. Kegiatan politik 55. Kegiatan PKK 56. Kegiatan program pembangunan 57. Kegiatan sukarela Membantu orang lain ketika 58. membutuhkan (kematian, kondisi darurat, dan sebagainya) Keterangan: L = Laki-laki; P = Perempuan; B = Bersama 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38.
B
Curahan Waktu (Jam)
54
Akses dan Kontrol: (Berikan tanda √ pada kondisi yang sesuai) Akses Kontrol Sumber daya No P L B P L Sumber fisik/ material 59. Tanah 60. Modal uang 61. Sarana produksi 62. Tanaman atau ternak 63. Lahan Pasar komoditas dan tenaga 64. Pembelian bibit dan saprotan 65. Jumlah komoditas yang akan dijual, beserta harganya 66. Tempat dan waktu penjualan 67. Pengelolaan lahan pertanian 68. Pengelolaan usaha non pertanian Sumber daya sosial-budaya 69. Pendidikan 70. Penyuluhan pertanian 71. Penyuluhan pangan dan gizi 72. Pemilihan pangan yang akan dikonsumsi 73. Strategi pengelolaan pangan (penghematan atau mencari sumber dana lain) JUMLAH Manfaat 74. Makanan 75. Pakaian 76. Perumahan 77. Pendidikan 78. Hasil penjualan pertanian 79. Hasil penjualan non pertanian 80. Pemegang pendapatan rumah tangga 81. Pembagian pendapatan untuk anggaran rumah tangga 82. Pemegang kedudukan di kelompok sosial 83. Pemegang kedudukan di masyarakat JUMLAH Keterangan: P : Dominan perempuan/istri; L : Dominan laki-laki/suami; B : Bersama
B
55
TINGKAT DUKUNGAN LOKAL Aturan Lokal Mengenai Pangan: (Berikan tanda √ pada jawaban yang sesuai) No Pertanyaan . 84. Adakah peraturan yang mengharuskan rasi menjadi makanan pokok sehari-hari masyarakat? 85. Adakah peraturan di masyarakat yang mengatur mengenai pangan pokok? 86. Apakah rasi merupakan simbol kesejahteraan masyarakat? 87. Apakah terdapat sanksi apabila tidak mengonsumsi rasi? 88. Apakah masyarakat dilarang mengonsumsi beras selain rasi? 89. Apakah mengonsumsi rasi menjadi sebuah kebanggaan? 90. Apakah mengonsumsi rasi sebagai makanan pokok karena adaptasi dari masyarakat? Peran Elit Lokal: (Berikan tanda √ pada jawaban yang sesuai) No Pertanyaan . 91. Apakah ada dukungan dari elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya) untuk menjadikan rasi sebagai pangan pokok? 92. Apakah elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya) pernah mengajak Anda untuk mengonsumsi rasi? 93. Apakah di masyarakat ada organisasi yang dibentuk elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya) untuk mengolah singkong menjadi beras? 94. Apakah Anda menjadikan rasi sebagai makanan pokok dikarenakan elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya)? 95. Adakah pemberian imbalah/hadiah oleh (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya) kepada warga yang mengonsumsi rasi? 96. Apakah kebanyakan warga yang mengonsumsi rasi dikarena peran elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya)? 97. Sejauh yang Anda ketahui apakah kebanyakan elit lokal (Kepala Desa, Ketua Adat dan lainnya) mengonsumsi rasi sebagai makanan pokoknya?
Ya
Tidak
Ya
Tidak
56
DIVERSIFIKASI KONSUMSI PANGAN Konsumsi Pangan Pokok Pangan Pokok Frek/ hari (kali) Rasi Nasi Lainnya
Frek/ minggu (kali)
URT/g
Jumlah orang yang makan
57
Lampiran 5 Pedoman Wawancara Informan
Pemerintah Desa Cireundeu 1. Bagaimana perkembangan pertanian di desa ini? 2. Apakah ada bantuan dari pemerintah untuk pengembangan pertanian? Bantuan seperti apa? 3. Apakah ada program bantuan pangan dari pemerintah? Bagaimana pengelolaannya? 4. Apakah pihak desa memiliki program kerja yang berhubungan dengan pangan atau gizi? Bagaimana program tersebut berjalan? 5. Apa bahan makanan yang sulit didatangkan ke pasar desa? 6. Apakah harga bahan makanan di pasar desa masih standar dibandingkan dengan wilayah lainnya? 7. Pengurus di lembaga-lembaga desa lebih banyak perempuan atau lakilaki? 8. Apakah pernah terjadi konflik di desa? Jika ada bagaimana konflik tersebut terjadi? 9. Apa masalah terbesar yang dihadapi masyarakat desa? Tokoh Masyarakat dan Masyarakat Umum 1. Adakah makanan yang menjadi pantangan untuk masyarakat? 2. Dimanakah anda biasanya menyimpan cadangan makanan? 3. Apa yang anda lakukan ketika berada dalam kondisi kekurangan pangan? 4. Jenis pangan apa yang paling banyak membutuhkan uang? 5. Apa makanan dan minuman yang rutin dikonsumsi oleh keluarga anda? 6. Darimana sumber air minum yang dikonsumsi keluarga anda? 7. Apa saja hambatan yang anda hadapi dalam memproduksi pangan? 8. Apa kendala yang anda alami dalam pengusahaan hutan rakyat? 9. Apa alasan anda memilih tanaman-tanaman singkong yang ada di kebun anda untuk ditanam? 10. Apakah ada tengkulak di Desa Cireundeu? 11. Apa manfaat yang anda rasakan dengan memiliki sawah? 12. Bagaimana pelayanan kesehatan (Puskesmas) di Desa Cireundeu? 13. Menurut anda apakah laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama? 14. Menurut anda apakah perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam keluarga? 15. Menurut anda apakah perempuan dan laki-laki memiliki peran yang sama dalam masyarakat? 16. Apakah laki-laki pantas mengerjakan pekerjaan rumah tangga? 17. Apa pendapat anda tentang perempuan yang bekerja di luar rumah? 18. Apakah ada aturan di masyarakat yang membedakan laki-laki dan perempuan?
58
Lampiran 6 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner
Uji Statistik Validitas Tingkat Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok -0.0776 -0.112 -0.328** 0,381** 0,454** 0,162 0,351** 0,425** 0,345** 0,435**
Variabel Tingkat Pendidikan Tingkat Pengeluaran Ukuran Rumah Tangga Status Kepemilikan Lahan Luas Lahan Pola Pembagian Kerja Tingkat Akses Tingkat Kontrol Tingkat Aturan Lokal Besarnya Peran Elit Lokal
Uji Statistik Reliabilitas Cronbach's Alpha .701
N of Items 11
Keterangan Tidak Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Tidak Valid Valid Valid Valid Valid
59
Lampiran 7 Dokumentasi
Lahan kebun singkong milik warga Cireundeu
Singkong yang baru dipanen
Warga sedang membersihkan singkong yang baru panen
Singkong yang telah dipisahkan daging buah dan kulitnya
Singkong diparut menggunakan mesin pemarut singkong
Singkong yang sudah diparut dibersihkan
60
Singkong yang sudah dibersihkan lalu dijemur hingga kering selama 2-3 hari
Singkong digiling menggunakan alat sealer
Singkong yang sudah digiling
Beras singkong (rasi)
Beberapa karung singkong hasil gilingan
Rasi yang telah dimasak
61
Lampiran 8 Catatan Lapang
Kampung Cireundeu, 28 Februari 2015 Sumber: Kang YDI (33 tahun) dan Kang OGS (34 tahun) Rasi (beras singkong) memiliki kadar glukosa yang rendah dibandingkan dengan glukosa pada beras padi, sehingga rasanya lebih hambar dan kurang enak. Kelebihannya adalah mengonsumsi rasi akan lebih cepat kenyang dan tidak cepat basi jika didiamkan sehari atau dua hari. Rasi tersebut jika lama disimpan akan mengeras kembali dan bisa dimasak lagi tanpa merubah tekstur ataupun rasa dari rasi tersebut. Selain itu, 1 kilogram rasi dapat mencukupi lebih dari 5 orang karena porsi sedikit saja sudah bisa mengeyangkan. Hal ini terbukti tidak hanya pada orang-orang yang terbiasa makan rasi, orang-orang yang sekali mencoba rasi pun beranggapan demikian. Jadi, mengonsumsi rasi sebenrnya lebih hemat dan menguntungkan. Namun, hal tersebut tidak merubah pola makan banyak orang karena rasanya yang hambar dan tidak semua orang suka. Kebiasaan mengonsumsi beras padi pun menjadi salah satu alasan sulitnya merubah pola makan. Kampung Cireundeu, 03 Maret 2015 Sumber: Abah WDY (tidak diketahui) Perkembangan pertanian di Kampung Cireundeu dimulai dari tahun 1918, di mana persawahan masih cukup luas. Masyarakat Cireundeu ingin merdeka lahir batin dan tidak tergantung pada satu jenis bahan pangan saja. Maka dicarilah tanaman yang cara penanamannya cukup mudah, namun memiliki hasil yang baik. Tanaman tersebut adalah singkong. Di Kampung Cireundeu ini tidak ada pertanian padi, semua lahan digunakan untuk menanam singkong. Adanya pembagian daerah yang dilakukan oleh warga, yaitu 60 hektar digunakan untuk daerah baladah, 4 hektar digunakan untuk pemukiman, dan 56 hektar digunakan untuk pertanian. Tidak ada makanan yang dijadikan pantangan untuk masyarakat Adat. Pantangan yang ada adalah tidak boleh memakan yang bukan haknya dan tidak boleh memakan hasil kerja orang lain. Alasan masyarakat tidak mengonsumsi padi bukan karena pantangan, tetapi untuk menguji diri sampai sejauh mana kekuatan kita tanpa mengonsumsi padi. Selain itu, banyak bahan pangan lainnya yang bisa dijadikan pangan pokok untuk dikonsumsi. Permasalahan yang terjadi dalam pertanian singkong ini adalah alih fungsi kebun menjadi pemukiman dan adanya kebusukan pada singkong yang ditanam. Di RT 03 ada sekitar 70 KK, terdiri dari 70 orang masyarakat adat dan 120 orang masyarakat muslim. Masyarakat adat memiliki cara ciri manusia menerapkan aturan. Aturan tersebut, meliputi welas asih, tatakrama, budi bahasa, dan undak usuk. Masyarakat adat memiliki hari bersejarah mereka yang dirayakan setiap satu syura. Perayaan tersebut merupakan rasa syukur para petani yang masih mempunyai singkong untuk pangan pokoknya.
62
Kampung Cireundeu, 06 Maret 2015 Sumber: Bapak SDJ (36 tahun) Peremajaan atau pemulihan tanah dilakukan pada kebun singkong. Didiamkan terlebih dahulu selama satu sampai dua musim, apabila tanahnya sudah mulai bagus lagi baru dimulai kembali penanaman singkong. Meremajakan tanah dengan cara tradisional. Biasanya jika suami menjadi petani, maka istri pun akan ikut membantu. Jika perempuan tidak ikut membantu, maka akan kurang tenaga kerja. Laki-laki bertugas menyangkul dan menanam, sedangkan perempuan membantu dalam membersihkan lahan (ngored). Bila perempuan tidak diikursertakan maka laki-laki harus membayar orang untuk membersihkan lahannya. Hal ini mengindikasikan bahwa perempuan mempunyai peran yang penting dalam pertanian. Perempuan dan laki-laki harus bekerja sama apabila menginginkan hasil yang maksimal dalam bertani singkong. Menanam singkong tidak membutuhkan modal, hanya dibutuhkan lahan dan kemauan. Benihnya tidak perlu membeli hanya memotong saja batang singkong yang sudah dipanen. Hal tersebut menjadi salah satu masalah juga karena tanahnya sudah tidak bagus lagi dan batang singkong yang sudah jenuh, mengakibatkan hasil produksi menurun. Pernah ada bantuan benih dari pemerintah namanya benih dalur hidayah. Benih tersebut hasil dari teknologi, sehingga dibutuhkan perlakuan yang khusus, sedangkan petani di Kampung Cireundeu bertani dengan cara yang tradisional. Benih tersebut bisa menghasilkan 30-70 kg per pohon. Banyak petani yang tertarik untuk mencoba menanam, namun hasilnya ternyata kurang memuaskan. Kampung Cireundeu menetapkan pembatasan pemakaian pupuk kimia. Hanya urea saja yang diperbolehkan digunakan di lahan, selebihnya menggunakan pupuk kandang. Benih singkong yang bagus adalah benih karikil, namun saat ini sedang ada penyakit bintik yang menyerang tanaman singkong. Satu sampai dua batang benih tetap ditanam untuk menjaga varietas agar tidak hilang. Sekarang para petani menggunakan benih garnawis dan sampeu bodas untuk benih singkongnya. Hasilnya tidak jauh beda dengan karikil. Hanya selisih beberapa kilo. Kerikil sekali di bisa dapat kanji 30 kg dan rasi 15 kilo per kuintal. Hasil garnawis mungkin hanya mendapatkan 25-27 kg kanji, tetapi rasinya mencapai 15 kilo per kuintal juga. Selain benih tersebut, benih-benih yang lain kurang bagus, singkongnya terasa kesat dan rasinya menjadi keras. Masyarakat yang mengonsumsi rasi di RT 03 lebih dari 200 orang, kurang lebih sekitar 70 KK. 70 KK ini terdiri dari rumah tangga rasi yang seluruh anggota rumah tangganya mengonsumsi rasi, rumah tangga campuran yang sebagian anggota rumah tangganya mengonsumsi rasi, sebagian lagi mengonsumsi beras, dan rumah tangga yang seluruh rumah tangganya mengonsumsi beras. Secara keyakinan mereka orang adat juga. Namun sangat disayangkan masih ada warga yang menerima raskin, sekitar 28 karung untuk 28 keluarga di RT 03 dan 32 karung untuk 32 keluarga di RT 02. Masyarakat adat tidak dapat melarang warga yang ingin mengonsumsi beras, namun sebaiknya pemerintah juga berperan dalam mendukung rasi sebagai makanan pokok agar terciptanya diversifikasi pangan. Masyarakat juga harus berani mencoba bahan pangan selain beras untuk menjadi pangan pokok sehari-harinya. Apalagi pemerintah sudah menyatakan akan berhenti impor beras, hal ini menyebabkan persediaan beras semakin terbatas. Lain halnya dengan singkong. Masyarakat Cireundeu mempunyai cara menanam sendiri yaitu menggunakan sistem bergilir.
63
Satu hektar lahan dibagi lima. Petani akan menanam singkong sesuai dengan siklusnya bergantian dari lima bagian lahan tersebut, sehingga tiap bulannya selalu ada singkong yang bisa dipanen. Hal ini membuat persediaan singkong menjadi banyak dan tidak terbatas. Masyarakat dahulu ada yang beralih menanam tanaman selain singkong untuk diversifikasi, namun hasilnya kurang bagus. Sehingga singkong diakui sebagai tanaman yang kuat dan bisa tumbuh di mana saja. Pemilihan singkong sebagai pangan pokok didasarkan pada pertimbangan cara menanamnya, pengolahannya, dan lain sebagainya, jadi tidak asal pilih tananam singkong. Harus ada solusi dalam tiap prosesnya dan meliat kemungkinan terburuk dari menanam suatu jenis tanaman. Berdasarkan pertimbangan tersebut singkong dinilaipaling memungkinkan untuk dijadikan pangan pokok dibandingkan tanaman lainnya. Ada beberapa program pemerintah di Kampung Cireundeu, yaitu (1) Dewi Tapak (Desa Wisata Ketahanan Pangan). tahun 2011 melakukan sosialisasi dan melibatkan kampung sebelah Cireundeu agar bisa menjaga lingkungannya. Hanya berlangsung selama beberapa bulan, lalu berhenti. Proyeknya kurang jelas. Kebetulan pendamping dalam proyek tersebut adalah dari UNJANI dan UNPAD. Ada permasalahan dalam pencairan dana yang dianggap kurang serius dilakukan oleh pihak universitas. Pada akhirnya launching Dewi Tapak dibatalkan; (2) Program perluasan lahan 50 hektar untuk kebun singkong. Program tersebut bertentangan dengan masyarakat adat karena ada aturan yang tidak memperbolehkan hutan larangan untuk beralih fungsi menjadi lahan pertanian, sehingga perluasan lahan dinilai tidak mungkin; (3) Program Domba Revolving, yaitu pemerintah memberikan dana 100 juta rupiah. Masyarakat membeli satu ekor dan harus mengembalikan 2 ekor. Program tersebut dinilai cukup berhasil; (4) Program yang diberikan oleh PNPM Pariwisata untuk menjadikan Kampung Cireundeu sebagai desa wisata. Program tersebut dinilai berhasil karena melibatkan masyarakat sebagai perencana program. Masyarakat menentukan apa saja yang diperlukan Kampung Cireundeu untuk menjadi desa wisata dan membuat anggaran biaya. Anggaran tersebut kemudia diserahkan kepada pihak PNPM dan dana pun cair. Kemudia masyarakat yang membeli perlengkapan seperti gamelan, perunggu, angklung, sound, laptop, infokus yang menjadi aset bagi Kampung Cireundeu untuk mengenalkan budaya sunda. Program ini tepat sasaran karena dari masyarakat Kampung Cireundeu dan kembali lagi untuk masyarakat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Nur Fitria dilahirkan pada tanggal 23 Juli 1993 di Bogor. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Heri Kusdianto (Ayah) dan Herlin Nurhaeni (Ibu) yang memiliki satu orang kakak bernama Muhammad Syaifullah Akbar. Penulis merupakan keturunan campuran Jawa dan Sunda, yang lahir dan besar di kota hujan, Bogor. Pendidikan formal dijalani penulis mulai dari SD Negeri 5 Bogor (19992005), SMP Negeri 3 Bogor (2005-2008), dan SMA Negeri 7 Bogor (2008-2011). Pada tahun 2011, penulis diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Tulis. Selama masa kuliah penulis aktif di organisasi kemahasiswaan. Pada Tingkat Persiapan Bersama (TPB), penulis aktif di Clarity (Club Fotografi Asrama). Setelah resmi menjalani perkuliahan di tingkat Fakultas, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) Divisi Advertising and Multimedia kepengurusan 2013-2014. Selain aktif di organisasi, penulis juga aktif di berbagai kegiatan kepanitiaan. Mulai dari I-Share 2011, I-Share 2012, Espent 6, OMI 2013, INDEX 2013, INDEX 2014, dan Connection 2014. Penulis juga pernah mengikuti IPB Goes To Field (IGTF) yang diadakan oleh LPPM IPB. Penulis adalah orang yang selalu ingin belajar, bertanggung jawab dalam setiap pekerjaan. Penulis berusaha mengasah softskill khususnya di bidang advertising multimedia dan event organizing. Penulis bercita-cita melanjutkan studi S2, memiliki sebuah perusahaan advertising multimedia, dan menjadi pengusaha properti. Keinginan penulis yang paling besar adalah dapat mengabdikan diri kepada negara dan memberikan segala ilmu yang penulis miliki, sehingga dapat bermanfaat bagi orang banyak.