DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA
NUR SAIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014
Nur Saidah NRP H151114024
RINGKASAN NUR SAIDAH. Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SRI MULATSIH. Negara Indonesia sebagai negara agraris masih mengimpor kebutuhan pangan, terutama beras. Program swasembada pangan yang lebih menitikberatkan pada beras dan peningkatan produksi dihadapkan pada masalah produktivitas yang mencapai levelling off. Pemerintah sadar akan pentingnya kesimbangan antara produksi dan konsumsi pangan. Akan tetapi, kebijakan penganekaragaman pangan yang sudah dicanangkan lebih dari 45 tahun lalu belum berhasil sesuai dengan harapan. Hal itu terjadi karena ada kebijakan atau program yang justru mengeliminasi tujuan penganekaragaman, seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). Pemberian raskin, sebagai transfer secara tidak langsung pendapatan pemerintah kepada rumah tangga miskin, merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. Akan tetapi, dampak lain dari relatif murah dan mudah diperolehnya beras semakin mendorong masyarakat untuk mengonsumsinya. Kompetisi antarmakanan pokok lain akan terpinggirkan jika pemerintah hanya memperhatikan perberasan dan mengabaikan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi seperti yang terjadi di Papua. Papua sebagai salah satu provinsi dengan permintaan beras yang banyak juga belum menerapkan aturan nyata terkait penganekaragaman. Potensi bahan pangan pokok lokal, seperti ubi jalar dan sagu, belum dimanfaatkan untuk menggantikan dominasi beras. Komoditas pangan pokok lokal utama masyarakat Papua, yaitu ubi jalar dan sagu, semakin tidak digemari seiring meningkatnya pendapatan. Golongan rumah tangga yang lebih sejahtera semakin banyak yang mengonsumsi beras. Data konsumsi pangan yang ada secara riil menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, subsidi pangan sebaiknya disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya, masyarakat Papua diarahkan untuk kembali mengonsumsi ubi jalar/sagu. Berdasarkan hal itu, penelitian ini mengkaji perlu tidaknya kebijakan raskin dilanjutkan, dicabut, atau diganti kebijakan bahan pangan pokok lokal dengan pertimbangan swasembada dan batas kebutuhan kalori pangan pokok anjuran Widya karya nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Cakupan penelitian ini fokus pada Papua sehingga data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Sumber data lain berasal dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS). Pengaruh perubahan harga komoditas beras pada taraf satu persen berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran semua komoditas pangan. Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditas yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh perubahan harga komoditas lainnya ada yang signifikan dan ada pula yang tidak. Harga berpengaruh negatif terhadap permintaan sendiri, sedangkan pengaruh terhadap permintaaan komoditas lain bisa positif, bisa negatif. Guncangan harga pangan pun
memengaruhi inflasi sehingga akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Pengaruh nilai pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditas hampir semuanya nyata, kecuali untuk komoditas ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditas pangan sebagian besar bertanda positif. Hal itu berarti adanya tambahan secara signifikan proporsi pendapatan rumah tangga akan diikuti peningkatan permintaan pada kelompok komoditas pangan tersebut. Berdasarkan penelitian dari ketiga alternatif, simulasi yang memberikan dampak sesuai dengan tujuan penganekaragaman pangan serta mempertahankan batas anjuran kebutuhan energi adalah simulasi 3. Simulasi 3 mengakomodasi penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras diganti dengan paket ubi jalar/sagu sesuai dengan potensi pangan pokok lokal. Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 menghasilkan penurunan konsumsi beras sebesar 21,47%, tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi ubi jalar dan sagu (yaitu 23,19% dan 25,01%). Oleh karena itu, program raskin sebaiknya segera diganti dengan program subsidi pangan lain yang berbasis pada bahan pangan pokok lokal. Untuk wilayah Papua, daerah dengan bahan pokok lokal sagu dapat mengganti konsumsi beras dengan sagu. Daerah dengan bahan pokok lokal ubi jalar dapat mengganti konsumsi beras dengan ubi jalar. Teknis penggantian dapat diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukar dengan sejumlah kuantitas pangan pokok lokal dengan harga subsidi. Hal itu sesuai dengan upaya penggalakan kembali program penganekaragaman pangan untuk mendukung swasembada beras yang dikuatkan dengan Perpres No. 22 Tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Perhatian utama dimulai dengan penganekaragaman pangan pokok (yang bertujuan menurunkan konsumsi beras agar beralih ke bahan pangan pokok lokal). Kata kunci: pangan pokok lokal, pola konsumsi, raskin, Papua, LA-AIDS
SUMMARY NUR SAIDAH. Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua. Supervised by SRI HARTOYO and SRI MULATSIH. Indonesia as an agricultural country, in fact, still needs to import food, especially rice. Food self-sufficiency program, which focus on increasing production of rice, is now reached leveling off stage. When realized the importance of production and consumption balance, the government issued fooddiversification policy over 45 years ago. However, it is not successful as expected. For some reasons, several government policies or programs were not actually supporting diversification policy, such as rice for government employees, ceiling price, and rice for the poor (raskin) policy. Raskin policy, a transfer of government revenue indirectly to poor households, is a good effort to overcome social problem due to increase of oil price. Yet, this program is getting people to consume more rice. Competition among staple-foods will be unbalance if the government sees rice as national food and forgets the potential local staple food. Papua, as province with big demand of rice, have not implement real policy in food diversification. Local staple foods potencies, such as sweet potatoes and sago, are getting less consumed by the local people to replace rice. They consume more rice as they become more prosper. The main staple food commodities locally Papuan people are sweet potatoes and sago growing that the higher the class the higher the consumption of rice is due to the superiority of local staple food. Food consumption data in real terms demonstrate the ability of households in food access and describe the level of household in food sufficiency. The increasing rate of food consumption also implicitly reflects the level of income or purchasing power in food. Therefore, food diversification policy should be adjusted to local wisdom. Then, Papuan should be directed to consume sweet potato and sago. This study examines whether the food for the poor program should be continued, removed, or replaced with local staple food according to standard calorie need. The research focus on Papua region and use data from the National Socio-Economic Survey (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Other data sources derived from the Food Security Agency (BKP) Ministry of Agriculture and the Central Statistics Agency (BPS). The one percent change in rice price affects significantly the price of all commodities and the proportion of outlay commodity groups analysed. This generally means that rice is still the main staple food. The changing price of some commodities affect to other, some commodities don’t affect at all. The price has not only negative effect on the demand itself, but also has positive or negative to other commodities demand. The price fluctuation causes inflation and people’s ability of purchasing food. The influence of revenue expenditure proportion to all commodities is significant, except to sweet potatoes and fruit. The coefficient of income to most of the food commodity groups is positive. It means that the increase proportion of household income will be followed by a significant increase in demand rate for food commodity groups.
According to research of three alternative, simulations which give effect to the purpose of diversification of food and energy needs in maintaining the recommended limit is 3rd simulation. It suggests to replaced raskin policy to accommodate the decline rice consumption and increase the local staple food. Rice replaced by sweet potato or sago adjusted as potential local staple food. The increase of rice price can be substitute by the decrease of local food price (sweet potato or sago). The impact of simulation 3 is the reduce of rice consumption by 21.47%, but replaced with the increase of sweet potatoes or sago consumption (by 23.19% and 25.01%). Therefore, the raskin policy should be immediately replaced with other staple food policy based on local staple foods. For Papua region, sago-based district can change rice with sago. Sweet potato-based district can change rice with sweet potato. The implementation in changing rice to local staple food can be done by giving coupons that can only be trade with local staple food, not rice, with subsidized price. This is suitable according to the government policy in Presidential Regulation No. 22 in 2009 and Agriculture Minister Regulation No. 43 in 2009. The main concern of those two regulations is the staple food diversification policy (in reducing rice consumption and increasing local staple food consumption).
Keywords: local staple foods, consumption pattern, raskin, LA-AIDS
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA
NUR SAIDAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS
Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua Nama : Nur Saidah NIM : H151114024
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua
Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 30 Januari 2014
Tanggal Lulus:
Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua : Nur Saidah Nama : H151114024 NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
(
Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr
Anggota
Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi
Tanggal Ujian: 30 Januari 2014
Tanggal Lulus:
0 1 APR 20 14
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Sri Mulasih, MscAgr selaku anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSc dan Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih disampaikan kepada Ida Fariana yang telah membantu pengumpulan data, juga kepada Diana Bhakti dan Leisa Triana yang telah mentransfer pemahaman terkait LA-AIDS.. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya selama di IPB. Ungkapan terima kasih terdalam untuk suami dan anak-anak tercinta, atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan.Kepada mamak dan saudaraku yang senantiasa mendoakan penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang.
Bogor, Januari 2014 Nur Saidah
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Ketahanan dan Swasembada Pangan Kebijakan Raskin Pola Konsumsi Rumah Tangga Fungsi Permintaan Efek Substitusi dan Efek Pendapatan Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian 3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis Model LA-AIDS Spesifikasi Model 4 KONSUMSI PANGAN PAPUA Keragaan Konsumsi Pangan Pokok Papua Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
vii vii vii 1 1 4 7 7 7 7 7 8 10 11 14 15 16 17 18 18 19 19 19 21 25 25 28 34 36 36 36 37
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
60
DAFTAR TABEL 1 Persentase rumah tangga menurut komoditi pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi 2 Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta volume impor beras tahun 2006 - 2010 3 Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012 4 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 5 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan pokok di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 6 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 7 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua 8 Elastisitas permintaan harga sendiri, harga silang, dan pendapatan rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi 9 Elastisitas Permintaan harga sendiri berdasarkan dummy kategori di Provinsi Papua 10 Persentase Perubahan Permintaan/Konsumsi Menurut Komoditi Berdasarkan Alternatif Simulasi di Provinsi Papua (%)
1 2 5 26 27
28 29 31 32 35
DAFTAR GAMBAR 1 Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010 2 Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih serealia per daerah 3 Alur distribusi pembagian raskin 4 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras 5 Kerangka pemikiran 6 Pola konsumsi beras-ubi jalar dan konsumsi beras-sagu rata-rata perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun 2008 - 2010
2 3 10 14 17
28
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Daftar kabupaten/kota di Papua berdasarkan potensi Hasil Output SAS dengan metode Pooled Least Square Hasil Output SAS dengan metode SUR Elastisitas Harga Sendiri, Harga Silang, dan Pendapatan berdasarkan kondisi menurut komoditi
39 40 49 56
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras dikonsumsi oleh hampir 97% rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Komoditi sumber karbohidrat lain hanya dikonsumsi sebagian kecil rumah tangga, singkong dikonsumsi 35% dan trennya semakin menurun. Selain itu, dari penduduk yang bekerja di sektor pertanian hampir separuhnya merupakan petani padi. Hal ini menjadikan beras sebagai komoditas ekonomi strategis sekaligus komoditas politik karena dapat mempengaruhi kerawanan pangan dan keamanan nasional. Tabel 1. Persentase rumah tangga menurut beberapa komoditi pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi Komoditas Pangan
2008
2009
2010
Beras Jagung Pipilan Singkong Ubi Jalar Sagu Kentang Talas/Keladi
96.56 9.21 35.20 10.04 7.43 6.70 6.96
96.52 8.40 30.53 8.94 6.90 6.35 7.30
96.80 7.76 28.50 9.00 7.02 6.25 5.68
Sumber: BPS (2008 - 2010)
Ketergantungan penduduk terhadap beras yang tinggi menyebabkan pemerintah sangat memperhatikan tingkat ketersediaan dalam jumlah yang cukup sampai level wilayah terkecil. Dalam UU No.7 Tahun 1996 yang diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu maupun rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah menyusun kebijakan dan regulasi dalam rangka mencapai kemandirian dan ketahanan pangan, dengan menempuh dua strategi melalui peningkatan produksi dan penurunan konsumsi pangan, terutama beras. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional khususnya beras terus mengalami peningkatan dikarenakan adanya pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi beras perkapita yang tinggi tiap tahun. Ketahanan pangan yang menitikberatkan ketersediaan pangan terutama beras melalui peningkatan produksi dalam negeri dihadapkan pada semakin terbatasnya kapasitas produksi. Produksi padi memang masih mengalami peningkatan akan tetapi produktivitas sudah mengalami pelandaian seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa produksi Indonesia ada keterbatasan terkait sumberdaya lahan dan air untuk pertanian, antara lain: meluasnya lahan kritis yang mengancam produksi pangan, penyusutan lahan pertanian terutama persawahan karena ada konversi lahan menjadi industri, pemukiman, bahkan perkebunan kelapa sawit, perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan pola curah hujan dan pola tanam (Bappenas 2008).
2
Penyediaan air untuk irigasi makin sulit dipenuhi dikarenakan kerusakan infrastruktur pengairan, degradasi sistem irigasi, kerusakan hutan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor lain. Data dari Kementrian Pekerjaan Umum (2011) menunjukkan bahwa sejumlah 52% prasarana irigasi dalam kondisi rusak dengan rincian 10% rusak berat sedangkan sisanya sebesar 42% dalam kondisi rusak sedang dan ringan. Produksi dan produktivitas Padi
70 65 60 55 50 Produktivitas Padi (Ku/Ha)
45 40
Produksi Padi (juta ton)
35 30 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Tahun Sumber: BPS (2011)
Gambar 1. Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010 Strategi penurunan konsumsi beras melalui penganekaragaman konsumsi pangan sangat diperlukan. Penganekaragaman sangat diperlukan karena produktivitas mengalami levelling off dan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia sudah melampaui standar kecukupan konsumsi anjuran pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) sebebsar 1 100 kkal. Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari untuk padi-padian sudah mencapai 1 232 kkal atau 112% dari anjuran. Hasil estimasi BPS (2011) memperkirakan bahwa konsumsi beras mencapai 139.15 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras Indonesia jauh melebihi negara tetangga seperti Thailand yang 79 kg/kapita/tahun dan Malaysia yang hanya 63 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras selalu setinggi ini padahal sumber daya produksi mempunyai keterbatasan, Indonesia akan semakin tergantung dengan pasokan dari luar negeri. Impor beras pernah turun di tahun 2008 dan 2009, tapi kemudian meningkat lagi seperti tersaji pada Tabel 2 yaitu di tahun 2010 menjadi 688 ribu ton. Tabel 2. Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta volume impor beras tahun 2006 – 2010 Impor Konsumsi Produksi Produktivitas Produksi Beras Beras Beras Padi Tahun Padi (ribu ton) (ribu ton) (ribu ton) (ribu ton) (Ku/Ha) 2006 2007 2008 2009 2010
46.2 47.05 48.94 49.99 50.15
Sumber: BPS (2006 - 2010)
54 454 57 157 60 325 64 398 66 469
31 773 33 350 35 199 37 575 38 783
27 486 28 785 30 135 30 922 33 067
438 1 407 290 250 688
3
Ketergantungan beras impor perlu dikurangi dan segera beralih kepada produk pangan lokal yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Komoditi pangan lokal seperti singkong, ubi jalar, sagu, jagung, dan talas dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Indonesia mengalami impor komoditas pangan tertinggi pada saat krisis pangan tahun 2007. Tingginya impor produk pangan menyebabkan neraca perdagangan pertanian subsektor tanaman pangan masih negatif. Beberapa provinsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan Riau, Maluku, dan Bangka Belitung termasuk wilayah dengan defisit serealia tinggi (Gambar 2) sehingga membutuhkan pasokan dari daerah lain. Provinsi dengan defisit serealia mempunyai peran dalam impor beras. Oleh karena itu, utamanya di provinsi tersebut perlu dicarikan sumber pangan alternatif pengganti beras. Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi beras di Papua dipasok dari luar daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009 kapasitas produksi beras di Papua hanya mencapai 49 ribu ton padahal kebutuhannya sebesar 312 ribu ton. Hal tersebut menyebabkan Papua mendatangkan beras lebih dari 5 kali kapasitas produksinya, yaitu mencapai 263 ribu ton beras (BPS Papua 2009). Dependensi Papua terhadap beras pasokan dari luar daerah menyebabkan Papua sangat rentan terhadap guncangan terutama dari sisi ketersediaan dan kelancaran distribusi. Penerapan kebijakan perberasan yang dominan pada masa Orde Baru menyebabkan perubahan sosial budaya, masyarakat yang mengkonsumsi bahan pokok lain kini merata mengkonsumsi beras (beras oriented). Di Provinsi Papua yang sumber pangan pokok lokal sebelumnya adalah ubi jalar dan sagu, kini pangan pokok lokal tersebut semakin terpinggirkan.
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2009)
Gambar 2. Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih serealia per daerah
4
Kondisi Provinsi Papua ditinjau dari sisi agroekologi kurang produktif untuk ditanami padi. Hanya beberapa kabupaten yang mampu memproduksi padi seperti Merauke, Jayapura, dan Waropen, namun, produktivitasnya masih di bawah produktivitas nasional. Pada tahun 2009, produktivitas padi di Papua hanya 39.43 Ku/Ha jauh di bawah produktivitas nasional yang hampir mencapai 50 Ku/Ha. Papua lebih berpotensi sebagai daerah penghasil sagu atau ubi jalar. Dari dua juta hektar kebun sagu dunia, satu juta ada di Indonesia dimana sekitar 900 ribu hektar terdapat di Papua. Selain itu, ditinjau dari kondisi sosiologi masyarakat Papua yang tidak terbiasa bertanam padi cukup mempersulit dalam peningkatan produktivitasnya. Beberapa hal tersebut menjadi landasan pemerintah untuk semakin menggalakkan program diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan merupakan program prioritas untuk mendukung swasembada beras dengan dasar Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Kegiatan utama program diimplementasikan melalui gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Program tersebut sudah mulai mengedepankan kearifan potensi pangan lokal sebagai wujud program diversifikasi pangan sekaligus mencapai pola pangan harapan (PPH) yang seimbang. Perumusan Masalah Program diversifikasi pangan yang sebenarnya sudah dimulai lebih dari 45 tahun yang lalu dirasakan belum berhasil sesuai harapan (Mardianto et al. 2005). Hal tersebut dikarenakan ada beberapa kebijakan maupun program yang justru mengeliminasi tujuan diversifikasi seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). Kebijakan pemerintah yang inkonsisten perlu dievaluasi ulang yang menjadi prioritas sesuai tujuan pembangunan. Pemberian raskin mulai 2002 yang merupakan pengembangan dari Operasi Pasar Khusus (OPK) beras secara langsung kepada penerima merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. raskin dapat dipandang sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak langsung terhadap rumah tangga miskin. Akan tetapi, dampak lain dari kebijakan tersebut menyebabkan beras relatif murah dan mudah diperoleh sehinggga semakin mendorong masyarakat untuk mengkonsumsinya. Kompetisi antar makanan pokok lain akan terpinggirkan apabila pemerintah terlalu memperhatikan kondisi perberasan dan mengindahkan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi. Konsumsi beras yang sudah membudaya bahkan di daerah yang bukan berpotensi beras seperti Papua perlu dikembalikan pada kearifan pangan lokalnya. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Papua pada tahun 2009 tercatat bahwa sebanyak penduduk Papua yang mengkonsumsi sagu hanya 15%, mengkonsumsi umbi-umbian 30%, dan sebagian besar yaitu sebanyak 55% lebih gemar memakan nasi dibandingkan pangan pokok lokal yang tersedia. Target pemerintah yang disepakati pada WNPG 2004 untuk menurunkan konsumsi beras per tahun sebesar 1.5% belum terwujud, bahkan trennya justru semakin naik. Selama ini sisi konsumsi masih kurang dikaji padahal sudah menjadi indikasi adanya pemborosan.
5
Pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal dibuktikan pada penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 mayoritas masyarakat, di kota atau desa, kaya maupun miskin memiliki satu pangan pokok yaitu beras. Konsumsi pangan masyarakat belum beragam dan seimbang sehingga keanekaraagaman konsumsi dan gizi yang sesuai dengan kaidah nutrisi seimbang belum terwujud. Ariani dan Ashari (2003) menyebutkan bahwa persentase yang mengkonsumsi beras di Maluku dan Papua meskipun masih 80%, tapi trennya meningkat. Tabel 3. Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012 Skor PPH Peringkat No. Provinsi 2008 2012 2008 2012 1 Aceh 73.4 69.5 30 29 2 Sumatra Utara 75.1 74.1 29 21 3 Sumatra Barat 79.6 77.5 19 11 4 Riau 84.0 77.2 5 12 5 Kepulauan Riau 83.4 77.7 8 10 6 Jambi 82.7 79.9 13 6 7 Sumatra Selatan 82.7 76.7 14 15 8 Kep. Bangka Belitung 83.9 75.7 6 18 9 Bengkulu 79.5 76.5 20 16 10 Lampung 85.8 80.9 4 3 11 DKI Jakarta 82.9 81.2 9 2 12 Jawa Barat 76.4 70.2 27 27 13 Banten 82.8 76.1 11 17 14 Jawa Tengah 81.0 73.6 15 22 15 DI Yogyakarta 77.0 80.7 26 4 16 Jawa Timur 80.5 73.3 17 23 17 Bali 93.3 81.2 1 1 18 NTB 73.4 71.2 31 26 19 NTT 79.1 67.8 21 32 20 Kalimantan Barat 76.4 68.6 28 31 21 Kalimantan Tengah 87.9 79.6 2 7 22 Kalimantan Selatan 78.5 76.7 23 14 23 Kalimantan Timur 80.5 78.3 16 8 24 Sulawesi Utara 82.7 77.8 12 9 25 Sulawesi Tengah 83.7 72.7 7 25 26 Sulawesi Tenggara 80.3 75.3 18 20 Sulawesi Selatan 86.9 80.4 3 5 27 28 Gorontalo 68.5 69.7 32 28 29 Sulawesi Barat 77.5 68.8 25 30 30 Maluku 78.0 75.5 24 19 31 Maluku Utara 82.9 76.8 10 13 32 Papua 78.8 64.0 22 33 33 Papua Barat 73.1 24 Indonesia Sumber: BKP (2008 dan 2012)
81.9
75.4
6
Data Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) 2008 menunjukkan bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai 81.9 masih di bawah target WNPG 2004 yaitu sebesar 89.8. Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara umum skor PPH 2012 menurun dibandingkan tahun 2008, dan penurunan yang signifikan adalah Papua bahkan menjadi provinsi peringkat terakhir. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan kemandirian pangan tinggi mempunya skor PPH yang lebih baik dibandingkan lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan kemandirian pangan daerah. Di era otonomi daerah dimana seharusnya daerah bisa mandiri dan mengembangkan kearifan lokal, Papua sampai sekarang dirasa masih terlalu menginduk pada kebijakan pemerintah pusat. Strategi dan peraturan Pemerintah Papua belum diarahkan untuk mengembangkan kerangka P2KP di Papua. Penerapan peraturan aturan atau kebijakan penganekaragaman seperti yang dilakukan Kota Depok (sehari tanpa nasi) dan NTB (kudapan lokal saat rapat pemerintah daerah) belum dilakukan. Pengembangan produk pangan lokal seperti industri pangan berbasis sagu dan ubi jalar juga belum ada, padahal daerah lain ada yang sudah mengembangkan beras analog, mi sagu, dan produk olahan lainnya. Dengan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan keanekaragaman konsumsi pangan lokal di Papua, maka pola konsumsi berbasis pangan pokok lokal perlu dirubah setahap demi setahap dengan mempertimbangkan ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan ketahanan pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem produksi juga subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suryana et al. 2001). Pengembangan kerangka P2KP di Papua salah satunya dapat dilakukan dengan mengintervensi program raskin. Program raskin di Papua sebaiknya dicarikan alternatif pengganti sesuai denga kondisi kewilayahan dan potensi pangan lokalnya. Penggantian program raskin menjadi pangan lokalnya diharapkan dapat mendorong kemandirian pangan dan mengurangi konsumsi beras di Papua. Selain itu, ke depannya dapat meminimalkan sumbangan Papua terhadap impor beras dan diharapkan dapat mengekspor produk pangan lokalnya. Pola konsumsi pangan dapat berlainan antar suku bangsa, antar daerah, dan antar golongan pendapatan. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah. Aksesibilitas terhadap sumber pangan karbohidrat di Papua perlu diidentifikasi dan dikategorikan berdasarkan potensi pangan lokalnya. Identifikasi dan pengategorian potensi pangan pokok lokal akan memperjelas gambaran kondisi. Selain itu, penghitungan elastisitas (harga, silang, dan pendapatan) sebagai dasar simulasi dengan pengategorian tersebut diharapkan menghasilkan produk pangan apa yang lebih tepat digunakan sebagai pengganti beras di Papua.
7
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua, apakah sudah menggambarkan kondisi keanekaragaman pangan berbasis kearifan pangan pokok lokal atau belum? 2. Bagaimana cara untuk mempengaruhi pola konsumsi pangan pokok agar kembali pada komoditi kearifan pangan pokok lokal di Papua? 3. Bagaimana dampak kebijakan pemberian raskin terhadap perubahan pola konsumsi pangan pokok lokal di Provinsi Papua? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan kondisi pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua. 2. Menganalisis faktor yang berpengaruh pada pola konsumsi pangan pokokdi Provinsi Papua. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemberian raskin terhadap pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan pemerintah dalam membantu perencanaan dan evaluasi penyediaan pangan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi suatu daerah terutama di Provinsi Papua. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai alternatif upaya percepatan program diversifikasi berbasis pangan pokok lokal dan memberikan usulan alternatif kebijakan pengganti raskin.
2 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori Ketahanan dan Swasembada Pangan Konsep ketahanan pangan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang fokus pada beras, pemerintah melakukan program swasembada beras. Kebijakan swasembada beras yang diterapkan di Indonesia diwujudkan melalui sisi produksi maupun konsumsi. Beberapa kebijakan/program yang dilakukan meliputi banyak kegiatan, di antaranya: 1. Kebijakan subsidi produksi. Subsidi produksi langsung merupakan alternatif peningkatan produksi dalam kerangka meminimalkan biaya produksi petani. Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian langsung kepada produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang diproduksi, dan
8
yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting (critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke petani langsung. 2. Kebijakan stabilisasi harga beras melalui penentuan Harga Atap (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price). Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer stock tidak lebih besar dari pada dead weight loss yang timbul. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan dengan buka tutup keran impor jika pemerintah tidak melakukan pembelian untuk mengisi stok tapi hal ini akan mengurangi kesejahteraan petani. Pelaksanaan stabilisasi harga beras utamanya dilakukan melalui operasi pasar. Pada awalnya, sasaran operasi ditujukan untuk semua lapisan masyarakat kemudian berubah mulai tahun 1998 dengan sasaran daerah tertentu dalam bentuk Operasi Pasar Murni (OPM). Sasaran dievaluasi kembali menjadi masyarakat miskin dalam Operasi Pasar Khusus (OPK) mulai Juli 1998 yang menjadi cikal bakal program raskin. Simatupang dan Timmer (2008) menjelaskan bahwa stabilisasi harga beras maupun subsidi input relatif tidak efektif. Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia sebagian besar menggunakan pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi di antara berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi kebijakan tersebut. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap yang besar pada penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian menyebabkan tidak terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai kelompok kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masingmasing kelompok, dan penekanan dari aspek politik gagal menjelaskan proses ekonomi (economic genesis) dari konvergensi yang terjadi. Kerangka ketahanan dilanjutkan untuk mencapai kemandirian bahkan kedaulatan pangan. Kemandirian pangan merupakan ketahanan pangan yang dicapai melalui pengoptimalisasian sumber daya domestik. Karakteristik lokal daerah seperti potensi sumber daya alam dan keberagaman sumber daya pangan perlu menjadi basis pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan. Beberapa kajian penelitian sudah membahas masalah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi Indonesia. Pemerintah sudah mencermati kondisi ini sehingga kemudian digalakkan kembali program diversifikasi pangan. Pemerintah mengusahakan untuk dapat merubah kebiasaan konsumsi ‘beras’ oriented, agar kembali menyukai produk pangan lokal. Kebijakan Raskin Cikal bakal program raskin adalah program bantuan pangan bersubsidi yang disebut OPK Beras pada Juli 1998. Program ini termasuk salah satu program Jaring pengaman Sosial (JPS) dan merupakan komponen ketahanan pangan. Perubahan nama menjadi raskin baru pada tahun 2002 yang bertujuan untuk mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat. OPK dan raskin dinilai telah mampu mengontrol inflasi dan mempertahankan ketahanan pangan masyarakat miskin.
9
Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2001, kebijakan intervensi pangan murah yang disebut raskin bertujuan memberikan jaminan bagi ketersediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok rumah tangga sasaran (RTS) dan daerah rawan pangan. Kerangka manfaat raskin dapat memberikan dampak ganda terhadap pengurangan kemiskinan (Siregar dan Anggraini 2010). Dampak ganda yang dimaksud adalah dalam hal pengadaan (oleh petani) dan pemberian raskin (bagi RTS). Petani memperoleh jaminan pembelian dan harga sehingga ada perbaikan kesejahteraan petani terutama petani gurem dan penurunan kemiskinan di pedesaaan. RTS penerima berarti mendapatkan transfer pendapatan dan kenaikan produktivitas (karena ada perbaikan gizi). Tujuan mempertahankan ketahanan pangan RTS dan stabilisasi harga dapat tercapai. Keberhasilan program raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Evaluasi raskin sudah banyak dilakukan, baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Hastuti et al. (2012) memperlihatkan bahwa ke-6 indikator ketepatan belum sepenuhnya tercapai. Program raskin masih perlu perbaikan agar semakin efektif dalam mencapai tujuan. Ketepatan harga dan waktu menjadi masalah terutama di daerah yang sulit dijangkau seperti Papua. Alur distribusi pemberian raskin yang seharusnya pada titik distribusi setingkat kelurahan tidak bisa dilakukan seperti pada Gambar 3. Letak yang jauh dan medan yang sulit dijangkau menjadikan beberapa daerah memperoleh raskin tidak setiap bulan, tapi harus dirapel untuk beberapa bulan. Pada dasarnya tujuan untuk mempertahankan ketahanan pangan tidak harus berorientasi beras, masih banyak pangan pokok lokal yang dapat dikembangkan. Pemberian raskin akan mengurangi superiotas beras dan membuat pangan pokok lokal semakin kurang diminati. Dari segi vitamin ataupun serat, ada sebagian pangan lokal yang mampu memberikan kalori yang tinggi sekaligus serat yang lebih banyak. Keunggulan pangan lokal harus semakin dipromosikan agar secara bertahap masyarakat dapat beralih kembali mengkonsumsinya. Selain itu, pengolahan lanjutan pangan lokal menjadi produk industri berbasis agro diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
10
Ketua Tim raskin Nasional: Kementrian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Pagu Provinsi
Gubernur Pagu Kab/Kota
Bupati/Walikota
Perum Bulog (Divisi/Sub Divisi Regional.
Gudang : Satgas raskin
Titik Distribusi: Pelaksana Distribusi
Kelompok Kerja
Warung Desa
Kelompok Masyarakat
Rumah Tangga Sasaran Penerima raskin Sumber: Badan Urusan Logistig (Bulog)
Gambar 3. Alur distribusi pembagian raskin
Pola Konsumsi Rumah Tangga Pola konsumsi merupakan suatu cara mengkombinasikan komoditas unsur konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.
11
Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal. Pengeluaran pangan negara berkembang lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2010). Perilaku dan karakteristik konsumen dapat digunakan untuk melihat pola konsumsi. Kahar (2010) mengemukakan bahwa penduduk pedesaan masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan sedangkan penduduk perkotaan sudah mulai beralih kebutuhan non makanan. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi konsumsi komoditas protein hewani (daging, ikan, telur, dan susu) di daerah perkotaan. Jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi besaran konsumsi makanan pokok. Konsumsi pangan pada rumah tangga dapat dinilai melalui kualitas dan kuantitas pangan. Dalam penelitian ini, konsumsi pangan dilihat dari kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dari sisi kualitas dinilai dari keragaman komposisi jenis pangan dan kecukupan gizi yang terkandung di dalamnya. Kualitas pangan diukur dari pemenuhan kalori yang terkandung dalam bahan makanan yang dikonsumsi dibandingkan dengan batas anjuran WNPG untuk pangan sumber karbohidrat sebesar 1 100 kalori. Fungsi Permintaan Teori permintaan menjelaskan sifat pemintaan konsumen terhadap suatu komoditas dan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga. Permintaan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera, jumlah penduduk, dan ekspektasi keadaan di masa mendatang. Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen yang disesuaikan dengan kendala anggaran dituliskan secara matematis dengan: = ( …. ) + ( −∑ ) (2.1) dimana y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. λ adalah marjinal utilitas dari pendapatan Fungsi permintaan ini disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian (Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Bentuk yang lain adalah fungsi
12
permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan). Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi. Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980): 1. Homogenitas. Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut: +∑ + =0 (2.2) dimana εii adalah elastisitas harga sendiri, εij adalah elastisitas harga silang dan adalah elastisitas pendapatan. 2. Agregasi Cournot. Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut, sebagai berikut : ∑ α ε = − α = 1, … … , n (2.3) dimana α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand Function) maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus : ∑ α ξ = 0 = 1, … … , n (2.4) dimana ξ adalah elatisitas harga silang terkompensasi. 3. Aggregasi Engel. Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus : ∑ α = 1 (2.5) dimana η adalah elastisitas pendapatan 4. Negativitas dan Slutsky Condition. Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan
13
pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa nilai elastisitas harga sendiri dari uncompensated demand akan sama nilainya dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran komoditas ke-i. Persamaan Slutsky dirumuskan sebagai berikut: ε = ∑ ξ − α (2.6) dimana εii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ adalah elatisitas harga sendiri compensated, dan adalah elastisitas pendapatan. Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutky menyatakan bahwa apabila pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas j terhadap permintaan komoditas i sama dengan pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas i terhadap permintaan komoditas j. Efek substitusi dari komoditas i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri dapat ditulis sebagai berikut : α (ε + α ) = α (ε + α ) (2.7) Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain. Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan 1% variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah. Jika dilihat dari penyebab perubahan permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas harga (sendiri), elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan. Elastisitas harga, merupakan persentase kenaikan/penurunan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hokum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga mempunyai tanda negatif. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi: |ε| < 1 (barang inelastic), |ε| = 1, (barang tersebut termasuk barang yang memiliki elastisitas unit), dan |ε| > 1 (barang elastis). Elastisitas silang menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta (dalam %) disebabkan oleh perubahan harga barang lain (dalam %). Nilai elastisitas silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, apakah barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti (substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas silangnya = 0. Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0, barang tersebut termasuk barang inferior, 0 < ε <1, barang tersebut termasuk barang normal atau pokok, dan ε > 1, barang tersebut termasuk barang mewah.
14
Efek Substitusi dan Efek Pendapatan Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi (dimana utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen) dan efek pendapatan (dimana utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi) menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak (Nicholson 2005). Penurunan harga juga secara relatif meningkatkan pendapatan sehingga ada peningkatan daya beli. Pada Gambar 4 diperlihatkan pergeseran utilitas dikarenakan penurunan harga beras. Efek substitusi (X1→C) dalam penelitian ini adalah perubahan/penggantian jumlah konsumsi komoditi beras terhadap pangan pokok lokal (dalam hal ini contohnya dengan sagu) dikarenakan adanya perubahan harga beras. Efek pendapatan (C→X2) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi kedua jenis komoditas makanan pokok yaitu beras dan sagu/ubi jalar akibat adanya perubahan pendapatan, dengan harga barang diasumsikan tetap. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena terjadi perubahan harga. Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan tipe/jenis barang. Efek pendapatan mampu menjelaskan apakah suatu barang merupakan barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila efek pendapatan negatif dan lebih besar daripada nilai absolut, maka menimbulkan efek substitusi yang negatif pula sehingga barang ini disebut barang giffen. Sagu
E1
Y1
E2
Y2
A
U2
D U1 X1
X2
C
Efek Substitusi
Beras
Efek Pendapatan
Efek Total
Sumber: Nicholson (2006)
Gambar 4. Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras Dua barang dikatakan bersubstitusi jika harga salah satunya meningkat sehingga permintaan menurun, akan tetapi kuantitas permintaan barang lainnya akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-
15
sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan kedua barang akan sama-sama menurun (asumsi ceteris paribus). Tinjauan Empiris Deaton dan Muellbauer (1980) menggunakan model LA-AIDS untuk mengestimasi delapan kelompok komoditas yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di Inggris menggunakan data tahun 1954 - 1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditas makanan dan perumahan. Ingco (1991) meneliti model sistem permintaan pangan di Filipina menggunakan data time series tahun 1965 - 1988. Komoditas pangan yang diteliti adalah beras, jagung, gandum, daging, ikan, buah dan sayuran. Hasil penenlitian mengemukakan bahwa perubahan harga beras sangat berimplikasi terhadap permintaan barang lain. Permintaan gandum, daging, buah dan sayuran lebih responsif pada perubahan harga sendiri dibandingkan makanan pokok (beras dan jagung). Beras, jagung, dan gandum adalah barang substitusi. Beras, ikan, buah dan sayuran adalah barang komplemen. Gandum walaupun barang substitusi bagi beras, jagung, ikan, buah dan sayuran akan tetapi merupakan barang komplemen bagi daging. Penelitian Wen et al. (2003) mengenai struktur permintaan pangan di Jepang menunjukkan bahwa pola konsumsi penduduk Jepang mulai berubah, mengurangi konsumsi beras dan mulai lebih meningkatkan konsumsi daging. Penggunaan data survei rumah tangga tahun 1997 memungkinkan memodelkan permintaan pangan dengan kombinasi variabel demografi. Data time series juga digunakan untuk memprediksi pola permintaan jangka pendek dan jangka panjang. Tiga model digunakan untuk menghitung elastisitas antara komoditi beras, roti, mi, daging, ikan, susu, telur, buah dan minyak. Pembandingan Model Working-Leser, Penduga 2 tahap Tobit dan Heckman, dan AIDS kemudian diprediksikan kebutuhan sebagai dasar batasan impor produk pangan. Taljaard et al. (2004) meneliti permintaan kelompok komoditas daging di Afrika Selatan menggunakan model LA-AIDS dari tahun 1970 sampai dengan 2000. Kelompok komoditas daging dirinci menjadi empat jenis yaitu daging sapi, daging babi, daging ayam, dan daging kambing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging sapi dan kambing merupakan barang mewah, daging babi masih barang normal, sedangkan daging ayam juga masih barang normal walaupun lebih inelastis dibandingkan daging babi. Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Konsumsi pangan pada rumah tangga sangat miskin lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin.
16
Penelitian mengenai pola konsumsi dan fungsi permintan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik itu dalam lingkup lokal maupun internasional. Banyak peneliti memfokuskan penelitian pada analisis permintaan pangan termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut lebih banyak menggambarkan kondisi umum, padahal kondisi dan karakteristik kedaerahan yang menunjukkan kearifan lokal belum banyak dilakukan. Penelitian yang menjadi rujukan pola konsumsi rumah tangga dengan menggunakan pendekatan LA-AIDS adalah seperti penelitian yang dilakukan di Filipina dan Jepang. Peneliti memodifikasi dengan memasukkan karakteristik dummy kedaerahan (kearifan lokal) untuk Provinsi Papua. Kerangka Pemikiran Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Pemenuhan kebutuhan ini dibatasi oleh tingkat pendapatan. Rumah tangga dengan pendapatan rendah cenderung mengalokasikan pengeluarannya pada komoditi pangan lebih besar dibandingkan dengan komoditi non pangan. Hal ini sesuai dengan teorema Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran pangan rumah tangga akan mengecil. Tujuan pemaksimuman utilitas harus memperhatikan kendala pendapatan, sehingga masalahnya adalah bagaimana memaksimumkan utilitas yang diderivasi dari konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga dengan kendala pendapatan tertentu. Di samping itu, perilaku permintaan konsumsi rumah tangga diharapkan tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya tetapi termasuk karakteristik demografi dan sosial tempat rumah tangga berada karena hal-hal ini dapat memengaruhi fungsi utilitas rumah tangga tersebut. Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi pangan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain, misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumah tangga memilih mengkonsumsi jenis komoditi yang dianggap lebih baik dibandingkan kebutuhan untuk membeli pangan pokok. Komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas. Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka fungsi permintaan rumah tangga berdasarkan klasifikasi pendapatan yang dikelompokkan juga berdasarkan lokasi tempat tinggal berdasarkan jenis potensi pangan pokok lokal (daerah yang berpotensi ubi jalar dan daerah yang berpotensi sagu). Berdasarkan hasil penelitian tingkat konsumsi komoditi khususnya pangan. Model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi pangan pokok (beras, ubi jalar, sagu, singkong, dan jagung), pangan hewani (daging dan ikan), sayur serta buah.
17
Produksi Beras Papua (tidak mencukupi dan Produktifitas leveling off, bahkan di bawah nasional ) Impor Beras Skor PPH terendah seIndonesia, bahkan di bawah capaian sebelumnya
Trend Konsumsi Beras Meningkat
raskin
Harga komoditi Harga komoditi lain Kebijakan Diversifikasi Pangan
Fungsi Permintaan
Pendapatan Potensi pangan lokal
Pengetahuan Gizi Elastisitas: harga, silang, pendapatan
Self Sufficiency kemampuan usaha Pengeluaran Pangan
Simulasi Dampak
Kebijakan raskin
Selera Konsumen Kebijakan Ekspektasi
Implikasi Kebijakan: kembali pada Kearifan Pangan (Pokok) lokal Keterangan:
tidak dianalisis
Gambar 5. Kerangka pemikiran Hipotesis Penelitian Berdasarkan kurva permintaan Marshalian, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Semakin tinggi golongan pengeluaran rumah tangga akan memperkecil proporsi pengeluaran pangan pokok. 2. Klasifikasi potensi pangan lokal mempengaruhi perbedaan pola konsumsi pangan di masing-masing daerah. 3. Pemberian raskin kepada rumah tangga justru meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal menjadi semakin beras ‘oriented’.
18
3 METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersumber dari Susenas 2008 – 2010 periode Maret. Data yang digunakan adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga beserta karakteristiknya, dengan cakupan Provinsi Papua. Jumlah sampel rumah tangga di Provinsi Papua dari tahun 2008 2010 berturut-turut adalah 1 000, 982, dan 1 032 rumah tangga. Jadi, secara keseluruhan jumlah rumah tangga yang diolah sejumlah 3 014 rumah tangga. Data sekunder yang dijadikan bahan acuan untuk memperdalam analisis adalah data dari BPS, Kementrian Pertanian, dan penelitian yang terkait. Data dari BPS yang digunakan antara lain produksi dan konsumsi beras, dan luas lahan pertanian. Selain data, informasi terkait program ketahanan pangan pokok (beras) di Indonesia dan program diversifikasi pangan dari BKP, Kementan dijadikan rujukan dalam melakukan analisis secara deskriptif. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain variabel harga, pangsa pengeluaran per komoditi terpilih, dan pendapatan (yang didekati oleh pengeluaran). Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Asumsi rutinitas. Data konsumsi Susenas mencatat transaksi pengeluaran rumah tangga dalam kurun waktu seminggu yang lalu (untuk makanan) dan sebulan terakhir (untuk non makanan). Situasi ekonomi pada saat pengumpulan data seperti gejolak harga, inflasi, musim panen, musim kemarau, sebenarnya mempengaruhi asumsi rutinitas konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, hal ini secara teori dimungkinkan untuk dilakukan. 2. Data pendapatan tidak diperoleh, sehingga nilai pendapatan didekati dengan pengeluaran. Pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran konsumsi selama sebulan yang diproksikan dari pengeluaran seminggu yang lalu untuk komoditi makanan dan pengeluaran sebulan yang lalu untuk komoditi bukan makanan. 3. Justifikasi nilai konsumsi terhadap beberapa rumah tangga (dikarenakan tidak semua rumah tangga mengkonsumsi kelompok makanan yang dipilih). Rumah tangga yang tidak mengonsumsi suatu komoditi dilakukan justifikasi nilai pengeluaran dengan menggunakan harga minimum dengan kuantitas yang sangat kecil yaitu 0.000001. 4. Justifikasi nilai pengeluaran konsumsi lebih difokuskan pada nilai pengeluaran konsumsi yang rata-rata merefleksikan gambaran konsumsi suatu komoditi di wilayah tertentu dan untuk menghilangkan efek inflasi maka dilakukan justifikasi dengan mendeflate nilai pengeluaran dengan indeks harga konsumen pada tahun tersebut. 5. Nilai harga untuk komoditi makanan merupakan harga implisit yang dihasilkan dari pendekatan total pengeluaran terhadap total konsumsi. Konversi satuan dilakukan untuk beberapa komoditi, sehingga setiap kelompok komoditas memiliki satuan yang sama Model LA-AIDS digunakan untuk memperkirakan kebutuhan pangan dan non pangan pada rumah tangga pada semua strata pendapatan (yang didekati dengan pengeluaran) dengan memasukkan variabel penjelas. Estimasi model dilakukan dengan memberikan bobot/penimbang pada setiap rumah tangga agar
19
sampel rumah tangga dapat mewakili populasinya. Adapun variabel yang digunakan (sesuai ketersediaan data) adalah: 1. Nilai pangsa pengeluaran untuk setiap komoditi pilihan perkapita sebulan per rumah tangga (interval). Cakupan komoditi yang dipilih didasarkan pada konsumsi pangan pokok masyarakat Papua, yaitu beras, ubi jalar, sagu, jagung, dan singkong. Komoditi tambahan yaitu daging, ikan, buah dan sayuran digunakan untuk menganalisis barang komplementer dari pangan pokok utama. Jadi, secara keseluruhan diteliti 9 komoditi pangan. Pemilihan komoditi yang diteliti didasarkan pada kelompok makanan yang sering dikonsumsi sekaligus mewakili pangan sumber karbohidrat dan protein utama. 2. Harga setiap komoditi yang secara implisit didekati dengan nilai pengeluaran dibagi kuantitas konsumsi (interval). 3. Nilai total pengeluaran perkapita sebulan sebagai pendekatan dari pendapatan perkapita sebulan (interval). Hal ini didasarkan dengan asumsi bahwa semua pendapatan sebulan habis seluruhnya digunakan untuk konsumsi, tanpa ada tabungan. 4. Variabel dummy yang menunjukkan: a. golongan rumah tangga (didekati dengan pengeluaran, yaitu miskin menengah, dan atas (ordinal). Rumah tangga miskin merupakan rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Golongan atas merupakan 20% rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi, kemudian yang lain pada golongan menengah; b. jenis potensi pangan lokal dari daerah tempat tinggal yaitu daerah potensi ubi jalar dan potensi sagu (nominal). Kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan produksi pangan pokok lokal yang utama dan nilai konsumsi normatif pangan daerah tersebut; c. rumah tangga penerima raskin, yaitu: terima raskin dan tidak menerima raskin (ordinal). 5. Variabel tren tahun, yaitu : 2008, 2009, 2010 (ordinal). Metode Analisis Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Metode analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama. Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan secara umum keragaan kondisi pola konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Papua. Pola konsumsi dianalisis berdasarkan golongan rumah tangga, jenis pangan potensi menurut wilayah, dan status penerimaan raskin. Analisis Model LA-AIDS Metode analisis model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS), yang dapat digunakan untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi. Model ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 dan ke-3. Tujuan ke-2 didasarkan dari hasil model sistem
20
persamaan LA-AIDS sedangkan tujuan ke-3 dijawab menggunakan simulasi berdasarkan elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model. Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan fungsi permintaan tidak terkompensasi yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut: wi = αi + β i log x (3.1) wi menunjukkan proporsi pangsa pengeluaran komoditi i sedangkan x merupakan variabel penjelas yaitu harga dan pendapatan Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan: log c(u, p) = (1− u) log[a(p)] + u log[b(p)] (3.2) c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 3.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi: 1 log ( , ) = + log pj + ∗ log log 2 (3.3)
+
α, β, dan γ adalah parameter. Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan ⁄ ( , ) , ⁄ ( , )= dimana sehingga persamaan 3.3 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi : =
+
log
+
(3.4)
Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk: =
+
log
+
log
(3.5)
Persamaan 3.5 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton dan Muellbauer (1980). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :
21
log P =
+
log
+
1 2
∗ log
log
(3.6)
Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai I (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks : log I =
log
(3.7)
dengan demikian persamaan 3.6 menjadi model Linear Approximation AIDS : =
+
log
+
log x −
log
(3.8)
Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah: Adding Up :
= 1,
Homogeneity :
= 0, untuk setiap i
Symmetry :
= 1,
= 0,
=0
γij = γji
Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 3.8 merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model LA-AIDS antara lain: 1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan. 2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia. 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik. 4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya Model LA-AIDS merupakan sebuah sistem persamaan yang secara ekonometrik dilakukan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) yang diestimasi dengan prosedur Generalized Least Square (GLS). Model SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut.
22
Ada beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah model permintaan, yaitu symmetri dan homogeinity, sedangkan sifat fungsi permintaan yang utama yaitu adding up sudah dipenuhi model. Simetri diderivasi dari teori utilitas yang menunjukkan kekonsistenan konsumen dengan rasionalitas ekonomi dalam mengkonsumsi. Homogenitas menunjukkan kelenturan konsumen dalam melakukan pengaturan dan pengaturan ulang anggaran biaya konsumsi sesuai dengan perubahan anggaran total biaya konsumsi yang dimilikinya. Sifat restriksi homogen dan simetri sulit untuk dipenuhi bila terjadi ketidakkonsistenan data. Uji restriksi perlu dilakukan untuk menunjukkan efektifitas model yang digunakan. Hasil uji restriksi yang signifikan menunjukkan model yang dihasilkan belum memenuhi asumsi restriksi yang dimaksud. Hasil uji model restriksi dalam penelitian ini dengan model yang tidak direstriksi pada taraf nyata satu persen menunjukkan hasil yang signifikan yang berarti bahwa model tidak terestriksi berbeda dengan model restriksi. Pembahasan selanjutnya mengggunakan model persamaan permintaan dengan memaksakan (impose) restriksi homogen dan simetri. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa asumsi homogen dan simetri merupakan sifat suatu fungsi permintaan. Spesifikasi Model Dua tahapan model menggunakan model LA-AIDS mengkaji pola konsumsi rumah tangga berdasarkan strata pendapatan. Pengelompokan komoditi utama penelitian ini ada 9 komoditi makanan yaitu beras, ubi jalar, sagu, singkong, jagung, daging, ikan, sayur, dan buah. Model penelitian akan dibentuk untuk masing-masing golongan pendapatan (pengeluaran) yaitu atas, menengah, dan miskin/bawah. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi model yang digunakan Ingco (1991) dan Wen et al. (2003) sebagai pengembangan model asli Deaton dan Muellbauer (1980) sebagai berikut: + ∑
=
1 +
ln
+
2 +
( ) + +
+
+ (3.9)
dimana: i j
( )ij i
1 2
i, j ԑi
= proporsi pangsa pengeluaran perkapita untuk kelompok komoditi ke-i = estimasi harga kelompok komoditi ke-j = total pengeluaran riil, yang dideflasi dengan indeks harga Stone = indeks harga Stone dimana = ∑ = dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga miskin 1=rumah tangga tidak miskin = dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga menengah 1=rumah tangga atas = dummy potensi pangan lokal, dimana 0=potensi sagu 1=potensi ubi jalar = dummy status rumah tangga penerima raskin, dimana 0=tidak menerima 1=menerima raskin = tren waktu, dengan t = 0,1, dan 2 untuk tahun 2008 - 2010 = kelompok komoditas pangan terpilih 1,2,..,9 = error term pada komoditas ke-i
23
Tujuan ke-3 dianalisis melalui pengukuran elastisitas dan simulasi yang diperoleh dari model LA-AIDS. Analisa dampak perubahan konsumsi komoditi beras dilakukan dengan 3 alternatif kebijakan melalui guncangan perubahan harga. Bentuk umum elastisitas harga pada permintaan yang tidak terkompensasi dari model LA-AIDS adalah: = = −
= − + {
+ −
= −
+ {
−
}/
}/
(3.10)
keterangan: ij = 1 untuk i = j dan ij = 0 untuk i ≠ j. dalam penurunan ini diasumsikan dlnP/dlnPj = wj. Berdasarkan penurunan tersebut, bisa dituliskan rumusan elastisitasnya adalah sebagai berikut:
=
1. Elastisitas harga sendiri:
2. Elastisitas harga silang:
(
=
(
)
− 1 )
(3.11) (3.12)
3. Elastisitas pengeluaran (sebagai pendekatan elastisitas pendapatan):
dimana:
=
+ 1
(3.13)
,
merupakan koefisien penduga model LA-AIDS merupakan rata-rata pangsa pengeluaran
Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat elastisitas harga antara lain: 1. Tingkat substitusi. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. 2. Jumlah pemakai. Semakin banyak jumlah pemakai, permintaan terhadap suatu barang semakin inelastis, dan sebaliknya. 3. Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen. Bila proporsi tersebut besar, maka permintaan cenderung lebih elastis. 4. Jangka waktu. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu, elastisitas jangka pendek adalah untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan elastisitas jangka panjang untuk jangka waktu lebih dari satu tahun. Untuk barang-barang yang habis dipakai dalam waktu kurang dari satu tahun (tidak tahan lama atau non durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka panjang dibanding jangka pendek. Sebaliknya untuk barang yang masa konsumsinya lebih dari setahun (barang tahan lama atau durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka pendek dibanding jangka panjang. Hasil penghitungan elastisitas digunakan sebagai dasar dalam pengukuran dampak kebijakan. Simulasi ditentukan berdasarkan alternatif kebijakan yang pernah (dan sedang) menjadi pertimbangan pemerintah. Alternatif kebijakan yang disimulasikan adalah dengan tetap memberikan raskin kepada RTS terutama rumah tangga miskin; mencabut kebijakan raskin sehingga harga beras sesuai harga pasar; dan penggantian raskin menjadi komoditi pangan pokok lain.
24
Simulasi pertama adalah dengan tetap memberikan raskin terhadap RTS. Masih terdapat RTS miskin yang belum memperoleh raskin yang menjadi indikasi belum tepat sasaran. Harga diperhitungkan dengan dasar rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin sebagai prioritas RTS. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima raskin hanya 55.1% dan membayar beras seharga rata-rata Rp1 859.7, masih terdapat 44.9% rumah tangga miskin yang belum mendapatkan raskin dan membayar beras rata-rata Rp3 096.9. Rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin adalah Rp2 415.5. Jadi, apabila semua rumah tangga miskin memperoleh raskin maka terjadi rata-rata harga beras turun sebesar 21.34%. Simulasi ke-2 adalah kebijakan untuk mencabut raskin sehingga terjadi guncangan harga beras dimana harga disesuaikan harga pasar yaitu menjadi Rp5 200/kg. Harga rata-rata diperhitungkan dari proporsi beras yang bersumber raskin sebesar 33.98% dan yang berasal dari pembelian sebesar 66.02%. harga rata-rata yang diperoleh adalah sebesar Rp4 072.6 sehingga apabila raskin dicabut maka terjadi kenaikan harga beras sebesar 27.37%. Simulasi ke-3 merupakan alternatif kebijakan yang masih dalam proses perumusan dan koordinasi, yaitu penggantian raskin menjadi Pangkin (komoditi disesuaikan kearifan pangan pokok lokalnya). Dalam cakupan Provinsi Papua, penulis mensimulasikan perubahan harga beras, ubi jalar, dan sagu berturutturut naik 27.37%, turun 21.9%, dan turun 29.18%. Simulasi yang akan dipilih sebagai usulan kebijakan adalah yang mampu menurunkan konsumsi beras kemudian meningkatkan konsumsi pangan lokal (ubi jalar dan sagu) dengan tetap menjaga batas minimum asupan kebutuhan kalori. Adapun bentuk matematis simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut: ln ln ⋮ ⋮ = E ln (3.14) ln Keterangan: i sampai j adalah komoditi pangan terpilih yang dianalisis, yaitu: beras, ubi jalar, sagu, singkong, jagung, daging, ikan, sayur, dan buah. E adalah matrik 9 x 10, yang merupakan elastisitas harga dan elastisitas pendapatan rumah tangga. p adalah harga komoditi y adalah pendapatan rumah tangga Langkah selanjutnya dilakukan penghitungan konversi kuantitas konsumsi perkapita menjadi satuan kalori. Semua komoditi terpilih yang merupakan sumber karbohidrat dikalikan dengan rata-rata kalori per satuan (kg) kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan dibandingkan dengan batas anjuran kalori WNPG dari pangan sumber karbohidrat senilai 1 100 kkal. Kebijakan yang memberikan dampak penurunan konsumsi beras dengan tetap menjaga batas asupan kalori yang telah dianjurkan yang akan disarankan.
25
4 KONSUMSI PANGAN PAPUA Keragaan Konsumsi Pangan Utama Papua Provinsi Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia, yaitu dengan luas wilayah 316 553.07 km2 atau 16.7% dari luas Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua berfluktuatif, menunjukkan pasang surut perekonomian. Perekonomian didukung dari sektor pertambangan penggalian dengan kontribusi 52.73% kemudian sektor pertanian 11.71% (BPS Papua 2012). Kondisi 28 kabupaten dan 1 kota cukup bervariasi, ada yang merupakan pulau kecil, wilayah pinggir pantai, maupun wilayah pegunungan berkontur yang sulit dicapai. Puncak Jaya adalah kabupaten yang letaknya tertinggi yaitu pada ketinggian 2 980 m dari permukaan laut. Kondisi geografis dan agroekologi Papua berpengaruh pada konsumsi pangan masyarakatnya, terutama komoditi pangan pokok spesifik lokal. Makanan pokok lokal masyarakat Papua antara lain ubi jalar, talas, gembili, jewawut, dan sagu (Rauf dan Lestari 2009). Pangan lokal tersebut dapat digolongkan menjadi 2 golongan utama yaitu ubi jalar dan sagu Pangan lokal utama masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan tengah adalah ubi jalar. Varietas ubi jalar unggulan Papua adalah Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar. Sentra produksi ubi jalar antara lain Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, dan Paniai. Ubi jalar memiliki nilai ekonomis dan sosial yang tinggi bagi bagi penduduk lokal Papua, terutama suku Dani. Ubi jalar dimasak bersama babi dengan cara ’bakar batu’ dalam prosesi perkawinan, kematian, pengukuhan kepala suku, penyambutan tamu, dan festival budaya (Peter 2001). Pada bulan-bulan tertentu saat ubi jalar tidak berproduksi optimal, ketersediaan ubi jalar kadang tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini terjadi dikarenakan menunggu masa panen yang berkisar antara 6-8 bulan, proses penyimpanan yang masih tradisional, dan belum adanya industri pengolahan tepung pati ubi. Kondisi tersebut membuat penduduk mengkonsumsi beras yang harganya relatif mahal.. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan rawa memiliki pangan lokal utama berupa sagu. Hutan sagu banyak dijumpai di Kabupaten Jayapura, Sarmi, Waropen, dan Merauke dimana penyebaran terbesar adalah di Sentani Kabupaten Jayapura. Tanaman sagu yang dibudidayakan masih relatif sedikit, baru sekitar 14 000 Ha, lebih banyak yang langsung mengambil dari hutan. Meskipun begitu, produksi sagu di Papua masih lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi. Konsumsi sagu dapat dicukupi dengan 84.8% kapasitas produksi yang masih tradisional (BPS Papua 2009). Varietas sagu unggulan Papua berdasarkan penelitian Miyazaki (2004) antara lain Para Ifar, Yepha Hongsai, dan Ruruna Ifar dengan produksi pati masing-masing 408.6 kg/pohon, 386.2 kg/pohon, dan 340.6 kg/pohon dengan umur panen 8 tahun. Persentase pengeluaran pada rumah tangga Papua adalah untuk konsumsi komoditi pangan mencapai 59.46% dan yang terbesar adalah untuk umbi, sayur, dan padi. Kearifan pangan lokal harus dilestarikan dan dibudidayakan, apalagi dalam rangka swasembada pangan. Konsumsi makanan pokok cenderung mengalami peningkatan terutama konsumsi ubi jalar dan beras seperti yang tersaji pada Tabel 4, akan tetapi sagu mengalami tren penurunan. Penurunan konsumsi
26
sagu disebabkan oleh perubahan pilihan konsumsi penduduk ke arah beras dan mie. Adanya anggapan bahwa beras merupakan komoditi yang lebih superior dibandingkan sagu, belum beragamnya produk olahan sagu, akses penduduk pesisir dan dataran rendah yang lebih mudah memperoleh beras, dan penurunan luas hutan sagu akibat konversi lahan membuat komoditi sagu semakin tersisih. Tabel 4. Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan) Tahun
beras
ubi jalar
sagu
singkong
2008
4.63
8.07
1.31
2009
4.60
8.74
2010
5.62
9.95
tren (%)
10.78 11.06
jagung daging
ikan
sayur
buah
0.84
0.14
0.77
1.96
6.19
2.26
1.03
1.42
0.17
0.69
2.31
7.01
2.05
1.00
1.80
0.15
0.68
1.92
10.43
2.67
47.98
5.84
-6.37
31.01
10.49
-12.04
0.31
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah
Perubahan konsumsi komoditi lain berbeda, konsumsi daging mengalami penurunan sedangkan ikan, sayur dan buah meningkat. Penduduk Papua masih mengutamakan konsumsi komoditi pangan pokok terlebih dulu, baru pangan sumber protein atau memilih sumber protein yang lebih murah. Perubahan tersebut dipengaruhi perubahan harga relatif antar komoditi maupun terhadap pendapatan. Di daerah dataran rendah maupun pantai yang berpotensi sagu, akses terhadap produk pangan relatif mudah (Data kabupaten yang berpotensi sagu maupun ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 1). Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata konsumsi perkapita beras sebulan untuk rumah tangga pada kelompok daerah potensi sagu jauh lebih tinggi daripada kelompok daerah potensi ubi jalar. Konsumsi perkapita yang hampir sama terjadi pada komoditi singkong, daging, dan buah. Komoditi daging termasuk barang yang relatif mahal dibandingkan komoditi lain sehingga konsumsinya terkecil. Tabel 5. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan pokok di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan) potensi pangan
beras
ubi jalar
sagu singkong
sagu
6.90
0.45
1.83
ubi jalar
2.27
20.65
rata-rata
4.96
8.93
jagung
daging
ikan
sayur
buah
1.10
0.06
0.74
3.17
6.93
2.54
0.12
1.71
0.28
0.67
0.53
9.26
2.04
1.11
1.36
0.15
0.71
2.06
7.91
2.33
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah
Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perubahan konsumsi pangan pokok dari sagu menjadi lebih menyukai beras di kelompok daerah yang berpotensi sagu. Berbeda halnya dengan kelompok daerah yang berpotensi ubi jalar, pangan lokalnya yaitu ubi jalar masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam mengkonsumsi pangan pokok. Hal ini sesuai penelitian Kahar (2010) yang menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat berbeda dikarenakan
27
perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah terhadap sumber daya. Berdasarkan data BPS Papua (2012) jumlah rumah tangga miskin tahun 2011 sebanyak 944.79 ribu jiwa (31.98%) sedangkan tahun 2010 hanya 761.6 ribu jiwa (36.8%). Jumlah rumah tangga miskin Papua semakin meningkat namun secara persentase menurun, meskipun masih tertinggi se-Indonesia. Kebijakan pemberian raskin kepada rumah tangga penerima sasaran (RTS) membantu mempertahankan ketahanan pangan, akan tetapi di daerah yang tidak berpotensi beras seperti Papua dapat membuat sangat bergantung dari pasokan luar daerah. Ketergantungan pada daerah luar menyebabkan Papua rentan terhadap guncangan harga maupun ketersediaan. Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Konsumsi pangan perkapita berdasarkan golongan di Papua dapat dilihat pada Tabel 6. Semakin tinggi golongan, konsumsi beras semakin tinggi tapi konsumsi pangan lokal semakin rendah. Golongan rumah tangga yang lebih tinggi mengalihkan konsumsi pangan pokoknya ke beras yang dianggap lebih superior. Konsumsi beras rumah tangga miskin cukup berbeda antara penerima dengan yang tidak menerima raskin. Rumah tangga penerima raskin mengkonsumsi beras lebih banyak yaitu rata-rata 3.01 kg/kapita/bulan sedangkan yang tidak menerima raskin hanya mengkonsumsi 1.46 kg/kapita/bulan. Konsumsi pangan yang hampir sama adalah untuk komoditi sagu, singkong, jagung, dan ikan. Tabel 6. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan) GolonganPenerima raskin
beras
ubi jalar
sagu singkong
jagung
daging
ikan
sayur
buah
miskin
2.03
18.23
1.15
1.40
0.19
0.93
0.44
7.70
1.57
raskin
3.01
10.77
1.25
1.47
0.13
1.01
0.47
6.30
1.37
tidak raskin
1.46
22.65
1.10
1.36
0.23
0.88
0.43
8.53
1.69
menengah
5.98
3.97
1.44
1.53
0.11
2.49
0.76
7.69
2.39
atas
8.36
1.28
0.41
0.97
0.15
3.31
1.12
8.69
3.58
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah
Dari data Papua, terdapat 23.06% rumah tangga miskin yang tidak menikmati raskin, akan tetapi sebanyak 19.3% rumah tangga bukan sasaran mendapatkan raskin. Keberadaan rumah tangga miskin yang tidak menerima raskin dan justru rumah tangga menengah/atas yang menerima merupakan salah satu indikasi raskin masih belum tepat sasaran. Hal ini mendukung penelitian Hastuti et.al (2012) bahwa masih perlu peningkatan ketepatan sasaran dalam pembagian raskin. Lokasi yang sulit dijangkau dan biaya distribusi yang relatif kecil menjadi beberapa alasan ketidaklancaran distribusi pembagian raskin di Papua. Beberapa wilayah yang sulit dijangkau memutuskan bahwa titik distribusi dilakukan di distrik (setingkat kecamatan), bukan di kelurahan/desa seperti alur yang seharusnya.
28
30.0
25.0
1
20.0
2
15.0
3
10.0
4
5.0
5
5.0
0.0
6
0.0
0.0
5.0 Konsumsi beras
10.0
(a) Keterangan:
1. miskin di potensi sagu 3. menengah di potensi sagu 5. atas di potensi sagu Sumber: Susenas Panel 2008 - 2010, diolah
25.0 Konsumsi sagu
Konsumsi ubi jalar
30.0
20.0 15.0 10.0
0.0
5.0 konsumsi beras
10.0
(b) 2. miskin di potensi ubi jalar 4. menengah di potensi ubi jalar 6. atas di potensi ubi jalar
Gambar 6. (a) Pola konsumsi beras-ubi jalar dan (b) konsumsi beras-sagu rata-rata perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun 2008 - 2010 Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi golongan maka konsumsi beras masih semakin tinggi dikarenakan superioritasnya terhadap pangan pokok lokal. Data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan. Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua Penggunaan model LA-AIDS pada sampel rumah tangga Papua berdasarkan golongan pengeluaran, kelompok daerah menurut potensi pangan lokal, dan status penerimaan raskin. Hasil dari model pola konsumsi pangan di Provinsi Papua tersaji pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pengolahan yang tersaji pada Lampiran 3, diperoleh nilai system weighted R-square sebesar 0.5895 dengan tingkat kepercayaan 99%. Secara sistem, proporsi total keragaman dari konsumsi tiap komoditi dapat dijelaskan oleh variabel penjelas sebesar 58.95%. Kesimpulan secara umum bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Papua dipengaruhi oleh harga komoditi sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, golongan pengeluaran, kelompok potensi, dan penerimaan raskin. Pengaruh pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditi hampir semuanya nyata kecuali untuk komoditi ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditi pangan sebagian besar bertanda positif, yang berarti adanya tambahan proporsi pendapatan rumah tangga secara signifikan akan diikuti oleh peningkatan permintaan pada kelompok komoditi pangan tersebut. Koefisien pendapatan yang bertanda negatif adalah untuk komditi beras, ubi jalar,
29
dan sayur, yang berarti adanya tambahan pendapatan akan menurunkan permintaan kelompok komoditi tersebut. Penurunan konsumsi seiring peningkatan pendapatan menunjukkan bahwa teorema Bennet berlaku pada konsumsi pangan rumah tangga di Papua. Tabel 7. Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua w w w w w ja w da w w sa Parameter ubi sing beras sagu gung ging ikan yur jalar kong konstanta
ln(pberas) ln(pubijalar) ln(psagu) ln(psingkong) (ln(pjagung) ln(pdaging) ln(pikan) ln(psayur) ln(pbuah) ln(y riil) Dgola Dgolb D1 D2 t
w buah
0.562
0.315
-0.013
-0.094
0.037
-0.075
-0.374
0.578
0.053
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.6736)
(0.0066)
(<0.0001)
(0.0940)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.1409)
0.011
-0.004
-0.001
-0.001
0.000
-0.002
-0.001
-0.001
-0.001
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.004
0.010
-0.001
-0.002
0.000
-0.001
-0.001
0.001
0.000
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0033)
(0.5224)
-0.001
-0.001
0.006
-0.001
0.000
0.000
0.000
-0.002
-0.001
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.6620)
(0.0035)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.001
-0.002
-0.001
0.005
0.000
0.000
-0.001
0.000
0.000
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0066)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.4941)
(0.0026)
0.000
0.000
0.000
0.000
0.003
0.000
0.000
-0.002
0.000
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0066)
(<0.0001)
(<0.0001)
<0.3490)
(<0.0001)
(0.0003)
-0.002
-0.001
0.000
0.000
0.000
0.010
-0.003
-0.003
-0.001
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.6620)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.001
-0.001
0.000
-0.001
0.000
-0.003
0.010
-0.002
-0.001
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.3940)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.001
0.001
-0.002
0.000
-0.002
-0.003
-0.002
0.012
-0.001
(<0.0001)
(0.0033)
(<0.0001)
(0.4941)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.001
0.000
-0.001
0.000
0.000
-0.001
-0.001
-0.001
0.004
(<0.0001)
(0.5224)
(<0.0001)
(0.0026)
(0.0003)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
-0.042
-0.008
0.012
0.013
0.002
0.020
0.049
-0.047
0.001
(<0.0001)
(0.2057)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0018)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.6459)
0.033
-0.122
-0.029
-0.017
0.002
0.024
-0.014
0.098
0.024
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0038)
(<0.0001)
(0.0063)
(<0.0001)
(<0.0001)
0.048
-0.132
-0.046
-0.032
-0.001
0.013
-0.016
0.125
0.042
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.5191)
(0.0387)
(0.0288)
(<0.0001)
(<0.0001)
0.048
0.080
-0.020
0.027
-0.003
0.011
-0.054
-0.048
-0.042
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.0005)
(0.0069)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
0.005
-0.044
-0.002
0.004
0.002
0.029
0.017
-0.007
-0.005
(0.2829)
(<0.0001)
(0.4893)
(0.1355)
(0.0014)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.1205)
(0.0636)
0.010
0.011
-0.001
0.001
-0.001
-0.012
-0.011
0.003
0.000
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.395)
(0.927)
(<0.0001)
(<0.0001)
(<0.0001)
(0.101)
(0.794)
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah. Angka dalam kurung merupakan P-value.
Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh harga komoditi lainnya ada yang berpengaruh nyata dan ada yang tidak. Harga bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap permintaan sendiri maupun pada komoditi lain. Pengaruh harga bertanda positif berarti apabila terjadi kenaikan harga maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran komoditi, bila bertanda negatif maka pengaruh kenaikan harga akan menurunkan proporsi pengeluaran komoditi. Hasil
30
ini sesuai dengan penelitian Siregar (2002) dan Ilham et al. (2006) yang menyatakan bahwa guncangan harga pangan mempengaruhi inflasi sehingga kemudian akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Informasi mengenai struktur pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan seberapa penting pengeluaran komoditi terhadap struktur pengeluaran rumah tangga. Rata-rata total pengeluaran rumah tangga miskin per tahun di daerah potensi sagu lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi ubi jalar. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketersediaan fasilitas dan kemudahan mengakses sumber daya. Hasil yang sama juga didapatkan pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Ariningsih (2004) dan Kahar (2010). Dummy rumah tangga miskin, menengah, dan atas juga berpengaruh nyata terhadap besaran pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran beras untuk rumah tangga miskin berbeda dengan rumah tangga menengah dan atas. Hal ini sejalan dengan penelitian Sumarwan dan Sukandar (1998) bahwa besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Akan tetapi, beras masih termasuk barang normal untuk semua golongan pengeluaran. Perbedaan proporsi pengeluaran dan konsumsi beras antara rumah tangga yang tinggal di daerah potensi sagu dengan daerah potensi ubi jalar mengindikasikan bahwa ada perubahan pola pada salah satu daerah tersebut. Pilihan konsumsi pangan pokok masyarakat di daerah potensi sagu semakin terorientasi pada beras dan mulai meninggalkan sagu, tapi tidak di daerah potensi ubi jalar. Hal ini didukung penduga variabel pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa ubi jalar sebagai pangan pokok lokal masih belum tergantikan beras, terutama di daerah pegunungan Papua yang merupakan daerah potensi ubi jalar. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil seperti penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok utama. Di Papua masih terdapat daerah yang memanfaatkan kearifan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat utama. Dummy raskin berpengaruh signifikan pada beberapa pengeluaran komoditi seperti ubi jalar, singkong jagung, daging, ikan, dan buah. Hanya pengeluaran beras, sagu, dan sayur yang tidak signifikan dipengaruhi penerimaan raskin. Hal ini berlawanan dengan dugaan awal penulis dilihat dari konsumsi beras menurut penerimaan raskin pada Tabel 6. Keragaman harga beras yang dibayar penerima raskin tinggi, bahkan jauh dari harga yang ditetapkan di titik distribusi. Biaya yang tinggi dalam mendistribusikan raskin terutama di daerah pegunungan yang sulit dijangkau membuat seolah-olah pengeluaran beras tinggi. Oleh karena itu, perlu dilihat juga kuantitas beras yang dikonsumsi menurut daerah potensi dan perbandingan nilai elastisitas dari masing-masing dummy kategori sehingga tidak menimbulkan penafisran yang salah. Tahap selanjutnya adalah menghitung elastisitas berdasarkan koefisien yang diperoleh pada Tabel 7 menggunakan rumusan (3.11) - (3.13). Hasil penghitungan elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pengeluaran disajikan pada Tabel 8. Hasil elastisitas permintaan harga sendiri untuk semua komoditi bernilai negatif. Berdasarkan tanda besaran
31
elastisitas yang berlawanan arah tersebut berarti peningkatan harga barang mengakibatkan penurunan permintaan barang tersebut atau turunnya harga akan meningkatkan permintaan barang. Selama tahun 2008-2010 hampir semua komoditi merupakan barang inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Papua, komoditi pangan masih merupakan barang kebutuhan. Berdasarkan teorema Engel dan Bennet, dengan memperhatikan perbandingan persentase pengeluaran pangan yang lebih besar dari nonpangan sekaligus persentase pangan pokok yang juga lebih dari pangan lain maka dapat diartikan bahwa lebih banyak masyarakat Papua yang termasuk berpendapatan rendah. Hal ini didukung fakta bahwa Provinsi Papua mempunyai angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Tabel 8. Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi harga
Elastisitas beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
beras
ubi jalar
sagu singkong
jagung
daging
ikan
sayur
buah
-0.90*
0.016
0.095
0.105
-0.123
0.056
0.063
0.037
0.013
0.014
-0.93*
-0.083
-0.134
-0.098
-0.045
0.053
0.037
0.004
0.002
-0.005
-0.85*
-0.035
-0.054
-0.008
-0.009
0.003
-0.009
0.002
-0.014
-0.030
-0.86*
-0.024
-0.010
-0.016
0.008
0.003
0.000
-0.001
-0.009
-0.005
-0.48*
-0.002
-0.002
-0.009
-0.001
0.013
-0.003
-0.033
-0.048
-0.051
-0.92*
-0.043
-0.007
-0.011
0.030
0.000
-0.048
-0.098
-0.070
-0.062
-0.99*
-0.026
-0.017
0.042
0.014
0.086
0.083
-0.026
-0.077
-0.077
-0.90*
-0.018
0.013
0.003
-0.044
0.024
-0.047
-0.023
-0.029
-0.012
-0.95*
pendapatan -0.784 -0.920 -0.916 -0.968 Keterangan: *) elastisitas harga sendiri Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.
-0.973
-1.091
-1.052
-0.869
-0.986
Nilai elastisitas harga sendiri kelompok komoditi yang dianalisis kurang dari satu atau bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase perubahan harga lebih tinggi dibandingkan persentase perubahan permintaan. Seberapapun besarnya perubahan harga komoditi, permintaan komoditi yang bersifat inelastis tidak banyak berubah. Hal ini dikarenakan komoditi yang bersifat inelastis tersebut biasanya merupakan bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan. Kebutuhan pokok akan diutamakan untuk dikonsumsi sampai dengan jumlah tertentu. Nilai elastisitas jika dilihat menurut dummy kategori seperti yang tersaji pada Tabel 9 dapat memberikan informasi apakah ada perbedaan berdasarkan kondisi. Besaran elastisitas harga sendiri untuk masing-masing golongan pengeluaran ada sedikit perbedaan.. Komoditi ikan masih bersifat inelastis bagi rumah tangga golongan miskin, tapi sudah bersifat elastis bagi rumah tangga menengah dan atas. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas harga ikan yang lebih dari 1 pada golongan menengah dan atas. Rumah tangga menengah dan atas lebih responsif terhadap perubahan harga ikan. Mereka lebih mudah mencari alternatif komoditi substitusi lain yang harganya relatif lebih murah apabila terjadi kenaikan harga ikan.
32
Komoditi selain ikan memiliki kondisi yang tidak berbeda bagi masingmasing golongan pengeluaran. Komoditi beras bersifat inelastis untuk semua golongan pengeluaran, akan tetapi nilai elastisitas golongan menengah dan atas lebih tinggi dibandingkan golongan miskin. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan semakin tinggi golongan, akan merubah pola konsumsi terhadap beras menjadi lebih responsif terhadap perubahan harga seperti yang dikemukakan pada teorema Engel dan Bennet. Dengan nilai yang lebih besar diharapkan mengarah menjadi komoditi yang lebih elastis. Komoditi beras yang semakin elastis berarti masyarakat akan menjadi lebih tahan terhadap guncangan harga beras. Tabel 9. Elastisitas permintaan harga sendiri menurut kategori di Provinsi Papua menurut komoditi dummy golongan
Elastisitas beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
miskin
dummy potensi ubi sagu jalar
dummy raskin tidak terima terima
total
menengah
atas
-0.87
-0.91
-0.91
-0.91
-0.87
-0.89
-0.91
-0.90
-0.96
-0.83
-0.42
-0.27
-0.97
-0.94
-0.85
-0.93
-0.89
-0.87
-0.52
-0.91
-0.21
-0.81
-0.90
-0.85
-0.89
-0.86
-0.70
-0.84
-0.88
-0.85
-0.88
-0.86
-0.60
-0.36
-0.35
-0.10
-0.71
-0.53
-0.29
-0.48
-0.89
-0.92
-0.94
-0.91
-0.92
-0.92
-0.91
-0.92
-0.94
-1.00
-1.01
-1.01
-0.89
-0.99
-1.00
-0.99
-0.89
-0.90
-0.90
-0.90
-0.90
-0.90
-0.90
-0.90
-0.93
-0.95
-0.96
-0.95
-0.93
-0.95
-0.94
-0.95
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.
Berdasarkan jenis potensi, tentu saja elastisitas harga untuk komoditi pangan lokalnya sesuai dengan jenis potensi pangan lokalnya masing-masing. Elastisitas harga sagu lebih tinggi di daerah potensi sagu, begitu juga elastisitas harga ubi jalar lebih tinggi di daerah ubi jalar. Komoditi beras di daerah potensi ubi jalar mempunyai elastisitas harga lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi sagu. Komoditi ikan bersifat elastis di daerah potensi sagu tapi masih bersifat inelastis di daerah potensi ubi jalar. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber daya (pangan) di daerah potensi sagu membuat pilihan masyarakat menjadi lebih beragam. Elastisitas harga semua komoditi berdasarkan status penerimaan raskin tidak berbeda jauh antara yang menerima ataupun yang tidak menerima raskin, walaupun nilai elastisitas yang menerima raskin lebih besar dibandingkan yang tidak menerima.. Adanya kebijakan raskin melalui harga subsidi yang dibayarkan rumah tangga senilai Rp1 600/kg direspon dengan peningkatan permintaan untuk komoditi beras sebesar 0.91% bagi yang menerima, sedangkan bagi yang tidak menerima raskin hanya merespon sebesar 0.89%. Tren elastisitas harga sendiri periode tahun 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 terlihat bahwa hampir semua komoditi pangan pokok yang dianalisis tidak banyak berubah, kecuali komoditi sagu yang cenderung semakin rendah nilainya. Respon perubahan permintaan komoditi sagu terhadap perubahan harganya semakin lama semakin rendah. Elastisitas harga beras dari tahun ke tahun belum berubah, yang bisa diartikan masyarakat masih terorientasi pada
33
beras, masih nyaman dan belum siap untuk berpindah ke komoditi pangan pokok lokalnya. Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa nilai elastisitas pendapatan komoditi beras, ubi jalar, dan sayur berada di antara 0 dan 1. Hal ini berarti bahwa ketiga komoditi tersebut masih bersifat barang normal. Komoditi beras, ubi jalar, dan sayur termasuk barang kebutuhan pokok dimana nilai elastisitas pendapatan kurang dari 1 dan merupakan barang inelastis. Komoditi pangan lain secara umum ada yang dianggap sebagai barang mewah/luxury oleh rumah tangga di Papua. Hal ini ditunjukkan dengan nilai elastisitas pendapatan yang lebih dari 1. Komoditi yang dianggap mewah terutama pangan sumber protein hewani, yaitu komoditi daging dan ikan. Pola elastisitas pendapatan berdasarkan potensi pangan hampir sama dengan pola elastisitas pendapatan total seperti yang tersaji pada Lampiran 4. Jadi, perbedaan potensi pangan tidak menyebabkan perbedaan pola elastisitas pendapatan terhadap permintaan komoditi. Pola elastisitas pendapatan antara daerah potensi sagu dengan potensi ubi jalar tidak berbeda, hanya nilainya saja yang berbeda. Jenis komoditi yang bersifat barang normal maupun barang mewah juga sama. Penambahan pendapatan akan lebih memperbesar konsumsi barang mewah seperti teorema Bennett. Tren elastisitas pendapatan selama periode 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 ada penambahan walaupun tidak banyak, baik di daerah potensi sagu maupun ubi jalar. Komoditi yang penambahannya kontinu antara lain daging dan ikan sebagai makanan sumber protein. Elastisitas pendapatan komoditi singkong dan jagung di tahun 2008-2009 meningkat tapi kemudian turun di tahun 2009-2010. Dari nilai elastisitas pendapatan (pada Tabel 8 dan lampiran) dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan peningkatan alokasi pengeluaran untuk komoditi sumber protein dan sumber karbohidrat utama (beras dan ubi jalar). Nilai elastisitas harga silang (Tabel 8) ada yang bertanda negatif dan ada yang bertanda positif, yang menyatakan dua bentuk hubungan yang terjadi antara kelompok komoditi, yaitu substitusi (pengganti) dan komplementer (pelengkap). Nilai elastisitas harga silang semuanya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa satu persen perubahan harga suatu barang diiringi oleh perubahan persentase permintaan barang lain kurang dari satu persen atau besarnya persentase perubahan harga suatu barang diikuti oleh perubahan permintaan barang lain namun tidak sebesar perubahan persentase harganya. Semua komoditi pangan merupakan barang subtitusi terhadap beras. Kenaikan harga beras akan meningkatkan konsumsi seluruh komoditi lainnya seperti ubi jalar, sagu, daging, ikan, dan sayur. Dalam rangka menurunkan konsumsi beras dan beralih kepada pangan sumber karbohidrat lokal seperti ubi jalar dan sagu sesuai saran WNPG, maka sebaiknya harga beras raskin disesuaikan dengan harga pasar secara bertahap. Bentuk hubungan komplementer terjadi antara kelompok komoditi sumber protein (daging dan ikan) dengan komoditi pangan pokok lain. Penurunan harga daging dan ikan akan meningkatkan konsumsi komoditi terpilih lain. Hubungan yang berlawanan ini dikarenakan komoditi tersebut saling melengkapi, dan cenderung tidak dapat berdiri sendiri. Komoditi ubi jalar mempunyai 2 hubungan dengan komoditi pangan lain. Ubi jalar
34
berkomplementer dengan pangan pokok lain dan daging sehingga kenaikan harga ubi jalar akan menurunkan permintaan produk tersebut. Sebaliknya, ubi jalar bersubstitusi dengan komoditi ikan, sayur, dan buah. Apabila terjadi kenaikan harga ubi jalar maka rumah tangga akan mengalihkan konsumsi ke produk substitusinya sehingga akan terjadi peningkatan konsumsi ikan, sayur, dan buah. Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap rumah tangga. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan harga dimana secara mikro mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan secara makro mengganggu stabilitas nasional apabila menimbulkan inflasi yang terlalu tinggi. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil masyarakat sehingga dapat menurunkan aktifitas produksi. Simulasi diperlukan untuk melihat sejauh mana dampak kenaikan harga terhadap perubahan permintaan komoditi. Nilai elastisitas harga sendiri secara matematis merupakan suatu rasio antara persentase perubahan permintaan komoditi dengan persentase perubahan harga komoditi. Simulasi perubahan harga dilakukan untuk melihat berapa besar efek yang dirasakan oleh rumah tangga. Simulasi dilakukan untuk melihat perubahan permintaan rumah tangga terhadap komoditi apabila terjadi perubahan harga dan pemberian subsidi oleh pemerintah. Simulasi tersebut antara lain : a. Pemberian raskin terhadap RTS secara kontinu. Masih terdapat RTS miskin yang belum memperoleh raskin yang menjadi indikasi belum tepat sasaran. Harga diperhitungkan dengan dasar rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin sebagai prioritas RTS. Jadi, apabila semua rumah tangga miskin memperoleh raskin maka terjadi penurunan rata-rata harga beras sebesar 21.34%. b. Pencabutan raskin dari RTS, hal ini menyebabkan RTS akan membayar beras sesuai harga pasar. Kenaikan harga rata-rata beras menjadi sebesar 27.37%. Nilai ini diperhitungkan dari proporsi beras yang bersumber raskin sebesar 33.98% dan yang berasal dari pembelian sebesar 66.02%. c. Simulasi ke-3 merupakan alternatif kebijakan yang masih dalam proses perumusan dan koordinasi, yaitu penggantian raskin menjadi subsidi pangan untuk rmasyarakat miskin (pangkin) dimana komoditinya disesuaikan kearifan pangan pokok lokal daerah masing-masing. Dalam cakupan Provinsi Papua, penulis mensimulasikan perubahan harga beras, ubi jalar, dan sagu berturut-turut naik 27.37%, turun 21.9%, dan turun 29.18%. Pengukuran elastisitas dilakukan sebagai dasar dalam perhitungan pada simulasi. Ketiga alternatif simulasi dilakukan untuk mengukur dampak perubahan konsumsi apabila ada kebijakan tersebut diterapkan sehingga terjadi perubahan harga. Perubahan konsumsi komoditi diukur dan dihitung perubahan konsumsi beras serta peningkatan konsumsi pangan pokok lokal (ubi jalar dan sagu). Hasil perubahan permintaan masing-masing komoditi berdasarkan ke-3 simulasi ditampilkan pada Tabel 10. Simulasi yang dipilih adalah simulasi yang memberikan dampak penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok lokal. Dampak tersebut juga tetap memberikan batas asupan gizi dan kalori untuk pangan pokok sesuai rekomendasi WNPG 2004 yaitu
35
sebesar 1 100 kkal/kapita/hari. Hasil simulasi 1 menunjukkan bahwa dengan tetap memberikan raskin akan menyebabkan peningkatan konsumsi beras sebesar 19.18% tetapi menurunkan konsumsi ubi jalar dan sagu masing-masing 0.29% dan 0.04%. Peningkatan konsumsi beras akan membuat Papua semakin tergantung pada pasokan dari luar, semakin mudah terkena guncangan terutama ketersediaan beras. Simulasi 1 akan semakin memperbesar konsumsi beras sehingga target penurunan konsumsi beras 1.5% pertahun tidak akan tercapai. Simulasi 2 melalui pencabutan raskin memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan konsumsi beras (yaitu sebesar 25.52%), tapi peningkatan pangan pokok lokal hanya bertambah sedikit. Simulasi 2 dikhawatirkan memberikan dampak lain, yaitu penurunan gizi anggota rumah tangga sasaran sehingga dikhawatirkan rumah tangga tidak bisa mempertahankan ketahanan pangannya. Kasus gizi buruk, bahkan kelaparan/kematian seperti yang terjadi pada tahun 2005 lalu di Yahukimo diharapkan tidak akan terjadi lagi. Rumah tangga miskin akan semakin kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. Tabel 10. Persentase perubahan permintaan/konsumsi menurut komoditi berdasarkan hasil alternatif simulasi di Provinsi Papua (%)
Komoditi beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
Simulasi 1 (Pemberian raskin) 19.18 -0.29 -0.04 -0.05 0.01 -0.27 -0.64 -0.91 -0.29
Simulasi 2 (Pencabutan raskin) -25.52 0.39 0.06 0.06 -0.01 0.36 0.85 1.21 0.38
Simulasi 3 (Penggantian raskin ke Pangan Lokal) -27.73 23.19 25.01 1.23 0.28 1.37 2.22 4.84 1.59
Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah
Simulasi 3 mengakomodasi penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras diganti menjadi paket ubi jalar/sagu disesuaikan dengan potensi pangan pokok lokalnya. Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 memberikan hasil penurunan konsumsi beras sebesar 21.47%; tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi ubi jalar dan sagu (yaitu 23.19% dan 25.01%). Kesetaraan kalori yang dihasilkan dari ke-3 simulasi diukur untuk membandingkan dengan anjuran WNPG 2004 yaitu 2 200 kkal secara total dan 1 100 kkal untuk makanan pokok. Batas minimum energi tersebut harus dipenuhi agar tidak terjadi rawan pangan (Tejasari 2003). Hasil simulasi 2 memberikan kalori sebesar 1 000 kkal, berada di bawah anjuran sehingga sebaiknya tidak dilakukan. Jadi, kebijakan pencabutan raskin tidak disarankan. Simulasi 1 dan 3 sama-sama memberikan hasil di atas anjuran, yaitu
36
menghasilkan kalori sebesar 1 252 kkal dan 1 140 kkal. Akan tetapi, simulasi 3 adalah yang memberikan hasil terbaik dengan pertimbangan adanya penurunan konsumsi beras tapi tetap memberikan gizi yang masih di atas batas anjuran. Jadi, kebijakan yang diusulkan adalah penggantian raskin yang dialihkan pada pangan pokok lokal. Penggantian kebijakan raskin menjadi komoditi lain (pangkin) masih sulit diterapkan dalam waktu dekat. Kebijakan ini membutuhkan kesiapan lembaga pengelola, data ketersediaan pangan lokal tiap wilayah, data konsumsi, karakteristik rumah tangga yang lebih spesifik, serta membutuhkan biaya persiapan yang besar. Penerapan dalam waktu dekat diarahkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan kuantitas pangan pokok lokal dimaksud dengan harga subsidi. Pemberian kupon bersyarat akan dapat meminimalkan penyalahgunaan untuk pembelian keperluan lain. Penerapan tersebut hanya bersifat sementara menunggu prosedur dan sistem yang harus direncanakan dengan matang.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pangan pokok lokal utama masyarakat Papua adalah ubi jalar dan sagu. Konsumsi pangan pokok daerah potensi sagu sudah tergantikan beras, akan tetapi daerah potensi ubi jalar masih mengutamakan pangan pokok lokalnya. 2. Secara umum, konsumsi komoditi dipengaruhi oleh harga sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, golongan pengeluaran, potensi pangan, dan status penerimaan raskin. Tipe potensi pangan berpengaruh terhadap konsumsi beras, daerah potensi sagu mempunyai tingkat konsumsi beras yang lebih tinggi daripada daerah potensi ubi jalar. 3. Usulan program penggantian raskin menjadi berbasis pangan lokal lebih baik dibandingkan dengan tetap memberikan raskin maupun pencabutan raskin. Saran 1. Pemerintah Papua diharapkan menyusun aturan nyata terkait program penganekaragaman pangan yang semakin mengedepankan potensi pangan pokok lokal. Pengolahan pangan lokal menjadi komoditi yang lebih bernilai tambah sebaiknya dikembangkan untuk segera dapat menggantikan beras. 2. Harga beras raskin sebaiknya disesuaikan harga pasar. Penyesuaian harga dapat dilakukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat. 3. Program raskin sebaiknya segera diganti dengan program subsidi pangan lain yang berbasiskan pangan pokok lokal. Untuk daerah Papua yang berpotensi sagu maka beras diganti dengan sagu dan daerah yang berpotensi ubi jalar maka penggantinya juga ubi jalar. Teknis penggantian dalam waktu dekat diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan sejumlah kuantitas pangan pokok lokal dimaksud dengan harga subsidi.
37
DAFTAR PUSTAKA Ariani M, Ashari. 2003. Arah, Kendala, dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. 21(2). Ariningsih E. 2004. Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Icaserd Working Paper No. 56. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2009. Neraca Bahan Makanan Provinsi Papua 2009. Papua: BPS Papua. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2012. Papua Dalam Angka 2012. Papua: BPS Papua. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006 – 2010. Jakarta: Bappenas. Barrett CB. 1999. The Microeconomics of the Developmental Paradox: On the Political Economy of Food Price Policy. .Agricultural Economics. 20 (2): 159-361. Deaton A, Muellbauer J. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review. 70 (3): 312-326. Hastuti, Sulaksono B, Mawardi S. 2012. Tinjauan Efektivitas Pelaksanaan Raskin dalam Mencapai Enam Tepat. Lembaga Penelitian SMERU. Kertas Kerja Juli 2012 Henderson JM, Quandt RE. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. 3rd Ed. Singapore: McGraw-Hill, Inc. Ilham N, Siregar H, Priyarsono DS. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. 24 (2): 157-177. Ingco MD. 1991. Is Rice Becoming an Inferior Good? Food Demand in Philiphines. Working Paper No. WPS 722 Kahar M. 2010. Analisis Pola Konsumsi Daerah Perkotaan dan Pedesaan serta keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, IPB. Mardianto S, Supriatna Y, Agustin NK. 2005. Dinamika Pola Pemasaran Beras dan Gabah di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(2): 116-131. Miyazaki A. 2004. Studies of Differences in Photosyntetic Abilities among Varieties and Related Character in Sago Palm. Japan: Faculty of Agribusiness, Kochi University. Nicholson W. 2005. Teori Mikro Ekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. Wirajaya D, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Principles and Extensions. Pemerintah Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 Tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara. Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara. Peter J. 2001. Human-Sweet Potato-Pig-System Characterization and Research in Irian Jaya, Indonesia: A Secondary literarture Review. International Potato Center Support from ACIAR. Working Paper No. 77.
38
Rachman HPS, Ariani M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian. 6 (2): 140-154. Rauf AW, Lestari MS. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (2): 5462. Retnaningsih RD. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Skor PPH pada Keluarga Petani Sawah Tadah Hujan [tesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Sengul S, Tuncer I. 2005. Poverty Levels and Food Demand of the Poor in Turkey. Agribusiness. 21 (3):289-311. Simatupang P, Timmer CP. 2008. Indonesian Rice Production: Policies and Realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 44 (1): 65-79. Siregar H. 2002. Perspektif Implememntasi Kebijakan Stabilisasi Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakarya Ketahanan Pangan Pasca Bulog. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Siregar H, Anggraini L. 2010. Efektivitas Program Raskin dan Diversifikasi Pangan. Focus Froup Discussion 26 Juni 2010. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Sumarwan U, Sukandar D. 1998. Analisis Ketahanan Pangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Media Gizi dan Keluarga. XXII(1): 31-38. Suryana A. 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian. Suryana A, Mardianto S. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-UI). Taljaard PR, Alemu ZG, Van Schalkwyk HD. 2004. The Demand for Meat in South Africa: an Almost Ideal Estimation. Agrekon. 43 (4): 430-442. Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Munandar H, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Wen SC, Kimiko I, Kiyoshi T, Yuki T. 2003. Analysis of the food consumption of Japanese households. FAO Economics and Social Development Paper No. 152.
39
LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Kabupaten/Kota di Papua berdasarkan Potensi Pangan
Kabupaten/ Kota
Konsumsi normatif serealia*
Rasio konsumsi ubi jalar/sagu
Konsumsi Konsumsi normatif normatif Potensi ubi jalar* sagu*
Merauke
0.51
0.70
1.76
0.90
sagu
Jayawijaya
0.59
3.63
1.54
17 004.55
ubi
2.3
1.38
2.68
1.21
sagu
Nabire
1.57
4.17
0.90
89.86
ubi
Yapen Waropen
3.48
0.70
1.14
0.94
sagu
Biak Numfor
3.72
0.78
1.22
0.86
sagu
Paniai
1.57
1.77
1.85
187.81
ubi
Puncak Jaya
7.54
15 929.11
0.07
0.09
ubi
Mimika
5.47
0.87
1.17
27.04
sagu
2.7
0.67
0.43
8 640.07
sagu
Mappi
15.99
0.39
3.21
36 521.19
sagu
Asmat
95.42
0.00
2.00
327.95
sagu
Yahukimo
0.88
100 698.21
4.43
7.52
ubi
Pegunungan Bintang
1.65
4.08
1.14
17 073.79
ubi
Tolikara
0.45
11.32
2.35
120.38
ubi
Sarmi
2.05
0.00
0.00
31.12
sagu
Keerom
2.23
0.78
0.76
71.96
sagu
Waropen
0.84
0.00
0.00
41.13
sagu
Supiori
7.26
0.10
0.00
0.00
sagu
Jayapura (kota dan kab)
Boven Digoel
Sumber: Badan Ketahanan Pangan (BKP)*
40
Lampiran 2. Hasil Output SAS dengan metode Pooled The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 1
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
A w1 w1
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 18917.55 14896.49 33814.04
Mean Square 1182.347 4.970467
2.22945 0.19297 1155.35242
R-Square Adj R-Sq
The SAS System The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 0.644767 0.012436 -0.00185 -0.00197 -0.00022 -0.00151 -0.00151 -0.00048 -0.00476 -0.00098 -0.04662 0.031351 0.04718 0.010447 0.038551 -0.0002
F value 237.87
Pr > F <.0001
0.55946 0.55711
09:37 Thursday, September 9, 2013 2
Standard Error 0.060324 0.000304 0.000239 0.000229 0.000193 0.000325 0.000178 0.00027 0.000812 0.000209 0.00534 0.005926 0.008579 0.002445 0.006098 0.004617
t Value 10.69 40.94 -7.76 -8.6 -1.17 -4.64 -8.48 -1.76 -5.86 -4.66 -8.73 5.29 5.5 4.27 6.32 -0.04
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.244 <.0001 <.0001 0.0777 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.9662
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
41
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 3
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
B w2 w2
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 75491.24 20573.12 96514.35
Mean Square 4746.327 6.864571
2.62003 0.16029 1634.55987
F value 691.42
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.78684 0.7857
09:37 Thursday, September 9, 2013 4
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.07039 -0.00972 0.0067 -0.00179 -0.00378 -0.00168 -0.00288 -0.00344 0.002191 0.000338 0.021829 -0.10272 -0.11775 0.006855 0.032741 -0.01384
Standard Error 0.070892 0.000357 0.000281 0.000269 0.000226 0.000382 0.000209 0.000318 0.000954 0.000246 0.006276 0.006964 0.010082 0.002872 0.007166 0.005426
t Value -0.99 -27.24 23.88 -6.66 -16.7 -4.4 -13.8 -10.82 2.3 1.37 3.48 -14.75 -11.68 2.39 4.57 -2.55
Pr > |t| 0.3209 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0218 0.1694 0.0005 <.0001 <.0001 0.0107 <.0001 0.0108
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
42
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 5
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
C w3 w3
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 6275.278 4120.036 10395.31
Mean Square 392.2049 1.37472
1.17248 0.03737 3137.12874
F value 285.3
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.60366 0.55711
0.60155
09:37 Thursday, September 9, 2013 6
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 0.027623 -0.00026 -0.00102 0.006347 -0.00076 -0.00017 0.000308 0.000279 0.000181 -0.00047 0.007102 -0.03204 -0.04866 -0.00050 -0.00961 -0.00594
Standard Error 0.031725 0.00016 0.000126 0.00012 0.000101 0.000171 0.000093 0.000142 0.000427 0.00011 0.002808 0.003116 0.004512 0.001285 0.003207 0.002428
t Value 0.87 -1.63 -8.15 52.81 -7.53 -0.98 3.29 1.96 0.42 -4.28 2.53 -10.28 -10.78 -0.39 -3 -2.45
Pr > |t| 0.384 0.1027 <.0001 <.0001 <.0001 0.3285 0.001 0.0503 0.6722 <.0001 0.0115 <.0001 <.0001 0.6985 0.0028 0.0145
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
43
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 7
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
D w4 w14
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 4616.697 5510.057 10126.75
Mean Square 288.5435 1.838524
1.35592 0.03439 3942.51092
F value 156.94
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.45589 0.45299
09:37 Thursday, September 9, 2013 8
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.08987 -0.00098 -0.00242 -0.00038 0.005277 -0.00034 -0.00034 -0.00079 0.000254 -0.00012 0.012623 -0.01735 -0.03022 -0.000759 0.033067 0.0021
Standard Error 0.036688 0.000185 0.000145 0.000139 0.000117 0.000198 0.000108 0.000165 0.000494 0.000127 0.003248 0.003604 0.005218 0.001493 0.003709 0.002808
t Value -2.45 -5.3 -16.66 -2.77 45.02 -1.74 -3.16 -4.81 0.52 -0.95 3.89 -4.81 -5.79 0.51 8.92 0.75
Pr > |t| 0.0144 <.0001 <.0001 0.0057 <.0001 0.0828 0.0016 <.0001 0.6065 0.3399 0.0001 <.0001 <.0001 0.6111 <.0001 0.4546
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
44
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 9
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
E w5 w5
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 712.1336 302.8359 1014.969
Mean Square 44.50835 0.101046
0.31788 0.00639 4977.68533
F value 440.47
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.70163 0.70004
09:37 Thursday, September 9, 2013 10
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 0.057803 -0.00004 -0.00002 -0.00003 0.000013 0.003777 -0.00007 -6.64E-06 0.000018 0.000022 -0.00042 0.001936 0.000412 -0.00131 -0.00039 -0.00021
Standard Error 0.008601 0.000043 0.000034 0.000033 0.000027 0.000046 0.000025 0.000039 0.000116 0.00003 0.000761 0.000845 0.001223 0.000349 0.000869 0.000658
t Value 6.72 -0.92 -0.62 -0.82 0.47 81.48 -2.69 -0.17 0.16 0.74 -0.55 2.29 0.34 -3.75 -0.45 -0.32
Pr > |t| <.0001 0.3593 0.5343 0.4147 0.6363 <.0001 0.0072 0.8633 0.8736 0.4586 0.5794 0.022 0.7365 0.0002 0.653 0.752
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
45
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 11
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
F w6 w6
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 20141.44 8874.385 29015.82
Mean Square 1258.84 2.961089
1.72078 0.09684 1776.88771
F value 425.13
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.69415 0.69252
09:37 Thursday, September 9, 2013 12
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.03221 -0.00074 -0.00019 -0.00061 0.000346
Standard Error 0.04656 0.000234 0.000184 0.000176 0.000149
t Value -0.69 -3.17 -1.05 -3.48 2.33
Pr > |t| 0.4891 0.0016 0.2927 0.0005 0.02
lp5 lp6
1 1
0.000954 0.010002
0.000251 0.000137
3.8 72.96
0.0001 <.0001
lp5 lp6
lp7 lp8
1 1
-0.0027 -0.0026
0.000209 0.000627
-12.92 -4.15
<.0001 <.0001
lp7 lp8
lp9 ly
1 1
-0.00125 0.017451
0.000162 0.004122
-7.75 4.23
<.0001 <.0001
lp9 ly
gola golb
1 1
0.022553 0.012274
0.004574 0.006622
4.93 1.85
<.0001 0.0639
gola golb
t D1a D2_
1 1 1
-0.01209 0.001788 0.024909
0.001887 0.004707 0.003564
-6.41 0.38 6.99
<.0001 0.7041 <.0001
t D1a D2_
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4
DF
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4
46
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 13
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
G w7 w7
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 22470.28 12246.6 34716.88
Mean Square 1404.393 4.086287
2.02146 0.17231 1173.18005
F value 343.68
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.64724 0.64536
09:37 Thursday, September 9, 2013 14
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.31899 -0.0016 -0.00079 0.000429 -0.00135 -0.00064
Standard Error 0.054696 0.000275 0.000216 0.000207 0.000175 0.000295
t Value -5.83 -5.82 -3.67 2.07 -7.72 -2.18
lp6 lp7
1 1
-0.00241 0.009839
0.000161 0.000245
lp8 lp9
1 1
-0.00513 -0.00094
ly gola
1 1
golb t D1a D2_
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5
DF
Pr > |t| <.0001 <.0001 0.0002 0.0385 <.0001 0.0295
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5
-14.95 40.12
<.0001 <.0001
lp6 lp7
0.000736 0.00019
-6.96 -4.94
<.0001 <.0001
lp8 lp9
0.045374 -0.00975
0.004842 0.005373
9.37 -1.82
<.0001 0.0696
ly gola
1 1
-0.0106 -0.01154
0.007779 0.002218
-1.36 -5.20
0.1729 <.0001
golb t
1 1
-0.05895 0.018919
0.005529 0.004186
-10.66 4.52
<.0001 <.0001
D1a D2_
47
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 15
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
H w8 w8
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 5590.002 12916.67 18506.67
Mean Square 349.3751 4.309867
2.07602 0.21991 944.01818
F value 81.06
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.30205 0.29833
09:37 Thursday, September 9, 2013 16
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 0.619838 0.000789 -0.00026 -0.00179 -0.00013 -0.0006 -0.00282 -0.0022 0.012732 -0.00113 -0.05075 0.085773 0.109658 0.005062 -0.01767 -0.01554
Standard Error 0.056172 0.000283 0.000222 0.000213 0.000179 0.000303 0.000165 0.000252 0.000756 0.000195 0.004973 0.005518 0.007989 0.002283 0.005678 0.004299
t Value 11.03 2.79 -1.15 -8.39 -0.71 -2 -17.06 -8.73 16.84 -5.79 -10.21 15.54 13.73 2.22 -3.11 -3.62
Pr > |t| <.0001 0.0053 0.2506 <.0001 0.4783 0.0459 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0267 0.0019 0.0003
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
48
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 17
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Model Dependent Variable Label
I w9 w9
Analysis of Variance Source Model Error Corrected Total
DF 16 2997 3013
Root MSE Dependent Mean Coeff Var
Sum of Squares 3323.286 5987.834 9311.121
Mean Square 207.7054 1.997943
1.41349 0.07993 1768.51134
F value 103.96
R-Square Adj R-Sq
The SAS System
Pr > F <.0001
0.35692 0.35348
09:37 Thursday, September 9, 2013 18
The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate 0.149047 0.000118 -0.00017 -0.00025 0.000578 0.000195
Standard Error 0.038245 0.000193 0.000151 0.000145 0.000122 0.000206
t Value 3.9 0.61 -1.1 -1.72 4.73 0.94
Pr > |t| <.0001 0.5403 0.2722 0.0855 <.0001 0.3452
lp6 lp7
1 1
-0.00026 -0.00051
0.000113 0.000171
-2.34 -2.97
0.0193 0.003
lp8 lp9
1 1
-0.00282 0.004543
0.000515 0.000133
-5.48 34.2
<.0001 <.0001
lp8 lp9
ly gola
1 1
-0.00545 0.019242
0.003386 0.003757
-1.61 5.12
0.1075 <.0001
ly gola
golb t
1 1
0.037316 -0.001522
0.005439 0.001550
6.86 0.98
<.0001 0.3262
golb t
D1a D2_
1 1
-0.02036 -0.01042
0.003866 0.002927
-5.27 -3.56
<.0001 0.0004
D1a D2_
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5
DF
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7
49
Lampiran 3. Hasil Output SAS dengan metode SUR The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 19 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation
A A B C D E F G H I
4.970 -1.259 -0.273 -0.302 -0.003 -0.477 -1.190 -0.871 -0.613
B -1.259 6.865 -0.390 -1.145 -0.023 -1.336 -0.488 -1.749 -0.469
Cross Model Covariance C D E F -0.273 -0.302 -0.003 -0.477 -0.390 -1.145 -0.023 -1.336 1.375 0.029 0.008 -0.122 0.029 1.839 -0.008 -0.153 0.008 -0.008 0.101 -0.022 -0.122 -0.153 -0.022 2.961 -0.319 -0.108 -0.037 -0.272 -0.131 -0.050 -0.007 -0.359 0.004 -0.100 -0.009 -0.228
G -1.190 -0.488 -0.319 -0.108 -0.037 -0.272 4.086 -1.095 -0.556
H -0.871 -1.749 -0.131 -0.050 -0.007 -0.359 -1.095 4.310 -0.038
I -0.613 -0.469 0.004 -0.100 -0.009 -0.228 -0.556 -0.038 1.998
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 20 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation
A A B C D E F G H I
1 -0.216 -0.104 -0.100 -0.004 -0.124 -0.264 -0.188 -0.195
B -0.216 1 -0.127 -0.322 -0.027 -0.296 -0.092 -0.322 -0.127
Cross Model Correlation C D E F -0.104 -0.100 -0.004 -0.124 -0.127 -0.322 -0.027 -0.296 1 0.019 0.021 -0.060 0.019 1 -0.018 -0.066 0.021 -0.018 1 -0.041 -0.060 -0.066 -0.041 1 -0.134 -0.040 -0.058 -0.078 -0.054 -0.018 -0.011 -0.100 0.003 -0.052 -0.020 -0.094
G -0.264 -0.092 -0.134 -0.040 -0.058 -0.078 1 -0.261 -0.195
H -0.188 -0.322 -0.054 -0.018 -0.011 -0.100 -0.261 1 -0.013
I -0.195 -0.127 0.003 -0.052 -0.020 -0.094 -0.195 -0.013 1
50
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 21 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation
Cross Model Inverse Correlation A B C D E F G H I
A 32.347 36.902 14.420 19.229 4.535 24.328 28.357 29.226 20.211
B 36.902 44.114 16.888 22.712 5.332 28.637 33.060 34.310 23.588
C 14.420 16.888 7.559 8.739 2.050 11.129 12.979 13.352 9.168
D 19.229 22.712 8.739 12.743 2.785 14.888 17.206 17.794 12.296
E 4.535 5.332 2.050 2.785 1.657 3.537 4.113 4.212 2.918
F 24.328 28.637 11.129 14.888 3.537 19.740 21.809 22.565 15.573
G 28.357 33.060 12.979 17.206 4.113 21.809 26.294 26.304 18.161
H 29.226 34.310 13.352 17.794 4.212 22.565 26.304 27.985 18.615
I 20.211 23.588 9.168 12.296 2.918 15.573 18.161 18.615 13.837
The SAS System
09:37 Thursday, September 9, 2013 22 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regression Estimation
Cross Model Inverse Covariance A A B C D E F G H I
6.508 6.317 5.516 6.361 6.399 6.341 6.292 6.315 6.414
B 6.317 6.426 5.497 6.393 6.402 6.352 6.242 6.308 6.369
C 5.516 5.497 5.499 5.497 5.501 5.516 5.476 5.486 5.532
D 6.361 6.393 5.497 6.931 6.461 6.381 6.277 6.321 6.416
System Weight MSE Degrees of Freedom System Weight R-Square
E 6.399 6.402 5.501 6.461 16.400 6.467 6.400 6.383 6.495
F 6.341 6.352 5.516 6.381 6.466 6.667 6.270 6.316 6.403
G 6.292 6.242 5.476 6.277 6.400 6.270 6.435 6.268 6.356
H 6.315 6.308 5.486 6.321 6.383 6.316 6.268 6.493 6.344
I 6.414 6.369 5.532 6.416 6.495 6.403 6.356 6.344 6.926
1.0665 27018 0.5895 Model A Dependent Variable w1 Label w1 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
Variable Intercept
DF 1
Parameter Estimate 0.561811
Standard Error 0.057171
t Value 9.83
Pr > |t| <.0001
Label Intercept
51
lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
0.011455 -0.00407 -0.00117 -0.00103 -0.00033 -0.00164 -0.00144 -0.00102 -0.00076 -0.04191 0.033327 0.047764 0.010510 0.048025 0.004863
0.00028 0.000181 0.000117 0.000125 0.000042 0.000137 0.000194 0.000244 0.000134 0.005128 0.005798 0.008237 0.002430 0.005543 0.004528
40.96 -22.46 -9.99 -8.23 -7.91 -11.99 -7.41 -4.18 -5.64 -8.17 5.75 5.8 4.32 8.66 1.07
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.2829
lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
Model B Dependent Variable w2 Label w2 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1 1 1
Parameter Estimate 0.315077 -0.00407 0.009876
Standard Error 0.065897 0.000181 0.000249
t Value 4.78 -22.46 39.65
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
Label Intercept lp1 lp2
lp3 lp4
1 1
-0.00113 -0.00246
0.000099 0.000114
-11.43 -21.57
<.0001 <.0001
lp3 lp4
lp5 lp6
1 1
-0.00025 -0.00124
0.000033 0.000133
-7.69 -9.33
<.0001 <.0001
lp5 lp6
lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-0.00126 0.000608 -0.00007 -0.0075 -0.12183 -0.13215 0.011060 0.079624 -0.04417
0.000164 0.000207 0.000114 0.005928 0.006674 0.009431 0.002850 0.006648 0.005196
-7.68 2.94 -0.64 -1.27 -18.25 -14.01 3.88 11.98 -8.5
<.0001 0.0033 0.5224 0.2057 <.0001 <.0001 0.0001 <.0001 <.0001
lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
Variable Intercept lp1 lp2
DF
52
Model
C
Dependent Variable w3 Label w3 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.01279 -0.00117 -0.00113 0.006019 -0.00069 -0.00026 -0.00003 0.000326
Standard Error 0.030369 0.000117 0.000099 0.000106 0.000075 0.000031 0.000076 0.000112
t Value -0.42 -9.99 -11.43 56.72 -9.23 -8.27 -0.44 2.92
lp8 lp9
1 1
-0.00239 -0.00067
0.000158 0.000082
ly gola
1 1
0.012354 -0.02885
golb t
1 1
D1a D2_
1 1
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7
DF
Pr > |t| 0.6736 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.662 0.0035
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7
-15.17 -8.12
<.0001 <.0001
lp8 lp9
0.002713 0.003058
4.55 -9.44
<.0001 <.0001
ly gola
-0.04616 0.00109
0.004397 0.001280
-10.5 -0.85
<.0001 0.3948
golb t
-0.01977 -0.00163
0.002979 0.002363
-6.64 -0.69
<.0001 0.4893
D1a D2_
Model Dependent Variable Label
D w4 w4
The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola
DF 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.09439 -0.00103 -0.00246 -0.00069 0.0053 -0.00007 -0.00034 -0.00107 0.000102 0.000254 0.013368 -0.01685
Standard Error 0.0347 0.000125 0.000114 0.000075 0.000111 0.000027 0.000085 0.000115 0.00015 0.000084 0.003111 0.003487
t Value -2.72 -8.23 -21.57 -9.23 47.93 -2.72 -3.98 -9.32 0.68 3.02 4.3 -4.83
Pr > |t| 0.0066 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0066 <.0001 <.0001 0.4941 0.0026 <.0001 <.0001
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola
53
golb t D1a D2_
1 1 1 1
-0.03191 0.000135 0.000119 0.026644
0.004954 0.001484 0.002955 0.003375
-6.44 0.09 0.04 7.89
<.0001 0.9276 0.9678 <.0001
golb t D1a D2_
Model E Dependent Variable w5 Label w5 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1 1 1
Parameter Estimate 0.037041 -0.00033 -0.00025
Standard Error 0.008539 0.000042 0.000033
t Value 4.34 -7.91 -7.69
lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
-0.00026 -0.00007 0.003352 -0.0001 -0.00004 -0.0022 -0.00011 0.002354 0.002441 -0.00079 -0.00166 -0.00302
0.000031 0.000027 0.000043 0.000025 0.000038 0.000076 0.000029 0.000753 0.000844 0.001218 0.000349 0.000863
D2_
1
0.002085
0.000653
Variable Intercept lp1 lp2
DF
Model
F
Dependent Variable Label
w6 w6
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001
Label Intercept lp1 lp2
-8.27 -2.72 77.13 -3.97 -0.94 -28.97 -3.6 3.12 2.89 -0.64 -4.76 -3.49
<.0001 0.0066 <.0001 <.0001 0.349 <.0001 0.0003 0.0018 0.0038 0.5191 <.0001 0.0005
lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a
3.19
0.0014
D2_
The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1
Parameter Estimate -0.07454
lp1 lp2
1 1
-0.00164 -0.00124
0.000137 0.000133
-11.99 -9.33
lp3 lp4 lp5 lp6
1 1 1 1
-0.00003 -0.00034 -0.0001 0.009871
0.000076 0.000085 0.000025 0.000135
-0.44 -3.98 -3.97 73
Variable Intercept
DF
Standard Error 0.044496
t Value -1.68
Pr > |t| 0.094
Label Intercept
<.0001 <.0001
lp1 lp2
0.662 <.0001 <.0001 <.0001
lp3 lp4 lp5 lp6
54
lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
1 1 1 1 1 1 1 1 1
-0.00266 -0.00315 -0.00071 0.019532 0.023655 0.012838 -0.01231 0.011216 0.02937
0.000125 0.00015 0.00009 0.003993 0.004394 0.006208 0.001876 0.004146 0.003439
-21.32 -21.01 -7.87 4.89 5.38 2.07 -6.56 2.71 8.54
<.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.0387 <.0001 0.0069 <.0001
lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
Model G Dependent Variable w7 Label w7 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1 1 1 1 1 1
Parameter Estimate -0.37381 -0.00144 -0.00126 0.000326 -0.00107 -0.00004 -0.00266 0.009754 -0.00246
Standard Error 0.051686 0.000194 0.000164 0.000112 0.000115 0.000038 0.000125 0.000236 0.000223
t Value -7.23 -7.41 -7.68 2.92 -9.32 -0.94 -21.32 41.4 -11.04
lp9 ly
1 1
-0.00115 0.048831
0.000086 0.004635
-13.47 10.53
gola golb
1 1
-0.01429 -0.0162
0.005227 0.00741
-2.73 -2.19
t D1a D2_
1 1 1
-0.01151 -0.05389 0.016776
0.002204 0.005098 0.004041
-5.22 -10.57 4.15
Variable Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8
DF
Model
H
Dependent Variable Label
w8 w8
Pr > |t| <.0001 <.0001 <.0001 0.0035 <.0001 0.349 <.0001 <.0001 <.0001
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8
<.0001 <.0001
lp9 ly
0.0063 0.0288 <.0001 <.0001 <.0001
gola golb t D1a D2_
The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates Variable Intercept
DF 1
Parameter Estimate 0.577909
Standard Error 0.055135
t Value 10.48
Pr > |t| <.0001
Label Intercept
55
lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
-0.00102 0.000608 -0.00239 0.000102 -0.0022 -0.00315 -0.00246 0.011674 -0.00115 -0.04743 0.097583 0.125202 0.003725 -0.04792 -0.00655
0.000244 0.000207 0.000158 0.00015 0.000076 0.00015 0.000223 0.000445 0.000086 0.004872 0.005423 0.007746 0.002273 0.005429 0.00422
-4.18 2.94 -15.17 0.68 -28.97 -21.01 -11.04 26.21 -13.47 -9.73 17.99 16.16 1.64 -8.83 -1.55
<.0001 0.0033 <.0001 0.4941 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001 0.1013 <.0001 0.1205
lp1 lp2 lp3 lp4 lp5 lp6 lp7 lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
Model I Dependent Variable w9 Label w9 The SYSLIN Procedure Seemingly Unrelated Regressian Estimation Parameter Estimates
1 1 1 1
Parameter Estimate 0.053082 -0.00076 -0.00007 -0.00067
Standard Error 0.036037 0.000134 0.000114 0.000082
t Value 1.47 -5.64 -0.64 -8.12
Pr > |t| 0.1409 <.0001 0.5224 <.0001
lp4 lp5
1 1
0.000254 -0.00011
0.000084 0.000029
3.02 -3.6
0.0026 0.0003
lp6 lp7
1 1
-0.00071 -0.00114
0.00009 0.000087
-7.87 -13.13
<.0001 <.0001
lp6 lp7
lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
1 1 1 1 1 1 1 1
-0.00115 0.004359 0.001488 0.023965 0.041553 0.000403 -0.04151 -0.00527
0.000086 0.000127 0.003239 0.003637 0.005178 0.001543 0.003466 0.002842
-13.47 34.45 0.46 6.59 8.03 0.26 -11.98 -1.86
<.0001 <.0001 0.6459 <.0001 <.0001 0.7939 <.0001 0.0636
lp8 lp9 ly gola golb t D1a D2_
Variable Intercept lp1 lp2 lp3
DF
Label Intercept lp1 lp2 lp3 lp4 lp5
56
Lampiran 4. Elastisitas Harga sendiri, harga silang dan pendapatan berdasarkan kondisi/dummy dummy golongan Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga miskin di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas
beras
ubi jalar
sagu
-0.867
0.009
0.057
0.087
-0.965
-0.117
-0.064
-0.130
-0.108
-0.213
0.091
0.011
0.007
-0.002
-0.886
-0.030
-0.044
-0.013
-0.023
0.001
-0.013
0.007
-0.006
-0.026
-0.894
-0.021
-0.016
-0.037
-0.011
-0.003
0.000
-0.001
-0.008
-0.004
-0.604
-0.003
-0.005
-0.009
-0.002
0.012
-0.002
-0.020
-0.031
-0.033
-0.890
-0.072
-0.002
-0.014
0.018
-0.002
-0.016
-0.051
-0.029
-0.058
-0.938
-0.009
-0.022
0.056
0.006
0.100
-0.056
-0.032
-0.091
-0.135
-0.892
0.025
0.013
0.001
-0.029
-0.012
-0.029
-0.024
-0.045
0.008
-0.926
pendapatan 0.668 0.962 0.944 Keterangan: elastisitas harga sendiri
1.079
0.848
1.149
1.382
0.798
0.928
beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
sing kong 0.061
ja gung 0.074
da ging
ikan
sa yur
0.054
0.086
0.026
buah 0.017
Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga menengah di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas
beras
ubi jalar
sagu
-0.908
-0.039
0.094
-0.007
-0.827
-0.044
-0.052
-0.075
-0.025
0.020
0.014
0.002
0.003
-0.014
-0.871
-0.035
-0.069
-0.009
-0.008
-0.002
-0.009
0.002
-0.037
-0.026
-0.864
-0.029
-0.011
-0.013
-0.007
-0.002
0.000
-0.004
-0.008
-0.004
-0.361
-0.002
-0.001
-0.008
-0.001
0.011
-0.008
-0.029
-0.046
-0.063
-0.919
-0.036
-0.006
-0.010
0.032
0.005
-0.053
-0.067
-0.102
-0.069
-1.002
-0.031
-0.018
0.040
0.040
-0.056
-0.087
-0.029
-0.080
-0.068
-0.904
0.018
0.012
0.009
-0.039
-0.024
-0.058
-0.024
-0.025
0.011
-0.948
pendapatan 0.816 0.875 1.103 Keterangan: elastisitas harga sendiri
1.135
0.952
1.075
1.073
0.892
0.956
beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
sing kong 0.105
ja gung
da ging
ikan
sa yur
-0.166
0.062
0.060
0.041
buah 0.013
57
Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga atas di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
beras
ubi jalar
sagu
sing kong
ja gung
da ging
ikan
sa yur
buah
-0.910
-0.131
-0.140
-0.108
-0.134
0.049
0.054
0.045
0.010
-0.014
-0.424
-0.061
-0.060
-0.057
-0.012
0.009
0.006
0.001
-0.003
-0.060
-0.515
-0.051
-0.056
-0.002
-0.001
-0.008
-0.006
-0.001
-0.134
-0.074
-0.699
-0.021
-0.005
-0.008
-0.004
-0.002
0.000
-0.012
-0.027
-0.008
-0.351
-0.002
-0.001
-0.009
-0.001
0.016
-0.016
-0.083
-0.022
-0.078
-0.942
-0.037
-0.013
-0.008
0.037
0.032
-0.121
-0.056
-0.119
-0.058
-1.009
-0.039
-0.013
0.036
0.134
-0.043
-0.076
-0.013
-0.060
-0.056
-0.902
0.013
0.016
0.044
-0.120
-0.074
-0.073
-0.023
-0.027
0.018
-0.963
pendapatan 0.824 0.567 1.184 Keterangan: elastisitas harga sendiri
1.152
0.902
1.055
1.076
0.905
0.969
58
dummy potensi pangan Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga potensi sagu di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas
beras
ubi jalar
sagu
beras -0.910 -0.167 0.069 ubi jalar -0.015 -0.272 -0.022 sagu 0.006 -0.050 -0.911 singkong 0.001 -0.162 -0.018 jagung -0.001 -0.017 -0.005 daging 0.010 -0.040 -0.020 ikan 0.038 0.043 -0.046 sayur 0.036 0.168 0.087 buah 0.013 0.045 -0.030 pendapatan 0.823 0.452 0.896 Keterangan: elastisitas harga sendiri
sing kong
ja gung
da ging
ikan
sa yur
buah
0.134
-0.191
0.067
0.053
0.045
-0.012
-0.085
-0.092
-0.016
0.008
0.006
0.001
-0.047
-0.081
-0.013
-0.010
0.002
-0.008
-0.844
-0.047
-0.010
-0.010
0.007
0.002
-0.004
-0.096
-0.002
-0.001
-0.009
-0.001
-0.051
-0.064
-0.913
-0.029
-0.006
-0.009
-0.140
-0.204
-0.081
-1.009
-0.041
-0.017
0.093
-0.089
-0.081
-0.054
-0.901
0.016
0.031
-0.106
-0.027
-0.023
0.014
-0.953
0.912
0.971
1.076
1.077
0.883
0.982
Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga potensi ubi jalar di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
beras
ubi jalar
sagu
-0.869
0.008
-0.562
sing kong 0.071
ja gung 0.056
da ging
ikan
sa yur
0.040
0.125
0.024
buah 0.015
0.091
-0.966
-1.176
-0.142
-0.101
-0.084
-0.318
0.087
0.010
-0.008
-0.003
-0.214
-0.019
-0.024
-0.001
-0.001
-0.010
-0.011
0.005
-0.006
-0.239
-0.877
-0.014
-0.011
-0.048
-0.009
-0.003
0.001
0.000
-0.081
-0.006
-0.705
-0.003
-0.010
-0.008
-0.002
0.021
-0.001
-0.264
-0.044
-0.030
-0.923
-0.124
-0.008
-0.013
0.009
-0.002
-0.089
-0.049
-0.016
-0.038
-0.891
-0.002
-0.019
0.061
0.006
-0.020
-0.070
-0.239
-0.071
-0.207
-0.897
0.023
0.015
0.001
-0.298
-0.015
-0.023
-0.019
-0.069
0.009
-0.933
pendapatan 0.674 0.964 2.942 Keterangan: elastisitas harga sendiri
1.152
1.097
1.109
1.544
0.815
0.934
59
dummy penerimaan raskin Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga yang tidak menerima raskin di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas
beras
ubi jalar
sagu
beras -0.892 0.014 0.110 ubi jalar 0.024 -0.942 -0.117 sagu 0.001 -0.005 -0.814 singkong 0.002 -0.011 -0.036 jagung 0.000 -0.001 -0.011 daging 0.015 -0.003 -0.042 ikan 0.029 0.000 -0.053 sayur 0.048 0.012 -0.017 buah 0.016 0.003 -0.056 pendapatan 0.759 0.933 -1.036 Keterangan: elastisitas harga sendiri
sing kong
ja gung
da ging
ikan
sa yur
buah
0.104
-0.053
0.050
0.064
0.033
0.012
-0.058
-0.010
-0.051
-0.069
0.044
0.004
-0.034
-0.047
-0.006
-0.007
-0.004
-0.008
-0.848
-0.021
-0.010
-0.017
-0.007
-0.002
-0.005
-0.525
-0.002
-0.002
-0.008
-0.001
-0.052
-0.048
-0.921
-0.048
-0.007
-0.010
-0.098
-0.058
-0.057
-0.986
-0.022
-0.016
-0.089
-0.019
-0.075
-0.085
-0.900
0.018
-0.027
-0.044
-0.024
-0.034
0.013
-0.950
1.107
0.825
1.095
1.186
0.860
0.955
Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga penerima raskin di Papua menurut komoditi harga
Elastisitas beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah
beras
ubi jalar
sagu
sing kong
ja gung
da ging
ikan
sa yur
buah
-0.911
-0.032
0.075
0.106
-0.190
0.071
0.062
0.049
0.016
-0.005
-0.851
-0.036
-0.084
-0.088
-0.029
0.022
0.018
0.003
0.005
-0.010
-0.904
-0.036
-0.083
-0.013
-0.011
0.001
-0.011
0.003
-0.031
-0.021
-0.882
-0.035
-0.013
-0.014
-0.009
-0.003
-0.001
-0.003
-0.006
-0.003
-0.295
-0.002
-0.001
-0.009
-0.002
0.009
-0.008
-0.020
-0.038
-0.065
-0.909
-0.033
-0.005
-0.012
0.031
0.005
-0.042
-0.098
-0.115
-0.077
-1.003
-0.036
-0.021
0.033
0.032
0.091
-0.069
-0.022
-0.082
-0.060
-0.898
0.021
0.009
0.006
-0.027
-0.017
-0.057
-0.023
-0.021
0.010
-0.938
pendapatan 0.827 0.893 0.891 Keterangan: elastisitas harga sendiri
1.120
0.949
1.076
1.060
0.880
0.947
60
RIWAYAT HIDUP Penulis yang lahir di Surakarta, 2 Juni 1981 merupakan putri kedua dari almarhum Muhammad As’ad dan Nuresan. Penulis menikah dengan Cahya Wisnu Wardana pada tahun 2003 dan dikaruniai 3 orang anak yaitu Muhammad Hafidz, Safira Ni’mah Ramadhani, dan Muhammad Rosyid. Penulis menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Surakarta pada tahun 1996 dan langsung melanjutkan di SMU Negeri 1 Surakarta sampai lulus pada tahun 1999. Penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun tersebut dan menyelesaikan pendidikan D-IV pada tahun 2003. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada BPS Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2011, penulis dipindahtugaskan ke BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di seksi Statistik Ketahanan Sosial. Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada program S2 kerjasama antara BPS dan IPB pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menjalani masa kuliah S2 pada Februari 2012, penulis menyelesaikan program Alih Jenis Ilmu Ekonomi dan telah memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 2011.