Peran BPKP dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi Pengadaan Jasa Konsultansi Instansi Pemerintah Oleh: Prof. Dr. Eddy Mulyadi Soepardi
Jakarta, 22 Juni 2010
1. Dasar Pemikiran Dalam berbagai diskusi ilmiah, korupsi diakui sebagai musuh bersama bagi seluruh masyarakat Indonesia karena dampak nyata tindak korupsi bukan hanya menimbulkan high cost economy yang berakibat pada penurunan daya saing terhadap pasar global, tetapi juga merugikan negara dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerusakan moral individu, keluarga, warga masyarakat dan bangsa Indonesia. Namun, kenyataan menunjukan bahwa korupsi sulit sekali untuk diberantas, apalagi dalam waktu yang singkat. Hal ini disebabkan telah mengakarnya praktek korupsi di masyarakat dan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Disadari atau tidak, kita telah menjadi bagian dari praktek korupsi, seperti kerelaan dalam memberikan uang pelicin dalam pengurusan surat‐surat resmi, seperti akta kelahiran, IMB, SIM, pengurusan anggaran, sampai dengan Surat Kematian. Pada dasarnya sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan, pemberantasan korupsi mengedepankan tindakan represif. Strategi represif yang dilakukan BPKP melalui pelaksanaan audit investigatif dilakukan terhadap penanganan kasus‐kasus yang bersifat strategis, signifikan, material dan mendapat sorotan publik. Dalam upaya represif, peran BPKP tidak hanya terbatas pada melakukan audit investigatif dari pengembangan audit reguler dan pengaduan masyarakat, BPKP juga menjadi pendukung dari criminal justice system. BPKP berkoordinasi dengan Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan KPK atau instansi lain yang meminta untuk dilakukannya audit investigasi. Tindak lanjut hasil audit investigasi dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni tindakan korektif oleh manajemen untuk kasus non‐tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi, tindak lanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku. Jika diminta oleh instansi penyidik, BPKP juga memberikan dukungan dalam proses litigasi dengan melakukan audit investigasi dan perhitungan kerugian keuangan negara termasuk pemberian keterangan ahli di persidangan perkara korupsi.
1
Salah satu bidang yang menjadi perhatian utama dalam upaya pemberantasan korupsi, adalah pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan kegiatan yang banyak menggunakan keuangan negara setiap tahunnya. Dalam APBN setiap tahunnya, anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan barang/jasa instansi pemerintah diperkirakan mencapai 30% dari total anggaran yang tersedia. Kebijakan pemerintah ini dinilai wajar karena pemerintah menginginkan pengadaan barang/jasa pemerintah dapat menjadi stimulus pembangunan ekonomi nasional. Dalam APBN tahun 2007 yang sebesar Rp 767 triliun, tidak kurang dari Rp 246 triliun dibelanjakan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam APBN tahun 2008 yang sebesar Rp 854 triliun, sekitar Rp 270 triliun dibelanjakan untuk pengadaan barang/jasa pemerintah. Namun demikian, besarnya anggaran pengadaan barang/jasa juga diikuti oleh adanya dugaan besarnya korupsi di sektor pengadaan barang/jasa instansi pemerintah. Lebih dari 20 tahun yang lalu, Begawan Ekonomi
Indonesia,
Profesor
Soemitro
Djojohadikusumo,
sudah
mensinyalir 30‐50 persen kebocoran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara akibat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Hal ini sejalan sinyalemen pimpinan KPK, bahwa sepanjang berdirinya KPK tidak kurang 50 perkara yang terkait penyimpangan pengadaan barang dan jasa pemerintah di mana menyebabkan kerugian negara 35 persen dari total nilai proyeknya.1 Salah satu jenis pengadaan yang sering menjadi kasus hukum adalah jasa konsultansi, yang bersifat non fisik dan terkadang sulit diukur nilai outputnya. Dalam beberapa hal, jenis penyimpangan pada proyek fisik maupun non fisik adalah sama, seperti adanya persekongkolan dalam proses pelelangan, dan ketidakjelasan dokumen kontrak. Namun, ada jenis‐ jenis penyimpangan yang besifat unik pada jasa konsultansi, seperti tidak dilakukannya metode atau sampel dalam jumlah tertentu dalam pelaksanaan kontrak jasa konsultansi sehingga output tidak bermanfaat sama sekali.
1
www.tempointeraktif.com, Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Terbanyak Ditangani KPK, Rabu, 02 Desember 2009.
2
Langkah‐langkah dalam mengatasi penyimpangan dalam pengadaan barang/jasa tersebut, antara lain adalah dengan melakukan audit pengadaan barang/jasa instansi pemerintah. Audit ini antara lain dilakukan untuk menilai ketaatan pengadaan barang/jasa instansi pemerintah terhadap ketentuan perundang‐undangan, serta penerapan prinsip‐prinsip dan etika pengadaan. Dalam hal auditor menemukan adanya indikasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengadaan barang/jasa atau adanya pengaduan dari masyarakat, maka akan dilakukan penelaahan atas indikasi tersebut, dan apabila telah memenuhi kriteria dapat dilakukan pendalaman masalah melalui audit investigasi. Dalam konteks ini auditor perlu memahami mengenai konsep peristiwa dan perbuatan, yang akan menentukan apakah suatu masalah dapat menjadi kasus yang diproses secara Pro Justisia. 2. Konsep Fraud 1) Pengertian Fraud Ada berbagai definisi terhadap terminologi fraud yang berasal dari berbagai sumber sebagai berikut: Menurut Black’s Law Dictionary, fraud (kecurangan) didefinisikan sebagai suatu istilah generik: embracing all multifarious means which human ingenuity can devise, and which are resorted to by one individual to get an advantage over another by false suggestions or suppression of truth, and includes all surprise, trick, cunning, or dissembling, and any unfair way by which another is cheated. Institute of Internal Auditors (IIA) dalam standarnya, menjelaskan fraud dengan menyatakan bahwa:
Fraud encompasses an array of irregularities and illegal acts characterized by intentional deception. It can be perpetrated for the benefit of or to the detriment of the organization and by persons outside as well as inside organization.
Sedangkan Albrecht et al (2002)mendefinisikan fraud sebagai suatu tindakan kriminal, dengan menyatakan:
3
fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as it includes surprise, trick, cunning and unfair ways by which another is cheated. Dari definisi di atas, terkandung aspek dari fraud adalah
penipuan (deception), ketidakjujuran (dishonest) dan niat (intent). Fraud menyangkut cara‐cara yang dihasilkan oleh akal manusia yang dipilih oleh seseorang untuk mendapatkan suatu keuntungan dari pihak lain dengan penyajian yang salah/palsu. Kecurangan mencakup kejutan, tipu daya, cara‐cara licik dan tidak jujur yang digunakan untuk menipu orang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Singleton et al (2006), yang mengemukakan bahwa fraud, theft, defalcation, irregularities, white collar crime, dan embezzlement adalah terminologi yang sering dipertukarkan. Menurut O’Gara (2004) fraud dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi, yakni jenis fraud dan pelaku fraud. Jika dilihat dari jenisnya, maka fraud terdiri dari: penyalahgunaan internal atau korupsi, kecurangan dalam pelaporan, fraud. Sedangkan Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang mempunyai kegiatan utama dalam pencegahan
dan
pemberantasan
kecurangan,
mengkategorikan
kecurangan dalam tiga kelompok sebagai berikut : a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial. b. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation), Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan atas Persediaan dan Aset Lainnya’, serta pengeluaran‐pengeluaran
biaya
secara
curang
(fraudulent
disbursement).
4
c. Korupsi (Corruption) Menurut ACFE, korupsi terbagi ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery), pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion). Pengertian korupsi ini tentu saja berbeda dengan pengertian korupsi yang terkandung dalam Undang‐undang 31 tahun 1999 jo Undang‐undang 20 tahun 2001. Dalam bahasa hukum positif (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) pengertian korupsi secara umum, adalah perbuatan yang diancam dengan ketentuan pasal‐pasal UU No 31 tahun 1999. Dalam salah satu pasal, korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat dengan undang‐undang korupsi, ketiga syarat tersebut adalah: (1)Melawan hukum; (2) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi; (3)Merugikan keuangan negara atau perkonomian negara. Dengan kriteria tersebut maka orang yang dapat dijerat dengan undang‐undang korupsi, bukan hanya pejabat negara saja melainkan pihak swasta yang ikut terlibat dan badan usaha/korporasi pun dapat dijerat dengan ketentuan undang‐undang korupsi. Pengertian korupsi dapat diperluas dengan perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang karena jabatannya menerima sesuatu ( Gratifikasi ) dari pihak ketiga, sebagaimana diatur dalam: (1) Pasal 12 B ayat 1, UU No. 20/2001 jo UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan (2) Pasal 16 UU No. 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisi korupsi secara lengkap, telah dijelaskan dalam 13 buah pasal dalam Undang Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal‐pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal‐pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Ke tiga puluh bentuk/jenis tindak piana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi: Kerugian keuangan Negara; Suap menyuap; Penggelapan dalam jabatan; Pemerasan; Perbuatan curang; Benturan kepentingan dalam pengadaan;dan Gratifikasi.
5
2) Penyebab Fraud Penyebab fraud, khususnya corporate fraud dapat dijelaskan dengan agency theory yang dikembangkan pada tahun 1970‐an. Secara umum, teori ini menjelaskan mengenai konsekuensi dari implementasi entity theory dan theory of the firm (Baumol, 1959 dan Marris, 1964) yang menggeser kekuasaan pengelolaan dalam perusahaan bergeser dari pemilik (principal) kepada manajer (agen). Dalam Agency Theory dijelaskan bahwa Agen (Manajemen Perusahaan) mempunyai kecenderungan untuk mengutamakan kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan Prinsipal (Pemilik), antara lain dilakukan dengan membuat kebijakan‐kebijakan mengenai renumerasi dan fasilitas yang berlebihan dan menguntungkan bagi manajemen serta tidak berorientasi pada kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Manajemen juga mempunyai kecenderungan untuk merekayasa angka‐angka dalam laporan keuangan sesuai dengan kepentingannya untuk memperoleh bonus atau kompensasi dari peningkatan laba perusahaan. Hal ini disebabkan adanya Asymmetry Information (G Akerlof, 1970) antara Agen dan Prinsipal. Agen menguasai secara detail dan tidak terbatas atas informasi keuangan perusahaan, sementara pemilik hanya memiliki informasi yang sedikit berkaitan dengan keuangan perusahaan. Penyebab fraud menurut Bologna (1993) juga dapat dijelaskan dengan GONE Theory, terdiri dari 4 (empat) faktor yang mendorong seseorang berperilaku menyimpang dalam hal ini berperilaku fraud. Keempat faktor tersebut adalah : (1) Greed atau keserakahan, berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang; (2) Opportunity atau kesempatan, berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya; (3) Needs atau kebutuhan, berkaitan dengan faktor‐faktor yang dibutuhkan oleh individu‐individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar; dan
6
(4) Exposure atau pengungkapan, berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan. Sedangkan Cressey (1953) melalui penelitiannya menyatakan bahwa seseorang melakukan kecurangan disebabkan oleh: (1) Tekanan (pressure) untuk melakukan kecurangan lebih banyak tergantung pada kondisi individu, seperti sedang menghadapi masalah keuangan, kebiasaan buruk seseorang seperti berjudi dan peminum; tamak atau mempunyai harapan/tujuan yang tidak realistik. (2) Kesempatan (opportunity), menurut penelitian yang dilakukan oleh IIA Research Foundation tahun 1984 dengan urutan paling sering terjadi adalah: a. Terlalu mempercayai bawahan; b. Kelemahan prosedur otorisasi dan persetujuan manajemen; c. Kurangnya penjelasan dalam informasi keuangan pribadi (kecurangan perbankan); d. Tidak ada pemisahan antara pemberian wewenang transaksi dan penjagaan aset; e. Tidak ada pengecekan independen terhadap kinerja; f. Kurangnya perhatian terhadap uraian secara rinci (detail); g. Tidak ada pemisahan antara pemegang aset dan fungsi pencatatan; h. Tidak ada pemisahan tugas akuntansi; i.
Kurang jelasnya pemberian wewenang;
j.
Departemen/bagian jarang diperiksa;
k. Pernyataan tidak ada benturan kepentingan tidak disyaratkan; l.
Dokumen dan pencatatan kurang memadai.
(3) Pembenaran (Rationalization) terjadi dalam hal seseorang atau sekelompok orang membangun pembenaran atas kecurangan yang dilakukan. Pelaku fraud biasanya mencari alasan pembenaran bahwa yang dilakukannya bukan pencurian atau kecurangan, seperti: a. Saya benar‐benar perlu uang, akan dikembalikan setelah menerima gaji;
7
b. Saya tidak merugikan siapa‐siapa, perusahaan tidak bangkrut karenanya; c. Saya mau manyumbangkannya untuk orang tidak mampu; d. Semua orang juga melakukannya. 3) Fraud dalam Pengadaan Barang/Jasa Fraud dalam pengadaan barang/jasa dapat terjadi pada setiap tahap dalam pengadaan barang/jasa mulai dari perencanaan, pembentukan panitia pengadaan, proses pengadaan, penyusunan kontrak, sampai dengan pelaksanaan kontrak. Namun demikian, secara umum fraud dalam pengadaan barang/jasa terkait dengan kuantitas, kualitas, waktu, dan tempat. Fraud terjadi ketika ada perbuatan yang disengaja menjadikan kuantitas, kualitas, waktu, dan tempat pengadaan barang/jasa menyimpang dari ketentuan perundang‐undangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Fraud jasa konsultan, antara lain terjadi dalam bentuk rekomendasi palsu yang tidak didasarkan pada suatu proses yang disepakati dalam kontrak. Dalam hal terjadi persekongkolan antara oknum panitia pengadaan atau pengguna jasa dan konsultan, maka dapat terjadi bahwa kriteria penerimaan karya konsultan dibuat bias. Pemalsuan data lapangan juga dapat terjadi untuk menutupi tidak dilaksanakannya proses sesuai dengan kontrak. Hal yang sering terjadi adalah melakukan plagiat atau suatu sistem yang sifatnya generik dalam kontrak seolah‐olah tailor made sehingga biayanya sangat mahal. 2. Audit Sama halnya dengan akuntansi, maka audit dapat disandarkan pada filsafat publik pada sisi kebebasan publik untuk bertanya mengenai kualitas asersi (akuntabilitas) yang dilakukan oleh agen. Auditor independen mewakili publik dalam menilai kewajaran laporan keuangan, dalam rangka menjaga kepentingan publik. Dalam konteks ini, hukum Gresham berlaku efektif bahwa yang rasional mengalahkan yang kurang rasional, bahwa yang berdasarkan bukti mengalahkan yang tanpa bukti. Dengan demikian, filsafat audit mempunyai pameo filosofi: ” tunjukkan, buktikan, maka aku percaya ”.
8
Artinya bahwa, simpulan hasil audit dikemukakan berdasarkan fakta‐fakta yang ditemukan oleh auditor selama proses audit. Audit adalah proses yang ditempuh oleh seseorang yang kompeten dan independen agar dapat menghimpun dan mengevaluasi bukti‐bukti mengenai informasi yang terukur dari suatu entitas (satuan) usaha untuk mempertimbangkan dan melaporkan tingkat kesesuaian dari informasi yang terukur tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan (Arens dan Loebbecke, 2007). Pekerjaan utama dari audit adalah mengumpulkan dan mengevaluasi bukti audit yang merupakan segala informasi yang digunakan oleh auditor dalam rangka menentukan informasi yang diaudit sesuai dengan kriteria yang ditetapkan (Arens dan Loebbecke, 2007). Bukti audit adalah sesuatu yang dapat membuktikan (Sawyer, 2003), yang diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keungan yang diaudit (Standar Profesional Akuntan Publik, 2006) Audit dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuannya, yaitu: 1) Audit Keuangan (Financial Audit) Audit yang dilakukan terhadap laporan keuangan suatu entitas dengan tujuan untuk menilai kelayakan/kewajaran atas penyajian laporan keuangan (pemberian opini), contoh opini adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (qualified opinion), tidak memberikan pendapat (disclaimer), dan tidak wajar (adverse opinion). 2) Audit Kinerja (Performance Audit) Audit yang dilakukan untuk menilai pencapaian kinerja suatu entitas/organisasi. 3) Audit Operasional (Operational Audit) Audit yang dilakukan terhadap program/kegiatan dengan tujuan untuk mengidentifikasi adanya kelemahan dan memberikan rekomendasi perbaikan sehingga tujuan dapat dicapai secara efisien, efektif, dan ekonomis. 4) Audit Investigasi (Fraud Audit) Audit yang dilakukan dalam rangka pembuktian dugaan kasus‐kasus yang berindikasi tindak pidana korupsi.
9
3. Audit Pengadaan Barang/Jasa Jenis audit pengadaan barang/jasa pemerintah (APBJ) adalah audit dengan tujuan tertentu, yaitu audit terhadap hal‐hal lain di bidang keuangan dan audit investigatif (vide penjelasan Pasal 4 ayat 4 Undang‐ undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara). Evaluasi yang bebas, selektif dan analitis atas ketaatan, kehematan, efisiensi dan efektivitas serta memberikan simpulan dan rekomendasi mengenai pengadaan barang/jasa, menyangkut ketaatan, kewajaran harga, efisiensi kuantitas dan kualitas, efektivitas pencapaian tujuan, ketepatan waktu, penggunaan produksi dalam negeri, dan peningkatan peran serta usaha kecil, Koperasi, LSM dan masyarakat setempat. Aspek‐aspek yang diaudit antara lain: Perencanaan; Keuangan; Ketaatan terhadap peraturan perundang‐undangan; Kewajaran harga; Ketepatan kuantitas; Ketepatan kualitas; Ketepatan waktu pelaksanaan kegiatan; dan Pemanfaatan hasil pelaksanaan kegiatan. Audit pengadaan barang/jasa pemerintah bertujuan untuk: 1) Meyakinkan bahwa pengadaan barang/jasa dilakukan sesuai dengan kebutuhan, baik segi jumlah, kualitas dan waktu. 2) Meyakinkan bahwa prosedur pengadaan barang/jasa yang digariskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa telah dipenuhi. 3) Meyakinkan bahwa kuantitas, kualitas dan harga barang/jasa yang diperoleh melalui proses pengadaan dapat dipertanggungjawabkan serta diserahterimakan tepat waktu. 4) Meyakinkan bahwa barang yang diperoleh telah ditempatkan di lokasi yang tepat, dipertanggungjawabkan dengan benar, dan dimanfaatkan sesuai tujuan penggunaannya. 5) Meyakinkan bahwa jasa yang diperoleh telah dimanfaatkan sesuai tujuan. 6) Mengidentifikasi indikasi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengadaan barang/jasa. 7) Mengidentifikasi kelemahan sistem pengendalian intern atas pengadaan barang/jasa guna penyempurnaan sistem tersebut.
10
8) Melakukan identifikasi adanya pejabat/pegawai instansi pemerintah, BUMN, BUMD dan BUL yang turut serta sebagai rekanan baik langsung maupun tidak langsung dalam pengadaan barang/jasa. 4. Audit Investigatif Audit Investigatif adalah serangkaian proses pengumpulan dan pengujian bukti‐bukti terkait dengan kasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan negara dan/atau perekonomian negara, untuk memperoleh simpulan yang mendukung tindakan litigasi dan/atau tindakan korektif manajemen. Perbandingan Financial Audit dan Audit Investigasi (Fraud Audit) Perihal
Financial Audit
Fraud Audit
Waktu
Berulang. Dilaksanakan secara reguler.
Tidak berulang. Dilaksanakan jika terdapat bukti yang cukup.
Ruang Lingkup
Umum, pada data keuangan.
Spesifik, sesuai dugaan.
Tujuan
Pendapat terhadap kewajaran penyajian laporan keuangan.
Apakah kecurangan telah terjadi dan siapa yang bertanggungjawab
Hubungan dengan hukum
Tidak ada
Ada
Metodologi
Teknik Audit, pengujian data keuangan.
Teknik fraud examination, meliputi pengujian dokumen, reviu data eksternal, wawancara.
Anggapan
Skeptisme professional
Pembuktian
Sumber: ACFE Manual, 2007 Audit investigasi dilaksanakan karena adanya pengaduan masyarakat atas dugaan KKN, pengembangan temuan‐temuan audit reguler (audit keuangan, audit operasional, dan bentuk audit lainnya), permintaan oleh instansi penyidik dalam penanganan kasus TPK, dan permintaan dari instansi pemerintah non‐penyidik untuk menuntaskan kasus‐kasus penyimpangan keuangan yang terjadi di unit kerjanya. Prinsip utama dalam audit investigatif adalah bahwa audit investigatif adalah tindakan mencari kebenaran, dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang‐undangan
11
yang berlaku. Auditor mengumpulkan fakta‐fakta sedemikian rupa sehingga bukti‐bukti yang diperolehnya tersebut dapat memberikan simpulan sendiri bahwa telah terjadi atau tidak terjadi penyimpangan dan pihak yang diduga terlibat/terkait terindentifikasi. Dengan demikian, tidak ada ruang bagi auditor investigatif untuk memberikan opini tanpa didasarkan oleh fakta‐fakta yang ada. Kegiatan audit investigatif mencakup pemanfaatan sumber‐sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermasalahkan. Bukti fisik merupakan bukti nyata. Bukti tersebut sampai kapanpun akan selalu mengungkapkan hal yang sama. Penggunaan tenaga ahli merupakan bantuan bagi pelaksanaan audit investigatif, bukan merupakan pengganti dari audit investigatif. Auditor harus memperoleh bukti fisik yang mungkin akan disampaikan kepada tenaga ahli untuk pengujian lebih lanjut. Bukti‐bukti yang dikumpulkan dalam audit investigatif diharapkan memenuhi kriteria relevan, material dan kompeten. Bukti dianggap cukup relevan jika bukti tersebut merupakan salah satu bagian dari rangkaian bukti‐bukti (chain of evidence) yang menggambarkan suatu proses kejadian atau jika bukti tersebut secara tidak langsung menunjukkan kenyataan dilakukan atau tidak dilakukannya suatu perbuatan. Materialitas bukti dalam audit investigasi menekankan pada hubungan bukti terhadap sangkaan yang diindikasikan. Sedangkan kompetensi bukti dikaitkan dengan bentuk, sumber dan cara perolehannya. Bukti‐bukti dalam audit investigatif juga sedapat mungkin dapat memenuhi kebutuhan bukti untuk proses litigasi. Masalah bukti diatur dalam pasal 183 sampai dengan 189 Kitab Undang‐Undang Acara Hukum Pidana (KUHAP). Pasal 183 KUHAP menyatakan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang‐kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar‐benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Berdasarkan pada ketentuan di atas, penjatuhan pidana pada orang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana harus didasarkan pada sekurang‐kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Sedangkan jenis‐ jenis alat bukti sebagaimana diatur pada ayat (1) pasal 184 KUHAP meliputi Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa.
12
Dalam
suatau
proses
peradilan
pidana,
Mr.
Trapman2
menyampaikan dalil bahwa: Masing‐masing pihak dalam suatu persidangan, yaitu Jaksa Penuntut Umum, Pembela/Penasihat Hukum, dan Hakim adalah mempunyai fungsi yang sama, meskipun mereka masing‐masing mempunyai posisi yang berbeda, maka sudah selayaknyalah masing‐masing pihak mempunyai pendirian yang berbeda pula. Dari dalil tersebut, mengenai adanya perbedaan posisi tersebut maka dalam proses persidangan semua pihak selalu berusaha menggali dan menemukan fakta‐fakta hukum dari setiap alat bukti yang diperiksa, dengan tujuan untuk mengetahui kebenaran materiil yang sesungguhnya. Dengan demikian, setiap kasus yang dianggap kontroversial sekalipun pasti akan disertai dengan adanya argumen dari pihak‐pihak yang terlibat dalam proses persidangan. 5. Peran BPKP dalam Penyelesaian Permasalahan Hukum dalam Barang/Jasa Instansi Pemerintah Dalam rangka implementasi kerjasama antara Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan BPKP, maka dibentuk Forum Instansi Penanganan Penyimpangan Dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Dana Non‐Budgeter, Dan Hambatan Pembangunan Nasional. Forum ini terdiri dari unsur Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang melaksanakan tugasnya sesuai tugas fungsi dan wewenangnya masing‐masing. Informasi yang diterima dapat diklasifikasikan menjadi masalah, kasus, dan perkara, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Masalah dalam Nota Kesepahaman ini adalah suatu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan (gap) antara harapan dan kenyataan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah yang dapat menghambat
2
Dikutip dari buku Prof. Mr. J.M. Van Bemelem “Straaf Voordering, cetakan 195- halaman 90
13
kegiatan pemerintahan/ pembangunan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan; 2) Kasus dalam Nota Kesepahaman ini adalah adanya dugaan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara/daerah yang dapat menghambat kegiatan pemerintahan/pembangunan; 3) Perkara dalam Nota Kesepahaman ini adalah Penyimpangan yang berindikasi TPK Masalah yang sering dihadapi oleh pelaksana pengadaan barang/jasa instansi pemerintah adalah adanya sanggahan yang timbul karena adanya pihak yang tidak puas dengan proses lelang, tetapi tidak hanya dialamatkan ke Panitia Pengadaan, tetapi ditembuskan ke instansi pemerintah terkait bahkan kepada instansi penyidik. Sebagai contoh, apabila dalam pelelangan ulang, jumlah penyedia barang/jasa yang lulus prakualifikasi hanya 1 (satu) maka dilakukan permintaan penawaran dan negosiasi seperti pada proses penunjukan langsung. Proses sudah dilalui sesuai ketentuan, namun pejabat pengadaan ragu untuk menetapkan pemenang karena dilakukan melalui penunjukan langsung dan ada sanggahan dari peserta. Kerjasama antara BPKP, Polri, dan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dilengkapi dengan prosedur standar dalam menerima dan menindaklanjuti informasi dan pengaduan dari instansi pemerintah dan masyarakat, melakukan tukar menukar informasi, melakukan review, audit, dan audit investigasi, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Penelaahan informasi dilakukan dengan tujuan untuk menyimpulkan apakah informasi yang diterima merupakan masalah/kasus/perkara. Hasil telaah dibahas melalui Gelar untuk memutuskan apakah suatu informasi merupakan masalah atau kasus atau perkara. Dalam hal para pihak memutuskan bahwa informasi tersebut adalah masalah, maka penanganannya dilakukan oleh BPKP dengan dukungan dari Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam hal diputuskan bahwa informasi merupakan kasus yang memerlukan pendalaman, maka terlebih dahulu dilakukan audit oleh BPKP. Dalam hal diputuskan bahwa informasi bukan merupakan kasus/masalah maka dibuat simpulan atas hasil telaah dan diarsipkan.
14
6. Penutup Korupsi sebagai salah satu bentuk fraud yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan, bersifat sangat merusak dan tindakan koruptif penyelenggara negara akan semakin memperparah dampak krisis ekonomi global, karena tanpa krisis ekonomi global akibat yang ditimbulkan oleh korupsi dalam bentuk kerugian keuangan sangat besar dan ditengarai sebagai pemicu utama adanya ekonomi biaya tinggi. Setiap orang dapat menjadi pelaku korupsi, karena pada dasarnya tindakan korupsi terjadi karena adanya tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi pelaku. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui profil
pelaku
korupsi.
menyembunyikan
Pelaku
korupsi
kejahatannya
dengan
juga
berupaya
melakukan
untuk
berbagai
manipulasi/rekayasa data keuangan dan melakukan kolusi dengan pihak terkait. Dengan demikian, pihak yang ingin melakukan investigasi kasus korupsi perlu memahami modus operandi yang digunakan pelaku korupsi. Pelaku korupsi tidak akan mampu secara sempurna menutupi perbuatannya. Akan terjadi kejanggalan‐kejanggalan yang dapat dideteksi melalui catatan akuntansi ataupun dokumen‐dokumen lain yang terkait dengan korupsinya. Aksioma ini akan membantu dalam pemberantasan korupsi yang terjadi pada entitas pemerintahan. Disamping itu, penyusunan strategi pemberantasan korupsi juga dibuat dengan mengacu pada kajian mengenai penyebab fraud yang meliputi adanya tekanan, kesempatan, dan pembenaran pelaku fraud. Berdasarkan kedua hal tersebut, maka strategi yang terpadu akan mengkombinasikan upaya penindakan (represif) dan pencegahan (preventif) dalam pemberantasan korupsi. Komitmen dari Presiden dalam pemberantasan korupsi sangat tinggi yang ditunjukkan dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Seluruh unsur pemerintahan harus mendukung secara penuh upaya percepatan pemberantasan korupsi yang dicanangkan oleh presiden karena pada akhirnya masyarakat akan menuntut akuntabilitas presiden atas komitmen untuk memberantas korupsi pada awal masa jabatannya.
15
BPKP sebagai unsur pengawasan mempunyai komitmen yang tinggi dalam melaksanakan Inpres 5/2004, yaitu dengan dengan berkoordinasi dengan Kejaksaan RI, Kepolisian Negara RI dan KPK atau instansi lain yang meminta untuk dilakukannya audit investigasi. Tindak lanjut hasil audit investigasi dikategorikan menjadi 2 (dua), yakni tindakan korektif oleh manajemen untuk kasus non‐tindak pidana korupsi. Sedangkan untuk kasus tindak pidana korupsi, tindak lanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan perundang‐undangan yang berlaku. Jika diminta oleh instansi penyidik, BPKP juga memberikan dukungan dalam proses litigasi dengan melakukan audit investigasi dan perhitungan kerugian keuangan negara termasuk pemberian keterangan ahli di persidangan perkara korupsi. BPKP juga mencari jalan keluar terhadap fenomena yang muncul bahwa tindakan represif cenderung mengakibatkan sikap kontraproduktif dari penyelenggara negara, yaitu melalui upaya peningkatan koordinasi dengan Kejaksaaan RI dan Kepolisian RI. Upaya Koordinasi dilakukan melalui Penandatanganan Nota Kesepahaman bersama antara POLRI, Kejaksaan RI dan BPKP dalam rangka penyamaan persepsi karena dalam kondisi di lapangan diketahui bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan ditemukan keraguan dari para penyelenggara negara yang dapat menghambat laju pembangunan nasional. Sinergi antara instansi penegak hukum dan pengawasan juga diperlukan untuk mewujudkan penegakan hukum yang efisien dan efektif. BPKP mengharapkan kepada instansi penyidik, termasuk Polri agar melibatkan BPKP sejak awal penanganan kasus TPK sehingga setiap tahapan proses litigasi akan lebih terarah kepada penuntasan kasus karena memperoleh dukungan penuh dari auditor BPKP dalam mengidentifikasi penyimpangan, menghitung kerugian keuangan negara dan pemberian keterangan ahli.
16
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W.Steve, Fraud Examination,Thomson South‐Western,2002 Arens, Alvin A. dan James K. Loebbecke. 2007. Auditing: Integrated Approach. New Jersey: Prentice Hall. Association of Certified Fraud Examiners. 2007. Fraud Examiners Manual, The Association of Certified Fraud Examiners, Inc. Bologna, Jack G. dan Robert J. Linquist. 1987, Fraud Auditing and Forensic Accounting New Tools and Techniques. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Bologna, Jack. 1993, Handbook of Corporate Fraud.Boston; Butterworth‐ Heinemann. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.2003. Kumpulan Modus Operandi Kasus yang Berindikasi Merugikan Keuangan Negara. Jakarta: Deputi Bidang Investigasi Cressey Donald R.1953, Others people money, A study in the social psychology of Embezzlement. Montclair: Patterson Smith. O’Gara, John D. 2004. Corporate Fraud: Case Studies in Detection and Prevention. New Jersey: John Wiley & Sons Inc. Sawyer, Lawrence B, Mortimer A. Dittenhover, dan James H. Scheiner.2003. Sawyer’s Internal Auditing. 5th ed. The IIA Research Foundation.
17