Peran Akademia dan Industri sebagai Pendukung Penggunaan Jamu untuk Terapi Kedokteran Modern Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, SpF(K), SH, MSi SAM Teknologi Kesehatan & Globalisasi Kemenkes RI, Guru Besar Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal FKUI/RSCM Jakarta
Pendahuluan
MU.7
Situasi dan kondisi pengelolaan jamu saat ini di Indonesia memiliki momentum yang bermakna. Pasca dicanangkannya ‘Jamu sebagai Brand Indonesia’ oleh Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono tahun 2008, pemerintah, kaum akademisi dan pengusaha secara bersama dan sendiri-sendiri mencoba melaksanakan ‘perintah lisan Kepala Negara’ tersebut. Kementerian Kesehatan menindaklanjutinya dengan suatu langkah konkrit yang implementatif, yakni program Saintifikasi Jamu. Gema gerakan Saintifikasi Jamu ini pelan tetapi pasti mengisi ruang gerak ABG (academician, business and government) atau bahkan AGBC (plus community) sebagai suatu wacana menarik, hingga melintasi di luar sektor kesehatan. Gerakan ini berupaya mencontohkan tindakan konkrit lintas sektor dan lintas profesi yang dimotori sektor kesehatan dalam menjawab pengentasan potensi keanekaragaman hayati bangsa (yang terkaya kedua di dunia setelah Brazil) menjadi suatu simpul besar sumberdaya bangsa berupa human capital dan asset yang menjadi pilar ketahanan bangsa.
Makalah Utama
Saat ini situasi penyelenggaraan pelayanan jamu di negara kita sebagai bagian kesehatan tradisional adalah belum sepenuhnya terintegrasi dengan pelayanan kesehatan formal seperti di Cina atau Korea. Di negara kita statusnya adalah terbentang antara sistem 1 2 toleran dan inklusif . Pelayanan kesehatan yang secara formal memang diakui penuh keberadaannya hingga dijamin pembiayaannya melalui asuransi adalah kesehatan konvensional atau allophatic (ini sejalan dengan sistem toleran). Ini memang fakta di seluruh dunia. Tetapi dengan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, diperoleh data bahwa 3 sekitar 59.12% penduduk adalah pemakai jamu . Dari pengguna jamu nasional tersebut rata-rata 95.6% mengakui bahwa jamu bermanfaat bagi kesehatan (kisaran antara 83.23% hingga 96,66%). Penduduk yang setiap hari minum jamu adalah 4.36% (yang tertinggi DKI sebesar 7.75% dan terendah NTT sebesar 0.79%. Pengguna jamu usia tertingginya dalam kisaran 55-64 tahun dan terendah 15-24 tahun, sehingga makin tua mereka makin merasa-
1
WHO Traditional Medicine 2000-2005. Tolerant means: national health care system is based entirely on allopathic medicine, but some TM/CAM practices are tolerated by law. 2
WHO Traditional Medicine 2000-2005, ibid. Inclusive means: TM/CAM might not be available at all health care levels, health insurance might not cover treatment with TM/CAM, official education in TM/CAM might not be available at university level, and regulation of TM/CAM providers and products might be lacking or only partial. 3
Data nasional penduduk Indonesia minum jamu: 59.12%; tertinggi Propinsi Kalimantan Selatan (80.17%) dan terendah Propinsi Sumatera Utara (24.83%). Lihat Riskesdas 2010.
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
27
kan manfaat jamu. Kaum perempuan lebih banyak menggunakan jamu dibandingkan dengan laki-laki. Penduduk perkotaan lebih banyak meminum jamu dibandingkan pedesaan. Mereka yang peminum jamu dan membuatnya sendiri secara rata-rata adalah 17.4% penduduk (angka tertinggi justru di propinsi Maluku Utara yakni 59.69 % sedangkan yang terendah di DKI Jakarta sebesar 6.75%.) Karakteristik pengguna jamu makin tinggi pendidikannya semakin kurang merasakan manfaatnya. Demikian pula anak sekolah kurang merasakan manfaatnya, sebaliknya kelompok penduduk yang tidak bekerja dan buruh/ nelayan/tani merupakan pihak yang paling banyak merasakan manfaat jamu. Data sosial lain ialah bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga ternyata merasakan kurangnya kemanfaatan jamu. 4
Di lain sisi, secara etikolegal , Pemerintah tengah mempersiapkan Rencana Peraturan Pemerintah Pelayanan Kesehatan Tradisional sebagai penjabaran amanat pasal 100 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang intinya mengelompokkan 5 pengaturan penyelenggaraan jamu sebagai tipe ramuan bersamaan dengan tempat pelayanannya yang juga sedang digarap melalui Rencana Peraturan Pemerintah tentang fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan data Riskesdas 2010 dan penataan kelembagaan dan proses etikolegal tersebut di atas membuktikan bahwa situasi dan kondisi perkembangan jamu sudah meninggalkan sistem toleran dan mengarah ke sistem inklusif. Satu tahap lagi akan menjadi sistem integratif atau bahkan sistem yang sinergistis. Permasalahan Dalam konteks sejarah, pengaturan penyelenggaraan jamu dimulai sejak dibentuknya Sentra P3T berdasarkan Permenkes No. 584 Tahun 1995 yang bertugas antara lain melakukan penelitian dan pengembangan serta pelayanan. Namun sejak 16 tahun berselang, gebrakan penyelenggaraan jamu menuju integrasi dengan pelayanan kesehatan konvensional belum terasakan oleh masyarakat. Penelitian tentang jamu yang telah dilakukan oleh Sentra P3T secara mandiri atau bekerjasama dengan berbagai universitas, masih terbatas dalam lingkup internal saja. Masyarakat dan dunia industri belum merasakan kehadiran hasil-hasil penelitian tersebut. Bahkan di kalangan dokter sebagai ‘penguasa kesehatan konvensional’, jamu masih dianggap kuno, tidak ilmiah dan bahkan banyak efek sampingnya. Pemerintah dengan Permenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang Pengobatan Tradisional telah memberi ruang bagi battra (pengobat tradisional) berpraktek, 4
Cara pendekatan yang menempatkan etika sebagai suatu pembenaran moral sebagai pedoman untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi dalam dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sosialkemasyarakatan dan kekuatan ekonomi dalam pelayanan kesehatan. 5
Selain tipe ramuan, pelayanan kesehatan tradisional juga ada tipe ketrampilan. Kementerian Kesehatan sejak tahun 2010 dengan retrukturisasi kelembagaannya, sudah menunjukkan komitmen pelayanan kesehatan tradisional, komplementer dan alternatif dengan menempatkannya dalam satu direktorat khusus, dengan pejabat eselon 2 sebagai pimpinannya.
28
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
Makalah Utama
MU.7
namun kesinambungan program antara Sentra P3T yang dimotori oleh para dokter peneliti di rumah sakit pendidikan atau kantor dinas kesehatan dengan praktisi battra masih belum 6 skeptisnya para dokter praktisi terhadap khasiat jamu dalam negeri. Fungsionaris GP Jamu dan IAI juga mengeluh, bersama dengan fungsionaris IDI bahwa herbal asing justru masuk ke negara kita dan dijadikan modalitas pengobatan praktek kedokteran, tanpa pengawasan dan ketidakjelasan aturan seperti fenomena MLM herbal asing oleh dokter. Masyarakat sendiri banyak yang menjadi korban dari pemakaian jamu yang tidak aman, karena lemahnya pengawasan dan tindak lanjut penegakan hukum terhadap pelanggaran 7 ketentuan iklan pengobatan masing dan kejahatan mencampur jamu dengan bahan kimia 8 9 obat . Peneliti kesehatan yang meminati jamu juga tergolong minoritas , karena kurangnya sponsor, kriteria kenaikan pangkatnya menuju APU (ahli peneliti utama) masih diharuskan menggunakan metodologi biomedik sebagai wacana dominan bahkan satu-satunya 10 metodologi yang berlaku. Akibatnya jamu harus senantiasa digiring menjadi fitofarmaka bila akan dianggap ilmiah, atau herbal terstandar bila dianggap setengah atau belum 11 ilmiah . Akibatnya hingga saat ini negara kita hanya mampu memproduksi 5 buah fitofarmaka saja, 28 buah obat herbal terstandar dan beberapa ratus jamu. Namun kalangan dokter tidak mempopulerkan pemakaian 5 fitofarmaka atau 28 OHT tersebut sehingga mendongkrak devisa nasional. Kepatuhan untuk mengikuti dominasi cara berpikir obat modern yang amat panjang di tengah infrastruktur penelitian & pengembangan yang belum mantap, pada gilirannya mengakibatkan jamu kurang menghasilkan devisa secara nasional sebagai fitofarmaka, dalam suasana melimpahnya kekayaan anekaragam hayati inilah yang merupakan ‘wajah’ penyelenggaraan jamu dalam sistem kesehatan Indonesia.
6
Sebagian besar dokter tidak merekomendasikan jamu, termasuk sebagai upaya promotif preventif, karena tidak terpapar pengetahuan tentang jamu pada saat masa pendidikannya. Jamu belum resmi masuk ke kurikulum di banyak fakultas kedokteran. 7
Walaupun telah dikeluarkan Permenkes No. 1787 Tahun 2010 tentang Iklan dalam pelayanan kesehatan, masyarakat masih dicekoki oleh pelbagai cara pengobatan yang kurang terbina kualitas peer reviewnya ataupun caranya yang kurang rasional dan belum terbukti aman di televisi, radio dan surat kabar serta media elektronik. 8
Pihak BPOM sudah seringkali melakukan razia terhadap produk jamu berbahan kimia obat namun penegakan hukum oleh aparatur negara yang sah kurang membuahkan penjeraan terhadap pelakunya. Bahkan di kalangan profesi seringkali menyalahkan jamu sebagai penimbul efek samping, yang seharusnya lebih dahulu ‘dituduhkan’ terhadap bahan kimia obat itu. 9
Paling tidak di Balitbangkes dan hampir semua FK dan FKG di Indonesia, komposisi peneliti jamu bisa dihitung dengan jari. 10
Sebelum dilakukan restrukturisasi pusat penelitian dan pengembangan di Balitbangkes, hampir semua metodologi penelitian termasuk cara bekerja Komite Etik Penelitiannya adalah menggunakan prinsip biomedik, sedikit bermetode kesehatan masyarakat, hampir tidak ada yang menggunakan metode penelitian klinik terapan, apalagi humianiora kesehatan. 11
Seperti efikasi obat modern, kebenaran ilmiah memiliki hirarki bukti ilmiah EBM (evidence-based medicine), yakni setelah diperoleh melalui penelitian yang randomized clinical trial, meta analisis dan double blind.
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
29
Cara berpikir yang ‘menyandera’ para aktor: kaum dokter spesialis klinis yang berorientasi kuratif, apoteker industri, birokrat kesehatan, dosen rumpun ilmu kesehatan, dan pengusaha nasional, mahasiswa, anggota DPR, regulator serta lembaga pengawasnya, beranggapan bahwa jamu dijadikan obat modern adalah sebagai satu-satunya kebenaran ilmiah. Dengan demikian, masalah penyelenggaraan jamu selama ini adalah persoalan kekeliruan kompleksitas paradigma berpikir. Dominasi pandangan ilmiah yang serba kuantitatif – reduksionistik – atomistik sebagai cara pandang modern terhadap jamu, membuahkan perkembangan penyelenggaraan jamu walaupun sudah dimotori oleh Sentra P3T, pencanangan kebijakan TOGA, jamu masuk puskesmas dan lainnya tetap saja stagnan. Jamu belum diterima secara luas dan sistematik dalam pelayanan kesehatan modern di Indonesia. Dua kategori jamu yakni untuk pengobatan dan perawatan kesehatan juga 12 belum nampak menggema . Oleh karena itu, memang relevan dipertanyakan bagaimana peran akademia dan industri dalam mendukung penggunaan jamu untuk menciptakan kesehatan bangsa (dalam konteks jamu non-medik untuk kepentingan promotif dan preventif), termasuk di antaranya adalah digunakannya sebagai pendukung pengobatan kedokteran modern (dalam konteks kuratif dan rehabilitatif). Dukungan Saintifikasi Jamu Melihat kompleksitas permasalahan penyelenggaraan jamu tersebut di atas yang belum sepenuhnya teratasi, Kementerian Kesehatan telah menggulirkan program bahkan gerakan Saintifikasi Jamu yang berdasarkan Permenkes No. 03 Tahun 2010 tentang Saintifikasi Jamu pada penelitian berbasis pelayanan. Regulasi pengaturan saintifikasi jamu bertujuan untuk (a) memberikan landasan ilmiah (evidence-based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan; (b) mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu; (c) meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu; dan (d) meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan. Secara singkat, gerakan SJ tahap awal ini merupakan sekumpulan gerakan mengadvokasi dokter untuk dapat menjadi pelopor peneliti berbasis pelayanan dalam suatu jejaring (sisi hilir) seraya menugaskan mereka membuat body of knowledge komplementer alternatif (berbasis biomedik) yang merupakan transformasi kesehatan tradisional agar lebih mudah diterima oleh sesama dokter yang berpraktek konvensional atau allophatic
12
Sudarsono Riswan & Harini Sangat-Roemantyo mengutip Tilaar dkk mengelompokkan jamu ke dalam 5 kelompok yakni obat, perawatan kesehatan, kosmetik (perawatan kecantikan), tonik atau minuman dan kekuatan/pertahanan tubuh. South Pacific Study, Vol. 23, No. 1, 2002.
30
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
medicine. Hal ini sejalan dengan inti Permenkes No. 1109 Tahun 2007 tentang Pengobatan 13 Kedokteran Komplementer dan Alternatif .
Makalah Utama
MU.7
Sejak diluncurkan program tersebut hingga saat naskah ini ditulis telah dihasilkan banyak hal seperti: (a) Dilatihnya 4 angkatan dokter saintifikasi jamu (DSJ) sejumlah 104 orang, sebagian besar praktisi di Jawa Tengah dengan kelengkapan modul pelatihannya selama 50 jam yang diakui Kemkes dan IDI. Mereka juga telah melakukan penelitian terhadap 4 formula jamu terhadap hipertensi, hiperkolesterolemia, hiperglikemia dan hiperurisemia. Di samping itu juga menjalankan tujuan gerakan SJ yakni sebagai jejaring peneliti berbasis pelayanan dan siap untuk mengkampanyekan gerakan ini di kalangan profesi IDI; (b) Berkiprahnya Komnas SJ dengan anggota tokoh multidisiplin yang menunjang gerakan SJ yang siap membuat kebijakan jamu saintifik dalam waktu singkat; (c) Lahirnya Komda SJ Jawa Tengah yang siap berkomunikasi dengan pemangku kepentingan di wilayah propinsi tersebut untuk menggulirkan model Klinik Jamu yang merupakan jejaring Klinik Jamu Tipe A di Balai Besar Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu sebagai upaya integrasi ke sistem pelayanan kesehatan; (d) Terwujudnya MOU antara IDI – Balitbangkes sebagai payung program kerjasama penelitian berbasis pelayanan, khususnya saintifikasi jamu; (e) Dihasilkannya konsep sisi hulu bahan baku jamu, beberapa metodologi penelitian berbasis pelayanan, Dewan Etika SJ, catatan medik praktisi jamu, pilar body of knowledge ‘jamuologi’ sebagai bagian dari ilmu kedokeran biokultural berparadigma sehat dengan pendekatan kedokteran komplementer alternatif dan kesehatan tradisional; (f) Sosialisasi di kalangan dinkes propinsi dan kabupaten serta IDI seluruh Indonesia; (g) Persiapan pelatihan apoteker komunitas pelaksana SJ bekerjasama dengan IAI; (h) Terintegrasinya badan kajian komplementer alternatif dan kesehatan tradisional IDI hasil Mukernas XIX Pekanbaru 2011 yang didukung semua perhimpunan seminat yang memiliki ciri keilmuan yang sama; (i) Konsep final vademecum jamu medik Indonesia; (j) Pembuktian formula jamu tertentu untuk hiperkolesterolemia, hiperurisemia, hipertensi dan hiperglikemia; dan lain-lain. Khusus dalam lingkup sektor kesehatan, gerakan SJ masih harus digulirkan sebagai suatu momentum menuju kegiatan yang lebih besar berskala nasional. Pilihan rasional yang sesuai dengan visi dan misi Kemkes diprioritaskan jamu non-medik yang sesuai dengan paradigma sehat. Dalam konteks ini hubungan antara jamu dengan obat modern adalah sinergi. Antar keduanya terdapat kesejajaran dan saling melengkapi, karena secara filosofis, jamu meupakan ikon sehat. Tetapi karena pelayanan kesehatan yang tak bisa dipindahkan ke sektor lain adalah tugas melayani orang sakit, perlu dikembangkan juga jamu medik.
13
Permenkes No. 1109 Tahun 2007 menetapkan definisi komplementer alternatif sebagai pengobatan yang menggunakan metode biomedik tetapi belum diakui oleh profesi kedokteran. Dengan demikian permenkes ini merupakan suatu jembatan antara Permenkes No. 1076 Tahun 2003 tentang Pengobatan Tradisional dengan Permenkes No. 03 Tahun 2010 tentang saintifikasi jamu yang melibatkan dokter dan dokter gigi sebagai praktisi jamu sekaligus sebagai peneliti.
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
31
Konteks hubungan jamu – obat modern adalah integrasi. Antar keduanya merupakan suatu kesatuan, namun kedudukan jamu adalah sebagai unsur pelengkap obat modern. Salah satu sasaran jangka pendek (secara etikolegal) adalah terbentuknya beberapa Permenkes tentang Penyelenggaraan Komplementer Alternatif sebagai wadah integrasi jamu ke dalam fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya di rumah sakit pendidikan dan atau rumah sakit komunitas, Permenkes tentang saintifikasi ketrampilan sebagai pendamping saintifikasi jamu, Permenkes dukungan bahan baku jamu saintifik, Permenkes kelitbangan yang menjamin metode penelitian relevan bagi jamu, Permenkes tentang promosi kesehatan yang menjadi dasar jamu non-medik untuk digunakan sebagai perbekalan kesehatan utama upaya promotif dan preventif, dan lain-lain. Dalam jangka menengah gerakan SJ sebaiknya ikut mewarnai RPP Pelayanan Kesehatan Tradisional yang memberikan payung hukum lintas sektor bagi tersambutnya ‘intervensi hilir’ ke arah hulu, sebagai jaminan pasokan bahan baku jamu bila masyarakat telah tumbuh harapan dan kebutuhannya melalui jamu saintifik. Khususnya jaminan memperlancar arus penelitian jamu berbasis pelayanan ke arah penyelenggaraan jamu yang terintegrasi dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Intinya adalah deregulasi dari semua hambatan yang bertujuan agar jamu dapat responsif dalam setiap fasyankes yang resmi yang dijalankan oleh semua profesi tenaga kesehatan sesuai kewenangannya, bukan hanya dokter, secara harmonis, tertib dan terencana dengan memperhatikan etika dan ketentuan yang berlaku. Kemudian dalam jangka panjang gerakan SJ selayaknya menggemakan RUU Jamu Nasional yang akan memberi landasan kokoh bagi perlakuan jamu secara khusus, yang berbeda dari obat modern. Di sini, kedudukan jamu bukan hanya diintegrasikan sebagai komplemen atau alternatif sisi kuratif pelayanan kesehatan modern, namun jamu berdiri terhormat sebagai sinergi terhadap pelayanan kesehatan (kuratif). Jamu diakulturasi penuh secara biokultural sebagai asset dan budaya bangsa, penghasil ikon dan devisa bangsa dalam pergaulan internasional dengan membentuk pranata sosial dan kelembagaan khusus yang lintas sektor. Peran Akademia Akademia adalah semua sosok intelektual yang mengedepankan pendekatan ilmiah rasional demi kemaslahatan bangsa lebih daripada pendekatan lainnya. Akademia bukan terbatas pada warga kampus saja, tetapi juga sosok intelektual yang ada di masyarakat. Melihat perkembangan jangka pendek, menengah dan panjang di atas maka khusus terhadap akademia yang sekaligus profesi kedokteran, yang dalam gerakan SJ telah menunjukkan peran pemicunya di sisi hilir (dalam konteks kedokteran biokultural), selayaknya memerankan hal-hal sebagai berikut, yakni: (a) Pembina profesionalisme; (b) Pengelola jangkar kebenaran; (c) Pengabdi sosial kemasyarakatan; (d) Pengkritisi terhadap ekses kapi-
32
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
talisme global terutama yang diperankan oleh multinational corporation; dan (e) Penganalisis aspek implikatif etik, legal dan social (ELSI) (lihat Gambar 1). Kompetensi & kewenangan Mitra apoteker komunitas - Nakes lain Penapis CAM/Battra Profesi Bersumpah
PROFESIONALISM
Pengembang D/holistik Sistem rujukan non-konv PENGABDIAN SOSIAL
JANGKAR KEBENARAN Kolegium Jamuologi
SAINTIFIKASI JAMU PARADIGMA SEHAT JEJARING NAKES
Dokter / Dokter Spesialis BIOCULTURAL MEDICINE
Bijak bestari (kearifan lokal)
VALUE-BASED Medicine
MU.7
Agus Purwadianto, 2010
ELSI >< KETERGANTUNGAN EKONOMI KESEHATAN SBG TANNAS
Makalah Utama
KRITISI THD EKSES MNC
DEVISA NEGARA
Dokter atau dokter spesialis yang berpendekatan biokultural merupakan jenis pendekatan baru yang menyatukan atau mengintegrasikan kedokteran konvensional (dengan para14 digma biomedik) dengan non konvensional (dengan paradigma biokultural) . Pendekatan ini masih dirasakan ‘asing’ di kalangan medis modern karena sejarahnya di Indonesia, rumpun humaniora kedokteran yang tertampung dalam lingkup profesionalisme (yang intinya etika, hukum disiplin, ekonomi, psikologi, antropologi, keselamatan pasien, dan lainnya) tidak nyata dikembangkan seperti rumpun ilmu biomedik maupun klinik. Kenyataan, bahwa di Indonesia telah pernah berdiri Komite Jamu sejak tahun 1944 empat 15 tahun sejak kongres Ikatan Tabib Indonesia di Solo tahun 1940 , hingga gerakan SJ muncul,
14
Istilah biokultural diambil dari Engel (1980), yang dasarnya merupakan kritik terhadap paradigma biomedik yang memandang manusia adalah tubuh (mesin biologis) belaka. Paradigma biokultural sejalan dengan perspektif manusia adalah kesatuan tubuh-jiwa-sosial-budaya, sehingga sehat tergantung pada lingkungan alam dan budaya. Winkelman, M: Culture and Health, Applying Medical Anthropology, 2009, hal. 19. 15
Ini sejaman dengan lunturnya pengaruh penjajahan Belanda, yang ketika awal abad ke-19 sudah mulai menyadari perlunya politik etis termasuk ke upaya pengembangan konsil kedokteran, tetapi politik etis ini diduga terhenti akibat dirusaknya tatanan oleh penjajah Jepang. Ini pendapat almarhum Prof. Slamet Iman Santoso.
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
33
16
upaya mempopulerkan jamu oleh kalangan dokter ternyata berjalan ‘setengah hati’ . Upaya ‘setengah hati’ ini pula yang menjadi penyebab terpuruknya jamu di dunia kesehatan Indonesia, apalagi setelah era pembakuan kurikulum inti kedokteran yang semata-mata 17 biomedik tahun 1955 dan diperkukuh oleh era spesialisasi kedokteran muncul tahun 18 1970-an bahkan kini disusul oleh era subspesialisasi yang dipicu globalisasi . Peran industriawan jamu ke depan secara sederhana adalah mendukung sasaran jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Secara filosofis, peran industri adalah mampu menjadikan ‘Indonesia incorporated’ bidang jamu untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa dalam percaturan dunia. Akademia dan industriawan selayaknya saling bekerjasama untuk mewujudkan hal itu. Peran industriawan sebagai fasilitator di masingmasing peran akademia secara keseluruhan di atas akan membuat optimis terwujudnya Indonesia yang sejahtera. Kesimpulan 1. Dokter sebagai tenaga medik menjadi aktor utama gerakan Saintifikasi Jamu tahap awal pasca Permenkes No. 03 Tahun 2010 dengan tugas sebagai advokator jejaring peneliti berbasis pelayanan dan pembentukan body of knowledge jamuologi yang mendukung penggunaan jamu untuk pengobatan kedokteran modern. 2. Dengan perspektif biokultural pengembangan body of knowledge jamuologi akan berbasis manusia sebagai kesatuan utuh bio-psiko-sosio-kultural yang sejalan dengan paradigma sehat. 3. Peran dokter dan tenaga kesehatan lainnya sebagai akademia dalam gerakan Saintifikasi Jamu selayaknya diarahkan mencapai sinergi yang memprioritaskan jamu non-medik untuk kepentingan promotif-preventif dan mencapai integrasi yang memprioritaskan jamu medik untuk kepentingan kuratif rehabilitatif. 4. Peran akademia ke depan terdiri atas lima pilar dengan arah capaian sasaran berupa jangka pendek, menengah dan panjang. 5. Peran industri adalah memfasilitasi dan melakukan manajemen ‘Indonesia incorporated’ untuk mewujudkan jamu sebagai sumber devisa bangsa dan ikon budaya pergaulan internasional dalam koridor NKRI sebagai negara bangsa yang sejahtera.
16
http://www/wikipedia.org/wiki/jamu
17
Era studi bebas diganti dengan studi terpimpin, yang dimotori oleh FKUI yang memperoleh bantuan konsultan dari UCLA (University of California, Los Angeles), yang menjadi panutan kurikulum inti kedokteran di seluruh Indonesia. Dalam kurikulum ini jamu tidak diajarkan ke mahasiswa. 18
Dalam konteks AFAS (Asean Framework Agreement on Services) yang merupakan bahagian dari WTO dan GATS yang lebih progresif untuk membentuk Masyarakat Ekonomi ASEAN di tahun 2015, kategori moda 3 (commercial presence) dimungkinkan hadirnya klinik subspesialis di Indonesia, sebagaimana kriteria CPC 9313.
34
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
Kepustakaan South Pacific Study. 2002. Vol. 23, No. 1 Winkelman, M. 2009. Culture and Health, Applying Medical Anthropology, Jossey-Bass, San Fransisco http://www/wikipedia.org/wiki/jamu Permenkes No. 1787 Tahun 2010 Permenkes No. 03 Tahun 2010
Makalah Utama
MU.7
Permenkes No. 1109 Tahun 2007
Simposium Penelitian Bahan Obat Alami XV
Solo, 9-10 November 2011
35