PENYIKSAAN: Belum Terbendung ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
www.elsam.or.id
daftar isi editorial
04
Menjinakkan Praktek Penyiksaan Dari waktu ke waktu penyiksaan terus menjadi instrumen yang digunakan bahkan oleh orang-orang yang percaya bahwa mereka sedang menyelamatkan peradaban manusia. Pada awalperadaban praktek penyiksaan merupakan suatu metode yang dibenarkan secara hukum dan dipraktekkan secara luas
laporan utama
Indeks Persepsi dan Penyiksaan sebagai Mekanisme Pemantauan Publik
(dok: www.republika.co.id).
Setelah rezim militer berkurang, aparat kepolisian muncul sebagai aktor utama pelaku penyiksaan. Situasi ini meningkat bersamaan dengan lemahnya pertanggungjawaban negara untuk memenuhi hakhak korban. (Edy Halomoan Gurning)
Kolom monitoring sidang
17-19 Menggugat Pasal Kriminalisasi UU Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi Banyaknya kriminalisasi Petani yang diakibatkan ketentuan dalam UU Perkebunan pada akhirnya memicu empat petani mengajukan Pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (selanjutnya UU Perkebunan) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Keempat petani ini merupakan korban akibat adanya ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan.
laporan kegiatan
20-21
Menyelesaikan Pelanggaran Masa Lalu: Membangun Indonesia Lebih Bermartabat Diskusi publik yang diadakan Elsam pada 12 April 2011
resensi
22-23
Biografi Dua Tokoh Gerakan Perjalanan hidup almarhum Asmara Nababan dan Fauzi Abdullah bisa merepresentasikan gambaran tokoh gerakan di negeri ini.
profil elsam
5 - 11
24
Indeks penyiksaan dibangun berdasarkan bentuk dan intensitas kekerasan penyiksaan baik fisik, psikis dan seksual di semua level proses peradilan pidana.
Penyiksaan: Belum Terbendung Sistem yudisial Indonesia, terutama dalam bidang hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP masih memberi peluang yang cukup besar bagi praktik-praktik penyiksaan. Peluangan praktik penyiksaan cukup menganga ketika keterangan seseorang merupakan alat bukti, baik itu sebagai saksi maupun sebagai terdakwa.
nasional
12-13
Penyiksaan di Atambua: Akankah TNI Introspeksi? Sepanjang tahun 2011, kekerasan yang melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menjadi sorotan. Setelah tersebarnya video penyiksaan terhadap rakyat sipil dan pemuka agama di Papua, kebrutalan di Kebumen, anggota TNI kembali lagi melakukan kekerasan di Fatubenao, Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).
internasional
14-16
Berawal dari Revolusi Melati, Menanti Perubahan Situasi Politik di Timur Tengah. Sejak awal tahun 2011 ini, dunia dikejutkan dengan gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah. Gejolak politik tersebut tidak hanya terjadi di satu atau dua Negara saja, tetapi layaknya seperti sebuah permainan domino, satu kotak tumbang, kotak lain juga akan tumbang secara bergantian.
sampul muka sumber oleh: detik.com
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
surat pembaca
www.elsam.or.id
Redaksional Antisipasi Penjahat HAM yang Bertransformasi: Penanggung Jawab/Pemimpin Redaksi: Indriaswati Dyah Saptaningrum Redaktur Pelaksana: Widiyanto Dewan Redaksi: Widiyanto, Indriaswati Dyah Saptaningrum, Otto Adi Yulianto Redaktur: Ikhana Indah, Betty Yolanda, Indriaswati DS, Otto Adi Yulianto, Triana Dyah, Wahyu Wagiman Sekretaris Redaksi: Triana Dyah Sirkulasi/Distribusi: Khumaedy
Masuknya nama Muchdi PR dalam perebutan kursi ketua sebuah partai perlu diwaspadai mengingat track record-nya yang terkait kasus-kasus kejahatan HAM. Hati-hati pula dengan calon yang islamist, mengedepankan aksi-aksi berbasis penafsiran agama yang sempit. Jika tidak, maka partai itu akan jatuh ke tangan para penjahat yang bertransformasi muka menjadi politisi yang berlagak santun.
Desain & Tata Letak: alang-alang Penerbit: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Dian, Depok
Penerbitan didukung oleh:
Alamat Redaksi: Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta 12510, Telepon: (021) 7972662, 79192564 Faximile: (021) 79192519 E-mail:
[email protected],
[email protected] Website: www.elsam.or.id.
Redaksi senang menerima tulisan, saran, kritik dan komentar dari pembaca. Buletin ASASI bisa diperoleh secara rutin. Kirimkan nama dan alamat lengkap ke redaksi. Kami juga menerima pengganti biaya cetak dan distribusi berapapun nilainya. Transfer ke rekening
Tulisan, saran, kritik, dan komentar dari teman-teman dapat dikirimkan via email di bawah ini:
[email protected]
ELSAM Bank Mandiri Cabang Pasar Minggu No. 127.00.0412864-9
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
03
editorial Menjinakkan Praktek Penyiksaan
T
idak terdapat catatan pasti kapan tepatnya praktek penyiksaan mulai dikenal, mungkin sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Praktek ini dikenal dan terus dipraktekkan dari zaman ke jaman dengan segala variannya. Seperti diungkapkan John Conroy (2000; 2733), dari waktu ke waktu penyiksaan terus menjadi instrumen yang digunakan bahkan oleh orang-orang yang percaya bahwa mereka sedang menyelamatkan peradaban manusia. Pada awal-peradaban praktek penyiksaan merupakan suatu metode yang dibenarkan secara hukum dan dipraktekkan secara luas, seperti dalam perkembangan awal hukum Romawi, dalam periode Spanish inquisition di awal abad ke-15, dan merupakan praktek yang umum diterapkan oleh para penjajah terhadap para warga jajahan di berbagai belahan dunia seperti Indonesia (Belanda), Algeria(Prancis), India (Inggris) dan berbagai negara lainnya. Baru di awal tahun 1970an, gagasan pelarangan praktek penyiksaan mulai disuarakan di PBB, dipicu oleh tuntutan gerakan demokrasi di Amerika Latin atas masih digunakannya penyiksaan terhadap mereka yang menentang rezim. Diperlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk melahirkan Konvensi Menentang Penyiksaan sejak gugatan mengenai praktek penyiksaan ini pertama kali dibawa ke hadapan Majelis Umum PBB di tahun 1973. Kelahiran Konvensi Menentang Penyiksaan dan tindakan atau hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan di tahun 1984 memberikan satu pengakuan universal atas pelarangan penyiksaan terhadap seorang individu dalam kondisi apapun. Sayang, di awal abad 21 ini, gencarnya kampanye global melawan terorisme justru kembali berusaha menjustifikasi legalitas praktek penyiksaan di hadapan keseharian publik lagi. Realitas penjara Abu Graib di Iraq, atau perlakuan terhadap puluhan orang yang ditangkap oleh Densus 88 di Indonesia karena diduga menjadi bagian dari jaringan 'terorisme' merupakan contoh sederhana. Namun di luar itu, praktek serupa masih terus menjadi narasi harian orang-orang yang terjerat perkara pidana, khususnya mereka yang miskin dan kelompok 'petty criminals' yang tidak berdasi. Nampaknya semakin jelas bahwa lahirnya konvensi di tingkat internasional dan masuknya Indonesia sebagai negara pihak dari Konvensi, tak cukup untuk menjinakkan kejahatan tertua ini. Lantas mengapa sedemikian sulit menjinakkan praktek penyiksaan, bahkan dengan lahirnya instrumen hak asasi manusia yang paling mutakhir? Barangkali jawabannya tidaklah terlalu sulit ditemukan, selama relasi kekuasaan masih terus ada, selama itu pula penyiksaan bisa jadi terus ada. Mengapa keduanya berhubungan? Dalam praktek penyiksaan, terdapat dua aspek penting yang terlibat, pertama, relasi kuasa yang tidak seimbang
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
04
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
antara korban dan pelaku. Pelaku memiliki kontrol penuh atas korban. Kedua, relasi kuasa yang tidak seimbang ini memungkinkan pelaku menggunakan tubuh manusia (baca korban sebagai objek khususnya menyasar keterbatasan manusia terhadap rasa sakit). Sulitnya menghapus kejahatan ini berarti menyurutkan langkah untuk menuju kondisi zero tolerance zone bagi praktek penyiksaan. Mengarahkan upaya untuk mencegah dengan berambisi menjinakkan intensi yang melekat pada relasi yang tidak seimbang memang mungkin lebih sulit. Tetapi, upaya mencegah dengan mengarahkan intervensi pada korban bisa jadi lebih mudah diidentifikasi dan dirumuskan meski tak selalu gampang dilakukan. Dalam hal ini, sederet pekerjaan rumah telah menanti Pemerintah. Upaya pencegahan tak mungkin dilakukan apabila praktek ini tidak dikualifikasi sebagai kejahatan yang bisa dihukum. Terdapat dua pilihan yang mungkin dilakukan, pertama, melalui upaya melakukan amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang telah menjadi agenda nasional sejak berpuluh tahun lalu tapi gagal diselesaikan oleh Pemerintah hingga hari ini. Pilihan lain dapat juga dilakukan dengan melakukan kriminalisasi atas praktek penyiksaan melalui suatu ketentuan perundang-undangan yang khusus. Selain itu sederet pekerjaan lain yang berorientasi memberikan perlindungan dan pencegahan agar individu yang merupakan potensial korban terhindar dari praktek ini tak kalah penting untuk segera dilakukan. Menjamin setiap tersangka untuk didampingi pengacara dalam setiap tahap pemeriksaan perkara merupakan satu langkah penting yang sederhana tapi dapat membawa perubahan besar. Menjamin tidak digunakannya informasi yang diperoleh dari praktek penyiksaan di dalam ruang persidangan juga merupakan langkah sederhana yang dapat membawa perubahan besar. Kesemuanya bermuara pada keseriusan Pemerintah untuk menyelesaikan tiga pekerjaan rumah yang sampai saat ini terus tertunda, tergilas oleh politik transaksional diantara partai-partai pendukung pemerintah. Ketiganya adalah perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan Rancangan Undang-undang Bantuan Hukum yang saat ini terbengkalai. Peringatan hari menentang Penyiksaan sedunia yang jatuh di tanggal 26 pada bulan Juni ini merupakan saat yang tepat untuk mengingatkan kembali Pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah tersebut. Indriaswati Dyah Saptaningrum Direktur Eksekutif ELSAM
laporan utama Indeks Persepsi dan Penyiksaan sebagai Mekanisme Pemantauan Publik Oleh Edy Halomoan Gurning (Peneliti dan Pengacara Publik pada LBH Jakarta) Memantau Penyiksaan Melalui Penghitungan ndonesia telah meratifikasi UN Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU No. 5 Tahun 1998 (untuk selanjutnya disebut UNCAT). Pasal 1 Konvensi ini menyebut definisi penyiksaan dengan setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengatahuan pejabat publik. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku. Meskipun telah ada pengaturan ini, namun pelaksanaan UNCAT masih lemah, terutama di lingkup praktik. Kelemahan tersebut terbukti dengan masih tingginya angka penyiksaan yang terjadi. Sedangkan di lingkup kultur, kerap kali penegakan hukum kepada pelaku tidak sampai kepada penghukuman.
I
Setelah rezim militer berkurang, aparat kepolisian muncul sebagai aktor utama pelaku penyiksaan. Situasi ini meningkat bersamaan dengan lemahnya pertanggungjawaban negara untuk memenuhi hak-hak korban. Salah satu temuan mengenai tingginya angka penyiksaan terungkap dalam penelitian LBH Jakarta yang diluncurkan pada tahun 2005 dan 2008. Berdasarkan penelitian tahun 2005, 74,4% penyiksaan yang terjadi terhadap tahanan, justru dilakukan oleh aparat kepolisian, 4,5% oleh sipir, 0,9% oleh aparat militer, 0,6% oleh pegawai negeri sipil, dan 5,9% dilakukan oleh pihak lain. Polisi juga berada pada posisi teratas sebagai pelaku penyiksaan dalam proses interogasi. Penyiksaan dilakukan baik secara fisik, mental, maupun seksual.
Survei tahun 2008 tidak ada perubahan terhadap komposisi pelaku. Angka penyiksaan meningkat, dimana 83,65% dari jumlah responden menyatakan mengalami kekerasan, baik pada saat penangkapan dan pemeriksaan. Dalam hal ini proses penangkapan, yang tidak masuk dalam elemen penyiksaan berdasar definisi Pasal 1 UNCAT, telah ditemukan adanya elemen-elemen penyiksaan yang digunakan untuk mencari informasi dan pengakuan. Sebanyak 0,82% responden menyebut TNI sebagai pihak yang ikut melakukan kekerasan, satpam sebesar 4,90%, dan pihak lainnya sebanyak 7,08% 1 seperti informan, teman sendiri, dan massa. Data-data di atas menandakan aparat bertindak sebagai aktor utama pelaku penyiksaan. Penegakan hukum tidak lagi menjadi panglima terhadap kejahatan sehingga mencerminkan bahwa penegakan hak asasi manusia tidak dapat lagi mengandalkan mekanisme negara semata. Perlu peran dari masyarakat sipil untuk turut memantau penyalahgunaan kekuasaan aparat guna meningkatkan efektivitas dan implementasi prinsip-prinsip UNCAT di Indonesia. Atas dasar ini kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta melakukan pemantauan penyiksaan melalui penelitian dengan mengangkat indeks penyiksaan dan indeks persepsi penyiksaan di lima wilayah di Indonesia: Banda Aceh, Lhokseumawe, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Indeks Persepsi dan Indeks Penyiksaan Indeks Persepsi Penyiksaan dalam penelitian ini merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari penelitian indeks yang sudah ada, seperti indeks korupsi. Melalui penelitian yang telah ada, kemudian dikembangkan guna mendapatkan data yang lebih utuh mengenai tingkat toleransi masyarakat dan aparat penegak hukum di Indonesia terhadap penyiksaan. Indeks Persepsi Penyiksaan dibuat berdasarkan proses sistem peradilan, yakni dimulai dari penangkapan, pemeriksaan, penahanan hingga pada penghukuman. Pada setiap proses tersebut ditanyakan mengenai persepsi responden terhadap bentuk kekerasan fisik, psikis, dan seksual. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
05
laporan utama Berbeda dengan indeks persepsi yang merupakan pendapat seseorang, indeks penyiksaan didasarkan pada pengalaman seseorang yang pernah diproses di semua tahapan proses peradilan pidana. Pilihan ini didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu untuk mengukur intensitas penyiksaan, secara khusus frekuensi (durasi) dan tingkat keparahannya (dampak).
proses penghukuman Jakarta kembali menempati tingkat toleransi terburuk sebesar 3 dan Banda Aceh bersama Surabaya memiliki tingkat toleransi terendah dalam toleransi terhadap penyiksaan dalam proses penghukuman yaitu sebesar 1,8.
Terhadap indeks persepsi penyiksaan, Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia merupakan wilayah Indeks penyiksaan sesungguhnya tidak dibangun dengan tingkat toleransi tertinggi terhadap penyiksaan secara rigid dari kontribusi unsur-unsur penyiksaan pada seluruh proses peradilan pidana dibandingkan (elements of crime) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 dengan wilayah penelitian lainnya. UNCAT, melainkan dibangun berdasarkan bentuk dan intensitas kekerasan penyiksaan baik fisik, psikis dan seksual di semua level proses peradilan pidana. Meski demikian, unsur-unsur penyiksaan (elements of crime) Pasal 1 UNCAT tetap dikembangkan dalam kuestioner dan mencoba ditemukan untuk memperoleh penjelasan bahwa praktik kekerasan penyiksaan yang terjadi memiliki kesesuaian, dan setidaknya berpotensi atau memiliki kecenderungan terhadap terjadinya penyiksaan. Setelah melakukan pengambilan data di lima wilayah dengan responden tersangka/ terdakwa/ terpidana, polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan serta advokat, data tersebut diolah kemudian didapatkan hasil indeks persepsi penyiksaan dan indeks penyiksaan.
Penelitian ini menghasilkan angka indeks penyiksaan di setiap kota penelitian pada setiap tahapan proses peradilan pidana. Saat penangkapan, indeks penyiksaan tertinggi berada di Makassar dengan indeks 2,3 sedangkan yang terendah berada di wilayah Surabaya dengan indeks 1,3. Jakarta memiliki indeks 1,7 diikuti Lhokseumawe dan Banda Aceh dengan indeks 2,1. Pada saat pemeriksaan, indeks penyiksaan tertinggi berada di wilayah Makassar dengan indeks 1,5 dan yang terendah berada di wilayah Surabaya dengan indeks 0,8 sedangkan wilayah lain yakni Lhokseumawe memiliki indeks 1,1 diikuti Jakarta 1,2 dan Banda Aceh sebesar 1,4. Pada proses penahanan, indeks tidak terlalu berbeda dengan saat pemeriksaan dimana indeks penyiksaan tertinggi berada di wilayah Makassar dan Banda Aceh dengan indeks 1,5 dan yang terendah berada di Surabaya dengan indeks 0,7. Saat penghukuman, indeks penyiksaan tertinggi berada di wilayah Banda Aceh dengan angka 2,5 dan yang terendah berada di wilayah Lhokseumawe dengan angka 1,1.
Pembacaan tabel di atas merupakan tingkat tolePembacaan tabel di atas merupakan tingkat toleransi terhadap penyiksaan dimana 0 menandakan bahwa masyarakat tidak mentoleransi tindakan penyiksaan sedangkan 10 menandakan masyarakat mentolerir tindakan penyiksaan. Hasil indeks persepsi penyiksaan memperlihatkan jika dilihat menurut proses Prevalensi penyiksaan yang terburuk terdapat di kota Jakarta sebesar 3,2 sedangkan tingkat toleransi terhadap penyiksaan terendah dalam proses penangkapan di kota Banda Aceh sebesar 1,9. Pada proses pemeriksaan tingkat toleransi terhadap penyiksaan terburuk ada di kota Jakarta dengan besaran 3,1 dan toleransi terhadap penyiksaan terendah ada di kota Banda Aceh sebesar 1,9.
Dalam proses penahanan, Jakarta memiliki toleransi terhadap penyiksaan paling buruk yaitu sebesar 3 sedangkan Banda Aceh memiliki tingkat toleransi paling rendah terhadap penyiksaan selama Penelitian ini juga mendapatkan hasil tentang proses penahanan. Dalam indeks penyiksaan dalam intensitas penyiksaan yang terjadi pada tahapan proses ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
06
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
laporan utama hukum pidana. Angka tertinggi terjadi pada proses penangkapan dan pemeriksaan di wilayah Surabaya, yakni sebesar 97,9%. Sedangkan angka terkecil terjadi di wilayah Jakarta pada proses penghukuman, yakni terjadi 6,9% orang tersiksa di antara 100 penghukuman yang ada. Jika diamati pada tiap proses, Makassar menjadi kota yang terendah dibandingkan dengan yang lain, yakni sebesar 77,6%. Kemudian pada tahap pemeriksaan, penyiksaan tertinggi terjadi di wilayah Surabaya, yakni sebesar 79,9% dan yang terendah di wilayah Jakarta dengan intensitas penyiksaan sebesar 65,3%. Pada tahap penahanan, Surabaya masih menjadi kota yang paling tinggi intensitas penyiksaan, yakni sebesar 87,5% dan yang terendah terjadi di wilayah Jakarta dengan angka 6,9%. Pada tahap akhir, yakni penghukuman, intensitas tertinggi terjadi di wilayah Lhokseumawe, yakni sebesar 44% dan yang terendah terjadi di wilayah Jakarta dengan intensitas sebesar 6,9%. Dilihat dari bentuk kekerasan maka ditemukan, saat penangkapan bentuk kekerasan dibentak sebesar 51% dan dipukul sebesar 44%. Saat pemeriksaan, dibentak 38 % dan dipukul sebanyak 30%, sedangkan saat penahanan masih pada bentuk dibentak 29% dan dipukul sebesar 26%. Pada saat penghukuman penjara atau menjalani hukuman, bentuk kekerasan dipukul sebesar 9%. Sedangkan bentuk-bentuk yang lain seperti ditendang, direndam, disundut, ditelanjangi, tidak diberikan makan hingga pada kekerasan seksual memiliki angka yang bervariatif pada setiap tahapan proses tersebut. Dilihat dari tujuan penyiksaan, tujuan untuk mendapatkan pengakuan adalah yang paling tinggi yakni sebesar 45,9% diikuti dengan mencari informasi sebesar 34,01% dan perlakuan diskriminasi sebesar 9% sedangkan sisanya sebanyak 11% berkontribusi terhadap alasan untuk menerima uang, mempercepat proses agar tidak berbelit-belit, dendam hingga pada sulit mendapatkan bukti.
pada tahun 2008, prevalensi penyiksaan pada tingkat pemeriksaan di kepolisian secara umum menurun sedikit dari 83,65 % menjadi 79,8%. Secara umum dapat disimpulkan bahwa praktik penyiksaan di Indonesia terjadi dengan ilegal, meluas, sistematis, dan terlembaga. Disebut ilegal karena menyalahi jaminan konstitusi dan ketentuan perundangundangan baik nasional maupun internasional yang melarang praktik penyiksaan. Ia disebut meluas karena penyiksaan terjadi di seluruh proses tahapan peradilan pidana (criminal integrated justice system). Penyiksaan terjadi dimulai dari proses penangkapan, pemeriksaan/interogasi, penahanan dan penghukuman. Ia disebut sistematis karena dilakukan oleh aparat penegak hukum atau oleh orang lain sepengetahuan dan sepersetujuan (baik diam-diam maupun terangterangan) aparat penegak hukum, dan dilakukan dalam segala bentuk baik fisik, psikis maupun seksual, berpola dan didorong oleh motivasi tertentu. Praktik penyiksaan juga disebut terlembaga (institutionalized) karena praktik penyiksaan bukan lagi persoalan 'oknum' aparat, melainkan terjadi secara sistematis menjadi problem akut yang bersifat struktural kelembagaan. Tidak ada institusi yang bersih (steril) dari praktik penyiksaan. Seluruh lembaga aparat penegak hukum terlibat dalam level keterlibatan yang beragam (various level of involvement) dan praktik penyiksaan diterima sebagai pola tindakan dan pola perilaku aparat dalam sistem peradilan pidana.
Keterangan 1.
LBH Jakarta, Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan. 2008. Lihat juga Indonesian NGO Working Group on the Advocacy against Torture, Briefing Note in Indonesia, to the UN Special Rapporteur on Torture, Manfred Nowak dalam kunjungannya ke Indonesia, 2008.
Ilegal, meluas, sistematis, dan terlembaga Penelitian ini menyimpulkan mengenai masih tingginya angka penyiksaan yang dialami oleh kelompok korban (tersangka, terdakwa dan/atau terpidana) selama menjalani proses peradilan pidana. Intensitas penyiksaan yang tinggi tercermin dari angka indeks penyiksaan dan angka prevalensi penyiksaan yang sangat tinggi. Semua lokasi penelitian mendapati prevalensi penyiksaan tertinggi terjadi di level penangkapan, BAP, dan penahanan dengan prosentase beragam dengan antara 53% sampai 97,9%. Prevalensi yang cukup rendah merata terjadi pada tingkat penghukuman, dengan angka tertinggi di Lhokseumawe yang mencapai 44%. Untuk wilayah Jakarta, jika dibandingkan dengan survei terakhir sebelumnya, yakni
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
07
laporan utama Penyiksaan: Belum Terbendung Oleh: Fajrimei A. Gofar (Peneliti P2D) Penyiksaan di Era Demokratisasi Indonesia anggal 22 Mei 2011 yang lalu, Amnesti Internasional (AI) merilis siaran pers yang isinya meminta agar Pemerintah Indonesia harus mengakhiri penggunaan cambuk sebagai bentuk dari hukuman sebagaimana diterapkan di Aceh. Dua tahun yang lalu, tepatnya 17 September 2009, AI pernah mengeluarkan pernyataan serupa yang mengkritik penerapan hukuman rajam dan cambuk di Aceh. AI meminta agar pemerintah Indonesia memastikan bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah tidak mengorbankan hak asasi manusia. Pada tanggal 12 Januari 2011, secara bersamaan AI dan Human Rights Watch (HRW) mengeluarkan “Urgent Action” yang menyatakan bahwa Buchtar Tabuni, seorang aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sedang dalam risiko penyiksaan atau tindakan menyakitkan lainnya karena akan diisolasi dan dipindahkan ke Jayapura setelah terjadi kerusuhan di penjara Abepura. Bersama Filep Karma, Buchtar Tabuni dituduh sebagai provokator kerusuhan di Penjara Abepura pada tanggal 3 Desember 2010. Sebelumnya, pada tanggal 17 Oktober 2010, beredar rekaman video tentang penyiksaan yang dilakukan aparat berseragam loreng terhadap warga Papua. Peristiwa ini juga dikecam oleh AI dan HRW. Di awal 2011, Komnas HAM merilis catatan pelanggaran HAM, yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil survei LBH Jakarta di lima kota, praktik penyiksaan oleh aparat kepolisian terhadap tersangka pidana masih banyak dijumpai selama tahun 2010. Sementara itu, sepanjang 2011 ini, kita juga masih disodori berita-berita tentang operasi Densus 88. Terakhir, pada tanggal 14 Mei 2011, dalam operasi penyergapan di Sukoharjo, Jawa Tengah, Densus 88 kembali menewaskan dua orang yang disebut sebagai terduga teroris. Kenyataan-kenyataan di atas bukanlah gambaran yang sebenarnya tentang praktik-praktik penyiksaan di Indonesia. Bisa jadi, itu sekadar puncak dari gunung es. Meski demikian, kasus-kasus di atas sudah cukup untuk menyimpulkan bahwa praktik penyiksaan di Indonesia hingga saat ini masih tak terbendung. Padahal, sejak 1998 Indonesia sudah terlepas dari rejim otoritarian dan bahkan telah
T
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
08
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan bebas dari penyiksaan telah dijadikan sebagai hak konstitusional. Mereka yang dianggap musuh negara (gerakan kemerdekaan dan teroris), mereka yang menjadi tersangka kasus pidana, terpidana, dan warga masyarakat yang dianggap berbuat dosa – terutama di Aceh masih rentan terhadap penyiksaan. Tidak menutup kemungkinan ada kelompokkelompok masyarakat lainnya yang rentan terhadap penyiksaan tapi tidak terekspos. Dan tidak menutup kemungkinan pula bahwa kita semua rentan terhadap praktik-praktik penyiksaan. Kembali menjadi pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan penyiksaan terus berlangsung. Penyiksaan dan Demokrasi Penyiksaan sebagaimana diartikan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan bukanlah praktik baru. Praktik penyiksaan sama tuanya dengan praktik bernegara. Romawi Kuno dan Yunani keduanya menggunakan penyiksaan. Penyiksaan juga sudah biasa digunakan untuk mendapatkan pengakuan dalam kasus pidana pada awal-awal Eropa modern. Praktik-praktik penyiksaan di Eropa sempat tak muncul ke permukaan bersamaan dengan tumbuhnya ide-ide humanitarian pada abad ke-18. Namun, pada abad ke-20 praktik-praktik tersebut muncul kembali, bahkan massif, pada masa Hitler dan Stalin. Di akhir abad ke-20, kembali lagi terjadi pada masa konflik Bosnia (1992-1995). Belakangan, praktik penyiksaan kembali marak terjadi dalam pemberantasan terorisme. Sebagai contoh yang cukup mengejutkan adalah praktik penyiksaan di Guantanamo oleh AS. Di Indonesia, meski rekam jejaknya masih terbatas, praktik-praktik penyiksaan dapat dikatakan sudah berlangsung cukup lama. Terutama pada masa pemerintahan Soeharto, penyiksaan antara lain dilakukan terhadap lawan-lawan politik dan mereka yang dianggap musuh negara (baca: Soeharto). Kasus 1965 dan Marsinah adalah contoh konkrit praktik penyiksaan di era otoritarianisme Soeharto. Namun demikian, praktik-praktik penyiksaan pada dasarnya tidak hanya terjadi pada negara otoriter.
laporan utama Sebagaimana dikatakan Darius Rejali, dalam bukunya Torture and Democracy (2007), “Greek and Roman city-states, Renaissance republics, and modern democratic states have all practiced torture.” Tentu saja tidak semua negara demokratis melakukan penyiksaan, hal tersebut tergantung pada tempat, waktu dan situasi tertentu. Dalam bukunya Torture and Democracy, Darius Rejali menyebutkan setidaknya ada tiga situasi mengapa praktik-praktik penyiksaan masih berlangsung di negara-negara demokrasi. Pertama, terkait dengan birokrasi keamanan nasional yang tak terkontrol oleh institusi demokrasi ketika ditugasi menjalankan tugas-tugas keamanan nasional. Fenomena ini umumnya ditemukan di wilayah koloni maupun daerah konflik. Kasus Perancis di Aljazair pada tahun 1950-an, Amerika di Filipina, militer Inggris di Kenya dan Irlandia Utara dapat dijadikan contoh untuk situasi ini. Dalam buku Emergencies and the Limit of Legality, Victor Vridar Ramraj (2008) juga menggambarkan bagaimana praktik penyiksaan kembali bangkit paska-peristiwa 11/9. Kedua, penyiksaan dapat terjadi karena sistem yudisial yang terlalu menekankan betapa pentingnya pengakuan bersalah. Misalnya di Jepang, yang kultur hukumnya masih dipengaruhi pandangan ”warga yang baik akan mengaku” dan siapa yang tidak mengaku sudah pasti dianggap warga yang tak baik. Ketiga, karena komunitas menginginkan adanya ketertiban umum dengan menghalalkan segala cara agar ketertiban itu bisa tercapai. Situasi terjadi ketika suatu negara demokrasi tidak sanggup (unable) atau tak punya kemauan (unwilling) untuk menyediakan keamanan publik (public security), hal ini bisa jadi karena wilayah yang cukup luas atau sumber daya terbatas. Penyiksaan dinilai dapat menciptakan keteraturan atau kedisiplinan, dan tindakan ini kemudian dimaklumkan oleh komunitas tersebut. Pernyataan masyarakat berupa “dia pantas mendapatkannya” atau “mereka harus mendapat pelajaran” atau “biar tahu rasa!” merupakan contohcontoh gejala masyarakat yang menghendaki ketertiban umum yang menghalalkan segala cara. Konteks Indonesia Ketiga situasi yang disebut oleh Rejali di atas sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia. Baik itu soal keamanan nasional, soal sistem yudisial, maupun situasi masyarakat yang mendamba ketertiban umum – tidak begitu peduli bagaimana cara agar ketertiban tersebut tercapai. Kasus Video Penyiksaan yang beredar Oktober 2010 lalu
merupakan adalah contoh kecil bagaimana praktik penyiksaan dilakukan oleh aparat keamanan dalam operasi penumpasan separatisme di Papua. Atas nama ”keamanan nasional” praktik tersebut seolah mendapat legitimasi. Begitu pula dengan pemberantasan terorisme, operasi-operasi yang dilakukan oleh Densus 88 sangat rentan terhadap praktik-praktik penyiksaan. Apalagi ketika hukum Indonesia memperkenankan aparat untuk menangkap seseorang yang diduga teroris dan menahannya selama 7x24 jam. Sebagaimana dikatakan oleh Stanley, Anggota Komnas HAM, ”Masih banyak juga penyiksaan yang dilakukan oleh polisi terhadap tahanan terorisme”.1 Sebagai contoh, ada dua orang tersangka terorisme yang ditangani kepolisian dikuburkan tanpa sebelumnya memberi tahu keluarga, bahkan keduanya tidak ditelusuri identitasnya. Sistem yudisial Indonesia, terutama dalam bidang hukum pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP masih memberi peluang yang cukup besar bagi praktik-praktik penyiksaan. Peluangan praktik penyiksaan cukup menganga ketika keterangan seseorang merupakan alat bukti, baik itu sebagai saksi maupun sebagai terdakwa. Pemeriksaan tanpa pengawasan menjadikan praktik penyiksaan semakin leluasa dilakukan untuk mengejar keterangan dari pihak-pihak yang diperiksa. Sebagai contoh, dalam sidang kasus pembunuhan pasangan Pendeta Frans Koagow di Manado, terdakwa menerangkan bahwa ia telah disiksa oleh polisi agar si terdakwa mengakui bahwa ia membunuh sang pendeta.2 Terkait kasus pembunuhan wartawan di Bali, dua dari sembilan orang terdakwa pada tanggal 21 November 2009 mendatangi Komnas HAM untuk melaporkan bahwa sebelum pemeriksaan sebagai saksi atau terdakwa, mereka disiksa oknum petugas dari Kepolisian Daerah Bali. 3 Dalam kasus Perampokan Bank CIMB Niaga, dalam sidang pada tanggal 24 Mei 2011, Saksi Gito alias Usman mencabut keterangan di BAP dan mengatakan bahwa dirinya dan terdakwa Wak Geng direkayasa berdasarkan tekanan ancaman pembunuhan.4 Di Gorontalo, karena dituduh mencuri, kedua tangan Kasman Noho dipaku di atas meja, serta nyaris seluruh tubuhnya bengkak dipukul oleh aparat kepolisian.5 Selain itu, hasil riset LBH Jakarta di lima kota (Jakarta, Lhokseumawe, Banda Aceh, Makassar, dan Surabaya) selama periode Januari 2009 hingga Januari 2010 juga menunjukkan tingginya praktik penyiksaan di semua tahap penyelesaian kasus pidana. ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
09
laporan utama Kondisi masyarakat yang mendambakan ketertiban umum yang permisif dengan praktik penyiksaan, perlakuan sewenang-wenang, atau perendahan martabat manusiawi juga terjadi di Indonesia. Praktik arak keliling terhadap pelaku zina, pembakaran hidup-hidup terhadap seseorang yang diduga mencuri, orang yang diduga melakukan tindak pidana digebuki massa merupakan contoh-contoh konkrit. Penerapan hukuman cambuk di depan umum serta rajam masih dianggap sebagai sesuatu sangat berguna bagi ketertiban umum, menjaga nilai-nilai agama, dan nilai-nilai sosial lainnya. Begitu pula dengan praktik penggerebekan terhadap hotel-hotel di beberapa wilayah yang dilakukan Satpol PP bekerja sama dengan aparat kepolisian dan juga masyarakat. Tak jarang juga operasi-operasi tersebut melibatkan media massa, sehingga mereka yang tertangkap dipermalukan. Masyarakat kita juga tampak maklum ketika seseorang ditembak kaki oleh aparat kepolisian atau digebuki, “Berusaha Kabur, Kaki Pencuri Ditembak Polisi” kerap menjadi judul berita media massa. Praktik-praktik penangkapan dengan todongan senjata agar ia yang ditangkap itu mengakui perbuatannya diduga kuat masih terjadi. Penyiksaan Masih Dijustifikasi “Governments always find reasons to justify torture”, demikian menurut Carl Skutsch. Begitu pula di Indonesia, ada beberapa hal yang dijadikan justifikasi terhadap penyiksaan. Sebagaimana disebutkan di atas, “demi keutuhan NKRI” dijadikan justifikasi oleh aparat militer melakukan penyiksaan terhadap mereka yang dianggap separatis. Peredaran Video Penyiksaan pada Oktober 2010 lalu merupakan contoh kecil bagaimana praktik penyiksaan dilakukan oleh aparat keamanan dalam operasi penumpasan separatisme di Papua. Sementara itu, “demi keamanan negara” Densus 88 dapat bereaksi di luar hukum acara pidana yang lazim. Terduga, tersangka, beserta istri, atau keluarga lainnya dapat ikut ditahan dalam kurun waktu tertentu untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya. Dalam mengorek informasi tertentu, kuat dugaan bahwa Densus 88 melakukan penyiksaan atau tindakan tidak manusiawi terhadap mereka yang sedang dalam penahanan. Seperti disebut di atas, dalam sistem hukum pidana masih ada peluang penyiksaan. keterangan tersangka atau pun saksi yang merupakan bagian dari alat bukti seolah menjadi justifikasi bagi aparat untuk memperoleh keterangan tersebut bagaimanapun caranya. Tak jarang para saksi ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
10
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
ataupun tersangka/terdakwa menjadi korban penyiksaan. Sebagaimana ditunjukkan dalam riset LBH Jakarta di lima kota, hampir di setiap tahapan proses pidana marak terjadi penyiksaan. Faktor utama penyebab terjadinya penyiksaan tersebut adalah minimnya pengawasan. Penerapan hukum cambuk dan rajam, sebagai bagian dari bentuk penghukuman yang tidak manusiawi, kejam, dan merendahkan martabat manusia, merupakan kasus yang cukup menarik. Bentuk penghukuman ini diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan yang sudah diratifikasi Indonesia pada 1998 itu. Pelaksanaan otonomi daerah dianggap sebagai justifikasi oleh pemerintah daerah melakukan penyiksaan. Dalam kasus ini, pemerintah pusat tampak lebih menghormati pelaksanaan otonomi ketimbang penghormatan hak asasi manusia meskipun hal tersebut menabrak Konstitusi. Dalam kasus Aceh, pemerintah pusat seolah tersandera oleh perjanjian Helsinki. Pemerintah tampak enggan mengintervensi Aceh juga dengan justifikasi ”demi keutuhan NKRI”. Hukum Anti Penyiksaan Indonesia Konvensi Menentang Penyiksaan telah menegaskan apa itu penyiksaan. Melalui Konvensi itu pula ditegaskan kembali bahwa semua negara diminta untuk mencegah terjadinya penyiksaan. Jauh sebelum Konvensi tersebut muncul, dalam Deklarasi PBB telah dicantumkan dalam Pasal 5 bahwa “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.” Munculnya Konvensi Menentang Penyiksaan merupakan bukti bahwa Deklarasi PBB tidak efektif untuk mencegah terjadinya penyiksaan yang terus dipraktikkan oleh negara-negara. Sejak mengalami demokratisasi, Indonesia sudah mulai berusaha untuk terlibat dalam usaha mencegah praktik-praktik penyiksaan secara khusus. Langkah pertama Indonesia yaitu dilakukan pada tahun 1998 dengan meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan melalui UU Nomor 5 Tahun 1998. Berikutnya, terbit UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa “… hak untuk tidak disiksa, … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” Pada tahun 2000, Indonesia kembali menegaskan komitmennya terhadap anti penyiksaan melalui Amandemen UUD 1945. Dalam Pasal 28I UUD 1945 disebutkan bahwa “… hak untuk tidak disiksa, … adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
laporan utama apa pun”. Bebas dari penyiksaan telah menjadi hak konstitusional. Sayangnya, pengaturan anti penyiksaan di Indonesia tersebut sama tidak efektifnya dengan Deklarasi PBB. Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan hingga kini belum diintegrasikan dengan peraturan perundangan-undangan secara baik. Terutama dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Bunyi Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 masih diperlakukan sebagai prinsip umum biasa sehingga pelanggaran terhadap prinsip tersebut bukan sesuatu yang esensial. Apalagi ketika bunyi pasal tersebut tidak disertai dengan sebuah sanksi tertentu. Begitu pula halnya dengan pengaturan dalam UUD 1945, sebagaimana kita ketahui bersama, kesadaran bernegara dengan konstitusi di Indonesia masih relatif rendah. Hak-hak yang diatur dalam konstitusi belum teraplikasi dengan baik. Penerapan hukuman cambuk di Aceh merupakan salah contoh pengabaikan konstitusi secara telanjang. Singkat kata, hukum anti penyiksaan di Indonesia belum segarang hukum anti korupsi. Catatan-catatan Penutup Uraian di atas menggambarkan bahwa praktik penyiksaan di Indonesia tetap terus berlangsung meskipun telah mengalami demokratisasi sejak 1998, bahkan cenderung tak terbendung. Sistem demokrasi, sebagaimana juga berlangsung di negara-negara lain, mendapat tantangan ketika terjadi situasi emergency berupa ancaman terhadap keamanan nasional, misalnya terorisme dan separatisme. Aparat keamanan dituntut bergerak cepat untuk mengatasi gangguan keamanan nasional. Operasi-operasi menjaga keamanan nasional seolah keluar dari konteks demokrasi yang menghendaki penghormatan hak asasi manusia. Operasi-operasi yang hampir selalu bersifat rahasia menyulitkan pengawasan dan kontrol. Di sisi lain, hukum anti penyiksaan di Indonesia juga masih lemah meskipun sudah meratifikasi Konvensi dan mencantumkan anti penyiksaan di dalam konstitusi. Hukum anti penyiksaan belum bekerja dengan baik, baik itu faktor instrumen yang belum lengkap, faktor aparat penegak hukum yang belum cukup kesadaran dengan hak asasi manusia, termasuk masyarakat secara umum. Begitu pula dengan sistem hukum pidana, reformasi KUHAP menjadi keharusan untuk membenahi struktur sistem hukum pidana dan juga mekanisme kontrol.
Berbagai kritik terus dialamatkan kepada negara Indonesia agar hukum penerapan cambuk dan rajam tersebut dicabut. Tapi hingga kini hal tersebut seolah tak digubris. Pelaksanaan otonomi daerah dan menjaga keutuhan NKRI lebih masih diutamakan ketimbang penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia. Dari catatan-catatan tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa demokrasi di Indonesia masih sebatas demokrasi prosedural, bukan demokrasi substansial. Baik itu demokrasi yang dipraktikkan oleh aparat negara maupun pemahaman oleh masyarakat secara umum. Selama praktik demokrasi prosedural ini belum meningkat menjadi demokrasi substansial, maka penyiksaan di Indonesia masih akan terus terjadi.
Bahan Bacaan: Greenberg, Karen J., The Torture Debate in America, Cambridge University Press, 2005 Lewis, James R, and Carl Skutsch, The human rights encyclopedia III, M.E. Sharpe, Inc, 2001 Rejali, Darius M., Torture and democracy, Princeton University Press, 2007 Ramraj, Victor, Emergencies And The Limits Of Legality, Cambridge University Press, 2008
Keterangan
1. 2. 3. 4. 5.
Tempo Interaktif, Komnas HAM: Penanganan Teroris Banyak Melanggar HAM, 10 Juni 2010, http://tempointeraktif.com http://beritamanado.com, Terdakwa Pembunuh Pendeta Mengaku Disiksa Polisi, Rabu, 24/02/2010 09:33 Metrotvnews.com, Dua Terdakwa Pembunuhan Wartawan Mengaku Disiksa Polisi, Sabtu, 21 November 2009 00:26 WIB http://www.hariansumutpos.com, Saksi Bela Terdakwa, Disiksa Supaya Mengaku, 25/05/2011 http://regional.kompas.com, Dua Tangan Kasman Dipaku Polisi, Ternyata Salah Tangkap , Selasa, 22 Desember 2009 | 11:09 WIB
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
11
nasional Penyiksaan di Atambua: Akankah TNI Introspeksi? Oleh Wahyu Wagiman (Deputi Pembelaan HAM untuk Keadilan ELSAM)
S
epanjang tahun 2011, kekerasan yang melibatkan anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) kembali menjadi sorotan. Setelah tersebarnya video penyiksaan terhadap rakyat sipil dan pemuka agama di Papua, kebrutalan di Kebumen, anggota TNI kembali lagi melakukan kekerasan di Fatubenao, Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kali ini korbannya seorang pemuda 24 tahun bernama Charles Mali.
lain disiksa dengan cara dipukul, ditendang dengan sepatu lars dan diadu fisik satu sama lainnya oleh sejumlah anggota TNI Yonif 744/SYB. Tindakan penyiksaan itu berlangsung kurang lebih empat jam. Sekitar pukul 10.00 Wita, Heri Mali (kakak Charles) menemukan adiknya Charles Mali meninggal dunia di Markas Tobir. Selain menewaskan Charles Mali, penyiksaan yang dilakukan anggota TNI juga telah mengakibatkan luka yang serius terhadap enam orang lainnya, yaitu Andreas Pires, Tobias Moy, Tomy, Kasus Atambua terjadi pada 5 Maret 2011. Osme, Wily, dan Heri Mali hingga harus menjalani Kasus ini bermula adanya kesalahpahaman antara perawatan di RS Atambua. Charles Mali dan Heri Mali, beserta kawan-kawannya Terkait dengan peristiwa penyiksaan, Kepala dengan anggota TNI. Pada sore harinya, tiba-tiba Badan Pembinaan Hukum TNI Angkatan Darat, sejumlah anggota TNI mendatangi rumah Mayjend S. Supriyatna, S.H, M.H, menyatakan TNI Raymundus Mali, ayah Charles dan Heri Mali. menyerahkan perkara ini kepada Denpom 1-IX Kepada Raymundus anggota TNI itu menanyakan Kupang untuk penyidikan. Berdasarkan penyidikan keberadaan Charles dkk. Namun hasilnya nihil. Gagal yang dilakukannya, Detasemen Polisi Militer menemukan Charles, keesokan harinya empat (Denpom) Kupang, menetapkan 23 orang anggota anggota TNI kembali mendatangi rumah Raymundus TNI menjadi tersangka dalam peristiwa ini. Proses Mali. Kedatangan kedua juga sama hasilnya: gagal penuntutan selanjutnya akan dilaksanakan di bertemu. Charles dkk diduga sudah bersembunyi Pengadilan Militer III-15 Kupang. karena merasa takut dicari-cari oleh tentara. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pada 7 Maret sekitar pukul 23.30 Wita delapan anggota TNI Yonif 744 kembali menggeledah rumah Raymundus Mali untuk ketiga kalinya. Namun Charles dan teman-temannya masih di persembunyian. Keesokan harinya, sekitar pukul 09.00 Wita, dua anggota TNI menjemput paksa kedua orang tua Charles Mali, Raymundus Mali dan Modesta Dau, untuk menjalani wajib lapor di Pos Batalyon Infanteri 744 Satya Yudha Bhakti di Tobir. Kedua orang tua tersebut seolah menjadi tawanan bagi Charles yang menjadi buruan tentara setempat.
website Pengadilan Militer III-15 Kupang, sampai dengan 8 Juni 2011, memang sudah ada empat berkas perkara atas nama anggota TNI yang berasal dari Kesatuan YONIF 744/SYB. Namun, belum diketahui apakah berkas perkara tersebut terkait dengan peristiwa penyiksaan Charles Mali dkk atau bukan.
Selain cepat melakukan penyidikan, TNI juga bergerak cepat dengan melakukan pergantian jabatan Komandan Batalyon Infanteri (Dan Yonif) 744/SYB dari Letkol (Inf) Asep Nurdin kepada Mayof Atas permintaan Yonif 744/Satya Yudha (Inf) Andree Saputro. Pergantian Komandan Batalyon Bhakti (SYB) di Tobir, Kecamatan Tasifeto Timur, Infanteri (Dan Yonif) 744/SYB ini dilakukan pada Modesta Mau, ibunda Charles dan Delvin Mali (kakak tanggal 10 Mei 2011. Charles), menyerahkan anaknya untuk dilakukan Peristiwa penyiksaan ini juga mendapat “pembinaan”. Namun, selama berada di Markas Tobir, perhatian dari Komnas HAM. Komisi juga telah Charles dan Heri Mali bersama rekan-rekannya yang melakukan pemantauan dan investigasi atas ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
12
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
nasional peristiwa tersebut. Dari hasil investigasinya, Komnas HAM menemukan indikasi pelanggaran hak asasi manusia serius dalam peristiwa ini, berupa penyiksaan dan pembunuhan. Sehingga, perlu dilakukan penyidikan dan penuntutan terhadap para pelakunya. Sementara untuk korban penyiksaan dan keluarga korban, perlu diberikan pendampingan selama menjalani pemeriksaan sebagai saksi, baik di Denpom maupun di Pengadilan Militer.
Ini yang seharusnya dilakukan TNI secara institusional. TNI harus melakukan reformasi kelembagaan, dan memberikan pengetahuan yang memadai mengenai hak asasi manusia kepada seluruh anggota TNI. Jika tidak dilakukan pembenahan besar-besar di internal, maka perbaikan watak supaya lebih humanis akan tinggal anganangan.
Dalam perlindungan dan pemenuhan hakhak saksi dan korban penyiksaan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga telah melakukan investigasi terkait permohonan perlindungan dan bantuan yang diajukan keluarga korban. LPSK sendiri telah memberikan perlindungan dan bantuan agar merasa aman dan nyaman selama mengikuti sidang di Pengadilan Militer Kupang. Pendampingan selama proses pemeriksaan pengadilan juga akan diberikan LPSK. Pendampingan dilakukan agar saksi dan korban percaya diri dalam memberikan keterangan di pengadilan militer dan bebas dari pertanyaanpertanyaan menjerat yang diajukan dalam persidangan
Bahan bacaan:
Selain perlindungan, LPSK juga memberikan bantuan, berupa bantuan medis dan psikososial terhadap saksi dan korban penyiksaan. Pemberian bantuan medis dan psikososial ini diberikan karena dampak yang ditimbulkan akibat penyiksaan ini sangat berat. Komisioner LPSK Penanggungjawab Bidang Bantuan, Kompensasi, dan Restitusi, Lili Pintauli Siregar S.H., menyatakan bahwa berdasarkan hasil pendalaman LPSK, saksi dan korban membutuhkan treatment khusus karena mengalami gangguan psikis.
Surat Direktur Eksekutif ELSAM No: 060 /DE/ELSAM/III/2011 kepada Panglima TNI perihal Pentingnya Penyelidikan dan Penghukuman Terhadap Pelaku Penyiksaan dan Pembunuhan terhadap Charles Mali; Surat Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI No. B/463/IV/2011 perihal Tindak Lanjut Penyelesaian Dugaan Kasus Tindak Pidana oleh Oknum Prajurit TNI; Komnas HAM agar Usut Kebrutalan TNI di Atambua; VHRmedia, 29 Maret 2011 - 18:38 WIB; Pengadilan Militer Kupang Segera Sidangkan 23 Tentara Penganiaya Warga, KBR68H, Tuesday, 05 April 2011 13:10; 23 Prajurit TNI Jadi Tersangka, 22 Mar 2011, Media Indonesia; Danyon 744/SYB Diganti, http://www.nttonlinenews.com/ntt; Kunjungan LPSK Ke Atambua Membawa Angin Segar Bagi Saksi Korban, http://suryainside.com/?mod=3&idb=712;
Perkara Masuk, http://www.dilmilPertanyaannya kemudian adalah, setelah kupang.go.id/perkara_masuk.php sekian banyak kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan anggota TNI, setelah Komnas HAM dan LPSK turut menangani kasus-kasus serupa, apakah peristiwa penyiksaan seperti ini masih akan terjadi di masa yang akan? Apakah TNI akan menghukum anggota-anggotanya yang melakukan kejahatan serius secara adil dan transparan? Apakah TNI dapat melakukan introspeksi dan pembinaan kepada seluruh anggotanya, serta memberikan pengetahuan mengenai pentingnya promosi dan perlindungan hak asasi manusia? Sehingga peristiwa-peristiwa serupa tidak terjadi di masa mendatang.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
13
internasional Berawal dari Revolusi Melati, Menanti Perubahan Politik Timur Tengah Oleh Ikhana Indah (Staf Program Divisi Advokasi Hukum ELSAM) “We want both: the freedom to work and the freedom to speak…” (Walid Malahi)
S
ejak awal 2011 ini dunia dikejutkan dengan gejolak politik yang terjadi di Timur Tengah. Gejolak politik tersebut tidak hanya terjadi di satu atau dua negara saja, tapi layaknya seperti sebuah permainan domino, satu kotak tumbang, kotak lain menyusul secara bergantian. Berawal dari Tunisia, kemudian gejolak politik pun menyebar ke negara-negara tetangga di Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti Mesir, Yaman, Libya, dan Aljazair. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa gejolak politik terjadi karena faktor kemiskinan, pengangguran, melonjaknya harga pangan, dan juga pemerintahan yang otoritarian. Tulisan ini mencoba mengulas dengan singkat mengenai gejolak politik Timur Tengah sejak awal Januari 2011 hingga saat ini. Gejolak Politik Tunisia Negara yang berpenduduk 10,59 juta jiwa ini dipimpin oleh rezim Presiden Zine al Abidine Ben Ali sejak 1987. Dia menggantikan pemimpin sebelumnya, Habib Bourguiba yang memerintah antara 1957-1987. Tingginya biaya hidup, rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat serta pemerintahan yang diktator, telah mendorong aksi demonstrasi oleh gerakan rakyat untuk menuntut turunnya Presiden Zine al Abidine Ben Ali. Muhammad Bouzizi sang pemicu munculnya aksi massa merupakan lelaki drop-out SMP karena tidak mampu membayar uang sekolah. Bouzizi kemudian bekerja di peternakan milik pamannya. Peternakan tersebut bangkrut karena pemerasan aparat. Dia memutuskan pindah ke Sidi Bouzid, Tunisia Tengah, untuk mengadu nasib. Di sana dia lantas beralih profesi menjadi pedagang kaki lima menjual buah dan sayur. Dia mendapatkan modal dengan cara berhutang. Ketika gerobaknya disita oleh polisi, Bouzizi merasa frustasi. Modalnya ludes, hutang makin besar. Pada 17 Desember 2010, dia lalu mendatangi Kantor Gubernur dengan maksud menanyakan nasib gerobaknya yang disita. Dia justru diusir oleh polisi. Frustasinya pun memuncak dan akhirnya mendorong lelaki sederhana itu membakar diri di depan kantor Gubernur. Informasi aksi bakar diri Bouzizi lantas menyebar ke seluruh wilayah Tunisia dan memantik keberanian rakyat Tunisia untuk mempersoalkan tingginya tingkat pengangguran (14%) dan maraknya korupsi yang dilakukan oleh para pejabat. Tuntutan adanya demokrasi dan sistem pemerintahan yang otoritarian ini merupakan gerakan rakyat yang tidak ditopang oleh partai atau tokoh dari ideologi tertentu ini, tergolong berhasil dengan jatuhnya Presiden Ben Ali setelah sekira 30 tahun berkuasa.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
14
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
Jika umumnya militer bertindak selaku penopang kekuasaan rezim, militer Tunisia justru memihak kepada rakyat. Satu alasan mengapa revolusi Tunisia tidak berlangsung berlarut-larut. Aksi demonstrasi massa yang berhasil menggulingkan rezim Ben Ali ini kemudian lebih dikenal dengan Revolusi Melati. Kini Tunisia dipimpin sementara oleh Foued Mebazaa yang sebelumnya merupakan Ketua Parlemen Tunisia. Dalam pidato pengangkatannya, Foued Mebazaa menyatakan bahwa pemilihan umum akan diadakan 60 hari sejak 14 Januari 2011. Gejolak Politik Mesir Negara yang berpenduduk sebanyak 84,5 juta jiwa ini merupakan negara terbesar kedua di jazirah Arab. Dipimpin oleh Hosni Mubarak sejak tahun 1981 setelah menggantikan pemimpin sebelumnya Anwar Sadat yang meninggal ditembak oleh kelompok Islam ekstremis yang memprotes tindakannya dalam membuat perdamaian dengan Israel di Camp David tahun 1979. Seperti Presiden Ben Ali di Tunisia, Hosni Mubarak memimpin Mesir selama 30 tahun. Mesir dianggap sebagai negara “mercu suar” di kalangan negara-negara Arab karena berhasil maju dalam hal perekonomian. Selama pemerintahannya, Hosni Mubarak membawa Mesir ke dalam perekonomian yang dianggap baik untuk wilayah Arab. Di lain sisi tingkat penganggurannya tinggi dan standar hidup masyarakat Mesir juga sangat rendah. Pemicu kerusuhan sama seperti yang terjadi di Tunisia, yaitu dipicu oleh pemerintahan yang korup, kemiskinan, kenaikan harga pangan, dan kekayaan para elite politik yang menimbulkan kecemburuan sosial, serta tingginya tingkat pengangguran, yaitu 9,7%. Pemerintah Mesir sendiri sebenarnya mensubsidi penuh pangan (roti), listrik, transportasi dan kesehatan. Dana subsidi tersebut berasal dari Amerika Serikat, sebagai sekutu kuatnya. Tetapi sebanyak 40% penduduk Mesir tergolong miskin, dengan pendapatan US$ 2/hari. Ini artinya walaupun Pemerintah mensubsidi secara penuh pangan (roti), listrik, transportasi maupun kesehatan, tetapi tingkat pengangguran masih cukup tinggi, dan jumlah penduduk miskin juga cukup tinggi di Mesir. Terinspirasi dari gerakan revolusi Melati di Tunisia, telah mendorong rakyat Mesir melakukan aksi demonstrasi menuntut turunnya Hosni Mubarak. Aksi demonstrasi yang berlangsung selama 18 hari ini berhasil menurunkan Hosni Mubarak, yang kemudian pemerintahan dipimpin sementara oleh Omar Suleiman, Wakil Presiden Mesir yang juga mantan pejabat intelijen. Aksi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh
monitoring sidang masyarakat tersebut didukung oleh angkatan bersenjatannya. Mesir sebagai sebuah negara yang berpengaruh di Timur Tengah sehingga apa yang akan terjadi pasca turunnya Husni Mubarak ke depan sangat dinantikan negara-negara tetangganya. Ada banyak kepentingan terkait dengan Mesir. Misalnya, Amerika yang menjadi sekutu Mesir di wilayah Arab. Pun demikian dengan Israel yang mengandalkan suplai gas alamnya dari Mesir. Mesir juga memiliki universitas sangat besar, Universitas Al Azhar, yang amat berpengaruh terhadap perkembangan para intelektual Islam dunia, termasuk Indonesia. Gejolak politik di Mesir ini juga mendorong kenaikan harga minyak dunia. Setelah tiga bulan paska tumbangnya Husni Mubarak, terdapat sejumlah perubahan. Misalnya, seperti yang disampaikan oleh Atase Pendidikan KBRI di Kairo. Dalam kaitannya dengan perguruan tinggi di Mesir, para pimpinan perguruan tinggi hingga ketua jurusan akan ditentukan melalui pemilihan langsung, tidak melalui penunjukan seperti selama ini. Selain itu pejabat korup yang terlibat dalam pemerintahan sebelumnya mulai disidangkan. Gejolak di Libya Libya merupakan negara yang berada di Afrika Utara, dan bertetanggaan langsung dengan Mesir. Negara ini memiliki populasi 6,64 juta jiwa, dan memiliki tingkat pengangguran sebesar 30%. Libya dipimpin oleh Kolonel Muammar al Khaddafi sejak 1969 setelah menggulingkan Raja Idris I dalam kudeta militer tidak berdarah. Khaddafi dikenal sebagai seorang diktator yang memimpin negaranya secara brutal. Selama pemerintahannya, Khaddafi mengangkat dirinya menjadi pemimpin. “Konstitusi” yang digunakan oleh Libya, disebut juga “buku hijau” merupakan gabungan antara sosialisme, kapitalisme dan Islam. Dia juga menjadikan rakyatnya sebagai “mata-mata” di berbagai sektor kehidupan. Dia mengembangkan sistem “jumhuriyah”, yaitu kekuasaan ada di tangan rakyat, tetapi implementasinya berada di tangan Khaddafi sendiri. Selama pemerintahannya, tidak ada kebebasan pers,dan sering terjadi penghilangan orang. Tingginya tingkat pengangguran ditambah dengan terinspirasi dari gerakan rakyat yang berhasil menuntut mundur pemimpin di Mesir dan Tunisia membuat rakyat di Libya berani untuk menuntut mundur Khaddafi. Tetapi di luar kepemimpinannya yang diktator, negara ini kaya minyak dan memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika. Perusahan-perusahaan minyak besar di berbagai belahan dunia, memiliki ijin untuk melakukan eksplorasi di sana. Dengan adanya konflik yang belum tuntas hingga sekarang, membuat perusahaanperusahaan asing mulai menarik pegawainya keluar dari Libya dan mulai menutup sumurnya. Hal yang membedakan antara konflik negara Timur Tengah dan Afrika Utara lainnya dengan Libya adalah respon pemimpinnya. Jika pemimpin Mesir dan Tunisia memilih mundur dari kepemimpinan, Khaddafi memilih menyerang balik para demonstran yang menuntutnya mundur. Cara yang dilakukan Khaddafi adalah melakukan aksi demonstrasi tandingan dengan demonstran bayaran guna mendukung pemerintahannya. Cara lainnya adalah mengepung para demonstran, setelah mereka menguasai wilayah-wilayah
di luar Tripoli dan Tripoli, dengan kelompok massa yang dipersenjatai oleh Khaddafi. Tindakan yang akhirnya dapat menyulut perang saudara. Hal inilah yang membuat Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1973, yang isinya larangan terbang di atas Libya. Karena dinilai melanggar resolusi, Libya diserang NATO dan negara sekutu (Amerika Inggris Perancis, Kanada) dengan alasan melindungi masyarakat sipil atas kekejaman pemerintahan Khaddafi. Serangan masih terus terjadi, antara pasukan loyalis Khaddafi dengan pasukan oposisi. Dan hingga saat ini Libya masih terus bergejolak. Konflik Suriah Suriah, sebuah negara di daerah Timur Tengah dan berbatasan dengan Turki, juga mengalami gejolak politik. Negara berpenduduk 22,20 juta jiwa dengan tingkat pengangguran sebesar 8,3% ini dipimpin oleh Presiden Bashar al-Assad yang berkuasa sejak tahun 2000, setelah menggantikan ayahnya Hafez al-Assad. Suriah juga terkena imbas dari Revolusi Melati di Tunisia. Aksi demonstrasi oleh aktivis prodemokrasi menuntut kebebasan politik dan diakhirinya korupsi. Sejak Partai Baath berkuasa pada 1963, dan berlakunya UU Darurat Militer, keberadaan partai oposisi dilarang. Tahanan politik cukup banyak karena adanya pembatasan terhadap kegiatan politik. Dan hal inilah yang mendorong aktivis prodemokrasi beserta rakyat Suriah melakukan aksi demontrasi tetapi dibalas dengan serangan brutal dari aparat keamanan. Menurut Tempo edisi 2-8 Mei 2011, menyebutkan, “Di Douma, tiga dokter Rumah Sakit Hamdan ditangkap aparat keamanan karena mengabaikan perintah aparat keamanan untuk menolak perawatan demonstran yang terluka dalam serangan pasukan.” Hingga saat tulisan ini dibuat, kondisi Suriah masih terus bergejolak. Jika dilihat dari beberapa negara di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara yang saat ini masih mengalami gejolak politik, terdapat beberapa persamaan dalam hal pemicu, yaitu: 1. Rezim otoriter Hampir semua negara yang sedang mengalami gejolak politik di Timur Tengah ini diperintah oleh rezim yang sangat lama berkuasa. Sebut saja Tunisia, rezim Presiden Ben Ali sudah berkuasa selama 24 tahun, Hosni Mubarok di Mesir sudah 30 tahun, dan Muammar Khaddafi Libya sudah 40 tahun. Hanya Bashar al-Assad yang berkuasa paling pendek: 11 tahun. Dari lamanya rezim berkuasa, mereka memimpin dengan otoriter, dan melarang adanya partai oposisi. Partai yang berkuasa memiliki “tangantangan” di seluruh sektor untuk melanggengkan kekuasaannya. 2. Tingginya tingkat pengangguran Tingginya jumlah usia angkatan kerja tapi minimnya jumlah pekerjaan, telah menciptakan tingginya jumlah pengangguran di negara-negara tersebut. Walaupun beberapa negara sudah maju dan memiliki sumberdaya yang sangat banyak. Misalnya Mesir dan Libya. Kedua negara kaya kandungan minyak, tetapi tingkat ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
15
monitoring sidang pengangguran masih tinggi. Hal ini yang mendorong generasi muda tidak puas atas kinerja pemerintahan yang sudah memerintah untuk melakukan aksi demonstrasi. Dan salah satunya menuntut kesejahteraan. Yang menarik adalah yang mendorong gerakan aksi demonstrasi ini adalah para muda di masing-masing negara tersebut, yang kesemuanya merupakan usia angkatan kerja. 3. Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia Tidak adanya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara ini terlihat dari apa yang menjadi tuntutan para demostran, yaitu kebebasan dan jaminan hak sipil dan hak politik, dan serta tuntutan terhadap pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Lihat Mesir, Suriah, dan Libya, di mana para aktivis prodemokrasi dibatasi ruang geraknya dan ditahan. Bagi warga yang dianggap membahayakan atau bertentangan dengan pemerintah, acamannya adalah dimasukkan tahanan, atau dihilangkan. Rakyat akhirnya takut untuk berbicara atau terlibat dalam gerakan-gerakan politik. Walaupun beberapa negara di atas kaya sumber minyak, tapi jika mereka tidak memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki untuk pemenuhan hak-hak warganegarannya, terutama hak ekonomi sosial dan budaya, maka dengan mudah dapat menimbulkan kemarahan dari warga negara itu sendiri. Coba lihat bagaimana seluruh konflik ini dipicu oleh Revolusi Melati di Tunisia. Berawal dari aksi bakar diri Bouzizi, karena perampasan aparat atas barang dagangannya. Dengan merampas serta melarang berjualan tanpa menawarkan alternatif lain, maka negara telah merampas haknya untuk memperoleh penghidupan. Di lain sisi tidak ada alternatif . 4. penyelesaian yang dianggap dapat berpihak kepada rakyat. Hal ini menunjukkan bahwa antara kewajiban untuk melindungi, menghormati dan memenuhi hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan antara satu hak dengan hak lainnya. Lihat saja bagaimana hak berekspresi dan bebas dari rasa takut, juga mempengaruhi hak atas pekerjaan, seperti yang dialami oleh Bouzizi.
yang otoriter dan dan korup, tanpa ada kebebasan bagi warganegaranya. Mereka menuntut adanya perbaikan. Tentunya ada perbedaan karakter. Keberhasilan di masing-masing negara juga berbeda. Tunisia dan Mesir termasuk berhasil menurunkan pemerintahan yang berkuasa, sedangkan Libya hingga saat ini masih terus bergejolak dan mengundang NATO untuk intervensi. Suriah pun juga demikian. Keberhasilan tersebut, sedikit banyak terkait dengan respon dari militer di masing-masing negara. Jika Tunisia dan Mesir, militer berbalik mendukung rakyat, tidak demikian dengan Libya dan Tunisia yang justru menyerang rakyatnya sendiri dan menjadi tameng rezim berkuasa. Hal lain yang menarik adalah gerakan para generasi muda ini sama-sama menuntut adanya reformasi bidang sosial dan ekonomi serta berakhirnya praktek korupsi, dan juga mereka dapat berpartisipasi dalam gerakan politik, dan dapat berekspresi tanpa rasa takut ditahan. Sebagian besar aksi demonstrasi tersebut tidak mengatasnamakan kelompok tertentu, atau partai tertentu, atau tokoh tertentu. Semua murni berasal dari gerakan rakyat yang dimotori oleh gerakan anak muda yang berharap ada perbaikan kondisi. Tetapi apapun kondisinya, rakyat di Timur Tengah dan Afrika Utara berupaya untuk keluar dari rezim otoritarian. Dan dunia menantikan hasilnya seperti apa. Akan kemana arah reformasi, dan siapa pemimpin selanjutnya. Ini yang juga penting mengingat mereka memiliki posisi yang strategis di dunia. Misalnya, dunia bergantung kepada mereka karena kaya minyak, yang hingga saat ini merupakan sumber energi utama dunia. Dan bagi Indonesia, kita menantikan arah pemerintahannya akan kemana, terkait dengan Indonesia memiliki 85,2% penduduk yang beragama Islam, dan Al Azhar sebagai rujukan dan perkembangan dari para intelektual Islam di Indonesia. Jadi, mari kita tunggu apa yang terjadi, sambil berharap mereka dapat menyelesaikan konflik dan keluar dari rezim oritarian. Apakah demokrasi yang terjadi dan perbaikan kondisi dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, ataukah pertumpahan darah yang berujung kepada perang saudara? Tentu jalan masih panjang……………
Sumber: 1. Amnesty International Report 2011-State of Human Rights 5. Tingginya korupsi yang dilakukan oleh aparat in the Middle East and North Africa January to mid April 2011 pemerintah 2. Tempo Majalah Edisi Mei dan Juni 2011
Pemerintah yang berkuasa di negara-negara tersebut dinilai telah melakukan korupsi. Rezim-rezim memerintah dengan sangat tertutup dan tidak memiliki pers yang bebas Keterangan: 1. Walid Malahi adalah demontrans di Tunisia, ia menderita patah kaki dan independen. Lihat saja bagaimana paska jatuhnya dan dipukuli polisi ketika beraksi. Berdasarkan Amnesty Hosni Mubarak dan Ben Ali, pemerintahan transisi masingInternational Report 2011-State of Human Rights in the Middle East masing negara mulai menelusuri kekayaan dari Hosni and North Africa January to mid April 2011 Mubarak dan keluarganya, serta berupaya membekukan 2 http://www.atdikcairo.org/info-pendidikan/aktual-mesir/503asset yang dimiliki, serta kemungkinan dibawa ke wajah-baru-perguruan-tinggi-pasca-revolusi.html pengadilan. 3. htt p : / / m a j a l a h .te m p o i nte ra k t i f. co m / i d /a rs i p / 2 0 1 1 / 0 3 /07/ITR/mbm.20110307.ITR136092.id.html
6. Tuntutan untuk bebas dari pemerintahan yang otoriter Semua aksi dari Negara-negara tersebut adalah warganegara masing-masing jenuh dengan pemerintahan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
16
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
monitoring sidang Menggugat Pasal Kriminalisasi UU Perkebunan ke Mahkamah Konstitusi Oleh Andi Muttaqien (Staf Program Divisi Advokasi Hukum ELSAM) Apakah dengan bergandengantangannya Negara dengan pemodal terjadi peruntukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? Ternyata berbuah sebaliknya, yaitu rakyat yang menderita hanya menerima tetesan kekayaan dari Negara dan pemodal, harus pula menanggung beban hutang yang ia sendiri tidak menikmatinya (Achmad Sodiki, 2001)
S
ejak disahkan pada 11 Agustus 2004 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan selalu saja memunculkan kontroversi dalam kehidupan masyarakat. Bahkan pada saat pengesahan RUU Perkebunan menjadi UU sempat terjadi kekisruhan di dalam Gedung DPR. Hingga 1 akhir 2010, PIL-Net mencatat terdapat 106 kasus kriminalisasi Petani yang diakibatkan ketentuan dalam UU Perkebunan dan berhadap-hadapan 2 dengan perusahaan.
menerima perlakukan yang sama dengan Japin dan Vitalis. Sakri sendiri menggarap lahan tersebut berdasarkan SK Menteri Agraria tanggal 26 Mei 4 1964. No. 49/KA/64, namun dirinya justru dilaporkan oleh PT. Kismo Handayani. Sakri pun telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Blitar juga dengan Pasal 21 Jo. Pasal 47 UU Perkebunan, pada 2009. Sakri sebenarnya cuma ingin menuntut kejelasan status lahan yang digarapnya dengan jalan mediasi, dialog, dan demonstrasi. Namun kenyataan berkata lain.
Terakhir adalah Ngatimin Alias Keling, petani dari Desa Pergulaan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Dia merupakan salah satu pemilik tanah yang diklaim dan masuk HGU PT. PP. London Sumatera (Lonsum) Tbk. Ngatimin bersama masyarakat lainnya telah seringkali berupaya untuk mendapatkan kembali hak atas tanahnya. Mereka telah didakwa dan divonis bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana ketentuan dalam Adalah Japin dan Vitalis Andi, dua petani Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan. Pada 20 Agustus 2010 keempat petani dari Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang tanahnya telah diserobot secara sepihak oleh tersebut mendaftarkan permohonan pengujian perusahaan swasta sebagai lahan perkebunan. Pasal 21 jo. Pasal 47 UU No. 18 tahun 2004 tentang Mereka bersama masyarakat lainnya telah Perkebunan terhadap UUD 1945 di Mahkamah berupaya untuk mencegah dan menghentikan Konstitusi. Para Pemohon melalui kuasa hukumnya, pengambilalihan tanahnya, namun tidak berhasil. Public Interest Lawyers Network (PIL-Net) meminta Bahkan kedua petani tersebut justru dijerat agar Mahkamah Konstitusi membatalkan ketentuan kriminalisasi seperti diatur dalam Pasal 21 UU Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan. Perkebunan. Keduanya telah diputus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Multitafsir, Membatasi Pengembangan Diri, dan pidana: “Turut serta dengan sengaja melakukan Hilangnya Rasa Aman tindakan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan”, dan dipidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun oleh Pengadilan Negeri 3 Ketapang. Namun Japin dan Vitalis tak tinggal diam. Keduanya kemudian mengajukan banding atas Putusan tersebut. Banyaknya kriminalisasi petani yang diakibatkan ketentuan dalam UU Perkebunan pada akhirnya memicu empat petani mengajukan Pengujian Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan (selanjutnya UU Perkebunan) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. Keempat petani ini merupakan korban akibat adanya ketentuan pasal 21 UU Perkebunan.
Selain itu Sakri, seorang petani dari Desa Soso Kecamatan Gandusari, Blitar, Jawa Timur, yang menggarap lahan tanah negara bekas hak erfpacht yang dikuasai PT. Kismo Handayani juga ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
17
monitoring sidang dasar, hak atas rasa aman serta bebas dari rasa takut. Karena dengan adanya Pasal tersebut, Para Pemohon senantiasa dihantui ketakutan dalam memperjuangkan kembali akan haknya. Persidangan yang berlangsung sejak 12 Oktober 2010 ini, pemohon telah menghadirkan 5 (lima) orang Ahli demi memperkuat argumentasi 5 permohonan. Pertama adalah Nurhasan Ismail, yang dalam keterangannya di MK menyatakan bahwa Pasal 21 UU Perkebunan jika dipahami dari perspektif orthodox jurisprudence memang ditujukan untuk melindungi usaha-usaha perkebunan yang telah memiliki izin dari Pemerintah. Dalam konteks inilah, yang selalu memandang dari sisi sahnya perizinan yang diberikan oleh Pemerintah, maka Pasal 21 UU Perkebunan berpotensi pertentangan.
Secara substansial, para pemohon menganggap bahwa secara keseluruhan UU Perkebunan ternyata membuka ruang yang luas bagi pelestarian eksploitasi pengusaha perkebunan terhadap lahan perkebunan dan rakyat, serta menciptakan ketergantungan rakyat terhadap pengusaha perkebunan. Selanjutnya dalam UU Perkebunan, ketentuan sanksi administrasi dan pidana yang dikenakan terhadap setiap orang yang melanggar kewajiban dan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU Perkebunan merupakan permasalahan tersendiri, karena muatan materi yang mengenai “larangan melakukan suatu perbuatan” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan dirumuskan secara samar-samar dan tidak jelas dan rinci. Hal tersebut telah terbukti memberikan peluang dan keleluasaan untuk disalahgunakan, sebagaiamana dalam kasus-kasus yang mendera para pemohon. Dalam permohonannya, pemohon menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 21 Jo. Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan tidak mencerminkan aturan yang jelas, mudah dipahami, dan dapat dilaksanakan secara adil (fair). Rumusan delik pemidanaan dalam pasal-pasal tersebut sangat berpotensi disalahgunakan secara sewenang-wenang oleh penguasa. Hal ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum dan merupakan bentuk pelanggaran atas negara hukum (the rule of law) dimana hukum harus jelas, mudah dipahami, dan dapat menegakan keadilan. Pasal tersebut juga telah membatasi hak-hak konstitusional warga negara dalam mengembangkan diri demi memenuhi kebutuhan ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
18
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
Pasal 21 UU Perkebunan juga dinilai 6 bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945, karena masyarakat hukum adat juga berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Kalau mereka kemudian ketika memasuki suatu areal perkebunan yang sudah memiliki izin dan mereka ditangkap karena melanggar, berarti hilanglah akses mereka untuk memperoleh sesuatu dari areal yang dahulu merupakan sumber kehidupannya. Hal 7 ini bertentangan dengan Pasal 28C UUD 1945. 8
Sementara itu, Eddy Hiariej, menyatakan bahwa berkaitan dengan prinsip lex certa, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan memang terdapat ketidakjelasan dan membuat kabur, dalam hal ini pembentuk undangundang gagal memformulasikan rumusan delik, karena jika dipilah unsur-unsur Pasal 21, tidak tertulis bentuk kesalahannya (schuldvorm), apakah kesengajaan atau kealpaan, jadi harus diartikan sebagai kesengajaan. Kemudian ternyata pada Pasal 47 yang seharusnya hanya berisi sanksi dari yang diatur Pasal 21 tiba-tiba menambahkan unsur, dalam hal inilah pembentuk undang-undang gagal menformulasikan rumusan delik. Lebih celaka lagi pada Pasal 47 ayat (2) mengatakan “Barang siapa karena kelalaiannya”. Jadi secara kasat mata, berdasarkan doktrin hukum pidana terlihat jelas ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) membuat kabur ketentuan Pasal 21, hal ini bertentangan dengan prinsip negara hukum dan melanggar prinsip kepastian hukum, karena tidak memenuhi prinsip lex certa. 9
I Nyoman Nurjaya juga memberikan keterangannya sebagai Ahli dalam PUU Perkebunan ini. Dia menyatakan bahwa kewajiban hukum yang disertai dengan sanksi hukum diatur di dalam UU Perkebunan, tepatnya terhadap orang
monitoring sidang yang melakukan perbuatan yang menghambat, merintangi usaha perkebunan (Pasal 21). Namun bagi pelaku usaha yang tidak melakukan musyawarah–sebagaimana diperintahkan Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan—tidak diatur sanksinya. Ini merupakan diskriminasi dalam perlakuan hukum dan potensial menimbulkan konflik, dan itu terjadi di mana-mana. Norma hukum seperti ini mencerminkan tipe hukum yang represif. Hukum negara yang menekan rakyat, mengedepankan kekuasaan, memposisikan rakyat sebagai subordinasi atau inferior, pendekatan sekuriti, kriminalisasi, dan viktimisasi. Menyengsarakan bukan sebaliknya, menyejahterakan. Selanjutnya, Pemohon menghadirkan Dr. Suhariningsih, seorang ahli hukum Agraria dari Universitas Brawijaya, Malang. Ahli hukum lainnya dari Universitas Tanjung Pura, Kalimantan Barat, Dr. Hermansyah, berpendapat bahwa tentang maraknya masyarakat lokal melakukan pembakaran lahan, menyita alat berat (traktor) milik perusahaan, atau membakar base camp merupakan dan bermula dari adanya konflik hak antara para pihak (yakni dengan perusahaan), yang merupakan konflik antar sistem hukum yang berbeda, dalam hal ini sistem hukum negara dan sistem hukum masyarakat adat. Oleh karenanya penyelesaian konflik atas hak yang bersumber dari sistem hukum yang berbeda tidak mungkin diselesaikan melalui jalur dan instrumen hukum pidana, yaitu seperti Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan. Lebih jauh Hermansyah berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perusahaan bukan perbuatan yang tercela 10 secara hakiki (mala in se), mereka sebenarnya hanya mempertahankan haknya yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dari enam kali persidangan yang telah berlangsung, DPR tidak pernah sekalipun datang pada persidangan, sedangkan Pemerintah selalu rajin dan tetap “ngotot” mempertahankan keberadaan Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan, mereka telah menghadirkan beberapa ahli, dan bahkan seorang saksi dalam persidangan. Pada proses persidangan ini pun terdapat pihak terkait yang mendukung agar Pasal 21 jo. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan dibatalkan, yaitu Sawit Watch dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 21 jo. Pasal 47 UU Perkebunan dan menyatakannya bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 C ayat (1), Pasal 28 D ayat (1), dan Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sebagaimana permohonan para pemohon.
Keterangan
Public Interest Lawyer Network merupakan jaringan pengacara yang terbentuk dalam rangka menangani kasuskasus publik. Saat ini PIL-Net menjadi Kuasa Hukum Para Pemohon dalam perkara nomor 55/PUU-VIII/2010 Pengujian UU Perkebunan di Mahkamah Konstitusi. 2. Pernyataan Pers, Public Interest Lawyer Network (PIL-Net), Menggugat Pasal Kriminalisasi UU No. 18/2004 Tentang Perkebunan, Jakarta 12 Oktober 2010 3. Putusan perkara pidana nomor 151/Pid.B/2010/PN.KTP, tertanggal 28 Februari 2011 4. Surat Keputusan ini menyatakan bahwa perkebunan Nyunyur harus meredistribusikan tanah seluas 100 Ha kepada masyarakat yang pernah menduduki dan menggarap. 5. Guru Besar/Profesor Politik Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada, dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemohon pada Selasa, 22 Februari 2011. 6. Pasal 28A UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” 7. Pasal 28C ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” 8. Guru Besar/Profesor Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemohon pada Selasa, 22 Februari 2011. 9. Guru Besar/Profesor Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, dalam keterangannya sebagai Ahli dari Pemohon pada Selasa, 10 Mei 2011. 10. Dalam hukum pidana, dikenal adanya istilah Mala in Se dan Mala in Prohibita. Mala In Se adalah sebuah istilah yang mengacu kepada perbuatan yang secara substantif memang bertentangan dan dirasakan bertentangan dengan nilai-nilai, norma, budaya bahkan keyakinan agama yang ada dan hidup dalam semua golongan masyarakat, contohnya: Pembunuhan dan Perkosaan. Hukum pidana pada prinsipnya tidak menemui kesulitan ketika perbuatan tersebut ingin dikriminaliasi oleh negara sebagai bentuk perbuatan pidana, karena perbuatan ini memang dalam realitasnya tidak dikehendaki oleh masyarakat. Sedangkan Mala in Prohibita adalah penetapan perbuatan pidana dimana dasar kepentingan negara untuk mengatur bagaimana warganegaranya harus berperilaku dengan menetapkannya melalui sarana hukum pidana. Dan dalam konteks inilah berbagai macam pertimbangan seperti ekonomi, politik, dan lain sebagainya masuk dalam hukum pidana. (Lihat: Keterangan Tertulis Dr. Hermansyah, Berkenaan Dengan PUU Perkebunan, hal. 10)
1.
Mahkamah Konstitusi telah memberikan batas akhir, yaitu 7 Juni 2011 bagi Para Pihak (Para Pemohon, Pihak Terkait, dan Pemerintah) untuk menyampaikan kesimpulan dari persidangan selama ini. Semoga saja pada sidang berikutnya ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
19
laporan kegiatan Menyelesaikan Pelanggaran Masa Lalu: Membangun Indonesia Lebih Bermartabat Oleh Triana Dyah (Pustakawan ELSAM) Mungkin kita tidak merubah sejarah masa lalu namun bisa merubah masa depan (Nia Syarifuddin – Direktur ANBTI)
P
ersoalan masa lalu yang menjadi tanggung jawab negara untuk menyelesaikannya, ditengarai merupakan akar dari persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Sampai saat ini negara belum mampu melaksanakan kewajiban atas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Yang terjadi adalah kemandekan. Betapa tidak, berbagai mekanisme yang dibentuk belum dapat menyelesaikan tanggungjawabnya. Pengadilan yang digelar, hasinya jauh dari rasa keadilan bagi korban, bahkan terkesan sebagai ”window dressing” negara, karenanya sulit untuk meyakini bahwa berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi sudah menjadi bagian masa lalu bangsa ini. Dampak dari tidak diselesaikannya pelanggaran HAM berat masa lalu bisa kita rasakan hingga sekarang. Pelbagai bentuk reproduksi kekerasan terus saja terjadi. Sekelompok orang mengatasnamakan agama menyerang kelompok lain. Peristiwa serupa berulang di berbagai tempat, yang ternyata bukan hanya mempersoalkan tentang masalah agama semata tetapi lebih jauh juga ”menyerang” nilai yang dianggap berbeda dari kelompok tersebut. Sasaran kekerasan ini di antaranya kelompok minoritas, dan juga para korban yang menerima stigmatisasi dan diskriminasi secara sosial. Negara tidak berdaya dalam melindungi ancaman atas rasa aman warga negara dalam melaksanakan kehidupannya.
pengalaman ELSAM dalam mengupayakan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Direktur Eksekutif ELSAM ini menguraikan bahwa penyelesaian ini penting dilakukan agar kejadian yang menimpa orang tua, saudara, kerabat, tidak terjadi pada generasi selanjutnya. Sepanjang satu dekade lebih, ELSAM melihat tidak ada yang terlalu menggembirakan. Tercatat pada periode 1999 – 2004 menjadi tahap yang menjanjikan dan antusiasme yang menunjukkan komitmen yang baik dengan adanya pengadilan HAM dan jaminan legal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Hal ini tidak terlepas dari figur negarawan seperti Gus Dur yang menjabat sebagai presiden di awal-awal reformasi. Periode ini menjadi fase yang positif terhadap penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, meskipun kemudian terjadi titik balik ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU KKR. Setelah itu terjadi rentetan menurunnya komitmen politik penyelesaian kejahatan masa lalu padahal di saat reformasi menjadi prioritas. Meminjam istilah yang digunakan Daniel Dhakidae, telah terjadi pengusangan (obsolete) pada peristiwa masa lalu. Sekarang semakin sedikit ruang untuk masyarakat sipil untuk menyuarakan kebenaran, namun ada bentuk perlawanan dari mereka tanpa perlu justifikasi negara. Sejak tahun 2007 banyak sekali narasi dari kelompok korban untuk meminta ruang di publik untuk mendekatkan persoalannya. ELSAM mencoba mengambil inisiatif dengan mengadakan survei terbatas1 untuk mengetahui komitmen politik Negara. Dari survey tersebut ELSAM mendapatkan gambaran bahwa Negara tidak bisa lagi menolak untuk membuka lagi ingatan masa lalu. Bahwa kebenaran itu harus diungkapkan, diakui secara bersama, dan keberadaan korban harus diakui.
Hal tersebut disampaikan oleh Indriaswati Dyah Saptaningrum, dalam sambutan pembukaan diskusi publik yang diadakan ELSAM pada 12 April 2011 di Jakarta. Diskusi diadakan untuk membahas pelbagai upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dan hubungannya dengan konteks kebangsaan saat ini. Selain itu hasil diskusi juga diharapkan menjadi bahan untuk merumuskan Apa yang dinyatakan oleh Indriaswati diamini kembali gagasan penyelesaian pelanggaran HAM oleh Nia Sjarifuddin, Direktur Aliansi Nasional masa lalu. Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). Menurutnya, Dalam sambutan yang berupa refleksi persoalan masa lalu tidak pernah mencapai titik final, ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
20
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
laporan kegiatan hal ini tidak lepas dari kegelapan sejarah dengan melihat apa yang terjadi di masa lalu. Formulasi untuk melakukan rekonsiliasi pernah diterapkan, misalnya, ketika era reformasi muncul Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang merupakan anak–anak dari para pihak yang terlibat dalam gejolak masa lalu yang berseberangan ideologi.
1999 dimasukkan dalam Konstitusi. Pada saat itu juga ditetapkan TAP MPR No. 5 Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional yang pada intinya menekankan pentingnya pembentukan KKR. Kontribusi LSM dan kalangan intelektual dalam hal ini sangat besar, sayangnya situasi reformasi yang menjadi momentum yang besar ternyata berjalan lambat sehingga UU KKR baru diselesaikan pada tahun 2004. Belum sempat dilaksanakan namun sudah digugat. MK tidak hanya menyetujui menghapus pasal yang diuji-materikan, tetapi melampauinya dengan membatalkan keseluruhan UU No. 27 tahun 2004 tersebut. Akibatnya Indonesia kehilangan instrumen untuk menyelesaikan persoalan masa lalu terutama terkait dengan pelanggaran HAM. Sekarang kita sedang mengalami kevakuman, dan inilah yang dituding sebagai akar masalah yang kemudian muncul lagi ke permukaan.
Gus Dur sendiri selaku Ketua PBNU saat mencalonkan diri sebagai Presiden, secara gamblang menyatakan permintaan maaf atas segala keterlibatan NU dalam tragedi 1965. Menurut Gus Dur, NU saat itu terpaksa harus terlibat. Masih dalam rangka rekonsiliasi, dengan keterbatasan fisik, dia berkunjung ke Papua, mengembalikan apa yang diinginkan Papua supaya bersatu ke Indonesia. Untuk Aceh, Gus Dur mengirim Mensesneg, Bondan Gunawan, untuk mengunjungi Panglima GAM. Namun upaya rekonsiliasi seperti ini alih-alih diteruskan, presiden berikutnya justru menggunakan Hajriyanto yang juga Wakil Ketua MPR RI periode pendekatan lain. 2009-2014 ini menyatakan kita sebagai bangsa Menyambung pemaparan pembicara diskusi mempunyai memori yang pendek. Pada saat sebelumnya, KH. Solahuddin Wahid mengingatkan reformasi mempunyai semangat yang tinggi, makin bahwa pelanggaran yang terjadi pada masa kini ke masa kini besi yang panas mendingin dan merupakan lanjutan dari pelanggaran masa lalu. mengeras. Persoalan masa lalu bukan yang hal Pengurus Pesantren Tebu Ireng ini bercerita mudah namun membutuhkan instrumen yang mengenai tindakan anarkisme sebagian kelompok tangguh yang dibutuhkan kemauan politik untuk warga dengan mengatasnamakan keyakinan yang melakukan itu semua. dominan. Di Sampang, Madura, misalnya, Ketika kita memasuki masa transisi persoalan terkait sekelompok massa mengusir Jamaah Syiah dan dengan pelanggaran masa lalu mengalami situasi memberi pilihan pergi meninggalkan desanya atau dan kondisi yang berat tidak hanya peraturan yang masuk ke Ahlussunah. Pada tahun 2005, terjadi kuat namun kemauan politik. Banyak sekali pilihan penyerangan terhadap Ahmadiyah namun sampai pada saat itu, yakni: sekarang tidak ada yang diadili. Saat ini terjadi hal =Tidak melupakan dan tidak memaafkan yang sama di Cikeusik, Temanggung dan Bogor, =Tidak melupakan tetapi memaafkan cuma kali ini ada proses pengadilan. Menurutnya, Pemerintah Daerah tidak memahami akar persoalan =Melupakan tetapi tidak memaafkan, atau =Melupakan dan memaafkan seperti ini. Berdasarkan pengalaman kyai yang akrab dipanggil Gus Sholah ini, selain secara hukum rekonsiliasi juga dilakukan secara budaya dan jangan dicampur dengan persoalan politik.
Instrumen KKR masih tetap diperlukan, karena itu untuk menghidupkannya kembali UU KKR ini masuk ke dalam Prolegnas 2010-2014. Peran masyarakat sipil sangat penting dalam menggolkan UU ini.
Posisi Pemerintah
Keterangan
Sementara itu menurut narasumber ketiga, Drs. Hajriyanto Y. Thohari, M.A., yang pernah terlibat dalam Pansus RUU KKR memaparkan posisi pemerintah mengenai persoalan masa lalu. Menurutnya, terkait dengan penyelesaian masa lalu era Habibi merupakan era yang luar biasa. Pasal 28 ayat (a) sampai (j) yang berkaitan dengan HAM yang semula merupakan Ketetapan MPR No. 17 tahun
1.
Hasil survey bisa dibaca pada tabel di halaman 9 Buletin Asasi edisi Maret-April 2011.
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
21
resensi Biografi Dua Tokoh Gerakan Oleh Widiyanto (Redaktur Pelaksana ASASI)
S
etiap orang memiliki cerita hidup sendiri. Kadang suka, kadang duka. Adakalanya sedih, tawa atau gembira. Demikian memang perjalanan hidup manusia. Namun di antara semua orang, hanya beberapa saja yang mampu mengukir sejarah semasa hidupnya. Sejarah tidak sekadar pengalaman yang bersifat personal, namun lebih luas dari itu. Prestasi sejarah di sini diartikan sebagai sumbangsih pemikiran, gagasan, dan positioning sikap. Perjalanan hidup seseorang yang memiliki dimensi publik, memiliki catatan atau pengalaman yang bertautan dengan hiruk-pikuk dinamika sosial-politik, tentu saja akan lebih bergema ketimbang dongengdongeng yang meninabobokkan kita. Seseorang yang memiliki riwayat hidup demikian, sebut saja dia seorang tokoh. Barangkali ada benarnya bahwa bagi seorang tokoh, kematian kadang membuat perjuangannya makin kencang bergema ketimbang semasa hidup. Para tokoh tersebut acapkali digambarkan sebagai pemeran antagonis dalam lakon sejarah buatan penguasa. Mereka dicap sebagai 'pembangkang', 'provokator' atau 'musuh negara'. Peran mereka dimarjinalkan, bahkan acapkali tak disinggung sama sekali dalam babakan sejarah resmi. Padahal mereka memiliki peran penting dalam mendorong laju demokratisasi dan gerakan sosial di negara ini. Perjalanan hidup almarhum Asmara Nababan dan Fauzi Abdullah bisa merepresentasikan gambaran tokoh gerakan di negeri ini. Buku Asmara Nababan: Oase menceritakan bagaimana Bagi Setiap Kegelisahan mantan sekretaris jenderal Komnas Hak Asasi Manusia memulai aktivisme politiknya sejak muda di Kota Medan. Asmara—biasa dipanggil Bang As—makin menemukan artikulasi gerakan politiknya ketika bersentuhan dengan kawan-kawan sekampus, di Universitas Indonesia, pada akhir 1960an. Ketika gerakan mahasiswa mengalami friksi internal, antara memilih berjuang lewat dalam atau luar kekuasaan, Bang As bersama para aktivis lain seperti Adnan Buyung Nasution, Mochtar Lubis, Marsilam Simanjuntak menetapkan sikapnya dengan memilih yang kedua. Sementara mantan aktivis mahasiswa lainnya seperti Akbar Tandjung dan Cosmas Batubara memilih pertama. Sebagai 'konsekuensi' perlawanan terhadap rezim, beberapa kawan diskusi Bang As akhirnya menjadi tahanan politik, mendekam di penjara. Beruntung Bang As berhasil diselamatkan saat menghindari kejaran aparat (halaman 42). Perlawanan seakan menjadi nadi kehidupan lelaki kelahiran Siborong-borong, Sumatera Utara pada 1946 itu. Dia tak pernah takut pada rezim Orde Baru yang sangat represif. Tatkala Soeharto mulai sibuk dengan pelbagai proyek mercusuarnya, Bang As selalu berada di posisi yang berseberangan. Dalam proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indonesia (TMII), misal, dia menentang keras pembangunan miniatur Indonesia a la
ANALISIS DOKUMENTASI HAK ASASI MANUSIA
22
ASASI EDISI MEI- JUNI 2011
Orde Baru itu. Menurut Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM sekarang, dan diamini sejumlah koleganya, hingga akhir hayat, Bang As tak pernah mau sekalipun melewati jalan Taman Mini. Sebuah sikap yang membuat orang terkenang akan konsistensi seorang Bang As. Di buku ini juga dituliskan sikap Bang As dalam banyak kasus seperti pengungkapan kejahatan militer di Aceh semasa Darurat Operasi Militer (DOM), kerusuhan Dilli, jajak pendapat Timor-Timur, Tanjung Priok, kerusuhan Mei 1998, dan lain sebagainya. Buku tentang Asmara Nababan ini terdiri lima bagian: Testimoni di Malam Duka, Biografi Asmara Nababan, Foto Kenangan, Kenangan Istri dan Para Sahabat, serta Sumbangan Pemikiran. Buku ini dieditori oleh Stanley dan Maria Hartiningsih. Biografi Bang As ditulis panjang sekali oleh J. Anto, direktur eksekutif Kippas, Medan. Sementara sahabat Bang As yang menggoreskan pengalamannya antara lain Zoemrotin KS, Marzuki Darusman, HS Dillon, Albert Hasibuan, Soetandyo Wignjosoebroto, Lery Mboeik, Ade Sitompoel, hingga Stanley. ***
Almarhum Fauzi Abdullah atau dikenal Bang Oji barangkali tak seterkenal Bang As. Landscape aktivisme Bang Oji memang tak seluas Bang As. Almarhum Bang Oji sepanjang hayat berkutat pada sebuah isu: gerakan buruh. Gerakan ini memiliki tantangan berlapis-lapis. Tak cuma melawan negara yang otoriter, pemutarbalikan fakta sejarah, gerakan buruh juga dihadapkan pada kuasa modal yang menindas. Belum lagi friksi pada gerakan buruh yang nyaris tak pernah tuntas. Itu sebabnya sejak Orde Baru berkuasa hingga sekarang belum ada monumentasi keberhasilan gerakan buruh. Bang Oji menghabiskan hampir seluruh hidupnya pada gerakan buruh ini. Buku Wan Oji Sudah Pindah Rumah merupakan potret pengalaman sahabatsahabatnya. Buku ini disunting oleh Nurhady Sirimorok dan Puthut EA diterbitkan oleh Remdec. Buku terdiri empat bagian ditambah sebuah epilog yang ditulis oleh Roem Toepatimasang. Dari buku Bang Oji kita bisa menemukan ciri khas pemikirannya mengenai gerakan buruh. Bagi lelaki
resensi campuran Betawi-Arab ini, gerakan buruh harus bersikap independen, cerdas, dan berjaringan luas. Bang Oji tidak menolak aksi massa, namun dengan catatan buruh harus terlibat dalam perencanaan dan siap pula menanggung resikonya, seperti di-PHK. Tidak terburu-buru dalam melakukan aksi, tidak reaktif, berpikir jangka panjang, seakan mencari tipikal pemikirannya dalam gerakan buruh. Pemikiran Bang Oji ini dianggap oleh sebagian kalangan memperlambat gerakan buruh. Alasan Bang Oji mengenai perencanaan yang matang sebelum melakukan aksi adalah pertimbangan kelangsungan hidup buruh bila memang mereka terkena resiko terburuk sekalipun. “Apakah kita juga siap membantu mereka jika terkena PHK? Kalau kita mudah saja mencari aman,” (halaman 19-20). Pemikiran Bang Oji lainnya menyangkut penolakannya terhadap gagasan peleburan serikat buruh dengan LSM. Pendiri Lembaga Informasi Perburuhan Sidane (LIPS) itu kuatir peleburan dua entitas tersebut justru dapat mempertajam konflik, dan yang akan mendominasi adalah orang-orang LSM karena mereka yang memegang dana. Fungsi LSM dalam gerakan perburuhan, menurut Bang Oji, adalah supporting system (halaman 27-28).
perencanaan—yang ketat terhadap penulisan. Meski banyak sahabat Bang Oji yang menulis, mulai dari Sylvia Tiwon, Vedy R. Hadiz, Daradjatun Kuntjarajakti, Saleh Abdullah, dkk, namun nyaris saya menemukan adanya cerita yang berulang dari masing-masing. Hanya saja pada bagian pembabakan dalam buku ini yang dapat membuat pembaca—setidaknya saya—agak sedikit bingung. Pada bagian kedua, yakni bab Masuk Sarang Demonstran, beberapa tulisan awal justru tidak heroik seperti judul babnya. Bukan pula testimoni bagaimana Bang Oji di sarang gerakan buruh, tapi justru banyak diisi dengan romantika semasa kuliah. Pada bagian ini yang sedikit mengganjal di buku Bang Oji. Ya, saya kira secara keseluruhan, melalui dua buku biografi ini kita bisa memahami bahwa konsistensi perjuangan bukanlah sebuah ketidakmungkinan. Kita bisa menemukannya melalui pribadi Bang As dan Bang Oji, kedua tokoh yang kebetulan memiliki ciri khas penampilan sama: sederhana, bersandal jepit, dan bersarung (Bang Oji). Profil Buku: 1.
Bang Oji memang bukan anti LSM. Vedi R. Hadiz dari Universitas Nasional Singapura yang menjadikan Bang Oji sebagai narasumber disertasinya tentang gerakan buruh mengatakan bahwa Bang Oji merupakan simpul yang mempertemukan buruh, aktivis, LSM, mahasiswa, ilmuwan, wartawan tanpa rasa rikuh sama sekali. Secara tidak langsung ia bertindak sebagai fasilitator dari berbagai simpul tersebut (halaman 68). Fahmi Panimbang, salah seorang aktivis LIPS, mencatat bahwa Bang Oji selalu mendorong aktivis gerakan buruh untuk lebih fokus pada persoalan jangka panjang. Untuk itu dibutuhkan dua komponen sebagai prasyarat. Pertama, struktur gerakan buruh yang meliputi institusionalisasi, dokumentasi pengalaman, dan pembangunan jaringan organisasi guna memperluas ruang aktualisasi politik gerakan. Kedua, komitmen, peran, dan kapasitas aktivis baik dalam hal teknis pengorganisasian maupun intelektual (halaman 82). *** Kedua buku biografi tokoh gerakan ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Buku tentang Bang As sangat kaya akan pengalaman almarhum dalam perjuangan demokratisasi dan hak asasi manusia. Buku yang diterbitkan oleh Demos ini juga disisipi empat artikel yang tak berkaitan langsung dengan historiografi perjalanan hidup Bang As. Sejatinya ia merupakan nilai tambah buku ini, namun ketidaksesuaiannya dengan tema buku, membuat kehadirannya dirasa agak mengganggu kenikmatan membaca biografi Bang As. Catatan lain dari buku Bang As adalah banyak tulisan memiliki irisan yang sama: satu peristiwa yang sama, pengalaman yang sama. Tentu saja ini menyebabkan pengulangan yang sesungguhnya dapat diperbaiki, kelak bila ia dicetak ulang. Sedang keunggulan buku tentang Bang Oji terletak pada disiplin editing—barangkali juga
Asmara Nababan; Oase Bagi Setiap Kegelisahan, Diterbitkan oleh Perkumpulan Demos didukung oleh Elsam, Hivos, Infid, Komnas HAM, KontraS. Editor: Stanley dan Maria Hartiningsih Jumlah halaman: 313 hal + xiv Tahun terbit: 2011
2.
Wan Oji Sudah Pindah Rumah Diterbitkan oleh REMDEC Penyunting: Nurhadi Sirimorok dan Puthut EA Jumlah halaman: 134 hal Tahun terbit: 2010
PROFIL ELSAM Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Institute for Policy Research and Advocacy), disingkat ELSAM, adalah organisasi advokasi kebijakan, berbentuk Perkumpulan, yang berdiri sejak Agustus 1993 di Jakarta. Tujuannya turut berpartisipasi dalam usaha menumbuhkembangkan, memajukan dan melindungi hak-hak sipil dan politik serta hak-hak asasi manusia pada umumnya – sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sejak awal, semangat perjuangan ELSAM adalah membangun tatanan politik demokratis di Indonesia melalui pemberdayaan masyarakat sipil lewat advokasi dan promosi hak asasi manusia (HAM). VISI Terciptanya masyarakat dan negara Indonesia yang demokratis, berkeadilan, dan menghormati hak asasi manusia. MISI Sebagai sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) yang memperjuangkan hak asasi manusia, baik hak sipilpolitik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya secara tak terpisahkan. KEGIATAN UTAMA: 1. Studi kebijakan dan hukum yang berdampak pada hak asasi manusia; 2. Advokasi hak asasi manusia dalam berbagai bentuknya; 3. Pendidikan dan pelatihan hak asasi manusia; dan 4. Penerbitan dan penyebaran informasi hak asasi manusia PROGRAM KERJA: 1. Meniadakan kekerasan atas HAM, termasuk kekerasan atas HAM yang terjadi di masa lalu dengan aktivitas dan kegiatan yang berkelanjutan bersama lembaga-lembaga seperjuangan lainnya. 2. Penguatan Perlindungan HAM dari Ancaman Fundamentalisme Pasar, Fundamentalisme Agama, dan Komunalisme dalam Berbagai Bentuknya. 3. Pembangunan Organisasi ELSAM melalui Pengembangan Kelembagaan, Penguatan Kapasitas dan Akuntabilitas Lembaga. STRUKTUR ORGANISASI: Badan Pengurus: Ketua : Sandra Moniaga, SH. Wakil Ketua : Ifdhal Kasim, SH. Sekretaris : Roichatul Aswidah, Msc. Bendahara I : Ir. Suraiya Kamaruzzaman, LLM Bendahara II : Abdul Haris Semendawai SH, LLM Anggota Perkumpulan: Abdul Hakim G. Nusantara, SH, LLM; Asmara Nababan; I Gusti Agung Putri Astrid Kartika, MA; Ir. Agustinus Rumansara, M.Sc.; Hadimulyo; Lies Marcoes, MA; Johni Simanjuntak, SH; Kamala Chandrakirana, MA; Maria Hartiningsih; E. Rini Pratsnawati; Ir. Yosep Adi Prasetyo; Francisia Saveria Sika Ery Seda, PhD; Raharja Waluya Jati; Sentot Setyasiswanto S.Sos; Tugiran S.Pd; Herlambang Perdana SH, MA Badan Pelaksana: Direktur Eksekutif : Indriaswati Dyah Saptaningrum, S.H. LLM; Deputi Direktur Pembelaan HAM untuk Keadilan , dan Plt Kepala Divisi Advokasi Hukum: Wahyu Wagiman, SH. Deputi Direktur Pengembangan sumber daya HAM ( PSDHAM), dan Plt Kepala Divisi Monitoring Kebijakan dan Pengembangan Jaringan: Zainal Abidin, SH. Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Kelembagaan: Otto Adi Yulianto, SE; Staf: Ahmad Muzani; Andi Muttaqien SH; Betty Yolanda, SH, L.LM; Elisabet Maria Sagala, SE; Elly F. Pangemanan; Ester Rini Pratsnawati; Ikhana Indah Barnasaputri, SH; Khumaedy; Kosim; Maria Ririhena, SE; Paijo; Rina Erayanti; Triana Dyah, SS; Siti Mariatul Qibtiyah; Sukadi; Wahyudi Djafar; Yohanna Kuncup Yanuar Prastiwi Alamat Jl. Siaga II No.31, Pejaten Barat, Pasar Minggu Jakarta Selatan, INDONESIA - 12510 Tel: +62 21 7972662, 79192564, Fax: +62 21 79192519 E-mail :
[email protected], Web page: www.elsam.or.id