PENYESUAIAN DIRI MANTAN ANAK DIDIK LEMBAGA PEMASYARAKATAN PALEMBANG KELAS IIA SAAT KEMBALI KE MASYARAKAT TAHUN 2012 Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni Dosen Politeknik Kesehatan Palembang ABSTRACT Children and teenagers ever inhabit jail due to problems with the law, when entering impunity experiencing extreme enough changes in psychosocial problems, and this requires them to adapt to make the adjustments themselves so as not to get stuck back into illegal issues. This study aims to identify the adjustment of the eximprisoned person of jail in Palembang, especially when they return to society. The study also describes for the life of the subject in jail, especially their problems that will affect their adjustment process when returning to the community. This study uses a qualitative approach, and type of case studies, researchers conducted indepth interviews and observations on the subject meets the criteria as informants with their own researchers as key instrumen. Analysis has done through analysis of intercases and intracases to the data obtained. The results showed that problems faced by imprisoned person when out of jail consists of four aspects. Firstly, financial aspects that include the lack of employment imprisoned person. This is a major problem for the individual when it set foot in the outside world, because for the jail, imprisoned person accustomed to spend his days with lots of activity followed, accompanied by the availability of adequate means of support. Secondly, aspects of stigma, which led to the emergence of negative feelings labeled by society and shame on themselves imprisoned person. Thirdly, identity crisis, which resulted in individuals feel not confident and not useful. Fourthly, relations, namely the emergence of strained relations with family members. Research focuses not only on the successful course, the role of the family should be increased, monitor of officers after imprisoned person, finished his sentence and the rehabilitation of the alcohol and drug users should be developed. Keywords: imprisoned person, children, adaptation, community PENDAHULUAN Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) atau penjara, merupakan tempat/kediaman bagi orangorang yang bermasalah dengan hukum. Orang-orang yang masuk ke Lapas ini memang orang-orang yang kurang beruntung, karena harus kehilangan kebebasan sekaligus dicap sebagai ‘sampah masyarakat’ oleh lingkungannya (Atmowiloto, 1996). Fungsi Lapas menjadi tempat untuk menghukum orang-orang yang melanggar hukum dan sebagai tempat pembinaan narapidana (institusi korektif). Diharapkan, setelah selesai menjalani hukuman, mereka dapat diterima kembali dalam masyarakat dan tidak, lagi melakukan tindak pidana (Nitibaskara, 2001) Lapas anak dihuni oleh narapidana anak yang kemudian akan disebut anak didik, berusia 8-18 tahun, yang berusia 18 tahun ke atas akan ditempatkan di Lapas dewasa. Meskipun Lapas Anak terdiri dari anakanak yang kemudian disebut dengan andik, namun mereka tetap saja pelaku tindak kejahatan. Selain itu, meskipun di Lapas Anak menerapkan
ISSN 0126-107X
metode pengasuhan dengan mengadakan berbagai macam kegiatan yang harus diikuti anak untuk mengisi waktunya seperti sekolah, olah raga, main band, kursus komputer, pojok curhat atau kegiatan kerohanian, namun mereka tetap saja berada di tempat yang dikelilingi tembok tinggi, yang membatasi ruang gerak dan privasi mereka, ditambah dengan fakta bahwa mereka berkumpul bersama orang-orang yang pernab berpengalaman dalam dunia kejahatan. Problematika yang dihadapi narapidana dan andik di dalam Lapas ini harus menjadi perhatian khusus bagi para petugas Lapas selaku Pembina agar fungsi Lapas sebagai tempat menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan yang bisa berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, dapat dipenuhi. Ketika dikemudian hari narapidana menyelesaikan masa hukumannya di Lapas dan kembali kemasyarakat diharapkan mereka bisa kembali menjadi anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Namun pada kenyataannya, untuk mewujudkan narapidana atau andik yang bisa berintegrasi secara sehat dengan masyarakat tidaklah mudah. Menurut penjelasan Kepala Lapas Anak Pria Palembang, banyak anak didik yang telah
1
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
diperbolehkan `pulang’ akhirnya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus diperbuat ketika mereka kembali kemasyarakat. “Ada beberapa anak yang mendatangi rumah Saya dan meminta pekerjaan kepada Saya” (komunikasi pribadi, September 2012). Di lain pihak, berdasarkan keterangan dari beberapa mantan narapidana anak (andik), diperoleh informasi bahwa ada beberapa anak yang telah dibebaskan, kembali menggeluti dunia kejahatan seperti yang mereka lakukan dulu. Hal ini banyak terjadi pada anak-anak pengguna dan pengedar narkoba. Karma mengalami kesulitan ekonomi dan merasa tidak diterima oleh masyarakat, akhirnya mereka kembali ke komunitas mereka yang dulu (komunikasi pribadi, Oktober, 2009). Ketika memasuki dunia bebas, di satu sisi mereka mendapatkan kembali kebebasan, namun di sisi lain mereka hares berhadapan dengan perubahan yang cukup ekstrim. Perubahan ini, menjadi situasi yang bisa menimbulkan stres bagi narapidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rice (1998) yang menyatakan bahwa, perubahan unit kehidupan seseorang merupakan salah satu faktor penyebab munculnya stres. Individu dituntut oleh lingkungannya untuk bisa mengatasi permasalahannya tersebut. Inilah yang disebut dengan penyesuaian diri, yang berarti usaha yang dilakukan individu untuk bisa memenuhi tuntutan dan tantangan dari lingkungan (Feldman, 1989). Individu yang berhasil melalukan proses penyesuaian diri, maka individu akan bisa berintegrasi kembali dengan masyarakat. Namun sebaliknya, ketika individu tidak berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungannya, maka hal ini bisa menyebabkan individu kembali lagi ke Lapas. Oleh karena itu, peneliti merasa tertarik untuk mengupas lebih lanjut mengenai proses penyesuaian diri yang dilakukan oleh narapidana ketika keluar dari Lapas dan kembali kemasyarakat, terutama penyesuaian diri yang dilakukan oleh anak didik. Peneliti memilih anak didik, karena melihat kekhasan yang dimiliki anak didik ini. Berbeda dengan orang dewasa yang telah memiliki kemandirian, seorang anak-meskipun telah memasuki masa remaja, tetaplah seseorang yang masih dalam tahap perkembangan yang butuh kasih sayang dan bimbingan orang tua sebelum akhiraya dia menemukan jati diri dan siap menjadi orang dewasa yang mandiri. Selain itu, andik-andik ini merupakan individu¬-individu yang sedang berada pada tahap perkembangan, dimana mereka sangat dipengaruhi oleh kelompok atau peer. Hal ini tentu saja akan menjadi aspek penting dalam proses penyesuaian diri mereka, yang tentu saja berbeda dengan narapidana dewasa. Alasan lain peneliti memilih andik adalah karena dari literatur yang 2
telah peneliti baca, peneliti belum menemukan penelitian atau studi mengenai proses penyesuaian diri anak didik Lapas. Peneliti menemukan beberapa penelitian mengenai penyesuaian diri narapidana namun tidak untuk penelitian mengenai anak didik. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang bertujuan untuk melihat proses yang dilalui oleh andik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya sekaligus juga menggali segala aspek yang mempengaruhi proses penyesuaian diri tersebut, khususnya kepada andik yang telah berhasil menyesuaikan diri atau berintegrasi dengan masyarakat. METODE PENELITIAN Desain, Lokasi dan Sampel Penelitian Penelitian mengenai penyesuaian diri anak didik yang kembali kemasyarakat ini bersifat kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pendekatan ini dipilih karena relevan untuk studi mengenai relasi sosial, mengacu pada fakta bahwa kehidupan merupakan sesuatu yang plural (Flick, 1998). Informasi yang bersifat kualitatif menyediakan deskripsi yang kaya dan alasan yang kuat untuk menjelaskan tingkah laku dan environmental processes pada setting lokal (Attig, & Boonchalaksi, 1989). Untuk wawancara, pada informan pertama dilaksanakan di kediaman informan, sedangkan untuk informan kedua dilaksanakan di tempat yang telah disepakati bersama. Sementara itu, proses pengumpulan informasi mengenai Lapas baik observasi atau komunikasi pribadi dengan petugas Lapas, pelaksana program (significant others) dilaksanakan di dalam Lapas. Informan adalah mantan anak didik Lapas Anak Pria Palembang, berusia 13-17 (SMP atau SMU) tahun serta mampu menyampaikan pengalamannya melalui bahasa verbal dengan baik. Pada penelitian ini, peneliti meminta kesediaan. 3 orang untuk menjadi informan penelitian, karena informasinya sudah mencapai saturasi. Bukan berarti peneliti tidak mempertimbangkan faktor kelengkapan dan ketersediaan data yang efektif, namun sebagai kompensasinya peneliti melengkapi data informan dengan melakukan wawancara dengan signifikan dengan other informan. Sehingga didapatkan data yang lebih lengkap dan kompleks. Analisis Data Setelah data yang diperoleh dari wawancara terkumpul, dilakukan analisis awal untuk memadatkan fakta-fakta. Dengan dernikian, tema-tema utama akan ditemukan. Kemudian, ISSN 0126-107X
Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni, Penyesuaian Diri Mantan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Palembang Kelas IIA Saat Kembali Ke Masyarakat Tahun 2012
dengan menggunakan teori, analisis terhadap data dilakukan secara mendalam. Menurut Poerwandari (2005), jika fokusnya kedalaman, maka sebaiknya dilakukan analisis kasus satu demi satu terlebih dahulu, kemudian dilakukan analisis antar kasus. Oleh karena itu, peneliti melakukan analisis intrakasus, yaitu analisis yang dilakukan terhadap hasil wawancara masing-masing responden. Setelah itu, dilakukan analisis interkasus, yaitu membandingkan hasil wawancara responden satu dengan responden lainnya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Selama kehidupan di dalam Lapas, R tidak menghadapi masalah berarti selama berada di lapas, bahkan dari segi akivitas R sangat menikmatinya. Banyaknya aktivitas membantu R untuk meminimalisir derita yang disebabkan oleh kehidupan yang sempit dan terbatas (loss of Liberty) selama di lapas. Keadaan lapas membuat R merasa Lapas bukan tempat yang mengancam, Ditambah dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai, membuat Rizky tidak melakukan pernah melakukan tindakan konfrontasi atau berusaha melarikan diri dari Lapas. Karakter individual R yang menyukai kegiatan yang terjadwal dan teratur membuat R tidak mempermasalahkan adanya peraturan dan rutinitas yang wajib diikutinya selama di Lapas. Menghadapi kondisi di Lapas la cenderung menggunakan earn-cars formal yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (campaigning). Selama di lapas R mengatakan bahwa pengalaman yang paling berkesan adalah keterlibatannya dalam pengajian. Mengenal pengalaman yang menyedihkan selama di lapas, ia merasa sangat menyesal atas perbuatannya, dan juga membayangkan bagaimana ia menghadapi kehidupan di luar lapas nanti. Hal yang mungkin menjadi permasalahannya selama di lapas adalah adanya petugas yang suka sewenang-wenang dan melakukan tindak kekerasan dan meminta uang kepada andik. Dari segi kegiatan, meskipun telah bayak kegiatan dan aktivitas, R menyarankankan agar kegiatan di lapas ditambah tagi dengan kegiatan kewirausahaan (seperti kursus montir), kegiatan pencarian jati diri, pendampingan ketika andik akan dan setelah bebas. la menambahkan, dalam pelaksanaan program atau kegiatan, seharusnya banyak melibatkan tenaga dan pikiran andik-andik tersebut, karena yang tahu kondisi andik adalah andik itu sendiri. Kegiatan-kegiatan ini, menurutnya, akan membuat andik lebih siap menghadapi dunia ISSN 0126-107X
luar, selain karena ia memiliki keterampilan yang bisa menghasilkan uang, andik juga akan merasa tenang, karena ia merasa bahwa ia tidak sendiri, ada orang-orang yang mau mendampingi dan siap membantunya. Penyesuaian diri Paska Lapas, dapat diketahui bahwa dalam menghadapi permasalahannya, R menggunakan strategi konfrontasi, distancing, escape, menerima tanggung jawab (accepting responsibility), positive reapraisal dan juga mencari dukungan sosial (problem-focused). Secara keseluruhan, penyesuaian diri yang dilakukan R cukup efektif. Meskipun ia mengaku tidak ada perubahan pada kondisi kesehatannya, namun untuk kondisi mentalnya saat ini, ia merasa lebih baik meskipun sebelunmya sempat mengalami stres paska Lapas. Dalam mengatasi permasalahannya, R menggunakan berbagai strategi mulai dari melarikan diri sampai melakukan perbuatan criminal lagi yaitu mencuri dan minumminuman alkohol. Namun, dari strategi-strategi yang digunakannya, menemukan dukungan sosial (fokus pada masalah) merupakan strategi yang paling efektif, karena melalui dukungan ini, la bisa menyelesaikan masalahnya. Dengan bantuan dari teman dan ibu ia bisa menemukan pekerjaan, mencukupi kebutuhan pokoknya, dan mendapatkan dukungan emosioanal dan kasih sayang. Sedangkan kehidupan I di Dalam. Lapas, digambarkan I tidak menghadapi masalah berarti selama berada di lapas, bahkan dari segi akivitas I termasuk salah seorang yang memiliki banyak aktivitas karena selain harus bertugas sebagai pemimpin teman-temannya, dia jugs bertugas untuk membantu pekerjaan petugas lapas. Meskipun demikian, hal ini tidak mengganggu jadwalnya untuk menyalurkan hobi, yaitu latihan band. Banyaknya aktivitas membantu I untuk meminimalisir derita yang disebabkan oleh kehidupan yang sempit dan terbatas (loss of Liberty) selama di lapas. Keadaan lapas yang berbeda jauh dengan Sekta, membuat I merasa Lapas bukan tempat yang mengancam, bahkan sebaliknya, pindah ke lapas berarti pindah ke tempat yang lebih baik. Ditambah dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai, membuat I tidak melakukan tindakan konfrontasi atau berusaha melarikan diri dari lapas. Karakter individual I yang menyukai keramaian membuat ia bisa dengan mudah berinteraksi dengan teman-temannya yang berjumlah 40 orang dalam 1 blok, sehingga ia bisa menikmati kebersamaannya dengan andik yang lain selama di Lapas. Meskipun I bukan tipikal orang yang menyukai peraturan yang ketat, namun ia bisa mengikuti segala peraturan yang ada di lapas dan ia juga bukan orang yang suka mencari masalah. Menghadapi kondisi di lapas ini, ia cenderung 3
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
menggunakan cara-cara formal yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (campaigning). Selama di lapas I mengatakan bahwa pengalaman yang paling berkesan adalah keterlibatannya dalam band andik. Mengenai pengalaman yang menyedihkan selama di lapas, bisa dibilang tidak ada kecuali saat ia mendapat berita kematian kakaknya. Hal yang mungkin menjadi permasalahannya selama di lapas adalah adanya petugas yang suka bertindak sewenang-wenang dan melakukan tindak kekerasan kepada andik juga meminta uang. Selain itu, I juga menghadapi masalah dari aspek dukungan dari keluarga. hubungan yang tidak erat antara I dan keluarga, akan menjadi satu kendala saat I bebas nanti. Selain masalah petugas, I juga menyoroti masalah kegiatan atau aktivitas. Meskipun la menyatakan bahwa di Lapas banyak aktivitas dan kegiatan, namun ia menyarankan agar kegiatan di lapas ditambah lagi dengan kegiatan pelatihan montir sebagai bekal bagi andik saat bebas nanti, karena menurutnya kegiatan yang telah ada belum cukup untuk mengakomodir kebutuhan andik, terutama untuk bekal atau persiapan menghadapi dunia luar nanti (pekerjaan). Secara keseluruhan, penyesuaian diri yang dilakukan I cukup efektif, karena dilihat dari kondisi kesehatannya, ia merasa lebih sehat dan kondisi mentalnya saat ini cenderung lebih baik meskipun sebelumnya sempat mengalami stres paska Lapas. Dalam mengatasi permasalahannya, I menggunakan berbagai strategi mulai dari melarikan diri sampai menggunakan obat-obatan kembali. Namun, dari strategi-strategi yang digunakannya, menemukan dukungan sosial (fokus pada masalah) merupakan strategi yang paling efektif, karena melalui dukungan ini, ia bisa menyelesaikan, masalahnya. Dengan bantuan teman dan pacarnya ia bisa menemukan pekerjaan, mencukupi kebutuhan pokoknya, dan mendapatkan dukungan emosional dan kasih sayang yang tidak bisa diberikan oleh keluarganya. Informan ketiga yaitu S selama di lapas tidak menghadapi masalah berarti selama berada di lapas, bahkan termasuk orang yang beruntung karena mendapatkan jaminan keamanan dari pihak petugas lapas Ditambah dengan fasilitas dan sarana pendukung yang memadai, membuat S tidak melakukan tindakan konfrontasi atau berusaha melarikan diri dari lapas. Karakter individual S yang menyukai keramaian membuat ia bisa dengan mudah berinteraksi dengan teman-temannya yang berjumlah 40 orang dalam 1 blok, sehingga ia bisa menikmati kebersamaannya dengan andik yang lain selama di Lapas. Meskipun S bisa mengikuti segala peraturan yang ada di lapas dan ia juga bukan orang yang suka mencari masalah. Menghadapi kondisi 4
di lapas, ia cenderung menggunakan cara-cara formal yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (campaigning). Dibalik kegiatan dan sarana prasarana yang lengkap, ada hal yang masih kurang dirasakan oleh para andik menurut S, yaitu aktivitas dan kegiatan tersebut hanya sebatas menyalurkan hobi dan menghilangkan stress para andik selama berada di lapas, dan ia menyarankan agar kegiatan di lapas ditambah lagi dengan kegiatan pelatihan yang lebih actual yang nantinya kelaur dari lapas para andik bisa siap pakai untuk bekerja dan mempunyai keahlian yang dapat di andalkan sebagai bekal bagi andik saat bebas nanti Selama di Lapas, S pernah berpikir untuk melarikan diri dari lingkungan sekitarnya dan memperturutan ketakutannya dengan menyendiri (distancing). Dari penjelasan di atas, untuk mengatasi permasalahannya, S lebih cenderung untuk menggunakan strategi distancing, escape dan dukungan sosial (problem-focused). Untuk kondisi kesehatan, saputra mengaku ia merasa lebih sehat ketika berada, di luar lapas. Untuk pemenuhan kebutuhan individunya dari segi rasa aman, ia mendatangi phak korban dan meminta maaf atas perlakuannya waktu itu. Untuk menyalurkan hobi, S sesekali ikut latihan band bersama temanteamanya, sambil menunggu keberangkatannya untuk melanjutkan DIII Pelayaran di Jakarta. PEMBAHASAN Ketika menjalani kehidupan Lapas, Andik tidak akan lepas dari permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh pemenjaraan. Dari delapan aspek yang menjadi permasalahan bagi narapidana, tidak semua aspek yang menjadi sorotan utama bagi R, I dan S. Berikut pennasalahan yang mengganggu dan menjadi sorotan bagi R, I dan S. Untuk kehidupan di lapas, R, I dan S sama masih junior karena masa tahanan mereka tidak lama tidak lebih dari satu tahun. Namun demikian kondisi yang mereka jalani tidak jauh berbeda. Saat di lapas, R, I dan S, masih dihadapkan dengan keberadaaan petugas lapas yang suka melakukan tindakan kekerasan dan semena-mena serta di minta uang. Alasan mereka sama, menurut mereka kelakuan petugas tersebut, dipicu oleh masalah petugas di rumah dan memang telah menjadi budaya petugas disana.. Selain itu, R dan I termasuk andik yang jarang dikunjungi oleh keluarga, sedangkan S sering dikunjungi keluarga dan pacarnya. Kekurangan jalinan suportif dan’ keluarga ini, ditutupi oleh keberadaan pacar dan teman-teman mereka. Hal lain yang menjadi permasalahan mereka adalah, banyaknya aktivitas dan kegiatan ISSN 0126-107X
Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni, Penyesuaian Diri Mantan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Palembang Kelas IIA Saat Kembali Ke Masyarakat Tahun 2012
di lapas tidak membuat mereka siap menghadapi dunia luar. Kegiatan yang mereka ikuti bukan merupakan kegiatan yang melatih pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga meskipun mereka mengikuti banyak aktivitas, mereka masih merupakan individu yang belum siap berada dimasyarakat. Meskipun dihadapkan dengan permasalahan di atas, hal itu tidak cukup untuk membuat mereka menjadi stres atau menimbulkan gangguan mental, karena adanya faktor-faktor yang membantu meminimalisir efek negatif dari permasalahan tersebut. Pertama, mereka bisa dengan leluasa mengikuti berbagai aktivitas, ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Hal ini membuat mereka bisa mengisi hariharinya dengan kegiatan yang menyenangkan dan menghindari mereka dari rasa bosan atau jenuh. Kedua, adanya irnpian untuk menjadi pemain band profesional dan akses kemudahan untuk menyalurkan hobi, juga membuat mereka mampu bertahan. Ketiga, dukungan dari pacar dan temanteman juga menjadi salah satu faktor utama yang membuat mereka bisa melewati kehidupan di lapas dengan baik. Hal yang berbeda adalah kepercayaan R terhadap Tuhan yang cukup baik membuat la yakin segala sesuatu adalah kehendaknya dan dia yakin Tuhan pasti akan selalu membantu hambaNya. Hal ini menjadi faktor penguat bagi R. Faktor ini belum begitu menonjol pada diri I, karena pemahaman I terhadap Tuhan masih minim. Namun demikian, I mempunyai kelebihan yang tidak dipunyai R, yaitu memiliki jabatan yang dihormati oleh teman-temannya. Hal ini membuat I merasa berharga dihadapan teman-temannya sekaligus petugas. Untuk tahap penyesuaian diri, baik R, I maupun S, mereka mengaku sempat merasa khawatir ketika akan dipindahkan ke Lapas. Namun, hal yang mereka takutkan temyata tidak terjadi. Bahkan mereka berdua lebih nyaman tinggal di Lapas dibandingkan dengan tempat hunian mereka sebelumnya Sekta. Mereka berdua sama-sama merasakan masa karantina dimana selama beberapa waktu mereka tidak diperbolehkan keluar dari kamar tahanan dan tidak diperkenankan melakukan aktivitas seperti sekolah, main band seperti andik yang lain. Setelah masa karantina mereka selanjutnya ditempatkan di blok yang sudah ditentukan (turun blok). Setelah turun blok, andik mengikuti rutinitas dan aktivitas sama seperti andik-andik yang lain. Di sini, baik R, I maupun S melewati tahap penyesuaian diri anticipatory stage dan training stage. Namun, untuk fase awal, baik mereka, ketika baru pertama kali masuk Lapas tidak merasakan stres yang tinggi. Ini terjadi karena mereka dipindahkan dari ISSN 0126-107X
Sekta Talang kelapa, dimana kondisinya jauh lebih buruk daripada Lapas. Pindahnya mereka ke Lapas, bukan lagi mereka anggap sebagai hukuman yang menyakitkan, malah sebaliknya, keberuntungan, karena pindah ke tempat yang lebih Baik. Untuk fase kedua, training, terjadi ketika mereka turun blok, mereka berkenalan dengan keadaan dan aktivitas di Lapas. R menyenangi suasasa yang tidak terlalu ramai, bloknya hanya dihuni oleh 5 orang. Sementara itu, I dan S memilih untuk berada di blok SMP yang dihuni oleh 40 orang andik. Setelah beberapa waktu, mereka mulai terbiasa dengan rutinitas yang ada, pengajian, latihan band, berkebun, bahkan I menjabat sebagai tamping (settling in). Mereka mengikuti aktivitas dan rutinitas yang ada sampai akhimya mereka dibebaskan Penyesuaian diri di lapas merupakan usaha yang dilakukan R, I dan S untuk menghadapi tuntutan atau permasalahan dari lingkungannya. Permasalahan ini, bisa muncul langsung dari tuntutan lingkungan, juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu mereka. Walau bagaimanapun, penyesuaian diri adalah sebuah proses yang melibatkan masa lalu, masa sekarang dan masa depan (Kilehlbauch, 1968; Steininger, 1959 dalam DeRosia, 1998). Sehat atau efektifnya proses penyesuaian diri individu, di lihat dari 3 kriteria yaitu segi kesehatan fisik dan mental, sejauh mana individu bisa memenuhi tuntutan lingkungan dan sejauh mana individu bisa mengharmoniskan antara kebutuhan dirinya dengan tuntutan lingkungan Kaplan & Stein (1984). Kesehatan fisik dilihat dari kondisi kesehatan individu ketika berada di Lapas dan ketika ia keluar lapas. R mengakui, tidak ada perubahan yang berarti dari kesehatannya, sementara I dan S mengatakan bahwa ia mengaku merasa lebih sehat saat bebas daripada ketika berada di Lapas, tapi ia merasa kondisi `sakit’-nya selama di lapas lebih dikarenakan adanya perasaan terkurung dan tidak bisa kemana-mana, namun ini tidak membuat ia menjadi sakit-sakitan yang tidak bisa melakukan apa-apa. Dari segi mental, bisa dilihat dari tingkat stres yang ditimbulkan karena kekhawatiran yang muncul antara di Lapas dengan di luar Lapas. Baik R ,I maupun S, sama-sama mengalami proses perubahan tingkat stres karena masalah. Menjelang bebas, mereka merasakan tingkat stres yang tinggi, dilanjutkan dengan masa awal bebas (yang juga menimbulkan stres yang tinggi). Setelah itu terdapat perubahan antara R, I dan S. Baik R maupun I akhimya bisa menerima dirinya dan berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Namun, dari segi waktu, R membutuhkan waktu yang lebih lama daripada Ican untuk bisa menyesuaiakan diri dengan lingkungannya. R baru menemukan rasa nyaman setelah 3 bulan ia bebas, sementara I hanya sebulan.Sedangkan S karena ia mendapatkan 5
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
dukungan dari keluarga dan pacar ia langsung dapat beradaptasi setelah ia keluar Lapas. Dari segi tuntutan lingkungan, bisa dibagi menjadi empat aspek permasalahan, yaitu, finansial, stigma, krisis identitas, dan relasi. Pertama, finansial, ketika R, I dan S keluar Lapas, mereka dihadapkan dengan kondisi bahwa mereka tidak memiliki pekeijaan atau aktivitas karena tidak adanya akses ke dunia pekeijaan juga terbatasnya sarana dan prasarana pendukung. Hal ini, kontras sekali dengan kondisi di dalam Lapas, dimana mereka bisa melakukan berbagai macam aktivitas, yang ditunjang oleh sarana dan prasarana pendukung, ditambah mereka tidak harus mengeluarkan biaya untuk melakukan kegiatan tersebut, seperti saat mereka dulu melakukan latihan band secara rutin di Lapas. Selain kemudahan fasilitas, selama di lapas, mereka juga tidak perlu memikirkan mengenai pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang dan papan), karena selain mereka mendapat upah dari peker aan dan usaha mereka selama di Lapas, peraturan yang berlaku di Lapas juga menjamin anak didiknya tercukupi kebutuhan pokoknya. Kedua, stigma, baik R, I mapun S, ketika bebas mereka dihadapkan dengan perasaan khawatir dengan stigma masyarakat terhadap mereka, yang membuat mereka merasa malu akan statusnya tersebut. Ketiga, krisis identitas, yang merupakan permasalahan yang timbul karena pengaruh 2 aspek sebelumnya. Tidak ada pekerjaan dan perasaan khawatir karena diberi label oleh masyarakat, berdampak pada munculnya krisis identitas pada diri mereka, ditandai dengan munculnya pertanyaan tentang diri, rasa tidak percaya diri dan perasaan tidak berharga terhadap diri. Terakhir, mereka menghadapi masalah relasi, adanya fakta bahwa mass penahanan mereka selama di Lapas, membuat hubungan mereka dengan keluarga semakin renggang. Hubungan yang dulunya memang sudah renggang, menjadi lebih renggang lagi ketika mereka bebas dari Lapas, terutama R yang semakin dijauhi oleh adiknya. Kerenggangan ini, meskipun terjadi hanya pada keluarga, tidak pada teman-teman atau pacar, cukup mendorong mereka untuk menjauh dari keluarganya. Mereka berdua sempat berpikir untuk melarikan diri, bahkan R pernah menjauhkan dirinya dari keluarga selama 3 bulan. Sedangkan S merasakan penolakan justru dari tetangga dan masyarakat yang berada di sekitarnya, terutama teman-teman sebayanya. Dalam menghadapi permasalahanpermasalahn ini, pada fase awal R, I dan S melakukan strategi distance dan escaping, bahkan R sampai terlibat kembali dengan alkohol dan teman-temanya untuk merencanakan curanmor lagi, sedangkan S memilih untuk tinggal di rumah saja tanpa aktivtas 6
apa-apa dan tidak menutup diri dari lingkungan baik teman di rumah maupun di sekolahnya.. Namun demikian, mencari dan menemukan dukungan sosial merupakan strategi yang paling efektif bagi mereka, karena dengan adanya dukungan sosial (problem -jbcused), baik R, I dan S bisa mendapatkan pekedaan/aktivitas. Meskipun dengan upah kecil, adanya aktivitas membuat mereka tidak jenuh/bosan menjalani kehidupannya. Keadaan ini akhirnya membangkitkan rasa percaya diri semangat berjuang pada diri R dan I. Sedangkan S berencana untuk melanjutkan lagi sekolah Pelayarannya di Jakarta, sehingga ia mendapatkan lingkungan baru yang dianggapnya lebih kondusif untuk memperbaiki dirinya. Adanya dukungan sosial juga membantu mereka mendapatkan kepuasan secara emosional sebagai pengganti hubungan yang kurang harmonic dengan keluarga mereka. Untuk pemenuhan kebutuhan fisik, meskipun R dan I tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang cukup, namun kebutuhan fisik mereka bisa terpenuhi. R bisa menutupi kebutuhannya dengan bekerja di bengkel. Sementara I bekerja di Toko mebel sebagai pelayan toko. Namun mereka berdua mengaku, dalam memenuhi kebutuhan pokok ini, andil teman-teman (termasuk pacar) yang peduli dengan mereka cukup besar, yang senantiasa membantu mereka memenuhi kebutuhan materi dan emosional mereka. Untuk kasus R, selain menggunakan strategi di atas, R pernah menggunakan strategi lain seperti konfrontasi, memberikan penilaian positif pada keadaan yang dihadapi Hal ini terjadi setelah beberapa kali sebelumnya R melarikan diri dan melakukan perenungan mengenai masalahnya. Dalam hal harmonisasi antara kebutuhan individu dengan pemenuhan tuntutan lingkungan, bisa dilihat terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman dan aktualisasi diri mereka. Baik R, I maupun S, ketika bebas dari Lapas megaku tidak ada musuh yang ditakuti. Khusus untuk S dan I, meskipun dulunya ia pernah mencelakai korbannya, namun saat mereka bebas mereka mengakui menemui korban tersebut untuk meminta maaf, dan ternyata ia dimaafkan. Dari segi aktualisasi diri bisa dilihat dari sejauh mans mereka ingin mewujudkan impiannya dan juga menyalurkan hobinya. Baik I maupun S, mengaku, meskipun frekuensi mereka untuk latihan band jauh menurun bila dibandingkan saat mereka di Lapas, namun mereka masih tetap bisa menyalurkan hobinya ini dengan alat-alat band yang disewa bersama teman-temannya. Mereka berduapun selalu menjaga dan berharap untuk mewujudkan impian tersebut kelak, sedangkan R bekerja di Bengkel Motor yang juga melayani jasa modifikasi motor sehingga ia tetap bisa menyalurkan ISSN 0126-107X
Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni, Penyesuaian Diri Mantan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Palembang Kelas IIA Saat Kembali Ke Masyarakat Tahun 2012
hobinya. S berencana melanjutkan sekolahnya yaitu pelayaran dan dengan dukungan orang tuanya S juga akan meneruskan untuk melanjutkan akademinya itu sampai ke jenjang DIII di Jakarta. Setelah dibahas proses penyesuaian diri melalui kriteria diatas, selanjutnya akan dibahas mengenai faktor-faktor yang membantu penyesuaian diri R, I dan S. Dalam proses penyesuaian diri antara R, I dan S, mereka sama-sama memiliki impian dan hobi .Impian Mereka juga memiliki karakter personal ‘internal’, dimana mereka percaya bahwa segala yang terjadi adalah hasil dari perbuatan mereka sendiri. Hal inilah yang mendorong munculnya kesadaran untuk bangkit dari dalam diri mereka. Dari segi jalinan hubungan yang suportif, R dan I sama-sama mendapat dukungan dari temantemannya, sedangkan S dari Keluarga dan Pacarnya. Faktor pendukung yang membuat R berbeda dengan I adalah keyakinan. Dibandingkan dengan I pemahaman R mengenai Tuhan jauh lebih baik, ditandai dengan tingginya frekuensi R melakukan ibadah daripada I. I mengaku jarang beribadah, karena ia sendiri masih belum lancar dengan kalimat atau ayat yang digunakan saat beribadah. Arti ibadah menurut R tidak hanya sekedar melakukan sholat atau baca Al Qur an, menurutnya, menolong orang juga ibadah. Dia mengakui untuk sholat, ia sering bolong, tapi ia merasa telah berusaha untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya dan ini juga merupakan ibadah. Ditambah dengan perenungannya yang selalu menghubungkan segala sesuatunya kepada Tuhan, dan kepercayaannya bahwa Tuhan akan menolong dirinya. Dari segi peran keluarga, baik keluarga R maupun I, tidak memberikan dukungan yang maksimal terhadap mereka. Padahal keluarga adalah komponen penting bagi proses kembalinya narapidana ke masyarakat. Keluarga seharusnya menyediakan bantuan berupa tempat untuk tinggal, makanan, uang, koneksi untuk pekerjaan, dan menjadi pendengar setia. Waktu yang tepat untuk memberikan bantuan ini adalah jam dan hari dimana narapidana barn dibebaskan, saat level kecemasan dan kecenderungan untuk kembali ke peniara meningkat. Namun hal itu tidak terjadi pada diri mereka. Saat bebas baik R maupun I tidak didampingi oleh keluargannya. Meskipun mereka tetap kembali ke rumah mereka, namun hal itu tidak cukup membantu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, bahkan kembalinya R kepada keluarnya menyebabkan ia berhadapan dengan fakta bahwa hubungannya dengan saudaranya menjadi semakin renggang. Kalaupun pihak keluarga tidak bisa memenuhi semua kebutuhan individu, minimal kebutuhan tempat tinggal dan emosional harusnya bisa mereka berikan. Kenyataannya, meskipun R ISSN 0126-107X
dan I mendapat tempat tinggal, namun ketiadaan dukungan emosional menimbulkan perasaan yang tidak nyaman, yang mengakibatkan mereka memilih untuk sering keluar rumah dan berkumpul kembali dengan teman-temannya yang dulu serta kembali terjebak dengan perbuatan criminal dan minuman beralkohol. KESIMPULAN Pertama, meskipun andik mendapatkan stigma yang negatif dari masyarakat, tidak membuat mereka surut untuk meraih impiannya. Keterbatasan sarana dan prasarana juga tidak membuat mereka menyerah dalam meraih impiannya. Impian ini juga membuat andik yakin bahwa mereka masih punya masa depan. Kedua, banyak dan bervariasinya aktivitas dan kegiatan yang mereka ikuti selama di lapas meminimalisir stres yang disebakan oleh pemenjaraan. Hal ini membuat derita yang ditimbulkan oleh pemenjaraan (loss of liberty) bukanlah masalah besar bagi andik. Ketiga, besarnya kesempatan dan peluang untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal. Banyaknya aktivitas dan sarana penunjang mendatangkan kenyamanan bagi andik ketika berada di Lapas, namun di sisi lain, hal ini membuat munculnya kekhawatiran dalam diri andik menjelang akan dibebaskan. Keempat, dari segi penyelenggaraan kegiatan/ program untuk kepentingan di lapas, lembaga atau organisasi menunjukkan keterlibatannya dengan menyelenggarakan banyak aktivitas yang sesuai dengan hobi atau minat andik Kelima, tidak adanya peran serta keluarga yang secara proaktif membantu andik kembali kemasyarakat, menjadi faktor utama penyebab munculnya stres yang tinggi ketika andik bebas dari Lapas. Peran keluarga ini kemudian digantikan oleh peran seorang kakak asuh. Dalam hal ini, keberadaan seorang kakak asuh cukup efektif untuk mengurangi tingkat stres yang dialami oleh andik. SARAN Pertama, penelitian ini sebaiknya dilengkapi dengan penelitian mengenai anak didik yang tidak berhasil menyesualkan diri paska Lapas, sehingga akhirnya kembali ke Lapas. Dari penelitian tersebut bisa digali aspek apa saja yang mempengaruhi andik tersebut, sekaligus juga melihat perbedaan antara andik yang berhasil dan tidak berhasil melakukan penyesuaian diri.
7
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Kedua, penelitian mengenai penyesuaian diri ini juga harus dilaksanakan di Lapas Anak Wanita. Mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk menggunakan sarana dan prasarana (karena sarana dan prasarana yang ada untuk mereka juga terbatas), untuk dekat dengan keluarga, akses pekedaan, pendidikan atau aktivitas social selama di Lapas. Ketiga, kepada petugas Lapas Anak Pria Palembang, untuk mempertahankan kondisi Lapas yang kondusif bagi perkembangan andik. Bila perlu ditingkatkata lagi baik dari segi sarana dan prasarana maupun SDM petugasnya. Diharapkan ke depan, tidak ada lagi petugas yang melakukan tindak kekerasan terhadap anak. Keempat, program pendidikan formal di dalam Lapas harus dibenahi lagi, untuk membantu andik meraih masa depan yang cerah. Tidak hanya di dalam Lapas, sekolah Andik ketika bebas dari Lapas pun juga harus menjadi perhatian khusus. Pihak Lapas bisa menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah formal di luar Lapas, selain untuk menerapkan kurikulumnya di dalam Lapas, juga sebagai tempat atau sarana bagi andik untuk melanjutkan pendidikannya ketika la bebas dari Lapas. Kelima, rehabilitasi terhadap penggunaan alkohol dan obat-obatan, perlu menjadi perhatian khusus bagi petugas Lapas khususnya dan pemerintah umumnya. DAFTAR PUSTAKA 1 2 3 4 5 6 7 8 9
8
Ali, M. & Anshori, M. (2004). Psikologi Remaja: Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara. Alwisol. (2005) Psikologi Kepribadian. Malang: Penerbit Universitas Muhammadyah Malang Arikunto, S (2002). Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta: PT Rineka Cipta. Auerbach Stephen M., & Gramling, Sandra E. 1998. Stres Management Psychological Foundations. New Jersey :Prentice Hall, Inc. Azwar, S. 2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Bernstein, 1988. Psychology. Boston : Houghton Mifflin Company. Brennan, J.F. (1991). History and Systems of Psychology. New Jersey : Prentice Hall Inc. Burns, R. B. 1993. Konsep Diri : Teori, pengukuran, perkembangan, dan perilaku. Jakarta: Arcan. Calhoun, F. & Acocella. 1990. Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan (edisi ketiga). Semarang : Ikip
10 11 12 13
14
15
16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Semarang Press. Centi,J.P. 1993. Mengapa rendah diri ?. Yogyakarta : Kansius. Clemes, H. 1995. Bagaimana Meningkatkan harga diri remaja. Jakarta : Binarupa Aksara. Copel, L.C. 2007. Kesehatan jiwa & psikiatri pedoman klinis untuk perawat. Jakarta : EGC. Dinas Sosial Provinsi Sumatera Selatan Palembang. 2008. Data Lembaga kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Selatan 2008 (tidak diterbitkan). Fastirola. 2006. Jurnal tentang Hubungan konsep diri dengan motivasi prestasi pada remaja.Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Fastirola. 2006. Jurnal tentang konsep diri remaja penghuni panti asuhan. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Feldman,R. 1992. Elements of psycology. (International ed). San FransiscoMc Graw Hill,Inc. Ferland, L. D & Ferland,P. 1999. Introduction to psychology. India: A.I.T.B.S.Publishers & Distributors. Gellerman, S.W. 1984. Motivasi dan produktivitas. Jakarta : PT. Pustaka Binarman Pressindo. Gunarsa, S.D & Gunarsa, Y.S.D. 2002. Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Hidayat, A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan & Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba Medika. Hurlock, E. B. 1999. Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga. Kartono, K. 1990. Psikologi Anak. Bandung : Mandar Maju. Sekilas tentang harga diri (Sheford, 2003, HIPERLINK “http : www.Wild’s 76 Web Blog.Com”). Mangunsong F., dkk (1998). Psikologi dan pendidikan anak luar biasa. Depok: LPSP3 UI. McClelland, D.C. 1987. Human Motivation. New York : The Press Syndicate of University of Chambridge. Monks & Knoers, A.M.P.1999. Psikologi pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Niven, N. 2003. Psikologi Kesehatan. Jakarta : EGC. Palmer, P. 2003. Harga Diri Remaja. Jakarta : Elex Media Kamputindo. Pane, A.S. 2000. Faktor-faktor Penyebab ISSN 0126-107X
Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni, Penyesuaian Diri Mantan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Palembang Kelas IIA Saat Kembali Ke Masyarakat Tahun 2012
30
31 32 33 34
35 36 37 38
39 40 41 42
43 44
perilaku agresif remaja yatim piatu di Panti Asuhan Pedoman pembinaan kesejahteraan sosial anak usia dini. 1999. Jakarta : direktorat Jenderal Bina Kesejahteraan Sosial, Direktorat Bina Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial RI Potter & Perry. 2005. Fundamental Keperawatan : konsep, proses, dan Praktik. Jakarta : EGC. Powel, D. H ( 1983). Understanding Human Adjusment Normal Adoption : Throught The Live Cycle. Canada : Powell Associates, Inc Prayitno, E. 2006. Psikologi Perkembangan Remaja. Padang : Angkasa Raya Purnati, supatmi M, S & Tinduk, N.M.M (2003). Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak ( Juvenile Justuce System) di Indonesia. Jakarta: Unicef. Robbins, H. L.1987. Psycology. Boston : Little, Brown and Company. Santrock, J. W. (2001). Adolescence: perkembangan remaja (Edisi ke-6). Jakarta: Penerbit Erlangga. Sheena, E., T. (2004). Body dissatisfaction of adolescent girls and boys. Journal of Early Adolescence, 23(2), 141-165. Santrock, J. W. 1998. Adolecence. Washington,DC : MC Graw Hill. Sarwono, S. W. 1989. Psikologi Remaja. Jakarta : Rajawali Pers. Sphintal, N, A. 1994. Educational psychology (International edition). Srati & Hernawaty. 2007. Laporan Penelitian Pengaruh Trainng Pengembangan Diri terhadap Harga Diri remaja putri homoseksual didesa Cibereum kecamatan Cimalaka kabupaten Sumedang. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjajaran. Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC. Stuart & Sundeen (1998). Principle and Practice of Psychiatric Nursing. 6 th. Ed. Philadelphia: The C V Mosby.
ISSN 0126-107X
9
HUBUNGAN KEKERASAN SELAMA KEHAMILAN DENGAN KELAHIRAN BAYI BERAT LAHIR RENDAH DI RSUD DR. IBNU SOETOWO BATURAJA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TAHUN 2011 Eni Folendra Rosa,Gunardi Pome, Marwan Baits Dosen Prodi Keperawatan Baturaja Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRACT Background: Low birth weight (LBW) is a risk factor which contributes to infant mortality during perinatal period and the greatest contributor to neonatal mortality in Indonesia. Some studies show that there is significant relationship between violence during pregnancy and LBW delivery. At District of Ogan Komering Ulu (OKU) there were 18 cases of violence domestic (2010) whereas the prevalence of LBW in 2010 was 7.1%. Objective: To identify the relationship between violence during pregnancy and LBW delivery at District of OKU. Method: This was an observational study which used unmatched case control study design and both quantitative and qualitative approaches. Subject of the study consisted of intervention group and control group at a comparison 1:2. Data analysis used univariable, bivariable with chi square (x2), stratification and multivariable with logistic regression. Result: The result of bivariable analysis showed that the group of LBW had physical violence 3 times greater during pregnancy than the group with normal birth weight; and the group of mothers having LBW infants had psychological violence 2.5 times greater than the group with normal birth weight. Sexual violence, age, education and economic status statistically had no significant relationship with LBW; whereas frequency of antenatal care (ANC) had relationship with LBW delivery. The result of stratification analysis showed that the frequency of ANC was a modified effect and was not assumed as confounding variable. The result of multivariable analysis showed that the group of mothers with LBW infants had 2.5 times greater for violence during pregnancy than the group with normal birth weight infants. Conclusion: The group of mothers with LBW infants had more violence during pregnancy than the group with normal birth weight infants. Frequency of ANC, apart from violence during pregnancy, independently had significant relationship with the LBW delivery. Keywords: violence during pregnancy, low birth weight
PENDAHULUAN Kekerasan terhadap perempuan sering disebut sebagai kekerasan berbasis gender karena berawal dari subordinasi perempuan di masyarakat. Kedudukan perempuan yang subordinatif dan tergantung baik secara ekonomi dan sosial, menempatkan perempuan dalam posisi rentan terhadap kekerasan, termasuk penganiayaan berulang oleh pasangannya. Paling sedikit satu diantara 5 penduduk perempuan dalam kehidupannya pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual yang dilakukan oleh laki-laki.1 Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia terparah yang belum terlalu diakui oleh dunia, juga merupakan masalah serius di bidang kesehatan karena melemahkan energi perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga dirinya. Perempuan dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkat
10
resikonya untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual dan kesudahan kehamilan yang kurang baik.2 BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram terlepas dari masa kehamilan, Tingginya angka kejadian BBLR di negara berkembang masih merupakan masalah, karena hal ini sangat berhubungan dengan tingginya angka kematian dan kesakitan dikemudian hari. Tahun 2006 dilaporkan di negara berkembang terdapat 20 juta kejadian BBLR dan lebih dari separuhnya berada di Asia Selatan.3 di Indonesia kejadian BBLR sebesar 3-13% dan dalam setahun sekitar 89.000 bayi meninggal atau setiap 6 menit ada 1 neonatus meninggal yang penyebab utamanya 29% adalah BBLR.(4) BBLR juga salah satu faktor risiko yang mempunyai kontribusi terhadap kematian bayi khususnya pada masa perinatal. Pada penelitian kekerasan selama kehamilan di
ISSN 0126-107X
Eni Folendra Rosa, Gunardi Pome, Marwan Baits, Hubungan Kekerasan Selama Kehamilan Dengan Kelahiran Bayi Berat Lahir Rendah Di RSUD Dr. Ibnu Soetowo Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011
Nicaragua dilaporkan pada ibu kelompok BBLR mengalami lebih banyak kekerasan fisik 5,35 kali dibandingkan kelompok BBLC.5 Sampai saat ini format pengkajian kesehatan ibu hamil tidak mencakup pengkajian tentang kekerasan. Hanya 6% dokter/petugas kesehatan menanyakan tentang kekerasan yang dialami pasiennya.6 Di Kabupaten OKU dilaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga tahun 2009-2010 sebanyak 34 orang sedangkan kejadian BBLR tahun 2010 adalah sebesar 7,1%.7,8 Berdasarkan data KDRT dan kejadian BBLR di Kabupaten OKU serta besarnya risiko yang diakibatkan kekerasan selama kehamilan dan tingginya angka kesakitan/ kematian pada BBLR, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan kekerasan selama kehamilan dengan kelahiran BBLR di RSUD Dr. Ibnu Soetowo BaturajaKabupaten OKU. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan rancangan unmatched case control study dengan pendekatan kuantitatif. Subjek penelitian terdiri dari kelompok kasus dan kontrol. Kelompok kasus adalah ibu yang melahirkan BBLR yaitu berat badan lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia kehamilan, sedangkan kontrol adalah ibu BBLC yaitu berat badan lahir ≥ 2500 gram. Pemilihan subjek penelitian kuantitatif adalah dengan probability sampling yaitu setiap subjek dalam populasi terjangkau mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau untuk tidak terpilih sebagai sampel penelitian12,13 sedangkan besar sampel di masing-masing puskesmas ditentukan secara probability proportionate to size (PPS) karena diharapkan pengambilan sampel mewakili seluruh wilayah di kabupaten OKU dengan perbandingan kelompok kasus dan kontrol (1;2) Analisis data kuantitatif meliputi analisis univariabel, bivariabel,
stratifikasi dan multivariabel. Sebelum pelaksanaan pengambilan data yang terlibat dalam pengumpulan data diberikan pembekalan. Materi pembekalan meliputi materi KDRT, dinamika pengkajian kasus KDRT, konseling berwawasan gender, penyamaan persepsi pengisian kuesioner serta materi etika dan isu keselamatan menurut WHO.13 HASIL PENELITIAN Pada kelompok BBLR mengalami kekerasan fisik sebesar 23,6% sedangkan BBLC 10 (9,1%) dan kekerasan psikologis ditemukan pada kelompok BBLR sebesar 78,2% sedangkan BBLC sebesar 59,1%, sedangkan kelompok BBLR yang mengalami kekerasan seksual sebesar 45,5% dan pada BBLC sebesar 32,7%. Karakteristik responden usia berisiko kelompok BBLR sebesar 14,5% dan pada BBLC sebesar 10%, sedangkan distribusi frekuensi ANC < 4 kali pada kelompok BBLR 61,8% dan BBLC sebesar 45%. Karakteristik responden berpendidikan rendah pada kelompok BBLR 69,1% dan BBLC 56,4% sedangkan karakteristik responden dengan status ekonomi rendah pada kelompok BBLR 61,8% dan kelompok BBLC sebesar 45,5%. Analisis bivariabel ditemukan kelompok BBLR mengalami lebih banyak 3 kali kekerasan fisik selama kehamilan dibandingkan kelompok ibu BBLC dan bermakna secara statistik (95% CI; 1,1-8,5). Pada kelompok BBLR mengalami lebih banyak 2,4 kali kekerasan psikologis dibandingkan BBLC dan bermakna secara statistik (95% CI; 1,12 5,73), sedangkan pada analisis hubungan kekerasan seksual dengan kelahiran BBLR secara statistik tidak signifikan. Frekuensi ANC < 4 kali menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kelahiran BBLR, sedangkan usia, pendidikan dan status ekonomi keluarga secara statistik menunjukkan hubungan yang tidak bermakna dengan kelahiran BBLR.
Tabel 1. Stratifikasi Frekuensi ANC dan Kekerasan Fisik Selama Kehamilan dengan Kelahiran BBLR Variabel Frekuensi ANC < 4 kali ≥ 4 kali
ISSN 0126-107X
Kekerasan fisik
BBLR
BBLC
OR (IK95%)
Ya Tidak
12 22
5 40
4,36 (1,20 - 17,6)
Ya Tidak
1 20
5 60
0,6 (0,01 - 5,88)
OR-MH
2,65 (1,04- 675)
OR Crude
3,0
11
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Pada tabel 1 analisis stratifikasi frekuensi ANC pada hubungan kekerasan fisik selama kehamilan dengan kelahiran BBLR, menunjukkan; frekuensi ANC <4 kali secara statistik bermakna (95% CI; 1,20-17,6) sedangkan pada ibu dengan frekuensi ANC ≥4 kali secara statistik tidak bermakna (95% CI; 0,01-5,8). Dengan demikian pada ibu dengan frekuensi ANC < 4 kali dan mengalami kekerasan fisik selama kehamilan mempunyai risiko 4,4 kali
Stratifikasi Frekuensi ANC dan Kekerasan Variabel Frekuensi ANC < 4 kali ≥ 4 kali
Tabel 2. Psikologis Selama Kehamilan dengan Kelahiran BBLR
Kekerasan psikologis
BBLR
BBLC
Ya Tidak
28 6
30 15
2,23 (0,71 - 6,81)
Ya Tidak
15 6
35 30
2,14 (0,67 - 7,55)
Pada tabel 2 hubungan kekerasan psikologis dengan kelahiran BBLR setelah di stratifikasi variabel frekuensi ANC menunjukkan; ibu dengan frekuensi ANC < 4 kali secara statistik tidak bermakna (95% CI; 0,7 - 6,8) dan pada ibu dengan frekuensi ANC ≥ 4 kali secara statistik tidak bermakna (95% CI; 0,67-7,55). Dengan demikian pada ibu dengan frekuensi ANC < 4 kali atau ≥ 4 kali dan mengalami kekerasan psikologis selama kehamilan tidak berhubungan dengan kelahiran BBLR. Dari besarnya risiko pada frekuensi ANC < 4 kali (OR; 2,33) dan frekuensi ANC ≥ 4 kali (OR; 2,14) maka frekuensi ANC bukan merupakan efek modifikasi sedangkan dari perbedaan pada nilai OR Crude; 2,48 dan OR-MH; 2,23 menunjukkan frekuensi ANC tidak dicurigai sebagai variabel pengganggu. Sebelum dilakukan analisis multivariabel terlebih dahulu dilakukan uji korelasi antar variabel independen. Pada analisis korelasi antar variabel independen menunjukkan adanya masalah multikolinearitas. Multicollinearity adalah suatu kondisi dimana terdapat hubungan korelasi yang sangat tinggi antar sebagian atau seluruh variabel independen dalam suatu regresi. Untuk itu pada analisis multivariabel dibangun variabel baru yang terdiri dari tiga komponen yang ada pada variabel independen, variabel yang dibangun adalah variabel kekerasan selama kehamilan. Hasil analisis multivariabel ditampilkan pada tabel 3.
12
melahirkan BBLR. Dari perbedaaan OR antara stratum dimana frekuensi ANC <4 kali ditemukan (OR; 4,36) dan frekuensi ANC ≥4 kali (OR; 0,6) maka frekuensi ANC dapat disimpulkan sebagai efek modifikasi sedangkan dari perubahan nilai OR Crude; 3,0 dan OR-MH ; 2,65 menunjukkan bahwa frekuensi ANC tidak dicurigai sebagai variabel pengganggu pada hubungan kekerasan fisik selama kehamilan dengan kelahiran BBLR.
OR (IK95%)
ORMH
OR rude
2,23 (1,04 -4,76)
2,48
Tabel 3. Perkiraan Odds Ratio (OR) Analisis Multivariabel Kekerasan Selama Kehamilan dengan Usia, Frekuensi ANC, Pendidikan, Status Ekonomi dengan Kelahiran BBLR Variabel Kekerasan selama hamil Ya Tidak Umur <20 atau >35 20 - 35 tahun Frekuensi ANC <4 kali ≥4 kali Pendidikan Rendah (≤SMP) Tinggi (≥SMA) Status ekonomi Rendah Tinggi R² N
OR
( 95 % CI)
2,47
(1,1 – 5,5)
1,42
(0,5 - 4,1)
1,88
(0,9 - 3,7)
1,42
(0,7 - 3,0)
1,77
(0,9 - 3,6) 0,08 165
ISSN 0126-107X
Eni Folendra Rosa, Gunardi Pome, Marwan Baits, Hubungan Kekerasan Selama Kehamilan Dengan Kelahiran Bayi Berat Lahir Rendah Di RSUD Dr. Ibnu Soetowo Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011
Pada tabel 3 hubungan kekerasan selama kehamilan dengan kelahiran BBLR setelah mengendalikan variabel usia ibu, frekuensi ANC, pendidikan dan status ekonomi, hasil analisis menunjukkan kelompok BBLR mengalami lebih banyak 2,5 kali kekerasan selama kehamilan dibandingkan kelompok BBLC dan secara statistik bermakna (95% CI: 1,1-7,4). Dari nilai R² dapat disimpulkan bahwa variabel usia , frekuensi ANC, pendidikan dan status ekonomi hanya memberikan kontribusi sebesar 8% dalam memprediksi kelahiran BBLR. PEMBAHASAN Pada analisis bivariabel frekuensi ANC menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kelahiran BBLR, frekuensi ANC juga menunjukkan hubungan yang yang secara statistik bermakna dengan kekerasan fisik dan kekerasan psikologis selama kehamilan. Pada analisis stratifikasi frekuensi ANC merupakan efek modifikasi dan tidak dicurigai sebagai variabel pengganggu pada hubungan kekerasan fisik selama kehamilan dengan kelahiran BBLR. Frekuensi ANC juga bukan merupakan efek modifikasi dan tidak dicurigai sebagai variabel pengganggu pada hubungan kekerasan psikologis selama kehamilan dengan kelahiran BBLR. Beberapa penelitian melaporkan adanya hubungan yang signifikan frekuensi ANC pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan. Dan dilaporkan dampak kekerasan selama kehamilan adalah kunjungan antenatal yang tertunda9, peneliti lain melaporkan bahwa viktimisasi dan isolasi pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan mengakibatkan kurangnya atau tidak ada akses ke pelayanan antenatal15 Peneliti lain menguatkan penemuan kedua penelitian sebelumnya yang melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara kurangnya akses ke pelayanan antenatal dengan kejadian BBLR pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan.10 Pada penelitian ini juga ditemukan hubungan yang secara statistik tidak bermakna usia ibu, pendidikan, status ekonomi dengan kelahiran BBLR pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan. Hasil penelitian ini sama dengan yang ditemukan pada penelitian di Amerika bahwa usia ibu, pendidikan dan status ekonomi tidak berhubungan dengan BBLR pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan.16 Penelitian di Mulago dilaporkan bahwa tidak ada hubungan antara usia ataupun muda pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan dengan kejadian BBLR (p; 0,425)17, hasil ini berbeda dengan penelitian di Mexico bahwa usia <20 tahun, ISSN 0126-107X
pendidikan kurang dari 12 tahun dan status ekonomi berhubungan dengan kekerasan selama kehamilan dan kelahiran BBLR.18 1. Pengalaman Kehamilan
Kekerasan
Fisik
Selama
Hasil analisis bivariabel ditemukan pada kelompok BBLR lebih banyak 3 kali mengalami kekerasan fisik selama kehamilan dibandingkan pada kelompok ibu BBLC. Risiko kekerasan fisik yang ditemukan pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan pada hasil penelitian yang dilaporkan di Nicaragua bahwa pada kelompok BBLR mengalami lebih banyak 5,35 kali kekerasan fisik dibandingkan kelompok ibu BBLC5 Hasil penelitian menunjukkan bentuk kekerasan fisik yang dominan adalah menampar, menempeleng pada kelompok BBLR 13 (23,6%) pada kelompok BBLC 9 (8,2%), menekan atau mendorong pada kelompok BBLR delapan responden (14,5%) dan pada ibu BBLC 5 (4,5%), memukul dengan tinju atau benda yang lain pada kelompok BBLR 6 (10,9%) dan pada kelompok BBLC 3 (2,7%), luka parah dan luka lecet kelompok BBLR 2 (3,6%). Di DIY dan Jawa Tengah dilaporkan kejadian BBLR sebesar 4.5% pada ibu yang mengalami kekerasan fisik selama kehamilan2 dan dilaporkan 43,3% ibu mengalami kekerasan fisik selama kehamilan.19 Penelitian kekerasan selama kehamilan di Washington melaporkan bahwa pada ibu yang mengalami kekerasan fisik selama kehamilan mempunyai risiko 3,29 kali kejadian BBLR18, studi lain melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara kekerasan fisik selama kehamilan dengan kejadian BBLR (p= 0,001)15 hal yang sama ditemukan di Mexiko bahwa ada hubungan yang signifikan antara kekerasan fisik selama kehamilan dengan kejadian BBLR (p= 0,000).19 2. Pengalaman Kekerasan Psikologis Selama kehamilan Distribusi pengalaman kekerasan psikologis selama kehamilan pada kelompok BBLR mengalami lebih banyak kekerasan psikologis selama kehamilan yaitu sebanyak 43 (78,2%) dibandingkan kelompok BBLC sebanyak 65 (59,1%). Survey KDRT di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang 99,8% ibu rumah tangga pernah mengalami kekerasan psikologis21 sedangkan di Mexico dilaporkan 83% kekerasan emosi/psikologis dialami ibu selama kehamilan(19), sementara penelitian di Uganda dilaporkan 24,8% ibu mengalami kekerasan psikologis selama kehamilan.17 Bentuk kekerasan psikologis yang dominan pada kelompok BBLR adalah menghina dan menyakiti perasaan 40 13
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
(72,2%), menakut-nakuti atau intimidasi 27 (49%), hubungan dengan wanita lain 7 (12,7%) sedangkan pada kelompok BBLC bentuk kekerasan psikologis yang dominan menghina dan menyakiti perasaan 60 (54,5%), menakut-nakuti atau intimidasi 34 (31%) dan hubungan dengan wanita lain 5 (4,5%). Hasil analisis hubungan kekerasan psikologis selama kehamilan ditemukan pada kelompok BBLR lebih banyak 2,5 kali mengalami kekerasan psikologis dibandingkan kelompok BBLC. Hasil penelitian ini hampir sama dengan penelitian di Nicaragua bahwa pada kelompok ibu BBLR lebih banyak 2,3 kali mengalami kekerasan psikologis dibandingkan BBLC5, sementara peneliti lain melaporkan pada ibu yang mengalami kekerasan psikologis selama kehamilan mempunyai risiko 1,4 kali kejadian BBLR.16 Di Washington dilaporkan kekerasan non fisik selama kehamilan mempunyai risiko 3,8 kali kejadian BBLR18 hal yang sama ditemukan pada penelitian di Malatya bahwa terdapat hubungan signifikan kekerasan emosi dengan BBLR (p= 0,000).20
3. Pengalaman Kekerasan Seksual Selama kehamilan Pada penelitian ini ditemukan hubungan yang tidak signifikan antara kekerasan seksual selama kehamilan dengan kelahiran BBLR, sedangkan bentuk kekerasan seksual yang dominan adalah melakukan hubungan seksual ketika tidak menginginkan karena takut dengan apa yang akan dilakukan suami, pada kelompok BBLR 43,6% dan kelompok BBLC 30,9%, memaksa berhubungan badan ketika istri sedang tidak menghendaki pada kelompok BBLR 30,9% dan BBLC 18,2%. Hasil penelitian ini sama dengan yang ditemukan di Turkey bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kekerasan seksual selama kehamilan dengan kejadian BBLR (p= 0,275)19 sedangkan di Mexico dilaporkan 33% mengalami kekerasan seksual selama kehamilan.17 4. Pengalaman Kekerasan Berlapis Dari hasil penelitian ditemukan kekerasan yang terjadi bukan hanya berbentuk satu jenis kekerasan saja tetapi terdapat bentuk kekerasan berlapis. Pada penelitian ini ditemukan kelompok BBLR 11 (20%) mengalami tiga bentuk kekerasan sedangkan pada kelompok BBLC ditemukan 6 (5,5%), pada penelitian ditemukan juga bentuk kekerasan ganda yaitu 20% kelompok BBLR mengalami kekerasan psikologis dan kekerasan seksual, sedangkan pada kelompok BBLC 25,5%. Tidak ditemukan bentuk kekerasan tunggal pada kekerasan fisik pada kelompok BBLR dan BBLC, juga tidak ditemukan 14
bentuk kekerasan ganda antara kekerasan fisik dan kekerasan seksual selama kehamilan. Pada penelitian Sehati ditemukan pola kekerasan berlapis 36 (4%) yang mengalami tiga macam kekerasan dan 54 responden mengalami kekerasan seksual dan emosi tanpa kekerasan fisik. Di Sumatera Barat dilaporkan pola kekerasan berlapis yakni ibu yang mengalami kekerasan psikologis dan kekerasan seksual 15,9%, kekerasan psikologis, fisik dan seksual 13,6% serta 4,5% kekerasan fisik dan psikologis sebesar.22 Pada analisis multivariabel menunjukkan usia ibu, frekuensi ANC, pendidikan dan status ekonomi secara statistik tidak signifikan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan independen kekerasan selama kehamilan dengan kelahiran BBLR. Dari data kualitatif tentang pengalaman kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual menunjukkan bahwa informan mengungkapkan perasaan tertekan selama kehamilannya. Dalam hal ini meskipun mekanisme biologis tidak diketahui tetapi hubungan stres selama kehamilan dengan BBLR dapat terjadi melalui aktivasi aksis neuroendokrine hypothalamic pituitary adrenal. Peningkatan hormon adrenalin dan kortisol mengakibatkan vasokonstriksi pada fetomaternal, vasokonstriksi juga terjadi pada lapisan utero plasental sehingga mengakibatkan terganggunya pengiriman nutrisi dan O2 ke janin. Keadaan ini jika terjadi dalam waktu yang lama bukanlah sesuatu yang tidak mungkin stres karena adanya kekerasan selama kehamilan berakibat kelahiran BBLR. Hasil penelitian ini lebih kecil jika dibandingkan pada penelitian yang dilaporkan di Nicaragua bahwa kelompok BBLR lebih banyak mengalami 4 kali kekerasan selama kehamilan dibandingkan kelompok ibu BBLC5, sedangkan pada penelitian di Uganda dilaporkan pada ibu yang mengalami kekerasan selama kehamilan mempunyai risiko 3,78 kali kejadian BBLR.17 Penelitian di Nicaragua dilaporkan pola kekerasan berlapis yaitu mengalami tiga bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, psikologis dan kekerasan seksual pada kelompok ibu BBLR dan BBLC5 sementara dilaporkan bentuk kekerasan berlapis berupa kekerasan emosi, fisik dan seksual selama kehamilan.16 Peneliti lain melaporkan 40-45% ibu yang mengalami kekerasan fisik selama kehamilan juga dipaksa untuk melakukan hubungan seksual.23 KESIMPULAN Pada kelompok BBLR lebih banyak mengalami kekerasan selama kehamilan dibandingkan kelompok BBLC, frekuensi ANC secara independen mempunyai hubungan yang ISSN 0126-107X
Eni Folendra Rosa, Gunardi Pome, Marwan Baits, Hubungan Kekerasan Selama Kehamilan Dengan Kelahiran Bayi Berat Lahir Rendah Di RSUD Dr. Ibnu Soetowo Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011
signifikan dengan kelahiran BBLR disamping kekerasan selama kehamilan.
telah bekerjasama dalam kelancaran pengumpulan data
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Bagi Ketua Pemberdayaan Perempuan Kabupaten OKU dan organisasi masyarakat yang peduli terhadap upaya eliminasi kasus KDRT, perlu disediakan Rumah Perlindungan/shelter dan Pusat Trauma bagi korban agar tidak terjadi intimidasi dari pihak pelaku kekerasan ataupun dari keluarga korban kekerasan selama proses pendampingan. Perlunya sosialisasi internal tentang Pusat Pelayanan Terpadu, UU KDRT dan PP No. 4 dan membuat jaringan penanganan korban kekerasan di tingkat pemerintahan desa terendah (RT/RW) guna memutus rantai kekerasan oleh suami dengan memanfaatkan peran serta masyarakat khususnya peran serta perangkat desa, tokoh masyarakat ataupun tokoh agama setempat. Bagi pengambil kebijakan kesehatan reproduksi agar format pengkajian ibu hamil mencakup pengkajian kekerasan dan diterapkan pada semua unit pelayanan antenatal. Perlunya petugas kesehatan mendapatkan pelatihan cara mengidentifikasi serta meningkatkan kemampuan petugas bermitra dengan sektor yang terkait untuk pendampingan korban kekerasan baik itu kepada kepolisian, LSM, atau LBH yang ada di Kabupaten OKU. Bagi pemberi layanan kesehatan reproduksi agar melaksanakan screening pada ibu hamil terhadap kekerasan selama kehamilan sejak kunjungan antenatal pertama dan proaktif melakukan kunjungan rumah pada ibu hamil yang tidak memeriksakan kehamilan.
1.
UCAPAN TERIMA KASIH
8.
Penyusunan jurnal ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yth: drg.Hj Nur Adiba Hanum,M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kemenkes Palembang yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian Risbinakes tahun 2011 dan kepada Bapak H.Hazairin Effendy,DFCN.,MBA, selaku Ka Unit Litbangkes Poltekkes Kemenkes Palembang yang telah membimbing, mengarahkan sampai terselesainya pembuatan jurnal ini. Kepada Bapak dr. H. Ridwan MO,M.Sc selaku Tim Pakar Risbinakes Poletekkes Kemenkes Palembang beserta seluruh Tim Pakar lainnya serta pengelola administrasi atas semua bantuan yang diberikan, juga kepada responden yang ISSN 0126-107X
2.
3. 4. 5.
6.
7.
9.
10.
11.
12.
Dep.Kes RI, Informasi Kesehatan Reproduksi: Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan di Tingkat Pelayanan Dasar, Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Jakarta; 2001. Hakimi, M., Hayati, E., Marlinawati, V.U., Winkvist, A & Ellsberg,M.C., Silence for the Shake of Harmony : Domestic Violence and Health in Central Java, Rifka Annisa WCC, Yogyakarta, Umea University, Sweden; Women’s Health Exchange, USA; CHN-RL Gadjah Mada University Press, Yogyakarta; 2001. UNICEF., Low Birth Weight: Country, Regional and Global Estimates, UNICEF, New York; 2006. Dep.Kes RI., Manajemen Bayi Berat Lahir Rendah Untuk Bidan Desa, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006. Valladares, E., Elsberg, M., Pena, R., Hogberg, U., Person, L.A., Physical Partner Abuse During Pregnancy: A Risk Factor for Low Birth Weight in Nicaragua, Obstet Gynaecol, 2002, 100, pp. 700–705. Ballard, T.J., Saltzman, L.E., Gazmararian, J.A., Alison M., Lazarick S., Merk, J., Violence During Pregnancy, Measurement and Issues, Am J Public Health, 1998, 88 (2), pp. 274-276. Din.Kes OKU., Reformasi Kesehatan Menuju OKU Sehat 2008 di Kabupaten OKU, Tim Pokja OKU Sehat, 2006. Din.Kes OKU, Laporan Tahunan Seksi Kesehatan Keluarga dan Reproduksi Tahun 2007, Tim Kesga Din.Kes Kabupaten OKU, 2007. Heise, L., E M., Goettemoeller, M., Ending Violence Agains Women. Population Reports, Baltimore, John Hofkins University, 1999, 27. Coker, A.L., Sanderson, M., Dong, B., Partner Violence During Pregnancy and Risk of Adverse Pregnancy Outcomes, Pediatr Perinat Epidemiol, 2004, 18, pp. 260-269. Cokkinides V.E., Coker A.L., Sanderson M., Addy C., Bethea L., Physical Violence During Pregnancy: Maternal Complications and Birth Outcomes, J Obstet Gynaecol, 2006, 93, pp. 661-666. Aday, L.A. and Cornelius, L.J., Designing and Conducting Health Surveys, a Comprehensive 15
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
16
Guide, Third edition, Jossey- Bass, San Fransisco; 2006. WHO., Putting Women’s First: Ethical and Safety Recommendations for Research on Domestic Violence Against Women. Geneva: Global Programme on Evidence for Health Policy, 1999. Murti, B., Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta; 2006. Austin, M.P and Leander, L. Maternal Stress and Obstetric and Infant Outcome; Epidemiological Findings and Neuroendocrine Mechanisms, Aust N Z J Obstet Gynaecol, 2000, 40, pp. 331-337. Neggers, Y., Robert G., Suzanne, C. and Jhon, H., Effect Of Domestic Violence On Preterm Birth and Low Birth Weight, Acta Obstret Gynaecol Scand, 2004, 83, pp. 455-461. Kaye, D.K., Florence M.M., Grace, B., Annika., Johansson and Anna, M., Domestic Violence During Pregnancy and Risk of Low Birth Weight and Maternal Complication: A Prospective Cohort Study at Mulago Hospital, Uganda; Trop Med Int Health, 2006, II (10), pp. 1576-1584. Lipsky, S., Holt, V., Easterling, T., Critchlow, C., Impact of Police-Reported Intimate Partner Violence During Pregnancy on Birth Outcomes. Obstet Gynaecol, 2003, 102, pp. 557-564. Castro, R., Peek A C., Ruiz., Violence Against Women in Mexiko: A Study of Abuse Before and During Pregnancy, Am J Public Health, 2003, 93 (7), pp. 1110-1116. Karaoglu, L., Celbis, O., Ercan, C., Ilgar, M., Pehlivan, E., Gunes G., Genc, M.F., Egri M., Physical, Emotional and Sexual Violence During Pregnancy in Malatya,Turkey; Eur J Public Health, 2005, pp. 1-8. Mitra Perempuan., Laporan Survey KDRT di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang, Yayasan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta; 2007. Meiyenti, S. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga, Seri Laporan no.95, Pusat Penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta;1999. Murphy, C.C., Schei B., Myhr T L., Mont,J D., Abuse: A Risk Factor For Low Birth Weight, A Systemetic Review and Meta-analysis. Center for Research Women’s Health, 2001,15671572.
ISSN 0126-107X
PENGARUH PENYULUHAN GIZI METODE CERAMAH DAN LEAFLET TERHADAP PERILAKU MEMILIH MAKANAN JAJANAN MURID DI SD NEGERI KELURAHAN SAKO PALEMBANG 2012 Mardiana, Nurul Salasa Nilawati, Eliza Dosen jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Palembang ABSTRAK Anak sekolah merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan modal pembangunan, oleh karena itu tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Berbagai alasan seringkali menyebabkan anak tidak sempat sarapan pagi di rumah yang akhirnya akan membentuk suatu kebiasan jajan di sekolah, secara umum jajanan yang dijual pedagang kaki lima di sekolah dasar kualitasnya sangat memprihatinkan bila ditinjau dari aspek kesehatan Maka untuk mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan terutama kepada murid sekolah dasar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyuluhan gizi dengan menggunakanan metode ceramah dan leaflet terhadap perilaku memilih makanan jajanan murid di SD Negeri Kelurahan Sako Palembang tahun 2012. Jenis penelitian adalah eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan menggunakan rancangan penelitian pre test dan post test dengan kelompok kontrol, , waktu penelitian selama 3 bulan. Yang menjadi sampel penelitian adalah siswa kelas V dan VI dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang ditentukan.Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat, dengan uji statistik paired t test dan independent t test pada tingkat kepercayaan 95 % dan derajat kemaknaan 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, rentang umur 9 – 13 tahun, ada pengaruh penyuluhan gizi metode ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan, sikap dan tindakan murid sekolah dasar dalam memilih makanan jajanan dengan p= 0,035, p= 0,020,dan p = 0,010 berturut-turut. Kesimpulan penelitian ini adalah penyuluhan dengan metode ceramah dan leaflet berpengaruh dalam meningkatkan perilaku memilih makanan jajanan murid. Disarankan kepada pihak sekolah memberikan pendidikan dasar dan pengawasan secara aktif mengenai makanan atau jajanan yang baik dikonsumsi dan tidak, serta perlu pengawasan di sekitar lingkungan sekolah akan jajanan yang bergizi dan tidak bergizi. Daftar Pustaka : 20 ( 2003 – 2010 ) Kata Kunci : Penyuluhan ceramah dan leaflet, Perilaku makanan jajanan
PENDAHULUAN Anak sekolah merupakan generasi penerus bangsa dan merupakan modal pembangunan, oleh karana itu tingkat kesehatannya perlu dibina dan ditingkatkan. Upaya kesehatan tersebut adalah perbaikan gizi terutama di usia sekolah dasar yaitu usia 7-12 tahun. Gizi yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yaitu sehat, cerdas dan memiliki fisik yang tangguh serta produktif (Dep.kes.RI 2005). Ada berbagai alasan yang seringkali menyebabkan anak tidak sempat sarapan pagi yang akhirnya akan membentuk suatu kebiasaan membeli makanan jajanan di sekolah seperti waktu yang sangat terbatas, jarak sekolah yang cukup jauh, terlambat bangun pagi atau tidak ada selera sarapan
ISSN 0126-107X
pagi. Anak yang tidak sarapan pagi akan mengalami kekosongan lambung sehingga kadar gula darah akan menurun padahal gula darah merupakan sumber energi utama bagi otak dampak negatifnya adalah ketidakseimbangan sistem syaraf pusat yang diikuti dengan rasa pusing, badan gemetar atau rasa lelah. Dalam keadaan demikian anak akan sulit untuk dapat menerima pelajaran dengan baik sehingga konsentrasi belajar terganggu yang akan berakibat pada prestasi belajar anak (Moehji S, 2005). Secara umum jajanan yang dijual pedagang kaki lima di sekolah dasar kualitasnya sangat memprihatinkan bila ditinjau dari aspek kesehatan. Data Badan POM tahun 2010 menunjukkan adanya jajanan yang tidak memenuhi syarat dengan ditemukannya dari 2.984 sampel yang diuji,
17
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
45% diantaranya tidak memenuhi syarat karena mengandung BTP yang dilarang seperti boraks, formalin, rhodamin B, methanol yellow atau BTP yang diperbolehkan seperti benzoate, sakarin, dan siklamat namun penggunaannya melebihi batas serta ada yang tidak memenuhi uji cemaran mikroba karena mengandung Escherichia Coli (E.Coli). Hasil penelitian tersebut menujukkan rendahnya perlindungan pada anak sekolah padahal mengkonsumsi jajanan saat bersekolah sudah jadi aktifitas rutin mereka (Permata, 2010 dalam Dinatia). Makanan jajanan dapat menyumbang asupan energi bagi anak sekolah sebanyak 36%, protein 29% dan zat besi 52%. Maka untuk mengurangi paparan anak sekolah terhadap makanan jajanan yang tidak sehat dan tidak aman perlu dilakukan usaha promosi keamanan pangan baik kepada pihak sekolah, guru, orang tua, murid serta pedagang (Judarwanto 2008). Faktor- faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan jajanan meliputi faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan khususnya pengetahuan gizi, kecerdasan, persepsi, emosi dan motivasi dariluar. Pengetahuan gizi adalah kepandaian memilih makanan yang merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian dalam memilih makananjajanan yang sehat. Pengetahuan gizi anak sangat berpengaruh terhadap pemilihan makanan jajanan (Notoatmodjo, 2003). Sikap seorang anak adalah komponen penting yang berpengaruh dalam memilih makanan jajanan. Sikap positif anak terhadap kesehatan kemungkinan tidak berdampak langsung pada perilaku anak menjadi positif, tetapi sikap yang negatif terhadap kesehatan hampir pasti berdampak pada perilakunya. (Notoatmodjo, 2003). Berkaitan dengan perilaku jajan anak sekolah, beberapa hal yang perlu diteliti antara lain adalah seberapa besar tingkat pengetahuan dan sikap anak yang mendukung pemilihan makanan jajanan. Pengetahuan dan sikap anak tersebut apakah berhubungan dengan perilaku anak dalam memilih jenis makanan jananan (Khomsan 2003). Hasil penelitian Tampubolon (2009) tentang pengaruh media visual poster dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal terbukti bahwa pemajangan poster dan pemberian leaflet dapat mempengaruhi perilaku konsumsi makanan jajanan para pelajar tersebut, demikian juga penelitian Dinatia B (2011) tentang pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan poster terhadap perilaku konsumsi jajanan murid SD di kecamatan Sibolga terbukti bahwa penyuluhan dengan metode ceramah dan poster berpengaruh terhadap 18
peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan murid. Tatanan sekolah merupakan salah satu ruang lingkup promosi kesehatan, dalam promosi kesehatan metode atau media diposisikan sebagai sarana untuk membuat suasana yang kondusif terhadap perubahan perilaku yang positif terhadap kesehatan (Notoatmodjo, 2005) Cara effektif dalam pendekatan kelompok adalah metode ceramah, dengan metode ini dapat terjadi proses perubahan perilaku kearah yang diharapkan melalui peran aktif sasaran dan saling tukar pengalaman sesama sasaran, sementara leaflet dapat memberikan informasi secara detail yang tidak mungkin bila disampaikan secara lisan, sasaran dapat melihat isinya secara santai dan sangat ekonomis, serta praktis karena mengurangi kebutuhan mencatat. Melalui observasi yang dilakukan peneliti dalam survei pendahuluan, peneliti ingin melakukan promosi kesehatan dengan penyuluhan menggunakan metode ceramah dan pembagian leaflet pada murid di SD Kelurahan Sako Palembang sebab di SDN 113 dan 114 di kelurahan ini letaknya berhadapan langsung dengan jalan raya dan banyak penjual makanan dan minuman di dalam dan di luar pagar sekolah serta banyak murid yang membeli makanan jajanan tersebut. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 113 dan 114 Kelurahan Sako Palembang, penelitian dilakukan selama3 (tiga) bulan yaitu dari bulan September sampai November 2012. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen semu (Quasi Experiment) dengan menggunakan rancangan penelitian pretest dan postest dengan kelompok kontrol, dimana sampel akan diuji pengetahuan, sikap dan tindakan dalam memilihi makanan jajanan sebelum dan sesudah diberikan perlakuan berupa penyuluhan gizi dengan metode ceramah tanya jawab dan pembagian leaflet sedangkan kelompok kontrol/ pembanding tidak diberi perlakuan sama sekali. Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah murid kelas V dan kelas VI dengan kriteria inklusi : seluruh murid kelas V dan kelas VI, bersedia menjadi responden, dalam keadaan sehat dan hadir pada saat peneitian, murid dapat berkomunikasi dengan baik. Kriteria eksklusi : sampel tidak digunakan dalam penelitian jika sedang sakit. Kriteria yang sama juga diambil sampel untuk kelompok pembanding. Hasil perhitungan besar sampel diperoleh sebanyak 36 orang untuk masing-masing kelompok. Dengan memperhitungkan kemungkinan droup out, maka ISSN 0126-107X
Mardiana, Nurul Salasa Nilawati, Eliza, Pengaruh Penyuluhan Gizi Metode Ceramah Dan Leaflet Terhadap Perilaku Memilih Makanan Jajanan Murid Di SD Negeri Kelurahan Sako Palembang 2012
dipersiapkan cadangan sampel sebanyak 10% untuk setiap kelompok (10% x 36) + 36= 39,6 atau dibulatkan menjadi 40 murid untuk masing – masing kelompok Cara pengambilan sampel untuk menentukan jumlah murid yang akan diambil perkelas menggunakan tehnik Proporsional Stratified Random dan cara pengambilan sampel dengan simpel random sampling Data yang diperoleh di analisis menggunakan paired t test untuk melihat pengaruh penyuluhan terhadap perilaku dan uji t independent untuk melihat perbedaan rerata dua kelompok. Keputusan pengujian hipotesis penelitian didasarkan pada tingkat kepercayaan 95% dan derajat kemaknaan α = 0,05. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Responden adalah murid kelas 5 dan 6 dengan rentang usia 9 – 13 tahun, sebagian besar berusia 10 tahun yaitu 45 % pada kelompok perlakuan dan 32,5 % pada kelompok pembanding. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 62,5 % pada kelompok perlakuan dan 60 % pada kelompok pembanding. Lebih banyak responden yang duduk di kelas 5 yaitu 52,5 % pada kelompok perlakuan dan 55 % pada kelompok pembanding. Analisis Univariat Tabel 1. Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretest dan Postest pada Variabel Pengetahuan Murid Rerata skor nilai Pretest
Postest
Selisih rerata
p
7,80 ± 1,990 7,25 ± 1,822
8,80 ± 1,539 7,33 ± 2,055
1 0,08
0,001 0,819
Kelompok Perlakuan Pembanding
Hasil analisis Tabel 1 menunjukkan bahwa setelah diberikan penyuluhan metode ceramah dan leaflet pada kelompok perlakuan, skor rerata dan simpangan baku variabel pengetahuan murid meningkat dari 7,80 (±1,990) menjadi 8,80 (±1,539) dengan selisih rerata 1 dan p = 0,001 artinya setelah diuji dengan paired t test terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Sedangkan pada kelompok pembanding menunjukkan terjadi peningkatan dari pretest ke postest yaitu dari 7,25 (±1,822) menjadi 7,33 (±2,055) dengan selisih rerata sebesar 0,08 dan p = 0,819 artinya setelah diuji dengan paired t test tidak terdapat perbedaan.
ISSN 0126-107X
Tabel 2. Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretest dan Postest pada Variabel Sikap Murid Kelompok Perlakuan Pembanding
Rerata Skor nilai Pretest
Postest
Selisih rerata
p
8,30 ± 1,067 7,88 ± 1,362
8,78 ± 0,974 7,65 ± 1,610
0,48 -0,23
0,024 0,298
Hasil analisis Tabel 2 menunjukkan bahwa setelah diberikan penyuluhan metode ceramah dan leaflet pada kelompok perlakuan, skor rerata dan simpangan baku variabel sikap murid meningkat dari 8,30 (± 1,067) ke 8,78 (±0,974) dengan selisih rerata 0,48. dan p = 0,024 artinya setelah diuji dengan paired t test terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Sedangkan pada kelompok pembanding mengalami penurunan dari pretest ke postest yaitu 7,88 (± 1,362) ke 7,65 (± 1,610) dengan selisih rerata sebesar -0,23 dan p = 0,298 artinya setelah diuji dengan paired t test tidak terdapat perbedaan Tabel 3 Rerata dan Simpangan Baku Skor Pretest dan Postest pada Variabel Tindakan murid Kelompok Perlakuan Pembanding
Rerata skor nilai Pretest
Postest
9,10 ± 0,982 9,13 ± 0,757
9,58 ± 0,594 8,93 ± 1,185
Selisih rerata
p
0,48 -0,20
0,004 0,331
Hasil analisis Tabel 3 menunjukkan bahwa setelah diberikan penyuluhan metode ceramah dan leaflet pada kelompok perlakuan skor rerata dan simpangan baku variabel tindakan murid meningkat dari 9,10 (± 0,982) ke 9,58 (± 0,594) dengan selisih rerata 0,48 dan p = 0,004 artinya setelah diuji dengan paired t test terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan. Sedangkan pada kelompok pembanding mengalami penurunan dari pretest ke postest yaitu dari 9,13 (± 0,757) ke 8,93 (± 1,185) dengan selisih rerata sebesar -0,20 dan p = 0,298 artinya setelah diuji dengan paired t test tidak terdapat perbedaan Analisis Bivariat Tabel 4. Selisih Rerata Skor Pengetahuan Murid Sekolah Dasar dalam Memilih Makanan Jajanan Kelompok Perlakuan dan Pembanding Kelompok
Selisih pengetahuan sebelum dan sesudah perlakuan
p
Mean ± SD Perlakuan Pembanding
1,00 ± 1,783 0,08 ± 2,055
0,035
19
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Hasil analisis statistik Tabel 4 dengan menggunakan uji t Independent menunjukan bahwa ada selisih rerata antara pengetahuan sebelum dan sesudah diberi penyuluhan dengan p = 0,035. Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada pengetahuan murid mengenai pemilihan makananan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Tabel 5. Selisih Rerata Skor Sikap Murid Sekolah Dasar dalam Memilih Makanan Jajanan Kelompok Perlakuan dan Pembanding Kelompok
Selisih Sikap sebelum dan sesudah perlakuan
p
Mean ± SD Perlakuan Pembanding
0,48 ± 1,281 0,23 ± 1,349
0,020
Hasil analisis statistik Tabel 5 dengan menggunakan uji t Independent menunjukan bahwa ada selisih rerata antara sikap murid sebelum dan sesudah diberi penyuluhan dengan p = 0,020. Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada sikap murid mengenai pemilihan makananan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Tabel 6. Selisih Rerata Skor Tindakan Murid Sekolah Dasar dalam Memilih Makanan Jajanan Kelompok Perlakuan dan Pembanding Kelompok
Selisih Tindakan sebelum dan sesudah perlakuan
p
Mean ± SD Perlakuan Pembanding
0,48 ± 0,987 0,20 ± 1,285
0,010
Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji t Independent menunjukan bahwa ada selisih rerata antara tindakan murid sebelum dan sesudah diberi penyuluhan dengan p = 0,010. Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang bermakna pada tindakan murid mengenai pemilihan makananan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. PEMBAHASAN Perbedaan rata-rata Pengetahuan, sikap dan tindakan murid sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok Pada hasil analisa statistik uji paired t test terhadap skor rerata pretest pengetahuan, sikap 20
dan tindakan murid menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ketiga variabel mengalami peningkatan skor, p < 0,05 berarti ada perbedaan atau ada pengaruh yang bermakna pada perilaku murid dalam memilih makanan jajanan setelah diberikan penyuluhan metode ceramah dan leaflet, sedangkan pada kelompok pembanding menujukkan bahwa ketiga variabel yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan p > 0,05 yang secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara pretest dan postest terhadap perilaku murid dalam memilih makanan jajanan. Perbedaan Perubahan Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Murid Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pembanding Pengetahuan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rerata skor pengetahuan pada kelompok yang menerima perlakuan mengalami peningkatan (Tabel 1). Peningkatan pengetahuan ini disebabkan oleh karena telah diberikan intervensi berupa penyuluhan dan pembagian leaflet mengenai makanan jajanan secara berulang sebanyak 4 kali selama 1 bulan sehingga dapat mempengaruhi murid dalam menerima informasi yang diberikan dan dapat meningkatkan pengetahuan murid. Kemudian pengetahuan pada kelompok pembanding (tanpa perlakuan, Tabel 1) terjadi kenaikan skor rerata yang dapat disebabkan oleh adanya bias ingatan. Terjadinya bias ingatan karena bias pengulangan test yaitu adanya test yang berulang mengakibatkan adanya pengingatan akan item-item yang ditanyakan pada kuesioner. Berdasarkan hasil analisis statistik uji t independent didapatkan p = 0,035 yang berarti ada perbedaan/ pengaruh pengetahuan murid dalam memilih makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2007) terjadi peningkatan skor pengetahuan ibu setelah diberi penyuluhan dengan menggunakan modul (p = 0,001), hal ini juga sesuai dengan penelitian Khairunnisak (2008) tentang pengaruh penyuluhan sayur dan buah terhadap pengetahuan remaja putri SMAN 1 Julok Kabupaten Aceh Timur juga menyimpulkan bahwa penyuluhan dalam bentuk ceramah dengan memperlihatkan contoh sayur dan buah serta pemberian leaflet mampu meningkatkan pengetahuan remaja putri tentang sayur dan buah. Menurut Notoatmodjo (2003), keuntungan menggunakan leaflet antara lain sasaran dapat menyesuaikan dan belajar secara mandiri serta praktis karena mengurangi kebutuhan mencatat. Sasaran dapat melihat isinya di saat santai dan ISSN 0126-107X
Mardiana, Nurul Salasa Nilawati, Eliza, Pengaruh Penyuluhan Gizi Metode Ceramah Dan Leaflet Terhadap Perilaku Memilih Makanan Jajanan Murid Di SD Negeri Kelurahan Sako Palembang 2012
sangat ekonomis. Lembarannya dapat dibolak balik sangat membantu meningkatkan pengetahuan. Dalam penelitian ini pengetahuan murid melalui pemberian penyuluhan metode ceramah dan pembagian leaflet meningkat, dikarenakan peneliti telah memberikan proses belajar mengajar dengan memanfaatkan semua alat inderanya seperti indera pandang, dengar dan lainnya. Pemberian ceramah dengan menggunakan audio visual dan menampilkan gambar-gambar yang menarik sangat membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas mengingat, mengenali dan mengingat kembali dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep sehingga menimbulkan proses tanya jawab antara peneliti dan murid dan pada akhirnya mereka dapat menjawab kuesioner yang diberikan. Pengetahuan gizi sangat diperlukan dalam upaya pemilihan makanan yang akan dikonsumsi, dengan tujuan agar makanan tersebut memberikan gizi sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengetahuan gizi sebaiknya telah ditanamkan sedini mungkin. Anak yang didasari dengan pengetahuan gizi yang baik akan memperhatikan keadaan gizi setiap makanan yang dikonsumsinya. Pengetahuan anak dapat diperoleh baik secara internal maupun eksternal. Pengetahuan secara internal yaitu pengetahuan yang berasal dari dirinya sendiri berdasarkan pengalaman hidup. Pengetahuan secara eksternal yaitu pengetahuan yang berasal dari orang lain sehingga pengetahuan anak tentang gizi bertambah. Sikap Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai rerata skor sikap pada kelompok yang menerima perlakuan mengalami peningkatan (Tabel 2). Sikap seseorang dipengaruhi oleh faktor internal yaitu faktor psikologis dan faktor fisiologis serta faktor eksternal berupa intervensi yang datang dari luar individu misalnya berupa penyuluhan, pendidikan dan pelatihan. (Walgito B. 1994). Kemudian pada kelompok pembanding (tanpa perlakuan, Tabel 2) terjadi penurunan skor rerata sikap. Hal ini disebabkan karena tidak adanya stimulus mengenai makanan jajanan pada kelompok ini. Penurunan skor rerata sikap disini bisa karena kelompok ini belum pernah mendapatkan penyuluhan mengenai makanan jajanan yang aman dan sehat sehingga mereka terbiasa bebas memilih jajanan. Dalam usia ini anak-anak gemar sekali jajan. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di rumah atau akibat pengaruh teman. Kadang-kadang anakanak ini menolak untuk makan pagi di rumah, dan sebagai gantinya meminta uang jajan. Jajanan yang mereka beli dapat berupa barang, bahan-bahan atau ISSN 0126-107X
makanan yang mereka senangi saja, misalnya es, gula-gula atau makanan-makanan lain yang kurang nilai gizinya. Berdasarkan hasil analisis statistik uji t independent didapatkan p = 0,020 yang berarti ada perbedaan/ pengaruh sikap murid dalam memilih makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Tampubolon (2009) tentang pengaruh media visual poster dan leaflet makanan sehat terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan pelajar kelas khusus SMA Negeri 1 Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal terbukti bahwa pemajangan poster dan pemberian leaflet dapat mempengaruhi sikap para pelajar tersebut terhadap makanan jajanan. Sejalan juga dengan penelitian Pulungan dalam Bintaria (2011) mengenai pengaruh metode penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil dalam Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) di Kecamatan Helvetia menyimpulkan bahwa metode ceramah dengan leaflet maupun ceramah dengan film berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap dokter kecil. Menurut Azwar (2007) salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengaruh orang lain yang dianggap penting. Orang yang biasanya dianggap penting oleh individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, dan guru. Pada umumnya anak cenderung untuk memiliki sikap searah dengan sikap orang yang dianggap penting. Sikap merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap hanyalah kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek dengan suatu cara. Jadi, sikap adalah pandangan, pendapat, tanggapan ataupun penilaian dan juga perasaan seseorang terhadap stimulus atau objek yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak (Notoatmodjo, 2003). Dalam penelitian ini perubahan sikap dipengaruhi sejauh mana isi komunikasi atau rangsangan diperhatikan, dipahami dan diterima oleh murid sehingga memberi respon positif. Metode penyuluhan dipengaruhi oleh faktor bahan atau materi yang diajarkan, suasana, waktu, alat yang digunakan, kondisi penyuluh dan murid serta kepentingan penyuluhan. Peningkatan skor sikap karena murid telah memahami bahaya bahan-bahan makanan yang terkandung dalam makanan jajanan bagi kesehatan baik masa sekarang maupun masa yang akan datang seperti yang dijelaskan dalam materi penyuluhan
21
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tindakan Nilai rerata skor tindakan pada kelompok perlakuan mengalami peningkatan (Tabel 3). Hal ini disebabkan oleh karena murid telah mendapatkan penyuluhan yang berulang kali di sampaikan oleh peneliti mengenai pengaruh positif dan negatif makanan jajanan. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan Jadi, sebelum seseorang berperilaku baru, dia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003). Pada kelompok pembanding terjadi penurunan skor rerata tindakan disebabkan mereka tidak diberikan perlakuan/ penyuluhan sama sekali mengenai makanan jajanan yang sehat, serta kurangnya informasi dari pihak sekolah mengenai cara pemilihan makanan jajanan terhadap murid sementara makanan jajanan yang tersedia di dalam dan di luar pagar sekolah beraneka ragam. Berdasarkan hasil analisis statistik uji t independent didapatkan p = 0,010 yang berarti ada perbedaan/ pengaruh penyuluhan gizi metode ceramah dan leaflet terhadap tindakan murid dalam memilih makanan jajanan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bintaria S, (2011) menyimpulkan bahwa penyuluhan dengan metode ceramah dan poster terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan murid di SD sangat berpengaruh terhadap peningkatan tindakan murid dengan perbedaan rata-rata=9,990 dan taraf signifikan=0,000. Sejalan juga dengan penelitian Ira Rahmawati dkk bahwa penyuluhan dengan media modul dan audio visual sangat berpengaruh (p<0,05) terhadap tindakan ibu balita gizi kurang dan buruk di Kabupaten Kota Waringin Barat Propinsi Kalimantan Tengah. Menurut Notoadmodjo (2003) Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan dia akan melaksanakan apa yang diketahui atau disikapinya. Inilah yang disebut tindakan kesehatan. Tindakan anak sekolah terhadap makanan tercermin dari kebiasaan makannya. Dalam penelitian ini kebiasaan makan anak sekolah sangat khas dan berbeda sehingga perlu perhatian khusus, terutama bila kebiasaan jajan tersebut kurang baik akan dapat mengakibatkan penurunan status gizi. Adanya pengaruh penyuluhan tentang makanan jajanan murid pada kelompok perlakuan terhadap peningkatan skor tindakan, menunjukkan bahwa materi penyuluhan yang diberikan telah benar-benar dipahami sehingga 22
menambah pengetahuan dan sikap yang di dukung oleh tindakan murid ke arah positif dalam memilih makanan jajanan. KESIMPULAN 1.
Gambaran perilaku murid pada kelompok perlakuan pretest dan postest
-
Rerata Skor pengetahuan 7,80 dan 8,80 selisih rerata 1 Rerata Skor sikap 8,30 dan 8,78 selisih rerata 0,48 Rerata Skor tindakan 9,10 dan 9,58 selisih 0,48 Gambaran perilaku murid pada kelompok pembanding pretest dan postest Rerata Skor pengetahuan 7,25 dan 7,33 selisi rerata 0,08 Rerata Skor sikap 7,88 dan 7,65 selisih rerata -0,23 Rerata Skor tindakan 9,13 dan 8,93 selisih rerata -0,20 Ada perbedaan/ pengaruh penyuluhan gizi metode ceramah dan leaflet terhadap pengetahuan murid antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding (p=0,035) Ada perbedaan/ pengaruh penyuluhan gizi metode ceramah dan leaflet terhadap sikap murid antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding (p=0,020) Ada perbedaan/ pengaruh penyuluhan gizi metode ceramah dan leaflet terhadap tindakan murid antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding (p=0,010)
- - - - - 2.
3.
4.
SARAN 1. Peran orang tua Sangat diharapkan peran orang tua murid dalam memberikan makanan yang bergizi dan mengajarkan anak untuk mengonsumsi atau memilih makanan jajanan yang bergizi. Pendekatan yang baik dengan anak dan komunikasi atau cara penyampain pendidikan dasar mengenai makanan jajanan yang bergizi dapat membuat anak lebih berhati-hati dalam memilih makanan atau jajanan. Perhatian dari kedua orang tua sangat diperlukan terutama pada jajanan dan makanan kesukaannya. Makanan yang diberikan saat dirumah hendaknya memperhatikan nilai gizi dengan menyesuaikan kondisi sosial ekonomi keluarga.
ISSN 0126-107X
Mardiana, Nurul Salasa Nilawati, Eliza, Pengaruh Penyuluhan Gizi Metode Ceramah Dan Leaflet Terhadap Perilaku Memilih Makanan Jajanan Murid Di SD Negeri Kelurahan Sako Palembang 2012
2. Peran guru Sangat diharapkan peran guru di sekolah guna memberikan pendidikan dasar dan pengawasan secara aktif mengenai makanan atau jajanan yang baik dikonsumsi dan tidak baik untuk dikonsumsi. Perlu pengawasan di sekitar lingkungan sekolah akan jajanan yang bergizi dan tidak bergizi dan melarang pedagang di sekitar sekolah menjual makanan yang tidak bergizi. Perlu penanganan secara khusus dari pemerintah untuk menangani permasalahan ini. Sosialisasi mengenai asupan gizi yang dibutuhkan oleh anak sekolah dasar dapat dilakukan sebagai upaya promotif untuk meningkatkan status gizi anak sekolah dasar. DAFTAR PUSTAKA Anjelisa, dkk. 2010. Sosialisasi Cara Penggunaan Obat yang Baik melalui Penyebaran Poster dan Leaflet pada Unit Pelayanan Kesehatan di Lubuk Pakam Kabupaten Deli Serdang. Pengabdian MasyarakaTahun ke III (1): 7390. Amir Aswita, 2008 Pengaruh penyuluhan model pendampingan terhadap perubahan status gizi anak usia 6-24 bulan. Tesis Gizi Kesmas Undip. Semarang. Azwar Syaifudin, 2007 Sikap Manusia, Pustaka Pelajar Offset Bintaria S Dinatia, 2011, Pengaruh penyuluhan dengan metode ceramah dan poster terhadap perilaku konsumsi makanan jajanan murid di SD Kelurahan Pincuran Kerambil Kec. Sibolga Sambas Kota Sibolga tahun 2011. Depkes RI. 2005. Pedoman Perbaikan Gizi Anak Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. http://depkes.go.id. Diakses pada tanggal 4 Januari 2011. Depkes RI. 2007. Panduan Promosi Kesehatan di Sekolah. http:// depkes.go.id. Diakses pada tanggal 4 Januari 2011. Handayani, L. 2008. Pengaruh Poster sebagai Promosi Kesehatan terhadap Perilaku Ibu dalam Pemberian MP-ASI pada Baduta (6-24 bulan) di Posyandu Kelurahan Asam Kumbang Kecamatan Medan Selayang Tahun 2008. Skripsi Gizi Kesehatan Masyarakat USU. Medan. Ishak S,Ismail D, Wilopo SA.2005. Perbandingan Efektifitas Metode Partisipatif dengan Informatif dalam meningkatkan Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang Diare Anak Balita ISSN 0126-107X
Rahmawati Ira dkk, 2007, Pengaruh Penyuluhan Dengan Media Audio Visual terhadap Peningkatan Pengetahuan, Sikap, Dan perilaku Ibu Balita Gizi Kurang dan buruk di Kabupaten Kota Waringin Barat Propinsi Kalimantan Tengah Judarwanto, W. 2008. Perilaku Makan Anak Sekolah. http://gizi.net. Diakses pada tanggal 4 Januari 2011. Khomsan, A. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta. Lucie, S. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Ghalia Indonesia: Bogor. Mudjajanto, E. S. 2006. Keamanan Makanan Jajanan Tradisional. Penerbit Buku Kompas: Jakarta. Moehji, S, 2003 Ilmu Gizi Daur Kehidupan, Jakarta : Bhratara Niaga Media Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta: Jakarta Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta: Jakarta. Purtiantini, 2010, Hubungan Pengetahuan dan Sikap Mengenai Pemiihan Makanan Jajanan dengan Perilaku Anak Memilih Makanan di SDIT Muhammadiyah A l Kautsar Gumpang Kartasura. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta Suharjo. 2003. Berbagai Cara pendidikan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta. Walgito B. Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 1994). Yulianingsih, P. 2009. Hubungan Pengetahuan Gizi Dengan Sikap Anak SekolahDasar Dalam Memilih Makanan Jajanan di Madrasah IbtidaiyahTanjunganom, Kecamatan Baturetno, Wonogiri. Karya Tulis Ilmiah.Program Studi Diploma III Gizi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
23
ANALISIS PENGARUH SUPERVISI DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA DOSEN DI JURUSAN FARMASI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALEMBANG Sidri, Sarmadi Program Pascasarjana Program Studi Magister Manajemen Universitas Tridinanti Palembang ABSTRACT This research studies the influence of Supervition and Organizational Culture toward Lecturer Performance at at The Pharmacy Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang. This Research was done during 6 ( six) months included design, executing and report the result. The research of this case study aims to know the influence of Supervition and Organizational Culture with Lecturer Performance at The Pharmacy Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang either through parsial and also together. The population In this research are the Lecturer at The Pharmacy Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang, totally 32 people. Keywords : Supervitiont, Organizational Culture and Lecturer Performance
PENDAHULUAN Kebijakan pembangunan nasional meletakkan peningkatan mutu sumber daya manusia sebagai prioritas utama, dimana Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan dalam Undang-Undang Pendidikan nomor 20 tahun 2003 pasal 3 adalah sebagai berikut : “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palembang mempunyai tanggung jawab untuk mempersiapkan peserta didik / mahasiswa menjadi tenaga kesehatan yang berjiwa nasional dan dapat diandalkan secara professional serta memiliki sikap etis guna mengemban tugas dan melaksanakan pembangunan kesehatan. Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Palembang sebagai institusi penyelenggara pendidikan harus memberikan layanan pendidikan dan menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu, dapat melakukan upaya-upaya terobosan dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai penyedia Sumber Daya Manusia Kesehatan yang profesional dengan cara membangun iklim yang kondusif bagi terlaksananya proses belajar mengajar. Tingkat kinerja seseorang dosen merupakan suatu ukuran dari output barang dan jasa 24
dibandingkan dengan input tenaga kerja, bahanbahan dan peralatan. Semakin produktif sebuah lembaga pemerintahan dalam hal pendidikan, semakin baik daya saingnya karena unit cost yang dikeluarkan semakin rendah. Peningkatan kinerja dosen berarti mendapat lebih banyak input yang diperoleh sebagai bahan untuk menghasilkan output yang diharapkan. Peningkatan kinerja bukan berarti bekerja lebih keras dan kuat, tetapi bagaimana agar kita dapat bekerja dengan cerdas, efektif, efisien dan ekonomis. Peningkatan kinerja selain dipengaruhi oleh Supervisi dan Budaya Organisasi, juga harus diimbangi dan diciptakan sebaik-baiknya supaya moral kerja, dedikasi, kecintaan dan kepusasaan kerja dosen yang meningkat. Kegiatan pokok Supervisi adalah melakukan pembinaan karyawan pada umumnya dan dosen pada khususnya agar kualitas pembelajarannya meningkat. Dengan demikian sangatlah diperlukan Supervisi yang efektif yang pada akhirnya akan mendorong peningkatan Kinerja dosen sesuai dengan kualitas dan kuantitas pendidikan yang diharapkan. Dalam proses belajar mengajar agar memenuhi sasaran yang dikehendaki perlu dilakukan Supervisi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dosen atau kesiapan dosen dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Untuk itu diperlukan Supervisi, baik dari Pimpinan maupun Pengawas Pembina dan pengawas Mata Pelajaran terhadap dosen dalam meningkatkan Kinerjanya. Budaya organisasi juga harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan baik yang berskala domestik maupun global akibat dinamika masyarakat yang semakin berkembang. ISSN 0126-107X
Sidri, Sarmadi, Analisis Pengaruh Supervisi Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Di Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang
Budaya organisasi juga memiliki visi dan misi jauh kedepan. Akibatnya orang-orang yang ada di dalam organisasi tersebut proaktif, antisipatif khususnya pada era informasi sekarang ini yang penuh tantangan, peluang, dan persaingan. Dengan terciptanya budaya organisasi yang memiliki kemampuan budaya organisasi, maka diharapkan dapat memacu Kinerja para pegawai dalam melaksanakan tugasnya lebih berdaya guna dan berhasil guna. Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan secara paradigma/ alur pikir sebagai berikut :
(1)
(2) (3)
Gambar : 1. Kerangka Berpikir METODE Dalam menganalisis data ini, digunakan analisa statistik deskriptif dan analisa statistik inferensial. Penelitian ini bersifat hubungan sebab akibat yang mempunyai variabel X1 Supervisi, dan X2 Budaya Organisasi sedang untuk variabel Y adalah Kinerja dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang . Dalam menganalisa data peneliti menggunakan analisa statistik diskriptif terlebih dahulu kemudian menggunakan analisa statistik inferensial dengan metode regresi yang diolah dengan menggunakan SPSS Release 17.00. Dalam meminimalkan kekeliruan (error) dipergunakan taraf signifikansi sebesar 0,05.
Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh dosen Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang sebanyak 32 orang. Adapun pengambilan sampel dengan Sampel Jenuh, yaitu pengambilan sampel secara keseluruhan sebanyak 32 orang . Teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota/ unsur yang kurang dari 100. Dalam melaksanakan penelitian ini peneliti memerlukan pengumpulan data melalui data primer ; yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data dengan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara pemberian / penyebaran kuisioner. Operasional Variabel Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas, yaitu Supervisi dan Budaya Organisasi dan variabel terikatnya yaitu Kinerja Dosen. Dalam instrumen penelitian ini peneliti memberikan sejumlah daftar pertanyaan (Quistioneire) kepada responden, yaitu dosen Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang yang menjadi sample dalam penelitian ini dengan menggunakan skala Likert. Skala ini dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi sesorang atau sekelompok orang tentang fenomena social. Dengan Skala Likert maka variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi Indikator variabel, kemudian indikator tersebut dijadikan sebagai titik tolak untuk menyusun item-item (butir soal) yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan HASIL Hasil analisa statistik yang dilakukan dengan bantuan komputer meliputi koefisien korelasi Product Momen sebagai berikut :
Tabel 1 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Coefficientsa
Model 1
(Constant) SUPERVISI (X1) BUDAYA ORGANISASI (X2)
ISSN 0126-107X
Unstandardized Coefficients B Std. Error 14.020 6.352 .480 .130 .333
.145
Standardized Coefficients Beta .577
t 2.207 3.700
Sig. .035 .001
.359
2.303
.029
25
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Hasil perhitungan komputer menunjukkan bahwa koefisien regresi untuk variabel Supervisi (X1) 0,480, Budaya organisasi (X2) 0,333, dan juga menghasilkan nilai konstanta sebesar 14,020. sehingga persamaan Regresi Linear Berganda adalah sebagai berikut : Ý = 14,020 + 0,480X1 + 0,333X2 + e Tabel 2 Hasil Analisis Korelasi Karl Pearson Correlations
KINERJA (Y)
SUPERVISI (X1)
BUDAYA ORGANISASI (X2)
BUDAYA KINERJA (Y) SUPERVISI (X1) ORGANISASI (X2) ** Pearson Correlation 1 .886 .856** Sig. (2-tailed) .000 .000 Sum of Squares and Cross486.469 517.656 448.875 products Covariance 15.693 16.699 14.480 N 32 32 32 Pearson Correlation .886** 1 .861** Sig. (2-tailed) .000 .000 Sum of Squares and Cross517.656 701.719 542.625 products Covariance 16.699 22.636 17.504 N 32 32 32 Pearson Correlation .856** .861** 1 Sig. (2-tailed) .000 .000 Sum of Squares and Cross448.875 542.625 565.500 products Covariance 14.480 17.504 18.242 N 32 32 32
Berdasarkan tabel tersebut diatas menunjukkan bahwa hubungan antara variabel independen berupa Supervisi, Budaya organisasi dengan variabel devenden (Kinerja dosen) lebih besar 0,5, dengan angka sebesar ini menunjukkan adanya hubungan positif yang erat antara variabel Supervisi, Budaya organisasi dengan Kinerja dosen. PEMBAHASAN Kedua variabel bebas tersebut variabel Supervisi (X1), Budaya organisasi (X2) mempunyai korelasi yang kuat dan positif terhadap Kinerja dosen, artinya Bila variabel Supervisi (X1), Budaya organisasi (X2) meningkat maka akan mengakibatkan meningkatnya Kinerja dosen , begitu pula sebaliknya, apabila variabel Supervisi (X1) Budaya organisasi (X2) menurun maka Kinerja dosen juga akan menurun. Bahwa antara variabel Supervisi (X1), Budaya organisasi (X2) mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel Kinerja dosen (Y) terdapat korelasi sebesar 0,905 termasuk pada katagori tingkat hubungan yang sangat kuat dan Korelasi tersebut signifikan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa koefisien regresi untuk variabel Supervisi (X1) sebesar 0,480, Budaya organisasi (X2) 0,333 dan juga menghasilkan nilai konstanta sebesar 14,020 Konstanta sebesar 14,020 menyatakan
26
bahwa jika tidak ada peningkatan Supervisi (X1) Budaya organisasi (X2) ( secara matematika, X1, dan X2 adalah 0 ) maka Kinerja dosen tetap sebesar 14,020 unit skor. Hal ini bisa dipahami, karena masih banyak variabel lain yang belum dimasukkan dalam penelitian ini, seperti variabel Budaya organisasi, Supervisi dan lain-lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Dengan melihat besarnya koefisien regresi bahwa variabel Supervisi (X1) 0,480 atau sama dengan 48,00% Artinya kecendrungan proyeksi perubahan antara variabel Supervisi (X1) dengan variabel Kinerja dosen (Y) menunjukkan bahwa setiap perubahan atau peningkatan variabel Supervisi sebesar 100% maka mengakibatkan perubahan atau peningkatan pula pada variabel Kinerja dosen 48,00% dengan tingkat signifikansi sebesar 5%. Koefisien regresi Variabel Budaya organisasi (X2) sebesar 0,333. Artinya, kecenderungan proyeksi perubahan antara variabel Budaya organisasi dengan Kinerja dosen menunjukkan bahwa setiap perubahan atau peningkatan Budaya organisasi sebesar 100% akan mengkibatkan perubahan atau peningkatan pula pada Kinerja dosen 33,30% dengan pengujian t variabel ini signifikan dengan tingkat signifikansi sebesar 5%. Koefisien determinasi ( R2 ) sebesar 0,806, nilai tersebut dapat ditafsirkan bahwa besarnya persentase pengaruh antara variabel Supervisi (X1), Budaya organisasi (X2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Kinerja dosen (Y)
ISSN 0126-107X
Sidri, Sarmadi, Analisis Pengaruh Supervisi Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Di Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang
Jurusan farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang. Dengan kata lain kontribusi efektif atau dapat dijelaskan oleh variabel Supervisi (X1), Budaya organisasi (X2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel Kinerja dosen (Y) Jurusan farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang adalah sebesar 80,60% sedangkan selebihnya 19,40% dijelaskan/ dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. Dengan uji – F, variabel Supervisi (X1) dan Budaya organisasi (X2) secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap Kinerja dosen, hal ini dapat dilihat dari nilai Uji –F dimana nilai F-hitung lebih kecil dari nilai F-tabel dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 5% (∝=0,05). KESIMPULAN Secara parsial, variabel Supervisi berpengaruh secara nyata terhadap Kinerja dosen, demikian juga variabel Budaya organisasi berpengaruh secara nyata terhadap Kinerja dosen, hal ini dapat dilihat dari nilai Uji –t dimana nilai t-hitung lebih kecil dari nilai t-tabel dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 5% (∝=0,05). Secara simultan, variabel Supervisi (X1) dan Budaya organisasi (X2) secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap Kinerja dosen, hal ini dapat dilihat dari nilai Uji –F dimana nilai F-hitung lebih kecil dari nilai F-tabel dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 5% (∝=0,05). Kedua variabel Supervisi (X1) dan Budaya organisasi (X2) mempunyai korelasi yang kuat dan signifikan dengan Kinerja dosen. Diperoleh koefisien Determinasi ( R2 = 0,806). Hasil ini secara statistik sangat signifikan artinya 80,60% secara bersama-sama dapat menjelaskan pengaruh dari variabel Supervisi (X1) dan Budaya organisasi (X2) terhadap variable Kinerja dosen, sedang sisanya 19,40% dapat dijelaskan oleh variabel yang lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2002; Prosedur Penelitian Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah; Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolh Dasar Dari Sentralisasi menuju Desentralisasi, Jakarta.PT.Bumi Aksara. -----------------------, 2006; Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi III, Jakarta, Rineka Cipta. ISSN 0126-107X
BP 7 Pusat,2001; UUD 1945, P 4-1978, GBHN2008, Jakarta, BP-7. Buchari, Muchtar, 2005; Transformasi Pendidikan, Jakaarta, IKIP-MJ-Press. Cohen, William, 2002; Budaya organisasion and Performance Managing Profesional Workin Human Service Organisations, San Francisco,California JosseyBass,INC,Publisher. Djamarah, Saiful Bahri, 2002; Belajar,Jakaarta, RinekaCipta.
Psikologi
Danim,Sudarman,2003; Visi Baru ManajemenSekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembanga Akademik, Jakarta,PT. BumiAksara. Darmaningtiyas, 2008; Pendidikan dan Peningkatan SDM di Sumatera Selatan, (makalah,Seminaar Nasional MMUTP), Palembang, MMUTP. Dessler,Gerry, 2007; Human Resource Management. New Jersey: A.Simon & Schuster Company. Davis, B. and Newstroom, 2007; Frederick Hedderg 2006. Public Personel Administration, New York HaperandRowPublisher. Devis. Kart,2002; Human Behavior at Work Organization Behavior, New Delhi. Faisal. Sanafiah, 2009; Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta Rajawali Press. Geri dan Smeltzer,2000; Motivation Ledershif Orgnizationto Americans Teories Apply op rood Organization Dinamic. Graffin. Ricky and Ebert,Ronald J.2006; Bussines, touth edition, NewJersey. Gordon. J. R, 2006; Human Behavior at Work; Organization Behavior, by, MC. Graw Hill. Handoko. T.Hani,2007,Manajemen Sumber Daya Manusia, edisi VIII, BP. F.Ekonomi,Jogjakaarta. Haryono. Siswoyo, 2007; Metodologi Penelitian Bisnis, Teori dan Alikasi, Palembang, MMUTP. ----------------------, 2008; Statistika Penelitian Manajemen Dengan Bantuan Program SPSS, edisi III, Palembang, MM-UTP. 27
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
----------------------, 2008; Sukses Menulis Tesis Untuk Bisnis Dan Manajemen, Palermbang, MM-UTP. Hasibuan, 2000; Dasar-Dasar Manajemen dan Administrasi, Jakarta, Graha Indinesia. Landy. Frank J. and James L.Faar,2003;The Mesurement of Work Performance Methodes,Theory and Aplications; London,Academick Press.
Thoha. Miftah,2009; Perilaku Organisasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Undang-Undang RI Tahun 2005 Tentang dosen dan dosen, Bandung,Citra Umbara. Waliono,2007, Pendidikan Di Indonesia,Jakarta, Bumi Aksara. Winardi, 2000, Kepemimpinan dan Manajemen, Jakarta, PT. Rineka Cipta.
Mangkunegara. Anwar A. A, 2002; Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, Bandung, R. Rosdakarya. Matis. L. Robert and Jaction; Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Salemba Opset. Nawawi Hadari, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Untuk Bisnis yang KOmpetitf, Yogya karta,PT. Pradya Pramita. ------------------,2003; Kepemimpinan Manajemen Organisasi,Yogyakarta, Gajah Mada Universiti. Narbuko. Cholid. dan H Abu Ahmadi, 2007; Metodologi Penelitian, Jakarta. Bumi Aksara. Robbins.Stephen P,2006, Organizational Behavior Consept, Controversies Aplication, Seven Edition.Prentice Hall International, inc, Englewood Clifs.NewJersey. Santiago. Faisal, 2005; Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Cintiya Press. Setiarso. Bambang, 2007; Penerapan Teknologi Informasi Dalam Sistem Dekumentasi dan Perpustakaan,Jakarta, R. Grasindo. Sulbahri Madjir, Kamsrin Sa’i, Baidowi Abdhie, 2011, Panduan Pengolahan Data dengan Program SPSS, Penerbit Unsri Palembang. Simamora. Hendry,2007; Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakaarta, STIE-YKPN. Sugiono, 2009, Metode Penelitian Bisnis, Bandung, CV. Alfabeta. Sutarto,2001, Ilmu Mandar Maju.
28
Pemerintahan,
Bandung,
ISSN 0126-107X
ANALISIS PENERAPAN PARTOGRAF DALAM ASUHAN PERSALINAN NORMAL (APN) OLEH BIDAN PERAKTIK MANDIRI DI KECAMATAN SEBERANG ULU SATU KOTA PALEMBANG TAHUN 2012 Hasbiah , Syarifah, Rohaya 2012
ABSTRAK Indikator keberhasilan suatu negara diukur dari Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian Bayi (AKB). AKI dan AKB merupakan salah satu parameter derajat kesehatan yang optimal pada setiap penduduk Indonesia. Upaya untuk menurunkan AKI melalui asuhan persalinan yang adekuat, dan dalam persalinan tenaga kesehatan dianjurkan menggunakan partograf memantau kemajuan persalinan dan mengambil keputusan yang tepat bila ditemukan keadaan pathologis. Partograp telah terbukti efektif untuk mencegah persalinan lama, dan mendeteksi kelainan dalam persalinan. Tujuan penelitian : untuk mengetahui penerapan partograp oleh bidan di Praktik Bidan Mandiri di wilayah Puskesmas 4 Ulu dan & Ulu kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang tahun 2011. Metode Penelitian ini Diskriptif Kualitatif, pengumpulan data dengan Fokus Group Diskution (FGD), Indep Interviu, dan Observasi, sebagai informan adalah bidan Praktik Mandiri. Sumber data diperoleh dari bidan - bidan dan Ketua IBI cabang Kota Palembang . Analisis data : Dengan mengiterpretasi ,mentrankirip dan membuat kesimpulan hasil wawancara dengan 2 (dua ) kelompok diskusi dan wawancara mendalam dengan key informan. Hasil penelitian ini berdasarkan hasil diskusi dengan 2 kelompok FGD dan wawancara dengan 2 (dua) orang Key Informan adalah bahwa penerapan partograf oleh bidan praktik mandiri dalam menolong persalinan sebagian bidan sudah menggunakan partoraf untuk memantau kemajuan persalinan terutama pada pasien jaminan persalinan guna kepentingan mengklaim biaya persalinan. Tetapi untuk persalinan yang bukan jampersal kadang-kadang diisi kadang-kadang tidak, demikian juga hasil observasi pengisian partograf oleh bidan untuk pasien jampersal diisi lengkap, namun kadang – kadang pengisian partograf setelah persalinan. Kesimpulan Bidab pratik mandiri mempunyai pengetahuan, sikap postif tentang partograf, penerapan partograf hanya untuk kepentingan untk mengklaim biaya Jampersal. Kebijakan pimpinan dan organisasi IBI belum ada. Saran ; diharapka dinas kesehatan kota bekerja sama dengan organisasi profesi IBI dan pimpinan Puskesmas untuk pementauan dan pengawasan bagi BPM dalam penerapan Partograf. Kata Kunci : Partograf, Persalinan Daftar Pustaka 15 (2001-2010)
A. LATAR BELAKANG Menurut survey demografi dan Kesehatan Indnesia 2007 Angka kematian Ibu (AKI) 228/100.000/Kelahiran Hidup. Berdasarkan WHO AKI sekitar 500.000 jiwa, sedangkan Angka kematian Bayi sebesar 10.000.000 juta jiwa setiap tahun. Kejadian AKI dan AKB sebagian besar terdapat di Negara berkembang sekitar 98-99%. Dengan demikian kejadian AKI dan AKB di negara berkembang termasuk Indonesia 100 kali lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju.(Dep.kes, 2010) ISSN 0126-107X
Penyebab langsung Angka kematian maternal dan perinatal karena faktor obstetri yaitu perdarahan, infeksi dan hipertensi. Selain itu penyebab tak langsung oleh faktor terlambat mengenal tanda bahaya kehamilan dan persalinan, terlambat mengambil keputusan, terlambat mencari pertolongan, dan terlambat mendapat pertolongan di fasilitas kesehatan. ( Manuaba, 2008) Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah pertolongan persalinan yang adekuat oleh tenaga kesehatan yang profesional. Salah satu program kesehatan untuk menurunkan AKI adalah Making pregnancy Safer 29
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
(MPS), dengan visi ” Setiap Wanita di Indonesia dapat menjalani kehamilan dan persalinan yang aman dan anak yang dilahirkan hidup dan Sehat”. Salah satu misi dari MPS adalah semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih. (Saifuddin AB, at al, 2005) Untuk visi dan misi dari MPS dalam asauhan persalinan dan menentukan tindakan menggunakan partograp, dimana partograf terbukti dapat digunakan untuk mendeteksi secara dini masalah dan penyulit dalam persalinan sehingga dapat merencanakan tindakan untuk mengatasi masalah tersebut atau merujuk ibu dalam kondisi yang tepat. Instrumen ini merupakan salah satu komponen dari pemantauan dan penatalaksanaan proses persalinan secara lengkap (Dep.Kes RI, 2007) Tenaga kesehatan yang terampil adalah pelaku pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kebidanan terutama dalam menolong persalinan, yang mampu menjaga dan menyelamatkan ibu dan bayi baru lahir dari kematian dan kesakitan yang seharusnya dapat dicegah melalui pelayanan yang tepat dan adekuat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menolong persalinan. Paradigma menunggu terajadinya komplikasi dan menangani dengan cepat dan tepat memberikan kontribusi dalam penurunan kematian ibu dan bayi baru lahir (JNPK.KR, 2008) Partograf adalah alat bantu untuk memantau kemajuan kala I persalinan fase aktif dan sebagai informasi untuk membuat keputusan klinik. (Depkes RI 2008). Penggunaan partograf dalam setiap persalinan dapat memastikankan ibu dan bayi mendapat asuhan yang aman, adekuat dan tepat serta mencegah terjadi penyulit yang dapat membahayakan keselamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir. (Depkes, 2007) Di Propinsi Sumatera Selatan sejak tahun 1997 sudah menganjurkan para bidan untuk menggunakan partograf dalam menolong persalinan, dengan jumlah Bidan 3919 orang (Dinkes, 2010). Pertolongan persalinan yang tidak menggunakan partograf dapat menyebabkan tidak terpantaunya kemajuan persalinan sehingga dapat menimbulkan keterlambatan dalam mengambil keputusan dalam penatalaksanaan persalinan apabila terdapat komplikasi ( Suparyanto, 2010) Penelitaan yang dilakukan Aminoto, dkk (2008) mengenai pengetahuan bidan tentang tentang partograf hasilnya menunjukkan dari 115 bidan 65 % bidan memiliki pengetahuan kurang tentang partograf dan tidak menerapkan pengisian, sedangkan 35% dengan pengetahuan baik dan menerapkan pengisian partograf. Jumlah Persalinan di kota Palembang pada sampai dengan bulan Oktober 2012 sebanyak 30
24.370 orang yang ditolong tenaga kesehatan dan yang ditolong oleh non nakes 37 orang, pencapaian persalinan di Puskesmas 7 Ulu yang ditolong tenaga kesehatan 67,7 % dibawa target, sedangkan Puskesmas Sukarami pencapaian cakupan persalinan hanya 40,5% . Jumlah Bidan Praktik Mandiri di Kota Palembang sebanyak 382 orang dan di kecamatan Seberang Ulu Satu Palembang orang, adalah sebanyak 51 BPM.(Dinas Kesehatan Kota, 2011) Berdasarkan latar belakang diatas maka kami tertarik untuk meneliti dengan Judul : Analisis Penerapan Partograf Dalam Pertolongan Persalinan oleh Bidan Praktik Mandiridi di Kecamatan Seberang Ulu Satu Kota Palembang Tahun 2012 B. TUJUAN A. Tujuan Umum : Untuk mendapatkan informasi tentang pemanfaatan partograf oleh Bidan Praktik mandiri tahun 2012 B. Tujuan Khusus : 1. Diperolehnya informasi tingkat pengetahuan Bidan Praktik Mandiri terhadap pemanfaatan partograf 2. Diperolehnya informasi tentang sikap Bidan tentang terhadap pemanfaatan partograf 3. Diperolehnya informasi tentang kebijakan pemerintah tentang pemanfaatan partograf 4. Diperolehnya informasi tentang dukungan IBI tentang pemanfaatan partograf C. MANFAAT PENELITIAN a. Bagi Peneliti : Untuk memenuhi tugas dosen dalam bidang penelitian pengabdian masyarakat b. Kepala Dinas Kesehatan : Sebagai informasi bahan untuk evaluasi tentang pemanfaatan partograf oleh bidan c. Bagi Bidan : Dapat masukan mengenai manfaat partograf dalam menolong persalinan d. Bagi IBI : Sebagai informasi tentang pemanfaatan partograf oleh bidan Praktik mandiri
ISSN 0126-107X
Hasbiah , Syarifah, Rohaya, Analisis Penerapan Partograf Dalam Asuhan Persalinan Normal (APN) Oleh Bidan Peraktik Mandiri Di Kecamatan Seberang Ulu Satu Kota Palembang Tahun 2012
E. DESAIN PENELITIAN
2). Sikap : Adalah respon bidan terhadap penggunaan partograf dalam memantau kemajuan persalinan 3). Pengetahuan : Adalah segala sesuatu yang diketahui oleh bidan tentang manfaat partograf dalam asuhan persalinan. 4). Kebijakan : Adalah standar prosedur tetap yang ditetntukan dalam pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 5). Dukungan IBI : Adalah support dan pengawasan oleh pengurus IBI terhadap anggotanya 6). APN : Adalah langkah-langkah dalam pertolongan persalinan normal 7). Partograf : Alat untuk memantau kemajuan persalinan, merupakan acuan bagi bidan dalam pengambilan keputusan
Desain dalam penelitian ini menggunakan desain Deskriptip Kualitatif, dengan tuuan untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari informan tentang penggunaan partograf dalam pertolongan persalinan. F. TEMPAT DAN WAKTU Tempat penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan di Bidan Praktik Mandiri di wilayah kecamatan Seberang Ulu I Palembang dari tanggal 2 s/d 24 Oktober 2012 G. SUMBER INFORMASI Sebagai informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut 1. Key Informan ; 2 orang 1). Kepala Puskesmas di wilayah kecamatan Seberang Ulu I Palembang 1( satu ) orang 2). Ketua IBI cabang Kota Palembang 1 Satu orang 2. Informan 1). Fokus Group Diskusi terdiri dari 2 kelompok, masing kelompok terdiri dari 2x 6 orang Bidan Praktik Mandiri Kriteria : • Umur ≥ 30 tahun • Pengalaman kerja ≥ 5 tahun • Latar belakang pendidikan D III Kebidanan • Bidan Delima (sertifikasi IBI) 2). Observasi 4 orang bidan (2 orang dari tiap kelompok FGD)
I.
CARA PENGUMPULAN DATA
a. b. c.
Fokus Grup Diskusi (Diskusi Kelompok) Wawancara /Indep interview Observasi dokumen tentang pengisian partograf Untuk validasi data dalam pengumpulan dan pengolahan dilakukan dengan cara Taknik triangulasi : triangulasi Sumber dan triangulasi metode triangulasi data/analisis
J.
ANALISA DATA
Hasil pengumpulan data secara merekam dengan tape recorder hasil fokus diskusi group dengan informan, dan wawancara mendalam dengan key informan, kemudian dicatat sebagai hasil penelitian dengan membuat transkrip FGD dan wawancara mendalam dan observasi dokumen tentang pengisian partograf, kemudian dilakukan interpretasikan .
H. VARIABEL DAN DEFENISI ISTILAH
K. HASIL PENELITIAN
1. Variabel
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah a. Pengetahuan dan Sikap b. Penerapan Partograf oleh Bidan c. Kebijakan d. Dukungan IBI
Penelitian dilakukan di tempat Bidan Praktik Mandiri (BPM) yang terletak diwilayah kerja Puskesmas 7 ulu dan Puskesmas 4 Ulu kecamatan Seberang Ulu I Kota Palembang. Kecamatan Seberang Ulu I berada di kota Palembang. Kota Palembang terbagi menjadi dua oleh sungai Musi, Sebelah Ulu dan disebelah Ilir. Jumlah Puskesmas diseberang Ulu terdapat 6 buah. Dengan jumlah bidan Praktik Mandiri 51orang. Untuk informan Focus Group Discussion (FGD) terdiri dari 2 kelompok, masing-masing satu
2. Defenisi Istilah; 1). Bidan : Adalah tenaga kesehatan yang profesional mempunyai kewenangan untuk menolong persalinan normal
ISSN 0126-107X
31
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
kelompok di wilayah kerja Puskesmas 7 Ulu dan Wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu. Anggota masingmasing kelompok terdiri dari 6 (enam) orang, sedangkan informan kunci (key informan) sebanyak 2 orang, yaitu 1 orang pimpinan Puskesmas dalam penelitian adalah pimpinan Puskesmas 7 Ulu dan 1 orang ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Kota Palembang. Selain itu untk mendapatkan keabsahan informasi maka dilakukan observasi yaitu mengecek/melihat dokumen catatan pelaksanaan penerapan partograf digunakan format pencatatan yang tersedia, diambil dari 4 orang bidan BPM secara acak.
Interpretasi hasil FGD. Hasil FGD yang dilakukan pada BPM kelompok I di Kecamatan SU I dan Kelp II di Rumah/BPM YY sebagian besar bidan ( BPM) paham dengan pengisian partograf dan bidan (BPM) mempunyai sikap positif terhadap penggunaan partograf dalam pertolongan persalinan, namun dalam pelaksanaannya masih kurang, pengisiaan partograf hanya karena kepentingan untuk mengklaim biaya persalinan jampersal Hasil Wawancara Mendalam Dengan Key Informan
Karakteristik Informan
M. PEMBAHASAN
Informan untuk Focus Group Discussion (FGD) adalah bidan yang melakukan Praktik Madiri yang berdomisili di wilayah kerja Puskesmas 7 ulu dan Wialyah kerja puskesmas 4 Ulu kecamatan Seberang Ulu I kota Palembang, masing-masing 6 orang sehingga total 12 orang, dan 2 (dua ) orang sebagai key Informan yaitu; 1( satu ) orang pimpinan Puskesmas dan 1 ( satu ) orang sebagai ketua IBI cabang kota Palembang,
Pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang sifatnya deskriptif induktif dalam pengumpulan data melalui wawancara mendalam, Diskusi dalam kelompok terarah (FGD) dan melakukan observasi dokumentasi tentang partograf dalam pertolongan persalinan yang ditolng bidan di BPM diwilayah kerja Puskesmas 7 Ulu dan 4 Ulu Kecamatan seberang Ulu I Kota Palembang, serta serta key informan yang terkait. Hasil penelitian berupa interpretasi suatu fenomena yang didukung dengan beberapa teori yang relevan Berdasarkan kerangka pikir pada penelitian ini menyangkut pengaetahun dan sikap bidan, pemanfaatan partograf dalam pertolongan persalinan serta kebijakan, pemantauan dan evaluasi oleh pimpinan organisasi dalam menerapkan pengisian partograf oleh bidan di BPM akan dibahas selanjutnya, dalam proses penelitian terdapat beberapa keterbatasan.
L. ANALISA DATA Hasil analisa data dilakukan terhadap pengumpulan data Fokus Group Discusion (FDG), wawancara mendalam dan observasi dokumentasi tentang pemanfaatan partograf oleh Bidan Praktik Swasta di kecamatan Seberang Ulu I kota Palembang. Sebagai hasil pengumpulan data dapat dilihat pada bagan 4.4. berikut : A. Fokus Group Diskusi (FGD) Fokus Group Diskusi BPM di wilayah PKM 7 Ulu maupun di kelompok wilayah PKM 4 ulu tentang pemanfaatan partograf dalam pertolongan persalinan normal tentang, pengetahuan, sikap dapat dilihat pada kisi-kisi ” a.
Pengetahuan Pada umumnya bidan yang melakukan praktik mandiri tingkat pengetahuan tentang partograf (pengertian, tujuan, manfaat dan cara pengisian format partograf)” Sebagian besar mengatakan pertograf itu penting dalam pemantauan kemajuan persalinan, namun pelaksanaannya kadang dilakukan, kadang tidak dilakukan, khususnya dilakukan hanya untuk keperluan/kepentingan klaim pembayaran persalinan, terutama bagi bidan yang terikat MOU dengan pemerintah daerah dalam program jaminan persalinan
32
4.2.1. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan : a. Subyektifitas peneliti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh dengan tehnik FDG dan indef interveuw (wawancara mendalam). Penelitian menggunakan metoda kualitatif, sehingga hasil penelitian ini tergantung pada pemahaman dan penafsiran peneliti sehingga hasil informasi yang diperoleh sangat dipengaruhi oleh recall bias informasi. Untuk itu peneliti harus mempunyai keterampil dalam mengexplor atau menggali gagasan / permasalahan maka untuk mengatasinya digunakan triangulasi metoda dan memggunakan fasilitas tape recorde dan Ipad untuk mengurangi atau mencegah recall bias penelitias. b. Penelitian ini dalam mengumpulkan informasi dengan FGD dan wawancara mendalam. ISSN 0126-107X
Hasbiah , Syarifah, Rohaya, Analisis Penerapan Partograf Dalam Asuhan Persalinan Normal (APN) Oleh Bidan Peraktik Mandiri Di Kecamatan Seberang Ulu Satu Kota Palembang Tahun 2012
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil penelitian : situasi, kondisi, lingkungan pada saat pelaksanaan dan wawancara mendalam yang sangat berpengaruh terhadap informasi yang dikumpulkan. 1.1.2.
Pembahasan Hasil Penelitian Dalam pembahasan hasil penelitian ini akan mengkaitkan hasil analisis /interpretasi dari setiap aspek yang diteliti yang diperoleh dengan teori yang relevan. a. Pengetahuan Pengetahuan bidan tentang partograf dari teori sampai cara pengisiannya sudah memahami, hal ini disebabkan karena bidan-bidan sebelum membuka BPM memiliki persyaratan/kriteria tertentu untuk mendapatkan Surat Izin Praktik Bidan (SIPB), antara lain sudah mengikuti uji kompetensi dan pelatihan Asuhan Persalinan Normal /APN, dan pada saat mengikuti pendidikan sudah mendapatkan materi tentang partograf. Sejalan dengan teori Notoadmodjo (2007), mengatakan bahwa tingkat pengatahuan merupa tingkat paling rendah diukur dengan mendefinisikan sesuatu secara spesifip dengan ”tahu” (know). Kemudian dapat menyebutkan dan menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan terhadap objek yang dipelari yang disebut memahami (comprehension). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Aminoto (2008), mengenai gambaran pengetahuan keterampilan bidan tentang partograf di Puskesmas Adimulyo Kebumen diperoleh hasil bahwa pengetahuan dan keterampilan dari 115 bidan tentang partograf dalam kurang (65%). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hervina dkk (2010) tentang gambaran pengetahuan menyatakan bahwa pengetahuan bidan tentang partograf baik. b. Sikap Dari hasil penelitian melalui FGD dan diinterpretsikan maka diperoleh sikap bidan terhadap penggunaan partograf sebagian besar mempunyai sikap positif dan mendukung terhadap partograf dalam pertolongan persalinan, ditandai dengan pernyataan bahwa partograf itu sangat penting untuk memantau kemajuan persalinan dan dapat menentukan kapan harus bertindak. Seuai dengan teori Allport (1954) dalam Notoadmodjo (2007), bahwa dalam menentukan sikap ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu pengetahuan, pikiran dan emosi. Sikap juga respon yang ISSN 0126-107X
c.
tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi (senang /tidak senang, setuju dan tidak setuju, dsb), dan sikap itu menyatakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan buka merupakan suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi merupakan predisposisi suatu perilaku. Pada penelitian ini respon dan sikap bidan yang positif terhadap penggunaan partograf dimungkinkan dipengaruhi oleh faktor pengetahuan bidan tentang partograf tersebut serta adanya stimulus-stimulus berupa anjuran, penyuluhan dari pengurus IBI cabang kota Palembang yang memperkuat sikap mereka. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hervina dkk (2009) menyatakan sikap bidan tentang partograf baik. Tindakan Berdasarkan pengamatan dukomentasi masih ada persalinan yang tidak menggunakan partograf dan pengisian partograf yang tidak lengkap serta pengisiannya, serta ada pengisian partograf setelah persalinan berlangsung. Hal ini tidak sejalan dengan hasil penelitian K. Kasiati bahwa mengenai gambaran kepatuhan bidan dalam penerapan partograf di BPS anggota IBI ranting Surabaya Utara diperoleh sebagian besar tidak patuh dalam pengisian lembar depan dan belakang partograf. Sejalan dengan teori yang dikemukakan Notoatmodjo (2007) bahwa sikap belum tentu terwujud dalam tindakan (Over Behavior) sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain atau faktor pendukung / penguat (Reinforcing Faktor). Ketidak patuhan bidan pada penelitian ini dalam penggunaan partograf di BPM dikarena kurangnya / lemahnya paktor penguat (Re inforcing Faktor yaitu peraturan-peraturan dan kebijakan serta pemantauan) yang berkaitan dengan penggunaan partograf.
N. KESIMPULAN DAN SARAN 1. 2. 3.
Dari 12 BPM memilik pengetahuan tentang partograf dalam pertolongan persalinan Dari 12 orang BPM mempunyai sikap positf terhadap partograf dalam pertolonga persalinan. Penggunaan partograf di BPM belum sepenuhnya dilakukan, hanya kepentingan administrasi untuk mengklaim biaya pertolongan persalinan, sedangkan untukpersalinan umum (non jampersal) tidak dibuat. 33
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
4.
Belum adanya kebijakan, peraturan serta pemantauan oleh instansi terkait dan organisasi profesi terhadap penggunaan partograf dalam pertolongan persalinan oleh BPM dalam sebagai ketentuan dan kewajiban.
SARAN 1.
Bagi Dinas kesehatan Kota. Diharapkan dinkes bekerja sama dengan organisasi profesi (IBI) untuk melakukan pengawsasan kepada BPM secara berkala. 2. Bagi pimpinan Puskesmas Diharapkan melakukan pemantauan pada BPM diwilayah kerjanya untuk melaporkan setiap ada persalinan dengan melampirkan partograf (jampersal dan non jampersal) 3. Bagi Pengurus IBI Diharapkan lebih meningkan pemngawasan, pementauan dan melakukan penilaian kepada BPM dalam penggunaan partograf 4. Bagi BPM Diharapkan kepada seluruh BPM menggunakan partograf setiap menolong persalinan secara benar, tepat dan lengkap, baik yang menggunakan jampersal maupun non jampaersal
10. Machfoedz, Ircham, Metodelogi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan dan kebidanan Jogyakarta; Fitmaya. 11. Syaifudin, AB, Ilmu Kebidanan, 2008 Jakarta; PT Bina Pustaka Sarwono Prawiro Harja. 12. Syaifuddin, AB,at all, 2005 Ilmu Kebidanan, Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prowiroharjo. 13. Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung CV Alfabeto 14. Supriyanto, Partograf, http//dr.Suryanto. blogspot.com diakses 29- Oktober 2012.
DAFTAR PUSTAKA 1. 2.
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
34
Aminoto, 2008, Gambaran Pengetahuan Keterampilan Bidan tentang Partograf di Puskesmas Adimulyo Kebumen Azwar, 2001, Ilmu Kesehan Masyarakat, PT Binarupa Aksara , JakartaDepKes, 2005 Setiap 2 jam Ibu Bersalin Meninggal Dunia, Jakarta. http//www.depkes.com. diakses 25 September 2012 ----------,2010 Angka Kematian Maternal, www.depkes.go. ID, diakses tanggal 29Oktober 2012 ----------,2008, Asuhan Persalinan Normal, Jakarta :JNPKR ----------, 2007, Asuhan Persalinan Normal, Jakarta ; JNPKR ---------,2002, Acuan Nasional Maternal Neonatal, Jakarta Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Dinas Kesehatan Propinsi SS, 2010, Profil Dinas Kesehatan Dinas Kesehatan Kota, 2010 Profil Tenaga Kesehatan. Kasiati dkk 2008, Gambaran Kepatuhan Bidan dalam penerapan Partograf di BPS Surabaya Utara ISSN 0126-107X
RISIKO DISFUNGSI SEKSUAL PADA PEREMPUAN PEMAKAI KONTRASEPSI DEPO MEDROXY PROGESTERON ACETATE DI PUSKESMAS BASUKI RAHMAT PALEMBANG TAHUN 2011 Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina Dosen Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang ABSTRAK Sekitar sepertiga perempuan di dunia mengalami gangguan dalam kehidupan seksualnya dan hanya 10% saja yang mencari pertolongan serta mendapat pengobatan, padahal difungsi seksual yang tidak segera di tangani akan berdampak pada kesejahteraan kesehatan reproduksi seorang perempuan. Suntik KB yang mengandung Medroxy Progesterone Acetate (MPA) diduga dapat meningkatkan risiko mengalami disfungsi seksual. Dengan terus meningkatnya peserta KB suntik dan belum diketahuinya prevalensi disfungsi seksual perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang, maka perlu kiranya dilakukan penelitian mengenai masalah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi disfungsi seksual pada perempuan klien suntik DMPA, besarnya risiko yang dihadapi klien suntik DMPA dibandingkan yang memakai kontrasepsi suntik 1 bulan serta pengaruh umur, paritas, pendidikan, pekerjaan dan lamanya pemakaian kontrasepsi terhadap disfungsi seksual pada perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang.Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan rancangan studi case-control. Subjek penelitian adalah perempuan klien suntik DMPA sebagai kelompok terpapar dan perempuan yang menggunakan kontrasepsi suntik 1 bulan sebagai kelompok kontrol. Analisa data dilakukan dengan analisis univariabel dengan distribusi frekuensi dan bivariabel dengan uji Chi-square dengan tingkat kemaknaan p<0,05.Hasil dari penelitian didapatkan bahwa dari seluruh responden sebanyak 88,9% mengalami hasrat disorder, 68,9% arousal disorder, 24,4% orgasme disorder dan 55,8% disfungsi seksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi klien DMPA dengan disfungsi seksual sebesar 64,4%. Umur dan paritas menunjukkan hubungan yang bermakna dengan disfungsi seksual, sedangkan pendidikan, pekerjaan dan lamanya penggunaan kontrasepsi secara statistik tidak bermakna. Maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian kontrasepsi DMPA meningkatkan risiko mengalami disfungsi seksual sebesar 0,73 kali. Umur dan paritas mempengaruhi terjadinya disfungsi seksual dan secara statistik bermakna. Pendidikan, pekerjaan, dan lamanya penggunaan kontrasepsi secara statistik tidak menyebabkan disorder dan disfungsi seksual pada perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang.
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Masalah hubungan seksual merupakan hal yang paling mudah membuat kandas perkawinan dan sebenarnya masalah seksual merupakan hal yang paling sering mengancam kebahagiaan suami isteri bahkan penyebab perceraian (Triarsari, 2004). Perhatian terhadap seksualitas dan disfungsi seksual telah menjadi hal yang umum dalam masyarakat di negara-negara barat. Disfungsi seksual mempengaruhi sekitar 25% hingga 63% perempuan di dunia (Barclay, 2003). Penelitian menemukan bahwa sepertiga perempuan mengalami gangguan dalam kehidupan seksualnya. 20% tidak selalu menemukan kesenangan dalam aktivitas seksualnya, 15% kesakitan saat hubungan seksual, lebih dari 50% mengalami kesulitan untuk terangsang secara
ISSN 0126-107X
seksual, 50% kesulitan mencapai orgasme dan lebih dari 25% tidak mampu untuk mencapai orgasme (Baram, 2002). Sementara di Indonesia sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sitanggo dan Taher pada 560 perempuan di Jakarta menunjukkan angka yang mencengangkan yaitu 75,2% perempuan mengalami disfungsi seksual (Triarsari, 2004). Disfungsi seksual pada perempuan masih dipandang sebagai masalah kesehatan dengan prioritas yang rendah karena dianggap tidak mengancam kelangsungan hidup, padahal dampak dari gangguan tersebut dapat mempengaruhi hubungan dengan pasangannya dan kualitas hidup seorang perempuan (Fugl-Meyer & Fugl-Meyer, 2002, Arcos, 2004). Penelitian yang dilakukan di London ditemukan hanya 3–4% gangguan yang terdeteksi dalam pelayanan dasar dari sekitar 40% prevalensi disfungsi seksual (Nazareth et al, 2003). 84% penderita disfungsi seksual di Indonesia pasrah menerima keadaan ini dan tidak berusaha untuk
35
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
mencari pertolongan sementara hanya 13% yang berusaha mencari pertolongan (Triarsari, 2004). Selain itu pasien merasa malu untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan dokternya karena membicarakan masalah seksual seringkali masih dianggap tabu (Baram, 2002, Elder & Braver, 2003). Pengaruh sosial budaya dan kurangnya pengetahuan yang menyebabkan perempuan malu untuk mendiskusikan masalah seksual, padahal sikap malu dapat menyebabkan perempuan mengalami depresi. Sebaliknya kehidupan seksual yang memuaskan serta pengalaman dan fungsi seksual yang positif akan berakibat pada peningkatan rasa percaya diri dan pandangan yang positif mengenai dirinya yang akan berdampak pada kesejahteraan hidup perempuan secara keseluruhan. Faktor-faktor yang diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya disfungsi seksual adalah kondisi medis seperti menderita penyakit dan konsumsi obat-obatan. Penyakit yang dapat menyebabkan disfungsi seksual adalah: kardiovaskular (hipertensi, miokard infark), neurologis (stroke), endokrin (diabetes), (Elder & Braver, 2003, Lightner, 2002), sedang obat-obatan yang dapat meningkatkan risiko disfungsi seksual antara lain: anti depresan, anti hipertensi, ansiolotik dan juga preparat hormonal seperti ethinyl estradiol yang terdapat pada pil KB (Saifuddin, 2003, Lightner, 2002, Phillips, 2000) dan Medroxy Progesterone Acetate (MPA) yang terdapat pada kontrasepsi suntik depo provera (Elder & Braver, 2003, Saifuddin, 2003). Penyebab yang multifaktor ini menyebabkan diagnosis dan pengelolaan disfungsi seksual pada perempuan menjadi hal yang rumit dan sulit. Kontrasepsi suntik Depo Medroxy Progesterone Acetate (DMPA) termasuk preparat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya disfungsi seksual pada penggunanya, secara spesifik preparat hormonal tersebut dapat mempengaruhi penurunan libido. Penurunan libido (hipoactive sexual desire) adalah salah satu dari empat gangguan dalam disfungsi seksual pada perempuan (Basson et al, 2000, Lightner, 2002, Elder & Braver, 2003, Arcos, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Bangun & Panjaitan (1999), ditemukan bahwa perempuan yang menggunakan kontrasepsi suntik DMPA yang mengeluh mengenai efek samping penurunan libido sebesar 6,6% tetapi ketika ditanya secara langsung mengenai fungsi seksualnya sebanyak 59,4% mengakui adanya gangguan fungsi seksual. Keluhan penurunan libido ini tidak dapat diabaikan, mengingat hampir 50% perempuan pemakai alat kontrasepsi di Indonesia saat ini menggunakan kontrasepsi hormonal (SDKI 2002-2003). Dari jumlah tersebut kontrasepsi yang paling populer 36
adalah suntik (28%), pil (13%) dan IUD (6%). Pemakaian kontrasepsi hormonal menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun, kontrasepsi suntik tetap menjadi pilihan dibandingkan susuk dan pil KB. Berdasarkan profil Puskesmas Basuki Rahmat (2010) jumlah PUS Kelurahan Talang Aman sebanyak 1.612, akseptor KB Aktif berjumlah 998, dan peserta KB baru berjumlah 186. Berdasarkan jenis alat kontrasepsi yang dipakai jumlah akseptor suntik sebanyak 398, pil sebanyak 582 dan kondom sebanyak 18 orang. Sedangkan jumlah PUS Kelurahan Pipa Reja sebanyak 2.478, akseptor KB Aktif berjumlah 1.520 dan peserta KB baru berjumlah 260. Berdasarkan jenis alat kontrasepsi yang dipakai jumlah akseptor suntik sebanyak 376, pil sebanyak 900 dan kondom sebanyak 44 orang. Jumlah PUS Kelurahan Ario Kemuning sebanyak 1.541, akseptor KB baru berjumlah 1.046 dan peserta KB baru 202. Berdasarkan jenis alat kontrasepsi yang dipakai jumlah akseptor suntik sebanyak 468, pil sebanyak 554 dan kondom sebanyak 24 orang. Dengan diketahuinya masalah disfungsi seksual pada klien suntik DMPA khususnya dan perempuan usia subur pada umumnya di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang maka dapat dilakukan tindakan–tindakan deteksi dini untuk mencegah terjadinya efek yang merugikan pada kesehatan reproduksi perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka terdapat permasalahan–permasalahan yang belum terjawab di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang adalah: 1. Seberapa besar prevalensi perempuan pemakai kontrasepsi DMPA yang mengalami disfungsi seksual di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011? 2. Seberapa besar risiko disfungsi seksual pada klien DMPA dibandingkan dengan perempuan yang menggunakan kontrasepsi suntik 1 bulan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011?. 3. Apakah faktor umur, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan dan lamanya pemakaian kontrasepsi berpengaruh terhadap disfungsi seksual perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011?.
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Tujuan Penelitian
METODOLOGI PENELITIAN
1. Tujuan Umum Untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan fungsi seksual dan disfungsi seksual perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui besarnya prevalensi disfungsi seksual pada perempuan klien suntik DMPA di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011. b. Untuk mengetahui besarnya risiko yang dihadapi klien suntik DMPA mengalami disfungsi seksual dibandingkan yang memakai kontrasepsi suntik 1 bulan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011. c. Untuk mengetahui pengaruh faktor umur, jumlah anak, pendidikan, pekerjaan dan lamanya pemakian kontrasepsi terhadap disfungsi seksual pada perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011.
1.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan dan pertimbanngan bagi pengambil kebijakan operasional di bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi perempuan usia subur di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. Manfaat bagi ilmu pengetahuan: sebagai bahan masukan dalam bidang ilmu kesehatan khususnya kesehatan reproduksi serta sebagai masukan bagi peneliti lain untuk mengembangkan penelitian selanjutnya. Hipotesis 1.
2.
3.
Prevalensi perempuan klien DMPA dengan disfungsi seksual di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011 tidak sama dengan 8%. Kontrasepsi suntik DMPA meningkatkan risiko terjadinya disfungsi seksual pada perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011. Semakin lama penggunaan kontrasepsi suntik DMPA semakin tinggi kemungkinan mengalami disfungsi seksual di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011.
ISSN 0126-107X
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional dengan rancangan studi casecontrol. Dimana sekelompok kasus (perempuan yang mengalami disfungsi seksual) dibandingkan dengan sekelompok kontrol (perempuan yang tidak mengalami disfungsi seksual/normal). 2. a. b.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2011. Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus–Desember 2011.
3.
Instrumen Pengumpulan Data Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari 2 macam, yaitu; kuesioner pertama untuk mengumpulkan data pribadi dan sosio demografi responden dan kuesioner kedua untuk pengukuran fungsi seksual responden. Fungsi seksual responden diukur dengan mengadaptasi kuesioner yang sudah ada yaitu; Female Sexual Function Index/FSFI (Indeks Fungsi Seksual Perempuan) yang disusun oleh Rosen et al. Pemilihan penggunaan kuesioner FSFI karena kuesioner tersebut mencakup semua aspek fungsi seksual perempuan dan menjadi acuan penilaian fungsi seksual yang cukup valid (Rosen, et al). Kuesioner FSFI merupakan pertanyaan tertutup yang menyediakan 5–6 jawaban yang masingmasing memilki nilai dan bobot. Hasil pengukuran dari jawaban responden berupa data kontinyu. Dalam analisis data akan dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu disfungsi dan tidak disfungsi dengan skala pengukuran nominal. Indeks fungsi seksual perempuan digunakan untuk menilai 6 fungsi seksual perempuan yang terdiri dari hasrat seksual (desire), perangsangan (arousal), lubrikasi (lubrication), orgasme (orgasm), kepuasan terhadap kehidupan seksual dan keluarga (satisfaction) dan perasaan sakit atau tidak nyaman saat berhubungan seksual (pain). Sembilan belas pertanyaan digunakan untuk menilai ke 6 fungsi tersebut. Nilai fungsi seksual pada setiap domain didapat dengan cara mengalikan nilai tiap item pertanyaan dengan bilangan konstan (faktor) pada domain tersebut. Setiap domain fungsi seksual memiliki faktor pengali yang berbeda. Nilai tiap domain fungsi seksual didapat dari menjumlahkan nilai–nilai pada domain tersebut sedangkan nilai total FSFI didapat dengan cara menjumlahkan ke 6 nilai domain. 37
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Untuk penilaian disfungsi atau tidak maka setiap domain masing–masing memiliki nilai titik potong. Walaupun instrumen FSFI cukup valid untuk menilai fungsi seksual perempuan, Rosen, et.al tidak merekomendasikan titik potong untuk membedakan seseorang termasuk dalam disfungsi atau tidak. Cayan yang melakukan penelitian fungsi seksual perempuan di Turki dengan menggunakan instrumen yang sama merekomendasikan seseorang mengalami disfungsi seksual jika nilai tiap domain kurang atau sama dengan nilai median yaitu; 3,6 untuk domain lubrikasi, orgasme dan kepuasan; 3,9 untuk perangsangan; 4,4 untuk kesakitan dan 22,7 untuk nilai total (Cayan, et al, 2004). Pada penelitian ini menggunakan nilai titik potong yang sama untuk mengkategorikan subyek dalam disfungsi atau tidak. 4.
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah ibu yang mengalami disfungsi seksual dan ibu yang tidak mengalami disfungsi seksual/normal di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011. 2. Sampel Penelitian Sampel penelitian terbagi menjadi 2 kelompok yaitu; ibu yang mengalami disfungsi seksual sebagai kelompok kasus dan ibu yang tidak menggalami disfungsi seksual/normal sebagai kontrol. Kriteria inklusi untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol: a) 15 – 49 tahun dan belum menopause b) Saat penelitian masih dalam status perkawinan c) Setuju untuk ikut dalam penelitian ini. Kelompok kasus: perempuan yang mengalami disfungsi seksual. Kelompok kontrol: perempuan yang tidak mengalami disfungsi seksual/normal. Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus dan kelompok kontrol: a) Tinggal terpisah dengan suami. b) Dalam keadaan hamil. c) Telah menjalani operasi pengangkatan ovarium dan atau uterus. Besar sampel Jumlah sampel penelitian ditentukan dengan rumus menurut Lemeshow et al (1997) ;
38
n1=n2=[zα√2PQ+zβ√P1Q1+P2Q2]2 (P1-P2)2 n1=n2=[1,96√2x0,389x0,611+0,842√0,512x0,487+0,226 x0,774]2 (0,512 – 0,226)2 n1=n2=[1,96x0,689+0,842x0,675]2 (0,286)2 n1=n2=[1,919]2 0,082 n1=n2=3,686 0,082 n1=n2= 44,9 atau 45 orang untuk tiap kelompok
5.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara 6.
Pengolahan dan Analisis Data
a.
Pengolahan Data Data yang terkumpul langsung dilakukan proses editing, setelah proses editing dilakukan proses coding dan data entry ke dalam komputer dengan menggunakan perangkat lunak komputer. Selanjutnya dilakukan proses cleaning sehingga data siap dianalisis. b. Analisis Data 1) Analisis Univariabel Untuk mengetahui karakteristik dan distribusi data dengan penyusunan tabel frekuensi. 2) Analisis Bivariabel Untuk meneliti kekuatan hubungan antara dua variabel yang meliputi variabel bebas dengan variabel terikat dan variabel pengganggu dengan variabel terikat. Analisis yang digunakan adalah tabulasi silang 2 x 2 untuk menghitung OR dan CI95% 95%. Uji statistik menggunakan Chi Square. HASIL PENELITIAN A.
Hasil Penelitian
1.
Karakteristik Subjek Penelitian Penelitian tentang risiko mengalami disfungsi seksual pada perempuan pemakai kontrasepsi DMPA di Puskesmas Basuki Rahmat dilakukan pada 3 kelurahan yang dapat mewakili karakteristik wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmat; yaitu kelurahan Talang Aman, kelurahan Pipa Reja dan kelurahan Ario Kemuning. Subjek penelitian dipilih secara acak, berjumlah 90 orang yaitu; 45 orang yang mengalami disfungsi seksual dan 45 orang yang tidak mengalami disfungsi/normal ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian KB Suntik DMPA
KB Suntik 1 Bulan
KB Suntik DMPA + KB Suntik 1 Bulan
1
n 2
% 3
n 4
% 5
N 6
% 7
Umur >30 tahun ≤30 tahun
34 18
65,4 34,6
13 25
34,2 65,8
47 43
52,2 47,8
Paritas >2 ≤2
25 27
48,1 51,9
4 34
10,5 89,5
29 61
32,2 67,8
Pendidikan ≤SMP >SMP
30 22
37,7 42,3
7 31
18,4 81,6
37 53
41,6 58,9
47 5
90,4 9,6
30 8
78,9 21,1
77 13
85,6 14,4
38 14
73,1 26,9
16 22
42,1 57,9
54 36
60,0 40,0
Variabel
Pekerjaan T i d a k bekerja Bekerja Lamanya pemakaian kontrasepsi >24 bulan ≤24 bulan
Sumber; pengolahan data primer, 2011 Karakteristik subjek penelitian digambarkan berdasarkan umur, paritas, tingkat pendidikan,
pekerjaan dan lamanya pemakaian kontrasepsi. Sebagian besar responden berusia >30 tahun yaitu sebanyak 47 orang (52,2%). Sebagian besar responden 61 orang (67,8%) mempunyai anak ≤2 orang. Pendidikan sebagian besar subjek adalah tamat SMP pada kelompok terpapar yaitu sebesar 57,7%, sedangkan pada kelompok tidak terpapar 81,6% responden berpendidikan >SMP. Sebagian besar responden baik pada kelompok klien KB DMPA maupun klien KB suntik 1 bulan tidak bekerja (ibu rumah tangga) yaitu sebesar 85,6%. Klien KB DMPA sebanyak 73,1% telah menggunakan kontrasepsi tersebut selama >24 bulan secara terus menerus. 2.
Gambaran Keadaan Fungsi Seksual Perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat
a. Fungsi hasrat seksual Perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang mempunyai hasrat seksual yang tidak terlalu tinggi, sebanyak 57 orang (63,3%) perempuan di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang hanya kadangkala saja merasakan adanya hasrat (dorongan seksual) untuk melakukan hubungan seksual, sementara dorongan seksual yang dirasakan sebagian besar perempuan (68,9%) mengatakan cukup (skor 3).
Tabel 2 Fungsi Hasrat Seksual Domain Hasrat Seksual Seringnya merasakan hasrat/ dorongan seksual
Tingkat hasrat/ dorongan seksual
Hampir selalu atau selalu
Sebagian besar waktu
Kadangkala (kurang lebih separuh waktu)
Sebagian keCI95%l waktu
Hampir tidak pernah atau tidak sama sekali
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
1 (1,1%)
9 (10,0%)
57 (63,3%)
21 (23,3%)
2 (2,2%)
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah atau tidak ada
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
1 (1,1%)
5 (5,6%)
62 (68,9%)
19 (21,1%)
3 (3,3%)
Sumber: pengolahan data primer, 2011
b.
Fungsi arousal
Fungsi arousal dinilai dengan timbulnya perasaan terangsang pada saat melakukan hubungan seksual. Tabel 3 menunjukan gambaran fungsi arousal pada perempuan di wilayah kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. ISSN 0126-107X
39
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 3. Fungsi Seksual Arousal
Domain Arousal
1. Seringnya terangsang secara seksual 2. Seringnya dipuaskan oleh rangsangan seksual yang timbul
3. Tingkat keterangsangan seksual
Hampir selalu atau selalu
Sebagian besar waktu
Kadangkala (kurang lebih separuh waktu)
Sebagian keCI95%l waktu
Hampir tidak pernah atau tidak sama sekali
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
6 (6,7%)
11 (12,2%)
47 (52,2%)
23 (25,6%)
3 (3,3%)
2 (2,2%)
26 (28,9%)
49 (54,4%)
10 (11,1%)
3 (3,3)
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah atau tidak ada
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
4 (4,4%)
5 (5,6%)
58 (64,4%)
21 (23,3%)
2 (2,2%)
Sangat yakin
Yakin
Cukup yakin
Kurang yakin
Tidak yakin
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
38 (42,2%)
7 (7,8%)
1 (1,1%)
4. Keyakinan akan rasa 14 30 keterangsangan (15,6%) (33,3%) Sumber: pengolahan data primer, 2011 Dalam melakukan hubungan seksual sebagian besar 47 orang (52,2%) perempuan kadangkala dapat terangsang saat berhubungan seksual dengan pasangan. Lebih dari separuh 49 orang (54,4%) yang mengaku puas pada setiap hubungan seks. Dalam berhubungan seksual hanya 2 orang (2,2%) perempuan yang mengaku tingkat keterangsangannya sangat rendah, sebagian besar merasakan cukup terangsang dalam berhubungan seksual yaitu sebanyak 58 orang (64,4%). Sebagian besar 38 orang (42,2%) merasa cukup yakin dan 30 orang (33,3%) merasa yakin bahwa dirinya terangsang secara seksual selama melakukan hubungan seksual.
40
c.
Fungsi lubrikasi
Sebanyak 49 orang (54,4%) perempuan kadangkala mengalami lubrikasi saat berhubungan seksual dan sebagian besar yaitu 56 orang (62,2%) kadangkala dapat mempertahankan lubrikasi tersebut hingga hubungan seksual berakhir. Sebanyak 46 orang (51,1%) perempuan sangat sulit mengalami lubrikasi, dan sebagian besar yaitu 49 orang (54,4%) sangat sulit dalam mempertahankan lubrikasi vagina hingga hubungan seksual berakhir.
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Tabel 4. Fungsi Seksual Lubrikasi Domain Lubrikasi
1. Seringnya vagina menjadi basah selama berhubungan seksual 2. Seringnya mempertahankan supaya vagina tetap basah
3. Sulitnya vagina menjadi basah 4. Sulitnya vagina tetap basah selama berhubungan seks
Hampir selalu atau selalu
Sebagian besar waktu
Kadangkala (kurang lebih separuh waktu)
Sebagian keCI95%l waktu
Hampir tidak pernah atau tidak sama sekali
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
6 (6,7%)
14 (15,6%)
49 (54,4%)
18 (20,0%)
3 (3,3%)
3 (3,3%)
11 (12,2%)
56 (62,2%)
18 (20,0%)
2 (2,2%)
Luar biasa sulit atau tak mungkin
Sangat sulit
Sulit
Sedikit sulit
Tidak sulit
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
Skor 5
26 (28,9%)
46 (51,1%)
9 (10,0%)
5 (5,6%)
4 (4,4)
21 (23,3%)
49 (54,4%)
11 (12,2%)
5 (5,6%)
4 (4,4)
Sumber: pengolahan data primer, 2011 d.
Fungsi orgasme Secara keseluruhan hasil penelitian mengenai fungsi seksual orgasme pada perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Fungsi Seksual Orgasme Domain Orgasme
1. Seringnya mencapai orgasme
2. Sulitnya mencapai orgasme
3. Kepuasan akan kemampuan mencapai orgasme
Hampir selalu atau selalu
Sebagian besar waktu
Kadangkala (kurang lebih separuh waktu)
Sebagian keCI95%l waktu
Hampir tidak pernah atau tidak sama sekali
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
2 (2,2%)
19 (21,1%)
54 (60,0%)
13 (14,4%)
2 (2,2)
Luar biasa sulit atau tak mungkin
Sangat sulit
Sulit
Sedikit sulit
Tidak sulit
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
Skor 5
7 (7,8%)
9 (10,0%)
18 (20,0%)
47 (52,2%)
9 (10,0%)
Sangat puas
Cukup puas
Kurang lebih sama antara puas dan tidak
Cukup tidak puas
Sangat tidak puas
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
15 (16,7%)
55 (61,1%)
15 (16,7%)
5 (5,6%)
0
Sumber: pengolahan data primer, 2011 Orgasme bagi sebagian besar perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tidak begitu menjadi masalah, hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa lebih dari separuh yaitu 54 orang (60%) ISSN 0126-107X
41
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
perempuan mengaku kadangkala dapat mencapai orgasme pada setiap hubungan seksual yang mereka lakukan. Walaupun lebih dari 50% perempuan sedikit kesulitan dalam mencapai orgasme namun 55 orang (61,1%) perempuan merasa cukup puas dengan kemampuannya untuk mencapai orgasme. e.
Fungsi kepuasan hidup berkeluarga Tabel 6 menunjukkan fungsi kepuasan akan kehidupan berkeluarga dan kehidupan seksual perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. Dalam kehidupan berkeluarga, perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang sebagian besar 56 orang (62,2%) merasa cukup puas dengan kehidupan yang diljalaninya selama ini. Kedekatan emosional, hubungan baik dan kehidupan seksual dengan pasangannya selama ini dinilai cukup memuaskan. Tabel 6. Fungsi Kepuasan Hidup Berkeluarga Sangat memuaskan
Cukup puas
Kurang lebih sama antara puas dan tidak
Cukup tidak puas
Sangat tidak puas
Skor 5
Skor 4
Skor 3
Skor 2
Skor 1
1. Kepuasan akan kedekatan emosional dengan pasangan
11 (12,2%)
56 (62,2%)
20 (22,2%)
3 (3,3%)
0
2. Kepuasan akan hubungan baik dengan pasangan
5 (5,6%)
61 (67,8%)
19 (21,1%)
4 (4,4%)
3. Kepuasan akan kehidupan seksual dengan pasangan
3 (3,3%)
60 (66,7%)
22 (24,4%)
3 (3,3%)
Domain kepuasan akan kehidupan rumah tangga dan seksual
1 (1,1%)
2 (2,2%)
Sumber: pengolahan data primer, 2011 f.
Fungsi kesakitan Tabel 7 menggambarkan fungsi kesakitan yang timbul pada perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang saat berhubungan seksual. Tabel 7. Fungsi Kesakitan Seksual Hampir selalu atau selalu
Sebagian besar waktu
Kadangkala (kurang lebih separuh waktu)
Sebagian keCI95%l waktu
Hampir tidak pernah atau tidak sama sekali
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
Skor 5
1. Perasaan sakit atau tidak nyaman selama alat kelamin pasangan berada dalam vagina
6 (6,7%)
9 (10,0%)
46 (51,1%)
26 (28,9%)
3 (3,3%)
2. Perasaan sakit atau tidak nyaman saat alat kelamin pasangan masuk kedalam vagina
6 (6,7%)
4 (4,4%)
44 (48,9%)
33 (36,7%)
3 (3,3%)
Sangat tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat rendah atau tidak ada
Skor 1
Skor 2
Skor 3
Skor 4
Skor 5
2 (2,2%)
4 (4,4%)
38 (42,2%)
38 (42,2%)
8 (8,9%)
Domain Kesakitan
3. Tingkat perasaan sakit atau tidak nyaman yang dirasakan
Sumber: pengolahan data primer, 2011
42
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Dalam penelitian ini sebagian perempuan kadangkala merasakan sakit pada saat melakukan hubungan seksual, yaitu 46 orang (51,1%). Sebagian besar perempuan yaitu 44 orang (48,9%) kadangkala merasakan sakit atau tidak nyaman saat alat kelamin pasangan masuk kedalam vagina. Perempuan yang merasakan adanya rasa sakit, sebagian besar 38 orang (42,2%) menilai bahwa rasa sakit tersebut tingkatnya cukup rendah atau rendah. 4.
Disfungsi seksual Seorang perempuan dikatakan disfungsi seksual jika penilaian fungsi seksualnya berdasarkan total skor FSFI, sementara jika penilaian didasarkan pada masing-masing domain fungsi seksualnya maka disebut dengan istilah disorder. a.
Prevalensi disfungsi seksual menurut penilaian FSFI Hasil penelitian mengenai keadaan disfungsi seksual pada perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang dapat dilihat pada tabel 8. Penilaian pada tiap domain fungsi seksual menunjukan bahwa 88,9% perempuan mengalami hasrat disorder, 68,9% mengalami arousal disorder, hanya 18,9% perempuan mengalami gangguan kepuasan. Gangguan fungsi seksual pada domain lubrikasi sebanyak 91,1%, domain orgasme sebesar 24,4% dan sebagian besar perempuan merasakan disorder pain yaitu 76,7%.
5.
Analisis Bivariabel Analisis bivariabel digunakan untuk melihat hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas dan antara variabel pengganggu. Uji statistik yang digunakan adalah uji Chi Square dengan CI95%=95%. a. Fungsi Arousal Pada penelitian ini dilaporkan bahwa pemakaian DMPA tidak mempengaruhi seorang perempuan untuk mengalami arousal disorder dan secara statistik tidak bermakna (ρ=0,93, CI95% 95%=0,42–2,56). Perempuan klien DMPA berisiko 1,03 kali menderita arousal disorder dibandingkan perempuan yang menggunakan KB suntik 1 bulan. Lamanya pemakaian kontrasepsi (>24 bulan) berisiko 0,77 kali mengalami arousal disorder dibandingkan pemakaian kontrasepsi ≤24 bulan. Perempuan yang berusia >30 tahun berisiko mengalami arousal disorder 0,03 kali dibandingkan klien yang berusia ≤30 tahun. Sedangkan berdasarkan paritas menunjukan adanya hubungan yang bermakna (ρ=0,01). Responden dengan paritas >2 mengalami arousal disorder sebesar 5,98 kali dibandingkan klien dengan paritas ≤2. Perempuan yang berpendidikan ≤SMP berisiko 1,11 kali mengalami arousal disorder dibandingkan klien yang berpendidikan >SMP. Begitu juga dengan klien yang tidak bekerja berisiko 2,14 kali mengalami arousal disorder dibandingkan klien yang bekerja. Walaupun secara statistik tidak bermakna.
Tabel 8. Disfungsi Seksual Menurut Domain Fungsi Seksual
Domain FSFI
Hasrat Arousal Lubrikasi Orgasme Kepuasan Kesakitan Total
DMPA
Suntik KB 1 Bulan
Klien DMPA + Suntik KB 1 Bulan
n
%
n
%
n
%
44 36 45 16 15 42 29
84,6 69,2 86,5 30,8 28,8 80,8 55,8
36 26 37 6 2 27 16
94,7 68,4 97,4 15,8 5,3 71,1 42,1
80 62 82 22 17 69 45
88,9 68,9 91,1 24,4 18,9 76,7 50
Sumber; pengolahan data primer, 2011
ISSN 0126-107X
43
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 9. Risiko Mengalami Gangguan Fungsi Arousal (Arousal Disorder) Berdasarkan Kontrasepsi yang Digunakan serta Masing-masing Variabel Pengganggu Disorder n %
Indeks Fungsi Arousal Normal ρ OR n %
Kontrasepsi Suntik DMPA Suntik 1 bulan
36 26
58,1 41,9
16 12
57,1 42,9
0,93
1.04
0,42 – 2,56
Lamanya pemakaian kontrasepsi >24 bulan ≤24 bulan
36 26
58,1 41,9
18 10
64,3 35,7
0,58
0,77
0,31 – 1,94
Umur >30 tahun ≤30 tahun
32 30
51,6 48,4
15 13
53,6 46,4
0,86
0,92
0,38 – 2,26
Paritas >2 ≤2
25 37
40,3 59,7
4 24
14,3 85,7
0,01
4,05
1,25 – 13,1
Pendidikan ≤SMP >SMP
26 36
41,9 58,1
11 17
39,3 60,7
0,81
1,11
0,45 – 2,72
55 7
88,7 11,3
22 6
78,6 21,4
0,20
2,14
0,65 – 7,09
Variabel
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Signifikansi; ρ<0,05
CI95% 95%
b. Fungsi orgasme Hasil penelitian skor fungsi orgasme didapatkan bahwa diantara perempuan klien DMPA sebanyak 16 (72,7 %) mengalami orgasm disorder. Secara statistik didapatkan OR=2,37 yang berarti perempuan klien DMPA berisiko 2,37 kali mengalami orgasm disorder dibandingkan perempuan yang menggunakan KB suntik 1 bulan, walaupun secara statistik tidak bermakna. Lamanya pemakaian kontrasepsi (>24 bulan) berisiko 1,22 kali mengalami orgasm disorder dibandingkan pemakaian kontrasepsi ≤24 bulan. Responden yang berumur >30 tahun berisiko 1,86 kali mengalami orgasm disorder dibandingkan klien yang berumur ≤30 tahun, secara statistik tidak bermakna (ρ=0,21). Klien dengan paritas >2 mengalami orgasm disorder sebesar 2,33 kali dibandingkan klien dengan paritas ≤2, secara statistik tidak bermakna (ρ=0,13). Perempuan yang berpendidikan ≤SMP berisiko 0,98 kali mengalami orgasm disorder dibandingkan klien yang berpendidikan >SMP. Begitu juga dengan klien yang tidak bekerja berisiko 0,69 kali mengalami orgasm disorder dibandingkan klien yang bekerja.
44
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Tabel 10 Risiko Mengalami Gangguan Fungsi Orgasme (Orgasm Disorder) Berdasarkan Kontrasepsi yang Digunakan serta Masing-masing Variabel Pengganggu
Variabel
Disorder n %
Indeks Fungsi Seksual Orgasme Normal ρ OR n %
Kontrasepsi Suntik DMPA Suntik 1 bulan
16 6
72,2 27,3
36 32
52,9 47,1
Lamanya pemakaian kontrasepsi >24 bulan ≤24 bulan
14 8
63,6 36,4
33 35
Umur >30 tahun ≤30 tahun
14 8
63,6 36,4
Paritas >2 ≤2
10 12
Pendidikan ≤SMP >SMP Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Signifikansi; ρ<0,05
CI95% 95%
0,10
2,37
0,83 – 6,79
48,5 51,5
0,22
1,86
0,69 – 4,99
40 28
58,8 41,2
0,69
1,22
0,45 – 3,31
45,5 54,5
19 49
27,9 72,1
0,13
2,15
0,79 – 5,79
9 13
40,9 59,1
28 40
41,2 58,8
0,98
0,98
0,37 – 2,63
18 4
81,8 18,2
59 9
86,8 13,2
0,69
0,19
0,26 – 2,49
c.
Fungsi Kepuasan Secara persentase perempuan yang menggunakan DMPA lebih banyak yang mengalami disorder. Uji statistik didapatkan bahwa perempuan klien DMPA berisiko 7,29 kali mengalami hasrat disorder dibandingkan perempuan yang menggunakan KB suntik 1 bulan, secara statistik menunjukan hubungan yang bermakna (ρ=0,00). Lama pemakaian KB >4 bulan berisiko menyebabkan satisfaction disorder sebesar 0,94 kali dibandingkan klien yang menggunakan KB ≤24 bulan. Perempuan usia >30 tahun berisiko untuk mengalami satisfaction disorder sebesar 9,61 kali dibandingkan perempuan usia ≤30 tahun. Begitu juga paritas berisiko menyebabkan satisfaction disorder, klien dengan paritas >2 berisiko mengalami satisfaction disorder sebesar 18,04 kali dibandingkan klien dengan paritas ≤2. Secara statistik menunjukan hubungan yang bermakna (ρ=0,00).
ISSN 0126-107X
45
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 11 Risiko Mengalami Gangguan Fungsi Kepuasan (Satisfaction Disorder) Berdasarkan Kontrasepsi yang Digunakan serta Masing-masing Variabel Pengganggu Variabel n
Disorder %
Indeks Fungsi Seksual Kepuasan Normal ρ OR n %
CI95% 95%
Kontrasepsi Suntik DMPA Suntik 1 bulan
15 2
88,2 11,8
37 36
50,7 49,3
0,00
7,29
1,56 – 34,21
Lamanya pemakaian kontrasepsi >24 bulan ≤24 bulan
10 7
58,8 64,2
44 29
60,3 33,7
0,91
0,94
0,32 – 2,75
Umur >30 tahun ≤30 tahun
15 2
88,2 11,8
32 41
43,8 56,2
0,00
5,61
2,05 – 45,10
Paritas >2 ≤2
14 3
82,4 17,6
15 58
20,5 79,5
0,00
18,04
4,58 – 71,02
Pendidikan ≤SMP >SMP
10 7
58,8 41,2
27 46
37,0 63,0
0,09
2,43
0,83 – 7,14
13 4
76,5 23,5
64 9
87,7 12,3
0,23
0,46
0,12 – 1,71
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Signifikansi; ρ<0,05
Tingkat pendidikan klien ≤SMP berisiko untuk mengalami satisfaction disorder sebesar 2,43 kali dibanding klien dengan tingkat pendidikan >SMP. Sedangkan klien yang tidak bekerja berisiko mengalami satisfaction disoder sebesar 0,46 kali dibanding klien yang bekerja. Walaupun secara statistik tidak bermakna. d. Total Skor Hasil penelitian dengan penilaian total skor FSFI didapatkan dari 45 perempuan klien DMPA sebanyak 29 orang (64,4%) mengalami disfungsi seksual, sedangkan klien yang menggunakan KB suntik 1 bulan sebanyak 16 orang (35,6%) mengalami disfungsi seksual. Hasil uji statistik didapatkan nilai OR=0,73 yang berarti perempuan klien DMPA berisiko mengalami disfungsi seksual sebesar 0,73 kali dibandingkan perempuan yang menggunakan KB suntik 1 bulan, namun secara statistik tidak bermakna (ρ=0,20).
46
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Tabel 12. Risiko Mengalami Disfungsi Seksual pada Perempuan Usia Subur Berdasarkan Kontrasepsi yang Digunakan serta Masing-masing Variabel Pengganggu Disfungsi n %
Indeks Fungsi Seksual Normal ρ OR n %
Kontrasepsi Suntik DMPA Suntik1 bulan
29 16
64,4 35,6
23 22
51,1 48,9
0,20
0,73
0,74 – 4,04
Lamanya pemakaian kontrasepsi >24 bulan ≤24 bulan
28 17
62,2 37,8
26 19
57,8 42,2
0,66
1,20
0,52 – 2,80
Umur >30 tahun ≤30 tahun
28 17
62,2 37,8
19 26
42,2 57,8
0,05
2,25
0,96 – 5,24
Paritas >2 ≤2
22 23
48,9 51,1
7 38
15,6 84,4
0,00
5,19
1,91 – 14,05
Pendidikan ≤SMP >SMP
19 26
42,2 57,8
18 27
40,0 60,0
0,83
1,09
0,47 – 2,54
38 7
84,4 15,6
39 6
86,7 13,3
0,76
0,84
0,26 – 2,71
Variabel
Pekerjaan Tidak bekerja Bekerja Signifikansi; ρ<0,05
Lamanya pemakaian kontrasepsi (>24 bulan) berisiko 1,20 kali mengalami disfungsi seksual dibandingkan pemakaian kontrasepsi ≤24 bulan. Perempuan yang berusia >30 tahun berisiko mengalami disfungsi seksual 02,25 kali dibandingkan klien yang berusia ≤30 tahun. Sedangkan klien dengan paritas >2 mengalami disfungsi seksual sebesar 5,19 kali dibandingkan klien dengan paritas ≤2 dan secara statistik bermakna (ρ=0,00). Perempuan yang berpendidikan ≤SMP berisiko 1,09 kali mengalami disfungsi seksual dibandingkan klien yang berpendidikan >SMP. Begitu juga dengan klien yang tidak bekerja berisiko 0,84 kali mengalami disfungsi seksual dibandingkan klien yang bekerja. Secara statistik tidak bermakna. Pembahasan Penilaian fungsi seksual perempuan merupakan hal yang cukup sulit untuk dilakukan. Selain karena sulit dinilai secara klinis, instrumen yang digunakan untuk menilainya juga masih sangat terbatas. FSFI adalah instrumen yang diadaptasi untuk menilai fungsi seksual perempuan pada ISSN 0126-107X
CI95% 95%
penelitian ini. FSFI cukup valid untuk membedakan status fungsi seksual perempuan (Rosen, 2000). Walaupun FSFI tidak secara jelas menyebutkan cut of point dari total skor untuk membedakan seseorang tergolong disfungsi atau tidak. Oleh sebab itu pada penelitian ini digunakan cut of point 22.7 dari total skor untuk membedakan apakah seorang perempuan mengalami disfungsi seksual atau tidak seperti yang digunakan pada penelitian di Turki oleh Cayan et al (2004). Analisis univariabel Berdasarkan penilaian total skor FSFI pada penelitian ini dilaporkan sebanyak 29 orang (55,8%) klien KB DMPA mengalami disfungsi seksual. Dibandingkan klien KB suntik 1 bulan sebanyak 16 orang (42,1%). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan pada subjek yang lebih luas baik dari segi variasi demografi dan penggunaan jenis kontrasepsi prevalensi disfungsi seksual lebih tinggi yaitu sekitar 40% (Laumann et al., 1999, Cayan et al., 2004). Proporsi klien DMPA yang mengalami disfungsi seksual pada penelitian ini adalah 5,7%. Proporsi disfungsi yang rendah juga dilaporkan 47
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
pada penelitian yang dilakukan oleh Bangun dan Panjaitan pada tahun 1995 yaitu 6,6%. Penelitian lain oleh Fraser (1994) yang melaporkan bahwa hanya 8% klien suntik DMPA di Australia mengalami penurunan fungsi seksualnya. Dalam laporannya Fraser mengatakan bahwa sedikitnya klien yang melaporkan gangguan fungsi seksualnya karena klien lebih merasa terganggu oleh efek samping penggunaan DMPA lainnya seperti perdarahan sehingga disfungsi seksual bukanlah gangguan yang dapat menyebabkan mereka berganti cara dalam berkeluarga berencana. Gangguan fungsi seksual atau disorder pada fase hasrat, arousal dan orgasme adalah yang paling sering diderita perempuan (Laumann et al, 1999). Hasil penelitian ini ditemukan bahwa 88,9% subjek penelitian menderita hasrat disorder, 68,9% arousal disorder dan 24,4% orgasme disorder. Penelitian ini mendukung hasil yang ditemukan pada penelitian di Turki yang menemukan bahwa 60,3% responden mengalami hasrat disorder, 43% arousal disorder dan 45,8% orgasme disorder (Cayan et al, 2004). Hasil yang agak berbeda dilaporkan oleh Ponholzer et al (2004) yang melakukan penelitian disfungsi seksual pada perempuan Austria. Pada penelitian tersebut ditemukan hanya 22% perempuan yang mengalami hasrat disorder, 35% arousal disorder dan 39% mengalami orgasme disorder. Pada penelitian ini hasil yang berbeda dibandingkan 2 penelitian yang sudah disebutkan terdahulu adalah pada fungsi orgasme, pada penelitian ini ditemukan orgasme disorder <30% sementara pada 2 penelitian lainnya >30%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sikap perempuan yang terbiasa bersikap nerimo dalam menjalani hidupnya. Perempuan dalam kehidupan berkeluarga rela berkorban untuk kepentingan suaminya dibandingkan kepentingannya sendiri. Pada domain fungsi seksual lubrikasi dan kesakitan saat berhubungan seksual menunjukkan angka yang sangat besar yaitu 91,1%, dan 76,7%. Hal ini sangat berbeda dengan yang ditemukan Cayan et al dalam penelitiannya yang menemukan 38% perempuan mengalami gangguan fungsi lubrikasi dan 36,8% mengalami kesakitan saat berhubungan seksual. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh subjek penelitian yang berbeda, pada penelitian yang dilakukan Cayan et al mengikutsertakan perempuan menopause sebagai subjeknya sementara pada penelitian ini tidak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Cayan et al gangguan fungsi lubrikasi pada kelompok umur menopause mendekati 100% sementara gangguan fungsi kesakitan mencapai 60%. Perempuan yang mengalami ketidak puasan akan kehidupan seksual dan berkeluarga sebanyak 18,9% sangat keCI95%l dibandingkan 48
dengan penelitian yang dilakukan Cayan et al yang menemukan 38% perempuan mengalami ketidak puasan dalam hal kehidupan seksual dan berkeluarga. Sikap perempuan yang nerimo sekali lagi menjadi latar belakang pada masalah ini. Perempuan mempunyai keyakinan bahwa melayani suami termasuk dalam hal seksual merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan, dengan melaksanakan kewajiban sebagai isteri seorang perempuan beranggapan akan terhindar dari dosa dengan demikian walaupun kehidupan seksualnya mengalami gangguan bagi mereka tidak perlu mengganggu kehidupan berkeluarganya, perempuan rela berkorban untuk kepentingan suami dan keluarganya. Menarik dalam penelitian ini bahwa perempuan yang mengalami hasrat disorder, belum tentu juga mengalami orgasme disorder hal ini dapat dilihat dari lebih sedikitnya prevalensi orgasme disorder dibandingkan dengan hasrat disorder. Hal ini kemungkinan disebabkan karena walaupun perempuan mempunyai hasrat yang besar untuk melakukan hubungan seksual namun sulit bagi mereka untuk mencapai orgsme. Mereka rela melakukan demi tugasnya sebagai istri walaupun sebagian besar merasakan kesakitan dan tidak puas dalam kehidupan hubungan seksual dengan pasangan. Analisis bivariabel Banyak faktor yang diduga dapat mempengaruhi terjadinya disfungsi seksual pada perempuan, faktor hormonal, psikologis, biologis, sosial ekonomi dan lingkungan dapat mempengaruhi fungsi seksual perempuan. Pemakaian metode kontrasepsi hormonal diduga dapat meningkatkan risiko untuk mengalami disfungsi seksual pada perempuan. Análisis bivariabel pada penelitian ini dilakukan pada fungsi arousal, orgasme dan kepuasan serta disfungsi seksual. Fungsi seksual arousal Perempuan yang memakai kontrasepsi DMPA berisiko sebesar 1,04 kali untuk mengalami arousal disorder dibandingkan klien KB suntik 1 bulan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena masalah seksual pada perempuan khususnya fungsi arousal lebih dipengaruhi oleh keadaan psikologis (Laumann et al, 1999). Perempuan klien DMPA lebih mudah terangsang secara seksual kemungkinan karena merasa lebih aman untuk berhubungan seksual dengan perlindungan kontrasepsi. Tingkat paritas secara statistik ada hubungan yang bermakna dengan arousal disorder (p=0,01). Perempuan dengan paritas >2 mengalami arousal disorder sebesar 4,05 kali dibandingkan perempuan dengan paritas ≤2. ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
Fungsi seksual orgasme Fungsi orgasme adalah salah satu fungsi seksual yang dipengaruhi oleh pemakaian DMPA. Pemakaian kontrasepsi DMPA meningkatkan risiko untuk mengalami orgasme disorder, klien DMPA berisiko sebesar 2,37 kali untuk mengalami orgasm disorder dibandingkan dengan perempuan yang memakai KB suntik 1 bulan. Responden yang berumur >30 tahun berisiko 1,22 kali mengalami orgasm disorder diabndingkan responden yang berumur ≤30 tahun, walaupun secara statistik tidak bermakna (p=0,69). Berbeda dengan Laumann et.al (1999) yang menyatakan bahwa disfungsi seksual dipengaruhi oleh usia, pendidikan dan status sosial ekonomi. Semakin tua usia maka semakin tinggi prevalensi disfungsi seksual. Disfungsi Seksual Pemakaian DMPA dan lamanya pemakaian kontrasepsi DMPAtidak menyebabkan meningkatnya risiko untuk mengalami disfungsi seksual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan klien DMPA berisiko sebesar 0,73 kali dibandingkan yang memakai KB suntik 1 bulan, secara statistik tidak bermakna. Hal yang berbeda ditemukan pada penelitian Cayan et al (2004) yang menyatakan bahwa pemakaian kontrasepsi meningkatkan risiko mengalami disfungsi sebanyak 1,3 kali meskipun secara statistik tidak bermakna. Penelitian yang dilakukan Cayan et al tidak dilakukan secara khusus pada metode kontrasepsi DMPA, melainkan meliputi semua jenis kontrasepsi. Faktor yang berpengaruh dalam terjadinya disfungsi seksual adalah umur, tingkat dan paritas. Semakin tua umur semakin besar risiko untuk mengalami disfungsi seksual. Semakin tua umur perempuan maka semakin tinggi risiko untuk mengalami disfungsi seksual. Berdasarkan penilaian total skor sebanyak 28 orang (62,2%) perempuan yang berumur >30 tahun mengalami disfungsi seksual. Hasil yang sama ditemukan pada penelitian yang dilakukan di tempat lain (Cayan et al., 2004, Laumann et al., 1999, Ponholzer et al., 2004). Penelitian Cayan (2004) menemukan bahwa prevalensi disfungsi seksual pada perempuan usia 58–67 tahun sebesar 92,9% dibandingkan dengan 21,7% pada kelompok umur 18–27 tahun. Proses penuaan berpengaruh terhadap perubahan– perubahan anatomis di daerah genital dan payudara menjadi semakin tidak elastis dan tidak sensitif lagi terhadap rangsangan (Stubblefield, 2002). Hal ini dapat dipahami jika pertambahan umur menyebabkan disfungsi seksual terutama pada fase arousal dan orgasme yang lebih bersifat anatomis, sementara fase kepuasan dan kesakitan yang ISSN 0126-107X
lebih bersifat psikologis tidak terlalu terpengaruh bagi perempuan di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang. Tingkat paritas berhubungan dengan disfungisi seksual, responden dengan paritas ≥3 mengalami disfungsi seksual sebesar 5,19 kali dibandingkan responden dengan paritas <3 (p=0,00, CI95%=1,91–14,05). Pada penelitian ini perempuan yang berpendidikan ≤SMP berisiko sebesar 1,09 kali untuk mengalami disfungsi dibandingkan perempuan yang berpendidikan >SMP, secara statistik tidak bermakna (p=0,83). Perempuan yang tidak bekerja berisiko sebesar 0,76 kali untuk mengalami disfungsi seksual dibandingkan perempuan bekerja, secara statistik tidak bermakna. Berbeda dengan penelitian Cayan et al (2004) yang melaporkan bahwa pekerjaan memiliki hubungan yang bermakna dengan disfungsi seksual. Perempuan yang tidak bekerja memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami disfungsi seksual dibandingkan dengan perempuan yang bekerja. Kesimpulan 1. Prevalensi perempuan klien DMPA dengan disfungsi seksual di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tidak sama dengan 8%. Hasil penelitian didapatkan bahwa prevalensi klien DMPA di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang dengan disfungsi seksual sebesar 64,4%. Diantara seluruh responden ditemukan prevalensi hasrat disorder 88,9%, arousal disorder 68,9%, orgasme disorder 24,4%, dan kesakitan 76,7%. 2. Pemakaian kontrasepsi suntik DMPA meningkatkan risiko mengalami disfungsi seksual sebesar 0,73 kali dibandingkan perempuan yang menggunakan kontrasepsi suntik 1 bulan. 3. Faktor umur dan paritas mempengaruhi terjadinya disfungsi seksual dan secara statistik bermakna. Umur >30 tahun berisiko mengalami disfungsi seksual sebesar 2,25 kali dibandingkan usia ≤30 tahun. Responden dengan paritas ≥3 mengalami disfungsi seksual sebesar 5,19 kali dibandingkan responden dengan paritas <3 (p=0,00, CI95%95%=01,91–14,05). Lama pemakaian kontrasepsi, pendidikan dan pekerjaan meningkatkan risiko mengalami disfungsi seksual, walaupun secara statistik tidak bermakna.
49
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Saran 1. Hendaknya sebelum memutuskan seseorang akan menggunakan alat kontrasepsi suntik DMPA sebaiknya dilakukan penilaian faktor–faktor diatas dengan teliti untuk meminimalkan efek yang ditimbulkan oleh DMPA pada fungsi seksual. 2. Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas hendaknya juga memperhatikan pendidikan dari segi sosial budaya dan antropologi kesehatan masyarakat untuk mengeliminasi mitos–mitos tentang kesehatan reproduksi yang tidak sesuai dengan ilmu kesehatan. 3. Dalam penelitian mengenai disfungsi seksual sebaiknya juga dilakukan penelitian psikologis responden untuk mengetahui apakah gangguan fungsi seksual yang dideritanya juga menyebabkan gangguan psikologis. DAFTAR PUSTAKA 1.
Arcos, B., 2004, Female Sexual Function and Response, JAOA;104 (Suppl.1): S16-S21
2.
Bangun, D., Panjaitan, P., 1999, Pengaruh Suntikan Depo-Provera Terhadap Seksualitas pada Wanita Setelah Penggunaan Selama 6 bulan, Majalah Kedokteran Nusantara Medan, XXIX (2):22-7
3.
Baram, D.A., 2002, Sexuality, Sexual Dysfunction and Sexual Assault, In Berek, J.S., (ed): Novak’s Gynecology, Thirteenth edition, pp:295-321, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA
4.
Basson, R., Berman, J., Burnett, A., Derogatis, L., Ferguson, D., Fourcroy, J., et al, 2000, Report of the International Consensus Development Conference on Female Sexual Dysfunction : Definitions and Classifications, The Journal of Urology; 163:888-93
5.
Berman, J.R., Berman, L.A., Kanaly, K.A., 2003, Female Sexual Dysfunction: New Perspective on Anatomy, Physiology, Evaluation and Treatment, EAU update series 1: 166-177
of Female Sexual Dysfunction and Potential Risk Factors that May Impair Sexual Function in Turkish Women, Urol Int;72:52-57 8.
Dawson, B., Trapp, R.G., 2001, a Lange Medical Book Basic & Clinical Biostatistics (third ed.) Singapore: Mc Graw-Hill Book Co.
9.
Elder, J., Braver, Y., January 9. 2003, Female Sexual Dysfunction, the Cleveland Clinic Foundation.
10. Fugl-Meyer, K. S., Fugl-Meyer, A.R., 2002, Sexual Disabilities are not Singularities, International Journal of Impotence Research;14:487-93 11. Lemeshow, S., Hosmer Jr, D.W., Klar, J., (1990), Adequacy of Sample Size in Health Studies, Pramono, D., Kusnanto, H. (ed), (1997)(alih Bahasa), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press 12. Laumann, E.O., Paik, A., Rosen, R.C., 1999, Sexual dysfunction in the United States: prevalence and predictors, JAMA; 281:537544. 13. Lightner, D.J., 2002, Female Sexual Dysfunction, Mayo Clin Proc; 77:698-702 Martin-Loeches, M., Orti, R.M., Monfort, M., Ortega, E., Riu, J., 2003, A comparative analysis of the modification of sexual desire of users of oral hormonal contraceptives and intrauterine contraceptive devices, Eur J Contracept Reprod Health Care;8(3):129-34 14. Nazareth, I., Boynton, P., 2003, Problem with sexual function in people attending London general practitioners; cross sectional study, British Medical Journal; 327:423-26 15. Phillips, N.A., 2000, Female Sexual Dysfunction : Evaluation and Treatment, American Family PhysiCI95%an; 62:127136,141-2
6.
Biro Pusat Statistik. 2003. Survey Kesehatan dan Demografi Indonesia 2002–2003.
16. Porth, C.M., 1998, Pathophysiology: concepts of altered health states / carol Mattson Porth; with 28 contributors, 5th ed, pp 1175-1186, Lippincott-Raven Publishers, Philadelphia, USA
7.
Cayan, S., Akbay, E., Bozlu, M., Canpolat, B., Acar, Deniz., Ulusoy, E., 2004, The Prevalence
17. Rosen, R., Brown, C., Heiman, J., Leiblum, S., meston, C., Shabsigh, R., et. al, 2000,
50
ISSN 0126-107X
Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina, Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011
The Female Sexual function (FSFI): A Multidimensional Self-Report Instrument for the assessment of Female Sexual Function, Journal of Sex and Marital Therapy; 26:191208 18. Saifuddin, A.B., Affandi, B., Lu, E.R. (ed), 2003, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, ed. Pertama, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 19. Shoupe. D., Mishell D.R., 2000, Contraception, In Goldman M.B., Hatch MC (ed): Women and Health, pp: 138-150, Academic Press, California USA Soewadi, 1992, Hubungan Antara Gangguan Kecemasan Dengan Gangguan Seksual, Berkala Ilmu Kedokteran; XXIV (4): 143-52 20. Stubblefield Phillip, G., 2002, Family Planning, In Berek, Jonathan S., (ed): Novak’s Gynecology, Thirteenth edition, pp:231-293, Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia, USA 21. Tim Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, 1980 (Mei), Beberapa Hasil Penelitian Lapangan Depo Medroxy Progesterone Acetate DMPA di Jawa Bali, Majalah Kedokteran Indonesia;30(5): 126-32 22. Triarsari, D., (22 November 2004), Dr. Laura Sitanggo: Tisu untuk Perempuan dengan Masalah Seks, Kompas Cyber Media, www.
[email protected] 23. Ekaratni, M.J.A., 2006, Risiko Disfungsi Seksual pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi DMPA di Kabupaten Purworejo, Thesis, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
ISSN 0126-107X
51
HUBUNGAN POLA ASUH KELUARGA TERHADAP KENAKALAN REMAJA (PELAKU BULLYING) Endang Suartini, Parta Suhanda, Siti Wasliyah Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Bandung ABSTRAK Bullying merupakan suatu perilaku agresif dan atau manipulatif yang dilakukan dengan sengaja dan secara sadar oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain. Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui hubungan pola asuh keluarga terhadap kenakalan remaja (perilaku bullying). Desain penelitian menggunakan metode retrospektif yaitu melihat pengalaman remaja kebelakang berkaitan dengan tindakan bulying yang pernah dilakukan. Teknik pengambilan sampel dengan cara random sampling di SMA, dan di LP anak dilakukan pada seluruh penghuni LP anak. Responden dalam penelitian ini berjumlah 180 orang, menggunakan uji chi-square. Hasil penelitian terhadap siswa SMAN2 Tangerang dan LP Anak Tangerang berdasarkan hasil uji statistik nilai P lebih dari 0,05, maka pola asuh keluarga tidak ada hubungan yang signifikan dengan perilaku remaja melakukan tindakn bulying. Pola asuh keluarga permisif memiliki prosentase paling besar SMA (53,7%), LP Anak (51,5%).. Kesimpulannya, remaja melakukan tindakan bulying meliputi ikut-ikutan teman, diajak teman, balas dendam, menonton kekerasan di TV, pola pendidikan yang keras di sekolah, perilaku masyarakat yang keras.. Disarankan remaja dapat memilih pergaulan dengan teman sebayanya sehingga ajakan teman tidak serta merta diikuti bila berdampak kurang baik. Hendaknya remaja menjalin hubungan lebih baik dengan orangtua agar dapat terkontrol dengan baik. Kata kunci : Pola asuh keluarga, remaja, dan Perilaku Bullying ABSTRACT Bullying is an aggressive or manipulative behavior done deliberately and consciously by an individual or group to another person or group. Knowing the purpose of this research is the relationship of the family upbringing of juvenile delinquency (bullying behavior). The study design is a retrospective method that is looking backward adolescent experiences related to bulying action ever undertaken. Sampling technique by random sampling in high school, and in LP children performed on all the inhabitants of LP children. Respondents in this study amounted to 180 people, using the chi-square test. The study of student SMAN2 Kids LP Tangerang Tangerang and based on the results of statistical tests a P value of more than 0.05, family upbringing was no significant association with adolescent behavior conduct tindakn bulying. Permissive parenting families have the greatest percentage of high school (53.7%), Child LP (51.5%) .. In conclusion, adolescents bulying action bandwagon include friends, invited friends, revenge, watching violence on TV, the pattern of harsh education in schools, the behavior of a hard .. Suggested teens can choose socially with their peers so that the invitation of friends does not necessarily follow if the negative impact. Teens should establish better relationships with parents in order to be well controlled. Key Word : Parenting, Adolescent delinguency, Bullying.
Latar Belakang Masalah Menurut Suryani,dkk, tahun 2007, Perilaku bullying di sekolah lebih dikenal dengan sebutan “senioritas”,yaitu tindakan kakak kelas menggunakan kekuasaannya untuk mengerjai atau menyakiti adik kelasnya . Bullying menurut Sullivan (2000),adalah Tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang memiliki kuasa, bertujuan untuj menyakiti orang kain baik secara fisik dan atau psikis, dilakukan tanpa alasan yang jelas, terjadi secara berulang, juga merupakan 52
suatu perilaku agresif dan atau manipulatif yang dilakukan dengan sengaja dan secara sadar oleh seseorang atau kelompok kepada orang lain atau kelompok lain.1 Hasil penelitian Masngudin HMS (1999), melaporkan Kenakalan Remaja sebagai perilaku menyimpang hubungannya dengan keberfungsian sosial keluarga, bahwa seluruh responden pernah melakukan kenakalan, dari 30 responde.2 Menurut Tim Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA).2008. National Institute for Children and Human Developmen (NICHD) memaparkan ISSN 0126-107X
Endang Suartini, Parta Suhanda, Siti Wasliyah, Hubungan Pola Asuh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja (Pelaku Bullying)
hasil surveinya dimajalah Journal Of the Amarican Medical Association tahun 2001, bahwa lebih dari 16 % murid sekolah di Amerika Serikat mengaku mengalami Bullying oleh murid lain. Survei ini dilakukan pada 15.686 siswa kelas 6 hingga 10 di berbagai sekolah negri maupun swasta di Amerika Serikat.Departemen kehakiman Amerika Serikat pada tahun 2001 mengeluarkan hasil statistik yang mencengangkan bahwa 77% pelajar Amerika Serikat mengalami Bullying baik secara fisik, verbal maupun mental.ini berarti 1-4 anak di negri itu telah mengalami Bullying.Di Jepang, menurut Richard Werly dalam tulisannya Persecuted even on the Playground di majalah Libertion (2001),10% pelajar yang stress karena Bullying, sudah pernah melakukan usaha bunuh diri paling tidak sekali. Departemen Pendidikan Jepang memperkirakan 26 ribu pelajar SD dan SMP membolos sekolah karena perilaku diskriminatif yang mereka hadapi di sekolah.3 Hasil penelitian Tia Ristiawati,2007. Ijime/ kekerasan yang berlangsung dijepang saat ini adalah segala bentuk ejekan ,pengucilan,pemerasan bahkan kekerasan yang dilakukan secara berulangulang,berkelompok dan tersembunyi terhadap satu orang yang lemah atau yang ”berbeda” dari temanteman sekelompoknya.4 Menurut Octa Reni Setiawati.2008. Bullying merupakan permasalahan yang sudah mendunia,tidak hanya menjadi permasahan di indonesia saja tetapi juga dinegara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang.Dari data Nasional Mental Health And Education Center tahun 2004 DI Amerika di peroleh data bahwa bullying merupakan bentuk kekerasan yang umumnya terjadi dalam lingkungan sosial antara 15% dan 30% siswa adalah pelaku bullying dan korban bullying.5 Istilah kekerasan antar pelajar di negaranegara Barat, sejak tahun 1970 lebih dikenal dengan istilah bullying. Seorang pelajar dikatakan sebagai korban bullying ketika ia diketahuisecara berulangulang terkena tindakan negatif oleh satu atau lebih pelajar lain. Tindakannegatif tersebut termasuk melukai, atau mencoba melukai atau membuat korban merasatidak nyaman. Tindakan ini dapat dilakukan secara fisik (pemukulan, tendangan, mendorong,mencekik, dll.), secara verbal (memanggil dengan nama buruk, mengancam, mengolok-olok,jahil, menyebarkan isu buruk, dsb.) atau tindakan lain seperti memasang muka dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan (secara seksual) atau secara terus-menerus mengasingkan korban dari kelompoknya. Tindakan terakhir ini disebut juga sebagai indirect bullying, sedangkan sebelumnya yang dilakukan secara terang-terangan (verbal maupun fisik) disebut sebagai direct bullying.7 ISSN 0126-107X
Allan L. Beane (1999)4 menjelaskan bahwa perilaku menjadi pelaku kekerasan ini bisa terjadi diusia 3 tahun, agak sulit diketahui bagaimana seorang anak bisa menjadi pelaku kekerasan sedang anak yang lain tidak, tetapi penelitian membuktikan seorang anak dapat secara genetik menjadi anak yang agresif, dan anak yang agresif ini mudah mencontoh dari lingkungannya, misalnya anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kekerasan, selalu menyaksikan orang tuanya marah dan bertindak kasar, atau anak yang merasa diabaikan dan tidak dicintai.8 Desain Penelitian Desain penelitian menggunakan metode retrospektif yaitu melihat pengalaman remaja kebelakang berkaitan dengan tindakan bulying yang pernah dilakukan Populasi penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 tangerang dan Seluruh anak yang terdaptar sebagai penghuni Lapas Anak Tangerang, Cara pengambilan sampel dilakukan dengan random sampling yaitu secara acak sederhana. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 246 responden. HASIL Tabel 1 Distribusi frekwensi remaja yang pernah melakukan tindakan bullying di SMAN 2 Tangerang tahun 2009 Katagori
Jumlah
Prosentase (%)
Pernah melakukan Tidak pernah melakukan
82 45,6 98 54,4 180 Dari tabel terlihat bahwa sebagian kecil responden pernah melakukan tindakan Bulying yaitu 45,6%. Tabel 2 Distribusi frekwensi bentuk pola asuh keluaga (orang tua) pada remaja yang Pernah melakukan tindakan Bulying di SMAN2 Tangerang tahun 2009 Pola Asuh Keluarga Otoriter Permisif Demokratis
Jumlah Prosentase (%) 32 39 44 53,7 6 7,3 82
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar remaja yang pernah melakukan tindakan bulying pada pola asuh keluarga permisif yaitu 53,7 % 53
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 3 Distribusi frekwensi Alasan remaja melakukan tindakan bullying di SMAN2 Tangerang tahun 2009 Jumlah
Prosentase (%)
Diajak teman/ikut geng
14
17
Pendidikan disekolah yg keras
6
7
Ikut-Ikutan bersama teman
40
49
Sering nonton kekerasan di TV/game
12
14,6
Perilaku masyarakat yang keras
34
41,5
Balas dendam
21
25,6
Katagori
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar Alasan remaja melakukan tindakan bulying adalah ikut-ikutan bersama teman (49%), dan alasan lainnya diajak teman, pendidikan sekolah yang keras, perilaku masyarakat yang keras, balas dendam dan sering nonton kekerasan di TV/game. Untuk lebih jelas dapat dilihat di tabel.
Tabel 4 Distribusi frekwensi bentuk-bentuk bullying yang pernah dilakukan remaja di SMAN2 Tangerang tahun 2009 Katagori Memaki/mengejek Mengintimidasi Memukul Menjamak Menampar Memalak
Jumlah 82 82 60 23 25 6
Prosentase (%) 100 100 73 28 30 7
Menusuk dengan benda tajam
1
1
Melukai orang Membunuh
7 -
8,5
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar bentuk-bentuk bulying yang pernah dilakukan remaja adalah memaki/mengejek, mengintimidasi (100%), dan bentuk yang lainnya memukul, menjamak, menampar, memalak, menusuk dengan benda tajam, serta melukai orang.. Untuk lebih jelas dapat dilihat di tabel.
Tabel 5 Distribusi remaja menurut pola asuh keluarga dan tindakan bulying di SMAN2 Tangerang tahun 2009 Pola Asuh Keluarga Otoriter Permisif Jumlah
Bulying n % 32 53,3 44 44,4 76 47,8
Tindakan Bulying T’Bulying n % 28 46,7 55 55,6 83 52,2
Dari 76 orang remaja yang pernah melakukan tindakan bulying sebanyak 44,4 % pola asuh keluarga permisif, 53,3% pola asuh keluarga otoriter. Dari hasil uji statistik nilai P 0,327 dan nilai OR 1,429 (95% CI:0,75-2,719). Dengan demikian secara statistik pada tingkat kepercayaan 5% menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pola asuh keluarga dengan remaja melakukan tindakan bulying.
54
Total N 60 99 159
% 100 100 100
Nilai P
OR 95%CI
0,327
1,429 (0,75-2,719)
Tabel 6 Distribusi frekwensi remaja yang pernah melakukan tindakan bullying di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang tahun 2009 Katagori
Jumlah
Prosentase (%)
Pernah melakukan Tidak pernah melakukan
68 77,3 20 22,7 88 Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar remaja pernah melakukan tindakan Bulying yaitu 77,3%.
ISSN 0126-107X
Endang Suartini, Parta Suhanda, Siti Wasliyah, Hubungan Pola Asuh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja (Pelaku Bullying)
Tabel 7 Distribusi frekwensi bentuk pola asuh keluaga (orang tua) pada remaja LP Anak Yang Pernah melakukan tindakan Bulying tahun 2009 Pola Asuh Keluarga Otoriter Permisif Demokratis
Jumlah 33 35 68
Prosentase (%) 48,5 51,5 0
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar remaja yang pernah melakukan tindakan bulying pada pola asuh keluarga permisif yaitu 51,5 %. Tabel 8 Distribusi frekwensi Alasan remaja melakukan tindakan bullying di Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang tahun 2009 Jumlah
Prosentase (%)
Diajak teman/ikut geng
31
45,6
Pendidikan disekolah yg keras
6
8,8
Ikut-Ikutan bersama teman
31
45,6
Sering nonton kekerasan di TV/game
5
7,3
Perilaku masyarakat yang keras
15
22
Balas dendam
8
11,7
Katagori
Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar Alasan remaja melakukan tindakan bulying adalah ikutikutan bersama teman, diajak teman/geng (45,6%), dan alasan lainnya diajak teman, pendidikan sekolah yang keras, perilaku masyarakat yang keras, balas dendam dan sering nonton kekerasan di TV/game. Untuk lebih jelas dapat dilihat di tabel. Tabel 9 Distribusi frekwensi bentuk-bentuk bullying yang pernah dilakukan remaja Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang tahun 2009 Katagori Jumlah Prosentase (%) Memaki/mengejek 68 100 Mengintimidasi 27 39,7 Memukul 59 86,7 Menjamak 17 25 Menampar 22 32,3 Memalak 28 41 Menusuk dengan 18 20,9 benda tajam Melukai orang 34 50 Membunuh 22 32,3 Dari tabel terlihat bahwa sebagian besar bentukbentuk bulying yang pernah dilakukan remaja adalah memaki/mengejek (100%), memukul (86,7%), dan bentuk yang lainnya, menjamak, menampar, memalak, menusuk dengan benda tajam, melukai orang, serta membunuh (32,3%). Untuk lebih jelas dapat dilihat di tabel.
Tabel 10 Distribusi remaja menurut pola asuh keluarga dan tindakan bulying di LP Anak Tangerang tahun 2009 Pola Asuh Keluarga Otoriter Permisif Jumlah
n 33 35 68
Bulying % 75,0 79,5 77,3
Tindakan Bulying T’Bulying n % 11 25,0 9 20,5 20 22,7
Dari 68 orang remaja yang pernah melakukan tindakan bulying sebanyak 77,3 % pola asuh keluarga permisif, 75 % pola asuh keluarga otoriter. Dari hasil uji statistik nilai P 0,800 dan nilai OR 0,771 (95%
ISSN 0126-107X
Total n 44 44 88
% 100 100 100
Nilai P
OR 95%CI
0,800
0,771 (0,283-2,099)
CI:0,283-2,099). Dengan demikian secara statistik pada tingkat kepercayaan 5% menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara pola asuh keluarga dengan remaja melakukan tindakan bulying.
55
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
PEMBAHASAN Pola asuh orangtua akan mempengaruhi perkembangan anak baik fisik maupun psikologis. Pada saat remaja perkembangan psikologis anak harus lebih diperhatikan oleh orangtua. Pada remaja waktu di luar rumah lebih banyak dibandingkan dengan waktu di dalam rumah sehingga pengaruh lingkungan akan sangat berpengaruh pada perkembangan psikologis remaja. Orangtua harus dapat melihat secara cermat perubahan perilaku yang dialami oleh anak remajanya, salah satunya adalah perilaku Bullying yang dilakukan oleh remaja. Menurut Monks, dkk (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengeksperesikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa anak-anak yang berada di sekolah yaitu SMAN 2 tangerang menyatakan pernah melakukan bullying sebanyak 45,6 % ( tabel 1) sedangkan anak –anak yang dipenjara menyatakan bahwa yang pernah melakukan bullying sebanyak 77,3% ( tabel 6). Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru, dan koperatif terhadap orang-orang lain. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa dari dua kelompok remaja pola asuh permisif (tabel 2 dan 7) memiliki prosentase 51,5% remaja LP dan remaja SMAN2 53.7%. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa polaasuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsive, agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial. .
56
Dari karakteristik-karakteristik tersebut di atas, kita dapat mawas diri, kita masuk dalam kategori pola asuh yang mana. Apabila kita memahami pola asuh yang mana yang cenderung kita terapkan, sadar atau tidak sadar, maka kita dapat segera merubahnya. Kita juga bisa kita melihat, bahwa harga diri yang rendah terutama adalah disebabkan karena pola asuh orang tua yang penelantar. Banyak sekali para orangtua terutama para wanita karier yang suda mempunyai anak yang lebih cinta kepada pekerjaannya daripada kepada anaknya sendiri. Dia lebih banyak meluangkan waktu untuk mencari uang dan uang. Dia lupa kalau di rumah ada anakanaknya yang membutuhkan kasih dan sayang dia. Pergi kerja disaat anaknya masih tertidur pulas, lalu pulang ketika anaknya sudah tertidur pulas lagi. Sehingga, anak-anak lebih mengenal pembantunya daripada sosok ibunya sendiri. Dari hasil uji statistik, penelitian ini menunjukan bahwa pola asuh keluarga tidak ada hubungan yang signifikan dengan perilku bulying remaja, hal ini dimungkinkan karena pada remaja pengaruh lingkungan di luar rumah dan teman sebaya lebih besar dibanding pola asuh keluarga. Hal ini sesuai dengan teori menurut Monks, dkk (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian (tabel 3 dan 8) alasan remaja melakukan tindakan bulying ikut-ikutan dan diajak teman SMA 49 %, LP Anak 45,6%. Bentuk-bentuk perilaku bulying untuk kelompok LP Anak sudah mengarah ke tindakan kriminal, hal ini tidak menuntup kemungkinan remaja SMA pun akan berperilaku yang sama, kalau tidak diantisipasi oleh orang tua atau guru.Untuk itu orang tua harus lebih dekat lagi sama remaja atau orang tua bisa berperan sebagai teman. Allan L. Beane (1999)4 menjelaskan bahwa perilaku menjadi pelaku kekerasan ini bisa terjadi diusia 3 tahun, agak sulit diketahui bagaimana seorang anak bisa menjadi pelaku kekerasan sedang anak yang lain tidak, tetapi penelitian membuktikan seorang anak dapat secara genetik menjadi anak yang agresif, dan anak yang agresif ini mudah mencontoh dari lingkungannya, misalnya anak yang tinggal dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kekerasan, selalu menyaksikan orang tuanya marah dan bertindak kasar, atau anak yang merasa diabaikan dan tidak dicintai.
ISSN 0126-107X
Endang Suartini, Parta Suhanda, Siti Wasliyah, Hubungan Pola Asuh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja (Pelaku Bullying)
KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian terhadap siswa SMAN2 Tangerang dan LP Anak Tangerang berdasarkan hasil uji statistik nilai P lebih dari 0,05, maka pola asuh keluarga tidak ada hubungan yang signifikan dengan perilaku remaja melakukan tindakn bulying. Pola asuh keluarga pemisif memiliki prosentase paling besar SMA (53,7%), LP Anak (51,5%). Alasan remaja melakukan tindakan bulying meliputi ikut-ikutan teman, diajak teman, balas dendam, menonton kekerasan di TV, pola pendidikan yang keras di sekolah, perilaku masyarakat yang keras.
10. Shochib,M.1998.Pola Asuh Orang Tua dalam membantu Anak Mengembangkan Disiplin diri.Reneka cipta.Jakarta
DAFTAR PUSTAKA 1.
Suryani,,dkk.2007. Persepsi dan kekerasan siswa kelas X terhadap perilaku bullying studi kasus di SMA .Unika Atmajaya .Jakarta
2.
Masngudin HMS.1999.Kenakalan Remaja Sebagai Perilaku Menyimpang hubungannya dengan Keberfungsian Sosial Keluarga. Peneliti Pda Puslitbang UKS, Badan Latbang Sosial Departemen Sosial RI
3.
Tim Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA).2008.Bullying Mengatasi Kekerasan Di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Grasindo. Jakarta
4.
Tia Ristiawati. 2007. Ijime (Kekerasan/ Bullying) dikalangan anak-anak Jepang menurut Novel gakkono sensee. Program Paska Sarjana UGM.Yogyakarta
5.
Octa Reni Setiawati,S.psi.2008, Bullying: Kkerasan teman sebaya di balik pilar sekolah. WWW Indonesia.Com
6.
Blupant for Violence Prevention – Bullying Prevention Program Executive SummaryHighhilghts.http//www.Colorado. edu/cspv/ safeschool/bullying/bullying_ bppsummary.html
7.
Beane,A.L (1990).The Bully Classrom,Free Spirit Publishing
8.
M. Sopiyudin Dahlan, dr. 2004. Statistik,Kedokteran dan Kesehatan. Arkan. Jakarta
9.
Soekidjo Notoatmojo, Dr.2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. RinekaCipta. Jakarta
ISSN 0126-107X
Free
57
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 06-60 BULAN DI KELURAHAN KUTO BATU KECAMATAN ILIR TIMUR II KOTA PALEMBANG TH 2011 Terati*, Nurul Salasa Nilawati*, Riskikah Dwi Fatonah** *Dosen Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang ** Alumni Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang ABSTRAK Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi adalah asupan zat gizi, tingkat pendidikan formal ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, dan pendapatan keluarga. Secara tidak langsung asupan zat gizi dipengaruhi oleh karakteristik ibu. Karakteristik ibu juga ikut dalam menentukan keadaan gizi anak. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Jenis penelitian ini bersifat survey analitik dengan menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional study yaitu variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen) diukur dan diamati pada waktu yang bersamaan. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 838 balita. Sampel berjumlah 86 balita, di wilayah Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang yang dilakukan selama 2 minggu (07 Maret 2011- 18 Maret 2011). Analisis data menggunakan uji statistik Chi-Square untuk membuktikan adanya beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi balita pada α = 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pendidikan ibu yang berpendidikan dasar (61,6%), sebagian besar tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan balita masih kurang (64,0%), sebagian besar tingkat pendapatan keluarga masih rendah (68,6%), sebagian besar asupan energi balita sudah baik (73,3%), dan sebagian besar asupan protein balita sudah baik (74,4%). Setelah dilakukan uji Chi-square, maka didapat bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, tingkat pendapatan keluarga, serta asupan zat gizi energi dan protein dengan status gizi balita, di mana p_value < 0,05. Untuk meningkatkan status gizi balita usia 06-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang diperlukan perhatian khusus dari petugas gizi puskesmas kenten untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya gizi dan bagaimana cara pemenuhan gizi tersebut tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut yang lebih bervariasi dan mencakup penelitian yang lebih luas terutama yang berhubungan dengan status gizi. Kata Kunci : Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi, Balita
PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan SDM (Sumber Daya Manusia) yang berkualitas yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Indikator pengukur tinggi rendahnya kualitas SDM antara lain adalah kualitas hidup (Human Development Indeks – HDI). Berdasarkan laporan UNDP, 2007. Indonesia berada pada peringkat 108 dari 177 negara di dunia, sedangkan untuk Sumatera Selatan tahun 2008 angka HDI sebesar 72,05 pada peringkat 7 dari 10 provinsi yang ada di Sumatera. Salah satu titik berat pembangunan jangka panjang adalah pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang dicirikan sebagai manusia yang cerdas, produktif dan mandiri. Status gizi dan 58
kesehatan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas SDM. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi adalah asupan zat gizi, tingkat pendidikan formal ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan, dan pendapatan keluarga (Supariasa, 2001). Status Gizi yang baik dipengaruhi oleh jumlah asupan zat gizi yang dikonsumsi. Secara tidak langsung asupan zat gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah karakteristik keluarga. Karakteristik keluarga khususnya ibu yang berhubungan dengan tumbuh kembang anak. Ibu sebagai orang yang dekat dengan lingkungan asuhan anak ikut berperan dalam proses tumbuh kembang anak melalui makanan zat gizi makanan yang diberikan. Karakteristik ibu ikut menentukan keadaan gizi anak (Satoto, 1990).
ISSN 0126-107X
Terati, Nurul Salasa Nilawati, Riskikah Dwi Fatonah, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Th 2011
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makanan keluarga, serta pengasuhan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya bidang gizi, sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan seharihari (Depkes RI, 1990). Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, disamping pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suharjo, 2003). Demikian halnya dengan pendapatan, pendapatan keluarga merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi. Hal ini menyangkut daya beli keluarga untuk mempengaruhi kebutuhan konsumsi makan. Keluarga yang tergolong mampu pada masa-masa tertentu sering mengalami kurang pangan. Hal ini menyangkut peluang dalam mencari nafkah pangan dari segolongan keluarga yang mungkin berasal dari usaha tani dan hasil tanaman sendiri, dari tetangga, saudara, atau beli dari warung, toko atau pasar. Rendahnya pendapatan disebabkan menganggur atau usahanya memperoleh lapangan pekerjaan tetap yang diinginkan, selain itu juga dipengaruhi oleh banyaknya keluarga (Sajogyo, 1994). Anak-anak yang kekurangan gizi akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik, mental dan intelektual. Gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kesakitan serta berkurangnya potensi belajar, daya tahan tubuh dan produktifitas kerja. Kekurangan gizi pada usia dini berdampak buruk pada masa dewasa (Kodyat, 1998). Penanggulangan masalah gizi kurang perlu dilakukan secara terpadu antar departemen dan kelompok profesi, melalui upaya peningkatan pengadaan pangan, penganekaragaman produksi dan konsumsi pangan, peningkatan status sosial ekonomi, pendidikan dan kesehatan masyarakat, serta peningkatan teknologi hasil pertanian dan teknologi pangan. Upaya ini dilakukan untuk perbaikan pola konsumsi pangan masyarakat yang beranekaragam, dan seimbang dalam mutu gizi (Almatsier, 2006). Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas tahun 2007) secara nasional prevalensi gizi buruk pada balita umur 0-59 bulan sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13,0%. Secara umum prevalensi gizi buruk di Provinsi Sumatera Selatan
ISSN 0126-107X
sebesar 6,5% dan gizi kurang sebesar 11,7%. Jadi prevalensi untuk gizi buruk dan kurang (KEP Total) adalah 18,2%. Untuk kelompok anak yang rawan gizi yaitu kelompok anak usia 12-23 bulan atau anak baduta (1-2 tahun) prevalensi gizi buruk sebesar 4,9% dan gizi kurang sebesar 9,9%. Ditinjau dari kelompok umur balita, maka terlihat bahwa prevalensi balita gizi buruk dan kurang di Provinsi Sumatera Selatan cukup tinggi dengan rentang 12,9% - 24,6%. Tertinggi pada kelompok umur 0-5 tahun (24,6%) dan terendah umur 6-12 tahun (Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan, 2010) Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil Penilaian Status Gizi (PSG) tahun 2009 di Kota Palembang menunjukkan prevalensi berat badan sangat kurang yaitu 1,47%, berat badan kurang 8,45%, berat badan normal 87,79% dan berat badan lebih 2,28%. Prevalensi untuk berat badan sangat kurang dan berat badan kurang di Kota Palembang adalah 9,92% (Dinas Kota Palembang, 2009) Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2010, kelurahan di Kota Palembang yang mempunyai prevalensi gizi kurang terbesar yaitu Kelurahan Kuto Batu, dimana prevalensi gizi kurang sebesar 8,94% (Rekapitulasi Data Dasar Balita dan Gizi Kurang di Kuto Batu, 2010). Beradasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti Faktor-faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Balita usia 0660 Bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang Tahun 2011. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Umum Diketahuinya Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita usia 6-60 Bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak usia balita 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. b. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. c. Diketahuinya hubungan tingkat 59
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
d.
e.
pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Diketahuinya hubungan asupan energi dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Diketahuinya hubungan asupan protein dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011.
METODOLOGI Jenis penelitian ini bersifat survey analitik dengan menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional study yaitu variabel terikat (dependen) dan variabel bebas (independen) diukur dan diamati pada waktu yang bersamaan. Populasi dan Sampel Populasi Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua anak usia 6-60 bulan yang ada di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. Dengan jumlah populasi 838 balita. 1.
Sampel Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah bagian dari populasi balita usia 6-60 bulan, sedangkan yang menjadi responden adalah ibu balita yang berada di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. 2.
Besar Sampel Berdasarkan populasi penelitian sebanyak 838 balita, jumlah sampel yang ditentukan dengan menggunakan rumus oleh Notoatmodjo (2003). Berdasarkan perhitungan maka besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 86 orang. a.
Cara Pengambilan Sampel Penarikan sampel menggunakan teknik random sampling b.
60
HASIL DAN PEMBAHASAN a.
Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Balita Usia 6-60 Bulan
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan Uji Chi square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 1 Hubungan Tingkat Pendidikan Ibu Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011 Pendidikan Ibu
Status Gizi Balita
Jumlah
Kurang
Baik
n
%
n
%
Dasar, ≤ SLTP
20
37,7
33
Menengah, > SLTP
4
12,1
Total
24
27,9
p = 0,020
n
%
62,3
53
100,0
29
87,9
33
100
62
72,1
86
100,0
α = 0,05
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui bahwa proporsi ibu balita yang berpendidikan dasar dengan status gizi kurang lebih besar yaitu 37,7% dibandingkan dengan ibu balita yang berpendidikan menengah dengan status gizi kurang yaitu 12,1%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p_value = 0,020 (p_ value < α 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Roedjito (1989) yang mengatakan bahwa ada hubungan nyata tingkat pendidikan formal ibu dengan keadaan gizi balita. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan yang tinggi membuat seorang ibu dapat memberikan perhatian yang banyak pada balitanya. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Rustilah (2007) yang mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu balita dengan status gizi balita. Hasil penelitian yang dilakukan Ermaningsih, dkk (2007) mengatakan bahwa faktor yang tidak kalah pentingnya yang dapat mempengaruhi status gizi balita adalah tingkat pendidikan formal orang tua terutama tingkat pendidikan formal ibu, karena tingkat pendidikan ibu sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi balitanya. Menurut Notoatmodjo (2007) salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi seseorang adalah tingkat pendidikan ibu balita.
ISSN 0126-107X
Terati, Nurul Salasa Nilawati, Riskikah Dwi Fatonah, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Th 2011
Orang tua atau keluarga dalam mendidik anak dipengaruhi oleh pendidikan yang ditempuh orang tua, semakin tinggi pendidikan maka pola asuh yang diterapkan berbeda apabila dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah bahkan tidak mengenyam pendidikan formal (Fatmalina, dkk, 2005). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pendidikan ibu balita merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. b. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi dan Kesehatan dengan Status Gizi Balita Usia 6-60 Bulan Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan Uji Chi square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 2 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Dan Kesehatan Dengan Status Gizi Balita Usia 0660 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011 Pengetahuan Ibu
Status Gizi Balita Kurang
Baik
n
%
61,8
55
100,0
28
22,3
31
100,0
62
72,1
86
100,0
n
%
n
%
Kurang, jika < nilai rata-rata
21
38,2
34
Baik, jika ≥ nilai rata-rata
3
9,7
Total
24
27,9
p = 0,010
Jumlah
α = 0,05
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa proporsi ibu balita yang mempunyai pengetahuan tentang gizi dan kesehatan kurang dengan status gizi kurang lebih besar yaitu 38,2% dibandingkan dengan ibu balita yang mempunyai pengetahuan tentang gizi dan kesehatan baik dengan status gizi kurang yaitu 9,7%. Hasil analisisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p_value = 0,010 (p_ value < α 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa pakar gizi seperti Green, Mantra, dan Rogers yang mengatakan bahwa di samping pendidikan, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi sangat berpengaruh terhadap praktek gizi ibu dalam rumah tangga, ISSN 0126-107X
sebab sekalipun kurangnya data beli merupakan halangan utama, sebagian kekurangan gizi akan bisa diatasi jika orang tua tahu bagaimana seharusnya memanfaatkan segala sumber yang dimiliki (Ngardianti I, 1985). Hal ini juga didukung dari hasil penelitian yang dilakukan Mardiana (2005) yang mengatakan bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Hasil penelitian Dwi Oetomo (2007) mengatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita. Menurut Sari (2007) mengatakan ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita, ibu yang mempunyai pengetahuan baik maka semakin baik pula status gizi balitanya, sedangkan ibu yang pengetahuannya kurang maka akan kurang pula status gizi balitanya. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Badaria (2009) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita. Berg dan Muscat (1987) di Brazil, Zambia dan Kenya yang mengatakan bahwa setiap kasus gizi salah disebabkan oleh ketidaktahuan orang tua tentang gizi dan kesehatan. Dari hasil wawancara ibu yang mempunyai tingkat pengetahuan yang kurang mengenai gizi dan kesehatan akan berpengaruh terhadap pola makan dan pemilihan bahan makanan yang akan berpengaruh terhadap status gizi. Pengetahuan gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah pendidikan yang pernah dijalani, faktor lingkungan sosial dan frekuensi kontak dengan media massa juga mempengaruhi pengetahuan gizi. Salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan gizi atau kemauan untuk menerapkan informasi tentang gizi dalam kehidupan sehari-hari (Suhardjo, 1996). Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. c.
Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita Usia 6-60 Bulan
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan Uji Chi square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
61
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 3 Hubungan Tingkat Pendapatan Keluarga Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011 Pendapatan Keluarga
Status Gizi Balita Kurang
Baik
n
%
62,7
59
100,0
25
92,6
27
100,0
62
72,1
86
100,0
n
%
n
%
Rendah, jika < Rp.927.825/bln
22
37,3
37
Tinggi, jika ≥ Rp.927.825/bln
2
7,4
Total
24
27,9
p = 0,009
Jumlah
α= 0,05
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa proporsi balita yang pendapatan keluarga rendah dengan status gizi kurang lebih besar yaitu 37,3% dibandingkan dengan balita yang pendapatan keluarga tinggi dengan status gizi kurang yaitu 7,4%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p_value = 0,009 (p_ value < α 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Ratnawati (2002) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi anak usia 1-5 tahun. Menurut penelitian yang dilakukan Rustilah (2007) juga mengatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendapatan kepala keluarga dengan status gizi. Sesuai dengan teori Berg (1986), pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Ditambah hasil penelitian Marsetyo (1991), yang menjelaskan rendahnya status gizi dikarenakan rendahnya pendapatan keluarga dan banyaknya anggota keluarga yang harus makan dengan jumlah pendapatan rendah. Menurut Roedjito (1989) mengatakan bahwa besar kecilnya pendapatan keluarga berpengaruh terhadap pola konsumsi. Pola konsumsi dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat. Oleh karena itu bagi masyarakat dengan tingkat penghasilan rendah, usaha perbaikan gizi erat hubungannya dengan usaha peningkatan pendapatan sumber daya manusia. Gangguan pertumbuhan anak atau kurang gizi selalu berhubungan dengan keterbelakangan dalam pembangunan sosial ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan merata, tetapi berhubungan dengan kemiskinan seperti penghasilan amat rendah. UNDIP (2005), Perubahan pendapatan secara
62
langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Namun sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas pangan yang dibeli. Menurut Syafiq (2007) salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi seseorang adalah tingkat pendapatan keluarga. Karena keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat pendapatan keluarga berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. Maka berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh penelitian sebelumnya. d. Hubungan Asupan Zat Gizi (Energi) dengan Status Gizi Balita Usia 6-60 Bulan Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan Uji Chi square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel asupan energi dengan status gizi balita, maka diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 4 Hubungan Asupan Energi Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011 Asupan Energi
Status Gizi Balita Kurang
Baik
n
%
17,4
23
100,0
58
92,1
63
100,0
62
72,1
86
100,0
n
%
n
%
Kurang, Jika < 80% AKG
19
82,6
4
Baik, Jika ≥ 80% AKG
5
7,9
Total
24
27,9
p = 0,000
Jumlah
α = 0,05
Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dapat diketahui bahwa proporsi balita yang asupan energi kurang dengan status gizi kurang lebih besar yaitu 82,6% dibandingkan dengan balita yang asupan energi baik dengan status gizi kurang yaitu 7,9%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p_value = 0,000 (p_ value < α 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan
ISSN 0126-107X
Terati, Nurul Salasa Nilawati, Riskikah Dwi Fatonah, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Th 2011
yang bermakna antara asupan energi dengan status gizi balita. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hardiansyah (2000) yang mengatakan bahwa ada hubungan antara asupan energi dengan status gizi balita. Penelitian Adair (1993) mengatakan ada pengaruh asupan energi dengan status gizi balita. Hasil penelitian Rully (2009) dan Wasri (2009) juga mengatakan bahwa ada hubungan asupan energi dengan status gizi balita. Hasil penelitian Satoto (1990) mengatakan bahwa ada hubungan antara asupan zat gizi seperti kalori dan protein dengan status gizi balita. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Thaha (1995) yang mengatakan bahwa ada pengaruh asupan zat gizi dengan status gizi. Pengaruh asupan zat gizi terhadap perkembangan anak menurut Brown dan Pollit (1996) melalui terlebih dahulu menurunnya status gizi. Menurut Notoatmodjo (2007) konsumsi makanan pada seseorang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan atau status gizi. Roedjito (1989) mengatakan bahwa penyebab langsung KEP akibat dari kekurangan energi dan protein. Status gizi dipengaruhi berbagai faktor seperti asupan zat gizi karena asupan zat gizi mempengaruhi metabolisme jika zat gizi yang masuk ke dalam tubuh kurang, maka metabolisme akan terganggu sehingga tubuh tidak akan mendapat masukan zat gizi sesuai kebutuhannya. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa asupan energi merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. e.
Hubungan Asupan Zat Gizi (Protein) dengan Status Gizi Balita Usia 6-60 Bulan
Berdasarkan uji statistik yang telah dilakukan dengan menggunakan Uji Chi square untuk mengetahui ada tidaknya hubungan variabel asupan protein dengan status gizi balita, maka diperoleh hasil sebagai berikut:
ISSN 0126-107X
Tabel 5 Hubungan Asupan Protein Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Tahun 2011 Asupan Protein
Status Gizi Balita Kurang
Baik
n
%
18,2
22
100,0
58
46,1
64
100,0
62
72,1
86
100,0
n
%
n
%
Kurang, Jika < 80% AKG
18
81,8
4
Baik, Jika ≥ 80% AKG
6
9,4
Total
24
27,9
p = 0,000
Jumlah
α = 0,05
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa proporsi balita yang asupan protein kurang dengan status gizi kurang lebih besar yaitu 81,8% dibandingkan dengan balita yang asupan protein baik dengan status gizi kurang yaitu 9,4%. Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p_value = 0,000 (p_ value < α 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan protein dengan status gizi balita. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rully (2009) mengatakan bahwa ada hubungan asupan energi dengan status gizi balita. Penelitian Hardiansyah (2000) memperlihatkan adanya pengaruh asupan zat gizi seperti kalori dan protein terhadap status gizi. Pengaruh asupan zat gizi terhadap perkembangan anak menurut Brown dan Pollit (1996) melalui terlebih dahulu menurunnya status gizi. Menurut Notoatmodjo (2007) konsumsi makanan pada seseorang dapat menentukan tercapainya tingkat kesehatan atau status gizi. Roedjito (1989) mengatakan bahwa penyebab langsung KEP akibat dari kekurangan energi dan protein. Status gizi dipengaruhi berbagai faktor seperti asupan zat gizi karena asupan zat gizi mempengaruhi metabolisme jika zat gizi yang masuk ke dalam tubuh kurang, maka metabolisme akan terganggu sehingga tubuh tidak akan mendapat masukan zat gizi sesuai kebutuhannya. Asupan energi dan protein mempengaruhi status gizi secara langsung dan pernyataan penyebab langsung gangguan gizi pada seseorang khususnya balita adalah tidak sesuainya jumlah zat gizi yang diperoleh dari makanan dan kebutuhan tubuhnya (Moehji, 2002). Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap 63
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
status gizi seseorang keluarga dan masyarakat. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa asupan protein berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang. KESIMPULAN a.
b.
c.
d.
e.
Ada hubungan tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak usia balita 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Ada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Ada hubungan asupan energi dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011. Ada hubungan asupan protein dengan status gizi balita usia 6-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2011.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Adair L, Popkin BM. Van Derslice Jet AL. 1993. Growth Dynamics During The Fist Two Years Of Live. A Prospective Study in The Filiphine, Eur J Clin Nutr.
2.
Almatsier, Sunita. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
3.
Berg, Alan. 1986. Gizi dalam Pembangunan Nasional. CV. Rajawali, Jakarta.
4.
Berg, Alan dan Muscat, Robert J. 1987. Faktor Gizi. Bharatara Karya Aksara, Jakarta .
5.
Badaria. 2009. Hubungan antara Perilaku Ibu Tentang Gizi Seimbang dengan Status Gizi Balita di Desa Muara Bahun Kecamatan Jejawi kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2009. (Karya Tulis Ilmiah, Badaria). Poltekkes Gizi Palembang.
6.
Dinas Kota Palembang. 2009. Laporan Pemantauan Status Gizi Kota Palembang, Sumatera Selatan.
7.
Ermaningsih, Fery, dkk. 2007. Laporan Praktek Lapangan Program Penyuluhan Gizi, Palembang.
8.
Fatmalina, dkk. 2005. Manajemen Program Gizi dalam Penanganan Masalah Gizi Kurang pada Anak Balita di Posyandu Melati V. Program Studi Magister Gizi Masyarakat Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
9.
Hardiansyah, Nasoetion, A. Guhardja S, dkk. 2000. Determinasi Status Gizi Balita di Pedesaan Nusa Tenggara Timur. Media Gizi dan Keluarga XXIV.
SARAN 1.
2.
64
Untuk meningkatkan status gizi balita usia 06-60 bulan di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang diperlukan perhatian khusus dari petugas kesehatan khususnya petugas gizi puskesmas kenten untuk memberikan penyuluhan tentang pentingnya gizi dan bagaimana cara pemenuhan gizi tersebut tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Sehingga dapat meningkatkan pengetahuan ibu-ibu tentang gizi khususnya dalam pemilihan dan pengolahan bahan makanan yang bergizi dan seimbang. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut yang lebih bervariasi dan mencakup penelitian yang lebih luas dan terutama yang berhubungan dengan status gizi.
10. Hasil Rekapitulasi Data Dasar Balita dan Gizi Kurang Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang tahun 2010. 11. Indrawani. Yvonne M. 2007. Anemia dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Eds. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 12. Kodyat, BA. 1988. Penuntasan Masalah Gizi Kurang. Dalam: Prosiding WNPG IV. LIPI, Jakarta.
ISSN 0126-107X
Terati, Nurul Salasa Nilawati, Riskikah Dwi Fatonah, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Th 2011
13. Marsetyo, H. 1991. Terapi Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja). Rineka Cipta, Jakarta. 14. Moehji, Sjahmien. 2002. Ilmu Gizi Jilid I. Bhratara, Jakarta. 15. Mardiana. 2005. Hubungan Antara Perilaku Gizi dan Status Gizi Balita di Puskesmas Tanjung Beringin Kecamatan Hinain Kabupaten Langkat. Karya Tulis Ilmiah, Mardiana). Poltekkes Gizi Palembang. 16. Ngadiarti, I. 1985. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Praktek Gizi Ibu dan Status Gizi Anak. Studi Kasus di Desa Pondok Karya Jakarta, Prosiding KPIG VII, Jakarta. 17. Notoatmodjo, Sukidjo. 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
26. Syafiq, dkk. 2007. Anemia dalam Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI. Eds. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 27. Thaha AR. 1995. Pengaruh Musim Terhadap Pertumbuhan Anak Keluarga Nelayan. Disertasi Universitas Indonesia.
.
18. Notoatmodjo, Sukidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. PT. Rineka Cipta, Jakarta. 19. Roedjito, D. 1989. Kajian Penelitian Gizi. PT Mediyatama Sarana Persakasa, Jakarta. 20. Rustilah. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Karakteristik Balita usia 6-24 bulan Penerima PMT Lokal di Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir (Karya Tulis Ilmiah, Rustilah). Poltekkes Gizi Palembang. 21. Satoto. 1990. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (Pengamatan Anak Umur 0-18 Bulan) di Kecamatan Mlonggo Kabupaten Jepara Jawa Tengah (Disertasi, Satoto). Universitas Diponegoro. 22. Sajogyo dan Goenardi. 1994. Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota, Gajah Mada University Press, Bogor. 23. Suhardjo. 1996, Perencanaan Pangan dan Gizi, Bumi Aksara, Jakarta. 24. Supariasa, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 25. Sari. 2007. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dan Pola Makan Balita di Kelurahan 7 Ulu Palembang (Skripsi, Sari). STIK Bina Husada. ISSN 0126-107X
65
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS LATIHAN AEROBIK LOW IMPACT DENGAN DAN TANPA PEMBERIAN SUSU KEDELAI TERHADAP KADAR TRIGLISERIDA PADA WANITA DEWASA DENGAN BERAT BADAN LEBIH DI DESA AIR PAOH KECAMATAN BATURAJA TIMUR Meilina Estiani Dosen Prodi Keperawatan Baturaja Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Latar Belakang: Berat badan lebih (overweight) dan obesitas pada saat ini menjadi masalah global yang serius. Di Indonesia masalah kelebihan berat badan dan obesitas telah menjadi masalah besar, hal ini terjadi disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang mempengaruhi pola hidup terutama terjadinya perubahan pola makan dan keterbatasan aktifitas fisik.Trigliserida sebagai energi jika tetap pada tingkat yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan masalah kesehatan.Trigliserida merupakan lemak darah yang cenderung naik seiring dengan konsumsi alkohol, peningkatan berat badan, diet tinggi gula atau lemak serta gaya hidup. Untuk mengontrol kadar trigliserida perlu dilakukan beberapa upaya yaitu dengan cara pengaturan pola makan (diet), peningkatan aktivitas fisik, modifikasi gaya hidup. Efek paling nyata dari latihan adalah untuk menurunkan trigliserida, trigliserida akan diubah ke dalam bentuk gliserol dan Free Fatty Acid (FFA) sebagai sumber energi utama selama latihan fisik. Selain itu salah satu upaya non-kimia yang dapat digunakan untuk mempertahankan kadar kolesterol pada kadar normal adalah dengan pemberian makanan yang mengandung isoflavon yaitu kedelai. Masyarakat Indonesia telah lama mengkonsumsi kedelai, namun manfaat dari kedelai belum banyak yang mengetahui.Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektifitas latihan aerobik low impact dengan dan tanpa pemberian susu kedelai terhadap kadar trigliserida pada wanita dewasa dengan berat badan lebih di desa Air Paoh Kecamatan Baturaja timur. Metode Penelitian: Bentuk penelitian ini adalah penelitian uji klinis berpembanding paralel add on. Subjek penelitian terdiri dari 32 sampel yang terbagi dalam dua kelompok yaitu 15 responden kelompok latihan aerobik low impact dengan pemberian susu kedelai dan 17 responden kelompok latihan aerobik low impact tanpa pemberian susu kedelai. Program latihan yang dilakukan adalah senam aerobik low impact, durasi 45 menit (tercapai 70-80% DNM), frekuensi 3x/mgg selama 6 minggu. Karakteristik subjek penelitian dianalisis secara deskriptif dan uji normalitas Kolmogorov smirnov, selanjutnya kadar trigliserida sebelum dan sesudah latihan dianalisis dengan uji-t dengan Program SPSS versi 17,0. Hasil: Berdasarkan hasil analisis uji t dapatkan hasil bahwa (1) ada perbedaan kadar trigliserida yang bermakna antara sebelum dan sesudah latihan pada kelompok perlakuan (p=0,006), (2) ada perbedaan kadar trigliserida sebelum dan sesudah latihan pada kelompok pembanding (p=0,000), (3) ada perbedaan efektifitas latihan aerobik low impact dengan pemberian susu kedelai dibandingkan dengan latihan aerobik low impact tanpa pemberian susu kedelai (p=0,001). Simpulan: Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa latihan aerobik low impact dengan pemberian susu kedelai lebih efektiv menurunkan kadar triugliserida dibandingkan dengan latihan aerobik low impact tanpa pemberian susu kedelai pada wanita dewasa dengan berat badan lebih di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur. Kata Kunci: Trigliserida, Aerobik Low Impact, Susu Kedelai, Uji klinis paralel add on
PENDAHULUAN Berat badan lebih (overweight) dan obesitas pada saat ini menjadi masalah global yang serius. Terjadinya peningkatan prevalensi overweight dan obesitas pada 10-15 tahun terakhir dengan kejadian terbanyak adalah di Amerika. Yang diperkirakan akan terus meningkat 100% pada
66
tahun 2230 (Suyoto, 2012). Di Indonesia masalah kelebihan berat badan dan obesitas telah menjadi masalah besar, hal ini terjadi disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan masyarakat yang mempengaruhi pola hidup terutama terjadinya perubahan pola makan dan keterbatasan aktifitas fisik (Almatsier,2001). Data dari Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes (1997), menunjukkan
ISSN 0126-107X
Meilina Estiani, Perbandingan Efektifitas Latihan Aerobik Low Impact Dengan Dan Tanpa Pemberian Susu Kedelai Terhadap Kadar Trigliserida Pada Wanita Dewasa Dengan Berat Badan Lebih Di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur
bahwa sebanyak 12,8% pria mengalami kelebihan berat badan dan 2,5% mengalami obesitas. Data lain menunjukkan bahwa 20% wanita mengalami kelebihan berat badan dan 5,9% obesitas (Suyoto, 2012). Trigliserida merupakan lemak utama di dalam tubuh yang sangat erat kaitannya dengan kolesterol, keduanya mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dalam proses metabolisme (Cpddokter, 2008). Trigliserida sebagai energi dan kolesterol untuk membangun sel yang kuat, tetapi jika tetap pada tingkat yang tinggi dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan masalah kesehatan.Trigliserida yang tinggi sering dikaitkan dengan rendahnya kadar HDL dan ini menujukkan adanya masalah penyakit vaskular (LaRosa et al., 2012). Trigliserida merupakan lemak darah yang cenderung naik seiring dengan konsumsi alkohol, peningkatan berat badan, diet tinggi gula atau lemak serta gaya hidup (LIPI, 2009). Trigliserida merupakan lemak darah yang secara khusus berada pada lapis kedua low-density lipoprotein (LDL), yang berperan dalam memicu serangan jantung dan stroke (Cpddokter, 2008). Untuk mengontrol kadar trigliserida perlu dilakukan upaya penatalaksanaannya yaitu dengan cara pengaturan pola makan (diet), peningkatan aktivitas fisik, modifikasi gaya hidup serta dukungan mental dan sosial (Suyoto, 2012). WHO (2004) menganjurkan perlunya keseimbangan energi melalui pola diet rendah kalori, kandungan protein dan serat yang optimal serta rendah lemak dalam makanan (Alrasyid, 2007).Olahraga/latihan fisik akan memberikan serangkaian perubahan baik fisik maupun psikologis yang sangat bermanfaat dalam mengendalikan berat badan. Olahraga yang dilakukan secara konsisten dan teratur tidak hanya dapat membakar kalori, namun juga mengurangi lemak, meningkatkan massa otot tubuh, dan memberi manfaat yang cukup baik secara psikologis (Suyoto, 2012). Efek paling nyata dari latihan adalah untuk menurunkan trigliserida. Energi yang diperlukan untuk gerakan, disediakan oleh dekomposisi glikogen dalam otot, kemudian selanjutnya trigliserida akan diubah ke dalam bentuk gilerol dan Free Fatty Acid (FFA) sebagai sumber energi utama selama latihan fisik (proses lipolisis) (Mora et al., 2000; Sugiharto, 2011). Lipolisis meningkat selama latihan fisik (Mora et al., 2000). Meningkatnya lipolisis pada latihan fisik berdampak terhadap peningkatan penggunaan simpanan lemak selama latihan fisik (Sugiharto, 2011). Senam aerobik low impact merupakan senam yang gerakannya menggunakan seluruh otot, terutama otot-otot besar, sehingga memacu kerja jantung-paru, dan gerakan badan secara berkesinambungan pada bagian-bagian ISSN 0126-107X
badan, bentuk gerakan-gerakan dengan satu atau dua kaki tetap menempel pada lantai serta diiringi musik (Prakosa dkk, 2001; Budiharjo et al., 2005). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa trigliserida merupakan lemak darah yang secara khusus berada pada lapis kedua kolesterol LDL yang berperan dalam memicu serangan jantung dan stroke, maka upaya menurunkan kolesterol ini selain pengaturan pola makan (diet) dan peningkatan latihan fisik, lebih sering menggunakan obat-obatan yang dikenal sebagai ‘statin’, yang memiliki efek terhadap penurunan LDL, namun sering kali tidak dapat menurunkan trigliserida (Cpddokter, 2008). Saat ini salah satu upaya non-farmakologis yang dapat digunakan untuk mempertahankan kadar kolesterol pada kadar normal adalah dengan pemberian makanan yang mengandung isoflavon yaitu kedelai (Yusni, dkk, 2010). Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol telah terbukti pada binatang percobaan seperti tikus dan kelinci, juga pada manusia. Efek yang lebih luas pada perlakuan terhadap tepung kedelai, terbukti bahwa terdapat penurunan kadar kolesterol, trigliserida VLDL (very low density lipoprotein) dan LDL. Mekanisme lain penurunan kolesterol oleh isoflavon dijelaskan melalui pengaruh terhadap peningkatan katabolisme sel lemak untuk pembentukan energi, yang berakibat pada penurunan kandungan kolesterol (Sekiya, 2000; Prawiroharsono, 2001). Jika kadar trigliserida meningkat dalam darah maka kadar kolesterol akan meningkat pula (Nurhasanah, 2012), sebaliknya jika terjadi penurunan kadar kolesterol maka diharapkan terjadi penurunan kadar trigliserida dalam darah. Masyarakat Indonesia yang secara tradisi telah lama mengkonsumsi kedelai dalam berbagai bentuk produk olahannya. Namun manfaat dari kedelai belum banyak yang mengetahui, disamping itu bukti penelitian tentang manfaat kedelai di Indonesia belum banyak diteliti.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas latihan aerobik low impact dengan dan tanpa pemberian susu kedelai terhadap kadar trigliserida pada wanita dewasa dengan berat badan lebih di desa Air Paoh Kecamatan Baturaja timur. METODA PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian uji klinis berpembanding paralel add on. Penelitian ini lakukan selama 6 (enam) minggu dimulai pada tanggal 8 Juni sampai dengan tanggal 14 Juli 2012. Subjek dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan berat badan lebih di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja timur yang memenuhi kriteria inklusi yaitu wanita sudah menikah, umur > 30 tahun, kadar trigilserida > 150 mg/dl, mampu menyelesaikan 67
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
perlakukan dan latihan selama 6 minggu, IMT > 25 kg/m², bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangi format persetujuan sebagai subjek penelitian (Informed Consent). Sampel yang dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok perlakuan berupa latihan aerobik berupa senam aerobik low impact selama 45 menit dengan pemberian susu kedelai setiap hari frekuensi 3 kali seminggu selama 6 minggu. Kelompok pembanding yaitu kelompok yang diberi perlakuan latihan aerobik berupa senam aerobik low impact selama 45 menit, frekuensi 3
kali/minggu selama 6 minggu tanpa pemberian susu kedelai. Pemeriksaan kadar Trigliserida dilakukan sebelum dan sesudah pemberian perlakuan. Analisa tertutup dengan menggunakan program SPSS versi 17. Dimana variabel dicotomi dianalisis dengan menggunakan uji statistik diskriptif dan uji normalitas Kolmogorov-smirnov Z dan variabel continue dianalisis dengan menggunakan uji T, data dalam kelompok dianalisis dengan uji t berpasangan dan data antar kelompok dianalisis dengan uji t tidak berpasangan.
HASIL PENELITIAN Tabel 1. Karakteristik Subjek penelitian pada Kelompok Latihan Aerobik Low Impact dengan pemberian susu kedelai dan Kelompok Latihan Aerobik Low Impact tanpa pemberian susu kedelai Variabel
Umur ( tahun) Tinggi Badan (cm) Berat Badan (k) IMT TG Pre (mg/dl)
Kelompok Latihan Aerobik low impact dengan pemberian susu kedelai Rerata ± SD 41,53 153,71 67,06 28,41 188,00
± 6,625 ±5,193 ±8,982 ±3,985 ±40,350
Kelompok latihan Aerobik Low Impact tanpa susu kedelai Rerata ±SD 39,71 150,00 58,41 26,65 146,53
p
±6,944 ±3,518 ±8,375 ±3,020 ±13,906
0.548 0,582 1,087 1,155
Kadar Trigliserida sebelum perlakuan untuk kelompok perlakuan adalah 188,00 mg/dl dan untuk kelompok pembanding adalah 146,53 mg/dl. Sementara rata-rata kadar trigliserida setelah perlakuan terjadi penurunan untuk masing-masing kelompok yaitu untuk kelompok perlakuan adalah 151,60 mg/dl dan untuk kelompok pembanding sebesar 115,94 mg/dl. Sehingga dapat dilihat penurunan kadar trigliserida untuk kelompok perlakuan adalah sebesar 37,60 mg/dl dan untuk kelompok pembanding adalah sebesar 30,59 mg/ dl. Untuk hasil Uji normalitas variabel umur,tinggi badan,berat badan, kadar trigliserida sebelum perlakuan dan sesudah perlakudan kadar trigliserida setelah perlakuan pada kedua kelompok menunjukkan hasil sebagai berikut : (1) umur berdistribusi normal (p=0,548), tinggi badan berdistribusi normal (p=0,582), berat badan berdistribusi normal (p=1,087), kadar trigliserida sebelum perlakuan (TG pre) berdistribusi normal (p=1,155) Tabel 2. Perbandingan Efektifitas Latihan erobik Low Impact dengan dan tanpa Pemberian Susu Kedelai pada Wanita Dewasa dengan Barat Badan Lebih di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur. Kelompok latihan aerobik low impact dengan Kelompok latihan low impact tanpa pemberian pemberian susu kedelai susu kedelai Pre Post Pre Post rerata±SD rerata±SD rerata±SD rerata±SD p* p* 188,00±40,350 151,605±46,776
0,006
146,53±13,906
115,94±23,169
0,000
p**
0,001
p* = Uji t berpasangan p**= Uji T tidak berpasangan
68
ISSN 0126-107X
Meilina Estiani, Perbandingan Efektifitas Latihan Aerobik Low Impact Dengan Dan Tanpa Pemberian Susu Kedelai Terhadap Kadar Trigliserida Pada Wanita Dewasa Dengan Berat Badan Lebih Di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur
Rerata kadar trigliserida sebelum latihan aerobik pada kelompok perlakuan adalah 188,00mg/dl, dan rerata setelah latihan aerobik pada kelompok perlakuan adalah 151,60mg/dl. Sehingga didapatkan selisih antara keduanya yaitu 37,60mg/dl. Hal ini menunjukkan ada perbedaan kadar trigliserida sebelum dan sesudah latihan aerobik pada kelompok perlakuan. Berdasarkan uji t berpasangan dalam kelompok ini diperoleh nilai p=0,006. Ini berarti ada perbedaan yang bermakna kadar trigliserida sebelum dan sesudah perlakuan. Selanjutnya pada kelompok pembanding didapatkan bahwa rerata kadar trigliserida sebelum latihan adalah 146,53 mg/dl dani rerata kadar trigliserida setelah latihan adalah 115,94 mg/dl. Dan selisih rerata sebelum dan sesudah latihan pada kelompok pembanding ini adalah 30,59mg/ dl. Dari hasil uji statistik t-test berpasangan pada kelompok ini didapatkan nilai p=0,000 yang berarti ada perbedaan yang signifikan kadar trigliserida sebelum dan sesudah latihan aerobik. Hasil uji-t berpasangan untuk kadar trigliserida pada kelompok perlakuan didapatkan pengurangan rerata kadar trigliserida sebesar 37,60mg/dl hal ini disebabkan karena adanya peran dari latihan aerobik low impact yang dikombinasikan dengan pemberian susu kedelai. Hasil uji-t berpasangan untuk kadar trigliserida pada kelompok pembanding di dapatkan pengurangan rerata kadar trigliserida sebesar 30,59mg/dl hal ini disebabkan karena subjek pebelitian hanya melakukan latihan aerobik low impact saja, tidak dikombinasikan dengan pemberian susu kedelai, walaupun begitu latihan aerobik low impact memberikan dampak terhadap penurunan kadar trigliserida. Dari hasil penelitian juga didapatkan rerata kadar trigliserida setelah latihan aerobik pada kelompok perlakuan adalah 151,60mg/dl, dan rerata setelah latihan aerobik pada kelompok pembanding adalah 115,94mg/dl. Sehingga didapatkan selisih yang cukup besar antara keduanya yaitu 35,66mg/dl. Hal ini menunjukkan ada perbedaan kadar trigliserida setelah perlakuan antara kedua kelompok. PEMBAHASAN Penurunan rata-rata kadar trigliserida setelah perlakuan pada kelompok perlakuan dan kelompok pembanding terlihat tidak terlalu berselisih jauh hanya 8,23 mg/dl, hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan aktivitas fisik menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan yang positif dalam metabolisme, khususnya serum trigliserida menurun dikarenakan terjadinya peningkatan aktivitas lipolisis (Krishna ISSN 0126-107X
et al., 2007). Hal ini sejalan dengan teori menurut Klein (2003), yang menyatakan bahwa ada korelasi antara durasi latihan dengan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Latihan dengan durasi lama lebih efektif untuk membakar lemak dibandingkan dengan durasi pendek. Pada latihan dengan durasi lama, oksidasi asm lemak dari jaringan adipose merupakan sumber energi utama selama latihan (Samuel, 2003; Sugiharto, 2011). Pada kelompok perlakuan, dapat terjadi penurunan kadar trigliserida yang cukup bermakna sebelum dan sesudah perlakuan rata-rata yaitu 37,60 mg/dl hal ini dimungkinkan juga karena peran dari isoflavon yang terkandung dalam susu kedelai berperan dalam penurunan kadar kolesterol darah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti dari RSCM Jakarta tahun 2003, yang menunjukkan bahwa penggantian sumber protein kedelai dapat menurunkan kolesterol darah sebanyak 20%. Protein kedelai berpengaruh terhadap penurunan absorbsi kolesterol dalam usus halus, serta dapat mengurangi absorbsi kembali asam empedu (Fatimah, dkk, 2011). Efek isoflavon terhadap penurunan kolesterol telah terbukti pada manusia. Efek yang lebih luas terbukti pula terhadap tepung kedelai, tidak saja kolesterol yang turun tetapi juga trigliserida VLDL dan LDL (Amirthaveni dan Vijayalaksha, 2000; Prawiroharsono, 2001). Mekanisme lain menjelaskan bahwa penurunan kolesterol oleh isoflavon disebabkan karena peningkatan katabolisme lemak untuk pembentukan energi, yang berakibat pada penurunan kandungan kolesterol (Sekiya, 2000; Prawiriharsono, 2001) Selisih rerata penurunan kadar trigliserida antara kedua kelompok yaitu kelompok perlakuan dengan kelompok pembanding adalah 2,11 mg/dl. Artinya terjadi penurunan kadar trigliserida pada kedua kelompok dan selisihnya relative cukup banyak, hal ini dapat dijelaskan bahwa peningkatan aktivitas fisik menyebabkan terjadinya sejumlah perubahan yang positif dalam metabolisme, khususnya serum trigliserida menurun dikarenakan terjadinya peningkatan aktivitas lipolisis (Krishna, et al., 2007). Hal yang sama dapat dijelaskan bahwa aktifitas fisik atau olahraga yang dilakukan secara rutin dengan intensitas dan durasi yang tepat dapat bermanfaat terhadap proses regulasi kolesterol tubuh yaitu menurunkan kadar kolesterol, LDLkolesterol, trigliserida dalam darah (Fatimah, dkk, 2011). Sejalan dengan teori yang menjelaskan bahwa lipid merupakan sumber energi penting untuk metabolisme otot rangka selama latihan fisik. Metabolisme oksidasi tergantung pada diet, durasi, intensitas dan status latihan fisik (Hargreaver, 1995). 69
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Klein (2003), mengatakan bahwa terdapat korelasi antara durasi latihan dengan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Latihan dengan durasi lama lebih efektif untuk membakar lemak dibandingkan dengan durasi yang pendek. Pada latihan dengan durasi yang lama, oksidasi asam lemak dari jaringan adipose merupakan sumber energi utama selama latihan (Samuel, 2003; Sugiharto, 2011). Hal yang sama dikemukakan bahwa lipolisis meningkat selama latihan fisik (Mora et al., 2000; Sugiharto, 2011), meningkatnya lipolisis pada latihan fisik berdampak terhadap peningkatan penggunaan simpanan lemak selama latiha fisik (Sugiharto, 2011). Selain itu pemberian susu kedelai pada subjek penelitian pada kelompok perlakuan mendukung terjadinya penurunan kadar trigliserida, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: sari kedelai yang berasal dari susu kedelai yang mengandung zat gizi yaitu Polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang terkandung dalam lemak kedelai memiliki kemampuan untuk menurunkan kadar LDL yang dapat meningkatkan reseptor LDL dan menurunkan sekresi VLDL dari hati (Hayes, 1992; Hapsari, 2009; Novianti, 2011). Trigliserida yang merupakan lemak darah yang secara khusus berada pada lapis kedua LDL dengan sendirinya menjadi turun. Sehingga secara tidak langsung ikut menurunkan kadar trigliserida pada kelompok perlakuan. Berdasarkan uji independent t-test didapatkan hasil bahwa ada perbedaan efektifitas latihan aerobik dengan pemberian susu kedelai dibandingkan dengan latihan aerobik low impact tanpa pemberian susu kedelai (p=0,001). Hal ini sejalan dengan penelitian Jordan tahun 2008 yang menyatakan bahwa senam bermanfaat terhadap penurunan kadar kolesterol, trigliserida dan kolesterol LDL yang diakibatkan adanya penurunan berat badan disertai dengan perubahan pola makan. Penelitian di Alabama USA tahun 2003 juga menunjukkan aktivitas fisik secara teratur dapat mempengaruhi profil lipid. Latihan aerobik dapat mengurangi total kolesterol dan trigliserida serta meningkatkan kolesterol HDL (Fatimah dkk, 2011). Latihan aerobik sebaiknya dilakukan dengan frekuensi latihan 3 – 5 kali per minggu dengan durasi 20-30 menit (Wilnmore & Costill, 1994). Abe et al., (1997) melaporkan bahwa latihan aerobik 3-5 kali per minggu seperti yang direkomendasikan American College of SportMedicine (ASCM) dapat menurunkan massa lemak subkutan dan kolesterol viseral. Menurut Arthur (1974); City Patrilasni et al., (1997) latihan fisik baru dapat memberikan hasil apabila latihan dilakukan minimal 4-6 minggu (Buchanan, 2012). Pengaruh latihan aerobik dan pemberian susu kedelai telah dibuktikan pada hewan percobaan 70
dan manusia. Penelitian yang dilakukan Yusni (2010)pada hewan percobaan menunjukkan bahwa pemberian aktifitas fisik intensitas sedang dan pemberian kacang kedelai dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan menurunkan LDL kolesterol (Yusni dkk, 2010). Suatu meta-analisis tentang efek konsumsi protein kedelai 47 gr per hari terhadap lipid serum dimana secara signifikan protein kedelai menurunkan konsentrasi trigliserida serum 10,5% (Anderson, 1995). Hal yang sama menyatakan bahwa rata-rata asupan protein kedelai 22,5 gr (kisaran 14,5-30gr/ hari) dapat menurunkan triasilgliserol (Harland, 2002) Pada penelitian ini subjek penelitian mengkonsumsi susu kedelai setiap hari sebanyak 1-2 sendok makan (20-40 gr) susu bubuk kedelai (Isoflavon= 0,4gr), sehingga keadaan ini memungkinkan membantu mekanisme penurunan kadar trigliserida serum. Hal ini telah dijelaskan bahwa sari kedelai dalam bentuk bubuk susu kedelai mengandung zat gizi berupa Polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang mampu menurunkan kadar LDL kolesterol (Hayes,1992; Hapsari, 2009; Novianti, 2011)). Disamping itu Isoflavon (sterol dari tumbuhan-fitosterol) yang terkandung dalam kedelai dapat menghambat absorbsi kolesterol baik kolesterol yang berasal diet ataupun kolesterol yang diproduksi hati. Hambatan terjadi karena fitosterol ini berkompetisi dan menggantikan posisi kolesterol dalam micelle. Akibatnya kolesterol yang diserap usus sedikit akibatnya pembentukan kilomikron dan VLDL terhambat sehingga dapat menurunkan kadar LDL (Silalahi, 2000; Hapsari, 2009). Seperti yang telah dikemukakan terdahulu bahwa trigliserida merupakan lemak darah yang secara khusus berada pada lapis kedua LDL (Cpddokter, 2008), sehingga secara tidak langsung efek fitosterol dalam isoflavon juga menurunkan kadar trigliserida. Teori yang juga dapat menjelaskan efek dari isoflavon terhadap penurunan kadar trigliserida adalah bahwa ada tiga isoflavon utama dari kedelai yaitu genistein, daidzein serta unsur terkait seperti β-glikosida, dan glycetin. Studi dari Harp (2004) mengemukakan bahwa genistein merupakan salah satu inhibitor ekstraselular pembentukan adiposit. Hwang, et al., (2005) menyatakan bahwa genistein dengan konsentrasi 20-200 μM dapat menghambat proses diferensiasi adiposit. Selanjutnya, Naaz, et al., (2006) mengemukakan bahwa geneistein dapat mengurangi jumlah dan ukuran deposit pada perkembangnya (Alrasyid, 2007). Seperti kita ketahui bahwa trigliserida dalam tubuh disimpan sebagai cadangan energi dalam jaringan adipose, sehingga dengan mengkonsumsi susu kedelai secara langsung berhubungan dengan penurunan akumulasi trigliserida dalam adipose. Hal ini dapat ISSN 0126-107X
Meilina Estiani, Perbandingan Efektifitas Latihan Aerobik Low Impact Dengan Dan Tanpa Pemberian Susu Kedelai Terhadap Kadar Trigliserida Pada Wanita Dewasa Dengan Berat Badan Lebih Di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur
terlihat pada subjek penelitian yang mengalami penurunan berat badan setelah perlakuan secara bervariasi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari penelitian ini adalah latihan aerobik low impact dengan pemberian susu kedelai lebih efektif menurunkan kadar trigliserida dibandingkan dengan latihan aerobik low impact tanpa pemberian susu kedelai pada wanita dewasa dengan berat badan lebih di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur (p=0,001) Saran yang diajukan adalah (1) bagi mahasiswa kesehatan dan institusi kesehatan untuk menambah pengetahuan tentang penatalaksanaan masalah kelebihan berat badan atau obesitas melalui jurnal ilmiah dan literatur ilmiah tentang manfaat latihan aerobik dan berbagai olahan dari kedelai, (2) direkomendasikan kepada wanita dewasa terutama wanita dengan berat badan lebih atau dengan permasalahan lemak darah untuk teratur dan rutin melakukan olahraga dalam upaya mencegah masalah yang dapat diakibatkan kelebihan berat badan dan menggantikan asupan protein hewani dengan protein bersumber nabati seperti produk olahan makanan berbahan dasar kedelai, karena wanita dapat memperoleh lebih banyak manfaat dari mengkonsumsi makana dari kedelai, (3) disarankan kepada pemerintah melalui intansi Dinas Kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dengan melakukan promosi kesehatan kepada masyarakat mengenai makanan berbahan dasar kedelai untuk lebih digalakkan mengingat manfaat dari kedelai sebagai sumber protein nabati dan manfaat zat-zat lain yang terkandung di dalam kacang kedelai yang belum banyak diketahui oleh masyarakat. Melalui Dinas pertanian disarankan untuk memberikan kemudahan dan memfasilitasi para petani kedelai agar kedelai sebagai makanan masyarakat Indonesia dapat dengan mudah dibudidayakan. Kata Kunci: Trigliserida, Aerobik Low Impact, Susu Kedelai, Uji klinis paralel add on
TIDAK ADA DAFTAR PUSTAKA !!!
ISSN 0126-107X
71
PENGARUH LATIHAN AEROBIK TERHADAP JUMLAH TROMBOSIT PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI KEPERAWATAN BATURAJA TAHUN 2012 Suparno Dosen Prodi Keperawatan Baturaja Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRACT Background: Platelets are fragments or fragments of megakaryocyte cytoplasm not cored from a size 1-4 microns and circulate in the blood circulation for 10 days. Platelets play an important role in the formation of blood clots. Physical exercises are conducted regularly to improve one’s health. Aerobic exercise is considered beneficial, but the sport is sometimes causing sudden cardiac death. The study of the mechanism of the effect of aerobic exercise on arterial thrombosis is very important, not only for the prevention of cardiovascular events but also for sporting activities are safe for health. The purpose of this study was to see the effect of aerobic exercise on platelet counts in the Student Nursing Program Balfour. Methods: The design used in this study are no comparative clinical trials, have been conducted in the laboratory of Ibn Soetowo Hospital Nursing Prodii Balfour and Balfour. Subjects numbered 36 respondents randomly. Training program conducted a walk for 30 minutes (DNM 70-85%) for 4 weeks with a frequency of three times a week. Analysis by paired t-test . Results: There was an increase in platelet count after exercise, but not statistically significant (p = 0.276). Conclusion: There is no effect of aerobic exercise on platelet counts in Mahasiswa Program Studi Keperawatan Baturaja tahun 2012.
PENDAHULUAN Latar Belakang Sel darah pembeku disebut juga trombosit. Trombosit bentuknya tidak beraturan, berukuran kecil ± 3 μ dan tidak memiliki inti. Jumlahnya ± 200.000-450.000/mm3 darah. Trombosit dibuat dalam sumsum merah dari megakariosit. Megakariosit merupakan trombosit yang sangat besar dalam sumsum tulang (Lasantha, 2010). Dari literatur lainnya dikatakan bahwa jumlah trombosit normal adalah 150.000-450.000 per mmk darah (Riswanto, 2009). Fungsi utama trombosit adalah melindungi pembuluh darah terhadap kerusakan endotel akibat trauma-trauma kecil yang terjadi sehari-hari dan mengawali penyembuhan luka pada dinding pembuluh darah. Dengan membentuk sumbatan dengan jalan adhesi (perlekatan trombosit pada jaringan sub-endotel pada pembuluh darah yang luka) dan agregasi (perlekatan antar sel trombosit) (Riswanto, 2009). Trombosit beredar dalam darah dan terlibat dalam hemostasis, yang menyebabkan pembentukan bekuan darah. Jika jumlah trombosit terlalu rendah, perdarahan yang berlebihan dapat terjadi. Namun, jika jumlah trombosit terlalu tinggi, dapat 72
menyebabkan trombosis yang dapat menghambat pembuluh darah dan mengakibatkan kejadian seperti stroke, infark miokard, emboli paru atau penyumbatan pembuluh darah ke bagian lain dari tubuh, seperti ekstremitas dari lengan atau kaki. Suatu kelainan atau penyakit dari trombosit disebut thrombocytopathy yang dapat berupa rendahnya jumlah platelet (trombositopenia), penurunan fungsi platelet (thrombasthenia), atau peningkatan jumlah platelet (trombositosis). (Aqinda, 2011). Latihan adalah suatu proses berlatih secara sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang kian bertambah (Harsono, 1988; Widiyanto, 2007). Moston (1992), latihan merupakan pelaksanaan gerakan secara berurutan dan berulang-ulang. Pada prinsipnya latihan adalah memberikan tekanan fisik secara teratur, sistematik dan berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan fisik di dalam melakukan aktivitas (Fox, 1993; Widiyanto, 2007). Latihan fisik yang dilaksanakan secara teratur dapat meningkatkan kesehatan seseorang. Pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa bentuk latihan fisik ternyata dapat memberi manfaat terhadap kesehatan yang pada akhirnya berguna untuk membantu mengatasi penyakit tertentu (Cahyani, 2004). Hasil dari beberapa penelitian mengidentifikasi peningkatan trombosit sebesar 18-80% segera ISSN 0126-107X
Suparno, Pengaruh Latihan Aerobik Terhadap Jumlah Trombosit Pada Mahasiswa Program Studi Keperawatan Baturaja Tahun 2012
setelah melakukan latihan treadmill, besarnya jumlah penambahan trombosit dengan latihan sesaat dipengaruhi oleh beratnya latihan. Peningkatan jumlah trombosit berhubungan dengan pelepasan trombosit dari sum-sum tulang, pembuluh darah limpa dan sirkulasi pulmonari intravaskular (Wang, 2006; Lister, 2008). Penelitian lain menunjukkan adanya peningkatan kadar katekolamin, peningkatan adenosin dipospat (ADP) dan peningkatan tromboxan A2 setelah latihan fisik yang dapat menyebabkan perubahan pada aktivasi trombosit (Hastuti dan Hardian, 2007). Peneliti lainpun membuktikan bahwa ada pengaruh latihan aerobik intensitas ringan dan sedang terhadap peningkatan jumlah trombosit pada remaja putri di Universitas Prima Indonesia (Lister, 2008). Latihan aerobik dianggap menguntungkan seperti obat. Namun, olahraga kadang-kadang menyebabkan kematian jantung mendadak. Studi tentang mekanisme pengaruh latihan aerobik pada trombosis arteri sangat penting, tidak hanya untuk pencegahan kejadian jantung tersebut tetapi juga bagaimana aktivitas olahraga/latihan fisik dilakukan dengan aman (Ikarugi,et al., 1998). Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang seberapa berat latihan fisik berpengaruh terhadap jumlah trombosit dengan judul “Pengaruh latihan aerobik terhadap Jumlah Trombosit pada Mahasiswa Prodi Keperawatan Baturaja Tahun 2012”. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui jumlah trombosit sebelum dan sesudah latihan aerobik pada mahasiswa Prodi Keperawatan Baturaja tahun 2012. Metode penelitian Penelitian ini adalah penelitian uji klinis tanpa pembanding. Dilaksanakan di Laboratorium Klinik RSUD Ibnu Soetowo Baturaja dan Prodi Keperawatan Baturaja. Yang dilaksanakan selama 4 (empat) minggu dimulai dari tanggal 7 Juni s/d 5 Juli 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiwa Program Studi Keperawatan Baturaja, yang memenuhi kriteria inklusi yaitu mahasiswa berjenis kelamin laki–laki, umur 18–23 tahun, mampu menyelesaikan latihan, berbadan sehat, bersedia menjadi subjek peneliti dengan menandatangani inform consent, sampel yang digunakan berjumlah 30 orang. Variabel bebas yaitu latihan aerobik, variabel terikat yaitu jumlah trombosit, variabel sosiodemografi yaitu umur, berat badan, tinggi badan. Data diskriptif disajikan dalam ISSN 0126-107X
bentuk tabel . Variabel kontinu dianalisis dengan uji t (t– Test) , dan dianalisis menggunakan SPSS versi 17 dengan komputer. Hasil Penelitian: Dari hasil penelitian ini didapatkan rerata jumlah trombosit sebelum perlakuan adalah 258.670/mmk dan jumlah trombosit sesudah perlakuan adalah 268.000/mmk, sehingga terdapat peningkatan jumlah trombosit sebesar 103.300/ mmk meskipun ada peningkatan tetapi tidak bermakna secara statistik. Hasil uji t berpasangan didapatkan nilai signifikansinya adalah 0,276 lebih besar dari α=0,05 hal ini berarti tidak ada pengaruh latihan aerobik terhadap jumlah trombosit sesudah latihan aerobik. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : tidak ada pengaruh Latihan Aerobik terhadap Jumlah Trombosit pada Mahasiswa Prodi Keperawatan Baturaja Tahun 2012 (p= 0,276). Pembahasan : Dari penelitian ini didapatkan peningkatan jumlah trombosit sebesar 103.300/mmk. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa terjadinya peningkatan trombosit sebesar 18-80% terjadi segera setelah melakukan treadmill, besarnya jumlah peningkatan jumlah trombosit berhubungan dengan pelepasan trombosit dari sum-sum tulang, pembuluh darah limpa dan sirkulasi pulmonari intravascular (Wang, 2006) dan hasil penelitian lain yang pernah dilakukan menyatakan bahwa latihan aerobik intensitas ringan dan sedang dapat meningkatkan jumlah trombosit (Lister, 2008). Yang juga sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa latihan fisik terbukti menyebabkan peningkatan jumlah dan aktifitas trombosit (Prisco, et al., 1993). Peningkatan jumlah trombosit disebabkan oleh latihan yang dilakukan sesaat berhubungan dengan pelepasan trombosit dari sum-sum tulang, pembuluh darah limpa dan sirkulasi pulmonari intravaskular (Wang, 2006; Lister, 2008). Hasil uji t berpasangan didapatkan nilai signifikansinya adalah 0,276 lebih besar dari α=0,05 hal ini berarti tidak ada pengaruh latihan aerobik terhadap jumlah trombosit sesudah latihan aerobik. Hasil analisis t-test menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh peningkatan jumlah trombosit sebelum dan setelah latihan, hal ini mungkin dikarenakan durasi latihan yang masih terlalu singkat yaitu empat minggu dan jenis latihan aerobik yang dilakukan tergolong intensitas sedang sehingga terjadi peningkatan dalam jumlahnya 73
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
trombosit yang rata- rata relative sedikit setelah latihan aerobik. Latihan yang dilakukan secara teratur dan dalam waktu lama akan meningkatkan produksi trombosit dalam darah, karena olah raga ringan dan sedang memicu peningkatan trombopoetin yang disekresi oleh ginjal dan hati. Pada saat olahraga terjadi peningktan kebutuhan oksigen tubuh, sehingga merangsang pembentukan trombopoetin, akibatnya terjadi peningkatan pembentukan trombosit di sumsum tulang (Lister, 2008). Latihan aerobik intensitas ringan dan sedang menguntungkan bagi orang yang sehat karena akan meningkatkan jumlah trombosit dalam darah pada batas normal, serta akan meningkatkan aktivitas trombosit karena akan terjadi peningkatan ADP di pembuluh darah dan meningkatkan aggregasi trombosit (Lister, 2008). Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak ada pengaruh Latihan Aerobik terhadap Jumlah Trombosit pada Mahasiswa Prodi Keperawatan Baturaja Tahun 2012 (p= 0,276). Saran yang diajukan dari penelitianini adalah (1) disarankan kepada masyarakat untuk melakukan olahraga/latihan fisik aerobik secara teratur setiap minggu dengan memperhatikan intensitas, durasi dan frekuensi dalam upaya meningkatkan kesehatan khususnya peningkatan sistem kardiovaskuler yang berkaitan dengan fungsi dari sel-sel darah dalam tubuh, (2). Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan variabel pembanding khususnya intensitas latihan ringan, sedang dan berat dengan waktu perlakuan yang lebih lama dari 4 minggu sehingga dapat dibandingkan intensitas olahraga/ latihan fisik yang bagaimana yang aman untuk upaya meningkatkan jumlah trombosit dalam batas normal bagi individu dalam upaya pencegahan terhadap penyakit-penyakit yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit dan timbulnya keadaan thrombus dikarenakan peningkatan jumlah trombosit diatas normal yang berdampak buruk bagi kesehatan seperti kematian setelah berolahraga, (3) bagi pemerintah melalui Dinas kesehatan dan sarana pelayanan kesehatan disarankan agar memfasilitasi masyarakat melalui kegiatan berolahraga rutin 2-3 setiap minggu. Kata Kunci: Latihan Aerobik, trombosit, Uji klinis tanpa pembanding.
TIDAK ADA DAFTAR PUSTAKA !!! 74
ISSN 0126-107X
PERBANDINGAN HASIL HITUNG JUMLAH TROMBOSIT SECARA OTOMATIK PADA DARAH YANG DITAMBAHKAN ANTIKOAGULAN Na2EDTA 10 % DENGAN K2EDTA VACUTAINER Ardiya Garini Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Palembang ABSTRAK Pemeriksaan jumlah trombosit sangat dipengaruhi ketepatan perbandingan pemberian dosis EDTA dengan volume darah. Ketepatan dosis Na2EDTA 10 % sangat tergantung dari ketrampilan, ketelitian dan pengalaman petugas laboratorium, sedangkan K2EDTA vacutainer mempunyai perbandingan dosis antikoagulan dengan volume darah yang tepat. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan membandingkan jumlah trombosit pada darah yang ditambahkan antikoagulan Na2EDTA 10 % dengan K2EDTA vacutainer dengan menggunakan alat otomatik Sismex XT 2000i. Metoda yang digunakan adalah Electronik impedance dengan laser optik dan fluorescence. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan jumlah trombosit pada pemberian antikoagulan Na2EDTA 10 % dengan K2EDTA vacutainer. Analisa data menggunakan uji t paired. Sampel pemeriksaan dalam penelitian adalah pasien yang datang melakukan check up kesehatan dimana penelitian dilakukan di Laboratoriun Rumah Sakit RK Charitas Palembang dari tanggal 2 - 30 januari 2011. Setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan kedua antikoagulan tersebut di atas didapat hasil thit = 14.060 dan t tab = 1.960 yang berarti ada perbedaan yang bermakna. Berdasarkan hasil penelitian maka disarankan pada laboratorium agar menggunakan antikoagulan K2EDTA vacutainer, karena ditemukan perbedaan yang bermakna pada perhitungan jumlah trombosit. Kata kunci Kepustakaan
: Trombosit, Na2EDTA 10 %, K2EDTA vacutainer. : 11 (1997 – 2009)
PENDAHULUAN
-
Trombosit atau keping darah adalah elemen terkecil yang terdapat dalam darah. Trombosit mempunyai peran penting dalam hemostasis yaitu pembentukan dan stabilisasi sumbat trombosit. Pembentukan sumbat trombosit terjadi melalui beberapa tahap yaitu adesi trombosit, agregasi trombosit dan reaksi pelepasan. (1) Jumlah normal trombosit dalam darah adalah 140.000 – 450.000 /mm3. Jika jumlahnya kurang dari normal (trombositopenia) , maka kalau ada luka darah tidak lekas membeku dan timbul perdarahan yang terus menerus. Ketika luka, trombosit pecah dan mengeluarkan zat yang disebut trombokinase. Trombokinase bertemu dengan protrombin dengan pertolongan Ca2+ akan menjadi trombin. Trombin akan bertemu dengan fibrin yang berupa benangbenang halus akan menahan sel darah, sehingga terjadilah pembekuan. (2) Tujuan pemeriksaan hitung jumlah trombosit adalah : - Untuk menilai produksi trombosit. - Untuk menilai efek kemoterapi atau radiasi pada produksi trombosit.
-
ISSN 0126-107X
Untuk mendiagnosis dan memantau trombositosis atau trombositopenia berat. Untuk memastikan perkiraan jumlah dan morfologi trombosit dari sediaan apus darah. (3,4)
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara langsung dapat dilakukan dengan cara manual dan otomatik. Cara manual mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat pada permukaan asing. (5,6) Pada cara otomatik dipakai alat electronic particle counter sehingga ketelitian lebih baik dari pada cara manual. Pada Cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan hapus dibandingkan dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit. (5,6,7) Pada pemeriksaan tertentu, darah harus diberi antikoagulan untuk mencegah bekunya darah diluar tubuh pada waktu pemeriksaan .(8) Antikoagulan adalah zat yang dapat mencegah penggumpalan darah dengan cara mengikat kalsium 75
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
atau menghambat pembentukan trombin yang diperlukan untuk mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin dalam proses pembekuan. Bahan pemeriksaan dan antikoagulan harus dicampur segera setelah pengambilan specimen untuk mencegah pembentukan mikroklot. Pencampuran yang lembut sangat penting untuk mencegah hemolisis. (9) Salah satu antikoagulan yang sering digunakan adalah Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA=C10H14N2Na2O8 2H2O) yang tidak mempengaruhi morfologi sel-sel darah, sehingga ideal untuk pengujian hematologi, seperti pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, LED, hitung lekosit, hitung trombosit, retikulosit, dan sebagainya. (5,9) Ada 3 macam EDTA, yaitu dinatrium EDTA (Na2EDTA), dipotassium EDTA (K2EDTA) dan tripotassium EDTA (K3EDTA). Na2EDTA dan K2EDTA biasanya digunakan dalam bentuk kering, sedangkan K3EDTA biasanya digunakan dalam bentuk cair. Dari ketiga jenis EDTA tersebut, K2EDTA adalah yang paling baik dan dianjurkan oleh ICSH (International Council for Standardization in Hematology). (9) dan NCCL (National Comitte for Clinical Laboratory Standard) karena perbandingan antara dosis antikoagulan dengan volume darah dapat dipertanggung jawabkan.(10) Tabung EDTA tersedia dalam bentuk hampa udara (vacutainer tube) dengan tutup lavender (Purple) atau pink .(9) EDTA mempunyai sifat hiperosmolar yang dapat membuat eritrosit mengerut dan nilai hematokrit lebih rendah. Na2EDTA dan K2EDTA lebih asam daripada K3EDTA, pH asam ini bisa menyebabkan eritrosit membesar. (7) Pemeriksaan jumlah trombosit sangat dipengaruhi ketepatan perbandingan pemberian dosis EDTA dengan volume darah, bila perbandingan pemberian EDTA dengan darah tidak tepat maka akan memberikan hasil tidak sesuai dengan kenyataan.(5) Pemakaian antikoagulan EDTA yaitu 1,5 mg/1 ml darah untuk EDTA kering dan 15 µl/1 ml darah untuk EDTA cair. Pemakaian antikoagulan yang kurang dari yang telah ditentukan, menyebabkan darah dapat membeku dan bila lebih akan menyebabkan eritrosit mengkerut sehingga nilai hematokrit menurun, MCV, dan MCHC meningkat, sedangkan trombosit membesar dan mengalami disintegrasi. (8) Penelitian yang dilakukan Nurrachmat (2005) di RS Kariadi Semarang tentang perbedaan hasil hitung jumlah trombosit pada darah yang ditambahkan Na2EDTA 10% dengan K2EDTA vacutainer secara otomatik didapatkan p = 0,001 yang berarti ada perbedaan bermakna hasil pemeriksaan hitung jumlah trombosit. (10)
76
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian tentang “Perbandingan Hasil Hitung Jumlah Trombosit Secara Otomatik pada Darah yang ditambahkan Antikoagulan Na2EDTA 10% dengan K2EDTA Vacutainer.” Tujuan penelitian Diketahuinya perbedaan hasil hitung jumlah trombosit secara otomatik pada darah yang ditambahkan antikoagulan Na2EDTA 10% dengan K2EDTA vacutainer. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang melakukan check- up kesehatan di laboratorium Rumah Sakit RK Charitas dari bulan Januari sampai Agustus 2010. Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu 25% dari populasi yang berjumlah 76 pasien. (11) Subjek diambil sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti yaitu usia 15-50 tahun, hasil hitung jumlah trombosit normal, darah tidak beku, darah harus tepat 2 ml Na2EDTA 10% dan darah mengalir dan berhenti secara otomatis bila mencapai 2 ml pada K2EDTA vacutainer. Metoda yang digunakan pada pemeriksaan hitung jumlah trombosit adalah E l e k t r o n i k impedance dengan laser optik dan fluorescence. Hasil dan Pembahasan 1.
Hasil
Diketahui : n = Sampel = 76 x = Rata- rata hitung jumlah trombosit menggunakan antikoagulan K2EDTA vacutainer . = 270.526.320 y = Rata-rata hitung jumlah trombosit menggunakan antikoagulan Na2EDTA 10%. = 254.657.890 = Rata-rata penyimpangan sampel = 15,87 SD = Simpangan baku pada sampel yang berpasangan = 9,8 Tingkat kepercayaan 95% α = 0,05
ISSN 0126-107X
Ardiya Garini, Perbandingan Hasil Hitung Jumlah Trombosit Secara Otomatik Pada Darah Yang Ditambahkan Antikoagulan Na2EDTA 10 % Dengan K2EDTA Vacutainer
yang tidak tepat. Apabila antikoagulan yang dipakai kurang dari dosis yang ditentukan (1,50 ± 0,25 mg/ ml darah), dapat menyebabkan darah membeku dan bila lebih dari dosis menyebabkan trombosit membesar dan mengalami disintegrasi. ICSH dan NCCLS menganjurkan menggunakan K2EDTA vacutainer karena mempunyai perbandingan antara dosis antikoagulan dengan volume darah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kemungkinan human error dapat terjadi baik pada penggunaan antikoagulan Na2EDTA 10 % maupun K2EDTA vacutainer. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti pada tahap pra analitik, contoh pada penggunaan K2EDTA vacutainer, sebelum tabung berhenti menghisap sudah dilakukan pencabutan jarum sehingga perbandingan antara dosis antikoagulan dan volume darah tidak tepat lagi menyebabkan peningkatan jumlah trombosit palsu. Setelah darah bercampur dengan antikoagulan sebaiknya dihomogenkan dengan cara menggoyang-goyangkan tabung pada Na2EDTA 10% dan membolak-balikkan tabung pada K2EDTA vacutainer. Simpulan Hipotesa : H0 = µ1 = µ2 Kriteria Keputusan : - Terima H0 jika – t tab ≤ t H ≤ t tab - Tolak H0 jika t hit < - t tab atau t H > t tab Hasil = t hit > t tab = 14.060 > 1.960 Hasil analisa H0 ditolak yang berarti ada perbedaan hasil hitung jumlah trombosit secara otomatik pada darah yang ditambahkan antikoagulan Na2EDTA 10% dengan K2EDTA vacutainer. Pembahasan Setelah dilakukan pemeriksaan hitung jumlah trombosit menggunakan Na2EDTA 10 % dengan K2EDTA vacutainer didapatkan hasil, ada perbedaan yang bermakna antara kedua antikoagulan tersebut. Hasil hitung jumlah trombosit menggunakan antikoagulan Na2EDTA 10 % lebih rendah dari K2EDTA vacutainer. Hasil ini sejalan dengan Nurrachmat (2005) di RS Kariadi Semarang yang menyatakan ada perbedaan yang bermakna antara hasil pemeriksaan hitung jumlah trombosit pada darah yang ditambahkan antikoagulan Na2EDTA 10 % dengan K2EDTA vacutainer. Perbedaan ini mungkin disebabkan pH antikoagulan Na2EDTA 10 % lebih asam dibandingkan pH K2EDTA vacutainer yang mendekati pH darah ( 7.37 – 7.45 ), perbandingan volume antikoagulan Na2EDTA 10% dengan darah ISSN 0126-107X
Ada perbedaan bermakna antara hasil pemeriksaan hitung jumlah trombosit menggunakan antikoagulan Na2EDTA 10% dengan K2EDTA vacutainer. Saran Antikoagulan yang dipakai untuk pemeriksaan trombosit sebaiknya menggunakan tabung K2EDTA vacutainer yang direkomendasikan oleh ICSH dan NCCLS, pencampuran antikoagulan dengan darah harus homogen (dibolak balik ± 6-8 kali) serta batas waktu pemeriksaan tidak lebih dari 1 jam. DAFTAR PUSTAKA 1.
Sudiono, H. dkk. 2005. Penuntun Patologi Klinik hematologi,Edisi:1. Penerbit B u k u Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran. UKRIDA.Jakarta Hal:32
2.
Setiabudy, DR. 2007. Hemostasis dan Trombosis, Penerbit Buku FKUI, Jakarta. Hal: 2, 26-27.
3. Widmann, FK. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi: 9. Penerjemah: Siti Boedina Krisno, dkk. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta, Hal: 35,156-158 77
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
4. Setiabudy, DR. 2003. Strategi Pemeriksaan Laboratorium pada Perdarahan. Penerbit Bagian Patologi Klinik. FKUI. Jakarta. Hal 177-178. 5.
Gandasoebrata, R. 2001. Penuntun Laboratorium Klinik. PT. Dian Rakyat. Jakarta. Hal 8,9,15
6.
Muliaty, D. 2004. PerkembanganTeknologi Laboratorium Kesehatan. Departemen Pengembangan Laboratorium klinik Prodia. RAKERNAS VI PATELKI Padang. Hal 20
7.
Wirawan, R & E, Silman. 1996. Pemeriksaan Laboratorium Hematologi Sederhana. FKUI. Jakarta. Hal 1, 3
8.
Handayani.T.2009. Antikoagulan EDTA, Jumlah leukosit http://digilib.unimus.ac.id. diakses : 5 November 2010.
9.
9. Riswanto,2009. Antikoagulan, http:// labkesehatan.blog spot.com//11/htlm. Diakses 5 Oktober 2010
10. Nurrachmat. H.2005. Perbedaan jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit pada pemberian antikoagulan EDTA konvensional dengan EDTA vacutainer.http://eprints.Undip. ac.id/21394/1/pdf. Diakses 6 september 2010. 11. Arikunto,S. 2007. Manajemen Penelitian. Edisi : 9. Penerbit PT Rineka Cipta. Jakarta. Hal 95-96
78
ISSN 0126-107X
FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BALITADI PUSKESMAS KERAMASAN PALEMBANG TAHUN 2011 Eprila, Yunetra Franciska Dosen jurusan kebidanan Poltekkes kemenkes palembang ABSTRAK Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB) atau infant Mortality Rate (IMR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka ini tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan faktor lain terutama gizi. Status gizi ibu pada waktu melahirkan dan gizi bayi itu sendiri sebagai faktor tidak langsung maupun langsung sebagai penyebab kematian bayi. Bayi atau anak balita kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit-penyakit infeksi, termasuk diare dan infeksi saluran akut, terutama pneumonia. Perbaikan gizi bayi dan balita merupakan awal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (Notoadmodjo, 2007). Desain penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey analitik, dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita (0-5 tahun) yang datang untuk kunjungan imunisasi dan menimbang berat badan di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik non-random sampling, dengan tehnik accidental sampling. Pada penelitian ini sampel yang didapatkan adalah 48 responden. Analisis data pada penelitian menggunakan analisis bivariat untuk melihat hubungan variabel pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu dengan status gizi balita yang di uji secara bersamaan yang dianalisis dengan uji statisitik Chi-square. Tingkat kemaknaan α = 0,05. Hasil penelitian didapat bahwa dari 18 responden dengan pendapatan keluarga tinggi sebanyak 16 responden (88,9%) yang mempunyai status gizi balitanya baik. Hasil uji Chi-square untuk variabel pendapatan keluarga didapatkan p value ≤ 0,05, hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa dari 30 responden dengan pengetahuan ibu baik sebanyak 23 responden (76,7%) yang mempunyai status gizi balitanya baik, hasil uji Chi-square untuk variabel pengetahuan ibu didapatkan p value=0,008 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Menurut Sediaoetama (1985) dalam Andarwati (2007) Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Menurut Suhardjo (1986) yang dikutip dalam Andarwati (2007) Semakin bertambah pengetahuan ibu maka seorang ibu akan semakin mengerti jenis dan jumlah makanan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarganya termasuk pada anak balitanya. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Puskesmas Keramasan tahun 2011. Dan disarankan agar petugas kesehatan terutama bagian pelayanan gizi untuk dapat meningkatkan pelayanan terutamam penyuluhan kepada ibu – ibu cara pemenuhan nutrisi balita. Keyword : Status Gizi Balita
PENDAHULUAN Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB) atau infant Mortality Rate (IMR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka ini tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan faktor lain terutama gizi. Status gizi ibu pada waktu melahirkan dan gizi bayi itu sendiri sebagai faktor tidak langsung maupun ISSN 0126-107X
langsung sebagai penyebab kematian bayi. Bayi atau anak balita kekurangan gizi sangat rentan terhadap penyakit-penyakit infeksi, termasuk diare dan infeksi saluran akut, terutama pneumonia. Perbaikan gizi bayi dan balita merupakan awal dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. (Notoadmodjo, 2007) Malnutrisi masih saja melatarbelakangi penyakit dan kematian anak, Survei Sosial 79
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Ekonomi Nasional 2005, angka gizi buruk dan gizi kurang adalah 28 % dari jumlah anak Indonesia (Kelana,2009). Penyebab status gizi di pengaruhi oleh dua faktor secara langsung dan tidak langsung. Faktor penyebab secara langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin diderita oleh anak. Faktor penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan dalam keluarga, pola pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Dari ketiga faktor penyebab tidak langsung saling berkaitan dengan pendidikan, pengetahuan, penghasilan dan keterampilan ibu (Adisasmito, 2007). Data who (world health organization) tahun 2002 menyebutkan, penyebab kematian balita urutan pertama disebabkan gizi buruk dengan angka 54%. Data Depkes (Departemen Kesehatan) menunjukkan angka kejadian gizi buruk pada balita pada tahun 2002 sebanyak 8% dan 27%. Pada tahun 2003 masing-masing meningkat menjadi 8,3% dan 27,3%, dan pada tahun 2005 naik masingmasing 8,8% dan 28%. Keadaan ini mengambarkan bahwa tingkat kehidupan masyarakat saat ini masih dibawah garis kemiskinan dan tidak berkurang sesuai dengan angka yang diharapkan (Harian seputar Indonesia, 2007). Pendapatan keluarga dalam meningkatkan status gizi anak balita merupakan faktor penting. Menurut Sajogya dalam Andarwati (2007) pendapatan yang rendah menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan. Menurut Suhardjo dalam Andarwati (2007) faktor lainnya yang mempengaruhi status gizi yaitu kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Besarnya keluarga juga termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita, dimana jumlah pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga besar tersebut. Selain itu pantangan makan juga termasuk didalamnya, dimana sikap yang tidak menyukai suatu makanan tertentu untuk dikonsumsi, hal ini juga dapat menjadi kendala dalam memperbaiki pola pemberian makanan terhadap anggota keluarga dengan makanan yang bergizi. Menurut data Dinas Kesehatan, menunjukkan bahwa angka status gizi anak balita yang mengalami gizi baik sebesar 82,12%, anak balita yang memiliki gizi kurang sebesar 15,0% anak balita yang mengalami gizi buruk sebesar 1,4%, anak balita yang memiliki gizi lebih sebesar 2,8% (Dinkes, 2007). 80
Berdasarkan survei awal yang diambil di Puskesmas Keramasan Palembang tahun 2010 dari 2519 balita, masih terdapat balita yang memiliki gizi kurang sebanyak 42 balita (2,5%) . menurut kriteria dalam keputusan menteri kesehatan nomor 920/ MENKES/ SK/ VIII/2002 mengatakan batas prevalensi status gizi kurang yaitu 2% pada perhitungan z-core balita antara -2 SD sampai -3 SD. Berdasarkan data dan hasil penelitianpenelitian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam penelitian yang berjudul Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survey analitik atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi, kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antara faktor resiko dengan faktor efek, dengan pendekatan cross sectional, dimana variabel independen serta variabel dependen dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2007).Variabel independen dalam penelitian ini adalah pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu. Sedangkan variabel dependen adalah status gizi balita. Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang mempunyai balita (0-5 tahun) yang datang untuk kunjungan imunisasi dan menimbang berat badan di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan tehnik non-random sampling, dengan tehnik accidental sampling yaitu dengan mengambil sampel yang ada pada saat penelitian, dengan menggunakan kriteria inklusi dan ekslusi ibu. Kriteria inklusi dari sampel penelitian ini adalah: Ibu yang memiliki anak (0-5 tahun) yang datang imunisasi ke puskesmas, anak yang mau di timbang berat badannya, Ibu yang bersedia menjadi responden penelitian. Kriteria ekslus adalah: ibu yang membawa anak yang datang untuk kunjungan berobat. Pada penelitian ini sampel yang didapatkan adalah 48 responden.
ISSN 0126-107X
Eprila, Yunetra Franciska, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balitadi Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data Data yang diambil adalah data primer dan sekunder. Data primer didapatkan melalui hasil wawancara langsung dengan responden melalui pengisian daftar pertanyaan (kuesioner) untuk mendapatkan data tentang pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu, sedangkan untuk data tentang status gizi balita didapatkan melalui penimbangan berat badan balita.Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Puskesmas Kertapati Palembang. Instrumen pengumpulan data adalah kuesioner, sebagai daftar pertanyaan yang sudah tersusun dengan baik, dimana responden tinggal memberikan jawaban atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo, 2007). Teknik Pengolahan Data dan Analisa Data Menurut Notoatmodjo (2010), ada empat tahapan dalam pengolahan data yang harus dilalui, yaitu: Editing (Pengolahan Data), Coding (Pengkodean Data), Proccesing (Pemrosesan Data), Cleaning data (Pembersihan Data) Analisis data pada penelitian menggunakan analisis bivariat untuk melihat hubungan variabel pendapatan keluarga dan pengetahuan ibu dengan status gizi balita yang di uji secara bersamaan yang dianalisis dengan uji statisitik Chi-square. Tingkat kemaknaan α = 0,05. HASIL PENELITIAN Status Gizi Balita Status gizi balita dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu gizi baik jika 80-100% BB/U dan kurang jika 60-70% BB/U, berdasarkan tabel baku rujukan penilaian status gizi balita menurut berat badan dan umur. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Gizi Balita di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 No Status Gizi Frekuensi Persentase 1 Baik 29 60,4 2 Kurang 19 39,6 Jumlah 48 100
sedangkan balita yang mempunyai status gizi kurang sebanyak 19 balita (39,6%). Pendapatan keluarga Pendapatan keluarga dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tinggi bila pendapatan ≥ Rp 927.000/bulan dan rendah bila pendapatan < Rp 927.000/bulan. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendapatan Keluarga di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 No 1 2
Pendapatan Keluarga
Frekuensi
Persentase
Tinggi Rendah Jumlah
18 30 48
37,5 62,5 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa dari 48 responden, sebagian responden yang berpendapatan keluarga tinggi sebanyak 18 responden (37,5%), sedangkan responden yang berpendapatan keluarga rendah sebanyak 30 responden (62,5%). Pengetahuan Ibu Pengetahuan responden dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu baik jika ≥ 75% jawaban yang benar dan kurang jika < 75% jawaban yang benar. Hasil analisis univariat dapat dilihat pada tabel 5.3. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Ibu di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 No 1 2
Pengetahuan Ibu
Frekuensi
Presentase
Baik Kurang Jumlah
30 18 48
62,5% 37,5% 100
Berdasarkan tabel 5.3 dapat dilihat bahwa dari 48 responden, sebagian responden yang berpengetahuan baik sebanyak 30 responden (62,5%), sedangkan responden yang berpengetahuan kurang sebanyak 18 responden (37,5%).
Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa dari 48 balita, sebagian balita yang mempunyai status gizi baik yaitu sebanyak 29 balita (60,4%),
ISSN 0126-107X
81
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita Dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita dilakukan uji statistik Chi-square. Hasil uji dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 5.4 Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi BalitaDi Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 Pendapatan No Keluarga
Status Gizi Balita Jumlah Baik n
%
Kurang n
n
1
Tinggi
16 88,9
2
Rendah
13 43,3 17 56,7 30 100 0,005
Jumlah
No 1 2
2
%
Nilai p %
11,1 18 100
29 60,4 19 39,6 48 100
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status gizi balita Dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita dilakukan uji statistik Chi-square. Hasil ujinya dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.5 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Balita Di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 Status Gizi Balita Jumlah Pengetahuan Ibu Baik Kurang Nilai p n % n % n % Baik 23 76,7 7 23,3 30 100 Kurang 6 33,3 12 66,7 18 100 0,008 Jumlah 29 60,4 19 39,6 48 100
Pada tabel 5.5 diatas dapat diketahui bahwa dari 30 responden dengan pengetahuan ibu baik sebanyak 23 responden (76,7%) yang mempunyai status gizi balitanya baik, dan dari 18 responden dengan pengetahuan ibu kurang hanya 6 responden (33,3%) yang memiliki status gizi balitanya baik. Berdasarkan hasil uji Chi-square untuk variabel pengetahuan ibu didapatkan p value=0,008 hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. PEMBAHASAN Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Status Gizi Balita Pendapatan keluarga adalah penghasilan yang diperoleh keluarga selama 1 bulam. Tingkat pendapatan keluarga menentukan jumlah dan kualitas makanan yang diperoleh (Suhardjo, 2003). Dalam hal ini pendapatan keluarga
82
Pada tabel 5.4 diatas dapat dilihat bahwa dari 18 responden dengan pendapatan keluarga tinggi sebanyak 16 responden (88,9%) yang mempunyai status gizi balitanya baik dan dari 30 responden dengan pendapatan keluarga rendah sebanyak 13 responden (43,3%) yang mempunyai status gizi balitanya baik. Berdasarkan hasil uji Chi-square untuk variabel pendapatan keluarga didapatkan p value≤0,05, hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita.
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu tinggi bila pendapatan ≥ Rp 927.000/bulan dan rendah bila pendapatan
ISSN 0126-107X
Eprila, Yunetra Franciska, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balitadi Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andarwati (2007), hasil penelitian mendukung hipotesis menggunakan uji statistik Chi-square dengan p = 0,002 (p value ≤ 0,05). Didapatkan hasil bahwa ada hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita. Menurut Sediaoetama (1985) dalam Andarwati (2007) Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli dengan adanya tambahan uang. Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur dan berbagai jenis bahan pangan lainnya. Jadi penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas. Antara penghasilan dan gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berdasarkan hasil penelitian di Puskesmas Keramasan Palembang ini menunjukkan masih ada balita yang mengalami gizi kurang. Ditarik kesimpulan berdasarkan pengamatan pada saat penelitian, hal ini terjadi karena diketahui bahwa sebagian besar pendapatan keluarga relatif rendah, sesuai dengan teori yang ada bahwa keluarga dengan pendapatan terbatas kemungkinan besar akan kurang dapat memenuhi kebutuhan makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuhnya. Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Balita. Menurut Balawati (2004) yang dikutip dalam Anggraini (2008) Ibu adalah seorang yang paling dekat dengan anak haruslah memiliki pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan minimal yang harus diketahui seorang ibu adalah tentang kebutuhan gizi, cara pemberian makan, jadwal pemberian makan pada balita, sehingga akan menjamin anak dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Dalam hal ini Pengetahuan responden dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu baik jika ≥ 75% jawaban yang benar dan kurang jika < 75% jawaban yang benar. Berdasarkan hasil analisis univariat didapatkan bahwa dari 48 responden didapatkan proporsi responden yang berpengetahuan baik yaitu 30 responden (62,5%) lebih besar dibandingkan dengan proporsi responden yang berpengetahuan kurang yaitu 18 responden (37,5%). Pada analisis bivariat didapatkan dari 30 responden dengan pengetahuan ibu baik sebanyak 23 responden (76,7%) yang mempunyai status gizi balitanya baik dan 7 responden (23,3%) yang mempunyai status gizi balitanya kurang, sedangkan dari 18 responden dengan pengetahuan ibu kurang sebanyak 6 responden (33,3%) yang memiliki status gizi balitanya baik dan 12 responden (66,7%) ISSN 0126-107X
mempunyai status gizi balitanya kurang. Dari hasil perhitungan uji statisik Chi-square didapatkan nila p value = 0,008 (p value ≤ 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andarwati (2007), hasil penelitian mendukung hipotesis menggunakan uji statistik Chi-square dengan p = 0,001 (p value ≤ 0,05). Didapatkan hasil bahwa ada hubungan pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Kurangnya pengetahuan dan salah persepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan adalah umum dijumpai setiap Negara di dunia. Kemiskinan dan kekurangan persediaan pangan yang bergizi merupakan faktor penting dalam masalah kurang gizi, penyebab lain yang penting dari gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi dan mengetahui kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Suhardjo (1986) yang dikutip dalam Andarwati (2007) Semakin bertambah pengetahuan ibu maka seorang ibu akan semakin mengerti jenis dan jumlah makanan untuk dikonsumsi seluruh anggota keluarganya termasuk pada anak balitanya. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan anggota keluarga, sehingga dapat mengurangi atau mencegah gangguan gizi pada keluarga. Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa masih ada balita di Puskesmas Keramasan Palembang yang mengalami status gizi kurang. Berdasarkan pengamatan pada saat penelitian, hal ini terjadi karena masih ada ibu pengetahuannya kurang baik tentang gizi. Misalnya masih ada ibu yang hanya memberikan makanan nasi dengan kecap atau dengan lauk kerupuk atau ikan saja tanpa sayur. Pola makan yang tidak berimbang seperti ini yang akan menjadi pencetus dimana banyak anak – anak yang akan menderita gizi buruk, sesuai dengan teori yang ada pengetahuan yang baik sangat penting untuk menjamin tumnuh kembang anak secara optimal. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1) Ada hubungan yang bermakana antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 dengan p value = 0,005 sehingga hipotesis awal yang menyatakan ada hubungan antara pendapatan keluarga dengan status gizi balita dapat diterima secara statistik. 2) Ada hubungan yang bermakana antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Puskesmas Keramasan 83
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Palembang Tahun 2011 dengan p value = 0,008 sehingga hipotesis awal yang menyatakan ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita dapat diterima secara statistik.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmito, Wiku. 2007. Sistem Kesehatan. Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada. Andarwati, Dewi. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi Balita pada Keluarga Petani di Desa Purwojati Kecamatan Kertek Kabupaten Wonosobo. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. ` Arisman. 2009. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta : EGC Anggraini, Septiani Dyah. 2008. Hubungan Antara Tingkat Pengetahhuan Ibu Tentang Makanan Bergizi dengan Status Gizi Balita Usia 1-3 Tahun di Desa Lencoh Wilayah Kerja Puskesmas Selo Boyolali. Skipsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. (online) (http:/// download09E00172.Pdf, diakses 15 april 2011).
Profil Puskesmas Keramasan Palembang. 2011. Proverawati, Atikah dan Siti Asfuah. 2009. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta : Nuna Medika. Rokhana, Ninik Asri. 2005. Hubungan Antara Pendapatan Keluarga dan Pola Asuh Gizi Anak Balita di Betokan Demak. Skripsi. Universitas Negeri Semarang.(online) (http:// digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/ archives/HASH0187/61a61ddd3.air/docpdf, diakses 4 april 2011). Santoso, Soegeng dkk. 2004. Kesehatan dan gizi. Jakarta : Rineka Cipta. Suhardjo. 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi aksara. _______. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta : Bumi aksara.
Dinas Kesehatan Kota. 2007. Profil Kesehatan Kota Palembang. (online) (http:///data dinkes kota palembang. Com diakses 24 april). Hidayat, Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba. Kelana, Satriya. 2009. Malnutrisi di Indonesia. (online). (http://www. Malnutrisi menurut dunia. Com diakses 29 mei 2011). Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta. ___________________. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Jakarta : Rineka Cipta. ___________________. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nurhamidah. 2008. Gizi Buruk Ancaman Lost Generation KKSP. (online). (htpp://www. KKSP.or.id/nAndlnformationCenterforChil dRight,GiziBurukAncamanLostGeneration. htp, diakses 3 juni 2011).
84
ISSN 0126-107X
GAMBARAN FAKTOR RISIKO PENYEBARAN FILARIASIS DI DESA MUARA PADANG KECAMATAN MUARA PADANG KABUPATEN BANYUASIN SUMATERA SELATAN 2012 Erwin Edyansyah, Nurhayati Ramli, Amilawati Saleh Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Palembang ABSTRAK Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Di Indonesia berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis. Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran faktor risiko penyebaran filariasis di Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain cross sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan survei darah jari, pemeriksaan L3 pada nyamuk, melakukan wawancara dengan responden dan pemeriksaan periodisitas mikrofilaria.Hasil penelitian Survei Darah Jari 500 sampel tidak ditemukan positif mikrofilaria. Prevalensi filariasis 0%. Pemeriksaan dan pembedahan nyamuk dari 701 ekor nyamuk tidak ditemukan L3. Hasil variabel Tumbuhan air didapatkan hasil 22 (22%) responden yang negatif filariasis dengan lingkungan yang ada tumbuhan air dan dan 78 (78%) responden dengan lingkungan yang tidak ada tumbuhan air. Variabel pengetahuan 68 (68%) responden yang negatif filariasis dengan pengetahuan baik dan 32 (32%) responden dengan pengetahuan kurang baik.Variabel kebiasaan tidur dengan kelambu didapatkan hasil 74 (74%) responden yang negatif filariasis menggunakan kelambu pada saat tidur dan 26 (26%) responden tidak memakai kelambu pada saat tidur. Variabel penggunaan kawat kasa didapatkan hasil 54 (56%) responden yang negatif filariasis menggunakan kawat kasa dan 44 (44%) responden tidak menggunakan kawat kasa. Diharapkan kepada masyarakat Desa Muara Padang agar lebih meningkatkan dan mempertahankan sikap perilaku dalam usaha pencegahan penularan filariasis dan kebersihan lingkungan sehingga penularan filariasis di daerah tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang. Kata kunci : filariasis, survei darah jari
PENDAHULUAN Latar Belakang Filariasis (penyakit kaki gajah) terdapat di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan beberapa daerah sub tropis. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia. Di Asia filariasis endemik terjadi di Indonesia, Myanmar, India dan Srilanka.1,2 Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Di Indonesia berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi.3 Filariasis terutama ditemukan di daerah dataran rendah mencakup daerah perkotaan dan pedesaan, di daerah pantai, pedalaman, daerah rawa, persawahan dan hutan. Secara epidemiologis dapat dikatakan bahwa filariasis melibatkan banyak faktor yang sangat kompleks yaitu cacing filaria sebagai
ISSN 0126-107X
agen penyakit, manusia sebagai inang dan nyamuk dewasa sebagai vektor serta faktor lingkungan fisik, biologik dan sosial.1,2 Penelitian Santoso dkk di Desa Sungai Rengit, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin dari 401 sampel yang diperiksa didapatkan positif mikrofilaria Brugia malayi sebanyak 9 orang (Mf rate 2,24%) dan puncak aktivitas mikrofilaria terjadi pada pukul 22.00-02.00 WIB.6 Filariasis terdapat hampir diseluruh kabupaten di Propinsi Sumatera Selatan. TUJUAN PENELITIAN Tujuan umum Untuk mengetahui gambaran faktor risiko penyebaran filariasis di Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
85
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tujuan khusus 1. Untuk mengetahui frevalensi filariasis di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. 2. Untuk menentukan nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. 3. Untuk mengetahui gambaran faktor risiko (lingkungan, pengetahuan, kebiasaan tidur dengan kelambu, penggunaan kawat kasa) penyebaran filariasis di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. 4. Untuk mengetahui periodisitas mikrofilaria di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. METODE PENELITIAN Desain penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan desain cross sectional.22 Lokasi penelitian Lokasi pengambilan sampel dilaksanakan di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan. Waktu penelitian Dilaksanakan pada bulan September s.d November 2012. Sampel penduduk yang bersedia diambil sediaan darahnya yang berada di lokasi penelitian minimal 500 orang yang berusia ≥ 13 tahun. Pelaksanaan wawancara tentang filariasis pada responden dilakukan minimal 20% (500 sampel). Analisa data disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel untuk mengetahui proporsi masing-masing variabel yang diteliti.
penduduk, jenis kelamin laki-laki berjumlah 238 orang dan perempuan 262 orang. Dari hasil pemeriksaan sediaan darah tidak ditemukan penduduk yang positif mikrofilaria dalam darah kapilernya, jadi prevalensi filariasis sebesar 0%. Dari hasil pengamatan pada penduduk waktu SDJ ditemukan 1 orang elefantiasis yang pembengkakan kaki di bawah lutut, menunjukkan filariasis malayi. Nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis Tabel 1. Hasil Pembedahan Nyamuk Di Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan No
Jenis nyamuk
Jumlah nyamuk yang dibedah (ekor) /%
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Ae. albopictus 1(0,14) Ae. aegypti 3(0,43) Cx. tritaeniorhyncus 138(19,69) Cx. Quinquifasciatus 127(18,12) Cx. fuscocephalus 37(5,28) Cx. gellidus 20(2,85) Cx. sitiens 13(1,85) Cx. hutchinsoni 50(7,13) Cx. sinensis 1(0,14) Cx. solitarius 1(0,14) Ma. dives/bonneae 268(38,23) Ma. uniformis 33(4,71) Ma. indiana 8(1,14) Ma. annulata 1(0,14) Jumlah total 701(100) Pada tabel 1 menunjukan hasil nyamuk yang dibedah dan diperiksa dari Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan berjumlah 701 ekor nyamuk, spesies yang paling banyak ditemukan adalah Ma.dives/bonneae sebanyak 268 (38,23%). Dari hasil pemeliharaan selama 10-14 hari dan kemudian dilakukan pembedahan dan pemeriksaan pada nyamuk tidak ditemukan L3.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil 1.
Prevalensi Filariasis (Survei Darah Jari/ SDJ) Hasil dari SDJ yang dilakukan di Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan berjumlah 500 86
ISSN 0126-107X
Erwin Edyansyah, Nurhayati Ramli, Amilawati Saleh, Gambaran Faktor Risiko Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 2012
Gambaran Faktor Risiko (Lingkungan, Pengetahuan, Kebiasaan Tidur Dengan Kelambu, Penggunaan Kawat kasa) Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2012 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Faktor Risiko (Lingkungan, Pengetahuan, Kebiasaan Tidur Dengan Kelambu, Penggunaan Kawat Kasa) Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2012 Filariasis No
Variabel
Kategori
Positif (%)
Negatif (%)
0 (0)
22 (22)
0 (0)
78 (78)
Jumlah
0 (0)
100 (100)
Baik
0 (0)
68 (68)
Kurang Baik
0 (0)
32 (32)
Jumlah
0 (0)
100 (100)
Ya
0 (0)
74 (74)
Ada 1
2
3
4
Tumbuhan air Tidak ada
Pengetahuan
Kebiasaan Tidur Dengan Tidak Kelambu Jumlah Penggunaan Kawat Kasa
0 (0)
26 (26)
0 (0)
100 (100)
Ada
0 (0)
56 (56)
Tidak
0 (0)
44(44)
Jumlah
0 (0)
100 (100)
Dari tabel 2 varabel Tumbuhan air didapatkan hasil dari 100 responden, sebanyak 0 (0%) responden yang positif filariasis dengan lingkungan yang ada tumbuhan air dan Lingkungan yang tidak ada tumbuhan air, sedangkan 22 (22%) responden yang negatif filariasis dengan lingkungan yang ada tumbuhan air dan dan 78 (78%) responden dengan lingkungan yang tidak ada tumbuhan air. Variabel pengetahuan didapatkan hasil dari 100 responden, sebanyak 0 (0%) responden yang positif filariasis dengan pengetahuan baik dan pengetahuan kurang baik, sedangkan 68 (68%) responden yang negatif filariasis dengan pengetahuan baik dan 32 (32%) responden dengan pengetahuan kurang baik. Variabel kebiasaan tidur dengan kelambu didapatkan hasil dari 100 responden, sebanyak 0 (0%) responden yang positif filariasis yang menggunakan kelambu dan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur, sedangkan 74 (74%) responden yang negatif filariasis menggunakan kelambu pada saat tidur dan 26 (26%) responden tidak memakai kelambu pada saat tidur.
ISSN 0126-107X
Penggunaan kawat kasa didapatkan hasil dari 100 responden, sebanyak 0 (0%) responden yang positif filariasis yang menggunakan kawat kasa dan tidak menggunakan kawat kasa, sedangkan 54 (56%) responden yang negatif filariasis menggunakan kawat kasa dan 44 (44%) responden tidak menggunakan kawat kasa. Periodisitas mikrofilaria Periodisitas mikrofilaria tidak dapat dilakukan karena tidak didapatkannya sampel yang positif pada SDJ penduduk di Desa Muara Padang, Kecamatan Muara Padang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. PEMBAHASAN Prevalensi Filariasis (Survei Darah Jari/SDJ) Menurut Soeyoko pada kasus-kasus tertentu tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan darah ujung jari, misalnya filariasis stadium prepaten, filariasis dengan kepadatan mikrofilaria di dalam darah rendah, occult filariasis dan infeksi dengan satu macam jenis kelamin cacing filaria. Kasuskasus tersebut di daerah endemik dikategorikan dalam kelompok asimtomatik amikrofilaremia. Apabila kelompok ini jumlahnya cukup banyak akan berpengaruh dalam menentukan kebijakan program karena kelompok tersebut tidak terdiagnosis pasti sehingga akan mempengaruhi besarnya angka mikrofilaria di suatu daerah endemik. Untuk mengatasi masalah tersebut dan mempertajam diagnosis diperlukan konfirmasi cara diagnosis filariasis lainnya seperti diagnosis serologi deteksi antigen beredar menggunakan antibody monoclonal spesifik merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif saat ini.26 Penelitian tidak menggunakan cara ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan lebih besar dan waktu yang lebih lama. Kemungkinan lain disebabkan karena penduduk Desa Muara Padang merupakan penduduk asli bukan penduduk pendatang. Biasanya penduduk pendatang ke daerah endemik (transmigrasi) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Nyamuk yang berperan sebagai vektor filariasis Untuk nyamuk Anopheles sp. tidak ditemukan kemungkinan di Desa Muara Padang bukan merupakan breeding place bagi nyamuk Anopheles sp, hal ini dimungkinkan karena tempat berkembang biak seperti persawahan jauh dari desa Muara Padang dan sungai yang mempunyai arus deras. 87
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Santoso dkk di Desa Sungai Rengit Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin hanya mendapatkan 1 ekor nyamuk Anopheles sp.6 Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (L3). Cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu. Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium L3 yang ditularkan. Kerentanan nyamuk terhadap parasit juga menentukan apakah suatu nyamuk bisa menjadi vektor atau tidak. Seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan dari nyamuk vektor ribuan kali. Peluang untuk terinfeksi dari satu gigitan nyamuk vektor (infected mosquito) adalah sangat kecil.1 Menurut Atmosoedjono et al cit Soeyoko agar terjadi penularan optimal kepadatan mikrofilaria di dalam darah penderita 1-3 Mf/µL darah. Bila Jumlah mikrofilaria terlalu sedikit, maka hanya sebagian kecil nyamuk dapat menghisap mikrofilaria. Sebaliknya bila jumlah mikrofilaria terlalu banyak maka nyamuk yang menghisap mikrofilaria akan mati. Tidak semua mikrofilaria yang masuk ke dalam lambung nyamuk akan dapat melangsungkan kehidupannya berkembang menjadi larva, kurang lebih 40% akan mati di dalam lambung nyamuk.27 Dari pengamatan di lapangan kemungkinan tidak ditemukannya L3 disebabkan karena penduduk sering membersihkan lingkungan yang ditumbuhi oleh tanaman air walaupun masih ditemukan adanya tumbuhan air tapi sedikit, hutan yang sudah berubah fungsi menjadi daerah perkebunan sehingga perkembangbiakan nyamuk terganggu. Nyamuk dikatakan vektor yang efektif apabila kepadatan tinggi, kepekaan terhadap infeksi parasit filaria juga tinggi dan memiliki afinitas yang tinggi pula untuk menggigit manusia. Penularan yang efisien akan terjadi jika didukung oleh mikrofilaria dengan intensitas yang cukup tinggi dalam darah, vektor yang efektif disamping adanya sumber penular (manusia dan hewan sebagai hospes reservoar), manusia yang rentan (host), dan lingkungan (fisik, biologik, ekonomi, dan sosial budaya) yang mendukung penularan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso dkk di Desa Sungai Rengit, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin yang tidak menemukan L3 pada nyamuk.6 Pada penelitian Lasbudi dkk di Desa Sebubus, Kabupaten Banyuasin juga tidak satupun 88
nyamuk yang dibedah ditemukan larva cacing filaria (semua stadium).28 Gambaran Faktor Risiko (Lingkungan, Pengetahuan, Kebiasaan Tidur Dengan Kelambu, Penggunaan Kawat kasa) Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan Tahun 2012 Lingkungan sangat berpengaruh terhadap distribusi kasus filariasis dan mata rantai penularannya. Daerah endemis B. malayi adalah daerah dengan hutan rawa, sepanjang sungai atau badan air. Sedangkan daerah-daerah endemis W. bancrofti tipe perkotaan (urban) adalah daerahdaerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor. Sedangkan daerah endemis W. bancrofti tipe pedesaan (rural) secara umum kondisi lingkungannya sama dengan daerah endemis B. malayi. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat berkembang biak dan beristirahatnya nyamuk. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk.1 Perubahan lingkungan sangat mempengaruhi endemisitas filariasis. Perubahan lingkungan penyebab hilangnya tempat berkembang biak nyamuk vektor dapat menurunkan endemisitas, bahkan dapat mengeliminasi filariasis disuatu daerah. Tetapi sebaliknya perubahan lingkungan penyebab bertambahnya tempat berkembang biak vektor dapat menaikkan endemisitas. Pengetahuan mengenai suatu penyakit, dalam hal ini filariasis dapat merupakan suatu yang penting sebelum perilaku seseorang muncul, namun hasrat untuk melakukan perilaku tersebut mungkin tidak akan muncul sampai seseorang menerima dorongan yang cukup kuat untuk memotivasinya agar bertingkah laku sesuai pengetahuan yang dimiliki. Dalam penelitian ini pengetahuan penduduk sudah baik. Sikap yang positif dari masyarakat dalam pemberantasan filariasis merupakan modal utama/ potensi untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam mengenai filariasis sehingga kebiasaan masyarakat yang mendukung penularan filariasis akan berubah seiring pengetahuan dan pemahaman tentang filariasis yang lebih baik. Misalnya, kalau keluar malam menggunakan pakaian lengan panjang atau memakai repelen anti nyamuk, tidur memakai kelambu/ obat nyamuk. Penduduk masih sangat memerlukan penyuluhan sebagai penambah pengetahuan mereka mengenai filariasis agar penerimaan masyarakat tidak setengah-setenISSN 0126-107X
Erwin Edyansyah, Nurhayati Ramli, Amilawati Saleh, Gambaran Faktor Risiko Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 2012
gah dan pada akhirnya mereka akan benar-benar menganggap bahwa filariasis merupakan penyakit yang harus diberantas. Pemakaian kelambu saat tidur merupakan salah satu tindakan preventive dalam usaha mencegah kontak dengan vektor penyakit. Berbagai macam penyakit yang mempunyai vektor ordo diptera dapat diminimalisir dampaknya sehingga menurunkan morbiditas penyakit tersebut. Pada masyarakat urban penggunaan kelambu sudah jarang ditemukan karena alasan kepraktisan dan suhu yang gerah saat menggunakan kelambu. Namun, bagi masyarakat rural pemakaian kelambu masih banyak ditemukan. Menghindari kontak dengan nyamuk dan salah satunya dengan menggunakan kelambu merupakan salah satu cara pencegahan terjadinya filariasis. Menurut Depkes pengobatan dan menghindari kontak dengan gigitan nyamuk merupakan salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan filariasis.1 Fungsi pemakaian kawat kasa yang dipasang di bagian ventilasi dalam suatu rumah hampir sama dengan fungsi dari pemakaian kelambu. Kawat kasa merupakan salah satu upaya untuk mencegah nyamuk masuk kedalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk. Kesadaran masyarakat dalam mengunakan kawat kasa di setiap ventilasi rumahnya merupakan salah satu usaha untuk pencegahan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian di atas dapat disimpulkan : 1. Prevalensi filariasis sebesar 0%. 2. Setelah dilakukan pembedahan dari 701 ekor nyamuk tidak ditemukan adanya Larva Stadium (L3). 3. Hasil variabel Tumbuhan air didapatkan hasil 22 (22%) responden yang negatif filariasis dengan lingkungan yang ada tumbuhan air dan dan 78 (78%) responden dengan lingkungan yang tidak ada tumbuhan air. Variabel pengetahuan 68 (68%) responden yang negatif filariasis dengan pengetahuan baik dan 32 (32%) responden dengan pengetahuan kurang baik.Variabel kebiasaan tidur dengan kelambu didapatkan hasil 74 (74%) responden yang negatif filariasis menggunakan kelambu pada saat tidur dan 26 (26%) responden tidak memakai kelambu pada saat tidur. Variabel penggunaan kawat kasa didapatkan hasil 54 (56%) responden yang negatif filariasis menggunakan kawat kasa dan 44 (44%) responden tidak menggunakan kawat kasa. ISSN 0126-107X
Saran 1. Penelitian lebih lanjut adalah mengambil darah penduduk lebih banyak atau dengan cara filter sehingga kemungkinan untuk mendapatkan mikrofilaria lebih besar. 2. Diharapkan kepada masyarakat Desa Muara Padang agar lebih meningkatkan dan mempertahankan sikap perilaku dalam usaha pencegahan penularan filariasis dan kebersihan lingkungan sehingga penularan filariasis di daerah tersebut tidak terjadi di masa yang akan datang. DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis Di Indonesia. Ditjen PP & PL Depkes RI. Jakarta. 2. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Penerbir Erlangga. Jakarta. 3. Supali, T., Kurniawan, A., Oemiyati, S. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Inge,S, Is, S.S, Pudji, K.S, Saleha, S (Ed) Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 4. Dinkes Prop.Sumsel. 2011. Laporan Tahunan. 5. Dinkes Banyuasin. 2011. Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (Filariasis). Laporan Tahunan. Dinkes Kabupaten Banyuasin. Sumsel. 6. Santoso, Ambarita, L.P., Oktarina, R., Sudomo, M. 2006. Epidemiologi Filariasis Di Desa Sungai Rengit Kecamatan Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin Tahun 2006. Buletin Penelitian Kesehatan ;36(2). 7. Heelan, J.S., Ingersoll, F.W. 2002. Essentials of Human Parasitology. Thomson Learning Inc. United States. 8. John, D.T., Petri, Jr.W.A. 2006. Markel and Voge’s : Medical Parasitologi. Ninth Edition. Elsevier Inc. United States. 9. Prianto, J.L.A., Tjahaya, P.U., Darwanto. 2004. Atlas Parasitologi Kedokteran. Pinardi, H., Srisasi, G. (Ed). Cetakan Kedelapan. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 10. Ideham, B., Pusarawati, S. 2009. Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran. Edisi 2. Penerbit Airlangga Press University. Surabaya. 11. Sandjaja, B. 2007. Helmintologi Kedokteran. Pedo, H (Ed). Buku 2. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka Publisher. Jakarta. 12. Hoedojo, R. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Inge,S, Is, S.S, Pudji, K.S, Saleha, S (Ed) Edisi keempat. FKUI. Jakarta. 13. Mardiana, Yusniar, Aminah, A. N. St., Yunanto. 2005. Fauna dan Tempat perkembangbiakan 89
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
14. 15.
16.
17.
18. 19.
20.
21.
22.
23. 24.
25.
90
Potensial Nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Media Litbang Kesehatan 10(2):39-44. Notoatmodjo, S. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Mahdiansyah, 2002. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian filariasis malayi di Kecamatan Cempaka Mulia Kabupaten Kotawaringin Timur kalimantan Tengah. Tesis. Prodi Ilmu Kesehatan MayarakatField Epidemiology Training Program-FETP. Universitas Gadjah Mada. Saniambara, N. 2005. Filariasis dan Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penularannya di Kecamatan Rote Timur Kebupaten Rote Ndao Provinsi NTT. Tesis. Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis. Universitas Gadjah Mada. Bres P, 1995. Petunjuk Praktis : Tindakan darurat kesehatan masyarakat pada kejadian luar biasa. Penerjemah Kusnanto, H & Trisnantoro, L. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. UGM Press. Sasa, M. 1976. Human Filariasis. A Global Survey of Epidemiology and Control. Tokyo: University of Tokyo Press. Partono, F., Purnomo. 1987. Periodicity studies of Brugia malayi in Indonesia : Recent Findings and Modified Classification of the Parasite. Trans. Roy. Sec. Trop. Med. Hyg. 81: 657-662. Murti, B. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Edisi kedua. Cetakan Pertama. Penerbit Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2003. Leemingsawat, S., T. Deesin, S. Vutikes. Determination of Filariae in Mosquitoes, in Practical Entomology Malaria and Filariasis. Sucharit, S., S. Supavej (Eds). The Museum and Reference Centre, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University. 1987 Stojanovich, C.J., Scoot, H.G. Illustrated Key To Iosquitoes of Vietnam. U.Department of Health, Education, And Welfare Public Health Service. Atlanta, Georgia. 1996. Depkes RI. Kunci Identifikasi Nyamuk Mansonia. Ditjen PP & PL Depkes RI. Jakarta. 2008. Soeyoko. 1998. Pengembangan Antibodi Monoklonal Spesifik Terhadap Antigen Beredar Brugia Malayi Untuk Diagnosis Filariasis Malayi. Disertasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Soeyoko, 2002. Penyakit Kaki Gajah (Filariasis Limfatik) : Permasalahan dan Alternatif Penanggulangannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta 26. Lasbudi, P., Ambarita., Sitorus, H. 2004. Studi Komunitas Nyamuk Di Desa Sebubus (Daerah Endemis Filariasis) Sumatera Selatan Tahun 2004. Jurnal Ekologi Kesehatan. 5(1) : 268375. 27. Sumarni, S., Soeyoko. 1998. Filariasis Malayi di Wilayah Puskesmas Cempaka Mulia, Sampit, Kalimantan Tengah (beberapa faktor yang mempengaruhi penularannya). Berita Kedokteran Masyarakat, 14(3):143-148.
ISSN 0126-107X
UJI EFEKTIFITAS BIOLARVASIDA EKSTRAK DAUN PAPAYA (CARICA PAPAYA L) TERHADAP KEMATIAN LARVA INSTAR III NYAMUK AEDES AEGYPTI Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo NauE Dosen Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh infeksi virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Upaya pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektor. Metode pengendalian secara biologis, bakteri dan secara kimiawi dengan menggunakan insektisida. Banyaknya dampak negatif dari penggunan insektisida kimia dapat ditanggulangi dengan menggunakan bahan-bahan berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap kematian larva instar III nyamuk Aedes aegypti. Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Data yang didapat dianalisa dengan uji Statistik Korelasi Regresi Linier, uji T-Independen dan Analisa Probit. Hasil menunjukkan ada pengaruh biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap kematian larva instar III Aedes aegypti dengan nilai LC50 terletak pada konsentrasi 0,51141%. Disarankan kepada masyarakat untuk dapat menggunakan daun papaya (Carica papaya L) sebagai larvasida alami. Kata kunci: Biolarvasida, Larva instar III Aedes aegypti, Daun Papaya (Carica papaya L)
PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang terdiri dari empat serotipe, yaitu Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3, Dengue-4 dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. yang terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD sebelumnya. Penyakit DBD sering menimbulkan wabah dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat.(1) Berdasarkan data Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Selatan jumlah kasus DBD di Propinsi Sumatera Selatan tahun 2007 sebanyak 3.487 kasus dengan 13 kematian (CFR = 0,4%), pada tahun 2008 sebanyak 2.360 kasus dengan 10 kematian (CFR = 0,42%), pada tahun 2009 sebanyak 1854 kasus dengan 6 kematian (CFR = 0,32%).(2) Sedangkan menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, jumlah penderita DBD tertinggi ada pada tahun 2007 yaitu 1.957 orang dan jumlah penderita menurun pada tahun 2008 yaitu 1.581 orang, pada tahun 2009 sebanyak 965 orang, pada tahun 2010 sebanyak 675 orang. Sampai pada Januari 2011 jumlah penderita DBD di kota Palembang mencapai 39 orang.(3,4) ISSN 0126-107X
Melihat kemungkinan peningkatan kasus DBD yang terus terjadi di daerah-daerah endemis maka perlu dilakukan upaya pencegahan. Upaya pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk Aedes aegypti dapat dilakukan dengan menggunakan tiga metode yaitu metode lingkungan, metode biologis dan metode kimiawi. Pengendalian metode lingkungan dapat dilakukan dengan melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu menguras bak mandi/ penampungan air bersih, menutup dengan rapat tempat penampungan air, mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah (3M). Metode berikutnya berupa pengendalian metode biologis dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan adu/ikan cupang) dan bakteri (Bt.H-14). Upaya lain dalam pengendalian nyamuk Aedes aegypti yakni pengendalian metode kimiawi menggunakan insektisida kimia meliputi pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion) yang berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu dan memberikan bubuk abate 1% pada tempat-tempat penampungan air.(5) Penggunaan insektisida kimia memang memberikan hasil yang efektif dan optimal, namun banyak dampak negatif yang ditimbulkan baik terhadap organisme hidup maupun lingkungan sekitar. Menurut Word Healt Organisation (WHO) 91
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
kurang lebih 20.000 orang per tahun meninggal dunia akibat keracunan pestisida, selain itu pestisida juga menimbulkan dampak fatal lainya seperti kanker, cacat tubuh dan kemandulan. Banyaknya dampak negatif dari penggunan insektisida kimia dapat ditanggulangi dengan menggunakan bahan-bahan hayati yang dapat diartikan sebagai suatu larvasida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan(6) Banyak dilakukan penelitian tentang penemuan insektisida hayati baru yang tidak berbahaya bagi manusia namun toksik pada serangga, dikutip dari (Post Metro Padang Usir Nyamuk Dengan Kulit Jengkol) yaitu; Nursal (2005): yang telah meneliti ekstrak etanol dari daun lengkuas yang ternyata bersifat toksik terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti; Muhaeni (2007) juga meneliti tentang pengaruh air rendaman gadung terhadap Anopheles aconitus. Penelitian yang pernah dilakukan pada tahun 1999 yaitu potensi ekstrak daun pandan wangi dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti dimana konsentrasi yang digunakan adalah 1600 ppm, 1900 ppm, 2200 ppm dan 2500 ppm untuk mengamati kematian larva dalam waktu 24 jam dan 48 jam. Pada konsentrasi 1600 ppm dapat membunuh larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 29,4% dalam waktu 24 jam dan 47,22% dalam waktu 48 jam, pada konsentrasi tertinggi 2500 ppm dapat membunuh larva sebanyak 55,55% dalam waktu 24 jam dan 83% dalam waktu 48 jam.(9) Peneliti lain pun telah melakukan penelitian pada tahun 2009 yang meneliti ekstrak daun pandan wangi dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Konsentrasi ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) yang digunakan adalah 0,12%, 0,25%, 0,5%, 1% dan 2% dalam waktu 24 jam dan 48 jam dihitung kematian larva nyamuk Aedes aegypti. Dari hasil penelitiannya diketahui; a) pada konsentrasi terendah 0,125% dapat membunuh larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 16,7% dalam waktu 24 jam dan 26,7% dalam waktu 48 jam, sedangkan b) pada konsentrasi tertinggi 2% dapat membunuh larva nyamuk sebanyak 56,7% dalam waktu 24 jam dan 83,3% dalam waktu 48 jam. Selain itu, didapat pula nilai Lethal Concentration (LC50) dari ekstrak daun pandan wangi terletak pada konsentrasi 1,21% pada pengamatan 24 jam dan 0,34% pada pengamatan 48 jam.(10) Setelah dilakukan uji pendahuluan oleh peneliti, maka didapatkan hasil bahwa pada konsentrasi abate 0,01% masih dapat membunuh larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 100% dalam waktu 24 jam dan 48 jam. Berdasarkan hasil tersebut, peneliti menggunakan variasi konsentrasi abate 1% sebesar 0,006%, 0,007%, 0,008%, 0,009% dan 0,01% untuk mencari nilai LC50 abate pada 92
penelitian sesungguhnya. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang ”Uji Efektifitas Bio larvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica papaya L) Terhadap larva Instar III Nyamuk Aedes aegypti”. Tujuan Penelitian Tujuan Umum: Mengetahui pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap larva instar III nyamuk Aedes aegypti dan efektivitas larvasidanya dibanding abate 1%. Tujuan Khusus: 1. Mengetahui pengaruh biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap larva Aedes aegypti. 2. Mengetahui pengaruh larvasida abate 1% terhadap larva Aedes aegypti. 3. Mengetahui nilai LC50 ekstrak daun papaya (Carica papaya L) yang berperan sebagai biolarvasida terhadap larva Aedes aegypti. 4. Mengetahui nilai LC50 abate 1% yang berperan sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti. 5. Mengetahui perbedaan antara biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dengan abate 1%. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Nyamuk Aedes aegypti Nyamuk Aedes aegypti diketahui berperan sebagai vektor utama penyakit demam berdarah dengue (DBD), sedangkan vektor sekundernya adalah spesies nyamuk Aedes albopictus. Nyamuk Aedes aegypti lebih berperan dalam menularkan penyakit DBD dibandingkan nyamuk Aedes albopictus. Hal tersebut dikarenakan nyamuk Aedes aegypti hidup di dalam rumah bersama dengan manusia, sedangkan nyamuk Aedes albopictus hidup di dalam kebun sehingga jarang kontak dengan manusia.(12). Nyamuk Aedes aegypti mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari kepala, thoraks, dan abdomen, dan juga mengalami metamorfosis yang sempurna. Ciri khas dari nyamuk ini adalah bentuk abdomen nyamuk betina yang lancip ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci pada nyamuknyamuk lainnya. Larva nyamuk Aedes mempunyai sifon yang tidak langsing yang hanya memiliki satu pasang antena serta pecten yang tumbuh tidak ISSN 0126-107X
Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo Naue, Uji Efektifitas Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica Papaya L) Terhadap Kematian Larva Instar III Nyamuk Aedes Aegypti
sempurna. Sedangkan telur nyamuk Aedes aegypti diletakkan satu demi satu pada permukaan air atau pada perbatasan antara air dan bejana. Semua jenis nyamuk betina menghisap darah pada siang hari terutama pada sore hari. (13) Larva Larva nyamuk Aedes aegypti tubuhnya memasang tanpa kaki dengan bulu– bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan dan perkembangnya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis). Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1 – 2 mm, duri – duri (spinae) pada dada (thoraks) belum begitu jelas dan corong pernafasan (sifon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna hitam. Larva instar III dan IV telah lengkap struktur anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (cephal), dada (thoraks) dan perut (abdomen). Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alatalat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu- bulu simetris. Perut tersusun atas 8 ruas. Ruas ke-8 ada alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan (sifon). Corong pernapasan dengan duri-duri (pecten), berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bullu (tuft) serta dilengkapi dengan seberkas bulu – bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi-gigi sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya langsing dan sangat lincah (tumbler), bersifat fototaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan.(18)
terutama di daerah yang subur. Tumbuhan ini dapat dikembangbiakkan melalui biji yang disemaikan (15-25 cm) lalu dipindahkan ke pekarangan (Anonim, 2008) Mengandung enzim papain, alkaloid karpaina, psudo karpaina, glikosid, karposid, saponin, beta karotene, pectin, d-galaktosa, l-arabinosa papain, papayotimin papain, vitokinose, glucoside cacirin, karpain papain, kemokapain, lisosim, lipase, glutamin, siklotransferase (Anonim, 2008) 2.2.1. PAPAIN Papain (EC 3.4.22.2) merupakan salah satu enzim protease sistein yang terkandung di dalam getah pepaya (Carica papaya L.), yang mempunyai aktivitas proteolitik terhadap protein, peptide rantai pendek, ester asam amino dan ikatan amida. (Ishida, 2008). Papain terdiri atas 212 asam amino yang distabilkan oleh 3 jembatan disulfida. Struktur 3 dimensinya terdiri atas 2 domain struktural yang berbeda dengan celah diantaranya. Celah itu mengandung tapak aktif, yang mengandung triade katalisis yang sudah disamakan dengan kimotripsin. Triade katalisisnya tersusun atas 3 asam aminosistein-25 (yang menjadi dasar klasifikasi), histidin159, dan asparagin-158 (Ishida, 2008). Enzim papain adalah enzim yang terdapat dalam getah pepaya, merupakan jenis enzim proteolitik yaitu enzim yang mengkatalis ikatan peptida pada protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti dipeptida dan asam amino. Kualitas getah sangat menentukan aktivitas proteolitik dan tergantung pada bagian tanaman asal getah tersebut. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan bagian tanaman yang mengandung getah dengan kualitas aktivitas proteolitik yang baik ada pada bagian buah, batang dan daun. Sifat enzim papain antara lain dapat bekerja secara optimum pada suhu antara 50-60oC dan pH antara 5-7, serta memiliki aktifitas proteolitik antara 70-1000 unit/ gram. Aktivitas enzim selain dipengaruhi oleh proses pembuatannya juga dipengaruhi oleh umur dan jenis varietas pepaya yang digunakan (Purnomo, 2007). METODE PENELITIAN
Gambar 2.2 Larva Aedes aegypti Sumber: http.//fr/IMG/jpg/mos_aedes_.jpg
2.2. PAPAYA (Carica papaya L.)
Tanaman ini termasuk familia Caricaceae. Tumbuhan ini banyak tumbuh di dataran rendah hingga 1.000 meter di atas permukaan laut, ISSN 0126-107X
3.1. DesainPenelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan rancang penelitian Rancangan Acak Kelompok (RAK). Percobaan ini dilakukan untuk menghitung jumlah kematian larva instar III nyamuk Aedes aegypti, mengetahui 93
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
efektivitas ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti, dibandingkan dengan abate 1% dan mendapatkan LC50nya. 3.2. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang Jurusan Analis Kesehatan Jalan. Sukabangun I Km 6,5 Kelurahan Sukajaya Kecamatan Sukarami Palembang Telepon (0711) 419064. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 24 September 2012 s/d tanggal 20 Oktober 2012. 3.3. Populasi dan sampel Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah larva instar III nyamuk Aedes aegypti yang berasal dari telur yang diperoleh dari hasil penangkaran yang didapatkan dari pasar burung 16 Ilir Palembang. Sampel adalah larva instar III nyamuk Aedes aegypti yang berjumlah 750 larva. Besar sampel Besar sampel (r) dengan menggunakan rumus Fedeerer yaitu: (t-1).(r-1) ≥ 15, dimana r = jumlah ulangan, t = jumlah perlakuan. Menurut WHO (2005) untuk penelitian laboratorium pada larvasida nyamuk yang dibutuhkan adalah 25 ekor pada setiap perlakuan. Instrumen Penelitian 1. Alat yang digunakan adalah: − Ember untuk pemeliharaan larva − Blender untuk menghaluskan hati ayam. − Pipet Pasteur − Beaker glass 250 ml − DLL 2. Bahan yang digunakan: − Daun papaya − Etanol 96% − Aquadest − Abate 1% 3.4 Metode Pemeriksaan Metode pemeriksaan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ekstraksi dengan destilasi etanol. A. Ekstraksi A. Destilasi etanol B. Penyiapan simplisia C. Maserasi (Perendaman) D. Destilasi vakum 94
B. Uji ekstrak daun papaya dan abate sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti Ekstrak daun papaya diuji dengan beberapa tingkatan konsentrasi yaitu: 0,4%, 0,45%, 0,5%, 0,55% ,0,6% dan abate 1% diuji dengan beberapa tingkatan konsentrasi yaitu: 0,06%, 0,07%, 0,08%, 0,09%, 0,1% untuk mendapatkan efektivitasnya dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti. Untuk setiap perlakuan yang diuji, disediakan 10 beaker gelas 250 ml. Setiap beaker gelas percobaan diberi larva Aedes aegypti 25 ekor. Selanjutnya pada beaker gelas percobaan diberikan ekstrak dengan kosentrasi berbeda, yaitu : 1. Beaker gelas pertama berisi ekstrak daun papaya dengan konsentrasi 0,4% 2. Beaker gelas kedua berisi ekstrak daun papaya dengan konsentrasi 0,45% 3. Beaker gelas ketiga berisi ekstrak daun papaya dengan konsentrasi 0,5% 4. Beaker gelas keempat berisi ekstrak daun papaya dengan konsentrasi 0,55% 5. Beaker gelas kelima berisi ekstrak daun papaya dengan konsentrasi 0,6% 6. Beaker gelas keenam berisi Abate dengan konsentrasi 0,06% 7. Beaker gelas ketujuh diisi dengan larutan Abate 0,07% 8. Beaker gelas kedelapan diisi dengan larutan Abate 0,08%. 9. Beaker gelas kesembilan diisi dengan larutan Abate 0,09% 10. Beaker gelas kesepuluh diisi dengan larutan Abate 0,1%. C. Pengamatan Kematian Larva Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan dalam 24 jam setelah ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dan abate 1% yang diuji kontak dengan larva. Tehnik Pengolah Data dan Analisis Data Hasil yang diperoleh adalah efektivitas ekstrak daun papaya (Carica papaya L) untuk mematikan larva nyamuk Aedes aegypti dibandingkan dengan abate 1% dan mendapatkan LC50nya Tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) 1. Ho ditolak jika P value < α (0,05). 2. Ho diterima jika P value > α (0,05). Analisis data Data-data yang diperoleh kemudian dikumpulkan lalu disajikan dalam bentuk tabel. Analisis data dilakukan dengan uji statistik korelasi regresi linier, uji T-independent dan analisa probit menggunakan program komputer. ISSN 0126-107X
Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo Naue, Uji Efektifitas Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica Papaya L) Terhadap Kematian Larva Instar III Nyamuk Aedes Aegypti
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Pengaruh Biolarvasida Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) terhadap Kematian rata-rata larva Aedes aegypti Hasil analisis data pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) larva Aedes aegypti dapat dilihat pada tabel berikut ini:
terhadap kematian rata-rata
Tabel 4.1: Pengaruh Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica papaya L) Terhadap Kematian rata-rata larva Aedes aegypti No
Konsentrasi Ekstrak Daun papaya) (%)
n
0,4 0,45 0,5 0,55 0,6
25 25 25 25 25
1 2 3 4 5
Jumlah kematian rata-rata Larva Aedes aegypti setelah 24 jam Jumlah 8,25 12,25 13,25 18,25 24,75
% 33 49 53 73 99
Ket: P value = 0,006 r = 0,971 R2 = 0,944
n = Jumlah larva uji setiap perlakuan
Pada tabel 4.1 di atas dapat diketahui bahwa konsentrasi biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) yang digunakan adalah: 0,4 %, 0,45%, 0,5%, 0,55% dan 0,6%. Jumlah kematian larva Aedes aegypti secara berurutan adalah 8 (33%), 12 (49%), 14 (53%), 18 (73%) dan 25 (99%). Berdasarkan data secara ststistik diperoleh nilai p value = 0,006 menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara konsentrasi ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dengan jumlah kematian larva Aedes aegypti, nilai regresi (r) = 0,971 yaitu hubungan ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dengan jumlah kematian larva Aedes aegypti menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan
berpola positif artinya semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun papaya (Carica papaya L) semakin banyak jumlah larva yang mati. Nilai koefisien determinasi (R2) = 0,944 berarti kematian larva Aedes aegypti sebesar 99,5% terbukti disebabkan oleh ekstrak daun papaya. 4.1.2 Pengaruh Larvasida Abate 1% terhadap Kematian rata-rata larva Aedes aegypti Hasil analisis data pengaruh abate terhadap larva Aedes aegypti setelah pengamatan 24 jam dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.2: Pengaruh Larvasida Abate Terhadap Kematian rata-rata Larva Aedes aegypti Setelah 24 jam No 1 2 3 4 5 ISSN 0126-107X
Konsentrasi Abate (%)
n
0,006 0,007 0,008 0,009 0,01
25 25 25 25 25
Jumlah kematian ratarata Larva Aedes aegypti setelah 24 jam Jumlah 12,5 14,5 20 22,75 24,75
% 50 58 80 91 99
Ket P value = 0,002 R = 0,985 R2 = 0,970
n = Jumlah larva uji setiap perlakuan
95
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Pada tabel 4.2 di atas dapat diketahui bahwa konsentrasi larvasida abate yang digunakan adalah 0,006%, 0,007%, 0,008%, 0,009% dan 0,01%. Persentase kematian larva Aedes aegypti yang didapatkan setelah 24 jam pengamatan secara berurutan adalah 50%, 58%, 80%, 91% dan 99%. berdasarkan data secara statistik diperoleh nilai P value = 0,002 menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara konsentrasi abate dengan jumlah kematian larva Aedes aegypti, atas dasar nilai regresi (r = 0,985) yaitu hubungan abate dengan jumlah kematian larva Aedes aegypti menunjukkan hubungan yang sangat kuat dan berpola positif artinya semakin tinggi konsentrasi abate semakin banyak jumlah larva yang mati. Nilai koefisien determinasi R2 = 0,970 berarti kematian larva Aedes aegypti sebesar 99% terbukti disebabkan oleh abate. 4.1.3 Nilai LC50 Ekstrak Daun Papaya (Carica papaya L) Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti Untuk mengetahui nilai Lethal Concentration (LC50) terhadap larva Aedes aegypti maka dilakukan analisis data yang hasilnya disajikan dalam tabel berikut ini: Tabel 4.3 Nilai LC50 Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) Terhadap Larva Aedes aegypti Pengamatan
LC50
Kisaran batas bawah
Kisaran batas atas
24 jam
0,51141%
0,47643%
0,53698%
Dari hasil analisis probit didapatkan nilai LC50 ekstrak daun papaya (Carica papaya L)
terhadap larva Aedes aegypti pada pengamatan 24 jam terletak pada konsentrasi 0,51141% dengan nilai kisaran batas bawah yaitu 0,47643% dan nilai kisaran batas atas adalah 0,53698%. 4.1.4
Nilai LC50 Abate 1% erhadap Kematian Larva Aedes aegypti Untuk mengetahui nilai Lethal Concentration (LC50) abate 1% terhadap larva Aedes aegypti maka dilakukan analisis data menggunakan analisa probit. Hasil analisa data tersebut disajikan dalam tabel berikut ini : Tabel 4.4 Nilai LC50 Abate 1 % Terhadap Kematian Larva Aedes aegypti Pengamatan
LC50
Kisaran batas bawah
Kisaran batas atas
24 jam
0,00628%
0,00544%
0,00678%
Dari hasil analisis didapatkan nilai LC50 abate 1% terhadap larva Aedes aegypti terletak pada konsentrasi 0,00628% dengan nilai kisaran batas bawah 0,00544% dan nilai kisaran batas atas 0,00678%. 4.1.5
Perbedaan Biolarvasida Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) dan Larvasida Abate Terhadap Kematian larva Aedes aegypti
Hasil analisis data perbedaan biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dan larvasida abate terhadap kematian larva Aedes aegypti setelah 24 jam disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 4.5 Perbedaan Biolarvasida Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) dan Larvasida Abate Terhadap Kematian larva Aedes aegypti .
1 2 3 4 5
Jumlah Kematian rata-rataLarva Aedes aegypti terhadap Ekstrak Daun Papaya 8,25 12,25 13,25 18,25 24,75
Jumlah Kematian ratarata Larva Aedes aegypti terhadap Abate 1% 12,5 14,5 20 22,75 24,75
Mean
15,35
18,90
SD
6,34
5,25
No
96
Ket
T hitung= 1,914 Df= 3 P= 0,590
ISSN 0126-107X
Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo Naue, Uji Efektifitas Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica Papaya L) Terhadap Kematian Larva Instar III Nyamuk Aedes Aegypti
Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat diketahui bahwa jumlah kematian rata-rata larva Aedes aegypti akibat ekstrak daun papaya adalah 8,25, 12,25, 13,25, 18,75, 25 sedangkan jumlah kematian rata-rata larva Aedes aegypti akibat abate 1% adalah 12,5, 14,5, 20, 22,75, 24,75. Dari data ini dapat diketahui nilai rata-rata jumlah kematian larva oleh ektrak daun papaya dari 5 perlakuan adalah 15,53 dengan standar deviasi 6,34 sedangkan nilai ratarata kematian larva oleh abate 1% dari 5 perlakuan adalah 18,90 dengan standart deviasi 5,25. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0,590 > nilai α = 0,05 artinya Ho gagal tolak dengan kata lain tidak ada perbedaan ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dan abate 1% terhadap kematian larva Aedes aegypti. 4.2 Pembahasan 4.2.1
Pengaruh Biolarvasida Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) terhadap larva Aedes aegypti
Berdasarkan analisa data yang dilakukan pada pengaruh ekstrak daun papaya (carica papaya L) terhadap larva Aedes aegypti selama 24 jam didapatkan nilai P yaitu 0,006. Nilai ini lebih kecil dari nilai α yaitu 0,05, ini berarti Ho gagal tolak dan Ha diterima dengan kata lain ada pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap larva Aedes aegypti. Dilihat dari Pearson (r) yaitu 0,971 ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap larva Aedes aegypti mempunyai pengaruh yang sangat kuat (r = 0,76 – 1,00) dan merupakan pengaruh positif karena peningkatan konsentrasi ekstrak daun papaya (Carica papaya L) diikuti juga dengan meningkatnya jumlah kematian larva Aedes aegypti dimana nilai R2 = 0,944. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada konsentrasi 2,2% ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dapat membunuh 88% larva Aedes aegypti, Konsentrasi ini merupakan konsentrasi yang paling efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti karena daya bunuh konsentrasi tersebut hampir sama dengan abate 1%. Setelah dianalisis, maka didapatkan nilai LC50 dari ekstrak daun papaya (Carica papaya L) pada pengamatan 24 jam adalah 0,51141%. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai efektivitas ekstrak daun papaya (Carica papaya L), walaupun ada penelitian sejenis yang dilakukan oleh Silfiyanti E dan H. Kristianto (2006), yang meneliti ekstrak daun pare dalam menghambat pertumbuhan larva Aedes aegepty. Dari penelitian mereka, ternyata ekstrak daun pare yang mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid, saponin dan flavonoid. yang dapat berfungsi sebagai larvasida. (8) ISSN 0126-107X
Dalam penelitian Pademi Alamsyah (2009) mengenai efektivitas larvasida ekstrak daun pandan wangi terhadap larva Aedes aegypti, didapat p < 0,05, nilai P ini menunjukkan bahwa ada pengaruh ekstrak pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) terhadap larva Aedes aegypti. Dari penelitian ini didapatkan nilai dari LC50 ekstrak daun pandan wangi pada pengamatan 24 jam adalah 1,212% dan pada pengamatan 48 jam adalah 0,343%.(10) Sementara penelitian Rahayu,S (2011) mendapatkan bahwa pada konsentrasi 2,2% ekstrak daun pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) dapat membunuh 88% larva Aedes aegypti , Konsentrasi ini merupakan konsentrasi yang paling efektif dalam membunuh larva nyamuk Aedes aegypti karena daya bunuh konsentrasi tersebut hampir sama dengan abate 1%. Setelah analisis probit maka didapatkan nilai dari LC50 ekstrak daun pandan wangi pada pengamatan 24 jam adalah 1,32105% dan pada pengamatan 48 jam adalah 1,04652%. Adanya pengaruh ini disebabkan adanya zat-zat yang terkandung di dalam daun papaya (Carica papaya L) seperti senyawa pahit, polifenol, flavonoid, saponin, minyak atsiri dan alkaloid. Saponin merupakan salah satu zat yang berperan sebagai larvasida alami. Zat-zat yang terkandung dalam daun papaya (Carica papaya L) inilah yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap larva Aedes aegypti.(9) Smith (1989) menyatakan bahwa alkaloid, terpenoid, dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik; Ishaaya (1986): menyatakan bahwa senyawa saponin, termasuk dalam golongan triterpenoid. Golongan ini terdapat pada berbagai jenis tumbuhan dan bersama-sama dengan subtansi sekunder tumbuhan lainnya berperan sebagai pertahanan diri dari serangan serangga. Karena saponin yang terdapat pada makanan yang dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerap makanan. 4.3.2
Pengaruh Larvasida Abate Terhadap larva Aedes aegypti
Berdasarkan analisa data yang dilakukan pada pengaruh abate terhadap larva Aedes aegypti selama 24 jam didapatkan nilai P yaitu 0,003. Nilai ini lebih kecil dari nilai α yaitu 0,05, ini berarti Ho (hipotesis nol) ditolak sehingga ada pengaruh konsentrasi abate terhadap larva Aedes aegypti. Dilihat dari Pearson (r) yaitu 0,985 pada pengamatan 24 jam menunjukkan bahwa konsentrasi abate mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap larva Aedes aegypti (r = 0,76 – 1,00 berarti pengaruh sangat kuat). Pengaruh ini merupakan pengaruh positif 97
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
karena peningkatan konsentrasi abate diikuti juga dengan meningkatnya jumlah kematian larva Aedes aegypti. Setelah dianalisis, maka didapatkan nilai dari LC50 abate pada pengamatan 24 jam adalah 0,00628%. Kematian larva Aedes aegypti terjadi karena abate merupakan larvasida yang bermanfaat untuk membunuh larva Aedes aegypti sebagai upaya pengendalian peningkatan demam berdarah (DBD). Abate 1% mengandung 10 mg temephos (C16H20O6P2S3) yang merupakan senyawa fosfat organik yang mengandung gugus phosporothionate. Gugus phosporothionate (P=S) dalam tubuh binatang diubah menjadi fosfat yang dikenal dengan anticholinesterase. Kerja anticholinesterase adalah menghambat enzim cholinesterase sehingga menimbulkan gangguan pada aktivitas syaraf karena tertimbunnya acethylcolin pada ujung syaraf yang dapat menimbulkan kematian pada larva. Abate juga terbukti efektif selama 8-12 minggu sehingga abate mempunyai pengaruh yang kuat terhadap mortalitas larva Aedes aegypti.(26) 1.1.3.
Perbedaan Biolarvasida Ekstrak Daun papaya (Carica papaya L) dan Larvasida Abate Terhadap Kematian larva Aedes aegypti
Berdasarkan analisa data yang dilakukan pada perbedaan antara ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dan abate terhadap larva Aedes aegypti dapat diketahui bahwa nilai p > 0,05 maka uji homogenitas varian yang digunakan adalah varian sama (varian kedua kelompok sama). Setelah dilakukan analisa data menggunakan uji T independent untuk varian sama didapatkan nilai p = 0,590. Nilai ini lebih besar dari nilai α = 0,05 (p > α) artinya hasil yang didapat tidak bermakna dengan kata lain tidak ada perbedaan pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dan abate terhadap kematian larva Aedes aegypti. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Arif Banzar Ali tentang perbandingan uji potensi dari ekstrak lada hitam (Piper nigrum) dengan abate terhadap vektor penularan demam berdarah dengue, didapatkan p value > 0,05, Nilai P menunjukkan tidak terbukti adanya perbedaan yang signifikan dari potensi larvasida antara ekstrak lada hitam terhadap larva Aedes sp dibanding abate.(28) BAB V SIMPULAN DAN SARAN
1. 2. 3. 4. 5.
5.2 Saran 1. 2.
98
Pada peneliti selanjutnya agar dilakukan uji diagnostik. Dosis abate yang digunakan akan memberikan hasil maksimal jika diberikan sesuai dengan anjuran.
DAFTAR PUSTAKA 1. Siregar, A. Faziah. 2004. Epidemiologi dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Universitas Sumatera Utara. (http://repository.usu.ac.id/ bitsream/123456789/3673/1/fkm-fazidah3. pdf diunduh pada tanggal 21 Februari 2012) 2.
Pratama, Agustian. 2010. Kasus DBD di Sumsel Turun Drastis.(http://informasipagi. wordpress.com/2010/11/29/kasus-dbd-disumsel-turun- drastis/ diunduh pada tanggal 6 Maret 2012)
3.
Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2010. Profil Kesehatan Kota Palembang 2009. (http://dinkes.palembang.go.id/tampung/ dokumen/dokumen-35-37.pdf diunduh pada tanggal 10 Maret 2012)
4.
Dinas Kesehatan Kota Palembang. 2011. Laporan Bulanan Data Kesehatan Januari 2011 (http://dinkes.palembang.go.id/tampung/ dokumen/dokumen-43-49.pdf diunduh pada tanggal 10 Maret 2012)
5.
Jawa Post Indonesia. Nyamuk pun tak tahan Pahitnya Pare. (http://www.jawapos.co.id/ index.php?a...ilc&id=25531. Akses 15 Februari 2012.
6.
Sudarmono.SU.1988. Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan. (http://www.google.
5.1 Simpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwat:
Ada pengaruh biolarvasida ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terhadap kematian larva Aedes aegypti. Ada pengaruh larvasida Abate1% terhadap kematian larva Aedes aegypti Nilai LC50 dari ekstrak daun papaya (Carica papaya L) terletak pada konsentrasi 0,51141% Nilai LC50 Abate 1% terletak pada konsentrasi 0,00628% Tidak ada perbedaan pengaruh ekstrak daun papaya (Carica papaya L) dengan Abate1% terhadap kematian larva Aedes aegypti .
ISSN 0126-107X
Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo Naue, Uji Efektifitas Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica Papaya L) Terhadap Kematian Larva Instar III Nyamuk Aedes Aegypti
com,//http://posmetropadang.com Akses 15 Februari 2012. 7.
Kristina. 2004. Kajian Masalah Kesehatan Demam Berdarah Dengue. (http://www. litbang.depkes.go.id/maskes/052004/ DEMAMBERDARAH1.pdf diunduh pada tanggal 5 Maret 2012)
8.
Susanna, Dewi., Rahman, A., Pawenang ET. 1999. Potensi Daun Pandan Wangi untuk Membunuh Larva Nyamuk Aedes aegypti. Universitas Indonesia (http://www. ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%202/ DSusana2_2.pdf diunduh pada tanggal 18 Februari 2012)
9.
Alamsyah, Pademi. 2009. Efektivitas Larvasida Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) terhadap Larva Aedes aegypti. Thesis Program Pasca Sarjana Universitas Sriwijaya. (Tidak dipublikasikan)
10. Rahayu, S 2011. Pengaruh Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus Amaryllifolius) Terhadap Larva Instar III Nyamuk Aedes aegypti dan Efektivitas Larvasidanya Dibanding Abate. Karya Tulis Ilmiah Jurusan Analis Kesehatan Palembang (Tidak dipublikasikan)
ISSN 0126-107X
99
PENGARUH ASUPAN ZAT GIZI MAKRO DAN FORMULA ANTIOKSIDAN TERHADAP PERUBAHAN BERAT BADAN PADA PENDERITA KANKER RAWAT JALAN DI RSMH PALEMBANG TAHUN 2012 Rusnelly, Manuntun Rotua Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Penyakit kanker dan metode pengobatan pada penderita kanker seperti kemoterapi, radiasi memberikan dampak menurunnya daya kecap penderita, dan menyebabkan penurunan tingkat asupan gizi penderita, dan akhirnya akan berpengaruh pada memburuknya status gizi penderita. Status gizi yang buruk akan memperpanjang masa penyembuhan, bahkan dapat menyebabkan sulitnya proses penyembuhan, karena status gizi yang buruk menyebabkan lemahnya sistem imun di dalam tubuh. Antioksidan adalah suatu substansi yang berfungsi melindungi tubuh dari radikal bebas, mengobati dan menghambat pertumbuhan kanker. Penambahan formula antioksidan ke dalam asupan penderita kanker dua kali sehari dengan kandungan energi sebesar 250 kkal per porsi, diharapkan dapat meningkatkan asupan zat gizi makro dan mikro penderita kanker. Menurut Almatsier, penambahan zat gizi energi sebesar 500 kkal/hari ke dalam asupan makan dapat menaikkan berat badan sebesar 0,5 kg/minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian formula antioksidan terhadap perubahan berat badan penderita kanker paska kemoterapi. Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen atau pre dan post tes dengan dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Populasi adalah semua penderita kanker paska kemoterapi, dengan metode pengambilan sampel secara pusposiv atau dengan kriteria. Data univariat dianalisis secara diskriftif, analisis data bivariat untuk melihat pengaruh asupan zat gizi makro dan formula antioksidan terhadap perubahan berat-badan penderita kander dengan menggunakan uji T paired dan uji T independent untuk mengetahui perbedaan asupan kelompok perlakuan dan kelompok pembanding. Hasil penelitian menunjukkkan, ada pengaruh yang bermakna asupan zat gizi makro dan formula antioksidan terhadap perubahan berat badan pada kelompok perlakuan (p<0,05), ada perbedaan bermakna asupan zat gizi makro dan formula antioksidan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding (p<0,05) Kata Kunci: Kanker,Kemoterapi, Formula Antioksidan
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Penyakit kanker merupakan penyakit pembunuh nomor dua di dunia, sedangkan di Indonesia penyakit kanker merupakan penyumbang tingkat kematian ketiga terbesar setelah penyakit jantung (Widyaningrum, 2011) Diperkirakan penderita kanker akan bertambah 6,25 juta orang setiap tahun, dan diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru dari setiap 100.000 penduduk. Berdasarkan data Union For International Cancer Control (UICC) dan WHO, angka kematian akibat kanker sebesar 7,8 juta (13 %) dari seluruh kematian dan akan meningkat menjadi 11 juta pada Tahun 2030 (WHO, 2008). Data Rekam medik RSMH Palembang Tahun 2011 menunjukkan angka yang tinggi pada penderita kanker yang di rawat inap dibandingkan dengan penderita penyakit lain. Ada 195 kasus 100
penderita kanker yang dirawat pada bulan April dan bulan Mei 2011. (Rekam Medik RSMH Palembang, 2011) Dampak penyakit kanker adalah menurunnya sistem imunitas penderita, menurunnya selera makan, turunnya berat badan, malnutrisi latrogenik akibat terapi pada penderita kanker, perubahan metabolisme tubuh, malabsorbsi pada kanker saluran cerna. Efek buruk penyakit kanker ini, akan bertambah dengan pengobatan seperti kemoterapi. (Wilkes, 2000) Antioksidan adalah suatu zat yang mempunyai peran dalam melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Antioksidan ada 2 jenis, yaitu primer yang diproduksi oleh tubuh, dan sekunder yang didapat dari luar tubuh, seperti beta karoten, likopen, Vitamin A, C, E, flavonoid. Asupan Vitamin C 1000mg/hari dan beta karoten 30-60 mg/hari dapat meningkatkan sistem imun untuk melawan dan melindungi tubuh terhadap kanker serta infeksi virus dan bakteri (Winarsih, 2007). ISSN 0126-107X
Rusnelly, Manuntun Rotua, Pengaruh Asupan Zat Gizi Makro Dan Formula Antioksidan Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Penderita Kanker Rawat Jalan Di Rsmh Palembang Tahun 2012
Hasil penelitian terhadap 159 sampel yang menjalani bedah kanker ditemukan sebanyak 66 % mengalami malnutrisi serta berisiko mengalami komplikasi pasca bedah (Wilkes, 2000). Pengobatan herbal berasal dari bahan nabati bertujuan untuk meningkatkan imunitas tubuh dan menciptakan lingkungan yang tidak cocok untuk pertumbuhan kanker agar tidak menyebar dan mudah diangkat, bersifat suportif seperti meningkatkan selera untuk makan, menghilangkan rasa sakit serta membuat tubuh segar. Hasil studi di RS Dharmais Jakarta terhadap 15 pasien kanker nasofaring dengan pemberian obat herbal selama 6 pekan dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh pasien kanker (Widowati, 2009) Jenis-jenis antioksidan diantaranya adalah betakaroten yang banyak terdapat dalam wortel dan ubi jalar berwarna orange, likopen zat warna merah, jenis karotenoid yang banyak terdapat pada buah tomat yang mampu mencegah dan mengurangi risiko aneka jenis kanker, khususnya kanker leher rahim, ginjal dan pankreas.(Winarti, 2010) Flavonoid, Vitamin C dan Vitamin E yang banyak ditemukan pada sayuran dan buah-buahan. Konsumsi sayur dan buah 4-5 porsi sehari dengan kandungan Vitamin C 200-300 mg cukup untuk menghambat pertumbuhan kanker, namun untuk melawan kanker dibutuhkan 2000-3000 mg Vitamin C setiap hari. Menurut Linus Pauling dalam bukunya yang berjudul Vitamin C The Common Cold and The Flu, menyarankan konsumsi 1-3 g konsumsi Vitamin C setiap hari (Karyani, 2003) Studi daya terima formula antioksidan pada penderita kanker dengan bahan dasar ubi jalar orange dan wortel pada 30 sampel di RSMH Palembang bulan Februari Tahun 2012 menunjukkan tingkat kesukaan yang baik dalam segi rasa, aroma dan warna (Azmi, 2012) B. Perumusan Masalah Terjadi peningkatan jumlah penderita kanker setiap tahun dan kematian akibat penyakit kanker juga meningkat. Penyakit kanker dan metode pengobatannya menyebabkan banyak permasalahan pada kondisi kesehatan penderita kanker seperti menurunnya sistem imunitas, fungsi pengecapan, dan malabsorbsi pada penderita kanker saluran cerna. Akibat dari permasalahan kesehatan tersebut, menyebabkan turunnya asupan gizi setiap hari yang berakibat menurunnya status gizi penderita. Pemberian diet yang optimal kadang tidak dapat membantu meningkatkan jumlah asupan zat gizi penderita, karena penderita tidak punya selera untuk makan
ISSN 0126-107X
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum : Mengetahui pengaruh asupan zat gizi makro dan formula antioksidan terhadap perubahan berat badan pada penderita kanker rawat jalan di RSMH Palembang Tahun 2012 2. Tujuan Khusus : a. Diketahui karakteristik penderita kanker yang dirawat jalan di RSMH Palembang. b. Diketahui komposisi zat gizi dalam diet penderita kanker dan dalam formula antioksidan penderita kanker yang dirawat jalan di RSMH Palembang. c. Diketahui asupan zat gizi makro penderita kanker yang dirawat jalan di RSMH Palembang. d. Diketahui pengaruh asupan zat gizi makro dan formula antioksidan terhadap perubahan berat badan pada penderita kanker rawat jalan di RSMH Palembang Tahun 2012. e. Diketahui perbedaan asupan zat gizi antara kelompok kasus dan kelompok pembanding penderita kanker paska kemoterapi di RSMH Palembang Tahun 201 D. Hipotesa 1. Ada Pengaruh pemberian Formula antioksidan terhadap perubahan berat badan penderita kanker paska kemoterapi di RSMH Palembang Tahun 2012. 2. Ada perbedaan asupan zat gizi makro antara kelompok kasus dan kelompok pembanding penderita kanker paska kemoterapi di RSMH Palembang Tahun 2012. E. Manfaat Penelitian Memberikan informasi tentang pembuatan makanan formula yang mengandung antioksidan sebagai pendukung untuk meningkatkan kualitas kesehatan bagi penderita penyakit kanker. METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober dan bulan November Tahun 2012. Tempat penelitian di Ruang kebidanan dan ruang penyakit dalam RSUP Dr. Muhammad Hoesin Palembang. B. Jenis dan Rancangan Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian analitik dengan desain kuasi eksperimen dengan rancangan pre dan post test; 01 X 1 02 03 X 0 04 101
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah semua penderita kanker yang sudah menjalani kemoterapi. 2. Sampel Sampel merupakan bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dianggap dapat mewakili populasinya. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunaka secara purposiv atau dengan menetapkan kriteria sampel sebagai berikut: 1) Penderita kanker laki-laki dan perempuan dewasa usia 18-70 Tahun 2) Penderita kanker paska kemoterapi 3) Bersedia dijadikan sampel penelitian 4) Bisa berkomunikasi dengan baik. 3. Kelompok Pembanding Kelompok pembanding diambil dari populasi penderita kanker yang sudah menjalani kemoterapi yang berjumlah sama dengan jumlah sampel dan memenuhi kriteria sampel, namun tidak diberikan perlakuan seperti kelompok sampel kasus. 4. Cara Pengambilan Besar Sampel Sampel diambil menggunakan rumus uji hipotesis dengan 2 proporsi: n1= n2 = (Zα√2PQ + Zß√P1Q1+P2Q2)2 (P1-P2)2 = (1,96√2(0,55x0,45)+0,842√(0,30x0,70)+(0,80x20))² (0,30-0,80)2
= Sampel yang didapat berjumlah 14 orang dan kelompok Pembandingpun berjumlah 14 orang, dibulatkan menjadi 16 Orang sampel dan 16 orang pembanding. P = P1+P2/2 P1 = Efek Kemoterapi (0,30) P2 = Efek Formula Antioksidan dan Kemoterapi (0,80) P1-P2 = Perbedaan klinis ( 0,50) Q = 1-P D. Jenis dan Pengumpulan Data 1. Pengumpulan data primer meliputi: a) Data karakteristik responden (nama, jenis kelamin, umur, dan alamat) diperoleh melalui wawancara lansung kepada responden dengan menggunakan alat bantu kuesioner. Dilakukan oleh enumerator terlatih lulusan D-III Gizi 102
Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Dep.Kes Palembang. b) Data berat badan kelompok perlakuan dan kelompok pembanding awal dan akhir perlakuan diambil dengan penimbangan langsung oleh enumerator terlatih lulusan D-III Gizi Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Dep. Kes Palembang. c) Data asupan zat gizi makro dan formula antioksidan sampel dan kelompok pembanding diambil dengan cara mencatat menu yang disajikan selama 14 hari, dan mengkonversi nilai gizi dengan software secara komputerisasi 2. Pengumpulan data sekunder meliputi: a). Gambaran umum lokasi penelitian b). Diagnosa medis, riwayat penyakit diambil dari berkas rekam medik penderita di instalasi rawat inap bedah dewasa RSUP Dr. Muhammad Hoesin Palembang. E. Alat Pengumpul Data: a. Kuisionair penelitian b. Timbangan berat badan injak (Bathroom Scale) dengan ketelitian 0,1 kg c. Alat ukur tinggi badan (Microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm F. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data. 1. Pengolahan data: a. Editing Data (pemeriksaan data) Data-data yang didapat dari instrumen penelitian diteliti kembali, apakah isian pada lembar kuesioner atau formulir sudah cukup baik dan dapat diproses lebih lanjut. Dan juga digunakan untuk melengkapi informasi jika terjadi kesalahan data yang diperoleh pada saat pengambilan data lapangan. b. Coding Data Pemberian code yang mengacu pada daftar pertanyaan. Data yang masuk diubah dalam bentuk yang ringkas dengan menggunakan kode–kode agar kode tersebut mudah dimengerti maka disediakan kunci yang menjelaskan kode yang dituangkan dalam buku kode. c. Entry Data ( memasukkan data ) Memindahkan data dari kuesioner atau formulir yang sudah diberi kode ke bentuk sorting card. d. Tabulating (tabulasi data ) Data-data dipindahkan dari sorting card ke dalam tabel data, baik data tabel tunggal atau tabel silang. ISSN 0126-107X
Rusnelly, Manuntun Rotua, Pengaruh Asupan Zat Gizi Makro Dan Formula Antioksidan Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Penderita Kanker Rawat Jalan Di Rsmh Palembang Tahun 2012
e. Cleaning Data Setelah pemasukan data selesai, dilakukan proses untuk menguji kebenaran data sehingga dapat masuk benar-benar bebas dari kesalahan. 1. Analisis data a. Data univariat dianalisis secara diskriftip. b. Data bivariat dianalisis dengan uji T berpasangan dan uji T independent untuk mengetahui perbedaan asupan zat gizi antara kelompok kasus dan kelompok pembanding 2. Penyajian data Penyajian data menggunakan tabel silang atau tabel distribusi frekuensi
B.
Hasil analisis data tentang karakteristik pasien kanker pasca kemoterapi berdasarkan jenis kelamin, umur, pendidikan dan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik Pasien kanker pasca kemoterapi Berdasarkan Jenis kelamin, Umur, Pendidikan dan Pekerjaan No 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Gambaran Umum Tempat Penelitian
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang didirikan pada tahun 1953 atas prakarsa Menteri Kesehatan RI Dr. Mohammad Ali (Dr. Lee Kiat Teng) dengan biaya pemerintah pusat. RSUP Dr. Mohammad Ali dengan kapasitas 78 tempat tidur dan menjadi rumah sakit rujukan di wilayah Sumatera Selatan yang meliputi Lampung, Bengkulu dan Jambi, dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Palembang. Pada tahun 1972 Rumah Sakit Umum Pusat Palembang ditetapkan sebagai Rumah Sakit Type B, dan resmi menggunakan nama RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada tanggal 4 Oktober 1997 berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI Nomor 297/Menkes/SK/XI/1997 dan sebagai rumah sakit swadana berdasarkan surat keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 549/SK/IV/1994. Pada tahun 2005 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1234/Menkes/SK/ VIII/2005, tanggal 11 Agustus 2005 menetapkan sebagai rumah sakit perusahaan jawatan (PERJAN) dan Badan Layanan Umum dilaksanakan pada bulan Januari 2006. Pada tanggal 12 Agustus 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 634/ Menkes/SK/VIII/2009, RS Dr Mohammad Hoesin Palembang berubah tipenya menjadi type A dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 1078 unit, serta sebagai pusat rujukan layanan kesehatan seSumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka Belitung.
ISSN 0126-107X
Karakteristik Pasien Kanker Pasca Kemoterapi Berdasarkan Jenis kelamin, Umur, Pendidikan dan Pekerjaan
2.
3.
4.
Karakteristik Pasien Jenis kelamin • Laki-laki • Perempuan Umur • <35 tahun • 35-40 tahun • >40 tahun Pendidikan • Pendidikan Dasar • Pendidikan Menengah Pekerjaan • Bekerja • Tidak bekerja
Frekwensi Persentase (n) (%) 9 23
28,1 71,9
2 8 22
6,25 25,00 68,75
25
78,10
7
21,90
16 16
50,00 50,00
Pada tabel 6 dapat ditarik kesimpulan pada penelitian ini penderita kanker kebanyakan berjenis kelamin wanita yaitu 23 ( 71,9 %) , hal ini sejalan dengan data yang ada yaitu 50 % penderita karsinoma skuamosa adalah wanita, kanker usus besar sering terjadi pada wanita (Sastrosudarmo, 2012). Usia penderita kanker pada penelitian ini sebanyak 22 orang (68,75 %) berusia > 40 Tahun, menurut data yang ada usia penderita kanker karsinoma Skuamosa berusia 50-70 Tahun, kanker usus besar usia > 40 Tahun, kanker otak 40-60 Tahun, leukimia > 55 Tahun (Sastrosudarmo, 2012). Tingkat pendidikan penderita kanker dalam penelitian ini sebanyak 25 orang (78,10 %) dengan pendidikan dasar. Diduga tingkat pendidikan penderita kanker ada kaitannya dengan penyakit kanker yang diderita, karena tingkat pendidikan akan berpengaruh pada tingkat pengetahuan seseorang.Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan yang dimiliki akan sangat penting untuk terbentuknya suatu tindakan, dalam hal ini tindakan dalam memilih bahan makanan 103
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
yang akan dikonsumsi yang akan membentuk pola makan tertentu pada seseorang (Notoatmodjo, 2008). Faktor risiko terjadinya penyakit kanker diantaranya adalah pola makan, penelitian di Universitas California membuktikan bahwa pola makan tinggi karsinogen dan kurangnya asupan antioksidan berisiko untuk menderita penyakit kanker. Ada korelasi statistik antara insiden penyakit kanker, dengan kadar antioksidan yang rendah dalam darah atau dalam makanan (Mangan dan murray, 2003) C.
Analisis Univariat
1.
Asupan zat gizi
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Asupan Energi Responden No 1 2
Asupan Energi Kurang Baik Total
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Asupan Lemak Responden No 1 2
Total responden sebanyak 32 orang dengan sampel perlakuan ada 16 orang dan pembanding ada 16 orang yang diambil dengan metode recall asupan energi. Asupan energi baik pada sampel perlakuan sebesar 68,8% sedangkan pada sampel pembanding yang asupan energinya baik sebesar 12,5 %. Distribusi frekuensi asupan energi responden dapat dilihat pada Tabel 7.
Perlakuan n % 5 31.3 11 68.8 16 100
ada 16 orang yang diambil recall asupan lemak. Asupan lemak baik pada sampel perlakuan sebesar 25 % sedangkan pada sampel pembanding yang asupan lemaknya baik sebesar 6,2 %. Distribusi frekuensi asupan lemak responden dapat dilihat pada Tabel 9.
Pembanding n % 14 87.5 2 12.5 16 100
Asupan Protein Total responden sebanyak 32 orang dengan sampel perlakuan ada 16 orang dan pembanding ada 16 orang yang diambil recall asupan protein. Asupan protein baik pada sampel perlakuan sebesar 50 % sedangkan pada sampel pembanding yang asupan proteinnya baik sebesar 25 %. Distribusi frekuensi asupan protein responden dapat dilihat pada Tabel 8.
No 1 2
Asupan Protein Kurang Baik Total
Perlakuan N % 8 50 8 50 16 100
Pembanding n % 12 75 4 25 16 100
Asupan Lemak Total responden sebanyak 32 orang dengan sampel perlakuan ada 16 orang dan pembanding
Pembanding n % 15 93.8 1 6.2 16 100
Asupan Karbohidrat Total responden sebanyak 32 orang dengan sampel perlakuan ada 16 orang dan pembanding ada 16 orang yang diambil recall asupan karbohidrat. Asupan karbohidrat baik pada sampel perlakuan sebesar 93,8 % sedangkan pada sampel pembanding yang asupan karbohidratnya baik sebesar 31,2 %. Distribusi frekuensi asupan karbohidrat responden dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Distribusi Frekuensi Asupan Karbohidrat Responden No 1 2
Asupan Karbohidrat Kurang Baik Total
Perlakuan N % 1 6.2 15 93.8 16 100
Pembanding n % 11 68.8 5 31.2 16 100
Asupan Vitamin A Asupan vitamin A diambil melalui recall dan untuk perlakuan diberikan formula antioksidan berupa smothy dan bolu kukus sedangkan pembanding tidak diberikan formula antioksidan. Asupan vitamin A baik pada sampel perlakuan sebesar 100 % sedangkan pada sampel pembanding yang asupan vitamin A nya baik sebesar 56,2 %. Distribusi frekuensi asupan vitamin A responden dapat dilihat pada Tabel 11. d.
Tabel 11 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin A Responden No 1 2
b.
104
Kurang Baik Total
Perlakuan N % 12 75 4 25 16 100
c.
a.
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Asupan Protein Responden
Asupan Lemak
Asupan Vitamin A Baik Kurang Total
Perlakuan N % 16 100 0 0 16 100
Pembanding n % 9 56,2 7 43,8 16 100
ISSN 0126-107X
Rusnelly, Manuntun Rotua, Pengaruh Asupan Zat Gizi Makro Dan Formula Antioksidan Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Penderita Kanker Rawat Jalan Di Rsmh Palembang Tahun 2012
Asupan Vitamin C Asupan vitamin C diambil melalui recall dan untuk perlakuan diberikan formula antioksidan berupa smothy dan bolu kukus sedangkan pembanding tidak diberikan formula antioksidan. Asupan vitamin C kurang pada sampel perlakuan sebesar 6,2% sedangkan pada sampel pembanding yang asupan vitamin C nya kurang sebesar 43,8 %. Distribusi frekuensi asupan vitamin C responden dapat dilihat pada Tabel 12. e.
Tabel 12 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin C Responden No 1 2
Asupan Vitamin C Baik Kurang Total
Perlakuan n % 15 93.8 1 6.2 16 100
Pembanding n % 9 56,2 7 43,8 16 100
Asupan Vitamin E Asupan vitamin E diambil melalui recall dan untuk perlakuan diberikan formula antioksidan berupa smothy dan bolu kukus sedangkan pembanding tidak diberikan formula antioksidan. Asupan vitamin E kurang pada sampel perlakuan sebesar 93,8 % sedangkan pada sampel pembanding yang asupan vitamin E nya kurang sebesar 100 %. Distribusi frekuensi asupan vitamin E responden dapat dilihat pada Tabel 13. f.
Tabel 13 Distribusi Frekuensi Asupan Vitamin E Responden No 1 2
Asupan Vitamin E Baik Kurang Total
Perlakuan n % 1 6.2 15 93.8 16 100
Pembanding n % 0 0 16 100 16 100
Perubahan Berat Badan Perubahan berat badan pada sampel perlakuan yang mengalami peningkatan sebesar 68,8 % dan berat badan nya tetap 31,2%. Sedangkan pada sampel pembanding terjadi penurunan berat badan sebesar 43,8 % dan tetap sebesar 56,2 %. Distribusi frekuansi perubahan berat badan responden dapat dilihat pada Tabel 14. 2.
ISSN 0126-107X
Tabel 14 Distribusi Frekuensi Perubahan Berat Badan Responden No 1 2 3
D.
Perubahan Berat Badan Meningkat Tetap Menurun Total
Perlakuan N % 11 68.8 5 31.2 0 0 16 100
Pembanding n % 0 0 9 56.2 7 43.8 16 100
Analisis Bivariat
Tabel 15 Pengaruh Asupan Zat Gizi makro dan Formula antioksidan Terhadap Perbahan Berat badan Kelompok Perlakuan Rata-rata Asupan Kelompok Perlakuan
Rata-rata Berat Badan Awal Penelitian
Akhir Penelitian
P Value
E=1585 kkal
0,000
P=
60 g
0,000
L=
30 g
0,000
Kh= 277 g
49 kg
51 kg
0,000
Vit. A= 3828 UI
0,000
Vit. C= 110 mg
0,000
Vit. E=
0,000
4 µg
Pada tabel 15 hasil uji T berpasangan (T Paired) menunjukkan semua asupan zat Gizi berpengaruh secara bermakna (p<0,05) terhadap perubahan berat badan (kenaikan berat badan) kelompok perlakuan. Kenaikan berat badan terjadi pada 11 (68,8 %) orang sedangkan 5 orang (31,2 %) dengan berat badan tetap, dan tidak ada sampel yang mengalami penurunan berat badan. Perlakuan berupa pemberian formula antioksidan pada kelompok perlakuan diharapkan dapat meningkatkan asupan zat izi makro dan mikro, sehingga penurunan asupan zat gizi akibat penyakit kanker dan pengobatan kemoterapi seperti mual, anoreksia, katabolisme yang cepat dapat dikoreksi. Makanan adalah bahan selain obat kimia yang mengandung zat gizi makro, mikro dan bahan fitokimia (antioksidan) yang sangat dibutuhkan oleh tubuh dalam kondisi sehat maupun sakit. Antioksidan merupakan substansi penting yang melindungi tubuh dari radikal bebas. Anti oksidan juga merupakan fitokimia yang dalam kadar tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan sel dan proses oksidasi (Winarti, 2010) Makanan yang dipilih dengan baik memberikan semua kebutuhan zat gizi, sebaliknya bila makanan tidak dipilih dengan baik, maka tubuh akan mengalami 105
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
kekurangan zat gizi esensial tertentu (Almatsier, 2003). Penelitian Irmawati (2006) menunjukkan bahwa dengan meningkatnya asupan konsumsi energi akan diikuti dengan semakin membaiknya status gizi. Merujuk penelitian yang dilakukan Dwiyanti Tahun 2004, bahwa pasien dengan asupan zat gizi kurang mempunyai risiko 2,1 kali lebih besar untuk mengalami malnutrisi. Selain asupan zat gizi yang adekuat pada penderita kanker, dalam penelitian ini juga faktor motivasi berperan penting dalam peningkatan asupan makanan, karena dengan motivasi yang kuat untuk sembuh dari penyakit yang diderita, maka akan memberikan semangat untuk menghabiskan makanan atau diet yang disajikan baik di rumah sakit atau ketika sudah menjalani proses penyembuhan di rumah Tabel 16 Pengaruh Asupan Zat Gizi makro Terhadap Perbahan Berat badan Kelompok Pembanding Rata-rata Asupan Kelompok Pembanding E
Rata-rata Berat Badan Awal Penelitian
Akhir Penelitian
=1133kkal
P Value 0,000
P
=
43 g
0,000
L
=
20 g
0,000
Kh
= 192 g
50 kg
48 kg
0,000
Vit. A = 686 UI
0,001
Vit. C = 61 mg
0,003
Vit. E = 0,9 µg
0,017
Pada tabel 16 hasil uji T berpasangan (T Paired) menunjukkan semua asupan zat gizi berpengaruh secara bermakna (p<0,05) terhadap perubahan berat badan (penurunan berat badan) kelompok pembanding. Tidak ada kenaikan berat badan pada sampel, berat badan tetap sebanyak 9 orang sampel (56,2 %, sedangkan sampel dengan berat badan turun sebanyak 7 orang (43,8 %). Hasil penelitian menunjukkan dengan tidak ditambahkan formula antioksidan pada kelompok pembanding maka rata-rata asupan zat gizi makro dan mikro kurang dari kebutuhan.Pada umumnya penderita penyakit kanker mempunyai keseimbangan nitrogen yang negatif, akibat kaheksia atau malnutrisi berat. Secara garis besar penyebab kaheksia adalah perubahan metabolisme, malnutrisi latrogenik, malabsorbsi dan mediator protein sitokin (Wilkes,2000). Penderita kanker mengalami perubahan metabolisme energi, protein, dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Sebagian 106
besar penderita kanker mengalami hipermetabolisme ringan dan terjadi peningkatan keluaran energi 138289 kkal/hari. Bila keadaan ini tidak disertai dengan dukungan nutrisi yang adekuat, maka akan terjadi penurunan massa lemak sebesar 0,5-1 kg/bulan atau 1,2-2,3 kg massa otot. Kemoterapi adalah pengobatan yang bertujuan untuk memperlemah dan menghancurkan sel-sel kanker dalam tubuh, melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Dengan demikian pengobatan kanker dengan kemoterapi diharapkan dapat menghancurkan sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhan dan perkembang biakan sel-sel kanker yang baru (Pamungkas, 2011) Namun sebagian besar pasien kanker yang menjalani pengobatan kemoterapi mengalami gangguan sistem pencernaan akibat pengobatan seperti mual, anoreksia, penurunan berat badan yang signifikan dan diiringi dengan penurunan sistem imunitas tubuh. Pada penelitian ini ditemukan pasien kanker yang mendapat dukungan formula antioksidan selama 2 minggu (14 hari) tidak ada yang mengalami penurunan berat badan, sedangkan pada pasien yang tidak mendapatkan dukungan formula antioksidan, 9 orang pasien (56,2 %) dengan berat badan tetap dan sampel dengan berat badan turun sebanyak 7 orang (43,8 %). Pemberian asupan antioksidan dengan jumlah tertentu dapat melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit, menurunkan risiko kanker, meningkatkan sistem imunitas, membuang racun dalam organ tubuh, mendorong pembentukkan sel darah merah, serta meningkatkan kesehatan jantung dan peredaran darah, membantu penyembuhan luka. Sumber antioksidan dapat diperoleh dari berbagai jenis buah (apel, anggur, sirsak, jeruk, strowberi, dll) dan sayur (wortel, tomat, bit, brokoli,kubis, dll (Selby, 2004) Hasil penelitian menunjukkan dengan pemberian vitamin A dengan kadar tinggi dapat menghentikan pertumbuhan kanker, khususnya kanker kulit dan kanker payudara (As Sayyid, 2007) Tabel 17 Perbedaan Asupan Zat Gizi makro, Zat Gizi mikro Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pembanding Rata-rata Asupan Kelompok Perlakuan
Rata-rata Asupan Kelompok Pembanding
E=1585 kkal
E
P=
60 g
P
=
43 g
0,036
L=
30 g
L
=
20 g
0,036
Kh= 277 g
Kh
= 192 g
Vit. A= 3828 UI
Vit. A = 686 UI
0.000
Vit. C= 110 mg
Vit. C = 61 mg
0.072
Vit. E=
Vit. E = 0,9 µg
0.000
4 µg
=1133kkal
P Value 0,001
0,001
ISSN 0126-107X
Rusnelly, Manuntun Rotua, Pengaruh Asupan Zat Gizi Makro Dan Formula Antioksidan Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Penderita Kanker Rawat Jalan Di Rsmh Palembang Tahun 2012
Pada tabel 17 dapat dilihat bahwa semua asupan zat gizi kelompok perlakuan dan kelompok pembanding berbeda secara bermakna (p<0,05), sedangkan asupan vitamin C tidak ada perbedaan secara bermakna (p>0,05) Tabel 18 Perbedaan Perubahan Berat Badan Awal dan akhir Penelitian Kelompok Perlakuan dan Kelompok Pembanding Kelompok Perlakuan Rata-rata Rata-rata BB BB Awal Akhir 49 kg 51 kg
P Value
0,012
Pada tabel 18 menunjukkan bahwa perubahan berat badan pada kedua kelompok penelitian setelah diuji secara statistik bermakna meningkat (p<0,05) pada kelompok perlakuan dan bermakna menurun (p<0,05) pada kelompok pembanding. Perbedaan perubahan berat badan pada kedua kelompok penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan hampir semua asupan zat gizi makro dan mikro,dan pada kelompok perlakuan juga diberikan motivasi untuk menghabiskan semua makanan yang disajikan atau dianjurkan. Dari hasil penelitian ini ada pengaruh yang bermakna (p<0,05) pada semua jenis asupan zat gizi makro dan mikro, pada kedua kelompok penelitian. Pada kelompok perlakuan ada pengaruh bermakna jumlah asupan zat gizi makro dan mikro terhadap perubahan berat badan (meningkat), pada kelompok pembanding ada pengaruh yang bermakna jumlah asupan zat gizi makro dan mikro terhadap perubahan berat badan (menurun). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Jenis kelamin penderita kanker paskah kemoterapi 71,9 % (23 orang) adalah wanita dan 28,1 % (9 orang) adalah pria. 2. Umur penderita kanker paskah kemoterapi 68,75 % (22 orang) > 40 tahun, dan umur Tahun 31,25 % (10 orang) < 40 Tahun 3. Pendidikan penderita kanker paskah kemoterapi 78,10 % (25 orang) pendidikan dasar dan 21,90 % (7 orang) pendidikan menengah. 4. Rata-rata berat badan awal kelompok perlakuan 49 kg dan rata-rata berat badan diakhir penelitian adalah 50 kg, dan rata-rata berat badan awal kelompok pembanding 50 kg dan rata-rata berat badan diakhir penelitian adalah 48 kg.
ISSN 0126-107X
Kelompok Pembanding Rata-rata Rata-rata BB BB Awal Akhir 50 kg 48 kg
PValue
0,040
5. Rata-rata asupan zat gizi kelompok perlakuan adalah E=1585 kkal, P=60 gram, L=30 gram, Kh=277 gram, Vitamin A=3828 UI, Vitamin C= 110 mg, Vitamin E= 4 µg, dan rata – rata asupan zat gizi kelompok pembanding adalah E=1133 kkal, P= 43 gram, L= 20 gram, Kh= 192 gram, Vitamin A= 686 UI, Vitamin C= 61mg, Vitamin E= 0,9 µg 6. Ada pengaruh bermakna pemberian asupan zat gizi makro dan formula antioksidan terhadap perubahan berat badan penderita kanker paskah kemoterapi di RSMH Palembang (p<0,05) 7. Ada perbedaan bermakna asupan zat gizi makro, zat gizi mikro dan perubahan berat badan antara kelompok perlakuan dan kelompok pembanding (p<0,05) Saran 1. Sebaiknya pasien kanker paskah kemoterapi yang dirawat di Rumah Sakit diberikan terapi gizi berupa formula khusus yang mengandung antioksidan dan diberikan motivasi secara kontinyu untuk menghabiskan makanan yang disajikan, karena dengan asupan makanan yang baik akan berdampak pada kenaikan berat badan dan sistim kekebalan (imunitas) pada penderita dan diharapkan dapat mempercepat proses pemulihan. 2. Perlu penelitian lebih lanjut pengaruh asupan zat gizi makro dan formula antioksidan pada penderita kanker paskah kemoterapi dengan sampel yang lebih banyak dan waktu yang lebih lama.
107
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2008. Penuntun Diet Edisi Terbaru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama As-Sayyid, M. 2007. Pola Makan Rosulullah, Makanan Sehat Berkualitas Menurut AlQur’an dan As-Sunnah.Jakarta: Almahera. Arisman, MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Cornelia, dkk.2011. Penuntun Konseling Gizi, Jakarta: PT. Abadi Eldrige, B.2004. Medical Nutrition Theraphy For Cancer Prevention Treatmen And Recovery. In Mahan & Escott-Stump.eds. Food Nutrition & Diet Theraphy. Philadelphia: Saunders.
Persagi. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Kompas Gramedia:Jakarta Pamungkas, Z. 2011. Deteksi Dini Kanker Payudara. Yogyakarta: Buku Biru. RSMH, 2011. Data 10 Penyakit Terbanyak Di Instalasi Rawat Inap Bedah Palembang Selby, Anne. 2005. Makanan Berkhasiat. Jakarta: Erlangga. Sitorus,R.2006. 3 Jenis Penyakit Pembunuh Utama Manusia. Bandung: Yrama Widya Sastroasmoro, Ismael, 2002. Dasa-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta:Sagung Seto. Sastrosudarmo, WH. 2012. Kanker The Silent Killer. Jakarta: Garda Media.
Hartono, Andry. 2006. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta: EGC
Uripi, Vera. 2002. Menu Untuk Penderita Kanker. Jakarta: Puspa Swara
Irmawati. 2006. Hubungan Antara Konsumsi Makanan dengan Perubahan Status Gizi Pasien di Ruang Rawat Inap RSUD Banyumas. Yogyakarta: Tesis Program Pasca Sarjana UGM.
Winarno, 1997. Kimia Makanan dan Minuman. Jakarta: Graha Ilmu
Kartasapoetra, G & Marsetyo, H. 2003. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktifitas Kerja, Jakarta: Rineka Cipta. Karyani, Indah. 2003. Mencegah Penyakit Degeneratif dengan Makanan. Jakarta: Majalah Cermin Kedokteran.
Wilkes, M,2000. Gizi pada kanker dan Infeksi HIV. Jakarta:ECG Winarti, Sri. T. 2010. Makanan Fungsional. Yogyakarta: Graha Ilmu Widyaningrum, Herlina. 2011. Sirsak Si Buah Ajaib.Yogyakarta: Med Press Youngson, R. 2005. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.
Kementerian RI. 2005. Angka Kecukupan Gizi. Jakarta Linder, Maria, C. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI-Perss Lampa dalam Winarsi, H.2007 Antioksidan Alami dan Radikal bebas, Yogyakarta: Kanisius Malau, L. Angaka kematian Akibat Kanker Meningkat http://news.okezone.come/ index,/2008/02/021 Mangan, Y.2003. Cara bijak menaklukkan kanker, Jakarta:Agromedia Meydani dalam Winarsi, H.2007. Antioksidan Alami dan Radikal bebas, Yogyakarta: Kanisius Murtiningsih dan Suryani. 2011. Membuat Tepung Umbi dan Hasil Olahannya. Jakarta: Argo Media Pustaka Maskoep, Wiwiek. Terapi Nutrisi Pada Penderita Kanker. Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU dr. Soetomo-FK UNAIR Surabaya. 108
ISSN 0126-107X
HUBUNGAN PARITAS DAN PEKERJAAN AKSEPTOR DENGAN PEMAKAIAN KONTRASEPSI IMPLANT DI BPS KRESNA HAWATI KEL. KARANG JAYA PALEMBANG TAHUN 2012 A.Kadir Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif paling dasar dan utama bagi wanita. Peningkatan dan perluasan KB merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita (Maryani, 2008). KB merupakan program pemerintah untuk menekan jumlah penduduk di Indonesia, implant termasuk salah satu MKET yang efektifitasnya mencegah kehamilan 99%. Di Sumatera Selatan pemakaian implant hanya 16,43%, dan di Palembang hanya terdapat 13,76%. Berdasarkan data yang didapat dari berbagai sumber didapatkan bahwa akseptor KB aktif yang menggunakan implant masih sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk diketahui hubungan paritas dan pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012. Desain penelitian ini menggunakan survey analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah penggunaan kontrasepsi implant berdasarkan rekam medik terdapat 70 akseptor yangmenggunakan kontrasepsi implant dan 267 akseptor yang menggunakan kontrasepsi hormonal lainnya dan sampelnya adalah sebagian populasi dengan pendekatan sistematik random sampling dengan interval sampel. Masing-masing variabel telah diuji dengan menggunakan uji statistik untuk mengetahui hubungan paritas dan pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan dari 337 sampel, didapatkan yang menggunakan implant sebesar 20,8%, dan akseptor yang menggunakan implant berparitas tinggi sebesar 24,1%, akseptor menggunakan implant yang berkerja sebesar 24,5%. Hasil uji statistik pada paritas p value =0,017 < 0,05 pada pekerjaan p value = 0,003 < 0,05 yang menunjukkan adanya hubungan bermakna antara paritas dan pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan petugas kesehatan bekerja sama dengan petugas KB dapat meningkatkan penyuluhan KB dengan mengembangkan konseling mengenai kontrasepsi implant. Kata Kunci : Pemakaian Kontrasepsi Implant, Paritas dan Pekerjaan
PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan kependudukan terjadi akibat adanya perubahan yang terjadi secara alami maupun karena perilaku yang terkait dengan upaya memenuhi kebutuhannya. Perubahan alami tersebut adalah karena kematian dan kelahiran (Meilani, dkk 2010). Tingginya laju pertumbuhan yang diiringi peningkatan kualitas penduduk terus dilakukan upaya penanganan yaitu dengan program keluarga berencana. Salah satu upaya yang dilakukan dalam mensukseskan program keluarga berencana tersebut adalah memberikan pelayanan yang bermutu dan sesuai kebutuhan (Handayani, 2010 ). Tujuan umum program Keluarga Berencana (KB) untuk lima tahun kedepan adalah mewujudkan visi dan misi program KB yaitu membangun kembali dan melestarikan pondasi yang kokoh bagi pelaksana program KB dimasa mendatang untuk mencapai ISSN 0126-107X
keluarga berkualitas tahun 2015 (Handayani, 2010). Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) seiring dengan perubahan paradigma di masyarakat dalam pengelolahan KB Nasional, ingin menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar. Rencana dan strategi BKKBN adalah merumuskan kembali tujuannya yaitu : ” Seluruh keluagra ikut KB dan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera ”(Meilani, dkk 2010). Status pekerjaan dapat berpengaruh terhadap keikutsertaan dalam Keluarga Berencana (KB) karena adanya faktor pengaruh lingkungan pekerjaan yang mendorong seseorang untuk ikut dalam KB, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi status dalam pemakaian kontrasepsi (Siregar, 2010). Menurut penelitian Arianti (2008), menyatakan bahwa wanita yang berkerja lebih besar peluangnya untuk menggunakan kontrasepsi implant. Di Sumatra Selatan pada tahun 2009 Pasangan Usia Subur (PUS) berjumlah sebanyak 1.484.036 orang, sedangkan peserta KB aktif 109
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
sebanyak 1.161.157 orang. Dengan rincian untuk peserta yang menggunakan kontrasepsi Suntik 484.876 akseptor (41,76%), Pil sebesar 340.083 akseptor (29.29%), Implant sebesar 196.382 akseptor (16,91%), IUD sebesar 45.157 akseptor (3,89%), MOW sebesar 39.224 akseptor (3,38%), MOP sebesar 4.381 akseptor (0,38%), Kondom sebesar 51.054 akseptor (4,40%). Sedangkan tahun 2010 PUS berjumlah 1.608.664 orang, peserta KB aktif sebanyak 1.285.105 orang. Untuk peserta kontrasepsi Suntik sebesar 538.174 akseptor (33,45%), Pil sebesar 352.807 akseptor (21,93%), Implan sebesar 221.466 akseptor (13,76%), Kondom sebesar 71.322 akseptor (4.43%), IUD sebesar 56.027 akseptor (3,48%), MOW sebesar 40.050 akseptor (2,48%), dan MOP sebesar 5.259 akseptor (0,32%) (BKKBN, 2011). Di kota Palembang jumlah Pasangan Usia subur (PUS) tahun 2010 berjumlah 272.628 orang, peserta KB Aktif sebanyak 224.474 orang. Dengan rincian untuk peserta akseptor suntik sebesar 87.529 akseptor (32,10%), Pil sebesar 58.394 akseptor (21,41%), Implan sebesar 28.425 akseptor (10,42%), IUD sebesar 17.995 akseptor (6,60%), Kondom sebesar 16.679 akseptor (6,11%), MOW sebesar 14.428 akseptor (5,29%), dan MOP sebesar 1.024 akseptor (0,37%). (BKKBN, 2011) Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kresna Hawati Palembang tahun 2010 jumlah peserta KB aktif sebanyak 2.053 orang akseptor. Dari jumlah tersebut untuk peserta akseptor Suntik sebesar 1.467 akseptor (71,45%), Pil sebesar 488 akseptor (23,8%), Kondom sebesar 63 akseptor (3,07%), Implant sebesar 30 akseptor (1,47%) dan sisanya kontrasepsi IUD sebesar 5 akseptor (0,25%), sedangkan pada tahun 2011 jumlah peserta KB aktif sebanyak 2.132 orang akseptor. Dari jumlah tersebut pesertaakseptor Suntik sebesar 1.444 akseptor (67,8%), Pil sebesar 531 akseptor (24,9%), Kondom sebesar 87 akseptor (4,08%), Implant sebesar 70 akseptor (3,29%), dan Kontrasepsi IUD (0%). Data tersebut diatas menunjukan bahwa pengguna metode kontrasepsi selalu didominasi oleh metode kontrasepsi suntik dan pil. Hal ini bertolak belakang dengan program pemerintah yang telah menetapkan kebijakan untuk lebih mendorong pemakaian Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih ( MKET) seperti Implant, IUD, MOW, MOP, Semakin banyak pengguna kontrasepsi suntik dan pil, secara otomatis pengguna kontrasepsi Implant, IUD, dan kontrasepsi mantap semakin sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak pengguna kontrasepsi yang kurang efisien serta memiliki jangka penggunaan sesuai kebutuhan.
110
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Diketahuinya hubungan paritas dan pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi Implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012. 2. Tujuan Khusus a) Diketahuinya distribusi frekuensi pemakaian kontrasepsi Implantdi BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 b) Diketahuinya distribusi frekuensi Paritas akseptor di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 c) Diketahuinya distribusi frekuensi Pekerjaan akseptor di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 d) Diketahuinya hubungan Paritas dengan pemakaian kontrasepsi Implant diBPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 e) Diketahuinya hubungan Pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi Implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012. Hipotesis 1.
2.
Ada Hubungan Paritas dengan Pemakaian Kontrasepsi Implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 Ada Hubungan Pekerjaan akseptor dengan Pemakaian Kontrasepsi Implantdi BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012
METODE PENELITIAN a.
Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, metode yang akan digunakan adalah Survey Analitik dengan pendekatan Cross Section dimana pada pengumpulan dan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2005). b. Populasi Penelitian dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua akseptor KB Aktif di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2011 yang berjumlah 2.132 akseptor KB.
ISSN 0126-107X
Lukman , Sumitro Adi Putra, Azwaldi, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kecemasan Pasien Preoperasi Di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2010: Quasi Eksprimen
2. Sampel Penelitian Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagian dari akseptor KB aktif yang tercatat di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2011 dengan teknik pengambilan sampel yang digunakan secara acak
sederhana (Systematic Random Sampling). Sampel yang diambil secara acak atau random hanya unsur pertama, selanjutnya diambil secara sistematik sesuai dengan interval yang diperoleh dari hasil perhitungan. Didapatkan jmlah sampel sebayak 337 responden.
HASIL PENELITIAN a.
Hubungan Paritas Akseptor dengan Pemakaian Kontrasepsi Implant
Tabel 1 Distribusi Hubungan Paritas Akseptor dengan Pemakaian Kontrasepsi Implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 No
Paritas Akseptor
1 2
Tinggi Rendah Jumlah
Pemakaian Kontrasepsi Implant Ya Tidak n % n % 60 24,1 189 75,9 10 11,4 78 88,6 70 267
Jumlah n 249 88 337
ρ Value
% 100 100
0,017 Bermakna
Pada tabel 1 didapatkan dari 249 responden dengan kategori paritas tinggi yang memakai kontrasepsi implant sebanyak 60 responden (24,1%), dan dari 88 responden dengan kategori paritas rendah yang memakai kontrasepsi implant sebanyak 10 responden (11,4%). Berdasarkan uji statistik Chi-Square didapatkan ρ value< α (0,017<0,05), ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara paritas akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012.Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara paritas dengan pemakaian kontrasepsi implant terbukti secara statistik. b.
Hubungan Pekerjaan Akseptor dengan Pemakaian Kontrasepsi Implant
Tabel 2 Distribusi Hubungan Pekerjaan Pekerjaan Akseptor dengan Pemakaian Kontrasepsi Implant di BPSKresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 No 1 2
Pekerjaan Akseptor Bekerja Tidak Bekerja Jumlah
Pemakaian Kontrasepsi Impalnt Ya Tidak n % n % 64 24,5 197 75,5 6 7,9 70 92,1 70 267
Pada tabel 2 didapatkan dari 261 responden yang bekerja dan memakai kontrasepsi implant sebanyak 64 responden (25,5%) dan dari 76 responden yang tidak bekerja memakai kontrasepsi implant sebanyak 6 responden (7,9%). Berdasarkan uji statistik Chi-Square didapatkan nilai ρ value< α (0,003 < 0,05), ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi ISSN 0126-107X
Jumlah n 261 76 337
% 100 100
ρ Value
0,003 Bermakna
implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2011.Sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada hubungan antara pekerjaan dengan pemakaian kontrasepsi implant terbukti secara statistik.
111
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di BPS Kresna Hawati Palembang pada bulan Desember 2012. Metode yang digunakanadalah metode analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh akseptor KB aktif yang ada di BPS Kresna Hawati Palembang periode 1 Januari-31 Desember 2012 yang berjumlah 2.132 responden. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik systematik random sampling dan diperoleh besar sampel sebanyak 337 orang. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder berupa rekam medik akseptor. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan diolah dan dilakukan analisis yang terdiri dari analisis univariat dan analisis bivariat. Pada analisis bivariat menggunakan uji statistik Chi square dengan batas kemaknaan a = 0,05, jika p value >a artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel yang di lakukan secara komputerisasi. a.
Pemakaian Kontrasepsi Implant
Kontrasepsi adalah upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan. Upaya itu dapat bersifat sementara dapat pula bersifat permanent. Penggunaan kontrasepsi merupakan salah satu variabel yang mempengaruhifertilitas (Wiknjosastro, 2006). Menurut BKKBN (2005) banyak faktor yang menyebabkan rendahnya pemilihan akseptor implant yang dilihat dari berbagai aspek yaitu dari sisi responden itu sendiri (paritas dan pekerjaan), sedangkan faktor lingkungan yang mempengaruhi rendahnya pemilihan akseptor implant adalah sosial, budaya, masyarakat dan dukungan keluarga terutama suami, keterbatasan informasi terhadap pelayanan KB serta keterbatasan jenis kontrasepsi hormonal yakni implant. Pemakaian kontrasepsi implant dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu Ya (jika akseptor memakai kontrasepsi implant) dan Tidak (jika akseptor memakai kontrasepsi lain). Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa dari 337 responden yang menggunakan kontrasepsi implant sebanyak 70 orang ( 20,8%) dan akseptor hormonal lainnya sebanyak 267 orang (79,2%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Adi, 2008) di Provinsi Lampung yang menjelaskan dari 69,64% peserta KB aktif hanya 12,6% menggunakan implant. Sejalan dengan data diatas menurut Pendit (2006) dalam pemilihan metode kontrasepsi dipengaruhi kecocokan antara suatu metode kontrasepsi dan setiap klien bergantung pada sejumlah faktor. Dalam menentukan metode mana yang akan digunakan klien dipengaruhi oleh 112
kepentingan pribadi, pertimbangan kesehatan, biaya, aksebilitas (kemudahan dan keterjangkauan mendapatkan kontrasepsi), dan lingkungan budaya mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden yang menjadi akseptor implant sangat sedikit, hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman responden mengenai metode kontrasepsi implant dan kemungkinan lain disebabkan oleh kurangnya konseling yang diberikan petugas kesehatan mengenai metode kontrasepsi yang efektif dan rasional bagi akseptor. b.
Paritas Paritas merupakan jumlah anak hidup yang dilahirkan. Jumlah anak yang dimaksud disini adalah jumlah anak yang masih hidup yang dimiliki seorang wanita sampai saat wawancara dilakukan (Wiknjosastro, 2005). Pada penelitian ini paritas dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu resiko tinggi jika frekuensi ibu melahirkan anak > 3 orang dan resiko rendah jika frekuensi ibu melahirkan anak < 3 orang. Analisis univariat didapatkan bahwa responden yang memiliki paritas tinggi yaitu sebanyak 249 orang (73,9%), dan responden yang memiliki paritas rendah yaitu sebanyak 88 orang (26,1%). Analisis bivariat didapatkan bahwa responden paritas tinggi yang memakai kontrasepsi implant sebesar 60 responden (24,1%), sedangkan paritas rendah sebesar 10 responden (11,4%). Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan nilai p value < a (0,017 < 0,05), ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara paritas akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant. Sejalan dengan penelitian Nurnaini (2011) di Puskesmas Jirak Musi Banyuasin, akseptor KB Implant berdasarkan paritas dimana responden yang memiliki paritas tinggisebesar 45 orang (52,33%) dan responden yang memiliki paritas rendahsebesar 41 orang (47,67%).Setelah dianalisa dengan uji statistik Chi-Square dengan derajat kemaknaan 0,05. Menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan penggunaan kontrasepsi implant. Jumlah paritas anak yang dilahirkan dapat mempengaruhi keputusan dalam rumah tangga, yaitu apakah mereka masih inginmenambah anak lagi atau tidak ingin menambah anak lagi. Keputusan ini dapat berpengaruh terhadap penggunaan dilandasi keinginan (demand) KB yang jelas apakah mengatur jarak kelahiran, atau membatasi jumlah anak yang di inginkan (BKKBN, 2007). Pada penelitian ini didapatkan responden yang memiliki paritas tinggi menjadi akseptor implant mungkin disebabkan ingin membatasi kelahiran ISSN 0126-107X
Lukman , Sumitro Adi Putra, Azwaldi, Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kecemasan Pasien Preoperasi Di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2010: Quasi Eksprimen
atau tidak ingin menambah anak lagi tetapi belum siap untuk sterilisasi. Responden yang memiliki paritas rendah menjadi akseptor implant mungkin disebabkan ingin mengatur jarak kelahiran 3-5 tahun sehingga dapat memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan dan dapat memperhatikan tumbuh kembang anak. c.
Pekerjaan Pekerjaan adalah suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh dan membantu pendapatan atau keuntungan, paling sedikit satu jam dalam seminggu (BPS, 2009). Sedangkan menurut Poerwadarminta (2006), pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari nafkah atau pencaharian. Pekerjaan dibagi menjadi dua kelompok yaitu bekerja jika akseptor melakukan aktifitas di dalam maupun diluar rumah dan memperoleh penghasilan, dan tidak bekerja jika akseptor melakukan aktifitas di dalam maupun diluar rumah tetapi tidak memperoleh penghasilan. Dari hasil analisis univariat didapatkan bahwa responden yang berkerja yaitu sebanyak 261 orang (77,4%), dan responden yang tidak berkerja yaitu sebanyak 76 orang (22,6%). Analisis bivariat didapatkan bahwa responden yang bekerja memakai kontrasepsi implant sebesar 64 responden (24,5%), sedangkan yang tidak berkerja sebesar 6 responden (7,9%). Hasil uji statistik Chi-Square didapatkan p value < a (0,003 < 0,05), ini menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara pekerjaan akseptor dengan pemakaian kontrasepsi implant. Persentase pemakaian alat kontrasepsi berdasarkan pekerjaan pada wanita bekerja sebesar 55,4 % dan yang tidak bekerja sebesar 53,6 %. Wanita yang bekerja memiliki nilai waktu yang mahal sehingga kesempatan untuk mengurus anak lebih sedikit dibanding wanita yang tidak bekerja, dan wanita yang bekerja akan cenderung membatasi jumlah anak (Viviory, 2008). Sedangkan menurut hasil penelitian Arianti (2008) di Puskesmas Swakelola Palembang, menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan pemakaian Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), wanita yang berkerja lebih besar peluangnya untuk menggunakan kontrasepsi Implant. Menurut (BKKBN, 2007) status ketenagakerjaan istri berpengaruh terhadap pemakaian kontrasepsi. Istri yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengurus anak dibandingkan dengan istri yang tidak bekerja, Oleh karena itu istri ysng bekerja lebih banyak menggunakan kontrasepsi dari pada istri yang tidak ISSN 0126-107X
bekerja. Pada penelitian ini responden yang bekerja menjadi akseptor implant mungkin disebabkanmereka lebih memilih metode kontrasepsi jangka panjang sehingga tidak perlu melakukan kunjungan berulang kali ke tenaga pelayanan KB. Responden yang tidak bekerja menjadi akseptor implant mungkin disebabkan jumlah anak yang dimiliki sudah sesuai dengan yang diharapkan sehingga mereka ingin membatasi kelahiran. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Distribusi frekuensi responden yang menggunkan kontrasepsi implant sebesar 20,8% dan responden yang menggunakan kontrasepsi hormonal lainnya sebesar 79,2%. 2. Distribusi frekuensi responden yang memiliki paritas tinggi sebesar 73,9% dan responden yang memiliki paritas rendah sebesar 26,1%. 3. Distribusi responden yang bekerja sebesar 77,4% dan responden yang tidak berkerja sebesar 22,6%. 4. Ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan pemakaian kontrasepsi implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012dengan p value = 0,017 < 0,05. 5. Ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan pemakaian kontrasepsi implant di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang Tahun 2012 dengan = p value 0,003 < 0,05. SARAN 1.
Bagi BPS Kresna Hawati Diharapkan agar para petugas kesehatan di BPS Kresna Hawati Kelurahan Karang Jaya Palembang dapat lebih meningkatkan penyuluhan mengenai alat kontrasepsi implant, sehingga dapat meningkatkan kesadaran ibu dalam berpartisipasi menggunakan kontrasepsi implant, dan memotivasi pasangan usia subur (PUS) yang tidak mengikuti program KB untuk menggunakan kontrasepsi terutama kontrasepsi implant. 2.
Bagi Peneliti Yang Akan Datang Diharapkan dapat meningkatkan kualitas penelitian dengan meneliti variabel dan metode penelitian yang berbeda mengingat masih banyak variabel lain yang perlu diteliti sehingga dapat 113
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
DAFTAR PUSTAKA
Nurnaini, (2011). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penggunaan Kontrasepsi Implant di Puskesmas Jrak Kabupaten Musi Banyuasin Tahun 2010. KTI. Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Kebidanan.
Arum, Diah N.S dan Sujiyatini, (2011). Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Yogyakarta : Nuha Medika (2011).
Saifuddin, Abdul, Bari, dkk. (2006). Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.
BKKBN, (2007). Sub Bidang Data dan Informasi Perwakilan BadanKependudukan danKeluarga Berencana Nasional, Provinsi Sumatera Selatan. (2008). Sub Bidang Data dan Informasi Perwakilan Badan Kependudukan danKeluarga Berencana Nasional, Provinsi Sumatera Selatan. (2011). Bidang Data dan Informasi Perwakilan BadanKependudukan danKeluarga Berencana Nasional, Provinsi Sumatera Selatan.
Palupi, Febrika Wina (2010). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Pilihan Pemakaian Alat Kontrasepsi Implant di Puskesmas Swakelola 4 ulu Palembang Tahun 2010. KTI. Poltekkes Kemenkes Palembang Jurusan Kebidanan.
BPS, (2009). Statistik Kesejahteraan Rakyat Welfare Statistic. Jakarta : BPS.
Tukiran, dkk (2010). Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
menambah wawasan pengetahuan bagi peneliti dan pembacanya.
Handayani, Sri. (2010). Pelayanan Keluarga Berencana, Yogyakarta: Pustaka Rihama. Hastanto, Susanto Priyo. (2007). Modul Analisa Data. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat UI.
Pendit, Braham U. (2006). Ragam Metode Kontrasepsi, Jakarta : EGC Prawirohardjo, Sarwono (2008). Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBP-SP
Varney, Helen, dkk. (2006). Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Jakarta : EGC Winkjosastro, Hanifa. (2005). Ilmu Kebidanan, Jakarta : YBP – SP
Hidayat, A. Aziz Alimul, (2011). Metodologi Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data, Jakarta : Salemba Medika. Hidayati, Ratna (2009). Metode Dan Teknik Penggunaan Alat Kontrasepsi,Jakarta : Salemba Medika. Meilani, Nike, dkk (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB, Jakarta : EGC Manuaba, I. B. G, Chandranita, dkk (2010). Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,dan KB, Jakarta : EGC Murtiningsih, Sri, dkk. (2007). Pedoman Materi KIE Keluarga Berenvana Bagi Penyuluh KB. Jakarta : Direktorat Advokasi dan KIE BKKBN. Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Metodeologi Penelitian Kesehatan,Jakarta : Rineka Cipta (2010). Metodeologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta
114
ISSN 0126-107X
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMPE TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR (Rattus norvegicus) DENGAN PEMBERIAN PARASETAMOL DOSIS TOKSIK Dewi Marlina Dosen Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRACT Background: Tempe contained 6,7,4-trihydroxy isoflavone antioxidant that has the most powerful antioxidant properties as compared to isoflavones in soy, which may counteract free radicals and reduce the formation of NAPQI (N-acetyl-Parabenzoquinoneimine) resulting from the metabolism of paracetamol. This study was to determine the effect of tempe extract on levels of urea and creatinine renal wistar strain male white rats (Rattus norvegicus) by administering toxic dose of paracetamol. Methods: An experimental laboratory with controlled group post test only design. Test animals used were male white rats of wistar strain (Rattus norvegicus), aged 2.5 months with a weight of 180-200 grams, a total of 30 individuals. Subjects were divided into 5 groups by randomization group and each group of subjects consisted of 6 male mice. The first group was the control group were given distilled water and NaCMC and the other group is the treatment group were given a dose of tempe extract 160, 320 and 640mg/kgBB for 14 days. In all groups at days 12, 13, and 14 are given toxic doses of paracetamol. On day 15 blood sampling done through the heart of male white rats. Parameter measurements is elevated levels of urea and creatinine rat kidney cells. Analysis of the data in the form of urea and serum creatinine levels were statistically analyzed by t-tests, analysis of variance and Pearson correlation one way with a significance level of p <0.05. Results: The results showed that the tempe extract at a dose of 160 and 320mg/kgBB for 14 days by administering toxic dose of paracetamol 900mg/kgBB on day 12, 13 and 14, leading to increased levels of urea and creatinine levels, while the tempe extract at a dose 640mg/kgBB not lead to increased levels of urea and creatinine compared with the treatment group before treatment. Conclusion: Tempe extract can prevent damage to kidney function of white male Wistar rats (Rattus norvegicus), which follows the pattern dependent manner. Keywords; Tempe extracts, paracetamol, urea and creatinine
PENDAHULUAN Latar Belakang Ginjal merupakan organ eliminasi utama untuk seluruh obat yang digunakan peroral, namun demikian pada batas-batas tertentu ginjal tidak dapat melakukan fungsinya dalam eliminasi obat sehingga menyebabkan tertimbunnya obat dalam ginjal yang dapat menyebabkan cedera sel ginjal, terutama daerah tubulus proksimal (Evan & Henderson, 1985, Sukandar, 1997 dan Goldstein & Schnellmann, 1996). Ureum dan Kreatinin sebagai produk akhir metabolisme protein mengalami proses yang sama karena keduanya akan bersifat toksik apabila terlalu tinggi kadarnya dalam tubuh. Kadar ureum dan kreatinin yang lebih tinggi dari kadar normal merupakan indikasi adanya kegagalan fungsi ginjal (Thomson & Cotton, 1997). ISSN 0126-107X
Kerusakkan pada ginjal tersebut ditandai oleh nekrosis tubulus akut dengan disertai meningkatnya kadar ureum dan kreatinin plasma (Sari, 2007). Parasetamol merupakan salah satu obat analgesik dan antipiretik yang telah banyak digunakan di seluruh dunia sejak tahun 1950. Parasetamol termasuk obat bebas. Sifat farmakologi yang ditoleransi dengan baik, sedikit efek samping, dan dapat diperoleh tanpa resep membuat obat ini dikenal sebagai antipiretik yang umum di rumah tangga (Goodman dan Gilman, 2008). Oleh karena peredaran parasetamol yang terlalu bebas inilah maka peluang untuk terjadinya penyalahgunaan dan kejadian keracunan parasetamol di dunia menjadi lebih besar dan menjadikan parasetamol sebagai salah satu obat yang paling sering menyebabkan kematian akibat keracunan (self poisoning) (Neal, 2006). Hal ini sesuai dengan laporan United States Regional Poisons Center yang menyatakan bahwa lebih dari 100.000 kasus per tahun yang 115
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
menghubungi pusat informasi keracunan, 56.000 kasus datang ke unit gawat darurat, 26.000 kasus memerlukan perawatan intensif di rumah sakit dan 450 orang meninggal akibat keracunan parasetamol (Moynihan, 2002). Di Indonesia, jumlah kasus keracunan parasetamol sejak tahun 2002-2005 yang dilaporkan ke Sentra Informasi Keracunan Badan POM adalah sebesar 201 kasus dengan 175 kasus diantaranya adalah percobaan bunuh diri (BPOM, 2006). Penggunaan parasetamol dalam dosis yang berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan ginjal (Goodman dan Gilman, 2008; Kedzierska et al, 2003; Laurence et al, 1997; Rang et al, 2003). Toksisitas parasetamol dapat menyebabkan nekrosis pada tubulus ginjal (Cotran et al., 2007; Katzung, 2002; Wilamana dan Gunawan, 2007; Rang et al, 2003) dan nekrosis paling mencolok di tubulus proksimal (Robbins et al, 2004). Kedelai dan produk fermentasinya seperti tempe telah banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang murah. Selain sebagai sumber zat-zat gizi, kedelai dan beberapa produk fermentasinya ternyata berpotensi sebagai sumber yang kaya akan antioksidan (Mimura, 2003; Sulistiyani et al, 2003; Suarsana et al, 2006). Komponen antioksidatif di dalam bahan pangan tersebut dapat mengeliminasi kelebihan Reactive Oxygen Species (ROS) dan sangat mendukung kesehatan tubuh (Suarsana et al, 2006). Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus. Sediaan fermentasi ini secara umum dikenal sebagai ”ragi tempe”. Kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia. Tempe kaya akan serat pangan, kalsium, vitamin B dan zat besi. Berbagai macam kandungan dalam tempe mempunyai nilai obat, seperti antibakteri untuk menyembuhkan infeksi dan antioksidan pencegah penyakit (Wulan, 2011). Pada proses fermentasi tempe terjadi peningkatan level ketidakjenuhan lemak sehingga kandungan asam lemak tak jenuh dalam tempe cukup baik. Bahkan 100 gr tempe (2 potong) mengandung 220 mg asam lemak omega 3 dan 3590 mg asam lemak omega 6. Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat baik. Bahkan tempe merupakan satusatunya sumber vitamin B12 dari bahan pangan nabati (umumnya vitamin B12 hanya terkandung pada bahan pangan hewani) (Wulan, 2011). Selain itu tempe juga mengandung serat sekitar 2,9% 116
dan berbagai vitamin dan mineral penting untuk pertumbuhan seperti vitamin B komplek, kalsium, fosfor, dan zat besi. Jenis serat yang terdapat dalam tempe adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, dan bahan lainnya seperti protopektin, asam pectin dan asam pektat (Fardiaz et al, 2007). Di dalam tempe juga ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas (Wulan, 2011). Antioksidan berfungsi mencegah oksidasi dengan bekerja sebagai reduktor dan mencegah membran sel dari oksidasi asam lemak tak jenuh menjadi lipid peroksidasi. Bahan aktif antioksidan (radical scavenger) menangkal radikal bebas dengan menghentikan reaksi berantai dan melindungi sel terhadap aktivasi DNA sehingga mencegah terjadinya kerusakan sel (Tranggono, 2003). Isoflavon adalah senyawa bioaktif yang banyak ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kedelai sampai 3009 mikrogram/g (Klump et al., 2001) serta mempunyai aktivitas antioksidan 7,512,18 mikromol/g yang equivalen dengan aktivitas antioksidan BHT (butylated hydroxytoluene) (Lee et al., 2004). Wang dan Murphy (1994) melaporkan kedelai mengandung isoflavon (daidzen, genisten, glyciten) dengan konsentrasi antara 1 sampai 3 mg/g. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan 6,7,4-trihidroksi isoflavon yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Btara, 2001). Dari beberapa penelitian didapatkan informasi, ekstrak tempe dapat menurunkan secara nyata kadar SGOT dan SGPT pada pemberian ekstrak tempe dosis 80 mg/kg bb pada tikus dalam kondisi stres (Suarsana et al,2006). Pemberian ekstrak tempe dapat memberikan efek penurunan kadar kolesterol total, trigliserida, LDL dan peningkatan kadar HDL yang lebih baik pada plasma darah kelinci (Dian,2008). Pada penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa pemberian ekstrak tempe dengan dosis tertinggi 80 mg/kg bb dapat dapat menurunkan secara nyata kadar SGOT dan SGPT (Suarsana et al,2006). Pada penelitian pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap fungsi dan histopatologi ginjal tikus putih jantan galur wistar (rattus norvegicus) pada pemberian parasetamol ini adalah untuk melengkapi data yang sudah ada sebelumnya.
ISSN 0126-107X
Dewi Marlina, Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Dengan Pemberian Parasetamol Dosis Toksik
Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak tempe dapat mencegah kerusakan sel ginjal tikus putih jantan (Rattus norvegicus) dengan pemberian parasetamol dosis toksik? 2. Tujuan Khusus Mengukur Fungsi ginjal tikus putih jantan melalui kenaikan Ureum dan kreatinin serum Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: HO: 1. Pemberian ekstrak tempe tidak dapat mencegah kerusakan ginjal tikus jantan (Rattus norvegicus) dengan pemberian parasetamol dosis toksik 2. Peningkatan dosis ekstrak tempe tidak dapat meningkatkan pencegahan terhadap kerusakan ginjal tikus jantan (Rattus norvegicus) dengan pemberian parasetamol dosis toksik H1: 1. Pemberian ekstrak tempe dapat mencegah kerusakan ginjal tikus jantan (Rattus norvegicus) dengan pemberian parasetamol dosis toksik 2. Peningkatan dosis ekstrak tempe dapat meningkatkan pencegahan terhadap kerusakan ginjal tikus jantan (Rattus norvegicus) dengan pemberian parasetamol dosis toksik
METODE PENELITIAN a. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik dengan menggunakan hewan uji tikus putih jantan dewasa galur wistar (Rattus norvegicus). Rancangan penelitian yang digunakan untuk pengelompokan dan pemberian perlakuan terhadap hewan uji adalah The Posttest Only Control Group Design . Model rancangan ini merupakan rancangan eksperimental sederhana. b. Subjek Penelitian dan Populasi Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan galur wistar diperoleh dari Laboratorium Biologi Institut Teknologi Bandung. Tikus diambil dari statu populasi yang sudah dibuat homogen, yaitu umur 2-3 bulan dengan berat badan 180-200 gram. Tikus dewasa ditempatkan pada kandang terpisah diberi makan dan minum secara ad libitum, dikondisikan pada lingkungan dan perlakuan yang sama. c. Besar Sampel Penelitian Dari rumus diperoleh ulangan untuk tiap perlakuan adalah besar dan sama dengan 6 kali. Untuk melengkapi persyaratan uji statistik maka jumlah tikus yang digunakan minimal 30 ekor tikus, sehingga jumlah perlakuan ulangan yang dilakukan adalah 6 kali. Jadi jumlah tikus putih jantan dewasa yang dibutuhkan untuk 5 kelompok perlakuan adalah 30 ekor.
d. Alur Penelitian
ISSN 0126-107X
117
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hasil penelitian pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap kenaikan kadar ureum dan kreatinin ginjal dapat dipaparkan sebagai berikut: Tabel 1. Kadar rata-rata ureum darah tikus putih jantan galur wistar sebelum dan sesudah perlakuan Ureum Kreatinin Perlakuan Sebelum Sesudah P Sebelum Sesudah Dosis 160mg/kgBB 43,22±2,08 66,63±2,49 0,000 0,53±0,04 0,74±0,04 Dosis 320mg/kgBB 43,22±2,08 56,36±2,86 0,000 0,53±0,04 0,66±0,02 Dosis 640mg/kgBB 43,22±2,08 44,49±2,64 0,423 0,53±0,04 0,55±0,04 NaCMC 43,22±2,08 55,26±1,98 0,000 0,53±0,04 0,64±0,04 Air Suling 43,22±2,08 63,18±3,29 0,000 0,53±0,04 0,78±0,03
P 0,000 0,020 0,367 0,016 0,000
Tabel 2. Kadar rata-rata kreatinin darah tikus putih jantan galur wistar sesudah dan sesudah perlakuan Ureum Kreatinin Perlakuan Sesudah Sesudah P Sesudah Sesudah P Dosis 160mg/kgBB 63,18±3,29 66,63±2,49 0,061 0,78±0,03 0,74±0,04 0,108 Dosis 320mg/kgBB 63,18±3,29 56,36±2,86 0,008 0,78±0,03 0,66±0,02 0,001 Dosis 640mg/kgBB 63,18±3,29 44,49±2,64 0,000 0,78±0,03 0,55±0,04 0,001 NaCMC 63,18±3,29 55,26±1,98 0,008 0,78±0,03 0,64±0,04 0,000 Air Suling 63,18±3,29 63,18±3,29 0,000 0,78±0,03 0,78±0,03 0,000
70
66,63
60 Kadar Ureum
63,18
56,36
55,26
44,49
50
43,22
40 30 20 10 0 ekstrak tempe 160
ekstrak tempe 320
ekstrak air suling NaCMC tempe 640
kontrol
Perlakuan
Gambar 1. Histogram kadar ureum darah tikus putih jantan galur wistar sebelum dan sesudah perlakuan
118
ISSN 0126-107X
Kadar Kreatinin
Dewi Marlina, Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Dengan Pemberian Parasetamol Dosis Toksik
0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0
0,74
0,78 0,66
0,55
0,64
0,53
ekstrak ekstrak ekstrak air suling NaCMC kontrol tempe tempe tempe 160 320 640 Perlakuan
Gambar 2. Histogram kadar kreatinin darah tikus putih jantan galur wistar sebelum dan sesudah perlakuan Tabel 3. ANOVA Kadar Ureum dan Kreatinin darah tikus putih jantan galur wistar sebelum dan sesudah perlakuan ANOVA F P Ureum Antar Kelompok 96.668 .000 Dalam Kelompok Total Kreatinin Antar Kelompok 43.559 .000 Dalam Kelompok Total Tabel 4. Uji Post Hoc (Uji Tukey) Kadar Ureum dan Kreatinin darah tikus putih jantan galur wistar sebelum dan sesudah perlakuan Tukey HSD Dependent Variable
Kreatinin
(I) kelompok Kontrol sesudah
kontrol sebelum
Kontrol sesudah
kontrol sebelum
Ureum
ISSN 0126-107X
(J) kelompok dosis ekstrak tempe 160mg/kgbb dosis ekstrak tempe 320mg/kgbb dosis ekstrak tempe 640mg/kgbb NaCMC 1% kontrol sebelum dosis ekstrak tempe 160mg/kgbb dosis ekstrak tempe 320mg/kgbb dosis ekstrak tempe 640mg/kgbb NaCMC 1% Kontrol sesudah dosis ekstrak tempe 160mg/kgbb dosis ekstrak tempe 320mg/kgbb dosis ekstrak tempe 640mg/kgbb NaCMC 1% kontrol sebelum perlakuan dosis ekstrak tempe 160mg/kgbb dosis ekstrak tempe 320mg/kgbb dosis ekstrak tempe 640mg/kgbb NaCMC 1% Kontrol sesudah
P
.310 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .993 .000 .000 .018 .001 .000 .000 .000 .000 .000 .947 .000 .000
119
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
B. Pembahasan Tempe yang digunakan pada penelitian ini di peroleh dari pasar cinde. Proses ekstraksi yang dilakukan pada penelitan ini secara maserasi karena pengerjaannya secara sederhana dan tidak memerlukan alat yang khusus, bisa digunakan pada sampel relatif banyak dan tidak memerlukan pemanasan. Meserasi sampel dilakukan didalam bejana gelap terlindung dari cahaya untuk menghindari pengaruh oksidasi. Pada penelitian ini digunakan metanol untuk memaserasi tempe sebagai pelarut, juga berdasarkan penelitian sebelumnya (Suarsana et al, 2006) karena metanol memiliki kemampuan untuk melarutkan komponen fenol dalam tempe lebih besar dibandingkan dengan pelarut air, dan juga menunjukan bahwa metanol mempunyai kelebihan dalam melarutkan senyawa fenol didalam tempe yang sangat menentukan dalam aktivitas antioksidannya. Setelah proses maserasi selesai, ekstrak metanol diuapkan dengan destilasi vakum, bertujuan untuk mengurangi tekanan udara pada permukaan sehingga akan menurunkan tekanan uap pelarut dan selanjutnya akan menurunkan titik didih pelarut tersebut, hingga didapatkan ekstrak kental. Pada penelitian ini dari 1 kg tempe diperoleh ekstrak yang kental sebanyak 31,05 gram. Hewan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan dengan galur, umur dan berat badan yang relatif sama. Penggunaan hewan uji yang homogen ini adalah untuk meminimalkan variasi biologi, sehingga data yang diperoleh layak untuk dibandingkan. Sebelum digunakan dilakukan aklimatisasi terhadap hewan uji didalam ruang penelitian.aklimatisasi ini bertujuan untuk menyesuaikan hewan uji dengan kondisi dan lingkungan yang baru. Perlakuan pada hewan uji adalah pemberian air suling pada kelompok kontrol dan pemberian ekstrak tempe pada tiga kelompok perlakuan dengan dosis masing-masing adalah 160, 320 dan 640 mg/kgBB/hari selama 14 hari dan sebagai kontrol kelompok perlakuan air suling dan NaCMC. Pada hari ke 12, 13 dan 14 di berikan parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB. Pemilihan dosis ekstrak tempe didasarkan dari dosis yang dilakukan peneliti sebelumnya yang melakukan penelitian untuk melihat penggunaan ekstrak tempe terhadap fungsi hati tikus dalam kondisi stress (Suarsana et al, 2006) dan dosis yang digunakan pada penelitian ini dinaikkan 2 kali lipat, sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk menambah data pada ginjal tikus putih jantan galur wistar. Setelah pemberian perlakuan selama 14 hari dan pada hari ke 15, tikus dimatikan dengan cara anastesi dengan ether. Darah diambil melalui jantung 120
dan ditampung dalam tabung reaksi. Kemudian segera dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal berupa kadar serum kreatinin dan serum ureum pada Balai Besar Laboratorium Kesehatan Palembang, yang merupakan laboratorium pemerintah yang sudah terakreditasi sehingga diharapkan mendapatkan data yang akurat. 1. Ureum Pemberian ekstrak tempe dengan dosis 160 dan 320 mg/kgBB dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB pada tikus putih jantan galur wistar dengan statistik uji T berpasangan diperoleh kenaikan kadar ureum yang signifikan (p<0,05) sebesar 68.16±1.50 dan 56.36±2.86 dibandingkan dengan pemberian air suling sebelum perlakuan sebesar 43.22±2.08. Demikian juga dengan kontrol NaCMC dan air suling sesudah perlakuan dengan diberikan parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB menyebabkan kenaikan kadar ureum yang signifikan (p<0,05) sebesar 55.26±1.98 dan 63.18±3.29. Sedangkan pada ekstrak tempe dengan kadar 640 mg/kgBB terjadi dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB peningkatan kadar ureum yang tidak signifikan (p>0.05) sebesar 44.49±2.64 dibandingkan dengan pemberian air suling sebelum perlakuan yang kadar ureumnya sebesar 43.22±2.08. 2. Kreatinin Pemberian ekstrak tempe dengan dosis 160 dan 320 mg/kgBB dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB pada tikus putih jantan galur wistar dengan statistik uji T berpasangan diperoleh kenaikan kadar kreatinin yang signifikan (p<0,05) sebesar 0.74±0.04 dan 0.66±0.02 dibandingkan dengan pemberian air suling sebelum perlakuan sebesar 0.53±0.04. Demikian juga dengan kontrol NaCMC dan air suling sesudah perlakuan dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/ kgBB menyebabkan kenaikan kadar kreatinin yang signifikan (p<0,05) sebesar 0.64±0.04 dan 0.78±0.03. Sedangkan pada ekstrak tempe dengan kadar 640 mg/kgBB dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB terjadi peningkatan kadar kreatinin yang tidak signifikan (p>0.05) sebesar 0.55±0.04 dibandingkan dengan pemberian air suling sebelum perlakuan yang kadar kreatininnya sebesar 0.53±0.04. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pemberian ekstrak tempe pada dosis 160 dan 320 mg/kgBB serta dengan pemberian parsetamol dosis toksik 900mg/kgBB belum mempunyai sifat proteksi karena masih menyebabkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang signifikan (p<0,05), ISSN 0126-107X
Dewi Marlina, Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Dengan Pemberian Parasetamol Dosis Toksik
Demikian juga pada kontrol perlakuan NaCMC dan Air suling yang hanya diberikan parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB pada hari ke 12, 13 dan 14 menyebabkan peningkatan kadar ureum dan kreatinin yang signifikan (p<0,05), ini diduga berhubungan dengan timbulnya tubuli hidrofik dan nekrosis yang jelas di tubuli proksimal pada sel epitel tubuli ginjal, kapiler melebar, terdapat protein cast dan terjadi perlemakan pada sel ginjal. Terjadinya peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada sel ginjal tikus yang diberi ekstrak tempe dengan pemberian parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB menunjukan bahwa pemberian ekstrak tempe pada dosis tertentu belum mampu mencegah atau mungkin melindungi sel-sel ginjal dari kerusakan yang diakibatkan oleh pemberian parasetamol dosis toksik. Pada proses metabolisme, selain diubah menjadi asetaminofen sulfat dan glukuronida, asetaminofen dan metabolitnya p-aminofenol juga akan diubah oleh menjadi metabolit antara yang reaktif yaitu N-acetyl-benzoquineimine (NAPQI). Pengubahan oleh enzim P450 berlangsung di ginjal seperti juga di hati meskipun enzim P450 di ginjal tidak sebanyak pada hati. Lebih lanjut NAPQI akan berkonjugasi dengan glutathione interseluler membentuk asam merkapturat yang tidak toksik. Namun pada dosis yang berlebihan, NAPQI yang terbentuk sedemikian banyaknya melebihi kecepatan pembentukan dan regenerasi glutathion yang diperlukan untuk mendetoksifikasi NAPQI. NAPQI bebas yang tidak terkonjugasi ini dapat berikatan dengan komponen protein ginjal terutama pada tubulus proksimal. Ikatan kovalen ini mempengaruhi aktivitas biologis normal dan bersifat toksis terhadap ginjal, sehingga mencetuskan berbagai derajat kerusakan sel bahkan kematian, kerusakan ini diperparah dengan adanya tambahan NAPQI hasil metabolisme hati. Kerusakan ginjal menyebabkan berkurangnya kemampuan ginjal untuk menjalankan fungsinya secara normal, dengan kerusakan tubuli, maka ureum dan kreatinin hasil filtrasi ginjal dapat mengalami kebocoran dan kembali ke dalam darah yang berakibat pada peningkatan ureum dan kreatinin serum (Wilson, 2005 dan Deim et al, 1989). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang pengaruh pemberian ekstrak tempe terhadap kadar ureum dan kreatinin ginjal tikus putih jantan galur wistar dengan pemberian parasetamol dosis toksik dapat disimpulkan sebagai berikut : ISSN 0126-107X
1.
2.
Ekstrak tempe terbukti bersifat protektif terhadap fungsi ginjal oleh parasetamol dosis toksik 900mg/kgBB. Efek protektif dari ekstrak tempe yang terjadi mengikuti pola dependent manner. Pada pemberian parasetamol dosis toksik akan terjadi perbaikan penurunan kadar ureum dan kreatinin dalam darah berturut-turut, pada ekstrak tempe dosis 160mg/kgBB sebesar 68.16 ± 1.50 dan 0.74 ± 0.04, ekstrak tempe dosis 320mg/kgBB 56.36 ± 2.86 dan 0.66 ± 0.02 dan pada ekstrak tempe dosis 640mg/ kgBB sebesar 44.49 ± 2.64 dan 0.55 ± 0.04.
Saran 1.
2.
3.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak tempe terhadap fungsi ginjal tikus dengan dosis yang lebih bervariasi atau lebih tinggi lagi dan waktu pemberian yang lebih lama untuk mengurangi kerusakan ginjal akibat parasetamol. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut gambaran histopatologi dari sel ginjal tikus agar mendapatkan gambaran lebih jelas terhadap kerusakan ginjal akibat parasetamol. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan ekstrak tempe yang berperan dalam melindungi sel ginjal dari kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA Btara Arbai AM. 2001. Cholesterol Lowering Effect of Tempe. Jakarta, American Soybean Association. Carlson JA, Harrington JT. 1993. Laboratory Evaluation of Renal Function. In: Schrier RW, editor. Diseases of the Kidney. 5th ed. New York: Little Brown and Company, p: 367-71 Defendi G. L., Tucker J. L. 2009. Toxicity, Acetaminophen. http://emedicine.medscape. com/article/1008683-overview, diakses:1 Februari 2012 Deim-Duthoy Karen, Leither Thomas, Matzke Gary R.1989. Acute renal failure. In: DiPiro Joseph T, Talbert Robert L, Hayes Peggy E, Yee Gary C, Posey Michael, editor. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: Elsevier Science Publishing Co,p: 515-7 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. 121
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Farmakope Indonesia, Edisi IV, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta, Indonesia. Dian Ganda Pratama. 2008. Efek Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kolesterol Total dan Profil Lipoprotein Plasma Darah Tikus (Oryctologus cuniculus). IPB. Bogor Evan DB, Henderson RG. 1985. Lecture notes on nephrology. London: Blackwell Scientific Publication; p. 202-4 Fardiaz D, Lumbantoruam M.R, Apriyantono A. 2007. Mempelajari Perubahan Komponen “Dietary Fiber” selama Fermentasi Tempe. Laporan Penelitian. IPB. Bogor. Goldstein RS, Schnellmann RG. 1996. Toxic response of the kidney. In: Klaaseen CD, Amdur MO, Doull J, editors. Casarret and doull’s toxicology: the basic science of poisons. 5th ed. USA: McGraw-Hill; p.4268,435 Goodman L. S., Gilman A. 2008. Dasar Farmakologi Terapi. Hardman K. G., Limbird L. E., Aisyah C. (eds). Edisi X. Jakarta: EGC, hal: 682-4. Guyton A. C., Hall J. E. 2007. Ginjal dan Cairan Tubuh. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi XI. Jakarta: EGC, hal: 307-9. Herfindal, E.T. Carballo, J., Gourley, D. R. Hart, L. Lioyd. 1992. Pharmacy dan Therapeutics. Fifth Edition, Williams and Wilkins, London, p: 62-63 Inagi R. 2009. Endoplasmic Reticulum Stress in the Kidney as a Novel Mediator of Kidney Injury. Nephron Exp Nephrol. 112:e1-9. Katzung B. G. 2002. Farmakologi: Dasar dan Klinik Buku 2. Edisi I. Jakarta: Salemba Medika, hal: 484-6. Klump, S.P, Alerd MC, McDonald J.L dan BallamJ.M. 2001. Determination of Isoflavones in Soy Selected Foods Containing Soy by Extraction, Saponification, and Liquid Chromatography: Colaborative Study, J.AOAC Int. p:84-86: 1865-1883
Koppert W., Frotsch K, Huzurudin N., Boswald W., Greissinger N., Weisbach V., Schmeider R. E., Schuttamitler J. 2006. The Effect of Paracetamol and Parecoxib on Kidney Function in Elderly Patients Undergoing Orthopedic Surgery. Anesth Analg. P:103:1170-6. Laurence, D.R., P.N. Bennet and M.J. Brown. 1997. Clinical Pharmacology, 8th Edition. Churchill Livingstone. London Lee, J., M. Renita, R.J. Fioritto, SK. Martin, SJ. Scwartz, 2004. Isoflavone Characterization and Antioxidant Activity of Ohio Soybeans. J. Agrie. Food. Chem Maser R. L., Vassmer D., Magenheimer B. S., Calvet J. P. 2002. Oxidant Stress and Reduced Antioxidant Enzyme Protection in Polycystic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol. p:13:991-9. Maulana A. I. 2010. Pengaruh Ekstrak Tauge (Phaseolus radiatus) Terhadap Kerusakan Sel Ginjal Mencit (Mus musculus) Yang Di Induksi Parasetamol. Sripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Surakarta Mayes P. A. 2003. Struktur dan Fungsi Vitamin larut-Lipid. Dalam: Biokimia Harper. Edisi XXV. ECG, Jakarta, hal: 618-9. Mimura, A., 2003. Possibility of microbial production of antioxidative healty foods. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpuan Mikrobiologi Indonesia. Bandung 29-30 Agustus 2003. Moynihan R. 2002. FDA Fails toReduce Accessibility of Paracetamol Despite 450 Deaths a Year. BMJ, p: 325:678 Muchtadi D, Murdefi Y, Mardinah, Anto S. 1992. Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe serta Pengembangan Produk Olahannya Untuk Golongan Rawan Gizi. Laporan Penelitian. IPB. Bogor. Murray, R.K., D.K. Granner, P.A, Mayes, V.W Rodwell, 1995, Biokimia Herper, Terjemahan oleh: Hartono Andry, Edisi 22, ECG, Jakarta Neal M. J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis. Edisi V. Jakarta: Erlangga, hal:70, 94-5.
122
ISSN 0126-107X
Dewi Marlina, Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Dengan Pemberian Parasetamol Dosis Toksik
Price, S., and M.L. Wilson, 2005. Patofisologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Terjemahan P. Anugerah. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta, hal:771, 776, 795
Thomson, A.D, Cotton, R.E.1997. Catatan Kuliah Patologi (Lecture Notes on Payhology), Edisi III. Terjemahan oleh : Maula, R.F, Melfiawati. ECG. Jakarta. Indonesia.
Punch, 2005, Serum Creatinin, www.transweb.org/ qatxp/faq-creat.html, diakses: 5 februari 2012
Tranggaono, RIS. 2003, Pemanfaatan Berbagai Zat Aktif dari Tanaman dalam Sediaan Kosmetik. Proseding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIII. Jakarta 25-26 Maret 2003. Penyelenggara Fakultas Farmasi Universitas Pancasila. Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. p: 53-63
Rang, H.P., M.M. Dale, and J.M. Ritter. 2003. Pharmacology. (4th Edition). Churchill Livingstone, Edinburgh. Ritschell, W.A. 1974. Laboratory Manual of Biopharmaceutics. Drug Intelligence Publications. Hamilton Sari, P.M. 2007. Pengaruh Pemberian Asetaminofen Berbagai Dosis Peroral terhadap Gambaran Histopatologi Tubulus Proksimal Ginjal Tikus Wistar. Laporan Penelitian. Universitas Diponegoro. Semarang. Siker BPOM. Data keracunan parasetamol di Indonesia tahun 2002-2005. BPOM; 2006 Singh D., Kaur R., Chander V., Chopra K. 2006. Antioxidant in the Prevention of Renal Disease. http://www.liebertonline.com/doi/ pdf/10.1089/jmf.2006.9.443?cooki eSet=1. diakses: 24 Januari 2012 Suarsana I.N., N.W. Susari, T. Wresdiyati, A. Suprayogi. 2006. Penggunaan Ekstrak Tempe terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stress, Jurnal Veteriner. Yokyakarta Sukandar E. 1997. Nefrologi klinik. Edisi 2. Bandung: Penerbit ITB; hal. 472-3 Sulistiyani, A. Taher, D. Iswantini dan A.Z. Hasan, 2003, The antioxidant potency of isoflavones extracted from tofu loquid by-products (tofu’s whey). Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bandung 29-30 Agustus 2003 Suryaatmadja, M.R. Sosro. 2008, Tes Faal Ginjal dan Manfaatnya, www.portalkalbe,files,cdk,13. diakses 23 januari 2012
UGM. 2001. Petunjuk Praktikum Toksikologi, Edisi ke-12, UGM Yogyakarta, Indonesia Wang, H.J., dan P.A. Murphy. 1994. Isoflavone Content In Commercial Soybean Foods. J. Agric. Food Chem. p: 42:1666-1673 Wilmana P. F., Gunawan S. G. 2007. AnalgesikAntipiretik Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal: 237-9. Wilson L. M. 2005. Gangguan Sistem Ginjal. Dalam: Anderson P. S., Wilson L. M. editor. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Volume 2.Edisi VI. Jakarta:EGC, hal: 873-4. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami & Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius, hal: 82-77, 105-9, 147-55. Wishart D., Knox C. 2006. DrugBank: Acetaminophen.http://www.drugbank.ca/ drugs/DB00316. diakses 1 Februari 2012 Wulan Joe, 2011, 101 Keajaiban Khasiat Kedelei, Andi offset, Yogyakarta, hal: 22 – 29 Vender, A.J., 1993, Human Physiology, The Mechanisms of Body Function (8th Edition), McGrow-Hill Companies, Inc, New York, USA
Taufiqqurohman M. A. 2008. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Keseh.tan. Safei I., Hastuti S., Saddhono K. (eds). Surakarta: UNS Press, hal: 62-3, 101-2.
ISSN 0126-107X
123
PENGARUH KONSELING MENYUSUI TERHADAP PENGETAHUN, SIKAP DAN TINDAKAN IBU DALAM MENYUSUI BAYI USIA 0-6 BULAN DI PUSKESMAS 4 ULU KECAMATAN SEBERANG ULU I DAN PUSKESMAS TAMAN BACAAN KECAMATAN SEBERANG ULU 2 KOTA PALEMBANG
Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK
Rendahnya cakupan pemberian ASI Eksklusif karena rendahnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI sehingga menyebabkan meningkatnya pemberian makanan pralakteal yang di berikan pada bayi. Pemberian konseling menyusui diharapkan dapat meningkatkan pengetahun, sikap serta tindakan ibu untuk melaksanakan menyusui secara Eksklusif, sehingga dapat berperan dalam menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan, sikap dan tindakan ibu setelah diberi konseling menyusui. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan rancangan quasi eksperimental design dengan bentuk non equivalent control group design. Populasi dan sampel dilakukan secara non probability sampling dengan teknik kuota sebanyak 32 orang kelompok eksperimen dan 32 orang kelompok kontrol. Analisis penelitian menggunakan uji T-test untuk mengetahui perubahan KEP pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol melalui pretest dan post test. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas 4 Ulu dan Puskesmas Taman Bacaan. Puskesmas 4 Ulu dipilih untuk mendapatkan intervensi berupa konseling menyusui sebanyak 4 kali selama 2 bulan. Hasil penelitian menggunakan uji T-test menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) nilai rata-rata pengetahuan, sikap dan praktek pada ibu setelah diberi konseling menyusui baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol. Kesimpulan dari penelitian ini adalah konseling menyusui mempunyai pengaruh terhadap pengetahuan, sikap dan praktek ibu menyusui. Kata Kunci : Konseling Menyusui, Ibu, Bayi
PENDAHULUAN Menyusui memberi anak awal terbaik dalam hidupnya. Diperkirakan lebih dari satu juta anak meninggal tiap tahun akibat diare, penyakit saluran nafas dan infeksi lainnya karena mereka tidak disusui secara memadai. Ada lebih banyak lagi anak yang menderita penyakit yang tidak perlu diderita jika mereka disusui. Upaya peningkatan pemberian ASI berperan sangat besar terhadap pencapaian menurunnya angka kematian bayi dan menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita. Pada Riskesdas 2010, perilaku ibu dalam pemberian makanan dan minuman selain ASI sejak dini menurut penelitian menunjukkan bahwa persentase pemberian makanan prelakteal kepada bayi baru lahir adalah 43,6 %, jenis makanan/ minuman prelakteal yang paling banyak diberikan adalah susu formula (71,3 %), madu ( 19,8 %) dan 124
air putih ( 14,6 %) lainnya meliputi adalah air gula, kopi, santan, biskuit, pisang dan nasi. Convention on the Rights of the Child I, Konvensi Hak Anak (CRC) tahun 1990 menyatakan bahwa anak-anak memiliki hak asasi untuk menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat terutama ibu menyusui diharapkan mendapatkan informasi yang benar tentang ASI Eksklusif sehingga dapat memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya, karena setiap bayi mempunyai hak untuk mendapat ASI dan ibu mempunyai hak untuk menyusui bayinya. Untuk membantu ibu dan anak agar sukses dalam menyusu. Pemberian bantuan dan saran kepada ibu menyusui dapat melalui konseling menyusui. Melalui Konseling menyusui sangat penting, tidak hanya sebelum persalinan dan selama kehamilan, melainkan juga sepanjang tahun pertama dan kedua kehidupan anak. Dengan demikian kita dapat memberi ibu ISSN 0126-107X
Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati, Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Pengetahun, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang
saran yang bermanfaat agar ibu menyusui bayinya kapanpun, ketika bayi dalam keadaan sehat maupun sakit dan dengan melalui konseling menyusui juga dapat membantu menyakinkan ibu bahwa ASI nya cukup, mengatasi masalah menyusui, atau ibu bekerja tetap dapat menyusui bayinya. Dengan melalui Konseling menyusui diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu menyusui tentang ASI Eksklusif. Peningkatan pengetahuan dan sikap ibu menyusui diharapkan dapat mendorong dan menggerakan ibu menyusui untuk melakukan praktek menyusui secara Eksklusif . Menurut hasil penelitian persentase pemberian makanan prelakteal kepada bayi di Sumatera Selatan menunjukkan sebesar 44,8 %. Data tahun 2008 menunjukkan bahwa Pemberian ASI Eksklusif di Kota Palembang baru mencapai 68% masih dibawah standar pelayanan minimal untuk kota sebesar 80 %. Oleh karena itu salah satu upaya untuk mencapai target diatas adalah dengan cara melakukan konseling kepada ibu menyusui. Konseling merupakan salah satu metode pendidikan yang efektif kepada sasaran berpendidikan tinggi maupun rendah, sehingga dengan cara memberikan konseling dapat dengan mudah memberikan informasi, dapat mempengaruhi opini, merangsang pemikiran, mudah, murah dan dapat sekaligus dengan melakukan peragaanperagaan selama memberi konseling. Dengan demikian semakin banyak ibu mampu menyusui dengan benar dan semakin banyak pula bayi baru lahir yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Tujuan Umum penelitian ini adalah diketahuinya Pengaruh Konseling Menyusui terhadap Pengetahuan, Sikap dan Tindakan Ibu Menyusui pada bayi usia 0-6 bulan di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Puskesmas Taman Bacaan di Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang, tujuan khusus diperolehnya perbedaan pengetahuan, sikap dan praktek ibu sebelum dan sesudah diberi konseling dan tanpa diberi konseling menyusui. METODE PENELITIAN Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan Quasi Experimental design dengan bentuk Non Equvalen Control Group Design. Penelitian ini dilaksanakan di 2 Puskesmas Kota Palembang yaitu Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu 1 dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 sampai ISSN 0126-107X
bulan Nopember 2011. Tahap pertama adalah persiapan, penetapan lokasi, pendataan ibu menyusui dan penyusunan modul konseling menyusui. Pada tahap kedua dilakukan pengumpulan data awal berupa karakteristik ibu dan bayi dan pretest pengetahuan, sikap dan pengamatan menyusui. Tahap ketiga intervensi berupa konseling menyusui terhadap ibu menyusui yang terpilih. Jumlah dan Cara Penentuan Besar Sampel Sampel diambil secara non probability sampling dengan tehnik non random untuk mencapai sampel dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya dengan menggunakan rumus menurut Lemeshow da Lwanga (1997) adalah sbb :
Berdasarkan rumus diatas maka diperlukan sampel sebanyak 35 orang kelompok kontrol dan 35 orang kelompok eksperimen dengan ciri-ciri sesuai dengan kepentingan penelitian. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Pengumpulan data dilakukan oleh 3 orang peneliti dan dibantu 2 enumerator terlatih lulusan D-III Jurusan Gizi Politeknik Kementerian Kesehatan Kemenkes Palembang. Pada tahap ini diberikan konseling menyusui kepada responden yang dipilih. Konseling menyusui diberikan berdasarkan jadwal kunjungan yang telah ditentukan yaitu saat ibu berkunjung untuk memberikan imunisasi bayinya, setiap hari Senin dan hari Rabu. Konseling menyusui diberikan secara individu oleh konselor, materi yang disampaikan di sesuaikan dengan masalah dan pengalaman ibu dengan tidak terlepas dari pedoman materi konseling. Saat diberikan konseling sekaligus dilakukan juga bimbingan terhadap ibu mengenai proses menyusui secara benar dengan dibantu alat peraga yaitu boneka dan perlengkapannya. Pemberian materi konseling menyusui berlangsung selama 30-60 menit diberikan setiap 2 minggu sekali sebanyak 4 kali. Bimbingan diberikan dalam bahasa Indonesia dan Palembang. Agar terjadi komunikasi yang baik antara konselor dan responden dan juga untuk meningkatkan pemahaman ibu mengenai materi yang diberikan, maka selama pelaksanaan konseling menyusui responden diberi waktu untuk menanyakan kembali materi yang sudah diberikan namun masih belum dipahami, sedangkan responden yang tidak mendapat konseling menyusui hanya diberikan 125
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
leaflet untuk dibaca tanpa diberikan pesan-pesan dan tetap datang sesuai jadwal kunjungan. Setelah 2 bulan penelitian dilakukan postest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Analisis Data •
•
Analisis Univariat Analisis akan digunakan untuk mendiskripsikan variabel bebas dan variabel terikat guna mendapatkan gambaran atau karakteristik responden dengan membuat tabel distribusi frekuensi. Analisis Bivariat Penelitian ini menggunakan analisis Paired Sample T-test yaitu pengujian terhadap 2 sampel yang saling berhubungan untuk mengetahui perbedaan sebelum dan setelah diberi treatment atau konseling dengan melihat perbandingan rat-rata hasil pretest dan postest pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (Riduan, 2010). Keputusan hipotesis didasarkan pada taraf kemaknaan p < 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN a. Karakteristik Responden Karakteristik responden pada pra perlakuan meliputi umur ibu, pekerjaan, tingkat pendidikan, penghasilan ibu, jumlah Responden yang terpilih merupakan responden yang telah memenuhi kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Jumlah responden pada pra perlakuan sebanyak 64 Responden dalam hal ini adalah 32 ibu menyusui yang berasal dari Kelurahan ¾ Ulu wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu sebagai kelompok perlakuan yang mendapatkan konseling menyusui dan 32 orang ibu menyusui yang berasal dari Kelurahan Tangga Takat wilayah kerja Puskesmas Taman Bacaan sebagai kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner sekali selama penelitian berlangsung pada awal penelitian. Gambaran lebih jelas data karakteristik responden pada kelompok perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
TABEL 1 Karakteristik Responden pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Karakteristik Umur Responden : a.<20 tahun b.20-24 tahun c.25-29 tahun d.30-34 tahun e.>=35 tahun TOTAL Pendidikan : a.Tidak /tamat SD b. Tidak /tamat SLTP c .Tidak /tamat SLTA d .Tidak /tamat PT TOTAL Pekerjaan : a.ibu rumah Tangga b.PNS c.Pegawai Swasta d.Wiraswasta TOTAL Penghasilan : a.0- Rp 500.000 b.Rp 500.000 Rp 1.000.000 c.> Rp.1.000.000 s/d 1.500.000 d.> Rp 1.500.000 TOTAL Jumlah Anak a.1 Orang b.2 Orang c.3 Orang d .>3 Orang TOTAL
Kelompok Perlakuan Kontrol n % n % 1 3.1 0 0 12 37.5 13 40.6 11 34.4 11 34.4 5 15.6 7 21.9 3 9.4 1 3.1 32 100.0 32 100.0 12 37.5 10 31.3 5 15.6 5 15.6 14 43.8 13 40.6 1 3.1 4 12.5 32 100.0 32 100.0 29 90.6 29 90.6 0 0 0 0 1 3.1 3 9.4 2 6.3 0 0 32 100.0 32 100.0 28
87.5
29
90.6
2
6.3
1
3.1
2
6.3
2
6.3
0 0 0 0 32 100.0 32 100.0 13 40.6 13 40.6 14 43.8 12 37.5 3 9.4 5 15.6 2 6.3 2 6.3 32 100.0 32 100.0
Berdasarkan karakteristik umur responden, sebagian besar ibu berada pada kisaran umur 20 s/d 24 tahun, baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol yaitu masing-masing (37,5%) pada perlakuan dan (40,6%) pada kontrol. Persentasi terendah pada kelompok perlakuan dan kontrol berada pada kelompok umur 35 tahun masing-masing (9,4%) untuk kelompok perlakuan dan (3,1%) untuk kelompok kontrol. 126
ISSN 0126-107X
Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati, Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Pengetahun, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang
Pendidikan responden sebagian besar berpendidikan Tidak/Tamat SLTA (43,8%) pada kelompok perlakuan dan (40,6%) pada kelompok kontrol. Paling sedikit responden yang berpendidikan Tamat PT baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol yaitu sebesar (3,1%) pada perlakuan dan (12,5%) pada kelompok kontrol. Pekerjaan responden pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol menunjukkan sebagian besar ibu mempunyai pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (90,6%) baik pada kelompok perlakuan maupun pada kelompok kontrol . Karakteristik penghasilan pada kelompok perlakuan dan kontrol sebagian besar berada pada kisaran Rp.0–Rp.500.000,- (87,5%) pada perlakuan dan ( 96,6%) kelompok kontrol, sedangkan penghasilan Rp.1.000.000,- s/d Rp. 1.500.00,- baik pada perlakuan maupun kelompok kontrol masingmasing sama sebesar (6,3 %) . Karakteristik jumlah anak yang dimiliki ibu menyusui pada kelompok perlakuan dan kontrol menunjukkan bahwa sebagian besar berada pada kisaran mempunyai anak 2 orang yaitu sebesar (43,8%) pada kelompok perlakuan dan 1 orang (40,6 %) pada kelompok kontrol. Persentase terendah berdasarkan jumlah anak pada kelompok perlakuan maupun kontrol adalah berjumlah diatas 3 orang masing-masing yaitu (6,3 %) pada kelompok perlakuan dan pada kelompok kontrol.
TABEL 2 Karakteristik Bayi pada kelompok Perlakuan dan kelompok kontrol
b. Karakteristik Bayi
Karakteristik umur bayi ibu menyusui pada kelompok perlakuan sebagian besar berada pada umur 5 bulan sebanyak (34,4%), sedangkan pada kelompok kontrol berada pada usia yang lebih muda yaitu 1 bulan sebanyak (31,3%) . Karakteristik jenis kelamin bayi pada kelompok perlakuan sebagian besar ibu menyusui mempunyai bayi berjenis kelamin perempuan sebanyak (59,4%), sedangkan pada kelompok kontrol mempunyai bayi berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak (62,5%) bayi. Berdasarkan karakteristik tempat persalinan bayi, sebagian besar ibu menyusui pada kelompok perlakuan dan kontrol melakukan persalinan pada bidan sebanyak (56,3%) pada kelompok perlakuan dan (53,1%) pada kelompok kontrol.
Karakteristik Bayi ibu menyusui berdasarkan umur bayi, jenis kelamin dan tempat persalinan seperti pada tabel 2 dibawah ini
Karakteristik Umur : a.1 Bulan b.2 bulan c.3 bulan d.4 bulan e.5 bulan f.6 bulan TOTAL Jenis Kelamin : a.Perempuan b.Laki-laki TOTAL Tempat Persalinan : a.Bidan b.Praktek Swasta c.Puskesmas Rumah Sakit TOTAL
c.
Kelompok Perlakuan Kontrol n % n % 3 2 8 8 11 0 32
9.4 6.3 25.0 25.0 34.4 0 100.0
10 4 7 5 4 2 32
31.3 12.5 21.9 15.6 12.5 6.3 100.0
19 13 32
59.4 40.6 100.0
12 20 32
37.5 62.5 100.0
18 2 2 10 32
56.3 6.3 6.3 31.3 100.0
17 0 2 13 32
53.1 0 6.3 40.6 100.0
Nilai Pretest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu Menyusui pada Perlakuan dan Kontrol
Sebelum diberikan konseling menyusui, dilakukan pretest pada kelompok perlakuan dan kontrol. Jumlah instrumen pengetahuan sebanyak 10 item dengan skor nilai tertinggi 10 dan terendah 0. Jumlah instrumen sikap sebanyak 9 item dengan skor tertinggi 18 dan skor terendah 9, sedangkan ISSN 0126-107X
127
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
jumlah instrumen praktek sebanyak 6 komponen dengan skor nilai tertinggi 12 dan nilai terendah 6. Nilai pretest pada kelompok perlakuan dan control dapat dilihat pada tabel 3 dan 4 berikut : Tabel 3 Nilai Hasil Pretest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu pada Kelompok Perlakuan Nilai Pretest Pengetahuan Sikap Pengamatan/ praktek
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
Mean
SD
3 12 3
10 18 6
7.69 14.91 4.75
1.388 1.553 0.842
Tabel 4 Nilai Hasil Pretest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu pada Kelompok Kontrol Nilai Pretest Pengetahuan Sikap Pengamatan/ praktek
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
Mean
SD
4 13 4
9 17 8
6.94 14.66 5.53
1.294 1.153 1.459
Berdasarkan Tabel 3 dan 4 diatas, menunjukkan bahwa nilai pretest pada kelompok perlakuan sebelum diberi konseling rata-rata 7.69, sedangkan pada kelompok kontrol 6.94. Nilai sikap pada kelompok perlakuan sebelum diberi konseling rata-rata 14.91 sedangkan pada kelompok kontrol 14.66. Nilai pengamatan menyusui pada kelompok perlakuan sebelum diberi konseling rata-rata 4.75, sedangkan pada kelompok kontrol 5.53. a. Nilai Postest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu Menyusui pada Perlakuan dan Kontrol Setelah diberikan konseling menyusui, dilakukan postest pada kelompok perlakuan sedangkan kelompok kontrol hanya diberikan leaflet tanpa perlakuan. Nilai postest pada kelompok perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada tabel 5 dan 6 berikut : Tabel 5 Nilai Hasil Postest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu pada Kelompok Perlakuan Nilai Postest
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
Mean
SD
Pengetahuan Sikap Pengamatan
7 14 6
10 18 11
8.47 16.25 7.53
.718 1.047 1.218
128
Tabel 6 Nilai Hasil Postest Pengetahuan, Sikap, dan Praktek Ibu pada Kelompok Kontrol Nilai Postest
Nilai Minimal
Nilai Maksimal
Mean
SD
Pengetahuan Sikap Pengamatan
5 13 4
9 17 8
7.50 14.91 5.78
1.191 1.174 1.475
Berdasarkan Tabel 5 dan 6 diatas terlihat bahwa hasil pengukuran terhadap pengetahuan ibu setelah penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata pengetahuan ibu mengalami peningkatan dari 7.69 menjadi 8.47 pada kelompok konseling, sedangkan pada kelompok kontrol dari 6.94 menjadi 7.50. Hasil pengukuran terhadap sikap ibu setelah penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata sikap ibu mengalami peningkatan dari 14.91 menjadi 16.25 pada kelompok konseling, sedangkan pada kelompok kontrol dari 14.66 menjadi 14.91. Hasil pengukuran terhadap praktek ibu setelah penelitian menunjukkan bahwa nilai ratarata praktek ibu mengalami peningkatan dari 4.75 menjadi 7.53 pada kelompok konseling, sedangkan pada kelompok kontrol dari 5.53 menjadi 5.78. 3. Data Bivariat a. Tahap Pra Perlakuan Data yang dikumpulkan pada tahap pra perlakuan adalah karakteristik responden dan karakteristik bayi. Sebelum diberikan konseling maka untuk mengetahui apakah dari kedua kelompok baik kelompok konseling maupun kelompok kontrol berada pada kondisi yang seimbang, maka sebelum pengujian hasil penelitian terhadap kedua kelompok terlebih dahulu perlu dilakukan uji homogenitas terhadap kedua karakteristik. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0.05) terhadap karakteristik ibu dan karakteristik bayi pada kelompok konseling maupun kelompok kontrol, dengan demikian kondisi pada kedua kelompok adalah homogen pada pra perlakuan. b. Tahap Penelitian Pada tahap ini, perlakuan yang diberikan adalah berupa pemberian konseling kepada ibu menyusui selama 2 bulan. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara pra perlakuan dan setelah penelitian, maka hasil nilai rata-rata yang diperoleh setelah penelitian dibandingkan tingkat kenaikannya dengan hasil rata-rata pada pra perlakuan, kemudian dilakukan uji analisis statistik Paired Sample T-test untuk melihat apakah ibu menyusui mengalami peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek secara bermakna. ISSN 0126-107X
Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati, Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Pengetahun, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang
b.1 Pengaruh Konseling Menyusui terhadap pengetahuan ibu Hasil pengukuran terhadap pengetahuan ibu pada pra perlakuan menunjukkan bahwa nilai ratarata yang diperoleh adalah 7.59 untuk kelompok konseling dan 6.94 untuk kelompok kontrol. Setelah perlakuan selama 2 bulan hasil rata-rata pengetahuan ibu meningkat menjadi 8.47 untuk kelompok konseling dan 7.50 untuk kelompok kontrol. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (p<0.05) antara kelompok konseling dan kelompok kontrol dalam hal peningkatan pengetahuan sebelum dan setelah penelitian. Rata-rata peningkatan pengetahuan di kelompok konseling sebesar 0.88 lebih tinggi dari pada di kelompok kontrol sebesar 0.56 , seperti terlihat pada tabel 7 berikut ini Tabel 7 Peningkatan Nilai Pengetahuan Ibu Antara Pretest dan Postest Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Nilai Pengetahuan
Perlakuan
Kontrol
Pretest
Postest
Pretest
Postest
-Mean
7.59
8.47
6.94
7.50
-SD
1.388
.718
1.294
1.101
Nilai p
0.00
0.00
Peningkatan pengetahuan yang terjadi pada kelompok kontrol bisa kemungkinan terjadi pada ibu karena adanya efek maturasi selama penelitian berlangsung, berupa perubahan fisik yaitu makin terampil atau terpapar dengan informasi mengenai ASI Eksklusif dari sumber informasi lain selain dari leaflet yang diberikan atau bahkan adanya faktor kejiwaan seperti lebih bersemangat, sehingga lebih cepat terjadi perubahan perilaku. WHO (1988) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang juga dapat diperoleh dari pengalaman, guru, orang tua, media massa lainnya. Menurut WHO (1992) faktor faktor yang turut mempengaruh keberhasilan dalam suatu pendidikan antara lain adalah strategi, metode dan alat bantu pelajaran yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Katherine dkk (1993) bahwa penyuluhan langsung lebih efektif dan lebih memotivasi sasaran untuk mengadopsi materi penyululuhan dan hasilnya 57% ibu-ibu mempunyai pengetahuan yang benar tentang gizi. Demikian juga Husaini (2000) menemukan bahwa penyuluhan gizi dan kesehatan melalui kontak ibu, dengan memberikan informasi yang benar mengenai gizi dan kesehatan selama hamil serta persiapan melahirkan, maka ISSN 0126-107X
ibu-ibu dapat mencegah timbulnya masalah gizi dan kesehatan. Hal yang senada juga dikemukakan oleh Wiesemann (1997) bahwa semakin tinggi pengetahuan seseorang mengenai hidup sehat, maka akan semakin baik sikap dan prilaku hidup sehat pada kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian sebelumnya mendukung penelitian ini, dengan adanya peningkatan pengetahuan yang terjadi pada kelompok konseling berarti sudah memperlihatkan adanya hal yang positif dalam kerangka proses belajar, sehingga informasi langsung melalui konseling menyusui menjadikan ibu- ibu lebih tanggap terhadap ideide baru dan mendorongnya secara nyata untuk merubah perilaku dan dengan adanya pemberian konseling menyusui juga merupakan salah satu upaya untuk pencegahan penyakit karena perilaku menyusui yang selama ini salah. b.2. Pengaruh konseling Menyusui terhadap sikap ibu Setelah diberikan konseling menyusui, dilakukan postest untuk mengukur tingkat perubahan sikap ibu. Postest dilakukan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kemudian dilakukan uji analisis statistik paired sample T-tes untuk melihat apakah responden mengalami peningkatan sikap secara bermakna setelah diberi konseling. Nilai rata-rata sikap responden yang diperoleh mengalami kenaikan setelah dilakukan postest baik pada kelompok konseling maupun pada kelompok kontrol. Nilai rata-rata sikap responden menjadi 1.34 lebih tinggi pada kelompok konseling dibanding pada kelompok kontrol sebesar 0.25. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa nilai rata-rata sikap pada kelompok perlakuan dan kontrol meningkat secara bermakna (p<0.05), hal ini dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini. Tabel 8 Peningkatan Nilai Sikap Ibu Antara Pretest dan Postest Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Nilai Sikap
Perlakuan
Kontrol
Pretest
Postest
Pretest
Postest
-Mean
14.91
16.25
14.66
14.91
-SD
1.553
1.047
1.153
Nilai p
0.00
1.174 0.00
Adanya perbedaan yang bermakna ratarata sikap pada kelompok konseling, hal ini dikarenakan adanya peningkatan pengetahuan ibu tentang pentingnya memberikan ASI Eksklusif
129
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
untuk kesehatan bayi. Dengan demikian informasi yang diberikan melalui konseling menyusui ada kemungkinan dapat merubah sikap ibu dalam menyusui yang selama ini kurang benar,sehingga ibu lebih perhatian terhadap kebutuhan gizi untuk bayinya agar bayinya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan sekaligus juga dapat menjaga kesehatan dirinya dengan lebih memperhatikan kebutuhan gizi selama menyusui. Husaini et al (2001) mengatakan untuk mengubah perilaku diperlukan adanya program penyuluhan yang efektif. Pendapat sejenis menurut Winarno (1997) mengatakan bahwa pengetahuan yang diajarkan tidak hanya sampai pada taraf koqnitif (tahu) saja, tetapi harus sampai pada tingkat perubahan attitude (pola tingkah laku). Heryudarini (2000) pada penelitian tentang konseling gizi dan kesehatan untuk pertumbuhan dan perkembangan motorik kasar anak kurang gizi penderita ISPA di Kabupaten Jawa Tengah, menunjukkan bahwa ada peningkatan terhadap konsumsi kalori anak, pertambahan Berat Badan dan Tinggi Badan anak serta perkembangan motorik kasar yang lebih banyak pada anak yang ibunya diberi konseling gizi. b.3. Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Praktek Responden Setelah diberikan konseling menyusui, dilakukan postest untuk mengukur tingkat perubahan praktek ibu. Postes/pengamatan dilakukan pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kemudian dilakukan uji analisis statistik paired sample T-tes untuk melihat apakah responden mengalami peningkatan praktek secara bermakna setelah diberi konseling. Nilai rata-rata praktek responden mengalami perubahan setelah dilakukan postest pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tidak terlihat terjadi perubahan. Perbedaan Nilai rata-rata praktek meningkat 2.78 pada kelompok konseling dibanding pada kelompok kontrol sebesar 0,25. Ini sejalan dengan penelitian Eleaine Albernaz, yang dilakukan di Brazil (2003) yang menyatakan bahwa pada kelompok ibu bayi yang mendapatkan konseling laktasi dapat meningkatkan asupan ASI pada bayi sedangkan pada kelompok kontrol tanpa perlakuan konseling laktasi menunjukkan bahwa usia penyapihan 2 kali lebih tinggi dibandingkan pada kelompok perlakuan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa nilai rata-rata praktek pada kelompok konseling dan kontrol meningkat bermakna ( p<0,05), hal ini dapat dilihat pada Tabel 9 berikut ini.
130
TABEL 9 Peningkatan Nilai Pengamatan Ibu Menyusui Antara Pretest dan Postest Pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol Nilai pengamatan praktek ibu menyusui
Perlakuan Pretest Postest
-Mean
4,75
-SD
.842
Nilai p
Kontrol Pretest
Postest
7.53
5.53
5.78
1.218
1.459
0.00
1.475
0.00
Meskipun ada peningkatan terhadap praktek pada kelompok kontrol, namun selama penelitian berlangsung kelompok kontrol hanya diberikan leaflet tanpa berisi tentang pesan-pesan tentang menyusui yang benar, dalam hal ini bila ditinjau dari sudut komunikasi maka dengan diberikannya leaflet, ibu-ibu diminta untuk membaca dan belajar, akan tetapi untuk membaca dan belajar membutuhkan motivasi yang tinggi. Sedangkan kelompok kontrol motivasinya rendah sehingga kurang tertarik untuk membaca dengan baik. Sehingga dengan pengetahuan yang rendah akan berdampak pada sikap sehari-hari untuk menerapkan informasi mengenai pentingnya ASI untuk menjaga kesehatan bayinya. Adanya peningkatan praktek pada kelompok konseling menunjukkan bahwa pada dasarnya pendidikan gizi melalui konseling menyusui bertujuan untuk menyampaikan pesan agar perilaku masyarakat khususnya ibu menyusui dapat berubah, dimana model pendidikan gizi masyarakat dalam menyampaikan pesannya perlu dilengkapi modul dan alat bantu peraga sehingga informasi yang akan disampaikan mudah untuk diadopsi. Penelitian Guptill, dkk (1998) mengenai pemberian intervensi dengan menggunakan program pendidikan gizi untuk meningkatkan status gizi bayi dengan perubahan pola makan, dan memperkenalkan fortifiet makanan penyapih yang disiapkan dirumah dengan cara memperkenalkan resep baru, cara memasak atau menyiapkan makanan dan informasi masalah kesehatan, hasilnya 57% ibu-ibu yang ikut dalam studi mempunyai pengetahuan yang benar, 48% telah mencoba resep baru dan 16.6% telah mengadopsi resep baru. Hasil penelitian Wachidanijah (2002) yang menemukan adanya hubungan yang kuat antara pengetahuan dan sikap responden dengan perilakunya. Peningkatan skor pengetahuan dan sikap tentang perawatan bayi metode kanguru diikuti oleh peningkatan skor perilakunya. Dari hasil penelitian yang ditemukan menunjukkan bahwa dengan pemberian informasi ISSN 0126-107X
Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati, Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Pengetahun, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang
langsung tentang kesehatan bayi dan pentingnya memberikan ASI pada bayi yang diberikan melalui konseling menyusui pada saat kunjungan ke puskesmas sudah diterapkan ibu dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, dengan melihat adanya peningkatan praktek setelah 2 bulan pemberian konseling menyusui juga usaha memberikan bimbingan kepada ibu kearah perilaku gizi untuk menuju ke perilaku menyusui yang lebih baik lagi. KESIMPULAN Kelompok yang mendapat konseling menyusui, pengetahuannya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan pengetahuan pada kelompok yang tidak mendapatkan konseling menyusui. Kelompok yang mendapat konseling menyusui, sikapnya tentang menyusui menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sikap pada kelompok yang tidak mendapatkan konseling menyusui. Kelompok yang mendapat konseling menyusui, tindakan/praktek dalam menyusui menjadi lebih baik dibandingkan dengan tindakan/praktek pada kelompok yang tidak mendapatkan konseling menyusui. Melihat masih banyaknya ibu menyusui yang (Knowledge, Attitude dan Practice) KEP-nya masih rendah, maka konseling menyusui sangat penting untuk dilaksanakan secara berulang kepada ibu bayi yang bertujuan untuk mengingatkan kembali materi dan praktek yang sudah diberikan sehingga proses menyusui bagi ibu bayi dapat berlangsung secara terus menerus dalam kehidupan sehari-hari. Serta perlu adanya peningkatan kerjasama tenaga yang terlatih (tenaga gizi dan bidan) khususnya dalam memberikan konseling menyusui kepada ibu yang mempunyai bayi dengan membuat perencanaan penjadwalan konseling menyusui di Puskesmas.
Elaine Albernez, Caesar G. Victora, dkk. Lactation Counseling Increases Breast Feeding Duration But Not Breast Milk Intake As Measured By Isotopic Methode Lameshow. S. and L. Wanga, David W.H. Jr Jenelle, K.Stephen, K.L (1997) Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan, Terjemahan Drg. Dibyo Pramono, SU. MDSc, Gajah Madah University Press, Yogyakarta Riduan dan Akdon (2010), Rumus dan data Dalam Analisis Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta Cetakan ke-4, Bandung WHO, (2002), Konseling Menyusui, Pelatihan untuk Tenaga Kesehatan Direktorat Gizi Masyarakat, Departemen Kesehatan dan Badan Kerja Peningkatan Penggunaan ASI, Jakarta Dinas Kesehatan Kota Palembang. Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2008
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S (1977). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi IV. Reneka Cipta Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riskesdas (2010), Jakarta DepKes RI (2001) Manajemen Laktasi : Buku Panduan Bagi Bidan dan Petugas Kesehatan di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Gizi Masyarakat, Jakarta
ISSN 0126-107X
131
PENGARUH NATRIUM BIKARBONAT TERHADAP KADAR ASAM LAKTAT DARAH PADA LATIHAN FISIK MAHASISWA AKADEMI KEBIDANAN BUDI MULIA PALEMBANG Prahardian Putri Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Latihan fisik merupakan suatu kegiatan yang memerlukan energy dalam bentk ATP. ATP diperoleh dari proses metabolisme system penyediaan energy. Di dalam tubuh terdapat tiga system penyediaan energy yaitu system kreatinfosfat, anerobik dan oksidatiffosforilasi zat makanan. ATP yang disediakan energy selama zat makanan tersedia. Jika latihan fisik ditingkatkan maka ATP yang diperlukan meningkat juga. Untuk menyediakan ATP yang cepat yaitu melalui pemecahan glukosa menjadi molekul piruvat, piruvat yang menumpuk akan segera berdisosiasi menjadi asam laktat. Penelitian yang dilakukan ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh natrium bikarbonat terhadap kadar asam laktat darah. Natrium bikarbonat berfungsi sebagai buffer terhadap asam laktat. Dalam penelitian ini menggunakan 90 sampel mahasiswi yang di bagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok control dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol diberikan aqua sedangkan kelompok intervensi diberikan natrium bikarbonat dosi 300 mg/kg.bb yang di berikan 20 menit sebelum latihan fisik. Kadar asam laktat darah subjek pada menit ke-10 kelompok kontrol yaitu 6.32 ± 0.42, pada kelompok intervensi 5.96 ± 0.50. pada menit ke 20 yaitu 7.33 ± 0.63 pada kelompok kontrol dan 6.90 ± 0.63 pada kelompok intervensi. Analisis data menggunakan Anova satu arah dengan uji beda 2 rata-rata menunjukan ada perbedaan bermakna (p < 0.05). Dapat disimpulkan bahwa pemberian natrium bikarbonat dapat menurunkan kadar asam laktat darah pada latihan fisik.
PENDAHULUAN Latihan fisik akan menggunakan energi (ATP) yang dihasilkan melalui proses pemecahan molekul glukosa. Proses pemecahan molekul glukosa (glikolisis) dapat melalui dua jalur yaitu jalur aerobik dan jalur anaerobik. Glikolisis aerobik akan melibatkan oksigen sebagai pengoksidasinya, dimana setiap satu molekul gukosa akan menghasilkan 34 ATP. Pada kondisi sel kekurangan oksigen untuk oksidasi pemecahan molekul glukosa dapat terjadi secara anaerobik, tetapi dampak dari proses ini dihasilkan asam laktat (Effendi, 1983;Crowe,2007). Laurentia (2003) mengemukakan bahwa latihan fisik yang menggunakan energi ATP secara kontinue dan maksimal menyebabkan sel kekurangan oksigen dan pemecahan molekul glukosa terjadi secara anaerobik akan menghasilkan produk akhir sementara berupa asam laktat. Sehingga asam laktat tersebut akan menumpuk di jaringan otot dan menyebabkan kelelahan pada akhirnya otot tidak mampu berkontraksi optimal dan daya tahan otot menjadi berkurang. Dalam kondisi aerobik murni seluruh asam piruvat yang dihasilkan dari proses glikolisis akan langsung menuju jalur siklus Krebs dan 132
menghasilkan ATP, karbondioksida dan uap air. Tetapi kondisi ini hanya terjadi pada saat tubuh melaksanakan aktivitas biasa (kondisi sel tidak kekurangan oksigen untuk oksidasi). Sebaliknya jika aktivitas fisik meningkat, energi yang diperlukan juga meningkat sehingga pemecahan glikogen juga meningkat. Meningkatnya pemecahan glikogen menyebabkan priruvat yang terbentuk juga meningkat. Jika aktivitas ditingkatkan sampai pada kondisi submaksimal atau maksimal maka piruvat yang terbentuk akan lebih besar , dan pada saat ini tidak semua piruvat dapat masuk ke siklus Krebs tetapi sebagian piruvat akan segera menjadi laktat.( Guyton and Hall , 2000). Sistem anaerobik disebut sistem glikogen asam laktat, karena terjadi pemecahan glikogen menjadi asam piruvat. Selanjutnya piruvat segera berdisosiasi menjadi asam laktat. Sistem ini terjadi karena sel tubuh kekurangan oksigen. Karakteristik dari sistem anaerobik adalah dapat membentuk ATP dengan sangat cepat yaitu tiga kali lebih cepat daripada sistem aerobik. Bila proses anaerobik berlangsung diotot maka akan terjadi penumpukan asam laktat yang menimbulkan kelelahan. Secara alami diperlukan waktu 30-40 menit untuk membersihkan laktat ISSN 0126-107X
Prahardian Putri, Pengaruh Natrium Bikarbonat Terhadap Kadar Asam Laktat Darah Pada Latihan Fisik Mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang
tersebut. Kadar asam laktat yang normal adalah 0,0045 sampai dengan 0,09 gr/L. Tetapi setelah aktivitas kadar laktat dapat mencapai 2.25 gr/L yang merupakan batas ambang laktat darah (Lactate Treshold). Batas ambang laktat adalah suatu keadaan atau kondisi asam laktat darah yang meningkat cepat (fase Log) tetapi otot masih dapat kontraksi optimum. Pada saat tersebut proses anarobik sangat berperan dalam pembentukan ATP. Seorang olahragawan seperti pelari jarak pendek sangat penting mengetahui batas ambang laktat darah. Karena bila kadar asam laktat darah meningkat maka tubuh melakukan proses anaerobik, dimana kondisi ini tidak dapat bertahan lama karena otot akan segera kelelahan (Brooks G.A, 1985). Ketika melakukan latihan fisik yang berat dalam waktu 1 menit hampir semua cadangan oksigen digunakan untuk proses aerobik. Ketika latihan fisik selesai semua cadangan oksigen harus digantikan dengan menghirup oksigen tambahan lebih dari sembilan liter untuk menghasilkan sistem fosfatagen dan sistem laktat. Semua tambahan oksigen harus dibayar kembali sebanyak 11,5 liter yang disebut sebagai hutang oksigen. Pada aktivitas lari jarak pendek (100 m) diperlukan energi yang maksimum dimana terjadi pembentukan asam laktat sangat cepat, karena itu proses anaerobik menempati persentase jauh lebih tinggi dengan rasio 95 % anaerobik dan 5 % aerobik (Bangsbo, et al 1995). Dengan pemberian oksigen diharapkan dapat mempercepat pembayaran hutang oksigen sehingga mengkonversikan kembali asam laktat menjadi piruvat dengan lebih cepat dan dapat mempertahankan nilai ambang laktat, Dari penelitian Dini (2007 ) bahwa nilai kadar laktat yang diberikan intervensi bikarbonat dan oksigen twerjadi peningkatan dari 6,3 mmol/L pada menit ke 10 meningkat menjadi 6,9 mmol/L. karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ” Perbandingan Pemberian Oksigen 100 % saat latihan Fisik Terhadap Kadar Asam Laktat ?”otot.Jika terjadi penumpukan laktat pada intraseluler, lakta segera berdifusi ke plasma darah dan meningkatkan keasaman pada carian darah. Bikarbonat merupakan penetral yang bersifat basa, secara alami mengatur keadaan homeostatic asam basa di dalam tubuh. Secara kimia bikarbonat berikatan dengan ion hydrogen laktat membentukan air dan karbondioksida, karbondioksida yang terlarut dalam darah akan dikerluarkan melalui system respirasi. Sekarang ini banyak makanan atau minuman yang mengandung bikarbonat yang dijual secara bebas. Makana dan minuman yang mengandung bikarbonat tersebut diduga dapat mengurangi ISSN 0126-107X
rasa lelah yang diakibatkan oleh asam laktat. Penelitian yang dilakukan ini membuktikan apakah pembentukan laktat pada fisik dapat diturunkan dengan pemberian natrium bikarbonat. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Sampel dibagi menjadi dua kelompok perlakuan. Pembagian menjadi kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan secara random dengan menggunakan tabel bilangan Random. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang Sumatra Selatan yang tersimpan dalam Database yang lengkap dan baik yang merupakn populasi terjangkau dan dapat dilakukan sampling untuk mencari sampel penelitian. 2. Sampel Sampel diambil dari populasi terjangkau mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia sebanyak 90 Orang. Cara Kerja 1. Perisiapan alat dan bahan Semua alat sebelum penelitian sudah dikalibrasi sesuai prosedur dan valid untuk dipergunakan, dan bahan uji dibuat oleh apoteker dari apotik yang mendapat izin dari Depkes RI. 2. Persiapan Subjek Semua subjek telah membaca dan memahami isi petunjuk dan bersediah mengikuti penelitian. a. Semua subjek diintuksikan : 1. Tidur yang cukup 2. Tidak minum alcohol ataupun minumminuman yang berbikarbonat pada 12 jam sebelum treadmill, 3. Dua hari sebelum beban fisik berjalanberlari di atas treadmill tidak melakukan kegiatan fisik yang berat. 4. Dua jam sebelum beban fisik berjalanberlari di atas treadmill semua subjek tidak boleh makan. 5. Cara melakukan beban fisik berjalan –berlari treadmill 6. Pemberian bikarbonat ( pada kelompok perlakuan ) dan pemberian aqua (pada kelompok kontrol) dilakukan pada 20 menit sebelum beban treadmill 133
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
7. Subjek minum larutan natirum bikarbonat atau minuman pada 20 menit. Untuk mencegah terjadinya muntah maka minuman dibagi menjadi 3 kali Minum yaitu pada menit ke-20, ke-15, dan ke-10 sebelum beban fisik treadmill
Gambar :. Skema waktu pemberian bikarbonat,beban fisik, dan koleksi data b. Prosedur melakukan beban fisik dengan berjalan-berlari di treadmill dan pengukuran laktat darah 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7.
8. 9.
10. 11. 12. 13.
14. 134
Subjek menggunakan pakaian olahraga standar. Treadmill telah terpasang dengan baik Subjek berdiri dengan kaki kanan dan kaki kiri di pinggir ban treadmill pada garis yang telah ditentukan dengan kedua tangan berpegangan menghadap kedepan Sampel darah ke-1 diambil pada menit ke-0 (sebelum beban fisik). Setelah pengambilan sampel darah, bekas luka tusukan jarum dibersihkan dengan alcohol, dan ditutup dengan plaster Subjek mendengar aba-aba yang diberikan oleh peneliti. Peneliti memberikan aba-aba bahwa ban treadmill segera di jalankan, kecepatan mulamula 1 kph selama 10 detik, lalu memberikan aba-aba tangan tidak berpegangan , subjek siap berlari Kecepatan selanjutnya ditingkatkan menjadi 3 kph, 6 kph selanjutnya 8 kph sampai menit ke-10 Peneliti memberikan aba-aba, kecepatan diturunkan menjadi 6 kph, 3 kph, tangan subjek segera bepegangan,lalu pengambilan sampel darah ke-2. Setelah pengambilan sampel darah, bekas luka tusukan jarum dibersihkan dengan alcohol, dan di tutup dengan plaster. Kaki segera ke ban treadmill. Treadmill dijalankan lagi. Setelah stabil menjadi 6 kph dan selanjutnya konstan 8 kph sampai menit ke-20. Peneliti memberikan aba-aba, kecepatan diturunkan menjadi 6 kph,3 kph, 1 kph, tangan subjek segera berpegangan , lalu pengambilan sampel darah ke-3 (terakhir) Setelah pengambilan sampel ,bekas
luka tusukan jarum dibersihkan dengan alcohol,diplaster. 15. Subjek turun dari treadmill. C. Prosedur monitor menggunakan laktat darah 1. Kadar asam laktat darah diukur dengan menggunakan Accurtrend Lactate buatan jerman dengan akurasi kadar laktat 0,7 mmol/L – 27 mmol/L. 2. Lactometer strips yang digunakan adalah tipe E-641. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Subjek penelitian sebanyak 90 orang, dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok kontrol sebanyak 45 orang dan kelompok intervensi sebanyak 45 orang.pembagian kelompok dilakukan secara random dengan menggunakan tabel bilangan random. Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian Berdasarkan Kadar Asam Awal,Usia,Tinggi Badan,Berat Badan dan Kadar Haemoglobin. Parameter Usia (Tahun) Tinggi Badan (cm) Berat Badan (Kg) Haemoglobin (mmHg) Kadar Laktat Awal (mmol/L)
Kelompok Kontrol
Kelompok Intervensi
18.71 ± 1.12
19.13 ± 1.04
153.17 ± 1.81
153.24 ± 1.68
39.90 ± 0.87
39.90 ± 090
12.09 ± 0.41
12.09 ± 0.40
2.16 ± 0.42
2.60 ± 043
Dari deskripsi data pada tabel 1. Dapat disimpulkan bahwa subjek pada penelitian ini tidak berkendala, kadar asam laktat darah dalam batasan normal, dan kadar hb normal tidak menunjukan tanda-tanda anemia. Beban Fisik diberikan berupa berlari diatas treadmill dengan kecepatan 8 kph selama 20 menit, yang dibebankan pada setiap subjek.Pemberian larutan natrium bikarbonat di lakukan 20 menit sebelum beban fisik berlari diatas treadmill. Koleksi data kadar dilakukan pada menit ke-10 dan menit ke-20.
ISSN 0126-107X
Prahardian Putri, Pengaruh Natrium Bikarbonat Terhadap Kadar Asam Laktat Darah Pada Latihan Fisik Mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang
Tabel 2. Rata-rata kadar asam darah subjek pada menit ke10 dan menit ke-20 Kadar Asam Laktat Darah Kelompok Kontrol Kadar Asam Laktat Darah Kelompok Intervensi
Menit ke -10
Menit Ke-20
6.32 ± 0.42
7.33 ± 0.63
5.96 ± 0.50
6.90 ± 0.63
Analisis Statistik Selama melakukan latihan fisik terjadi peningkatan kadar asam laktat darah baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok Intervensi. Peningkatan kadar asam laktat darah subjek selama penelitian dengan beban fisik berjalan berlari selama 20 menit dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar : Perubahan kadar laktat darah subjek pada 0 menit, 10 menit, 20 menit Analisisi statistic kadar asam laktat darah subjek setelah 10 menit beban fisik berlari di atas treadmill antara intervensi natrium bikarbonat dengan kontrol aqua menunjukkan hasil yang signifikan. F hitung adalah 12,961. F tabel pada α = 0,01 adalah 7,08. F hitung Lebih besar dari pada F hitung adalh 10,394. F tabel α = 0,01 adalah 7,08 F hitung lebih besar dari pada F tabel berarti Ho ditolak.
ISSN 0126-107X
Pembahasan Latihan fisik meningkat kadar asam laktat darah. Pada gambar 1 menunjukan terjadi peningkatan kadar asam laktat darah subjek baik kelompok kontrol maupun kelompok intervensi. Rata-rata kadar asam laktat dara mula-mula pada kelompok kontrol adalah 2,5 mmol/L meningkat menjadi 6,3 mmol/L pada menit ke-10, dan meningkat lagi menjadi 7,33 pada menit ke-20. Demikian juga pada kelompok intervensi, kadar laktat mula-mula 2,6 mmol/L meningkat menjadi 5.96 mmol/L dan meningkat lagi 6,9 mmol/L pada menit ke-20. Peningkatan kadar asam laktat darah selama beban fisik karena meningkatnya kebutuhan energi. Berlari pada kecepatan 8 kph merupakan aktivitas fisik yang memerlukan energi dalam bentuk ATP yang cukup besar, untukk memeperoleh ATP melalui pemecahan molekul gula, pada proses ini dihasilkan 2 ATP,2NADH, dan 2 molekul asam piruvat. Karena intensitas aktivitas fisik terus meningkat maka proses pemecahan glukosa semakin meningkat sebagai akibatnya terjadi penumpukan piruvat. Piruvat di dalam sel segera berdisosiasi menjadi asam laktat. Asam laktat selanjutnya berdisfusi keluar dari masuk ke cairan intraseluler dan masuk kesistemik sebagai kompensasi maka asam laktat yang ada di dalam darah meningkat. Pada gambar 13 kadar asam laktat darah kelompok kontrol meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kelompok intervensi baik pada menit ke-10 maupun pada menit ke-20, dari analis statistic kadar asam laktat darah pada menit ke-10 dan menit ke-20 (lampiran 2) menunjukan perbedaan yang signifikan antara kelompok yang di iintervensi bikarbonat dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi aqua. Paa kelompok yang diintervensi bikarbonat produksi asam laktat lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberi aqua. Hal ini menunjukkan bahwa bikarbonat berpengaruh terhadap produksi asam laktat. Bikarbonat dapat meningkat ion hydrogen yang berfungsi untuk pembentukan asam laktat dan mempengaruhi kerja enzim Lactate dihidrogenase, selain itu bikarbonat dapat mengikat ion hydrogen pada asam laktat membentuk malat, air dan karbondioksida. Malat merupakan molekul yang selanjutnya dapat masu ke siklus Kreb’s dan merupakan sumber energi bagi tubuh. Sedangkan karbondioksida dikeluarkan melalui sistem respirasi dan air dapat melalui sistem ekskresi atau sistem respirasi Pada proses pembentuka laktat ada 4 faktor yang berperan yaitu 1) jumlah molekul asam piruvat. Piruvat dibentuk dari proses glikosis, jika kondisi oksigen cukup atau tubuh hanya melakukan aktivitas biasa, jumlah piruvat di dalam tubuh 135
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
sebanding dengan jumlah asam laktat yaitu berkisar antar 1,2 – 5,1 mmol/L 2) NADH, berfungsi sebagai donor ion H+ untuk mengubah asam piruvat menjadi ion laktat. 3) ion H+ yang segera berikatan dengan ion laktat dengan bantuan LDH (lactate dehidrogenase) menjadi asam laktat. 4) enzim yang berperan yaitu LDH yang berfungsi sangat baik pada kondisi asam, pada keadaaan biasa pH lebih tinggi kerjad LHD di bawah kondisi optimal.42,46,47 Terjadinya peningkatan kadar asam laktat darah pada aktivitas fisik karena jumlah asam piruvat yang terbentuk tidak seimbang dengan jumlah piruvat yang diruaikan dari prosese glikolisis. Sehingga untuk mencegah asisdosis piruvat, segera dikonversi menjadi asam laktat. Pada kelompok yang hanya diberi natrium bikarbonat kandungan asam laktat lebih renda dibandingkan dengan kelompok hanya diberi aqua, karena bikarbonat yang diserap tubuh segera berikatan dengan molekul piruvat membentuk oxaloacetat dan malat terjadi pengikatan yang kuat oleh bikarbonat terhadap ion hydrogen sehingga bikarbonat berfungsi, dan kerja enzim LDH tidak optimal.3 Data hasil penelitian pada tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar asam laktat darah pada kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol pada menit ke-10 dan ke20. Kadar laktat kelompok intervensi lebih rendah karena bikarbonat sebagai buffer terhadap asam laktat. Secara biokimia peran bikarbonat diketahui sebagai berikut. Peran bikarbonat adalah sebagai pengikat ion H+ pada cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler membentuk asam karbonat( H2CO3) Selanjutnya asam karbonat di dalam cairan darah akan dibawah ke sistem respirasi menjadi H2O dan CO2. Air dan karbondioksida selanjutnya akan diereksikan selama proses pernafasan. Bikarbonat akan bergabung dengan asam piruvat di dalam sel otot membentuk malat, selanjutnya akan langsung masuk ke Siklus Kreb’s.50 Pemberian natrium bikarbonat dilakukan secara bertahap dengan tujuan agar pemberian lebih efektif, subjek tidak mual atau muntah selama penelitian. Bikarbonat yang diberikan dengan pengenceran 12 gr/L agar larutan bersifat isotonis. Jika pemberian konsentrasi larutan lebih hipertonis akan menggangu peneyerapan di dalam tubuh. Larutan natrium bikarbonat isotonis jika mempunyai konsentrasi 9 – 15 gr/L. Bikarbonat di dalam tubuh dapat diperoleh melalui asuupan minuman/makanan dan bikarbonat yang dihasilkan sendiri oleh tubuh yang berguna untuk mengaktifkan enzim pencernaan di usus. Bikarbonat yang dihasilkan oleh tubuh diserap kembali di usus melelui mekanisme pertukaran antar ion natrium dan ion hydrogen. Ion natrium dari usus masuk ke dalam sel sedangkan ion H+ dilepas di 136
usus berikatan dengan ion bikarbonat membentuk air dan karbondioksida. Bikarbonat yang diperoleh melalui asupan makanan atau minuman akan diserap bersama air di lambung dengan cepat dan masuk ke dalam darah. KESIMPULAN Dari analisis statistic didapat bahwa pemberian natrium bikarbonat untuk menurunkan pembentukan dan penumpukan asam laktat darah ternyata menujukan perbedaan yang bermakna karena kadar asam laktat darah subjek setealh intervensi natrium bikarbonat lebih rendah dibandingkan dengan kadar asam laktat darah subjek yang diberi aqua. Secara fisiologi bahwa pemberian natrium bikarbonat pada dosis 300 mg/kg berat badan fisik berlari 8 kph di atas treadmil menurunkan produksi asam laktat darah. SARAN 1. Natrium bikarbonat menurunkan produksi asam laktat darah pada saat latihan fisik,sehingga perlu diteliti pemberian dosis natrium bikarbonat yang berbeda. 2. Diharapkan ada penelitian lain tentang peningkatan beban fisik dan bagaiman pengaruhnya dengan kadar asam laktat darah jika diberi bikarbonat dengan dosis yang sama. 3. Dicobakan pada pembebanan selain lari di atas treadmill, misalnya dengan ergo cyle,aktivitas di lapangan. 4. dapat dilakukan penelitian lebih lanjut pada subjek laki-laki, walaupun diktahui bahwa laki-laki dan wanita mempnyai fisiologi metabolisme yang sama DAFTAR PUSTAKA 1. Guyton,C.A, Hall,Y.E.1984. Buku ajar Fisiologi (Edisi ke-9),Terjemahan oleh : irawati setiawan,EGC,Jakarta,Indonesia. 2. Ganong, F.W.2002.Fisiologi Kedokteran (Edisi ke-20) Alih bahasa Brahm, U. Pendit. Editor Bahasa Indonesia: M.Djauhari Widjajakusumah. EGC, Jakarta,Indonesia 3. Murray, K.R., et.al. 2003. Biokimia Haper. Alih bahasa : Andri Hartono,Jakarta,Indonesia. 4. Laurentia.M.2003. Nutrisi dan Sistem Penyediaan Energi. J.Kes.4:50-57 5. Krismadi, W. 2002. Kontrol dan Pemanfaatan Asam Laktat dalam peningkatan prestasi olahraga. J.Kes. Unsri.34(1):440-448. 6. Mughan.2001.Minuman Isontonik. J.Fis.5:6572 7. Donatelle,R. 2005.Physical Execise. J.Med.17:30-34. 8. Glenn., S.T 199. Biology for Advance.4th .ed.I Stanley Torner Pub,Cheltenham.Inggris. ISSN 0126-107X
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS TARUNA TUNAS BANGSA BATURAJA TIMUR Titik Asni Sulastri Dosen Prodi Keperawatan Baturaja Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Anak usia 0 – 14 tahun menempati 30 % pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 3.8 % per tahun. Situasi ini merupakan gambaran tingginya angka pertambahan penduduk, yang berarti pula semakin banyak penduduk usia muda atau remaja. Hal ini akan membawa konsekwensi bagi masalah-masalah social dan kesehatan yang berhubungan dengan masyarakat itu sendiri, antara lain perilaku seksual remaja. Sekola Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa merupakan salah satu jenjang pendidikan menengah atas berada di kota Baturaja dan juga merupakan salah satu institusi pendidikan semi meliter, yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu, saat ini mendidik 181 peserta didik yang terdiri dari tingkat I sampai tingkat III. Hasil survey terdahulu, sekolah ini mewajibkan siswa siswinya tinggal diasrama dan harus patuh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Disekolah ini juga sudah pernah dilakukan penelitian yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi seks bebas. Penelitian ini adalah Penelitian Deskriptif, desain yang digunakan cross sectional. Populasi berjumlah 181 siswa, sample diambil secara acak sederhana,agar semua siswa mempunyai peluang yang sama menjadi responden penelitian Hasil penelitian diperoleh bahwa ada hubungan jenis kelamin, pengetahuan, sikap, lingkungan, teman sebaya dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Bangsa Baturaja. Disarankan perlu peningkatan pengetahuan siswa, khususnya mengenai bahaya dan resiko dari perilaku seks bebas, dengan cara memberikan ekstrakurikuler dan etika bergaul dengan teman sebaya Kata-kata kunci : Pengetahuan, Kesehatan Reproduksi, Prilaku seks bebas
PENDAHULUAN Berhasilnya pembangunan sektor kesehatan berdampak kepada meningkatnya umur harapan hidup, menurunnya angka kematian bayi dan balita, serta dampak akhirnya adalah bertambahnya jumlah penduduk usia muda anak-anak dan remaja. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga 1995 penduduk yang termasuk dalam kaum muda 1024 tahun berkisar 31,2% dari jumlah penduduk Indonesia. Menurut Depkes RI (2000), bila la dilihat dari persentase kelompok umur, maka anak usia 0–14 tahun menempati 30% dengan laju pertumbuhan penduduk indonesia sebesar 3,8. Situasi ini merupakan gambaran tingginya angka pertumbuhan penduduk, yang berarti pula semakin banyak penduduk muda usia atau remaja. Hal ini akan membawa konsekuensi bagi masalah-masalah sosial dan kesehatan yang berhubungan dengan masyarakat itu sendiri, antara lain perilaku seksual remaja. Pangkahila mengemukakan (1998), masa remaja adalah masa peralihan antara masa anakanak dan dewasa. Orang menyebut masa remaja sebagai masa yang paling indah, tetapi berlawanan dengan itu, orang menyebutkan juga sebagai masa yang paling rawan. Keindahan dan kerawanan ini ISSN 0126-107X
muncul karena pada masa remaja terjadi sesuatu yang baru, yaitu perubahan-perubahan fisik. Keindahan dan kerawanan itu muncul karena pada masa remaja terjadi sesuatu yang baru, yaitu perubahan–perubahan fisik dan psikis. Secara fisik, perubahan yang nyata ialah pertumbuhan tulang dan perkembangan alat kelamin serta tanda-tanda seksual skunder seks, baik pada laki-laki maupun perempuan. Hormon seks yang terpenting ialah testosteron, estrogen dan progesterone. Pada perempuan, tanda fisik pertama yang menunjukkan perkembangan seksual ialah perkembangan payudara. Perkembangan ini oleh tumbuhnya rambut bagian pubis dan sekitar kelamin dan terjadinya menstruasi. Pada bagian lain Hurlock (1998) Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun. Pada priode ini terjadi perubahan baik dari segi fisik maupun dari segi psikologis. Perubahan psikologis yang terjadi merupakan manifestasi dari penyesuaian peran terhadap tugas perkembangan pada masa remaja, seperti: meningkatnya tuntutan dan harapan sosial, adanya tuntutan-tuntutan kemandirian dari orang tua, meningkatnya kebutuhan untuk berhubungan dengan kelompok sebaya, mampu bersikap sesuai norma sekitar, kompeten secara intelektual, 137
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
berkembangnya tanggung jawab pribadi dan sosial serta belajar untuk mengambil keputusan. Selain itu perubahan fisik yang terjadi pada masa ini adalah terjadinya kematangan fungsi jasmaniah yang biologis berupa kematangan kelenjar kelamin yaitu testis untuk laki-laki dan ovarium pada anak wanita. Keduanya merupakan tanda-tanda kelamin primer sedangkan tanda kelamin skunder antara lain tumbuhnya kumis dan memberatnya suara pada remaja pria serta pertumbuhan payudara pada remaja wanita. Pada bagian lain dijelaskan pula bahwa masa remaja juga merupakan masa yang sangat kritis yaitu masa peralihan dari masa kanak-kanan kemasa dewasa, dimana pertumbuhan dan perkembangan masih terus terjadi aik fisik maupun psikososial (Zarni et al,99). Penelitian yang dilakukan oleh Laksmiwati (1999) di Bali tentang perilaku berpacaran remaja di Bali, di dapatkan hasil bahwa: responden pria maupun wanita pada umumnya sudah mempunyai pacar. Pria mengaku pernah mempunyai pacar sebanyak 68,3% dan wanita sebanyak 75,5%. Wanita mempunyai lebih banyak pacar di bandingkan pria, yaitu masing–masing 51% dan 33,7%. Umur responden mempunyai pacar pertama adalah 12 tahun. Usia tertua pria adalah 22 tahun, wanita 20 tahun. Paling banyak responden mempunyai pacar pada umur 17 tahun. Ratarata umur mulai berpacaran pada pria adalah 16 tahun dan wanita 16,8 tahun. Pada bagian lain LD FE-UI (2002), tentang perilaku seksual sebelum menikah, di dapatkan data sebanyak 4% dari remaja menyatakan mereka pernah melakukan hubungan seksual sebelum kawin, yaitu 2,2% dari remaja kota dan 1,8% remaja dari desa. Selanjutnya 4,8% dari remaja laki-laki dan 3,3 % dari remaja perempuan untuk pertama kali melakukan hubungan seksual sebelum kawin adalah 15 tahun, sedangkan umur termuda laki-laki untuk pertama kali melakukan hubungan seksual sebelum kawin adalah 12 tahun.
Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa merupakan salah satu jenjang pendidikan mengengah atas berada di kota Baturaja dan juga merupakan salah satu institusi pendidikan yang ada di kabupaten Ogan Komering Ulu saat ini mendidik 181 peserta didik yang terdiri dari tingkat I sampai tingkat III. Hasil survey terdahulu sekolah ini mewajibkan siswa-siswinya untuk tinggal di asarama dan harus patuh pada ketentuanketentuan yang berlaku. Asrama yang disiapkan adalah asrama putra dan asrama putri. Disekolah ini juga sudah pernah diadakan penelitian yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi dan seks bebas (Profil SMA Taruna, 2010). Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui hubungan jenis kelamin, pengetahuan, sikap, lingkungan, pengaruh teman sebaya dalam hubungannya dengan perilaku seksual siswa SMA Taruna Tunas Bangsa Baturaja tahun 2011 METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian deskriptif, desain yang digunakan cross sectional (potong lintang). dalam penelitian ini variabel independen dan variabel dependen diobservasi sekaligus atau secara bersamaan. Variabel yang diteliti meliputi: jenis kelamin, pengetahuan, sikap siswa, lingkungan siswa, pengaruh teman sebaya dalam hubungannya dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja tahun 2011. Populasi adalah semua siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa kelas X (sepuluh) yang berjumlah 181 orang Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan menjadi responden penelitian. Sampel diambil secara acak sederhana, hal ini dimaksudkan agar semua mahasiswa mempunyai peluang yang sama menjadi responden penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisa Bivariat Tabel. 1 Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Kabupaten Ogan Komering UluTahun 2011 No 1. 2.
138
Jenis Kelamin Siswa Laki-laki Perempuan Jumlah
Perilaku Seksual Siswa Keterangan Risiko Rendah Risiko Tinggi Total 37 (77.083%) 11 (22.917%) 48 (100%) 24 (82.75%) 5 (17.25%) 29 (100%) 61 (79.22%) 16 (20.28%) 77 (100%)
p. value
OR
0.76
0.701
ISSN 0126-107X
Titik Asni Sulastri , Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual S iswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Timur
Dari tabel 1. Hubungan jenis kelamin siswa dengan perilaku seksual siswa, didapatkan hasil bahwa dari 48 orang siswa laki-laki sejumlah 22.917% siswa yang mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi, dan dari 29 orang siswa perempuan didapatkan sejumlah 17.25% siswa mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi. Setelah dilakukan uji statistik, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara variabel jenis kelamin dengan perilaku seksual siswa, nilai p 0.76 (p value > 0.05) dan Odd Ratio 0.701. Tabel .2. Hubungan Pengetahuan Siswa Tentang Seksualitas dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011 No 1. 2.
Pengetahuan Siswa Tentang Seksualitas Baik Kurang baik Jumlah
Perilaku Seksual Siswa Risiko Rendah Risiko Tinggi 52 (85.24%) 9 (14.76%) 9 (56.25%) 7 (43.75%) 61 (79.22%) 16 (20.28%)
Keterangan Total 61 (100%) 16 (100%) 77 (100%)
p. value
OR
0.028
4.494
Dari tabel.2. Hubungan pengetahuan siswa dengan perilaku seksual siswa didapatkan hasil bahwa, dari 61 orang siswa berpengetahuan baik sejumlah 14.76% mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi, sedangkan dari 16 orang siswa yang berpengetahuan kurang, sejumlah 43.75% mempunyai perilaku seksual yang berisiko tinggi. Setelah dilakukan analisis statistik lebih lanjut maka ditemukan hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan dengan perilaku seksual siswa, nilai p < 0.05 (p value 0.028) dan Odd Ratio 4.494. Tabel 3. Hubungan Sikap Siswa Terhadap Seksualitas dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011 No
Sikap Siswa Terhadap Seksualitas
1. 2.
Positif Negatif Jumlah
Perilaku Seksual Siswa Risiko Rendah Risiko Tinggi 49 (85.96%) 8 (14.04%) 12 (75%) 8 (25%) 61 (79.22%) 16 (20.28%)
Keterangan Total 57 (100%) 20 77 (100%)
p. value
OR
0.032
4.083
Dari Tabel 3. Hubungan sikap dengan perilaku seksual siswa, didapatkan hasil bahwa dari 57 orang siswa yang bersikap positif, sejumlah 14.04% mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi, sedangkan dari 20 orang siswa yang mempunyai sikap negatif sejumlah 25% mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi. Setelah dilakukan uji statistik didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel sikap dengan perilaku seksual siswa, nilai p < 0.05 (p value 0.032) dan nilai Odd Ratio 4.084. Tabel 4. Hubungan Lingkungan Tempat Tinggal Siswa dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011 No 1. 2.
Lingkungan Tempat Tinggal Siswa Positif Negatif Jumlah
Perilaku Seksual Siswa Risiko Rendah Risiko Tinggi 53 (80.30%) 13 (19.70%) 8 (72.72%) 3 (27.28%) 61 (79.22%) 16 (20.28%)
Keterangan Total 66 (100%) 11 (100%) 77 (100%)
p. value
OR
0.863
1.529
Dari Tabel 4. Hubungan lingkungan tempat tinggal dengan perilaku seksual siswa, dari 66 siswa yang menjawab lingkungan positif sejumlah 19.70% mempunyai perilaku seksual risiko tinggi, sedangkan dari 11 orang siswa yang berpendapat negatif didaptkan sejumlah 27.28% siswa mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi. Setelah dilakuan uji statistik didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara variabel lingkungan tempat tinggal dengan perilaku seksual siswa dan nilai Odd Ratio 1.529.
ISSN 0126-107X
139
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Tabel 5. Hubungan Pengaruh Teman Sebaya dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011 No 1. 2.
Pengaruh Teman Sebaya Positif Negatif Jumlah
Perilaku Seksual Siswa Risiko Rendah Risiko Tinggi 52 (80%) 13 (20%) 9 (75%) 3 (25%) 61 (79.22%) 16 (20.28%)
Keterangan Total 65 (100%) 12 (100%) 77 (100%)
p. value 0.996
OR 1.333
Dari Tabel 5. Hubungan teman sebaya dengan perilaku seksual siswa, didapatkan hasil bahwa dari 65 orang siswa yang mengemukakan positif terhadap teman sebaya, sejumlah 20% mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi, sedangkan dari 12 orang siswa yang berpendapat ngatif sejumah 25% mempunyai perilaku seksual berisiko tinggi. Setelah dilakukan analisis statistik didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara variabel pengaruh teman sebaya dengan perilaku seksual siswa nilai p > 0.05 ( p value 0.996) dan nilai Odd Ratio 1.333. Analisa Multivariat Tabel 1.Hasil Analisis Variabel Independen Untuk Dijadikan Pemodelan Analisis Multivariat No Variabel P value 1. Jenis kelamin siswa 0.76 2. Pengetahuan siswa 0.028* 3. Sikap siswa 0.032* 4. Lingkungan tempat tinggal 0.863 5. Pengaruh teman sebaya 0.996 Keterangan : *) masuk model analisis multivariate p < 0.25 Dari lima variabel yang diduga berhubungan dengan perilaku seksual siswa melalui regresi logistik didapakan dua variabel yang mempunyai nilai p > 0.25. Variabel tersebut antara lain jenis kelamin siswa, lingkungan tempat tinggal siswa dan pengaruh teman sebaya. Kemudian ketiga variabel ini dikeluatkan sebagai variabel kandidat. Dua variabel sisanya yang mempunyai nilai < 0.25 yaitu variabel pengetahuan nilai p 0.028 dan sikap nilai p 0.032 dijadikan model berikutnya. Tabel .2. Hasil Analisis Logistik Antara Variabel Pengetahuan dan Sikap Dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Tahun 2011 Variabel Pengetahuan Sikap Constant
B 1.541 1.444 -5.237
P. Wald 5.516 5.263 14.952
OR 4.670 4.237 0.005
Sig 0.019 0.022 0.00
95% CI 1.291 – 16.901 1.234 – 14.545 -
Pada pemodelan ini didapatkan p value < 0.05 (0.019) untuk variabel pengetahuan siswa. Gambaran ini menjukkan ada hubungan yang bermakna antara variabel pengetahuan siswa dengan perilaku seksual siswa. Untuk variabel sikap siswa didapatkan p value 0.022 (p value < 0.05). Gambaran ini juga menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap siswa dengan perilaku seksual siswa. Hasil dari analisis multivariate dengan pendekatan regresi logistik didapatkan bahwa faktor yang lebih dominan berhubungan dengan terjadinya perilaku seksual siswa berisiko tinggi adalah variabel pengetahuan siswa, nilai p 0.019.
140
ISSN 0126-107X
Titik Asni Sulastri , Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual S iswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Timur
KESIMPULAN 1.
2. 3.
4.
Didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara jenis kelamin dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa. Didapatkan hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Didapatkan hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara lingkungan dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara pengaruh teman sebaya dengan perilaku seksual siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa
SARAN-SARAN Walaupun dalam penelitian ini siswa perempuan lebih berisiko dibanding siswa laki-laki, karena mengingat masa-masa remaja merupakan masa yang rawan, maka perlakuan kita seharusnya sama antara siswa laki-laki dan siswa perempuan. 1. Dalam penelitian ini mayoritas siswa sudah mempunyai pengetahuan yang baik tentang seks dan seksualitas. Sebagai orang tua dan pendidik sudah sepatutnya untuk terus menanamkan pengertian yang benar kepada semua siswa bahwa seks harus benar-benar dipahami dan dimengerti dengan penuh rasa bertanggung jawab. 2. Sebagai orang tua dan pendidik kita semua berkewajiban untu terus menumbuhkan dan menanamkan sikap yang positif kepada siswa dalam menghadapi dan mengatasi gejolak seks remaja. 3. Diharapkan kepada institusi pendidikan untuk terus mempertahankan bahkan bila memungkinkan untuk terus meningkatkan kondisi lingkungan yang sudah positif sehingga tetap tidak memberikan peluang kepada sebagian siswa yang mungkin mau berbuat yang tidak sepatutnya. 4. Dalam penelitian ini didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara variabel pengaruh teman sebaya dengan perilaku seksual siswa, kondisi menunjukkan bahwa secara umum siswa sudah dapat menentukan sikap mereka dalam upaya memahami dan memenuhi kebutuhan seksual mereka.
ISSN 0126-107X
DAFTAR PUSTAKA Ariawan Iwan ,1992 Manajeman dan Analisis Data Penelitian, Jakarta Bachtiar Adang, Dkk, 2000 Metodologi Penelitian, PPS-IKM UI Jakarta Darwisyah Rokhmawati Siti, 1998 K e s e h a t a n Reproduksi Remaja, Edisi II, Jakarta Depkes RI, 1999 Penanggulangan Penyakit Menular Seksual Melalui Pelayayan KIA, Dirjenbinkesmas dan Kesga, Jakarta Hamid. M. Zainal, 1992 Mengukur Sikap Sosial Pegangan untuk Penelitian dan Praktisi, Bumi Aksara, Jakarta. Notoatmodjo, 2003 Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Andi Ofset, Yogyakarta Nursalam, 2008 Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Edisi 2, Salemba Medika, Jakarta Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa 2011 Profil Situasi Siswa Tahun Akademik 20102011 Rokhmawati Siti,Kesehatan Reproduksi Remaja, Press Briefing Kit III, Jakarta Indonesia Singarimbun, M, dan Effendi, S, 1987 Metodologi Penelitian Survai, LP3S, PT Midas Surya Gravindo, Jakarta
141
HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU, POLA ASUH DAN ASUPAN ZAT GIZI BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA (12 – 59 Bln) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS 4 ULU PALEMBANG TAHUN 2012 Yulianto, Nyimas Nur Khotimah, Siti Faimah Dosen Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Palembang ABSTRAK Balita adalah kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit, karena anak balita berada dalam masa transisi, yaitu masa terjadinya perubahan pola makan dari makanan bayi ke makanan dewasa, kurangnya ilmu pengetahuan para ibu akan tata cara pemberian makan pada anak, akan berdampak kepada kesalahan ibu-ibu dalam pemilihan bahan makanan dan menyebabkan pola asuh yang salah dan asupan yang kurang sehingga dapat menimbulkan gizi kurang pada anak. di Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu,terdapat prevalensi status gizi kurang sebesar 1,2%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan asupan zat gizi balita dengan status gizi balita (12-59 bulan) di wilayah kerja puskesmas 4 ulu palembang. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah crossectional dimana variabel bebas dan terikatnya diukur secara bersamaan. variabel yang diteliti adalah pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan asupan zat gizi balita sebagai variabel independent dan status gizi balita sebagai variabel dependen. Hasil analisis univariat menunjukkan balita berstatus gizi baik 74,5%, sebagian besar ibu balita memiliki pengetahuan gizi baik, sebesar 56,1%, sebagian besar balita memiliki pola asuh baik sebesar 29,6% sebagian besar balita memiliki asupan energi baik, sebesar 76,5% sebagian besar balita memiliki asupan protein baik, sebesar 79,6% Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi ibu (p = 0,000), asupan energi balita (p = 0,000), asupan protein (p = 0,000) dengan status gizi balita. Sedangkan pola asuh (p = 0,311) tidak ada hubungan dengan status gizi balita. Diharapkan adanya kerjasama dan peran serta petugas kesehatan di Puskesmas 4 Ulu Palembang dalam memperbaiki dan meningkatkan status gizi anak balita serta memberikan penyuluhan secara berkala, terutama tentang pengetahuan gizi dan pola asuh yang baik kepada ibu-ibu yang memiliki anak balita di wilayah kerjanya. Para ibu balita diharapkan dapat selalu mengawasi, mengasuh dan memberikan makanan yang sehat untuk balitanya, sehingga pola asuh ibu dan asupan zat gizi (energi dan protein) dapat ditingkatkan secara jumlah maupun mutunya. Kata Kunci : Pengetahuan, Pola Asuh, Asupan Zat Gizi, Balita
PENDAHULUAN Kecukupan gizi merupakan salah satu faktor utama dalam mengembangkan kualitas sumberdaya manusia, di mana merupakan indikator dalam keberhasilan pembangunan suatu bangsa (Almatsier, 2004). Menurut Notoatmodjo (2003), dalam Gizi Masyarakat (2006), anak balita merupakan kelompok usia yang rawan gizi dan rawan penyakit. Kelompok ini merupakan kelompok usia yang paling menderita akibat gizi buruk dan jumlahnya dalam populasi besar. Oleh karena itu pada usia ini, anak sangat memerlukan perhatian khusus dari orangtua agar tidak terjerumus ke masalah gizi. Faktor-faktor yang berperan dalam menentukan status gizi seseorang pada dasarnya terdiri dari 142
dua, yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung disebabkan karena asupan makanan yang salah atau tidak memenuhi gizi seimbang, karena penyakit infeksi terutama diare dan ISPA. Sedangkan penyebab tidak langsung, dikarenakan oleh ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh ibu dan pola pelayanan kesehatan dasar ibu dan anak. Ketiga penyebab tidak langsung ini, saling terkait antara satu dengan yang lainnya, yang pada akhirnya menentukan baik atau buruknya pola asuh (Soekirman,dkk, 2006). Ibu merupakan seorang yang paling dekat dengan anaknya, tentu saja harus memiliki pengetahuan tentang gizi. Untuk dapat menyusun menu yang sehat, seorang ibu perlu memiliki pengetahuan mengenai bahan makanan dan zat gizi serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya ISSN 0126-107X
Yulianto, Nyimas Nur Khotimah, Siti Faimah, Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh Dan Asupan Zat Gizi Balita Dengan Status Gizi Balita (12 – 59 Bln) Di Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang Tahun 2012
(Khumaidi,1994). Menurut Moehji (1988), sebagian besar kejadian gizi buruk dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang cara memelihara gizi dan pengaturan makanan untuk anaknya agar kebutuhan gizinya tercukupi. Masalah gizi di Indonesia pada umunya masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP) atau sering disebut dengan gizi buruk, terutama di kota-kota besar. Penyebab timbulnya masalah gizi tersebut dikarenakan berbagai faktor, oleh karena itu penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor terkait yang bekerja sama demi tercapainya status gizi yang lebih baik (Supariasa, dkk, 2002). Aritonang (2006) menyatakan bahwa status gizi yang buruk pada balita cenderung akan meningkat akibat asupan gizi yang kurang serta seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat untuk memperoleh pangan dan pelayanan kesehatan yang memadai. Selain itu juga dapat diakibatkan oleh penyakit infeksi yang menyebabkan terganggunya penyerapan zat-zat gizi dari makanan. Gizi buruk pada balita akan semakin memprihatinkan bila tidak segera dilakukan upaya-upaya khusus, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang generasi yang hilang (lost generation) bagi bangsa ini akan semakin jelas. Dampak dari suatu bangsa yang mengalami lost generation ialah akan menghasilkan generasi bangsa yang tidak berkualitas yang ditandai dengan fisik yang lemah, mudah terserang penyakit dan tingkat intelegensi yang rendah (Aguskrisno, 2011). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, di Indonesia prevalensi gizi buruk sebesar 4,9 %. Sedangkan prevalensi gizi buruk untuk Sumatera Selatan sebesar 5,5 % (Balitbangkes Kemenkes RI, 2010). Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2010 mencatat 0,02 % balita yang mengalami gizi buruk (Profil Kesehatan Kota Palembang, 2010).Di Puskesmas 4 Ulu, balita yang mengalami gizi buruk tahun 2010 sebesar 0,9 % dan meningkat menjadi 1,2 % pada tahun 2011 (Data Laporan Bulanan Gizi Puskesmas 4 Ulu Palembang, 2010-2011). Tujuan Penelitian Diketahui hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu, pola asuh dan asupan zat gizi balita (12-59 Bln) dengan status gizi balita di wilayah Kerja Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang. Hipotesis 1. 2.
Ada hubungan antara tingkat Pengetahuan Gizi ibu dengan status gizi balita Ada hubungan antara Pola Asuh balita dengan status gizi balita
ISSN 0126-107X
3.
Ada hubungan antara Asupan Zat Gizi ( energi, protein ) balita dengan status gizi balita
METODE PENELITIAN a. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang), dimana penelitian ini mempelajari dinamika korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat, diukur pada saat yang sama dengan model pendekatan atau observasi. b. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah seluruh keluarga yang mempunyai balita (12-59 Bln) yang ditimbang, di Wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang. 2. Sampel Sampel adalah balita (12-59 Bln) yang ditimbang, di Wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang berjumlah 98 Balita. 3. Cara pengambilan sampel Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik Cluster sampling, yaitu dengan mengambil 8 Posyandu (4 posyandu yang berada di pinggiran sungai musi dan 4 posyandu yang berada di daratan). dari 39 Posyandu yang ada di Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita
Tabel 1 Hubungan Antara Pengetahuan Gizi Ibu dengan Status Gizi Balita Status gizi
Pengetahuan gizi ibu
n
%
Baik
Kurang
Jumlah
n
%
n
%
Baik
51
94,4
3
5,6
54
100
Kurang
22
50
22
50
44
100
Jumlah
73
98
100
25
Nilai P
0,000
Pada tabel 1, ibu yang memiliki pengetahuan baik dan memilik balita dengan status gizi baik ada 51 orang (94,4%), ibu yang berpengetahuan baik dan memiliki balita dengan status gizi kurang ada 3 orang (5,6%) sedangkan ibu yang memiliki pengetahuan kurang dan memiliki balita dengan 143
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
status gizi baik ada 22 orang (50%), ibu yang berpengetahuan kurang dan memiliki balita dengan status gizi kurang ada 22 orang (50%). Dari hasil uji statistik, didapatkan ada hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita ditunjukkan dengan nilai p< 0,05 (0,000). Hasil penelitian Berg Alan dan Robert j Muscat (1987) di Brazil, Zambia, dan Kenya menyatakan bahwa setiap status gizi kurang disebabkan oleh ketidaktahuan tentang gizi dan kesehatan, Hal ini sangat sesuai dengan hasil yang peneliti dapatkan. Menurut teori yang dikemukakan oleh Jellife (1966), bahwa penyebab terjadinya KEP bukan saja dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu saja akan tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan berkurangnya perhatian ibu. Hal ini ditunjukkan dari hasil yang peneliti lakukan dimana ibu yang memiliki pengetahuan baik belum tentu memiliki anak yang status gizinya baik pula, pada kenyataannya ia belum menerapakan pengetahuan yang didapatnya dalam kehidupan sehari-hari, selain itu masih banyak faktor lain yang mempengaruhi status gizi. 2.
yang menyatakan bahwa pola asuh jelas akan mempengaruhi intake makanan yang ujungnya berdampak pada status gizi balita. Pengasuhan yang baik sangat penting untuk menjamin tumbuh kembang anak yang optimal, tumbuh kembang anak membutuhkan konsumsi makanan yang baik, asupan yang tercukupi sehingga status gizi balita menjadi baik. Misalnya pada keluarga miskin, yang ketersediaan pangan di rumah tangganya belum tentu mencukupi, namun ibu yang tahu bagaimana mengasuh anaknya, dapat memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk dapat menjamin tumbuh kembang yang optimal yang akan berdampak kepada status gizi balita tersebut. 3.
Hubungan Antara Asupan Zat Gizi (energi dan protein) Balita dengan Status Gizi Balita
a. Hubungan Antara Asupan Energi Balita dengan Status Gizi Balita Tabel 3 Hubungan Antara Asupan Energi Balita dengan Status Gizi Balita
Hubungan Antara Pola Asuh Balita Dengan Status Gizi Balita
Tabel 2 Hubungan Antara Pola Asuh Balita dengan Status Gizi Balita Status gizi
Pola Asuh Balita
n
%
Baik
Kurang
Jumlah
n
%
n
%
Baik
24
82,8
5
17,2
29
100
Kurang
49
71
20
29
69
100
Jumlah
73
98
100
25
Nilai P
0,311
Pada tabel 2, balita yang memiliki pola asuh baik dan berstatus gizi baik ada 24 orang (82,8%). balita yang memiliki pola asuh baik dan berstatus gizi kurang, ada 5 orang (17,2%), sedangkan yang memiliki pola asuh kurang dan berstatus gizi baik ada 49 orang (71%) dan yang memiliki pola asuh kurang dan berstatus gizi kurang ada 20 orang (29%). Dari hasil perhitungan statistik, tidak ditemukan hubungan antara pola asuh balita dengan status gizi balita ditunjukkan dengan nilai p> 0,05 (0,311). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Anwar (2008) yang menyatakan bahwa pola asuh anak yang tepat akan memberi pengaruh yang besar dalam memperbaiki status gizi balita. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Soekirman (2006) 144
Status gizi
Asupan Energi Balita
n
%
Baik
Kurang n
Jumlah
%
n
%
Baik
71
94,7
4
5,3
75
100
Kurang
2
8,7
21
91,3
23
100
Jumlah
73
98
100
25
Nilai P
0,000
Pada tabel 3, balita yang memiliki asupan energi baik dan berstatus gizi baik ada 71 orang (94,7%). balita yang memiliki asupan energi baik dan berstatus gizi kurang, ada 4 orang (5,3%), sedangkan yang memiliki asupan energi kurang dan berstatus gizi baik ada 2 orang (8,7%) dan yang memiliki asupan energi kurang dan berstatus gizi kurang ada 21 orang (91.3%). Dari hasil perhitungan statistik, didapatkan ada hubungan antara asupan energi yang dikonsumsi balita dengan status gizi balita ditunjukkan dengan nilai p< 0,05 (0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Jellife (1989), dalam Nur”aeni (2008), yang menyatakan bahwa kurangnya konsumsi energi dapat berdampak buruk pada pertumbuhan anak saat usia dua tahun pertama, sehingga akan menyebabkan anak menunjukkan tanda klinis kwashiorkor atau marasmus. Kemudian hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Pakhri, dkk (2011), bahwa ada hubungan yang bermakna antara asupan energy dengan status gizi balita. ISSN 0126-107X
Yulianto, Nyimas Nur Khotimah, Siti Faimah, Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh Dan Asupan Zat Gizi Balita Dengan Status Gizi Balita (12 – 59 Bln) Di Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang Tahun 2012
b. Hubungan Antara Asupan ProteinBalita dengan Status Gizi Balita Tabel 4 Hubungan Antara Asupan Protein Balita dengan Status Gizi Balita Status gizi
Asupan Protein Balita
n
%
Baik
Kurang
Jumlah
n
%
n
%
Baik
72
92,3
6
7,7
78
100
Kurang
1
5
19
95
20
100
Jumlah
73
98
100
25
Nilai P
0,000
Pada tabel 4, balita yang memiliki asupan protein baik dan berstatus gizi baik ada 72 orang (92,3%). balita yang memiliki asupan protein baik dan berstatus gizi kurang, ada 6 orang (7,7%), sedangkan yang memiliki asupan protein kurang dan berstatus gizi baik ada 1 orang (5%) dan yang memiliki asupan energi kurang dan berstatus gizi kurang ada 19 orang (95%). Dari hasil perhitungan statistik, didapatkan ada hubungan antara asupan protein yang dikonsumsi balita dengan status gizi balita ditunjukkan dengan nilai p< 0,05 (0,000). Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil Jellife (1989), dalam Nur”aeni (2008), yang menyatakan bahwa kurangnya konsumsi protein dapat berdampak buruk pada pertumbuhan anak saat usia dua tahun pertama, sehingga akan menyebabkan anak menunjukkan tanda klinis kwashiorkor atau marasmus. Kemudian hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Lutviana, E dan Budiono (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan antara asupan protein dengan status gizi balita. KESIMPULAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Balita yang berstatus gizi baik ada 73 orang (74,5%) dan berstatus gizi kurang ada 25 orang (25,5%). Sebagian besar tingkat pengetahuan gizi ibu balita baik, sebanyak 54 orang (56,1%). Sebagaian besar Pola Asuh Ibu dengan kategori kurang sebesar 69 orang (70,4%) Sebagaian besar anak Balita memiliki asupan energi baik sebanyak 75 orang (76,5%) Sebagaian besar anak Balita memiliki asupan protein baik sebanyak 78 orang (79,6%) Ada hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita p< 0,05 (0,000) Tidak ada hubungan antara pola asuh ibu dengan status gizi balita p> 0,05 (0,311)
ISSN 0126-107X
9.
Ada hubungan antara asupan zat gizi (energy dan protein) dengan status gizi balita p< 0,05 (0,000)
SARAN 1. Diharapkan adanya kerjasama dan peran serta petugas kesehatan di Puskesmas 4 Ulu Palembang dalam memperbaiki dan meningkatkan status gizi anak balita di wilayah kerjanya. 2. Diharapkan pada petugas kesehatan Puskesmas 4 Ulu Palembang untuk memberikan penyuluhan secara berkala, terutama tentang pengetahuan gizi dan pola asuh yang baik kepada ibu-ibu yang memiliki anak balita. 3. Diharapkan kepada ibu balita di wilayah kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang dapat selalu mengawasi, mengasuh dan memberikan makanan yang sehat untuk balitanya, sehingga pola asuh ibu dan asupan zat gizi (energi dan protein) dapat ditingkatkan secara jumlah maupun mutunya. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, sunita, 2001, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Aritonang, irianto. 1996, Pemantauan pertumbuhan balita petunjuk praktis menilai status gizi dan kesehatan. kanisius. Yogyakarta Berg, alan 1985, Fakto-faktor yang mempengaruhi Status gizi. Bhatara karya aksara. Jakarta Departemen Kesehatan RI, 2008, Mediakom, edisi XV. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 Dinkes, Provinsi sumatera Selatan, 2008, Profil Kesehatan propinsi Sumatera Selatan Dinas Kesehatan, Palembang
2007,
Profil
Gizi
Kota
Irianto, Djoko Pekik, 2007, Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahraga CV.Andi Offset. Yoyakarta Khomsan, Ali, dkk, 2004, Pengantar Pangan dan Gizi, penerbit Swadaya, Jakarta Moehyi, sjahmien, 2002 Ilmu Gizi Penaggulangan Gizi Buruk, Papas Sinar sinanti. Jakarta 145
Jurnal Kesehatan. Volume I No. 11 Juni 2013
Moehyi, sjahmien, 2006 Ilmu Gizi Dasar. Jurusan Gizi . Papas Sinar sinanti. Jakarta Notoatmodjo, soekidjo, 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka cipta. Jakarta Notoatmodjo, soekidjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka cipta. Jakarta Notoatmodjo, soekidjo, 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku. Rineka cipta. Jakarta Soenardi, tuti. 2006, Makanan balita untuk tumbuh sehat dan cerdas. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Suhardjo, 1992, Pemberian makanan pada bayi dan anak. Kanisius Yogyakarta Soeharjo, 1996, Berbagai Pendidikan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta Suhardjo, 2003, Perencanaan pangan dan gizi. bumi aksara. Jakarta Supariasa, I Dewa Nyoman. 2001, Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC.Jakarta Susanto, soegeng, 1999, Rineka cipta Jakarta
146
Kesehatan dan gizi,
ISSN 0126-107X
Daftar Isi 1.
Penyesuaian Diri Mantan Anak Didik Lembaga Pemasyarakatan Palembang Kelas IIA Saat Kembali Ke Masyarakat Tahun 2012 Ira Kusumawaty, Yunike, Sari Wahyuni ....................................................................................
1
Hubungan Kekerasan Selama Kehamilan Dengan Kelahiran Bayi Berat Lahir Rendah Di RSUD Dr. Ibnu Soetowo Baturaja Kabupaten Ogan Komering Ulu Tahun 2011 Eni Folendra Rosa, Gunardi Pome, Marwan Baits ...................................................................
10
Pengaruh Penyuluhan Gizi Metode Ceramah Dan Leaflet Terhadap Perilaku Memilih Makanan Jajanan Murid Di SD Negeri Kelurahan Sako Palembang 2012 Mardiana, Nurul Salasa Nilawati, Eliza .....................................................................................
17
Analisis Pengaruh Supervisi Dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Dosen Di Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan Kemenkes Palembang Sidri, Sarmadi ...............................................................................................................................
24
Analisis Penerapan Partograf Dalam Asuhan Persalinan Normal (APN) Oleh Bidan Peraktik Mandiri Di Kecamatan Seberang Ulu Satu Kota Palembang Tahun 2012 Hasbiah , Syarifah, Rohaya ..........................................................................................................
29
Risiko Disfungsi Seksual Pada Perempuan Pemakai Kontrasepsi Depo Medroxy Progesteron Acetate Di Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2011 Siti Hindun, Rosyati Pastuty, Aprilina ........................................................................................
35
7.
Hubungan Pola Asuh Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja (Pelaku Bullying) Endang Suartini, Parta Suhanda, Siti Wasliyah ........................................................................
52
8.
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Usia 06-60 Bulan Di Kelurahan Kuto Batu Kecamatan Ilir Timur Ii Kota Palembang Th 2011 Terati, Nurul Salasa Nilawati, Riskikah Dwi Fatonah ..............................................................
58
Perbandingan Efektifitas Latihan Aerobik Low Impact Dengan Dan Tanpa Pemberian Susu Kedelai Terhadap Kadar Trigliserida Pada Wanita Dewasa Dengan Berat Badan Lebih Di Desa Air Paoh Kecamatan Baturaja Timur Meilina Estiani ...............................................................................................................................
66
10. Pengaruh Latihan Aerobik Terhadap Jumlah Trombosit Pada Mahasiswa Program Studi Keperawatan Baturaja Tahun 2012 Suparno ..........................................................................................................................................
72
11. Perbandingan Hasil Hitung Jumlah Trombosit Secara Otomatik Pada Darah Yang Ditambahkan Antikoagulan Na2EDTA 10 % Dengan K2EDTA Vacutainer Ardiya Garini ................................................................................................................................
75
12. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balitadi Puskesmas Keramasan Palembang Tahun 2011 Eprila, Yunetra Franciska ............................................................................................................
79
13. Gambaran Faktor Risiko Penyebaran Filariasis Di Desa Muara Padang Kecamatan Muara Padang Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan 2012 Erwin Edyansyah, Nurhayati Ramli, Amilawati Saleh ...........................................................
85
2. 3. 4. 5. 6.
9.
Daftar Isi 14. Uji Efektifitas Biolarvasida Ekstrak Daun Papaya (Carica Papaya L) Terhadap Kematian Larva Instar III Nyamuk Aedes Aegypti Refai, Herry Hermansyah, Dian Adhe Bianggo Naue ...............................................................
91
15. Pengaruh Asupan Zat Gizi Makro Dan Formula Antioksidan Terhadap Perubahan Berat Badan Pada Penderita Kanker Rawat Jalan Di Rsmh Palembang Tahun 2012 Rusnelly, Manuntun Rotua ..........................................................................................................
100
16. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Terhadap Kecemasan Pasien Preoperasi Di RS Dr. Mohammad Hoesin Palembang Tahun 2010: Quasi Eksprimen Lukman , Sumitro Adi Putra, Azwaldi ......................................................................................
115
17. Pengaruh Pemberian Ekstrak Tempe Terhadap Kadar Ureum Dan Kreatinin Ginjal Tikus Putih Jantan Galur Wistar (Rattus Norvegicus) Dengan Pemberian Parasetamol Dosis Toksik Dewi Marlina .................................................................................................................................
101
18. Pengaruh Konseling Menyusui Terhadap Pengetahun, Sikap Dan Tindakan Ibu Dalam Menyusui Bayi Usia 0-6 Bulan Di Puskesmas 4 Ulu Kecamatan Seberang Ulu I Dan Puskesmas Taman Bacaan Kecamatan Seberang Ulu 2 Kota Palembang Hana Yuniarti, Eddy Susanto, Terati ..........................................................................................
124
19. Pengaruh Natrium Bikarbonat Terhadap Kadar Asam Laktat Darah Pada Latihan Fisik Mahasiswa Akademi Kebidanan Budi Mulia Palembang Prahardian Putri ...........................................................................................................................
132
20. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seksual Siswa Sekolah Menengah Atas Taruna Tunas Bangsa Baturaja Timur Titik Asni Sulastri .........................................................................................................................
137
21. Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu, Pola Asuh Dan Asupan Zat Gizi Balita Dengan Status Gizi Balita (12 – 59 Bln) Di Wilayah Kerja Puskesmas 4 Ulu Palembang Tahun 2012 Yulianto, Nyimas Nur Khotimah, Siti Faimah ...........................................................................
142